Lahirnya Sang Pendekar 2
Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar Bagian 2
yang sangat terkejut lalu bersalto menghindari serangan selanjutnya. Dia menekap
luka di bahunya. Darah merembes perlahan.
Dasa Samudra terbahak melihat hasil kerjanya.
"Sudah kubilang, kalian hanya membuang-buang tenaga dan nyawa percuma datang ke
mari! Hmm... sebentar lagi, Tanah Singasari akan memendam jasad buruk kalian!"
"Licik kau bangsat! Kau mengambil kesempatan selagi aku lengah!" seru Ki
Manggada. "Ha-ha-ha... kita lawan, Ki! Bukan teman dalam latihan! Kau seorang
pejuang, seorang pendekar, namun kau lengah, resikomu, Ki! Kini bersiaplah untuk
mampus!" Ki Manggada melihat keadaan
temannya yang sudah nampak payah namun masih mencoba bertahan. Dia melihat Ki
Runding Alam sedang menahan rasa
nyerinya. Dapat dibayangkan betapa sakitnya.
Mendadak Ki Manggada bersalto
mendekati temannya. Dengan secepat kilat tangan kanannya menyambar tubuh Ki
Runding Alam dan tangan kirinya melempar sesuatu ke lantai.
"Duar!"
Terjadi ledakan kecil yang
menimbulkan asap seperti kabut yang pekat, namun menyakitkan mata.
Orang-orang menjadi kalang kabut. Dan seketika tempat itu tertutup oleh asap
yang sangat sulit ditembus oleh
pandangan mata.
"Hei, jaga bangsat itu!" seru Dasa Samudra, namun dia sendiri tidak bisa melihat
apa-apa, terhalang oleh asap putih itu.
Dan hanya terdengar beberapa
erangan dan aduhan dari beberapa orang prajurit. Mereka berusaha menghilangkan
asap putih yang lama-lama mulai menipis.
Dan bisa melihat dengan jelas kembali.
Tetapi kedua orang itu sudah tidak ada di hadapan mereka. Seolah lenyap begitu
saja entah hilang ke mana. Mereka hanya terlihat beberapa orang prajurit
tergeletak tanpa nyawa dan pintu ruangan itu terbuka secara paksa.
Kyai Rebo Panunggul menggeram
jengkel. Tunggul Dewa mendengus hebat dan
menumpahkan kemarahannya dengan
menendang sebuah kursi sampai hahcur.
Dasa Samudra hampir keluar kedua
bola matanya karena tak dapat menahan marah.
Tapi kedua utusan Kediri itu sudah lenyap dari mata mereka.
Dengan lesu Kyai Rebo Panunggul
menyuruh prajurit yang tersisa, untuk
menyingkirkan mayat-mayat temannya dan merapikan kembali ruangan.
Dia sendiri dan kedua temannya
segera menghadap Sri Jaya Wisnuwardana, yang menerima laporan itu dengan geram.
Dia menggebrak meja dengan marah.
"Buat surat pada raja Keraton Utara.
Katakan, mulai detik ini, Keraton
Selatan memutuskan hubungan
persahabatan, dan bermaksud mengadakan perang! Lakukan itu cepattt!!!"
Tak ada yang bisa diperbuat oleh
mereka lagi kecuali memematuhi semua perintah sang prabu. Saat membuat surat
kepada Raja Kediri, Kyai Rebo Panunggul berkata,
"Satu saat nanti, akan kuhirup darah Runding Alam! Dan sebagaian kubuat untuk
mandi!" geram suaranya dan dia seperti bersumpah.
Sumpah yang cukup mengerikan.
Tetapi bagi kedua temannya juga
dalam keadaan murka, sumpah itu tak banyak membuat mereka kuatir. Malah mereka
pun bersumpah pula dengan nada mengerikan pula.
"Aku pun bersumpah, akan kutelan mentah-mentah jantung Ki Runding Alam!"
seru Tunggul Dewa.
"Begitu pula dengan aku!" kata Dasa Samudra.
"Akan kulumat telan mentah-mentah jantung dan hati Ki Manggada!!"
Dan tiba-tiba saja terdengar suara petir yang bergemuruh. Dan cuaca berubah
menjadi gelap. Hujan pun mendadak turun dengan deras.
Bertanda sumpah ketiga anak manusia itu didengar oleh Dewata!
Sumpah yang mengerikan.
Teramat mengerikan!
Lalu ketiganya kembali meneruskan
membuat surat pada Raja Kediri dengan hati geram yang bukan main lagi!
Menimbulkan dendam kesumat pada Ki Runding Alam dan Ki Manggada!
Dan ini merupakan dendam abadi yang berkepanjangan sampai kapanpun juga!
* * * 4 Setelah kejadian yang amat
menyesakkan dada itu, Prabu Keraton Selatan menjadi amat berat untuk
melepaskan Sekar Perak yang akan
mengunjungi ibunya.
Prabu kuatir kedua orang Keraton
Utara itu masih berada di sekitar
lingkungan Keraton Selatan. Meskipun telah dikerahkan orang-orangnya ke penjuru
Keraton Selatan dan keduanya tidak ditemukan, prabu masih yakin kalau keduanya
masih berada di sekitar sana.
Ketika hal itu diberitahukan kepada Sekar Perak, membuat Sekar Perak menjadi
murung. "Bukan maksudku untuk melarangmu, duhai bungaku yang anggun...." kata prabu.
"Tetapi yang kukuatirkan, nasibmu nanti. Aku tidak mau kau terjatuh di tangan
orang-orang Kediri...."
"Tetapi, Gusti...." kata-kata Sekar Perak terhenti dan dia
kembali menundukkan kepa-lanya.
Sekilas prabu dapat melihat
sepasang mata Sekar Perak yang menjadi berkaca-kaca.
Dan ini membuat prabu menjadi iba
namun cemas, seminggu dia pun tidak tenang untuk melepaskan Sekar Perak.
"Aku mengerti, Diajeng. Aku
mengerti akan perasaan rindumu pada ibumu. Tetapi keadaan yang membuatku
memaksamu untuk mengurungkan
niatmu...."
"Tapi hamba sudah rindu pada ibu, Gusti...."
"Aku mengerti, Bungaku. Tetapi kau harus mengerti pula keadaan ini. Aku tak mau
terjadi apa-apa padamu. Aku tak mau itu terjadi. Tidak tahukah kau... benar
besarnya rasa kasihku padamu?"
Sekar Perak hanya mengangguk-angguk dengan mata berlinang.
"Gusti... tidak bisakah dan tidak dapatkah saya untuk pergi?"
"Diajeng... mengertilah keadaan yang membuatku memaksa seperti ini...."
Dan keputusan baginda prabu membuat Sekar Perak menjadi sedih dan murung.
Perasaan gembira ingin bertemu dengan ibu yang telah lama ditinggalnya dan
membangkitkan rasa rindu yang amat mendalam, kandas begitu saja.
Kerjanya hanya melamun saja dalam
kamar. Bahkan terkadang terlihat Sekar Perak berbicara sendiri. Dan selalu
menangis jika sang prabu menemuinya untuk mengajak bercumbu dan bercanda.
Gairahnya seakan telah lenyap,
padam dan sirna untuk melayani sang prabu. Kalau pun mau, jelas sekali nampak
dia benar-benar dan seperti terpaksa.
Itu pun dilakukan hanya karena
hormatnya yang begitu besar pada prabu.
Dan dia tidak mau mengecewakannya. Namun larangan sang prabu membuatnya tidak
bergairah untuk berbuat apa-apa.
Dalam seminggu saja, tubuhnya yang padat menjadi kelihatan kurus. Wajahnya yang
selalu berseri, segar dan jernih, kelihatan selalu pucat. Dan Sekar Perak
menjadi malas untuk mengurus dirinya.
Keadaan ini pun membuat para dayang yang melayani dan mengurusnya menjadi tidak
bisa berbuat apa-apa. Karena bila ada dayang yang bermaksud untuk
merapikan rambutnya saja, dia selalu menolak dan menyuruh sang dayang untuk
meninggalkan kamarnya.
Dan para dayang itu hanya bisa
melaporkan pada prabu dengan tidak berbuat apa-apa lagi.
"Maafkan kami, Junjungan yang mulia... kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dan
kami merasa tidak mampu untuk mengurus junjungan Sekar Perak..." kata salah
seorang dayang sambil berlutut.
"Benar, Gusti... kami pun sudah kewalahan. Karena kami tidak ingin membuatnya
marah...." kata yang lain.
"Dan kami tidak ingin melihatnya semakin murung saja, Gusti...." kata yang
pertama. "Kami amat menyayangi dan mencintai Sekar Perak. Kami tidak ingin melihat
keadaannya yang semakin hari semakin memedihkan hati kami...."
Dan laporan-laporan dari para
dayangnya itu membuat sang prabu menjadi tidak enak. Apalagi Sekar Perak adalah
selir kesayangannya.
Namun membiarkan Sekar Perak dalam keadaan yang memprihatinkan ini membuat hati
sang prabu pun menjadi tidak
tentram. Apalagi dia pun jelas melihat keadaan Sekar Perak yang memprihatinkan.
Dia didera oleh satu kerinduan pada ibunya.
Sang prabu menjadi harus berpikir
lagi masak-masak untuk memutuskan
keingingan Sekar Perak.
Lalu suatu malam dia pun mendatangi peraduan Sekar Perak. Dan prabu dapat melihat kalau sepasang mata yang
biasanya indah berkilau itu kini tidak ada cahayanya lagi.
Dan dia pun melihat kalau Sekar
Perak seakan segan untuk menerima
kedatangannya. Namun Prabu masih mencoba untuk
tersenyum. "Kau sudah makan, Bungaku?" sapanya dengan suaranya yang terdengar bernada kasih
sayang yang tulus.
Sekar Perak cuma melengos, mendesah dan membalikkan tubuhnya membelakangi sang
prabu. Sikapnya itu nampaklah bukan suatu penghormatan, malah seharusnya baginda
bisa marah karena merasa
dilecehkan. Tetapi baginda cuma mendesah. Dan
masih tersenyum dia membelai rambut Sekar Perak.
Lalu perlahan dia berucap, "Kau tidak menjawab pertanyaanku, manisku?"
Lalu dengan suara yang terdengar
dipaksakan, terdengar jawaban dari Sekar Perak, "Apa yang harus hamba jawab,
Gusti... apa yang harus hamba jawab?"
Hati gusti prabu menjadi tercekat.
Apa yang harus dia jawab" Oh, bukankah dia sudah mendengar pertanyaanku tadi"
Ataukah... ah, tidak, tidak... pasti dia tidak jelas mendengar pertanyaaku itu.
Baginda mengulangi lagi
pertanyaannya. Dan dilihatnya Sekar Perak mendesah panjang. Gadis itu masih dalam keadaan
membelakangi Baginda.
"Sudah, Gusti...."
"Sudah" Sudah katamu, Diajeng?"
"Ya, Gusti...."
"Lalu bagaimana dengan hidangan di meja itu yang nampaknya belum kau sentuh"
Apakah kau masih bisa mengatakan bahwa kau sudah makan?"
Baginda tetap bersuara dengan
lembut. Penuh kasih dan sayang. Namun karena kata-kata yang diucapkan dengan
nada penuh kasih itu membuat Sekar Perak menjadi terharu.
Dan dia terisak.
Lalu didengarnya lagi suara gusti
prabu yang lembut,
"Sekar Perak... bungaku yang
anggun... makanlah dulu... Ayo,
makanlah... Kau bisa sakit bila tidak makan. Dan ibaratnya bunga diajeng akan
cepat layu...."
Mendengar nada suara yang lembut dan itu dan penuh perhatian, membuat Sekar
Perak perlahan-lahan membalikkan
tubuhnya. Prabu Singasari tersenyum. Dia
dapat melihat kilatan rindu pada
sepasang mata yang menjadi sembab itu karena seminggu lamanya menangis.
Hati prabu menjadi pilu.
"Makanlah, Bungaku... kau tidak mau sakit, bukan?" katanya dengan tatapan yang
penuh kasih. "Apakah kau mau membuatku pun jadi murung karena ikut-ikutan memikirkanmu,
Diajeng?" Kembali Sekar Perak terdiam.
Sepasang matanya mengeluarkan air.
Lalu dengan hati-hati dia menyantap hidangan yang ada. Baginda tersenyum
melihatnya. Namun senyuman segera menghilang
karena setelah selesai menyantap
hidangannya, Sekar Perak kembali menjadi murung. Dia melakukan itu hanya untuk
menyenangkan hati baginda saja.
Lalu dengan hati-hati baginda
membelai rambutnya.
"Sekar Perak bungaku... Kau
tentunya marah dan kecewa karena aku telah melarangmu untuk pergi menyambangi
ibumu. Aku tahu kau telah amat rindu padanya. Dan kau pun kecewa karena aku
menarik kembali pernyataan yang telah kuucapkan dulu. Namun Sekar Perak, hari
ini... aku kembali mengabulkan
permintaanmu. Aku tak mau membuatmu semakin hari bertambah murung saja. Aku pun
tak mau melihatmu menjadi sakit, Bungaku.
Lalu dengan berat hati akhirnya
kuputuskan, untuk mengizinkanmu
menyambangi ibumu...."
Bagai ada angin sejuk yang berhembus begitu lembut dan membelai wajahnya, wajah
Sekar Perak terlihat berubah.
Sepasang matanya yang tak bercahaya tadi, kini kembali cemerlang.
Menampakkan sinar kehidupan lagi.
Wajahnya berseri.
Mulutnya sampai terbuka seakan
tidak percaya dengan apa yang telah diucapkan gusti prabu.
"Benarkah, Gusti?"
Prabu tersenyum melihat wajah yang bersinar itu.
"Apakah aku pernah bicara bohong, Diajeng" Aku tak pernah berbohong selama ini.
Aku melarangmu pergi, karena aku tak ingin kau terlibat satu persoalan pelik
yang sedang terjadi antara Keraton Selatan dan Keraton Utara...."
Sekar Perak yang sudah terlanjur
gembira seakan tidak mendengar kata-kata junjungannya.
Wajahnya berseri.
Berkali-kali dia menyembah dan
mengucapkan terima kasih pada sang prabu.
Keesokan harinya, setelah sepuluh
hari terjadi keributan di istana, Sekar Perak akan segera berangkat. Dari
tatapannya terlihat jelas kalau prabu amat berat untuk melepaskan Sekar Perak.
Tetapi dia tidak ingin selir
kesayangannya itu semakin hari semakin menjadi layu.
"Hati-hati, Diajeng...." kata prabu pada Sekar Perak yang akan menaiki kereta
kuda. Dengan anggunnya Sekar
Perak menyembah dan dengan hati-hati menaiki kereta kudanya.
Prabu menghela nafas panjang.
Berat, berat melepaskan Sekar Perak walau hanya dua minggu. Apalagi kalau
Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
teringat kejadian sepuluh hari yang lalu, yang telah menelan puluhan nyawa
prajurit akibat serangan dua utusan Keraton Utara. Prabu kuatir, mereka akan
mencegat rombongan ini. Maka itulah dia menyuruh Dasa Samudra untuk ikut
mengawal bersama sepuluh orang prajurit pilihan dan terlatih serta dua orang
komandan pasukan yang tangguh dan gagah pula.
