Pencarian

Lahirnya Sang Pendekar 1

Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar Bagian 1


LAHIRNYA SANG PENDEKAR Oleh Fredy S. Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit
Fredy S. Serial Pendekar Gagak Rimang
Dalam Episode 001 :
Lahirnya Sang Pendekar
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Di Edit oleh: mybenomybeyes
1 Ruang pertemuan Keraton Utara
ramai. Tidak seperti biasanya hal
seperti ini terjadi. Suara-suara
bersahutan terdengar silih berganti. Dan terdengar agak berebutan. Ruang
pertemuan itu biasanya memang selalu digunakan untuk membicarakan hal-hal yang
penting. Dan kali ini tempat itu pun menjadi tempat yang teramat penting.
Karena hanya orang-orang kepercayaan Prabu Kraton Utara saja yang hadir, tanpa
adanya beberapa prajurit yang biasanya hadir untuk mewakili pasukannya.
Suasana pun lebih tegang dari
biasanya. Wajah-wajah yang hadir pun tak kalah tegangnya.
Memang, hari ini Sang Prabu Keraton Utara tengah mengajak para orang
kepercayaannya untuk memikirkan dan memecahkan suatu masalah yang menurutnya
amat pelik. Hingga peliknya dia sendiri tidak sanggup untuk memecahkan masalah
ini. Hal yang merumitkan itu adalah
tentang hilangnya pusaka warisan para leluhur Raja Keraton Utara. Mendadak
lenyap begitu saja. Hal ini benar-benar membuat si raja muda itu bingung.
Para bawahannya yang setia, bekas
pengikut ayahnya sang Prabu Keraton Utara yang telah mangkat yang bergelar Sri
Kertanegara, mendengarkan dan
memberi pendapat tanpa bermaksud untuk mengambil muka pada raja muda itu.
Prabu yang baru, pengganti ayahnya bergelar Sri Jayarasa. Dan mempunyai nama
asli Panji Lesmana.
Dia baru berusia 28 tahun. Tubuhnya gagah dan wajahnya cakap. Pengetahuannya
tentang kepemerintahan dan strategi perang cukup memadai. Semenjak Sri
Kertanegara masih hidup, Panji Lesmana sudah dididik untuk menjadi seorang ahli
kepemerintahan dan ahli strategi perang.
Para bawahannya adalah para abdi
yang patuh pada prabu mereka. Mereka benar-benar memikirkan bagaimana cara
memecahkan masalah yang telah dibeberkan oleh sang prabu muda itu. Benar-benar
merupakan suatu masalah yang pelik, dan semuanya pun merasakannya.
Prabu muda itu kembali
berkata-kata, "Jadi Ki Runding Alam mengusulkan demikian?"
Yang dipanggil dengan nama Ki
Runding Alam menyembah. Dia seorang
laki-laki tua ynng perkasa. Sejak muda dia sudah mengabdikan dirinya pada
Keraton Utara. Dan sudah beberapa kali pula dia memimpin pasukan Keraton Utara
untuk menyerang ke Keraton Selatan, saat kedua kerajaan itu masih dalam keadaan
bertempur. Ki Runding Alam sering pula memimpin pasukan untuk membasmi para perampok yang
banyak menyerang desa-desa dengan kejam. Dan dia selalu berhasil dalam
menjalankan tugasnya.
Kepandaian Ki Runding Alam dalam hal ilmu silat dan ilmu perang, sulit untuk
dicari tandingannya. Satu-satunya yang mungkin dapat menandinginya hanyalah Mpu
Daga, seorang tua penasehat dan
kepercayaan Raja Keraton Utara.
Cuma yang disayangkan, sampai
sekarang ini Mpu Daga tidak mau
memperlihatkan kepandaiannya, jika tidak ada masalah yang amat mendesaknya.
Mpu Daga seorang yang arif dan
bijaksana. Hingga sulit diketahui, apakah Mpu Daga mampu mengalahkan Ki Runding Alam"
Panji Lesmana alias Sri Jayarasa kuatir Ki Runding Alam wafat, siapa yang bisa
menggantikan kedudukannya. Seharusnya Ki Runding Alam sudah menyiapkan seorang
penerusnya yang tingkat kepandaiannya setaraf atau melebihinya, dan paling
tidak, tak jauh berbeda dengan dirinya.
Namun sampai sekarang, Sri Jayarasa belum melihat tanda-tanda itu.
Didengarnya suara abdinya yang
perkasa itu. "Daulat, Tuanku yang mulia dan agung. Kalau memang masalah itu yang tuanku
cemaskan, hanya itu pula hamba bisa memberikan jalan," kata Ki Runding Alam
dengan suaranya yang berat namun terdengar sopan.
"Apakah tidak ada pendapat yang lain, agar aku bisa menerimanya dengan baik,
Ki?" "Untuk saat ini, hamba hanya bisa mengusulkan hal seperti itu, Tuanku...."
"Apakah tidak terlalu sulit, Ki?"
tanya raja lagi.
Kembali Ki Runding Alam
merangkumkan kedua tangannya di dada, menyembah.
"Menurut hamba, karena itu usul yang hamba berikan, tak akan ada kesulitan
sedikit pun."
"Kau bisa membeberkan rencanamu itu?"
"Dengan segala kerendahan hati, Tuanku. Pertama, jika memang benar
pusaka itu hilang dalam istana, menurut hamba tak lain dan tak bukan, adalah
orang dalam sendirilah yang
melakukannya."
"Bagaimana kau bisa menduga
demikian, Ki?" tanya Raja pula.
"Karena bagi orang luar untuk melakukannya, terlalu sulit, Tuanku.
Pertama, dia barus melewati banyaknya punggawa yang begitu ketat menjaga istana.
Kedua, pencuri itu pun belum tentu tahu di mana Pusaka Patung Pualam lambang
kejayaan Keraton Utara dan warisan para leluhur berada. Bukankah pusaka itu
berada di dalam kamar Tuanku?"
"Benar, Ki. Aku memang selalu menyimpannya di sana. Karena aku begitu bangga
bisa melihatnya setiap hari dan menjelang aku pergi tidur."
"Nah, dari alasan kedua itu saja sudah tidak memungkinkan pencuri dari kalangan
luar itu bisa melakukannya.
Tetapi hanya ada satu cara lain...." Ki Runding Alam menghentikan kata-katanya.
Yang hadir memandangnya dengan
tegang, menunggu kata-kata apa yang hendak diucapkan Ki Runding Alam
kembali. Begitu pula halnya dengan Sri
Jayarasa, "Cara apa, Ki?"
Ki Runding Alam kembali menjura.
"Maafkan hamba sebelumnya,
Tuanku...."
"Katakanlah Ki... apa yang saat ini ada di pikiranmu...." kata raja pula.
"Mungkin saja dugaan orang luar yang mengambilnya memang benar, Tuanku...."
"Tadi kau mengatakan tidak,
bagaimana caranya?"
"Ada orang yang memberitahukan tentang seluk beluk istana. Dan tentang Pusaka
Patung Pualam berada."
"Jadi dugaanmu...."
"Benar, Tuanku. Hamba berpikir tentang satu hal lagi kemungkinan, adanya orang
yang menjadi penunjuk jalan untuk mencuri Pusaka Patung Pualam."
"Dan orang itu adalah orang kita sendiri?"
"Benar, Tuanku...."
Kata-kata Ki Runding Alam membuat
beberapa hadirin semakin tegang. Tanpa mereka sadari mereka menjadi saling
pandang. Meskipun sinar mata mereka tidak saling mencurigai, namun hati mereka
menjadi bertanya-tanya.
Benarkah dugaan Ki Runding Alam"
Dan mereka mendengar kembali
kata-kata Ki Runding Alam.
"Mungkin pula dugaan saya bisa menjadi salah, Tuanku. Tetapi mengingat hilangnya
Pusaka Tanah Kediri dari kamar tuanku, itu sudah menandakan kalau orang dalamlah
yang melakukannya atau pun orang dalamlah yang menjadi mata-mata sebagai
penunjuk jalan bagi pencuri untuk mengambil pusaka.
"Aku pun berpikiran demikian, Ki.
Cuma aku ragu, apa mungkin di dalam istana ini ada orang yang tega berkhianat
kepadaku" Yang tega-teganya mencuri pusaka leluhur kita. Pusaka Patung Pualam.
Lambang kejayaan dan cita-cita luhur Tanah Keraton Utara."
"Daulat, Tuanku. Bukan maksud hamba untuk menuduh atau menduga hal itu.
Tapi... mungkinkah ada seorang mata-mata Keraton Selatan yang telah menyusup ke
dalam, dan mencuri pusaka
itu" Kemungkinan itu tidak bisa dipungkiri, Tuanku. Dan kemungkinan itu selalu ada.
Bahkan ada!"
