Dendam Bidadari Bercadar 1
Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar Bagian 1
SATU Malam tergelincir dari peraduannya. Gelap me-nyelimuti bumi. Suasana di Desa
Randu Pitu kelihatan sunyi dan lengang. Tidak seperti kemarin, saat pesta
pernikahan dua remaja yang berlangsung meriah. Kini suasananya kembali sepi. Tak
ada orang berlalu lalang. Hanya desah angin malam yang terasa mencekam, ditambah
rasa dingin yang menggigit.
Malam itu, merupakan malam pertama yang indah bagi sepasang pengantin baru.
Malam untuk menentukan segalanya. Di mana malam pertama adalah malam awal bagi
keduanya untuk mengarungi ke-hidupan baru. Dari masa remaja yang manis, memasuki
masa dewasa yang penuh tantangan.
Wulandari duduk di tempat tidur dengan kepala tertunduk malu, tangannya membuka
satu persatu pakaiannya.
Lelaki muda tampan dengan pakaian putih lengan panjang berdiri di hadapannya. Di
bibir lelaki muda yang bernama Selo, tersungging senyuman. Matanya menatap lekat
sang istri yang tengah membuka pakaiannya.
"Kangmas...," desis Wulandari. Perlahan wajahnya ditengadahkan, lalu memandang
penuh harap pada sang Suami. Di bibirnya tersungging senyuman pula.
"Diajeng...," ucap Selo seraya melangkah untuk mendekati istrinya.
Sementara itu, sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam rumah mereka yang
cukup besar. Ketika orang yang menyelinap itu melanggar kursi
bambu di ruang depan, keduanya tersentak.
"Siapa itu"!" bentak Selo sambil berlari keluar kamar mengejar bayangan tadi.
Belum juga Selo menemukan orang yang me-
nyelinap ke dalam rumahnya, tiba-tiba dari luar terdengar bentakan keras....
"Selo, keluar kau...!"
Selo tersentak kaget. Dengan hati bertanya-tanya, kakinya melangkah keluar untuk
melihat siapa yang datang.
"Oh, rupanya kalian," kata Selo dengan bibir tersenyum ramah, setelah tahu siapa
yang datang. Tiga orang berwajah angker yang dikenal Selo dengan julukan Tiga Barka Kembar
itu berdiri dengan sikap angkuh di depan rumahnya. Ketiganya mengenakan rompi
hitam dengan ikat pinggang merah.
Di kepala masing-masing terdapat ikat kepala batik.
"Ada apa Kisanak bertiga datang ke tempatku?"
tanya Selo. "Masih juga berpura-pura tidak tahu!" dengus Barka Sulung dengan mata melotot.
"Rupanya diam-diam kau menyembunyikan Pendekar Gila, Selo! Di mana dia
sekarang..."!"
bentak Barka Panengah. Kemudian tanpa menghiraukan Selo, Barka Penengah dan
Barka Bungsu berkelebat masuk ke dalam. Namun tidak lama kemudian, keduanya
telah keluar kembali.
"Di mana kau sembunyikan, Selo"!" hardik Barka Bungsu seraya tangannya menampar
wajah Selo. Tubuh lelaki muda itu pun sempoyongan lalu jatuh.
"Katakan, di mana kau sembunyikan pemuda gila itu, heh"!" kini Barkah Sulung
ganti menghardik.
"Pendekar Gila..." Bagaimana mungkin dia ke rumahku?" tanya Selo dengan tangan
menyeka darah yang keluar dari sela bibirnya. Tubuhnya beringsut bangkit.
Plak! Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Selo.
"Aduh...!" pekik Selo. Tubuhnya sempoyongan kembali. Sementara tangannya
memegangi pipi yang terasa panas. Darah meleleh lagi di sela bibirnya.
"Cepat katakan, di mana lelaki muda bertopeng itu"!" bentak Barka Sulung dengan
mata melotot. Sedangkan kedua adiknya mengelilingi rumah Selo untuk mencari orang yang mereka
maksudkan. Tidak lama kemudian, keduanya kembali dengan wajah menggambarkan
kejengkelan hebat.
"Tak ada juga! Rasanya memang bersembunyi di dalam rumah. Atau mungkin
disembunyikan oleh dia!"
lapor Barka Panengah, membuat kakaknya semakin bertambah marah.
"Seret dia! Kalau sampai di tempat kita belum juga mau mengaku, dia akan tahu
akibatnya!" dengus Barka Sulung.
"Ayo...!"
Barka Penengah segera menendang pantat Selo, membuat lelaki muda itu tersuruk
mencium tanah. Namun tiga orang kasar itu tak peduli, kaki mereka terus menendang.
"Jalan cepat...!"
"Jangan siksa aku. Sungguh aku tidak tahu," ratap Selo berusaha mengambil hati
Tiga Barka Kembar.
Namun nampaknya mereka tidak peduli dengan ucapan Selo. Bahkan mereka semakin
beringas. "Kau tahu apa yang telah dilakukan oleh pendekar berkedok itu, heh"!" bentak
Barka Sulung. "Dia telah merebut seorang perempuan dari kami. Dan membunuhnya
setelah terlebih dahulu diperkosa!"
Mata Selo membelalak saat mendengar penuturan Barka Sulung barusan. Padahal dia
sering dengar kalau Pendekar Gila tidak pemah melakukan hal-hal tercela.
"Pendekar Gila..."!" gumam Selo seakan tidak percaya.
"Ya! Sekarang tunjukkan, di mana dia!" hardik Barka Sulung.
"Sungguh, aku tidak tahu. Kalau kutahu, sudah dari tadi kukatakan pada kalian,"
kata Selo berusaha meyakinkan mereka.
?"Huh...! Masih juga kau menyembunyikannya!
Hih...!" Sebuah tamparan keras kembali mendarat telak di pipi Selo. Lelaki muda itu
kembali mengeluh kesakitan.
"Sungguh, aku tidak tahu," ratap Selo, hampir menangis karena rasa sakit yang
luar biasa di pipinya.
Rupanya jawaban Selo tidak membuat Tiga Barka Kembar percaya begitu saja. Mereka
malah semakin marah dan langsung menendang serta memukul lelaki muda itu.
Mendengar ribut-ribut di luar, Wulandari yang masih belum mengenakan seluruh
pakaiannya ber-anjak bangun. Dikenakannya kain sebatas dada, kemudian kakinya
melangkah keluar untuk melihat keadaan suaminya.
Matanya membelalak ketika menyaksikan suaminya diseret tiga lelaki yang
meninggalkan tempat itu.
Rasa kaget yang datang tiba-tiba membuat tangannya mendekap mulut yang memekik
tertahan. "Lepaskan suamiku...!" seru Wulandari untuk menghentikan ketiga lelaki yang
semakin jauh menyeret tubuh suaminya.
Wanita muda yang cantik itu segera mengejar.
Namun langkah mereka terlalu cepat buatnya.
Sedangkan Wulandari yang gemetaran karena takut suaminya akan mendapatkan
celaka, jadi tersendat-sendat dalam mengejar ketiga orang yang menyeret
suaminya. "Tolong...! Tolooong...!" jerit Wulandari sambil tetap mengejar ketiga orang
yang tengah menyeret suaminya.
Beberapa warga Desa Randu Pitu yang mendengar jeritan Wulandari, bergegas keluar
dari rumahnya. Mereka ingin tahu apa yang terjadi pada pasangan pengantin baru itu.
"Ada apa, Wulandari?" tanya kepala desa dengan napas memburu.
"Kakang Selo, Ki... Kakang Selo dibawa oleh tiga lelaki itu," tutur Wulandari
terbata-bata. "Ke mana mereka..."!" tanya Kepala Desa Randu Pitu lagi dengan wajah tegang.
"Ke sana. Tolonglah suamiku...," ratap Wulandari sambil menunjuk arah kepergian
orang-orang yang membawa suaminya.
Warga Desa Randu Pitu dengan kepala desanya segera mengejar ke arah yang
ditunjukkan Wulandari.
Tak lama kemudian, mereka dapat melihat tiga orang yang dimaksud Wulandari.
"Hai, tunggu...!" seru kepala desa sambil terus mengejar ketiga orang itu
bersama beberapa warga desa. Namun tiba-tiba mereka memekik, manakala puluhan
senjata rahasia menderu cepat ke arah mereka.
Zwing, zwing, zwing...!
Jlep, jlep, jlep...!
"Aaakh...!"
Pekikan-pekikan kematian, seketika terdengar membelah kesunyian malam. Diikuti
gelak tawa Tiga Barka Kembar yang semakin pongah.
Wulandari ikut memekik menyaksikan kepala desa dan beberapa orang warga yang
mengejar telah bergelimpangan jadi mayat. Tapi rasa cinta terhadap suaminya
mampu mengalahkan kengerian yang muncul di hatinya. Dengan nekat, kakinya
melangkah untuk mengejar kembali.
"Jangan...! Lepaskan suamiku! Lepaskan...!" jerit Wulandari sambil terus
berlari. Wanita muda itu sudah tak peduli pada apa pun.
Tidak peduli pada ketakutannya menyaksikan pembantaian keji di depan matanya.
Tak pedulikan resiko kematian yang bisa menimpanya. Bahkan dia tak peduli lagi
pada pakaiannya yang yang tidak karuan.
Tangannya menggapai-gapai, berusaha menghentikan tiga orang lelaki berpakaian
rompi hitam yang terus menyeret suaminya.
Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam dengan ikat pingang berwarna merah serta
ikat kepala batik, tak mempedulikan wanita itu. Ketiganya terus melangkah sambil
menyeret tubuh Selo yang mengerang kesakitan.
"Lepaskan aku... Sungguh, aku tak tahu," ratap lelaki muda itu dengan meneteskan
air mata. Selo berusaha mengambil hati ketiga lelaki bertampang garang dengan
kumis tebal melintang di atas mulutnya.
"Tutup bacotmu, Selo! Katakan, di mana Pendekar Gila"! Aku yakin, kau tahu di
mana dia!" desak Barka Sulung.
"Ya! Katakan saja, di mana Pendekar Gila !"
sambung Barka Bungsu.
"Sungguh, aku tak tahu sama sekali di mana dia...," jawab Selo dengan mimik muka
memelas untuk meyakinkan ketiga lelaki yang terkenal kejam itu. "Kunyuk! Apa kau
kira kami mau dibohongi olehmu, heh"! Kami tahu, kalau pendekar muda dan gila
itu baru saja bertandang ke rumahmu!" hardik Barka Panengah dengan mata melotot.
Lalu dengan bengis, kakinya menendang iga Selo.
Dugk! "Aduh...!" pekik Selo kesakitan. Tulang iganya serasa remuk akibat tendangan
Barka Panengah.
Belum juga hilang rasa sakit di tulang iganya, tangan Barka Sulung telah
mencengkeram rambutnya.
"Katakan, di mana Pendekar Gila, heh"!" sentak Brka Sulung sambil menjenggut
rambut Selo hingga wajahnya terangkat dan memandang ke arah Barka Sulung sambil
meringis. Sementara, di belakang mereka istri Selo terus berlari menuju Tiga Barka Kembar
dan suaminya berada. Wanita itu tak menghiraukan keadaan dirinya, sampai-sampai
tak menggubris kain penutup tubuhnya yang agak merosot.
Ketika Tiga Barka Kembar melihat hal itu, mata mereka langsung terbelalak.
Ketiganya menelan ludah, dengan napas yang mulai turun-naik.
"Ck, ck, ck..."
Tiga Barka Kembar berdecak kagum menyaksikan tubuh istri Selo yang mulus
menantang dengan penutup yang sudah tidak karuan.
"Wulan, cepat pergi dari sini...!" seru Selo kepada istrinya.
Wulandari yang mengkhawatirkan keadaan suaminya tak mempedulikan seruan sang
Suami. Dia terus
berlari menuju tempat itu.
"Lepaskan suamiku! Lepaskan...!" serunya.
Tiga Barka Kembar yang masih terpesona
menyaksikan tubuh Wulandari, tak menghiraukan jeritan wanita muda yang cantik
itu. Ketiganya masih berdecak kagum. Sedangkan kepala mereka menggeleng-geleng.
"He he he...! Rupanya istrimu montok sekali, Selo...," ujar Barka Sulung sambil
memandang tiada henti pada tubuh Wulandari. "Sungguh kau lelaki yang pintar,
Selo." "Ya! Kau pintar sekali menyuguhi kami, Selo,"
sambung Barka Panengah. Dia pun tak henti-hentinya berdecak kagum.
"Ayo, Kakang. Mengapa kita harus menunggu?"
ajak Barka Bungsu pada kedua kakaknya untuk segera memburu mangsa empuk yang
akan membawa mereka ke puncak kenikmatan.
"Kalian berdua tangkap kelinci manis itu. Biar aku yang menangani si Selo," kata
Barka Sulung pada kedua adiknya.
Tanpa diperintah dua kali, Barka Bungsu dan Barka Panengah segera meninggalkan
sang Kakak untuk memburu Wulandari yang masih berlari ke arah mereka.
"Ayo, Kakang. Kita berlomba! Siapa cepat, dia yang akan mendapatkan bagian lebih
dahulu...!" tantang Barka Bungsu seraya menggenjot kaki dengan mengerahkan ilmu
lari cepatnya. "Ayo...! Heaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Kedua Barka bersaudara itu memacu larinya, berusaha saling mendahului. Keduanya
sampai di depan Wulandari bersamaan, kemudian dengan
cepat tangan mereka meraih tangan kanan dan kiri Wulandari.
"Lepaskan...! Kalian bajingan! Lepaskan...!"
Wulandari terus berusaha melepaskan cengkeraman tangan kedua lelaki yang kini
tertawa tergelak-gelak.
Tangan kedua lelaki itu bergerak nakal, menjamah tubuh Wulandari dengan semena-
mena. "Auh...! Kurang ajar...!" maki Wulandari penuh kebencian. Matanya memandang
penuh amarah ke arah dua lelaki yang kurang ajar itu.
*** "Ha ha ha...! Kau semakin menyenangkan jika marah, Manis," goda Barka Panengah.
Tangannya kembali bergerak nakal.
"Tidak! Kakang, tolooong...!" teriak Wulandari sambil terus memberontak.
Sesekali tangannya memukul tangan kedua lelaki kasar itu.
"Lepaskan! Jangan ganggu istriku!" seru Selo, mengharap kedua Barka bersaudara
itu tidak meneruskan tindakan mereka. Namun keduanya bahkan semakin menjadi-
jadi. Selo hendak lari, tapi sebuah hantaman keras membuatnya limbung dan jatuh.
Degk! "Ukh...!" keluh Selo.
"Mau lari ke mana kau"!" ujar Barka Sulung sinis.
Sementara, Barka Bungsu dan Barka Panengah yang sudah tidak tahan melihat tubuh
Wulandari, tidak mau membuang-buang waktu lagi. Barka Panengah berkelebat cepat.
Di tangannya tergenggam dua butir pil. Tangan kirinya mencengkeram keras tangan
Wulandari. "Auh...!" pekik Wulandari. Pada saat itu, dengan cepat tangan kanan Barka Sulung
menyumbat mulutnya, membuat pil yang ada di tangannya tertelan Wulandari.
"Auh, tidak!"
Barka Sulung dan Barka Panengah tergelak-gelak, menyaksikan Wulandari
sempoyongan. Pandangan wanita cantik itu berkunang-kunang.
"Oh...!" keluh Wulandari. Tangannya memegangi kepalanya yang terasa pening.
Pandangan matanya mengabur dan tubuhnya terasa amat lemah. Akhirnya, tubuh
wanita itu jatuh terkulai di tanah.
"Ha ha ha...! Akhirnya kita dapat menunduk-kannya," kata Barka Panengah sambil
tertawa-tawa bersama adiknya.
"Semuanya telah beres, Kakang! Tak sabar aku rasanya...," gumam Barka Bungsu
sambil melangkah hendak mendekati tubuh Wulandari yang terkulai. Dia hendak
melakukan sesuatu, tapi tiba-tiba Barka Panengah mencegahnya...
"Tunggu...!"
"Ada apa lagi, kakang?" tanya Barka Bungsu dengan nada tak senang. "Bukankah
semuanya telah beres" Mengapa kita harus membuang-buang
waktu?" "Aku yang pertama. Sebab aku yang men-dapatkannya!"
Barka Bungsu menghela napas. Matanya
memandang tidak senang. Namun akhirnya kakinya melangkah mundur, membiarkan
kakaknya mendekati tubuh Wulandari.
"Hai, tunggu...!"
Belum juga Barka Panengah melakukan sesuatu, terdengar Barka Sulung membentak.
Hal itu membuat
Barka Panengah mengurungkan niatnya untuk melampiaskan nafsu pada Wulandari.
Dengan bersungut-sungut, kakinya melangkah mundur.
