Pencarian

Kencan Di Ujung Maut 2

Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut Bagian 2


keluar dari belakang Soka.
Gadis itu menampakkan keberaniannya, sementara Soka mulai serba kikuk. Dalam
sepintas ia sudah dapat memahami maksud kemunculan Palagupa itu, diutus oleh
ketua Lembah Hantu untuk membawa Ratih Selayang yang akan diambil istri oleh
sang Ketua Lembah Hantu.
Tetapi Soka merasa lega begitu
mendengar jawaban Ratih Selayang tadi yang jelas-jelas menolak lamaran itu.
Hanya saja, tentunya Palagupa akan memaksa, dan Soka harus ambil tindakan
melindungi Ratih Selayang jika ingin mendapat pujian serta makin dikagumi oleh
gadis itu. Tetapi Soka sendiri tak yakin akan unggul jika melawan orang sebesar
itu. "Bisa-bisa wajahku pindah ke lutut kalau begini. Tapi kalau aku melarikan diri,
uuh... memalukan sekali! Apa kata Ratih Selayang nanti jika aku melarikan diri,
sementara ia sudah bangga mendapat pelindung seperti diriku"!"
Suara Palagupa terdengar
mengagetkan Soka.
"Jangan memaksaku bertindak kasar di depanmu, Ratih! Kau harus mau kubawa ke
Lembah Hantu dan menikah dengan sang Ketua!"
"Aku tidak mau!" tegas Ratih Selayang. "Aku sudah punya kekasih sendiri. Dia
inilah kekasihku!" sambil menuding Soka.
Soka membatin, "Mati aku...!"
"Kalau kau bisa kalahkan kekasihku ini, kau boleh boyong aku ke Lembah Hantu!"
"Baahh...!" sentak Palagupa. "Bocah ingusan seperti itu kau andalkan untuk
melawanku"! Ggrrhmm...! Sekali remas keluar isi perutnya lewat mulut!" sambil
Palagupa menatap tajam kepada Soka dengan mata mulai merah samar-samar.
"Jangan lakukan pertarungan jarak dekat. Remasan tangannya
dapat meremukkan tulang-tulangmu!"
"Wah, tambah parah...," keluh Soka dalam hati. Keringat dinginnya pun mulai
membasah di beberapa bagian tubuhnya.
"Hei, bocah kencur! Benarkah kau kekasihnya Ratih Selayang"!" Palagupa bertanya
dengan suara menyentak dan besar.
"Hmm... ehh... ya... ya begitulah seperti apa kata Ratih tadi," jawab Soka agak
gugup dan semakin salah tingkah.
"Grrrmmhh...! Kalau mau selamat pergilah dari Ratih Selayang sekarang juga!
Lekas pergi!" suara itu menggelegar bagai ingin rubuhkan
pohon-pohon di sekelilingnya. Jantung Soka pun terasa ingin copot karena getaran
suara orang berwajah sangar dan berambut panjang sebahu itu.
"Kau boleh pergi jika berhasil langkahi mayat Soka Pura, kekasihku ini!
Bukankah begitu, Soka"!" ujar Ratih Selayang dengan suara lantang.
"Hmmm, hmmm... iya, memang begitu.
Tapi... tapi ya memang begitu!" sambil keringat dingin Soka mengalir terus,
karena baru sekarang ia berhadapan langsung dengan seorang musuh. Sayangnya
begitu berhadapan dengan musuh, keadaan
si musuh benar-benar tak seimbang dengan keadaan dirinya.
Jleeg...! Buung...! Palagupa turun dari batang pohon, hentakan kakinya terasa menggetarkan ta-nah
yang dipijak Soka Pura. Pemuda itu menelan napas untuk dapatkan ketenangan
batinnya" "Bocah kunyuk!" seru
Palagupa sambil menuding Soka. "Jika memang nyawamu yang menjadi syarat membawa Ratih
Selayang ke Lembah Hantu, maka sekarang juga aku akan mencabut nyawamu dengan
menjebol dada dan meremas
jantungmu sampai pecah!"
Sebongkah batu sebesar kepala Soka diambilnya. Batu hitam itu segera diremas
dengan dua tangan bersama pandangan mata melotot sangar pandangi Soka.
"Hhhrraaahh...!".
Prraakks...! Batu itu hancur dalam sekali
rerrias. Mata Soka sedikit mengecil dan tubuhnya bergidik merinding
membayangkan seandainya batu itu adalah kepalanya. Sebab, kejap kemudian
Palagupa berkata dengan darah menggeram.
"Kepalamu lebih empuk dari batu!
Jika batu saja bisa kuhancurkan dalam sekali remas, apalagi hanya kepalamu,
Bocah kunyuk!"
Ratih Selayang berbisik, "Dia pamer ilmu. Jika kau bisa ungguli pameran ilmunya,
dia akan lari sebelum
bertarung. Itulah kebiasaan orang Lembah Hantu!"
Soka, segera berpikir mencari cara untuk ungguli pameran ilmu lawannya.
Akhirnya ia temukan batu sebesar kepalan bayi. Batu itu dipungutnya dan
dilempar-lemparkan kecil di tangan kirinya seperti buat mainan. Ratih Selayang
kerutkan dahi dan berbisik dalam sindiran.
"Apa tak ada yang lebih kecil lagi?"
"Cukup segini saja."
Soka menjawab pelan, karena
pikirannya sedang mencari cara untuk bisa kalahkan manusia seperti raksasa itu.
Ratih Selayang diam-diam merasa kecewa karena Soka hanya mengambil batu kecil.
Seandainya Soka dapat meremas hancur batu itu, tentu saja akan
ditertawakan Palagupa, karena tidak lebih hebat dari si Palagupa tadi.
"Apa yang ingin kau unjukkan padaku, hah"! Ilmu kencurmu itu"!" ejek Palagupa.
Soka hanya c-ngar-cengir pandangi Ratih Selayang.
Tapi tiba-tiba batu sebesar kepalan bayi itu dilemparkan dengan kekuatan tenaga
dalam ke arah Palagupa.
Wees...! Palagupa kaget dan tak
menyangka-nyangka akan mendapat lem-
paran batu secepat itu. Akibatnya ia terperangah kaget tak bergerak sedikit pun.
Pada saat itulah batu tersebut tepat kenai mata kiri Palagupa.
Plook...! "Huaaahhrr...!"
Palagupa berteriak
sekeras-kerasnya. Kedua tangannya segera pegangi mata kiri yang pecah karena
lemparan batu bertenaga dalam tinggi itu. Dalam keadaan Palagupa menunduk itu,
Soka Pura segera lakukan lompatan dengan kaki menjejak penuh tenaga.
Wuuut...! Brruuss...! "Aaahk...!" Palagupa limbung ke belakang sambil satu tangan pegangi matanya yang
berdarah dan tangan satunya lagi meraba-raba ke samping mencari pegangan.
Soka Pura tidak memberi kesempatan sedikit pun, ia segera meiayangkan tendangan
putarnya dengan cepat dalam satu lompatan tak terlalu tinggi.
"Hiaat...!" .
Wess, plaak...!
Wajah Palagupa bagai ditampar
dengan kayu balok cukup keras. Wajah itu sempat terlempar ke kiri dan tubuh
besar itu semakin oleng.
Soka Pura segera maju setengah
berlutut dan menghantamkan pukulan
tenaga dalamnya tanpa sinar ke arah bagian bawah perut Palagupa.
Peet...! Plook...! "Haaahk...!" Palagupa mendelik seketika walau dengan satu mata. la semakin
memekik keras, dan akhirnya tumbang ke belakang.
Brrukk...! "Ratih, cepat lari! Cepat...!"
Ratih Selayang salah tanggap. Gadis itu segera lari sendiri secepat-cepatnya
tanpa menghiraukan
Soka yang berlari berbeda arah.
Begitu menyadari, Soka terkejut dan memaki dalam kedongkolan.
"Dasar bodoh! Kenapa lari ke sana"!
Huhh...! Terpaksa aku balik lagi kalau begini!"
Soka pun kembali ke arah semula, ia terpaksa melewati tempat pertarungannya
dengan Palagupa. Tapi pada saat itu, Palagupa sedang mengerang dan berusaha
bangkit. Begitu melihat Soka berlari di depannya, ia segera melepaskan pukulan
bersinar merah panjang.
"Heeaahihrr...!"
Claaap.. Weess...! Kelebatan sinar merah sempat
ditangkap mata Soka. Maka dengan serta merta Soka pun melompat berjungkir balik
ke arah depan. Wuutt...! Duaarr...! "Aaow...!" Soka memekik, betisnya terkena pukulan bersinar merah itu, langsung
hangus sampai batas lutut. Kaki kanan Soka mengepulkan asap dan tak bisa dipakai
berlari lagi. Ia mengerang-ngerang kesakitan dengan mata terpejam.
Ketika matanya dibuka kembali,
ternyata Palagupa sudah berada di depannya dalam jarak tiga langkah.
Manusia tinggi besar itu sedang melayang di udara dan ingin menginjak tubuh Soka
yang sedang terduduk miring.
Melihat bayangan sebesar gajah
ingin menimpanya, secara refleks
tangannya bergerak ke depan, menyodok maju dengan seluruh jarinya lurus merapat.
Suuutt...! "Huaaah...!"
Palagupa berteriak keras-keras dan panjang. Jurus 'Kobra Liar' pemberian Eyang
Mangkuranda yang melalui mimpi itu kini mampu merobek perut besar Palagupa.
Jika dulu jurus itu dalam latihannya dapat membuat kulit kayu koyak dan
terkelupas, kini dalam keadaan Jurus itu semakin matang di tangan si kembar
telah mampu merobek perut besar berikut berkulit hitam itu.
Palagupa tumbang dalam keadaan isi perutnya berhamburan mengerikan. ia
menggelepar-gelepar sebentar sambil mengerang seperti sapi disembelih.
Beberapa kejap kemudian, tubuh besar itu tidak bergerak lagi selama-lamanya
karena tidak pernah mau bernapas lagi.
Nyawanya telah pergi meninggalkan raga tanpa pamit kepada siapa pun.
Suara teriakan menyeramkan itu
didengar oleh Ratih Selayang. la
hentikan langkah larinya karena ia tahu suara itu adalah suara Paiaguna. Dengan
rasa ingin tahu begitu besar, Ratih Selayang kembali ke arah semula.
Saat ia tiba di tempat tewasnya
Palagupa, pemuda tampan yang ketinggalan itu sedang mengerang dan cengar-cengir
kesakitan. Kakinya yang hangus itu masih mengepulkan asap samar-samar, membuat
celananya pun hangus terbakar sampai batas lutut.
Ratih Selayang tertegun pandangi
mayat Palagupa. la tak menyangka orang tinggi besar itu dapat ditumbangkan oleh
Soka dalam keadaan semengerikan begitu.
