Keris Naga Sakti 2
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti Bagian 2
Plakkk! Bug! Bug! "Aaaakh...!"
Kontan Cilung dan Burisrawa terpental dan
ambruk di tanah. Secepat itu pula Pendekar Gila
menyambar tubuh Purwadhika, lalu membawanya
kabur. Sekejap Sena sudah tak kelihatan.
Sementara itu, Cilung dan Burisrawa baru
bergerak bangun.
"Bangsat...! Siapa yang menolong pemuda
itu..."!" sungut Cilung dengan geram, lalu memba-cokkan goloknya ke tanah.
"Edan, pinggangku hampir patah! Pasti pe-
nolong pemuda itu, orang yang kucurigai sejak ta-
di...!" Sejenak Burisrawa menyapukan pandangan matanya ke sekitar tempat itu.
Diperhatikannya
rumah-rumah penduduk, barangkali pemuda itu
masih berada tak jauh. Ternyata tidak ada. Hanya
orang-orang yang tampak menyaksikan dengan ra-
sa takut dari kejauhan.
"Ada apa kau, Burisrawa..."!" tanya Cilung.
"Sudah kuduga, dia pasti Pendekar Gila...!"
seru Burisrawa penuh keyakinan.
"Hah..."!" Cilung nampak terkejut. "Apa kau tidak mabuk..."!" tanya Cilung masih
dalam keter-kejutannya mendengar Burisrawa menyebut nama
Pendekar Gila. "Aku yakin. Hanya dialah yang bisa berbuat
seperti tadi.... Dan pakaian rompi kulit ular, serta tingkahnya itu yang
kuingat," jawab Burisrawa dengan bergetar suaranya.
"Celaka! Kita akan mendapat kesulitan...!
Sebaiknya kita cepat pergi dari sini!" ujar Cilung, lalu segera dia melangkah
sambil memegangi ru-suknya.
Orang-orang yang menyaksikan dari depan
rumah makan tersenyum-senyum sinis melihat
kedua orang itu ngeluyur pergi.
4 Sena baru saja menyembuhkan luka dan
mengeluarkan racun yang menjalar di tubuh Pur-
wadhika. Murid Ki Tunggul Segara itu tampak le-
mas. Wajahnya yang pucat, basah oleh keringat
dingin. "Makanlah ini! Mudah-mudahan kau akan
kembali sehat dan sembuh," kata Sena sambil
mengulurkan tangan memberi obat pada Purwad-
hika. Purwadhika mengambil obat dari tangan
Sena dan segera memakannya. Mata pemuda itu
sedikit tertutup, kepalanya bersandar di batang
pohon yang rindang.
Sena berdiri meninggalkan Purwadhika
yang tertidur lemas di bawah pohon. Dia ingin
membiarkan pemuda itu, agar pulih kesehatannya.
Tak beberapa lama kemudian, Purwadhika
sudah mulai nampak segar. Wajahnya mulai me-
rah dialiri darah. Perlahan dia membuka kedua
matanya. Pemuda itu tampak kaget dan segera
berdiri. Lalu memeriksa keris pusakanya. Dia me-
rasa lega, ketika melihat keris itu masih terselip di pinggangnya.
"Mengapa diriku ada di sini..." Siapa tadi
yang membawaku ke tempat sunyi ini. Bukankah
tadi aku...," belum sempat Purwadhika melan-
jutkan kata-katanya, tiba-tiba....
Kresekkk! Terdengar langkah seseorang dari balik se-
mak-semak. Purwadhika segera bersiap untuk mengha-
dapi segala kemungkinan. Dari arah suara tadi
muncul Sena. Sambil tersenyum cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala, dia melangkah dengan
tenang menatap Purwadhika.
Purwadhika mengerutkan kening, meman-
dangi Sena dari atas ke bawah. Pandangannya
terhenti pada sebuah benda yang terselip di ping-
gang Sena. Kening pemuda itu semakin berkerut,
seakan tengah mengingat-ingat pesan gurunya
yang pernah menyebut nama seorang pendekar.
"Aha, rupanya kau sudah segar kembali,
Sobat. Aku senang melihatmu sehat kembali....
Ternyata Hyang Widhi masih memberikan mukji-
zat pada obat itu...," kata Sena dengan cengar-cengir dan menggaruk-garuk
kepala, bertingkah
konyol seperti orang gila.
Purwadhika terus mengingat-ingat dan me-
mandangi tingkah Sena.
"Ah ah ah..., kenapa kau menatapku begi-
tu" Apa ada yang aneh...?" tanya Sena sambil tertawa dan menepuk-nepuk pantatnya
sendiri. "Ya, ya... aku ingat... kau... kau kalau tak salah, Sena...," Purwadhika
mengingat-ingat sambil memegang keningnya. "Se... Sena Manggala...
atau Pendekar Gila...!" lanjut Purwadhika dengan wajah berseri lalu menjura.
"Aha..."! Kau ini ngaco, Sobat. Apa orang
sepertiku ini pantas jadi pendekar.... Siapa kau
sebenarnya?" Sena balik bertanya.
Sesaat kedua pemuda gagah itu saling pan-
dang. Sena tersenyum cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala.
Purwadhika kembali menjura. Lalu berkata
dengan tegas. "Aku Purwadhika, cucu Ki Tunggul Sega-
ra...." Mendengar nama Ki Tunggul Segara, Sena mengerutkan kening. Matanya
menatap tajam Purwadhika, seperti menyelidik. Namun kemudian
tertawa-tawa kecil.
"Cucu Ki Tunggul Segara...?" ulang Sena perlahan, "He he he..., benarkah Ki
Tunggul Segara mempunyai cucu sepertimu.... Tapi, sudahlah aku
mau pergi...."
"Tunggu Sobat...!" cegah Purwadhika, lalu mencabut Keris Pusaka Naga Sakti dari
pinggangnya. "Inilah tanda kebenaran bahwa aku cucu Kakek Guru Ki Tunggul Segara
yang berjuluk Pende-
kar Bijaksana itu...."
Purwadhika mengulurkan kedua tangannya
yang memegang keris pusaka itu ke arah Sena.
Sena mengerutkan kening, seketika wajah-
nya berubah tegang. Sebab, mendadak dia teringat
pada kedua orangtuanya yang mati terbunuh, oleh
Segoro Wedi. (Tentang Segoro Wedi, silakan baca
serial Pendekar Gila pada episode: "Suling Naga Sakti"). Karena jika Keris
Pusaka Naga Sakti sempat diterima ayahnya dari Ki Aji Sena, Kakek Sena,
kemungkinan Citra Yudha ayah Sena tak akan kalah atau mati ditangan Segoro Wedi.
Sejenak Sena menghela napas dalam-
dalam. Matanya masih menatap keris itu. Purwad-
hika tahu kalau Sena sedang melamun, mengingat
nasib kedua orangtuanya.
"Maafkan aku, Sobat. Tentunya kau telah
yakin bahwa aku tidak mendustaimu...," ucap
Purwadhika pelan.
"Bagaimana kabar kakekmu?" tanya Sena
tiba-tiba. "Beliau baik-baik saja. Kakek Guru telah
menceritakan semuanya padaku tentang keris ini,
juga tentang dirimu, Sobat. Aku sangat bersyukur
pada Hyang Widhi, bisa bertemu denganmu. Aku
juga sangat berterima kasih, kau telah menyela-
matkanku dari orang-orang serakah dan murka
itu...," kata Purwadhika polos.
"Simpanlah keris itu baik-baik! Kau ten-
tunya tahu, bahwa keris itu sedang dicari dan di-
perebutkan para tokoh hitam. Termasuk kedua
orang yang bertarung denganmu tadi. Tujuanku
datang kemari memang untuk menyelamatkan ke-
ris itu. Dan kini hatiku pun merasa lega, karena
keris itu ada di tanganmu. Tapi kita harus tetap
waspada. Karena saat ini mereka sedang mencari
di mana keris itu berada...," kata Sena menjelaskan pada Purwadhika.
"Aku pun telah mengetahui dari kakekku.
Lantas apa upaya kita agar keris ini aman?" tanya Purwadhika.
Sena menghela napas sejenak, lalu mengga-
ruk-garuk kepala sebentar.
"Tentu kau dan aku sudah dikenal oleh to-
koh-tokoh yang ingin merebut Keris Pusaka Naga
Sakti itu. Dan tentunya, kedua orang yang hendak
membunuhmu di Kutareja itu kelompok mere-
ka...," tutur Sena kemudian.
"Benar. Karena salah satu dari orang yang
bentrok denganku itu adalah pembunuh ayah ibu-
ku," jawab Purwadhika menjelaskan.
Sena tersentak mendengar penuturan Pur-
wadhika. Ditatapnya wajah Purwadhika yang
mendadak berubah sedih dengan kepala mendon-
gak ke atas. Sena merasa iba mendengarnya.
Sejenak mereka sama-sama diam tak berka-
ta sepatah kata pun. Pendekar Gila mondar-
mandir sambil menundukkan kepala, mencari ja-
lan agar bisa leluasa bergerak untuk menyelidiki
orang-orang yang memperebutkan keris pusaka
itu. "Aha, aku mendapat akal!" seru Sena tiba-tiba. "Bagaimana?" tanya
Purwadhika tak sabar.
"Kita harus menyamar sebagai peminta-
minta. Aku berpura-pura buta dan sakit-sakitan.
Dan kau menuntunku ke mana tempat yang kita
curigai," kata Sena diiringi senyum.
"Boleh juga, tapi bagaimana kita bisa seperti orang susah...?" tanya Purwadhika
mulai tertarik.
"Tenang saja. Kita hidup harus pandai ber-
sandiwara dan berpura-pura. Kalau tidak, bisa te-
rinjak-injak oleh mereka-mereka yang berkuasa
serta rakus akan harta dan kekuasaan," tutur Se-na pada Purwadhika.
"Aku sependapat denganmu Kak Sena. Aku
banyak dengar dari Kakek Guru, bahwa rimba
persilatan pun tak luput dengan adanya orang-
orang serakah dan durjana. Tak terkecuali tokoh-
tokoh aliran lurus dan yang beriman lemah, bisa
bersekutu dengan mereka yang beraliran sesat. Ya
demi kepentingan diri sendiri...."
Sejenak Purwadhika menghela napas pela-
han. "...seperti orang-orang kepercayaan ayahku, yang akhirnya berkhianat bahkan
tega membunuhnya dengan keji. Hanya karena ingin mengua-
sai keris pusaka ini.... Padahal ayahku waktu itu
tidak menyimpannya. Kakekkulah sebenarnya
yang menyimpan keris ini, hingga beliau juga me-
rasa bersalah dan bertanggung jawab atas kema-
tian kedua orangtua ku. Kakek pun rela mati jika
memang orang-orang itu mengetahui bahwa kakek
yang menyimpan keris pusaka ini, sebelum dis-
erahkan padaku...," tutur Purwadhika lebih lanjut.
"Tapi, keris itu kini kan sudah berada di
tanganmu...," sahut Sena.
"Ya, tapi aku khawatir dan merasakan
orang-orang itu telah tahu kalau Keris Naga Sakti ada di kakekku," kata
Purwadhika. "Bagaimana kau bisa mempunyai perasaan
itu...?" tanya Sena coba memancing emosi Purwadhika. Sebenarnya Pendekar Gila
pun sudah merasakan hal yang sama dengan Purwadhika.
"Karena Cilung, salah satu pembunuh ke-
dua orangtua ku itu. Orang yang bentrok dengan-
ku di rumah makan tadi nampaknya akan mencari
atau dalam perjalanan ke tempat kakekku...," jawab Purwadhika tegas.
Pendekar Gila tersenyum cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. Lalu berkata,
"Kau benar. Aku pun tadi mendengar oce-
han mereka di rumah makan tadi. Dia memang
sedang mencari keris yang kau sandang itu. Nah,
sekarang kita harus atur siasat..."
"Siasat!" ulang Purwadhika sambil mengerutkan kening.
"Ya. Aku akan menyamar dan tetap dengan
seperti ini...," ucap Sena, lalu membisikkan sesuatu pada Purwadhika,
Purwadhika mengerutkan kening, kemudian
tersenyum sambil menganggukkan kepala tanda
setuju. Kedua pemuda gagah dan tampan itu berja-
bat tangan erat, menandakan persahabatan yang
kuat dan sehati mulai terpadu.
"Benar, kata Kakek Guru, bahwa kau pen-
dekar sejati dan berbudi luhur, Kak Sena...," suara Purwadhika yang polos dan
tegas itu hanya membuat Sena cengar-cengir dan berkata,
"Kau jangan terlalu berlebihan memujiku.
Aku sama denganmu. Kau juga akan menjadi pen-
dekar yang disegani, asalkan mau menjalankan
ajaran kakekmu dengan benar...," kata Sena lalu menepuk pundak Purwadhika.
Setelah itu Pendekar Gila melesat pergi, se-
raya berkata lagi, "Jalankan pesanku dengan baik!
Kita harus menjebak mereka...!"
Sekejap Sena menghilang dari pandangan.
Purwadhika menghela napas lega. Wajahnya nam-
pak cerah. *** Sementara itu Cilung dan Burisrawa men-
jadi semakin buas dan ngawur, karena kegagalan-
nya mencari Purwadhika dan Sena. Keduanya jadi
tak terkendali, membunuh dan merusak rumah-
rumah orang yang dilewati. Mereka keluar masuk
hutan dan naik turun bukit, hanya untuk mencari
Purwadhika dan orang yang menolongnya.
"Kita sebaiknya kembali pada rencana kita.
Menuju tempat persembunyian si Kakek Tua
Tunggul Segara.... Kalau tidak kita akan mendapat marah Sadiro dan Sindang
Manik," kata Burisrawa kesal. "Aaah, persetan! Aku belum puas, sebelum dapat
membunuh pemuda itu dan Pendekar Gila!"
jawab Cilung geram.
"Kau jangan gegabah, Cilung! Kau pikir
Pendekar Gila dapat mudah ditemukan dan kau
kalahkan"! Kau bisa celaka sendiri." Sindang Manik, Empat Jin Botak dari
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selatan, Sadiro, atau
Wesi Geni pun tak akan mampu menandingi Pen-
dekar Gila seorang diri!" sahut Burisrawa semakin kesal dan mulai muak dengan
kawannya itu. Maka terjadilah perdebatan sengit antara
mereka. Dan semakin keras ucapan-ucapan yang
dilontarkan. Bahkan akhirnya terjadilah bentrokan fisik antara mereka.
"Hhh... kau memang manusia pengecut,
Burisrawa! Heaaatt!"
Cilung yang sudah tak bisa menahan emosi
langsung menyabetkan goloknya ke tubuh Buri-
srawa. Namun Burisrawa menangkis dengan go-
loknya pula. Trang, trang, trang!
"Heaaa...!"
Burisrawa mencecar dengan permainan go-
loknya yang cepat, tak memberikan kesempatan
pada Cilung untuk melakukan serangan balik.
"Kau Manusia Bodoh, Cilung! Aku tak mau
mati konyol...!" seru Burisrawa sambil membabatkan goloknya ke kepala Cilung.
Golok itu mele-
sat begitu cepat hingga membuat rambut Cilung
rontok. "Hah...!"
Cilung tersentak kaget. Sementara Burisra-
wa agak terhuyung karena keseimbangan kakinya
tak sempurna. Maka dengan cepat Cilung menen-
dang Burisrawa.
Bug, bug! "Akh...!"
Burisrawa memekik keras ketika tubuhnya
tersuruk ke tanah. Cilung tertawa puas, lalu me-
lompat hendak menghabisi Burisrawa yang menu-
rutnya tak bisa dipercaya lagi.
"Kau harus dihabisi!" gumam Cilung geram sambil melangkah mendekati Burisrawa
yang masih tengkurap. Cilung mengangkat tangan kanan-
nya yang menggenggam golok, mau menebas tu-
buh Burisrawa. Namun tiba-tiba....
"Tunggu...!"
Terdengar suara seseorang berseru, mem-
buat Cilung kaget dan cepat membalikkan badan.
Sementara itu Burisrawa mulai bangun.
"Kau...!" bentak Cilung dengan mata membelalak lebar
"Kenapa kau" Kaget melihatku..."!" sahut seorang pemuda yang ternyata
Purwadhika. "Bukankah kau mencariku?"
"Bukan hanya mencari. Aku ingin membu-
nuhmu...!" sahut Cilung geram, lalu membuka jurus. "Kau memang pembunuh licik,
Cilung...!"
tukas Purwadhika dengan tegas, sambil menyi-
pitkan kedua mata, seakan menahan dendam di
dalam hatinya. "Hah"!" gumam Cilung lirih. Wajahnya berubah kaget, begitu mendengar namanya
disebut Purwadhika. "Dari mana kau tahu namaku..."!"
Sementara itu Burisrawa tersenyum sinis
pada Cilung. Kemudian berkata sambil mendekati
lawannya itu yang mulai gusar.
"Kenapa kau gugup, Sobat" Pemuda itu
mengenalimu. Tentunya... pemuda itu sudah lama
mengenalmu...," ujar Burisrawa menyindir.
"Mengenali orang semacam kau tak sulit,
Cilung! Walaupun kini kau mulai menua," pancing Purwadhika yang sebenarnya belum
pernah bertemu dengan Cilung. Purwadhika hanya ingin
mendapat kepastian bahwa Cilung memang salah
satu pembunuh kedua orangtuanya.
"Siapa kau sebenarnya..."!" bentak Cilung.
Purwadhika tak langsung menjawab. Dia tampak
berpikir sejenak, mencari siasat.
"Apakah namaku sangat berarti buatmu"
Sebaiknya kau tanyakan pada sahabatmu Mandra
dan Sadiro!"
Suara Purwadhika penuh penekanan pada
waktu menyebut nama Mandra dan Sadiro. Mem-
buat Cilung bukan main kagetnya. Kegugupannya
semakin nampak jelas. Sejenak dia menoleh ke
arah Burisrawa yang tersenyum mengejek. Lalu
kembali menatap Purwadhika dengan perasaan
cemas, tegang bercampur heran.
"Kau... kau kenal juga dengan Sadiro dan
Mandra.... Di mana, kapan kau mengenai kedua
sahabatku itu"!" tanya Cilung coba membentak
Purwadhika. Purwadhika semakin yakin, bahwa Cilung
merupakan salah satu pembunuh kedua orangtu-
anya. Matanya menatap tajam Cilung. Sementara
dadanya berdetak cepat, menahan rasa dendam
yang mulai membara. Namun dicobanya untuk
melawan perasaan itu, karena tiba-tiba kembali teringat akan pesan kakeknya.
"Mestikah aku biarkan manusia licik ini te-
tap hidup" Apakah aku bisa membiarkan orang
seperti Cilung bebas berbuat semaunya terhadap
orang lain, seperti yang dia lakukan pada ayah dan ibuku?" begitu pertanyaan di
dalam benak Purwadhika.
