Kumbang Hitam Dari Neraka 2
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka Bagian 2
tempatku?" tanya Ki Yaksa Asti, berusaha menghormati kedua tamunya.
Perempuan tua dan lelaki terbalut kain hitam
itu tertawa bergelak
"Kaukah Yaksa Asti atau si Cakar Seribu?"
tanya si nenek "Benar. Akulah orangnya," sahut Ki Yaksa Asti setenang mungkin, berusaha menekan
kemarahan menyaksikan tingkah kedua tamu tak diundang itu.
"Hm, bagus! Ketahuilah, aku Dewi Bunga Iblis
dari Jurang Neraka. Dan muridku ini adalah orang
yang kalian keroyok di tepi Jurang Neraka!" tutur Dewi Bunga Iblis, membuat
wajah Ki Yaksa Asti menegang.
Pandangannya kini tertuju pada lelaki terbalut kain hitam.
"Kau..."!" desis Ki Yaksa Asti tak percaya.
Lelaki terbalut kain hitam itu tergelak kemu-
dian matanya menghunjam tajam pada Ki Yaksa Asti.
"Ya, aku.... Rupanya aku masih diberi umur
panjang untuk melakukan perhitungan denganmu.
Sekaligus mencabut nyawa tuamu, Yaksa Asti...!" jawab lelaki yang tak lain
Truna, seraya tertawa penuh kepongahan.
"Bukan hanya mencabut nyawa tuamu, Yaksa
Asti! Kami datang untuk mencabut nyawa keempat
temanmu juga, termasuk Pendekar Gila...!" sambung Dewi Bunga Iblis.
Seketika telinga ketiga orang Perguruan Cakar
Sewu menjadi panas mendengar ucapan sombong yang
dilontarkan guru dan murid dari aliran sesat itu. Mata mereka semakin menatap
tajam. Gigi Ki Yaksa Asti
malah bergemeretuk, menahan kekalapan yang hen-
dak menerobos ubun-ubunnya.
"Sombong! Meski nama Dewi Bunga Iblis per-
nah menggemparkan rimba persilatan puluhan tahun
silam, namun kami dari Perguruan Cakar Sewu tak
gentar! Kalianlah yang harus minggat ke neraka!" geram Wilapati. Tampaknya dia
hendak segera menye-
rang, namun dengan cepat Ki Yaksa Asti mencegahnya
dengan merentangkan tangan.
"Jangan gebabah, Muridku. Menghadapi orang-
orang seperti ini, kita harus hati-hati," cegah Ki Yaksa Asti sambil melangkah
setindak ke muka. "Dewi Bunga Iblis, antara aku dan kau tak ada silang sengketa.
Mengapa kau tiba-tiba hendak mencampuri urusan"
Aku hanya ada silang sengketa dengan pemuda durja-
na di sampingmu."
"Ah, dia tak ada bedanya. Dia adalah muridku.
Maka aku pun berhak membelanya."
Ki Yaksa Asti terdiam. Dihelanya napas pan-
jang-panjang. Dia tidak takut menghadapi nenek sakti itu, meski nama Dewi Bunga
Iblis telah didengarnya.
Bagaimana nenek sakti itu malang melintang di rimba
persilatan tanpa tanding pada masanya, dan hanya
pernah kalah ketika menantang Pendekar Gila dari
Gua Setan. Tapi, apakah aku sanggup menghada-
pinya" Sungguh berbahaya bagi rimba persilatan jika
tokoh sesat seperti Dewi Bunga Iblis kembali turun.
Desis Ki Yaksa Asti dalam hati. Tak dapat dibayang-
kan, bagaimana rimba persilatan nantinya.
"Bagaimana, Yaksa Asti. Kau siap menemui aj-
al?" tanya Truna. Suaranya bernada sinis, mencermin-kan kesombongan dan
keangkuhan. Ki Yaksa Asti mendengus gusar. Namun masih
berusaha tenang.
"Untuk kebenaran dan keadilan di rimba persi-
latan, apa pun akan kuhadapi!"
"Bagus! Berarti kau memang ingin mampus!"
dengus Dewi Bunga Iblis tegas.
"Bersiaplah untuk mampus, Yaksa Asti!" sambung Truna sombong.
Disertai gelak tawa yang menggelegar, lelaki
terbalut kain hitam itu seketika melakukan serangan
ke arah Ki Yaksa Asti.
"Heaaat..!"
Sementara itu, seluruh murid Perguruan Cakar
Sewu keluar ketika mendengar keributan. Mereka ber-
kumpul dalam barisan yang tak teratur, karena tak
menyangka kejadian seperti itu akan terjadi.
*** Melihat lawannya telah membuka serangan, Ki
Yaksa Asti dan kedua muridnya tak mau tinggal diam.
Disertai pekikan keras menyaingi kerasnya teriakan
Truna, ketiganya siap meladeni serangan lawan. Ki
Yaksa Asti menghadang lelaki terbalut kain hitam. Sedangkan kedua murid utamanya
menghadapi Dewi
Bunga Iblis. "Heaaa...!"
"Ciaaat..!!"
Dengan mengeluarkan jurus 'Cakar Sewu' guru
dan kedua muridnya itu melakukan serangan, tangan
mereka membentuk cakar yang kuat dan keras dan
bergerak cepat. Tangan kanan dan kiri mereka bergan-
tian mencakar dengan jari-jari mengeras laksana baja.
Kaki mereka pun turut bergerak cepat, dan saling me-
nyilang setiap melangkah dengan lutut sedikit ditekuk
"Heaaat..!"
Ki Yaksa Asti yang hanya memiliki sebelah len-
gan, nampaknya tetap mampu melancarkan jurus-
jurus yang keras dan cepat. Tangan kanannya yang
terbuat dari logam, mencakar ke arah lawan. Pertama
ke arah wajah, membuat lawan mendongak. Menyusul
ke arah dada, lalu ke selangkangan. Gerakan itu dilakukan bertubi-tubi.
Truna yang terbalut kain hitam tergelak, mere-
mehkan serangan yang dilancarkan lawannya. Bahkan
dengan berkelit, dia berkata sombong,
"Tak adakah serangan yang lebih mematikan
dari ini, Orang Tua"!"
"Bedebah! jangan pongah dulu, Iblis! Hiaaat..!"
Kemarahan Ki Yaksa Asti semakin menjadi-jadi, kare-
na merasa diremehkan oleh Truna. Dia tahu kalau
pemuda yang pernah tinggal di padepokannya untuk
beberapa lama, memang telah menyerap ilmu silatnya.
Namun, begitu, dia tidak yakin kalau semua ilmunya
telah diserap. Masih ada jurus-jurus andalan yang belum diketahui Truna. Dan
jurus-jurus itulah yang
akan digunakannya untuk menghadapi pemuda pon-
gah itu. "Lebih baik kau istirahat di alam baka, ketimbang membuang-buang
tenaga, Tua Bangka" ejek Tru-na, seraya menggeser kaki ke samping. Tubuhnya di-
miringkan agak ke belakang untuk mengelitkan seran-
gan lawan. Kemudian tangan kanannya bergerak me-
mukul. Serangan balik dari lelaki terbalut kain hitam itu begitu cepat dan
keras. Kalau mengena, remuklah
muka Ki Yaksa Asti.
Ki Yaksa Asti tersentak kaget. Sama sekali tidak
diduganya akan mendapat serangan balasan yang ce-
pat dan keras. Segera tangan kanannya ditarik, kemu-
dian sambil melompat mundur kakinya menyabet. Tu-
buh bagian atas dilenturkan ke kiri untuk mengelitkan pukulan lawan. Tangan
kanan menyiku ke atas, berusaha menangkis serangan lawan.
"Heaaa...!"
"Hm, rupanya kau masih punya simpanan,
Orang Tua! Tapi percuma saja! Kau tak akan mampu
menghadapi jurusku yang ini!"
Usai berkata demikian, Truna melompat ke be-
lakang. Kemudian dengan mendengus dia menyerang
kembali. Tangannya mengembang, bagai sebuah
sayap. Tapi anehnya kembangan tangannya tidak se-
perti biasa. Kedua tangannya yang mengembang, kini
berada lurus di depan dada. Kemudian diangkat ke
atas, lalu diputar ke dalam dan kembali seperti semu-la.
Gerakan jurus yang dilakukan oleh Truna keli-
hatan aneh. Bertentangan dengan jurus kembangan
sayap yang biasa dilakukannya. Hal itu membuat Ki
Yaksa Asti yang telah banyak makan asam garam ke-
hidupan tidak mau gegabah. Orang tua ini langsung
maklum kalau itu adalah sebuah jurus baru di rimba
persilatan. Tentunya diciptakan oleh Dewi Bunga Iblis.
"Yeaaat..!"
Melihat lawan masih mematung dengan mata
memperhatikan gerakannya, Truna kembali menyerang
disertai pekikan keras. Tangannya bergerak kaku, na-
mun menggambarkan kekuatannya yang penuh. Sepa-
sang tangan lelaki itu membuat sebuah gerakan yang
berlawanan. Pertama lurus ke muka, kemudian mem-
buka ke samping. Selanjutnya memutar dan memben-
tuk perisai, diteruskan dengan tangan kanan memu-
kul. Gerakan kedua kakinya pun tampak kaku. Me-
rentang lebar-lebar bagai hendak melompat, kemudian
disilangkan begitu rupa dengan satu kaki agak mene-
kuk. Lalu dilanjutkan dengan tendangan ke arah perut
"Hiaaat..!"
Ki Yaksa Asti dengan cepat melempar tubuh ke
samping, manakala serangan lawan tiba-tiba meluruk
ke arahnya. Sambil melompat, tangan kanannya kem-
bali mencakar ke arah lawan. Sedangkan kaki kanan-
nya menendang. Namun Ki Yaksa Asti seketika tersen-
tak kaget mengetahui serangan yang baru saja dilan-
carkan lawan ternyata merupakan serangan pancin-
gan. Sedangkan serangan yang sebenarnya dilakukan
ketika Ki Yaksa Asti berkelit
Sebuah tendangan kaki kanan lawan tak mam-
pu dielakkan lagi oleh Ki Yaksa Asti. Hingga tanpa ampun lagi...
Degkh! "Ukhhh...!"
Ki Yaksa Asti mengeluh tertahan, tubuhnya ter-
lontar ke belakang tiga tindak.
"Hoeeekh...!"
Darah menyembur dari mulut Ketua Perguruan
Cakar Sewu itu. Matanya berkaca-kaca, menahan rasa
sakit yang mendera dada. Dipandanginya penuh ke-
bencian lelaki berbalut kain hitam yang tertawa se-
nang. "Guru...!" pekik kedua murid utama Perguruan Cakar Sewu, saat menyaksikan
gurunya luka dalam.
Hingga perhatian keduanya kini tercurah pada sang
Guru. Melihat kedua lawan yang mengeroyok kini da-
lam keadaan tak siap, Dewi Bunga Iblis tak mau mem-
buang kesempatan baik itu. Dengan mengerahkan te-
naga penuh, perempuan tua itu melancarkan seran-
gan. "Mampuslah kalian! Heaaat..!"
"Wilapati, Wilayuda! Awas...!" pekik Ki Yaksa Asti berusaha memperingatkan kedua
murid utamanya. Namun seruan Ketua Perguruan Cakar Sewu
itu terlambat Wilapati memang dapat lepas dari serangan maut itu dengan membuang
tubuhnya ke samping
tiga langkah. Tapi Wilayuda yang tak siap, harus me-
nerima serangan itu.
Degk! "Hugkh...! Kau...!"
Wilayuda terhuyung ke belakang dengan tan-
gan menekap dadanya yang terasa sesak dan sakit.
Dari mulutnya meleleh darah segar. Matanya nanar
bersama kemarahannya yang meledak.
"Licik! Kau..., kau licik! Kubunuh kau...!
Heaaat..!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, Wilayuda berusa-
ha menyerang lawan. Namun belum juga sampai, Dewi
Bunga Iblis telah mendahuluinya dengan satu pukulan
maut yang dinamakan 'Bunga Kematian Menebar Ra-
cun'. "Yeaaat..!"
"Wilayuda, awas...!" pekik Wilapati, mencoba mengingatkan adik seperguruannya.
Tapi terlambat,
pukulan maut itu telah lebih dahulu menghantam tu-
buh Wilayuda. Degk! "Aaa...!"
Jeritan menyayat terdengar dari mulut Wilayu-
da. Matanya melotot. Tubuhnya meregang, kemudian
ambruk tanpa nyawa lagi.
Melihat adik seperguruannya mati dan gurunya
terluka dalam, Wilapati jadi mata gelap. Didahului sebuah pekikan menggelegar,
Wilapati menyerang nenek
sakti itu. "Kubunuh kau, Iblis!"
Dewi Bunga Iblis tidak gentar melihat lawan
yang menyerang dengan membabi buta. Bahkan den-
gan tertawa mengikik wanita tua itu dengan enteng
mengelitkan serangan lawan. Tubuhnya digeser ke
samping, hingga serangan lawan meleset di samping-
nya. Dan ketika tubuh lawan meluruk, secepat kilat
tangan wanita tua itu memukul dari bawah. Wilapati
yang tengah merunduk, tak mampu lagi mengelakkan
pukulan yang mendarat telak di dadanya. Kemudian
disusul sebuah hantaman lutut yang tak kalah keras-
nya. Krak! "Aaakh...!"
Wilapati menjerit kesakitan. Tubuhnya yang ta-
di terdongak kini terhuyung-huyung ke belakang. Dari mulutnya menyembur darah
segar. Matanya melotot,
membara penuh kemarahan.
"Kau..., kau! Aaa...!"
Tubuh Wilapati ambruk tanpa nyawa dengan
tulang iga patah. Sedangkan Dewi Bunga Iblis tertawa terkekeh-kekeh. Kini
perhatiannya tertuju pada pertarungan antara muridnya dengan Ki Yaksa Asti.
"Serang terus, Kumbang Hitam! Kita harus se-
cepatnya membereskan dia, karena sebentar lagi pa-
gi...!" seru Dewi Bunga Iblis memberi semangat sekaligus peringatan pada
muridnya. Serangan sang Murid semakin bertambah gen-
car. Ditambah dengan luka dalam yang diderita, sema-
kin membuat Ki Yaksa Asti terdesak hebat. Hingga pa-
da suatu kesempatan, sebuah pukulan 'Kumbang Me-
nyengat' mendarat telak di dada Ki Yaksa Asti
Degk! "Hugkh...!"
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Yaksa Asti terhuyung dengan mata melotot.
Mulutnya kembali mengeluarkan darah.
Sementara itu, murid-murid Perguruan Cakar
Sewu yang sejak tadi hanya menyaksikan, segera me-
mekik bergemuruh. Mereka segera menyerang dua ta-
mu tak diundang itu setelah melihat gurunya terluka
dalam. "Seraaang...!"
"Jangan...!" tahan Ki Yaksa Asti, khawatir akan jatuh korban lebih banyak. Tapi
murid-muridnya telah telanjur menyerang.
Pertarungan kembali berkobar. Meskipun den-
gan jumlah banyak, tapi ilmu mereka belum seberapa
dibandingkan dengan ilmu kedua penyerangnya. Da-
lam waktu singkat, korban semakin banyak berjatu-
han. Sampai akhirnya, mereka tertumpas semua. Ter-
masuk Ki Yaksa Asti yang sejak tadi telah menghem-
buskan napas terakhir.
"Bakar, Kumbang Hitam...!" perintah Dewi
Bunga Iblis. Kumbang Hitam dari Neraka segera membakar
Perguruan Cakar Sewu, yang penghuninya telah berge-
letakan. Nampaknya tak seorang pun yang tersisa. La-
lu dengan gelak tawa, guru dan murid itu melesat me-
ninggalkan tempat itu.
7 Kehadiran Kumbang Hitam dari Neraka dan gu-
runya yang telah membantai Ki Yaksa Asti beserta se-
luruh muridnya, seketika menjadi pembicaraan dari
mulut ke mulut. Dengan cepat sepak terjang Kumbang
Hitam dari Neraka dan gurunya tidak lagi menjadi ra-
hasia, melainkan telah menjadi pokok pembicaraan se-
tiap orang. Baik itu dari dunia persilatan, maupun dari orang-orang kebanyakan
yang tahu tentang ilmu silat
Kebanyakan dari orang-orang awam, sangat
tercekam sekaligus mengutuk perbuatan biadab Kum-
bang Hitam dari Neraka dan gurunya tersebut. Karena
mereka tahu pasti, kalau Ki Yaksa Asti orang baik, pe-negak kebenaran dan
keadilan. Siang itu di sebuah kedai, tampak beberapa
orang tengah berbincang-bincang membicarakan pe-
rihal kematian Ki Yaksa Asti dan hancurnya Perguruan Cakar Sewu.
Seorang pemuda tampan berpakaian rompi ku-
lit ular masuk. Kepalanya digaruk-garuk, ketika men-
dengar pembicaraan pengunjung kedai. Keningnya
berkerut, lalu bibirnya nyengir kuda.
Pemuda tampan berambut gondrong itu me-
langkah santai, lalu duduk di dekat orang yang tengah bercakap-cakap.
"Kau tahu apa yang semalam terjadi?" tanya orang pertama berpakaian longgar
warna biru tua dengan ikat kepala batik. Dilihat dari pakaian yang dikenakannya,
orang itu bukan orang rimba persilatan.
"Ada apa semalam?" tanya temannya, seorang lelaki berbadan tegap dengan kumis
tebal. Namun dilihat dari pakaiannya, dia pun bukan orang persilatan.
"Semalam terjadi bencana di Perguruan Cakar
Sewu. Ki Yaksa Asti dan seluruh muridnya terbantai
menyedihkan. Dada mereka gosong dengan gambar te-
lapak tangan hitam."
"Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?"
tanya temannya ingin tahu.
"Kabarnya dua orang. Yang satu seluruh tu-
buhnya tertutup kain hitam dari ujung rambut hingga
ujung kaki. Dia menyebut dirinya Kumbang Hitam.
Sedangkan satunya lagi, seorang wanita tua renta dengan tubuh agak bungkuk.
Katanya bernama Dewi
Bunga Iblis...," tutur orang yang pertama kali bercerita.
Pendekar Gila mengerutkan kening mendengar
penuturan lelaki itu Kumbang Hitam" Dewi Bunga Ib-
lis" Heh, siapa mereka" Dan mengapa mereka menye-
rang Ki Yaksa Asti" Tanya Sena dalam hati sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sena me-
mang tercenung, biarpun wajahnya tetap meringis.
Dicobanya untuk mengingat-ingat siapa Ki Yak-
sa Asti. Tiba-tiba dari mulutnya keluar desisan keras,
"Ah, aku tahu! Bukankah Ki Yaksa Asti orang
tua yang berlengan satu!" Sena tertawa cekikikan dan kembali berkata. "Eh!
Apakah aku tidak salah dengar?"
Kedua orang yang tengah berbincang-bincang
seketika mengalihkan pandangannya pada pemuda
tampan berpakaian rompi kulit ular itu. Keduanya
mengerutkan kening, terlongong heran melihat tingkah laku pemuda itu.
"Kasihan sekali, pemuda se tampan dia harus
gila," bisik salah lelaki berpakaian longgar.
"Hush! Jangan sembarangan ngomong! Nam-
paknya dia bukan orang sembarangan. Lihat pakaian
dan tubuhnya yang berotot," lelaki bertubuh tegap dan berkumis tebal
memperingatkan.
"Maksudmu, dia orang rimba persilatan?"
"Ya! Atau jangan-jangan dia yang disebut orang
Pendekar Gila?" gumam lelaki bertubuh tegap mencoba menebak
Sena yang tengah dibicarakan tampak tak
menggubris pembicaraan kedua orang itu. Dia masih
asyik menggaruk-garuk kepala dengan bibir cengar-
cengir. "Wah, bodohnya aku ini.... Kenapa aku tak bertanya?" tanyanya kepada
diri sendiri. Sena lalu melangkah untuk mendekati kedua
orang yang tengah berbincang-bincang itu. Dia masih
menggaruk-garuk kepala dengan wajah cengar-cengir
seperti orang tolol.
"Kisanak kalau boleh ku tahu, apakah yang ta-
di kalian bicarakan?" tanyanya setelah menjura hormat
Kedua orang yang di tanya kembali menge-
rutkan kening. Keduanya memandang lekat-lekat pe-
muda di depannya. Mereka merasa heran melihat ting-
kah pemuda tampan itu. Lagaknya seperti orang gila,
namun tampaknya mengerti tata krama. Tidak seperti
orang gila yang sering mereka lihat
Sena yang dipandangi begitu rupa, kembali
nyengir kuda. Tangannya kembali menggaruk-garuk
kepala. "Kisanak, benarkah Ki Yaksa Asti yang Kisanak maksud bertangan buntung?"
tanya Sena lagi, setelah melihat kedua lelaki itu hanya menatapnya.
Semakin tercengang kedua orang itu menden-
gar pertanyaan yang dilontarkan pemuda bertampang
gila di depannya. Dengan masih terheran-heran, salah seorang dari mereka
menjawab. "Benar. Kenapa?"
"Apakah yang tadi kudengar itu benar" Pergu-
ruan Cakar Sewu diobrak-abrik oleh orang?" tanya Se-na tanpa menjawab pertanyaan
kedua lelaki itu.
"Benar. Siapakah Kisanak" Ada hubungan apa
Kisanak dengan Ki Yaksa Asti dan Perguruan Cakar
Sewu?" tanya lelaki berpakaian longgar warna biru penuh selidik. Keningnya masih
berkerut, menandakan
keheranannya. "Ah, aku hanya temannya. Kalau memang be-
nar Ki Yaksa Asti mati, siapakah yang membunuh-
nya?" kembali Sena meminta ketegasan.
"Kami tak tahu pasti, sebab kami bukan orang
persilatan. Namun kami mendengar kalau pelakunya
dua orang, guru dan murid. Seorang nenek-nenek dan
seorang lagi terbungkus kain hitam dari ujung rambut hingga ujung kaki," jelas
lelaki berpakaian longgar warna biru.
Alis Sena terpaut. Hatinya bertanya-tanya. Sia-
pa mereka" Dari aliran apa mereka" Setelah mengga-
ruk kepala karena merasa tak mampu menjawab per-
tanyaan hatinya, Sena kembali bertanya,
"Maaf, Kisanak. Siapa nama mereka?"