"Apakah... apakah dia sudah mati?"
tanyanya kepada Soka sambil mendekat dan jongkok di samping pemuda yang masih
cengar-cengir menahan rasa sakit itu.
"Desak dia supaya mengaku sudah mati atau belum" jawab Soka agak dongkol karena
Ratih Selayang tidak segera hiraukan lukanya melainkan justru lebih
memperhatikan ke mayat Palagupa.
Ratih Selayang pandangi mayat
Palagupa dengan ragu-ragu sambil bicara kepada Soka.
"Orang Lembah Hantu jarang yang mati dalam keadaan mengerikan begitu! Siapa yang
membuat perutmu sampai jebol begitu, Soka?"
"Entah" jawab Soka menyentak.
Sentakan itu membuat Ratih Selayang segera berpaling menatap Soka.
"Mengapa kau membentakku"!"
"Apa kau tak melihat kakiku terbakar begini"!"
"Ooh..."! boh... kakimu"! Kakimu kenapa, Soka"!" Ratih Selayang segera terkejut
dan menjadi cemas begitu melihat kaki Soka Pura. Wajah cemas yang membendung
kesedihan itu menghibur kedongkolan di hati Soka. ia semakin berlagak kesakitan,
walau ssbenarnya ia bisa menahannya sesaat untuk lakukan penyembuhan menggunakan
jurus 'Sambung Nyawa'nya itu.
"Soka... oh, Soka...! Maafkan aku, Soka. Gara-gara kau membelaku, akhirnya kau
terluka begini, Soka!" Ratih Selayang memeluk kepala Soka bagaikan orang panik.
Wajah Soka tenggelam di permukaan dada si gadis. Hidungnya mengendus-endus. Bau
keringat si gadis menyebarkan aroma wangi yang lembut namun cukup mengusik urat
gairahnya. "Aduh, aku tak kuat, Ratih... aku tak kuat lagi...," rintih Soka semakin
berpura-pura meratap.
"Soka... bertahanlah! Aku akan membawamu pulang biar nenek mengobati lukamu itu!
Bertahan, ya Soka...!"
sambil Ratih Selayang kian memekik erat kepala Soka, dengan begitu wajah Soka
makin terbenam di dada si gadis.
Kehangatan dada itu terasa membakar wajah Soka Pura.
"Oouhk...! Aku tak kuat, Ratih...."
"Oh, Soka... jangan tewas dulu, Soka. Kita baru bertemu dan saling mengenal...."
"Aku tak tahan, karena tak bisa bernapas, Ratih! Kendurkan
pelukanmu...."
"Ooh, maaf... maaf, Soka!" Ratih Selayang buru-buru melepaskan pelukannya sambil
menggeragap malu. Sepertinya ia baru menyadari apa yang telah
dilakukannya terhadap pemuda itu
sebenarnya sangat memalukan. Maka kepala itu bukan saja dilepaskan dari pelukan,
namun juga didorong dalam satu sentakan kedua tangan.
Wuuutt...! "Kasar amat dia itu...!" gerutu Soka dalam hatinya.
* * * 5 ILMU pengobatan yang dinamakan
jurus 'Sambung Nyawa' itu dilakukan Soka tanpa harus menempelkan telapak
tangannya. Jurus itu jika untuk
mengobati diri sendiri cukup dengan memejamkan mata dan mengeraskan urat
tubuhnya beberapa saat. Kemudian tubuh itu memancarkan sinar ungu samar-samar.
Sinar itu redup kembali bersama
lenyapnya luka bakar di kaki kanan Soka.
Tetapi celana putihnya tetap terpotong sebatas lutut dengan sisa bakar yang
tampak nyata. Ratih Selayang segera membawa
pulang Soka, karena menurut dugaan mereka, Nini Sawandupa telah sampai di rumah
setelah menengok ke tempat
pertarungannya dengan Peri Kenanga tadi dan tidak menemukan cucunya di sana.
Soka tak merasa sungkan-sungkan dibawa pulang oleh gadis cantik berwajah imut-
imut itu. Justru hatinya bersorak kegirangan, sebab
dengan jalan begitu maka
hubungannya dengan Ratih Selayang akan semakin akrab.
Sementara hati Soka Pura bersorak kegirangan, hati Raka tidak demikian.
Raka menggerutu dalam batinnya setelah sadari bahwa dirinya mendapat tugas yang
cukup menjengkelkan.
Betapa tidak menjengkelkan" Nini
Sawandupa berhasil disusul
dalam pengejarannya terhadap Peri Kenanga.
Raka Pura sengaja menghadang langkah Nini Sawandupa, karena ia melihat darah
sang nenek banyak yang keluar dan berceceran ke mana-mana. Sebentar-s ebentar
nenek hentikan langkah untuk terbatuk-batuk dan memuntahkan darah segar kembali.
Raka tak tega, sehingga ia menghentikan sang nenek untuk menolong mengobati luka
tersebut. Tetapi Nini Sawandupa ternyata
salah paham dengan maksud kemunculan Raka di depannya. Dalam keadaan masih
dibakar oleh kemarahannya, Nini
Sawandupa segera melepaskan serangan tanpa banyak bicara. la mengangkat
tongkatnya dalam satu lompatan
menerjang, lalu tongkat itu dihantamkan ke kepaia Raka.
Wuuuk...! Beruntung sekali Raka Pura segera merendahkan badan dengan kepaia meliuk bagai
seekor angsa, sehingga hantaman tongkat itu tak mengenai kepalanya.


Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi angin kibasan tongkat itu
menghantam punggung Raka hingga tubuh Raka tersungkur ke tanah.
Brruuss...! "Modar kau begundal iblis!
Hiaah...!"
Nini Sawandupa langsung menginjak punggung Raka dengan keras.
"Heekh...!" Raka bagaikan ditimpa pohon besar. la sulit bernapas dan tulang
punggungnya terasa patah. Beruntung salah satu kaki Nini Sawandupa berada tak
jauh dari tangan Raka, sehingga dengan jari menguncup semua dan mengeras, mata
kaki nenek berjubah kuning itu
dihantamnya kuat-kuat.
Dess...! Trak...! "Aaauuh...! Sambar geledek kau!"
maki si nenek sambil tubuhnya tersentak ke atas karena kesakitan. Pada saat
itulah tubuh Raka segera berguling ke samping dan cepat-cepat bangun.
Ternyata jurus 'Cocor Singa' mampu membuat mata kaki Nini Sawandupa menjadi biru
legam dan sekitar mata kaki itu menjadi memar. Kaki tersebut tak bisa dipakai
berdirl lagi, sehingga sang nenek menggunakan tongkatnya sebagai pengganti kaki
yang biru legam itu. Raka buru-buru tarik napas untuk salurkan hawa murni dalam
tubuhnya, sehingga rasa sakit di punggung pun mulai berkurang.
"Kau akan mati kalau masih tetap membela Peri Kenanga, Anak dungu!" geram Nini
Sawandupa. Raka Pura berkata dengan kalem tapi tegas.
"Aku bukan begundalnya Peri
Kenanga, aku tidak kenal dengan
perempuan itu, Nini Sawandupa!"
"Omong kosong! Kau pasti pemuas gairah perempuan jalang itu!"
"Kau salah, Nini! Aku sengaja mencegat langkahmu agar jangan teruskan
pengejaran, karena lukamu sangat parah.
Aku tahu kau memaksakan diri dan itu sangat berbahaya. Aku terpaksa hentikan
langkahmu dan ingin menolong sembuhkan lukamu itu, Nini!"
"Bedebah! Bocah kemarin sore ingin berlagak jadi tabib di depanku, hah"!"
serunya dengan suara tua yang membuat napasnya ngos-ngosan.
"Aku memang bukan tabib. Tapi ayahku berpesan agar aku selalu menolong yang
lemah dan menghancurkan
keangkaramurkaan!"
"Hmmrrh...!" Nini Sawandupa menggeram sesaat. "Siapa ayahmu itu, hah"!"
"Pawang Badai dari puncak Gunung Merana!"
"Hahh..."!" mata tua itu terbelalak begitu mendengar nama Pawang Badai.
Kemudian dahi yang berkeriput itu kini semakin keriput karena berkerut saat
pandangi Raka Pura dengan sangsi.
"Aku kenal dengan si Pawang Badai!
Dia dan istrinya Padmi, adalah pasangan mandul yang tidak mempunyai keturunan.
Kau jangan mengaku-aku sebagai anak sahabatku, Bocah lancang!"
"Aku adalah... anak angkatnya,"
jawab Raka dengan lirih karena segera teringat ayah kandungnya sendiri.
Ingatan itu segera disingkirkan dari
benak Raka setelah Nini Sawandupa ajukan tanya sebagai penguji
kebenaran pengakuan Raka itu.
"Jika kau benar anak angkat si Pawang Badai, kau tentunya tahu siapa nama asli
si Pawang Badai itu"!"
"Orang-orang yang menaruh hormat kepadanya memanggilnya, Ki Pamitran!"
"Ooh..."!" Nini Sawandupa terkesiap karena Raka dapat menjawab pertanyaannya
dengan benar. Ketegangannya mulai mengendur, tatapan mata bersikap
bermusuhan itu mulai redup. Dengan bantuan tongkatnya ia melangkah sambil
mengangkat kaki yang memar. Setelah berada dekat Raka, mata tua itu kian
mengecil memandangi Raka dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Apakah... maksudmu kau adalah murid si Pawang Badai?"
"Bukan! Pawang Badai adalah ayah angkatku, dan aku adalah murid Eyang Guru Dewa
Kencan!" "Astaga" Nini Sawandupa terpekik dalam satu sentakan rasa kaget hingga kepalanya
ditarik mundur sedikit. Wajah tua itu kini tampak tegang diliputi rasa takut.
"Bee... benarkah... ucapanmu itu, Nak" Bukankah si Dewa Kencan telah lama
tiada"!"
"Tapi rohnya masih bisa mengajarkan jurus-jurus mautnya padaku melalui mimpi!"
"Oh, memang luar biasa sekali beliau," gumam Nini Sawandupa semakin melemah.
"Karenanya, seperti kataku tadi, Nini... kuhadang dirimu karena aku tahu lukamu
semakin parah. Dengan segala hormatku, izinkan aku sembuhkan lukamu itu agar tak
merenggut jiwamu sendiri, Nini!"
"Balklah. Aku berterima kasih padamu, Anak muda! Aku bisa obati lukaku sendiri
walau harus beristirahat dua tiga hari lamanya. Tapi ada yang lebih penting lagi
untuk mendapat pertolongan, yaitu cucuku, si Ratih Selayang."
"Dia sudah ditangani oleh adikku, Nini!"
"Oh, jadi kau datang bersama adikmu?"
"Kami melihat pertarungan tadi, tapi kami tak berani ikut campur. Setelah
melihat keadaanmu dan Ratih Selayang dalam keadaan bahaya, aku dan adikku
terpaksa ikut campur hanya dalam hal mengobati luka kalian!"