"Aku yang tertua. Akulah yang pertama," kata Barka Sulung sambil melangkah
mendekati tubuh Wulandari. Matanya memandang penuh nafsu pada tubuh yang
terkulai tanpa daya itu. Kepalanya menggeleng-geleng.
Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ck, ck, ck...! Tidak kusangka, di Desa Randu Pitu ini ternyata ada gadis
secantik dan sebahenol ini."
Barka Sulung melangkah semakin dekat. Dia baru hendak membuka pakaiannya, ketika
tiba-tiba terdengar gelak tawa menggelegar. Disusul oleh makian keras penuh
ejekan. "Ha ha ha...! Sungguh tidak tahu malu! Itukah orang-orang yang menamakan dirinya
Tiga Barka Kembar"!"
Tiga Barka Kembar tersentak mendengar suara itu.
Dengan wajah merah karena marah, ketiganya segera memandang ke asal suara.
Kemudian dengan gusar, Barka Sulung yang mengurungkan niatnya memperkosa
Wulandari membentak..
"Bangsat! Siapa kau..."!"
"Ha ha ha...! Rupanya kalian masih punya nyali, berani membentakku...!" kembali
terdengar suara lelaki menggema. Nadanya terdengar sinis.
"Pengecut! Kalau kau lelaki, tunjukkan tampangmu! Hadapi kami, Tiga Barka
Kembar...!" seru Barka Panengah marah, mendengar ejekan sinis itu.
Matanya dengan tajam menyapu ke sekeliling tempat itu.
"Kalianlah yang pengecut! Beraninya hanya dengan orang lemah! Di mana nama besar
kalian"!"
"Bangsat! Katakan, siapa kau dan tunjukkan
rupamu! Kuhancurkan batok kepalamu!" maki Barka Bungsu tak kalah sewot
dibandingkan kedua kakaknya. Napasnya mendengus turun naik. "Kaukah yang bernama
Pendekar Gila"!"
"Ha ha ha...! Rupanya pendengaran kalian cukup tajam! Ya, akulah Pendekar Gila,"
sahut pemilik suara dengan nada penuh kesombongan.
"Bedebah! Apakah kau kira kami takut meng-hadapimu, Pendekar Gila!" tantang
Barka Sulung. "Tunjukkan tampangmu! Biar korobek mulut besarmu!" sambung Barka Panengah dengan
tangan mengepal. Sementara gigi-giginya saling beradu, menandakan kemarahannya.
Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu dengan penuh kebengisan.
"Ayo...! Tunjukkan dirimu, Pemuda Sombong!"
bentak Barka Bungsu, tidak tinggal diam. Seperti kedua kakaknya, dia pun merasa
marah dihina begitu rupa. Napasnya mendengus dan matanya tajam menyapu ke
sekelilingnya. DUA Suara gelak tawa menggema kembali terdengar di sekeliling tempat tersebut. Suara
itu seperti berada di mana-mana. Membuat Tiga Barka Kembar
kebingungan untuk menentukan tempat orang itu berada.
"Apakah kalian sudah siap menghadapiku, Manusia-manusia Pengecut"!" tanya suara
itu dengan penuh kesombongan. Diikuti gelak tawa yang tiada henti-hentinya.
Membuat Tiga Barka Kembar semakin marah karena merasa dihina begitu rupa.
"Kurang ajar! Apakah kau kira kami takut meng-hadapimu, Pendekar Gila"! Kami
memang ke sini untuk mencarimu! Untuk mencoba sampai di mana kehebatan ilmumu
yang diagung-agungkan itu!
Keluarlah! Hadapi kami!" tantang Barka Sulung.
Tak terdengar jawaban.
Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam itu semakin gusar. Dengan penuh amarah,
ketiganya melancarkan pukulan jarak jauh ke sekitar tempat itu.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
"Yiaaa...!"
Tiga sinar berwarna merah, kuning, dan biru menderu dari tangan Tiga Barka
Kembar. Glarrr! Brakkk! Duarrr! Terdengar ledakan-ledakan dan derak pepohonan yang tumbang. Namun mereka belum
juga dapat menemukan asal suara itu. Bahkan terdengar gelak tawa kembali, diikuti oleh
seruan mengejek....
"Sudah kukatakan, kalian bukan apa-apa bagiku!
Jangankan kalian, guru kalian si Kempala bodoh itu pun tak akan sanggup
menghadapiku!"
Semakin memuncak kemarahan Tiga Barka
Kembar ketika mendengar nama guru mereka di-remehkan begitu rupa. Kalau nama
mereka, mungkin amarah mereka masih bisa ditahan. Tetapi pemilik suara itu telah
keterlaluan dengan menghina guru mereka.
"Bedebah! Tutup mulutmu! Tunjukkan wujudmu, biar korobek mulutmu yang sombong
itu...!" bentak Barka Sulung disertai dengus kebencian, serta amarah yang
meluap-luap. "Kurang ajar! Sudah kelewatan mulutmu, Pendekar Gila! Tunjukkan mukamu, Monyet!
Jangan sampai kami hilang kesabaran!" timpal Barka Panengah dengan mata
membelalak marah.
"Akan kuhancurkan batok kepalamu yang sombong! Ayo, jangan hanya bersembunyi!
Keluarlah...! Hadapi Tiga Barka Kembar!" sentak Barka Bungsu.
"Baik! Agar kalian tak penasaran, aku akan menampakkan diriku! Meski kalian tak
ada artinya sama sekali bagiku! Nah, bersiaplah menyambut-ku...!"
Usai ucapan sombong itu terdengar, tiba-tiba terdengar suara laksana ribuan
tawon terbang. Tidak lama kemudian, di hadapan Tiga Barka Kembar telah berdiri
sesosok lelaki muda dengan senyum sinis mengembang di bibirnya.
Pemuda itu berbaju lengan panjang warna kuning.
Rambutnya gondrong, dengan ikat kepala warna
gading. Sedangkan ikat pinggangnya berwarna hijau daun. Wajah pemuda itu
tertutup oleh sebuah topeng berhidung besar warna merah, hingga kelihatan buruk.
Mata Tiga Barka Kembar menyipit, untuk
mengawasi lelaki muda yang berdiri di hadapan mereka. Diperhatikannya dengan
seksama pemuda itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Begitukah kelakuan seorang pendekar yang namanya akhir-akhir ini membubung
tinggi"! Pengecut! Tak berani menunjukkan mukanya yang buruk!" ejek Barka Sulung dengan
senyum sinis. "Sudah kukatakan, tak ada gunanya kalian bagiku!
Untuk apa aku harus menunjukkan mukaku...?" kata pemuda bertopeng itu, sambil
bersedakap, mencerminkan keangkuhan dirinya.
Nada suaranya yang sinis dan sangat dingin, membuat Tiga Barka Kembar semakin
geram. Mereka benar-benar merasa direndahkan oleh pemuda bertopeng itu.
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar sombong, Pendekar Gila! Jangan kau kira
kami takut dengan nama besarmu! Baik, bersiaplah...!" tantang Barka Panengah
yang sudah tidak sabar lagi. Ucapan pemuda bertopeng itu dirasakan sangat
menggigit perasaan dan membuat telinganya panas.
"Ha ha ha...!" pemuda bertopeng yang mengaku Pendekar Gila itu tertawa bergelak.
"Hm, ternyata cecurut tanah sepertimu masih berani unjuk gigi!
Sobat, apakah ucapanmu telah kau pikirkan lebih dulu...?"
"Bedebah! Kau boleh berkoar sesuka hati, sebelum kurobek mulutmu!" dengus Barka
Bungsu dengan tangan mengepal keras. Gigi-giginya saling
beradu, menimbulkan suara gemeretak keras.
"Auh, apakah kau kira mudah merobek mulutku, Sobat?" tanya pemuda bertopeng
dengan suara tak berubah, sinis dan dingin serta merendahkan lawan
"Apakah tidak akan terjadi sebaliknya...?"
"Banyak omong...! Serang...!" seru Barka Sulung, memerintah kedua adiknya sambil
menggerakkan tangan.
"Heaaa...!
"Ceaaat..!"
Tiga Barka Kembar yang sudah dilanda amarah, seketika melompat ke depan dan
mengurung pemuda bertopeng yang masih tertawa-tawa.
Sepertinya, dia benar-benar memandang remeh ketiga lawannya. "Mengapa tidak
sekalian gurumu, si Kempala tolol itu"!" ejek pemuda bertopeng itu, Untuk yang
kedua kalinya, Tiga Barka Kembar tersentak mendengar nama guru mereka dilecehkan
pemuda yang kini dalam kurungan mereka. Mata Tiga Barka Kembar melotot bengis
pada pemuda bertopeng yang masih tergelak-gelak.
"Bangsat! Kau benar-benar mencari mampus!
Heaaa...!"
*** Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak cepat.
Ketiganya berputar laksana angin puting beliung.
Tangan dan kaki mereka bergantian menyerang dengan pukulan dan tendangan.
"Ha ha ha...! Jurus kuno seperti itu masih kalian pakai saja," ejek lawannya
sambil melenting ke udara, untuk mengelitkan serangan Tiga Barka Kembar.
"Sombong! Rupanya mulutmu memang besar,
Pendekar Gila!" bentak Barka Sulung dengan dengusan penuh amarah. Mereka segera
memburu ke arah pemuda bertopeng.
"Kurobek mulutmu! Heaaa...!"
"Patah kakimu, Pendekar Gila. Yeaaa...!"
Tiga Barka Kembar terus merangsek lawan dengan jurus 'Elang Menyambar dan
Mematuk Mangsa'.
Tangan mereka laksana cakar dan paruh burung elang. Menyambar dan mematuk dengan
cepat dan keras.
"Heaaa...!"
Pemuda bertopeng itu melenting ke angkasa, kemudian dengan cepat kedua kakinya
bergerak hendak menjejak tangan ketiga lawan yang mencakar ke atas.
Melihat pemuda bertopeng hendak menjejakkan kaki ke tangan mereka, secepat kilat
ketiga lelaki berpakaian rompi hitam mengubah serangan. Tangan kanan yang
mencakar ke atas, dengan cepat ditarik.
Disusul satu sabetan tangan kiri menebas dada lawan.
"Yeaaat..!"
Tiga tangan menyabet bersamaan. Kalau saja pemuda bertopeng itu tidak segera
melompat kembali ke atas, sudah tentu kakinya akan patah terhantam ketiga tangan
berisi tenaga dalam itu.
"Hebat! Rupanya jurus 'Elang Menyambar dan Mematuk Mangsa' yang kalian miliki
cukup sempurna! Namun kalian jangan bangga dulu...
Sebab jurus yang baru saja kalian keluarkan, sama sekali bukan jurus yang
berarti bagiku!" ejek pemuda bertopeng.
"Jangan banyak omong! Hiaaat...!" bentak Barka bungsu sambil merangsek maju.
Sepasang tangannya
bergerak bergantian. Tangan kanan mencakar, disusul tangan kiri yang menyabet.
Melihat adiknya terus menyerang, Barka Sulung dan Barka Panengah tak mau tinggal
diam. Keduanya segera bantu menyerang dengan jurus yang sama.
Hingga lawan yang diserang harus menguras tenaga untuk bersalto dan melompat
mengelakkan serangan ketiganya yang keras dan cepat
"Hm, sayang sekali.... Sayang sekali kalian berhadapan denganku," gumam pemuda
bertopeng dengan nada sinis. "Kalau saja kalian menghadapi lawan ingusan,
tentunya kalian sudah menang. Tapi aku bukanlah bocah ingusan, Kawan. Tak ada
artinya jurus yang kalian keluarkan!"
Sombong benar kata-kata pemuda bertopeng itu.
Sepertinya ketiga lawan yang tengah menyerangnya, tidak berarti baginya. Padahal
Tiga Barka Kembar adalah nama yang cukup disegani di rimba persilatan.
Ilmu mereka pun bukan ilmu rendahan. Mereka telah membuktikannya dengan sejumlah
korban yang tewas di tangan mereka.
Tapi pemuda bertopeng itu hanya memandang sebelah mata pada Tiga Barka Kembar.
Dengan seenaknya menghina jurus-jurus ketiga lelaki berompi hitam yang
menyerangnya. Malah dia sengaja hanya mengelak, tidak mau balik menyerang.
Dengan penuh kemarahan, Tiga Barka Kembar tanpa banyak kata lagi terus
melancarkan serangan-serangan pada lawan. Mereka secepatnya berusaha menjatuhkan
pemuda itu. Dan kalau perlu, mencabik-cabik mulutnya yang sombong dan lancang
menghina mereka.
"Hiaaat..!"
"Jebol perutmu, Pemuda Sombong...!" hardik Barka
Panengah sambil mencakar ke perut lawan.
"Uts...! Kurang tepat, Kawan!"
Kembali pemuda bertopeng itu mengejek.
Tubuhnya mengelit ke samping. Kemudian tangan kirinya menepis serangan lawan.
Sedangkan tangan kanannya menghantam ke muka lawannya.
Serangan yang dilakukan pemuda bertopeng itu sangat cepat, membuat Barka
Panengah terkejut mendapat serangan yang tak terduga itu. Cepat-cepat tubuhnya
dirundukkan ke bawah, mengelakkan serangan cepat yang dilancarkan lawannya.
"Gila...!" pekiknya seraya menunduk rendah.
Pukulan tangan lawan menderu beberapa rambut di atas punggungnya.
Melihat lawannya dapat mengelakkan pukulannya, pemuda bertopeng tak berhenti
sampai di situ. Kaki kanannya kini menendang dengan cepat dan keras.
"Heaaa...!"
"Celaka...!" desis Barka Sulung dan Barka Bungsu hampir bersamaan. Mereka
terkejut menyaksikan saudaranya terdesak hebat oleh serangan yang dilancarkan
pemuda bertopeng.
"Kakang, kita harus membantunya...!" seru Barka Bungsu seraya melesat ke arah
pemuda bertopeng.
Tujuannya untuk menyelamatkan kakaknya yang kini dalam bahaya dengan memancing
pemuda bertopeng agar perhatiannya beralih ke arahnya. Sehingga sang Kakak dapat
terbebas dari serangan lawan.
Apa yang diusahakannya mendapatkan hasil. Kini, perhatian pemuda bertopeng
beralih padanya.
Termasuk mengalihkan serangannya pada Barka Bungsu.
"Rupanya kau dulu yang ingin kuhajar!" bentak pemuda bertopeng seraya
mempercepaat serangan.
"Heaaa...!"
Tubuh pemuda bertopeng itu melesat ke atas, kemudian menukik ke bawah setelah
mencapai ketinggian yang cukup. Sepasang tangannya bergerak lincah. Satu
menyerang dengan pukulan, yang lain menyambar dengan sabetan yang keras. Gerakan
kedua tangan itu sangat cepat, hingga merepotkan Barka Bungsu yang membelalakkan
mata. "Celaka...! Kakang, bantu aku...!" seru Barka Bungsu sambil berusaha mengelakkan
serangan-serangan lawan yang cepat, keras dan bertubi-tubi.
"Kau harus kulumpuhkan! Heaaat..!"
Pemuda bertopeng dengan cepat menghantamkan tangannya ke dada lawan. Sehingga,
Barka Bungsu yang terdesak tak mampu lagi mengelak.
Degk! "Ukh...!"
Barka Bungsu mengeluh tertahan. Tubuhnya
seketika sempoyongan ke belakang. Tangannya memegangi dada yang terasa sakit
akibat pukulan telak itu. Dari bibirnya meleleh darah kental.
"Bungsu...!" pekik Barka Sulung sambil memburu ke arah tubuh adiknya yang
terpelanting ke tanah dengan luka dalam.
*** Melihat adiknya terluka dalam, Barka Sulung dan Barka Panengah semakin marah.
Mata keduanya melotot penuh kebencian pada pemuda bertopeng yang masih tertawa
penuh kemenangan.
"Bangsat! Kau telah melukai adikku! Kubunuh kau, Pendekar Gila! Heaaat..!"
Barka Sulung berteriak melengking, tubuhnya
kembali berkelebat cepat menyerang pemuda bertopeng itu.
"Percuma kalian melawan!" kata pemuda itu seraya mengelak. Kemudian pemuda
berbaju kuning itu balas melakukan serangan yang kencang dan cepat. Angin
pukulannya menderu keras, menyentakkan Barka Sulung.
Melihat kakaknya dalam ancaman, Barka
Panengah tidak tinggal diam.
"Kakang, cepat menyingkir! Biar kuhancurkan dia!
Yeaaa...!"
Barka Panengah menghantamkan pukulan
saktinya ke arah pemuda bertopeng. Namun dengan cepat, lawannya berkelit.
Kemudian setelah lolos dari serangan tadi, dia balik menyerang dengan pukulan-
pukulan cepat ke arah Barka Panengah.
"Yeaaa...!"
Barka Panengah tersentak kaget, ketika melihat tangan lawan membara laksana api
dan bergerak cepat ke arahnya.