"Si nenek bernama Dewi Bunga Iblis. Sedang-
kan yang lelaki terbungkus kain serba hitam menama-
kan dirinya Kumbang Hitam. Keduanya dari Jurang
Neraka," urai orang itu lagi, membuat Sena nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Terima kasih atas pemberitahuan mu. Permi-
si...!" ujar Sena sambil menjura hormat
Kemudian, pemuda itu berkelebat cepat me-
ninggalkan kedai. Gerakannya sangat luar biasa, hing-ga kedua orang itu bengong
dengan mata melotot
"Gila! Ilmu apakah yang digunakannya"!"
"Mungkinkah pemuda itu Pendekar Gila dari
Gua Setan?"
"Ya! Ilmunya sungguh hebat! Dalam sekejap dia
telah menghilang," sambung lelaki bertubuh kekar dan berkumis lebat
Kedua orang itu masih terkesima. Bahkan
orang-orang di dalam kedai pun turut terpaku me-
nyaksikan kecepatan gerak pemuda tadi. Kedai yang
semula tenang, kini riuh oleh pembicaraan tentang
pemuda bertampang gila itu.
"Siapakah pemuda gila tadi" Ilmunya sangat
tinggi," tanya pemilik kedai.
"Ya, ilmunya sangat tinggi! Hingga dalam seke-
jap dia telah menghilang," sambung orang yang duduk di sudut kedai.
"Mungkinkah dia yang disebut Pendekar Gila
dari Gua Setan," lelaki berbaju merah menyahuti.
"Pendekar Gila dari Gua Setan"!" pekik yang lain dengan mata membelalak kaget
mendengar julukan pemuda aneh itu.
"Mungkin! Bukankah tingkahnya memang se-
perti orang gila?" timpal yang lain.
"Syukurlah kalau pendekar itu masih ada. Se-
moga sepak terjang Kumbang Hitam dan Dewi Bunga
Iblis dapat dihentikan," harap orang-orang di kedai yang pada umumnya tidak
menyukai kejahatan.
*** Orang yang menjadi pembicaraan di kedai, seat
itu telah sampai di tempat yang dituju. Sena mema-
tung di dekat puing-puing bangunan Perguruan Cakar
Sewu. Hanya papan namanya saja yang tampak masih
utuh. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan
kening berkerut. Tatapan matanya kosong. Beberapa
kali pemuda itu menghela napas panjang. Lalu dari
mulutnya terdengar gumaman lirih.
"Ah, mengapa kejahatan seperti susul-
menyusul" Belum usai yang satu, datang yang lain.
Hyang Jagat Dewa Batara, sesungguhnya apa yang te-
lah terjadi?" keluhnya lirih. Kemudian, perlahan kakinya melangkah memasuki
pintu gerbang Perguruan
Cakar Sewu yang telah hancur.
Pendekar Gila mematung di dekat puing-puing
bangunan Perguruan Cakar Sewu.
Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan
kening berkerut. Tatapan matanya kosong.
"Ah, mengapa kejahatan seperti susul-
menyusul" Hyang Jagat Dewa Batara, sesungguhnya
apa yang telah terjadi?" keluhnya lirih.
Angin siang berhembus semilir, menerbangkan
debu-debu dan mengusik rumput kering. Pemuda itu
terus melangkah masuk. Dia tertegun dengan mata
memandang ke satu tumpukan puing bangunan per-
guruan. Saat Sena merenungkan nasib Ki Yaksa Asti,
tiba-tiba telinganya menangkap desiran angin dari belakang. Cepat-cepat tubuhnya
dibalikkan ke belakang.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat sebilah belati melesat cepat ke arahnya.
Swing! "Heaaa...!"
Sena melempar tubuh ke samping, mengelak-
kan serangan gelap itu. Dia berhasil. Pisau itu terus meluncur dan akhirnya
menancap di sebatang pohon.
Jlep! Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut
nyengir. Keningnya berkerut ketika melihat di gagang pisau itu terdapat selembar
daun lontar. Sepertinya
sebuah surat "Licik!" maki Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Pandangannya diedarkan ke
segenap penjuru.
Namun, dia tidak melihat seorang pun. "Hm, rupanya orang itu berilmu tinggi.
Tentunya ada maksud terten-tu pada diriku."
Setelah yakin kalau di sekitarnya sudah tidak
ada orang lain, Sena kemudian menghampiri pohon
yang tertancap pisau bersurat itu. Diamatinya pisau
itu dengan seksama. Bibir pemuda itu nyengir, se-
dangkan tangannya menepuk kening.
"Ah, hanya sebilah pisau biasa," gumamnya.
Lalu dicabutnya pisau itu dari pohon. Kembali
diamatinya benda itu. Sebilah pisau kecil yang sangat tajam. Dan ketika
tangannya memegang mata pisau,
tiba-tiba benda itu mengeluarkan asap berwarna ungu
kemerahan. "Racun...," bisik Sena masih tersenyum-
senyum. Pendekar Gila memang tidak takut terhadap ra-
cun. Karena tubuh telah kebal terhadap segala macam
racun, akibat Racun Kabut Ungu yang dihisapnya di
Gua Setan. Tanpa sepengetahuannya, orang yang bersem-
bunyi di balik bukit cadas terbelalak menyaksikan apa yang terjadi. Pemuda yang
bertingkah seperti orang gi-la itu ternyata tak apa-apa. Padahal racun yang di-
oleskan pada mata pisau bukan racun sembarangan.
Bahkan lebih ganas dari bisa ular laut sekalipun!
"Hah..."! Tidak salahkah penglihatanku"!"
Tanpa sadar mulut orang itu memekik hingga
membuat Pendekar Gila yang semula menyangka tak
ada orang, kini terkejut. Tubuhnya langsung berbalik, untuk menemukan asal suara
tadi. "Licik! Keluarlah kau dari persembunyianmu!"
seru Pendekar Gila setengah membentak. Kemudian
tangannya bergerak memutar. Dan dengan mengerah-
kan tenaga dalam, telapak tangannya diarahkan ke
bukit cadas, tempat asal suara itu
Selarik pukulan menderu keluar dari telapak
tangannya. Itulah pukulan 'Si Gila Melebur Gunung
Karang'. Orang yang bersembunyi di balik batu cadas
terkesiap. Dia hendak lari, namun pukulan jarak jauh yang dilancarkan pemuda
bertampang gila itu lebih
cepat menghantam bukit cadas tempatnya bersem-
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunyi Glarrr! "Aaa...!" pekik orang itu. Tubuhnya terlontar ke
atas, lalu jatuh dengan suara berdebum disertai erangan. Pendekar Gila segera
memburu ke arah orang
yang kini menggeliat-geliat kesakitan. Tangannya me-
megangi pinggang yang terasa patah. Pendekar Gila
tergelak-gelak, menggaruk-garuk kepala, serta menggeleng-gelengkannya.
"Ha ha ha...! Mengapa kau main lompat-
lompatan! Bukankah jatuhnya sakit?" ledeknya sambil terus terbahak-bahak.
Tingkah gila pendekar muda itu kumat lagi. Sementara tangan kanannya menggaruk-
garuk kepala, tangan kirinya menepuk-nepuk pantat.
Tubuhnya berjingkrak-jingkrak bagai seekor kera kegi-rangan. Lelaki bercelana
hitam sebatas lutut dan berte-lanjang dada itu masih mengerang-erang kesakitan.
Bibirnya meringis, sekan-akan hendak menangis.
Pendekar Gila makin tergelak-gelak. Tingkah gi-
lanya pun makin menjadi-jadi.
"He he he...! Lucu sekali kau, Sobat. Tadi kau
main sembunyi-sembunyian denganku. Tapi, mengapa
sekarang malah bermain lompat-lompatan?" celoteh Sena seenaknya, membuat orang
bertampang galak itu
mendelikkan mata.
Melihat orang itu melotot ke arahnya, timbul
niat iseng Sena untuk mempermainkan orang itu. Lalu
dengan menggoda kembali dia berkata,
"Sobat, rupanya kau belum puas melompat.
Baiklah, aku akan membantumu main lompat-
lompatan."
Usai berkata begitu, Pendekar Gila menghen-
takkan kakinya dengan tenaga dalam ke tanah di de-
kat tubuh lelaki itu. Tubuh orang itu seketika mencelat tinggi, disertai jeritan
ketakutan. "Tolong...! Ampun! Jangan...," ratapnya memo-hon, ketika tubuhnya menukik ke
bawah. Sementara
Pendekar Gila masih tertawa riuh rendah dengan tan-
gan menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Lucu-lucu sekali kau, Sobat!" seru Sena "Eh, eh.... Aduh!
Tolonglah aku...," ratap orang itu ketakutan ketika tubuhnya semakin dekat ke
tanah. Sudah terbayang di benaknya, bagaimana tubuh-
nya akan remuk jika membentur batu-batu cadas.
"Ha ha ha...! Kau semakin menyenangkan, So-
bat! Baiklah, aku akan membantumu."
Pendekar Gila lalu menggerakkan tangan ki-
rinya sedemikian rupa. Dan dari telapak tangan itu,
berhembus serangkum angin yang menahan tubuh
orang itu. Perlahan-lahan tubuh orang itu diturunkan, namun tak urung
menimbulkan, suara berdebum disertai erangan kesakitan.
"Aduh.... Pinggangku patah," ratap lelaki berwajah seram yang kini pucat pasi.
Tubuhnya meliuk-liuk menahan sakit
"Sobat, apa maksudmu menyerangku dari bela-
kang?" tanya Sena, setelah puas tertawa.
"Ti..., tidak. Aku tidak bermaksud menyerang-
mu. Sungguh!"
"Lalu, apa maumu?" tanya Sena.
"Aku..., aku hanya diperintah mengirim surat
padamu oleh seseorang," jawab lelaki itu ketakutan, menyaksikan mata Pendekar
Gila yang membesar seperti orang gila yang sedang marah.
"Siapa yang menyuruhmu?" bentak Sena.
"Di..., dia tak mengatakan namanya padaku"
"Bohong! Katakan, atau kau akan main lompat-
lompatan lagi!" ancam Pendekar Gila. Matanya sema-
kin melotot, bagikan hendak mencelat keluar. Wajah-
nya yang tampan, kini terlihat bengis.
"Ampun..., jangan...," ratap lelaki itu.
"Kalau begitu, katakanlah!"
"Dia berpakaian serba hitam. Bahkan seluruh
tubuhnya terbalut kain hi..."
Belum juga selesai orang itu berkata, tiba-tiba
beberapa pisau melesat ke arah mereka. Pendekar Gila terkejut dan dengan cepat
melompat mengelakkan serangan gelap itu.
"Licik! Heaaa...!"
Dengan menggunakan pukulan 'Inti Bayu', pi-
sau-pisau terbang itu dikembalikan ke penyerangnya
yang bersembunyi di semak-semak. Maka terdengar je-
rit kesakitan yang menyayat susul-menyusul. Sedang-
kan salah satu pisau luput dan menghunjam lelaki
yang di tanyai Pendekar Gila. Lelaki itu menjerit, meregang sesaat kemudian diam
tak bernyawa lagi.
Pendekar Gila tersentak. Matanya memandang
tubuh lelaki di dekatnya yang seketika membiru. Ter-
nyata pisau yang digunakan untuk menyerang telah
diolesi racun. "Benar-benar licik! Huh...!" dengus Sena.
Kemudian dengan cepat tubuh Pendekar gila
berkelebat cepat ke semak-semak tempat asal pisau-
pisau beracun tadi. Dia berusaha mencari seorang
yang masih hidup. Ternyata semuanya telah mati den-
gan tubuh membiru.
Pemuda tampan itu menggaruk-garuk kepala.
Matanya menyapu ke sekeliling untuk memastikan tak
ada lagi penyerang gelap. Setelah yakin tak ada, pe-
muda itu menghela napas. Ditinggalkannya tempat itu, kembali ke puing-puing
Perguruan Cakar Sewu.
Pendekar gila kembali menatap puing-puing re-
runtuhan bangunan. Setelah menghela napas dalam-
dalam, dia duduk di atas batu prasasti di bekas halaman Perguruan Cakar Sewu.
Dibukanya lipatan daun
lontar yang ada di gagang pisau, kemudian dibacanya.
Satu orang temanmu telah ku binasakan! Satu
persatu mereka akan menerima bagian! Dan kau yang terakhir! Setelah itu, aku
akan menjadi penguasa rimba persilatan!
Kumbang Hitam dari Neraka.
Pendekar Gila mengerutkan kening. Dicobanya
untuk menerka, siapa sesungguhnya Kumbang Hitam
dari Neraka itu. Dan mengapa dia membunuh tokoh-
tokoh tingkat atas aliran lurus" Dan siapa pula yang dimaksudkan dengan temanku"
Tanya Pendekar Gila
dalam hati. Tiba-tiba sepasang alisnya bertemu, seolah-olah
teringat sesuatu.
"Celaka! Mungkin Kumbang Hitam dari Neraka
adalah pemuda berwajah pucat yang tempo hari jatuh
ke dalam Jurang Neraka. Ah, tidak salah lagi.... Na-
manya mengingatkan aku pada jurang itu!"
Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Gila
melesat cepat meninggalkan tempat itu. Dia harus se-
gera menghubungi ketiga tokoh tua yang masih hidup!
8 Ki Panca Loreng, Ketua Perguruan Macan Lo-
reng malam itu nampak gelisah. Matanya sulit dipe-
jamkan. Pikirannya terus terusik berita kematian salah
seorang rekannya dari Perguruan Cakar Sewu. Hatinya
bertanya-tanya, siapakah sebenarnya pelaku pembu-
nuhan itu" Siapa orang yang menamakan dirinya
Kumbang Hitam yang tubuhnya dibalut oleh kain hi-
tam" "Kumbang Hitam.... Hm, siapa dia" Rasanya seumur hidup, baru kali ini aku
mendengar nama itu
di rimba persilatan. Menurut kabar, Kumbang Hitam
adalah murid Dewi Bunga Iblis. Tapi, bukankah Dewi
Bunga Iblis selama hidupnya tidak memiliki murid"
Kenapa pula wanita jahat yang telah menghilang pulu-
han tahun itu tiba-tiba muncul kembali?" gumam Ki Panca Loreng seakan bertanya
pada diri sendiri.
Lelaki tua itu tak habis pikir tentang Dewi Bun-
ga Iblis. Dia pernah dengar kalau wanita jahat yang berilmu tinggi itu pernah
malang-melintang di rimba persilatan. Tak ada yang dapat mengalahkannya, sampai
Pendekar Gila dari Gua Setan muncul, dan mampu
menundukkannya.
Sejak saat itu, nama Dewi Bunga Iblis bagai
menghilang dari dunia persilatan, terkubur bersama
kekalahannya atas Pendekar Gila dari Gua Setan. Ka-
lau sekarang dia muncul kembali, tidak dapat di-
bayangkan bagaimana tinggi ilmunya.
Ki Panca Loreng memegang dagunya seraya
menggelengkan kepala berulang kali. Kemudian dita-
riknya napas dalam-dalam.
"Ada apa, Kang Mas" Sudah malam begini kau
belum juga tidur?" tanya istrinya, cemas melihat suaminya belum juga tidur.
Ki Panca Loreng kembali menghela napas pan-
jang. Tubuhnya berbalik untuk memandang sang Istri
yang kini duduk sambil memandang suaminya. Di-
hampirinya sang Istri, kemudian dia duduk di sam-
pingnya. Wajahnya masih menggambarkan kecema-
san, membuat istrinya semakin tak mengerti.
"Kang Mas, apa ada masalah dalam pergu-
ruan?" "Tidak"
"Lalu, apa yang membuat Kakang begitu ce-
mas?" desak istrinya ingin tahu.
Ki Panca Loreng tak langsung menjawab. Kem-
bali dia menghela napas dalam-dalam, seolah dengan
berbuat seperti itu, segala ganjalan di hatinya dapat dienyahkan.
"Aku tak habis pikir, Diajeng. Bagaimana
mungkin Dewi Bunga Iblis yang telah menghilang pu-
luhan tahun silam, tiba-tiba muncul kembali" Bahkan
dengan muridnya yang berjuluk Kumbang Hitam dari
Neraka...."
Istrinya tersentak mendengar penuturan Ki
Panca Loreng. Matanya sedikit membelalak lalu mena-
tap suaminya lekat-lekat. Wanita itu seakan tak per-
caya pada ucapan suaminya tadi.
"Dewi Bunga Iblis"!" tanya wanita itu setengah mendesis ngeri mendengar nama
tokoh sesat itu di-ucapkan suaminya. Bahkan suaminya mengatakan ka-
lau tokoh sesat itu muncul kembali di rimba persila-
tan. "Ya," jawab Ki Panca Loreng singkat
"Apakah telah kau persiapkan murid-murid pi-
lihan untuk menghadapinya?"
Ki Panca Loreng menggelengkan kepala.
"Kenapa" Bukankah wanita itu adalah tokoh
sesat berilmu tinggi?"
"Tak perlu, Diajeng. Sebagai seorang ksatria,
seharusnya kita menghadapinya sendiri, tanpa harus
mengorbankan orang lain. Makanya, untuk sementara
semua murid-murid perguruan ini kuperintahkan un-
tuk pulang ke tempat masing-masing."
Baru saja ucapan Ki Panca Loreng selesai, dari
luar tiba-tiba terdengar seseorang berseru disertai tenaga dalam penuh.
"Bagus! Rupanya kau pun telah memper-
siapkan kematianmu, Panca Loreng...!"
Ki Panca Loreng dan istrinya tersentak men-
dengar seruan yang menggelegar laksana halilintar,
memecah kesunyian malam.
"Mereka telah datang," desis Ki Panca Loreng.
Lalu, orang tua berpakaian rompi kulit macam itu berkelebat keluar, diikuti
istrinya yang juga seorang pendekar. Di halaman yang biasanya dipakai murid-
murid Perguruan Macan Loreng berlatih, berdiri dua sosok
manusia berpakaian serba hitam. Seorang nenek
bungkuk, didampingi lelaki yang sekujur tubuhnya
terbungkus kain hitam. Hanya matanya yang nampak
menyorot tajam. Keduanya tergelak-gelak melihat
orang yang diincar telah keluar bersama istrinya.
Ki Panca Loreng menatap tajam pada dua orang
tamu tak diundang itu, berusaha mengenali mereka.
Yang seorang memang jelas terlihat wajahnya. Ten-
tunya nenek itu yang berjuluk Dewi Bunga Iblis. Se-
dangkan yang lelaki tentunya yang menamakan di-
rinya Kumbang Hitam. Tapi, bagaimana mungkin Ki
Panca Loreng dapat mengenali lelaki itu, kalau wajahnya saja tertutup rapat"
"Kisanak dan Nisanak, ada maksud apa kalian
datang ke Perguruan Macan Loreng" Aku rasa, antara
kita tak ada silang sengketa," sambut Ki Panca Loreng, berusaha tenang sambil
menatap kedua tamunya
Kedua orang berpakaian hitam itu tertawa ter-
bahak-bahak mendengar pertanyaan yang dilontarkan
Ki Panca Loreng. Malah lelaki yang terbalut kain hitam dengan sinis dan sombong
berkata, "Panca Loreng, kami datang untuk mencabut
nyawamu seperti si Cakar Seribu! Bersiaplah untuk
mati...!" Usai berkata begitu, lelaki yang menamakan dirinya Kumbang Hitam dari
Neraka menggebrak dengan
satu serangan ke arah Ki Panca Loreng. Sedangkan
Dewi Bunga Iblis berkelebat untuk menyerang istri Ketua Perguruan Macan Loreng
"Heaaat..!"
Melihat lawan telah merangsek dengan ganas,
Ki Panca Loreng segera membuka jurusnya untuk
mengimbangi. Dari mulutnya keluar auman keras.
Tangannya membentuk cakar. Sedangkan matanya
merah, penuh amarah.
"Arrrgh...!"
Tangan Ki Panca Loreng yang membentuk ca-
kar macan, bergerak membeset ke depan. Sedangkan
kakinya menendang dengan cepat. Cakaran-cakaran
tangan orang tua itu susul-menyusul, seakan tiada
henti. Pertama ke wajah, kemudian ke dada, lalu ka-
kinya menendang ke arah selangkangan lawan.
Serangan Ki Panca Loreng yang mematikan itu
tidak membuat gentar Kumbang Hitam. Lelaki terbalut
kain hitam itu dengan cepat berkelit. Kedua kakinya
ditarik ke samping agak melebar, kemudian ditekuk
merendah. Tangannya terbuka, laksana kepakan
elang. Hal itu menjadikan Ki Panca Loreng tersentak.
Dia mengenali jurus yang dibuka lawan.
"Kau..."!"
"Ya, aku! Rupanya aku masih diberi umur pan-
jang untuk membuat perhitungan denganmu, sekali-
gus mencabut nyawa tuamu! Heaaat..!"
Kumbang Hitam meneruskan serangannya.
Tangannya yang mengepak, kini bergerak susul-
menyusul secara bertubi-tubi. Kalau tangan kanan
memukul, tangan kiri membuat perisai. Begitu juga
sebaliknya. Sedangkan kakinya menyapu ke arah kaki
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan. Itu-lah jurus 'Gagak Hitam Menyambar Bang-
kai'. "Iblis durjana! Rupanya kau belum mampus!
Kali ini kau harus benar-benar mampus! Yeaaat..!"
Ki Panca Loreng yang sangat terkejut menyak-
sikan jurus pembuka lawan, dengan penuh amarah
kembali menyerang. Dikeluarkannya jurus 'Macan Lo-
reng Mengintai Menerkam Mangsa'. Kakinya melang-
kah beraturan dengan menjejak satu persatu. Sedang-
kan sepasang tangannya berganti melakukan seran-
gan. Tangan kiri maju menyerang muka. Disusul tan-
gan kanan menyodok perut lawan.
"Heaaa...!"
"Yiaaa...!"
Dengan jurus-jurus andalan, keduanya terus
berkelebat bertukar serangan untuk dapat menjatuh-
kan satu sama lain. Namun dilihat dari keadaannya, Ki Panca Loreng berada dalam
kesulitan. Dia kini terdesak hebat. Bahkan serangan-serangan yang dilancar-
kan kelihatan mentah, selalu dapat dipatahkan lawan.
"Terimalah kematianmu sekarang, Panca Lo-
reng! Hiaaat...!"
Dengan menggunakan jurus 'Kumbang Hitam
Menyengat', lelaki terbalut kain hitam itu kembali menyerang. Tangan dan kakinya
kelihatan mengejang,
menandakan betapa besar tenaganya.
