Pencarian

Keris Naga Sakti 3

Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti Bagian 3


Sindang Manik coba memancing lawannya.
"Ha ha ha... kunyuk satu ini mau memper-
dayaiku..., kuno! Sekarang jangan banyak mulut!"
Sejenak Manusia Bayangan menghentikan kata-
katanya, lalu mencabut keris di pinggangnya. "Kau tentunya sangat bahagia bila
memiliki keris ini,
bukan"!"
Membelalak mata Sindang Manik melihat
keris di tangan kanan Manusia Bayangan. Bagai
orang kelaparan, Wongso Guno menelan ludah.
Lalu tanpa basa-basi lagi dia menyerang Manusia
Bayangan dengan jurus mautnya, jurus 'Singa
Menerkam Mangsa'.
"Gggrrr...!"
Manusia Bayangan dengan mudah menge-
lak hanya dengan meliukkan tubuhnya, dibarengi
serangan balik berupa tepukan telapak tangan.
Sindang Manik terkejut melihat gerakan yang dila-
kukan lawan. Kelihatannya pelan dan tak bertena-
ga, tapi tahu-tahu....
Bukk! "Ahkk...!"
Sindang Manik memekik, lalu berbalik dan
kembali menyerang dengan ganas. Sekali lagi den-
gan meliuk-liukkan tubuhnya Manusia Bayangan
dapat mengelak dari pukulan tangan kanan dan
kiri Sindang Manik. Keduanya saling pukul dan
melompat di udara. Tangan Sindang Manik selalu
mengarah keris yang tergenggam di tangan kanan
lawannya. Sindang Manik nampak semakin naik pi-
tam, karena sudah sekian jurus dan serangan da-
pat digagalkan lawannya. Tapi, entah disengaja
atau bagaimana, tiba-tiba Manusia Bayangan se-
perti melemah dan kendur pertahanannya. Pada
saat itulah Sindang Manik melihat dan langsung
melakukan serangan dengan cepat
Buk! Plak! "Ukhhh...!"
Manusia Bayangan atau Sena memekik
pendek. Tubuhnya terhuyung dan keris di tangan-
nya pun terlepas. Sindang Manik dengan cepat
menyambar keris yang sudah tergeletak di tanah,
lalu melompat dan menghilang. Hanya suara ta-
wanya yang terdengar.
Para prajurit merasa kaget, coba mengejar.
Tapi.... "Biarkan dia pergi...! Uh...!" seru Manusia Bayangan sambil bangun.
"Kenapa orang jahat itu dibiarkan pergi,
Tuan...?" tanya salah seorang prajurit pada Sena si Pendekar Gila.
"Biarkan dia bersenang-senang dengan ke-
ris itu. Orang murka dan serakah seperti dia tak
akan hidup lama di dunia.... Hei, apakah itu Patih Kadipaten Pasuruan...?" tanya
Sena sambil menunjuk ke arah mayat tak berkepala itu.
"Ya... benar, Tuan. Bagaimana Tuan bisa
tahu" Dan siapa Tuan sebenarnya...?" tanya seorang prajurit yang bertubuh kekar
dan masih mu- da. "Kau tak perlu tahu. Sekarang cepat kubur-
kan patih itu. Dan setelah itu, cepat kalian pergi dari tempat ini, atau kalian
kembali ke kadipaten...!" kata Pendekar Gila bernada memerintah.
"Baik, Tuan," jawab salah seorang prajurit Lalu mereka menjura memberi hormat
Kemudian Pendekar Gila yang berpakaian
serba hitam itu segera melesat pergi. Pada saat itu prajurit mulai bekerja
menguburkan mayat Patih
Tutuka. Sindang Manik masih berlari sambil terta-
wa-tawa. Di tangan kanannya tergenggam keris
yang diimpikan. Begitu cepat larinya, hingga dalam sekejap sudah berada jauh
dari tempat tadi. Sebentar dia menghentikan larinya. Dipandanginya
Keris Pusaka Naga sakti yang baru saja diperoleh-
nya. "Ha ha ha...! Akhirnya aku berhasil mendapatkan keris yang memiliki daya
kesaktian tiada
tara ini. Aku akan menjadi orang sakti dan ditaku-ti. Ha ha ha...!"
Ketika Sindang Manik tengah mengamati
keris itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda menuju ke arahnya. Segera Sindang
Manik melompat ke balik pepohonan, bersembunyi.
Derap kaki kuda semakin dekat dan terden-
gar keras. Ternyata Sadiro dan Wesi Geni. Mereka
memacu kuda dengan cepat, terus menjauh menu-
runi jalan yang naik turun.
Sindang Manik muncul kembali dan terta-
wa-tawa, lalu menyelipkan keris di pinggangnya.
Disembunyikan di balik bajunya yang panjang se-
perti jubah. "Aku akan membuntuti mereka...."
Sindang Manik melesat ke arah Wesi Geni
dan Sadiro pergi.
*** Purwadhika dan Lilasari nampak menyusuri
jalan yang naik turun di sebuah perbukitan. Pur-
wadhika nampak melangkah dengan cepat, me-
ninggalkan Lilasari.
"Purwa...! Tunggu...! Jangan tinggalkan
aku...!" seru Lilasari manja.
Purwadhika tersenyum-senyum terus
menggoda, membuat wajah Lilasari tampak cem-
berut. Pemuda itu lalu menghentikan langkahnya,
mengulurkan tangan ke arah Lilasari yang segera
menangkapnya lalu melompat ke atas. Purwadhika
tampak bertelanjang dada, karena pakaiannya kini
dipakai Lilasari. Tubuhnya yang kekar memiliki
dada bidang, menambah kegagahan pemuda tam-
pan itu. Hal itu membuat Lilasari semakin merasa
bangga berada di sisinya.
Keduanya terus melanjutkan langkah. Saat
sampai di dekat sebuah dataran yang luas, tiba-
tiba terdengar derap kuda menuju ke arah mereka.
Purwadhika tak sempat mengajak Lilasari untuk
bersembunyi. Terpaksa dia hanya dapat menepi.
Namun dua orang penunggang kuda yang tak lain
Sadiro dan Wesi Geni menghentikan kuda mereka.
Keduanya langsung memandangi Purwadhika dan
Lilasari. Wesi Geni yang berbadan besar meman-
dang nakal ke arah Lilasari. Lilasari mendelik pada Wesi Geni. Wanita ini memang
pemberani. "Hei, Anak Muda. Apakah kau melihat
orang berpakaian serba hitam bertutup muka hi-
tam lewat di sini?" tanya Sadiro dengan suara pa-rau. "Rasanya belum ada seorang
pun lewat di tempat ini. Ada apa kiranya?" tanya Purwadhika balik bertanya,
pura-pura tak tahu.
"Itu bukan urusanmu, Anak Gunung...!" ce-letuk Wesi Geni. Namun matanya terus
menatap Lilasari dengan nakal.
"Ooh, maafkan kalau aku salah...," sahut Purwadhika sambil menjura.
"Kalian hendak ke mana dan dari mana
asalmu...!" tanya Sadiro menyelidik.
"Kami dari gunung, kami orang desa. Hen-
dak mencari pekerjaan di Kutareja...," jawab Purwadhika lalu menundukkan
kepalanya. "Ha ha ha. Hi hi hi.... Kau akan aku kasih
pekerjaan yang nyaman. Tapi, wanita itu menjadi
milikku. Bagaimana, ha ha ha..."!" kembali Wesi Geni nyeletuk.
"Huh!" dengus Lilasari sinis, matanya mendelik ke arah Wesi Geni.
"Hei! Jawab, bagaimana..."! Aku sudah la-
ma tidak menikmati belaian wanita secantik dia"
Ha ha ha he heh...!" kembali Wesi Geni berkata kurang sopan. Namun Purwadhika
coba menahan marahnya. Lilasari menjadi naik pitam.
"Hei...! Kau orang jelek! Jangan bicara nge-
lantur! Mulutmu perlu dibersihkan dengan ini...!"
kata Lilasari sambil mencabut pedangnya. Lalu di
arahkan ke Wesi Geni.
"Ha ha ha...! Hebat juga wanita ayu ini. Aku jadi gemas," kata Wesi Geni sambil
melompat turun dari kudanya, mendekati Lilasari.
"Hm... maafkan adik saya ini, Ki.... Dia ma-
sih terlalu muda. Maafkan...," pinta Purwadhika sambil menjura.
Namun Wesi Geni yang sudah tak sabar,
segera ingin memegang pipi Lilasari. Sementara Lilasari yang berwatak keras,
cepat menepis tangan
nakal Wesi Geni dan dengan cepat pula menya-
betkan pedangnya. Wesi Geni tidak menduga sama
sekali kalau wanita muda yang cantik itu akan
bertindak berani.
Srettt! "Akh...!" Wesi Geni memekik, karena lengannya tergores pedang Lilasari. Lelaki
itu marah dan cepat menampar muka Lilasari. Namun sebelum tamparannya mendarat
di muka Lilasari,
Purwadhika dengan cepat menghajar perut lalu
menendang tubuh Wesi Geni dengan keras.