Menghadapi keadaan genting seperti itu, Barka Panengah segera mencabut
senjatanya dari balik rompi. Di tangannya kini tergenggam sebilah trisula.
Barka Panengah dengan cepat berusaha menusukkan trisulanya, namun tangan lawan
ternyata lebih cepat menangkap tangannya.
Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tap! Krak! "Akh...!" Barka Panengah memekik keras, ketika tangannya dipatahkan. Matanya
membelalak dan mulutnya meringis menahan rasa sakit. Wajahnya pucat pasi laksana
tak berdarah. "Apa kataku"! Kalian tidak lebih cecurut tanah!
Cepat minggat dari hadapanku, sebelum kesabaran-
ku hilang!" bentak pemuda bertopeng mengancam.
Tiga Barka Kembar merasa kalau mereka tak akan mampu menghadapi pemuda yang
disangka Pendekar Gila itu. Dan dengan beringsut, mereka meninggalkan tempat itu disertai
ancaman.... "Pendekar Gila, kali ini kami memang kalah! Tapi nanti kami akan mengadakan
perhitungan denganmu!"
Pemuda bertopeng tertawa gelak mendengar
ancaman mereka. Lalu pandangannya beralih ke arah Wulandari yang terduduk lemas
dan mata yang memandang penuh harap akan pertolongan pemuda itu.
Pemuda bertopeng tertawa, kemudian kakinya melangkah ke arah Wulandari yang
masih terduduk lemas. Dibukanya topeng penutup mukanya. Kini nampaklah seraut
wajah tampan namun penuh kebengisan.
Wulandari mengerutkan kening lalu menyurut mundur, manakala tangan pemuda itu
membelai dagunya.
"Kau cantik sekali, Nyi. Hm...."
Pemuda tampan itu dengan cepat merengkuh
tubuh Wulandari yang seketika berteriak...
"Lepaskan aku! Oh, lepaskan...!"
Bagaikan kehausan, pemuda tampan itu tak
menghiraukan teriakan Wulandari. Bahkan teriakan wanita itu dianggapnya sebagai
ungkapan memohon.
Pemuda itu terus menggeluti tubuh Wulandari, melampiaskan gejolak nafsu
binatangnya. Begitulah kenyataan hidup. Seringkali muncul orang-orang bermuka
dua. Suatu saat mengumpat kekotoran yang dilakukan orang lain. Dan pada saat
lain, dia berpesta pora dengan kekotoran dirinya.
Ketika semuanya terjadi, Wulandari hanya
menangis, sedangkan pemuda tampan itu tersenyum sambil mengenakan pakaiannya
kembali. "Seharusnya kau gembira berkenalan denganku, Pendekar Gila yang namanya
tersohor."
Usai berkata begitu, pemuda yang mengaku
sebagai Pendekar Gila itu melesat pergi setelah menghantamkan pukulan dahsyat ke
tubuh Selo hingga hancur.
"Kakang...!" pekik Wulandari, menyaksikan suaminya menggeletak tanpa nyawa.
Wulandari langsung menghampiri tubuh suaminya yang hancur terhantam pukulan maut
pemuda mengaku sebagai Pendekar Gila. Wanita muda dan cantik tapi malang itu
menangisi kematian suaminya yang mengenaskan.
"Pendekar Gila keparat!" makinya penuh dendam di antara isak tangis.
Tak ada lagi keindahan yang dapat dibayangkan dari pernikahannya. Bulan madu
yang seharusnya begitu berkesan, kini hilang sudah. Bahkan keperawanannya telah
direnggut oleh manusia laknat tak berperasaan. Mungkin tindakan Tiga Barka
Kembar bisa agak dimaklumi, karena mereka memang orang-orang sesat. Tapi
perbuatan Pendekar Gila yang katanya selalu membela orang lemah, sangat sulit
dilupakannya. Kebenciannya pada para pendekar, terutama pada Pendekar Gila, tercermin pada
matanya yang membara berlinang air mata. Tangannya mengepal, kemudian memukul-
mukul tanah yang ada di
hadapannya sambil berteriak sejadi-jadinya.
"Kakang, izinkanlah aku membalas semuanya!
Akan kutaklukkan semua pendekar! Akan kutakluk-
kan mereka, terutama Pendekar Gila! Akan kucabut jantung dan kemaluan mereka,
kuremas hancur seperti tubuhmu. Akan kupersembahkan semua untukmu!"
Usai bersumpah begitu, Wulandari bangun dari sujudnya. Melangkah tertatih-tatih
dengan tubuh letih, meninggalkan tempat itu.
Fajar menyingsing di ufuk timur, mengiringi kepergian wanita yang di dadanya
tersimpan dendam membara. Dendam pada orang-orang persilatan, terutama Pendekar
Gila yang telah menghancurkan hidup dan masa depannya.
TIGA Pagi masih belum begitu terang. Cahaya matahari baru saja menyingsing,
mengabarkan pada makhluk malam bahwa hari baru telah datang lagi. Hewan-hewan
mendendangkan tembangnya masing-masing, menciptakan kedamaian kecil dalam dunia
yang hingar-bingar.
Seorang wanita dengan wajah pucat dan terlihat letih, berjalan tertatih.
Sesekali langkahnya terhenti bersama erangan menahan sakit. Wanita muda
berpakaian kebaya layaknya wanita desa itu adalah Wulandari. Sejenak matanya
memandang nanar ke arah matahari terbit di ufuk timur.
"Kakang, mampukah aku mengalahkan mereka"
Mampukah aku mengalahkan Pendekar Gila?"
keluhnya sambil menyapu keringat yang membasahi keningnya. Dihelanya napas
panjang-panjang.
Kemudian dengan mencoba menguatkan langkahnya, Wulandari kembali meneruskan
perjalanannya. Baru beberapa tindak Wulandari melangkah, tubuhnya terkulai pingsan. Dia masih
terlalu lemah setelah menjadi korban nafsu pemuda yang mengaku Pendekar Gila.
Tak berapa lama kemudian, dari arah timur tampak seorang wanita tua dengan tubuh
terbungkuk berjalan menuju tempat Wulandari pingsan.
Wanita tua yang bungkuk itu terus melangkah.
Tiba-tiba langkahnya berhenti. Matanya yang keriput, semakin menyipit
menyaksikan sesuatu tergeletak di jalanan. Diamatinya dengan seksama apa yang
tergeletak di jalanan itu.
"Weleh, rupanya seorang wanita muda. Heh, kenapa dia?" tanyanya terheran-heran.
Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk wanita tua itu mendekati tubuh Wulandari yang
tergeletak pingsan.
Diamatinya kembali tubuh wanita muda itu dengan seksama.
"Hm, kasihan.... Sepertinya dia tengah menghadapi tekanan batin," gumamnya
prihatin. Lalu wanita itu jongkok. Telapak tangannya diulurkan untuk meraba dada
wanita muda itu. "Masih hidup. Dia hanya pingsan."
Dibolak-baliknya tubuh wanita muda yang pingsan itu beberapa kali. Sepertinya
dia berusaha mengetahui sesuatu pada tubuh Wulandari.
Kepalanya mengangguk-angguk. Sedangkan mulutnya tersenyum. Dia seakan senang
terhadap wanita muda itu.
"Hm, tak ada jeleknya dia kuangkat menjadi murid.
Ah, biarlah masalah Pendekar Gila itu. Toh antara aku dan dia tak ada apa-apa.
Tak ada silang sengketa."
Diangkatnya tubuh Wulandari dengan mudah, bagai mengangkat gulungan kapas. Nenek
itu kini berlari kembali ke arah timur dengan memanggul tubuh Wulandari.
Nenek itu semakin cepat berlari. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah jauh
meninggalkan tempat semula.
Wanita tua itu bernama Nyi Kendil. Dia terus berlari dengan membawa tubuh
Wulandari menerobos hutan. Larinya sangat kencang, sangat tidak sesuai dengan keadaan
tubuhnya yang bungkuk dan tampak renta. Begitu kencangnya dia berlari, sampai-
sampai tubuhnya laksana terbang, dan kedua
kakinya bagai tak menjejak tanah.
Nyi Kendil baru berhenti berlari ketika tiba pada sebuah gua di lereng bukit
yang dikelilingi pepohonan lebat. Sesaat matanya menyapu ke sekeliling, berusaha
memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya.
Setelah yakin kalau di sekelilingnya tak ada orang lain, wanita tua itu melesat
menuju mulut gua.
Kemudian hanya dengan menggunakan tangan kiri, didorongnya pintu gua dari batu
yang ditumbuhi lumut dan rerumputan hingga sekilas tak tampak kalau di situ ada
gua. Hal itu menunjukkan tingkat tenaga dalam Nyi Kendil yang sangat tinggi.
Kaki Nyi Kendil melangkah masuk lalu menyusuri lorong gua itu. Akhirnya tubuhnya
berhenti di depan sebuah dinding gua. Tangan kirinya ditempelkan ke dinding itu,
lalu mendorongnya....
Srrrt! Dinding gua yang semula nampak tak bercelah, kini bergerak membuka. Ternyata di
baliknya ada sebuah kamar lebar dengan sebuah tempat tidur dari batu datar
sepanjang dua depa dan selebar satu depa. Di tempat itulah tubuh Wulandari
dibaringkan. Dipandanginya tubuh Wulandari yang masih dalam keadaan pingsan dengan kepala
mengangguk-angguk. Entah mengapa, wanita tua bungkuk yang sudah berpuluh tahun
menghilang dari dunia persilatan itu keluar lagi dari persembunyiannya.
Kemudian, kakinya melangkah ke arah dinding gua sebelahnya yang ada di depan
ruangan di mana Wulandari tiba.
Tangannya kembali menekan dinding gua itu. Lalu nampak dinding gua bergerak
membuka, menimbulkan gemuruh halus. Sesaat kemudian,
nampak sebuah ruangan lebar dengan perabotan terbuat dari bebatuan. Nampaknya di
ruangan itu si nenek menaruh ramuan-ramuan obat yang diracik sendiri.
Dengan tubuh terbungkuk, si nenek melangkah masuk. Matanya memandangi peralatan
yang terbuat dari batu, berupa mangkuk dan kendi-kendi kecil.
Lama mata nenek itu beredar ke sekeliling tempat itu, sepertinya mencari obat
yang cocok. "Hm, mungkin ini yang cocok untuknya," gumam si nenek. Diambilnya sebuah mangkuk
berisi serbuk ramuan obat. Kemudian diambilnya air dan
dituangkan ke mangkuk. Nampak asap mengepul dari dalam mangkuk ketika air itu
bercampur dengan serbuk.
Nyi Kendil tertawa senang, lalu berlalu dari ruangan itu dan kembali ke ruangan
di mana Wulandari terbaring.
Dibukanya seluruh pakaian Wulandari, lalu dioleskan ramuan itu ke sekujur tubuh
wanita muda itu. Seketika mulut Wulandari menjerit keras.
"Akh...! Panas...!"
Tubuh Wulandari menggeliat kepanasan. Namun Nyi Kendil bagai tak mengenal
kasihan. Tangannya terus membaluri ramuan ke sekujur tubuh Wulandari, dari ujung
kaki hingga ke wajah. Mulut Wulandari semakin keras mengerang. Sedangkan
tubuhnya menggeliat-geliat tak beda dengan cacing yang tersiram air panas.
"Panas...! Oh, panas...!" pekiknya berusaha menghentikan Nyi Kendil agar tidak
terus membaluri sekujur tubuhnya dengan ramuan yang sangat panas itu. Namun
nenek itu tak mau peduli. Tetap saja tubuh Wulandari dibaluri dengan ramuan itu.
Hingga tak sejengkal pun yang terlewatkan.
Tubuh Wulandari yang telah dibaluri ramuan itu, seketika mengepulkan asap,
dibarengi keluhan dan pekikan wanita muda itu.
"O, panas...! Aduh, panas...!"
"He he he...! Sebentar, Nak.... Hanya sebentar panasnya. Setelah itu, kau akan
merasakan tubuhmu segar," kata Nyi Kendil dengan mulut terkekeh.
Wulandari merasa sekujur tubuhnya bagai
membara. Panasnya semakin menyengat tak
tertahankan. Didahului pekikan, tubuh Wulandari kembali terkulai pingsan.
Nyi Kendil terkekeh sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Dipandanginya tubuh Wulandari yang kini bagai membara. Setelah
itu, dia berlalu dari tempat itu dengan senyum menghiasi bibirnya.
Kaki Nyi Kendil melangkah menuju sebuah tempat yang lebar. Di tempat itu
terdapat sebuah batu berbentuk persegi. Lalu dengan duduk bersila, nenek itu
melakukan semadi.
Tidak begitu lama kemudian, Wulandari kembali siuman. Badannya yang semula linu
dan terasa sakit, kini telah menjadi segar. Matanya memandang ke sekeliling
tempat itu dengan tatapan heran.
Seingatnya, dia berada di jalanan ketika pingsan. Tapi kini, dia berada di
sebuah ruangan batu.
"Di mana aku?" tanyanya lirih. Kemudian dia memandang tubuhnya. Seketika matanya
membelalak. "O, siapa yang telah menelanjangiku"!"
Wanita muda itu benar-benar marah mendapatkan tubuhnya dalam keadaan telanjang.
Dengan cepat, diambilnya pakaian yang berserakan. Setelah mengenakannya kembali,
Wulandari bergegas keluar dari ruangan itu untuk mencari orang yang telah
berani menelanjanginya.
"Kurang ajar! Akan kuremukkan batok kepalanya!"
dengus Wulandari sengit. Langkahnya lebar, seakan tak sabar lagi untuk menemukan
orang yang telah menelanjanginya. Wulandari hendak melangkah ke arah barat,
ketika terdengar suara seorang wanita tua berkata....
"Mau ke mana, Anak Bodoh?"
Wulandari tersentak. Matanya menyapu ke dalam gua, berusaha mencari pemilik
suara yang tadi berkata. Napasnya mendengus penuh amarah.
Setelah merasa yakin kalau suara itu datang dari arah belakang, Wulandari segera
melangkah ke sana.
"Di manakah kau, Wanita Kurang Ajar"!" bentak Wulandari, nadanya sama sekali
tidak menunjukkan rasa takut. Dia benar-benar telah nekat. Dendamnya pada orang-
orang persilatan, menjadikan hatinya gelap. Tak ada pilihan lain, kecuali
bertarung dengan orang persilatan, meski dia akan mati.
"Aku di sini, Anak Bodoh!"
Terdengar jawaban dari arah depan. Suara itu milik seorang wanita tua.
Wulandari mempercepat langkahnya. Kakinya berhenti, ketika sampai di sebuah
ruangan luas tempat wanita tua renta itu duduk. Dengan wajah menggambarkan
kemarahan, Wulandari membentak keras....
"Kaukah yang kurang ajar telah menelanjangiku, heh"!"
"Benar, memang akulah yang menelanjangi tubuhmu. Sungguh mulus sekali. Lelaki
mana pun sudah tentu akan berusaha mendapatkan tubuhmu,"
ujar Nyi Kendil seraya tersenyum. "Kalau saja aku lelaki, sudah dari tadi
tubuhmu kugeluti...."
"Cabul! Kurang ajar! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Wulandari menyerang
nenek itu. Tangannya bergerak untuk memukul kepala Nyi Kendil.
Mendapat serangan dari Wulandari, Nyi Kendil terkekeh dan tak bergeming dari
duduknya. Ketika tangan wanita muda itu melesat ke muka, si nenek hanya menekuk
lehernya ke samping. Hingga serangan Wulandari menemui tempat kosong.
Merasa serangan pertama gagal, Wulandari
semakin gusar. Dia kembali menyerang dengan tendangan ke tubuh Nyi Kendil. Namun
nenek itu dengan enteng bergeser ke samping.
"Hi hi hi.... Gerakan kaku seperti itu kau gunakan untuk menyerangku" Anak
bodoh!" bentak wanita tua itu. Kemudian dia duduk kembali di atas batu tadi.
"Sombong! Kuremukkan tubuhmu, Nenek Cabul!
Heaaa...!"
Tangan dan kaki Wulandari kembali menyerang.
Namun lagi-lagi Nyi Kendil dengan mudah berkelit Serangan Wulandari seakan tak
berarti sama sekali.
Malah nenek itu semakin seru tertawa.
"Anak bodoh! Keluarkan semua tenaga dan kebiasaanmu yang tiada guna itu!" ejek
Nyi Kendil. Wulandari mendengus. Dia kembali menyerang dengan kemarahan memuncak. Tangannya
memukul sembarangan ke seluruh Nyi Kendil. Namun, lagi-lagi wanita tua itu
berkelit dengan sambil terkekeh-terkekeh.
"Dasar anak tolol! Rupanya kau tak becus ilmu silat! Huh, tolol!"
Wulandari semakin marah diledek begitu. Dia memang tidak tahu apa-apa tentang
ilmu silat, namun dia tidak sudi dikatakan tolol. Kembali dengan
teriakan nyaring Wulandari menyerang.