Ki Panca Loreng yang tidak mau mati sia-sia,
dengan nekat memapaki serangan lawan. Tangannya
yang membentuk cakar macan dialiri tenaga dalam se-
penuhnya. Kemudian disertai pekikan keras, orang tua itu berkelebat untuk
memapaki serangan lawan.
"Heaaa...!"
Tanpa dapat dihindari, dua lelaki yang telah
melesat ke udara itu harus mengadu kekuatan tenaga
dalam masing-masing. Tangan dan kaki keduanya ber-
gerak cepat. Memukul dan menendang. Kemudian ter-
dengar ledakan keras, manakala kedua tangan mereka
saling beradu. Blarrr! "Ugkh...!"
Ki Panca Loreng mengeluh tertahan. Tubuhnya
terlontar ke belakang tiga tombak dan jatuh berlutut.
Dari mulutnya keluar darah segar.
Mata Ki Panca Loreng membeliak, sebelum tu-
buhnya terkulai.
Sementara, Kumbang Hitam mampu menjejak-
kan kakinya di atas tanah. Sesaat tubuhnya terhuyung ke belakang, dengan darah
meleleh di sela bibirnya.
Hingga merembes ke kain hitam penutup wajah.
Sesaat Kumbang Hitam menatap lawannya
yang tak bernyawa. Kemudian kakinya melangkah ter-
tatih mendekati Dewi Bunga iblis yang tengah berta-
rung dengan istri Ki Panca Loreng. Pendekar wanita
yang usianya sudah tidak muda lagi itu tampaknya tak kenal menyerah. Bahkan
serangan-serangannya cukup
merepotkan Dewi Bunga Iblis.
"Guru, cepat selesaikan! Tak ada waktu untuk
kita berlama-lama di sini!" sera Kumbang Hitam.
Mendengar seruan muridnya, Dewi Bunga Iblis
segera mempercepat serangan. Kini nampaklah kesak-
tian yang sesungguhnya. Belum lagi istri Ki Panca Loreng sempat bernapas lega
didera serangan beruntun
itu, tiba-tiba tangan Dewi Bunga Iblis bergerak cepat, menaburkan beberapa
tangkai bunga ke arah lawan
yang terkejut "Celaka!" pekik istri Ki Panca Loreng kaget melihat bunga berwarna hitam melesat
cepat ke arahnya.
"Bunga Racun Iblis...!"
"Hik hik hik...! Mampuslah kau...!"
Saat istri Ki Panca Loreng kerepotan mengelak-
kan senjata rahasia itu, dengan licik Dewi Bunga Iblis menghantamkan pukulan
saktinya. Hingga tak pelak
lagi, pukulan dahsyat itu pun mendarat telak di tu-
buhnya. Degk! "Aaa...!"
Tubuh wanita istri Ketua Perguruan Macan Lo-
reng itu terhuyung-huyung dengan darah tersembur
dari mulutnya. Matanya mendelik, memandang penuh
kebengisan. "Kau..!"
Hanya itu yang keluar dari mulutnya, sebelum
tubuhnya ambruk mencium tanah.
Murid dan guru dari Jurang Neraka itu tertawa
terbahak-bahak menyaksikan kematian suami istri da-
ri Perguruan Macan Loreng. Lalu dengan masih terta-
wa, keduanya berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu. *** Selang beberapa waktu, nampak seorang pe-
muda tampan berambut gondrong dengan pakaian
rompi kulit ular berkelebat ke arah tempat itu. Pemuda yang tidak lain Pendekar
Gila, seketika tertegun menyaksikan dua tubuh tergeletak di halaman pergu-
ruan. Seorang lelaki berpakaian rompi harimau. Se-
dangkan yang satunya seorang wanita berkebaya den-
gan kain di atas lutut mengenakan celana kulit macan pula. "Terlambat! Aku
terlambat..!" keluh Sena Manggala sambil menggaruk-garuk kepala. Dia memang ter-
lambat datang, hingga tidak dapat membantu Ki Panca
Loreng. "Rupanya Kumbang Hitam sungguh-sungguh
dengan ancamannya."
Pemuda bertingkah laku dan bertampang se-
perti orang gila itu mendekati tubuh Ki Panca Loreng.
Dirabanya tubuh lelaki tua itu. Masih hangat. Berarti belum mati. Kemudian Sena
menekan denyut nadinya,
untuk memastikan dugaannya itu.
"Ah, memang masih hidup!" serunya.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sesaat
Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, dis-
alurkannya hawa murni ke tubuh Ketua Perguruan
Macan Loreng itu.
"Uuuh...!"
Terdengar keluhan lirih dari mulut Ki Panca Lo-
reng, setelah beberapa saat Sena menyalurkan hawa
murni. Sena menghentikan penyaluran hawa mur-
ninya. Dibalikkannya tubuh Ki Panca Loreng. Nampak
bekas pukulan menghitam di dada lelaki tua itu.
"Ki, apa yang telah terjadi...?" tanya Sena.
"Kaukah...?" lemah suara Ki Panca Loreng bertanya. Matanya perlahan-lahan
membuka. Kemudian
dari mulutnya keluar muntahan darah menghitam.
"Hoeeek...!"
"Benar. Aku, Ki... Aku Pendekar Gila," sahut Sena sambil membantu meringankan
rasa sakit yang
diderita Ki Panca Loreng dengan menotok dan mengu-
rut beberapa jalan darah di tubuh Ketua Perguruan
Macan Loreng itu.
"Dia..., dia telah datang. Dia..., pemuda..., berwajah pucat itu telah kembali
dengan guru..., nya...."
"Jadi, Kumbang Hitam adalah pemuda berwa-
jah pucat itu, Ki?" tanya Pendekar Gila berusaha memastikan. Wajahnya nampak
tegang. Sedangkan ma-
tanya menatap penuh harap agar orang tua itu dapat
menceritakan semuanya. "Katakanlah, Ki. Siapakah gurunya itu?"
"Dewi..., Dewi Bunga Iblis.... Seorang tokoh wanita sesat yang pernah malang-
melintang di dunia persilatan. Akh... Aku..., aku tak kuat. Selamatkan..., se-
lamatkan kedua sahabatku.... Tentunya mereka ke sa-
na.... Ohhh...!"
Kepala Ki Panca Loreng terkulai. Ketua Pergu-
ruan Macan Loreng akhirnya mati setelah mencerita-
kan siapa sesungguhnya Kumbang Hitam dan gu-
runya. Sena sesaat tercenung. Namun tangannya tak
henti-hentinya menggaruk kepala. Setelah lama mena-
tap mayat Ki Panca Loreng, pemuda itu menghela na-
pasnya. "Ke mana dulu aku harus pergi?" tanyanya kebingungan sambil menggaruk-
garuk kepala. Lalu tiba-
tiba tangannya menepuk kening seraya bergumam,
"Ah, kenapa aku bodoh"! Kalau benar Kumbang Hitam itu pemuda berwajah pucat,
tentunya dia kini ke Padepokan Cakra Geni. Celaka! Aku harus ke sana!"
Setelah kembali memandang mayat Ki Panca
Loreng dan istrinya, dengan cepat Sena berkelebat meninggalkan tempat itu. Namun
sebelum pergi, dia sem-
pat bergumam lirih yang ditujukan pada mayat kedua
orang Perguruan Macan Loreng.
"Semoga kalian tenang di alam sana! Maaf, aku
tak dapat menolong kalian...."
*** Apa yang diduga Pendekar Gila ternyata benar.
Setelah melakukan penyerangan di Perguruan Macan
Loreng, guru dan murid dari Jurang Neraka itu kini
melakukan penyerbuan ke Padepokan Cakra Geni.
Saat itu, di Padepokan Cakra Geni tengah ber-
langsung pertarungan yang sengit Murid-murid Pade-
pokan Cakra Geni yang telah dipersiapkan Ki Wirapati untuk menghadapi segala
kemungkinan yang terjadi,
dengan gigih dan gagah berani berusaha menghalau
kedua penyerang.
Namun rupanya, guru dan murid dari Jurang
Neraka itu bukanlah tandingan mereka. Terbukti mu-
rid-murid dari Padepokan Cakra Geni telah banyak
yang menjadi korban amukan kedua orang itu.
"Serang terus...!" seru Ki Wirapati yang terus menyerang Dewi Bunga Iblis.
Suciati tidak terlihat di sana. Mungkin gadis itu sengaja disembunyikan Ki
Wirapati. Ki Wirapati yang telah maklum siapa lawannya,
kini tidak mau tanggung-tanggung menyerang. Seperti
halnya Ki Panca Loreng yang kini telah tewas, Ki Wirapati cukup tahu banyak
tentang Dewi Bunga Iblis. Itu sebabnya, dia sangat hati-hati dalam melakukan
serangan. Pertama, mengingat lawan yang tengah diha-
dapinya tokoh sakti yang berilmu beberapa tingkat di atasnya. Dan kedua, dia
menyadari kalau wanita itu
lebih berpengalaman di rimba persilatan.
Ki Wirapati tak mau mati konyol begitu saja ka-
rena ragu pada kemampuannya menghadapi Dewi
Bunga Iblis. Dia pun meneguhkan hati untuk terus be-
rusaha melancarkan serangan.
"Hiaaa...!"
Ki Wirapati melancarkan tendangan pancingan
ke dada lawan yang membungkuk. Tapi dengan cepat
serangan itu dielakkan Dewi Bunga Iblis dengan meng-
geser kaki ke samping. Kemudian wanita tua itu balik melancarkan serangan dengan
tangan kanan. Disusul
kibasan tangan kirinya.
Ki Wirapati menarik tendangannya, lalu dengan
cepat mengganti dengan pukulan tangan kanannya.
Sedangkan tangan kirinya menyapu ke atas, berusaha
menangkis serangan lawan.
"Heaaa...!"
"Hik hik hik...! Inikah murid Wiasa"!" ejek Dewi Bunga Iblis, membuat Ki
Wirapati tersentak kaget manakala nama gurunya disebut wanita tua itu. "Sungguh
tak berguna kau menjadi murid Wiasa!"
"Sombong! Dari mana kau tahu nama guru-
ku"!" bentak Ki Wirapati marah, karena dihina begitu rupa oleh Dewi Bunga Iblis.
Serangannya dipergencar.
Pukulan-pukulan 'Seribu Guntur' dilipatgandakan.
Namun si nenek masih terkikik sambil berkelit dari serangan itu
"Hik hik hik... Bukan hanya nama gurumu
yang aku tahu. Bahkan semua ilmunya aku paham!
Hik hik hik..! Mana Cakra Geni warisan gurumu itu,
heh"!" Semakin bertambah marah saja Ki Wirapati dihina begitu rupa. Serangan
orang tua itu mulai mem-
babi buta, sampai akhirnya tak terkontrol lagi. Padahal itu sangat berbahaya
bagi dirinya. "Jangan sombong, Nenek Iblis! Heaaa...!"
"Percuma kau melawanku! Gurumu kalau ma-
sih hidup tak akan mampu menandingi ku! Hiaaa...!"
Dewi Bunga Iblis mengibaskan tangannya den-
gan cepat. Dan dari kibasan tangan itu, berdesing
bunga-bunga hitam yang melesat ke arah Ki Wirapati.
"Bunga Racun Iblis...! Celaka...!"
Ki Wirapati terkesiap. Dia tidak menduga kalau
nenek itu akan mengeluarkan senjata rahasianya yang
terkenal maut itu. Cepat-cepat tubuhnya dibuang ke
samping untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian
dengan cepat tangannya mengambil sesuatu dari balik
rompinya. Sebuah benda bulat bergerigi kini tergeng-
gam di tangannya. Kemudian segera dilemparkannya
ke arah bunga-bunga hitam yang tengah meluncur de-
ras. Swing...! Benda bulat bergerigi yang mengeluarkan api
itu adalah Cakra Geni. Sebuah senjata pusaka warisan gurunya, Wiasa.
Senjata itu melesat cepat, membabati bunga-
bunga hitam yang hendak menyerang Ki Wirapati,
hingga bunga-bunga itu berguguran dengan menim-
bulkan suara berdesing.
Tring! Dewi Bunga Iblis terkekeh melihat lawan telah
mengeluarkan senjata pusakanya. Sepertinya, perem-
puan tua itu tidak gentar sedikit pun terhadap Cakra Geni milik lawan.
"Senjata butut itu tak ada gunanya bagiku!"
ejeknya meremehkan.
Usai berkata begitu, tubuh Dewi Bunga Iblis
melenting hingga berada di atas Cakra Geni. Lalu dengan cepat kakinya mendarat
di atas senjata lawan yang langsung berhenti.
Mata Ki Wirapati melotot menyaksikan kejadian
itu. Selama ini, tak pernah ada orang yang mampu
menghentikan Cakra Geni miliknya. Namun perem-
puan tua itu ternyata menghentikannya dengan mu-
dah. Bahkan berdiri di atas senjata itu sambil tertawa terkekeh.
9 Di sisi lain, terjadi pertarungan tidak seimbang
antara murid-murid Padepokan Cakra Geni melawan
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kumbang Hitam dari Neraka. Murid-murid Padepokan
Cakra Geni bagai tak berarti menghadapi lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam
itu. Korban telah banyak
berjatuhan. Namun demikian, semangat sisa murid
padepokan seperti tak padam begitu saja. Bahkan se-
rangan mereka semakin bertambah garang.
"Percuma kalian membuang nyawa! Lebih baik
kalian menyingkir, jangan sampai aku membunuh ka-
lian semua!" bentak Kumbang Hitam, berusaha menakut-nakuti sisa murid Padepokan
Cakra Geni. "Jangan harap kami akan menyerah, Iblis!" sahut salah seorang murid utama. "Demi
kebenaran dan keadilan kami rela berkorban, meski harus mati!"
"Rupanya kalian benar-benar mencari mati!
Baik! Jangan salahkan aku bila kalian pindah ke nera-ka!" bentak Kumbang Hitam
seraya melancarkan serangan dengan menggunakan jurus 'Gagak Hitam
Mengepak Sayap'.
Tangannya terentang ke samping, lalu dengan
cepat bergerak memutar ke depan membantu tusukan
lurus. Disusul oleh tendangan ke depan.
"Jangan banyak mulut, Iblis! Gempur dia...!"
"Hiaaa...!"
Sisa murid Padepokan Cakra Geni yang masih
hidup, kembali menyerbu dengan berani Dengan ilmu
beberapa tingkat di bawah lawan, kesepuluh sisa mu-
rid padepokan berusaha merangsek lawan.
Pertarungan antara Kumbang Hitam melawan
murid-murid Padepokan Cakra Geni kembali berjalan
seru. Kesepuluh murid-murid padepokan itu dengan
gigih dan berani terus menyerang. Namun lawan yang
mereka hadapi bukan lawan sembarangan. Yang me-
reka hadapi seorang berilmu tinggi yang setaraf dengan guru mereka.
"Kalian benar-benar mencari mampus!
Heaaa...!"
Kumbang Hitam mengepakkan tangannya un-
tuk menyerang. Kedua tangannya membentuk sayap
lurus, kemudian dengan cepat diputar ke depan dan
menghentak lawan. Sedangkan kakinya bergerak me-
nendang dengan cepat ke samping dan ke belakang.
Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, terdengar
pekikan memecah udara. Disusul oleh ambruknya tu-
buh lawan. Dua orang lawan jatuh. Mulut mereka meleleh-
kan darah. Namun hal itu tidak membuat yang lainnya
gentar. Bahkan kembali terdengar seruan lantang.
"Serang terus...!"
"Heaaa...!"
Sisa murid Padepokan Cakra Geni kembali me-
rangsek. Namun Kumbang Hitam yang sudah tak sa-
bar untuk secepatnya menghabisi pengeroyoknya, me-
nyambuti dengan serangan cepat Jurus-jurus pa-
mungkas yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan, ki-
ni digunakannya.
Gerakan tangan dan kaki Kumbang Hitam se-
makin cepat. Tangannya mengepak, mematuk dan me-
nyambar ke sana kemari dengan keras dan ganas. Se-
dangkan kedua kakinya menendang, menyepak dan
mendupak tak kalah keras dan cepat. Sebuah gerakan
yang membuat para pengeroyoknya terkejut, tak me-
nyangka akan menghadapi jurus aneh dan dahsyat itu.
"Hiaaat..!"
"Heaaa...!"
Kumbang Hitam terus bergerak dengan cepat.
Kedua tangannya yang mengepak, mematuk, dan me-
nyambar terus menebas ke arah lawan-lawannya. Ka-
kinya pun tak tinggal diam, bergerak lincah dengan
tendangan mematikan.
Mau tak mau, para pengeroyoknya harus ber-
susah payah berkelit, kalau tidak ingin nyawa mereka melayang. Kini bukannya
mereka yang mendesak
Kumbang Hitam. Keadaannya justru berubah. Mereka-
lah yang terdesak.
Kumbang Hitam yang ingin segera menghabisi
lawannya, Wan bertambah beringas. Setiap sabetan,
pukulan dan kepakan tangan dan kakinya, menimbul-
kan jeritan kematian yang menyayat. Disusul oleh am-
bruknya tubuh korban dengan mulut memuntahkan
darah. Satu persatu lawan dibabat Sampai akhirnya
tak tersisa lagi.
"Ha ha ha...! Semua telah beres, Guru! Menga-
pa kau masih membiarkan tikus tua itu hidup?" celoteh Kumbang Hitam dengan mata
angkuh memandang
tubuh Ki Wirapati yang berusaha mengelakkan seran-
gan Dewi Bunga Iblis.
"Hik hik hik..," Dewi Bunga Iblis tertawa. "Kau lakukanlah keinginanmu. Aku
yakin, gadis itu berada
di dalam. Biar aku main-main sebentar dengannya."
"Baiklah kalau memang itu keinginanmu."
Usai berkata begitu, tubuh Kumbang Hitam se-
gera berkelebat masuk ke bangunan yang digunakan
untuk tempat tinggal. Dicarinya Suciati di setiap kamar, Nampaknya Kumbang Hitam
sudah tak sabar in-
gin segera menikmati kehangatan tubuh gadis itu,
yang selama ini ditahannya. Bahkan dia telah mem-
bayar mahal untuk itu. Mukanya hancur, sampai ha-
rus ditutup kain hitam.
Lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam itu te-
rus mencari Suciati. Dia benar-benar tak sabar. Dan
gejolak keinginannya itu dilampiaskan dengan mendo-
brak pintu-pintu kamar yang tertutup rapat
"Di mana dia...," geram Kumbang Hitam semakin tak sabar. Bayangan tubuh Suciati
yang pernah di-intipnya ketika tengah mandi saat masih di Kadipaten Tegal Arang,
kembali menghiasi pikirannya Membangkitkan nafsu birahi yang melonjak-lonjak
liar. Semua kamar telah dijelajahinya, namun gadis
itu belum juga ditemukannya. Tentunya di salah satu
kamar itulah Suciati berada, pikir Truna.
Kumbang Hitam menyeringai. Perlahan kakinya
melangkah menghampiri pintu kamar yang tak tertu-
tup di samping kanannya.
"Hm, tentunya di kamar ini dia disembunyi-
kan," gumannya perlahan.
Dengan langkah halus, lelaki terselubung kain
hitam itu mendekati pintu kamar. Didorongnya pintu
tersebut perlahan-lahan.
"Hiaaat..!"
Berbareng dengan terbukanya pintu, sebilah
pedang tiba-tiba menyerang ke arahnya. Beruntung
Kumbang Hitam cepat berkelit. Kalau tidak, kepalanya tentu akan terbelah oleh
pedang yang ada di tangan
Suciati. "Hiat..!"
Gadis cantik berbaju hijau itu terus menyerang
dengan tusukan-tusukan pedangnya. Namun karena
ilmu silat yang dipelajari selama di padepokan itu belum seberapa, serangannya
tidak membahayakan bagi
Kumbang Hitam. Bahkan sambil tertawa Kumbang Hi-
tam mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan
Suciati. Gerakannya seperti hendak menggoda gadis
yang sedang kalap itu.
Suciati terus menyerang dengan gerakan tak te-
ratur, meski dia belum tahu siapa lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam itu.
Namun dari caranya masuk ke kamar itu, dia sudah dapat menduga kalau orang itu
tidak bermaksud baik.
Menghadapi serangan pedang Suciati, Kum-
bang Hitam berkelit sambil tertawa-tawa. Tangannya
sesekali berbuat nakal pada tubuh gadis itu sehingga membuat Suciati bertambah
kalap. "Kurang ajar! Kubunuh kau! Heaaa...!" maki Suciati yang merasa dipermainkan.
Serangan Suciati kian membabi buta. Hal itu
membuat Kumbang Hitam dapat membaca gerakan-
nya. Ketika gadis itu membabatkan pedang ke arah
kanan, Kumbang Hitam menggeser kakinya ke bela-
kang dan bergerak ke kiri.
"Percuma saja kau melawanku, Cah Ayu... Le-
bih baik kau menurut saja apa yang kuinginkan," bu-juk Kumbang Hitam sambil
bergerak mengelakkan ba-
batan-babatan pedang lawan. Sesekali tangannya
kembali nakal menjamah tubuh Suciati.
"Cuhhh...! Lebih baik aku mati, ketimbang me-
nuruti kata-katamu! Heaaat..!"
Dengan membabi buta, Suciati kembali mela-
kukan serangan. Pedang di tangannya bergerak tak be-
raturan, membabat ke segenap penjuru.
"Kau benar-benar nekat, Cah Ayu...!"
Sambil berkata begitu, tubuh Kumbang Hitam
melenting ke udara. Kemudian dengan bersalto, jarinya menotok jalan darah
Suciati. Tukkk! "Akh...!"
Tubuh Suciati yang hendak kembali menye-
rang, seketika menjadi kaku laksana patung kayu.
"Laki-laki laknat! Bunuh saja aku! Lepaskan to-
tokanmu, dan kita bertarung sampai mati...!"
Kumbang Hitam tergelak-gelak mendengar tan-
tangan Suciati. Dengan pandangan penuh nafsu, dide-
katinya tubuh Suciati yang tak bergeming. Kemudian
mengangkatnya. "Lepaskan...! Lepaskan totokanmu, Keparat..!"
maki Suciati penuh kebencian.
Kumbang Hitam tidak peduli. Dengan tertawa-
tawa diletakkannya tubuh Suciati ke atas tempat tidur.