Tirai yang terdapat di kereta kuda itu tersingkap. Seraut wajah manis Sekar
Perak muncul. Dia melambai.
Prabu pun membalas melambaikan
tangannya. Dan perlahan-lahan iring-iringan
itu pun bergerak.
*** 5 Angin berhembus semilir. Udara pagi yang cerah. Burung-burung pun bernyanyi
riang. Sama seperti riangnya hati Sekar Perak. Dia bagaikan burung yang baru
saja lepas dari sangkarnya. Memang selama ini Sekar Perak tidak pernah keluar
dari kaputren hingga baginya keluar ini adalah untuk pertama kalinya. Apalagi
saat ini dia hendak menyembangi ibunya.
Oh, betapa gembira hatinya.
Rombongan itu terus bergerak. Di
kereta kuda duduk seorang prajurit di samping sais. Di belakang mereka lima
orang prajurit berkuda dan di depan enam ekor kuda dengan masing-masing
penunggangnya. Dan salah seorang
penunggang kuda itu adalah Dasa Samudra yang memakai baju kebesaran seorang
panglima. Dia pun memakai ikat kepala
hitam yang menandakan kebesaran dan keangkuhan jiwanya. Trisula Kembarnya
menyilang di balik angkin belakang.
Tugas mengawal Sekar Perak bukanlah hal yang mudah, dan dirasakan oleh Dasa
Samudra suatu tugas yang berat. Di samping Sekar Perak sebagai selir
kesayangan Baginda Singasari, juga masih terbayang huru-hara yang dibuat oleh
dua orang Kediri, yang sewaktu-waktu mereka bisa muncul kembali.
Dan itu yang dicemaskan oleh Dasa
Samudra! Desa yang sedang dituju oleh
rombongan itu, di mana dulu Sekar Perak dilahirkan dan kini tinggal ibunya
seorang, adalah desa yang terletak di perbatasan kekuasaan Kediri dan
Singasari. Dulu Desa Pareden terkenal sebagai desa yang makmur. Entah
bagaimana keadaan desa itu sekarang.
Tepat tengah hari rombongan itu
beristirahat di sebuah hutan kecil.
Sekar Perak menghirup udara hutan yang telah lama dirindukannya dalam-dalam.
Dia seakan kembali pada masa kecilnya dulu.
Betapa bahagianya! Dan Sekar Perak kerap kali membayangkan betapa
terkejutnya wajah ibunya nanti.
Ketika senja hari barulah mereka
melanjutkan perjalanan lagi. Mereka harus segera tiba di Desa Glagah Wangi untuk
bermalam. Mereka pun harus
bergerak cepat.
Sampai sejauh itu, Dasa Samudra tak pernah jauh dari sisi Sekar Perak. Dan dia
sungguh-sungguh merasakan ini tugas yang amat sulit karena keselamatan Sekar
Perak sepenuhnya berada di tangannya.
Meskipun dia ditemani oleh dua komandan pasukan dan sepuluh prajurit pilihan.
Rombongan itu terus bergerak dengan cepat, agar tidak sampai kemalaman di jalan.
Tepat matahari tenggelam, rombongan itu tiba di Desa Glagah Wangi. Dasa Samudra
segera menyuruh salah seorang prajurit untuk mencari sebuah penginapan yang
mampu menampung mereka dan
keamanannya terjamin.
Prajurit itu segera bergerak
kembali dengan laporan yang memuaskan.
Mereka semua segera
mendatangi penginapan yang dicari prajurit tadi.
Dan Dasa Samudra segera mengatur
penjagaan khusus untuk Sekar Perak. Dia sendiri akan mengontrol tempat Sekar
Perak tidur malam ini.
Dan tanpa rombongan itu sadari, di kamar nomor 2 yang berada tepat di belakang
kamar Sekar Perak, menginap Ki Runding Alam dan Ki Manggada! Luka di bahu Ki
Manggada sudah agak sembuh.
Begitu pula dengan luka dalam Ki Runding Alam. Dia sudah menelan pil penyembuh
dan pemunah penyakit dalam. Pil yang
diberikan Mpu Daga sebelum mereka
berangkat. Mendengar ribut-ribut itu,
diam-diam Ki Manggada mengintip ke luar dari kamarnya. Dan dia terkejut melihat
siapa rombongan yang baru datang.
Rombongan dari Keraton Selatan. Dia melihat lambang Kerajaan Negara
Singasari dari pakaian para prajurit.
Juga melihat musuhnya, Dasa Samudra!
Yang telah berbuat curang dengan
memanfaatkan kelengahannya.
Dan dengan hati-hati dia mengintip, dia melihat seorang gadis yang cantiknya
luar biasa turun dari kereta kuda. Dan melangkah dengan diiringi Dasa Samudra.
Suatu pikiran cepat dianalisa dalam benak Ki Manggada. Orang-orang itu menginap
di tempat ini dan si gadis adalah orang yang amat dihormati dan harus dijaga.
Terlihat oleh penampilan Dasa Samudra yang sangat menghormat.
Hmm, saat ini dia harus membalas
penghinaan yang dilakukan orang-orang Singasari kemarin. Dia akan menculik si
gadis dan akan membuat perhitungan kembali dengan Dasa Samudra. Dia harus
membalas kekalahannya kemarin. Harus!
Malam ini pula dia harus melakukannya.
Bergegas Ki Manggada kembali ke
kamarnya dan memberitahu akan hal itu kepada Ki Runding Alam dan membeberkan
rencananya.Ki Runding Alam setuju dengan rencana itu.
Malam semakin lama semakin
merambat. Udara mencengkram kulit, betapa dinginnya. Binatang-binatang malam
bernyanyi gembira, seolah merasa tentram tidak adanya manusia-manusia yang buas
dan perusak. Yang hanya
menginginkan kejahatan dan pertumpahan darah.
Di kamarnya, Sekar Perak tertidur dengan pulas. Dia sangat letih akibat
perjalanan seharian itu.
Di luar, penjagaan masih dilakukan dengan ketat. Dasa Samudra sedikit pun tidak
memejamkan matanya. Dia berjaga dengan sikap waspada dan sekali-sekali bangkit
me-meriksa sekitar mereka.
Sampai saat ini masih aman. Tidak
ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Lagipula, apa sih yang dikuatirkan" Toh penjagaan sudah kuat. Dan dia cukup
percaya dengan kemampuannya.
Namun tepat dinihari, dua sosok
tubuh dibungkus pakaian hitam-hitam dan berkedok hitam, mengendap-endap dan
mengintip dari gerumbulan rumpun bunga.
Mereka tak lain dari Ki Runding Alam dan Ki Manggada. Mengintai untuk menghitung
jumlah prajurit yang menjaga.
Hmm... di dekat pintu kamar dan dua orang penjaga. Di jalan yang menuju ke sana,
ada tiga orang. Dekat kuda-kuda mereka ada dua orang. Dan Dasa Samudra sendiri
berada agak jauh dari mereka, dekat sebuah pohon sambil bersandar.
Namun panca inderanya selalu berfungsi dengan sempurna. Sedangkan yang lain
tidur, sudah mendapat giliran menjaga.
"Kau bereskan dulu yang menjaga kuda itu, Gada," bisik Ki Runding Alam tepat di
telinga temannya. "Setelah itu aku akan menyergap yang sedang tidur dan
menghalau para penjaga itu. Kau hadapi Dasa Samudra. Dan aku sendiri akan
menyergap gadis yang di dalam kamar.
Setelah berhasil, kau harus menyusulku ke arah Timur. Mengerti?"
"Ya." Ki Manggada mengangguk. Dia selalu menuruti Ki Runding Alam yang
lebih tua dan dihormatinya. Dia sendiri merelakan Ki Runding Alam yang menyusun
rencana untuk menculik gadis itu.
Lalu dengan gerakan ringan dan
lincah, dia bergerak melalui halaman depan kamarnya dan memutar ke kanan.
Dengan hati-hati pula dia mengambil dua buah batu kerikil kecil dan dengan
gerakan mantap disambitkan ke arah penjaga di dekat kuda itu.
"Tuk! Tuk!"
Serentak kedua prajurit itu terdiam kaku. Dan dengan berguling tanpa
menimbulkan suara, Ki Manggada mendekati kuda-kuda itu. Melihat reaksi Ki
Runding Alam. Ternyata dia pun telah berhasil
melumpuhkan para penjaga yang sedang tidur. Dan dengan isyarat kibasan
tangan, dia memberi tanda akan segera menyerang tiga penjaga di halaman kamar
itu. Tiba-tiba saja dia bersalto.
Ketiga penjaga itu terkejut.
"Hei, siapa kau?" bentak salah seorang. Dan teriakannya itu menarik perhatian
Dasa Samudra yang terkejut dan segera berlari.
Ki Runding Alam segera bergerak
cepat. Dengan sekali pukul pengawal tadi jatuh pingsan. Teman-temannya segera
membantu, seketika di tempat itu terjadi pergulatan ramai. Namun bagi Ki Runding
Alam menghadapi prajurit cere begini, sangat mudah. Dia langsung menurunkan
tangan telengas dengan ajian Garuda Tiwikrama, yang membuat kelima penjaga itu
mampus. Tiba-tiba Ki Runding Alam merasakan ada dorongan angin deras di belakangnya.
Namun tiba-tiba angin itu berbelok.
"Des!"
Dua buah pukulan beradu. Dasa
Samudra terkejut dia cepat bangkit dan memperbaiki posisinya. Seorang
laki-laki bertopeng memberi isyarat pada temannya untuk masuk ke kamar Sekar
Perak, sedangkan dia sendiri menghadapi Dasa Samudra. Marah Dasa Samudra.
"Hei, mau apa kau ke sana?" serunya sambil menerjang, namun dihalangi oleh laki-
laki bertopeng yang menghalau serangannya tadi.
Kembali dua buah pukulan bertemu.
Kemarahan Dasa Samudra tidak bisa
dibendung lagi. Dia langsung mencabut Trisula Kembarnya dan menghadapi
laki-laki bertopeng itu dengan buas.
Seketika di tengah malam buta di tempat itu menjadi ramai oleh bentakan,
terjangan, pukulan keduanya.
Beberapa orang yang menginap di sana menjadi terbangun. Namun tidak berani men-
dekat. Mereka hanya mengintip dan ada yang merasa lebih baik di dalam kamarnya
saja. Sementara itu, Ki Runding Alam sudah masuk ke kamar Sekar Perak dengan jalan
mendobrak kamar. Dobrakan itu
membangunkan Sekar Perak yang langsung ketakutan melihat sosok tubuh berpakaian
hitam dan berkedok masuk ke kamarnya. Dia menjerit ketakutan. Namun si kedok
hitam sudah melesat menotok hingga kaku. Dan dengan mudahnya dia membopong tubuh
gadis itu dan melesat ke luar.
Dia memberi isyarat kepada Ki
Manggada yang sedang menahan
serangan-serangan Dasa Samudra. Melihat kawannya berhasil, Ki Manggada mendadak
melenting ke atas dan turun dengan kedua kaki ke arah Dasa Samudra. Gerakannya
cepat dan deras. Secara reflek Dasa Samudra mengibaskan kedua trisulanya dan
membuat Ki Manggada bersalto ke samping.
Dan dengan sangat cepat kakinya bergerak menyambar kaki Dasa Samudra. Tubuh Dasa
Samudra limbung dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Manggada untuk menyusul
Ki Runding Alam.
Dasa Samudra menggeram dan melesat mengerjar. Namun tiba-tiba dia bersalto ke
belakang. Tiga buah kerikil kecil menyambar dengan kecepatan kencang.
Dan dua bayangan tadi menghilang
dengan cepat. Namun Dasa Samudra tetap mengejar. Dia teringat bagaimana hukuman
yang akan diterimanya dari sang prabu.
Tentu sang prabu akan menghukumnya seberat-beratnya. Dia harus menemukan Sekar
Perak walaupun akan mengorbankan nyawanya sendiri, begitu tekad Dasa Samudra.
Dia hanya mengira-ngira ke mana
kedua orang itu pergi. Ke arah Timur. Dan dia harus mencarinya. Harus menemukan
Sekar Perak. Namun... siapakah kedua orang
bertopeng itu" Kenapa keduanya memusuhi dan menculik Sekar Perak"
Dasa Samudra terus berlari.
*** http://duniaabukeisel.blogspot.com/
6 Udara pagi berhembus dingin sekali.
Kabut cukup tebal menutupi Bukit
Paringin yang kelihatan amat
menyeramkan. Bahkan boleh dikatakan ini masih malam, karena kira-kira baru pukul
empat pagi. Bukit Paringin adalah sebuah bukit yang jarang sekali didatangi orang.
Karena bukit itu amat menyeramkan.
Namun pagi itu, di lereng bukit itu mendadak saja terdengar bentakan dan seruan
yang amat keras. Bentakan itu menggema ke seluruh lereng bukit itu.
Mengalahkan pula kabut yang cukup tebal yang membuat mata cukup sulit untuk bisa
menembus pemandangan apa yang ada di balik kabut itu.
Bila diperhatikan dari dekat,
nampak seorang pemuda tengah bergerak dengan cepat. Pemuda itu seakan-akan tidak
menghiraukan udara yang amat dingin. Dia terus bergerak dengan
lincah. Ke depan, ke belakang, ke
samping. Kadang menerjang, bersalto, menghindar, memukul, menyodok,
menendang. Semua itu dilakukan dengan gerakan yang tangkas, cepat dan penuh tenaga.
Dan pemuda yang membentak-bentak
tadi terus bergerak dengan lincahnya.
Rupanya pemuda itu tengah berlatih ilmu silat yang hebat dan tangguh.
Jurus-jurus yang dilatihnya nampak khusus diciptakan
seseorang yang memiliki dan mewarisinya kepada si pemuda, karena jurus-jurus itu nampak aneh
dan lucu. Seperti pendekar bloon yang sedang mabuk. Jarang dijumpai jurus
seperti tadi. Dari gerakan yang dilakukan itu,
tiba-tiba gerakannya berubah. Kini gerakan tangan, kaki, dan lenggok
tubuhnya mirip seekor burung gagak yang cepat. Namun kadang gerakannya terlihat
keras. Kibasan tangan pemuda itu mirip kibasan sayap burung yang sedang marah.
Ilmu silat yang dilatih pemuda itu kemudian memang berdasarkan gerak gerik
burung gagak, yang dinamakan, jurus Pukulan Patuk Gagak. Jurus yang anggun,
manis namun berisi dan kadang terlihat begitu meng-getarkan. Sungguh hebat orang
yang telah menciptakannya. Dan sungguh beruntung pemuda itu yang telah
mewarisinya. Angin berhembus, semakin dingin
terasa. Namun pemuda yang bertelanjang dada itu seolah tak acuh saja dengan rasa
dingin yang menyengat. Rupanya
gerakan-gerakan yang dilakukannya tadi menimbulkan hawa panas dalam tubuhnya
hingga bisa mengalahkan hawa dingin.
Benar saja, pemuda itu pun nampak berkeringat.