"Heaaa...!"
*** Dengan menguras seluruh tenaganya, Wulandari terus menyerang Nyi Kendil. Namun
serangan yang tak dilandasi ilmu silat itu menjadi mentah. Nenek itu memang
bukan wanita tua biasa. Dia adalah seorang nenek sakti yang di masa mudanya
pernah malang-melintang di dunia persilatan,
Menghadapi serangan Wulandari yang tidak berarti dan tidak didasari ilmu silat,
Nyi Kendil bagai mendapat permainan yang menyenangkan. Tubuhnya bagai menari-
nari, membuat Wulandari merasa dipermainkan. Wajahnya bertambah geram dan
gerakannya makin membabi buta. Tapi mulut Nyi Kendil malah makin sering
menghina. Kian memancing amarah wanita muda itu.
"Heaaa...!"
"Hi hi hi.... Lucu sekali gerakanmu, Anak Tolol!
Gerakanmu seperti pelepah pisang. Kaku...!" ejek Nyi Kendil sambil terkekeh.
Lalu kakinya diangkat ke atas, manakala kaki Wulandari menyapu. Kemudian dengan
melenting ke atas, si nenek menotok punggung Wulandari.
Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tuk! "Ukh...!"
Terdengar Wulandari mengeluh, kemudian tubuhnya mematung tanpa dapat digerakkan.
Hanya matanya saja yang memandang penuh kebencian.
"Lepaskan aku, Pengecut..!" bentaknya sengit. Nyi Kendil tertawa terkekeh.
Tangannya bertolak pinggang. Setelah puas tertawa, kakinya melangkah
menuju tubuh Wulandari yang masih mematung.
"Kau kutemukan di jalanan dalam keadaan pingsan. Lalu kubawa ke tempat ini.
Kalau tadi aku mempreteli bajumu, itu karena aku hendak me-mulihkan tubuhmu yang
terlalu lemah. Kau
mengerti?" urai Nyi Kendil tepat di hadapan Wulandari. Setelah itu, tangannya
bergerak untuk membebaskan totokan pada tubuh Wulandari.
Tuk! Wulandari terkulai jatuh dengan keadaan terduduk serta kepala menunduk di depan
Nyi Kendil. "Maafkan aku, Nek. Ampuni aku.... sungguh, aku tidak tahu kalau kau
menolongku...," ratap Wulandari sambil bersujud.
Nyi Kendil terkekeh.
"Sudahlah. Ayo bangun.... Tidak perlu berbuat begitu."
Kemudian Nyi Kendil membimbing Wulandari
bangun, dan mengajak wanita muda itu ke tempatnya duduk tadi. Nyi Kendil
bersila, di atas batu persegi.
Sedangkan Wulandari kini bersila di hadapannya.
"Nenek, terimalah aku sebagai muridmu.
Kumohon, terimalah aku sebgai muridmu," pints Wulandari.
Nyi Kendil kembali terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar
rengekan wanita muda depannya.
"Bocah, mengapa kau tiba-tiba meminta aku menjadi gurumu?"
Wulandari menangis. Tanpa diminta dia pun menceritakan kejadian yang telah
menimpa dirinya.
Diceritakan tentang awal mula kejadian itu. Dia dan Selo baru saja menikah,
ketika tiga orang yang mengaku bernama Tiga Barka Kembar datang ke
rumah mereka. Ketiga orang itu mencari Pendekar Gila.
"Pendekar Gila...?" tanya Nyi Kendil.
"Benar, Nek."
"Hm, untuk apa mereka mencari pendekar muda sakti itu" Apakah mau mengadu
ilmu...?" tanya Nyi Kendil lagi. Keningnya masih berkerut dalam.
"Begitulah, Nek," jawab Wulandari.
"Hm...," gumam Nyi Kendil.
Tangan kanan wanita tua itu memegang dan
mengelus dagunya yang berlipat. Kepalanya mengangguk-angguk, entah apa yang
dipikirkannya. "Teruskan ceritamu," pinta Nyi Kendil, agar Wulandari meneruskan ceritanya.
Karena merasa tidak menyembunyikan Pendekar Gila, Selo pun tidak mengakui
tuduhan ketiga lelaki bertampang kasar itu. Hal itu membuat Tiga Barka Kembar
marah. Mereka menangkap Selo dan
menyeretnya. Dengan cara menyiksa, ketiga orang itu berusaha mengetahui di mana
Pendekar Gila berada.
"Tidak masuk akal...!" ujar Nyi Kendil tiba-tiba, membuat Wulandari menghentikan
ceritanya. Matanya memandang tak mengerti ke arah wanita tua itu.
"Kenapa, Nek?" tanya Wulandari.
"Tidak masuk akal, kalau pendekar kesohor bersembunyi...," gumam Nyi Kendil.
"Jelas Tiga Barka Kembar hanya mencari-cari alasan untuk menyiksa suamimu. Hm,
apakah antara suamimu dan
ketiganya pernah saling bersengketa?"
Wulandari menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, Nek."
"Hm, baiklah.... Ceritakan selanjutnya."
Wulandari pun meneruskan ceritanya.
Setelah tak juga mendapatkan jawaban dari Selo, ketiganya bermaksud memperkosa
Wulandari. Bahkan salah seorang dari Tiga Barka Kembar hampir saja merenggut kehormatannya.
Lalu datang pemuda bertopeng yang mengaku berjuluk Pendekar Gila.
Mereka pun bertarung. Namun rupanya orang yang mengaku sebagai Pendekar Gila
jauh lebih lihai dari mereka. Dengan mudah ketiganya dapat dikalahkan.
Setelah Tiga Barka Kembar pergi, pemuda bertopeng yang memiliki wajah tampan itu
memperkosa Wulandari. Bukan hanya itu saja, pemuda bertopeng yang mengaku
berjuluk Pendekar Gila membunuh suaminya dengan pukulan maut. Hingga tubuh
suaminya hancur berantakan.
"Aku dendam pada orang-orang persilatan! Aku ingin membalas mereka, terutama
Pendekar Gila!"
dengus Wulandari mengakhiri ceritanya.
"Membalas dendam?" tanya Nyi Kendil sambil tertawa dan menggeleng-gelengkan
kepalanya. Wulandari mengerutkan kening, tak mengerti mengapa si nenek mentertawakannya.
"Mengapa Nenek tertawa" Apakah ada yang lucu?"
tanya Wulandari tak mengerti.
"Ya. Kau lucu sekali, Bocah. Eh, siapakah namamu?"
"Wulandari, Nek," jawab Wulandari. "Tapi lebih sering dipanggil Wulan saja."
"Wulan, bagaimana kau mau membalas dendam"
Orang-orang rimba persilatan bukanlah manusia-manusia lemah. Terutama Pendekar
Gila. Mereka memiliki ilmu kesaktian dan ilmu silat yang tinggi.
Nah, bagaimana kau dapat mengalahkan mereka tanpa memiliki kemampuan?"
Wulandari terdiam dengan kepala tertunduk.
Memang benar apa yang dikatakan wanita tua itu.
Jika dia tidak memiliki apa-apa, tak mungkin dendamnya dapat terbalaskan.
"Kalau begitu aku memohon pada Nenek, sudilah kiranya Nenek memberikan pelajaran
ilmu silat pada aku yang lemah ini. Aku berjanji, akan mentaati semua peraturan
yang Nenek berikan. Tolonglah, Nek. Aku akan mengabdi padamu."
Nyi Kendil terkekeh-kekeh kembali dengan
mengangguk-angguk. Kemudian tawanya terhenti.
Ditatapnya wajah Wulandari dalam-dalam. Nenek itu sepertinya dapat mengetahui
kalau Wulandari mau berbuat apa saja demi dendamnya. Itu yang menjadikan wanita
muda itu menyanggupi untuk mentaati semua syarat-syarat yang diberikan si nenek.
Wanita tua itu merasa iba melihat keadaan Wulandari.
"Hm, aku tahu semangatmu sungguh besar, Wulan. Baiklah, tapi kau harus mau
menerima ujian berat dariku. Dan kau harus patuh menjalankan semua perintahku,
jika kau memang ingin cepat mendapatkan ilmu silat yang handal. Dan ingat,
jangan coba-coba kau bermalas-malasan...!" ucap Nyi Kendil akhirnya.
Wulandari yang mendengar tutur kata si nenek jadi tersenyum. Segera tubuhnya
bersujud penuh hormat.
"Terima kasih. Nek.., hm, Guru.... Ujian dan perintah Guru akan kujalankan
dengan senang hati...."
EMPAT Pagi cerah dengan udara yang sejuk. Angin berhembus semilir, mengusik dedaunan
pada pucuk pohon. Hembusannya juga membuat beberapa daun kering menari-nari di
udara. Seorang pemuda tampan mengenakan rompi kulit ular sanca, menggeliat perlahan.
Pemuda itu terjaga dari tidurnya ketika sinar matahari menerpa wajahnya yang
tampan. Pemuda yang tak lain Sena Manggala atau
Pendekar Gila itu menguap lebar. Tangannya mengucek-ucek mata yang menyipit
karena silaunya sinar matahari.
"O, sudah pagi...," gumamnya perlahan.
Sena duduk di atas cabang pohon yang
digunakannya untuk tidur. Matanya memandang ke sekeliling. Tak lama kemudian,
dengan enteng tubuhnya melesat turun dari atas pohon besar itu.
"Hm, cacing-cacing di dalam perutku sepertinya sudah tidak sabar lagi," gumam
Sena sambil menepuk-nepuk perutnya. Tiada angin, tiada hujan tiba-tiba dia
tertawa tergelak-gelak, seperti ada yang lucu. Tangannya menggaruk-garuk kepala
sambil melompat-lompat, layaknya seorang bocah kecil yang kegirangan.
Suasana pagi yang tenang, seketika dipecahkan gelak tawa ceria Pendekar Gila.
Menjadikan burung-burung yang sedang bertengger seketika beterbagan karena
kaget. Sena masih tertawa-tawa. Dan dengan menyanyi-nyanyi, kakinya melangkah untuk
pergi dari tempat itu. Perutnya terasa semakin lapar. Menuntut untuk diisi.
"Sabar, perutku...," gumam Sena seorang diri.
Tangan kirinya kembali menepuk-nepuk perut yang dirasakan sangat lapar.
Kakinya terus melangkah, meninggalkan hutan belantara tempatnya tidur semalam.
Masih dengan tingkah seperti orang gila, Sena terus menyelusuri lembah yang
dihimpit bukit.
Tengah kakinya melangkah, nampak sebuah
pedati yang dikendarai seorang lelaki tua berbaju serba putih. Kepalanya diikat
oleh kulit rusa. Wajah lelaki tua itu tampak tenang, mencerminkan suatu
kemantapan jiwanya.
Melihat tingkah aneh pemuda tampan berpakaian kulit ular, seketika lelaki tua
itu menghentikan pedatinya. Matanya memandangi pemuda itu dengan seksama.
Kemudian terdengar gumaman dari
mulutnya.... "Mungkinkah pemuda ini yang dinamakan Pendekar Gila dari Gua Setan itu?"
tanyanya pada diri sendiri.
Dipandanginya pemuda tampan yang melintas berapa tombak di depannya. Kemudian
lelaki berbaju putih yang dikenal sebagai Ki Martanu segera turun dari
pedatinya. Dihampirinya Sena. Hatinya yakin kalau pemuda yang kini ditemuinya
adalah pendekar muda yang disebut Pendekar Gila.
"Ya Aku yakin, dialah Pendekar Gila. Tentunya orang gila biasa tidak mungkin
memiliki pakaian seperti pemuda itu. Apalagi suling itu. Hei, bukankah itu
Suling Naga Sakti?" gumam Ki Martanu sambil mengerutkan kening. Matanya semakin
lekat, memperhatikan pemuda itu. Sementara kakinya terus melangkah.
Ki Martanu semakin mendekat Dan ketika Sena telah di depannya, badannya
dibungkukkan untuk menjura.
"Ah, rupanya hari ini aku sangat beruntung, bisa bertemu denganmu, Pendekar
Gila. Terimalah salam hormatku," sapa Ki Martanu.
Pendekar Gila yang tengah tertawa-tawa, seketika menghentikan tawanya. Matanya
menyipit dan keningnya berkerut. Dipandanginya lekat-lekat lelaki setengah tua
berbaju putih yang menjura di depannya.
"Ah ah ah, mengapa kau menjura begitu, Ki" Dan
siapakah engkau?" tanya Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Keningnya
tetap berkerut.
"Aku Martanu, orang tua yang tiada gunanya.
Orang menjulukiku Sabit Kembar dari Timur," sahut Ki Martanu, memperkenalkan
diri. "Aha, akulah yang beruntung bisa bertemu denganmu, Ki! Akulah yang harus
menghormatimu,"
kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya membungkuk, untuk menjura
hormat pada Ki Martanu. "Ah, sudahlah! Tuan Pendekar jangan merendah begitu. Siapa yang tidak kenal
denganmu. Sungguh beruntung sekali, aku yang tua dan lapuk ini bisa berjumpa
denganmu sebelum mati," tutur Ki Martanu.
Kalau boleh aku tahu, hendak ke mana tujuanmu?"
Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Kemudian wajahnya ditengadahkan, memandang langit yang biru.
"Aku hendak mencari kedai, Ki. Perutku ini sudah tidak tahan lagi," jawab Sena
sambil menepuk-nepuk perutnya dengan tangan kanan. Tingkah lakunya sangat lucu,
membuat Ki Martanu hampir tertawa dibuatnya. Beruntung orang tua itu tahu, siapa
pemuda di hadapannya. Jadi dia berusaha menahan tawanya menyaksikan tingkah laku
Sena yang lucu.
"Kalau kau tidak keberatan, bagaimana jika jalan bersamaku" Sungguh suatu
kehormatan bagiku yang tua ini, jika kau berkenan naik di pedatiku," ajak Ki
Martanu. Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Kemudian terdengar tawanya lepas.
"Ah ah ah, sungguh baik sekali kau, Ki. Tak dapat aku menolak ajakanmu," jawab
Sena, membuat Ki Martanu tersenyum senang.
"Mari, Tuan," ajak Ki Martanu sambil mengiringi Pendekar Gila ke pedatinya.
Pendekar Gila segera naik ke pedati itu, lalu duduk di samping Ki Martanu.
Kemudian lelaki tua itu menjalankan pedatinya, meninggalkan tempat itu.
"Hendak ke manakah tujuanmu, Ki?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya menyapu pada deretan bukit menjulang di sekelilingnya.
"Aku hendak pulang, Tuan. Baru saja aku bertandang ke rumah Kanjeng Tumenggung
Pandan Laras," jawab Ki Martanu yang dikenal dengan julukan Sabit Kembar dari
Timur. "Aha, ada apa gerangan di sana, Ki?"
Ki Martanu tersenyum.
"Tidak ada apa-apa, Tuan Pendekar. Aku diundang karena Kanjeng Tumenggung
meminta anak mantu-nya diboyong ke ketemenggungan."
"Jadi, kini kau menjadi besan Kanjeng Tumenggung, Ki?"
"Ya, begitulah," jawab Ki Martanu.
"Aha.... Kuucapkan selamat, Ki," ujar Sena seraya menyatukan kedua tangannya di
depan dada. "Terima kasih," jawab Ki Martanu, seraya melakukan hal yang sama.
"Maaf, aku tidak bisa datang di hari pemikahan putramu, Ki. Karena aku tidak
tahu," sesal Sena.
"Akulah yang harus meminta maaf, sebab lalai tidak mengundangmu, Tuan Pendekar.
Entah karena apa, aku melupakan Tuan yang memiliki nama besar."
"Ah ah ah, jangan terlalu menyanjungku, Ki. Aku belum seberapa jika dibandingkan
dengan nama besarmu," elak Pendekar Gila seraya menggaruk-garuk kepala.
Tanpa terasa, mereka telah memasuki per-
kampungan. Ki Martanu memperlambat laju pedatinya, sebab banyak orang berlalu-
lalang di jalan perkampungan itu.
"Ah, rupanya kita sudah sampai, Ki. Aku harus turun untuk mencari kedai," ucap
Sena. Kemudian dia menyatukan kedua tangan di depan dada. Lalu kepalanya
dirundukkan, sebagai tanda hormat.
Ki Martanu membalas dengan melakukan hal yang sama.
"Jika ada waktu, bertandanglah ke perguruanku, Tuan," ujarnya.