Matanya memandang penuh api nafsu. Kemudian den-
gan buas, tangannya merenggut pakaian gadis itu.
Breeet! "Auh...!" pekik Suciati.
Kemesuman hampir saja terjadi, kalau tidak
terdengar suara hentakan keras tiba-tiba. "Bajingan...!
Keluar kau...!"
*** "Kurang ajar! Siapa yang berani lancang kepa-
daku"!" maki Kumbang Hitam seraya berkelebat meninggalkan calon korbannya.
Sesampainya di luar, Kumbang Hitam terkejut
bukan kepalang. Gurunya tengah dikeroyok dua orang.
Sedangkan di depannya, berdiri seorang pemuda yang
telah dikenalnya. Pemuda itu tidak lain Pendekar Gila.
Yang tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Pendekar Gila tertawa melihat Kumbang Hitam
keluar dari dalam. Kemudian dengan masih mengga-
ruk-garuk kepala, dia mengejek,
"Rupanya kau kumbang busuk yang suka me-
rusak kehormatan gadis-gadis itu" Ha ha ha...! Men-
gapa mukamu ditutup, Sobat"! Apa kau malu menun-
jukkan tampang burukmu"!"
Murkalah Kumbang Hitam mendengar ejekan
yang keluar dari mulut Pendekar Gila. Terlebih melihat tingkah laku menyebalkan
pemuda gila itu.
"Pemuda gila! Tak percuma aku mencarimu!
Akhirnya kau datang sendiri untuk mengantar nyawa!"
dengus Kumbang Hitam penuh geram.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menden-
gar ucapan Kumbang Hitam. Tangan kanannya meng-
garuk-garuk kepala. Sedangkan yang kiri menepuk-
nepuk pantat "Aha.... Rupanya nyawaku sangat berharga ba-
gimu, Kumbang Busuk! Ah ah ah. Sungguh beruntung
aku yang bodoh dan hina ini memiliki nyawa yang
sangat berharga. Karena nyawaku berharga, kukira
aku akan berusaha mempertahankan dari tangan bu-
sukmu itu!" ujar Pendekar Gila.
"Bedebah! Akan kubuktikan kalau tanganku
akan mencabut nyawamu dengan mudah! Heaaa...!"
Dengan amarah meledak-ledak, tubuh Kum-
bang Hiram melesat untuk melabrak Pendekar Gila.
Tangannya mengembang, membuat gerakan 'Sayap
Kumbang Melebar'. Kemudian digerakkan memutar ke
depan, membentuk sebuah perisai dari pukulan. Se-
dangkan kakinya, nampak menyilang agak direndah-
kan "Hiaaat..!"
Melihat serangan yang dilancarkan lawan, Pen-
dekar Gila segera membuka jurus 'Si Gila Menari Me-
nepuk Lalat', sebuah jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila' yang dahsyat. Gerakan
tubuhnya terlihat lemah gemulai
laksana menari, disertai tepukan-tepukan tangan.
Jika diperhatikan, jurus yang dilakukan Pen-
dekar Gila hanya gerakan main-main. Namun, sesung-
guhnya gerakan itu sangat berbahaya.
Melihat gerakan lawan seperti itu, Kumbang Hi-
tam merasa yakin akan dapat menerobos pertahanan
lawan dengan jurus barunya. Tangannya yang berge-
rak membuat suatu kepakan dan pukulan, menyerang
Pendekar Gila. "Hiat!"
Pendekar Gila cepat berkelit dengan cara memi-
ringkan tubuh ke samping. Gerakan mengelitnya pun
seperti menari. Tubuhnya lentur dan lemas. Jika dilihat sekilas, nampak tak ada
tenaga yang dikeluarkan-
nya. Lalu disusul oleh tepukan tangan ke arah dada
lawan. Kumbang Hitam tersentak kaget ketika seran-
gannya dapat digagalkan lawan. Bahkan tepukan tan-
gan Pendekar Gila kini mengancamnya. Cepat-cepat
Kumbang Hitam melangkah ke belakang dua tindak,
lalu kembali tangannya digerakkan ke atas dengan ja-
ri-jari mengepal. Setelah itu, dengan cepat tangan kirinya membentuk siku
sebagai tameng. Sedangkan
tangan kanannya mengarah lurus ke dada lawan.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila menarik serangan. Tubuh surut
setindak ke belakang. Tubuhnya dibuang ke samping,
kemudian dengan cepat kakinya ditarik ke samping
dengan sedikit menekuk. Tangannya saling menyang-
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gah. Tangan kanan berada di atas tangan kiri, kemu-
dian dihempaskan ke depan untuk menyerang lawan.
Tap! Satu tangan mereka saling berpegangan. Se-
dangkan tangan yang lainnya kini bergerak cepat sal-
ing menyerang dan menangkis. Sebuah permainan
yang sulit dilakukan oleh orang persilatan biasa. Dengan satu tangan sating
berkait, mereka terus bertukar serangan.
Bukan hanya tangan mereka yang bergerak me-
lakukan serangan. Kaki mereka pun turut bergerak,
berusaha saling mengait dan menjatuhkan lawan.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Keduanya saling dorong, berusaha untuk men-
daratkan pukulan dan sapuan kaki. Kejadian itu ber-
langsung cukup lama. Sampai akhirnya keduanya sal-
ing mendorong dengan keras. Tubuh mereka terlontar
ke belakang, bersalto di udara dan kembali menjejak di tanah. Sesaat mata
keduanya saling pandang. Kemudian, didahului pekikan melengking tinggi, keduanya
kembali melesat dengan jurus-jurus baru.
"Heaaat..!"
Saat itu Ki Wirapati tengah kerepotan mengha-
dapi gempuran yang dilancarkan Dewi Bunga Iblis. Dia dalam keadaan terdesak,
ketika tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki berseru,
"Ki Wirapati, aku datang membantumu!"
Nampak seorang lelaki tua berpakaian mirip re-
si dengan tangan menggenggam tombak pendek ber-
mata dua, berlari menuju tempat itu. Kemudian lelaki tua yang tidak lain Ki
Tunggal Manik itu langsung
menggebrak untuk membantu temannya.
"Terima kasih," desis Ki Wirapati, merasa lega dengan kedatangan Ki Tunggal
Manik. Dengan ban-tuan Ketua Perguruan Teratai Putih itu, paling tidak dia tidak
lagi terlalu kerepotan menghadapi Dewi Bunga Iblis. "Heaaat..!"
Dewi Bunga Iblis kembali menggebrak, berusa-
ha mematahkan serangan yang dilancarkan lawannya
yang kini berjumlah dua orang. Tangannya bergerak
cepat menangkis dan menampar ke arah lawan. Se-
dangkan kedua kakinya terus menyapu ke arah kaki,
atau sesekali menendang ke dada lawan-lawannya.
Melihat serangan cepat dilancarkan oleh Dewi
Bunga Iblis, kedua lelaki itu dengan cepat pula berkelit. Kemudian dengan cepat
pula mereka menyerang
bersamaan. Ki Tunggal Manik menyerang bagian perut pe-
rempuan tua itu. Tangannya memukul, menotok dan
menepis setiap gerakan kaki lawan. Sedangkan Ki Wi-
rapati yang terluka dalam, kini mengarahkan seran-
gannya pada bagian atas. Tangannya yang kanan me-
mukul, sedangkan yang kiri membentuk tameng untuk
menangkis serangan lawan.
Serangan keduanya datang dari arah yang ber-
lawanan. Satu dari sisi kiri, sedangkan yang satunya dari sisi kanan. Namun
begitu, Dewi Bunga Iblis bukanlah orang kemarin sore, Namanya telah mampu
menggetarkan dunia persilatan pada masanya. Meng-
hadapi serangan kedua lawannya yang berlawanan
arah, tidak menciutkan nyalinya. Terlebih melihat salah seorang lawannya telah
terluka dalam. Di samping itu, Cakra Geni yang merupakan
senjata pusaka milik Ki Wirapati kini telah berada dalam kekuasaannya. Jika dia
terdesak, senjata itu akan digunakan.
Meski usia sudah lanjut, namun gerakan men-
gelit dan menyerang Dewi Bunga Iblis ternyata masih
gesit. Tubuhnya yang agak bungkuk laksana menari.
Kakinya bergerak menyilang dan merenggang. Sedang-
kan tangannya bagaikan sepasang senjata tajam yang
mematikan. Bahkan dengan tertawa mengikik, Dewi Bunga
Iblis bergerak mengelak dan balas menyerang. Sesekali tangannya melambat,
mengeluarkan angin pukulan
yang menyentakkan kedua lawannya. Atau terkadang
menepak, menimbulkan deru angin yang dahsyat.
Pertarungan terus berlangsung keras. Sudah
puluhan jurus yang telah mereka keluarkan. Sampai
sejauh itu, tak ada tanda-tanda kalau kedua penge-
royoknya akan mampu menjatuhkan Dewi Bunga Iblis.
Malah berkali-kali keduanya harus membelalakkan
mata, manakala mendapat serangan yang tak terduga.
"Heaaa...!"
"Hik hik hik...!"
Dewi Bunga Iblis terkikik. Tangan kanannya
dikibaskan ke arah lawan sebelah kanan. Sedangkan
kaki kirinya bergerak menendang dan menyapu lawan
sebelah kiri. Kedua lawan yang mengeroyoknya tersentak.
Segera mereka menarik serangan, kemudian mengu-
bah jurus lain. Bergantian mereka mencari sasaran.
Kalau tadi Ki Wirapati menyerang di bagian atas, kini sebaliknya. Ki Wirapati
memusatkan serangannya pa-da bagian bawah. Sedangkan Ki Tunggal Manik beralih
menyerang bagian atas tubuh Dewi Bunga Iblis.
Sebuah penggabungan serangan yang hebat.
Kalau saja lawannya tak berilmu setaraf dengan mere-
ka, sudah dari tadi lawan akan diremukkan.
"Heaaat..!"
"Ceaaa...!"
Gerakan kedua lelaki tua itu serempak. Seper-
tinya telah diatur sebelumnya. Tak ada kesalahan da-
lam melakukan serangan. Yang menyerang bagian
atas, terus mencecar dan berusaha mencari titik luang di bagian atas. Sedangkan
yang menyerang bagian bawah, terus mencari titik luang di bagian bawah.
Namun sejauh itu, belum juga mereka berhasil
menjatuhkannya. Seakan semua tubuh Dewi Bunga
Iblis terlindungi. Hal itu disebabkan wanita tua itu mampu melakukan gerakan
yang cepat dan gesit.
Hingga jika serangan datang, secepat itu pula dia me-lindungi tempat yang
diserang. Bahkan tak segan-
segan balik menyerang lawan.
Kedua lelaki tua itu kembali menyerang, ketika
tiba-tiba Dewi Bunga Iblis melompat ke belakang den-
gan cepat Lalu sebelum kedua penyerangnya sadar da-
ri kekagetannya dan menguasai diri, wanita tua itu
menghantamkan pukulan mautnya ke arah mereka.
"Celaka!" pekik Ki Tunggal Manik.
"Ahhh...!" keluh Ki Wirapati kaget.
Keduanya yang belum bisa menguasai diri se-
ketika mati langkah. Mata mereka membelalak tegang,
menyaksikan angin pukulan yang datang menderu ce-
pat ke arah mereka.
Sebisanya Ki Tunggal Manik menjatuhkan diri
ke tanah lalu berguling, sehingga dia luput dari maut.
Sedangkan Ki Wirapati yang terluka dalam tak mampu
berbuat apa-apa. Tubuhnya langsung menjadi sasaran
pukulan lawan. Degk! "Akh...!"
Ki Wirapati memekik. Tubuhnya terdorong ke
belakang tiga tindak dengan terhuyung-huyung. Darah
semakin banyak keluar.
"Ki...!" seru Ki Tunggal Manik, ketika tubuh Ki Wirapati terhuyung kemudian
ambruk mencium tanah
tanpa nyawa. Hal itu membuat Ki Tunggal Manik men-
jadi kalap. Disertai pekikan, dia kembali menyerang.
Kali ini di tangannya tergenggam senjatanya yang be-
rupa tombak bermata dua.
Tombak sepanjang lengan di tangan Ki Tunggal
Manik bergerak cepat dengan gerak memutar bagai
menghilang. Yang nampak hanya sinar putih kebiru-
biruan, menyelimuti tubuhnya.
"Iblis! Kau harus mati! Heaaa...!" Dewi Bunga Iblis terkekeh, kemudian dengan
cepat mengelakkan
serangan lawan dan balas menyerang. Pertarungan
kembali berlangsung.
10 Suciati yang melihat Pendekar Gila tengah ber-
tarung melawan lelaki yang tadi hendak memperko-
sanya dan kini tengah terdesak oleh serangan-
serangan yang dilancarkan Pendekar Gila, segera ber-
kelebat turut menyerang. Pedang di tangannya diarah-
kan ke arah tubuh lelaki terbalut kain hitam. Memang, saat itu pengaruh totokan
Kumbang Hitam telah mus-nah dengan sendirinya.
"Hiaaat..!"
Kumbang Hitam yang kerepotan menghadapi
Pendekar Gila terkejut manakala mendengar suara
seorang gadis menyerang ke arahnya. Dengan masih
berusaha mengelitkan serangan Pendekar Gila yang
menggunakan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang',
Kumbang Hitam menepiskan tangan kirinya ke bela-
kang. Suciati yang tak menduga akan mendapatkan
serangan begitu tiba-tiba, tak mampu berkelit dari ke-butan tangan Kumbang
Hitam. Tanpa ampun tubuh
gadis itu harus menerima sambaran angin pukulan
yang mengarah dadanya.
Desss! "Ukh...!"
Suciati mengeluh, tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang sampai lima tindak. Dari sela bibirnya meleleh darah segar. Wajahnya
sesaat mengejang, sebe-
lum ambruk terkulai di tanah dalam keadaan pingsan.
"Pengecut!" maki Pendekar Gila melihat gadis itu dihantam oleh lawannya. Hal itu
membuatnya kian
bertambah marah. Belum juga habis amarahnya me-
nyaksikan bagaimana Ki Wirapati ditahan oleh wanita
tua itu. Kini telah dikobarkan lagi oleh kejadian yang dianggapnya pengecut itu.
Dengan mempercepat gerakan 'Si Gila Melebur
Gunung Karang', Pendekar Gila terus merangsek la-
wan. Tangannya terangkat ke atas, dengan jari-jari
terbuka. Kemudian tangan kanan bergerak menghan-
tam ke muka. Sedangkan tangan kiri bergerak dari
bawah menghajar ke selangkangan.
"Heaaat..!"
Kumbang Hitam yang berusaha mengembang-
kan serangan dengan jurus 'Kumbang Hitam Menyen-
gat' bagikan tak memiliki kesempatan. Setiap kali dia hendak mengembangkan
jurusnya, secepat itu pula
Pendekar Gila telah melancarkan serangan anehnya.
Tiba-tiba saja tangan atau kaki Pendekar Gila yang kelihatannya bergerak lambat,
telah mendekati tubuh-
nya. Hingga mau tak mau Kumbang Hitam harus men-
gurungkan niatnya.
Seperti juga saat ini. Beberapa kali Kumbang
Hitam berusaha menyerang. Tapi tiba-tiba saja Pende-
kar Gila telah merangsek. Jurus yang dilancarkan
Pendekar Gila kelihatannya lamban dan lemah. Namun
entah bagaimana caranya, setiap kali Kumbang Hitam
bergerak, tangan atau kaki Pendekar Gila telah dekat ke tubuhnya.
"Ilmu silumankah?" desis Kumbang Hitam dengan mata membelalak kaget. Dia benar-
benar mengha- dapi lawan yang seperti memiliki ilmu siluman saja. Ke mana pun dia bergerak,
lawan tiba-tiba telah men-jangkaunya, meski gerakan lawan kelihatan lamban
dan lemah. Pendekar Gila yang sempat melirik ke arah Ki
Tunggal Manik terkejut, menyaksikan orang tua itu ki-ni terdesak. Kalau dia
tidak cepat-cepat membereskan yang satu ini, bisa-bisa celakalah orang tua dari
Perguruan Teratai Putih itu.
"Heaaa...!"
Tangan Pendekar Gila semakin cepat bergerak,
hingga laksana menghilang. Itulah jurus 'Angin Gila
Membadai'. Tubuhnya berputar cepat menimbulkan
angin yang keras menderu. Sedangkan kedua tangan-
nya bergerak cepat menyerang bergantian.
Kumbang Hitam kian tersentak kaget. Sesaat
dia tertegun dengan mata membelalak menyaksikan
gerakan yang semakin aneh dilakukan oleh lawannya.
Pada saat itu, tangan Pendekar Gila yang menyerang
dengan cepat tanpa dapat dielakkan menghantam te-
lak dadanya. Tubuh Kumbang Hitam terlontar keras,
melayang laksana tersapu angin diikuti pekikan yang
menyayat "Aaa...!"
Pekikan keras yang keluar dari mulut Kumbang
Hitam, membuat kedua tokoh tua yang tengah berta-
rung seketika menghentikan pertarungan. Keduanya
mengalihkan pandangan ke arah datangnya pekikan
itu. Dewi Bunga Iblis membelalak saat matanya
sempat menyaksikan gerakan aneh yang dilakukan
oleh pemuda berpakaian rompi kulit ular sanca. Gera-
kan itu mengingatkannya pada seorang pendekar yang
telah mampu mengalahkannya. Pendekar itu pun
mengeluarkan jurus serupa ketika menjatuhkan di-
rinya, hingga tubuhnya bungkuk seperti sekarang.
Setelah pemuda berpakaian rompi kulit ular
menghentikan gerakan anehnya, pandangan Dewi
Bunga Iblis tertuju ke asal suara pekikan. Matanya
semakin membalalak, menyaksikan sesosok tubuh
terbungkus kain hitam yang tidak lain muridnya, me-
layang jauh, dan baru berhenti ketika membentur po-
hon besar dengan menimbulkan suara berderak.
Brakkk...! Tubuh Kumbang Hitam hancur, bersamaan
dengan tumbangnya pohon besar yang terhantam tu-
buhnya. "Sungguh dahsyat jurus itu. Hm, rupanya Pen-
dekar Gila telah meningkatkan ilmunya. Tak kusang-
ka, kalau ilmu Pendekar Gila yang masih muda ini le-
bih dahsyat dari pendahulunya. Untuk menandin-
ginya, aku harus mendalami ilmumu puluhan tahun
lagi. Atau mungkin ratusan tahun lagi! Tak ada gu-
nanya aku mencari keributan dengannya," desis hati
Dewi Bunga Iblis.
Tanpa menghiraukan apa yang akan dikatakan
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh Pendekar Gila dan Ki Tunggal Manik padanya,
Dewi Bunga iblis hendak meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja beberapa langkah kakinya bergerak,
Ki Tunggal Manik dengan cepat melemparkan senja-
tanya ke arah tubuh wanita bungkuk itu. Senjata itu
melaju begitu deras, hingga Dewi Bunga Iblis yang tak menyangka akan diserang,
tak dapat mengelakkannya.
Crab! Tombak bermata dua menghunjam punggung
wanita bungkuk itu. Mulut keriputnya seketika menje-
rit. Darah muncrat dari punggung yang terluka lalu
membasahi pakaiannya. Sesaat tubuh bungkuk itu
membalik memandang dengan penuh kemarahan ke
arah Ki Tunggal Manik. Gigi-giginya yang tinggal beberapa biji saling beradu.
Jemari tangannya meregang.
Kemudian dengan memekik keras, Dewi bunga Iblis
meluruk bagai banteng luka. Namun karena darah ba-
nyak keluar, serta racun pada tombak mata dua itu,
baru beberapa tindak saja tubuh bungkuk itu telah
ambruk mencium tanah.
Pendekar Gila yang menyaksikan Kejadian itu
hanya mampu menghela napas. Kemudian kakinya
melangkah mendekati Ki Tunggal Menik yang masih
terpaku, memandangi tubuh bungkuk yang kaku.
"Sebentar lagi pagi, Ki.... Kita harus mengubur mereka," bisik Pendekar Gila,
membuat Ki Tunggal Manik tersadar dari ketertegunannya. Lelaki tua dari
Perguruan Teratai Putih itu mengangguk perlahan.
Kemudian melangkah beriringan dengan Pendekar Gi-
la. Setelah mengubur mayat-mayat mereka yang
mati, Sena mendekati Ki Tunggal Manik yang berdiri
berjajar dengan Suciati.
"Ki, semua kewajibanku di sini telah selesai.
Aku mohon pamit padamu untuk meneruskan perjala-
nanku, untuk mengikuti kata hati. Kutitipkan Kanjeng Putri padamu," ujarnya
lirih. Merasa sedih korban nyawa demikian banyak.
"Mengapa harus cepat-cepat pergi, Pendekar Gi-
la" Tinggallah di sini untuk beberapa hari, biar kami dapat menjamumu," balas Ki
Tunggal Manik setengah mencegah kepergian Pendekar Gila dari kadipaten itu.
"Ah, terima kasih atas tawaranmu, Ki. Tapi,
dengan berat aku menolaknya. Masih banyak orang
dalam kesengsaraan. Masih banyak tugas yang harus
kujalankan. Hidupku untuk alam. Di mana alam
membutuhkan, di situ aku harus mengabdi."
Ki Tunggal Manik mengangguk-anggukkan ke-
pala mendengar penuturan Pendekar Gila.
"Ya, ya. Aku mengerti. Maaf, aku tadi terlalu
mendesak mu."
Pendekar Gila tersenyum. Tangannya yang di-
ulurkan, disambut oleh Ki Tunggal Manik dengan pe-
rasaan haru. Mereka berpelukan erat penuh persaha-
batan. "Terima kasih, Ki. Aku mohon pamit Tolong ja-ga Kanjeng Putri baik-baik,"
ucap Pendekar Gila sambil memandang Suciati yang nampak sedih berpisah dengan
Sena. Mata Suciati yang bulat itu telah dilinangi air bening.
Pendekar Gila segera berkelebat meninggalkan
tempat itu. Dalam sekejap, tubuhnya telah jauh dan
berada di bawah. Samar-samar terlihat Sena masih
sempat melambaikan tangan sebagai isyarat perpisa-
han yang tidak bisa dielakkan oleh seorang manusia,
siapa pun dia dan di mana pun berada. Lambaian itu
dibalas oleh Ki Tunggal Manik dan Suciati dengan pe-
nuh keharuan. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tusuk Kondai Pusaka 14 Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Beruang Salju 9
tempatku?" tanya Ki Yaksa Asti, berusaha menghormati kedua tamunya.