"Tak perlu aku menjawab pertanyaanmu,
yang jelas kaulah orang yang kucari. Dan kau per-
lu sadar. Tinggalkan sifat murka dan serakahmu,
jika kau ingin hidup damai di hari tuamu...," kata Purwadhika setelah dapat
menguasai diri dan me-nekan perasaan dendam kesumatnya terhadap Ci-
lung. "Ha ha ha...! Pemuda ini lucu. Rupanya kau ini seorang pendeta yang suka
berkotbah! Hei,
Anak Muda, sebaiknya kau jadi pendeta saja atau
kyai. Sebelum ajalmu tiba. Aku muak dengan oce-
hanmu. Heaaa...!"
Cilung langsung menyerang Purwadhika
dengan beringas dan penuh amarah. Sedangkan
Burisrawa hanya menonton saja pertarungan itu.
Dengan pandangan sinis pada Cilung.
Sebentar saja Cilung mulai terkuras tena-
ganya, karena Purwadhika yang masih muda terus
sengaja melakukan hal itu.
"Sebaiknya kau panggil Sadiro dan Mandra
untuk membantumu...!" seru Purwadhika menge-
jek, menggugah kemarahan Cilung.
"Bangsat! Kurang ajar...! Mampus kau!
Huh!" Cilung membabatkan goloknya ke arah kaki lawan. Namun sambil melompat
Purwadhika melakukan tendangan berputar, tepat mengenai mu-
ka Cilung. Hingga tubuh Cilung melintir dan ter-
huyung ke samping. Nampak lelaki setengah tua
itu merasakan tendangan Purwadhika yang keras,
membuat kepalanya pening.
"Hem...! Anak muda ini tidak boleh diang-
gap remeh," gumam Cilung dalam hati.
Lalu Cilung membuka jurus pamungkas-
nya, 'Golok Maut Pencabut Nyawa'. Diputar den-
gan cepat goloknya, hingga nampak seperti baling-
baling, menimbulkan suara menderu keras. Angin
kencang pun seketika bertiup. Cilung melompat-
lompat seperti rusa, disusul dengan lompatan salto di udara, kemudian menukik
sambil membabatkan goloknya ke kepala lawan.
Purwadhika tersentak kaget, melihat begitu
cepat serangan Cilung, tahu-tahu sudah berada di
atas kepalanya. Maka dengan cepat Purwadhika
mencabut Keris Pusaka Naga Sakti.
Mendadak Cilung terpekik dan mengurung-
kan serangan susulan. Hawa panas bagai api men-
jalar begitu Keris Naga Sakti keluar dari warang-
kanya. Burisrawa pun tersentak kaget bukan main.
Segera dia bersiap dan mencabut golok, kemudian
bersatu dengan Cilung untuk merampas Keris Na-
ga Sakti yang ada di genggaman tangan kanan
Purwadhika. "Ha ha ha...! Kenapa kalian berdua melon-
go..."! Bukankah keris ini yang ingin kalian cari!
Ambillah...!" kata Purwadhika dengan suara menggelegar.
Dari keris itu memancar cahaya yang me-
nyilaukan Cilung dan Burisrawa. Membuat kedua
orang aliran hitam itu bagai buta tak bisa melihat apa-apa.
"Aaakh... aku tak dapat melihat... Oooh jan-
gan arahkan keris itu padaku! Aaakh...!" pinta Cilung sambil menutup mata dengan
tangannya. "Kenapa kau"! Inilah keris yang membuat
kau membunuh kedua suami-istri bekas atasan-
mu delapan belas tahun yang silam...!" suara Purwadhika terdengar tegas dan
menggelegar. Cilung jadi semakin kaget. Dadanya naik
turun dengan cepat karena menahan rasa cemas
dan takut "Siapakah pemuda itu" Mungkinkah dia
anak Ramapati"! Celaka!" gumam Cilung lirih.
Burisrawa yang melihat temannya cemas
dan ketakutan, jadi keheranan. Mulai timbullah
pikiran jahatnya. Karena ujung keris itu diarahkan ke Cilung, maka sinar perak
yang menyilaukan
dan mengandung hawa panas itu tidak terasa pa-
nas bagi tubuh Burisrawa. Maka niat untuk men-
guasai keris itu menjadikan Burisrawa tak segan-
segan membunuh Cilung yang masih dalam kea-
daan menutup kedua mata dengan lengannya.
"Kesempatan ini tak akan kusia-siakan. Ka-
lau dia mati, hanya akulah yang mengetahui di
mana keris itu berada.... Dan aku akan melapor
bahwa Cilung mati oleh Pendekar Gila...!" gumam Burisrawa dalam hati.
Maka dengan gerakan cepat Burisrawa
membabatkan goloknya, menebas kepala Cilung.
Crasss! Seketika Cilung mati tak mengeluarkan su-
ara lagi. Kepala Cilung putus menggelinding di tanah. Burisrawa nampak senang
dan kemudian ka-
bur. Meninggalkan Purwadhika.
Purwadhika yang tak menduga sama sekali
akan hal itu hanya bisa terkesiap. Setelah bebera-pa saat baru dia melesat coba
mengejar Burisrawa, namun lelaki berambut keriting itu sudah tak kelihatan.
"Edan! Kenapa jadi begini. Celaka! Pasti Burisrawa memberitahu Sadiro dan
kelompoknya...!"
gumam Purwadhika sedikit gusar.
Didekatinya mayat Cilung, wajahnya nam-
pak penuh penyesalan.
"Guru, bukan aku yang membunuh orang
ini.... Hyang Widhi ampuni orang ini...!" gumam Purwadhika dengan tulus. Lalu dia
meninggalkan tempat itu. 5 Purwadhika berusaha mencari Pendekar Gi-
la untuk memberitahu, bahwa rencana harus be-
rubah. Karena Cilung mati di tangan Burisrawa
yang telah mengetahui Keris Naga Sakti ada pa-
danya. "Aku harus cepat menemui Kak Sena. Kalau tidak, rencana itu bisa
berantakan...," gumamnya sambil terus berlari menuruni perbukitan.
Ketika Purwadhika sampai di suatu dataran
berbatu yang dikelilingi pepohonan tiba-tiba ter-
dengar langkah derap kaki kuda dari arah utara.
Pemuda itu segera melompat dan bersembunyi di
balik batu besar.
Derap kaki kuda semakin dekat. Purwadhi-
ka coba mengintip dari balik batu itu, ketika empat orang berkuda melintas di
depannya. Empat orang berkepala botak dengan pa-
kaian serba kuning kemerahan berlengan pendek.
Baju mereka yang panjang dibiarkan terbuka begi-
tu saja. Hingga dadanya yang berbulu nampak je-
las. Wajah mereka seperti kembar.
"Siapakah mereka"! Mungkin mereka ke-
lompok Sadiro?" bertanya-tanya Purwadhika dalam benaknya.
Purwadhika tak segera beranjak dari tem-
patnya, dia nampak berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba melesat ke arah yang sama,
ke selatan, seperti
arah keempat lelaki botak tadi.
Sementara itu tanpa sepengetahuan Pur-
wadhika, muncul lelaki bertutup muka hitam. Ke-
palanya juga tertutup rapat kain hitam, sehingga
hanya matanya yang tersisa. Pakaian yang dikena-
kan pan serba hitam
Sebuah benda terselip di pinggangnya, tak
begitu jelas, karena tergenggam telapak tangan.
Rambutnya yang panjang agak ikal dibiarkan lepas
begitu saja, hingga nampak angker. Tubuhnya
yang tegap berdiri di atas sebuah batu. Meman-
dangi Purwadhika yang berlari mengikuti keempat
lelaki botak berkuda tadi.
"Huh"!" dengus lelaki dengan tutup muka hitam itu. Lalu lelaki misterius itu
melesat pula ke arah Purwadhika pergi. Begitu ringannya gerakan
yang dilakukan lelaki berpakaian serba hitam. Lincah dan gesit, menandakan bahwa
dirinya, memi- liki ilmu peringan tubuh yang tinggi. Bagai terbang lelaki misterius berpakaian
serba hitam itu. Dalam sekejap sudah melesat jauh sekali.
Dari balik lembah, muncul keempat lelaki
botak berkuda, lalu menuruni lembah itu. Mereka
memacu kuda dengan cepat, walaupun jalan yang
dilalui sangat terjal, berbatu-batu dan menurun.
Tak lama kemudian mereka telah memasuki
sebuah kawasan hutan jati. Dalam jarak yang
agak jauh, sesosok bayangan berkelebat mengikuti
mereka, berlari ke arah yang dituju kuda-kuda itu.
Rupanya Purwadhika. Pada saat yang bersamaan,
sosok berpakaian dan berkedok serba hitam itu
melompat-lompat di atas pohon, dari pohon yang
satu ke pohon yang lain. Begitu seterusnya, bagai seekor kera melompat dengan
gerakan ringan dan
cepat. Bahkan kini telah meninggalkan Purwadhi-
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ka. Sampai di suatu tempat, keempat kuda
yang ditumpangi empat lelaki botak dari selatan
itu tiba-tiba berhenti dan berbalik arah. Keempatnya terjajar seperti menghadang
seseorang. Ru- panya mereka merasa bahwa ada yang mengiku-
tinya. Keempat lelaki berkuda itu tak lain Empat
Jin Botak dari Selatan.
"Hemm...!" salah seorang mendengus. Ma-
tanya menatap ke depan. Begitu juga yang lain.
"Ke mana tikus itu..."!" gumam Jin Sudra dengan suara berat
"Aneh, begitu cepat dia menghilang," sahut Jin Soka. Kemudian matanya melihat ke
atas pohon-pohon jati yang ditumbuhi ranting dan de-
daunan cukup subur dan lebat. Tak terlihat tanda-
tanda kalau ada orang. Juga di sekeliling hutan
itu. Kemudian keempatnya membalikkan lagi
arah kuda mereka menuju selatan. Namun kali ini
mereka berpencar, terbagi dua dengan jarak lima
belas tombak dua di kiri dan dua di kanan.
Ketika mereka baru keluar dari hutan jati,
sesosok bayangan melayang di udara. Setelah ber-
salto beberapa kali sosok itu mendarat dengan ringan di atas sebuah gundukan
tanah yang seperti
bukit berbatu. Empat Jin Botak dari Selatan seketika
menghentikan kuda mereka. Keempatnya saling
pandang dengan sikap waspada.
"Hei, Kisanak...! Siapa kau dan untuk apa
mengikuti kami?" tanya Jin Sudra pada sosok berpakaian serba hitam dengan muka
tertutup rapat itu. "Aha...! Kau salah menduga, Sobat. Aku tak pernah menguntit orang. Sebelum
kalian ada di sini, aku telah seharian di sini," jawab orang tertutup wajah kain hitam itu
coba berbohong.
Pada saat itu di belakang Empat Jin Botak
dari Selatan yang masih duduk di atas kuda mas-
ing-masing, kejauhan nampak seorang sedang
mengendap-endap. Kemudian melompat bersem-
bunyi di balik batu.
"Kisanak, sekali lagi jawab yang jujur siapa kau...!" kembali Jin Sudra
bertanya, kali ini nada suaranya mulai keras.
"Aha, rupanya kau cepat naik darah, Sobat.
Baiklah, panggil saja aku Manusia Bayangan!
Puas..."!" dari suaranya, jelas orang berpakaian serba hitam itu adalah laki-
laki. "Manusia Bayangan..."! Huh! Tepat sekali.
Tapi apa maksudmu menghalangi kami" Cepat ja-
wab, sebelum kesabaranku hilang!" bentak Jin Kobra yang paling galak, dengan
mata mendelik. Pada saat itu orang yang bersembunyi di
balik batu besar berjarak sepuluh tombak dari me-
reka, muncul dan ternyata Purwadhika. Pemuda
itu menyandarkan kepala di batu sambil menge-
rutkan kening. "Mungkinkah orang berpakaian serba hitam
itu Kakang...."
Purwadhika tak meneruskan kata-katanya.
Dia hanya tersenyum lebar dan kembali mengha-
dap ke arah keempat lelaki botak yang sedang
berhadapan dengan Manusia Bayangan.
"Kalian ini mau ke mana, memasuki daerah
ku! Sebaiknya kalian kembali saja. Kalau kalian
ingin selamat...," kata Manusia Bayangan dengan nada mengejek.
"Kurang ajar! Kau kira kami ini anak kecil
kau gertak begitu! Kau memang perlu diberi pela-
jaran Manusia Bayangan...!" bentak Jin Kobra yang paling cepat marah itu, seraya
menghu-nuskan pedangnya.
"Aha... sabar, Sobat. Kalian tentunya se-
dang mencari sesuatu yang sangat berharga. Dan
aku yakin kalian juga seperti para tokoh-tokoh
persilatan lain, ingin menguasai sebuah benda pu-
saka yang saat itu sedang diperebutkan mereka...!"
tutur orang yang menamakan dirinya Manusia
Bayangan dengan nada menyindir.
Empat Jin Botak dari Selatan saling pan-
dang dan mendengus.
"Hei, Manusia Bayangan! Cepat kau bicara
jujur! Apa kau tahu di mana sebenarnya pusaka
itu saat ini..."!" tanya Jin Soka sambil mende-katkan kudanya ke arah Manusia
Bayangan yang tetap tenang dan berdiri tegap di atas gundukan
tanah berbatu itu.
"Ha ha ha...! Apakah kalian ini sejak tadi tidak merasakannya" Bukankah kalian
orang-orang yang berilmu tinggi?" ejek orang yang mengaku dirinya Manusia Bayangan.
"Hei, jangan bertele-tele, cepat katakan apa maksudmu mengejek kami...!" bentak
Jin Kobra lagi. Sementara itu Purwadhika terus menge-
rutkan kening, mendengar ucapan sosok berpa-
kaian serba hitam itu. "Apa maksud ucapan Manusia Bayangan itu" Jangan-jangan
aku yang di- maksud..."!" pikir Purwadhika cemas.
"Weleh, weleh! Ternyata kalian ini tak bisa
merasakan bahwa kalian sedang dikuntit seorang
pemuda yang juga bermaksud sama dengan ka-
lian...!" tutur Manusia Bayangan.
Seketika Empat Jin Botak dari Selatan ter-
kejut. Serentak mereka menoleh ke belakang, lalu
membalikkan kuda masing-masing. Sementara itu
pada saat yang bersamaan, Purwadhika juga ter-
kejut mendengar ucapan Manusia Bayangan tadi.
"Edan! Siapakah Manusia Bayangan itu"!
Kak Sena atau bukan..."!" gumam Purwadhika
cemas dan kesal. "Celaka...! Apa boleh buat aku harus menghadapi mereka. Mudah-
mudahan Kak Sena muncul...," gumamnya lagi.
Lalu Purwadhika muncul dengan terse-
nyum-senyum memandang Empat Jin Botak dari
Selatan yang sudah siap dengan pedang terhunus.
"Ha... ha... ha...! Kalian mencariku..."!"
tanya Purwadhika dengan tegas, sambil menga-
cungkan tangan kirinya ke arah Empat Jin Botak
dari Selatan. Sementara itu Manusia Bayangan sudah
menghilang entah ke mana.
"Rupanya kau yang menguntit kami sejak
tadi. Apa maksudmu...?" tanya Jin Kala dengan suara berat.
"Bukan aku saja yang menguntitmu. Orang
yang berpakaian serba hitam tadi juga menguntit-
mu...!" jawab Purwadhika tegas.
Empat Jin Botak dari Selatan jadi bingung
dan menoleh ke arah tadi Manusia Bayangan ber-
diri. Namun tokoh itu sudah tak ada.
"Setan Belang! Kau dan Manusia Bayangan
tentu sudah sekongkol! Tangkap dia...!" perintah Jin Sudra yang sudah tak bisa
menahan kesaba-rannya.
Serentak tiga orang dari Empat Jin Botak
dari Selatan menyerang Purwadhika.
"Heaaaat...!"
Wut, wuttt! Pedang ketiga orang dari Empat Jin Botak
dari Selatan menderu di atas kepala Purwadhika
bergantian dan saling susul. Purwadhika merasa-
kan tebasan pedang itu sangat berbahaya dan
hampir saja menebas putus kepalanya.
Sementara itu Jin Sudra masih berada di
atas kuda menyaksikan saudara-saudaranya men-
geroyok Purwadhika.
"Hm.... Pemuda ini bukan orang sembaran-
gan.... Siapa dia itu?" gumam Jin Sudra yang terus mengamati gerakan Purwadhika.
"Heaaa...!"
"Hop...!"
Purwadhika melompat sambil bersalto di
udara ketika babatan pedang ketiga lawannya ber-
kelebatan begitu cepat dan ganas. Setelah menda-
rat dengan ringan di tanah, dengan cepat dia
menghantarkan pukulan jarak jauh ke arah ketiga
lawannya. Jeglarrr! Terjadi ledakan dahsyat. Pukulan jarak jauh
Purwadhika yang sudah diketahui oleh ketiga jin
botak itu dipapaki dengan menyilangkan pedang.
Purwadhika terkejut juga, karena pukulan-
nya dapat ditangkis. Bahkan hampir saja dirinya
terkena serangan balik yang cepat dari ketiga
orang jin botak, kalau saja Purwadhika tidak ber-
gulingan dan melompat mundur menghindari me-
reka. "Edan...! Hampir saja aku modar...!" gumam Purwadhika.
Pada saat itu tiga jin botak sudah berlompa-
tan mengurung Purwadhika yang berdiri di atas
tanah lebih tinggi dari tempat tadi.
Ketiga orang dari Empat Jin Botak dari Se-
latan bergerak ke samping berbarengan dari pelan
lalu bertambah cepat memutari Purwadhika. Pe-
muda itu terasa mulai pening kepalanya, karena
melihat ketiga lawan mengurung dengan berputar
cepat, hingga hanya bayang-bayang samar yang
terlihat. Maka dengan berteriak keras, Purwadhika mencabut Keris Pusaka Naga
Sakti. Diangkatnya
tinggi-tinggi keris itu. Dan kemudian dengan cepat diarahkan ke ketiga lawan
yang sedang mengita-rinya. Seketika sinar keperakan yang menyilaukan
itu menghantam Ketiga Jin Botak dari Selatan.
"Aaakh...!" terpekik keras ketiganya sambil menutupi mata masing-masing. Jin
Sudra membelalak kaget melihat keris pusaka yang mereka cari.
Namun seketika langsung tersadar dari keterkeju-
tannya. Maka dengan cepat dia melompat ke arah
Purwadhika yang agak membelakanginya, bermak-
sud ingin merebut Keris Pusaka Naga Sakti itu.
"Hiaaa...!"
Namun berbarengan dengan melompatnya
Jin Sudra, sesosok bayangan hitam telah melom-
pat pula. Gerakannya lebih cepat dari Jin Sudra.
Sosok bayangan hitam itu dengan cepat menen-
dang Purwadhika. Bersamaan dengan itu kaki
yang lain menendang Jin Sudra hingga lelaki botak itu terpental jatuh. Dalam
sekejap saja Keris Pusaka Naga Sakti sudah berpindah ke tangan orang
berpakaian serba hitam yang ternyata si Manusia
Bayangan. Purwadhika terpental pula, tapi dengan ce-
pat bangkit berdiri. Dia kaget ketika tahu keris pusakanya sudah pindah tangan.