"Jika Hyang Widhi mengizinkan, aku akan bertandang, Ki. Sekali lagi, terima
kasih." Setelah berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat meninggalkan tempat
itu. "Ck, ck, ck...! Sungguh bukan pendekar sembarangan. Beruntung sekali aku
berkenalan dengannya. Ah, kalau saja aku punya waktu panjang, rasanya ingin
sekali bisa berjalan bersamanya sambil berguru barang beberapa ilmu dan budi
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 12 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Pendekar Elang Salju 6
SATU Malam tergelincir dari peraduannya. Gelap me-nyelimuti bumi. Suasana di Desa
Randu Pitu kelihatan sunyi dan lengang. Tidak seperti kemarin, saat pesta
pernikahan dua remaja yang berlangsung meriah. Kini suasananya kembali sepi. Tak
ada orang berlalu lalang. Hanya desah angin malam yang terasa mencekam, ditambah
rasa dingin yang menggigit.
Malam itu, merupakan malam pertama yang indah bagi sepasang pengantin baru.
Malam untuk menentukan segalanya. Di mana malam pertama adalah malam awal bagi
keduanya untuk mengarungi ke-hidupan baru. Dari masa remaja yang manis, memasuki
masa dewasa yang penuh tantangan.
Wulandari duduk di tempat tidur dengan kepala tertunduk malu, tangannya membuka
satu persatu pakaiannya.
Lelaki muda tampan dengan pakaian putih lengan panjang berdiri di hadapannya. Di
bibir lelaki muda yang bernama Selo, tersungging senyuman. Matanya menatap lekat
sang istri yang tengah membuka pakaiannya.
"Kangmas...," desis Wulandari. Perlahan wajahnya ditengadahkan, lalu memandang
penuh harap pada sang Suami. Di bibirnya tersungging senyuman pula.
"Diajeng...," ucap Selo seraya melangkah untuk mendekati istrinya.
Sementara itu, sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam rumah mereka yang
cukup besar. Ketika orang yang menyelinap itu melanggar kursi
bambu di ruang depan, keduanya tersentak.
"Siapa itu"!" bentak Selo sambil berlari keluar kamar mengejar bayangan tadi.
Belum juga Selo menemukan orang yang me-
nyelinap ke dalam rumahnya, tiba-tiba dari luar terdengar bentakan keras....
"Selo, keluar kau...!"
Selo tersentak kaget. Dengan hati bertanya-tanya, kakinya melangkah keluar untuk
melihat siapa yang datang.
"Oh, rupanya kalian," kata Selo dengan bibir tersenyum ramah, setelah tahu siapa
yang datang. Tiga orang berwajah angker yang dikenal Selo dengan julukan Tiga Barka Kembar
itu berdiri dengan sikap angkuh di depan rumahnya. Ketiganya mengenakan rompi
hitam dengan ikat pinggang merah.
Di kepala masing-masing terdapat ikat kepala batik.
"Ada apa Kisanak bertiga datang ke tempatku?"
tanya Selo. "Masih juga berpura-pura tidak tahu!" dengus Barka Sulung dengan mata melotot.
"Rupanya diam-diam kau menyembunyikan Pendekar Gila, Selo! Di mana dia
sekarang..."!"
bentak Barka Panengah. Kemudian tanpa menghiraukan Selo, Barka Penengah dan
Barka Bungsu berkelebat masuk ke dalam. Namun tidak lama kemudian, keduanya
telah keluar kembali.
"Di mana kau sembunyikan, Selo"!" hardik Barka Bungsu seraya tangannya menampar
wajah Selo. Tubuh lelaki muda itu pun sempoyongan lalu jatuh.
"Katakan, di mana kau sembunyikan pemuda gila itu, heh"!" kini Barkah Sulung
ganti menghardik.
"Pendekar Gila..." Bagaimana mungkin dia ke rumahku?" tanya Selo dengan tangan
menyeka darah yang keluar dari sela bibirnya. Tubuhnya beringsut bangkit.
Plak! Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Selo.
"Aduh...!" pekik Selo. Tubuhnya sempoyongan kembali. Sementara tangannya
memegangi pipi yang terasa panas. Darah meleleh lagi di sela bibirnya.
"Cepat katakan, di mana lelaki muda bertopeng itu"!" bentak Barka Sulung dengan
mata melotot. Sedangkan kedua adiknya mengelilingi rumah Selo untuk mencari orang yang mereka
maksudkan. Tidak lama kemudian, keduanya kembali dengan wajah menggambarkan
kejengkelan hebat.
"Tak ada juga! Rasanya memang bersembunyi di dalam rumah. Atau mungkin
disembunyikan oleh dia!"
lapor Barka Panengah, membuat kakaknya semakin bertambah marah.
"Seret dia! Kalau sampai di tempat kita belum juga mau mengaku, dia akan tahu
akibatnya!" dengus Barka Sulung.
"Ayo...!"
Barka Penengah segera menendang pantat Selo, membuat lelaki muda itu tersuruk
mencium tanah. Namun tiga orang kasar itu tak peduli, kaki mereka terus menendang.
"Jalan cepat...!"
"Jangan siksa aku. Sungguh aku tidak tahu," ratap Selo berusaha mengambil hati
Tiga Barka Kembar.
Namun nampaknya mereka tidak peduli dengan ucapan Selo. Bahkan mereka semakin
beringas. "Kau tahu apa yang telah dilakukan oleh pendekar berkedok itu, heh"!" bentak
Barka Sulung. "Dia telah merebut seorang perempuan dari kami. Dan membunuhnya
setelah terlebih dahulu diperkosa!"
Mata Selo membelalak saat mendengar penuturan Barka Sulung barusan. Padahal dia
sering dengar kalau Pendekar Gila tidak pemah melakukan hal-hal tercela.
"Pendekar Gila..."!" gumam Selo seakan tidak percaya.
"Ya! Sekarang tunjukkan, di mana dia!" hardik Barka Sulung.
"Sungguh, aku tidak tahu. Kalau kutahu, sudah dari tadi kukatakan pada kalian,"
kata Selo berusaha meyakinkan mereka.
?"Huh...! Masih juga kau menyembunyikannya!
Hih...!" Sebuah tamparan keras kembali mendarat telak di pipi Selo. Lelaki muda itu
kembali mengeluh kesakitan.
"Sungguh, aku tidak tahu," ratap Selo, hampir menangis karena rasa sakit yang
luar biasa di pipinya.
Rupanya jawaban Selo tidak membuat Tiga Barka Kembar percaya begitu saja. Mereka
malah semakin marah dan langsung menendang serta memukul lelaki muda itu.
Mendengar ribut-ribut di luar, Wulandari yang masih belum mengenakan seluruh
pakaiannya ber-anjak bangun. Dikenakannya kain sebatas dada, kemudian kakinya
melangkah keluar untuk melihat keadaan suaminya.
Matanya membelalak ketika menyaksikan suaminya diseret tiga lelaki yang
meninggalkan tempat itu.
Rasa kaget yang datang tiba-tiba membuat tangannya mendekap mulut yang memekik
tertahan. "Lepaskan suamiku...!" seru Wulandari untuk menghentikan ketiga lelaki yang
semakin jauh menyeret tubuh suaminya.
Wanita muda yang cantik itu segera mengejar.
Namun langkah mereka terlalu cepat buatnya.
Sedangkan Wulandari yang gemetaran karena takut suaminya akan mendapatkan
celaka, jadi tersendat-sendat dalam mengejar ketiga orang yang menyeret
suaminya. "Tolong...! Tolooong...!" jerit Wulandari sambil tetap mengejar ketiga orang
yang tengah menyeret suaminya.
Beberapa warga Desa Randu Pitu yang mendengar jeritan Wulandari, bergegas keluar
dari rumahnya. Mereka ingin tahu apa yang terjadi pada pasangan pengantin baru itu.
"Ada apa, Wulandari?" tanya kepala desa dengan napas memburu.
"Kakang Selo, Ki... Kakang Selo dibawa oleh tiga lelaki itu," tutur Wulandari
terbata-bata. "Ke mana mereka..."!" tanya Kepala Desa Randu Pitu lagi dengan wajah tegang.
"Ke sana. Tolonglah suamiku...," ratap Wulandari sambil menunjuk arah kepergian
orang-orang yang membawa suaminya.
Warga Desa Randu Pitu dengan kepala desanya segera mengejar ke arah yang
ditunjukkan Wulandari.
Tak lama kemudian, mereka dapat melihat tiga orang yang dimaksud Wulandari.
"Hai, tunggu...!" seru kepala desa sambil terus mengejar ketiga orang itu
bersama beberapa warga desa. Namun tiba-tiba mereka memekik, manakala puluhan
senjata rahasia menderu cepat ke arah mereka.
Zwing, zwing, zwing...!
Jlep, jlep, jlep...!
"Aaakh...!"
Pekikan-pekikan kematian, seketika terdengar membelah kesunyian malam. Diikuti
gelak tawa Tiga Barka Kembar yang semakin pongah.
Wulandari ikut memekik menyaksikan kepala desa dan beberapa orang warga yang
mengejar telah bergelimpangan jadi mayat. Tapi rasa cinta terhadap suaminya
mampu mengalahkan kengerian yang muncul di hatinya. Dengan nekat, kakinya
melangkah untuk mengejar kembali.
"Jangan...! Lepaskan suamiku! Lepaskan...!" jerit Wulandari sambil terus
berlari. Wanita muda itu sudah tak peduli pada apa pun.
Tidak peduli pada ketakutannya menyaksikan pembantaian keji di depan matanya.
Tak pedulikan resiko kematian yang bisa menimpanya. Bahkan dia tak peduli lagi
pada pakaiannya yang yang tidak karuan.
Tangannya menggapai-gapai, berusaha menghentikan tiga orang lelaki berpakaian
rompi hitam yang terus menyeret suaminya.
Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam dengan ikat pingang berwarna merah serta
ikat kepala batik, tak mempedulikan wanita itu. Ketiganya terus melangkah sambil
menyeret tubuh Selo yang mengerang kesakitan.
"Lepaskan aku... Sungguh, aku tak tahu," ratap lelaki muda itu dengan meneteskan
air mata. Selo berusaha mengambil hati ketiga lelaki bertampang garang dengan
kumis tebal melintang di atas mulutnya.
"Tutup bacotmu, Selo! Katakan, di mana Pendekar Gila"! Aku yakin, kau tahu di
mana dia!" desak Barka Sulung.
"Ya! Katakan saja, di mana Pendekar Gila !"
sambung Barka Bungsu.
"Sungguh, aku tak tahu sama sekali di mana dia...," jawab Selo dengan mimik muka
memelas untuk meyakinkan ketiga lelaki yang terkenal kejam itu. "Kunyuk! Apa kau
kira kami mau dibohongi olehmu, heh"! Kami tahu, kalau pendekar muda dan gila
itu baru saja bertandang ke rumahmu!" hardik Barka Panengah dengan mata melotot.
Lalu dengan bengis, kakinya menendang iga Selo.
Dugk! "Aduh...!" pekik Selo kesakitan. Tulang iganya serasa remuk akibat tendangan
Barka Panengah.
Belum juga hilang rasa sakit di tulang iganya, tangan Barka Sulung telah
mencengkeram rambutnya.
"Katakan, di mana Pendekar Gila, heh"!" sentak Brka Sulung sambil menjenggut
rambut Selo hingga wajahnya terangkat dan memandang ke arah Barka Sulung sambil
meringis. Sementara, di belakang mereka istri Selo terus berlari menuju Tiga Barka Kembar
dan suaminya berada. Wanita itu tak menghiraukan keadaan dirinya, sampai-sampai
tak menggubris kain penutup tubuhnya yang agak merosot.
Ketika Tiga Barka Kembar melihat hal itu, mata mereka langsung terbelalak.
Ketiganya menelan ludah, dengan napas yang mulai turun-naik.
"Ck, ck, ck..."
Tiga Barka Kembar berdecak kagum menyaksikan tubuh istri Selo yang mulus
menantang dengan penutup yang sudah tidak karuan.
"Wulan, cepat pergi dari sini...!" seru Selo kepada istrinya.
Wulandari yang mengkhawatirkan keadaan suaminya tak mempedulikan seruan sang
Suami. Dia terus
berlari menuju tempat itu.
"Lepaskan suamiku! Lepaskan...!" serunya.
Tiga Barka Kembar yang masih terpesona
menyaksikan tubuh Wulandari, tak menghiraukan jeritan wanita muda yang cantik
itu. Ketiganya masih berdecak kagum. Sedangkan kepala mereka menggeleng-geleng.
"He he he...! Rupanya istrimu montok sekali, Selo...," ujar Barka Sulung sambil
memandang tiada henti pada tubuh Wulandari. "Sungguh kau lelaki yang pintar,
Selo." "Ya! Kau pintar sekali menyuguhi kami, Selo,"
sambung Barka Panengah. Dia pun tak henti-hentinya berdecak kagum.
"Ayo, Kakang. Mengapa kita harus menunggu?"
ajak Barka Bungsu pada kedua kakaknya untuk segera memburu mangsa empuk yang
akan membawa mereka ke puncak kenikmatan.
"Kalian berdua tangkap kelinci manis itu. Biar aku yang menangani si Selo," kata
Barka Sulung pada kedua adiknya.
Tanpa diperintah dua kali, Barka Bungsu dan Barka Panengah segera meninggalkan
sang Kakak untuk memburu Wulandari yang masih berlari ke arah mereka.
"Ayo, Kakang. Kita berlomba! Siapa cepat, dia yang akan mendapatkan bagian lebih
dahulu...!" tantang Barka Bungsu seraya menggenjot kaki dengan mengerahkan ilmu
lari cepatnya. "Ayo...! Heaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Kedua Barka bersaudara itu memacu larinya, berusaha saling mendahului. Keduanya
sampai di depan Wulandari bersamaan, kemudian dengan
cepat tangan mereka meraih tangan kanan dan kiri Wulandari.
"Lepaskan...! Kalian bajingan! Lepaskan...!"
Wulandari terus berusaha melepaskan cengkeraman tangan kedua lelaki yang kini
tertawa tergelak-gelak.
Tangan kedua lelaki itu bergerak nakal, menjamah tubuh Wulandari dengan semena-
mena. "Auh...! Kurang ajar...!" maki Wulandari penuh kebencian. Matanya memandang
penuh amarah ke arah dua lelaki yang kurang ajar itu.
*** "Ha ha ha...! Kau semakin menyenangkan jika marah, Manis," goda Barka Panengah.
Tangannya kembali bergerak nakal.
"Tidak! Kakang, tolooong...!" teriak Wulandari sambil terus memberontak.
Sesekali tangannya memukul tangan kedua lelaki kasar itu.
"Lepaskan! Jangan ganggu istriku!" seru Selo, mengharap kedua Barka bersaudara
itu tidak meneruskan tindakan mereka. Namun keduanya bahkan semakin menjadi-
jadi. Selo hendak lari, tapi sebuah hantaman keras membuatnya limbung dan jatuh.
Degk! "Ukh...!" keluh Selo.
"Mau lari ke mana kau"!" ujar Barka Sulung sinis.
Sementara, Barka Bungsu dan Barka Panengah yang sudah tidak tahan melihat tubuh
Wulandari, tidak mau membuang-buang waktu lagi. Barka Panengah berkelebat cepat.
Di tangannya tergenggam dua butir pil. Tangan kirinya mencengkeram keras tangan
Wulandari. "Auh...!" pekik Wulandari. Pada saat itu, dengan cepat tangan kanan Barka Sulung
menyumbat mulutnya, membuat pil yang ada di tangannya tertelan Wulandari.
"Auh, tidak!"
Barka Sulung dan Barka Panengah tergelak-gelak, menyaksikan Wulandari
sempoyongan. Pandangan wanita cantik itu berkunang-kunang.
"Oh...!" keluh Wulandari. Tangannya memegangi kepalanya yang terasa pening.
Pandangan matanya mengabur dan tubuhnya terasa amat lemah. Akhirnya, tubuh
wanita itu jatuh terkulai di tanah.
"Ha ha ha...! Akhirnya kita dapat menunduk-kannya," kata Barka Panengah sambil
tertawa-tawa bersama adiknya.
"Semuanya telah beres, Kakang! Tak sabar aku rasanya...," gumam Barka Bungsu
sambil melangkah hendak mendekati tubuh Wulandari yang terkulai. Dia hendak
melakukan sesuatu, tapi tiba-tiba Barka Panengah mencegahnya...
"Tunggu...!"
"Ada apa lagi, kakang?" tanya Barka Bungsu dengan nada tak senang. "Bukankah
semuanya telah beres" Mengapa kita harus membuang-buang
waktu?" "Aku yang pertama. Sebab aku yang men-dapatkannya!"
Barka Bungsu menghela napas. Matanya
memandang tidak senang. Namun akhirnya kakinya melangkah mundur, membiarkan
kakaknya mendekati tubuh Wulandari.
"Hai, tunggu...!"
Belum juga Barka Panengah melakukan sesuatu, terdengar Barka Sulung membentak.
Hal itu membuat
Barka Panengah mengurungkan niatnya untuk melampiaskan nafsu pada Wulandari.
Dengan bersungut-sungut, kakinya melangkah mundur.
"Aku yang tertua. Akulah yang pertama," kata Barka Sulung sambil melangkah
mendekati tubuh Wulandari. Matanya memandang penuh nafsu pada tubuh yang
terkulai tanpa daya itu. Kepalanya menggeleng-geleng.
Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ck, ck, ck...! Tidak kusangka, di Desa Randu Pitu ini ternyata ada gadis
secantik dan sebahenol ini."
Barka Sulung melangkah semakin dekat. Dia baru hendak membuka pakaiannya, ketika
tiba-tiba terdengar gelak tawa menggelegar. Disusul oleh makian keras penuh
ejekan. "Ha ha ha...! Sungguh tidak tahu malu! Itukah orang-orang yang menamakan dirinya
Tiga Barka Kembar"!"
Tiga Barka Kembar tersentak mendengar suara itu.
Dengan wajah merah karena marah, ketiganya segera memandang ke asal suara.
Kemudian dengan gusar, Barka Sulung yang mengurungkan niatnya memperkosa
Wulandari membentak..
"Bangsat! Siapa kau..."!"
"Ha ha ha...! Rupanya kalian masih punya nyali, berani membentakku...!" kembali
terdengar suara lelaki menggema. Nadanya terdengar sinis.
"Pengecut! Kalau kau lelaki, tunjukkan tampangmu! Hadapi kami, Tiga Barka
Kembar...!" seru Barka Panengah marah, mendengar ejekan sinis itu.
Matanya dengan tajam menyapu ke sekeliling tempat itu.
"Kalianlah yang pengecut! Beraninya hanya dengan orang lemah! Di mana nama besar
kalian"!"
"Bangsat! Katakan, siapa kau dan tunjukkan
rupamu! Kuhancurkan batok kepalamu!" maki Barka Bungsu tak kalah sewot
dibandingkan kedua kakaknya. Napasnya mendengus turun naik. "Kaukah yang bernama
Pendekar Gila"!"
"Ha ha ha...! Rupanya pendengaran kalian cukup tajam! Ya, akulah Pendekar Gila,"
sahut pemilik suara dengan nada penuh kesombongan.
"Bedebah! Apakah kau kira kami takut meng-hadapimu, Pendekar Gila!" tantang
Barka Sulung. "Tunjukkan tampangmu! Biar korobek mulut besarmu!" sambung Barka Panengah dengan
tangan mengepal. Sementara gigi-giginya saling beradu, menandakan kemarahannya.
Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu dengan penuh kebengisan.
"Ayo...! Tunjukkan dirimu, Pemuda Sombong!"
bentak Barka Bungsu, tidak tinggal diam. Seperti kedua kakaknya, dia pun merasa
marah dihina begitu rupa. Napasnya mendengus dan matanya tajam menyapu ke
sekelilingnya. DUA Suara gelak tawa menggema kembali terdengar di sekeliling tempat tersebut. Suara
itu seperti berada di mana-mana. Membuat Tiga Barka Kembar
kebingungan untuk menentukan tempat orang itu berada.
"Apakah kalian sudah siap menghadapiku, Manusia-manusia Pengecut"!" tanya suara
itu dengan penuh kesombongan. Diikuti gelak tawa yang tiada henti-hentinya.
Membuat Tiga Barka Kembar semakin marah karena merasa dihina begitu rupa.
"Kurang ajar! Apakah kau kira kami takut meng-hadapimu, Pendekar Gila"! Kami
memang ke sini untuk mencarimu! Untuk mencoba sampai di mana kehebatan ilmumu
yang diagung-agungkan itu!
Keluarlah! Hadapi kami!" tantang Barka Sulung.
Tak terdengar jawaban.
Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam itu semakin gusar. Dengan penuh amarah,
ketiganya melancarkan pukulan jarak jauh ke sekitar tempat itu.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
"Yiaaa...!"
Tiga sinar berwarna merah, kuning, dan biru menderu dari tangan Tiga Barka
Kembar. Glarrr! Brakkk! Duarrr! Terdengar ledakan-ledakan dan derak pepohonan yang tumbang. Namun mereka belum
juga dapat menemukan asal suara itu. Bahkan terdengar gelak tawa kembali, diikuti oleh
seruan mengejek....
"Sudah kukatakan, kalian bukan apa-apa bagiku!
Jangankan kalian, guru kalian si Kempala bodoh itu pun tak akan sanggup
menghadapiku!"
Semakin memuncak kemarahan Tiga Barka
Kembar ketika mendengar nama guru mereka di-remehkan begitu rupa. Kalau nama
mereka, mungkin amarah mereka masih bisa ditahan. Tetapi pemilik suara itu telah
keterlaluan dengan menghina guru mereka.
"Bedebah! Tutup mulutmu! Tunjukkan wujudmu, biar korobek mulutmu yang sombong
itu...!" bentak Barka Sulung disertai dengus kebencian, serta amarah yang
meluap-luap. "Kurang ajar! Sudah kelewatan mulutmu, Pendekar Gila! Tunjukkan mukamu, Monyet!
Jangan sampai kami hilang kesabaran!" timpal Barka Panengah dengan mata
membelalak marah.
"Akan kuhancurkan batok kepalamu yang sombong! Ayo, jangan hanya bersembunyi!
Keluarlah...! Hadapi Tiga Barka Kembar!" sentak Barka Bungsu.
"Baik! Agar kalian tak penasaran, aku akan menampakkan diriku! Meski kalian tak
ada artinya sama sekali bagiku! Nah, bersiaplah menyambut-ku...!"
Usai ucapan sombong itu terdengar, tiba-tiba terdengar suara laksana ribuan
tawon terbang. Tidak lama kemudian, di hadapan Tiga Barka Kembar telah berdiri
sesosok lelaki muda dengan senyum sinis mengembang di bibirnya.
Pemuda itu berbaju lengan panjang warna kuning.
Rambutnya gondrong, dengan ikat kepala warna
gading. Sedangkan ikat pinggangnya berwarna hijau daun. Wajah pemuda itu
tertutup oleh sebuah topeng berhidung besar warna merah, hingga kelihatan buruk.
Mata Tiga Barka Kembar menyipit, untuk
mengawasi lelaki muda yang berdiri di hadapan mereka. Diperhatikannya dengan
seksama pemuda itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Begitukah kelakuan seorang pendekar yang namanya akhir-akhir ini membubung
tinggi"! Pengecut! Tak berani menunjukkan mukanya yang buruk!" ejek Barka Sulung dengan
senyum sinis. "Sudah kukatakan, tak ada gunanya kalian bagiku!
Untuk apa aku harus menunjukkan mukaku...?" kata pemuda bertopeng itu, sambil
bersedakap, mencerminkan keangkuhan dirinya.
Nada suaranya yang sinis dan sangat dingin, membuat Tiga Barka Kembar semakin
geram. Mereka benar-benar merasa direndahkan oleh pemuda bertopeng itu.
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar sombong, Pendekar Gila! Jangan kau kira
kami takut dengan nama besarmu! Baik, bersiaplah...!" tantang Barka Panengah
yang sudah tidak sabar lagi. Ucapan pemuda bertopeng itu dirasakan sangat
menggigit perasaan dan membuat telinganya panas.
"Ha ha ha...!" pemuda bertopeng yang mengaku Pendekar Gila itu tertawa bergelak.
"Hm, ternyata cecurut tanah sepertimu masih berani unjuk gigi!
Sobat, apakah ucapanmu telah kau pikirkan lebih dulu...?"
"Bedebah! Kau boleh berkoar sesuka hati, sebelum kurobek mulutmu!" dengus Barka
Bungsu dengan tangan mengepal keras. Gigi-giginya saling
beradu, menimbulkan suara gemeretak keras.
"Auh, apakah kau kira mudah merobek mulutku, Sobat?" tanya pemuda bertopeng
dengan suara tak berubah, sinis dan dingin serta merendahkan lawan
"Apakah tidak akan terjadi sebaliknya...?"
"Banyak omong...! Serang...!" seru Barka Sulung, memerintah kedua adiknya sambil
menggerakkan tangan.
"Heaaa...!
"Ceaaat..!"
Tiga Barka Kembar yang sudah dilanda amarah, seketika melompat ke depan dan
mengurung pemuda bertopeng yang masih tertawa-tawa.
Sepertinya, dia benar-benar memandang remeh ketiga lawannya. "Mengapa tidak
sekalian gurumu, si Kempala tolol itu"!" ejek pemuda bertopeng itu, Untuk yang
kedua kalinya, Tiga Barka Kembar tersentak mendengar nama guru mereka dilecehkan
pemuda yang kini dalam kurungan mereka. Mata Tiga Barka Kembar melotot bengis
pada pemuda bertopeng yang masih tergelak-gelak.
"Bangsat! Kau benar-benar mencari mampus!
Heaaa...!"
*** Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak cepat.
Ketiganya berputar laksana angin puting beliung.
Tangan dan kaki mereka bergantian menyerang dengan pukulan dan tendangan.
"Ha ha ha...! Jurus kuno seperti itu masih kalian pakai saja," ejek lawannya
sambil melenting ke udara, untuk mengelitkan serangan Tiga Barka Kembar.
"Sombong! Rupanya mulutmu memang besar,
Pendekar Gila!" bentak Barka Sulung dengan dengusan penuh amarah. Mereka segera
memburu ke arah pemuda bertopeng.
"Kurobek mulutmu! Heaaa...!"
"Patah kakimu, Pendekar Gila. Yeaaa...!"
Tiga Barka Kembar terus merangsek lawan dengan jurus 'Elang Menyambar dan
Mematuk Mangsa'.
Tangan mereka laksana cakar dan paruh burung elang. Menyambar dan mematuk dengan
cepat dan keras.
"Heaaa...!"
Pemuda bertopeng itu melenting ke angkasa, kemudian dengan cepat kedua kakinya
bergerak hendak menjejak tangan ketiga lawan yang mencakar ke atas.
Melihat pemuda bertopeng hendak menjejakkan kaki ke tangan mereka, secepat kilat
ketiga lelaki berpakaian rompi hitam mengubah serangan. Tangan kanan yang
mencakar ke atas, dengan cepat ditarik.
Disusul satu sabetan tangan kiri menebas dada lawan.
"Yeaaat..!"
Tiga tangan menyabet bersamaan. Kalau saja pemuda bertopeng itu tidak segera
melompat kembali ke atas, sudah tentu kakinya akan patah terhantam ketiga tangan
berisi tenaga dalam itu.
"Hebat! Rupanya jurus 'Elang Menyambar dan Mematuk Mangsa' yang kalian miliki
cukup sempurna! Namun kalian jangan bangga dulu...
Sebab jurus yang baru saja kalian keluarkan, sama sekali bukan jurus yang
berarti bagiku!" ejek pemuda bertopeng.
"Jangan banyak omong! Hiaaat...!" bentak Barka bungsu sambil merangsek maju.
Sepasang tangannya
bergerak bergantian. Tangan kanan mencakar, disusul tangan kiri yang menyabet.
Melihat adiknya terus menyerang, Barka Sulung dan Barka Panengah tak mau tinggal
diam. Keduanya segera bantu menyerang dengan jurus yang sama.
Hingga lawan yang diserang harus menguras tenaga untuk bersalto dan melompat
mengelakkan serangan ketiganya yang keras dan cepat
"Hm, sayang sekali.... Sayang sekali kalian berhadapan denganku," gumam pemuda
bertopeng dengan nada sinis. "Kalau saja kalian menghadapi lawan ingusan,
tentunya kalian sudah menang. Tapi aku bukanlah bocah ingusan, Kawan. Tak ada
artinya jurus yang kalian keluarkan!"
Sombong benar kata-kata pemuda bertopeng itu.
Sepertinya ketiga lawan yang tengah menyerangnya, tidak berarti baginya. Padahal
Tiga Barka Kembar adalah nama yang cukup disegani di rimba persilatan.
Ilmu mereka pun bukan ilmu rendahan. Mereka telah membuktikannya dengan sejumlah
korban yang tewas di tangan mereka.
Tapi pemuda bertopeng itu hanya memandang sebelah mata pada Tiga Barka Kembar.
Dengan seenaknya menghina jurus-jurus ketiga lelaki berompi hitam yang
menyerangnya. Malah dia sengaja hanya mengelak, tidak mau balik menyerang.
Dengan penuh kemarahan, Tiga Barka Kembar tanpa banyak kata lagi terus
melancarkan serangan-serangan pada lawan. Mereka secepatnya berusaha menjatuhkan
pemuda itu. Dan kalau perlu, mencabik-cabik mulutnya yang sombong dan lancang
menghina mereka.
"Hiaaat..!"
"Jebol perutmu, Pemuda Sombong...!" hardik Barka
Panengah sambil mencakar ke perut lawan.
"Uts...! Kurang tepat, Kawan!"
Kembali pemuda bertopeng itu mengejek.
Tubuhnya mengelit ke samping. Kemudian tangan kirinya menepis serangan lawan.
Sedangkan tangan kanannya menghantam ke muka lawannya.
Serangan yang dilakukan pemuda bertopeng itu sangat cepat, membuat Barka
Panengah terkejut mendapat serangan yang tak terduga itu. Cepat-cepat tubuhnya
dirundukkan ke bawah, mengelakkan serangan cepat yang dilancarkan lawannya.
"Gila...!" pekiknya seraya menunduk rendah.
Pukulan tangan lawan menderu beberapa rambut di atas punggungnya.
Melihat lawannya dapat mengelakkan pukulannya, pemuda bertopeng tak berhenti
sampai di situ. Kaki kanannya kini menendang dengan cepat dan keras.
"Heaaa...!"
"Celaka...!" desis Barka Sulung dan Barka Bungsu hampir bersamaan. Mereka
terkejut menyaksikan saudaranya terdesak hebat oleh serangan yang dilancarkan
pemuda bertopeng.
"Kakang, kita harus membantunya...!" seru Barka Bungsu seraya melesat ke arah
pemuda bertopeng.
Tujuannya untuk menyelamatkan kakaknya yang kini dalam bahaya dengan memancing
pemuda bertopeng agar perhatiannya beralih ke arahnya. Sehingga sang Kakak dapat
terbebas dari serangan lawan.
Apa yang diusahakannya mendapatkan hasil. Kini, perhatian pemuda bertopeng
beralih padanya.
Termasuk mengalihkan serangannya pada Barka Bungsu.
"Rupanya kau dulu yang ingin kuhajar!" bentak pemuda bertopeng seraya
mempercepaat serangan.
"Heaaa...!"
Tubuh pemuda bertopeng itu melesat ke atas, kemudian menukik ke bawah setelah
mencapai ketinggian yang cukup. Sepasang tangannya bergerak lincah. Satu
menyerang dengan pukulan, yang lain menyambar dengan sabetan yang keras. Gerakan
kedua tangan itu sangat cepat, hingga merepotkan Barka Bungsu yang membelalakkan
mata. "Celaka...! Kakang, bantu aku...!" seru Barka Bungsu sambil berusaha mengelakkan
serangan-serangan lawan yang cepat, keras dan bertubi-tubi.
"Kau harus kulumpuhkan! Heaaat..!"
Pemuda bertopeng dengan cepat menghantamkan tangannya ke dada lawan. Sehingga,
Barka Bungsu yang terdesak tak mampu lagi mengelak.
Degk! "Ukh...!"
Barka Bungsu mengeluh tertahan. Tubuhnya
seketika sempoyongan ke belakang. Tangannya memegangi dada yang terasa sakit
akibat pukulan telak itu. Dari bibirnya meleleh darah kental.
"Bungsu...!" pekik Barka Sulung sambil memburu ke arah tubuh adiknya yang
terpelanting ke tanah dengan luka dalam.
*** Melihat adiknya terluka dalam, Barka Sulung dan Barka Panengah semakin marah.
Mata keduanya melotot penuh kebencian pada pemuda bertopeng yang masih tertawa
penuh kemenangan.
"Bangsat! Kau telah melukai adikku! Kubunuh kau, Pendekar Gila! Heaaat..!"
Barka Sulung berteriak melengking, tubuhnya
kembali berkelebat cepat menyerang pemuda bertopeng itu.
"Percuma kalian melawan!" kata pemuda itu seraya mengelak. Kemudian pemuda
berbaju kuning itu balas melakukan serangan yang kencang dan cepat. Angin
pukulannya menderu keras, menyentakkan Barka Sulung.
Melihat kakaknya dalam ancaman, Barka
Panengah tidak tinggal diam.
"Kakang, cepat menyingkir! Biar kuhancurkan dia!
Yeaaa...!"
Barka Panengah menghantamkan pukulan
saktinya ke arah pemuda bertopeng. Namun dengan cepat, lawannya berkelit.
Kemudian setelah lolos dari serangan tadi, dia balik menyerang dengan pukulan-
pukulan cepat ke arah Barka Panengah.
"Yeaaa...!"
Barka Panengah tersentak kaget, ketika melihat tangan lawan membara laksana api
dan bergerak cepat ke arahnya.
Menghadapi keadaan genting seperti itu, Barka Panengah segera mencabut
senjatanya dari balik rompi. Di tangannya kini tergenggam sebilah trisula.