Perempuan tua dan lelaki terbalut kain hitam
itu tertawa bergelak
"Kaukah Yaksa Asti atau si Cakar Seribu?"
tanya si nenek "Benar. Akulah orangnya," sahut Ki Yaksa Asti setenang mungkin, berusaha menekan
kemarahan menyaksikan tingkah kedua tamu tak diundang itu.
"Hm, bagus! Ketahuilah, aku Dewi Bunga Iblis
dari Jurang Neraka. Dan muridku ini adalah orang
yang kalian keroyok di tepi Jurang Neraka!" tutur Dewi Bunga Iblis, membuat
wajah Ki Yaksa Asti menegang.
Pandangannya kini tertuju pada lelaki terbalut kain hitam.
"Kau..."!" desis Ki Yaksa Asti tak percaya.
Lelaki terbalut kain hitam itu tergelak kemu-
dian matanya menghunjam tajam pada Ki Yaksa Asti.
"Ya, aku.... Rupanya aku masih diberi umur
panjang untuk melakukan perhitungan denganmu.
Sekaligus mencabut nyawa tuamu, Yaksa Asti...!" jawab lelaki yang tak lain
Truna, seraya tertawa penuh kepongahan.
"Bukan hanya mencabut nyawa tuamu, Yaksa
Asti! Kami datang untuk mencabut nyawa keempat
temanmu juga, termasuk Pendekar Gila...!" sambung Dewi Bunga Iblis.
Seketika telinga ketiga orang Perguruan Cakar
Sewu menjadi panas mendengar ucapan sombong yang
dilontarkan guru dan murid dari aliran sesat itu. Mata mereka semakin menatap
tajam. Gigi Ki Yaksa Asti
malah bergemeretuk, menahan kekalapan yang hen-
dak menerobos ubun-ubunnya.
"Sombong! Meski nama Dewi Bunga Iblis per-
nah menggemparkan rimba persilatan puluhan tahun
silam, namun kami dari Perguruan Cakar Sewu tak
gentar! Kalianlah yang harus minggat ke neraka!" geram Wilapati. Tampaknya dia
hendak segera menye-
rang, namun dengan cepat Ki Yaksa Asti mencegahnya
dengan merentangkan tangan.
"Jangan gebabah, Muridku. Menghadapi orang-
orang seperti ini, kita harus hati-hati," cegah Ki Yaksa Asti sambil melangkah
setindak ke muka. "Dewi Bunga Iblis, antara aku dan kau tak ada silang sengketa.
Mengapa kau tiba-tiba hendak mencampuri urusan"
Aku hanya ada silang sengketa dengan pemuda durja-
na di sampingmu."
"Ah, dia tak ada bedanya. Dia adalah muridku.
Maka aku pun berhak membelanya."
Ki Yaksa Asti terdiam. Dihelanya napas pan-
jang-panjang. Dia tidak takut menghadapi nenek sakti itu, meski nama Dewi Bunga
Iblis telah didengarnya.
Bagaimana nenek sakti itu malang melintang di rimba
persilatan tanpa tanding pada masanya, dan hanya
pernah kalah ketika menantang Pendekar Gila dari
Gua Setan. Tapi, apakah aku sanggup menghada-
pinya" Sungguh berbahaya bagi rimba persilatan jika
tokoh sesat seperti Dewi Bunga Iblis kembali turun.
Desis Ki Yaksa Asti dalam hati. Tak dapat dibayang-
kan, bagaimana rimba persilatan nantinya.
"Bagaimana, Yaksa Asti. Kau siap menemui aj-
al?" tanya Truna. Suaranya bernada sinis, mencermin-kan kesombongan dan
keangkuhan. Ki Yaksa Asti mendengus gusar. Namun masih
berusaha tenang.
"Untuk kebenaran dan keadilan di rimba persi-
latan, apa pun akan kuhadapi!"
"Bagus! Berarti kau memang ingin mampus!"
dengus Dewi Bunga Iblis tegas.
"Bersiaplah untuk mampus, Yaksa Asti!" sambung Truna sombong.
Disertai gelak tawa yang menggelegar, lelaki
terbalut kain hitam itu seketika melakukan serangan
ke arah Ki Yaksa Asti.
"Heaaat..!"
Sementara itu, seluruh murid Perguruan Cakar
Sewu keluar ketika mendengar keributan. Mereka ber-
kumpul dalam barisan yang tak teratur, karena tak
menyangka kejadian seperti itu akan terjadi.
*** Melihat lawannya telah membuka serangan, Ki
Yaksa Asti dan kedua muridnya tak mau tinggal diam.
Disertai pekikan keras menyaingi kerasnya teriakan
Truna, ketiganya siap meladeni serangan lawan. Ki
Yaksa Asti menghadang lelaki terbalut kain hitam. Sedangkan kedua murid utamanya
menghadapi Dewi
Bunga Iblis. "Heaaa...!"
"Ciaaat..!!"
Dengan mengeluarkan jurus 'Cakar Sewu' guru
dan kedua muridnya itu melakukan serangan, tangan
mereka membentuk cakar yang kuat dan keras dan
bergerak cepat. Tangan kanan dan kiri mereka bergan-
tian mencakar dengan jari-jari mengeras laksana baja.
Kaki mereka pun turut bergerak cepat, dan saling me-
nyilang setiap melangkah dengan lutut sedikit ditekuk
"Heaaat..!"
Ki Yaksa Asti yang hanya memiliki sebelah len-
gan, nampaknya tetap mampu melancarkan jurus-
jurus yang keras dan cepat. Tangan kanannya yang
terbuat dari logam, mencakar ke arah lawan. Pertama
ke arah wajah, membuat lawan mendongak. Menyusul
ke arah dada, lalu ke selangkangan. Gerakan itu dilakukan bertubi-tubi.
Truna yang terbalut kain hitam tergelak, mere-
mehkan serangan yang dilancarkan lawannya. Bahkan
dengan berkelit, dia berkata sombong,
"Tak adakah serangan yang lebih mematikan
dari ini, Orang Tua"!"
"Bedebah! jangan pongah dulu, Iblis! Hiaaat..!"
Kemarahan Ki Yaksa Asti semakin menjadi-jadi, kare-
na merasa diremehkan oleh Truna. Dia tahu kalau
pemuda yang pernah tinggal di padepokannya untuk
beberapa lama, memang telah menyerap ilmu silatnya.
Namun, begitu, dia tidak yakin kalau semua ilmunya
telah diserap. Masih ada jurus-jurus andalan yang belum diketahui Truna. Dan
jurus-jurus itulah yang
akan digunakannya untuk menghadapi pemuda pon-
gah itu. "Lebih baik kau istirahat di alam baka, ketimbang membuang-buang
tenaga, Tua Bangka" ejek Tru-na, seraya menggeser kaki ke samping. Tubuhnya di-
miringkan agak ke belakang untuk mengelitkan seran-
gan lawan. Kemudian tangan kanannya bergerak me-
mukul. Serangan balik dari lelaki terbalut kain hitam itu begitu cepat dan
keras. Kalau mengena, remuklah
muka Ki Yaksa Asti.
Ki Yaksa Asti tersentak kaget. Sama sekali tidak
diduganya akan mendapat serangan balasan yang ce-
pat dan keras. Segera tangan kanannya ditarik, kemu-
dian sambil melompat mundur kakinya menyabet. Tu-
buh bagian atas dilenturkan ke kiri untuk mengelitkan pukulan lawan. Tangan
kanan menyiku ke atas, berusaha menangkis serangan lawan.
"Heaaa...!"
"Hm, rupanya kau masih punya simpanan,
Orang Tua! Tapi percuma saja! Kau tak akan mampu
menghadapi jurusku yang ini!"
Usai berkata demikian, Truna melompat ke be-
lakang. Kemudian dengan mendengus dia menyerang
kembali. Tangannya mengembang, bagai sebuah
sayap. Tapi anehnya kembangan tangannya tidak se-
perti biasa. Kedua tangannya yang mengembang, kini
berada lurus di depan dada. Kemudian diangkat ke
atas, lalu diputar ke dalam dan kembali seperti semu-la.
Gerakan jurus yang dilakukan oleh Truna keli-
hatan aneh. Bertentangan dengan jurus kembangan
sayap yang biasa dilakukannya. Hal itu membuat Ki
Yaksa Asti yang telah banyak makan asam garam ke-
hidupan tidak mau gegabah. Orang tua ini langsung
maklum kalau itu adalah sebuah jurus baru di rimba
persilatan. Tentunya diciptakan oleh Dewi Bunga Iblis.
"Yeaaat..!"
Melihat lawan masih mematung dengan mata
memperhatikan gerakannya, Truna kembali menyerang
disertai pekikan keras. Tangannya bergerak kaku, na-
mun menggambarkan kekuatannya yang penuh. Sepa-
sang tangan lelaki itu membuat sebuah gerakan yang
berlawanan. Pertama lurus ke muka, kemudian mem-
buka ke samping. Selanjutnya memutar dan memben-
tuk perisai, diteruskan dengan tangan kanan memu-
kul. Gerakan kedua kakinya pun tampak kaku. Me-
rentang lebar-lebar bagai hendak melompat, kemudian
disilangkan begitu rupa dengan satu kaki agak mene-
kuk. Lalu dilanjutkan dengan tendangan ke arah perut
"Hiaaat..!"
Ki Yaksa Asti dengan cepat melempar tubuh ke
samping, manakala serangan lawan tiba-tiba meluruk
ke arahnya. Sambil melompat, tangan kanannya kem-
bali mencakar ke arah lawan. Sedangkan kaki kanan-
nya menendang. Namun Ki Yaksa Asti seketika tersen-
tak kaget mengetahui serangan yang baru saja dilan-
carkan lawan ternyata merupakan serangan pancin-
gan. Sedangkan serangan yang sebenarnya dilakukan
ketika Ki Yaksa Asti berkelit
Sebuah tendangan kaki kanan lawan tak mam-
pu dielakkan lagi oleh Ki Yaksa Asti. Hingga tanpa ampun lagi...
Degkh! "Ukhhh...!"
Ki Yaksa Asti mengeluh tertahan, tubuhnya ter-
lontar ke belakang tiga tindak.
"Hoeeekh...!"
Darah menyembur dari mulut Ketua Perguruan
Cakar Sewu itu. Matanya berkaca-kaca, menahan rasa
sakit yang mendera dada. Dipandanginya penuh ke-
bencian lelaki berbalut kain hitam yang tertawa se-
nang. "Guru...!" pekik kedua murid utama Perguruan Cakar Sewu, saat menyaksikan
gurunya luka dalam.
Hingga perhatian keduanya kini tercurah pada sang
Guru. Melihat kedua lawan yang mengeroyok kini da-
lam keadaan tak siap, Dewi Bunga Iblis tak mau mem-
buang kesempatan baik itu. Dengan mengerahkan te-
naga penuh, perempuan tua itu melancarkan seran-
gan. "Mampuslah kalian! Heaaat..!"
"Wilapati, Wilayuda! Awas...!" pekik Ki Yaksa Asti berusaha memperingatkan kedua
murid utamanya. Namun seruan Ketua Perguruan Cakar Sewu
itu terlambat Wilapati memang dapat lepas dari serangan maut itu dengan membuang
tubuhnya ke samping
tiga langkah. Tapi Wilayuda yang tak siap, harus me-
nerima serangan itu.
Degk! "Hugkh...! Kau...!"
Wilayuda terhuyung ke belakang dengan tan-
gan menekap dadanya yang terasa sesak dan sakit.
Dari mulutnya meleleh darah segar. Matanya nanar
bersama kemarahannya yang meledak.
"Licik! Kau..., kau licik! Kubunuh kau...!
Heaaat..!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, Wilayuda berusa-
ha menyerang lawan. Namun belum juga sampai, Dewi
Bunga Iblis telah mendahuluinya dengan satu pukulan
maut yang dinamakan 'Bunga Kematian Menebar Ra-
cun'. "Yeaaat..!"
"Wilayuda, awas...!" pekik Wilapati, mencoba mengingatkan adik seperguruannya.
Tapi terlambat,
pukulan maut itu telah lebih dahulu menghantam tu-
buh Wilayuda. Degk! "Aaa...!"
Jeritan menyayat terdengar dari mulut Wilayu-
da. Matanya melotot. Tubuhnya meregang, kemudian
ambruk tanpa nyawa lagi.
Melihat adik seperguruannya mati dan gurunya
terluka dalam, Wilapati jadi mata gelap. Didahului sebuah pekikan menggelegar,
Wilapati menyerang nenek
sakti itu. "Kubunuh kau, Iblis!"
Dewi Bunga Iblis tidak gentar melihat lawan
yang menyerang dengan membabi buta. Bahkan den-
gan tertawa mengikik wanita tua itu dengan enteng
mengelitkan serangan lawan. Tubuhnya digeser ke
samping, hingga serangan lawan meleset di samping-
nya. Dan ketika tubuh lawan meluruk, secepat kilat
tangan wanita tua itu memukul dari bawah. Wilapati
yang tengah merunduk, tak mampu lagi mengelakkan
pukulan yang mendarat telak di dadanya. Kemudian
disusul sebuah hantaman lutut yang tak kalah keras-
nya. Krak! "Aaakh...!"
Wilapati menjerit kesakitan. Tubuhnya yang ta-
di terdongak kini terhuyung-huyung ke belakang. Dari mulutnya menyembur darah
segar. Matanya melotot,
membara penuh kemarahan.
"Kau..., kau! Aaa...!"
Tubuh Wilapati ambruk tanpa nyawa dengan
tulang iga patah. Sedangkan Dewi Bunga Iblis tertawa terkekeh-kekeh. Kini
perhatiannya tertuju pada pertarungan antara muridnya dengan Ki Yaksa Asti.
"Serang terus, Kumbang Hitam! Kita harus se-
cepatnya membereskan dia, karena sebentar lagi pa-
gi...!" seru Dewi Bunga Iblis memberi semangat sekaligus peringatan pada
muridnya. Serangan sang Murid semakin bertambah gen-
car. Ditambah dengan luka dalam yang diderita, sema-
kin membuat Ki Yaksa Asti terdesak hebat. Hingga pa-
da suatu kesempatan, sebuah pukulan 'Kumbang Me-
nyengat' mendarat telak di dada Ki Yaksa Asti
Degk! "Hugkh...!"
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Yaksa Asti terhuyung dengan mata melotot.
Mulutnya kembali mengeluarkan darah.
Sementara itu, murid-murid Perguruan Cakar
Sewu yang sejak tadi hanya menyaksikan, segera me-
mekik bergemuruh. Mereka segera menyerang dua ta-
mu tak diundang itu setelah melihat gurunya terluka
dalam. "Seraaang...!"
"Jangan...!" tahan Ki Yaksa Asti, khawatir akan jatuh korban lebih banyak. Tapi
murid-muridnya telah telanjur menyerang.
Pertarungan kembali berkobar. Meskipun den-
gan jumlah banyak, tapi ilmu mereka belum seberapa
dibandingkan dengan ilmu kedua penyerangnya. Da-
lam waktu singkat, korban semakin banyak berjatu-
han. Sampai akhirnya, mereka tertumpas semua. Ter-
masuk Ki Yaksa Asti yang sejak tadi telah menghem-
buskan napas terakhir.
"Bakar, Kumbang Hitam...!" perintah Dewi
Bunga Iblis. Kumbang Hitam dari Neraka segera membakar
Perguruan Cakar Sewu, yang penghuninya telah berge-
letakan. Nampaknya tak seorang pun yang tersisa. La-
lu dengan gelak tawa, guru dan murid itu melesat me-
ninggalkan tempat itu.
7 Kehadiran Kumbang Hitam dari Neraka dan gu-
runya yang telah membantai Ki Yaksa Asti beserta se-
luruh muridnya, seketika menjadi pembicaraan dari
mulut ke mulut. Dengan cepat sepak terjang Kumbang
Hitam dari Neraka dan gurunya tidak lagi menjadi ra-
hasia, melainkan telah menjadi pokok pembicaraan se-
tiap orang. Baik itu dari dunia persilatan, maupun dari orang-orang kebanyakan
yang tahu tentang ilmu silat
Kebanyakan dari orang-orang awam, sangat
tercekam sekaligus mengutuk perbuatan biadab Kum-
bang Hitam dari Neraka dan gurunya tersebut. Karena
mereka tahu pasti, kalau Ki Yaksa Asti orang baik, pe-negak kebenaran dan
keadilan. Siang itu di sebuah kedai, tampak beberapa
orang tengah berbincang-bincang membicarakan pe-
rihal kematian Ki Yaksa Asti dan hancurnya Perguruan Cakar Sewu.
Seorang pemuda tampan berpakaian rompi ku-
lit ular masuk. Kepalanya digaruk-garuk, ketika men-
dengar pembicaraan pengunjung kedai. Keningnya
berkerut, lalu bibirnya nyengir kuda.
Pemuda tampan berambut gondrong itu me-
langkah santai, lalu duduk di dekat orang yang tengah bercakap-cakap.
"Kau tahu apa yang semalam terjadi?" tanya orang pertama berpakaian longgar
warna biru tua dengan ikat kepala batik. Dilihat dari pakaian yang dikenakannya,
orang itu bukan orang rimba persilatan.
"Ada apa semalam?" tanya temannya, seorang lelaki berbadan tegap dengan kumis
tebal. Namun dilihat dari pakaiannya, dia pun bukan orang persilatan.
"Semalam terjadi bencana di Perguruan Cakar
Sewu. Ki Yaksa Asti dan seluruh muridnya terbantai
menyedihkan. Dada mereka gosong dengan gambar te-
lapak tangan hitam."
"Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?"
tanya temannya ingin tahu.
"Kabarnya dua orang. Yang satu seluruh tu-
buhnya tertutup kain hitam dari ujung rambut hingga
ujung kaki. Dia menyebut dirinya Kumbang Hitam.
Sedangkan satunya lagi, seorang wanita tua renta dengan tubuh agak bungkuk.
Katanya bernama Dewi
Bunga Iblis...," tutur orang yang pertama kali bercerita.
Pendekar Gila mengerutkan kening mendengar
penuturan lelaki itu Kumbang Hitam" Dewi Bunga Ib-
lis" Heh, siapa mereka" Dan mengapa mereka menye-
rang Ki Yaksa Asti" Tanya Sena dalam hati sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sena me-
mang tercenung, biarpun wajahnya tetap meringis.
Dicobanya untuk mengingat-ingat siapa Ki Yak-
sa Asti. Tiba-tiba dari mulutnya keluar desisan keras,
"Ah, aku tahu! Bukankah Ki Yaksa Asti orang
tua yang berlengan satu!" Sena tertawa cekikikan dan kembali berkata. "Eh!
Apakah aku tidak salah dengar?"
Kedua orang yang tengah berbincang-bincang
seketika mengalihkan pandangannya pada pemuda
tampan berpakaian rompi kulit ular itu. Keduanya
mengerutkan kening, terlongong heran melihat tingkah laku pemuda itu.
"Kasihan sekali, pemuda se tampan dia harus
gila," bisik salah lelaki berpakaian longgar.
"Hush! Jangan sembarangan ngomong! Nam-
paknya dia bukan orang sembarangan. Lihat pakaian
dan tubuhnya yang berotot," lelaki bertubuh tegap dan berkumis tebal
memperingatkan.
"Maksudmu, dia orang rimba persilatan?"
"Ya! Atau jangan-jangan dia yang disebut orang
Pendekar Gila?" gumam lelaki bertubuh tegap mencoba menebak
Sena yang tengah dibicarakan tampak tak
menggubris pembicaraan kedua orang itu. Dia masih
asyik menggaruk-garuk kepala dengan bibir cengar-
cengir. "Wah, bodohnya aku ini.... Kenapa aku tak bertanya?" tanyanya kepada
diri sendiri. Sena lalu melangkah untuk mendekati kedua
orang yang tengah berbincang-bincang itu. Dia masih
menggaruk-garuk kepala dengan wajah cengar-cengir
seperti orang tolol.
"Kisanak kalau boleh ku tahu, apakah yang ta-
di kalian bicarakan?" tanyanya setelah menjura hormat
Kedua orang yang di tanya kembali menge-
rutkan kening. Keduanya memandang lekat-lekat pe-
muda di depannya. Mereka merasa heran melihat ting-
kah pemuda tampan itu. Lagaknya seperti orang gila,
namun tampaknya mengerti tata krama. Tidak seperti
orang gila yang sering mereka lihat
Sena yang dipandangi begitu rupa, kembali
nyengir kuda. Tangannya kembali menggaruk-garuk
kepala. "Kisanak, benarkah Ki Yaksa Asti yang Kisanak maksud bertangan buntung?"
tanya Sena lagi, setelah melihat kedua lelaki itu hanya menatapnya.
Semakin tercengang kedua orang itu menden-
gar pertanyaan yang dilontarkan pemuda bertampang
gila di depannya. Dengan masih terheran-heran, salah seorang dari mereka
menjawab. "Benar. Kenapa?"
"Apakah yang tadi kudengar itu benar" Pergu-
ruan Cakar Sewu diobrak-abrik oleh orang?" tanya Se-na tanpa menjawab pertanyaan
kedua lelaki itu.
"Benar. Siapakah Kisanak" Ada hubungan apa
Kisanak dengan Ki Yaksa Asti dan Perguruan Cakar
Sewu?" tanya lelaki berpakaian longgar warna biru penuh selidik. Keningnya masih
berkerut, menandakan
keheranannya. "Ah, aku hanya temannya. Kalau memang be-
nar Ki Yaksa Asti mati, siapakah yang membunuh-
nya?" kembali Sena meminta ketegasan.
"Kami tak tahu pasti, sebab kami bukan orang
persilatan. Namun kami mendengar kalau pelakunya
dua orang, guru dan murid. Seorang nenek-nenek dan
seorang lagi terbungkus kain hitam dari ujung rambut hingga ujung kaki," jelas
lelaki berpakaian longgar warna biru.
Alis Sena terpaut. Hatinya bertanya-tanya. Sia-
pa mereka" Dari aliran apa mereka" Setelah mengga-
ruk kepala karena merasa tak mampu menjawab per-
tanyaan hatinya, Sena kembali bertanya,
"Maaf, Kisanak. Siapa nama mereka?"