"Hah..."! Bangsat! Kembalikan keris itu,
atau kubunuh kau...!" bentak Purwadhika marah.
Sementara itu Empat Jin Botak dari Selatan
masih dalam keadaan terkesiap. Dan seperti ter-
kena pengaruh gaib, keempatnya hanya bisa me-
mandangi orang berpakaian serba hitam yang ber-
diri tegap sambil tertawa-tawa mengejek.
"Ha ha ha...! Anak Muda, kau boleh mere-
but keris ini jika bisa menangkapku. Dan keris ini akan membuatku lebih sakti
dan akan menguasai
rimba persilatan. Ha ha ha...! Aha, kalian Empat
Jin Botak dari Selatan, bilang pada pimpinanmu,
kalau mau keris ini cari aku! Ha ha ha...!"
Purwadhika mengerutkan kening, "Suara
itu..."! Aku kenal suara itu. Hah..."!" selesai bicara
begitu, Purwadhika melompat menyerang lelaki
bertutup kain hitam itu.
"Heaaa...!"
Terjadi pertarungan antara Purwadhika dan
Manusia Bayangan. itu. Mereka saling pukul dan
tendang, penuh nafsu untuk saling mengalahkan.
Semangat itu lebih jelas terlihat pada usaha Pur-
wadhika, karena kekhawatirannya terhadap Keris
Pusaka Naga Sakti yang sudah berada di tangan
musuh. "Biarkan mereka bertarung, kita ambil ke-
sempatan yang baik untuk menyerang mereka dan
merebut keris itu...!" kata Jin Sudra pada ketiga saudaranya.
Pertarungan nampak seimbang, namun pa-
da kesempatan pertama, Manusia Bayangan ber-
hasil menghantam dada Purwadhika, hingga ter-
huyung. Tak cuma sampai di situ, dia mengejar ke
arah lawan yang masih sempoyongan, lalu men-
cengkeram tubuh Purwadhika kemudian melem-
parnya kuat-kuat. Tubuh Purwadhika melayang
jauh dan jatuh. Pada saat itu pula Manusia
Bayangan melesat dan menghilang ke arah Pur-
wadhika jatuh. Empat Jin Botak dari Selatan tampak kaget,
melihat Manusia Bayangan begitu cepat menghi-
lang. "Hah"! Ke mana dia" Ayo, cari! Bodoh sekali kita ini...!" sungut Jin Sudra
kesal lalu mereka ber-lompatan ke arah tempat Purwadhika jatuh.
Namun mereka tak menemukan siapa-
siapa. Kemudian keempatnya kembali ke tempat
semula sambil marah-marah.
"Bodoh! Bodoh...! Seharusnya kita tadi ce-
pat bertindak. Aku yang salah! Tapi yang penting
kita mencari Manusia Bayangan itu. Karena keris
pusaka itu dia yang kuasai. Dan pemuda itu biar-
kan saja mampus!" tutur Jin Sudra dengan geram.
Lalu keempatnya segera melompat ke pung-
gung kuda dan cepat melarikannya ke arah Manu-
sia Bayangan tadi menghilang.
*** Orang yang mengaku Manusia Bayangan
ternyata membawa Purwadhika ke suatu tempat
yang sepi dan sunyi. Di situlah pemuda itu digeletakkan. Orang berpakaian serba
hitam dengan muka tertutup itu segera menotok bagian tubuh
Purwadhika untuk menyadarkannya.
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ukh...!"
Purwadhika mulai mengeluh. Perlahan-
lahan dia membuka kedua matanya. Pemuda itu
kaget melihat sosok hitam berdiri di hadapannya
dengan memegang Keris Pusaka Naga Sakti. Pur-
wadhika segera berdiri dan ingin merebut keris itu.
Namun orang yang mengaku Manusia Bayangan
menangkap tangan Purwadhika, pemuda itu sege-
ra berkelit dan dengan cepat pula tangannya ingin menyambar penutup muka lawan.
Namun orang itu menangkis dan dengan cepat mendorong tubuh
Purwadhika. Hingga terhuyung ke belakang. Dan
ketika Purwadhika hendak melakukan serangan
ulang dengan menggunakan jurus dan ajian
'Tapak Sakti', tiba-tiba orang misterius itu berseru.
"Tunggu...! Aha, rupanya kau masih belum
mengerti Purwadhika. Kau lupa akan rencana ki-
ta...!" "Hah..."! Kak Sena.... Kau..."!" sentak Purwadhika dengan wajah kaget.
Orang itu tak menjawab, tapi segera mem-
buka kain penutup wajahnya. Dan ternyata Sena
atau Pendekar Gila.
Purwadhika tertawa-tawa, lalu menjura.
"Maafkan aku yang bodoh ini, Kak Sena!
Aku lupa akan rencana kita. Tapi Kak Sena tidak
mengatakan kalau akan berpakaian begini. Jadi
aku terus terang ragu...," tutur Purwadhika.
"Tak apa, yang penting mereka sudah dapat
kita kelabui. Dan aku yakin, Empat Jin Botak dari Selatan akan menceritakan pada
pimpinan mereka. Kita tetap dengan rencana kita. Agar mereka
menuju tempat Ki Tunggul Segara. Dan di situ
nanti kita jebak dan tangkap mereka," ujar Sena penuh semangat
"Tapi, kalau mereka batalkan untuk ke
tempat kakekku, bagaimana?" tanya Purwadhika.
"Itu bisa kita atur nanti. Yang penting kau
kini lebih leluasa menyelidiki dan mencari tahu
rencana mereka. Dan jika kau bertemu mereka
jangan terbawa oleh rasa dendammu. Mungkin sa-
ja di antara mereka ada orang yang membunuh
orangtuamu...."
"Aku akan selalu ingat, Kak Sena," jawab Purwadhika. "Kalau aku boleh tahu,
siapa pimpinan mereka...?" tanya Purwadhika ingin tahu.
"Aku kurang tahu. Tapi aku mendapat ka-
bar dan mendengar orang-orang di Kutareja, bah-
wa mereka tak punya pimpinan. Hanya saja lelaki
yang bernama Sindang Manik merupakan orang
yang disegani, di antara mereka...."
"Siapa Sindang Manik itu..." Apakah Kak
Sena tahu...."
"Menurut berita yang kudapat dari orang-
orang yang juga membenci kelompok mereka, Sin-
dang Manik adalah orang buronan. Prajurit Kadi-
paten Pasuruan masih mencarinya. Dan lagi, ka-
barnya nama yang disandangnya adalah nama
palsu," tutur Sena.
Purwadhika manggut-manggut, lalu mena-
tap Sena kembali.
"Ini semakin mempermudah kita untuk me-
nangkap mereka, bukan begitu Kak Sena?" tanya Purwadhika.
"Mungkin. Tapi ingat orang-orang macam
Sindang Manik selalu bersifat licik. Aku malah ingin menangkap Sindang Manik
lebih dulu. Untuk
itu kita perlu seorang yang mengenali wajah Sin-
dang Manik," usul Sena. Lalu menutup mukanya kembali dengan kain hitam tadi.
Hanya tinggal matanya saja yang terlihat.
"Ada apa, Kak Sena..."!" tanya Purwadhika sambil menoleh ke kanan kiri.
"Sssttt..!"
Sena segera mengiyaratkan agar Purwadhi-
ka tidak berbicara lagi. Lalu tubuhnya melompat
ke arah semak-semak.
"Hop...!"
"Heaaa...!"
Tiba-tiba dari balik semak-semak melompat
seorang yang juga bercadar warna merah dan ber-
pakaian silat warna merah pula. Rambutnya tertu-
tup kain hitam. Kemudian Sena mengejar orang
bercadar merah itu.
Pertarungan Sena dan orang bercadar tak
berjalan lama, karena hanya tiga jurus pembuka,
Pendekar Gila telah dapat membuat orang berca-
dar itu kewalahan dan tersungkur di tanah. Pur-
wadhika menghampiri bermaksud ingin membantu
orang bercadar merah itu untuk berdiri. Namun
orang bercadar itu menendang pantat Purwadhika,
lalu dengan cepat bangkit hendak melancarkan se-
rangan. Namun Pendekar Gila telah menghadang-
nya dan dengan sekali gebrak orang bercadar itu
terhuyung-huyung ke belakang. Secepat kilat Sena
membuka cadar orang itu.
"Hah..."!"
Sena bergumam pendek, kaget ketika tahu
bahwa lawannya seorang wanita. Terlihat dari si-
nar matanya Pendekar Gila tampak menyesali tin-
dakannya barusan.
"Maafkan aku! Tapi, kenapa kau menden-
garkan pembicaraan kami" Dan bagaimana kau
bisa ada di sini..?" tanya Sena sedikit mendesak.
Wanita muda itu tak langsung menjawab.
Matanya memandang Purwadhika dengan tak ber-
kedip. Pada saat itu pula, Purwadhika tengah me-
natap wajahnya yang cantik. Pandangan pertama
mereka membuat saling jatuh hati.
"Hem em...!" Sena mendehem.
Purwadhika tampak tersipu malu dengan
wajah merah. Lalu tersenyum-senyum pada Sena
dan juga pada wanita muda itu.
"Namaku Lilasari, dari Kadipaten Pasuruan.
Aku putri tunggal Adipati Aji Sampurno," kata wanita muda memperkenalkan dirinya
pada Sena dan Purwadhika.
"Jadi... jadi kau dari Kadipaten Pasu-
ruan..."!" ulang Purwadhika, lalu menoleh ke arah Sena yang terus menatap
Lilasari seperti tengah
menyelidik kebenaran ucapan wanita itu.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini dan un-
tuk apa tadi mendengarkan pembicaraan kami.
Berkatalah secara jujur!" desak Sena sambil terus menatapnya.
Kembali Lilasari menatap Purwadhika yang
tampan itu sambil tersenyum manis. Sena jadi
menarik napas panjang, lalu membisikkan sesuatu
pada Purwadhika. Pemuda itu tersenyum malu.
Sena lalu melangkah dan membalik badan, mem-
biarkan Purwadhika berdua dengan Lilasari. Kare-
na Sena tahu kalau wanita itu menaruh hati pada
Purwadhika. Purwadhika mendekati Lilasari. Lilasari
nampak senang. "Sebenarnya ada apa denganmu" Apakah
kau sengaja kabur dari kadipaten, atau...!" tanya Purwadhika dengan lembut.
"Terus terang saja, aku ingin membalas
dendamku atas kematian ayahku Adipati Aji Sam-
purno," ucap Lilasari dengan mata berkaca-kaca.
Mendadak wajahnya yang tadi nampak manis, kini
menjadi murung.
"Siapa yang membunuh ayahmu?" tanya
Purwadhika yang mulai tersentuh hatinya, karena
Lilasari mempunyai persoalan yang hampir serupa
dengannya. "Wongso Guno...!" jawab Lilasari dengan lemah, tapi jelas di telinga Purwadhika.
"Siapa Wongso Guno itu?" tanya Purwadhi-ka ingin tahu.
"Wongso Guno adalah bekas Senapati Pasu-
ruan. Tapi ketika dia tertangkap basah sedang
berbuat mesum dengan ibu tiriku, Wongso Guno
dengan licik membunuh ayahku dan juga ibu tiri-
ku. Lalu dia menghilang sampai sekarang," tutur Lilasari dengan penuh perasaan.
Purwadhika merasa haru mendengar cerita
Lilasari dihelanya napas dalam-dalam. Dipandan-
ginya lekat-lekat wajah cantik wanita itu.
"Aku bersumpah, jika bertemu dengan
Wongso Guno dan dapat membunuhnya, aku akan
menggundul kepalaku. Karena itu aku terus me-
rantau dengan cadar ini. Agar jika bertemu dengan Wongso Guno, dia tak mengenali
diriku...."
Sementara itu Sena mulai mengerti dan se-
dikit mulai yakin bahwa Lilasari bukan bicara bo-
hong. Sena bisa melihat dari raut wajah Lilasari
yang polos. Walaupun Sena belum sepenuhnya
percaya pada penuturan wanita itu.
"Apakah kau masih ingin mencari Wongso
Guno...?" tanya Purwadhika memancing Lilasari.
"Jelas, kan tadi aku sudah katakan, semu-
anya padamu. Aku ingin ada orang yang mau
membantuku. Dan aku akan memberikan hadiah
pada siapa saja yang bisa membunuh Wongso Gu-
no," kata Lilasari kemudian.
"Wah, hebat ada hadiahnya! Hadiah apa ki-
ranya...?" tanya Purwadhika ingin tahu dengan tersenyum-senyum lalu sebentar
menoleh ke arah
Sena, yang masih berdiri memperhatikan mereka
tak jauh dari tempat itu.
"Orang itu akan kujadikan kusir kudaku
dan tak dapat gaji, hanya makan sehari tiga kali....
Hi hi hi...!" kata Lilasari dengan tertawa-tawa, geli sendiri.
"Wauuu...! Lebih baik aku tak jadi meno-
longmu. Aku kira kau mau beri aku uang emas
sekarung...!" ujar Purwadhika, lalu tertawa-tawa pula. Sena hanya tersenyum-
senyum mendengar
kelakar kedua muda-mudi itu, lalu melangkah
menghampiri mereka.
"Sebaiknya kita pergi dari tempat ini. Soal
itu biar nanti kita bicarakan. Tapi aku minta pa-
damu Purwa, beritahu wanita itu agar dapat me-
rahasiakan rencana kita. Dan benda itu akan ku-
simpan di tempat yang aman. Aku sudah menda-
patkan cara untuk mengamankan benda itu," selesai berkata Sera segera melesat
pergi. "Aneh, orang macam apa dia" Siapa dia se-
benarnya, saudaramu?" tanya Lilasari.
"Ya. Dia kakakku yang aneh. Sudahlah jan-
gan pikirkan dia lagi! Biar begitu dia sangat baik,"
kata Purwadhika kalem.
"Oh, ya. Kau belum memperkenalkan siapa
namamu...," kata Lilasari dengan lembut serta sedikit genit
"Ooo... ya, ya. Aku Purwadhika.... Aku anak
gunung. Sejak kecil aku sudah ditinggal kedua
orangtua ku. Ya, sama seperti ceritamu. Dibunuh
oleh bekas orang kepercayaannya." Sejenak Purwadhika menghela napas, lalu
berkata lagi, "Memang aneh! Manusia memang tak pernah puas
dengan apa yang sudah mereka dapat. Kupikir-
pikir, manusia bisa lebih buas daripada seriga-
la...!" Lilasari menatap Purwadhika dengan pandangan sayu penuh arti. Wanita
muda itu memang
telah tertarik dan jatuh hati pada Purwadhika se-
jak pandangan pertama. Bukan karena kegagahan
dan ketampanan pemuda itu, melainkan karena
kepolosan dan senyumnya.
Kemudian keduanya meninggalkan tempat
itu dengan berbagai perasaan yang mereka bawa...
6 Sementara itu Sindang Manik, Sadiro, dan
Wesi Geni sangat terkejut mendengar cerita Buri-
srawa. Bahwa Cilung mati dibunuh seorang pe-
muda yang memiliki Keris Pusaka Naga Sakti.
"Huh...! Bagaimana bisa terjadi..."!" geram Sadiro si Muka Pucat marah, "Lalu
siapa pemuda yang menguasai keris itu"! Aku harus dapat menemukannya, akan
kubunuh dia dengan caraku!"
"Rencana kita jadi berantakan gara-gara ke-
cerobohan kau... dan Cilung!" dengus Sindang Manik sambil menuding Burisrawa.
Burisrawa pura-pura ketakutan dengan ke-
pala tertunduk. Namun dalam hati, dia merasa se-
nang dapat memperdaya Sindang Manik dan Sadi-
ro. Wesi Geni yang sejak tadi berdiam diri,
asyik menggosok kuku-kuku kakinya, hanya ter-
senyum-senyum, lalu berucap.
"Kenapa tidak si Empat Jin Botak dari Sela-
tan itu yang mampus duluan! Biar aku bisa terta-
wa-tawa sehari semalam."
"Jangan kau takabur bicara! Kita harus
bersatu dan sehati, agar dapat memperoleh keris
pusaka itu!" sambar Mandra yang nampak mu-
rung, karena Cilung sahabatnya telah mati terbu-
nuh. Sejenak mereka sama-sama terdiam. Mas-
ing-masing mencari jalan untuk menemukan Pur-
wadhika yang diceritakan oleh Burisrawa.
"Sebaiknya kita berpencar. Aku bersama
Wesi Geni mencari ke arah utara. Dan kau, Sadiro
bersama Mandra dan Burisrawa ke arah selatan
menuju tempat Burisrawa bertemu dengan pemu-
da itu...," kata Sindang Manik atau Wongso Guno dengan suara datar.
Baru saja Sindang Manik selesai berkata
begitu, tiba-tiba muncul Empat Jin Botak dari Se-
latan. Tersentak Burisrawa melihat kedatangan
mereka. Diam-diam Burisrawa hendak menyelinap
pergi, namun niat itu dia urungkan, karena Man-
dra melihatnya.
"Kenapa kalian kembali" Bukankah tugas
kalian menyelidiki lebih dulu keadaan persembu-
nyian Ki Tunggul Segara"!" tanya Sindang Manik dengan wajah penuh keheranan.
"Kami perlu memberitahukan pada kalian,
bahwa keris pusaka itu telah jatuh ke tangan seo-
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rang berpakaian serba hitam dengan menutup ba-
gian mukanya. Orang itu mengaku bernama Ma-
nusia Bayangan...!" tutur Jin Sudra dengan tegas dan berwibawa.
Wajah-wajah yang mendengar berita itu
mendadak tegang dan memerah, tanda marah! Gi-
gi-gigi mereka bergemeletukan menahan amarah
yang luar biasa. Sindang Manik lalu menoleh ke
arah Burisrawa dengan tatapan mata tajam dan
curiga. "Kau, Burisrawa bicaralah secara jujur! Apa sebenarnya yang telah
terjadi..."!" bentak Sindang Manik sambil menuding Burisrawa.
Burisrawa yang dibentak begitu tak merasa
ciut nyalinya. Wajahnya menoleh dan menatap ta-
jam pada Sindang Manik.
"Sudah kukatakan, Cilung mati terbunuh
oleh pemuda berpakaian coklat muda, yang memi-
liki keris pusaka itu. Apa kau belum cukup men-
gerti...!" Burisrawa balik membentak keras, dengan mata membelalak lebar. "Kau
harus sadar Sindang Manik, bahwa di antara kita sama rata. Tak ada
pimpinan atau ketua! Kita sama-sama mengingin-
kan Keris Pusaka Naga Sakti. Dan siapa yang tahu
kalau di dalam hatimu tersimpan maksud jahat
pada kami...!" lanjut Burisrawa dengan nada lebih
keras. Tersinggung bukan main Sindang Manik
mendengar tuduhan itu. Meskipun di hatinya me-
mang tersimpan rencana seperti yang disebutkan
Burisrawa barusan. Bekas Senapati di Kadipaten
Pasuruan itu berniat jahat terhadap kelompoknya
sendiri, jika telah mengetahui siapa pemegang Ke-
ris Pusaka Naga Sakti.