Raja terdiam. Semua hadirin
terdiam. Kata-kata Ki Runding Alam telah membangkitkan suatu keingintahuan dan
kegeraman. Rupanya suatu ketika, mereka bisa kecurian pula. Justru yang dicuri,
pusaka yang dibanggakan oleh tanah Keraton Utara. Pusaka yang diwarisi dari satu
raja ke raja lain, warisan turun menurun yang tak pernah habis. Dan pusaka
lambang kejayaan raja-raja Keraton Utara.
Terdengar suara lembut namun
berisi, "Maafkan hamba, Tuanku. Kalau memang demikian dugaan Ki Runding Alam,
kami semua setuju. Pusaka itu dicuri orang saat kita semua lengah. Saat kita
semua terlelap dan tidak menyadari kalau salah seorang anggota kita adalah
penjahat besar. Musuh yang mungkin dikirim dari Keraton Selatan. Lalu, apa
tindakan yang akan kita ambil, Tuanku?"
Sri Jayarasa menatap orang yang
berbicara itu. Seorang laki-laki
setengah baya yang bertubuh tegap.
Dengan kukuh dan kekar, menandakan orang yang keras. Dia memiliki kumis yang
lebat. Jika dia berdiri, mirip seorang pendekar dari seberang. Dia bernama Singa
Ireng alias Macan Seranggi.
"Hmm... kalau memang hanya itu dugaan kita semua, kita harus segera mengirim
utusan ke Keraton Selatan.
Untuk merundingkan masalah ini secara damai. Jika jalan perundingan itu tidak
dapat dilaksanakan atau gagal,
peperangan tak mungkin dihindari lagi,"
kata Sri Jayarasa geram. Dia melangkah mondar mandir dengan tangan terkepal
keras. Matanya memancarkan sinar kemarahan Terdengar deheman lalu batuk-batuk.
Seorang laki-laki tua membuka suara,
"Maafkan hamba, Tuanku. Kalau boleh hamba mengusulkan sesuatu?"
"Oh, silahkan, Mpu!" sahut Sri Jayarasa sambil duduk di tempatnya kembali.
Memperhatikan Mpu Daga yang bertugas selaku penasehat setia di Keraton Utara.
Dia seorang laki-laki tua berjubah putih dan berjanggut putih pula.
Mpu Daga menghela nafas. Dia tahu
jiwa muda raja baru ini, jiwa muda yang penuh gejolak amarah dan nafsu. Dia
tidak memikirkan masalah ini lebih panjang.
Mungkin karena bernafsu tidak dapat menahan gejolak diri, atau juga marah karena
pusaka kebanggaan Keraton Utara dicuri orang, atau juga... malu kepada almarhum
ayahnya karena tidak bisa menjaga amanat yang diberikan. Dan Mpu Daga tidak
ingin peperangan terjadi lagi.
"Maafkan, Tuanku. Maksud hamba, bukan menghalangi keinginan tuanku untuk
mengirim utusan ke Keraton Selatan. Tapi
apakah tidak baik, jika masalah ini kita selesaikan dulu."
"Maksud, Mpu?"
"Kita tutup persoalan ini dulu sampai berapa lama. Kita cari pusaka ini di
sekitar istana, tanpa menimbulkan kecurigaan yang lain. Kalau pun memang ada
mata-mata yang telah mencuri pusaka itu, biar dia merasa aman dalam istana tanpa
merasa sadar kalau kita sudah mengetahui pusaka itu hilang."
"Tapi Mpu, bagaimana kalau orang itu sudah kabur ke Keraton Selatan" Bukankah
ini jelas-jelas kecolongan dan Keraton Selatan telah membuat jembatan kayu untuk
permusuhan."
"Itu pun kalau benar Keraton Selatan yang mengambilnya, lalu bagaimana jika
bukan?" "Alah, sudah tentu mereka, Mpu! Mpu masih ingat bukan, ketika kerajaan ini
direbut oleh Keraton Selatan" Betapa sengsaranya kita dan seluruh rakyat.
Kita seolah kehilangan kepercayaan rakyat untuk memimpin negara, Mpu. Dan betapa
tertatih-tatihnya kita untuk merebut kembali kekuasaan yang kita miliki. Berapa
ribu pejuang yang mati, berapa hektar tanah yang hangus, dan berapa juta harta
dipakai untuk membantu
perjuangan. Karena apa, karena mereka mencintai bangsa dan negaranya. Dan mereka
tidak ingin hidup dalam jajahan."
"Lalu bagaimana maksud, Tuanku?"
"Sudah jelas toh, Mpu! Mereka ingin kembali menjajah dan merebut kekuasaan.
Kalau pusaka itu sudah jatuh ke tangan mereka, secara resmi Keraton Utara
dipegang oleh mereka. Bukan begitu, Mpu?" Suara Sri Jayarasa meninggi.
Dadanya turun naik. Nafasnya
terengah-engah.
Mpu Daga terdiam. Sri Jayarasa
meneruskan, "Kita tidak ingin mengalami penjajahan kembali, bukan" Hari ini juga
aku akan mengirim utusan ke Keraton Selatan biar masalahnya cepat
terselesaikan. Ki Runding Alam, ajak seorang yang kau percaya untuk pergi ke
Keraton Selatan. Katakan terus terang, perbuatan curang Raja Keraton Selatan
sudah diketahui. Dan katakan pula, aku minta pusaka itu dikembalikan secara
baik-baik. Jika tidak, aku akan merebut dengan jalan perang."
Ki Runding Alam menyembah hormat.
Dia memilih Ki Manggada untuk
menemaninya. Sebelum keduanya bangkit terdengar suara Mpu Daga.
"Sekali lagi maafkan hamba,
Tuanku." "Ada apa lagi, Mpu?" tanya Sri Jayarasa tak suka.
Mpu Daga menghela nafas panjang.
Lalu katanya, "Sebagai penasehat, hamba ingin memberi nasehat kembali kepada tuanku.
Masalah pusaka leluhur kita yang dicuri, kita lepas dari soal ini. Tetapi
kembali tuanku pikirkan, apa jadinya kalau bukan mereka yang mencuri pusaka
Keraton Utara. Mereka pasti ukan terhina dan marah oleh tuduhan yang lerlalu
keji ini. Mereka tentu saja tidak akan menerima.
Dan perang jelas-jelas tidak akan bisa dielakkan lagi."
"Memang hal itu yang kuinginkan, biar mereka membuka mata lebih lebar, kalau
kita tidak bisa diremehkan," sahut Sri Jayarasa membusungkan dada.
"Benar, Tuanku!" seru Panglima Angling menyela kata-kata Mpu Daga.
Semua mata tertuju padanya, karena sejak tadi dia yang tidak banyak bicara.
"Kita semua tidak ingin dihina oleh Keraton Selatan. Keputusan Tuanku sungguh
adil dalam hal ini! Kita akan runding dengan Keraton Selatan. Jika gagal, kita
akan menggempur mereka sampai lumat! Pusaka
Patung Pualam harus kita rebut kembali!"
Berapi-api panglima yang berwajah garang itu berkata.
Prabu tersenyum mendengar kata-kata Panglima Angling. Tetapi Mpu Daga tetap
berusaha untuk mencegah.
"Tak ingatkah tuanku akibat perang"
Penderitaan yang panjang dialami oleh rakyat. Kemiskinan mendera batin. Dan
kejahatan terjadi di mana-mana hanya karena memperebutkan seberapa butir nasi.
Tuanku... kalau bisa, cegahlah peperangan, jangan kita mengulangi kepahitan yang
sama" "Hmm, jadi bagaimana maumu, Mpu?"
"Kita kembali menyelidiki masalah ini. Jika memang benar hilang, pasti masih


Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di sekitar sini. Si pencuri tidak akan berani membawanya ke luar, karena
penjagaan yang ketat."
"Hhh!" Prabu mendengus jengkel.
"Kau lupa Mpu, dalam kamarku pencuri itu bisa mengambilnya. Dan itu penjagaan
lebih ketat. Pencuri itu benar-benar seorang yang sakti."
"Tapi... maafkan hamba, Tuanku.
Apakah tuanku tidak lupa meletakkannya"
Ini suatu kemungkinan yang baru,
Tuanku." "Tidak, Mpu. Aku ingat benar, pusaka itu kuletakkan di lemari kayu warisan
ayahanda. Pencuri itu memiliki
keberanian yang luar hiasa, bukan"
Yah... orang-orang Keraton Selatan terkenal memiliki mental yang hebat dan
kuat." Mpu Daga tidak bisa berkata-kata
lagi. Ia masih ingin Sri Jayarasa mau mendengar kata-katanya selaku
penasehat. Dia berharap, peperangan bisa dihindarkan dan tidak pecah lagi
seperti dulu. Masih terbayang lekat dalam benak Mpu Duga, betapa memilukan keadaan rakyat di
mana dua negara berperang. Dia sukar membayangkan kembali penderitaan rakyat
yang begitu memilukan.