"Si nenek bernama Dewi Bunga Iblis. Sedang-
kan yang lelaki terbungkus kain serba hitam menama-
kan dirinya Kumbang Hitam. Keduanya dari Jurang
Neraka," urai orang itu lagi, membuat Sena nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Terima kasih atas pemberitahuan mu. Permi-
si...!" ujar Sena sambil menjura hormat
Kemudian, pemuda itu berkelebat cepat me-
ninggalkan kedai. Gerakannya sangat luar biasa, hing-ga kedua orang itu bengong
dengan mata melotot
"Gila! Ilmu apakah yang digunakannya"!"
"Mungkinkah pemuda itu Pendekar Gila dari
Gua Setan?"
"Ya! Ilmunya sungguh hebat! Dalam sekejap dia
telah menghilang," sambung lelaki bertubuh kekar dan berkumis lebat
Kedua orang itu masih terkesima. Bahkan
orang-orang di dalam kedai pun turut terpaku me-
nyaksikan kecepatan gerak pemuda tadi. Kedai yang
semula tenang, kini riuh oleh pembicaraan tentang
pemuda bertampang gila itu.
"Siapakah pemuda gila tadi" Ilmunya sangat
tinggi," tanya pemilik kedai.
"Ya, ilmunya sangat tinggi! Hingga dalam seke-
jap dia telah menghilang," sambung orang yang duduk di sudut kedai.
"Mungkinkah dia yang disebut Pendekar Gila
dari Gua Setan," lelaki berbaju merah menyahuti.
"Pendekar Gila dari Gua Setan"!" pekik yang lain dengan mata membelalak kaget
mendengar julukan pemuda aneh itu.
"Mungkin! Bukankah tingkahnya memang se-
perti orang gila?" timpal yang lain.
"Syukurlah kalau pendekar itu masih ada. Se-
moga sepak terjang Kumbang Hitam dan Dewi Bunga
Iblis dapat dihentikan," harap orang-orang di kedai yang pada umumnya tidak
menyukai kejahatan.
*** Orang yang menjadi pembicaraan di kedai, seat
itu telah sampai di tempat yang dituju. Sena mema-
tung di dekat puing-puing bangunan Perguruan Cakar
Sewu. Hanya papan namanya saja yang tampak masih
utuh. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan
kening berkerut. Tatapan matanya kosong. Beberapa
kali pemuda itu menghela napas panjang. Lalu dari
mulutnya terdengar gumaman lirih.
"Ah, mengapa kejahatan seperti susul-
menyusul" Belum usai yang satu, datang yang lain.
Hyang Jagat Dewa Batara, sesungguhnya apa yang te-
lah terjadi?" keluhnya lirih. Kemudian, perlahan kakinya melangkah memasuki
pintu gerbang Perguruan
Cakar Sewu yang telah hancur.
Pendekar Gila mematung di dekat puing-puing
bangunan Perguruan Cakar Sewu.
Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan
kening berkerut. Tatapan matanya kosong.
"Ah, mengapa kejahatan seperti susul-
menyusul" Hyang Jagat Dewa Batara, sesungguhnya
apa yang telah terjadi?" keluhnya lirih.
Angin siang berhembus semilir, menerbangkan
debu-debu dan mengusik rumput kering. Pemuda itu
terus melangkah masuk. Dia tertegun dengan mata
memandang ke satu tumpukan puing bangunan per-
guruan. Saat Sena merenungkan nasib Ki Yaksa Asti,
tiba-tiba telinganya menangkap desiran angin dari belakang. Cepat-cepat tubuhnya
dibalikkan ke belakang.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat sebilah belati melesat cepat ke arahnya.
Swing! "Heaaa...!"
Sena melempar tubuh ke samping, mengelak-
kan serangan gelap itu. Dia berhasil. Pisau itu terus meluncur dan akhirnya
menancap di sebatang pohon.
Jlep! Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut
nyengir. Keningnya berkerut ketika melihat di gagang pisau itu terdapat selembar
daun lontar. Sepertinya
sebuah surat "Licik!" maki Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Pandangannya diedarkan ke
segenap penjuru.
Namun, dia tidak melihat seorang pun. "Hm, rupanya orang itu berilmu tinggi.
Tentunya ada maksud terten-tu pada diriku."
Setelah yakin kalau di sekitarnya sudah tidak
ada orang lain, Sena kemudian menghampiri pohon
yang tertancap pisau bersurat itu. Diamatinya pisau
itu dengan seksama. Bibir pemuda itu nyengir, se-
dangkan tangannya menepuk kening.
"Ah, hanya sebilah pisau biasa," gumamnya.
Lalu dicabutnya pisau itu dari pohon. Kembali
diamatinya benda itu. Sebilah pisau kecil yang sangat tajam. Dan ketika
tangannya memegang mata pisau,
tiba-tiba benda itu mengeluarkan asap berwarna ungu
kemerahan. "Racun...," bisik Sena masih tersenyum-
senyum. Pendekar Gila memang tidak takut terhadap ra-
cun. Karena tubuh telah kebal terhadap segala macam
racun, akibat Racun Kabut Ungu yang dihisapnya di
Gua Setan. Tanpa sepengetahuannya, orang yang bersem-
bunyi di balik bukit cadas terbelalak menyaksikan apa yang terjadi. Pemuda yang
bertingkah seperti orang gi-la itu ternyata tak apa-apa. Padahal racun yang di-
oleskan pada mata pisau bukan racun sembarangan.
Bahkan lebih ganas dari bisa ular laut sekalipun!
"Hah..."! Tidak salahkah penglihatanku"!"
Tanpa sadar mulut orang itu memekik hingga
membuat Pendekar Gila yang semula menyangka tak
ada orang, kini terkejut. Tubuhnya langsung berbalik, untuk menemukan asal suara
tadi. "Licik! Keluarlah kau dari persembunyianmu!"
seru Pendekar Gila setengah membentak. Kemudian
tangannya bergerak memutar. Dan dengan mengerah-
kan tenaga dalam, telapak tangannya diarahkan ke
bukit cadas, tempat asal suara itu
Selarik pukulan menderu keluar dari telapak
tangannya. Itulah pukulan 'Si Gila Melebur Gunung
Karang'. Orang yang bersembunyi di balik batu cadas
terkesiap. Dia hendak lari, namun pukulan jarak jauh yang dilancarkan pemuda
bertampang gila itu lebih
cepat menghantam bukit cadas tempatnya bersem-
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunyi Glarrr! "Aaa...!" pekik orang itu. Tubuhnya terlontar ke
atas, lalu jatuh dengan suara berdebum disertai erangan. Pendekar Gila segera
memburu ke arah orang
yang kini menggeliat-geliat kesakitan. Tangannya me-
megangi pinggang yang terasa patah. Pendekar Gila
tergelak-gelak, menggaruk-garuk kepala, serta menggeleng-gelengkannya.
"Ha ha ha...! Mengapa kau main lompat-
lompatan! Bukankah jatuhnya sakit?" ledeknya sambil terus terbahak-bahak.
Tingkah gila pendekar muda itu kumat lagi. Sementara tangan kanannya menggaruk-
garuk kepala, tangan kirinya menepuk-nepuk pantat.
Tubuhnya berjingkrak-jingkrak bagai seekor kera kegi-rangan. Lelaki bercelana
hitam sebatas lutut dan berte-lanjang dada itu masih mengerang-erang kesakitan.
Bibirnya meringis, sekan-akan hendak menangis.
Pendekar Gila makin tergelak-gelak. Tingkah gi-
lanya pun makin menjadi-jadi.
"He he he...! Lucu sekali kau, Sobat. Tadi kau
main sembunyi-sembunyian denganku. Tapi, mengapa
sekarang malah bermain lompat-lompatan?" celoteh Sena seenaknya, membuat orang
bertampang galak itu
mendelikkan mata.
Melihat orang itu melotot ke arahnya, timbul
niat iseng Sena untuk mempermainkan orang itu. Lalu
dengan menggoda kembali dia berkata,
"Sobat, rupanya kau belum puas melompat.
Baiklah, aku akan membantumu main lompat-
lompatan."
Usai berkata begitu, Pendekar Gila menghen-
takkan kakinya dengan tenaga dalam ke tanah di de-
kat tubuh lelaki itu. Tubuh orang itu seketika mencelat tinggi, disertai jeritan
ketakutan. "Tolong...! Ampun! Jangan...," ratapnya memo-hon, ketika tubuhnya menukik ke
bawah. Sementara
Pendekar Gila masih tertawa riuh rendah dengan tan-
gan menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Lucu-lucu sekali kau, Sobat!" seru Sena "Eh, eh.... Aduh!
Tolonglah aku...," ratap orang itu ketakutan ketika tubuhnya semakin dekat ke
tanah. Sudah terbayang di benaknya, bagaimana tubuh-
nya akan remuk jika membentur batu-batu cadas.
"Ha ha ha...! Kau semakin menyenangkan, So-
bat! Baiklah, aku akan membantumu."
Pendekar Gila lalu menggerakkan tangan ki-
rinya sedemikian rupa. Dan dari telapak tangan itu,
berhembus serangkum angin yang menahan tubuh
orang itu. Perlahan-lahan tubuh orang itu diturunkan, namun tak urung
menimbulkan, suara berdebum disertai erangan kesakitan.
"Aduh.... Pinggangku patah," ratap lelaki berwajah seram yang kini pucat pasi.
Tubuhnya meliuk-liuk menahan sakit
"Sobat, apa maksudmu menyerangku dari bela-
kang?" tanya Sena, setelah puas tertawa.
"Ti..., tidak. Aku tidak bermaksud menyerang-
mu. Sungguh!"
"Lalu, apa maumu?" tanya Sena.
"Aku..., aku hanya diperintah mengirim surat
padamu oleh seseorang," jawab lelaki itu ketakutan, menyaksikan mata Pendekar
Gila yang membesar seperti orang gila yang sedang marah.
"Siapa yang menyuruhmu?" bentak Sena.
"Di..., dia tak mengatakan namanya padaku"
"Bohong! Katakan, atau kau akan main lompat-
lompatan lagi!" ancam Pendekar Gila. Matanya sema-
kin melotot, bagikan hendak mencelat keluar. Wajah-
nya yang tampan, kini terlihat bengis.
"Ampun..., jangan...," ratap lelaki itu.
"Kalau begitu, katakanlah!"
"Dia berpakaian serba hitam. Bahkan seluruh
tubuhnya terbalut kain hi..."
Belum juga selesai orang itu berkata, tiba-tiba
beberapa pisau melesat ke arah mereka. Pendekar Gila terkejut dan dengan cepat
melompat mengelakkan serangan gelap itu.
"Licik! Heaaa...!"
Dengan menggunakan pukulan 'Inti Bayu', pi-
sau-pisau terbang itu dikembalikan ke penyerangnya
yang bersembunyi di semak-semak. Maka terdengar je-
rit kesakitan yang menyayat susul-menyusul. Sedang-
kan salah satu pisau luput dan menghunjam lelaki
yang di tanyai Pendekar Gila. Lelaki itu menjerit, meregang sesaat kemudian diam
tak bernyawa lagi.
Pendekar Gila tersentak. Matanya memandang
tubuh lelaki di dekatnya yang seketika membiru. Ter-
nyata pisau yang digunakan untuk menyerang telah
diolesi racun. "Benar-benar licik! Huh...!" dengus Sena.
Kemudian dengan cepat tubuh Pendekar gila
berkelebat cepat ke semak-semak tempat asal pisau-
pisau beracun tadi. Dia berusaha mencari seorang
yang masih hidup. Ternyata semuanya telah mati den-
gan tubuh membiru.
Pemuda tampan itu menggaruk-garuk kepala.
Matanya menyapu ke sekeliling untuk memastikan tak
ada lagi penyerang gelap. Setelah yakin tak ada, pe-
muda itu menghela napas. Ditinggalkannya tempat itu, kembali ke puing-puing
Perguruan Cakar Sewu.
Pendekar gila kembali menatap puing-puing re-
runtuhan bangunan. Setelah menghela napas dalam-
dalam, dia duduk di atas batu prasasti di bekas halaman Perguruan Cakar Sewu.
Dibukanya lipatan daun
lontar yang ada di gagang pisau, kemudian dibacanya.
Satu orang temanmu telah ku binasakan! Satu
persatu mereka akan menerima bagian! Dan kau yang terakhir! Setelah itu, aku
akan menjadi penguasa rimba persilatan!
Kumbang Hitam dari Neraka.
Pendekar Gila mengerutkan kening. Dicobanya
untuk menerka, siapa sesungguhnya Kumbang Hitam
dari Neraka itu. Dan mengapa dia membunuh tokoh-
tokoh tingkat atas aliran lurus" Dan siapa pula yang dimaksudkan dengan temanku"
Tanya Pendekar Gila
dalam hati. Tiba-tiba sepasang alisnya bertemu, seolah-olah
teringat sesuatu.
"Celaka! Mungkin Kumbang Hitam dari Neraka
adalah pemuda berwajah pucat yang tempo hari jatuh
ke dalam Jurang Neraka. Ah, tidak salah lagi.... Na-
manya mengingatkan aku pada jurang itu!"
Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Gila
melesat cepat meninggalkan tempat itu. Dia harus se-
gera menghubungi ketiga tokoh tua yang masih hidup!
8 Ki Panca Loreng, Ketua Perguruan Macan Lo-
reng malam itu nampak gelisah. Matanya sulit dipe-
jamkan. Pikirannya terus terusik berita kematian salah
seorang rekannya dari Perguruan Cakar Sewu. Hatinya
bertanya-tanya, siapakah sebenarnya pelaku pembu-
nuhan itu" Siapa orang yang menamakan dirinya
Kumbang Hitam yang tubuhnya dibalut oleh kain hi-
tam" "Kumbang Hitam.... Hm, siapa dia" Rasanya seumur hidup, baru kali ini aku
mendengar nama itu
di rimba persilatan. Menurut kabar, Kumbang Hitam
adalah murid Dewi Bunga Iblis. Tapi, bukankah Dewi
Bunga Iblis selama hidupnya tidak memiliki murid"
Kenapa pula wanita jahat yang telah menghilang pulu-
han tahun itu tiba-tiba muncul kembali?" gumam Ki Panca Loreng seakan bertanya
pada diri sendiri.
Lelaki tua itu tak habis pikir tentang Dewi Bun-
ga Iblis. Dia pernah dengar kalau wanita jahat yang berilmu tinggi itu pernah
malang-melintang di rimba persilatan. Tak ada yang dapat mengalahkannya, sampai
Pendekar Gila dari Gua Setan muncul, dan mampu
menundukkannya.
Sejak saat itu, nama Dewi Bunga Iblis bagai
menghilang dari dunia persilatan, terkubur bersama
kekalahannya atas Pendekar Gila dari Gua Setan. Ka-
lau sekarang dia muncul kembali, tidak dapat di-
bayangkan bagaimana tinggi ilmunya.
Ki Panca Loreng memegang dagunya seraya
menggelengkan kepala berulang kali. Kemudian dita-
riknya napas dalam-dalam.
"Ada apa, Kang Mas" Sudah malam begini kau
belum juga tidur?" tanya istrinya, cemas melihat suaminya belum juga tidur.
Ki Panca Loreng kembali menghela napas pan-
jang. Tubuhnya berbalik untuk memandang sang Istri
yang kini duduk sambil memandang suaminya. Di-
hampirinya sang Istri, kemudian dia duduk di sam-
pingnya. Wajahnya masih menggambarkan kecema-
san, membuat istrinya semakin tak mengerti.
"Kang Mas, apa ada masalah dalam pergu-
ruan?" "Tidak"
"Lalu, apa yang membuat Kakang begitu ce-
mas?" desak istrinya ingin tahu.
Ki Panca Loreng tak langsung menjawab. Kem-
bali dia menghela napas dalam-dalam, seolah dengan
berbuat seperti itu, segala ganjalan di hatinya dapat dienyahkan.
"Aku tak habis pikir, Diajeng. Bagaimana
mungkin Dewi Bunga Iblis yang telah menghilang pu-
luhan tahun silam, tiba-tiba muncul kembali" Bahkan
dengan muridnya yang berjuluk Kumbang Hitam dari
Neraka...."
Istrinya tersentak mendengar penuturan Ki
Panca Loreng. Matanya sedikit membelalak lalu mena-
tap suaminya lekat-lekat. Wanita itu seakan tak per-
caya pada ucapan suaminya tadi.
"Dewi Bunga Iblis"!" tanya wanita itu setengah mendesis ngeri mendengar nama
tokoh sesat itu di-ucapkan suaminya. Bahkan suaminya mengatakan ka-
lau tokoh sesat itu muncul kembali di rimba persila-
tan. "Ya," jawab Ki Panca Loreng singkat
"Apakah telah kau persiapkan murid-murid pi-
lihan untuk menghadapinya?"
Ki Panca Loreng menggelengkan kepala.
"Kenapa" Bukankah wanita itu adalah tokoh
sesat berilmu tinggi?"
"Tak perlu, Diajeng. Sebagai seorang ksatria,
seharusnya kita menghadapinya sendiri, tanpa harus
mengorbankan orang lain. Makanya, untuk sementara
semua murid-murid perguruan ini kuperintahkan un-
tuk pulang ke tempat masing-masing."
Baru saja ucapan Ki Panca Loreng selesai, dari
luar tiba-tiba terdengar seseorang berseru disertai tenaga dalam penuh.
"Bagus! Rupanya kau pun telah memper-
siapkan kematianmu, Panca Loreng...!"
Ki Panca Loreng dan istrinya tersentak men-
dengar seruan yang menggelegar laksana halilintar,
memecah kesunyian malam.
"Mereka telah datang," desis Ki Panca Loreng.
Lalu, orang tua berpakaian rompi kulit macam itu berkelebat keluar, diikuti
istrinya yang juga seorang pendekar. Di halaman yang biasanya dipakai murid-
murid Perguruan Macan Loreng berlatih, berdiri dua sosok
manusia berpakaian serba hitam. Seorang nenek
bungkuk, didampingi lelaki yang sekujur tubuhnya
terbungkus kain hitam. Hanya matanya yang nampak
menyorot tajam. Keduanya tergelak-gelak melihat
orang yang diincar telah keluar bersama istrinya.
Ki Panca Loreng menatap tajam pada dua orang
tamu tak diundang itu, berusaha mengenali mereka.
Yang seorang memang jelas terlihat wajahnya. Ten-
tunya nenek itu yang berjuluk Dewi Bunga Iblis. Se-
dangkan yang lelaki tentunya yang menamakan di-
rinya Kumbang Hitam. Tapi, bagaimana mungkin Ki
Panca Loreng dapat mengenali lelaki itu, kalau wajahnya saja tertutup rapat"
"Kisanak dan Nisanak, ada maksud apa kalian
datang ke Perguruan Macan Loreng" Aku rasa, antara
kita tak ada silang sengketa," sambut Ki Panca Loreng, berusaha tenang sambil
menatap kedua tamunya
Kedua orang berpakaian hitam itu tertawa ter-
bahak-bahak mendengar pertanyaan yang dilontarkan
Ki Panca Loreng. Malah lelaki yang terbalut kain hitam dengan sinis dan sombong
berkata, "Panca Loreng, kami datang untuk mencabut
nyawamu seperti si Cakar Seribu! Bersiaplah untuk
mati...!" Usai berkata begitu, lelaki yang menamakan dirinya Kumbang Hitam dari
Neraka menggebrak dengan
satu serangan ke arah Ki Panca Loreng. Sedangkan
Dewi Bunga Iblis berkelebat untuk menyerang istri Ketua Perguruan Macan Loreng
"Heaaat..!"
Melihat lawan telah merangsek dengan ganas,
Ki Panca Loreng segera membuka jurusnya untuk
mengimbangi. Dari mulutnya keluar auman keras.
Tangannya membentuk cakar. Sedangkan matanya
merah, penuh amarah.
"Arrrgh...!"
Tangan Ki Panca Loreng yang membentuk ca-
kar macan, bergerak membeset ke depan. Sedangkan
kakinya menendang dengan cepat. Cakaran-cakaran
tangan orang tua itu susul-menyusul, seakan tiada
henti. Pertama ke wajah, kemudian ke dada, lalu ka-
kinya menendang ke arah selangkangan lawan.
Serangan Ki Panca Loreng yang mematikan itu
tidak membuat gentar Kumbang Hitam. Lelaki terbalut
kain hitam itu dengan cepat berkelit. Kedua kakinya
ditarik ke samping agak melebar, kemudian ditekuk
merendah. Tangannya terbuka, laksana kepakan
elang. Hal itu menjadikan Ki Panca Loreng tersentak.
Dia mengenali jurus yang dibuka lawan.
"Kau..."!"
"Ya, aku! Rupanya aku masih diberi umur pan-
jang untuk membuat perhitungan denganmu, sekali-
gus mencabut nyawa tuamu! Heaaat..!"
Kumbang Hitam meneruskan serangannya.
Tangannya yang mengepak, kini bergerak susul-
menyusul secara bertubi-tubi. Kalau tangan kanan
memukul, tangan kiri membuat perisai. Begitu juga
sebaliknya. Sedangkan kakinya menyapu ke arah kaki
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan. Itu-lah jurus 'Gagak Hitam Menyambar Bang-
kai'. "Iblis durjana! Rupanya kau belum mampus!
Kali ini kau harus benar-benar mampus! Yeaaat..!"
Ki Panca Loreng yang sangat terkejut menyak-
sikan jurus pembuka lawan, dengan penuh amarah
kembali menyerang. Dikeluarkannya jurus 'Macan Lo-
reng Mengintai Menerkam Mangsa'. Kakinya melang-
kah beraturan dengan menjejak satu persatu. Sedang-
kan sepasang tangannya berganti melakukan seran-
gan. Tangan kiri maju menyerang muka. Disusul tan-
gan kanan menyodok perut lawan.
"Heaaa...!"
"Yiaaa...!"
Dengan jurus-jurus andalan, keduanya terus
berkelebat bertukar serangan untuk dapat menjatuh-
kan satu sama lain. Namun dilihat dari keadaannya, Ki Panca Loreng berada dalam
kesulitan. Dia kini terdesak hebat. Bahkan serangan-serangan yang dilancar-
kan kelihatan mentah, selalu dapat dipatahkan lawan.
"Terimalah kematianmu sekarang, Panca Lo-
reng! Hiaaat...!"
Dengan menggunakan jurus 'Kumbang Hitam
Menyengat', lelaki terbalut kain hitam itu kembali menyerang. Tangan dan kakinya
kelihatan mengejang,
menandakan betapa besar tenaganya.