Bukkk! "Aaaakh...!"
Wesi Geni memekik dan tubuhnya terpen-
tal, karena tendangan Purwadhika.
Maka pertarungan tak dapat dihindarkan
lagi. Sadiro yang sejak tadi hanya duduk di atas
punggung kuda, kini melompat turun. Langsung
dia hendak menyandera Lilasari. Namun wanita
muda yang juga memiliki ilmu silat lumayan, me-
lawannya. Dan terjadi pula pertarungan antara Li-
lasari dan Sadiro.
Wesi Geni dan Purwadhika saling pukul di
udara lalu sama-sama kembali turun. Wesi Geni
yang sudah tak sabar, segera mengeluarkan senja-
ta andalannya. Cepat dia menepukkan tangan ka-
nannya di dadanya sebelah kiri sambil membaca
mantera. Bersamaan dengan itu, terlihatlah seekor kumbang bertengger di pundak
sebelah kiri Wesi
Geni. Purwadhika yang melihat itu mengerutkan
kening. Dari sayap Kumbang Perak memancar si-
nar menyilaukan mata. Seperti halnya Keris Pusa-
ka Naga Sakti. Purwadhika segera mengumpulkan
tenaga dalamnya.
"Ha ha ha..., Anak Muda, kau tak akan la-
ma lagi kukirim ke neraka...!" seru Wesi Geni dengan penuh keyakinan. Lalu
Kumbang Perak itu
mulai melayang ke arah Purwadhika. Kian lama
gerakan terbangnya kian cepat. Luar biasa sekali
cepatnya menyambar-nyambar tubuh Purwadhika.
Kumbang Perak yang beracun itu terus menyam-
bar Purwadhika yang berusaha mengelak.
"Celaka...! Binatang apa ini. Nampaknya
berbahaya...," gumam Purwadhika sambil me-
nangkis dan berusaha menangkap binatang itu.
Pada saat itu Lilasari mulai terdesak. Bah-
kan pada satu kesempatan Sadiro berhasil me-
nampar Lilasari. Wanita itu memekik, tapi cepat
menyerang kembali dengan sabetan pedangnya
yang cepat. Sadiro yang memiliki ilmu di atas Lilasari, dengan mudah dapat
menaklukkan wanita
muda yang ayu itu.
Lilasari akhirnya kena totokan Sadiro, hing-
ga tak mampu lagi melawan. Tubuhnya lemas lalu
ambruk. Sadiro dengan tenang memanggul tubuh
Lilasari dan membawanya ke semak-semak. Dige-
letakkan tubuh Lilasari dengan kasar. Baju Pur-
wadhika yang dikenakan Lilasari terkoyak akibat
terkaman Sadiro tadi, hingga terbuka bagian dada.
Dada Lilasari yang masih mulus dan padat itu ter-
singkap. Namun lelaki si Muka Pucat itu malah
meninggalkan Lilasari dan kembali ke tempat Pur-
wadhika bertarung dengan Wesi Geni.
"Wesi Geni, biar aku yang menghadapi pe-
muda gunung ini.... Kau boleh bersenang-senang
dengan wanita itu! Agar otakmu segar...!" seru Sadiro seraya menghadang
Purwadhika. Mendengar itu Wesi Geni segera menepuk
dada kirinya lagi. Seketika Kumbang Perak terbang ke arahnya lalu menghilang
begitu saja. Wesi Geni dengan tak sabar lagi melompat ke arah semak-semak ingin
melampiaskan nafsu setannya pada
Lilasari. Namun mendadak berkelebat sesosok tu-
buh ke arah semak-semak itu.
Purwadhika yang melihat Wesi Geni menuju
semak, segera dengan cepat melancarkan seran-
gan beruntun ke arah Sadiro yang coba mengha-
langinya. Pertarungan antara Purwadhika dan Sa-
diro cukup seru.
Sudah belasan jurus mereka keluarkan, ta-
pi nampak sama-sama tangguh. Purwadhika yang
konsentrasinya terpecah dua, karena khawatir
dengan keselamatan Lilasari, menjadi lengah. Sa-
diro berhasil mendaratkan dua kali pukulan telak
di perut dan dada Purwadhika, sehingga pemuda
itu terhuyung-huyung dan memekik kesakitan.
Sementara Wesi Geni nampak dengan rakus
mulai menciumi seluruh tubuh Lilasari yang ma-
sih dalam keadaan tertotok itu.
"Kau akan ku telanjangi, Cah Ayu! He he
he...!" kata Wesi Geni dengan suara serak dan bergetar karena menahan nafsunya.
Air liurnya pun
tak terbendung, menetes di tubuh Lilasari.
"Aaa... jangan! Jangan lakukan itu...!" Lilasari berteriak-teriak. Namun tak
bisa apa-apa, "Bangsat! Kurang ajar...!"
Brettt..! Tangan Wesi Geni menyobek baju Lilasari
yang sudah terbuka sedikit itu.
"Waw waw...! Tubuh begini mulus! Bukan


Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

main...! He he he! Aku akan menikmati tubuhmu
sepuas-puas hatiku. Aku tak peduli lagi dengan
keris pusaka itu...!" gumam Wesi Geni sambil terus membuka celananya. Namun baru
saja Wesi Geni hendak menyobek celana Lilasari, tiba-tiba....
Plak! Plak! "Aaaakh...!"
Wesi Geru memekik, lalu tubuhnya roboh
menindih tubuh Lilasari. Lilasari pun menjerit.
Namun sesosok bayangan kemudian me-
nendang tubuh Wesi Geni yang pingsan itu ke
samping. Hingga Lilasari lega. Dengan cepat sosok hitam itu melompat ke tempat
Purwadhika bertarung dengan Sadiro.
Ternyata orang itu Sena yang menyamar
Manusia Bayangan. Dia langsung menendang Sa-
diro ketika hendak menghajar Purwadhika yang
lengah. Bug, bug!
"Aaaa...!"
Sadiro memekik dan terpental tiga tombak,
akibat tendangan keras Manusia Bayangan.
"Kak... kau"!" seru Purwadhika.
"Sssttt...!" segera Sena mengisyaratkan Purwadhika agar tidak berkata lagi.
"Cepat tolong Lilasari...!"
Purwadhika melompat ke arah semak-
semak. Sementara itu, Sadiro sudah kembali
bangkit dan menyerang Manusia Bayangan.
"Heea...!"
"Its...!"
Keduanya terus bertarung dengan serunya.
"Kau rupanya orang bodoh! Bukankah kau
ingin mencari keris pusaka itu...?" kata Manusia Bayangan sambil menangkis.
Tersentak Sadiro mendengar itu. Namun dia
tak menghentikan serangannya.
"Kau akan ketinggalan, temanmu telah
mendapatkan keris itu. Dan tentunya dia akan
menghilang dari Jawadwipa ini..,!" kata lelaki berpakaian serba hitam sambil
menangkis pukulan
dan tendangan Sadiro,
Seketika Sadiro menghentikan serangannya,
Pendekar Gila pun melompat mundur,
"Kau yang menamakan dirimu Manusia
Bayangan"!" tanya Sadiro dengan suara datar.
"Tak salah lagi. Dan akulah yang memiliki
benda pusaka itu, namun kini telah berada di tan-
gan orang yang bernama Sindang Manik! Tentunya
nama itu tak asing bagimu, bukan?" jawab Sena dengan tegas sambil bertolak
pinggang. Bukan main kagetnya Sadiro. Matanya
membelalak dan dadanya terlihat naik turun den-
gan cepat. Seakan tak mampu menahan kemara-
han. "Kurang ajar! Rupanya Sindang Manik mau coba-coba mengelabuiku. Bangsat!"
gumam Sadiro geram. Pada saat itu Purwadhika dan Lilasari sudah berada tak jauh
dari mereka. Lilasari nampak
sinis memandang Sadiro. Ingin rasanya dia melu-
dahi Sadiro, tapi Purwadhika melarangnya.
"Wesi Geni...!" seru Sadiro memanggil kawannya. Namun Wesi Geni tidak menyahut
Sadiro semakin cemas dan salah tingkah.
"Temanmu sedang istirahat lama di sana...!"
ujar Purwadhika.
Sadiro tersentak mendengarnya. Baru saja
dia akan beranjak, tiba-tiba Wesi Geni yang sem-
pat pingsan itu muncul dengan muka merah sam-
bil memegangi tengkuknya.
"Hah..."!" Wesi Geni kaget ketika melihat Purwadhika, Lilasari, dan Manusia
Bayangan. "Sa-
diro, apakah itu Manusia Bayangan yang kita ca-
ri..."!" tanya Wesi Geni kemudian.
Mendengar nama Sadiro, tersentak hati
Purwadhika. Mendadak wajahnya memerah dan
giginya bergemeletuk menahan geram dan amarah
yang mencuat tiba-tiba.