Dia sudah melakukan gerakan lebih
dari 1000 jurus. Gerakan yang
dilakukannya benar-benar luar biasa cepatnya. Terutama gerakan Patuk-Patuk
Gagaknya, yang dilakukannya
berulangkali hingga dia merasakan sudah mantap benar.
Bahkan tidak hanya sampai di sana.
Kini dia pun bergerak seperti sedang menghindari satu serangan. Dalam
berlatih, pemuda itu memang seakan-akan mempunyai lawan di hadapannya.
Gerakan penghindar itu dinamakan
Gagak Terbang. Lalu gerakan tubuhnya pun cepat dan lincah. Kadang melompat,
bersalto dan bergulingan.
Tiba-tiba pemuda itu bersalto dua
kali ke belakang. Dan begitu hinggap di tanah sudah dalam keadaan duduk bersila.
Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak satu debu pun yang beterbangan saat tubuhnya hinggap di tanah. Menandakan
betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda itu.
Dia mengatur nafasnya. Dan
perlahan-lahan sepasang matanya
terpejam. Lalu kedua tangannya menyatu saling tekan di dada. Sikapnya begitu
khusus. Nampaknya dia tengah
berkonsentrasi akan satu ilmu yang masih dimilikinya.
Setelah agak lama, mendadak pemuda itu mengibaskan tangan kanannya ke depan.
Sreeett!! Selarik sinar putih pun tiba-tiba
melesat dari telapak tangannya,
menghantam sebuah pohon besar di
hadapannya, langsung hancur berantakan dan tumbang.
Mendengar suara yang keras seperti ledakan itu, si pemuda membuka matanya.
Dan sepasang matanya terbelalak melihat hasil yang dilakukannya. Begitu hebat.
Sungguh diluar dugaannya.
Oh, benarkah aku bisa melakukannya sekarang" Desisnya dalam hati seolah tidak
percaya. Dan kenyataan serta hasil pukulan
sinar putih yang melesat dari tangannya memang benar-benar terjadi. Tiba-tiba
saja pemuda itu berseru-seru gembira,
"Hore! Eyang! Aku berhasil!
Hahaha... aku berhasil, Eyang! Aku berhasil!!"
Dan pemuda itu terdiam kembali.
Nampaknya dia ingin mengulangi lagi apa yang telah dilakukannya tadi. Karena dia
masih sangsi apakah benar-benar dia telah melakukannya"
Kali ini dia menggerakkan tangan
kirinya ke samping, mengganti
sasarannya. Kembali selarik sinar putih berkelebat dari tangan kirinya dan
menghantam sebuah batu karang sebesar kambing.
Kali ini hasilnya sungguh luar
biasa. Kembali terdengar suara seperti ledakan. Seperti yang dialami oleh pohon
tadi, batu karang itu pun hancur
berantakan. Bahkan berkeping-keping.
Pecahan batu karang itu berpentalan ke sana kemari.
Kembali pemuda itu berseru seru,
"Hahaha... aku berhasil, Eyang! Aku berhasil!!"
Dan dia pun melakukan hal yang sama berulang-ulang kembali. Hingga dia yakin
bahwa dia memang telah
berhasil melakukannya. Kembali pula terdengar seruan yang gembira.
"Demi Tuhan! Ini bukan khayalan atau angan semata lagi!! Aku memang berhasil,
aku memang berhasil!" seru pemuda itu gembira. Lalu dia melonjak-lonjak mirip
anak kecil yang mendapatkan permen.
Sebenarnya siapakah pemuda yang
gagah perkasa itu" Dia bernama Pandu.
Pemuda yatim piatu yang sejak kecil ditinggal mati kedua orang tuanya.
Usianya baru 19 tahun. Wajahnya
tampan dan bertubuh tegap. Nampak begitu kokoh dengan bertelanjang dada
sekarang. Menampilkan otot-otot yang kekar dan kuat. Rambutnya tergerai hingga bahu.
Diikat dengan ikat kepala warna putih.
Dia adalah murid tunggal seorang
pertapa sakti yang telah lama bertapa di Bukit Paringin sebuah bukit yang
terdapat di Gunung Kidul.
Sepuluh tahun yang lalu, pertapa
sakti yang bernama Eyang Ringkih Ireng itu secara tidak sengaja bertemu dengan
seorang bocah yang sedang menangis karena lapar di hutan. Lalu bocah itu pun
dipungutnya. Sejak pertama kali melihat bocah itu, Eyang Ringkih Ireng sudah
jatuh hati padanya. Bahkan yang
membuatnya makin tertarik, bocah itu seakan kuat menahan hawa dingin Gunung
Kidul. Dan tak pernah sekali pun mencoba
meninggalkan Bukit Paringin di mana Eyang Ringkih Ireng bertapa. Bahkan bocah
itu menurut saja apa katanya.
Karena melihat otot dan tulang
belulang pada bocah itu, Eyang Ringkih Ireng pun secara perlahan-lahan mulai
mengajarkan dan menurunkan ilmu yang dimilikinya. Hampir sepuluh
tahun lamanya pertapa itu menggembleng Pandu di Bukit Paringin.
Yang membuatnya
amat gembira, ternyata bocah itu daya tangkapnya cepat sekali. Dia mampu menirukan
gerakan-gerakan yang dilalukan Eyang Ringkih Ireng secara tepat dan pasti.
Dan pertambahan usia pada bocah itu, semakin bertambah pula apa yang
diturunkan oleh Eyang Ringkih Ireng padanya. Di samping itu daya tahan tubuhnya
pun seringkali dipaksakan Eyang Ringkih Ireng.
Pelajaran pertama daya ketahanan
tubuh yang dialami Pandu, dijemur di terik matahari dari pagi hingga sore.
Begitu sampai semiggu lamanya. Setelah itu pada malam hari pun berbuat yang
sama. Mendaki puncak Gunung Kidul dan duduk bersila melawan hawa dingin.
Semuanya dilakukan dengan
bertelanjang dada.
Sampai seminggu pula lamanya.
Dan selama dua minggu, dia harus
bertapa di air terjun yang ada di sana.
Eyang Ringkih Ireng amat bangga melihat hasil yang dicapai Pandu.
Daya tahan tubuhnya luar biasa.
Ini amat mengagumkannya.
Eyang Ringkih Ireng sendiri
sebenarnya sejak tadi sudah berada di atas pohon sambil memperhatikan muridnya
berlatih. Dia mendesah kagum.
Diusap-usapnya jenggotnya yang putih.
Dia merasa tidak sia-sia telah
menggembleng Pandu sekian lama jika hasilnya menggembirakan begini. Pukulan
Sinar Putih telah dikuasai Pandu dengan sempurna.
Pukulan Sinar Putih adalah salah
satu jenis pukulan yang amat langkah. Dan kini telah berhasil dikuasai oleh
muridnya. Berarti sekarang di dunia ini ada dua anak manusia yang berhasil
memiliki Pukulan Sinar Putih.
Karena Eyang Ringkih Ireng yakin
sekali, kalau tak seorang pun manusia yang memiliki ilmu itu selain mereka
berdua. Ini benar-benar membuatnya merasa beruntung karena memiliki seorang
murid seperti Pandu.
Dia membiarkan saja muridnya itu
menikmati kegembiraannya. Dan sekarang tengah melancarkan kembali Pukulan Sinar
Putihnya ke sasarannya yang langsung hancur berantakan terhamtan pukulan itu.
"Aku berhasil, Eyang! Aku
berhasil!!" Seruan itu amat gembira sekali.
Eyang Ringkih Ireng tersenyum.
Tiba-tiba saja dia mengenjot tubuhnya dan indenting hinggap tak jauh dari
muridnya! "Awaaasss!!" serunya mendadak pada muridnya sebelum muridnya sadar dengan apa
yang terjadi. Pandu merasakan ada dorongan angin keras menuju ke arahnya.
Dengan reflek dia bergulingan dan
kakinya bergerak menyambar ke depan.
Gerakan yang dilakukannya menandakan instingnya sudah berfungsi sempurna.
Eyang Ringkih Ireng menarik
tubuhnya untuk menghindari sambaran kaki itu. Lalu dia pun menangkis dengan kaki
kanannya. Posisinya lebih mengenakan dia, hingga Pandu terguling kembali.
Kali ini karena dorongan tenaga kaki Eyang Ringkih Ireng. Dan Eyang Ringkih
Ireng sudah menyerang lagi. Setelah menangkis dia menjejakkan kakinya ke dada
muridnya. Tak ada kesempatan untuk
mengelak, Pandu menangkis dengan kedua tangannya.
Des! Kali ini pemuda itu bisa mengimbangi tenaga gurunya. Eyang Ringkih Ireng mundur
setindak. Dan Pandu melenting ke atas. Sambil bersalto dia mengirimkan sebuah
pukulan Eyang Ringkih Ireng menangkis dan menyambar dengan tendangan lurus ke
depan. Namun tiba-tiba secara mengagumkan, Pandu meloncat dengan tumpuan kaki gurunya!
"Hebat! Tahan terus seranganku!"
Eyang Ringkih Ireng semakin
mempergencar serangannya. Pandu sekuat tenaga menahan dengan sekali-sekali
membalas. Sudah lebih dari 30 jurus mereka bertanding, namun pemuda itu masih
sanggup mengimbangi gurunya. Dan membuat Eyang Ringkih Ireng gembira.
"Pakai Jurus Kijang Kumala, Pandu!"
serunya terus menyerang. "Aku akan menyerangmu dengan Pukulan Sinar Putih!
Kau kena, rasakan sendiri akibatnya!"
"Tapi, Eyang...." seru Pandu sambil mengelak sambaran kaki gurunya.
"Tidak ada tapi! Mulai!"
Setelah membentak begitu, Eyang
Ringkih Ireng mengibaskan tangan
kirinya. Selarik sinar putih berkelebat ke arah dada Pandu. Panduluh yang masih
ragu-ragu mau tak mau bersalto
menghindari sinar yang mematikan itu.
"Pergunakan jurus Kijang Kumala, Pandu!" sambil membentak Eyang Ringkih Ireng
melontarkan kembali pukulannya.
Kali ini secara beruntun dan terus menerus. Membuat Pandulah
segera mengeluarkan jurus menghindarnya yang amat tangguh dan lincah, yang disebut
Jurus Kijang Kumala. Tubuhnya seperti bayangan yang berkelebatan yang sukar
diikuti oleh mata telanjangnya. Eyang Ringkih Ireng terus membayangi dengan
Pukulan Sinar Putih itu.
Semakin cepat Eyang Ringkih Ireng
mengibaskan tangannya, semakin cepat Pandu bergerak. Lincah dan tangkas. Kini
keduanya benar-benar seperti bayangan yang bergerak ke sana ke mari. Pandu
sendiri sudah meningkatkan kemampuan berkelitnya kalau tidak ingin hangus
dimakan pukulan panas itu. Dan sampai sekian jurus, sekali pun dia tidak sempat
mengirimkan balasan.
"Awas!" Pertapa sakti itu tiba-tiba membentak sambil bergerak dengan cepat ke
depan. Dia mengirimkan sebuah Pukulan Sinar Putihnya.
Sreeet! Pandu menghindar dengan jalan
bersalto. Namun saat tubuhnya melenting di udara, Eyang Ringkih Ireng kembali
melancarkan pukulannya dengan cepat!
Kakinya memutar dan melompat ke
udara. "Dess!"
Dalam keadaan masih di udara, Pandu tetap menunjukkan ketangkasannya. Dia
berhasil menahan serangan itu dengan tangannya. Dan kembali dia bersalto dua
kali ke belakang. Suatu gerakan yang menakjubkan telah diperlihatkan oleh Pandu.
Namun Eyang Ringkih Ireng
benar-benar tidak memberi kesempatan.
Dalam hal menguji dia tidak
tanggung-tanggung lagi. Pandu
dianggapnya seorang musuh besar yang harus ditaklukkan dan dimusnahkan.
Hal ini membuat Pandu kerepotan.
Karena berulang kali dia menghindar, bersalto, berguling, melompat juga
menangkis serangan gurunya.
Dan pada suatu kesempatan mendadak Pandu melontarkan Pukulan Sinar Putihnya
karena merasa sudah tidak tahan untuk menghindar terus menerus.
Eyang Ringkih Ireng yang sedang
mengejar dengan pukulannya, menjadi terhalang dan berguling dengan cepat.
Sambil berguling dia juga melontarkan Pukulan Sinar Putihnya.
"Awas, Pandu!"
Siiing! Pandu cepat berkelit ke samping.
Sinar itu melayang beberapa senti dari tubuhnya dan menghantam sebuah pohon
hingga hangus berantakan. Pandu mendesah dalam hati, gurunya benar-benar hendak
menguji dengan kekerasan.
Dia pun kembali bersiap.
Tiba-tiba Eyang Ringkih Ireng
menghentikan serangannya. Dia melompat ke atas dan ketika turun kembali ke
tanah, di tangannya sudah tergenggam dua buah batang pohon yang lumayan besar
dan keras. Dia melemparkannya sebuah pada
Pandu. "Keluarkan ilmu golokmu! Jaga setiap seranganku! Kalau tidak, kau akan kugebuk
habis-habisan! Yang perlu kau ingat, batang kayu yang ada di tanganku ini, lebih
keras dari sebilah golok mana pun! Ingat, pertahanan... Kibasan Golok Membelah
Bumi! Jaga serangan, Pandu!!"
Eyang Ringkih Ireng memutar batang kayu yang dipegangnya. Pandu pun bersiap
menjaga serangan itu. Sedikitnya dia merasakan tegang juga.
Tiba-tiba Eyang Ringkih Ireng
melesat dengan gebukan kayu yang siap menghantam kepala Pandu. Itu jurus semau
Eyang Ringkih Ireng saja. Tidak bernama, namun sungguh mantap dan maut dimainkan
olehnya. "Tahan serangan!!"
* * * Pandu terkejut melihat serangan
yang dilakukan gurunya begitu cepat.
Namun dia pun segera menyambutnya dengan jurus golok, Kibasan Golok Membelah
Bumi! Jurus yang diajarkan gurunya cukup lama. Hanya jurus itu saja memerlukan waktu
hampir satu tahun untuk sampai pada taraf sempurna. Karena jurus itu
benar-benar ampuh!
Jurus ciptaan Eyang Ringkih Ireng
sendiri! "Trak!"
"Trak!"
Kedua batang pohon itu bertemu dan terlihat tangan Pandu bergetar. Rupanya
tenaga dalamnya masih kalah kuat oleh gurunya.
Biar setua itu, Eyang Ringkih Ireng masih tangguh dan memiliki tenaga yang luar
biasa. Keduanya kembali memperlihatkan
kelincahan, ketangkasan dan kemampuan mereka dalam menggunakan ilmu golok.
"Jangan bertindak tanggung, Pandu!"
"Kau begitu hebat, Eyang!" seru Pandu membalas mengimbangi serangan gurunya.
"Jangan fikirkan soal itu! Jangan fikirkan pula kalau saat ini kau sedang
berhadapan dengan gurumu! Anggap aku lawanmu yang harus kau kalahkan!" seru
Eyang Ringkih Ireng terus menyerang.
"Tapi, Eyang...."