Ki Panca Loreng yang tidak mau mati sia-sia,
dengan nekat memapaki serangan lawan. Tangannya
yang membentuk cakar macan dialiri tenaga dalam se-
penuhnya. Kemudian disertai pekikan keras, orang tua itu berkelebat untuk
memapaki serangan lawan.
"Heaaa...!"
Tanpa dapat dihindari, dua lelaki yang telah
melesat ke udara itu harus mengadu kekuatan tenaga
dalam masing-masing. Tangan dan kaki keduanya ber-
gerak cepat. Memukul dan menendang. Kemudian ter-
dengar ledakan keras, manakala kedua tangan mereka
saling beradu. Blarrr! "Ugkh...!"
Ki Panca Loreng mengeluh tertahan. Tubuhnya
terlontar ke belakang tiga tombak dan jatuh berlutut.
Dari mulutnya keluar darah segar.
Mata Ki Panca Loreng membeliak, sebelum tu-
buhnya terkulai.
Sementara, Kumbang Hitam mampu menjejak-
kan kakinya di atas tanah. Sesaat tubuhnya terhuyung ke belakang, dengan darah
meleleh di sela bibirnya.
Hingga merembes ke kain hitam penutup wajah.
Sesaat Kumbang Hitam menatap lawannya
yang tak bernyawa. Kemudian kakinya melangkah ter-
tatih mendekati Dewi Bunga iblis yang tengah berta-
rung dengan istri Ki Panca Loreng. Pendekar wanita
yang usianya sudah tidak muda lagi itu tampaknya tak kenal menyerah. Bahkan
serangan-serangannya cukup
merepotkan Dewi Bunga Iblis.
"Guru, cepat selesaikan! Tak ada waktu untuk
kita berlama-lama di sini!" sera Kumbang Hitam.
Mendengar seruan muridnya, Dewi Bunga Iblis
segera mempercepat serangan. Kini nampaklah kesak-
tian yang sesungguhnya. Belum lagi istri Ki Panca Loreng sempat bernapas lega
didera serangan beruntun
itu, tiba-tiba tangan Dewi Bunga Iblis bergerak cepat, menaburkan beberapa
tangkai bunga ke arah lawan
yang terkejut "Celaka!" pekik istri Ki Panca Loreng kaget melihat bunga berwarna hitam melesat
cepat ke arahnya.
"Bunga Racun Iblis...!"
"Hik hik hik...! Mampuslah kau...!"
Saat istri Ki Panca Loreng kerepotan mengelak-
kan senjata rahasia itu, dengan licik Dewi Bunga Iblis menghantamkan pukulan
saktinya. Hingga tak pelak
lagi, pukulan dahsyat itu pun mendarat telak di tu-
buhnya. Degk! "Aaa...!"
Tubuh wanita istri Ketua Perguruan Macan Lo-
reng itu terhuyung-huyung dengan darah tersembur
dari mulutnya. Matanya mendelik, memandang penuh
kebengisan. "Kau..!"
Hanya itu yang keluar dari mulutnya, sebelum
tubuhnya ambruk mencium tanah.
Murid dan guru dari Jurang Neraka itu tertawa
terbahak-bahak menyaksikan kematian suami istri da-
ri Perguruan Macan Loreng. Lalu dengan masih terta-
wa, keduanya berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu. *** Selang beberapa waktu, nampak seorang pe-
muda tampan berambut gondrong dengan pakaian
rompi kulit ular berkelebat ke arah tempat itu. Pemuda yang tidak lain Pendekar
Gila, seketika tertegun menyaksikan dua tubuh tergeletak di halaman pergu-
ruan. Seorang lelaki berpakaian rompi harimau. Se-
dangkan yang satunya seorang wanita berkebaya den-
gan kain di atas lutut mengenakan celana kulit macan pula. "Terlambat! Aku
terlambat..!" keluh Sena Manggala sambil menggaruk-garuk kepala. Dia memang ter-
lambat datang, hingga tidak dapat membantu Ki Panca
Loreng. "Rupanya Kumbang Hitam sungguh-sungguh
dengan ancamannya."
Pemuda bertingkah laku dan bertampang se-
perti orang gila itu mendekati tubuh Ki Panca Loreng.
Dirabanya tubuh lelaki tua itu. Masih hangat. Berarti belum mati. Kemudian Sena
menekan denyut nadinya,
untuk memastikan dugaannya itu.
"Ah, memang masih hidup!" serunya.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sesaat
Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, dis-
alurkannya hawa murni ke tubuh Ketua Perguruan
Macan Loreng itu.
"Uuuh...!"
Terdengar keluhan lirih dari mulut Ki Panca Lo-
reng, setelah beberapa saat Sena menyalurkan hawa
murni. Sena menghentikan penyaluran hawa mur-
ninya. Dibalikkannya tubuh Ki Panca Loreng. Nampak
bekas pukulan menghitam di dada lelaki tua itu.
"Ki, apa yang telah terjadi...?" tanya Sena.
"Kaukah...?" lemah suara Ki Panca Loreng bertanya. Matanya perlahan-lahan
membuka. Kemudian
dari mulutnya keluar muntahan darah menghitam.
"Hoeeek...!"
"Benar. Aku, Ki... Aku Pendekar Gila," sahut Sena sambil membantu meringankan
rasa sakit yang
diderita Ki Panca Loreng dengan menotok dan mengu-
rut beberapa jalan darah di tubuh Ketua Perguruan
Macan Loreng itu.
"Dia..., dia telah datang. Dia..., pemuda..., berwajah pucat itu telah kembali
dengan guru..., nya...."
"Jadi, Kumbang Hitam adalah pemuda berwa-
jah pucat itu, Ki?" tanya Pendekar Gila berusaha memastikan. Wajahnya nampak
tegang. Sedangkan ma-
tanya menatap penuh harap agar orang tua itu dapat
menceritakan semuanya. "Katakanlah, Ki. Siapakah gurunya itu?"
"Dewi..., Dewi Bunga Iblis.... Seorang tokoh wanita sesat yang pernah malang-
melintang di dunia persilatan. Akh... Aku..., aku tak kuat. Selamatkan..., se-
lamatkan kedua sahabatku.... Tentunya mereka ke sa-
na.... Ohhh...!"
Kepala Ki Panca Loreng terkulai. Ketua Pergu-
ruan Macan Loreng akhirnya mati setelah mencerita-
kan siapa sesungguhnya Kumbang Hitam dan gu-
runya. Sena sesaat tercenung. Namun tangannya tak
henti-hentinya menggaruk kepala. Setelah lama mena-
tap mayat Ki Panca Loreng, pemuda itu menghela na-
pasnya. "Ke mana dulu aku harus pergi?" tanyanya kebingungan sambil menggaruk-
garuk kepala. Lalu tiba-
tiba tangannya menepuk kening seraya bergumam,
"Ah, kenapa aku bodoh"! Kalau benar Kumbang Hitam itu pemuda berwajah pucat,
tentunya dia kini ke Padepokan Cakra Geni. Celaka! Aku harus ke sana!"
Setelah kembali memandang mayat Ki Panca
Loreng dan istrinya, dengan cepat Sena berkelebat meninggalkan tempat itu. Namun
sebelum pergi, dia sem-
pat bergumam lirih yang ditujukan pada mayat kedua
orang Perguruan Macan Loreng.
"Semoga kalian tenang di alam sana! Maaf, aku
tak dapat menolong kalian...."
*** Apa yang diduga Pendekar Gila ternyata benar.
Setelah melakukan penyerangan di Perguruan Macan
Loreng, guru dan murid dari Jurang Neraka itu kini
melakukan penyerbuan ke Padepokan Cakra Geni.
Saat itu, di Padepokan Cakra Geni tengah ber-
langsung pertarungan yang sengit Murid-murid Pade-
pokan Cakra Geni yang telah dipersiapkan Ki Wirapati untuk menghadapi segala
kemungkinan yang terjadi,
dengan gigih dan gagah berani berusaha menghalau
kedua penyerang.
Namun rupanya, guru dan murid dari Jurang
Neraka itu bukanlah tandingan mereka. Terbukti mu-
rid-murid dari Padepokan Cakra Geni telah banyak
yang menjadi korban amukan kedua orang itu.
"Serang terus...!" seru Ki Wirapati yang terus menyerang Dewi Bunga Iblis.
Suciati tidak terlihat di sana. Mungkin gadis itu sengaja disembunyikan Ki
Wirapati. Ki Wirapati yang telah maklum siapa lawannya,
kini tidak mau tanggung-tanggung menyerang. Seperti
halnya Ki Panca Loreng yang kini telah tewas, Ki Wirapati cukup tahu banyak
tentang Dewi Bunga Iblis. Itu sebabnya, dia sangat hati-hati dalam melakukan
serangan. Pertama, mengingat lawan yang tengah diha-
dapinya tokoh sakti yang berilmu beberapa tingkat di atasnya. Dan kedua, dia
menyadari kalau wanita itu
lebih berpengalaman di rimba persilatan.
Ki Wirapati tak mau mati konyol begitu saja ka-
rena ragu pada kemampuannya menghadapi Dewi
Bunga Iblis. Dia pun meneguhkan hati untuk terus be-
rusaha melancarkan serangan.
"Hiaaa...!"
Ki Wirapati melancarkan tendangan pancingan
ke dada lawan yang membungkuk. Tapi dengan cepat
serangan itu dielakkan Dewi Bunga Iblis dengan meng-
geser kaki ke samping. Kemudian wanita tua itu balik melancarkan serangan dengan
tangan kanan. Disusul
kibasan tangan kirinya.
Ki Wirapati menarik tendangannya, lalu dengan
cepat mengganti dengan pukulan tangan kanannya.
Sedangkan tangan kirinya menyapu ke atas, berusaha
menangkis serangan lawan.
"Heaaa...!"
"Hik hik hik...! Inikah murid Wiasa"!" ejek Dewi Bunga Iblis, membuat Ki
Wirapati tersentak kaget manakala nama gurunya disebut wanita tua itu. "Sungguh
tak berguna kau menjadi murid Wiasa!"
"Sombong! Dari mana kau tahu nama guru-
ku"!" bentak Ki Wirapati marah, karena dihina begitu rupa oleh Dewi Bunga Iblis.
Serangannya dipergencar.
Pukulan-pukulan 'Seribu Guntur' dilipatgandakan.
Namun si nenek masih terkikik sambil berkelit dari serangan itu
"Hik hik hik... Bukan hanya nama gurumu
yang aku tahu. Bahkan semua ilmunya aku paham!
Hik hik hik..! Mana Cakra Geni warisan gurumu itu,
heh"!" Semakin bertambah marah saja Ki Wirapati dihina begitu rupa. Serangan
orang tua itu mulai mem-
babi buta, sampai akhirnya tak terkontrol lagi. Padahal itu sangat berbahaya
bagi dirinya. "Jangan sombong, Nenek Iblis! Heaaa...!"
"Percuma kau melawanku! Gurumu kalau ma-
sih hidup tak akan mampu menandingi ku! Hiaaa...!"
Dewi Bunga Iblis mengibaskan tangannya den-
gan cepat. Dan dari kibasan tangan itu, berdesing
bunga-bunga hitam yang melesat ke arah Ki Wirapati.
"Bunga Racun Iblis...! Celaka...!"
Ki Wirapati terkesiap. Dia tidak menduga kalau
nenek itu akan mengeluarkan senjata rahasianya yang
terkenal maut itu. Cepat-cepat tubuhnya dibuang ke
samping untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian
dengan cepat tangannya mengambil sesuatu dari balik
rompinya. Sebuah benda bulat bergerigi kini tergeng-
gam di tangannya. Kemudian segera dilemparkannya
ke arah bunga-bunga hitam yang tengah meluncur de-
ras. Swing...! Benda bulat bergerigi yang mengeluarkan api
itu adalah Cakra Geni. Sebuah senjata pusaka warisan gurunya, Wiasa.
Senjata itu melesat cepat, membabati bunga-
bunga hitam yang hendak menyerang Ki Wirapati,
hingga bunga-bunga itu berguguran dengan menim-
bulkan suara berdesing.
Tring! Dewi Bunga Iblis terkekeh melihat lawan telah
mengeluarkan senjata pusakanya. Sepertinya, perem-
puan tua itu tidak gentar sedikit pun terhadap Cakra Geni milik lawan.
"Senjata butut itu tak ada gunanya bagiku!"
ejeknya meremehkan.
Usai berkata begitu, tubuh Dewi Bunga Iblis
melenting hingga berada di atas Cakra Geni. Lalu dengan cepat kakinya mendarat
di atas senjata lawan yang langsung berhenti.
Mata Ki Wirapati melotot menyaksikan kejadian
itu. Selama ini, tak pernah ada orang yang mampu
menghentikan Cakra Geni miliknya. Namun perem-
puan tua itu ternyata menghentikannya dengan mu-
dah. Bahkan berdiri di atas senjata itu sambil tertawa terkekeh.
9 Di sisi lain, terjadi pertarungan tidak seimbang
antara murid-murid Padepokan Cakra Geni melawan
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kumbang Hitam dari Neraka. Murid-murid Padepokan
Cakra Geni bagai tak berarti menghadapi lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam
itu. Korban telah banyak
berjatuhan. Namun demikian, semangat sisa murid
padepokan seperti tak padam begitu saja. Bahkan se-
rangan mereka semakin bertambah garang.
"Percuma kalian membuang nyawa! Lebih baik
kalian menyingkir, jangan sampai aku membunuh ka-
lian semua!" bentak Kumbang Hitam, berusaha menakut-nakuti sisa murid Padepokan
Cakra Geni. "Jangan harap kami akan menyerah, Iblis!" sahut salah seorang murid utama. "Demi
kebenaran dan keadilan kami rela berkorban, meski harus mati!"
"Rupanya kalian benar-benar mencari mati!
Baik! Jangan salahkan aku bila kalian pindah ke nera-ka!" bentak Kumbang Hitam
seraya melancarkan serangan dengan menggunakan jurus 'Gagak Hitam
Mengepak Sayap'.
Tangannya terentang ke samping, lalu dengan
cepat bergerak memutar ke depan membantu tusukan
lurus. Disusul oleh tendangan ke depan.
"Jangan banyak mulut, Iblis! Gempur dia...!"
"Hiaaa...!"
Sisa murid Padepokan Cakra Geni yang masih
hidup, kembali menyerbu dengan berani Dengan ilmu
beberapa tingkat di bawah lawan, kesepuluh sisa mu-
rid padepokan berusaha merangsek lawan.
Pertarungan antara Kumbang Hitam melawan
murid-murid Padepokan Cakra Geni kembali berjalan
seru. Kesepuluh murid-murid padepokan itu dengan
gigih dan berani terus menyerang. Namun lawan yang
mereka hadapi bukan lawan sembarangan. Yang me-
reka hadapi seorang berilmu tinggi yang setaraf dengan guru mereka.
"Kalian benar-benar mencari mampus!
Heaaa...!"
Kumbang Hitam mengepakkan tangannya un-
tuk menyerang. Kedua tangannya membentuk sayap
lurus, kemudian dengan cepat diputar ke depan dan
menghentak lawan. Sedangkan kakinya bergerak me-
nendang dengan cepat ke samping dan ke belakang.
Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, terdengar
pekikan memecah udara. Disusul oleh ambruknya tu-
buh lawan. Dua orang lawan jatuh. Mulut mereka meleleh-
kan darah. Namun hal itu tidak membuat yang lainnya
gentar. Bahkan kembali terdengar seruan lantang.
"Serang terus...!"
"Heaaa...!"
Sisa murid Padepokan Cakra Geni kembali me-
rangsek. Namun Kumbang Hitam yang sudah tak sa-
bar untuk secepatnya menghabisi pengeroyoknya, me-
nyambuti dengan serangan cepat Jurus-jurus pa-
mungkas yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan, ki-
ni digunakannya.
Gerakan tangan dan kaki Kumbang Hitam se-
makin cepat. Tangannya mengepak, mematuk dan me-
nyambar ke sana kemari dengan keras dan ganas. Se-
dangkan kedua kakinya menendang, menyepak dan
mendupak tak kalah keras dan cepat. Sebuah gerakan
yang membuat para pengeroyoknya terkejut, tak me-
nyangka akan menghadapi jurus aneh dan dahsyat itu.
"Hiaaat..!"
"Heaaa...!"
Kumbang Hitam terus bergerak dengan cepat.
Kedua tangannya yang mengepak, mematuk, dan me-
nyambar terus menebas ke arah lawan-lawannya. Ka-
kinya pun tak tinggal diam, bergerak lincah dengan
tendangan mematikan.
Mau tak mau, para pengeroyoknya harus ber-
susah payah berkelit, kalau tidak ingin nyawa mereka melayang. Kini bukannya
mereka yang mendesak
Kumbang Hitam. Keadaannya justru berubah. Mereka-
lah yang terdesak.
Kumbang Hitam yang ingin segera menghabisi
lawannya, Wan bertambah beringas. Setiap sabetan,
pukulan dan kepakan tangan dan kakinya, menimbul-
kan jeritan kematian yang menyayat. Disusul oleh am-
bruknya tubuh korban dengan mulut memuntahkan
darah. Satu persatu lawan dibabat Sampai akhirnya
tak tersisa lagi.
"Ha ha ha...! Semua telah beres, Guru! Menga-
pa kau masih membiarkan tikus tua itu hidup?" celoteh Kumbang Hitam dengan mata
angkuh memandang
tubuh Ki Wirapati yang berusaha mengelakkan seran-
gan Dewi Bunga Iblis.
"Hik hik hik..," Dewi Bunga Iblis tertawa. "Kau lakukanlah keinginanmu. Aku
yakin, gadis itu berada
di dalam. Biar aku main-main sebentar dengannya."
"Baiklah kalau memang itu keinginanmu."
Usai berkata begitu, tubuh Kumbang Hitam se-
gera berkelebat masuk ke bangunan yang digunakan
untuk tempat tinggal. Dicarinya Suciati di setiap kamar, Nampaknya Kumbang Hitam
sudah tak sabar in-
gin segera menikmati kehangatan tubuh gadis itu,
yang selama ini ditahannya. Bahkan dia telah mem-
bayar mahal untuk itu. Mukanya hancur, sampai ha-
rus ditutup kain hitam.
Lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam itu te-
rus mencari Suciati. Dia benar-benar tak sabar. Dan
gejolak keinginannya itu dilampiaskan dengan mendo-
brak pintu-pintu kamar yang tertutup rapat
"Di mana dia...," geram Kumbang Hitam semakin tak sabar. Bayangan tubuh Suciati
yang pernah di-intipnya ketika tengah mandi saat masih di Kadipaten Tegal Arang,
kembali menghiasi pikirannya Membangkitkan nafsu birahi yang melonjak-lonjak
liar. Semua kamar telah dijelajahinya, namun gadis
itu belum juga ditemukannya. Tentunya di salah satu
kamar itulah Suciati berada, pikir Truna.
Kumbang Hitam menyeringai. Perlahan kakinya
melangkah menghampiri pintu kamar yang tak tertu-
tup di samping kanannya.
"Hm, tentunya di kamar ini dia disembunyi-
kan," gumannya perlahan.
Dengan langkah halus, lelaki terselubung kain
hitam itu mendekati pintu kamar. Didorongnya pintu
tersebut perlahan-lahan.
"Hiaaat..!"
Berbareng dengan terbukanya pintu, sebilah
pedang tiba-tiba menyerang ke arahnya. Beruntung
Kumbang Hitam cepat berkelit. Kalau tidak, kepalanya tentu akan terbelah oleh
pedang yang ada di tangan
Suciati. "Hiat..!"
Gadis cantik berbaju hijau itu terus menyerang
dengan tusukan-tusukan pedangnya. Namun karena
ilmu silat yang dipelajari selama di padepokan itu belum seberapa, serangannya
tidak membahayakan bagi
Kumbang Hitam. Bahkan sambil tertawa Kumbang Hi-
tam mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan
Suciati. Gerakannya seperti hendak menggoda gadis
yang sedang kalap itu.
Suciati terus menyerang dengan gerakan tak te-
ratur, meski dia belum tahu siapa lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam itu.
Namun dari caranya masuk ke kamar itu, dia sudah dapat menduga kalau orang itu
tidak bermaksud baik.
Menghadapi serangan pedang Suciati, Kum-
bang Hitam berkelit sambil tertawa-tawa. Tangannya
sesekali berbuat nakal pada tubuh gadis itu sehingga membuat Suciati bertambah
kalap. "Kurang ajar! Kubunuh kau! Heaaa...!" maki Suciati yang merasa dipermainkan.
Serangan Suciati kian membabi buta. Hal itu
membuat Kumbang Hitam dapat membaca gerakan-
nya. Ketika gadis itu membabatkan pedang ke arah
kanan, Kumbang Hitam menggeser kakinya ke bela-
kang dan bergerak ke kiri.
"Percuma saja kau melawanku, Cah Ayu... Le-
bih baik kau menurut saja apa yang kuinginkan," bu-juk Kumbang Hitam sambil
bergerak mengelakkan ba-
batan-babatan pedang lawan. Sesekali tangannya
kembali nakal menjamah tubuh Suciati.
"Cuhhh...! Lebih baik aku mati, ketimbang me-
nuruti kata-katamu! Heaaat..!"
Dengan membabi buta, Suciati kembali mela-
kukan serangan. Pedang di tangannya bergerak tak be-
raturan, membabat ke segenap penjuru.
"Kau benar-benar nekat, Cah Ayu...!"
Sambil berkata begitu, tubuh Kumbang Hitam
melenting ke udara. Kemudian dengan bersalto, jarinya menotok jalan darah
Suciati. Tukkk! "Akh...!"
Tubuh Suciati yang hendak kembali menye-
rang, seketika menjadi kaku laksana patung kayu.
"Laki-laki laknat! Bunuh saja aku! Lepaskan to-
tokanmu, dan kita bertarung sampai mati...!"
Kumbang Hitam tergelak-gelak mendengar tan-
tangan Suciati. Dengan pandangan penuh nafsu, dide-
katinya tubuh Suciati yang tak bergeming. Kemudian
mengangkatnya. "Lepaskan...! Lepaskan totokanmu, Keparat..!"
maki Suciati penuh kebencian.
Kumbang Hitam tidak peduli. Dengan tertawa-
tawa diletakkannya tubuh Suciati ke atas tempat tidur.
Matanya memandang penuh api nafsu. Kemudian den-
gan buas, tangannya merenggut pakaian gadis itu.