"Purwa..." Kenapa kau"! Ada apa...?" tanya Lilasari yang melihat Purwadhika
mendadak jadi keras wajahnya.
Sena pun melihat perubahan wajah Pur-
wadhika, segera dia mendekatinya.
"Kiranya dia orang yang kau cari, Purwad-
hika. Tapi kuminta bersabarlah. Kita telah dapat
mengacaukan pikiran mereka.... Keris palsu itu
sengaja kulepas, agar Sindang Manik cepat dicuri-
gai oleh kelompoknya.... Bersabarlah...!" kata Sena setengah berbisik pada
Purwadhika. Purwadhika hanya bisa menghela napas da-
lam-dalam. "Kenapa kau diam saja Sadiro.... Mana keris
itu apakah sudah kau dapatkan?" tanya Wesi Geni tak sabaran.
"Kita harus mencari Sindang Manik. Dia
mencoba mengelabui kita. Ayo...!" selesai berkata begitu, Sadiro dan Wesi Geni
langsung melompat
ke atas kuda dan memacunya ke arah semula me-
reka datang. Sepeninggal Sadiro dan Wesi Geni, nampak
Purwadhika merenung, sepertinya dia menahan
rasa sakit di hatinya, karena tak sempat membuat
perhitungan terhadap Sadiro.
Pendekar Gila memahami perasaan Pur-
wadhika. Segera disentuhnya bahu pemuda itu
dan berkata. "Sabar... nanti jika tiba saatnya terserah
padamu. Dan aku juga telah bertemu dengan Pra-
jurit Kadipaten Pasuruan...."
"Hah..."!" kaget Lilasari mendengar itu. "Bagaimana mereka, apakah sudah dapat
menemu- kan Wongso Guno, dan apakah Tuan bertemu
dengan pamanku Patih Tutuka...?" tanyanya, tak sabar ingin mendengar keterangan
itu. Sena si Manusia Bayangan tak langsung
menjawab. Dihampirinya Lilasari lalu dirangkulnya wanita muda itu.
"Aku telah menemukannya... tapi, Wongso
Guno telah mendahuluiku. Beliau terbunuh...," tutur Sena dengan suara tertahan.
"Hah...! Apa..."! Tidak... tidak...!"
Lilasari menangis dan berteriak-teriak seja-
dinya. Purwadhika segera menenangkannya.
"Tenang Lila, percuma kau menangis. Pa-
manmu tak akan kembali hidup.... Aku akan sela-
lu mendampingimu, Lila...," suara Purwadhika begitu lembut, membuat wanita muda
itu mulai bisa menahan tangisnya.
Dipeluknya erat-erat Lilasari. Wanita muda
itu merasakan kedamaian dan kelegaan di hatinya.
Tangisnya mulai reda.
"Wongso Guno tak lain Sindang Manik! Dia
sengaja memakai nama palsu, agar orang-orang
tak mengenalinya. Tapi rupanya pamanmu tak da-
pat dikelabui dengan nama. Aku menyesal tak da-
pat menyelamatkan pamanmu, Lila.... Aku terlam-
bat datang," kata Sena lagi.
"Aku dapat mengerti, Tuan." Terdengar suara lemah dari Lilasari.
"Ayo kita pergi! Purwa, jaga Lilasari! Kita
bertemu di tempat yang telah kita tentukan. Mere-
ka pasti sedang mencari Sindang Manik atau
Wongso Guno itu. Sampai jumpa...!" kata Sena.
Lalu tubuhnya yang terbalut pakaian serba hitam
melesat dan lenyap dari pandangan.
"Orang aneh...! Kenapa dia tak mau mem-
buka penutup mukanya, Purwa?" tanya Lilasari merasa heran.
"Nanti juga kau akan tahu siapa dia....
Ayo...!" ajak Purwadhika sambil menggandeng Lilasari.
7 Sinar terang dan hangat sang Mentari yang
baru terbit membuat sesosok tubuh yang terkulai
di bawah pohon tampak menggeliat. Cahaya mata-
hari yang menerobos sela-sela dedaunan menerpa
kedua matanya. Sosok itu perlahan bangun lalu
duduk bersandar di batang pohon besar.
"Huh...! Cepat sekali hari sudah kembali
pagi...!" gerutu lelaki berjubah merah darah, dan berikat kepala merah pula.
Wajahnya nampak keras. Orang itu bergerak bangun setelah member-
sihkan pakaiannya yang kotor.
"Mungkin Sadiro, Wesi Geni, dan Empat Jin
Botak dari Selatan telah menemukan tempat per-
sembunyian Ki Tunggul Segara. Hah... biar mereka
mampus...! Keris pusaka sudah ada di tanganku.
Siapa pun akan kuhadapi. Aku kini menjadi orang
yang paling bahagia dan sakti," gumam lelaki itu yang ternyata Wongso Guno
bicara pada diri sendiri sambil berdiri.
Tiba-tiba kakinya melompat ke dataran
yang lebih tinggi. Dia memandangi sejenak kea-
daan sekelilingnya. Setelah merasa aman, Sindang
Manik melangkah cepat meninggalkan lembah
yang gersang itu.
"Sebaiknya aku menghilang untuk sementa-
ra ke Pulau Andalas...," gumam Sindang Manik sambil terus mengayun langkah.
Tak berapa lama berjalan, kini Sindang Ma-
nik telah berada di suatu tempat menuju pesisir
pantai selatan.
"Hem... rasanya sudah cukup aman aku be-
rada di sini... tak akan ada orang yang mengenal-
ku," kata Sindang Manik dalam hatinya.
Namun kegembiraan Sindang Manik men-
dadak berubah terkejut ketika terdengar teguran
seseorang, yang suaranya sangat dikenalinya.
"Sindang Manik...!"
Sindang Manik membalikkan badan perla-
han. Di hadapannya ternyata telah berdiri empat
lelaki gundul dengan muka sinis menatapnya.
"Ooo kalian... kebetulan, aku sedang men-
cari-cari kalian," kata Sindang Manik dengan ra-mah, sambil menghampiri mereka
yang ternyata Empat Jin Botak dari Selatan.
"Kau manusia terbusuk yang pernah ku-
kenal, Sindang Manik!" terdengar keras suara Jin Sudra. "Hei, ada apa dengan
kalian...?" tanya Sindang Manik tak mengerti.
"Kau jangan pura-pura! Sadiro telah mence-
ritakan semuanya pada kami. Dia sedang menca-
rimu! Tangkap...!" perintah Jin Sudra pada ketiga saudaranya.
Serentak mereka menyerang dan mengu-
rung Sindang Manik. Pertarungan pun lalu terjadi.
Empat Jin Botak dari Selatan nampak ganas sekali
menyerang Sindang Manik yang kewalahan juga.
"Kau rupanya ingin mengelabui kita semua!
Mampuslah kau sekarang...!" seru Jin Soka sambil menusukkan pedangnya ke perut
Sindang Manik Namun lelaki berjubah merah itu cepat ber-
kelit. Lalu melakukan serangan balasan dengan
tendangan kaki kanannya ke arah Jin Soka. Na-
mun Jin Kala yang berada di samping kirinya se-
gera menghantam Sindang Manik dengan gagang
pedang. Prak! "Aaakh...!"
Sindang Manik memekik keras. lalu melom-
pat ke belakang untuk mencari tempat guna men-
gatur kembali tenaga dalamnya. Dengan cepat di-
gerakkan kedua tangannya di depan dada. Setelah
merunduk dengan cepat pula tubuhnya melompat
dengan bersalto dua kali di udara, lalu segera melancarkan tendangan keras
sambil berputar ke
arah ketiga jin botak itu.
Plak! Buk! "Akh...!"
Ketiga dari Empat Jin Botak dari Selatan
memekik sambil mundur dua tombak dan berpen-
car. Ketiganya memutar pedang dengan cepat. Lalu
serentak maju dengan kuda-kuda yang sama dan
indah dipandang. Sekejap ketiga lelaki botak ber-
pakaian kuning itu telah mengurung Sindang Ma-
nik. Ketiganya lalu mengitari Sindang Manik
dengan cepat, hingga yang nampak di mata hanya
bayang-bayang. "Kurang ajar. Kau belum tahu kalau aku te-
lah memiliki keris pusaka itu!" dengus Sindang Manik. Segera dikeluarkannya
keris itu, lalu berseru, "Hei, lihat apa ini! Ha ha ha... kalian akan mampus
dengan keris ini...!"
Jin Sudra yang menyaksikan ketiga sauda-
ranya mengurung Sindang Manik tampak terkejut
melihat Keris Pusaka Naga Sakti itu. Namun ke-
terkejutan itu hanya sebentar. Sedangkan ketiga
jin botak, Jin Saka, Jin Kala, dan Jin Kobra terus merangsek dan menyerang
Sindang Manik. "Heaaa...!"
Bret! Bret! Cresss...! "Aaakh...!"
Sindang Manik memekik. Rupanya ketiga
lawan yang mengurungnya lebih cepat menye-
rangkan serangan. Sementara tadi dirinya sempat
lengah karena merasa yakin akan dapat menga-
lahkan ketiga jin botak dengan keris yang dikabarkan mengandung kesaktian itu.