Mpu Daga berkata kembali,
"Tuanku... mungkin pendapat hamba tidak berkenan di hati tuanku. Namun yang
perlu tuanku pikirkan sekali lagi, bagaimana bila bukan mereka yang
melakukannya"
Hamba kuatir, perselisihan dan
peperangan tak bisa dihindari lagi".
"Agaknya peperangan itu memang tak bisa dihindari lagi, Mpu...."
Mpu Daga mendesah. Sadar kalau jiwa prabu muda ini masih terbawa oleh
emosinya. "Tidak adakah cara lain, Tuanku?"
"Yah... seperti yang kukatakan tadi, jalan satu-satunya memang hanya itu.
Mencoba mengajak mereka berunding."
"Benar, Tuanku," kata Panglima Angling yang kembali menyela. "Keputusan itu
sudah merupakan sebuah keputusan yang baik. Hamba pun berpikir, hanya itulah
satu-satunya cara untuk mencoba dengan jalan halus dan damai."
"Tetapi biar bagaimana pun caranya berunding, mereka tetap bisa
tersinggung, Panglima," kata Mpu Daga yang masih berusaha keras untuk mencegah
peperangan terjadi.
"Bukankah kita hanya berunding, Mpu" Bagaimana maksudmu yang
sebenarnya?" kata Panglima Angling.
Mpu Daga menjura dulu pada raja,
"Maafkan hamba, Tuanku." Lalu katanya pada Panglima Angling, "Panglima... kita
memang datang untuk berunding, namun kedatangan kita tak lain dan tak bukan
untuk memastikan apakah mereka yang mencuri Pusaka Patung Pualam"
Dan bila kata-kata itu dilontarkan, ini bisa menjadi semacam tuduhan. Dan saya
rasa pihak Keraton Selatan tidak akan menerima semua ini, meskipun kita datang
dengan jalan untuk berunding."
"Tetapi bagaimana bila benar mereka yang mencurinya, Mpu" Apakah kita hanya
berpangku tangan dan membiarkan Keraton Selatan menindas kita?" kata Panglima
Angling dengan suara yang terdengar tidak enak.
Mpu Daga terlihat jadi sedikit risih mendengar suara itu. Namun sikapnya yang
arif dan bijaksana membuatnya bisa menghilangkan keadaan itu.
"Itu kalau benar mereka yang
mencurinya, panglima. Tetapi kalau bukan bagaimana?"
"Mpu... kemungkinan benar atau tidaknya hanya bisa kita ketahui bila kita sudah
ke Keraton Selatan. Meminta semua penjelasan mereka dan berunding dengan mereka.
Aku heran, kau seorang mpu yang dianggap sebagai penasehat dan kepercayaan
pertama dari prabu tidak memikirkan hal itu...."
Sebagian hadirin memang membenarkan kata-kata Panglima Angling. Bagaimana bila
benar pihak Keraton Selatan yang mencuri Pusaka Patung Pualam Itu"
Dan sebagian hadirin pun
membenarkan kata-kata Mpu Daga,
bagaimana bila mereka tidak mencurinya"
Meskipun dengan jalan berunding,
bukanlah hal yang mustahil bila pihak
Keraton Selatan menjadi tersinggung dengan kedatangan mereka.
Hadirin menjadi sulit untuk
memikirkan yang pasti dan memutuskan yang tepat.
Mereka mendengar suara Prabu Sri
Jayarasa mendehem. Semuanya berpaling padanya.
"Yah... setelah kupikirkan,
keputusan tetap sama, kita harus
mengirim utusan ke Keraton Selatan untuk berunding dan meminta penjelasan pada
mereka tentang hilangnya Pusaka Keraton Utara. Dan siapa yang harus bertanggung
jawab dengan kejadian ini.
Ki Runding Alam dan Ki Manggada,
kalian tetap menjalankan tugas yang kuberikan. Dan aku minta, pecahkan semua
persoalan ini secara tuntas...."
Ki Runding Alam dan Ki Manggada
menjura. "Daulat, Tuanku... semua perintah dan titah tuanku, akan kami jalankan dengan
sebaik-baiknya," kata Ki Runding Alam mewakili Ki Manggada.
Dan mendesahlah Mpu Daga. Pelan.
Terlihat wajahnya yang berubah
menjadi lesu. Dia kembali membayangkan kemungkin-an perang terjadi. Ah, tak sanggup dia
untuk berlama-lama membayangkannya.
Akibat perang amat mengerikan. Terlalu mengerikan. Perang tidak memperdulikan
miskin kaya, tampan jelek dan
sebagainya. Perang hanya mengingat kemenangan. Membunuh untuk menang.
Memporakporandakan kehidupan hanya untuk kemenangan. Mengerikan.
Terlalu mengerikan!
Mpu Daga tidak ingin semuanya
terjadi lagi. Wajah tuanya semakin lesu dan muram.
Desahannya semakin panjang.
Tidak bisa mencegah lagi karena raja sudah mengambil keputusannya.
Sore harinya juga Ki Runding Alam
dan Ki Manggada berangkat menuju ke Keraton Selatan dengan kuda
masing-masing. Perjalanan menuju ke Keraton Selatan memakan waktu selama enam
hari enam malam. Itu pun bila ditempuh dengan jalan menunggang kuda yang
dilarikan sangat cepat.
Perjalanan yang melelahkan.
Namun keduanya terus memacu kuda
mereka untuk mempercepat perjalanan.
Tugas itu telah keduanya pikul dengan setia. Tidak ada sedikit pun untuk
membelok, memikirkan akibat peperangan yang terjadi nanti.
Tidak sedikit pun!
Yang penting, tugas itu harus
dilaksanakan demi pengabdian mereka pada Keraton Utara!!
*** 2 Keraton Selatan dipimpin oleh
seorang raja yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardana. Wilayah Keraton Selatan adalah
sebuah wilayah yang subur, makmur dan sentosa.
Sejak peperangan
yang terjadi antara Keraton Selatan dan Keraton Utara semua bangunan yang porak poranda telah
dibetulkan. Kini telah menjadi sebuah wilayah yang begitu indah.
Hari ini sang Prabu Sri Jaya
Wisnuwardana sedang berada di ruang kaputrennya, dia tengah bercanda gembira
bersama para selirnya. Sambil menikmati air mancur yang berada di tengah
kaputren itu. Salah seorang dari sekian banyak
selirnya yang amat disayanginya adalah Sekar Perak. Seorang selir yang
didapatnya dari Desa Paraden, sebuah desa yang terdapat di perbatasan antara
Keraton Utara dan Keraton Selatan.
Sekar Perak berperawakan mungil.
Wajahnya teramat cantik. Raja
menyukainya, karena Sekar Perak sangat lugu dan penurut. Sikapnya apa adanya,
tidak dibuat-buat seperti para selir yang lain, yang selalu bersikap manis
dibuat-buat dan ingin mendapat perhatian lebih dari raja.
Hal seperti itu tidak pernah
ditampilkan oleh Sekar Perak. Dia tetap seperti apa adanya ketika pertama kali
diboyong sang raja ke keraton. Juga tidak pernah merubah citra dirinya sebagai
gadis yang lugu, yang tidak pernah tersentuh oleh barang-barang mewah berupa
perhiasan dan kosmetik.
Semua barang-barang mewah hadiah
sang raja hanya disimpannya saja. Yang selalu dikenakan hanya sebuah cincin dan
sepasang anting-anting. Tidak lebih.
Namun meskipun hanya mengenakan
perhiasan seadanya dan tanpa tersentuh kosmetik, wajah Sekar Perak tetap
kelihatan berseri dan cantik. Tak satu pun dari sekian banyak selir sang raja
yang kecantikannya bisa melebihi bahkan menandingi Sekar Perak.
Dia tetap lugu dan bersahaja.
Dia tetap sebagai Sekar Perak
seorang gadis desa, yang hanya menurut di bawah perintah baginda raja.
"Rasanya... tak ada yang bisa menandingi kasih sayangku terhadap Sekar Perak,"
desis raja setiap kali melihat selir kesayanganya itu.
Dan semakin hari rasa kasihnya
terhadap Sekar Perak semakin bertambah saja.
Semakin besar tumbuh dan semarak.
Tetapi hari ini baginda raja heran, karena selir kesayangannya mendadak selalu
diam waja. Memang seperti biasa Sekar Perak selalu diam, tapi kali ini seperti
ada sesuatu yang dipendamnya.
Dia hanya duduk termenung di tepi kolam kaputren yang berhias bunga-bunga.
Kakinya terjuntai ke air,
memercik-mercik air yang menerpa
betisnya vaug sangat mengkilat bersih.
Wajahnya nampak murung. Keluguannya seperti tidak ada yang setiap kali
ditampilkannya jika baginda raja muncul.