"Tidak ada tapi-tapian! Rangkaikan jurus itu dengan jurus Menyapu Batu Karang!
Dan ingat, jangan
sungkan-sungkan untuk membalas dan menyerangku!!"
Sejak tadi pun bila ada kesempatan Pandu bermaksud hendak membalas. Namun
kesempatan itu sulit ditemui. Karena serangan-serangan yang dilakukan
gurunya begitu gencar dan cepat.
Dan gurunya pun tidak lagi
menganggap dia sebagai muridnya saat
ini. Tetapi sebagai lawan yang hendak dikalahkannya.
"Pandu!!" seru Eyang Ringkih Ireng yang melihat muridnya hanya bertahan saja.
"Aku musuhmu! Bila kau lengah, kau akan mampus termakan batang kayu ini!!"
Mendengar kata-kata itu, Pandu pun kini berbalik mencoba menerobos
serangan-serangan gurunya. Dan dalam satu kesempatan, batang kayu yang
dipegangnya menggetarkan batang kayu yang dipegang gurunya. Lalu dia pun
menerobos menyerang dengan Jurus Menyapu Batu Karang. Jurus yang tangguh karena
diciptakan Eyang Ringkih Ireng khusus untuk menyerang. Sedangkan yang pertama
tadi jurus untuk bertahan.
Mau tak mau Eyang Ringkih Ireng
Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri menggunakan jurus Kibasan Golok Membelah Bumi untuk menghalau serangan
muridnya. Karena kedua jurus itu
diciptakan untuk disatu padukan untuk menyerang dan bertahan, hingga nampak
keduanya seimbang.
Kecepatan Pandu dalam memainkan
ilmu golok itu juga sudah tangkas. Hampir menyamai kecepatan gurunya.
Namun Eyang Ringkih Ireng yang sudah tua itu, lama kelamaan nampak hampir
kehabisan nafas. Tiba-tiba dia bergerak ke belakang dan melontarkan Pukulan
Sinar Putihnya.
"Heiet!"
Pandu terkejut dan secara reflek
menggenjot tubuhnya ke atas dan hinggap di sebuah ranting kecil. Mengagumkan
ilmu peringan tubuhnya. Sudah dalam taraf yang sempurna. Ranting sekecil itu
mampu menahan berat tubuhnya tanpa bergoyang sedikit pun!
Luar biasa! Di bawah, Eyang Ringkih Ireng
tersenyum sendiri. Hatinya bangga
melihat kemajuan anak didiknya. Tidak sia-sia dia mendidik Pandu sejak kecil.
Dan benar-benar merupakan hasil yang mengagumkan.
Dia melempar batang kayu itu dan
bertepuk tangan tiga kali.
"Turunlah, Pandu... kau benar-benar mengagumkan...." puji Eyang Ringkih Ireng
dengan suara bergetar saking gembiranya.
Pandu meloncat ke bawah tanpa suara.
Dia langsung menjatuhkan tubuhnya di hadapan kaki eyang.
"Maafkan saya, Eyang... bukan maksud saya untuk...."
"Ah, kau... apa-apaan" Sikapmu masih tetap santun, Pandu. Aku bangga.
Aku bangga... ayolah berdiri...."
Perlahan Pandu berdiri. Eyang itu
tersenyum sambil menepuk bahu muridnya ini.
"Kau telah menunjukkan suatu
prestasi yang baik sekali, Pandu. Aku tidak menyesal menurunkan semua ilmuku
kepadamu... kau telah membuatku gembira.
Membuatku merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Mari, Pandu... kita kembali ke
gubuk. Hari sudah semakin siang...."
Keduanya berjalan perlahan.
Menembus sinar matahari yang sudah agak menyengat. Menyinari seluruh tempat di
lereng Bukit Paringin ini. Keduanya melangkah ke Timur, ke tempat yang agak
banyak pepohonan besar dan mirip sebuah hutan yang tidak begitu besar.
Di sana ada sungai yang airnya
mengalir dengan deras dan jernih. Bila malam gemuruh air sungai itu seperti
irama musik yang mengalun merdu menerpa telinga.
Keduanya mencuci muka di sana.
Setelah merasakan wajah yang cukup segar, keduanya meneruskan melangkah sampai
ke hilir. Pemandangan di sini tak
kalah indahnya. Panorama alam telah menyatu dengan keduanya.
Begitu mempesona.
Tak jauh dari hilir, terdapat sebuah gubuk kecil yang dari jauh terhalang oleh
rimbunnya pepohonan. Di tempat itulah Eyang Ringkih Ireng mendidik Pandu sejak
pemuda itu ditemukannya di sebuah hutan saat masih kecil.
Keduanya lalu masuk ke gubuk kecil itu. Sambil menikmati kopi pahit dan ubi
rebus keduanya bercakap-cakap.
"Pandu..." terdengar suara Eyang Ringkih Ireng.
"Iya, Eyang...."
"Cukup lama sudah kau tinggal bersamaku di Bukit Paringin yang
terdapat di Gunung Kidul ini. Dan hampir semua ilmu yang kumiliki telah
kuturunkan padamu. Dan aku tidak ingin kau hidup terus menerus di alam gunung
seperti ini. Tanpa punya pengalaman apa-apa di dunia luas sana...."
"Apa maksud, Eyang?"
"Maksudku... kau harus segera turun gunung Pandu. Kau harus mencari
pengalaman hidupmu. Kau masih muda...
jangan kau sia-siakan hidupmu di tempat seperti ini, Pandu. Tempat ini cukup
sunyi...."
"Tetapi saya sudah bahagia di sini bersama eyang."
"Aku tahu, Pandu... kau memang seorang anak yang baik. Tetapi sekali lagi, bukan
maksudku untuk mengusirmu atau tidak mau menerimamu di sini, tetapi... kau harus
mencari pengalamanmu, Pandu. Hidup yang akan kau arungi tidak seperti yang biasa kau
alami di sini. Pasti hidup yang akan datang lebih keras lagi, Pandu...."
"Jadi maksud eyang...."
"Ya... kau harus tinggalkan Gunung Kidul ini. Kau harus pergi berkelana.
Gunakanlah ilmu yang kuberikan itu untuk jalan kebaikan. Kau mengerti?"
Sebenarnya hati Pandu sedih bukan
main. Karena dengan begitu dia harus berpisah dengan laki-laki tua yang amat
dihormati dan dikaguminya. Tetapi mau apa lagi"
"Eyang... semua perintah eyang akan saya patuhi, Eyang...."
"Bagus! Aku suka dengan kata-katamu itu, Pandu!!"
"Karena eyanglah yang membentuk saya seperti ini!"
"Bagus... bagus... Sebelum kau turun gunung, masih ada satu ilmu yang hendak
kuajarkan padamu, Pandu. Ilmu ini
amat dahsyat, sukar dicari tandingannya.
Sejak aku memiliki ilmu ini, sekali pun aku tak pernah menggunakannya," kata
Eyang Ringkih Ireng sambil menatap muridnya.
"Ilmu apakah itu, Eyang?" tanya Pandu dan entah mengapa hatinya
berdebar. "Ilmu yang teramat hebat sekali.
Ilmu yang amat langka, Pandu. Dan
kunamakan Cakar Gagak Rimang.
"Cakar Gagak Rimang?"
"Benar, Pandu. Ilmu ini amat hebat dan dahsyat sekali. Kau bisa membuat manusia
sekebal apapun dan sesakti apapun hancur binasa oleh pukulan ini.
Dalam jangka waktu yang cukup lama, aku yakin... kau akan sukar sekali dicari
tandingannya, Pandu...."
"Terima kasih, Eyang...."
"Tetapi ilmu ini dikenal sebagai ilmu yang ganas dan kejam. Ilmu ini dulu milik
seorang kyai yang teramat sakti, dan dalam satu kesempatan... di kala aku
berusia 18 tahun, dia mengajarkannya padaku. Satu cara pengajaran yang
menurutku aneh sekali."
"Aneh bagaimana, Eyang?"
"Kau akan mengetahuinya nanti.
Tetapi sampai saat ini, sejak ilmu Tangan
Malaikat ini kumiliki, sekali pun aku tak pernah menggunakannya. Mungkin kau
bertanya mengapa aku tidak
menggunakannya, bukan?"
"Ya, mengapa, Eyang?"
"Karena ilmu ini begitu
kejam.Pandu. Amat telengas. Bahkan aku sendiri ngeri memilikinya. Namun ilmu ini
kujadikan sebagai ilmu
pamungkasku... yang mana bila ada
kejadian yang mendesak baru kugunakan."
"Tetapi eyang... bila ilmu itu amat kejam dan ganas... mengapa eyang hendak
mengajarkannya padaku" Bukankah dengan demikian eyang mengajarkan aku hendak
berbuat kejam?" tanya Pandu heran.
Ditatapnya wajah Eyang Ringkih Ireng yang langsung tersenyum.
Yang juga sedang menatapnya.
Dan pertanyaannya itu membuat hati Eyang Ringkih Ireng bangga dan
bergembira. Dia benar-benar semakin jadi bertambah kagum pada muridnya ini.
Bukankah itu menandakan kalau Pandu benar-benar seorang pemuda kesatria"
"Bagus sekali pertanyaanmu itu, Pandu. Memang benar, mengapa aku harus
menurunkannya padamu" Karena tugasmu yang sesungguhnya adalah untuk membela
kebenaran dan keadilan. Dan aku yakin
pula kau akan bertemu dengan orang-orang jahat yang sakti. Aku mengajarkan ilmu
padamu ini, dengan maksud, agar kau bisa menjaga diri. Tentunya kau tidak boleh
sembarangan untuk menggunakannya. Bila kau benar-benar terdesak dan tidak mampu
lagi untuk melawan, kau boleh
mengeluarkan ilmu ini. Di samping itu yang perlu kau ingat, perlukah kau
membunuh dengan ilmu ini" Bagaimana, Pandu" Kau mengerti maksudku"
"Ya, Eyang...."
"Bagus! Kini siapkah kau menerima ilmu Tangan Malaikat dariku?"
"Semua yang guru berikan, akan saya terima."
"Bagus! Dengarlah baik-baik, Pandu.
Ilmu Cakar Gagak Rimang hanya bisa dipelajari oleh seseorang yang berhati
bersih. Ilmu itu hanya terdiri dari tiga gerakan yang nampak ringan. Pertama,
kedua tangan terbuka dan bergerak
seperti menyapu ombak. Kedua dengan satu dorongan. Dan bila kau masih belum
dapat mengalahkan lawanmu dengan kedua jurus itu, kau bisa menggunakan jurus
yang ketiga. Dengan cara memukulkan kedua telapak tanganmu pada lawan. Bahkan
bila kau sudah mengeluarkan ilmu itu, apapun
yang kau pegang dapat hancur lebur binasa!"
"Bukan main!" desis Pandu. "Satu ilmu yang sungguh amat langka!"
"Benar, Pandu. Ilmu ini hanya bisa dipelajari dalam waktu lima menit. Bila kau
gagal dalam waktu itu, maka kau akan gagal mendapatkannya!"
"Lima menit, Eyang?"
"Ya! Dan selama lima menit itu pula kau harus mengosongkan diri. Sanggupkah kau,
Pandu?" "Akan saya coba, Eyang."
"Bagus! Nah, sekarang kosongkan dirimu!"
Lalu Pandu pun terdiam. Semua
pikiran yang mengganggunya dikosongkan.
Kini pikirannya seakan hampa belaka. Dan perlahan-lahan Eyang Ringkih Ireng
mendekatinya. Terlihat kalau laki-laki berumur
itu terdiam. Dia berdiri di depan Pandu yang duduk bersila dengan mengosongkan
diri. Nampak pula kalau Eyang Ringkih
Ireng tengah merapal sesuatu. Dan
tiba-tiba dia menggerakkan kedua
tangannya. Lalu terlihatlah, warna merah di kedua telapak tangannya.
Dan dengan hati-hati dia
menempelkan kedua telapak tangan yang memerah itu ke kepala Pandu.
Pandu yang tengah mengosongkan
pikirannya, tidak bisa merasakan apa yang terjadi pada dirinya. Rupanya
tingkatan konsentrasi miliknya
benar-benar sudah dalam tahap yang sempurna.
Padahal bila dia tidak mengosongkan diri, atau gagal dalam tahap itu.
Mustahillah harapannya untuk memiliki ilmu Cakar Gagak Rimang. Karena kunci dari
ilmu itu sebenarnya mengosongkan diri yang sempurna.
Dan terlihatlah dari rambut Pandu
keluar asap putih yang cukup tebal. Dan terlihat pula kalau sekujur tubuh pemuda
itu nampak berkeringat dan menggigil.
Rupanya ada satu desakan hawa panas yang mengalir ke tubuhnya dari kepala berkat
tangan yang ditempelkan oleh Eyang Ringkih Ireng ke kepalanya.
Setelah lima menit berlalu, Eyang
Ringkih Ireng tiba-tiba bersalto ke belakang dan kala dia hinggap di tanah sudah
dalam keadaan bersila. Tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya ke depan.
Serangkum angin keras menerpa tubuh Pandu.
Tubuh Pandu pun goyang seperti orang di dalam perahu.
Dan tak berapa lama kemudian,
terlihat Eyang Ringkih Ireng tengah mengatur nafasnya. Dan terlihat pula kalau
Pandu perlahan-lahan membuka matanya.
"Eyang!" serunya begitu melihat Eyang Ringkih Ireng tengah
berkonsentrasi. Keringat mengalir di sekujur tubuh laki-laki tua itu.
Dan tak lama kemudian sepasang mata yang terpejam itu pun terbuka.
Eyang Ringkih Ireng tersenyum.
"Kau sungguh hebat, Pandu,"
desisnya. "Apa maksud, Eyang?"
"Bila saja kau gagal mengosongkan dirimu, maka hawa panas yang mengalir di
tubuhnya akan mengingatmu dan bisa membuat sebagian tubuhmu hangus! Itulah
sebenarnya resiko yang akan kau hadapi bila kau gagal mengosongkan diri!"
Wajah Pandu terlihat sedikit pucat.
Ah, kalau saja dia gagal.
"Lalu sekarang bagaimana, Eyang?"
"Sekarang kau sudah memiliki ilmu Cakar Gagak Rimang, Pandu!"
"Oh, benarkah, Eyang?"
"Kau bisa membuktikannya! Nah, lakukanlah gerakan-gerakan yang seperti kukatakan
tadi!!" Lalu Pandu pun berdiri. Dan entah
bagaimana caranya, tiba-tiba dia
merasakan hawa panas mengalir di
tubuhnya dan mengalir ke kedua
tangannya. Seketika kedua telapak tangan itu
berubah warna menjadi merah.
"Jangan terkejut, Pandu! Ilmu itu akan keluar bila kau niat untuk
mengeluarkannya!
"Oh!"
"Lakukan gerakan yang seperti kukatakan, Pandu!"
Lalu Pandu pun mengarahkan kedua
tangannya ke beberapa batu besar seperti seekor kerbau. Dan dia pun mengayunkan
kedua telapak tangannya dari bawah ke atas. Dan mendadak saja batu yang
dijadikan sasarannya itu melayang ke atas seperti tengah menyapu ombak. Lalu
jatuh lagi ke bawah dengan suara
berdebam. "Bummm!!"