Namun ternyata keris di tangannya tak memperlihatkan tanda-
tanda keampuhan itu.
Punggung dan baju Sindang Manik sempat
robek. Darah merembes dari lukanya. Hatinya me-
rasa keheranan. Dipandanginya keris itu sejenak,
lalu kembali dengan ganas menyerang lawan-
lawannya, Namun serangannya dengan mudah
dapat dielakkan oleh ketiga lelaki dari Empat Jin Botak dari Selatan. Malah Jin
Kobra yang paling


Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ganas sempat menghajar dengan tendangan keras,
ketika Sindang Manik dengan penuh nafsu hendak
menghabisi Jin Kala yang terdesak.
Bug, bug! "Aaaa...!"
Seketika terdengar jeritan panjang dari mu-
lut Sindang Manik. Tubuhnya terhuyung-huyung
beberapa langkah hingga keris itu terlepas. Jin
Sudra yang melihat keris itu jatuh ke tanah, sege-ra melompat menyambarnya.
Sedang ketiga sau-
daranya yang tadi mengeroyok Sindang Manik ber-
lompatan ke kuda mereka.
"Cepat kita pergi! Sebelum manusia keparat
itu sadar...!" seru Jin Sudra yang sudah duduk di punggung kuda.
Maka segeralah Empat Jin Botak dari Sela-
tan memacu kuda menuju arah barat.
Sindang Manik yang sebenarnya ilmunya
tak begitu tinggi tak mampu mengalahkan Empat
Jin Botak dari Selatan yang memiliki ilmu rata-
rata sama. Mungkin kalau satu lawan satu Sin-
dang Manik masih bisa mengimbangi. Dirinya
hanya menang pintar bicara dan cerdik. Apalagi
dia bekas Senapati Kadipaten Pasuruan, jadi su-
dah barang tentu pandai mengatur siasat bila para prajurit anak buah akan
mengadakan penyerangan. Hanya karena itulah Sindang Manik seakan
menjadi pimpinan kelompoknya. Padahal sebenar-
nya tak ada pemimpin dalam kelompok Sindang
Manik, Sadiro dan kawan-kawan.
Sindang Manik yang terkena tendangan
maut Jin Kobra baru sadar, setelah beberapa saat
kemudian. "Bangsat...!" umpatnya sambil menendang batu yang ada di depannya sebagai
pelampiasan rasa kesal dan marah. "Sampai ke ujung neraka pun aku akan mengejarnya...!"
Lalu segera dia melesat pergi dari tempat itu
menuju ke arah barat.
*** Sadiro bersama Wesi Geni masih mencari-
cari Sindang Manik. Mereka melewati tempat per-
tarungan Sindang Manik dan Empat Jin Botak da-
ri Selatan. Sadiro mendadak menghela tali kekang
hingga kaki depan kuda tunggangannya terangkat
dan meringkik. Wesi Geni pun segera menghenti-
kan lari kudanya.
"Rupanya di sini baru saja ada pertarungan.
Mungkin Sindang Manik dan Empat Jin Botak dari
Selatan...! Kita ikuti saja jejak kaki kuda mere-
ka...!" seru Sadiro si Muka Pucat sambil menoleh ke arah Wesi Geni. Lalu kembali
memacu kudanya dengan cepat. Diikuti oleh kuda Wesi Geni.
Setelah kepergian mereka, muncul Manusia
Bayangan. Dia berdiri di atas batu besar, meman-
dangi kepergian Sadiro.
"Ha ha ha..., ternyata mereka sudah mulai
saling bunuh. Huh! Itulah ganjaran bagi orang-
orang tamak dan jahat..," gumam Manusia Bayangan. Selesai bicara begitu,
langsung melesat pergi ke arah yang sama dengan Sadiro.
Hari semakin sore, sinar matahari mulai
kemerahan. Kuda-kuda Empat Jin Botak dari Se-
latan memasuki wilayah Kutareja. Namun mereka
tidak berhenti di situ, melainkan meneruskan per-
jalanan ke arah utara. Jin Kobra yang berada di
belakang, dengan cerdik menghilangkan jejak kaki
kuda dengan daun sambil memecut kudanya. Jin
Kobra seperti orang Indian tidak berada di pung-
gung kuda, melainkan di samping kanan badan
kudanya. Tangan kanan memegang tali kekang
kuda, sedangkan tangan kirinya memegang daun
pisang, untuk menghapus jejak kaki-kaki kuda
mereka. Beberapa lama setelah berlalunya Empat
Jin Botak dari Selatan, Kutareja masih ramai den-
gan para pendatang. Nampak Purwadhika dan Li-
lasari berada di dalam sebuah rumah makan, yai-
tu tempat pertama kali Purwadhika bertemu den-
gan Cilung, sampai bentrok.
"Kenapa dia belum juga datang..."!" gumam Purwadhika dengan wajah nampak cemas
dan tak tenang. "Siapa sebenarnya yang kita tunggu, Pur-
wa...?" tanya Lilasari. Dia belum mengerti untuk apa dan siapa yang ditunggu
Purwadhika. "Nanti kau akan tahu sendiri...," jawab Purwadhika, tanpa melihat wajah
Lilasari. Matanya terus memandang ke jalanan.
Pada saat itu, nampak Sindang Manik ber-
lari-lari kecil di antara orang yang lalu-lalang.
Purwadhika yang tak mengenalnya, hanya menge-
rutkan kening. Di luar nampak Sindang Manik
berhenti sejenak. Dan pada saat itulah Lilasari
memandang ke luar. Seketika matanya membela-
lak lebar, ketika melihat lelaki tua berjubah merah yang berdiri di depan pintu
masuk rumah makan
itu. "Lelaki itu potongan tubuhnya mirip Wongso Guno..."! Tapi... tak mungkin.
Wongso Guno tak pernah berpakaian sembarangan, dia selalu tampil
rapi. Dan jari tangan kirinya hanya ada empat..!"
gumam Lilasari lirih. Kemudian menyipitkan ke-
dua matanya, terus menatap lelaki yang memang
Wongso Guno. "Ada apa Lila...?" kini Purwadhika yang bertanya. Tak mengerti, kenapa Lilasari
mendadak tampak cemas dan tegang.
"Mungkin juga dia...! Lelaki bertutup muka
kain hitam itu pernah berkata, bahwa Wongso
Guno telah memiliki nama samaran...! Kurang
ajar!" Selesai berkata begitu, Lilasari mendadak melompat dari duduknya, keluar
mengejar Sindang Manik yang baru saja melangkah pergi.
Purwadhika yang melihat itu jadi kaget, dia
pun segera melesat keluar memburu Lilasari.
Orang-orang yang ada di dalam rumah makan
nampak keheranan melihat Lilasari dan Purwadhi-
ka. Mereka saling berbisik, dan melihat ke arah
luar. "Lila...! Tunggu...!" seru Purwadhika sambil berlari mengejar Lilasari, di
antara orang-orang
banyak. Lilasari yang sudah menghunus pedang,
memburu Sindang Manik yang tak tahu kalau ada
yang mengejarnya. Dan ketika sampai di ujung
Kutareja, tiba-tiba Lilasari melompat menyerang
Sindang Manik yang terkejut mendengar suara te-
riakan. "Heaaa...!"
Wuttt, wutt! Pedang Lilasari membabat ke arah kepala
Sindang Manik. Namun lelaki setengah baya yang
masih nampak segar dan muda serta bertampang
bengis itu rupanya, merasakan adanya serangan.
Dengan cepat dan tepat dia dapat mengelakkan
sabetan pedang Lilasari. Lalu Sindang Manik me-
lompat ke samping dan menatap heran pada Lila-
sari yang sudah siap untuk menyerang kembali.
"Hei..."! Kenapa kau menyerangku?" tanya Sindang Manik masih belum mengenali
wajah Lilasari yang sengaja memakai cadar merah itu.
"Kau Manusia Biadab! Pengkhianat, Licik,
Wongso Guno...!" bentak Lilasari sambil membuka cadar merahnya.
Bukan main kagetnya Sindang Manik yang
juga Wongso Guno itu. Matanya membelalak lebar.
Seketika dirinya jadi gugup sambil menoleh ke ka-
nan dan kirinya. Beberapa saat tak bisa berkata-
kata apa-apa, karena dia sangat terkejut melihat
Lilasari, putri tunggal Adipati Aji Sampurno yang dibunuhnya secara licik,
setahun yang silam.
"Kau tak bisa lagi menyangkal, Manusia
Busuk...! Sekarang aku akan menuntut balas atas
kematian ayahku. Yang kau bunuh dengan keji...!"
seru Lilasari dengan mata mendelik.
Pada saat itu Purwadhika sudah berada di
sisi Lilasari. "Sabar, Lila...! Kau tak akan bisa mengalah-
kannya. Biar aku yang menghadapinya...," kata Purwadhika kalem sambil memegang
tangan Lilasari yang menggenggam pedang.