Diam-diam hati nenek berambut putih dan sedikit bungkuk itu bukan saja merasa
bersyukur mendengar cucunya sudah ada yang menolongnya sendiri, tapi juga ingin
mengetahui seberapa tinggi ilmu pengobatan yang dimiliki oleh anak angkat
sahabatnya itu. Maka, Nini Sawandupa pun segera menyatakan diri
bersedia menerima pengobatan yang akan dilakukan Raka.
"Berapa lama kau mampu sembuhkan lukaku ini, Nak?"
"Semoga tak sampai setengah hari."
"Tak sampai setengah hari"!" gumam Nini Sawandupa dengan heran, mengingat usia
Raka yang masih muda itu.
Nini Sawandupa semakin heran
setelah Raka Pura membuktikan
kata-katanya. Jurus 'Sambung Nyawa'
segera digunakan seperti yang dilakukan Soka terhadap Ratih Selayang itu.
Ternyata cara penyembuhan yang mempunyai unsur kekuatan inti gaib itu mampu
membuat badan Nini Sawandupa menjadi segar tenaganya bagaikan pulih kembali,
sedangkan lukanya lenyap tanpa bekas seperti tak pernah menderita luka segores
pun. Tentu saja hal itu membuat Nini Sawandupa kian takjub dan semakin percaya
kepada Raka Pura.
"Kalau begitu aku ingin segera menengok keadaan cucu tunggalku, apakah ia sudah
siuman dari pingsannya atau masih terkapar karena kebandelannya tadi!" ujar Nini
Sawandupa. "Aku akan mendampingimu ke sana, Nini Sawandupa! Kita lihat bersama bagaimana
keadaan cucumu itu."
Maka bergegaslah mereka kembali ke arah semula. Dalam perjalanan itulah, Raka
Pura sempat memancing keterangan dari mulut nenek berjubah kuning itu.
"Sebenarnya siapa Peri Kenanga itu, Nini" Kulihat ilmunya cukup lumayan juga."
"Bukan lumayan saja. Tingkatan ilmunya sudah termasuk tingkat tinggi.
Sangat tak setanding jika cucuku
melawannya. Peri Kenanga sebenarnya masih ada hubungan saudara denganku, tapi
saudara jauh. Bibi tirinya Ratih Selayang. la penguasa Kuil Darah
Perawan, yaitu sebuah aliran sesat yang anggotanya para pelacur liar."
"Lalu, mengapa ia tampak bernafsu sekali ingin membunuhmu, Nini?"
"Sebenarnya yang diincar adalah Ratih Selayang, cucuku. Dia hanya ingin
memanfaatkan cucuku sebagai sandera agar aku menebusnya dengan sebuah rahasla."
"Rahasia apa itu Nini" Boleh kutahu?" Nini Sawandupa diam beberapa saat. Sepe-
tinya ada sesuatu yang perlu dipertimbangkan dan meragukan. Raka Pura berlagak
tidak terlalu terburu-buru untuk mengetahui rahasia itu, sehingga ia tampak
tidak terlalu membutuhkan rahasia tersebut. Padahal Raka
berdebar-debar penuh harap agar nenek berambut putih rata itu segera sebutkan
rahasia Gua Mulut Naga.
Sayangnya sebelum Nini Sawandupa
menjawab pertanyaan Raka, tiba-tiba mereka sama-sama hentikan langkah karena
kemunculan seseorang yang menghadang langkah mereka. Orang tersebut muncul
dari tebing cadas tak seberapa tinggi, melompat begitu saja dan mendaratkan
kakinya dengan tegak di depan langkah mereka.
Raka Pura terkesip melihat seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun
lebih berwajah panjang. Si tua berwajah panjang itu mengenakan jubah abu-abu
berlengan panjang sesuai dengan tubuhnya yang jangkung. Kepalanya gundul bagian
tengah, tapi ada sisa rambut yang tumbuh memutih di bagian sekitar telinga ke
belakang. la juga menggenggam
sebatang tongkat coklat yang ujung atasnya berbentuk kepala ikan lele. la tampak
masih tegap dan llncah.
"Kita bertemu lagi, Sawandupa!"
ujar si tua berwajah lonjong itu dengan nada dingin, sesuai pandangan matanya
yang bagai ingin membekukan darah.
"Siapa dia, Nini?"
"Mundurlah, ini bagianku juga. Dia adalah Hantu Muka Tembok, musuh lamaku!"
Nini Sawandupa pun berbisik sambil tetap pandangi Hantu Muka Tembok.
Pak tua bertabuh kurus itu pandangi Raka sesaat. Ia tampak merasa asing dengan
wajah tampan si anak muda
tersebut. Tak lama kemudian terdengar suaranya yang bernada berat itu.
"Hmmm, rupanya kau mau menjodohkan cucumu dengan anak muda itu,
Sawandupa"!"
"Menjodohkan atau tidak itu bukan urusanmu, Gumarah!" tegas Nini Sawandupa. "Apa
maumu menghadang langkahku"!"
"Tetap seperti dulu! Serahkan peta menuju Gua Mulut Naga itu padaku! Dulu aku
memang kalah melawanmu, tapi
sekarang aku akan menebus kekalahanku dengan mencabut nyawamu, Sawandupa.
Tebusan itu bisa kubatalkan jika kau mau serahkan peta tersebut sekarang juga!"
"Persetan dengan tuntutan kolotmu itu! Aku tidak punya peta menuju gua itu!
Aku hanya punya peta menuju kuburanmu, Hantu Muka Tembok!"
Raka Pura segera merenggangkan
jarak dengan Nini Sawandupa. Seolah-olah ia tidak ingin ikut campur urusan
mereka. Tetapi sebenarnya menyimak persoalan yang mereka pertengkarkan itu, karena Hantu
Muka Tembok ternyata juga ingin menuju ke Gua Mulut Naga. Hal ini lebih menarik
lagi bagi Raka Pura untuk dapatkan keterangan secara tak langsung tentang siapa
Nini Sawandupa sebenarnya dan bagaimana pengetahuannya tentang Gua Mulut Naga
itu. Pernyataan sikap Nini Sawandupa
yang tetap tidak peduli dengan tuntutan Hantu Muka Tembok itu membuat si Hantu
Muka Tembok semakin dongkol kepada nenek berjubah kuning. la maju dua langkah,
tongkatnya dipindahkan dari tangan kiri ke tangan kanan. Nini Sawandupa tidak
merasa takut sedikit pun, bahkan ikut maju satu langkah, sehingga jarak mereka
menjadi tlga langkah. Raka Pura semakin menepi, seakan memberi tempat bagi Nini
Sawandupa untuk menghadapi musuh
lamanya. Kali ini aku lebih baik mengirimmu ke neraka daripada tidak mendapatkan peta
itu. Sawandupa!" geram Hantu Muka Tembok.
"Kali ini pun aku lebih baik mengakhiri masa hidupmu yang sudah bau tanah
kuburan Itu daripada membiarkan kau melarikan diri lagi, Gumarah!" ujar sang
nenek dengan sebutkan nama asli Hantu Muka Tembok.
Mereka saling beradu pandang mata dengan
tajam. Keduanya sama-sama
menggenggam tongkat masing-masing dengan kuat. Bahkan genggaman tangan Hantu
Muka Tembok telah membuat ujung kepaia tongkat berbentuk ikan lele itu mulai
kepulkan asap putih samar-samar.
Raka Pura memperhatikan dengan
tegang, karena ia tahu si Hantu Muka Tembok mulai kerahkan tenaga dalamnya ke
dalam tongkat, sehingga tongkatnya menjadi berasap.
Tetapi agaknya Nini Sawandupa tidak hanya diam mematung menunggu serangan lawan.
Tongkatnya bagai diremas
kuat-kuat lalu ujung kepala tongkat putihnya yang berbentuk kuncup bunga teratai
itu berasap tipis dan
memancarkan cahaya merah jambu. Cahaya merah itu makin lama semakin terang,
sedangkan asap di tongkat Hantu Muka Tembok makin lama semakin mengepul banyak.
Wuuust...! Raka Pura kaget. Tiba-tiba kedua
tokoh tua itu telah saling berpindah tempat. Mereka sama-sama bergerak menerjang
dengan gerakan sangat cepat, sehingga sulit dilihat oleh mata biasa.
Tahu-tahu Nini Sawandupa telah berada di tempat Hantu Muka Tembok berdiri tadi,
dan Hantu Muka Tembok telah menempati taman yang dipijak Nini Sawandupa tadi.
"Luar biasa gerakan mereka"!" gumam Raka Pura mengagumi kecepatan gerak kedua
tokoh tua itu, waiau ia sendiri sebenarnya mempunyai kecepatan gerak yang dapat
mengagumkan kedua tokoh tua itu.
Raka Pura semakin terperanjat
ketika memperhatikan kepaia tongkat mereka. Kini kepaia tongkat
Hantu Muka Tembok tidak berasap
lagi, melainkan memancarkan cahaya merah muda samar-samar, sedangkan kepaia
tongkat Nini Sawandupa hanya berasap banyak tanpa cahaya merah. Seolah-olah
Hantu Muka Tembok telah berhasil merebut cahaya merah dari tongkat lawannya dan
memindahkan ke tongkatnya sendiri.
Nini Sawandupa pun akhirnya
menggeram penuh kemarahan setelah pandangi kepaia tongkatnya sendiri.
"Keparat kau, Gumarah!"
"Sekarang aku dapat menyerap seluruh ilmumu jika kau tak mau serahkan peta gua
tersebut, Sawandupa! Aku yang sekarang bukan aku yang mudah kau tumbangkan tiga
tahun yang lalu,
Sawandupa! Pertimbangkan kekerasan hatimu terhadap peta Hantu Muka Tembok itu!"
"Aku tidak punya peta apa-apa, Keparat! Aku tidak tahu menahu tentang gua itu!"
"Tidak mungkin! Kau pikir aku tak tahu, bahwa kau adalah satu-satunya tawanan
yang berhasil lotos dari Gua Mulut Naga itu"! Empat tawanan Raja Bopeng yang
seharusnya dibuang ke Gua Mulut Naga hanya kau yang mampu
selamatkan diri, keluar dari gua
tersebut."
"Aku tidak dibuang ke gua itu!
Memang aku dan ketiga rekan
seperguruanku ditangkap oleh Raja Bopeng! Tetapi kami tidak dibawa ke Gua Mulut
Naga!" sentak Nini Sawandupa yang tiap katanya disimak baik-baik oleh Raka Pura.
"Omong kosongmu tak mungkin bisa membodohi otak tuaku, Sawandupa! Aku tahu,
kalian berempat ditangkap Raja Bopeng yang menghendaki Bunga Pucuk
Dara, tumbuh di sekitar Gua Mulut Naga.