Sikap malu-malunya seperti hilang
berganti dengan kepucatan dan
kemurungan. Dia seperti memendam
sesuatu, atau merindui sesuatu.
Sri Jaya Wisnuwardana segera
menghampiri dan bertanya ada apa
gerangan selir kesayangannya menjadi bermuram durja demikian.
Sekar Perak menunduk tersipu. Kali ini keluguannya kembali nampak. Ia tidak
menyangka kalau perbuatannya itu menarik perhatian baginda. Ini membuatnya malu.
Dia buru-buru menyembah dengan
sikap berlutut. Baginda raja meraih kedua bahunya dan menyuruhnya bangkit.
Perlahan-lahan Sekar Perak berdiri dengan kepala tertunduk. Sikapnya
membuat baginda raja semakin
menyayanginya. "Duhai, Sekar Perak yang anggun. Ada apa gerangan sampai sikapmu menjadi murung
demikian" Bolehkah saya tahu, apa penyebabnya, Sekar Perak?"
Sekar Perak sekali lagi menyembah.
Lalu menunduk dengan tersipu.
"Maafkan hamba, Gusti prabu. Bukan maksud hamba mengganggu Gusti prabu, bukan
pula untuk menarik perhatian gusti."
"Jelaskanlah, Sekar Perak. Biar aku tahu apa yang menjadikan kau bermuram durja
demikian?"
Sekar Perak bukannya menyahut malah semakin menundukkan kepalanya. Baginda Prabu
Sri Jaya Wisnuwardana semakin
keheranan. Dia menjamah dagu Sekar Perak dan menaikkannya perlahan-lahan agar
menatapnya. Takut dan malu-malu gadis itu
mengangkat wajahnya. Matanya
mengerjap-ngerjap seperti mata kelinci, begitu takut-takut dan malu-malu.
Baginda senang melihat sepasang
mata yang bening itu.
"Aku tidak mengerti, Sekar Perak.
Katakanlah terus terang kepadaku...."
Sekar Perak berusaha untuk tidak
menatap prabu, tetapi sang prabu malah memaksanya untuk menatapnya. Membuat
dadanya semakin berdebar keras.
"Tataplah aku, Sekar Perak. Apakah kau ini terus menerus membuatku menjadi
bertanya-tanya?"
Kepala itu menggeleng. Prabu
tersenyum. "Nah... katakanlah terus terang, apa yang membuatmu menjadi risau seperti ini...
Katakanlah...."
Sekar Perak menunduk dan
perlahan-lahan melepaskan diri dari tangan sang prabu. Dia melangkah
perlahan ke taman bunga yang terdapat di kaputren. Lalu duduk dengan sikapnya
yang anggun di salah sebuah kursi.
Membuat sang prabu mendesah dalam
hati melihat sikap Sekar Perak yang santun.
Prabu menghampirinya dan membelai
rambut Sekar Perak dari belakang. Para selir yang lain tidak memperdulikan
mereka. Mereka tidak iri atau pun cemburu akan perhatian sang prabu yang terasa
berlebihan terhadap Sekar Perak.
Mereka masih asyik tertawa-tawa
dan, bercanda. "Bagaimana, Sekar Perak" Apakah kau masih ingin menyimpan rahasia hatimu itu?"
tanya sang prabu pelan.
Sekar Perak menunduk.
"Gusti prabu... maafkan hamba...."
"Katakanlah, Sekar wahai kasihku yang cantik...."
"Hamba...." Sekar Perak
menghentikan kata-katanya. Lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah ragu dan bingung. "Tidak, tdak ada apa-
apa, Gusti prabu...."
Prabu tersenyum. Membelai lagi
rambut Sekar Perak, seolah memberikan kemantapan dan memperlihatkan kasih
sayangnya terhadap wanita itu.
"Mengapa kau ragu" Katakanlah...
ayo, tidak perlu takut. Ayolah, bungaku yang anggun...."
Prabu tersenyum.
Hati-hati Sekar Perak menatap
bagindanya. Kata-kata baginda yang penuh kasih sayang dan memperlihatkan
cintanya membuat kekuatan dan kemantapan di hati Sekar Perak untuk mengutarakan
apa yang menggelitikkan hatinya selama ini.
Lalu hati-hati pula bibir yang
mungil itu membuka, mengeluarkan suara yang merdu didengar, "Sudah... sudah dua
tahun... hamba hidup di dalam kaputren ini, Gusti...."
"Lalu apa maksudmu, Kasihku?"
"Hamba... ah, selama dua tahun itu, belum sekali pun hamba pulang untuk
menyambangi ibu yang sudah tua di desa.
Maafkan. hamba, Gusti prabu... bila hamba lancang berkata begini. Tetapi
hamba... kangen dengan ibu hamba di desa, Gusti... maafkan hamba, Junjungan yang
mulia...."
Baginda prabu tertawa pelan. Dia
membelai pipi Sekar Perak yang kembali tertunduk tersipu. Menggeleng-geleng geli
setelah mengetahui masalah yang membuat melatinya ini bersedih.
"Sekar Perak, Sekar Perak... hanya masalah itu rupanya. Ah, kau hampir membuatku


Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalang kabut. Jadi maksudmu...
kau hendak kembali untuk menjenguk ibumu?"
"Ampun, Gusti...."
"Bila kau menginginkan hal itu, aku tak melarang. Tetapi jangan terlalu lama kau
meninggalkan aku, Sekar Perak. Aku bisa mati karena rindu padamu...."
"Ampun, Gusti... jadi gusti...
mengizinkan hamba pergi?" Suara Sekar Perak kali ini terdengar antara takut dan
gembira. Baginda prabu mengangguk dengan
bibir tersenyum.
"Ya."
"Terima kasih, Gusti."
"Kau boleh pergi meninggalkan kaputren ini selama dua minggu. Dan kau akan
dikawal oleh beberapa punggawa pilihanku baik pulang maupun pergi. Kau setuju
bukan, Sekar Perak?" Bibir baginda masih tersenyum.
Sekar Perak bangkit menyembah. "Ampun, Gusti. Semua titah gusti akan hamba
junjung tinggi...."
"Kau memang bungaku yang anggun, Sekar Perak...."
"Hamba, Gusti...."
"Nah, kapan rencanamu untuk
berangkat?"
"Apa yang gusti titahkan
selanjutnya, akan hamba patuhi...."
Prabu mendesah panjang.
"Baiklah, besok kau boleh berangkat untuk menyambangi ibumu. Kau memang seorang
putri yang tahu akan peradaban dan sopan santun, Sekar Perak. Aku pun akan
demikian bila ibuku masih
hidup...."
"Terima kasih, Gusti..." sahut Sekar Perak gembira. Bibirnya
menyunggingkan sebuah senyum yang begitu menawan, yang uiampu membuat hati siapa
saja bergetar melihatnya. Senyum itu begitu memikat, tanpa dibuat-buat untuk
memikat seseorang. Dan dalam hal ini gusti prabu.
Gusti prabu pun memang merasa dia telah terpikat oleh Sekar Perak..Gusti prabu
amat menyukai sikapnya yang anggun dan apa adanya. Polos. Lugu. Dan jujur.
Tak pernah sekali pun gusti prabu
melihat sikap Sekar Perak dibuat-buat atau untuk mencari perhatian. Tidak pernah
hal itu terjadi.
Ditatapnya kembali Sekar Perak yang masih tersenyum.
"Kau gembira dengan keputusanku, bukan?"
Sekar Perak tergagap. Karena
gembiranya dia sampai lupa kalau gusti prabu masih ada di dekatnya.
Buru-buru dia menganggukkan
kepalanya. "Iya, iya... gusti... hamba begitu gembira mendengar keputusan gusti,"
sahut Sekar Perak terburu-buru.
Dan perlahan-lahan di benaknya
segera terbayang wajah ibunya tercinta, wajah yang hampir dua tahun lamanya
tidak pernah dilihatnya.
Betapa gembiranya dia akan kembali melihat wajah itu, wajah yang tentunya sudah
memendam rindu pula. Rindu yang amat sangat pada dirinya. Sekar Perak yakin hal
itu. Ibunya pasti rindu padanya. Sama
halnya seperti dirinya.
Sekar Perak baru ingat, kalau
usianya sudah menjadi 18 tahun sekarang ini. Ketika diboyong oleh gusti prabu ke
Keraton Selatan dia baru berusia 16
tahun, saat perang masih berlangsung.
Dia sedih. Marah. Dan kesal. Karena merasa berada dalam cengkeraman musuh.
Meskipun letak desanya di antara
perbatasan dua negara itu, namun Sekar Perak lebih sering merasakan Keraton
Utara negaranya tercinta.