Sindang Manik dengan geram hendak me-
nyerang Burisrawa. Namun dengan cepat Sadiro
menahan sambil berbisik ke telinganya.
"Tenang...! Kalau kau lakukan, rencana kita
akan ketahuan mereka. Sabar.,.!" bisik Sadiro, lalu pura-pura menyalahkan
Sindang Manik dengan
berkata, "Hatimu terlalu dihantui rasa ketakutan dan ketegangan, Sindang Manik.
Kau tak perlu bersitegang dengan kawan satu kelompok! Aku ti-
dak suka caramu ini...!"
Sandiwara Sadiro yang bermuka pucat itu
rupanya berhasil mengelabui mereka. Namun ti-
daklah demikian dengan Burisrawa. Lelaki yang
bermuka lebar itu sepertinya tak mau percaya
dengan kata-kata Sadiro. Burisrawa mencibirkan
bibir, lalu pergi. Dia keluar dari rumah tua yang lebih mirip kuil itu.
Sindang Manik hendak mengejarnya, tapi
Sadiro mengedipkan matanya. Sehingga Sindang
Manik segera mengurungkannya dan hanya bisa
menghela napas dalam-dalam, menahan rasa den-
dam pada Burisrawa yang sempat menyinggung
perasaannya. "Jin Sudra, lanjutkan keteranganmu...!" ka-
ta Sadiro kemudian.
"Kita harus mencari orang bertutup muka
dan berpakaian serba hitam itu!" kata Jin Sudra tegas. "Lalu bagaimana dengan
pemuda yang menurut Burisrawa telah membunuh Cilung itu...?"
tanya Sadiro dengan suara datar.
"Cilung terbunuh" Oleh pemuda itu..."! Bisa
jadi, karena pemuda itu menguntit kami sejak ke-
luar dari Kutareja," tutur Jin Sudra kemudian.
"Lantas kelanjutannya bagaimana dengan
orang berkedok hitam itu?" tanya Sindang Manik tiba-tiba.
"Pemuda yang memiliki keris itu dihajarnya,
setelah orang yang mengaku Manusia Bayangan
menghantamnya.... Kemudian dilemparkannya
pemuda itu dengan kekuatan luar biasa. Setelah
itu dia menghilang.... Kami terus berusaha menca-
ri, namun tak menemukannya, juga pemuda
itu...," tutur Jin Sudra dengan gamblang.
"Setan Belang...! Akan kucincang orang ke-
parat itu jika kutemukan...! Ayo, kita cari orang itu dan rebut Keris Pusaka
Naga Sakti dari tangannya!" seru Sindang Manik. Kemudian melangkah keluar dari
rumah tua itu, diikuti yang lain.
Di luar Burisrawa sudah tak kelihatan ba-
tang hidungnya.
"Ke mana si Burisrawa...?" tanya Sadiro pa-da diri sendiri.
"Aaah, jangan pikirkan dia!" sahut Sindang Manik, lalu melompat ke punggung
kuda. Mereka segera meninggalkan rumah tua itu,
memacu kuda dengan cepat
Sepeninggal Sindang Manik dan kawan-
kawan, muncul Burisrawa dari balik bangunan tua
itu. Mulutnya tertawa sinis, memandang ke depan.
"He he he... tahu rasa kalian! Kalian pikir
aku orang bodoh!" gumam Burisrawa lalu melesat pergi dari tempat itu.
*** Hampir seharian Purwadhika dan Lilasari
berjalan menyusuri jalan setapak di dekat sebuah
telaga yang berair jernih. Kedua muda-mudi ini
nampak semakin akrab. Bahkan Lilasari nampak
sudah berani bermanja-manja kepada Purwadhi-
ka. "Kalau saja aku bertemu denganmu sebe-
lum kejadian yang menimpa ayahku, mungkin su-
asana lebih indah dan menyenangkan...," ucap Lilasari dengan manja sambil
mempermainkan tan-
gan Purwadhika.
Purwadhika hanya tersenyum-senyum. Di-
tatapnya Lilasari dengan penuh arti.
"Apakah kau tidak merasa risih berjalan
bersamaku yang hidup tak menentu ini...?" tanya Purwadhika merendah.
"Aku menyukai atau mencintai seseorang
bukan karena kedudukan, pangkat, kaya, atau
miskin. Tapi kesetiaan dan keluhuran budinya.
Serta jujur padaku," jawab Lilasari dengan polos dan tegas.
Lalu wanita itu menghentikan langkahnya,
begitu juga Purwadhika. Lilasari membalikkan ba-
dan, berhadapan dengan Purwadhika. Sejenak ke-
duanya saling pandang. Purwadhika merasakan
sentuhan tangan lembut Lilasari.
"Aku mengerti perasaanmu, Lila. Tapi, bu-
kan sekarang. Ini bukan saat yang tepat bagi kita.
Bukankah kau sedang berusaha mencari pembu-
nuh ayahmu" Mari, sebaiknya kita lanjutkan per-
jalanan kita...!" ajak Purwadhika dengan merangkul Lilasari. Rupanya wanita muda
itu mengerti dan dapat memahami maksud Purwadhika.
"Oh, ya. Bukankah orang-orang kadipaten
dan para prajurit sedang mencari Wongso Guno"
Kenapa kau tak bersama-sama mereka...?" tanya Purwadhika tiba-tiba.
"Paman Patih Tutuka melarangku untuk
ikut. Dia menganggapku belum pantas, karena di-
anggapnya tak memiliki ilmu silat yang bisa dian-
dalkan. Maka itu aku diam-diam pergi tanpa se-
pengetahuan mereka...," tutur Lilasari dengan polos dan tegas.
Purwadhika mengangguk-anggukkan kepa-
la, tanda mengerti.
"Aku kagum denganmu, Lila. Mungkin da-
rah kesatriaan ayahmu menitis padamu," kata
Purwadhika memuji.
Lilasari hanya tersenyum manis seraya me-
nempelkan kepalanya di dada Purwadhika. Mereka
terus melangkah menyusuri jalan setapak yang
menurun. Tiba-tiba saja Lilasari berlari dengan terta-
wa-tawa riang, ke tepi telaga. Tangannya mem-
permainkan air telaga, lalu mencuci mukanya
dengan air telaga yang jernih itu.
"Purwa...! Aku mohon kau tidak keberatan
pergi sebentar, tapi jangan jauh-jauh.... Aku mau menyegarkan tubuhku. Sudah
seharian aku tak
mandi...," ujar Lilasari sedikit berteriak.
"Hah..."!" gumam Purwadhika, "Ya, ya... aku pergi. Jangan lama-lama!"
Setelah itu Purwadhika melangkah, men-
jauhi telaga itu. Lalu dia menyandarkan tubuh
duduk di balik pepohonan dan semak-semak, agak
jauh dari tempat Lilasari.
Pada saat itu, sepasang mata liar mengama-
ti Lilasari, dari balik semak belukar tak jauh dari tempat telaga itu.
Baru saja Lilasari membuka pakaian atas-
nya, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat cepat
"Aaakh..,!" Lilasari sempat memekik.
Purwadhika terkejut mendengar jeritan itu.
Dengan cepat dia melompat. Alangkah terkejutnya
dia ketika melihat Lilasari sudah tak ada di telaga.
"Lila...!" serunya memanggil.
Srakkk! Terdengar suara lari seseorang. Purwadhika
masih sempat melihat berkelebat sesosok tubuh di
balik semak-semak. Dengan cepat Purwadhika me-
lesat menggunakan ilmu peringan tubuh, hingga
bagai terbang, memburu penculik itu.
Akhirnya Purwadhika dapat mengejar si
Penculik. Dengan teriakan panjang pemuda itu
melompat mendahului orang yang membopong Li-
lasari. Ketika tubuh Purwadhika melayang di atas
kepala si Penculik dengan cepat kakinya menen-
dang keras kepala orang yang tak lain Burisrawa.
Bug, bug! "Aaaakh...!"
Tubuh Burisrawa terpental, bergulingan
bersama Lilasari. Purwadhika segera mengejar dan
cepat menyelamatkan Lilasari lebih dulu, sebelum
menghadapi Burisrawa.
"Menyingkirlah dulu, Lila! Biar orang ini
kuberi pelajaran...!" seru Purwadhika. Lilasari yang nampak cemas, menutupi
dadanya dengan kedua
tangan sambil menyingkir bersembunyi di balik
pohon besar. "Kau memang kurang ajar...! Rasakan ini.
Heaaa...!"
Purwadhika dengan cepat menghantarkan
pukulan ke arah Burisrawa yang siap telah mema-
pakinya. Namun pukulan Purwadhika ternyata
hanya tipuan belaka. Sehingga Burisrawa yang
sudah siap untuk menghadang dan menangkis ka-
get, karena tahu-tahu sebuah tendangan mendarat
keras di rusuk sebelah kirinya.
"Aaakh...!"
Burisrawa kembali menjerit. Tubuhnya ter-
pental ke tanah. Namun dengan cepat bangkit
berdiri dan segera mencabut goloknya. Dengan
mengeluarkan jurus mautnya, golok itu diputar
cepat seraya terus mendekati Purwadhika. Dan ke-
tika jarak dirasakan cukup, Burisrawa secepat ki-
lat melompat sambil mengayunkan golok dengan
cepat pula ke arah Purwadhika yang sudah siap
dengan segala kemungkinan.
Satu gelombang angin kencang menerpa ke
arah Purwadhika. Murid Ki Tunggul Segara ini ter-
kejut ketika merasakan sabetan golok lawan ham-
pir saja memenggal kepalanya. Untung saja dia ce-
pat melompat sambil merunduk ke samping.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh, Purwadhika mengimbangi diri balas melan-
carkan serangan balik yang cepat dan ternyata te-
pat mengenai sasaran. Pukulan 'Tapak Sakti' yang
mematikan itu mendarat telak di ulu hati Burisra-
wa. Seketika golok di tangan kanan Burisrawa ter-
lepas, disusul tubuhnya terhempas di tanah. Ter-
dengar suara erangan keras menahan sakit di da-
danya. Ketika lelaki berambut keriting itu memba-
lik, wajahnya nampak pucat kebiruan. Di dadanya
bertanda telapak tangan Purwadhika biru kehita-
man. Purwadhika menghampirinya. Pemuda itu
nampak menyesal melakukan itu. Namun semua-
nya sudah terjadi.
"Maafkan aku, Kisanak! Bukan maksudku
untuk melukai atau membunuhmu... tapi, kau
sendiri yang menginginkan itu...," kata Purwadhika dengan nada suara tegas.
"Ahkk... he hee... aku tak menyesal mati di
tanganmu, Anak Muda. Daripada aku mati di tan-
gan mereka...," sahut Burisrawa dengan tersendat-sendat. Sementara itu Lilasari
masih bersembunyi
di balik pohon. Dari jarak yang tak jauh, Lilasari mendengarkan dan menyaksikan
semuanya, den- gan wajah cemas dan sedih.
"Siapa yang kau maksud dengan mereka
itu...?" tanya Purwadhika seraya mendekati Burisrawa. "Orang-orang murka dan
serakah. Teman-temanku sendiri. Mereka ingin mencarimu dan
orang yang mengaku Manusia Bayangan. Mereka,
akh... mereka akan merebut Keris Pusaka Naga
Sakti. Eakh...," sejenak Burisrawa mengeluh dan meringis, "Mereka kejam...! Kau
harus hati-hati, Anak Muda.... Si Muka Pucat Sadiro dan Sindang
Manik..., orang yang paling serakah dan tak segan-segan membunuh siapa pun
secara bengis dan li-
cik. Tak peduli teman sendiri, kalau menantang
akan dibunuhnya. Termasuk aku yang sering me-
nantangnya... ook akh.....Maafkan aku...!" selesai berkata Burisrawa lalu
menghembuskan napas
yang terakhir. Purwadhika mengusap muka Burisrawa se-
raya bergumam. "Hyang Widhi, ampuni segala dosa-dosanya!
Terimalah dia di alam sana...!"
Purwadhika berdiri dan menoleh ke arah Li-
lasari. Lalu melangkah mendekatinya. Lilasari
langsung memeluk Purwadhika dengan perasaan
sedih bercampur tegang.
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ooh... semua ini gara-garaku. Aku telah
menyusahkanmu, Purwa," terdengar suara lembut dari mulut Lilasari.
"Tidak.... Sudahlah jangan menangis!" ujar Purwadhika, lalu membuka bajunya dan
mema-kaikan pada Lilasari.
*** Sementara itu di suatu tempat dekat Lem-
bah Sarangan, terjadi pertarungan seru antara
Prajurit Kadipaten Pasuruan dengan Sindang Ma-
nik dan kawan-kawannya.
Sindang Manik yang merupakan mantan
senapati nampak menghadapi seorang lelaki ber-
kumis melintang. Sorot matanya tajam, menanda-
kan lelaki berusia kira-kira empat puluh lima ta-
hunan itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
"Kau manusia terkutuk dan tak punya rasa
berterima kasih, Wongso Guno. Kau tak bisa men-
gelabuiku dengan memakai nama samaran Sin-
dang Manik...!" seru lelaki yang berpakaian kadipaten. Dialah Patih Tutuka,
Paman Lilasari.
Sindang Manik atau Wongso Guno terus
mengelak mundur, karena Patih Tutuka terus
mencecarnya, dengan sabetan dan tusukan keris-
nya. Serangkum angin menderu keras dan
menghantam tubuh Sindang Manik.
"Uhk...!" pekik Sindang Manik dengan tubuh terhuyung ke belakang. Rupanya Patih
Tutu- ka bukan hanya menggunakan senjata kerisnya,
melainkan juga pukulan tanpa wujudnya yang
sangat berbahaya.
Sementara itu Mandra yang menemani Sin-
dang Manik dikeroyok tiga prajurit, hingga terus terdesak. Bahkan tampak sudah
terluka lengan kirinya. Darah terus mengucur, membuat Mandra
mulai melemas kekuatannya. Apalagi usianya yang
sudah lima puluh tahun lebih. Namun begitu, se-
mangatnya tidak mengendur, terus berusaha
memberikan perlawanan.
Sindang Manik yang terluka dalam mengge-
reng keras sambil melakukan serangan balik den-
gan cepat ke arah Patih Tutuka. Jemari tangannya
mendadak mengeluarkan kuku-kuku runcing dan
panjang. Itulah jurus, ilmu Tengkorak Maut'.
"Hah..."!" gumam Patih Tutuka yang sempat kaget melihat jurus itu. Karena Patih
Tutuka tahu, bahwa jurus itu dimiliki oleh si Iblis Betina dari Utara. "Apakah
Wongso Guno telah menjadi murid Iblis Betina itu...?" pikir Patih Tutuka.
Pada saat itu Sindang Manik atau Wongso
Guno melompat dengan kedua tangan direntang-
kan dibarengi dengan salto di udara beberapa kali.
Dan ketika sudah mendekati pada sasaran, den-
gan cepat mendarat di pundak Patih Tutuka. Di-
hantamnya kepala Patih Tutuka dengan kedua te-
lapak tangan. Jari-jari yang berkuku runcing me-
nusuk kepala lawan yang berada di antara kedua
kakinya. Setelah itu Siridang Manik dengan buas
memutar kepala Patih Tutuka.
Krakkk! Putuslah leher Patih Tutuka seketika. Sin-
dang Manik melompat turun dengan ringannya.
Sementara itu tubuh Patih Tutuka ambruk, den-
gan kepala putus.
Para prajurit yang melihat pimpinan mereka
telah mati, tak menjadi ciut. Mereka malah sema-
kin marah dan berani. Dengan semangat tempur
yang mengebu-gebu para prajurit yang berjumlah
sekitar dua puluh lima orang itu mengeroyok Sin-
dang Manik sambil mengucapkan kata-kata ma-
kian. "Manusia Keparat..! Pengkhianat..! Bunuh...
bunuh...!"
Teriakan terus terdengar dari mulut praju-
rit-prajurit itu, sambil menusuk dan memba-
batkan pedang atau tombak mereka. Sebagian lagi
sedang mengeroyok Mandra yang semakin terde-
sak. Akhirnya Mandra tak dapat menahan seran-
gan kelima prajurit yang bergantian menyerang-
nya. Crasss, crasss!
"Aaaakh...!"
Mandra menjerit dan seketika tubuhnya
ambruk kena babat pedang dan tusukan tombak
para prajurit. Bersamaan dengan matinya Mandra,
Sindang Manik pun sudah membunuh beberapa
orang prajurit. Pada saat Sindang Manik sedang
menghabisi para Prajurit Kadipaten Pasuruan,
muncul Manusia Bayangan yang kebetulan lewat
di tempat itu. "Hah"! Inikah prajurit-prajurit Kadipaten
Pasuman...?" gumam Manusia Bayangan yang tak lain Sena adanya. "Kemungkinan
orang yang sedang dikeroyok itu Sindang Manik," gumamnya la-gi lalu melompat
mendekati mayat Patih Tutuka
yang sudah tak berkepala itu.
"Benar...! Dia pasti Sindang Manik. Perlu
diberi pelajaran manusia kejam itu," gumam Pendekar Gila ketika mengetahui bahwa
lawan Patih Tutuka bertarung tadi adalah Sindang Manik. Hal
itu diketahui ketika ditemukan tanda pada pa-
kaian Patih Tutuka yang telah menjadi mayat itu.
Segera Manusia Bayangan melompat ke
arah Sindang Manik yang dengan buas tengah
menghabisi para prajurit.
"Heaaa...!"
Plak! Bukk! Manusia Bayangan langsung menggebrak
Sindang Manik dengan pukulan dan tendangan
kaki kirinya yang keras ke dada Sindang Manik.
"Aaaahk...!"
Sindang Manik memekik dengan tubuh ter-
huyung ke belakang. Matanya mendelik menatap
sesosok tubuh berpakaian serba hitam di depan-
nya. Sementara enam prajurit pun kaget melihat
kehadiran orang yang menyembunyikan diri di ba-
lik tutup wajah berwarna hitam itu.
"Kalian mundur...! Biar aku hadapi manusia
buruk ini...!" kata Manusia Bayangan pada prajurit-prajurit itu.
"Bangsat..! Kau rupanya yang disebut Ma-
nusia Bayangan itu...! He he he... Bagus! Aku tak susah-susah lagi mencarimu!"
seru Sindang Manik dengan geram.
"Aku pun tak usah repot-repot mencari
orang licik dan pengkhianat sepertimu, Wongso
Guno...!" sergah Manusia Bayangan dengan lantang. Mendadak wajah Sindang Manik
berubah mendengar nama aslinya disebut. Dengan wajah
memerah dia menoleh ke sana kemari. Sementara
para prajurit menjadi heran dan saling berbisik
pada teman-temannya.
"Siapakah sebenarnya orang berpakaian
serba hitam itu" Bagaimana dia bisa mengetahui
nama asliku..."!" gumam Sindang Manik seperti bicara pada dirinya sendiri. Dia
mulai nampak salah tingkah.
"Kau pun licik...! Kalau kau benar-benar
seorang pendekar, buka tutup mukamu!" seru
Lembah Selaksa Bunga 7 Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Tengkorak Maut 16
Plakkk! Bug! Bug! "Aaaakh...!"