Delapan pengawalnya ditugaskan
mengambil bunga penakluk cinta itu, sambil membuang kalian ke dalam Gua Mulut
Naga. Raja Bopeng tahu, kau dan ketiga rekan seperguruanmu itu mengetahui di
mana letak Gua Mulut Naga, bahkan kabarnya gurumu pernah membuat petanya untuk
seorang sahabat yang sudah
telanjur tewas sebelum peta
Itu diserahkan padanya...."
Diam-diam Raka Pura mencatat semua kata-kata Hantu Muka Tembok. Dari kata-kata
tersebut, Raka dapat simpulkan bahwa Nini Sawandupa dan ketiga rekan
seperguruannya pernah ditangkap oleh Raja Bopeng yang menghendaki Bunga Pucuk
Dara. Bunga itu tumbuh di sekitar Gua Mulut Naga. Rupanya Raja Bopeng mendapat
petunjuk dari seseorang bahwa pihakyang mengetahui di mana gua itu berada adalah
pihak perguruannya Nini Sawandupa.
Raja Bopeng yang berhasil membantai habis seluruh murid perguruan tersebut
bersama guru mereka, memanfaatkan keempat sisa murid perguruan itu sebagai
petunjuk jalan menuju Gua Mulut Naga.
Maka diperintahkan beberapa pengawal untuk membawa keempat tawanan tersebut ke
Gua Mulut Naga. Keempatnya harus dibunuh di saha sebagai tumbal memetik Bunga
Pucuk Dara. Tetapi Nini Sawandupa memberontak dan membuat beberapa pengawal tewas,
sebagian melarikan diri pulang ke hadapan Raja Bopeng. Sayangnya tiga rekan
seperguruan Nini Sawandupa gugur dalam pemberontakan itu.
Pada waktu itu, Hantu Muka Tembok alias si Ki Gumarah itu mendapat kabar tentang
peristiwa tersebut dari
keponakannya yang menjadi prajurit gerbang di istana Raja Bopeng. Maka ia tahu
persis, bahwa Nini Sawandupa pernah sampai di Gua Mulut Naga yang sejak dulu
sulit ditemukan orang itu. Hantu Muka Tembok yakin betul bahwa Nini Sawandupa
mengetahui tempat gua tersebut berada, karena mendiang gurunya Nini Sawandupa


Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berjuluk Resi Garba adalah seorang penjelajah gua di seluruh tanah Jawa dan
sekitarnya. Ilmu dan kesaktian Resi Garba diperoleh dari gua ke gua, dan pernah
dihebohkan sebagai manusia pertama yang dapat membunuh seekor naga bersisik emas
yang mendiami sebuah gua.
Menurut kesimpulan para tokoh lainnya, gua itulah yang dinamakan Gua Mulut Naga.
Nini Sawandupa selalu membantah
kesimpulan itu. Bahwa mendiang gurunya memang pernah mengalahkan seekor naga
bersislk emas yang mendiami sebuah gua, tetapi gua itu bukan Gua Mulut Naga. la
juga membantah anggapan para tokoh rimba persilatan yang mengatakan dirinya
mengetahui Gua Mulut Naga dari cerita sang guru, karena Nini Sawandupa
dikabarkan menjadi murid kesayangan sang
guru, sehingga segala rahasia yang tidak dimiliki orang lain dan murid lainnya
dibeberkan di depan Nini Sawandupa.
"Kau tak bisa mengelak lagi, Sawandupa!" ujar Hantu Muka Tembok.
"Sekarang kau tinggal memilih, mau mati cepat-cepat atau membantuku menemukan
Gua Mulut Naga itu dengan menyerahkan peta yang pernah dibuat gurumu itu atau
menjadi pemanduku menuju gua tersebut"!"
"Aku memilih membunuhmu
cepat-cepat, Hantu Muka Tembok!" bentak Nini Sawandupa dengan berangnya.
Gigi menggeletuk, mata menyipit,
wajah pun tampak kaku. Uccipan Nini Sawandupa agaknya tak bisa membendumg
kesabaran Hantu Muka Tembok lagi. Maka serta merta tongkat berkepala ikan lele
itu disentakkan kedepan seakan ingin menyodok dada Nini Sawandupa. Tetapi
perempuan tua itu pun tak mau kalah tangkas, tongkat putihnya yang masih berasap
itu pun disentakkan ke depan hingga kepaia tongkat itu berbenturan dengan kepala
tongkat Hantu Muka Tembok.
Wuuut, traakk...!
Blaarrr...! Cahaya merah menyebar dalam
sekejap. Ledakan yang timbul akibat benturan tongkat dengan tongkat itu membuat
Nini Sawandupa terlempar hingga tubuhnya membentur pohon dengan
kerasnya. Duuur...! Daun-daun pohon pun berguguran
akibat benturan tubuh Nini Sawandupa.
Nenek itu langsung terkulai lemah dengan sekujur tubuh merah matang seperti
kepiting rebus.
Ledakan yang tampaknya tak seberapa dahsyat itu ternyata telah mempunyal
kekuatan beracun tinggi. Gelombang ledakannya menyebarkan racun ke dua arah yang
membuat Hantu Muka Tembok sendiri terkapar dalam jarak tujuh langkah ke belakang
setelah terlebih dulu tubuhnya melayang bagai dilemparkan tangan raksasa. Kakek
berjubah abu-abu itu mengerang lirih tak bisa bangkit lagi.
Sekujur tubuhnya menjadi merah
kebiru-biruan. Rupanya ia terluka lebih parah dari Nini Sawandupa. Matanya
terbeliak-beliak dengan mulut
ternganga. "Celaka Keduanya bisa sama-sama mati di sini kalau tidak segera kutolong"
pikir Raka Pura. Maka ia bergegas hampiri Nini Sawandupa lebih dulu. la
selamatkan nyawa Nini Sawandupa dengan jurus
'Sambung Nyawa'-nya. Jurus itu pun segera diguna-kan untuk menolong keadaan si
Hantu Muka Tembok.
Namun agaknya Hantu Muka Tembok
masih mempunyai tenaga cadangan. Melihat Raka Pura mendekatinya, ia menyangka
anak muda itu bermaksud buruk padanya.
Serta merta kakinya berkelebat menendang ke perut Raka dengan tenaga dalam
tinggi. Wuutt, beehk...!
"Uuhkk...!" Raka Pura mendelik dengan sedikit bungkuk. la sama sekali tak
menyangka akan mendapat fendangan segarias itu. Mulut Raka pun segera lelohkan
darah kental dengan napas bagai menyumbat di tenggorokan. Seluruh urat dan
persendian terasa hilang dari tubuhnya, sehingga ia pun segera jatuh terpuruk
tanpa daya lagi.
Hantu Muka Tembok mencoba bangkit walau dengan bantuan tongkatnya. la menahan
luka parahnya sambil pandangi tubuh Nini Sawandupa yang memancarkan cahaya ungu.
"Gawat! Rupanya si Sawandupa punya ilmu baru yang bisa memancarkan cahaya ungu
dari sekujur tubuhnya! Ooh...
keadaanku sangat parah. Tak mungkin aku bisa kalahkan dirinya untuk saat ini.
Tapi... sebaiknya kucoba dengan jurus baruku yang dapat menyerap habis tenaga
dan kesaktiannya itu!"
Hantu Muka Tembok segera mengangkat tangan kirinya. Tapi ketika tangan kiri itu
bergerak naik, tiba-tiba pandangan matanya menjadi buram dan detak
jantungnya sangat cepat.
"Uuhk...! Tenaga intiku makin membakar bagian dalam tubuh! Sebaiknya
kutangguhkan dulu rencanaku! Uuh...!"
Hantu Muka Tembok nyaris tak mampu bertahan lagi. Untung tenaga cadangannya
masih tersisa, sehingga dapat diper-
gunakan untuk melarikan diri dari tempat tersebut. Sedangkan Nini Sawandupa
masih memancarkan cahaya ungu samar-samar dari tubuhnya. Cahaya itu segera redup
dan hilang sama sekali. Maka luka pun hilang dan kekuatan pun pulih kembali. la
terkejut melihat Raka Pura meringkuk dengan lemas sekali.
Mata sang nenek membelalak lebar, menatap ke sana-sini dengan liar.
"Gumarah!" teriaknya. "Biadab kau, Gumarah! Mengapa kau lawan anak semuda dia,
hah"! Keluar kau, Gumarah!"
Kemarahan nenek yang rambut
putihnya terlepas dari kondenya itu segera memeriksa keadaan Raka Pura dengan
cemas, karena ia masih ingat bahwa anak muda itulah yang tadi telah dua kali
selamatkan jiwanya dari luka berbahaya.
"Celaka! Hantu itu telah menggunakan jurus pelumpuh indera, yang membuat anak
ini seperti mati! Agak sulit membebaskan pelumpuh indera ini! Tapi akan kucoba
di rumah saja. Sebaiknya dia kubawa pulang sambil menghampiri cucuku di tempat
pertarunganku dengan si keparat Peri Kenanga itu!"
Maka tanpa canggung lagi, Nini
Sawandupa mengangkat tubuh kekar pemuda tampan itu dan memanggulnya di pundak.
Dalam keadaan tua renta dan bertubuh kurus begitu, ia mampu memanggul badan
sekekar Raka. Jika tidak menggunakan ilmu tenaga dalam, tak mungkin seorang
nenek renta mampu memanggul beban seberat itu. Bahkan mampu sambil berlari
dengan gerakan cukup cepat.
"Edan! Ke mana si Ratih Selayang"!"
gumamnya dalam hati ketika tiba di tempat pertarungannya dengan Peri Kenanga
tadi. la memandang ke sana sini mencari cucunya.
"Apakah sudah pulang ke rumah"
Hmm... sebaiknya aku segera ke rumah saja sambil cepat-cepat mengobati anak muda
ini. Oh, kurasa Ratih akan suka dengan pemuda tampan ini!"
Nini Sawandupa segera bergegas
menuju ke pondoknya. Tetapi ketika sampai di pondok, Ratih Selayang tidak ada di
tempat. Hal yang mengejutkan lagi, keadaan rumah itu sangat berantakan, morat-
marit ke sana-sini. Pondok itu bagai habis diterjang badai bagian dalamnya saja.
"Jahanam!" geram Nini Sawandupa.
"Siapa yang berani lakukan hal ini di rumahku"! Bangkai busuk betul orang itu!
Pasti dia mencari peta, dan... oh, bagaimana keadaan cucuku"! Di mana dia
sekarang"!" Nini Sawandupa menggeram kuat-kuat, pandangan matanya memancarkan
murka yang tak terlampiaskan.
"Apakah si Hantu Muka Tembok tadi datang kemari lebih dulu sebelum
menemuiku di sana"! Atau... ada pihak lain yang mempunyai maksud sama dengan si
Hantu Muka Tembok dan Peri Kenanga"!"