Dan dia merasa sedih mengingat
dirinya dipinang dan diminta oleh Prabu Keraton Selatan untuk dijadikan sebagai
selir. Sekar Perak ingin berontak. Namun
tak kuasa. Apalagi melihat ibunya yang menangis melihat sikap diamnya. Mau tak
mau membuat Sekar Perak akhirnya
menurut. Akhirnya dia pun mau dirinya
diboyong ke Keraton Selatan untuk
dijadikan selir. Dan sikap diamnya terus berlanjut. Baginya, dia hanyalah
seorang tawanan belaka.
Namun perlahan-lahan kediamannya
pun mencair. Karena baginda prabu sangat memperhatikan dirinya, hingga lambat
lauh dia menjadi suka pada sang prabu.
Selama satu tahun baginda prabu
tidak menyentuhnya. Dia diperlakukan secara baik, bukan sebagai tawanan.
Bukan pula sebagai wanita pemuas nafsu prabu. Dan bukan sebagai pajangan karena
cantiknya, untuk menambah
perbendaharaan para selir di kaputren.
Tetapi diperlakukan sebagai seorang selir atau istri piaraan yang
diperhatikan. Dan baginda pun mulai menyentuhnya di saat dia berusia 17
tahun, di saat Sekar Perak benar-benar mencintai prabu.
Baginda memang begitu baik
memperl-kukannya.
Ketika dia kangen pada ibunya pun
baginda mengizinkannya untuk pulang menyambangi ibunya. Padahal dia sudah amat
takut junjungannya tidak
mengizinkan. Dengah tersipu Sekar Perak perlahan-lahan mengecup pipi
junjungannya yang tersenyum senang.
Ketika prabu hendak meraih tubuh
Sekar Perak dalam pelukannya, Sekar Perak sudah buru-buru berlari ke
peraduannya. Dia tidak mau dilihat oleh para selir yang lain jika sedang ingin
bermanja dengan prabu.
Bukan apa-apa, Sekar Perak amat malu bila bermanja diketahui oleh para selir
yang Inia. Karena bagi Sekar Perak, sang prabu bukanlah miliknya seorang. Tetapi milik
banyak selir, juga permaisurinya.
Baginda pun mengerti akan hal itu.
Dia segera berjalan menuju peraduan Sekar Perak. Tetapi langkahnya urung ketika
melihat seorang prajurit yang berdiri di luar kaputren. Sikap prajurit itu
hormat. Nampaknya pula hal yang penting yang harus disampaikan pada
prabu, karena dia berani menginjak bangunan kaputren.
Hal itu terlarang bagi siapapun juga kecuali baginda raja, para selir dan para
dayang-dayang. Kening baginda berkerut. Apa-apaan ini"
"Ada apa, prajurit?" tanya baginda tidak senang karena ada yang berani memasuki
halaman kaputren.
Prajurit itu menyembah. Memegangi
tombaknya di tangan kanan.
"Maafkan hamba, Gusti. Ada dua utusan dari Keraton Utara datang
kemari." "Maksud mereka apa?" tanya prabu se telah terdiam beberapa saat.
"Mereka ingin bertemu dengan
baginda prabu."
"Maksudku... mereka mau apa?"
"Mereka tidak mengatakannya,
Prabu." "Hmm... siapakah nama mereka?"
"Keduanya mengaku bernama Ki
Runding Alam dan Ki Manggada," sahut prajurit itu tetap dengan suara hormat.
Prabu terdiam beberapa saat.
Keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu. Setelah itu dia mengangkat
kepalanya dan mengangguk.
"Baik, bawa keduanya ke ruang pertemuan".
Prajurit itu menghormat lalu
berbalik Baginda prabu menghela nafas.
Ada apa lag dengan Keraton Utara" Dia melangkah keperaduan Sekar Perak dulu.
Sekar Perak vung sudah menunggu sejak tadi jadi tersipu karena terlihat tidak
sabar. Baginda menjadi merasa enak. Dia menerangkan hal itu pada Sekar Perak.
Sekar Perak mengangguk walau agak
kecewa. Baginda prabu memakai baju
kebesarannya lalu segera menuju ke ruang pertemuan. Dia didampingi oleh tiga
orang pengawal setianya. Yang terdiri dari Kyai Rebo Panunggal Seorang tua
bersorban putih yang sakti sekali
kepandaian. Juga terkenal pandai
menyembuhkan berbagai penyakit. Di belakangnya berjalan Tunggul Dewa, yang
bergelar Naga Sakti dari Laut Selatan. Dan di samping kanan baginda prabu
berjalan seorang laki-laki gagah bertampang seram. Dia bernama Dasa Samudra. Dia
bersenjatakan dua buah trisula dibelakang pinggangnya. Dan amat lihai memakai
kedua senjata kembarnya itu.
Ketiganya selalu mendampingi
baginda dimana saja. Baik dalam rapat, pertemuan, berpergian maupun perang.
Sekarang pun ketiganya menyertai baginda ke ruang pertemuan. Disana Ki Runding
Alam dan Ki Manggada sudah menunggu.
Di depan pintu ruangan itu, sudah
berdiri puluhan prajurit siap dengan senjatanya. Mereka harus bersiap siaga,
akan kedua utusan Keraton Utara ini. Tak mungkin jika mereka tidak mempunyai
maksud tertentu.
Para prajurit itu menghormat dengan sikap menyembah ketika baginda prabu datang
bersama ketiga pengawal setianya.
Mereka segera masuk ke ruang pertemuan.
Begitu mereka masuk, beberapa orang prajurit dan para kepala pasukan segera
menyembah. Baginda berjalan ke tempat duduknya. Ketiga pengawalnya berdiri di
kedua sisi dan belakangnya tempat
duduknya. Kedua orang utusan Keraton Utara
berdiri ketika baginda prabu duduk.
Keduanya memberi hormat.
Baginda prabu mengangguk.
"Silahkan...."
"Terima kasih, Baginda," sahut Ki Runding Alam. Dan duduk kembali. Ki Manggada
bersila pula di sampingnya.
"Hmm... ada salam apa Keraton Utara mengirim utusannya ke Keraton Selatan?"
tanya prabu setelah beberapa saat.
"Bisakah dijelaskan untuk tidak membuang waktu terlalu lama" Mulailah, Ki
Runding Alam."
"Daulat, Gusti prabu Keraton
Selatan yang hamba hormati. Kedatangan kami berdua, memang ada suatu masalah
yang harus diselesaikan. Masalah yang bisa membawa nama Keraton Utara pada
keruntuhan."
"Apa masalahnya gerangan?" tanya Raja Keraton Selatan.
"Tentang pusaka Keraton Utara yang hilang dicuri orang."
"Hilang?"
"Kenyataannya demikian, Prabu.
Pusaka itu adalah lambang kejayaan Keraton Utara yang diwariskan secara turun
temurun." Kening Prabu berkerut.
"Hmm... lalu apa hubungannya dengan kedatangan kalian kemari?" tanya prabu
curiga. "Maafkan kami, Prabu. Bukan maksud kami dan raja kami menuduh gusti prabu
yang...." "Maksudmu, Keraton Selatan yang buat ulah, hah?" geram prabu memotong.
Sepasang alisnya sudah nampak bertautan.
Ki Runding Alam seorang pengawal
yang setia terhadap Kediri. Begitu pula dengan Ki Manggada. Sedikit pun keduanya
tidak takut dengan geraman sang Prabu Sri Jaya Wisnuwardana. Bahkan mereka
segera bersiap melihat ketiga pengawal setia prabu sudah mengambil posisi.
"Demikianlah kenyataannya, Prabu.
Kami tidak menutup mata jika sang prabu berterus terang, bahwa pusaka itu
orang-orang Keraton Selatanlah yang mengambilnya."
Prabu mencoba bersabar.
"Atas tuduhan apa kalian menuduh kami?"
"Melihat sejarah yang lalu, bahwa prabu sendiri yang mengirim pasukan untuk
merebut tanah Keraton Utara. Dan dengan susah payah kami merebut tanah leluhur
kami kembali dengan taruhan ratusan nyawa manusia. Itu belum
cukupkah sebagai bukti, bahwa
orang-orang Keraton Selatan yang
bergerak dalam masalah ini"!"
Merah wajah prabu. Dia benar-benar merasa terhina.
"Runding Alam! Kalian jangan buat gara-gara di sini! Kami tidak menyukai
kekerasan!" serunya jengkel.
"Hmm... baginda lupa, kalau dulu pun baginda memakai kekerasan untuk merebut
tanah moyang kami! Dan sekarang,
kembalikan pusaka milik negeri kami...
atau... kami akan membuat huru hara di sini!"
"Kau jangan berucap seenaknya, Runding Alam! Dari semula kami
menerimamu dengan baik-baik, tapi
nyatanya kalian tidak patut dihormati.
Sampaikan salam kepada rajamu, katakan, bahwa orang-orang Keraton Selatan sangat
membenci tuduhan ini! Tuduhan picik tanpa bukti!"
"Baginda... kami pun datang dengan baik-baik. Kami datang pun hanya ingin
meminta kembali pusaka milik kami!"