Kontan Cilung dan Burisrawa terpental dan
ambruk di tanah. Secepat itu pula Pendekar Gila
menyambar tubuh Purwadhika, lalu membawanya
kabur. Sekejap Sena sudah tak kelihatan.
Sementara itu, Cilung dan Burisrawa baru
bergerak bangun.
"Bangsat...! Siapa yang menolong pemuda
itu..."!" sungut Cilung dengan geram, lalu memba-cokkan goloknya ke tanah.
"Edan, pinggangku hampir patah! Pasti pe-
nolong pemuda itu, orang yang kucurigai sejak ta-
di...!" Sejenak Burisrawa menyapukan pandangan matanya ke sekitar tempat itu.
Diperhatikannya
rumah-rumah penduduk, barangkali pemuda itu
masih berada tak jauh. Ternyata tidak ada. Hanya
orang-orang yang tampak menyaksikan dengan ra-
sa takut dari kejauhan.
"Ada apa kau, Burisrawa..."!" tanya Cilung.
"Sudah kuduga, dia pasti Pendekar Gila...!"
seru Burisrawa penuh keyakinan.
"Hah..."!" Cilung nampak terkejut. "Apa kau tidak mabuk..."!" tanya Cilung masih
dalam keter-kejutannya mendengar Burisrawa menyebut nama
Pendekar Gila. "Aku yakin. Hanya dialah yang bisa berbuat
seperti tadi.... Dan pakaian rompi kulit ular, serta tingkahnya itu yang
kuingat," jawab Burisrawa dengan bergetar suaranya.
"Celaka! Kita akan mendapat kesulitan...!
Sebaiknya kita cepat pergi dari sini!" ujar Cilung, lalu segera dia melangkah
sambil memegangi ru-suknya.
Orang-orang yang menyaksikan dari depan
rumah makan tersenyum-senyum sinis melihat
kedua orang itu ngeluyur pergi.
4 Sena baru saja menyembuhkan luka dan
mengeluarkan racun yang menjalar di tubuh Pur-
wadhika. Murid Ki Tunggul Segara itu tampak le-
mas. Wajahnya yang pucat, basah oleh keringat
dingin. "Makanlah ini! Mudah-mudahan kau akan
kembali sehat dan sembuh," kata Sena sambil
mengulurkan tangan memberi obat pada Purwad-
hika. Purwadhika mengambil obat dari tangan
Sena dan segera memakannya. Mata pemuda itu
sedikit tertutup, kepalanya bersandar di batang
pohon yang rindang.
Sena berdiri meninggalkan Purwadhika
yang tertidur lemas di bawah pohon. Dia ingin
membiarkan pemuda itu, agar pulih kesehatannya.
Tak beberapa lama kemudian, Purwadhika
sudah mulai nampak segar. Wajahnya mulai me-
rah dialiri darah. Perlahan dia membuka kedua
matanya. Pemuda itu tampak kaget dan segera
berdiri. Lalu memeriksa keris pusakanya. Dia me-
rasa lega, ketika melihat keris itu masih terselip di pinggangnya.
"Mengapa diriku ada di sini..." Siapa tadi
yang membawaku ke tempat sunyi ini. Bukankah
tadi aku...," belum sempat Purwadhika melan-
jutkan kata-katanya, tiba-tiba....
Kresekkk! Terdengar langkah seseorang dari balik se-
mak-semak. Purwadhika segera bersiap untuk mengha-
dapi segala kemungkinan. Dari arah suara tadi
muncul Sena. Sambil tersenyum cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala, dia melangkah dengan
tenang menatap Purwadhika.
Purwadhika mengerutkan kening, meman-
dangi Sena dari atas ke bawah. Pandangannya
terhenti pada sebuah benda yang terselip di ping-
gang Sena. Kening pemuda itu semakin berkerut,
seakan tengah mengingat-ingat pesan gurunya
yang pernah menyebut nama seorang pendekar.
"Aha, rupanya kau sudah segar kembali,
Sobat. Aku senang melihatmu sehat kembali....
Ternyata Hyang Widhi masih memberikan mukji-
zat pada obat itu...," kata Sena dengan cengar-cengir dan menggaruk-garuk
kepala, bertingkah
konyol seperti orang gila.
Purwadhika terus mengingat-ingat dan me-
mandangi tingkah Sena.
"Ah ah ah..., kenapa kau menatapku begi-
tu" Apa ada yang aneh...?" tanya Sena sambil tertawa dan menepuk-nepuk pantatnya
sendiri. "Ya, ya... aku ingat... kau... kau kalau tak salah, Sena...," Purwadhika
mengingat-ingat sambil memegang keningnya. "Se... Sena Manggala...
atau Pendekar Gila...!" lanjut Purwadhika dengan wajah berseri lalu menjura.
"Aha..."! Kau ini ngaco, Sobat. Apa orang
sepertiku ini pantas jadi pendekar.... Siapa kau
sebenarnya?" Sena balik bertanya.
Sesaat kedua pemuda gagah itu saling pan-
dang. Sena tersenyum cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala.
Purwadhika kembali menjura. Lalu berkata
dengan tegas. "Aku Purwadhika, cucu Ki Tunggul Sega-
ra...." Mendengar nama Ki Tunggul Segara, Sena mengerutkan kening. Matanya
menatap tajam Purwadhika, seperti menyelidik. Namun kemudian
tertawa-tawa kecil.
"Cucu Ki Tunggul Segara...?" ulang Sena perlahan, "He he he..., benarkah Ki
Tunggul Segara mempunyai cucu sepertimu.... Tapi, sudahlah aku
mau pergi...."
"Tunggu Sobat...!" cegah Purwadhika, lalu mencabut Keris Pusaka Naga Sakti dari
pinggangnya. "Inilah tanda kebenaran bahwa aku cucu Kakek Guru Ki Tunggul Segara
yang berjuluk Pende-
kar Bijaksana itu...."
Purwadhika mengulurkan kedua tangannya
yang memegang keris pusaka itu ke arah Sena.
Sena mengerutkan kening, seketika wajah-
nya berubah tegang. Sebab, mendadak dia teringat
pada kedua orangtuanya yang mati terbunuh, oleh
Segoro Wedi. (Tentang Segoro Wedi, silakan baca
serial Pendekar Gila pada episode: "Suling Naga Sakti"). Karena jika Keris
Pusaka Naga Sakti sempat diterima ayahnya dari Ki Aji Sena, Kakek Sena,
kemungkinan Citra Yudha ayah Sena tak akan kalah atau mati ditangan Segoro Wedi.
Sejenak Sena menghela napas dalam-
dalam. Matanya masih menatap keris itu. Purwad-
hika tahu kalau Sena sedang melamun, mengingat
nasib kedua orangtuanya.
"Maafkan aku, Sobat. Tentunya kau telah
yakin bahwa aku tidak mendustaimu...," ucap
Purwadhika pelan.
"Bagaimana kabar kakekmu?" tanya Sena
tiba-tiba. "Beliau baik-baik saja. Kakek Guru telah
menceritakan semuanya padaku tentang keris ini,
juga tentang dirimu, Sobat. Aku sangat bersyukur
pada Hyang Widhi, bisa bertemu denganmu. Aku
juga sangat berterima kasih, kau telah menyela-
matkanku dari orang-orang serakah dan murka
itu...," kata Purwadhika polos.
"Simpanlah keris itu baik-baik! Kau ten-
tunya tahu, bahwa keris itu sedang dicari dan di-
perebutkan para tokoh hitam. Termasuk kedua
orang yang bertarung denganmu tadi. Tujuanku
datang kemari memang untuk menyelamatkan ke-
ris itu. Dan kini hatiku pun merasa lega, karena
keris itu ada di tanganmu. Tapi kita harus tetap
waspada. Karena saat ini mereka sedang mencari
di mana keris itu berada...," kata Sena menjelaskan pada Purwadhika.
"Aku pun telah mengetahui dari kakekku.
Lantas apa upaya kita agar keris ini aman?" tanya Purwadhika.
Sena menghela napas sejenak, lalu mengga-
ruk-garuk kepala sebentar.
"Tentu kau dan aku sudah dikenal oleh to-
koh-tokoh yang ingin merebut Keris Pusaka Naga
Sakti itu. Dan tentunya, kedua orang yang hendak
membunuhmu di Kutareja itu kelompok mere-
ka...," tutur Sena kemudian.
"Benar. Karena salah satu dari orang yang
bentrok denganku itu adalah pembunuh ayah ibu-
ku," jawab Purwadhika menjelaskan.
Sena tersentak mendengar penuturan Pur-
wadhika. Ditatapnya wajah Purwadhika yang
mendadak berubah sedih dengan kepala mendon-
gak ke atas. Sena merasa iba mendengarnya.
Sejenak mereka sama-sama diam tak berka-
ta sepatah kata pun. Pendekar Gila mondar-
mandir sambil menundukkan kepala, mencari ja-
lan agar bisa leluasa bergerak untuk menyelidiki
orang-orang yang memperebutkan keris pusaka
itu. "Aha, aku mendapat akal!" seru Sena tiba-tiba. "Bagaimana?" tanya
Purwadhika tak sabar.
"Kita harus menyamar sebagai peminta-
minta. Aku berpura-pura buta dan sakit-sakitan.
Dan kau menuntunku ke mana tempat yang kita
curigai," kata Sena diiringi senyum.
"Boleh juga, tapi bagaimana kita bisa seperti orang susah...?" tanya Purwadhika
mulai tertarik.
"Tenang saja. Kita hidup harus pandai ber-
sandiwara dan berpura-pura. Kalau tidak, bisa te-
rinjak-injak oleh mereka-mereka yang berkuasa
serta rakus akan harta dan kekuasaan," tutur Se-na pada Purwadhika.
"Aku sependapat denganmu Kak Sena. Aku
banyak dengar dari Kakek Guru, bahwa rimba
persilatan pun tak luput dengan adanya orang-
orang serakah dan durjana. Tak terkecuali tokoh-
tokoh aliran lurus dan yang beriman lemah, bisa
bersekutu dengan mereka yang beraliran sesat. Ya
demi kepentingan diri sendiri...."
Sejenak Purwadhika menghela napas pela-
han. "...seperti orang-orang kepercayaan ayahku, yang akhirnya berkhianat bahkan
tega membunuhnya dengan keji. Hanya karena ingin mengua-
sai keris pusaka ini.... Padahal ayahku waktu itu
tidak menyimpannya. Kakekkulah sebenarnya
yang menyimpan keris ini, hingga beliau juga me-
rasa bersalah dan bertanggung jawab atas kema-
tian kedua orangtua ku. Kakek pun rela mati jika
memang orang-orang itu mengetahui bahwa kakek
yang menyimpan keris pusaka ini, sebelum dis-
erahkan padaku...," tutur Purwadhika lebih lanjut.
"Tapi, keris itu kini kan sudah berada di
tanganmu...," sahut Sena.
"Ya, tapi aku khawatir dan merasakan
orang-orang itu telah tahu kalau Keris Naga Sakti ada di kakekku," kata
Purwadhika. "Bagaimana kau bisa mempunyai perasaan
itu...?" tanya Sena coba memancing emosi Purwadhika. Sebenarnya Pendekar Gila
pun sudah merasakan hal yang sama dengan Purwadhika.
"Karena Cilung, salah satu pembunuh ke-
dua orangtua ku itu. Orang yang bentrok dengan-
ku di rumah makan tadi nampaknya akan mencari
atau dalam perjalanan ke tempat kakekku...," jawab Purwadhika tegas.
Pendekar Gila tersenyum cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. Lalu berkata,
"Kau benar. Aku pun tadi mendengar oce-
han mereka di rumah makan tadi. Dia memang
sedang mencari keris yang kau sandang itu. Nah,
sekarang kita harus atur siasat..."
"Siasat!" ulang Purwadhika sambil mengerutkan kening.
"Ya. Aku akan menyamar dan tetap dengan
seperti ini...," ucap Sena, lalu membisikkan sesuatu pada Purwadhika,
Purwadhika mengerutkan kening, kemudian
tersenyum sambil menganggukkan kepala tanda
setuju. Kedua pemuda gagah dan tampan itu berja-
bat tangan erat, menandakan persahabatan yang
kuat dan sehati mulai terpadu.
"Benar, kata Kakek Guru, bahwa kau pen-
dekar sejati dan berbudi luhur, Kak Sena...," suara Purwadhika yang polos dan
tegas itu hanya membuat Sena cengar-cengir dan berkata,
"Kau jangan terlalu berlebihan memujiku.
Aku sama denganmu. Kau juga akan menjadi pen-
dekar yang disegani, asalkan mau menjalankan
ajaran kakekmu dengan benar...," kata Sena lalu menepuk pundak Purwadhika.
Setelah itu Pendekar Gila melesat pergi, se-
raya berkata lagi, "Jalankan pesanku dengan baik!
Kita harus menjebak mereka...!"
Sekejap Sena menghilang dari pandangan.
Purwadhika menghela napas lega. Wajahnya nam-
pak cerah. *** Sementara itu Cilung dan Burisrawa men-
jadi semakin buas dan ngawur, karena kegagalan-
nya mencari Purwadhika dan Sena. Keduanya jadi
tak terkendali, membunuh dan merusak rumah-
rumah orang yang dilewati. Mereka keluar masuk
hutan dan naik turun bukit, hanya untuk mencari
Purwadhika dan orang yang menolongnya.
"Kita sebaiknya kembali pada rencana kita.
Menuju tempat persembunyian si Kakek Tua
Tunggul Segara.... Kalau tidak kita akan mendapat marah Sadiro dan Sindang
Manik," kata Burisrawa kesal. "Aaah, persetan! Aku belum puas, sebelum dapat
membunuh pemuda itu dan Pendekar Gila!"
jawab Cilung geram.
"Kau jangan gegabah, Cilung! Kau pikir
Pendekar Gila dapat mudah ditemukan dan kau
kalahkan"! Kau bisa celaka sendiri." Sindang Manik, Empat Jin Botak dari
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selatan, Sadiro, atau
Wesi Geni pun tak akan mampu menandingi Pen-
dekar Gila seorang diri!" sahut Burisrawa semakin kesal dan mulai muak dengan
kawannya itu. Maka terjadilah perdebatan sengit antara
mereka. Dan semakin keras ucapan-ucapan yang
dilontarkan. Bahkan akhirnya terjadilah bentrokan fisik antara mereka.
"Hhh... kau memang manusia pengecut,
Burisrawa! Heaaatt!"
Cilung yang sudah tak bisa menahan emosi
langsung menyabetkan goloknya ke tubuh Buri-
srawa. Namun Burisrawa menangkis dengan go-
loknya pula. Trang, trang, trang!
"Heaaa...!"
Burisrawa mencecar dengan permainan go-
loknya yang cepat, tak memberikan kesempatan
pada Cilung untuk melakukan serangan balik.
"Kau Manusia Bodoh, Cilung! Aku tak mau
mati konyol...!" seru Burisrawa sambil membabatkan goloknya ke kepala Cilung.
Golok itu mele-
sat begitu cepat hingga membuat rambut Cilung
rontok. "Hah...!"
Cilung tersentak kaget. Sementara Burisra-
wa agak terhuyung karena keseimbangan kakinya
tak sempurna. Maka dengan cepat Cilung menen-
dang Burisrawa.
Bug, bug! "Akh...!"
Burisrawa memekik keras ketika tubuhnya
tersuruk ke tanah. Cilung tertawa puas, lalu me-
lompat hendak menghabisi Burisrawa yang menu-
rutnya tak bisa dipercaya lagi.
"Kau harus dihabisi!" gumam Cilung geram sambil melangkah mendekati Burisrawa
yang masih tengkurap. Cilung mengangkat tangan kanan-
nya yang menggenggam golok, mau menebas tu-
buh Burisrawa. Namun tiba-tiba....
"Tunggu...!"
Terdengar suara seseorang berseru, mem-
buat Cilung kaget dan cepat membalikkan badan.
Sementara itu Burisrawa mulai bangun.
"Kau...!" bentak Cilung dengan mata membelalak lebar
"Kenapa kau" Kaget melihatku..."!" sahut seorang pemuda yang ternyata
Purwadhika. "Bukankah kau mencariku?"
"Bukan hanya mencari. Aku ingin membu-
nuhmu...!" sahut Cilung geram, lalu membuka jurus. "Kau memang pembunuh licik,
Cilung...!"
tukas Purwadhika dengan tegas, sambil menyi-
pitkan kedua mata, seakan menahan dendam di
dalam hatinya. "Hah"!" gumam Cilung lirih. Wajahnya berubah kaget, begitu mendengar namanya
disebut Purwadhika. "Dari mana kau tahu namaku..."!"
Sementara itu Burisrawa tersenyum sinis
pada Cilung. Kemudian berkata sambil mendekati
lawannya itu yang mulai gusar.
"Kenapa kau gugup, Sobat" Pemuda itu
mengenalimu. Tentunya... pemuda itu sudah lama
mengenalmu...," ujar Burisrawa menyindir.
"Mengenali orang semacam kau tak sulit,
Cilung! Walaupun kini kau mulai menua," pancing Purwadhika yang sebenarnya belum
pernah bertemu dengan Cilung. Purwadhika hanya ingin
mendapat kepastian bahwa Cilung memang salah
satu pembunuh kedua orangtuanya.
"Siapa kau sebenarnya..."!" bentak Cilung.
Purwadhika tak langsung menjawab. Dia tampak
berpikir sejenak, mencari siasat.
"Apakah namaku sangat berarti buatmu"
Sebaiknya kau tanyakan pada sahabatmu Mandra
dan Sadiro!"
Suara Purwadhika penuh penekanan pada
waktu menyebut nama Mandra dan Sadiro. Mem-
buat Cilung bukan main kagetnya. Kegugupannya
semakin nampak jelas. Sejenak dia menoleh ke
arah Burisrawa yang tersenyum mengejek. Lalu
kembali menatap Purwadhika dengan perasaan
cemas, tegang bercampur heran.
"Kau... kau kenal juga dengan Sadiro dan
Mandra.... Di mana, kapan kau mengenai kedua
sahabatku itu"!" tanya Cilung coba membentak
Purwadhika. Purwadhika semakin yakin, bahwa Cilung
merupakan salah satu pembunuh kedua orangtu-
anya. Matanya menatap tajam Cilung. Sementara
dadanya berdetak cepat, menahan rasa dendam
yang mulai membara. Namun dicobanya untuk
melawan perasaan itu, karena tiba-tiba kembali teringat akan pesan kakeknya.
"Mestikah aku biarkan manusia licik ini te-
tap hidup" Apakah aku bisa membiarkan orang
seperti Cilung bebas berbuat semaunya terhadap
orang lain, seperti yang dia lakukan pada ayah dan ibuku?" begitu pertanyaan di
dalam benak Purwadhika.