* * * 6 MALAM itu, sebenarnya Ratih
Selayang berada tak jauh dari rumahnya.
Hanya terhalang sebuah bukit yang bisa ditempuh dalam waktu singkat. Tetapi
Ratih Selayang tak tahu kalau rumahnya diacak-acak orang. Mungkin karena hatinya
terlalu sibuk bersorak
kegirangan mendapat kenalan ganteng, maka nalurinya menjadi tak begitu peka.
Pada saat Soka Pura telah sehat dan bermaksud dibawa pulang ke rumah, Ratih
Selayang sempat berpikir buruk tentang tanggapan neneknya nanti.
"Jangan-jangan nenek akan marah padaku jika aku pulang membawa seorang pemuda"
Dia akan menyangkaku hanya bisa bersenang-senang sementara nenek
bertaruh nyawa melawan Peri Kenanga.
Hmmm...! Sebaiknya Soka kubawa ke hutan balik bukit saja. Aku ingin menikmati
keindahan malam terang bulan bersama Soka di sana. Pemandangannya lebih indah,
suasananya lebih menyenangkan daripada di rumah."
Karenanya, Ratih Selayang pun
segera berkata kepada Soka Pura, "Maukah kau menikmati pemandangan yang indah di
balik bukit itu?"
"Mengapa tidak" Tapi bukankah sekarang senja sudah hampir berganti malam?"
"Justru kita di sana bisa menikmati matahari tenggelam perlahan-lahan di garis
cakrawala! Aku ingin tunjukkan padamu tempat yang berpanorama indah di daerahku
ini!" Tentu saja tawaran itu anti
penolakan bagi Soka. Hatinya pun
bersorak kegirangan ketika tangannya digandeng Ratih Selayang dan si gadis
mengajaknya berlari mendaki lereng bukit. Mereka tertawa-tawa dalam suasana
ceria saat menuruni lereng bukit
berpohon renggang.
Ternyata pemandangan di sana memang cukup indah. Selain hutan itu berpohon
jarang, pandangan mata dapat terlempar luas dan jauh, sejauh batas cakrawaia. Di
hutan itu pun ada gua kecil yang bagian depannya berumput pendek dan rata. Gua
itu sering dipakai beristirahat oleh si gadis. Sungguh sebuah tempat yang nyaman
untuk menghibur hati yang sedang
dirundung kesedihan. Bebatuannya pun dapat dipakai untuk duduk santai sambil
menikmati sang mentari mundur dari peredarannya.
"Aku sering duduk di sini hingga berlama-lama," ujar Ratih Selayang.
"Kadang aku bermalam di dalam gua itu.
Gua itu sudah seperti tempat tidurku sendiri."
"Dengan siapa kau di sini" Pasti dengan seorang pemuda," Soka sengaja menggoda
sebagai pancingan.
Gadis itu mencibir. "Hmmm...! Kau pikir aku mudah akrab dengan setiap pemuda"
Baru sekarang aku datang ke tempat ini bersama seorang pemuda.
Kaulah satu-satunya pemuda yang
beruntung, Soka."
"Benarkah?"
sambil Soka makin
mendekat dan pandangan mata mereka saling beradu.
"Gadis secantik kau biasanya punya kekasih lebih dari tiga."
"Enak saja" Ratih Selayang mencibir lagi. "Apa kalau sudah cantik kekasihnya
harus lebih dari tiga?"
"Biasanya...!"
"Aku bukan gadis biasanya!" sentak Ratih Selayang sambil cemberut dan palingkan
wajah. Soka Pura girang melihat reaksi seperti itu. la segera memegang kedua
pundak gadis itu dari belakang dan berbisik dalam suara penuh kelembutan.
"Aku hanya bercanda. Tak mungkin aku menganggapmu gadis senakal itu."
Debar-debar keindahan kian
melambungkan jiwa Ratih Selayang, karena itulah ia bertambah sewotnya biar
mendapat sambutan lebih mesra lagi.
"Aku tidak suka pemuda yang mudah menilaiku serendah itu."
"Maafkan aku, Ratih. Jangan marah begitu, nanti kau tambah cantik dan aku tambah
kebingungan menghindarimu."
"Jadi kau punya rencana mau
menghindar"!" Ratih Selayang palingkan wajah pandangi Soka dengan mata
bundarnya yang seakan memantulkan cahaya senja itu. Soka Pura hanya sunggingkan
senyum sambil gelengkan kepala. Itu pun sudah membuat hati Ratih Selayang
semakin berdesir-desir lagi.
"Apakah itu mungkin" Walau baru sekejap bertemu, aku merasa seperti sudah
bertahun-tahun mengenalmu.
Rasa-rasanya akan sulit menghindar darimu, Ratih."
"Benarkah ucapanmu itu, Soka?"
Pemuda berambut sepundak itu hanya anggukkan kepaia sambii sunggingkan senyum.
Senyum itu memancing si gadis untuk membalasnya dengan lebih lembut lagi.
Makin lama Soka makin mendekatkan wajah. Hembusan napasnya terasa
menghangat di wajah Ratih Selayang.
Ternyata gadis itu tetap diam walau wajah Soka semakin dekat. Bahkan kini mata
si gadis pun memejam pelan-pelan. Soka tak bisa hentikan gerakan kepalanya yang
membuat bibirnya menjadi bersentuhan dengan bibir Ratih Selayang.
Bibir ranum itu tak mau merekah.
Namun pegangan kedua tangan Ratih Selayang di pundak Soka terasa gemetar.
Bahkan ketika bibir itu dikecup
pelan-pelan oleh Soka, getaran tangan Ratih Selayang semakin bertambah keras.
Tangan itu pun meremat bagai menahan ledakan rasa nikmat akibat lidahnya dipagut
pelan-pelan oleh Soka Pura.
Sekalipun kemesraan seperti itu
belum pernah didapat oleh Soka, tetapi naluri kemesraan seorang manusia telah
membimbingnya sendiri untuk mencari keindahan pada diri lawan jenisnya.
Naluri itu menuntun gerakan Soka yang sekiranya menghadirkan keindahan lebih
tinggi lagi. Tangan pun tak bisa tinggal diam. Sekalipun hanya mengusap punggung
gadis itu, namun debar-debar keindahan terasa semakin nyata dan melenakan sukma.
Tapi ketika tangan Soka mulai
merayap ke dada Ratih Selayang, gadis itu buru-buru mencekal tangan tersebut.
Kecupan bibir mereka terputus, karena merenggangkan jarak dengan sendirinya.
Dengan napas yang sudah tidak teratur lagi, Soka menatap Ratih Selayang sambil
bisikan kata bernada keluh.
"Aku hanya ingin menyentuhnya.
Hanya menyentuh saja, Ratih."
Gadis itu gelengkan kepala. "Aku tak ingin."
"Mengapa" Tak bolehkah jika aku hanya ingin merasakan kehangatan sebatas dada
saja?" Ratih Selayang gelengkan kepala
lagi. "Aku belum pernah. Aku takut, Soka," sambil mata si gadis tetap sayu.
Ketika mereka sama-sama bungkam dan saling tatap, Ratih Selayang menggigit
bibirnya sendiri bagai menahan keresahan yang menyiksa jiwa. la pun akhirnya
merebahkan kepala di dada bidang Soka Pura. Pemuda itu menautkan kedua
tangannya dalam satu pelukan yang menghangat di tubuh Ratih Selayang.
Tangan yang memeluk itu akhirnya
meraba-raba punggung Ratih Selayang.
Rabaan lembut terasa menggetarkan hati, menerbangkan jiwa si gadis. Terlebih
setelah usapan lembut itu merayap ke bawah dan meremas di bagian bawah pinggul,
Ratih Selayang mendesah lirih dengan mata terpejam dan kepala semakin dirapatkan
ke dada Soka. Tangan gadis itu juga memeluk dan meremas punggung Soka sebagai
tempat bertahannya luapan hasrat yang tak berani dinyatakan dalam
lahiriah. Hanya saja, tiba-tiba seberkas
sinar merah melesat cepat di luar dugaan mereka. Dalam keadaan dihanyutkan oleh
asmara, tiba-tiba seorang melepaskan pukulan jarak jauh berupa sinar merah yang
segera menghantam pinggang belakang Soka.
Weess...! Deeb...! "Aaakh...!"
"Soka..."!" Ratih Selayang segera tarik diri dan memandang Soka. Pemuda itu
mengejang dengan kepala sedikit
terdongak, mataterbelalak, mulut
ternganga dan tak bergerak sedikit pun bagaikan patung. Tetapi warna kulitnya
segera berubah menjadi kemerah-merahan.
"Soka..."! Kenapa kau"! Kenapa kau, Soka"!" Ratih Selayang sangat tegang dan
panik. la mengguncang-guncang tubuh Soka, tapi pemuda itu benar-benar bagaikan
patung yang tak bisa bergerak sedikit pun. Bahkan ucapkan kata lirih pun tak
mampu. "Oh, Soka..."! Pasti ada orang yang menyerang kita, Soka!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar
dengan jelas di belakang Soka Pura.


Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia tak akan bisa bergerak dan bicara. Jurus totokan 'Tapak Merah'ku akan
membuatnya diam selamanya bagaikan patung. Tak akan bisa bergerak dan hidup
seperti biasanya jika tak kulepaskan totokan!"
Suara kalem itu milik seorang
perempuan. Ratih Selayang segera
pandangi perempuan berjubah merah yang berdiri dengan angkuhnya. Perempuan
berjubah merah itu berusia sekitar tiga puluh tahun dan mengenakan pakaian yang
seronok. Jubahnya tak dikancingkan, sementara pakaian dalam yang menutupi bagian
atas dan bawah hanya sekelumit saja. Terlalu kecil, sehingga apa yang
ditutupi itu tampak mengintip sedikit dari kain penutupnya.
Rupanya si gadis sudah mengenali
perempuan itu, sehingga ia pun segera menyapa dengan nada berang.
"Dasar perempuan jahanam! Mengapa kau menotoknya, Ranum Sani"!"
"Sudah tiga hari aku mencari pemuda berperawakan seperti dia, tapi baru sekarang
kudapatkan!"
"Jangan coba-coba menyentuhnya jika kau tak ingin kukirim ke neraka, Ranum
Sani!" gertak Ratih Selayang dengan berani, padahal ia sadar bahwa Ilmunya lebih
rendah dibanding ilmu lawannya.
Tapi demi mempertahankan pemuda tampan itu.
"Hik, hik, hik, hik...," Ranum Sani menertawakan gertakan itu. "Bocah kemarin
sore berani menggertakku"! Oh, alangkah malang nasibmu, Nona! Aku tak akan
ampuni kesalahanmu jika kau berani menggertakku kedua kalinya!"
Ranum Sani maju dua langkah, Ratih Selayang bergeser ke kiri menghadang langkah
itu agar tak menyambar Soka yang masih berdiri bagaikan patung itu.