"Runding Alam! Aku dan semua hambaku yang berada di sini, pun menerima
kedatangan kalian secara baik-baik!
Tetapi tuduhan dan sikapmu itu yang kami tidak bisa terima!"
"Baginda... maafkan kalau sikap saya telah lancang! Tetapi saya telah datang ke
mari, dan harus kembali ke Keraton Utara dengan membawa Pusaka Patung Pualam!"
"Bagaimana bila lambang kejayaan Keraton Utara tidak ada pada kami"!"
"Kami yakin sekali, kalau lambang pusaka Keraton Utara ada di Keraton Selatan
ini!" Prabu tidak bisa lagi menahan
emosinya. "Runding Alam! Kau telah lancang menuduh yang bukan-bukan! Dan kau pun bersikap
tidak seperti seorang
kesatria!" bentaknya marah, membuat beberapa pengawal setianya pun menjadi
bersiap. "Baginda... maafkan saya sekali lagi. Melihat dari semua yang baginda ucapkan,
berarti baginda menolak tuduhan kami. Cuma yang amat disayangkan, saya tetap
berkeyakinan kalau orang-orang Keraton Selatan yang mencurinya dengan jalan
mengirim seorang penyelundup ke Keraton Utara!"
Murkalah gusti prabu.
"Runding Alam! Kau bicara
sembarangan padaku, hah"!"
Mendengar suara yang keras itu,
membuat Kyai Rebo Panunggal maju
selangkah, masih berada di sisi gusti prabu.
Dia menatap Ki Runding Alam dengan gusar. Penuh amarah. Nafasnya
mendengus-dengus. Yang membuatnya
jengkel sejak tadi, karena Ki Runding Alam dengan seenaknya saja
membentak-bentak rajanya.
Kyai Rebo Panunggul tidak terima
akan perbuatan itu. Maka dia pun menjadi marah.
"Runding Alam, ternyata kau hanya seorang bangsat yang tidak tahu tuan!"
"Rebo Panunggul, aku telah datang ke sini bersama Ki Manggada. Dan aku
bersamanya pula tak akan mundur meskipun terjadi sesuatu yang mengancam jiwa


Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami!" "Bangsat!"
"Kalianlah yang bangsat!
Orang-orang Keraton Selatan yang
pengecut, yang beraninya hanya dengan jalan licik untuk mengalahkan kami!
Hanya saja... kami orang-orang Keraton Utara pantang mundur meskipun hanya
selangkah!"
Kyai Rebo Panunggul menggeram.
"Jangan bicara seenaknya saja, Runding Alam! Mulutmu itu sudah
mengeluarkan bau busuk yang menyengat!"
"Bolehlah kau berkata demikian, Rebo Panunggul! Tapi, kalianlah yang
mengeluarkan bau busuk di hadapan kami!"
Wajah Kyai Rebo Panunggul memerah.
Kemarahannya memuncak.
"Anjing buduk! Lalu apa maumu jika kami tetap menolak dengan tuduhan itu"!"
Ki Runding Alam seketika bangkit
dari bersilanya. Ini merupakan sebuah tantangan.
Dan dia tak pernah membiarkannya. Ki Manggada masih duduk tenang bersila dengan
kedua tangan terlipat. Tetapi dia tetap waspada dengan kemungkinan yang akan
terjadi. "Seperti kataku, tadi! Kami akan membuat huru hara di sini, sampai kalian
mengaku dan mengembalikan Pusaka Patung Pualam kepada kami!" seru Ki Runding
Alam lantang dengan gagah berani.
Makin memerahlah wajah Kyai Rebo
Panunggul. "Bangsat, kau Runding Alam!!"
geramnya sambil melesat menyerbu dengan pukulan lurus ke arah wajah Ki Runding
Alam!! *** http://duniaabukeisel.blogspot.com/
3 Ki Runding Alam yang sejak tadi
sudah bersiap, pun tak mau kalah. Dia menerima serangan itu dengan sebuah
tangkisan. Kelihatannya begitu ringan, tapi penuh tenaga dalam yang telah
dialiri ke tangannya.
"Des!"
Terjadi benturan yang cukup kuat.
Keduanya terpental ke belakang.
Dapat segera diduga, bahwa tenaga dalam keduanya seimbang.
Kyai Rebo Panunggul bersalto
kembali pada posisinya semula. Sedangkan Ki Runding Alam telah menguasai
keseimbangannya.
Keduanya kini bersiap kembali.
Masing-masing merasakan nyeri di
tangan kanan mereka.
Belum lagi keduanya saling
menyerang, terdengar seruan Gusti Prabu Keraton Selatan,
"Tahan!!"
Kyai Rebo Panunggul menurunkan
tangannya. Ki Runding Alam menatap gusti prabu dengan tatapan setajam rajawali.
"Hhh! Mengapa harus ditahan lagi, Baginda"!"
Gusti prabu mendengus.
"Runding Alam... katakan pada rajamu, kalau memang ini yang dia maui, kami
orang-orang Keraton Selatan akan menuruti keinginannya!"
"Bagus, Baginda!"
"Tetapi ingat, Runding Alam...
katakan pula padanya, permainan ini kami terima dengan senang hati!"
"Hhh!" Ki Runding Alam mendengus.
"Apa maksud baginda dengan permainan"!"
"Jangan berpura-pura bodoh lagi, Runding Alam! Aku sudah tahu apa yang dimaui
oleh raja kalian! Ini sebuah permainan belaka! Namun kami telah menerimanya
dengan senang hati! Bahwa tak pernah hilang pusaka Keraton Utara dari
tempatnya!"
"Apa maksudmu, Baginda"!" bentak Ki Runding Alam marah.
"Aku sekarang yakin, ini semua hanya permainan, hanya sebuah tipuan belaka!"
"Jelaskan maksud, Baginda!!"
"Hhh! Rajamu hanya mengirim sebuah cerita bohong untuk menyerang kami!
Untuk menjatuhkan nama kami di mata negara-negara lain! Atau... secara sengaja
untuk mengkambinghitamkan
Keraton Selatan agar jelek di mata dunia!!" geram Prabu Keraton Selatan dengan
suara berapi-api.'
Merah pada wajah Ki Runding Alam.
"Baginda menghina rajaku!"
bentaknya marah. Kedua tangannya
terkepal. Seketika keluar asap putih perlahan-lahan.
Ki Runding Alam sudah mengeluarkan ajian dahsyatnya. Pukulan yang ditakuti
setiap orang, karena jika terkena
pukulan itu, orang yang terkena bisa mati seketika dengan tubuh hangus! Atau pun
pingsan dengan tubuh membiru!
Ajian itu bernama Garuda Tiwikrama.
Sebuah pukulan yang amat dahsyat. Ki Runding Alam sampai mengeluarkan ajian
simpanan-ya, mengingat dia hanya berdua dengan Ki Manggada di sini.
Dan dia sudah dapat menduga apa yang akan terjadi.
Melihat gelagat demikian, Kyai Rebo Panunggul segera mengeluarkan ajian
simpanannya pula. Ilmu pukulan Macan Setan. Jika ilmu itu sudah berada pada
puncaknya, maka dia akan bergerak
seperti seekor macan marah.
Serangan-serangan yang akan
dilancarkannya, akan sukar dielakkan,
bila lawannya tidak memiliki ilmu
peringan tubuh yang sempurna.
Begitu pula dengan kedua pengawal
yang lain, keduanya bersiap untuk
melindungi baginda prabu. Sementara puluhan prajurit yang menjadi di dalam ruang
pertemuan, sudah hendak bergerak dengan senjata di tangan. Mereka sudah tidak
sabar untuk menghantam dan
menghabisi keduanya. Mereka pun sudah muak melihat sikap yang diperlihatkan
kedua orang Keraton Utara ini di hadapan raja mereka.
Ki Runding Alam bersikap waspada.
Sementara Ki Manggada masih tetap pada posisinya semula, dengan sikap duduk
bersila. Namun diam-diam dia telah merapal ilmunya yang bernama Bayangan Delapan
Tangan. Jika tangannya digerakkan akan
seperti banyak dan dapat bergerak sangat cepat. Tangan-tangan itu seakan
memiliki mata yang begitu awas. Dan tahu apa yang diinginkan tuannya.
Ki Runding Alam dan Ki Manggada
adalah orang-orang Kediri yang amat setia. Mereka berani mati untuk membela
bangsa dan negara. Pantang menyerah sebelum melawan.
Ini jauh di luar kamus keduanya.
Mereka tak akan pernah mundur menghadapi rintangan apapun. Mereka harus maju dan
maju dengan gagah berani.
Apalagi ini perintah langsung dari raja mereka. Dan mereka tak pernah membantah
titah raja. Di samping itu juga demi pusaka kejayaan tanah Keraton Utara mereka
pun akan mempertahankannya
meskipun harus mengorbankan nyawa mereka sendiri. Yang harus mereka kembalikan
kedudukannya pada Negara Kediri.