"Tidak! Biarkan...! Aku akan membunuhnya
dengan tanganku sendiri, tak boleh orang lain.
Aku sudah berjanji, Purwa. Lepaskan...!" seru Lilasari. Orang-orang yang berada
di dekat situ sege-ra berkumpul memperhatikan mereka.
Pada saat Purwadhika dan Lilasari berde-
bat, Sindang Manik atau Wongso Guno diam-diam
melesat pergi. Purwadhika melihat, segera dia me-
lompat mengejarnya, disusul Lilasari.
Kini mereka sudah berada di luar Kutareja.
Sementara itu matahari semakin menyusup di ka-
ki langit barat. Langit dengan mega kemerahan
menandakan sebentar lagi akan datang malam.
Sindang Manik nampak panik mengetahui
Purwadhika mengejarnya. Karena dia sudah mera-
sa ketahuan belangnya. Dan dia takut kalau
orang-orang Kutareja ada yang mendengar, maka
akan dikejar mereka yang merasa dibodohi.
"Heaaa...!"
Purwadhika dengan ilmu lari cepatnya ak-
hirnya dapat menghadang Sindang Manik. Merasa
dendamnya pada Sadiro tak terlampiaskan Pur-
wadhika seakan memperoleh penggantinya. Pemu-
da itu langsung menyerang Sindang Manik dengan
serangan cepat dan tak memberi kesempatan pa-
danya untuk melakukan serangan balik. Bahkan
Purwadhika langsung melancarkan pukulan
'Tapak Sakti'-nya
Wusss! Brakkk! Pohon besar hancur berantakan lalu tum-
bang dengan suara bergemuruh. Seluruh kulit
sampai ke ranting dan daun-daunnya berubah ke-
hitaman bagai terbakar.
Sindang Manik untung saja berhasil menge-
lakkan serangan Purwadhika. Kalau tidak tubuh-
nya hancur jadi abu!
Pada saat itu Lilasari yang melihat Sindang
Manik masih bergulingan di tanah, dengan cepat
melompat sambil mengayunkan pedang menebas
ke arah Sindang Manik.
"Heaaat..!"
"Hah"!"
Crasss! "Aaakh...!"
Sindang Manik menjerit, karena lengan ki-
rinya tertebas pedang Lilasari. Untung saja teba-
san Lilasari tak mantap. Lagi pula Sindang Manik
masih sempat menendang Lilasari, hingga wanita
muda itu terhuyung ke belakang dua tombak.
Melihat itu Purwadhika segera menolong Li-
lasari yang nampak kesakitan, karena tendangan
asal-asalan Sindang Manik mengenai dadanya.
"Lila..."! Kau tak apa-apa?" tanya Purwadhika dengan cemas.
"Dadaku sakit, Purwa.... Ukh...," keluh Lilasari. Pada saat itu Sindang Manik
mengambil ke- sempatan untuk kabur. Dia tidak mau mati ko-
nyol. "Kurang ajar...!" geram Purwadhika.
Pemuda itu segera membawa Lilasari kem-
bali ke Kutareja, untuk diobati.
Pada saat itu pula berkelebat seseorang be-
rambut gondrong agak ikal, dengan pakaian rompi
kulit ular ke arah Purwadhika yang membawa Li-
lasari tadi. *** Malam telah menyelimuti bumi. Nampak Li-
lasari baru saja sadar, setelah diobati. Gadis itu terbaring di atas bale-bale
beralaskan tikar. Purwadhika menungguinya. Di sana juga nampak
Pendekar Gila, berdiri di dekat jendela rumah bilik itu. Matanya memandang
keluar. "Untung masih ada orang yang berbaik hati,
memberikan kita bermalam di rumah ini," kata Purwadhika pada Lilasari yang mulai
nampak segar. "Rumah siapa ini, Purwa...?" tanya Lilasari dengan suara lemah.
"Pak Lurah, tapi sudah lama tak ditempati.
Pak Lurah sendiri tinggal di seberang sana...," kata Purwadhika menjelaskan.
"Purwa, pagi-pagi kita sudah harus pergi
dari tempat ini. Bukankah kau akan menyaksikan
pertarungan antara Sadiro dan Sindang Manik...?"
kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ya," jawab pendek Purwadhika, "Oh, ya...
Lila, inilah teman dan juga kakakku yang kita
tunggu tadi sore...," tambah Purwadhika memperkenalkan Sena pada Lilasari.
"Oh... maaf, badanku masih lemas.... Tapi,
aku sangat senang berkenalan dengan seorang
pendekar tersohor. Purwa tadi menceritakan pada-
ku. Ayahku pun pernah bercerita tentang Tuan
Pendekar," tutur Lilasari, memandangi Pendekar Gila yang tampak cengengesan.
"Aha, jangan memujiku, aku ini sama seper-
ti Purwadhika...," sahut Sena dengan cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Lilasari tersenyum manis melihat tingkah
Sena. Lalu Sena pun melangkah keluar dari kamar
itu. Di luar suasana sepi dan malam pun sema-
kin larut. Lama Sena berdiri di teras rumah bilik itu memandang sekeliling.
Ketika dia masuk kembali dilihatnya Lilasari telah tertidur. Sena dan Purwadhika
pun segera merebahkan tubuh, menunggu pagi.
Ketika pagi datang, Sena telah tiada. Lilasa-
ri heran dan bertanya pada Purwadhika yang ber-
jalan di sisinya.
"Lho..."! Sejak pagi tadi aku tak melihat Kakang Sena..., kemana dia...?"
"Dia memang begitu, aneh! Sebentar mun-
cul sebentar pergi, menghilang entah ke mana.


Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang jelas dia selalu menjaga kita. Percayalah....
Ayo, kita harus cepat sampai tujuan...!" ajak Purwadhika sambil menggandeng
Lilasari. "Hei...! Mau ke mana kita!" tanya Lilasari tak mengerti.
Purwadhika tak menjawab, malah semakin
mempercepat larinya. Keduanya terus berjalan
menyusuri hutan, menyeberangi kali menuju satu
tujuan. Di belakang Purwadhika dan Lilasari dalam jarak tak begitu jauh, nampak
berkelebat bayangan hitam melintas, lalu menghilang.
Ketika sampai di suatu tempat, di pinggiran
hutan, terdengar derap kaki kuda yang sangat
kencang. Purwadhika segera bersembunyi di balik
pepohonan rindang bersama Lilasari. Kuda itu me-
lintas di depan mereka. Lilasari sempat melihat si penunggang kuda itu tak lain
Sindang Manik atau
Wongso Guno. Dia hampir saja berseru, tapi Pur-
wadhika cepat menutup mulut Lilasari.
"Sssttt...!"
Lilasari menghela napas panjang dan ber-
gumam, "Bangsat itu masih hidup...!"
Baru saja mereka hendak keluar, tiba-tiba
terdengar lagi derap kaki kuda lain dari arah yang sama. Cepat Purwadhika dan
Lilasari menyelinap
dan bersembunyi kembali.
Dua orang berkuda melintas di depan me-
reka, kemudian empat kuda menyusulnya. Mereka
ternyata Sadiro, Wesi Geni, dan Empat Jin Botak
dari Selatan. Begitu mereka berlalu, tanpa banyak bicara
lagi, Purwadhika segera melompat keluar bersama
Lilasari. Keduanya melesat ke arah yang sama
dengan kuda-kuda tadi, menuju arah timur.
Mereka memasuki Hutan Waru, berlari di
antara pohon-pohon Waru. Di saat yang sama
nampak sosok hitam berkelebat, melompat dari
pohon satu ke pohon yang lain.
Tak lama kemudian kuda-kuda itu telah
sampai di depan sebuah rumah tua, yang mirip
kuil Cina. "Cepat kepung rumah ini! Paksa Sindang Manik keluar! Kita bakar dia
hidup-hidup...!"
seru Sadiro pada kawan-kawannya.
Serentak Wesi Geni, dan Empat Jin Botak
dari Selatan bergerak berpencar mendekati rumah
tua itu. "Hei Sindang Manik...! Keluar! Kau telah berkhianat pada kami. Sengaja
kau lepaskan keris
palsu itu, agar kau dapat aman dengan keris pu-
saka yang asli di tanganmu! Keluar kau, Penipu...!"
seru Sadiro dengan wajah dingin.
Di dalam rumah, Sindang Manik tengah
membalut luka bekas tebasan pedang Lilasari. Dia
terkejut mendengar suara Sadiro.
"Edan...! Jadi keris itu palsu"! Pantas aku
tak merasakan apa-apa ketika menggenggam-
nya.... Bangsat! Rupanya aku terjebak oleh Manu-
sia Bayangan itu...! Kurang ajar...!" gerutu Sindang Manik geram, Namun dia
takut teman-teman tak
mempercayainya lagi. Sindang Manik nampak bin-
gung. Wajahnya sudah dibasahi peluh karena te-
gang. "Hei...! Keluar kau, Pengecut...! Bukankah kau orang yang pemberani...!"
terdengar suara We-si Geni dengan lantang dan besar.