Trisulanya segera dicabut dan siap digunakan menyerang lawan
sewaktu-waktu. Ranum Sani masih tampak tenang, sunggingkan senyum sinis,
berjalan pelan mengelilingi Soka Pura, sementara Ratih Selayang ikut bergerak
dan selalu memunggungi Soka Pura.
"Ratih Selayang, lebih baik aku membunuhmu daripada aku gagal
mendapatkan pemuda seperti dia! Karena kegagalanku berarti hukuman terberat yang
harus kuterima dari sang ketua! Aku tak mau terkena hukuman lagi karena gagal
mencuri peta wasiat dari tangan
nenekmu!" "Persetan dengan kegagalanmu! Lebih baik kau pulang ke Kuil Darah Perawan
sekarang juga! Ketuamu, si Peri Kenanga itu, mungkin telah dibunuh oleh nenekku
dalam perjalanan melarikan diri pulang ke Kuil Darah Perawan!"
"Kau benar-benar tak bisa diberi ampun lagi! Menggertakku dua kali sama saja
siap melepaskan nyawa!"
"Demi mempertahankan Soka Pura, aku siap mengorbankan nyawa!" ujar Ratih
Selayang dengan lantang.
"Hiaat...!" Ranum Sani membuka kuda-kuda dengan kedua tangan berkuku runcing
terangkat ke atas pundak, tubuh bergeser ke kiri hingga menghadapi lawan dalam
keadaan menyamping. Jubahnya dihembus angin senja bersama gerakan rambutnya yang
bergerai dipermainkan angin juga.
Ranum Sani ternyata adalah anak buah Peri Kenanga dari Kuil Darah Perawan, yaitu
sebuah kelompok perempuan
beraliran sesat yang terdiri dari para pelacur liar. Ranum Sani ditugaskan untuk
mencuri peta wasiat, yaitu peta
tentang jalur jalan menuju Gua Mulut Naga. Tetapi ia gagal memperolehnya, dan
sebagai hukumannya ia harus menda-patkan seorang pemuda berperawakan tinggi,
gagah, kekar dan tampan, la harus menundukkan pemuda itu, lalu
mempersembahkan kepada sang ketua sebagai pelayan gairah sang ketua. Jika tugas
itu gagal juga, maka ia akan dihukum berat yang dapat membuatnya cacat seumur
hidup. "Rumahmu sudah kuobrak-abrik dan ternyata peta wasiat itu memang tidak ada!
Sekarang harapanku hanya ada pada pemuda itu, Ratih Selayang. Jika kau
menghalangiku, maka terimalah jurus penembus jantungmu ini! Heeah...!"
Ranum Sani tiba-tiba melepaskan
pukulan jarak lima langkah. Pukulan itu berupa sinar kuning seperti telur ayam
yang melesat dari telapak tangan
kirinya. Claaap...! Melihat cahaya kuning melesat ke
arahnya, Ratih Selayang segera tempelkan telapak tangan kirinya ke ujung gagang
trisula, kemudian kedua tangan itu menyentak ke depan.
Claap...! Dari ujung runcing trisula melesat sinar merah panjang tanpa putus yang segera
menghantam cahaya kuning tersebut.
Blaaarr...! Ledakan besar mengeluarkan
gelombang panas. Gelombang hawa panas itu menghempas tubuh Ratih Selayang.
Wuuuss...! "Aahk...!" Ratih Selayang pun terpekik, tubuhnya terhempas ke
belakang, nyaris membentur tubuh Soka yang mematung. la jatuh di depan kaki So-
ka dalam keadaan menyeringai menahan hawa panas yang menyengat sekujur tubuhnya,
sedangkan Ranum Sani tampak tidak mengalami cedera apa pun kecuali hanya
tersentak mundur satu langkah.
Ratih Selayang bergegas bangkit
waiau sambil menahan rasa sakit di permukaan kulit tubuhnya. Tetapi
tiba-tiba Ranum Sani melemparkan sesuatu yang diambil dari balik jubahnya.
Weess...! Slaatt...! Sebatang jarum merah melesat cepat dan nyaris tak terlihat mata Ratih Selayang.
Jarum itu gagal ditangkis dengan tebasan trisuia, akhirnya
menancap di bawah pundak kanan.
Jruub...! "Uuhk...!" Ratih Selayang mengejang sambil menyeringai makin kuat. Ia mencoba
bertahan dan ingin lakukan serangan lagi. Tapi langkahnya menjadi limbung. Jarum
beracun itu telah bekerja cepat dalam darahnya dan melemahkan seluruh urat
sarafnya. "Oohk...! Oohk...!" Ratih Selayang semakin terhuyung-huyung. la mulai sadar akan
keadaan dirinya yang tak akan mampu melawan Ranum Sani. Maka dengan sisa
tenaganya, ia mencoba larikan diri mencari sang nenek.
"Hik, hik, hik...! Memang
selayaknya kau melarikan diri dan tak perlu unjuk kesetiaan lagi, Ratih
Selayang!" Ranum
Sani menertawakan
hingga terkikik-kikik. Ratih Selayang tak peduli, ia tetap lari dan berlari
terus menuju rumahnya.
Tetapi sampai di rumah ternyata yang ia temukan hanyalah keadaan yang
berantakan. Ratih Selayang segera tahu, bahwa Ranum Sanilah yang mengacak-acak
isi rumahnya untuk mencari peta wasiat.
Karena gagal, Ranum Sani pergi ke arah balik bukit. Tanpa disengaja ia temukan
Ratih Selayang bersama Soka Pura.
Ratih Selayang segera mencari
neneknya ke arah pertempurannya dengan Peri Kenanga tadi. Karena sang nenek
belum muncul di tempat itu, Ratih Selayang pun segera pergi mencari sang nenek
ke mana-mana. Senja yang kian tua membuat Ratih Selayang tak sadar telah
bersimpang jalan dengan sang nenek yang menuju ke pondoknya sambil memanggul
Raka Pura. Sementara itu, Ranum Sani bersorak kegirangan dalam hatinya. la berhasil
dapatkan pemuda yang sesuai dengan keinginan sang ketua. Bahkan dalam hatinya,
Ranum Sani mengakui ketampanan Soka Pura.
"Dia benar-benar tampan dan
menggairahkan sekali!" sambil memperhatikan Soka sampai mengitarinya.
"Dadanya bidang, lengannya kekar,
wajahnya tak membosankan dan... oh, sungguh menggiurkan sekali pemuda ini."
Ranum Sani mendesis pelan sambil
meremas dadanya sendiri. Pandangan matanya mulai sayu, pertanda api gairah telah
membakar hasratnya untuk bercumbu.
"Sebaiknya kurasakan dulu keha-ngatannya sebelum kuserahkan kepada sang ketua!
Oh, kebetulan ada gua di sebelah sana! Kurasa gua itu dapat dipakai mengetahui
apakah ia benar-benar jantan atau biasa-biasa saja" Hmmm... masih muda, lagi!
Hik, hik, hik...!"
Ranum Sani segera memanggul tubuh Soka yang masih belum dibebaskan dari pengaruh
totokannya tadi. la membawa masuk pemuda itu ke dalam gua. Ternyata gua itu
tergolong berkeadaan rapi. Punya susunan jerami yang membentang bagaikan kasur,
punya bebatuan yang menyerupai dinding penyekat, punya sisa kayu bakar sebagai
tanda gua itu pernah dipakai bermalam seseorang yang menyalakan api unggun.
Ranum Sani tak tahu bahwa Ratih Selayang sering datang ke gua itu untuk
menyendiri, merenungi khayaiannya yang tak jauh dari persoalan jodoh dan cinta.
Soka Pura dibaringkan di atas kasur jerami buatan Ratih Selayang. Keadaannya
masih seperti patung bernyawa.
Ranum Sani segera melepaskan
totokannya. Soka terkejut dan langsung bangkit, duduk dengan mata terbelalak dan
mulut terbengong. ia merasa heran begitu melihat seraut wajah cantik yang tak
lagi imut-imut.
"Oh..."! Mengapa wajahmu berubah, Ratih"!"
"Aku...," Ranum Sani tak jadi lanjutkan ucapannya. Semula ia ingin mengaku
sebagai Ranum Sani, sedangkan Ratih Selayang sudah meiarikan diri. Ta-pi agaknya
ia punya pemikiran lain, sehingga lanjutan kata-katanya pun menjadi berbeda.
"Hmm, iya... memang beginilah wajah asliku sebenarnya. Apakah... apakah kau tak
suka dengan wajah asliku jika sedang kasmaran begini"!"
Soka Pura kerutkan dahinya,
pandangi perempuan cantik yang mempunyai kematangan dalam bersikap di depan
lawan jenisnya itu. Soka tak ingat apa-apa tentang kejadian yang tadi dialami
saat berpelukan dengan Ratih Selayang. Bahkan Soka tak merasa terkena totokan
atau serangan apa pun. Karenanya la merasa baru saja sadar dari lamunan dan
menemukan Ratih Selayang sudah berubah
menjadi perempuan cantik yang punya wajah menantang gairah.
"Bee... benarkah kau jika kasmaran menjadi berubah secantik ini?"
"Katakan saja kalau kau tak suka dengan wajah asliku ini!" Ranum Sani berlagak
cemberut, seperti yang
dilihatnya saat Ratih Selayang sewot di depan Soka.
Melihat kecemberutan itu, Soka Pura pura-pura meraih pundak Ranum Sani dan
menghadapkan wajah itu ke arahnya.
"Ratih, jangan salah sangka. Aku justru suka sekali melihat kecantikanmu yang
asli begini! Jangan marah, Ratih,"
bujuk Soka dengan senyum dan kelembutan yang menawan hati Ranum Sani.
"Benarkah kau tak menyesal berada di gua ini bersamaku?"
"Tidak. Tapi... oh, ya... apakah ini gua yang ada di belakang kita tadi?"
sambil Soka memandang ke arah luar dengan berlutut, karena pandangannya ke arah
luar terhalang batu serupa dindlng sebatas perut.
"Memang ini gua yang ada di belakang kita," sambil tangan Ranum Sani meraih
tangan Soka agar pemuda itu duduk kembali.
"Aku tak menyangka kau bisa berubah wajah jika sedang bergairah," ujar Soka
sambil mengusap pipi Ranum Sani. "Apakah benar kau sedang bergairah?"
Perempuan bermata sayu itu
anggukkan kepala dengan senyum nakal.
Bibirnya yang menggiurkan dipamerkan dengan sesekali dijilatnya sendiri. Soka
Pura memandanginya dengan hati
berdebar-debar. Mata pemuda itu semakin nakal ketika menatap ke dada yang tampak
lebih besar dari milik Ratih Selayang.
"Kenapa kau memandangi terus" Kau mau?" tawaran itu bagai tantangan yang membuat
dada Soka bergemuruh.