Melihat sikap yang diperlihatkan Ki Runding Alam begitu keras kepala, Prabu Sri
Jaya Wisnuwardana, segera berdiri dengan marah.
"Kau sulit untuk diberitahu,
Runding Alam! Dan kau sulit untuk menerima kenyataan kalau kami tidak mencuri
Pusaka Tanah Kediri itu!"
"Baginda... saya tetap berkeyakinan hal itu tetap terjadi dan merupakan sebuah
kenyataan."
"Kau memang keras kepala, Runding Alam!"
"Saya akan tetap mempertahankan pendirian dan keyakinan saya itu!"
"Baiklah bila itu maumu! Jangan salahkan kami jika bertindak kasar!"
Ki Runding Alam mendengus. Dia
berpaling pada Ki Manggada yang masih bersila.
"Kau sudah mendengar semua itu, Gada?" tanyanya.
"Ya, Runding Alam."
"Lalu apa yang akan kita perbuat?"
"Kita ikuti saja apa kemauan
mereka." "Mereka tetap menolak tuduhan itu!"
"Ya. Padahal merekalah yang telah mengambil Pusaka Patung Pualam secara
pengecut."
"Lalu bagaimana menurutmu?"
"Aku tidak mau pulang dengan tangan kosong."
"Berarti kita harus tetap mengambil pusaka itu?"
"Ya, menurutmu sendiri bagaimana, Runding?"
"Aku pun berpikiran sepertimu. Aku pun tak mau pulang dengan tangan kosong."
"Kalau begitu?"
"Kita terima apa pun yang akan terjadi."
"Bagus. Aku pun setuju."
"Jadi kau setuju?"
"Ya... hanya itulah yang kita perbuat. Kecuali bila kita mau menyerah,
mati dengan sia-sia atau pun pulang dengan tangan kosong."
"Tak akan pernah itu terjadi pada kita."
"Bagus!"
"Berarti, kita menerima resiko apapun, bukan?"
Ki Runding Alam berpaling lagi pada gusti prabu yang merah padam mendengar
percakapan keduanya. Benar-benar
manusia keras kepala!
"Baginda... Baginda sudah mendengar percakapan kami, bukan?"
"Ya!" sahut gusti prabu bersamaan dengan dengusan nafasnya.
"Dan baginda sudah tahu akan
keputusan kami, bukan?"
"Ya."
"Itulah keputusan kami! Sebelum kalian mengembalikan pusaka milik kami,
sejengkal pun kami tidak akan beranjak dari tempat ini!
"Kau benar-benar keras kepala, Runding Alam!"
"Prabu... jawab sekali lagi,
kembalikan pusaka itu. Atau... kami akan hancurkan ruangan ini!"
Prabu menjadi geram.
"Bedebah kau, Runding Alam! Kau memang sukar untuk dinasehati! Dan
kesombonganmu itu yang akan memakanmu sendiri!"
"Seperti kataku tadi, apapun yang akan terjadi, sejengkal pun kami tidak akan
mundur!" "Sombong! Baik, jangan salahkan aku jika kalian mati di Negara Keraton Selatan
ini!" "Kami tidak akan mundur, Baginda!"
Dengan geram yang teramat sangat,
prabu mengibaskan tangannya ke atas. Dan secara serentak para prajurit yang
sudah siap dengan senjata mereka berlarian maju. Mereka pun geram karena raja
mereka dihina seenak perut saja.
Serentak semuanya mengurung Ki Runding Alam dan Ki Manggada.
Prabu berkata, "Pikirkan sekali lagi keputusanmu itu, Runding Alam! Kau pulang
kembali ke Keraton Utara bersama teman-temanmu itu... atau kau akan mampus di
sini"!"
Ki Runding Alam dan Ki Manggada yang sudah siap dengan segala resiko yang akan
terjadi, tetap pada keputusan mereka semula.
"Baginda... kami akan tetap di sini!
Dan kami akan mempertahankan selembar nyawa kami!"
"Berarti kau memang memancing perang padaku!"
"Terserah apa pendapat baginda!
Yang penting, kami menginginkan Pusaka Patung Pualam baginda kembalikan kepada
kami! Karena baginda dan tanah Keraton Selatan ini tidak pantas untuk berlaku
seperti maling pengecut. Juga tidak pantas untuk memiliki pusaka Keraton Utara
itu!" "Bangsat kau, Runding Alam!" bentak prabu dengan geram. Lalu dia kembali
mengibaskan tangannya.
Serentak para prajurit yang
mengurung keduanya bergerak dengan senjata terhunus.
Seketika tempat itu berubah menjadi ramai. Penuh teriakan dan bent akan.
Berpuluh senjata berkelebat ke arah keduanya.
Ki Runding Alam bergerak cepat.
Dia tidak mau dijadikan sasaran
konyol puluhan senjata yang mengarah padanya. Ajian Garuda Tiwikramanya sudah
dia pergunakan. Dan tidak mengenal belas kasihan lagi.
Ini namanya perang! Perang!
Dan dia harus menang. Dia harus
menang! Di dalam perang hanya ada dua kemungkinan, kalah atau menang. Namun Ki
Runding Alam tidak mau memikirkan kalau dia akan kalah! Baginya tak ada alasan
untuk kalah. Dia harus menang! Harus! Maka tanpa mengenal belas kasihan lagi, dengan gencar
Ki Runding Alam menerjang ke sana ke mari dengan ajiannya. Sekali gebrak, tiga
buah nyawa melayang.
Pekikan, jeritan kematian dan darah bersimbah menjadi satu dengan
mayat-mayat yang jatuh bergeletakkan.
"Mampuslah kalian semua!!" bentak Ki Runding Alam sambil terus melancarkan
pukulannya. Berjatuhanlah para prajurit yang
hanya mengandalkan senjata dan
keberanian itu.
Begitu pula dengan Ki Manggada.
Dia masih tetap duduk bersila. Namun tangannya bergerak dengan lincah dan cepat.
Dia seperti memiliki indera keenam yang dapat melihat ke segala arah.
Tangannya bergerak dengan cepat.
Memukul. Menghantam. Mencakar prajurit yang nekad mendekat.
Dalam posisi demikian, Ki Manggada masih menunjukkan ketangguhannya.
Puluhan hanya telah berjatuhan
dengan jeritan dan darah bersimbah yang menjadi satu.
Kedua tokoh dari Kediri itu terus
melancarkan serangan-serangan mereka yang amat hebat. Membuat keadaan menjadi
semrawut. Dan seketika itu pula mendadak di tempat itu jadi kacau balau.
"Gada! Habisi saja semuanya!" seru Ki Runding Alam sambil terus melancarkan
serangannya. "Benar, Runding Alam! Untuk apa kita menaruh belas kasihan lagi kepada
orang-orang ini!"
"Dan sebentar lagi akan kita
hancurkan semuanya ini, bukan"!"
"Dengan senang hati!"
Melihat tangan telengas yang
diturunkan oleh kedua tokoh dari Kediri itu, membuat prabu segera memerintahkan
Kyai Rebo Panunggul untuk terjun
membantu. Dengan ajian Macan Setan, ajian
kebanggaannya, dia mencoba untuk
menghantam Ki Manggada yang menurutnya dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Tetapi Ki Runding Alam yang juga
melihat posisi Ki Manggada tidak
menguntungkan, segera memapaki serangan Kyai Rebo Panunggul.
Jelas saja Ki Manggada posisinya
tidak menguntungkan. Dia masing dalam keadaan bersila, masih menangkis dan
menghantam setiap serangan para prajurit yang datang. Dan diharuskan pula untuk
menerima pukulan dari kyai Rebo
Panunggul. Ini jelas-jelas tidak
menguntungkannya.
Bentrokan yang terjadi antara Ki


Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Runding Alam yang memapaki serangan Kyai Rebo Panunggul, terjadi dengan keras.
"Des!"
Keduanya dengan sigap bersalto dan berdiri dalam posisinya masing-masing.
Beberapa prajurit yang hendak
menyerang Ki Runding Alam jadi
mengurungkan niat mereka. Karena melihat Kyai Rebo Panunggul memberi isyarat
untuk menyingkir.
Dan para prajurit itu mengalihkan
serangan mereka pada Ki Manggada.
Kyai Rebo Panunggul mendengus.
"Maafkan aku, Runding Alam... bila kau benar-benar akan mampus di sini!"
"Hahaha... sepertinya kau sudah merasa mampu untuk mengalahkan aku, Rebo
Panunggul!"
"Hhh! Sombong!"