Barka Panengah dengan cepat berusaha menusukkan trisulanya, namun tangan lawan
ternyata lebih cepat menangkap tangannya.
Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tap! Krak! "Akh...!" Barka Panengah memekik keras, ketika tangannya dipatahkan. Matanya
membelalak dan mulutnya meringis menahan rasa sakit. Wajahnya pucat pasi laksana
tak berdarah. "Apa kataku"! Kalian tidak lebih cecurut tanah!
Cepat minggat dari hadapanku, sebelum kesabaran-
ku hilang!" bentak pemuda bertopeng mengancam.
Tiga Barka Kembar merasa kalau mereka tak akan mampu menghadapi pemuda yang
disangka Pendekar Gila itu. Dan dengan beringsut, mereka meninggalkan tempat itu disertai
ancaman.... "Pendekar Gila, kali ini kami memang kalah! Tapi nanti kami akan mengadakan
perhitungan denganmu!"
Pemuda bertopeng tertawa gelak mendengar
ancaman mereka. Lalu pandangannya beralih ke arah Wulandari yang terduduk lemas
dan mata yang memandang penuh harap akan pertolongan pemuda itu.
Pemuda bertopeng tertawa, kemudian kakinya melangkah ke arah Wulandari yang
masih terduduk lemas. Dibukanya topeng penutup mukanya. Kini nampaklah seraut
wajah tampan namun penuh kebengisan.
Wulandari mengerutkan kening lalu menyurut mundur, manakala tangan pemuda itu
membelai dagunya.
"Kau cantik sekali, Nyi. Hm...."
Pemuda tampan itu dengan cepat merengkuh
tubuh Wulandari yang seketika berteriak...
"Lepaskan aku! Oh, lepaskan...!"
Bagaikan kehausan, pemuda tampan itu tak
menghiraukan teriakan Wulandari. Bahkan teriakan wanita itu dianggapnya sebagai
ungkapan memohon.
Pemuda itu terus menggeluti tubuh Wulandari, melampiaskan gejolak nafsu
binatangnya. Begitulah kenyataan hidup. Seringkali muncul orang-orang bermuka
dua. Suatu saat mengumpat kekotoran yang dilakukan orang lain. Dan pada saat
lain, dia berpesta pora dengan kekotoran dirinya.
Ketika semuanya terjadi, Wulandari hanya
menangis, sedangkan pemuda tampan itu tersenyum sambil mengenakan pakaiannya
kembali. "Seharusnya kau gembira berkenalan denganku, Pendekar Gila yang namanya
tersohor."
Usai berkata begitu, pemuda yang mengaku
sebagai Pendekar Gila itu melesat pergi setelah menghantamkan pukulan dahsyat ke
tubuh Selo hingga hancur.
"Kakang...!" pekik Wulandari, menyaksikan suaminya menggeletak tanpa nyawa.
Wulandari langsung menghampiri tubuh suaminya yang hancur terhantam pukulan maut
pemuda mengaku sebagai Pendekar Gila. Wanita muda dan cantik tapi malang itu
menangisi kematian suaminya yang mengenaskan.
"Pendekar Gila keparat!" makinya penuh dendam di antara isak tangis.
Tak ada lagi keindahan yang dapat dibayangkan dari pernikahannya. Bulan madu
yang seharusnya begitu berkesan, kini hilang sudah. Bahkan keperawanannya telah
direnggut oleh manusia laknat tak berperasaan. Mungkin tindakan Tiga Barka
Kembar bisa agak dimaklumi, karena mereka memang orang-orang sesat. Tapi
perbuatan Pendekar Gila yang katanya selalu membela orang lemah, sangat sulit
dilupakannya. Kebenciannya pada para pendekar, terutama pada Pendekar Gila, tercermin pada
matanya yang membara berlinang air mata. Tangannya mengepal, kemudian memukul-
mukul tanah yang ada di
hadapannya sambil berteriak sejadi-jadinya.
"Kakang, izinkanlah aku membalas semuanya!
Akan kutaklukkan semua pendekar! Akan kutakluk-
kan mereka, terutama Pendekar Gila! Akan kucabut jantung dan kemaluan mereka,
kuremas hancur seperti tubuhmu. Akan kupersembahkan semua untukmu!"
Usai bersumpah begitu, Wulandari bangun dari sujudnya. Melangkah tertatih-tatih
dengan tubuh letih, meninggalkan tempat itu.
Fajar menyingsing di ufuk timur, mengiringi kepergian wanita yang di dadanya
tersimpan dendam membara. Dendam pada orang-orang persilatan, terutama Pendekar
Gila yang telah menghancurkan hidup dan masa depannya.
TIGA Pagi masih belum begitu terang. Cahaya matahari baru saja menyingsing,
mengabarkan pada makhluk malam bahwa hari baru telah datang lagi. Hewan-hewan
mendendangkan tembangnya masing-masing, menciptakan kedamaian kecil dalam dunia
yang hingar-bingar.
Seorang wanita dengan wajah pucat dan terlihat letih, berjalan tertatih.
Sesekali langkahnya terhenti bersama erangan menahan sakit. Wanita muda
berpakaian kebaya layaknya wanita desa itu adalah Wulandari. Sejenak matanya
memandang nanar ke arah matahari terbit di ufuk timur.
"Kakang, mampukah aku mengalahkan mereka"
Mampukah aku mengalahkan Pendekar Gila?"
keluhnya sambil menyapu keringat yang membasahi keningnya. Dihelanya napas
panjang-panjang.
Kemudian dengan mencoba menguatkan langkahnya, Wulandari kembali meneruskan
perjalanannya. Baru beberapa tindak Wulandari melangkah, tubuhnya terkulai pingsan. Dia masih
terlalu lemah setelah menjadi korban nafsu pemuda yang mengaku Pendekar Gila.
Tak berapa lama kemudian, dari arah timur tampak seorang wanita tua dengan tubuh
terbungkuk berjalan menuju tempat Wulandari pingsan.
Wanita tua yang bungkuk itu terus melangkah.
Tiba-tiba langkahnya berhenti. Matanya yang keriput, semakin menyipit
menyaksikan sesuatu tergeletak di jalanan. Diamatinya dengan seksama apa yang
tergeletak di jalanan itu.
"Weleh, rupanya seorang wanita muda. Heh, kenapa dia?" tanyanya terheran-heran.
Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk wanita tua itu mendekati tubuh Wulandari yang
tergeletak pingsan.
Diamatinya kembali tubuh wanita muda itu dengan seksama.
"Hm, kasihan.... Sepertinya dia tengah menghadapi tekanan batin," gumamnya
prihatin. Lalu wanita itu jongkok. Telapak tangannya diulurkan untuk meraba dada
wanita muda itu. "Masih hidup. Dia hanya pingsan."
Dibolak-baliknya tubuh wanita muda yang pingsan itu beberapa kali. Sepertinya
dia berusaha mengetahui sesuatu pada tubuh Wulandari.
Kepalanya mengangguk-angguk. Sedangkan mulutnya tersenyum. Dia seakan senang
terhadap wanita muda itu.
"Hm, tak ada jeleknya dia kuangkat menjadi murid.
Ah, biarlah masalah Pendekar Gila itu. Toh antara aku dan dia tak ada apa-apa.
Tak ada silang sengketa."
Diangkatnya tubuh Wulandari dengan mudah, bagai mengangkat gulungan kapas. Nenek
itu kini berlari kembali ke arah timur dengan memanggul tubuh Wulandari.
Nenek itu semakin cepat berlari. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah jauh
meninggalkan tempat semula.
Wanita tua itu bernama Nyi Kendil. Dia terus berlari dengan membawa tubuh
Wulandari menerobos hutan. Larinya sangat kencang, sangat tidak sesuai dengan keadaan
tubuhnya yang bungkuk dan tampak renta. Begitu kencangnya dia berlari, sampai-
sampai tubuhnya laksana terbang, dan kedua
kakinya bagai tak menjejak tanah.
Nyi Kendil baru berhenti berlari ketika tiba pada sebuah gua di lereng bukit
yang dikelilingi pepohonan lebat. Sesaat matanya menyapu ke sekeliling, berusaha
memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya.
Setelah yakin kalau di sekelilingnya tak ada orang lain, wanita tua itu melesat
menuju mulut gua.
Kemudian hanya dengan menggunakan tangan kiri, didorongnya pintu gua dari batu
yang ditumbuhi lumut dan rerumputan hingga sekilas tak tampak kalau di situ ada
gua. Hal itu menunjukkan tingkat tenaga dalam Nyi Kendil yang sangat tinggi.
Kaki Nyi Kendil melangkah masuk lalu menyusuri lorong gua itu. Akhirnya tubuhnya
berhenti di depan sebuah dinding gua. Tangan kirinya ditempelkan ke dinding itu,
lalu mendorongnya....
Srrrt! Dinding gua yang semula nampak tak bercelah, kini bergerak membuka. Ternyata di
baliknya ada sebuah kamar lebar dengan sebuah tempat tidur dari batu datar
sepanjang dua depa dan selebar satu depa. Di tempat itulah tubuh Wulandari
dibaringkan. Dipandanginya tubuh Wulandari yang masih dalam keadaan pingsan dengan kepala
mengangguk-angguk. Entah mengapa, wanita tua bungkuk yang sudah berpuluh tahun
menghilang dari dunia persilatan itu keluar lagi dari persembunyiannya.
Kemudian, kakinya melangkah ke arah dinding gua sebelahnya yang ada di depan
ruangan di mana Wulandari tiba.
Tangannya kembali menekan dinding gua itu. Lalu nampak dinding gua bergerak
membuka, menimbulkan gemuruh halus. Sesaat kemudian,
nampak sebuah ruangan lebar dengan perabotan terbuat dari bebatuan. Nampaknya di
ruangan itu si nenek menaruh ramuan-ramuan obat yang diracik sendiri.
Dengan tubuh terbungkuk, si nenek melangkah masuk. Matanya memandangi peralatan
yang terbuat dari batu, berupa mangkuk dan kendi-kendi kecil.
Lama mata nenek itu beredar ke sekeliling tempat itu, sepertinya mencari obat
yang cocok. "Hm, mungkin ini yang cocok untuknya," gumam si nenek. Diambilnya sebuah mangkuk
berisi serbuk ramuan obat. Kemudian diambilnya air dan
dituangkan ke mangkuk. Nampak asap mengepul dari dalam mangkuk ketika air itu
bercampur dengan serbuk.
Nyi Kendil tertawa senang, lalu berlalu dari ruangan itu dan kembali ke ruangan
di mana Wulandari terbaring.
Dibukanya seluruh pakaian Wulandari, lalu dioleskan ramuan itu ke sekujur tubuh
wanita muda itu. Seketika mulut Wulandari menjerit keras.
"Akh...! Panas...!"
Tubuh Wulandari menggeliat kepanasan. Namun Nyi Kendil bagai tak mengenal
kasihan. Tangannya terus membaluri ramuan ke sekujur tubuh Wulandari, dari ujung
kaki hingga ke wajah. Mulut Wulandari semakin keras mengerang. Sedangkan
tubuhnya menggeliat-geliat tak beda dengan cacing yang tersiram air panas.
"Panas...! Oh, panas...!" pekiknya berusaha menghentikan Nyi Kendil agar tidak
terus membaluri sekujur tubuhnya dengan ramuan yang sangat panas itu. Namun
nenek itu tak mau peduli. Tetap saja tubuh Wulandari dibaluri dengan ramuan itu.
Hingga tak sejengkal pun yang terlewatkan.
Tubuh Wulandari yang telah dibaluri ramuan itu, seketika mengepulkan asap,
dibarengi keluhan dan pekikan wanita muda itu.
"O, panas...! Aduh, panas...!"
"He he he...! Sebentar, Nak.... Hanya sebentar panasnya. Setelah itu, kau akan
merasakan tubuhmu segar," kata Nyi Kendil dengan mulut terkekeh.
Wulandari merasa sekujur tubuhnya bagai
membara. Panasnya semakin menyengat tak
tertahankan. Didahului pekikan, tubuh Wulandari kembali terkulai pingsan.
Nyi Kendil terkekeh sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Dipandanginya tubuh Wulandari yang kini bagai membara. Setelah
itu, dia berlalu dari tempat itu dengan senyum menghiasi bibirnya.
Kaki Nyi Kendil melangkah menuju sebuah tempat yang lebar. Di tempat itu
terdapat sebuah batu berbentuk persegi. Lalu dengan duduk bersila, nenek itu
melakukan semadi.
Tidak begitu lama kemudian, Wulandari kembali siuman. Badannya yang semula linu
dan terasa sakit, kini telah menjadi segar. Matanya memandang ke sekeliling
tempat itu dengan tatapan heran.
Seingatnya, dia berada di jalanan ketika pingsan. Tapi kini, dia berada di
sebuah ruangan batu.
"Di mana aku?" tanyanya lirih. Kemudian dia memandang tubuhnya. Seketika matanya
membelalak. "O, siapa yang telah menelanjangiku"!"
Wanita muda itu benar-benar marah mendapatkan tubuhnya dalam keadaan telanjang.
Dengan cepat, diambilnya pakaian yang berserakan. Setelah mengenakannya kembali,
Wulandari bergegas keluar dari ruangan itu untuk mencari orang yang telah
berani menelanjanginya.
"Kurang ajar! Akan kuremukkan batok kepalanya!"
dengus Wulandari sengit. Langkahnya lebar, seakan tak sabar lagi untuk menemukan
orang yang telah menelanjanginya. Wulandari hendak melangkah ke arah barat,
ketika terdengar suara seorang wanita tua berkata....
"Mau ke mana, Anak Bodoh?"
Wulandari tersentak. Matanya menyapu ke dalam gua, berusaha mencari pemilik
suara yang tadi berkata. Napasnya mendengus penuh amarah.
Setelah merasa yakin kalau suara itu datang dari arah belakang, Wulandari segera
melangkah ke sana.
"Di manakah kau, Wanita Kurang Ajar"!" bentak Wulandari, nadanya sama sekali
tidak menunjukkan rasa takut. Dia benar-benar telah nekat. Dendamnya pada orang-
orang persilatan, menjadikan hatinya gelap. Tak ada pilihan lain, kecuali
bertarung dengan orang persilatan, meski dia akan mati.
"Aku di sini, Anak Bodoh!"
Terdengar jawaban dari arah depan. Suara itu milik seorang wanita tua.
Wulandari mempercepat langkahnya. Kakinya berhenti, ketika sampai di sebuah
ruangan luas tempat wanita tua renta itu duduk. Dengan wajah menggambarkan
kemarahan, Wulandari membentak keras....
"Kaukah yang kurang ajar telah menelanjangiku, heh"!"
"Benar, memang akulah yang menelanjangi tubuhmu. Sungguh mulus sekali. Lelaki
mana pun sudah tentu akan berusaha mendapatkan tubuhmu,"
ujar Nyi Kendil seraya tersenyum. "Kalau saja aku lelaki, sudah dari tadi
tubuhmu kugeluti...."
"Cabul! Kurang ajar! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Wulandari menyerang
nenek itu. Tangannya bergerak untuk memukul kepala Nyi Kendil.
Mendapat serangan dari Wulandari, Nyi Kendil terkekeh dan tak bergeming dari
duduknya. Ketika tangan wanita muda itu melesat ke muka, si nenek hanya menekuk
lehernya ke samping. Hingga serangan Wulandari menemui tempat kosong.
Merasa serangan pertama gagal, Wulandari
semakin gusar. Dia kembali menyerang dengan tendangan ke tubuh Nyi Kendil. Namun
nenek itu dengan enteng bergeser ke samping.
"Hi hi hi.... Gerakan kaku seperti itu kau gunakan untuk menyerangku" Anak
bodoh!" bentak wanita tua itu. Kemudian dia duduk kembali di atas batu tadi.
"Sombong! Kuremukkan tubuhmu, Nenek Cabul!
Heaaa...!"
Tangan dan kaki Wulandari kembali menyerang.
Namun lagi-lagi Nyi Kendil dengan mudah berkelit Serangan Wulandari seakan tak
berarti sama sekali.
Malah nenek itu semakin seru tertawa.
"Anak bodoh! Keluarkan semua tenaga dan kebiasaanmu yang tiada guna itu!" ejek
Nyi Kendil. Wulandari mendengus. Dia kembali menyerang dengan kemarahan memuncak. Tangannya
memukul sembarangan ke seluruh Nyi Kendil. Namun, lagi-lagi wanita tua itu
berkelit dengan sambil terkekeh-terkekeh.
"Dasar anak tolol! Rupanya kau tak becus ilmu silat! Huh, tolol!"
Wulandari semakin marah diledek begitu. Dia memang tidak tahu apa-apa tentang
ilmu silat, namun dia tidak sudi dikatakan tolol. Kembali dengan
teriakan nyaring Wulandari menyerang.