"Kalau kau suka ambil saja!" tambah Ranum Sani sambil menyodorkan dadanya.
Tapi pemuda itu justru salah tingkah dan tampak makin gemetar. la hanya
tersenyum-senyum dengan keraguan yang menggundahkan hati. Ranum Sani tak sadar
dan segera meraih tangan Soka, lalu menempelkan di dadanya.
"Ambillah, jangan takut!"
Soka semakin sesak napas. "Tadi dia tak berani, sekarang dia sangat berani.
Apakah semua wanita selalu begitu?"
pikir Soka saat belum berani lakukan apa-apa. Tapi karena tangannya ditekan
masuk oleh tangan Ranum Sani hingga menyelusup di balik penutup dada itu, maka
tangan Soka pun mulai rasakan kehangatan yang begitu cepat mengalir ke seluruh
tubuh. Tangan itu pun secara naluriah bergerak pelan-pelan dan membuat jantung
berdetak sangat cepat.
"Oouuh...! Ssshh, aahhh...!" Ranum Sani mulai mendesah dengan mata
terbeliak. Wajahnya maju sedikit, dagunya terangkat, bibirnya merekah, dan
naluri pemuda itu mengatakan bahwa bibir sedikit tebal tapi indah itu minta
dikecup seperti tadi. Maka, Soka pun menempelkan bibirnya ke bibir Ranum Sani,
kemudian bibir itu dilumatnya.
Kejap berikutnya ganti bibir Soka yang dilumat dengan ganas dan melambungkan
jiwa. Karena pada saat itu tangan Ranum Sani pun tak tinggal diam. Tangan itu
menyelusup dan menemukan apa yang diharapkan oleh puncak cumbuan itu.
"Ahhh..!" perempuan itu hamburkan napas melalui mulut la mulai merebah dan
membentang pasrah. Tapi Soka hanya menciumi wajah dan mengecup-ngecup bibir
Ranum Sani. Hal itu membuat Ranum Sani berkesimpulan bahwa Soka belum paham
betul jurus-jurus kemesraan yang
seharusnya dilakukan.
"Ambillah ini... Ambil dan pagutlah pelan-pelan...!" sambil ia menyodorkan
dadanya dan menarik kepala Soka agar mendekati sepasang gumpalan daging yang
menggunung itu. Soka pun segera
menyambar ujungnya dan memagut
pelan-pelan. "Oouh, yaaah... nikmat sekali.
Terus... jangan berhenti... uuuh, terus....." Ranum Sani mulai berceloteh disela
desah napas dan erangan
kenikmatan. Secara tak sengaja ia telah menjadi pemandu kemesraan bagi Soka
Pura, karena tanpa dipandu Soka Pura masih terlalu kaku memainkan irama
keindahannya. "Rupanya ia masih perjaka," pikir Ranum Sani dengan hati kian
berdebar-debar.
"Biarlah sekarang sampai di sini dulu. Nanti di kuil akan kuhabisi. Aku akan
bermalam di sini dan membawanya ke kuil esok pagi saja!" pikir Ranum Sani saat
mereka mulai mengantuk.
Esoknya pemuda itu tertegun, diam tak berkata, hanyut dalam lamunan. Ranum Sani
menertawakan tanpa suara, lalu mencubit hidung Soka sambil menyapa genit.
"Kenapa melamun"! Apakah kau kecewa karena belum menikmati kebahagiaan sejati?"
"Tidak, Ratih. Aku tidak kecewa."
"Lalu, mengapa kau melamun" Apa yang kau lamunkan?"
"Seharusnya aku tidak ada di sini Seharusnya kau bersama Raka pergi ke suatu
tempat." Ranum Sani tersentak kaget, namun buru-buru menutupi kekagetannya itu dengan
tawa yang berhamburan. Seakan ia menertawakan ucapan Soka yang
dilontarkan seperti orang menggumam itu.
"Mengapa kau tertawa?"
"Kau mengigau! Apakah kau tak tahu jalan menuju Gua Mulut Naga"!"
"Aku memang tidak tahu. Apakah kau mengetahuinya, Ratih"!" |
Ranum Sani cekikikan lagi. Tapi
hatinya membatin, "Siapa pemuda ini sebenarnya" Tadi ia mengaku bernama Soka,
tapi mengapa ia mencari Gua Mulut Naga" Oh, gawat juga! Apakah dia juga ingin
dapatkan Bunga Pucuk Darsi, seperti yang diharapkan sang ketua itu"!"
Sesaat setelah habiskan tawa yang dipaksakan itu, Ranum Sani pun memandang Soka
yang sejak tadi menatapnya dengan dahi berkerut dan merasa aneh karena kata-
katanya ditertawakan.
"Kurasa kau hanya berpura-pura tak tahu apa yang dimaksud Gua Mulut Naga itu."
"Aku memang tak tahu."
"Kau ingin tahu apa yang dimaksud Gua Mulut Naga?"
"Tentu. Jelaskan, Ratih."
Sambil tertawa kecil, Ranum Sani
meraih tangan Soka dan meletakkannya ke
'mahkota'-nya sendiri.
"Gua Mulut Naga itu ini!"
"Apa..."!" Soka terbelalak kaget.
"Ini mulutnya, dan... ini naganya!"
tangan itu dipindahkan Ranum Sani ke pangkal paha Soka sendiri. Perempuan itu
hamburkan tawa, sementara Soka menjadi terbengong melompong.
"Benarkah Gua Mulut Naga itu... ada di setiap perempuan?" tanya Soka dalam


Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya. Esok paginya, mereka terbangun
karena mendengar suara ledakan cukup keras. Bahkan gua tempat bermalam mereka
mengalami guncangan yang mencemaskan.
Untuk mengetahui apa penyebab ledakan itu, mereka pun bergegas keluar dengan
keadaan telah berpakaian lengkap.
Ternyata pertarungan di ujung pagi itu dilakukan oleh Nini Sawandupa dengan
seorang wanita berambut panjang sebahu, mengenakan rompi cekak warna putih perak
dan celananya juga berwarna perak.
Perempuan itu berbadan tinggi, sekal, montok, dan berkulit kuning langsat.
Sebilah pedang bergagang dan bersarung perak terselip di pinggangnya.
Pada saat Ranum Sani dan Soka Pura tiba di tempat tersebut, mereka melihat Nini
Sawandupa sedang terlempar ke belakang dan terbanting dengan kerasnya, sedangkan
perempuan berompi perak yang usianya sekitar empat puluh dua tahun itu hanya
terhuyung-huyung ke belakang.
Rupanya mereka baru saja mengadu
kekuatan tenaga dalam hingga timbulkan suara ledakan yang ketiga kalinya.
Ranum Sani terperanjat meiihat
perempuan yang menggenggam bumbung bambu kecil dengan ukuran sebesar tongkat dan
panjangnya sekitar dua jengkal itu. la
tak sadar menyebutkan nama perempuan berpakaian putih perak itu.
"Walet Perak..."!"
Soka Pura segera bertanya, "Walet Perak itu siapa"!"
"Sahabatku!" jawab Ranum Sani.
"Benarkah dia sahabatmu" Mengapa dia menyerang nenekmu?" tanya Soka Pura karena
ia masih beranggapan bahwa Ranum Sani adalah wujud asli dari Ratih Selayang.
Mendengar pertanyaan itu, Ranum
Sani segera gugup. ia tak sempat
menjelaskan bahwa Walet Perak adalah pelarian dari Pesisir Kulon, bekas orangnya
Ratu Cumbu Laras yang bergabung dengan pihak Kuil Darah Perawan. ( Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: Dendam Asmara Liar"). Karena tiba-tiba Ranum Sani
melihat Walet Perak terdesak oleh serangan Nini Sawandupa yang membahayakan,
maka Ranum Sani pun lepaskan pukulan jarak jauhnya ke punggung Nini Sawandupa.
Claap...! Sinar kuning itu meluncur cepat ke arah sang nenek.
Namun agaknya kewaspadaan sang
nenek cukup tajam. Saat ia ingin lepaskan pukulan lagi ke arah Walet Perak
sambil lakukan lompatan ke samping. ekor matanya melihat sinar kuning
mendekatinya. Langsung saja pukulan itu
dilepaskan ke arah datangnya sinar kuning tersebut.
Claap...! Cahaya merah berbentuk seperti mata tombak itu melesat dari tangan Nini
Sawandupa dan bertabrakan dengan sinar kuning tersebut.
Blegarrr...! Nini Sawandupa terlempar kembali
dan membentur sebatang pohon dengan keras. Sementara itu, Soka Pura
terperanjat melihat Ranum Sani menyerang Nini Sawandupa.
"Kenapa kau serang sendiri
nenekmu"!" sentak Soka Pura.
Melihat lawannya terlempar jatuh, Walet Perak segera menatap Ranum Sani, maka
pertanyaan Soka tidak terjawab, karena suara Walet Perak segera
terdengar berseru kepada Ranum Sani.
"Ranum Sani, halangi dia, Peta wasiat sudah kudapatkan! Akan kuserahkan kepada
sang ketua!"
Ranum Sani pun tinggalkan Soka dan segera menyerang Nini Sawandupa. Hal itu
membuat Saka Pura mulai sadar bahwa ia telah tertipu mentah-mentah oleh
pengakuan Ranum Sani tadi. Kini ia tahu bahwa Ranum Sani bukan Ratih Selayang,
terbukti ikut menyerang Nini Sawandupa dan memihak si Walet Perak. Entah di
pihak mana mereka, yang jelas Soka tahu bahwa Ranum Sani adalah musuh Nini
Sawandupa juga.
Maka ketika Ranum Sani mencabut
pedangnya dan ingin menebaskan ke pundak Nini Sawandupa, tangan Soka Pura segera
menyentak ke depan dalam keadaan kelima jarinya mekar dan telapak tangannya
telungkup. Claap, weees...!
Seberkas cahaya putih seperti pisau runcing melesat dari telapak tangan Soka
Pura. Jurus 'Cakar Matahari' yang meluncurkan sinar putih seperti pisau runcing
itu tepat kenai lambung Ranum Sani.
Cuurrb...! "Aaaahhk...!"
Jurus Cakar Matahari' tak
menimbulkan ledakan yang menggelegar.
Tetapi begitu sinar putih mirip pisau runcing itu menghujam masuk ke lambung
Ranum Sani, perempuan itu langsung jatuh tersung-kur bagai kehilangan tenaga
secara tiba-tiba.
Brruk...! Sedangkan sinar putih mirip pisau itu ternyata menembus keluar dari tubuh Ranum
Sani dan melesat cepat langsung kenai perut si Walet Perak. Kejadian itu sangat
tak diduga-duga oleh Walet Perak maupun Soka Pura sendiri. Soka hanya ingin mematahkan serangan Ranum
Sani tanpa mengarah kepada Walet Perak.