"Tak perlu aku menjawab pertanyaanmu,
yang jelas kaulah orang yang kucari. Dan kau per-
lu sadar. Tinggalkan sifat murka dan serakahmu,
jika kau ingin hidup damai di hari tuamu...," kata Purwadhika setelah dapat
menguasai diri dan me-nekan perasaan dendam kesumatnya terhadap Ci-
lung. "Ha ha ha...! Pemuda ini lucu. Rupanya kau ini seorang pendeta yang suka
berkotbah! Hei,
Anak Muda, sebaiknya kau jadi pendeta saja atau
kyai. Sebelum ajalmu tiba. Aku muak dengan oce-
hanmu. Heaaa...!"
Cilung langsung menyerang Purwadhika
dengan beringas dan penuh amarah. Sedangkan
Burisrawa hanya menonton saja pertarungan itu.
Dengan pandangan sinis pada Cilung.
Sebentar saja Cilung mulai terkuras tena-
ganya, karena Purwadhika yang masih muda terus
sengaja melakukan hal itu.
"Sebaiknya kau panggil Sadiro dan Mandra
untuk membantumu...!" seru Purwadhika menge-
jek, menggugah kemarahan Cilung.
"Bangsat! Kurang ajar...! Mampus kau!
Huh!" Cilung membabatkan goloknya ke arah kaki lawan. Namun sambil melompat
Purwadhika melakukan tendangan berputar, tepat mengenai mu-
ka Cilung. Hingga tubuh Cilung melintir dan ter-
huyung ke samping. Nampak lelaki setengah tua
itu merasakan tendangan Purwadhika yang keras,
membuat kepalanya pening.
"Hem...! Anak muda ini tidak boleh diang-
gap remeh," gumam Cilung dalam hati.
Lalu Cilung membuka jurus pamungkas-
nya, 'Golok Maut Pencabut Nyawa'. Diputar den-
gan cepat goloknya, hingga nampak seperti baling-
baling, menimbulkan suara menderu keras. Angin
kencang pun seketika bertiup. Cilung melompat-
lompat seperti rusa, disusul dengan lompatan salto di udara, kemudian menukik
sambil membabatkan goloknya ke kepala lawan.
Purwadhika tersentak kaget, melihat begitu
cepat serangan Cilung, tahu-tahu sudah berada di
atas kepalanya. Maka dengan cepat Purwadhika
mencabut Keris Pusaka Naga Sakti.
Mendadak Cilung terpekik dan mengurung-
kan serangan susulan. Hawa panas bagai api men-
jalar begitu Keris Naga Sakti keluar dari warang-
kanya. Burisrawa pun tersentak kaget bukan main.
Segera dia bersiap dan mencabut golok, kemudian
bersatu dengan Cilung untuk merampas Keris Na-
ga Sakti yang ada di genggaman tangan kanan
Purwadhika. "Ha ha ha...! Kenapa kalian berdua melon-
go..."! Bukankah keris ini yang ingin kalian cari!
Ambillah...!" kata Purwadhika dengan suara menggelegar.
Dari keris itu memancar cahaya yang me-
nyilaukan Cilung dan Burisrawa. Membuat kedua
orang aliran hitam itu bagai buta tak bisa melihat apa-apa.
"Aaakh... aku tak dapat melihat... Oooh jan-
gan arahkan keris itu padaku! Aaakh...!" pinta Cilung sambil menutup mata dengan
tangannya. "Kenapa kau"! Inilah keris yang membuat
kau membunuh kedua suami-istri bekas atasan-
mu delapan belas tahun yang silam...!" suara Purwadhika terdengar tegas dan
menggelegar. Cilung jadi semakin kaget. Dadanya naik
turun dengan cepat karena menahan rasa cemas
dan takut "Siapakah pemuda itu" Mungkinkah dia
anak Ramapati"! Celaka!" gumam Cilung lirih.
Burisrawa yang melihat temannya cemas
dan ketakutan, jadi keheranan. Mulai timbullah
pikiran jahatnya. Karena ujung keris itu diarahkan ke Cilung, maka sinar perak
yang menyilaukan
dan mengandung hawa panas itu tidak terasa pa-
nas bagi tubuh Burisrawa. Maka niat untuk men-
guasai keris itu menjadikan Burisrawa tak segan-
segan membunuh Cilung yang masih dalam kea-
daan menutup kedua mata dengan lengannya.
"Kesempatan ini tak akan kusia-siakan. Ka-
lau dia mati, hanya akulah yang mengetahui di
mana keris itu berada.... Dan aku akan melapor
bahwa Cilung mati oleh Pendekar Gila...!" gumam Burisrawa dalam hati.
Maka dengan gerakan cepat Burisrawa
membabatkan goloknya, menebas kepala Cilung.
Crasss! Seketika Cilung mati tak mengeluarkan su-
ara lagi. Kepala Cilung putus menggelinding di tanah. Burisrawa nampak senang
dan kemudian ka-
bur. Meninggalkan Purwadhika.
Purwadhika yang tak menduga sama sekali
akan hal itu hanya bisa terkesiap. Setelah bebera-pa saat baru dia melesat coba
mengejar Burisrawa, namun lelaki berambut keriting itu sudah tak kelihatan.
"Edan! Kenapa jadi begini. Celaka! Pasti Burisrawa memberitahu Sadiro dan
kelompoknya...!"
gumam Purwadhika sedikit gusar.
Didekatinya mayat Cilung, wajahnya nam-
pak penuh penyesalan.
"Guru, bukan aku yang membunuh orang
ini.... Hyang Widhi ampuni orang ini...!" gumam Purwadhika dengan tulus. Lalu dia
meninggalkan tempat itu. 5 Purwadhika berusaha mencari Pendekar Gi-
la untuk memberitahu, bahwa rencana harus be-
rubah. Karena Cilung mati di tangan Burisrawa
yang telah mengetahui Keris Naga Sakti ada pa-
danya. "Aku harus cepat menemui Kak Sena. Kalau tidak, rencana itu bisa
berantakan...," gumamnya sambil terus berlari menuruni perbukitan.
Ketika Purwadhika sampai di suatu dataran
berbatu yang dikelilingi pepohonan tiba-tiba ter-
dengar langkah derap kaki kuda dari arah utara.
Pemuda itu segera melompat dan bersembunyi di
balik batu besar.
Derap kaki kuda semakin dekat. Purwadhi-
ka coba mengintip dari balik batu itu, ketika empat orang berkuda melintas di
depannya. Empat orang berkepala botak dengan pa-
kaian serba kuning kemerahan berlengan pendek.
Baju mereka yang panjang dibiarkan terbuka begi-
tu saja. Hingga dadanya yang berbulu nampak je-
las. Wajah mereka seperti kembar.
"Siapakah mereka"! Mungkin mereka ke-
lompok Sadiro?" bertanya-tanya Purwadhika dalam benaknya.
Purwadhika tak segera beranjak dari tem-
patnya, dia nampak berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba melesat ke arah yang sama,
ke selatan, seperti
arah keempat lelaki botak tadi.
Sementara itu tanpa sepengetahuan Pur-
wadhika, muncul lelaki bertutup muka hitam. Ke-
palanya juga tertutup rapat kain hitam, sehingga
hanya matanya yang tersisa. Pakaian yang dikena-
kan pan serba hitam
Sebuah benda terselip di pinggangnya, tak
begitu jelas, karena tergenggam telapak tangan.
Rambutnya yang panjang agak ikal dibiarkan lepas
begitu saja, hingga nampak angker. Tubuhnya
yang tegap berdiri di atas sebuah batu. Meman-
dangi Purwadhika yang berlari mengikuti keempat
lelaki botak berkuda tadi.
"Huh"!" dengus lelaki dengan tutup muka hitam itu. Lalu lelaki misterius itu
melesat pula ke arah Purwadhika pergi. Begitu ringannya gerakan
yang dilakukan lelaki berpakaian serba hitam. Lincah dan gesit, menandakan bahwa
dirinya, memi- liki ilmu peringan tubuh yang tinggi. Bagai terbang lelaki misterius berpakaian
serba hitam itu. Dalam sekejap sudah melesat jauh sekali.
Dari balik lembah, muncul keempat lelaki
botak berkuda, lalu menuruni lembah itu. Mereka
memacu kuda dengan cepat, walaupun jalan yang
dilalui sangat terjal, berbatu-batu dan menurun.
Tak lama kemudian mereka telah memasuki
sebuah kawasan hutan jati. Dalam jarak yang
agak jauh, sesosok bayangan berkelebat mengikuti
mereka, berlari ke arah yang dituju kuda-kuda itu.
Rupanya Purwadhika. Pada saat yang bersamaan,
sosok berpakaian dan berkedok serba hitam itu
melompat-lompat di atas pohon, dari pohon yang
satu ke pohon yang lain. Begitu seterusnya, bagai seekor kera melompat dengan
gerakan ringan dan
cepat. Bahkan kini telah meninggalkan Purwadhi-
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ka. Sampai di suatu tempat, keempat kuda
yang ditumpangi empat lelaki botak dari selatan
itu tiba-tiba berhenti dan berbalik arah. Keempatnya terjajar seperti menghadang
seseorang. Ru- panya mereka merasa bahwa ada yang mengiku-
tinya. Keempat lelaki berkuda itu tak lain Empat
Jin Botak dari Selatan.
"Hemm...!" salah seorang mendengus. Ma-
tanya menatap ke depan. Begitu juga yang lain.
"Ke mana tikus itu..."!" gumam Jin Sudra dengan suara berat
"Aneh, begitu cepat dia menghilang," sahut Jin Soka. Kemudian matanya melihat ke
atas pohon-pohon jati yang ditumbuhi ranting dan de-
daunan cukup subur dan lebat. Tak terlihat tanda-
tanda kalau ada orang. Juga di sekeliling hutan
itu. Kemudian keempatnya membalikkan lagi
arah kuda mereka menuju selatan. Namun kali ini
mereka berpencar, terbagi dua dengan jarak lima
belas tombak dua di kiri dan dua di kanan.
Ketika mereka baru keluar dari hutan jati,
sesosok bayangan melayang di udara. Setelah ber-
salto beberapa kali sosok itu mendarat dengan ringan di atas sebuah gundukan
tanah yang seperti
bukit berbatu. Empat Jin Botak dari Selatan seketika
menghentikan kuda mereka. Keempatnya saling
pandang dengan sikap waspada.
"Hei, Kisanak...! Siapa kau dan untuk apa
mengikuti kami?" tanya Jin Sudra pada sosok berpakaian serba hitam dengan muka
tertutup rapat itu. "Aha...! Kau salah menduga, Sobat. Aku tak pernah menguntit orang. Sebelum
kalian ada di sini, aku telah seharian di sini," jawab orang tertutup wajah kain hitam itu
coba berbohong.
Pada saat itu di belakang Empat Jin Botak
dari Selatan yang masih duduk di atas kuda mas-
ing-masing, kejauhan nampak seorang sedang
mengendap-endap. Kemudian melompat bersem-
bunyi di balik batu.
"Kisanak, sekali lagi jawab yang jujur siapa kau...!" kembali Jin Sudra
bertanya, kali ini nada suaranya mulai keras.
"Aha, rupanya kau cepat naik darah, Sobat.
Baiklah, panggil saja aku Manusia Bayangan!
Puas..."!" dari suaranya, jelas orang berpakaian serba hitam itu adalah laki-
laki. "Manusia Bayangan..."! Huh! Tepat sekali.
Tapi apa maksudmu menghalangi kami" Cepat ja-
wab, sebelum kesabaranku hilang!" bentak Jin Kobra yang paling galak, dengan
mata mendelik. Pada saat itu orang yang bersembunyi di
balik batu besar berjarak sepuluh tombak dari me-
reka, muncul dan ternyata Purwadhika. Pemuda
itu menyandarkan kepala di batu sambil menge-
rutkan kening. "Mungkinkah orang berpakaian serba hitam
itu Kakang...."
Purwadhika tak meneruskan kata-katanya.
Dia hanya tersenyum lebar dan kembali mengha-
dap ke arah keempat lelaki botak yang sedang
berhadapan dengan Manusia Bayangan.
"Kalian ini mau ke mana, memasuki daerah
ku! Sebaiknya kalian kembali saja. Kalau kalian
ingin selamat...," kata Manusia Bayangan dengan nada mengejek.
"Kurang ajar! Kau kira kami ini anak kecil
kau gertak begitu! Kau memang perlu diberi pela-
jaran Manusia Bayangan...!" bentak Jin Kobra yang paling cepat marah itu, seraya
menghu-nuskan pedangnya.
"Aha... sabar, Sobat. Kalian tentunya se-
dang mencari sesuatu yang sangat berharga. Dan
aku yakin kalian juga seperti para tokoh-tokoh
persilatan lain, ingin menguasai sebuah benda pu-
saka yang saat itu sedang diperebutkan mereka...!"
tutur orang yang menamakan dirinya Manusia
Bayangan dengan nada menyindir.
Empat Jin Botak dari Selatan saling pan-
dang dan mendengus.
"Hei, Manusia Bayangan! Cepat kau bicara
jujur! Apa kau tahu di mana sebenarnya pusaka
itu saat ini..."!" tanya Jin Soka sambil mende-katkan kudanya ke arah Manusia
Bayangan yang tetap tenang dan berdiri tegap di atas gundukan
tanah berbatu itu.
"Ha ha ha...! Apakah kalian ini sejak tadi tidak merasakannya" Bukankah kalian
orang-orang yang berilmu tinggi?" ejek orang yang mengaku dirinya Manusia Bayangan.
"Hei, jangan bertele-tele, cepat katakan apa maksudmu mengejek kami...!" bentak
Jin Kobra lagi. Sementara itu Purwadhika terus menge-
rutkan kening, mendengar ucapan sosok berpa-
kaian serba hitam itu. "Apa maksud ucapan Manusia Bayangan itu" Jangan-jangan
aku yang di- maksud..."!" pikir Purwadhika cemas.
"Weleh, weleh! Ternyata kalian ini tak bisa
merasakan bahwa kalian sedang dikuntit seorang
pemuda yang juga bermaksud sama dengan ka-
lian...!" tutur Manusia Bayangan.
Seketika Empat Jin Botak dari Selatan ter-
kejut. Serentak mereka menoleh ke belakang, lalu
membalikkan kuda masing-masing. Sementara itu
pada saat yang bersamaan, Purwadhika juga ter-
kejut mendengar ucapan Manusia Bayangan tadi.
"Edan! Siapakah Manusia Bayangan itu"!
Kak Sena atau bukan..."!" gumam Purwadhika
cemas dan kesal. "Celaka...! Apa boleh buat aku harus menghadapi mereka. Mudah-
mudahan Kak Sena muncul...," gumamnya lagi.
Lalu Purwadhika muncul dengan terse-
nyum-senyum memandang Empat Jin Botak dari
Selatan yang sudah siap dengan pedang terhunus.
"Ha... ha... ha...! Kalian mencariku..."!"
tanya Purwadhika dengan tegas, sambil menga-
cungkan tangan kirinya ke arah Empat Jin Botak
dari Selatan. Sementara itu Manusia Bayangan sudah
menghilang entah ke mana.
"Rupanya kau yang menguntit kami sejak
tadi. Apa maksudmu...?" tanya Jin Kala dengan suara berat.
"Bukan aku saja yang menguntitmu. Orang
yang berpakaian serba hitam tadi juga menguntit-
mu...!" jawab Purwadhika tegas.
Empat Jin Botak dari Selatan jadi bingung
dan menoleh ke arah tadi Manusia Bayangan ber-
diri. Namun tokoh itu sudah tak ada.
"Setan Belang! Kau dan Manusia Bayangan
tentu sudah sekongkol! Tangkap dia...!" perintah Jin Sudra yang sudah tak bisa
menahan kesaba-rannya.
Serentak tiga orang dari Empat Jin Botak
dari Selatan menyerang Purwadhika.
"Heaaaat...!"
Wut, wuttt! Pedang ketiga orang dari Empat Jin Botak
dari Selatan menderu di atas kepala Purwadhika
bergantian dan saling susul. Purwadhika merasa-
kan tebasan pedang itu sangat berbahaya dan
hampir saja menebas putus kepalanya.
Sementara itu Jin Sudra masih berada di
atas kuda menyaksikan saudara-saudaranya men-
geroyok Purwadhika.
"Hm.... Pemuda ini bukan orang sembaran-
gan.... Siapa dia itu?" gumam Jin Sudra yang terus mengamati gerakan Purwadhika.
"Heaaa...!"
"Hop...!"
Purwadhika melompat sambil bersalto di
udara ketika babatan pedang ketiga lawannya ber-
kelebatan begitu cepat dan ganas. Setelah menda-
rat dengan ringan di tanah, dengan cepat dia
menghantarkan pukulan jarak jauh ke arah ketiga
lawannya. Jeglarrr! Terjadi ledakan dahsyat. Pukulan jarak jauh
Purwadhika yang sudah diketahui oleh ketiga jin
botak itu dipapaki dengan menyilangkan pedang.
Purwadhika terkejut juga, karena pukulan-
nya dapat ditangkis. Bahkan hampir saja dirinya
terkena serangan balik yang cepat dari ketiga
orang jin botak, kalau saja Purwadhika tidak ber-
gulingan dan melompat mundur menghindari me-
reka. "Edan...! Hampir saja aku modar...!" gumam Purwadhika.
Pada saat itu tiga jin botak sudah berlompa-
tan mengurung Purwadhika yang berdiri di atas
tanah lebih tinggi dari tempat tadi.
Ketiga orang dari Empat Jin Botak dari Se-
latan bergerak ke samping berbarengan dari pelan
lalu bertambah cepat memutari Purwadhika. Pe-
muda itu terasa mulai pening kepalanya, karena
melihat ketiga lawan mengurung dengan berputar
cepat, hingga hanya bayang-bayang samar yang
terlihat. Maka dengan berteriak keras, Purwadhika mencabut Keris Pusaka Naga
Sakti. Diangkatnya
tinggi-tinggi keris itu. Dan kemudian dengan cepat diarahkan ke ketiga lawan
yang sedang mengita-rinya. Seketika sinar keperakan yang menyilaukan
itu menghantam Ketiga Jin Botak dari Selatan.
"Aaakh...!" terpekik keras ketiganya sambil menutupi mata masing-masing. Jin
Sudra membelalak kaget melihat keris pusaka yang mereka cari.
Namun seketika langsung tersadar dari keterkeju-
tannya. Maka dengan cepat dia melompat ke arah
Purwadhika yang agak membelakanginya, bermak-
sud ingin merebut Keris Pusaka Naga Sakti itu.
"Hiaaa...!"
Namun berbarengan dengan melompatnya
Jin Sudra, sesosok bayangan hitam telah melom-
pat pula. Gerakannya lebih cepat dari Jin Sudra.
Sosok bayangan hitam itu dengan cepat menen-
dang Purwadhika. Bersamaan dengan itu kaki
yang lain menendang Jin Sudra hingga lelaki botak itu terpental jatuh. Dalam
sekejap saja Keris Pusaka Naga Sakti sudah berpindah ke tangan orang
berpakaian serba hitam yang ternyata si Manusia
Bayangan. Purwadhika terpental pula, tapi dengan ce-
pat bangkit berdiri. Dia kaget ketika tahu keris pusakanya sudah pindah tangan.