Debu-debu pun berterbangan.
"Hebat sekali, Eyang. Bukan main!"
"Lakukan yang kedua, Pandu!"
Lalu Pandu pun kali ini menggerakkan kedua tangannya seperti tengan
mendorong. Dan seketika batu tadi
terdorong beberapa meter dengan kuatnya.
"Hebat, Eyang! Hebat!!"
"Lakukan yang ketiga, Pandu!
Terserah apa yang kau hendak lakukan, memegangnya atau memukulnya!"
"Aku akan memegangnya, Eyang!"
"Lakukanlah!!"
Lalu Pandu berjalan ke batu sebesar kerbau tadi. Dan dia pun memegang batu besar
itu. Sungguh luar biasa, batu itu
mendadak terbelah dan menimbulkan
kerikil-kerikil kecil.
"Eyang!" pekik Pandu gembira.
"Sekarang kau pukulkan kedua
telapak tanganmu pada batu itu, Pandu!!"
Pandu pun melakukan hal yang sama.
Dan kali ini sungguh luar biasa, amat luar biasa. Batu itu hancur menjadi
kerikil seketika. Kontan Pandu
berlonjak-lonjak kegirangan.
Setelah itu dia menjatuhkan dirinya di kaki Eyang Ringkih Ireng.
"Terima kasih, Eyang... Eyang telah mengajarkan padaku satu ilmu yang amat
hebat. "Bangunlah, Pandu...." kata Eyang sakti itu. "Sekarang kau telah memiliki satu
jenis ilmu yang langka dan
berbahaya. Pergunakanlah sebaik-baiknya dalam petualanganmu nanti. Semua ilmu
yang kuberikan, harus kau manfaatkan untuk membela kebenaran dan menentang
kezaliman. Dan pesanku, bila kau tidak merasa perlu menggunakan ilmu ini,
janganlah kau menggunakannya.
Tetapi bila keadaan mendesak,
gunakanlah! Ingat Pandu... semua harus di jalan kebenaran!"
Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Eyang...."
"Dan kini sebutanmu menjadi...
Pendekar Tangan Malaikat!" seru Eyang Ringkih Ireng.
Entah bagaimana mulanya, mendadak
saja terasa angin besar bertiup kencang.
Menerpa dedaunan hingga berguguran dan bebatuan hingga bergulingan.
Rambut panjang Pandu tergerai oleh angin itu.
Dia menjura, "Terima kasih,
Eyang...."
"Besok kala matahari sepenggalah...
kau sudah harus meninggalkan Bukit Paringin dan seluruh wilayah Gunung Kidul
ini....". *** 7 Kala matahari sepenggalah, nampak
satu sosok tubuh dengan mengenakan caping beranjak menuruni Gunung Kidul atau
tepatnya, bagian Bukit Paringin yang ada di sana. Di punggungnya terdapat sebuah
golok tipis yang indah dan
panjang. Sarungnya kelihatan terbuat dari batang kayu namun kelihatan pula
berlapis timah kuning.
Golok itu bernama golok
Cindarbuana. Sebuah golok yang teramat tajam dan ampuh, apalagi bila dimainkan
oleh seseorang yang memiliki ilmu golok yang tangguh.
Golok pemberian Eyang Ringkih Ireng sebelum Pandu meninggalkan atau menuruni
Bukit Paringin adalah sebuah golok sakti yang hebat, dan memang pantas bagi
Pandu untuk memilikinya. Dan karena golok itu nanti, Pandu akan berkali-kali
mendapatkan kesulitan dari orang-orang yang hendak merebut goloknya.
Sosok bercaping dengan golok di
punggung itu sejenak membalikkan tubuh
ke atas. Meskipun tak ada bayangan Eyang Ringkih Ireng, namun pemuda itu seakan
melihatnya dan yakin kalau Eyang Ringkih Ireng pun sedang melihatnya pula.
Setelah itu, lalu Pandu pun mulai
berlari dengan menggunakan ilmu larinya menuruni Bukit Paringin yang terjal dan
di sana sini banyak terdapat lembah.
Gerakan tubuhnya amat ringan sekali. Dan kala siang hari dia pun beristirahat.
Dan terus dia melangkah memulai
petualangannya. Memulai satu pengalaman yang selama ini tak pernah ditemuinya.
Dia amat mengagumi segala ciptaan
Yang Maha Kuasa. Sangat bangga dengan alamnya yang indah dan permai ini. Kadang
Pandu menyesali pula mengapa eyangnya tidak saja pergi bersama-sama menikmati
segala yang ada ini.
Setelah itu dia pun melanjutkan
perjalanannya lagi. Tak terasa sudah hampir sebulan dia melangkahkan kakinya
meninggalkan Gunung Kidul. Dan dalam perjalanannya selama sebulan itu, banyak
dijumpainya perampok dan pencoleng.
Namun tak pernah Pandu menurunkan tangan telengas. Dia hanya sekedar memberi
mereka pelajaran.
"Janganlah kalian berbuat keji dan kotor seperti ini lagi!" pesannya lalu
meninggalkan orang-orang yang menjadi kebingungan itu.
Siapa pendekar bercaping dan
bergolok di punggung itu" Siapa dia"
Kelak rimba persilatan akan tahu,
kalau sekarang telah muncul seorang pendekar yang maha sakti yang bergelar Gagak
Rimang yang akan membuat geger rimba persilatan. Yang akan membuat orang-orang
golongan hitam akan keder hatinya.
Sungguh tak terasa, kalau kakinya kini telah menginjak perbatasan Tanah Keraton
Utara. Pandu yang tidak
mengetahui apa yang tengah terjadi di sana dengan senaknya meneruskan
langkahnya. Dan dia sungguh terkejut ketika
melihat betapa banyaknya prajurit yang nampak berada di depan Keraton Utara.
Belum lagi dia mengerti apa yang
terjadi, tiga orang tiba-tiba telah mengurungnya.
"Siapa kau"!!" bentak salah seorang.
Nah, bagaimana dengan Pandu"
Bagaimana dengan Keraton Utara dan Keraton Selatan" Siapa sesungguhnya pencuri
Pusaka Patung Pualam itu" Apa tindakan Pandu" Temukan Jawabannya pada episode :
" Genta Perebut Kekuasaan"
SEKIAN Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Medali Wasiat 8 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pedang Inti Es 1
yang sangat terkejut lalu bersalto menghindari serangan selanjutnya. Dia menekap
luka di bahunya. Darah merembes perlahan.
Dasa Samudra terbahak melihat hasil kerjanya.
"Sudah kubilang, kalian hanya membuang-buang tenaga dan nyawa percuma datang ke
mari! Hmm... sebentar lagi, Tanah Singasari akan memendam jasad buruk kalian!"
"Licik kau bangsat! Kau mengambil kesempatan selagi aku lengah!" seru Ki
Manggada. "Ha-ha-ha... kita lawan, Ki! Bukan teman dalam latihan! Kau seorang
pejuang, seorang pendekar, namun kau lengah, resikomu, Ki! Kini bersiaplah untuk
mampus!" Ki Manggada melihat keadaan
temannya yang sudah nampak payah namun masih mencoba bertahan. Dia melihat Ki
Runding Alam sedang menahan rasa
nyerinya. Dapat dibayangkan betapa sakitnya.
Mendadak Ki Manggada bersalto
mendekati temannya. Dengan secepat kilat tangan kanannya menyambar tubuh Ki
Runding Alam dan tangan kirinya melempar sesuatu ke lantai.
"Duar!"
Terjadi ledakan kecil yang
menimbulkan asap seperti kabut yang pekat, namun menyakitkan mata.
Orang-orang menjadi kalang kabut. Dan seketika tempat itu tertutup oleh asap
yang sangat sulit ditembus oleh
pandangan mata.
"Hei, jaga bangsat itu!" seru Dasa Samudra, namun dia sendiri tidak bisa melihat
apa-apa, terhalang oleh asap putih itu.
Dan hanya terdengar beberapa
erangan dan aduhan dari beberapa orang prajurit. Mereka berusaha menghilangkan
asap putih yang lama-lama mulai menipis.
Dan bisa melihat dengan jelas kembali.
Tetapi kedua orang itu sudah tidak ada di hadapan mereka. Seolah lenyap begitu
saja entah hilang ke mana. Mereka hanya terlihat beberapa orang prajurit
tergeletak tanpa nyawa dan pintu ruangan itu terbuka secara paksa.
Kyai Rebo Panunggul menggeram
jengkel. Tunggul Dewa mendengus hebat dan
menumpahkan kemarahannya dengan
menendang sebuah kursi sampai hahcur.
Dasa Samudra hampir keluar kedua
bola matanya karena tak dapat menahan marah.
Tapi kedua utusan Kediri itu sudah lenyap dari mata mereka.
Dengan lesu Kyai Rebo Panunggul
menyuruh prajurit yang tersisa, untuk
menyingkirkan mayat-mayat temannya dan merapikan kembali ruangan.
Dia sendiri dan kedua temannya
segera menghadap Sri Jaya Wisnuwardana, yang menerima laporan itu dengan geram.
Dia menggebrak meja dengan marah.
"Buat surat pada raja Keraton Utara.
Katakan, mulai detik ini, Keraton
Selatan memutuskan hubungan
persahabatan, dan bermaksud mengadakan perang! Lakukan itu cepattt!!!"
Tak ada yang bisa diperbuat oleh
mereka lagi kecuali memematuhi semua perintah sang prabu. Saat membuat surat
kepada Raja Kediri, Kyai Rebo Panunggul berkata,
"Satu saat nanti, akan kuhirup darah Runding Alam! Dan sebagaian kubuat untuk
mandi!" geram suaranya dan dia seperti bersumpah.
Sumpah yang cukup mengerikan.
Tetapi bagi kedua temannya juga
dalam keadaan murka, sumpah itu tak banyak membuat mereka kuatir. Malah mereka
pun bersumpah pula dengan nada mengerikan pula.
"Aku pun bersumpah, akan kutelan mentah-mentah jantung Ki Runding Alam!"
seru Tunggul Dewa.
"Begitu pula dengan aku!" kata Dasa Samudra.
"Akan kulumat telan mentah-mentah jantung dan hati Ki Manggada!!"
Dan tiba-tiba saja terdengar suara petir yang bergemuruh. Dan cuaca berubah
menjadi gelap. Hujan pun mendadak turun dengan deras.
Bertanda sumpah ketiga anak manusia itu didengar oleh Dewata!
Sumpah yang mengerikan.
Teramat mengerikan!
Lalu ketiganya kembali meneruskan
membuat surat pada Raja Kediri dengan hati geram yang bukan main lagi!
Menimbulkan dendam kesumat pada Ki Runding Alam dan Ki Manggada!
Dan ini merupakan dendam abadi yang berkepanjangan sampai kapanpun juga!
* * * 4 Setelah kejadian yang amat
menyesakkan dada itu, Prabu Keraton Selatan menjadi amat berat untuk
melepaskan Sekar Perak yang akan
mengunjungi ibunya.
Prabu kuatir kedua orang Keraton
Utara itu masih berada di sekitar
lingkungan Keraton Selatan. Meskipun telah dikerahkan orang-orangnya ke penjuru
Keraton Selatan dan keduanya tidak ditemukan, prabu masih yakin kalau keduanya
masih berada di sekitar sana.
Ketika hal itu diberitahukan kepada Sekar Perak, membuat Sekar Perak menjadi
murung. "Bukan maksudku untuk melarangmu, duhai bungaku yang anggun...." kata prabu.
"Tetapi yang kukuatirkan, nasibmu nanti. Aku tidak mau kau terjatuh di tangan
orang-orang Kediri...."
"Tetapi, Gusti...." kata-kata Sekar Perak terhenti dan dia
kembali menundukkan kepa-lanya.
Sekilas prabu dapat melihat
sepasang mata Sekar Perak yang menjadi berkaca-kaca.
Dan ini membuat prabu menjadi iba
namun cemas, seminggu dia pun tidak tenang untuk melepaskan Sekar Perak.
"Aku mengerti, Diajeng. Aku
mengerti akan perasaan rindumu pada ibumu. Tetapi keadaan yang membuatku
memaksamu untuk mengurungkan
niatmu...."
"Tapi hamba sudah rindu pada ibu, Gusti...."
"Aku mengerti, Bungaku. Tetapi kau harus mengerti pula keadaan ini. Aku tak mau
terjadi apa-apa padamu. Aku tak mau itu terjadi. Tidak tahukah kau... benar
besarnya rasa kasihku padamu?"
Sekar Perak hanya mengangguk-angguk dengan mata berlinang.
"Gusti... tidak bisakah dan tidak dapatkah saya untuk pergi?"
"Diajeng... mengertilah keadaan yang membuatku memaksa seperti ini...."
Dan keputusan baginda prabu membuat Sekar Perak menjadi sedih dan murung.
Perasaan gembira ingin bertemu dengan ibu yang telah lama ditinggalnya dan
membangkitkan rasa rindu yang amat mendalam, kandas begitu saja.
Kerjanya hanya melamun saja dalam
kamar. Bahkan terkadang terlihat Sekar Perak berbicara sendiri. Dan selalu
menangis jika sang prabu menemuinya untuk mengajak bercumbu dan bercanda.
Gairahnya seakan telah lenyap,
padam dan sirna untuk melayani sang prabu. Kalau pun mau, jelas sekali nampak
dia benar-benar dan seperti terpaksa.
Itu pun dilakukan hanya karena
hormatnya yang begitu besar pada prabu.
Dan dia tidak mau mengecewakannya. Namun larangan sang prabu membuatnya tidak
bergairah untuk berbuat apa-apa.
Dalam seminggu saja, tubuhnya yang padat menjadi kelihatan kurus. Wajahnya yang
selalu berseri, segar dan jernih, kelihatan selalu pucat. Dan Sekar Perak
menjadi malas untuk mengurus dirinya.
Keadaan ini pun membuat para dayang yang melayani dan mengurusnya menjadi tidak
bisa berbuat apa-apa. Karena bila ada dayang yang bermaksud untuk
merapikan rambutnya saja, dia selalu menolak dan menyuruh sang dayang untuk
meninggalkan kamarnya.
Dan para dayang itu hanya bisa
melaporkan pada prabu dengan tidak berbuat apa-apa lagi.
"Maafkan kami, Junjungan yang mulia... kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dan
kami merasa tidak mampu untuk mengurus junjungan Sekar Perak..." kata salah
seorang dayang sambil berlutut.
"Benar, Gusti... kami pun sudah kewalahan. Karena kami tidak ingin membuatnya
marah...." kata yang lain.
"Dan kami tidak ingin melihatnya semakin murung saja, Gusti...." kata yang
pertama. "Kami amat menyayangi dan mencintai Sekar Perak. Kami tidak ingin melihat
keadaannya yang semakin hari semakin memedihkan hati kami...."
Dan laporan-laporan dari para
dayangnya itu membuat sang prabu menjadi tidak enak. Apalagi Sekar Perak adalah
selir kesayangannya.