Currb...! Walet Perak segera memekik
tertahan, "Aaahk...!" tubuhnya melengkung ke belakang, dan segera tumbang tanpa mampu
bertahan lagi. Bambu kecil warna hitam itu terlempar dari genggaman si Walet
Perak. Nini Sawandupa yang bergegas
tegakkan kepaia memandangi lawannya juga ikut terkejut melihat kehadiran Ranum
Sani yang sudah dikenalnya, dan
tersentak kaget melihat si pemuda berpakaian serba putih berwajah tampan itu.
Tapi sang nenek berjubah kuning itu tambah kaget lagi setelah melihat Ranum Sani
dan Walet Perak terkapar tanpa bernapas lagi. Tubuh mereka hangus dan menjadi
arang pada bagian sekitar luka yang terkena sinar putih tadi. Bahkan pakaian
mereka di sekitar luka tanpa darah itu pun ikut terbakar hangus hanya di bagian
sekitar luka. Kedua tubuh itu menjadi tak berdarah, kering bagaikan kayu bakar,
sementara kehangusan itu berwarna hitam dan seperti arang. Tentu saja mereka tak
bernyawa lagi. Nini Sawandupa kerahkan sisa
tenaganya dan melesat untuk menyambar bambu sepanjang dua jengkal tersebut.
Agaknya bambu itu hanya satu ruas dan dipakai sebagai tempat menyimpan sesuatu
di bagian dalamnya.
Soka Pura segera dekati Nini
Sawandupa. la ingin menyapa dan
memperkenalkan diri, lalu ingin pula menceritakan perkenalannya dengan Ratih
Selayang. Tapi tiba-tiba sang nenek sudah lebih dahulu hamburkan omelan
kepadanya. "Dasar bandel! Kubilang lukamu belum sembuh betul dan kau harus
beristirahat sampai nantl siang! Mengapa kau justru menyusulku"! Kau sangka aku
tak sanggup menangkap pencuri peta wasiat ini"!"
Soka Pura jadi bingung dan
terbengong-bengong. Lalu ia segera berkata, "Maaf, Nek... kita belum saling
kenal. mengapa kau sudah memarahiku"!"
"Apa..."! Kau biiang kita belum saling meng-nal"! Kau pikir mata tuaku telah
rabun"! Kembali ke pondok dan istirahat sampai nanti siang!" sentak sang nenek
sambil serukan perihtah yang tidak berkesan permusuhan. Rupanya Nini Sawandupa
menyangka pemuda itu adalah Raka Pura yang harus beristirahat sampai nanti slang
setelah semalam lakukan pengobatan untuk lukanya.
Maaf, aku bukan Raka, Nek! Aku Soka, adiknya!"
"Hahh..."!" sang nenek pun terperangah kaget. la segera ingat cerita Raka
tentang sang adik dan pertengkaran Ratih Selayang dengan Raka Pura tadi malam.
Rupanya setelah Ratih Selayang
gagal mencari neneknya, ia kembali ke rumahnya yang telah berantakan bagian
dalamnya itu. Ia bertemu dengan sang
nenek yang sedang membaringkan Raka Pura di atas pembaringan. Dengan menahan
luka beracun yang makin melemahkan tenaganya itu, Ratih Selayang segera
menghamburkan pelukannya ke tubuh Raka Pura yang disangka Soka Pura itu.
"Soka..."! Oh, syukurlah kau tertolong oleh nenekku! Jika tidak, maka kau akan
menjadi santapan orang-orang Kuil Darah Perawan, Soka..."! Soka, bicaralah!"
Pada waktu itu, Nini Sawandupa baru bisa membuat Raka sadar dan bisa bicara,
tapi belum bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Melihat Ratih Selayang memeluk
dengan tangis, Raka Pura menjadi
kebingungan dan segera berkata pelan.
"Aku bukan Soka. Aku adalah Raka!"
"Bohong! Kau adalah Soka, aku tak mungkin lupa dengan wajahmu!"
"Aku kakaknya Soka!"
Perdebatah itu sempat terjadi
beberapa saat dan Ratih Selayang tetap tak percaya bahwa pemuda itu adalah
saudara kembar Soka Pura. Bahkan sampai saat sang nenek selesai mengobati luka
beracunnya, Ratih Selayang masih tetap beranggapan bahwa pemuda itu adalah Soka
Pura. Walau Raka mengaku mempunyai saudara kembar yang sangat mirip
dengannya, Ratih Selayang tetap tak mau percaya, karena menurut gadis itu tak
ada beda sedikit pun yang ditemuinya pada Raka. Jadi ia tetap menganggap pemuda
itu adalah Soka. Penjelasan sang nenek pun tidak membuat pendiriannya berubah,
sampai akhirnya sang nenek jengkel sendiri.
"Terserah kau sajalah! Mau kau anggap Soka atau Raka, aku tak mau pusing-pusing
lagi!" Meski luka di bawah pundaknya belum sembuh, tapi Ratih Selayang tetap membantu
neneknya mengobati pemuda tampan itu. Bahkan semalaman ia tak tidur demi menjaga
pemuda itu sambil lakukan perawatan kecil-kecilan.
Pada waktu matahari mulai muncul, Nini Sawandupa terbangun dari tidurnya karena
tiba-tiba hatinya berdebar-debar dan menjadi cemas sekali. Ada sesuatu yang
membuatnya makin lama semakin cemas, akhirnya ia pun keluar dan menuju ke
belakang rumah. Cahaya matahari yang telah menerangi bumi secara samar-samar itu
menampakkan gerakan Nini Sawandupa yang melesat ke atas pohon dalam satu
sentakan kaki ke tanah.
Wuuut...! Ternyata Nini Sawandupa mengambil sesuatu dari dahan besar yang berlubang.
Ternyata yang diambilnya adalah bambu hitam satu ruas. Bambu hitam itulah yang
dicemaskannya, karena bambu itu berisi gulungan peta wasiat peninggalan
gurunya. Nini Sawandupa merasa lega melihat gulungan peta itu masih ada di dalam
bumbung bambu Itu dengan aman. la
sempat mengeluarkan
dan memeriksa gulungan lontar tersebut.
Ternyata rumah itu sudah diintai
oleh seseorang sejak tengah malam. Orang tersebut tidak lain adalah si Walet
Perak. Perempuan itu melihat Nini Sawandupa keluarkan gulungan lontar dari dalam
bambu sepanjang dua jengkal. la langsung menduga bahwa gulungan lontar itulah
peta wasiat yang dicarinya.
Maka dengan satu kekuatan tenaga
dalam penyedot, peta yang sudah
dimasukkan kembali ke dalam bambu dan bambu itu sudah dalam keadaan tertutup
lagi, siap untuk disimpan di tempatnya semula, tiba-tiba terlepas dari tangan
Nini Sawandupa.
Wuuutt...! Bambu itu melayang sendiri dan
tertangkap di tangan Walet Perak.
"Keparat kau! Kembalikan benda itu!" teriak Nini Sawandupa, tapi teriakan itu
tak dihiraukan. Walet Perak segera melarikan diri dan Nini Sawandupa segera
mengejarnya, sehingga terjadilah pertarungan di lereng bukit tak jauh dari gua
tempat Soka dan Ranum Sani bermalam.
Kini ketika Nini Sawandupa membawa pulang Soka, Ratih Selayang menjadi terkejut
bukan kepalang. la sedang menyeka wajah Raka Pura dengan air hangat dengan penuh
kesetiaan. Begitu Soka muncul, gerakan itu terhenti dan sempat dilanjutkan.
"Raka..."!" sapa sang adik dengan cemas melihat keadaan kakaknya.
Kemudian, Soka pun sembuhkan luka sang kakak dan kembalikan kekuatan Raka Pura
dengan menggunakan jurus pengobatan yang dinamakan jurus Sambung Nyawa' itu.
"Pantas pemuda ini dingin
terhadapku, ternyata dia memang
benar-benar bukan Soka Pura"! Aiih...
malu sekali aku kalau begini!" gumam hati Ratih Selayang sambil berdiri menyudut
ketika si kembar itu berunding dengan neneknya.
Raka dan Soka akhirnya jeiaskan
tujuan mereka sebenarnya, dan ceritakan tentang tugas mengambil pusaka di dalam
Gua Mulut Naga. Karena guru-nya Nini Sawandupa adalah sahabat baik mendiang
Eyang Guru Dewa Kencan, akhirnya nenek berjubah kuning itu serahkan peta
tersebut kepada murid kembar si Dewa Kencan.
"Jika benar ada pusaka di dalam gua itu, pergilah ke sana dan ambil pusaka itu
sebelum didahului oleh orang lain.
Aku rela jika kalian yang datang ke sana dengan bantuan peta wasiat ini!" kata
Nini Sawandupa dengan tegas, tanpa ragu sedikit pun.
"Apakah si Hantu Muka Tembok, Peri Kenanga atau yang lainnya juga
menghendaki pusaka tersebut, Nini?"
tanya Raka. "Mereka tidak tahu," jawab Nini Sawandupa dengan suara petan. "Mereka hanya
ingin memetik Bunga Pucuk Dara yang akan membuat lawan jenis pemilik bunga itu
akan tunduk dan bertekuk lutut tanpa syarat lagi. Pemilik Bunga Pucuk Dara akan
menjadi penguasa yang ditakuti tapi juga dicintai bagi lawan jenisnya. Bunga
itulah yang diincar oleh mereka!"
Raka dan Soka manggut-manggut
dengan hati lega. Dan siang harinya, mereka pun segera pamit untuk berangkat
menuju Gua Mulut Naga dengan bantuan peta tersebut.
"Aku ikut!" tegas Ratih Selayang.
"Tidak, Ratih!" sahut neneknya.
"Ini urusan perguruan mereka. Kita hanya bisa doakan supaya mereka berhasil
dapatkan pusaka Pedang Tangan Malaikat.
Sebab seingatku, mendiang eyang gurumu pernah berkata, siapa yang memiliki
Pedang Tangan Malaikat dia berhak menyandang gelar pendekar, karena pusaka itu
memang sebenarnya milik sepasang pendekar yang hidup di masa sekitar dua ratus
tahun yang lalu."
Ratih Selayang kecewa, namun tak
berani menentang keputusan sang nenek.
Hanya saja, hati gadis itu menjadi sedikit terhibur setelah Soka Pura berjanji
akan mengunjunginya kembali jika pusaka itu telah diperolehnya.
Pemuda kembar itu akhirnya
berangkat menuju Gua Mulut Naga.
Tetapi berhasilkah mereka dapatkan Pedang Tangan Malaikat jika banyak pihak yang
ingin sampai lebih dulu di gua tersebut" Mereka adalah para tokoh berilmu tinggi
seperti Peri Kenanga dan Hantu Muka Tembok"
SELESAI Ikuti Kelanjutannya dalam :
"GUA MULUT NAGA"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Harimau Kemala Putih 16 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Pedang Kayu Harum 5
^