"Baik, kita buktikan, Runding Alam!" "Tahan serangan!!" seru Kyai Rebo Panunggul
menyerbu kembali. Dalam
sekejap saja dua tokoh sakti dari dua negara itu sudah saling menunjukkan
kepandaiannya. Saling menerjang dengan hebat. Masing-masing seakan ingin
membuktikan dan memamerkan
kesaktiannya. Dengan ajian Garuda
Tiwikramanya, Ki Runding Alam bergerak dengan hebat. Begitu pula dengan Kyai
Rebo Panunggul.
Keduanya bergerak bagai garuda
melawan macan. Dua hewan perkasa yang meraja rimbanya. Garuda merajai alam
bebasnya di angkasa dan macan merajai hutan belantara di bumi.
Sementara itu, Sri Jaya
Wisnuwardana masuk ke dalam istana.
Pintu ruangan pertemuan ditutup.
Prajurit-prajurit yang menjaga di luar segera datang membantu. Dan langsung
menyerang Ki Manggada yang lama kelamaan merasa kewalahan juga kalau duduk
bersila. Dia meloncat dan bersalto ke belakang, menghindari kepungan
lawannya. Namun baru saja kakinya
menginjak lantai, puluhan senjata tajam berupa tombak dan parang, sudah bergerak
memburunya. Kembali Ki Manggada bersalto dengan gerakan bolak balik ke arah kiri
dan langsung melancarkan pukulan
delapannya dengan dahsyat.
Beberapa orang terpental dan muntah darah menerima hajaran itu.
"Tahan!" Terdengar bentakan keras dan berwibawa. Seketika para prajurit menarik
senjatanya. Yang berseru Tunggul Dewa dan meloncat ke arena pertarungan.
Dasa Samudra membuat gerakan yang
mengagumkan pula. Kyai Rebo Panunggul segera bersatu dengan kedua temannya.
Para prajurit menyingkir. Ki
Runding Alam bersalto mendekati Ki Manggada. Keduanya saling beradu
punggung dan bersiap dengan segala kemungkinan penyerangan.
"Beri kami jalan ke luar!" bentak Ki Runding Alam.
Terdengar tawa Dasa Samudra yang
agak pongah. Lalu merandek dengan
kata-kata tajam, "Tak semudah kalian masuk tadi. Kalian telah masuk kalangan,
telah masuk ke sarang yang penuh bahaya.
Kalian pun telah mengusik
harimau-harimau, dan tak mungkin harimau itu melepaskan mangsanya sebelum
menggigit!"
"Bangsat!"
"Hhh! Kini kita berada di ruangan yang besar. kita anggap sebagai
kalangan! Kalian berdua, kami bertiga.
Silahkan pilih lawan!"
Dasa Samudra melangkah setindak,
begitu pula dengan Kyai Rebo Panunggul.
Kini Tunggul Dewa yang berdiri di tengah, dengan sikap menantang. Kedua
tangannya dilipat di dada. Matanya memancarkan sinar meremehkan.
Ki Runding Alam saling berpandangan dengan temannya. Seperti saling berpikir
memilih lawan-lawan mereka. Memang tak ada jalan lain. Mereka harus menghadapi
tantangan ini, atau mati dengan jalan hormat. Bukan
mati dengan jalan
pengecut. Mati membela negara adalah kehormatan, bukan lari seperti dikejar
anjing. Ki Runding Alam memandang geram.
Bibirnya tersenyum sinis. Dia menunjuk Kyai Rebo Panunggul. Rupanya dia belum
puas dengan perkelahian tadi. Biar dia tahu, siapa sebenarnya yang kuat di
antara mereka. Kyai Rebo Panunggul tertawa
terbahak dengan sombongnya. Lalu
mendadak terdiam dan berseru keras,
"Hhh! Rupanya kita memang ditakdirkan untuk berhadapan sampai mati, Runding!
Kuterima tantanganmu!"
Dasa Samudra menatap Ki Manggada.
"Siapa yang kau pilih, Ki. Atau kau takut untuk segera menentukan lawanmu?"
Ki Manggada tersenyum. Sikapnya
tenang. Dia memang tidak seberangasan Ki
Runding Alam yang selalu tidak bisa menahan amarah.
"Kau bersedia melayaniku, Orang jelek?" tanyanya dengan ejekan dan membuat Dasa
Samudra menggeram marah.
"Bangsat! Baik, kuterima
tantanganmu!" Dasa Samudra bergerak perlahan ke depan. Matanya geram, penuh
nafsu untuk mengalahkan.
"Kau akan lihat permaianan si Trisula Kembar yang begitu hebat dan dahsyat! Hhh!
Trisula Kembar Mempermainkan O-bak! Hhh! Terima
seranganku, Ki!!" Setelah berkata demikian, Dasa Samudra melesat ke depan dengan
kecepatan yang mengagum-kan.
Namun kali ini lawannya adalah
pentolan dari Kediri, yang bukan kosong melompong tanpa ilmu yang patut
dibanggakan. Ki Manggada segera
menyambut serangan itu dengan
memapakinya. Kedua tenaga besar itu bertemu dan menimbulkan suara yang keras.
Keduanya terhuyung ke belakang beberapa tindak. Dan kembali keduanya menampilkan
segenap kemampuan dengan gerak dan jurus yang mengagumkan.
Ki Manggada sudah memamerkan kem-
bali pukulan saktinya. Bayangan Delapan Tangan. Dan serangan demi serangannya
sangat mematikan. Membuat Dasa Samudra agak kebingungan dan terdesak. Mendadak
dia bersalto ke belakang dan berdiri dengan kedua trisulanya siap di tangan.
Saat melenting itulah dia mencabut kedua senjata kebanggaannya. Trisula Kembar,
yang amat dahsyat dimainkan oleh Dasa Samudra. Kedua trisula itu seperti hidup
jika sudah di tangan Dasa Samudra.
Sementara itu, Kyai Rebo Panunggul sudah menyerang pula. Dan Ki Runding Alam
sudah sejak tadi siap melayaninya. Kini keduanya pun terlibat dalam perkelahian
yang benar-benar hebat. Saling
menunjukkan kelincahan, kecepatan dan kesaktian masing-masing.
Dua pasang manusia yang berkelahi
telah menimbulkan suara yang keras dan menggetarkan. Dinding-dinding ruang
pertemuan itu seakan bergetar menerima gebrakan kedua pasang manusia itu.
Tiba-tiba Ki Runding Alam bergerak menukik setelah melompat tinggi. Tangan
kanannya bergerak mirip paruh garuda yang siap menyambar mangsa. Dia memekik
keras. Kyai Rebo Panunggul terkejut melihat serangan yang mendadak berubah.
Dia cepat menunduk dan berguling dengan lincah. Serangan itu meleset. Tapi di
luar dugaannya, sebelum dia sempat
berdiri, Ki Runding Alam meloncat dengan gerakan menerkam. Kyai Rebo Panunggul
yang masih dalam keadaan posisi
berguling tidak sempat menghindar.
"Aaaaah" Bahunya tersambar gerakan mematuk Ki Runding Alam yang langsung
bersalto menghindar.
Lalu berdiri dengan senyum mengejek sambil berkacak pinggang. Memperhatikan Kyai
Rebo Panunggul yang bangkit berdiri dengan bersiap pula.
"Ha-ha-ha... ternyata hanya begitu saja kehebatan Macan Setan yang kau
banggakan, hah?" ejek Ki Runding Alam sambil terbahak.
Kyai Rebo Panunggul menjadi panas.
Sambil menggeram hebat dia kembali menerjang. Kali ini mendadak Tunggul Dewa
maju membantu temannya. Dikeroyok dua jagoan Keraton Selatan ini tidak membuat
Ki Runding Alam menjadi gentar.
Dia malah menghadapi keduanya dengan sekuat tenaga.
Namun suatu ketika pukulan Tunggul Dewa mengenai tepat di dadanya yang membuat
Ki Runding Alam terhuyung
beberapa tindak. Dia mencoba menahan langkahnya agar tidak terhuyung, dan
berhasil dilakukannya.
Namun tidak berhasil menahan darah yang menyembur ke luar.
Wajah Ki Runding Alam seketika
menjadi pucat. Apalagi, dengan buas Tunggul Dewa kembali melancarkan
serangan-serangannya. Dalam keadaan terluka, sudah jelas Ki Runding Alam tidak
mampu untuk menahan serangan itu.
Kembali dadanya digedor pukulan yang amat keras. Kalau bukan Ki Runding Alam
yang terkena, tentu orang itu sudah mampus!
Dia mengaduh dan muntah darah
kembali. Ki Manggada yang sedang mendesak
lawannya menjadi terpecah perhatiannya mendengar suara aduhan temannya. Dia
menoleh dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dasa Samudra. Sambil
memekik dia menyabetkan trisulanya. Dan menemui hasil yang agak memuaskan.
Trisula itu berhasil mendesak Ki
Manggada. Dan dengan satu gerakan cepat berhasil mengenai bahu kiri Ki Manggada,
Pedang Ular Mas 1 Beruang Salju Karya Sin Liong Raja Pedang 1
^