"Hah..."! Bangsat! Kembalikan keris itu,
atau kubunuh kau...!" bentak Purwadhika marah.
Sementara itu Empat Jin Botak dari Selatan
masih dalam keadaan terkesiap. Dan seperti ter-
kena pengaruh gaib, keempatnya hanya bisa me-
mandangi orang berpakaian serba hitam yang ber-
diri tegap sambil tertawa-tawa mengejek.
"Ha ha ha...! Anak Muda, kau boleh mere-
but keris ini jika bisa menangkapku. Dan keris ini akan membuatku lebih sakti
dan akan menguasai
rimba persilatan. Ha ha ha...! Aha, kalian Empat
Jin Botak dari Selatan, bilang pada pimpinanmu,
kalau mau keris ini cari aku! Ha ha ha...!"
Purwadhika mengerutkan kening, "Suara
itu..."! Aku kenal suara itu. Hah..."!" selesai bicara
begitu, Purwadhika melompat menyerang lelaki
bertutup kain hitam itu.
"Heaaa...!"
Terjadi pertarungan antara Purwadhika dan
Manusia Bayangan. itu. Mereka saling pukul dan
tendang, penuh nafsu untuk saling mengalahkan.
Semangat itu lebih jelas terlihat pada usaha Pur-
wadhika, karena kekhawatirannya terhadap Keris
Pusaka Naga Sakti yang sudah berada di tangan
musuh. "Biarkan mereka bertarung, kita ambil ke-
sempatan yang baik untuk menyerang mereka dan
merebut keris itu...!" kata Jin Sudra pada ketiga saudaranya.
Pertarungan nampak seimbang, namun pa-
da kesempatan pertama, Manusia Bayangan ber-
hasil menghantam dada Purwadhika, hingga ter-
huyung. Tak cuma sampai di situ, dia mengejar ke
arah lawan yang masih sempoyongan, lalu men-
cengkeram tubuh Purwadhika kemudian melem-
parnya kuat-kuat. Tubuh Purwadhika melayang
jauh dan jatuh. Pada saat itu pula Manusia
Bayangan melesat dan menghilang ke arah Pur-
wadhika jatuh. Empat Jin Botak dari Selatan tampak kaget,
melihat Manusia Bayangan begitu cepat menghi-
lang. "Hah"! Ke mana dia" Ayo, cari! Bodoh sekali kita ini...!" sungut Jin Sudra
kesal lalu mereka ber-lompatan ke arah tempat Purwadhika jatuh.
Namun mereka tak menemukan siapa-
siapa. Kemudian keempatnya kembali ke tempat
semula sambil marah-marah.
"Bodoh! Bodoh...! Seharusnya kita tadi ce-
pat bertindak. Aku yang salah! Tapi yang penting
kita mencari Manusia Bayangan itu. Karena keris
pusaka itu dia yang kuasai. Dan pemuda itu biar-
kan saja mampus!" tutur Jin Sudra dengan geram.
Lalu keempatnya segera melompat ke pung-
gung kuda dan cepat melarikannya ke arah Manu-
sia Bayangan tadi menghilang.
*** Orang yang mengaku Manusia Bayangan
ternyata membawa Purwadhika ke suatu tempat
yang sepi dan sunyi. Di situlah pemuda itu digeletakkan. Orang berpakaian serba
hitam dengan muka tertutup itu segera menotok bagian tubuh
Purwadhika untuk menyadarkannya.
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ukh...!"
Purwadhika mulai mengeluh. Perlahan-
lahan dia membuka kedua matanya. Pemuda itu
kaget melihat sosok hitam berdiri di hadapannya
dengan memegang Keris Pusaka Naga Sakti. Pur-
wadhika segera berdiri dan ingin merebut keris itu.
Namun orang yang mengaku Manusia Bayangan
menangkap tangan Purwadhika, pemuda itu sege-
ra berkelit dan dengan cepat pula tangannya ingin menyambar penutup muka lawan.
Namun orang itu menangkis dan dengan cepat mendorong tubuh
Purwadhika. Hingga terhuyung ke belakang. Dan
ketika Purwadhika hendak melakukan serangan
ulang dengan menggunakan jurus dan ajian
'Tapak Sakti', tiba-tiba orang misterius itu berseru.
"Tunggu...! Aha, rupanya kau masih belum
mengerti Purwadhika. Kau lupa akan rencana ki-
ta...!" "Hah..."! Kak Sena.... Kau..."!" sentak Purwadhika dengan wajah kaget.
Orang itu tak menjawab, tapi segera mem-
buka kain penutup wajahnya. Dan ternyata Sena
atau Pendekar Gila.
Purwadhika tertawa-tawa, lalu menjura.
"Maafkan aku yang bodoh ini, Kak Sena!
Aku lupa akan rencana kita. Tapi Kak Sena tidak
mengatakan kalau akan berpakaian begini. Jadi
aku terus terang ragu...," tutur Purwadhika.
"Tak apa, yang penting mereka sudah dapat
kita kelabui. Dan aku yakin, Empat Jin Botak dari Selatan akan menceritakan pada
pimpinan mereka. Kita tetap dengan rencana kita. Agar mereka
menuju tempat Ki Tunggul Segara. Dan di situ
nanti kita jebak dan tangkap mereka," ujar Sena penuh semangat
"Tapi, kalau mereka batalkan untuk ke
tempat kakekku, bagaimana?" tanya Purwadhika.
"Itu bisa kita atur nanti. Yang penting kau
kini lebih leluasa menyelidiki dan mencari tahu
rencana mereka. Dan jika kau bertemu mereka
jangan terbawa oleh rasa dendammu. Mungkin sa-
ja di antara mereka ada orang yang membunuh
orangtuamu...."
"Aku akan selalu ingat, Kak Sena," jawab Purwadhika. "Kalau aku boleh tahu,
siapa pimpinan mereka...?" tanya Purwadhika ingin tahu.
"Aku kurang tahu. Tapi aku mendapat ka-
bar dan mendengar orang-orang di Kutareja, bah-
wa mereka tak punya pimpinan. Hanya saja lelaki
yang bernama Sindang Manik merupakan orang
yang disegani, di antara mereka...."
"Siapa Sindang Manik itu..." Apakah Kak
Sena tahu...."
"Menurut berita yang kudapat dari orang-
orang yang juga membenci kelompok mereka, Sin-
dang Manik adalah orang buronan. Prajurit Kadi-
paten Pasuruan masih mencarinya. Dan lagi, ka-
barnya nama yang disandangnya adalah nama
palsu," tutur Sena.
Purwadhika manggut-manggut, lalu mena-
tap Sena kembali.
"Ini semakin mempermudah kita untuk me-
nangkap mereka, bukan begitu Kak Sena?" tanya Purwadhika.
"Mungkin. Tapi ingat orang-orang macam
Sindang Manik selalu bersifat licik. Aku malah ingin menangkap Sindang Manik
lebih dulu. Untuk
itu kita perlu seorang yang mengenali wajah Sin-
dang Manik," usul Sena. Lalu menutup mukanya kembali dengan kain hitam tadi.
Hanya tinggal matanya saja yang terlihat.
"Ada apa, Kak Sena..."!" tanya Purwadhika sambil menoleh ke kanan kiri.
"Sssttt..!"
Sena segera mengiyaratkan agar Purwadhi-
ka tidak berbicara lagi. Lalu tubuhnya melompat
ke arah semak-semak.
"Hop...!"
"Heaaa...!"
Tiba-tiba dari balik semak-semak melompat
seorang yang juga bercadar warna merah dan ber-
pakaian silat warna merah pula. Rambutnya tertu-
tup kain hitam. Kemudian Sena mengejar orang
bercadar merah itu.
Pertarungan Sena dan orang bercadar tak
berjalan lama, karena hanya tiga jurus pembuka,
Pendekar Gila telah dapat membuat orang berca-
dar itu kewalahan dan tersungkur di tanah. Pur-
wadhika menghampiri bermaksud ingin membantu
orang bercadar merah itu untuk berdiri. Namun
orang bercadar itu menendang pantat Purwadhika,
lalu dengan cepat bangkit hendak melancarkan se-
rangan. Namun Pendekar Gila telah menghadang-
nya dan dengan sekali gebrak orang bercadar itu
terhuyung-huyung ke belakang. Secepat kilat Sena
membuka cadar orang itu.
"Hah..."!"
Sena bergumam pendek, kaget ketika tahu
bahwa lawannya seorang wanita. Terlihat dari si-
nar matanya Pendekar Gila tampak menyesali tin-
dakannya barusan.
"Maafkan aku! Tapi, kenapa kau menden-
garkan pembicaraan kami" Dan bagaimana kau
bisa ada di sini..?" tanya Sena sedikit mendesak.
Wanita muda itu tak langsung menjawab.
Matanya memandang Purwadhika dengan tak ber-
kedip. Pada saat itu pula, Purwadhika tengah me-
natap wajahnya yang cantik. Pandangan pertama
mereka membuat saling jatuh hati.
"Hem em...!" Sena mendehem.
Purwadhika tampak tersipu malu dengan
wajah merah. Lalu tersenyum-senyum pada Sena
dan juga pada wanita muda itu.
"Namaku Lilasari, dari Kadipaten Pasuruan.
Aku putri tunggal Adipati Aji Sampurno," kata wanita muda memperkenalkan dirinya
pada Sena dan Purwadhika.
"Jadi... jadi kau dari Kadipaten Pasu-
ruan..."!" ulang Purwadhika, lalu menoleh ke arah Sena yang terus menatap
Lilasari seperti tengah
menyelidik kebenaran ucapan wanita itu.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini dan un-
tuk apa tadi mendengarkan pembicaraan kami.
Berkatalah secara jujur!" desak Sena sambil terus menatapnya.
Kembali Lilasari menatap Purwadhika yang
tampan itu sambil tersenyum manis. Sena jadi
menarik napas panjang, lalu membisikkan sesuatu
pada Purwadhika. Pemuda itu tersenyum malu.
Sena lalu melangkah dan membalik badan, mem-
biarkan Purwadhika berdua dengan Lilasari. Kare-
na Sena tahu kalau wanita itu menaruh hati pada
Purwadhika. Purwadhika mendekati Lilasari. Lilasari
nampak senang. "Sebenarnya ada apa denganmu" Apakah
kau sengaja kabur dari kadipaten, atau...!" tanya Purwadhika dengan lembut.
"Terus terang saja, aku ingin membalas
dendamku atas kematian ayahku Adipati Aji Sam-
purno," ucap Lilasari dengan mata berkaca-kaca.
Mendadak wajahnya yang tadi nampak manis, kini
menjadi murung.
"Siapa yang membunuh ayahmu?" tanya
Purwadhika yang mulai tersentuh hatinya, karena
Lilasari mempunyai persoalan yang hampir serupa
dengannya. "Wongso Guno...!" jawab Lilasari dengan lemah, tapi jelas di telinga Purwadhika.
"Siapa Wongso Guno itu?" tanya Purwadhi-ka ingin tahu.
"Wongso Guno adalah bekas Senapati Pasu-
ruan. Tapi ketika dia tertangkap basah sedang
berbuat mesum dengan ibu tiriku, Wongso Guno
dengan licik membunuh ayahku dan juga ibu tiri-
ku. Lalu dia menghilang sampai sekarang," tutur Lilasari dengan penuh perasaan.
Purwadhika merasa haru mendengar cerita
Lilasari dihelanya napas dalam-dalam. Dipandan-
ginya lekat-lekat wajah cantik wanita itu.
"Aku bersumpah, jika bertemu dengan
Wongso Guno dan dapat membunuhnya, aku akan
menggundul kepalaku. Karena itu aku terus me-
rantau dengan cadar ini. Agar jika bertemu dengan Wongso Guno, dia tak mengenali
diriku...."
Sementara itu Sena mulai mengerti dan se-
dikit mulai yakin bahwa Lilasari bukan bicara bo-
hong. Sena bisa melihat dari raut wajah Lilasari
yang polos. Walaupun Sena belum sepenuhnya
percaya pada penuturan wanita itu.
"Apakah kau masih ingin mencari Wongso
Guno...?" tanya Purwadhika memancing Lilasari.
"Jelas, kan tadi aku sudah katakan, semu-
anya padamu. Aku ingin ada orang yang mau
membantuku. Dan aku akan memberikan hadiah
pada siapa saja yang bisa membunuh Wongso Gu-
no," kata Lilasari kemudian.
"Wah, hebat ada hadiahnya! Hadiah apa ki-
ranya...?" tanya Purwadhika ingin tahu dengan tersenyum-senyum lalu sebentar
menoleh ke arah
Sena, yang masih berdiri memperhatikan mereka
tak jauh dari tempat itu.
"Orang itu akan kujadikan kusir kudaku
dan tak dapat gaji, hanya makan sehari tiga kali....
Hi hi hi...!" kata Lilasari dengan tertawa-tawa, geli sendiri.
"Wauuu...! Lebih baik aku tak jadi meno-
longmu. Aku kira kau mau beri aku uang emas
sekarung...!" ujar Purwadhika, lalu tertawa-tawa pula. Sena hanya tersenyum-
senyum mendengar
kelakar kedua muda-mudi itu, lalu melangkah
menghampiri mereka.
"Sebaiknya kita pergi dari tempat ini. Soal
itu biar nanti kita bicarakan. Tapi aku minta pa-
damu Purwa, beritahu wanita itu agar dapat me-
rahasiakan rencana kita. Dan benda itu akan ku-
simpan di tempat yang aman. Aku sudah menda-
patkan cara untuk mengamankan benda itu," selesai berkata Sera segera melesat
pergi. "Aneh, orang macam apa dia" Siapa dia se-
benarnya, saudaramu?" tanya Lilasari.
"Ya. Dia kakakku yang aneh. Sudahlah jan-
gan pikirkan dia lagi! Biar begitu dia sangat baik,"
kata Purwadhika kalem.
"Oh, ya. Kau belum memperkenalkan siapa
namamu...," kata Lilasari dengan lembut serta sedikit genit
"Ooo... ya, ya. Aku Purwadhika.... Aku anak
gunung. Sejak kecil aku sudah ditinggal kedua
orangtua ku. Ya, sama seperti ceritamu. Dibunuh
oleh bekas orang kepercayaannya." Sejenak Purwadhika menghela napas, lalu
berkata lagi, "Memang aneh! Manusia memang tak pernah puas
dengan apa yang sudah mereka dapat. Kupikir-
pikir, manusia bisa lebih buas daripada seriga-
la...!" Lilasari menatap Purwadhika dengan pandangan sayu penuh arti. Wanita
muda itu memang
telah tertarik dan jatuh hati pada Purwadhika se-
jak pandangan pertama. Bukan karena kegagahan
dan ketampanan pemuda itu, melainkan karena
kepolosan dan senyumnya.
Kemudian keduanya meninggalkan tempat
itu dengan berbagai perasaan yang mereka bawa...
6 Sementara itu Sindang Manik, Sadiro, dan
Wesi Geni sangat terkejut mendengar cerita Buri-
srawa. Bahwa Cilung mati dibunuh seorang pe-
muda yang memiliki Keris Pusaka Naga Sakti.
"Huh...! Bagaimana bisa terjadi..."!" geram Sadiro si Muka Pucat marah, "Lalu
siapa pemuda yang menguasai keris itu"! Aku harus dapat menemukannya, akan
kubunuh dia dengan caraku!"
"Rencana kita jadi berantakan gara-gara ke-
cerobohan kau... dan Cilung!" dengus Sindang Manik sambil menuding Burisrawa.
Burisrawa pura-pura ketakutan dengan ke-
pala tertunduk. Namun dalam hati, dia merasa se-
nang dapat memperdaya Sindang Manik dan Sadi-
ro. Wesi Geni yang sejak tadi berdiam diri,
asyik menggosok kuku-kuku kakinya, hanya ter-
senyum-senyum, lalu berucap.
"Kenapa tidak si Empat Jin Botak dari Sela-
tan itu yang mampus duluan! Biar aku bisa terta-
wa-tawa sehari semalam."
"Jangan kau takabur bicara! Kita harus
bersatu dan sehati, agar dapat memperoleh keris
pusaka itu!" sambar Mandra yang nampak mu-
rung, karena Cilung sahabatnya telah mati terbu-
nuh. Sejenak mereka sama-sama terdiam. Mas-
ing-masing mencari jalan untuk menemukan Pur-
wadhika yang diceritakan oleh Burisrawa.
"Sebaiknya kita berpencar. Aku bersama
Wesi Geni mencari ke arah utara. Dan kau, Sadiro
bersama Mandra dan Burisrawa ke arah selatan
menuju tempat Burisrawa bertemu dengan pemu-
da itu...," kata Sindang Manik atau Wongso Guno dengan suara datar.
Baru saja Sindang Manik selesai berkata
begitu, tiba-tiba muncul Empat Jin Botak dari Se-
latan. Tersentak Burisrawa melihat kedatangan
mereka. Diam-diam Burisrawa hendak menyelinap
pergi, namun niat itu dia urungkan, karena Man-
dra melihatnya.
"Kenapa kalian kembali" Bukankah tugas
kalian menyelidiki lebih dulu keadaan persembu-
nyian Ki Tunggul Segara"!" tanya Sindang Manik dengan wajah penuh keheranan.
"Kami perlu memberitahukan pada kalian,
bahwa keris pusaka itu telah jatuh ke tangan seo-
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rang berpakaian serba hitam dengan menutup ba-
gian mukanya. Orang itu mengaku bernama Ma-
nusia Bayangan...!" tutur Jin Sudra dengan tegas dan berwibawa.
Wajah-wajah yang mendengar berita itu
mendadak tegang dan memerah, tanda marah! Gi-
gi-gigi mereka bergemeletukan menahan amarah
yang luar biasa. Sindang Manik lalu menoleh ke
arah Burisrawa dengan tatapan mata tajam dan
curiga. "Kau, Burisrawa bicaralah secara jujur! Apa sebenarnya yang telah
terjadi..."!" bentak Sindang Manik sambil menuding Burisrawa.
Burisrawa yang dibentak begitu tak merasa
ciut nyalinya. Wajahnya menoleh dan menatap ta-
jam pada Sindang Manik.
"Sudah kukatakan, Cilung mati terbunuh
oleh pemuda berpakaian coklat muda, yang memi-
liki keris pusaka itu. Apa kau belum cukup men-
gerti...!" Burisrawa balik membentak keras, dengan mata membelalak lebar. "Kau
harus sadar Sindang Manik, bahwa di antara kita sama rata. Tak ada
pimpinan atau ketua! Kita sama-sama mengingin-
kan Keris Pusaka Naga Sakti. Dan siapa yang tahu
kalau di dalam hatimu tersimpan maksud jahat
pada kami...!" lanjut Burisrawa dengan nada lebih
keras. Tersinggung bukan main Sindang Manik
mendengar tuduhan itu. Meskipun di hatinya me-
mang tersimpan rencana seperti yang disebutkan
Burisrawa barusan. Bekas Senapati di Kadipaten
Pasuruan itu berniat jahat terhadap kelompoknya
sendiri, jika telah mengetahui siapa pemegang Ke-
ris Pusaka Naga Sakti.