Namun membiarkan Sekar Perak dalam keadaan yang memprihatinkan ini membuat hati
sang prabu pun menjadi tidak
tentram. Apalagi dia pun jelas melihat keadaan Sekar Perak yang memprihatinkan.
Dia didera oleh satu kerinduan pada ibunya.
Sang prabu menjadi harus berpikir
lagi masak-masak untuk memutuskan
keingingan Sekar Perak.
Lalu suatu malam dia pun mendatangi peraduan Sekar Perak. Dan prabu dapat melihat kalau sepasang mata yang
biasanya indah berkilau itu kini tidak ada cahayanya lagi.
Dan dia pun melihat kalau Sekar
Perak seakan segan untuk menerima
kedatangannya. Namun Prabu masih mencoba untuk
tersenyum. "Kau sudah makan, Bungaku?" sapanya dengan suaranya yang terdengar bernada kasih
sayang yang tulus.
Sekar Perak cuma melengos, mendesah dan membalikkan tubuhnya membelakangi sang
prabu. Sikapnya itu nampaklah bukan suatu penghormatan, malah seharusnya baginda
bisa marah karena merasa
dilecehkan. Tetapi baginda cuma mendesah. Dan
masih tersenyum dia membelai rambut Sekar Perak.
Lalu perlahan dia berucap, "Kau tidak menjawab pertanyaanku, manisku?"
Lalu dengan suara yang terdengar
dipaksakan, terdengar jawaban dari Sekar Perak, "Apa yang harus hamba jawab,
Gusti... apa yang harus hamba jawab?"
Hati gusti prabu menjadi tercekat.
Apa yang harus dia jawab" Oh, bukankah dia sudah mendengar pertanyaanku tadi"
Ataukah... ah, tidak, tidak... pasti dia tidak jelas mendengar pertanyaaku itu.
Baginda mengulangi lagi
pertanyaannya. Dan dilihatnya Sekar Perak mendesah panjang. Gadis itu masih dalam keadaan
membelakangi Baginda.
"Sudah, Gusti...."
"Sudah" Sudah katamu, Diajeng?"
"Ya, Gusti...."
"Lalu bagaimana dengan hidangan di meja itu yang nampaknya belum kau sentuh"
Apakah kau masih bisa mengatakan bahwa kau sudah makan?"
Baginda tetap bersuara dengan
lembut. Penuh kasih dan sayang. Namun karena kata-kata yang diucapkan dengan
nada penuh kasih itu membuat Sekar Perak menjadi terharu.
Dan dia terisak.
Lalu didengarnya lagi suara gusti
prabu yang lembut,
"Sekar Perak... bungaku yang
anggun... makanlah dulu... Ayo,
makanlah... Kau bisa sakit bila tidak makan. Dan ibaratnya bunga diajeng akan
cepat layu...."
Mendengar nada suara yang lembut dan itu dan penuh perhatian, membuat Sekar
Perak perlahan-lahan membalikkan
tubuhnya. Prabu Singasari tersenyum. Dia
dapat melihat kilatan rindu pada
sepasang mata yang menjadi sembab itu karena seminggu lamanya menangis.
Hati prabu menjadi pilu.
"Makanlah, Bungaku... kau tidak mau sakit, bukan?" katanya dengan tatapan yang
penuh kasih. "Apakah kau mau membuatku pun jadi murung karena ikut-ikutan memikirkanmu,
Diajeng?" Kembali Sekar Perak terdiam.
Sepasang matanya mengeluarkan air.
Lalu dengan hati-hati dia menyantap hidangan yang ada. Baginda tersenyum
melihatnya. Namun senyuman segera menghilang
karena setelah selesai menyantap
hidangannya, Sekar Perak kembali menjadi murung. Dia melakukan itu hanya untuk
menyenangkan hati baginda saja.
Lalu dengan hati-hati baginda
membelai rambutnya.
"Sekar Perak bungaku... Kau
tentunya marah dan kecewa karena aku telah melarangmu untuk pergi menyambangi
ibumu. Aku tahu kau telah amat rindu padanya. Dan kau pun kecewa karena aku
menarik kembali pernyataan yang telah kuucapkan dulu. Namun Sekar Perak, hari
ini... aku kembali mengabulkan
permintaanmu. Aku tak mau membuatmu semakin hari bertambah murung saja. Aku pun
tak mau melihatmu menjadi sakit, Bungaku.
Lalu dengan berat hati akhirnya
kuputuskan, untuk mengizinkanmu
menyambangi ibumu...."
Bagai ada angin sejuk yang berhembus begitu lembut dan membelai wajahnya, wajah
Sekar Perak terlihat berubah.
Sepasang matanya yang tak bercahaya tadi, kini kembali cemerlang.
Menampakkan sinar kehidupan lagi.
Wajahnya berseri.
Mulutnya sampai terbuka seakan
tidak percaya dengan apa yang telah diucapkan gusti prabu.
"Benarkah, Gusti?"
Prabu tersenyum melihat wajah yang bersinar itu.
"Apakah aku pernah bicara bohong, Diajeng" Aku tak pernah berbohong selama ini.
Aku melarangmu pergi, karena aku tak ingin kau terlibat satu persoalan pelik
yang sedang terjadi antara Keraton Selatan dan Keraton Utara...."
Sekar Perak yang sudah terlanjur
gembira seakan tidak mendengar kata-kata junjungannya.
Wajahnya berseri.
Berkali-kali dia menyembah dan
mengucapkan terima kasih pada sang prabu.
Keesokan harinya, setelah sepuluh
hari terjadi keributan di istana, Sekar Perak akan segera berangkat. Dari
tatapannya terlihat jelas kalau prabu amat berat untuk melepaskan Sekar Perak.
Tetapi dia tidak ingin selir
kesayangannya itu semakin hari semakin menjadi layu.
"Hati-hati, Diajeng...." kata prabu pada Sekar Perak yang akan menaiki kereta
kuda. Dengan anggunnya Sekar
Perak menyembah dan dengan hati-hati menaiki kereta kudanya.
Prabu menghela nafas panjang.
Berat, berat melepaskan Sekar Perak walau hanya dua minggu. Apalagi kalau
Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
teringat kejadian sepuluh hari yang lalu, yang telah menelan puluhan nyawa
prajurit akibat serangan dua utusan Keraton Utara. Prabu kuatir, mereka akan
mencegat rombongan ini. Maka itulah dia menyuruh Dasa Samudra untuk ikut
mengawal bersama sepuluh orang prajurit pilihan dan terlatih serta dua orang
komandan pasukan yang tangguh dan gagah pula.
Tirai yang terdapat di kereta kuda itu tersingkap. Seraut wajah manis Sekar
Perak muncul. Dia melambai.
Prabu pun membalas melambaikan
tangannya. Dan perlahan-lahan iring-iringan
itu pun bergerak.
*** 5 Angin berhembus semilir. Udara pagi yang cerah. Burung-burung pun bernyanyi
riang. Sama seperti riangnya hati Sekar Perak. Dia bagaikan burung yang baru
saja lepas dari sangkarnya. Memang selama ini Sekar Perak tidak pernah keluar
dari kaputren hingga baginya keluar ini adalah untuk pertama kalinya. Apalagi
saat ini dia hendak menyembangi ibunya.
Oh, betapa gembira hatinya.
Rombongan itu terus bergerak. Di
kereta kuda duduk seorang prajurit di samping sais. Di belakang mereka lima
orang prajurit berkuda dan di depan enam ekor kuda dengan masing-masing
penunggangnya. Dan salah seorang
penunggang kuda itu adalah Dasa Samudra yang memakai baju kebesaran seorang
panglima. Dia pun memakai ikat kepala
hitam yang menandakan kebesaran dan keangkuhan jiwanya. Trisula Kembarnya
menyilang di balik angkin belakang.
Tugas mengawal Sekar Perak bukanlah hal yang mudah, dan dirasakan oleh Dasa
Samudra suatu tugas yang berat. Di samping Sekar Perak sebagai selir
kesayangan Baginda Singasari, juga masih terbayang huru-hara yang dibuat oleh
dua orang Kediri, yang sewaktu-waktu mereka bisa muncul kembali.
Dan itu yang dicemaskan oleh Dasa
Samudra! Desa yang sedang dituju oleh
rombongan itu, di mana dulu Sekar Perak dilahirkan dan kini tinggal ibunya
seorang, adalah desa yang terletak di perbatasan kekuasaan Kediri dan
Singasari. Dulu Desa Pareden terkenal sebagai desa yang makmur. Entah
bagaimana keadaan desa itu sekarang.
Tepat tengah hari rombongan itu
beristirahat di sebuah hutan kecil.
Sekar Perak menghirup udara hutan yang telah lama dirindukannya dalam-dalam.
Dia seakan kembali pada masa kecilnya dulu.
Betapa bahagianya! Dan Sekar Perak kerap kali membayangkan betapa
terkejutnya wajah ibunya nanti.
Ketika senja hari barulah mereka
melanjutkan perjalanan lagi. Mereka harus segera tiba di Desa Glagah Wangi untuk
bermalam. Mereka pun harus
bergerak cepat.
Sampai sejauh itu, Dasa Samudra tak pernah jauh dari sisi Sekar Perak. Dan dia
sungguh-sungguh merasakan ini tugas yang amat sulit karena keselamatan Sekar
Perak sepenuhnya berada di tangannya.
Meskipun dia ditemani oleh dua komandan pasukan dan sepuluh prajurit pilihan.
Rombongan itu terus bergerak dengan cepat, agar tidak sampai kemalaman di jalan.
Tepat matahari tenggelam, rombongan itu tiba di Desa Glagah Wangi. Dasa Samudra
segera menyuruh salah seorang prajurit untuk mencari sebuah penginapan yang
mampu menampung mereka dan
keamanannya terjamin.
Prajurit itu segera bergerak
kembali dengan laporan yang memuaskan.
Mereka semua segera
mendatangi penginapan yang dicari prajurit tadi.
Dan Dasa Samudra segera mengatur
penjagaan khusus untuk Sekar Perak. Dia sendiri akan mengontrol tempat Sekar
Perak tidur malam ini.
Dan tanpa rombongan itu sadari, di kamar nomor 2 yang berada tepat di belakang
kamar Sekar Perak, menginap Ki Runding Alam dan Ki Manggada! Luka di bahu Ki
Manggada sudah agak sembuh.
Begitu pula dengan luka dalam Ki Runding Alam. Dia sudah menelan pil penyembuh
dan pemunah penyakit dalam. Pil yang
diberikan Mpu Daga sebelum mereka
berangkat. Mendengar ribut-ribut itu,
diam-diam Ki Manggada mengintip ke luar dari kamarnya. Dan dia terkejut melihat
siapa rombongan yang baru datang.
Rombongan dari Keraton Selatan. Dia melihat lambang Kerajaan Negara
Singasari dari pakaian para prajurit.
Juga melihat musuhnya, Dasa Samudra!
Yang telah berbuat curang dengan
memanfaatkan kelengahannya.
Dan dengan hati-hati dia mengintip, dia melihat seorang gadis yang cantiknya
luar biasa turun dari kereta kuda. Dan melangkah dengan diiringi Dasa Samudra.
Suatu pikiran cepat dianalisa dalam benak Ki Manggada. Orang-orang itu menginap
di tempat ini dan si gadis adalah orang yang amat dihormati dan harus dijaga.
Terlihat oleh penampilan Dasa Samudra yang sangat menghormat.
Hmm, saat ini dia harus membalas
penghinaan yang dilakukan orang-orang Singasari kemarin. Dia akan menculik si
gadis dan akan membuat perhitungan kembali dengan Dasa Samudra. Dia harus
membalas kekalahannya kemarin. Harus!
Malam ini pula dia harus melakukannya.
Bergegas Ki Manggada kembali ke
kamarnya dan memberitahu akan hal itu kepada Ki Runding Alam dan membeberkan
rencananya.Ki Runding Alam setuju dengan rencana itu.
Malam semakin lama semakin
merambat. Udara mencengkram kulit, betapa dinginnya. Binatang-binatang malam
bernyanyi gembira, seolah merasa tentram tidak adanya manusia-manusia yang buas
dan perusak. Yang hanya
menginginkan kejahatan dan pertumpahan darah.
Di kamarnya, Sekar Perak tertidur dengan pulas. Dia sangat letih akibat
perjalanan seharian itu.
Di luar, penjagaan masih dilakukan dengan ketat. Dasa Samudra sedikit pun tidak
memejamkan matanya. Dia berjaga dengan sikap waspada dan sekali-sekali bangkit
me-meriksa sekitar mereka.
Sampai saat ini masih aman. Tidak
ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Lagipula, apa sih yang dikuatirkan" Toh penjagaan sudah kuat. Dan dia cukup
percaya dengan kemampuannya.
Namun tepat dinihari, dua sosok
tubuh dibungkus pakaian hitam-hitam dan berkedok hitam, mengendap-endap dan
mengintip dari gerumbulan rumpun bunga.
Mereka tak lain dari Ki Runding Alam dan Ki Manggada. Mengintai untuk menghitung
jumlah prajurit yang menjaga.
Hmm... di dekat pintu kamar dan dua orang penjaga. Di jalan yang menuju ke sana,
ada tiga orang. Dekat kuda-kuda mereka ada dua orang. Dan Dasa Samudra sendiri
berada agak jauh dari mereka, dekat sebuah pohon sambil bersandar.
Namun panca inderanya selalu berfungsi dengan sempurna. Sedangkan yang lain
tidur, sudah mendapat giliran menjaga.
"Kau bereskan dulu yang menjaga kuda itu, Gada," bisik Ki Runding Alam tepat di
telinga temannya. "Setelah itu aku akan menyergap yang sedang tidur dan
menghalau para penjaga itu. Kau hadapi Dasa Samudra. Dan aku sendiri akan
menyergap gadis yang di dalam kamar.
Setelah berhasil, kau harus menyusulku ke arah Timur. Mengerti?"
"Ya." Ki Manggada mengangguk. Dia selalu menuruti Ki Runding Alam yang
lebih tua dan dihormatinya. Dia sendiri merelakan Ki Runding Alam yang menyusun
rencana untuk menculik gadis itu.
Lalu dengan gerakan ringan dan
lincah, dia bergerak melalui halaman depan kamarnya dan memutar ke kanan.
Dengan hati-hati pula dia mengambil dua buah batu kerikil kecil dan dengan
gerakan mantap disambitkan ke arah penjaga di dekat kuda itu.
"Tuk! Tuk!"
Serentak kedua prajurit itu terdiam kaku. Dan dengan berguling tanpa
menimbulkan suara, Ki Manggada mendekati kuda-kuda itu. Melihat reaksi Ki
Runding Alam. Ternyata dia pun telah berhasil
melumpuhkan para penjaga yang sedang tidur. Dan dengan isyarat kibasan
tangan, dia memberi tanda akan segera menyerang tiga penjaga di halaman kamar
itu. Tiba-tiba saja dia bersalto.
Ketiga penjaga itu terkejut.
"Hei, siapa kau?" bentak salah seorang. Dan teriakannya itu menarik perhatian
Dasa Samudra yang terkejut dan segera berlari.