"Heaaa...!"
*** Dengan menguras seluruh tenaganya, Wulandari terus menyerang Nyi Kendil. Namun
serangan yang tak dilandasi ilmu silat itu menjadi mentah. Nenek itu memang
bukan wanita tua biasa. Dia adalah seorang nenek sakti yang di masa mudanya
pernah malang-melintang di dunia persilatan,
Menghadapi serangan Wulandari yang tidak berarti dan tidak didasari ilmu silat,
Nyi Kendil bagai mendapat permainan yang menyenangkan. Tubuhnya bagai menari-
nari, membuat Wulandari merasa dipermainkan. Wajahnya bertambah geram dan
gerakannya makin membabi buta. Tapi mulut Nyi Kendil malah makin sering
menghina. Kian memancing amarah wanita muda itu.
"Heaaa...!"
"Hi hi hi.... Lucu sekali gerakanmu, Anak Tolol!
Gerakanmu seperti pelepah pisang. Kaku...!" ejek Nyi Kendil sambil terkekeh.
Lalu kakinya diangkat ke atas, manakala kaki Wulandari menyapu. Kemudian dengan
melenting ke atas, si nenek menotok punggung Wulandari.
Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tuk! "Ukh...!"
Terdengar Wulandari mengeluh, kemudian tubuhnya mematung tanpa dapat digerakkan.
Hanya matanya saja yang memandang penuh kebencian.
"Lepaskan aku, Pengecut..!" bentaknya sengit. Nyi Kendil tertawa terkekeh.
Tangannya bertolak pinggang. Setelah puas tertawa, kakinya melangkah
menuju tubuh Wulandari yang masih mematung.
"Kau kutemukan di jalanan dalam keadaan pingsan. Lalu kubawa ke tempat ini.
Kalau tadi aku mempreteli bajumu, itu karena aku hendak me-mulihkan tubuhmu yang
terlalu lemah. Kau
mengerti?" urai Nyi Kendil tepat di hadapan Wulandari. Setelah itu, tangannya
bergerak untuk membebaskan totokan pada tubuh Wulandari.
Tuk! Wulandari terkulai jatuh dengan keadaan terduduk serta kepala menunduk di depan
Nyi Kendil. "Maafkan aku, Nek. Ampuni aku.... sungguh, aku tidak tahu kalau kau
menolongku...," ratap Wulandari sambil bersujud.
Nyi Kendil terkekeh.
"Sudahlah. Ayo bangun.... Tidak perlu berbuat begitu."
Kemudian Nyi Kendil membimbing Wulandari
bangun, dan mengajak wanita muda itu ke tempatnya duduk tadi. Nyi Kendil
bersila, di atas batu persegi.
Sedangkan Wulandari kini bersila di hadapannya.
"Nenek, terimalah aku sebagai muridmu.
Kumohon, terimalah aku sebgai muridmu," pints Wulandari.
Nyi Kendil kembali terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar
rengekan wanita muda depannya.
"Bocah, mengapa kau tiba-tiba meminta aku menjadi gurumu?"
Wulandari menangis. Tanpa diminta dia pun menceritakan kejadian yang telah
menimpa dirinya.
Diceritakan tentang awal mula kejadian itu. Dia dan Selo baru saja menikah,
ketika tiga orang yang mengaku bernama Tiga Barka Kembar datang ke
rumah mereka. Ketiga orang itu mencari Pendekar Gila.
"Pendekar Gila...?" tanya Nyi Kendil.
"Benar, Nek."
"Hm, untuk apa mereka mencari pendekar muda sakti itu" Apakah mau mengadu
ilmu...?" tanya Nyi Kendil lagi. Keningnya masih berkerut dalam.
"Begitulah, Nek," jawab Wulandari.
"Hm...," gumam Nyi Kendil.
Tangan kanan wanita tua itu memegang dan
mengelus dagunya yang berlipat. Kepalanya mengangguk-angguk, entah apa yang
dipikirkannya. "Teruskan ceritamu," pinta Nyi Kendil, agar Wulandari meneruskan ceritanya.
Karena merasa tidak menyembunyikan Pendekar Gila, Selo pun tidak mengakui
tuduhan ketiga lelaki bertampang kasar itu. Hal itu membuat Tiga Barka Kembar
marah. Mereka menangkap Selo dan
menyeretnya. Dengan cara menyiksa, ketiga orang itu berusaha mengetahui di mana
Pendekar Gila berada.
"Tidak masuk akal...!" ujar Nyi Kendil tiba-tiba, membuat Wulandari menghentikan
ceritanya. Matanya memandang tak mengerti ke arah wanita tua itu.
"Kenapa, Nek?" tanya Wulandari.
"Tidak masuk akal, kalau pendekar kesohor bersembunyi...," gumam Nyi Kendil.
"Jelas Tiga Barka Kembar hanya mencari-cari alasan untuk menyiksa suamimu. Hm,
apakah antara suamimu dan
ketiganya pernah saling bersengketa?"
Wulandari menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, Nek."
"Hm, baiklah.... Ceritakan selanjutnya."
Wulandari pun meneruskan ceritanya.
Setelah tak juga mendapatkan jawaban dari Selo, ketiganya bermaksud memperkosa
Wulandari. Bahkan salah seorang dari Tiga Barka Kembar hampir saja merenggut kehormatannya.
Lalu datang pemuda bertopeng yang mengaku berjuluk Pendekar Gila.
Mereka pun bertarung. Namun rupanya orang yang mengaku sebagai Pendekar Gila
jauh lebih lihai dari mereka. Dengan mudah ketiganya dapat dikalahkan.
Setelah Tiga Barka Kembar pergi, pemuda bertopeng yang memiliki wajah tampan itu
memperkosa Wulandari. Bukan hanya itu saja, pemuda bertopeng yang mengaku
berjuluk Pendekar Gila membunuh suaminya dengan pukulan maut. Hingga tubuh
suaminya hancur berantakan.
"Aku dendam pada orang-orang persilatan! Aku ingin membalas mereka, terutama
Pendekar Gila!"
dengus Wulandari mengakhiri ceritanya.
"Membalas dendam?" tanya Nyi Kendil sambil tertawa dan menggeleng-gelengkan
kepalanya. Wulandari mengerutkan kening, tak mengerti mengapa si nenek mentertawakannya.
"Mengapa Nenek tertawa" Apakah ada yang lucu?"
tanya Wulandari tak mengerti.
"Ya. Kau lucu sekali, Bocah. Eh, siapakah namamu?"
"Wulandari, Nek," jawab Wulandari. "Tapi lebih sering dipanggil Wulan saja."
"Wulan, bagaimana kau mau membalas dendam"
Orang-orang rimba persilatan bukanlah manusia-manusia lemah. Terutama Pendekar
Gila. Mereka memiliki ilmu kesaktian dan ilmu silat yang tinggi.
Nah, bagaimana kau dapat mengalahkan mereka tanpa memiliki kemampuan?"
Wulandari terdiam dengan kepala tertunduk.
Memang benar apa yang dikatakan wanita tua itu.
Jika dia tidak memiliki apa-apa, tak mungkin dendamnya dapat terbalaskan.
"Kalau begitu aku memohon pada Nenek, sudilah kiranya Nenek memberikan pelajaran
ilmu silat pada aku yang lemah ini. Aku berjanji, akan mentaati semua peraturan
yang Nenek berikan. Tolonglah, Nek. Aku akan mengabdi padamu."
Nyi Kendil terkekeh-kekeh kembali dengan
mengangguk-angguk. Kemudian tawanya terhenti.
Ditatapnya wajah Wulandari dalam-dalam. Nenek itu sepertinya dapat mengetahui
kalau Wulandari mau berbuat apa saja demi dendamnya. Itu yang menjadikan wanita
muda itu menyanggupi untuk mentaati semua syarat-syarat yang diberikan si nenek.
Wanita tua itu merasa iba melihat keadaan Wulandari.
"Hm, aku tahu semangatmu sungguh besar, Wulan. Baiklah, tapi kau harus mau
menerima ujian berat dariku. Dan kau harus patuh menjalankan semua perintahku,
jika kau memang ingin cepat mendapatkan ilmu silat yang handal. Dan ingat,
jangan coba-coba kau bermalas-malasan...!" ucap Nyi Kendil akhirnya.
Wulandari yang mendengar tutur kata si nenek jadi tersenyum. Segera tubuhnya
bersujud penuh hormat.
"Terima kasih. Nek.., hm, Guru.... Ujian dan perintah Guru akan kujalankan
dengan senang hati...."
EMPAT Pagi cerah dengan udara yang sejuk. Angin berhembus semilir, mengusik dedaunan
pada pucuk pohon. Hembusannya juga membuat beberapa daun kering menari-nari di
udara. Seorang pemuda tampan mengenakan rompi kulit ular sanca, menggeliat perlahan.
Pemuda itu terjaga dari tidurnya ketika sinar matahari menerpa wajahnya yang
tampan. Pemuda yang tak lain Sena Manggala atau
Pendekar Gila itu menguap lebar. Tangannya mengucek-ucek mata yang menyipit
karena silaunya sinar matahari.
"O, sudah pagi...," gumamnya perlahan.
Sena duduk di atas cabang pohon yang
digunakannya untuk tidur. Matanya memandang ke sekeliling. Tak lama kemudian,
dengan enteng tubuhnya melesat turun dari atas pohon besar itu.
"Hm, cacing-cacing di dalam perutku sepertinya sudah tidak sabar lagi," gumam
Sena sambil menepuk-nepuk perutnya. Tiada angin, tiada hujan tiba-tiba dia
tertawa tergelak-gelak, seperti ada yang lucu. Tangannya menggaruk-garuk kepala
sambil melompat-lompat, layaknya seorang bocah kecil yang kegirangan.
Suasana pagi yang tenang, seketika dipecahkan gelak tawa ceria Pendekar Gila.
Menjadikan burung-burung yang sedang bertengger seketika beterbagan karena
kaget. Sena masih tertawa-tawa. Dan dengan menyanyi-nyanyi, kakinya melangkah untuk
pergi dari tempat itu. Perutnya terasa semakin lapar. Menuntut untuk diisi.
"Sabar, perutku...," gumam Sena seorang diri.
Tangan kirinya kembali menepuk-nepuk perut yang dirasakan sangat lapar.
Kakinya terus melangkah, meninggalkan hutan belantara tempatnya tidur semalam.
Masih dengan tingkah seperti orang gila, Sena terus menyelusuri lembah yang
dihimpit bukit.
Tengah kakinya melangkah, nampak sebuah
pedati yang dikendarai seorang lelaki tua berbaju serba putih. Kepalanya diikat
oleh kulit rusa. Wajah lelaki tua itu tampak tenang, mencerminkan suatu
kemantapan jiwanya.
Melihat tingkah aneh pemuda tampan berpakaian kulit ular, seketika lelaki tua
itu menghentikan pedatinya. Matanya memandangi pemuda itu dengan seksama.
Kemudian terdengar gumaman dari
mulutnya.... "Mungkinkah pemuda ini yang dinamakan Pendekar Gila dari Gua Setan itu?"
tanyanya pada diri sendiri.
Dipandanginya pemuda tampan yang melintas berapa tombak di depannya. Kemudian
lelaki berbaju putih yang dikenal sebagai Ki Martanu segera turun dari
pedatinya. Dihampirinya Sena. Hatinya yakin kalau pemuda yang kini ditemuinya
adalah pendekar muda yang disebut Pendekar Gila.
"Ya Aku yakin, dialah Pendekar Gila. Tentunya orang gila biasa tidak mungkin
memiliki pakaian seperti pemuda itu. Apalagi suling itu. Hei, bukankah itu
Suling Naga Sakti?" gumam Ki Martanu sambil mengerutkan kening. Matanya semakin
lekat, memperhatikan pemuda itu. Sementara kakinya terus melangkah.
Ki Martanu semakin mendekat Dan ketika Sena telah di depannya, badannya
dibungkukkan untuk menjura.
"Ah, rupanya hari ini aku sangat beruntung, bisa bertemu denganmu, Pendekar
Gila. Terimalah salam hormatku," sapa Ki Martanu.
Pendekar Gila yang tengah tertawa-tawa, seketika menghentikan tawanya. Matanya
menyipit dan keningnya berkerut. Dipandanginya lekat-lekat lelaki setengah tua
berbaju putih yang menjura di depannya.
"Ah ah ah, mengapa kau menjura begitu, Ki" Dan
siapakah engkau?" tanya Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Keningnya
tetap berkerut.
"Aku Martanu, orang tua yang tiada gunanya.
Orang menjulukiku Sabit Kembar dari Timur," sahut Ki Martanu, memperkenalkan
diri. "Aha, akulah yang beruntung bisa bertemu denganmu, Ki! Akulah yang harus
menghormatimu,"
kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya membungkuk, untuk menjura
hormat pada Ki Martanu. "Ah, sudahlah! Tuan Pendekar jangan merendah begitu. Siapa yang tidak kenal
denganmu. Sungguh beruntung sekali, aku yang tua dan lapuk ini bisa berjumpa
denganmu sebelum mati," tutur Ki Martanu.
Kalau boleh aku tahu, hendak ke mana tujuanmu?"
Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Kemudian wajahnya ditengadahkan, memandang langit yang biru.
"Aku hendak mencari kedai, Ki. Perutku ini sudah tidak tahan lagi," jawab Sena
sambil menepuk-nepuk perutnya dengan tangan kanan. Tingkah lakunya sangat lucu,
membuat Ki Martanu hampir tertawa dibuatnya. Beruntung orang tua itu tahu, siapa
pemuda di hadapannya. Jadi dia berusaha menahan tawanya menyaksikan tingkah laku
Sena yang lucu.
"Kalau kau tidak keberatan, bagaimana jika jalan bersamaku" Sungguh suatu
kehormatan bagiku yang tua ini, jika kau berkenan naik di pedatiku," ajak Ki
Martanu. Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Kemudian terdengar tawanya lepas.
"Ah ah ah, sungguh baik sekali kau, Ki. Tak dapat aku menolak ajakanmu," jawab
Sena, membuat Ki Martanu tersenyum senang.
"Mari, Tuan," ajak Ki Martanu sambil mengiringi Pendekar Gila ke pedatinya.
Pendekar Gila segera naik ke pedati itu, lalu duduk di samping Ki Martanu.
Kemudian lelaki tua itu menjalankan pedatinya, meninggalkan tempat itu.
"Hendak ke manakah tujuanmu, Ki?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya menyapu pada deretan bukit menjulang di sekelilingnya.
"Aku hendak pulang, Tuan. Baru saja aku bertandang ke rumah Kanjeng Tumenggung
Pandan Laras," jawab Ki Martanu yang dikenal dengan julukan Sabit Kembar dari
Timur. "Aha, ada apa gerangan di sana, Ki?"
Ki Martanu tersenyum.
"Tidak ada apa-apa, Tuan Pendekar. Aku diundang karena Kanjeng Tumenggung
meminta anak mantu-nya diboyong ke ketemenggungan."
"Jadi, kini kau menjadi besan Kanjeng Tumenggung, Ki?"
"Ya, begitulah," jawab Ki Martanu.
"Aha.... Kuucapkan selamat, Ki," ujar Sena seraya menyatukan kedua tangannya di
depan dada. "Terima kasih," jawab Ki Martanu, seraya melakukan hal yang sama.
"Maaf, aku tidak bisa datang di hari pemikahan putramu, Ki. Karena aku tidak
tahu," sesal Sena.
"Akulah yang harus meminta maaf, sebab lalai tidak mengundangmu, Tuan Pendekar.
Entah karena apa, aku melupakan Tuan yang memiliki nama besar."
"Ah ah ah, jangan terlalu menyanjungku, Ki. Aku belum seberapa jika dibandingkan
dengan nama besarmu," elak Pendekar Gila seraya menggaruk-garuk kepala.
Tanpa terasa, mereka telah memasuki per-
kampungan. Ki Martanu memperlambat laju pedatinya, sebab banyak orang berlalu-
lalang di jalan perkampungan itu.
"Ah, rupanya kita sudah sampai, Ki. Aku harus turun untuk mencari kedai," ucap
Sena. Kemudian dia menyatukan kedua tangan di depan dada. Lalu kepalanya
dirundukkan, sebagai tanda hormat.
Ki Martanu membalas dengan melakukan hal yang sama.
"Jika ada waktu, bertandanglah ke perguruanku, Tuan," ujarnya.
"Jika Hyang Widhi mengizinkan, aku akan bertandang, Ki. Sekali lagi, terima
kasih." Setelah berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat meninggalkan tempat
itu. "Ck, ck, ck...! Sungguh bukan pendekar sembarangan. Beruntung sekali aku
berkenalan dengannya. Ah, kalau saja aku punya waktu panjang, rasanya ingin
sekali bisa berjalan bersamanya sambil berguru barang beberapa ilmu dan budi
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 12 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Pendekar Elang Salju 6