Sindang Manik berpikir sejenak. Dia melihat
ke kiri dan ke kanan, lalu melompat cepat dengan
keyakinannya, keluar ke halaman rumah tua itu.
Begitu melihat Sindang Manik keluar, se-
rempak Empat Jin Botak dari Selatan menyerang-
nya. Terjadi pertarungan tak seimbang. Sindang
Manik terdesak. Wesi Geni dan Sadiro untuk se-
mentara hanya menyaksikan pertarungan itu.
Sindang Manik melenting ke atas bersalto
dua kali, menghindari serangan lawan-lawannya.
Dengan cepat dia berusaha mengumpulkan tenaga
dalam. Direntangkan kedua tangannya lebar-lebar,
lalu cepat membuat gerakan jurus silat. Mulutnya
mendengus keras.
Pada saat itu Jin Kobra mengejarnya, hen-
dak melancarkan serangan mautnya. Namun, tiba-
tiba puluhan senjata rahasia melesat ke arah lelaki botak itu.
Swing, swing...!
Jin Kobra membelalak kaget. Namun cepat
berusaha menangkis benda-benda berupa butiran
sebesar kelereng yang permukaannya berduri, se-
perti buah durian.
Trang, trang! Jleps! Jleps! Beberapa butir-butir dapat ditangkis, dan
sebagian lagi melesat menghantam pepohonan
hingga menancap dalam.
Jin Kobra melenting ke atas sambil terus
menangkis senjata-senjata rahasia yang ternyata
dilancarkan oleh Sindang Manik.
"Huh..."!" dengus Jin Kobra.
"Heaaa...! Mampus kau, Botak...!" seru Sindang Manik sambil menyabet kaki Jin
Kobra, yang baru saja mendarat. Kemudian disusul dengan
pukulan dua jarinya, yang sempat merobek baju
Jin Kobra. Brettt! "Hah..."!" Jin Kobra kaget
"Kau pikir aku tidak bisa membunuhmu...!
Terimalah ini...!" seru Sindang Manik sambil melancarkan pukulan cepat beruntun.
Dia tak mem- berikan kesempatan pada Jin Kobra untuk mem-
balas serangan. Bahkan ketika Jin Kobra yang ga-
nas membabatkan pedang ke arah kepalanya, Sin-
dang Manik yang sudah bisa menebak, merunduk
dan dengan cepat tangan kirinya memegang tan-
gan kanan si Botak itu. Sedangkan tangan kanan-
nya cepat menghantam keras ke dada Jin Kobra.
Bluk! Bukk! "Aaaakh...!"
Jin Kobra menjerit dan memuntahkan da-
rah segar dari mulutnya. Sindang Manik tak ber-
henti sampai di situ, dia lalu menendang keras lelaki botak itu. Tubuh Jin Kobra
terpental tiga tombak ke belakang. Sindang Manik yang terdorong
rasa ketakutan dan tak ingin menyerah, berusaha
untuk menyelamatkan diri, dengan mengeluarkan
senjata rahasia yang merupakan senjata andalan-
nya. Jin Kala, Jin Soka, dan Jin Sudra marah.
Ketiganya melabrak Sindang Manik dengan me-
nyatukan pedang mereka, lalu menggerakkan den-
gan cepat hingga menimbulkan suara bising, kare-
na pedang itu saling beradu. Dengan cepat, mere-
ka melompat sambil melemparkan pedang masing-
masing. Pedang itu melayang, meluncur cepat
memburu sasaran Sindang Manuk kaget, lalu se-
gera mengeluarkan senjata rahasianya lagi. Seke-
tika meluncur butir-butir benda berduri, mener-
jang pedang-pedang ketiga orang dari Empat Jin
Botak dari Selatan.
Wuttt, wuttt! Jglarrr! Terjadi ledakan dahsyat akibat benturan
pedang jin botak dan benda-benda berduri itu.
Percikan api seketika memancar dari pecahan bu-
tir-butir senjata rahasia Sindang Manik. Sedang-
kan tiga pedang manusia jin botak meluncur kem-
bali ke pemiliknya masing-masing. Sindang Manik
terkejut, melihat senjata andalannya hancur. Pada saat itu ketiga jin botak
cepat melompat menyerang Sindang Manik.
"Heattt...!"
Srettt! Crasss! "Ukh...!"
Sindang Manik memekik keras. Ternyata
babatan pedang Jin Sudra sempat menggores len-
gan kanannya. Seketika Sindang Manik ter-
huyung-huyung ke belakang dengan wajah tampak
tegang. Darah di lengannya terus mengucur. Na-
mun lelaki tua berjubah merah itu masih berusaha
untuk menahan rasa sakit dan nyeri pada lu-
kanya. Dia berusaha melancarkan serangan sea-
danya, untuk sekadar menghambat gempuran.
Melihat lawan sudah terluka, Empat Jin Bo-
tak dari Selatan terus mendesak Sindang Manik,
yang sudah mulai pucat dan berkeringat di selu-
ruh tubuhnya. "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Dari dua arah Empat Jin Botak dari Selatan
menyerang Sindang Manik. Lelaki yang sebenar-
nya bernama Wongso Guno ini kembali melancar-
kan serangan senjata rahasia dengan sisa-sisa te-
naganya. Zwing! Zwing! Benda-benda berduri itu melesat ke arah
Empat Jin Botak dari Selatan. Namun mereka te-
tap dapat menangkis peluru-peluru itu.
Wuttt, wuttt! Trang, trang! Glarrr! Peluru-peluru itu beradu dengan pedang-
pedang Jin Botak, menimbulkan ledakan dan per-
cikan cahaya api. Peluru-peluru senjata rahasia
Sindang Manik kembali hancur. Namun ada se-
buah yang sempat menyerempet bahu Jin Kala,
hingga memekik dan tubuhnya terhuyung ke bela-
kang, mengalami luka berlubang.
"Aaakh...!"
Jin Kala meringis dan memegangi bahu ki-
rinya yang terkena serempetan senjata rahasia
Sindang Manik. Namun segera dia menghimpun
kembali tenaga dalamnya guna melancarkan se-
rangan balasan. Sementara itu Jin Soka, Jin Ko-
bra, dan Jin Sudra sudah melabrak Sindang Ma-
nik dengan serangan lebih ganas.
Sindang Manik hanya bisa melompat ke sa-
na kemari dan sesekali melenting dengan sisa-sisa kekuatannya. Keadaannya tampak
mulai goyah dan melemah. Akhirnya memilih jalan, lari!
"Kejar dia, Wesi Geni, juga kalian cepat!" perintah Sadiro yang kemudian melesat
pula menge- jar Sindang Manik.
"Dia harus mati...!" teriak Wesi Geni sambil terus mengejar Sindang Manik yang
sudah terluka. Empat Jin Botak dari Selatan berpencar.
Dengan cepat akhirnya mereka dapat mengurung
Sindang Manik. Wesi Geni pun telah sampai di si-
tu. Wajah Sindang Manik tampak semakin pucat,
karena racun pedang Jin Sudra telah melukai tu-
buhnya. "Jangan bunuh aku... jangan! Aaaku akan
jelaskan..., Manusia Bayangan itu men... men...."
Belum sempat Sindang Manik meneruskan
kata-katanya Wesi Geni telah mengeluarkan Kum-
bang Peraknya. Binatang itu langsung terbang
menyerang Sindang Manik dan menggigitnya beru-
lang kali. Sindang Manik menjerit-jerit. Tubuhnya dalam sekejap telah luka-luka
oleh gigitan Kum-
bang Perak. Tak lama kemudian tubuh Sindang
Manik membiru, lalu roboh dan mati dengan men-
gerikan. Matanya berlubang digigit Kumbang Perak
piaraaan Wesi Geni.
"Ha ha ha...! Itulah ganjaran orang sera-
kah...! Ha ha ha...!" Wesi Geni tertawa-tawa terge-lak-gelak.
Namun suara tawa Wesi Geru dan Empat
Jin Botak dari Selatan mendadak berhenti ketika
muncul sosok Manusia Bayangan dengan meme-
gang Keris Pusaka Naga Sakti yang asli.
Pada saat itu pula Sadiro datang. Dia kaget
melihat Manusia Bayangan memegang Keris Pusa-
ka Naga Sakti. "Aha..., rupanya kalian ini kurang berpenga-
laman dalam soal siasat dan tipu daya. Kalian bi-
sanya hanya membunuh dengan licik lawan-lawan
kalian. Kau tentunya masih ingat keris pusaka ini, Sadiro!" suara Manusia
Bayangan terdengar menggelegar.
"Bangsat..! Rupanya kau yang mengacau-
kan semua rencanaku...! Tangkap manusia itu...?"
perintah Sadiro pada Wesi Geni dan Empat Jin Bo-
tak dari Selatan
Serentak Wesi Geni dan Empat Jin Bolak
dari Selatan melakukan serangan. Pada saat itu
muncul Purwadhika bersama Lilasari. Pemuda itu
melompat menghadang lawan-lawannya.