Sindang Manik dengan geram hendak me-
nyerang Burisrawa. Namun dengan cepat Sadiro
menahan sambil berbisik ke telinganya.
"Tenang...! Kalau kau lakukan, rencana kita
akan ketahuan mereka. Sabar.,.!" bisik Sadiro, lalu pura-pura menyalahkan
Sindang Manik dengan
berkata, "Hatimu terlalu dihantui rasa ketakutan dan ketegangan, Sindang Manik.
Kau tak perlu bersitegang dengan kawan satu kelompok! Aku ti-
dak suka caramu ini...!"
Sandiwara Sadiro yang bermuka pucat itu
rupanya berhasil mengelabui mereka. Namun ti-
daklah demikian dengan Burisrawa. Lelaki yang
bermuka lebar itu sepertinya tak mau percaya
dengan kata-kata Sadiro. Burisrawa mencibirkan
bibir, lalu pergi. Dia keluar dari rumah tua yang lebih mirip kuil itu.
Sindang Manik hendak mengejarnya, tapi
Sadiro mengedipkan matanya. Sehingga Sindang
Manik segera mengurungkannya dan hanya bisa
menghela napas dalam-dalam, menahan rasa den-
dam pada Burisrawa yang sempat menyinggung
perasaannya. "Jin Sudra, lanjutkan keteranganmu...!" ka-
ta Sadiro kemudian.
"Kita harus mencari orang bertutup muka
dan berpakaian serba hitam itu!" kata Jin Sudra tegas. "Lalu bagaimana dengan
pemuda yang menurut Burisrawa telah membunuh Cilung itu...?"
tanya Sadiro dengan suara datar.
"Cilung terbunuh" Oleh pemuda itu..."! Bisa
jadi, karena pemuda itu menguntit kami sejak ke-
luar dari Kutareja," tutur Jin Sudra kemudian.
"Lantas kelanjutannya bagaimana dengan
orang berkedok hitam itu?" tanya Sindang Manik tiba-tiba.
"Pemuda yang memiliki keris itu dihajarnya,
setelah orang yang mengaku Manusia Bayangan
menghantamnya.... Kemudian dilemparkannya
pemuda itu dengan kekuatan luar biasa. Setelah
itu dia menghilang.... Kami terus berusaha menca-
ri, namun tak menemukannya, juga pemuda
itu...," tutur Jin Sudra dengan gamblang.
"Setan Belang...! Akan kucincang orang ke-
parat itu jika kutemukan...! Ayo, kita cari orang itu dan rebut Keris Pusaka
Naga Sakti dari tangannya!" seru Sindang Manik. Kemudian melangkah keluar dari
rumah tua itu, diikuti yang lain.
Di luar Burisrawa sudah tak kelihatan ba-
tang hidungnya.
"Ke mana si Burisrawa...?" tanya Sadiro pa-da diri sendiri.
"Aaah, jangan pikirkan dia!" sahut Sindang Manik, lalu melompat ke punggung
kuda. Mereka segera meninggalkan rumah tua itu,
memacu kuda dengan cepat
Sepeninggal Sindang Manik dan kawan-
kawan, muncul Burisrawa dari balik bangunan tua
itu. Mulutnya tertawa sinis, memandang ke depan.
"He he he... tahu rasa kalian! Kalian pikir
aku orang bodoh!" gumam Burisrawa lalu melesat pergi dari tempat itu.
*** Hampir seharian Purwadhika dan Lilasari
berjalan menyusuri jalan setapak di dekat sebuah
telaga yang berair jernih. Kedua muda-mudi ini
nampak semakin akrab. Bahkan Lilasari nampak
sudah berani bermanja-manja kepada Purwadhi-
ka. "Kalau saja aku bertemu denganmu sebe-
lum kejadian yang menimpa ayahku, mungkin su-
asana lebih indah dan menyenangkan...," ucap Lilasari dengan manja sambil
mempermainkan tan-
gan Purwadhika.
Purwadhika hanya tersenyum-senyum. Di-
tatapnya Lilasari dengan penuh arti.
"Apakah kau tidak merasa risih berjalan
bersamaku yang hidup tak menentu ini...?" tanya Purwadhika merendah.
"Aku menyukai atau mencintai seseorang
bukan karena kedudukan, pangkat, kaya, atau
miskin. Tapi kesetiaan dan keluhuran budinya.
Serta jujur padaku," jawab Lilasari dengan polos dan tegas.
Lalu wanita itu menghentikan langkahnya,
begitu juga Purwadhika. Lilasari membalikkan ba-
dan, berhadapan dengan Purwadhika. Sejenak ke-
duanya saling pandang. Purwadhika merasakan
sentuhan tangan lembut Lilasari.
"Aku mengerti perasaanmu, Lila. Tapi, bu-
kan sekarang. Ini bukan saat yang tepat bagi kita.
Bukankah kau sedang berusaha mencari pembu-
nuh ayahmu" Mari, sebaiknya kita lanjutkan per-
jalanan kita...!" ajak Purwadhika dengan merangkul Lilasari. Rupanya wanita muda
itu mengerti dan dapat memahami maksud Purwadhika.
"Oh, ya. Bukankah orang-orang kadipaten
dan para prajurit sedang mencari Wongso Guno"
Kenapa kau tak bersama-sama mereka...?" tanya Purwadhika tiba-tiba.
"Paman Patih Tutuka melarangku untuk
ikut. Dia menganggapku belum pantas, karena di-
anggapnya tak memiliki ilmu silat yang bisa dian-
dalkan. Maka itu aku diam-diam pergi tanpa se-
pengetahuan mereka...," tutur Lilasari dengan polos dan tegas.
Purwadhika mengangguk-anggukkan kepa-
la, tanda mengerti.
"Aku kagum denganmu, Lila. Mungkin da-
rah kesatriaan ayahmu menitis padamu," kata
Purwadhika memuji.
Lilasari hanya tersenyum manis seraya me-
nempelkan kepalanya di dada Purwadhika. Mereka
terus melangkah menyusuri jalan setapak yang
menurun. Tiba-tiba saja Lilasari berlari dengan terta-
wa-tawa riang, ke tepi telaga. Tangannya mem-
permainkan air telaga, lalu mencuci mukanya
dengan air telaga yang jernih itu.
"Purwa...! Aku mohon kau tidak keberatan
pergi sebentar, tapi jangan jauh-jauh.... Aku mau menyegarkan tubuhku. Sudah
seharian aku tak
mandi...," ujar Lilasari sedikit berteriak.
"Hah..."!" gumam Purwadhika, "Ya, ya... aku pergi. Jangan lama-lama!"
Setelah itu Purwadhika melangkah, men-
jauhi telaga itu. Lalu dia menyandarkan tubuh
duduk di balik pepohonan dan semak-semak, agak
jauh dari tempat Lilasari.
Pada saat itu, sepasang mata liar mengama-
ti Lilasari, dari balik semak belukar tak jauh dari tempat telaga itu.
Baru saja Lilasari membuka pakaian atas-
nya, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat cepat
"Aaakh..,!" Lilasari sempat memekik.
Purwadhika terkejut mendengar jeritan itu.
Dengan cepat dia melompat. Alangkah terkejutnya
dia ketika melihat Lilasari sudah tak ada di telaga.
"Lila...!" serunya memanggil.
Srakkk! Terdengar suara lari seseorang. Purwadhika
masih sempat melihat berkelebat sesosok tubuh di
balik semak-semak. Dengan cepat Purwadhika me-
lesat menggunakan ilmu peringan tubuh, hingga
bagai terbang, memburu penculik itu.
Akhirnya Purwadhika dapat mengejar si
Penculik. Dengan teriakan panjang pemuda itu
melompat mendahului orang yang membopong Li-
lasari. Ketika tubuh Purwadhika melayang di atas
kepala si Penculik dengan cepat kakinya menen-
dang keras kepala orang yang tak lain Burisrawa.
Bug, bug! "Aaaakh...!"
Tubuh Burisrawa terpental, bergulingan
bersama Lilasari. Purwadhika segera mengejar dan
cepat menyelamatkan Lilasari lebih dulu, sebelum
menghadapi Burisrawa.
"Menyingkirlah dulu, Lila! Biar orang ini
kuberi pelajaran...!" seru Purwadhika. Lilasari yang nampak cemas, menutupi
dadanya dengan kedua
tangan sambil menyingkir bersembunyi di balik
pohon besar. "Kau memang kurang ajar...! Rasakan ini.
Heaaa...!"
Purwadhika dengan cepat menghantarkan
pukulan ke arah Burisrawa yang siap telah mema-
pakinya. Namun pukulan Purwadhika ternyata
hanya tipuan belaka. Sehingga Burisrawa yang
sudah siap untuk menghadang dan menangkis ka-
get, karena tahu-tahu sebuah tendangan mendarat
keras di rusuk sebelah kirinya.
"Aaakh...!"
Burisrawa kembali menjerit. Tubuhnya ter-
pental ke tanah. Namun dengan cepat bangkit
berdiri dan segera mencabut goloknya. Dengan
mengeluarkan jurus mautnya, golok itu diputar
cepat seraya terus mendekati Purwadhika. Dan ke-
tika jarak dirasakan cukup, Burisrawa secepat ki-
lat melompat sambil mengayunkan golok dengan
cepat pula ke arah Purwadhika yang sudah siap
dengan segala kemungkinan.
Satu gelombang angin kencang menerpa ke
arah Purwadhika. Murid Ki Tunggul Segara ini ter-
kejut ketika merasakan sabetan golok lawan ham-
pir saja memenggal kepalanya. Untung saja dia ce-
pat melompat sambil merunduk ke samping.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh, Purwadhika mengimbangi diri balas melan-
carkan serangan balik yang cepat dan ternyata te-
pat mengenai sasaran. Pukulan 'Tapak Sakti' yang
mematikan itu mendarat telak di ulu hati Burisra-
wa. Seketika golok di tangan kanan Burisrawa ter-
lepas, disusul tubuhnya terhempas di tanah. Ter-
dengar suara erangan keras menahan sakit di da-
danya. Ketika lelaki berambut keriting itu memba-
lik, wajahnya nampak pucat kebiruan. Di dadanya
bertanda telapak tangan Purwadhika biru kehita-
man. Purwadhika menghampirinya. Pemuda itu
nampak menyesal melakukan itu. Namun semua-
nya sudah terjadi.
"Maafkan aku, Kisanak! Bukan maksudku
untuk melukai atau membunuhmu... tapi, kau
sendiri yang menginginkan itu...," kata Purwadhika dengan nada suara tegas.
"Ahkk... he hee... aku tak menyesal mati di
tanganmu, Anak Muda. Daripada aku mati di tan-
gan mereka...," sahut Burisrawa dengan tersendat-sendat. Sementara itu Lilasari
masih bersembunyi
di balik pohon. Dari jarak yang tak jauh, Lilasari mendengarkan dan menyaksikan
semuanya, den- gan wajah cemas dan sedih.
"Siapa yang kau maksud dengan mereka
itu...?" tanya Purwadhika seraya mendekati Burisrawa. "Orang-orang murka dan
serakah. Teman-temanku sendiri. Mereka ingin mencarimu dan
orang yang mengaku Manusia Bayangan. Mereka,
akh... mereka akan merebut Keris Pusaka Naga
Sakti. Eakh...," sejenak Burisrawa mengeluh dan meringis, "Mereka kejam...! Kau
harus hati-hati, Anak Muda.... Si Muka Pucat Sadiro dan Sindang
Manik..., orang yang paling serakah dan tak segan-segan membunuh siapa pun
secara bengis dan li-
cik. Tak peduli teman sendiri, kalau menantang
akan dibunuhnya. Termasuk aku yang sering me-
nantangnya... ook akh.....Maafkan aku...!" selesai berkata Burisrawa lalu
menghembuskan napas
yang terakhir. Purwadhika mengusap muka Burisrawa se-
raya bergumam. "Hyang Widhi, ampuni segala dosa-dosanya!
Terimalah dia di alam sana...!"
Purwadhika berdiri dan menoleh ke arah Li-
lasari. Lalu melangkah mendekatinya. Lilasari
langsung memeluk Purwadhika dengan perasaan
sedih bercampur tegang.
Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ooh... semua ini gara-garaku. Aku telah
menyusahkanmu, Purwa," terdengar suara lembut dari mulut Lilasari.
"Tidak.... Sudahlah jangan menangis!" ujar Purwadhika, lalu membuka bajunya dan
mema-kaikan pada Lilasari.
*** Sementara itu di suatu tempat dekat Lem-
bah Sarangan, terjadi pertarungan seru antara
Prajurit Kadipaten Pasuruan dengan Sindang Ma-
nik dan kawan-kawannya.
Sindang Manik yang merupakan mantan
senapati nampak menghadapi seorang lelaki ber-
kumis melintang. Sorot matanya tajam, menanda-
kan lelaki berusia kira-kira empat puluh lima ta-
hunan itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
"Kau manusia terkutuk dan tak punya rasa
berterima kasih, Wongso Guno. Kau tak bisa men-
gelabuiku dengan memakai nama samaran Sin-
dang Manik...!" seru lelaki yang berpakaian kadipaten. Dialah Patih Tutuka,
Paman Lilasari.
Sindang Manik atau Wongso Guno terus
mengelak mundur, karena Patih Tutuka terus
mencecarnya, dengan sabetan dan tusukan keris-
nya. Serangkum angin menderu keras dan
menghantam tubuh Sindang Manik.
"Uhk...!" pekik Sindang Manik dengan tubuh terhuyung ke belakang. Rupanya Patih
Tutu- ka bukan hanya menggunakan senjata kerisnya,
melainkan juga pukulan tanpa wujudnya yang
sangat berbahaya.
Sementara itu Mandra yang menemani Sin-
dang Manik dikeroyok tiga prajurit, hingga terus terdesak. Bahkan tampak sudah
terluka lengan kirinya. Darah terus mengucur, membuat Mandra
mulai melemas kekuatannya. Apalagi usianya yang
sudah lima puluh tahun lebih. Namun begitu, se-
mangatnya tidak mengendur, terus berusaha
memberikan perlawanan.
Sindang Manik yang terluka dalam mengge-
reng keras sambil melakukan serangan balik den-
gan cepat ke arah Patih Tutuka. Jemari tangannya
mendadak mengeluarkan kuku-kuku runcing dan
panjang. Itulah jurus, ilmu Tengkorak Maut'.
"Hah..."!" gumam Patih Tutuka yang sempat kaget melihat jurus itu. Karena Patih
Tutuka tahu, bahwa jurus itu dimiliki oleh si Iblis Betina dari Utara. "Apakah
Wongso Guno telah menjadi murid Iblis Betina itu...?" pikir Patih Tutuka.
Pada saat itu Sindang Manik atau Wongso
Guno melompat dengan kedua tangan direntang-
kan dibarengi dengan salto di udara beberapa kali.
Dan ketika sudah mendekati pada sasaran, den-
gan cepat mendarat di pundak Patih Tutuka. Di-
hantamnya kepala Patih Tutuka dengan kedua te-
lapak tangan. Jari-jari yang berkuku runcing me-
nusuk kepala lawan yang berada di antara kedua
kakinya. Setelah itu Siridang Manik dengan buas
memutar kepala Patih Tutuka.
Krakkk! Putuslah leher Patih Tutuka seketika. Sin-
dang Manik melompat turun dengan ringannya.
Sementara itu tubuh Patih Tutuka ambruk, den-
gan kepala putus.
Para prajurit yang melihat pimpinan mereka
telah mati, tak menjadi ciut. Mereka malah sema-
kin marah dan berani. Dengan semangat tempur
yang mengebu-gebu para prajurit yang berjumlah
sekitar dua puluh lima orang itu mengeroyok Sin-
dang Manik sambil mengucapkan kata-kata ma-
kian. "Manusia Keparat..! Pengkhianat..! Bunuh...
bunuh...!"
Teriakan terus terdengar dari mulut praju-
rit-prajurit itu, sambil menusuk dan memba-
batkan pedang atau tombak mereka. Sebagian lagi
sedang mengeroyok Mandra yang semakin terde-
sak. Akhirnya Mandra tak dapat menahan seran-
gan kelima prajurit yang bergantian menyerang-
nya. Crasss, crasss!
"Aaaakh...!"
Mandra menjerit dan seketika tubuhnya
ambruk kena babat pedang dan tusukan tombak
para prajurit. Bersamaan dengan matinya Mandra,
Sindang Manik pun sudah membunuh beberapa
orang prajurit. Pada saat Sindang Manik sedang
menghabisi para Prajurit Kadipaten Pasuruan,
muncul Manusia Bayangan yang kebetulan lewat
di tempat itu. "Hah"! Inikah prajurit-prajurit Kadipaten
Pasuman...?" gumam Manusia Bayangan yang tak lain Sena adanya. "Kemungkinan
orang yang sedang dikeroyok itu Sindang Manik," gumamnya la-gi lalu melompat
mendekati mayat Patih Tutuka
yang sudah tak berkepala itu.
"Benar...! Dia pasti Sindang Manik. Perlu
diberi pelajaran manusia kejam itu," gumam Pendekar Gila ketika mengetahui bahwa
lawan Patih Tutuka bertarung tadi adalah Sindang Manik. Hal
itu diketahui ketika ditemukan tanda pada pa-
kaian Patih Tutuka yang telah menjadi mayat itu.
Segera Manusia Bayangan melompat ke
arah Sindang Manik yang dengan buas tengah
menghabisi para prajurit.
"Heaaa...!"
Plak! Bukk! Manusia Bayangan langsung menggebrak
Sindang Manik dengan pukulan dan tendangan
kaki kirinya yang keras ke dada Sindang Manik.
"Aaaahk...!"
Sindang Manik memekik dengan tubuh ter-
huyung ke belakang. Matanya mendelik menatap
sesosok tubuh berpakaian serba hitam di depan-
nya. Sementara enam prajurit pun kaget melihat
kehadiran orang yang menyembunyikan diri di ba-
lik tutup wajah berwarna hitam itu.
"Kalian mundur...! Biar aku hadapi manusia
buruk ini...!" kata Manusia Bayangan pada prajurit-prajurit itu.
"Bangsat..! Kau rupanya yang disebut Ma-
nusia Bayangan itu...! He he he... Bagus! Aku tak susah-susah lagi mencarimu!"
seru Sindang Manik dengan geram.
"Aku pun tak usah repot-repot mencari
orang licik dan pengkhianat sepertimu, Wongso
Guno...!" sergah Manusia Bayangan dengan lantang. Mendadak wajah Sindang Manik
berubah mendengar nama aslinya disebut. Dengan wajah
memerah dia menoleh ke sana kemari. Sementara
para prajurit menjadi heran dan saling berbisik
pada teman-temannya.
"Siapakah sebenarnya orang berpakaian
serba hitam itu" Bagaimana dia bisa mengetahui
nama asliku..."!" gumam Sindang Manik seperti bicara pada dirinya sendiri. Dia
mulai nampak salah tingkah.
"Kau pun licik...! Kalau kau benar-benar
seorang pendekar, buka tutup mukamu!" seru
Lembah Selaksa Bunga 7 Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Tengkorak Maut 16