Ki Runding Alam segera bergerak
cepat. Dengan sekali pukul pengawal tadi jatuh pingsan. Teman-temannya segera
membantu, seketika di tempat itu terjadi pergulatan ramai. Namun bagi Ki Runding
Alam menghadapi prajurit cere begini, sangat mudah. Dia langsung menurunkan
tangan telengas dengan ajian Garuda Tiwikrama, yang membuat kelima penjaga itu
mampus. Tiba-tiba Ki Runding Alam merasakan ada dorongan angin deras di belakangnya.
Namun tiba-tiba angin itu berbelok.
"Des!"
Dua buah pukulan beradu. Dasa
Samudra terkejut dia cepat bangkit dan memperbaiki posisinya. Seorang
laki-laki bertopeng memberi isyarat pada temannya untuk masuk ke kamar Sekar
Perak, sedangkan dia sendiri menghadapi Dasa Samudra. Marah Dasa Samudra.
"Hei, mau apa kau ke sana?" serunya sambil menerjang, namun dihalangi oleh laki-
laki bertopeng yang menghalau serangannya tadi.
Kembali dua buah pukulan bertemu.
Kemarahan Dasa Samudra tidak bisa
dibendung lagi. Dia langsung mencabut Trisula Kembarnya dan menghadapi
laki-laki bertopeng itu dengan buas.
Seketika di tengah malam buta di tempat itu menjadi ramai oleh bentakan,
terjangan, pukulan keduanya.
Beberapa orang yang menginap di sana menjadi terbangun. Namun tidak berani men-
dekat. Mereka hanya mengintip dan ada yang merasa lebih baik di dalam kamarnya
saja. Sementara itu, Ki Runding Alam sudah masuk ke kamar Sekar Perak dengan jalan
mendobrak kamar. Dobrakan itu
membangunkan Sekar Perak yang langsung ketakutan melihat sosok tubuh berpakaian
hitam dan berkedok masuk ke kamarnya. Dia menjerit ketakutan. Namun si kedok
hitam sudah melesat menotok hingga kaku. Dan dengan mudahnya dia membopong tubuh
gadis itu dan melesat ke luar.
Dia memberi isyarat kepada Ki
Manggada yang sedang menahan
serangan-serangan Dasa Samudra. Melihat kawannya berhasil, Ki Manggada mendadak
melenting ke atas dan turun dengan kedua kaki ke arah Dasa Samudra. Gerakannya
cepat dan deras. Secara reflek Dasa Samudra mengibaskan kedua trisulanya dan
membuat Ki Manggada bersalto ke samping.
Dan dengan sangat cepat kakinya bergerak menyambar kaki Dasa Samudra. Tubuh Dasa
Samudra limbung dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Manggada untuk menyusul
Ki Runding Alam.
Dasa Samudra menggeram dan melesat mengerjar. Namun tiba-tiba dia bersalto ke
belakang. Tiga buah kerikil kecil menyambar dengan kecepatan kencang.
Dan dua bayangan tadi menghilang
dengan cepat. Namun Dasa Samudra tetap mengejar. Dia teringat bagaimana hukuman
yang akan diterimanya dari sang prabu.
Tentu sang prabu akan menghukumnya seberat-beratnya. Dia harus menemukan Sekar
Perak walaupun akan mengorbankan nyawanya sendiri, begitu tekad Dasa Samudra.
Dia hanya mengira-ngira ke mana
kedua orang itu pergi. Ke arah Timur. Dan dia harus mencarinya. Harus menemukan
Sekar Perak. Namun... siapakah kedua orang
bertopeng itu" Kenapa keduanya memusuhi dan menculik Sekar Perak"
Dasa Samudra terus berlari.
*** http://duniaabukeisel.blogspot.com/
6 Udara pagi berhembus dingin sekali.
Kabut cukup tebal menutupi Bukit
Paringin yang kelihatan amat
menyeramkan. Bahkan boleh dikatakan ini masih malam, karena kira-kira baru pukul
empat pagi. Bukit Paringin adalah sebuah bukit yang jarang sekali didatangi orang.
Karena bukit itu amat menyeramkan.
Namun pagi itu, di lereng bukit itu mendadak saja terdengar bentakan dan seruan
yang amat keras. Bentakan itu menggema ke seluruh lereng bukit itu.
Mengalahkan pula kabut yang cukup tebal yang membuat mata cukup sulit untuk bisa
menembus pemandangan apa yang ada di balik kabut itu.
Bila diperhatikan dari dekat,
nampak seorang pemuda tengah bergerak dengan cepat. Pemuda itu seakan-akan tidak
menghiraukan udara yang amat dingin. Dia terus bergerak dengan
lincah. Ke depan, ke belakang, ke
samping. Kadang menerjang, bersalto, menghindar, memukul, menyodok,
menendang. Semua itu dilakukan dengan gerakan yang tangkas, cepat dan penuh tenaga.
Dan pemuda yang membentak-bentak
tadi terus bergerak dengan lincahnya.
Rupanya pemuda itu tengah berlatih ilmu silat yang hebat dan tangguh.
Jurus-jurus yang dilatihnya nampak khusus diciptakan
seseorang yang memiliki dan mewarisinya kepada si pemuda, karena jurus-jurus itu nampak aneh
dan lucu. Seperti pendekar bloon yang sedang mabuk. Jarang dijumpai jurus
seperti tadi. Dari gerakan yang dilakukan itu,
tiba-tiba gerakannya berubah. Kini gerakan tangan, kaki, dan lenggok
tubuhnya mirip seekor burung gagak yang cepat. Namun kadang gerakannya terlihat
keras. Kibasan tangan pemuda itu mirip kibasan sayap burung yang sedang marah.
Ilmu silat yang dilatih pemuda itu kemudian memang berdasarkan gerak gerik
burung gagak, yang dinamakan, jurus Pukulan Patuk Gagak. Jurus yang anggun,
manis namun berisi dan kadang terlihat begitu meng-getarkan. Sungguh hebat orang
yang telah menciptakannya. Dan sungguh beruntung pemuda itu yang telah
mewarisinya. Angin berhembus, semakin dingin
terasa. Namun pemuda yang bertelanjang dada itu seolah tak acuh saja dengan rasa
dingin yang menyengat. Rupanya
gerakan-gerakan yang dilakukannya tadi menimbulkan hawa panas dalam tubuhnya
hingga bisa mengalahkan hawa dingin.
Benar saja, pemuda itu pun nampak berkeringat.
Dia sudah melakukan gerakan lebih
dari 1000 jurus. Gerakan yang
dilakukannya benar-benar luar biasa cepatnya. Terutama gerakan Patuk-Patuk
Gagaknya, yang dilakukannya
berulangkali hingga dia merasakan sudah mantap benar.
Bahkan tidak hanya sampai di sana.
Kini dia pun bergerak seperti sedang menghindari satu serangan. Dalam
berlatih, pemuda itu memang seakan-akan mempunyai lawan di hadapannya.
Gerakan penghindar itu dinamakan
Gagak Terbang. Lalu gerakan tubuhnya pun cepat dan lincah. Kadang melompat,
bersalto dan bergulingan.
Tiba-tiba pemuda itu bersalto dua
kali ke belakang. Dan begitu hinggap di tanah sudah dalam keadaan duduk bersila.
Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak satu debu pun yang beterbangan saat tubuhnya hinggap di tanah. Menandakan
betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda itu.
Dia mengatur nafasnya. Dan
perlahan-lahan sepasang matanya
terpejam. Lalu kedua tangannya menyatu saling tekan di dada. Sikapnya begitu
khusus. Nampaknya dia tengah
berkonsentrasi akan satu ilmu yang masih dimilikinya.
Setelah agak lama, mendadak pemuda itu mengibaskan tangan kanannya ke depan.
Sreeett!! Selarik sinar putih pun tiba-tiba
melesat dari telapak tangannya,
menghantam sebuah pohon besar di
hadapannya, langsung hancur berantakan dan tumbang.
Mendengar suara yang keras seperti ledakan itu, si pemuda membuka matanya.
Dan sepasang matanya terbelalak melihat hasil yang dilakukannya. Begitu hebat.
Sungguh diluar dugaannya.
Oh, benarkah aku bisa melakukannya sekarang" Desisnya dalam hati seolah tidak
percaya. Dan kenyataan serta hasil pukulan
sinar putih yang melesat dari tangannya memang benar-benar terjadi. Tiba-tiba
saja pemuda itu berseru-seru gembira,
"Hore! Eyang! Aku berhasil!
Hahaha... aku berhasil, Eyang! Aku berhasil!!"
Dan pemuda itu terdiam kembali.
Nampaknya dia ingin mengulangi lagi apa yang telah dilakukannya tadi. Karena dia
masih sangsi apakah benar-benar dia telah melakukannya"
Kali ini dia menggerakkan tangan
kirinya ke samping, mengganti
sasarannya. Kembali selarik sinar putih berkelebat dari tangan kirinya dan
menghantam sebuah batu karang sebesar kambing.
Kali ini hasilnya sungguh luar
biasa. Kembali terdengar suara seperti ledakan. Seperti yang dialami oleh pohon
tadi, batu karang itu pun hancur
berantakan. Bahkan berkeping-keping.
Pecahan batu karang itu berpentalan ke sana kemari.
Kembali pemuda itu berseru seru,
"Hahaha... aku berhasil, Eyang! Aku berhasil!!"
Dan dia pun melakukan hal yang sama berulang-ulang kembali. Hingga dia yakin
bahwa dia memang telah
berhasil melakukannya. Kembali pula terdengar seruan yang gembira.
"Demi Tuhan! Ini bukan khayalan atau angan semata lagi!! Aku memang berhasil,
aku memang berhasil!" seru pemuda itu gembira. Lalu dia melonjak-lonjak mirip
anak kecil yang mendapatkan permen.
Sebenarnya siapakah pemuda yang
gagah perkasa itu" Dia bernama Pandu.
Pemuda yatim piatu yang sejak kecil ditinggal mati kedua orang tuanya.
Usianya baru 19 tahun. Wajahnya
tampan dan bertubuh tegap. Nampak begitu kokoh dengan bertelanjang dada
sekarang. Menampilkan otot-otot yang kekar dan kuat. Rambutnya tergerai hingga bahu.
Diikat dengan ikat kepala warna putih.
Dia adalah murid tunggal seorang
pertapa sakti yang telah lama bertapa di Bukit Paringin sebuah bukit yang
terdapat di Gunung Kidul.
Sepuluh tahun yang lalu, pertapa
sakti yang bernama Eyang Ringkih Ireng itu secara tidak sengaja bertemu dengan
seorang bocah yang sedang menangis karena lapar di hutan. Lalu bocah itu pun
dipungutnya. Sejak pertama kali melihat bocah itu, Eyang Ringkih Ireng sudah
jatuh hati padanya. Bahkan yang
membuatnya makin tertarik, bocah itu seakan kuat menahan hawa dingin Gunung
Kidul. Dan tak pernah sekali pun mencoba
meninggalkan Bukit Paringin di mana Eyang Ringkih Ireng bertapa. Bahkan bocah
itu menurut saja apa katanya.
Karena melihat otot dan tulang
belulang pada bocah itu, Eyang Ringkih Ireng pun secara perlahan-lahan mulai
mengajarkan dan menurunkan ilmu yang dimilikinya. Hampir sepuluh
tahun lamanya pertapa itu menggembleng Pandu di Bukit Paringin.
Yang membuatnya
amat gembira, ternyata bocah itu daya tangkapnya cepat sekali. Dia mampu menirukan
gerakan-gerakan yang dilalukan Eyang Ringkih Ireng secara tepat dan pasti.
Dan pertambahan usia pada bocah itu, semakin bertambah pula apa yang
diturunkan oleh Eyang Ringkih Ireng padanya. Di samping itu daya tahan tubuhnya
pun seringkali dipaksakan Eyang Ringkih Ireng.
Pelajaran pertama daya ketahanan
tubuh yang dialami Pandu, dijemur di terik matahari dari pagi hingga sore.
Begitu sampai semiggu lamanya. Setelah itu pada malam hari pun berbuat yang
sama. Mendaki puncak Gunung Kidul dan duduk bersila melawan hawa dingin.
Semuanya dilakukan dengan
bertelanjang dada.
Sampai seminggu pula lamanya.
Dan selama dua minggu, dia harus
bertapa di air terjun yang ada di sana.
Eyang Ringkih Ireng amat bangga melihat hasil yang dicapai Pandu.
Daya tahan tubuhnya luar biasa.
Ini amat mengagumkannya.
Eyang Ringkih Ireng sendiri
sebenarnya sejak tadi sudah berada di atas pohon sambil memperhatikan muridnya
berlatih. Dia mendesah kagum.
Diusap-usapnya jenggotnya yang putih.
Dia merasa tidak sia-sia telah
menggembleng Pandu sekian lama jika hasilnya menggembirakan begini. Pukulan
Sinar Putih telah dikuasai Pandu dengan sempurna.
Pukulan Sinar Putih adalah salah
satu jenis pukulan yang amat langkah. Dan kini telah berhasil dikuasai oleh
muridnya. Berarti sekarang di dunia ini ada dua anak manusia yang berhasil
memiliki Pukulan Sinar Putih.
Karena Eyang Ringkih Ireng yakin
sekali, kalau tak seorang pun manusia yang memiliki ilmu itu selain mereka
berdua. Ini benar-benar membuatnya merasa beruntung karena memiliki seorang
murid seperti Pandu.
Dia membiarkan saja muridnya itu
menikmati kegembiraannya. Dan sekarang tengah melancarkan kembali Pukulan Sinar
Putihnya ke sasarannya yang langsung hancur berantakan terhamtan pukulan itu.
"Aku berhasil, Eyang! Aku
berhasil!!" Seruan itu amat gembira sekali.
Eyang Ringkih Ireng tersenyum.
Tiba-tiba saja dia mengenjot tubuhnya dan indenting hinggap tak jauh dari
muridnya! "Awaaasss!!" serunya mendadak pada muridnya sebelum muridnya sadar dengan apa
yang terjadi. Pandu merasakan ada dorongan angin keras menuju ke arahnya.
Dengan reflek dia bergulingan dan
kakinya bergerak menyambar ke depan.
Gerakan yang dilakukannya menandakan instingnya sudah berfungsi sempurna.
Eyang Ringkih Ireng menarik
tubuhnya untuk menghindari sambaran kaki itu. Lalu dia pun menangkis dengan kaki
kanannya. Posisinya lebih mengenakan dia, hingga Pandu terguling kembali.
Kali ini karena dorongan tenaga kaki Eyang Ringkih Ireng. Dan Eyang Ringkih
Ireng sudah menyerang lagi. Setelah menangkis dia menjejakkan kakinya ke dada
muridnya. Tak ada kesempatan untuk
mengelak, Pandu menangkis dengan kedua tangannya.
Des! Kali ini pemuda itu bisa mengimbangi tenaga gurunya. Eyang Ringkih Ireng mundur
setindak. Dan Pandu melenting ke atas. Sambil bersalto dia mengirimkan sebuah
pukulan Eyang Ringkih Ireng menangkis dan menyambar dengan tendangan lurus ke
depan. Namun tiba-tiba secara mengagumkan, Pandu meloncat dengan tumpuan kaki gurunya!