"Lila, kau cepat menjauh! Jangan meli-
batkan diri, nanti kau celaka!" seru Purwadhika.
Wanita itu pun menurut. Karena dia telah melihat
mayat Wongso Guno tak jauh dari tempatnya.
Purwadhika menghadang Sadiro yang hen-
dak menyerang Manusia Bayangan sambil berseru.
"Kau bagianku, Sadiro...!" seru Purwadhika sambil melancarkan setangan kilat.
Sadiro agak terkejut dengan teguran Pur-
wadhika. Hampir saja kepalanya kena hantam
tendangan kaki kanan pemuda itu, kalau saja dia
tak cepat menangkis dengan tangan kiri.
Pada saat itu Manusia Bayangan tiba-tiba
membuka tutup wajah dan seluruh pakaian hi-
tamnya. Kemudian melompat ke udara bersalto
beberapa kali. Wesi Geni dan Empat Jin Botak dari Selatan


Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkejut melihat orang yang bersalto di udara itu.
Apalagi Sadiro. Begitu juga Lilasari yang bersem-
bunyi di balik pohon. Semuanya diam tertegun pe-
nuh kekaguman. "Hah..."! Kakang Sena...!" gumam Lilasari lirih. Wajahnya nampak terbengong-
bengong. Sena mendarat dengan ringan sekali di sisi
Purwadhika lalu memberikan Keris Pusaka Naga
Sakti pada pemuda itu.
"Kuserahkan keris ini kembali padamu...."
Pendekar Gila sengaja berseru agar Sadiro men-
dengar. Sadiro bertambah tak mengerti dan kaget
melihat Pendekar Gila. Mereka nampak mulai ciut
"Aha! Ayo, kalau kalian mau menantangku,
mari...!" seru Pendekar Gila lalu melompat ke arah Wesi Geni dan Empat Jin Botak
dari Selatan "Pendekar Gila...!" seru Wesi Geni dan Empat Jin Botak dari Selatan, begitu
melihat Suling Naga Sakti di tangan kanan Pendekar Gila.
Sadiro yang merasa sudah kepalang basah,
dengan cepat dia berkelit dan melakukan serangan
balik yang dahsyat ke arah Purwadhika
"Tentunya kau masih ingat orang yang ber-
nama Ramapati, Sadiro...!" seru Purwadhika sambil terus melancarkan serangan
cepat yang sulit
diatasi. Sehingga sebentar saja Sadiro terdesak
dan.... Bukk! Bukkk!
"Aaaa...!" Sadiro memekik kena pukulan beruntun Purwadhika yang sudah tak mampu
me- nahan dendamnya.
"Siapa kau.... Ukh...!" keluh Sadiro sambil terhuyung-huyung.
"Aku putra tunggal Ramapati yang kau bu-
nuh dengan keji itu...!" Purwadhika bertambah ganas menyerang Sadiro yang nampak
kaget dan bertambah panik itu.
Namun pada kesempatan lain Sadiro dapat
mendaratkan pukulan telak ke dada Purwadhika.
Pemuda itu sempat terhuyung. Sadiro yang ber-
nafsu merampas keris pusaka itu, segera merang-
sek maju menyerang Purwadhika yang masih da-
lam keadaan terhuyung-huyung itu. Namun Lila-
sari yang melihat keadaan gawat itu, cepat melom-
pat menendang Sadiro, lalu disusul dengan sabe-
tan pedangnya. Bug! Srettt! "Aaakh...!"
Sadiro memekik keras. Tangan kirinya ter-
gores pedang dan kepalanya kena tendangan kaki
kanan Lilasari. Hingga tubuhnya tersungkur.
Namun Sadiro masih bisa bangkit dan kini
dia mulai mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Cepat dia mencabut pedangnya. Kemudian dengan
membuka jurus intinya yang dinamakan jurus
'Pedang Tengkorak Darah', Sadiro mempermainkan
pedang itu. Dari gerakannya menimbulkan suara
berdesing. Pedang yang berwarna hitam itu me-
mancarkan cahaya merah.
Zing, zing! Suara angin akibat tebasan 'Pedang Tengko-
rak Darah' terdengar nyaring. Sadiro mengangkat
pedang ke atas dengan kedua tangannya, seperti
memegang samurai.
Purwadhika yang melihat itu, segera mem-
buka jurus 'Bayu Menyibak Karang'. Seketika an-
gin kencang tiba-tiba datang. Sementara itu, Lilasari segera menjauh, namun
tetap waspada. Wa-
jahnya nampak cemas akan pertarungan itu. Dia
khawatir kalau Purwadhika akan kalah. Dan saat
itu Purwadhika cepat mencabut keris.
Sementara itu Wesi Geni telah mengelua-
rkan Kumbang Perak-nya untuk menghadapi Pen-
dekar Gila. Namun Pendekar Gila sudah siap dan
tanggap. Dengan cepat Pendekar Gila mengeluarkan
ajian 'Inti Brahma' untuk menghancurkan Kum-
bang Perak. Dengan menggosok telapak tangannya
Pendekar Gila mengerahkan tenaga dalam. Seketi-
ka telapak tangannya mengeluarkan api yang sulit
dipadamkan. Bola-bola api yang dilontarkan Pen-
dekar Gila menggulung dan membakar Kumbang
Perak milik Wesi Geni. Binatang itu coba meng-
hindari bola api yang terus mengejarnya. Akhirnya bola api itu membakar Kumbang
Perak, hingga hancur! Wesi Geni yang melihat senjata pamung-
kasnya mati, segera mengeluarkan pukulan 'Wesi
Ireng'. Dengan menggenggam kuat-kuat, Wesi Geni
melancarkan pukulan jarak jauh. Pukulan itu
mengeluarkan suara menggelegar, dan dari kepa-
lan tangan yang dihentakkan mengeluarkan besi-
besi hitam meluncur deras ke arah lawan. Pende-
kar Gila melenting ke udara sambil coba melan-
carkan serangan balasan dengan jurus 'Si Gila Me-
lebur Karang'. Maka tak pelak lagi terjadi ledakan dahsyat, akibat benturan besi
hitam dan pukulan
Pendekar Gila. Tubuh Wesi Geni terpental lima tombak dan
membentur batu besar. Wesi Geni memekik pan-
jang lalu tak bergerak lagi, karena kepalanya
membentur batu hingga pecah.
Melihat itu Empat Jin Botak dari Selatan
serentak menyerang dan mengurung Pendekar Gi-
la. Sena tampak hanya cengengesan dan mengga-
ruk-garuk kepala saja.
Kembali pada Purwadhika dan Sadiro yang
sudah mulai melakukan pertarungan dengan
mengeluarkan jurus-jurus mautnya.
Sadiro dengan cepat melabrak Purwadhika.
Melihat lawannya telah melesat menyerang, Pur-
wadhika segera menggeser kaki kanan agak mem-
buka. Kemudian langsung ditekuk hingga mem-
bentuk siku. Tangan kiri digerakkan ke atas, lalu-ditarik ke bawah dan
dilecutkan di depan dada.
Sedangkan Keris Naga Sakti di tangannya dis-
abetkan miring ke samping, lalu ditariknya lurus
ke depan dada. Kemudian, dilanjutkan dengan ge-
rakan memutar di depan tubuh. Disambung den-
gan gerakan berbareng antara pukulan tangan kiri
dan tebasan pedang.
"Heaaa...!"
Dengan jurus 'Tebasan Naga Menyambar
Mangsa, Purwadhika memapaki serangan Sadiro.
Keris di tangannya bergerak cepat, memburu tu-
buh lawan. Sadiro pun tak kalah hebatnya dengan
cepat pula menangkis sabetan Purwadhika.
"Yeaaa...!"
Trang! Klakk! "Ukh...!"
Sadiro mengeluh. Pedang andalannya pa-
tah, akibat beradu dengan Keris Pusaka Naga Sak-
ti. Cepat-cepat tubuhnya dilontarkan ke belakang, menghindar dari tusukan keris
Purwadhika yang
cepat dan garang. Pedang yang telah patah jadi ti-ga bagian masih digenggamnya.
Sadiro mulai ke-
cut. Bibirnya gemetaran, keringat dingin mulai
membasahi seluruh tubuh. Dan pukulan tangan
kiri Purwadhika yang telak tadi mengakibatkan
dadanya sesak. Dari mulutnya menetes darah se-
gar. Matanya membelalak lebar, ketika Purwadhi-
ka tiba-tiba menghentakkan Keris Pusaka Naga
Sakti ke arahnya. Dan dari ujung keris itu keluar cahaya yang menyilaukan.
Sadiro terkesiap melihatnya, cepat dia me-
lompat ke pinggir jurang menjauhi Purwadhika.
Dengan tenang Purwadhika melangkah maju sam-
bil mengarahkan ujung keris ke mata Sadiro. Sadi-
ro berteriak sambil menutupi kedua matanya.