Breeet! "Auh...!" pekik Suciati.
Kemesuman hampir saja terjadi, kalau tidak
terdengar suara hentakan keras tiba-tiba. "Bajingan...!
Keluar kau...!"
*** "Kurang ajar! Siapa yang berani lancang kepa-
daku"!" maki Kumbang Hitam seraya berkelebat meninggalkan calon korbannya.
Sesampainya di luar, Kumbang Hitam terkejut
bukan kepalang. Gurunya tengah dikeroyok dua orang.
Sedangkan di depannya, berdiri seorang pemuda yang
telah dikenalnya. Pemuda itu tidak lain Pendekar Gila.
Yang tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Pendekar Gila tertawa melihat Kumbang Hitam
keluar dari dalam. Kemudian dengan masih mengga-
ruk-garuk kepala, dia mengejek,
"Rupanya kau kumbang busuk yang suka me-
rusak kehormatan gadis-gadis itu" Ha ha ha...! Men-
gapa mukamu ditutup, Sobat"! Apa kau malu menun-
jukkan tampang burukmu"!"
Murkalah Kumbang Hitam mendengar ejekan
yang keluar dari mulut Pendekar Gila. Terlebih melihat tingkah laku menyebalkan
pemuda gila itu.
"Pemuda gila! Tak percuma aku mencarimu!
Akhirnya kau datang sendiri untuk mengantar nyawa!"
dengus Kumbang Hitam penuh geram.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menden-
gar ucapan Kumbang Hitam. Tangan kanannya meng-
garuk-garuk kepala. Sedangkan yang kiri menepuk-
nepuk pantat "Aha.... Rupanya nyawaku sangat berharga ba-
gimu, Kumbang Busuk! Ah ah ah. Sungguh beruntung
aku yang bodoh dan hina ini memiliki nyawa yang
sangat berharga. Karena nyawaku berharga, kukira
aku akan berusaha mempertahankan dari tangan bu-
sukmu itu!" ujar Pendekar Gila.
"Bedebah! Akan kubuktikan kalau tanganku
akan mencabut nyawamu dengan mudah! Heaaa...!"
Dengan amarah meledak-ledak, tubuh Kum-
bang Hiram melesat untuk melabrak Pendekar Gila.
Tangannya mengembang, membuat gerakan 'Sayap
Kumbang Melebar'. Kemudian digerakkan memutar ke
depan, membentuk sebuah perisai dari pukulan. Se-
dangkan kakinya, nampak menyilang agak direndah-
kan "Hiaaat..!"
Melihat serangan yang dilancarkan lawan, Pen-
dekar Gila segera membuka jurus 'Si Gila Menari Me-
nepuk Lalat', sebuah jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila' yang dahsyat. Gerakan
tubuhnya terlihat lemah gemulai
laksana menari, disertai tepukan-tepukan tangan.
Jika diperhatikan, jurus yang dilakukan Pen-
dekar Gila hanya gerakan main-main. Namun, sesung-
guhnya gerakan itu sangat berbahaya.
Melihat gerakan lawan seperti itu, Kumbang Hi-
tam merasa yakin akan dapat menerobos pertahanan
lawan dengan jurus barunya. Tangannya yang berge-
rak membuat suatu kepakan dan pukulan, menyerang
Pendekar Gila. "Hiat!"
Pendekar Gila cepat berkelit dengan cara memi-
ringkan tubuh ke samping. Gerakan mengelitnya pun
seperti menari. Tubuhnya lentur dan lemas. Jika dilihat sekilas, nampak tak ada
tenaga yang dikeluarkan-
nya. Lalu disusul oleh tepukan tangan ke arah dada
lawan. Kumbang Hitam tersentak kaget ketika seran-
gannya dapat digagalkan lawan. Bahkan tepukan tan-
gan Pendekar Gila kini mengancamnya. Cepat-cepat
Kumbang Hitam melangkah ke belakang dua tindak,
lalu kembali tangannya digerakkan ke atas dengan ja-
ri-jari mengepal. Setelah itu, dengan cepat tangan kirinya membentuk siku
sebagai tameng. Sedangkan
tangan kanannya mengarah lurus ke dada lawan.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila menarik serangan. Tubuh surut
setindak ke belakang. Tubuhnya dibuang ke samping,
kemudian dengan cepat kakinya ditarik ke samping
dengan sedikit menekuk. Tangannya saling menyang-
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gah. Tangan kanan berada di atas tangan kiri, kemu-
dian dihempaskan ke depan untuk menyerang lawan.
Tap! Satu tangan mereka saling berpegangan. Se-
dangkan tangan yang lainnya kini bergerak cepat sal-
ing menyerang dan menangkis. Sebuah permainan
yang sulit dilakukan oleh orang persilatan biasa. Dengan satu tangan sating
berkait, mereka terus bertukar serangan.
Bukan hanya tangan mereka yang bergerak me-
lakukan serangan. Kaki mereka pun turut bergerak,
berusaha saling mengait dan menjatuhkan lawan.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Keduanya saling dorong, berusaha untuk men-
daratkan pukulan dan sapuan kaki. Kejadian itu ber-
langsung cukup lama. Sampai akhirnya keduanya sal-
ing mendorong dengan keras. Tubuh mereka terlontar
ke belakang, bersalto di udara dan kembali menjejak di tanah. Sesaat mata
keduanya saling pandang. Kemudian, didahului pekikan melengking tinggi, keduanya
kembali melesat dengan jurus-jurus baru.
"Heaaat..!"
Saat itu Ki Wirapati tengah kerepotan mengha-
dapi gempuran yang dilancarkan Dewi Bunga Iblis. Dia dalam keadaan terdesak,
ketika tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki berseru,
"Ki Wirapati, aku datang membantumu!"
Nampak seorang lelaki tua berpakaian mirip re-
si dengan tangan menggenggam tombak pendek ber-
mata dua, berlari menuju tempat itu. Kemudian lelaki tua yang tidak lain Ki
Tunggal Manik itu langsung
menggebrak untuk membantu temannya.
"Terima kasih," desis Ki Wirapati, merasa lega dengan kedatangan Ki Tunggal
Manik. Dengan ban-tuan Ketua Perguruan Teratai Putih itu, paling tidak dia tidak
lagi terlalu kerepotan menghadapi Dewi Bunga Iblis. "Heaaat..!"
Dewi Bunga Iblis kembali menggebrak, berusa-
ha mematahkan serangan yang dilancarkan lawannya
yang kini berjumlah dua orang. Tangannya bergerak
cepat menangkis dan menampar ke arah lawan. Se-
dangkan kedua kakinya terus menyapu ke arah kaki,
atau sesekali menendang ke dada lawan-lawannya.
Melihat serangan cepat dilancarkan oleh Dewi
Bunga Iblis, kedua lelaki itu dengan cepat pula berkelit. Kemudian dengan cepat
pula mereka menyerang
bersamaan. Ki Tunggal Manik menyerang bagian perut pe-
rempuan tua itu. Tangannya memukul, menotok dan
menepis setiap gerakan kaki lawan. Sedangkan Ki Wi-
rapati yang terluka dalam, kini mengarahkan seran-
gannya pada bagian atas. Tangannya yang kanan me-
mukul, sedangkan yang kiri membentuk tameng untuk
menangkis serangan lawan.
Serangan keduanya datang dari arah yang ber-
lawanan. Satu dari sisi kiri, sedangkan yang satunya dari sisi kanan. Namun
begitu, Dewi Bunga Iblis bukanlah orang kemarin sore, Namanya telah mampu
menggetarkan dunia persilatan pada masanya. Meng-
hadapi serangan kedua lawannya yang berlawanan
arah, tidak menciutkan nyalinya. Terlebih melihat salah seorang lawannya telah
terluka dalam. Di samping itu, Cakra Geni yang merupakan
senjata pusaka milik Ki Wirapati kini telah berada dalam kekuasaannya. Jika dia
terdesak, senjata itu akan digunakan.
Meski usia sudah lanjut, namun gerakan men-
gelit dan menyerang Dewi Bunga Iblis ternyata masih
gesit. Tubuhnya yang agak bungkuk laksana menari.
Kakinya bergerak menyilang dan merenggang. Sedang-
kan tangannya bagaikan sepasang senjata tajam yang
mematikan. Bahkan dengan tertawa mengikik, Dewi Bunga
Iblis bergerak mengelak dan balas menyerang. Sesekali tangannya melambat,
mengeluarkan angin pukulan
yang menyentakkan kedua lawannya. Atau terkadang
menepak, menimbulkan deru angin yang dahsyat.
Pertarungan terus berlangsung keras. Sudah
puluhan jurus yang telah mereka keluarkan. Sampai
sejauh itu, tak ada tanda-tanda kalau kedua penge-
royoknya akan mampu menjatuhkan Dewi Bunga Iblis.
Malah berkali-kali keduanya harus membelalakkan
mata, manakala mendapat serangan yang tak terduga.
"Heaaa...!"
"Hik hik hik...!"
Dewi Bunga Iblis terkikik. Tangan kanannya
dikibaskan ke arah lawan sebelah kanan. Sedangkan
kaki kirinya bergerak menendang dan menyapu lawan
sebelah kiri. Kedua lawan yang mengeroyoknya tersentak.
Segera mereka menarik serangan, kemudian mengu-
bah jurus lain. Bergantian mereka mencari sasaran.
Kalau tadi Ki Wirapati menyerang di bagian atas, kini sebaliknya. Ki Wirapati
memusatkan serangannya pa-da bagian bawah. Sedangkan Ki Tunggal Manik beralih
menyerang bagian atas tubuh Dewi Bunga Iblis.
Sebuah penggabungan serangan yang hebat.
Kalau saja lawannya tak berilmu setaraf dengan mere-
ka, sudah dari tadi lawan akan diremukkan.
"Heaaat..!"
"Ceaaa...!"
Gerakan kedua lelaki tua itu serempak. Seper-
tinya telah diatur sebelumnya. Tak ada kesalahan da-
lam melakukan serangan. Yang menyerang bagian
atas, terus mencecar dan berusaha mencari titik luang di bagian atas. Sedangkan
yang menyerang bagian bawah, terus mencari titik luang di bagian bawah.
Namun sejauh itu, belum juga mereka berhasil
menjatuhkannya. Seakan semua tubuh Dewi Bunga
Iblis terlindungi. Hal itu disebabkan wanita tua itu mampu melakukan gerakan
yang cepat dan gesit.
Hingga jika serangan datang, secepat itu pula dia me-lindungi tempat yang
diserang. Bahkan tak segan-
segan balik menyerang lawan.
Kedua lelaki tua itu kembali menyerang, ketika
tiba-tiba Dewi Bunga Iblis melompat ke belakang den-
gan cepat Lalu sebelum kedua penyerangnya sadar da-
ri kekagetannya dan menguasai diri, wanita tua itu
menghantamkan pukulan mautnya ke arah mereka.
"Celaka!" pekik Ki Tunggal Manik.
"Ahhh...!" keluh Ki Wirapati kaget.
Keduanya yang belum bisa menguasai diri se-
ketika mati langkah. Mata mereka membelalak tegang,
menyaksikan angin pukulan yang datang menderu ce-
pat ke arah mereka.
Sebisanya Ki Tunggal Manik menjatuhkan diri
ke tanah lalu berguling, sehingga dia luput dari maut.
Sedangkan Ki Wirapati yang terluka dalam tak mampu
berbuat apa-apa. Tubuhnya langsung menjadi sasaran
pukulan lawan. Degk! "Akh...!"
Ki Wirapati memekik. Tubuhnya terdorong ke
belakang tiga tindak dengan terhuyung-huyung. Darah
semakin banyak keluar.
"Ki...!" seru Ki Tunggal Manik, ketika tubuh Ki Wirapati terhuyung kemudian
ambruk mencium tanah
tanpa nyawa. Hal itu membuat Ki Tunggal Manik men-
jadi kalap. Disertai pekikan, dia kembali menyerang.
Kali ini di tangannya tergenggam senjatanya yang be-
rupa tombak bermata dua.
Tombak sepanjang lengan di tangan Ki Tunggal
Manik bergerak cepat dengan gerak memutar bagai
menghilang. Yang nampak hanya sinar putih kebiru-
biruan, menyelimuti tubuhnya.
"Iblis! Kau harus mati! Heaaa...!" Dewi Bunga Iblis terkekeh, kemudian dengan
cepat mengelakkan
serangan lawan dan balas menyerang. Pertarungan
kembali berlangsung.
10 Suciati yang melihat Pendekar Gila tengah ber-
tarung melawan lelaki yang tadi hendak memperko-
sanya dan kini tengah terdesak oleh serangan-
serangan yang dilancarkan Pendekar Gila, segera ber-
kelebat turut menyerang. Pedang di tangannya diarah-
kan ke arah tubuh lelaki terbalut kain hitam. Memang, saat itu pengaruh totokan
Kumbang Hitam telah mus-nah dengan sendirinya.
"Hiaaat..!"
Kumbang Hitam yang kerepotan menghadapi
Pendekar Gila terkejut manakala mendengar suara
seorang gadis menyerang ke arahnya. Dengan masih
berusaha mengelitkan serangan Pendekar Gila yang
menggunakan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang',
Kumbang Hitam menepiskan tangan kirinya ke bela-
kang. Suciati yang tak menduga akan mendapatkan
serangan begitu tiba-tiba, tak mampu berkelit dari ke-butan tangan Kumbang
Hitam. Tanpa ampun tubuh
gadis itu harus menerima sambaran angin pukulan
yang mengarah dadanya.
Desss! "Ukh...!"
Suciati mengeluh, tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang sampai lima tindak. Dari sela bibirnya meleleh darah segar. Wajahnya
sesaat mengejang, sebe-
lum ambruk terkulai di tanah dalam keadaan pingsan.
"Pengecut!" maki Pendekar Gila melihat gadis itu dihantam oleh lawannya. Hal itu
membuatnya kian
bertambah marah. Belum juga habis amarahnya me-
nyaksikan bagaimana Ki Wirapati ditahan oleh wanita
tua itu. Kini telah dikobarkan lagi oleh kejadian yang dianggapnya pengecut itu.
Dengan mempercepat gerakan 'Si Gila Melebur
Gunung Karang', Pendekar Gila terus merangsek la-
wan. Tangannya terangkat ke atas, dengan jari-jari
terbuka. Kemudian tangan kanan bergerak menghan-
tam ke muka. Sedangkan tangan kiri bergerak dari
bawah menghajar ke selangkangan.
"Heaaat..!"
Kumbang Hitam yang berusaha mengembang-
kan serangan dengan jurus 'Kumbang Hitam Menyen-
gat' bagikan tak memiliki kesempatan. Setiap kali dia hendak mengembangkan
jurusnya, secepat itu pula
Pendekar Gila telah melancarkan serangan anehnya.
Tiba-tiba saja tangan atau kaki Pendekar Gila yang kelihatannya bergerak lambat,
telah mendekati tubuh-
nya. Hingga mau tak mau Kumbang Hitam harus men-
gurungkan niatnya.
Seperti juga saat ini. Beberapa kali Kumbang
Hitam berusaha menyerang. Tapi tiba-tiba saja Pende-
kar Gila telah merangsek. Jurus yang dilancarkan
Pendekar Gila kelihatannya lamban dan lemah. Namun
entah bagaimana caranya, setiap kali Kumbang Hitam
bergerak, tangan atau kaki Pendekar Gila telah dekat ke tubuhnya.
"Ilmu silumankah?" desis Kumbang Hitam dengan mata membelalak kaget. Dia benar-
benar mengha- dapi lawan yang seperti memiliki ilmu siluman saja. Ke mana pun dia bergerak,
lawan tiba-tiba telah men-jangkaunya, meski gerakan lawan kelihatan lamban
dan lemah. Pendekar Gila yang sempat melirik ke arah Ki
Tunggal Manik terkejut, menyaksikan orang tua itu ki-ni terdesak. Kalau dia
tidak cepat-cepat membereskan yang satu ini, bisa-bisa celakalah orang tua dari
Perguruan Teratai Putih itu.
"Heaaa...!"
Tangan Pendekar Gila semakin cepat bergerak,
hingga laksana menghilang. Itulah jurus 'Angin Gila
Membadai'. Tubuhnya berputar cepat menimbulkan
angin yang keras menderu. Sedangkan kedua tangan-
nya bergerak cepat menyerang bergantian.
Kumbang Hitam kian tersentak kaget. Sesaat
dia tertegun dengan mata membelalak menyaksikan
gerakan yang semakin aneh dilakukan oleh lawannya.
Pada saat itu, tangan Pendekar Gila yang menyerang
dengan cepat tanpa dapat dielakkan menghantam te-
lak dadanya. Tubuh Kumbang Hitam terlontar keras,
melayang laksana tersapu angin diikuti pekikan yang
menyayat "Aaa...!"
Pekikan keras yang keluar dari mulut Kumbang
Hitam, membuat kedua tokoh tua yang tengah berta-
rung seketika menghentikan pertarungan. Keduanya
mengalihkan pandangan ke arah datangnya pekikan
itu. Dewi Bunga Iblis membelalak saat matanya
sempat menyaksikan gerakan aneh yang dilakukan
oleh pemuda berpakaian rompi kulit ular sanca. Gera-
kan itu mengingatkannya pada seorang pendekar yang
telah mampu mengalahkannya. Pendekar itu pun
mengeluarkan jurus serupa ketika menjatuhkan di-
rinya, hingga tubuhnya bungkuk seperti sekarang.
Setelah pemuda berpakaian rompi kulit ular
menghentikan gerakan anehnya, pandangan Dewi
Bunga Iblis tertuju ke asal suara pekikan. Matanya
semakin membalalak, menyaksikan sesosok tubuh
terbungkus kain hitam yang tidak lain muridnya, me-
layang jauh, dan baru berhenti ketika membentur po-
hon besar dengan menimbulkan suara berderak.
Brakkk...! Tubuh Kumbang Hitam hancur, bersamaan
dengan tumbangnya pohon besar yang terhantam tu-
buhnya. "Sungguh dahsyat jurus itu. Hm, rupanya Pen-
dekar Gila telah meningkatkan ilmunya. Tak kusang-
ka, kalau ilmu Pendekar Gila yang masih muda ini le-
bih dahsyat dari pendahulunya. Untuk menandin-
ginya, aku harus mendalami ilmumu puluhan tahun
lagi. Atau mungkin ratusan tahun lagi! Tak ada gu-
nanya aku mencari keributan dengannya," desis hati
Dewi Bunga Iblis.
Tanpa menghiraukan apa yang akan dikatakan
Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh Pendekar Gila dan Ki Tunggal Manik padanya,
Dewi Bunga iblis hendak meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja beberapa langkah kakinya bergerak,
Ki Tunggal Manik dengan cepat melemparkan senja-
tanya ke arah tubuh wanita bungkuk itu. Senjata itu
melaju begitu deras, hingga Dewi Bunga Iblis yang tak menyangka akan diserang,
tak dapat mengelakkannya.
Crab! Tombak bermata dua menghunjam punggung
wanita bungkuk itu. Mulut keriputnya seketika menje-
rit. Darah muncrat dari punggung yang terluka lalu
membasahi pakaiannya. Sesaat tubuh bungkuk itu
membalik memandang dengan penuh kemarahan ke
arah Ki Tunggal Manik. Gigi-giginya yang tinggal beberapa biji saling beradu.
Jemari tangannya meregang.
Kemudian dengan memekik keras, Dewi bunga Iblis
meluruk bagai banteng luka. Namun karena darah ba-
nyak keluar, serta racun pada tombak mata dua itu,
baru beberapa tindak saja tubuh bungkuk itu telah
ambruk mencium tanah.
Pendekar Gila yang menyaksikan Kejadian itu
hanya mampu menghela napas. Kemudian kakinya
melangkah mendekati Ki Tunggal Menik yang masih
terpaku, memandangi tubuh bungkuk yang kaku.
"Sebentar lagi pagi, Ki.... Kita harus mengubur mereka," bisik Pendekar Gila,
membuat Ki Tunggal Manik tersadar dari ketertegunannya. Lelaki tua dari
Perguruan Teratai Putih itu mengangguk perlahan.
Kemudian melangkah beriringan dengan Pendekar Gi-
la. Setelah mengubur mayat-mayat mereka yang
mati, Sena mendekati Ki Tunggal Manik yang berdiri
berjajar dengan Suciati.
"Ki, semua kewajibanku di sini telah selesai.
Aku mohon pamit padamu untuk meneruskan perjala-
nanku, untuk mengikuti kata hati. Kutitipkan Kanjeng Putri padamu," ujarnya
lirih. Merasa sedih korban nyawa demikian banyak.
"Mengapa harus cepat-cepat pergi, Pendekar Gi-
la" Tinggallah di sini untuk beberapa hari, biar kami dapat menjamumu," balas Ki
Tunggal Manik setengah mencegah kepergian Pendekar Gila dari kadipaten itu.
"Ah, terima kasih atas tawaranmu, Ki. Tapi,
dengan berat aku menolaknya. Masih banyak orang
dalam kesengsaraan. Masih banyak tugas yang harus
kujalankan. Hidupku untuk alam. Di mana alam
membutuhkan, di situ aku harus mengabdi."
Ki Tunggal Manik mengangguk-anggukkan ke-
pala mendengar penuturan Pendekar Gila.
"Ya, ya. Aku mengerti. Maaf, aku tadi terlalu
mendesak mu."
Pendekar Gila tersenyum. Tangannya yang di-
ulurkan, disambut oleh Ki Tunggal Manik dengan pe-
rasaan haru. Mereka berpelukan erat penuh persaha-
batan. "Terima kasih, Ki. Aku mohon pamit Tolong ja-ga Kanjeng Putri baik-baik,"
ucap Pendekar Gila sambil memandang Suciati yang nampak sedih berpisah dengan
Sena. Mata Suciati yang bulat itu telah dilinangi air bening.
Pendekar Gila segera berkelebat meninggalkan
tempat itu. Dalam sekejap, tubuhnya telah jauh dan
berada di bawah. Samar-samar terlihat Sena masih
sempat melambaikan tangan sebagai isyarat perpisa-
han yang tidak bisa dielakkan oleh seorang manusia,
siapa pun dia dan di mana pun berada. Lambaian itu
dibalas oleh Ki Tunggal Manik dan Suciati dengan pe-
nuh keharuan. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tusuk Kondai Pusaka 14 Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Beruang Salju 9