"Aaaakh...! Jangan, panass...! Jangan!" seru Sadiro dengan gemetaran.
"Bukankah kau membunuh ayahku dengan
tanpa perasaan" Kau kini harus menerima ganja-
ran, Sadiro...!" seru Purwadhika terus mendekati Sadiro yang terus mundur-
mundur. Dia tak tahu
kalau di belakangnya ada jurang yang curam.
Purwadhika menghentikan langkahnya.
Sementara itu, Lilasari nampak tegang me-
lihat suasana yang mencekam. Sudah dua orang
mati. Sindang Manik dan Wesi Geni.
"Bagaimana perasaanmu ketika membunuh
ayah ibuku, Sadiro..."! Tentunya sama saja dengan perasaanku saat ini. Tak
mengenal rasa belas ka-sihan. Tapi, aku bukan pembunuh sepertimu. Kau
akan mati sendiri karena dosa-dosamu...!" selesai berkata, Purwadhika kembali
mengarahkan keris
pusaka ke mata Sadiro. Sadiro menjerit, karena
merasakan panas dan cahaya yang memancar dari
keris itu membuat matanya perih dan kabur.
"Jangan...! Jangan... ohh aaakh...!"
Sadiro yang terus mundur-mundur itu ka-
kinya terpeleset dan jatuh ke jurang yang curam di belakangnya. Tubuh Sadiro
melayang-layang, lalu
jatuh menancap pada batu cadas di bawah sana.
Purwadhika dan Lilasari yang menyaksikannya
nampak diam tak bersuara. Lilasari menyembu-
nyikan mukanya di dada Purwadhika.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya.... Itu
merupakan ganjaran bagi orang semacam Sadiro.
Ganjaran dari Hyang Widi...," kata Purwadhika sambil mendekap Lilasari.
Sementara itu Pendekar Gila yang tak jauh
dari tempat mereka masih menghadapi Empat Jin
Botak dari Selatan. Pendekar Gila dengan meliuk-
liuk mengelakkan serangan dan tebasan pedang
mereka. Purwadhika dan Lilasari segera ikut meng-
hadapi Empat Jin Botak dari Selatan.
"Hei..."! Apakah kalian masih menginginkan
keris ini"! Dan akan menyusul Sadiro ke nera-
ka..."!" Tersentak Empat Jin Botak dari Selatan ketika mendengar seruan
Purwadhika. Sesaat mere-
ka menghentikan serangan dan menoleh ke tempat
Sadiro tadi bertarung. Tak terlihat Sadiro lagi.
"Aha, sebaiknya urungkan niat kalian, ka-
lau masih ingin lebih lama hidup di dunia...," kata Pendekar Gila dengan tingkah
konyol. Empat Jin
Botak dari Selatan saling pandang. Lalu berseru.
"Kami harus mendapatkan keris itu. Apa
pun akibatnya...!" kata Jin Sudra. Lalu mereka serentak menyerang Pendekar Gila
dan Purwadhika.
Terjadi lagi pertarungan yang seru. Mereka
sama-sama mengeluarkan ilmu dan jurus-jurus
maut masing-masing. Namun Purwadhika dan
Pendekar Gila bukan musuh yang sembarangan.
Empat Jin Botak dari Selatan yang memang
memiliki ilmu lebih tinggi dari Sadiro, mula-mula
masih bisa bersiap untuk melakukan serangan ba-
lasan. Keempatnya kini tampak berjajar, dengan
gerakan yang cepat dan indah. Mereka membentuk
lingkaran. Sambil bergerak memutar cepat sekali,
mereka saling menusuk dan mengibaskan pedang
masing-masing secara cepat pula.
Jin Soka dan Jin Sudra melompat ke atas
lalu mendarat di atas bahu Jin Kobra dan Jin Ka-
la. Selanjutnya dengan teriak berbarengan keem-
patnya menyerang Purwadhika yang telah siap
dengan jurus mautnya. Pada saat Empat Jin Botak
dari Selatan menusuk dan membabatkan pedang,
Purwadhika cepat melompat ke udara. Dengan
ringan kakinya mendarat di atas pedang-pedang
lawan yang berada di atas bahu. Ditendangnya
dengan keras kepala Jin Sudra dan Jin Soka.
Bug, bug! "Aaaakh...!" seketika Jin Soka dan Jin Sudra terpental jatuh. Pada saat itu
pula, Jin Kobra dan Jin Kala yang memanggul keduanya membabatkan pedang masing-
masing, ketika Purwadhika
hendak mendarat.
Wut, wuttt! "Hop...!"
Purwadhika cepat bersalto di udara sebelum
kakinya menyentuh tanah. Dan mendarat dengan
ringan agak jauh dari Jin Kala dan Jin Kobra.
Empat Jin Botak dari Selatan kini kembali
bersatu dan secara cepat melompat bersama-sama
sambil mengangkat pedang. Purwadhika yang su-
dah tak ingin berlama-lama, cepat mencabut Keris
Pusaka Naga Sakti. Seketika sinar putih kepera-
kan memancar terang ke arah mata Empat Jin Bo-
tak dari Selatan. Seketika pula Empat Jin Botak
dari Selatan itu menjerit. Tubuh mereka terpental jauh ke belakang, seakan ada
sesuatu tenaga yang
mendorong mereka dengan kuat. Bagaikan ada
angin topan, ketika Purwadhika menggerak-
gerakkan Keris Pusaka Naga sakti itu dengan ce-
pat, lalu menghentakkannya ke depan, seperti me-
nusukkan ke arah lawan.
"Aaaaooow...!"
Jeritan panjang terdengar dari Empat Jin
Botak dari Selatan. Keempatnya ambruk dan me-
muntahkan darah segar dari mulut masing-
masing. Mata mereka seketika buta, walaupun te-
tap terbuka. Sedang wajah mereka hangus bagai


Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbakar. Itulah kedahsyatan Keris Pusaka Naga
Sakti. Tubuh lelaki berkepala botak itu kejang-
kejang kemudian mati.
Purwadhika yang melihat Empat Jin Botak
dari Selatan mati, ada rasa penyesalan. Namun
semua sudah terjadi, semua sudah takdir. Karena
merekalah yang menginginkan kematian, hanya
karena Keris Pusaka Naga Sakti yang mempunyai
kesaktian luar biasa.
"Ooh... Hyang Widhi, ampuni aku! Aku tak
bermaksud membunuh mereka...," gumam Pur-
wadhika lirih. Matanya menatap Empat Jin Botak
dari Selatan yang sudah tak bernyawa lagi itu.
Pendekar Gila nampak merasa kagum juga
akan kedahsyatan keris bekas milik kakeknya itu.
Dia lalu dengan tenang melangkah mendekati
Purwadhika dan Lilasari yang sudah lebih dulu
ada di sisi Purwadhika.
"Tak usah kau sesalkan. Bukan kamu yang
membunuhnya. Tapi, mereka sendiri yang men-
gantar nyawa. Hanya karena kemurkaan dan ke-
rakusan mereka untuk memiliki Keris Pusaka Na-
ga Sakti itu...," tutur Sena sambil memegang bahu Purwadhika lembut
Purwadhika hanya mengangguk pelahan,
lalu menghela napas dalam-dalam.
"Tapi kalau tanpa adanya Kakang Sena
yang mempunyai rencana itu, tak mungkin aku
sekarang masih bisa memiliki Keris Pusaka Naga
Sakti ini...," kata Purwadhika sambil memandangi keris yang tergenggam di tangan
kanannya. "Aku pun juga ingin berterima kasih pada
Kakang Sena, yang telah melindungiku...," sejenak Lilasari melirik ke arah
Purwadhika lalu berkata
lagi, "Dan, kalau ayahku masih hidup... tentu beliau sangat gembira dan bangga,
karena aku bisa
bertemu dan berkenalan dengan pendekar yang
kondang saat ini. Ayahku termasuk salah satu
pengagum Kakang Sena..," lanjut Lilasari dengan polos dan tersenyum manis.
"Ah, kau ini ada-ada saja. Tapi aku pun
sangat menyesal dan ikut berdukacita mendengar
Kanjeng telah meninggal dunia. Semoga Hyang
Widhi menerimanya di tempat yang layak di sisi-
Nya...," tutur Sena
Purwadhika dan Lilasari kembali terse-
nyum-senyum. Pemuda itu merangkul erat Lilasari
penuh kasih sayang. Lilasari pun dengan manja
menyandarkan kepala perlahan di dada Purwadhi-
ka. Sena menggaruk-garuk kepala dan terse-
nyum-senyum memandangi kedua muda-mudi itu.
Lalu tertawa-tawa sendiri. Lilasari dengan Pur-
wadhika ikut tertawa, merasa geli melihat tingkah Sena yang konyol itu.
Kebahagiaan kini terpancar wajah keti-
ganya. Kegelapan telah sirna, kini datang cahaya
terang di hati mereka. Terutama untuk Purwadhi-
ka dan Lilasari.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Kedele Maut 9 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Golok Bulan Sabit 1
^