"Hebat! Tahan terus seranganku!"
Eyang Ringkih Ireng semakin
mempergencar serangannya. Pandu sekuat tenaga menahan dengan sekali-sekali
membalas. Sudah lebih dari 30 jurus mereka bertanding, namun pemuda itu masih
sanggup mengimbangi gurunya. Dan membuat Eyang Ringkih Ireng gembira.
"Pakai Jurus Kijang Kumala, Pandu!"
serunya terus menyerang. "Aku akan menyerangmu dengan Pukulan Sinar Putih!
Kau kena, rasakan sendiri akibatnya!"
"Tapi, Eyang...." seru Pandu sambil mengelak sambaran kaki gurunya.
"Tidak ada tapi! Mulai!"
Setelah membentak begitu, Eyang
Ringkih Ireng mengibaskan tangan
kirinya. Selarik sinar putih berkelebat ke arah dada Pandu. Panduluh yang masih
ragu-ragu mau tak mau bersalto
menghindari sinar yang mematikan itu.
"Pergunakan jurus Kijang Kumala, Pandu!" sambil membentak Eyang Ringkih Ireng
melontarkan kembali pukulannya.
Kali ini secara beruntun dan terus menerus. Membuat Pandulah
segera mengeluarkan jurus menghindarnya yang amat tangguh dan lincah, yang disebut
Jurus Kijang Kumala. Tubuhnya seperti bayangan yang berkelebatan yang sukar
diikuti oleh mata telanjangnya. Eyang Ringkih Ireng terus membayangi dengan
Pukulan Sinar Putih itu.
Semakin cepat Eyang Ringkih Ireng
mengibaskan tangannya, semakin cepat Pandu bergerak. Lincah dan tangkas. Kini
keduanya benar-benar seperti bayangan yang bergerak ke sana ke mari. Pandu
sendiri sudah meningkatkan kemampuan berkelitnya kalau tidak ingin hangus
dimakan pukulan panas itu. Dan sampai sekian jurus, sekali pun dia tidak sempat
mengirimkan balasan.
"Awas!" Pertapa sakti itu tiba-tiba membentak sambil bergerak dengan cepat ke
depan. Dia mengirimkan sebuah Pukulan Sinar Putihnya.
Sreeet! Pandu menghindar dengan jalan
bersalto. Namun saat tubuhnya melenting di udara, Eyang Ringkih Ireng kembali
melancarkan pukulannya dengan cepat!
Kakinya memutar dan melompat ke
udara. "Dess!"
Dalam keadaan masih di udara, Pandu tetap menunjukkan ketangkasannya. Dia
berhasil menahan serangan itu dengan tangannya. Dan kembali dia bersalto dua
kali ke belakang. Suatu gerakan yang menakjubkan telah diperlihatkan oleh Pandu.
Namun Eyang Ringkih Ireng
benar-benar tidak memberi kesempatan.
Dalam hal menguji dia tidak
tanggung-tanggung lagi. Pandu
dianggapnya seorang musuh besar yang harus ditaklukkan dan dimusnahkan.
Hal ini membuat Pandu kerepotan.
Karena berulang kali dia menghindar, bersalto, berguling, melompat juga
menangkis serangan gurunya.
Dan pada suatu kesempatan mendadak Pandu melontarkan Pukulan Sinar Putihnya
karena merasa sudah tidak tahan untuk menghindar terus menerus.
Eyang Ringkih Ireng yang sedang
mengejar dengan pukulannya, menjadi terhalang dan berguling dengan cepat.
Sambil berguling dia juga melontarkan Pukulan Sinar Putihnya.
"Awas, Pandu!"
Siiing! Pandu cepat berkelit ke samping.
Sinar itu melayang beberapa senti dari tubuhnya dan menghantam sebuah pohon
hingga hangus berantakan. Pandu mendesah dalam hati, gurunya benar-benar hendak
menguji dengan kekerasan.
Dia pun kembali bersiap.
Tiba-tiba Eyang Ringkih Ireng
menghentikan serangannya. Dia melompat ke atas dan ketika turun kembali ke
tanah, di tangannya sudah tergenggam dua buah batang pohon yang lumayan besar
dan keras. Dia melemparkannya sebuah pada
Pandu. "Keluarkan ilmu golokmu! Jaga setiap seranganku! Kalau tidak, kau akan kugebuk
habis-habisan! Yang perlu kau ingat, batang kayu yang ada di tanganku ini, lebih
keras dari sebilah golok mana pun! Ingat, pertahanan... Kibasan Golok Membelah
Bumi! Jaga serangan, Pandu!!"
Eyang Ringkih Ireng memutar batang kayu yang dipegangnya. Pandu pun bersiap
menjaga serangan itu. Sedikitnya dia merasakan tegang juga.
Tiba-tiba Eyang Ringkih Ireng
melesat dengan gebukan kayu yang siap menghantam kepala Pandu. Itu jurus semau
Eyang Ringkih Ireng saja. Tidak bernama, namun sungguh mantap dan maut dimainkan
olehnya. "Tahan serangan!!"
* * * Pandu terkejut melihat serangan
yang dilakukan gurunya begitu cepat.
Namun dia pun segera menyambutnya dengan jurus golok, Kibasan Golok Membelah
Bumi! Jurus yang diajarkan gurunya cukup lama. Hanya jurus itu saja memerlukan waktu
hampir satu tahun untuk sampai pada taraf sempurna. Karena jurus itu
benar-benar ampuh!
Jurus ciptaan Eyang Ringkih Ireng
sendiri! "Trak!"
"Trak!"
Kedua batang pohon itu bertemu dan terlihat tangan Pandu bergetar. Rupanya
tenaga dalamnya masih kalah kuat oleh gurunya.
Biar setua itu, Eyang Ringkih Ireng masih tangguh dan memiliki tenaga yang luar
biasa. Keduanya kembali memperlihatkan
kelincahan, ketangkasan dan kemampuan mereka dalam menggunakan ilmu golok.
"Jangan bertindak tanggung, Pandu!"
"Kau begitu hebat, Eyang!" seru Pandu membalas mengimbangi serangan gurunya.
"Jangan fikirkan soal itu! Jangan fikirkan pula kalau saat ini kau sedang
berhadapan dengan gurumu! Anggap aku lawanmu yang harus kau kalahkan!" seru
Eyang Ringkih Ireng terus menyerang.
"Tapi, Eyang...."
"Tidak ada tapi-tapian! Rangkaikan jurus itu dengan jurus Menyapu Batu Karang!
Dan ingat, jangan
sungkan-sungkan untuk membalas dan menyerangku!!"
Sejak tadi pun bila ada kesempatan Pandu bermaksud hendak membalas. Namun
kesempatan itu sulit ditemui. Karena serangan-serangan yang dilakukan
gurunya begitu gencar dan cepat.
Dan gurunya pun tidak lagi
menganggap dia sebagai muridnya saat
ini. Tetapi sebagai lawan yang hendak dikalahkannya.
"Pandu!!" seru Eyang Ringkih Ireng yang melihat muridnya hanya bertahan saja.
"Aku musuhmu! Bila kau lengah, kau akan mampus termakan batang kayu ini!!"
Mendengar kata-kata itu, Pandu pun kini berbalik mencoba menerobos
serangan-serangan gurunya. Dan dalam satu kesempatan, batang kayu yang
dipegangnya menggetarkan batang kayu yang dipegang gurunya. Lalu dia pun
menerobos menyerang dengan Jurus Menyapu Batu Karang. Jurus yang tangguh karena
diciptakan Eyang Ringkih Ireng khusus untuk menyerang. Sedangkan yang pertama
tadi jurus untuk bertahan.
Mau tak mau Eyang Ringkih Ireng
Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri menggunakan jurus Kibasan Golok Membelah Bumi untuk menghalau serangan
muridnya. Karena kedua jurus itu
diciptakan untuk disatu padukan untuk menyerang dan bertahan, hingga nampak
keduanya seimbang.
Kecepatan Pandu dalam memainkan
ilmu golok itu juga sudah tangkas. Hampir menyamai kecepatan gurunya.
Namun Eyang Ringkih Ireng yang sudah tua itu, lama kelamaan nampak hampir
kehabisan nafas. Tiba-tiba dia bergerak ke belakang dan melontarkan Pukulan
Sinar Putihnya.
"Heiet!"
Pandu terkejut dan secara reflek
menggenjot tubuhnya ke atas dan hinggap di sebuah ranting kecil. Mengagumkan
ilmu peringan tubuhnya. Sudah dalam taraf yang sempurna. Ranting sekecil itu
mampu menahan berat tubuhnya tanpa bergoyang sedikit pun!
Luar biasa! Di bawah, Eyang Ringkih Ireng
tersenyum sendiri. Hatinya bangga
melihat kemajuan anak didiknya. Tidak sia-sia dia mendidik Pandu sejak kecil.
Dan benar-benar merupakan hasil yang mengagumkan.
Dia melempar batang kayu itu dan
bertepuk tangan tiga kali.
"Turunlah, Pandu... kau benar-benar mengagumkan...." puji Eyang Ringkih Ireng
dengan suara bergetar saking gembiranya.
Pandu meloncat ke bawah tanpa suara.
Dia langsung menjatuhkan tubuhnya di hadapan kaki eyang.
"Maafkan saya, Eyang... bukan maksud saya untuk...."
"Ah, kau... apa-apaan" Sikapmu masih tetap santun, Pandu. Aku bangga.
Aku bangga... ayolah berdiri...."
Perlahan Pandu berdiri. Eyang itu
tersenyum sambil menepuk bahu muridnya ini.
"Kau telah menunjukkan suatu
prestasi yang baik sekali, Pandu. Aku tidak menyesal menurunkan semua ilmuku
kepadamu... kau telah membuatku gembira.
Membuatku merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Mari, Pandu... kita kembali ke
gubuk. Hari sudah semakin siang...."
Keduanya berjalan perlahan.
Menembus sinar matahari yang sudah agak menyengat. Menyinari seluruh tempat di
lereng Bukit Paringin ini. Keduanya melangkah ke Timur, ke tempat yang agak
banyak pepohonan besar dan mirip sebuah hutan yang tidak begitu besar.
Di sana ada sungai yang airnya
mengalir dengan deras dan jernih. Bila malam gemuruh air sungai itu seperti
irama musik yang mengalun merdu menerpa telinga.
Keduanya mencuci muka di sana.
Setelah merasakan wajah yang cukup segar, keduanya meneruskan melangkah sampai
ke hilir. Pemandangan di sini tak
kalah indahnya. Panorama alam telah menyatu dengan keduanya.
Begitu mempesona.
Tak jauh dari hilir, terdapat sebuah gubuk kecil yang dari jauh terhalang oleh
rimbunnya pepohonan. Di tempat itulah Eyang Ringkih Ireng mendidik Pandu sejak
pemuda itu ditemukannya di sebuah hutan saat masih kecil.
Keduanya lalu masuk ke gubuk kecil itu. Sambil menikmati kopi pahit dan ubi
rebus keduanya bercakap-cakap.
"Pandu..." terdengar suara Eyang Ringkih Ireng.
"Iya, Eyang...."
"Cukup lama sudah kau tinggal bersamaku di Bukit Paringin yang
terdapat di Gunung Kidul ini. Dan hampir semua ilmu yang kumiliki telah
kuturunkan padamu. Dan aku tidak ingin kau hidup terus menerus di alam gunung
seperti ini. Tanpa punya pengalaman apa-apa di dunia luas sana...."
"Apa maksud, Eyang?"
"Maksudku... kau harus segera turun gunung Pandu. Kau harus mencari
pengalaman hidupmu. Kau masih muda...
jangan kau sia-siakan hidupmu di tempat seperti ini, Pandu. Tempat ini cukup
sunyi...."
"Tetapi saya sudah bahagia di sini bersama eyang."
"Aku tahu, Pandu... kau memang seorang anak yang baik. Tetapi sekali lagi, bukan
maksudku untuk mengusirmu atau tidak mau menerimamu di sini, tetapi... kau harus
mencari pengalamanmu, Pandu. Hidup yang akan kau arungi tidak seperti yang biasa kau
alami di sini. Pasti hidup yang akan datang lebih keras lagi, Pandu...."
"Jadi maksud eyang...."
"Ya... kau harus tinggalkan Gunung Kidul ini. Kau harus pergi berkelana.
Gunakanlah ilmu yang kuberikan itu untuk jalan kebaikan. Kau mengerti?"
Sebenarnya hati Pandu sedih bukan
main. Karena dengan begitu dia harus berpisah dengan laki-laki tua yang amat
dihormati dan dikaguminya. Tetapi mau apa lagi"
"Eyang... semua perintah eyang akan saya patuhi, Eyang...."
"Bagus! Aku suka dengan kata-katamu itu, Pandu!!"
"Karena eyanglah yang membentuk saya seperti ini!"
"Bagus... bagus... Sebelum kau turun gunung, masih ada satu ilmu yang hendak
kuajarkan padamu, Pandu. Ilmu ini
amat dahsyat, sukar dicari tandingannya.
Sejak aku memiliki ilmu ini, sekali pun aku tak pernah menggunakannya," kata
Eyang Ringkih Ireng sambil menatap muridnya.
"Ilmu apakah itu, Eyang?" tanya Pandu dan entah mengapa hatinya
berdebar. "Ilmu yang teramat hebat sekali.
Ilmu yang amat langka, Pandu. Dan
kunamakan Cakar Gagak Rimang.
"Cakar Gagak Rimang?"
"Benar, Pandu. Ilmu ini amat hebat dan dahsyat sekali. Kau bisa membuat manusia
sekebal apapun dan sesakti apapun hancur binasa oleh pukulan ini.
Dalam jangka waktu yang cukup lama, aku yakin... kau akan sukar sekali dicari
tandingannya, Pandu...."
"Terima kasih, Eyang...."
"Tetapi ilmu ini dikenal sebagai ilmu yang ganas dan kejam. Ilmu ini dulu milik
seorang kyai yang teramat sakti, dan dalam satu kesempatan... di kala aku
berusia 18 tahun, dia mengajarkannya padaku. Satu cara pengajaran yang
menurutku aneh sekali."
"Aneh bagaimana, Eyang?"
"Kau akan mengetahuinya nanti.
Tetapi sampai saat ini, sejak ilmu Tangan
Malaikat ini kumiliki, sekali pun aku tak pernah menggunakannya. Mungkin kau
bertanya mengapa aku tidak
menggunakannya, bukan?"
"Ya, mengapa, Eyang?"
"Karena ilmu ini begitu
kejam.Pandu. Amat telengas. Bahkan aku sendiri ngeri memilikinya. Namun ilmu ini
kujadikan sebagai ilmu
pamungkasku... yang mana bila ada
kejadian yang mendesak baru kugunakan."
"Tetapi eyang... bila ilmu itu amat kejam dan ganas... mengapa eyang hendak
mengajarkannya padaku" Bukankah dengan demikian eyang mengajarkan aku hendak
berbuat kejam?" tanya Pandu heran.
Ditatapnya wajah Eyang Ringkih Ireng yang langsung tersenyum.
Yang juga sedang menatapnya.
Dan pertanyaannya itu membuat hati Eyang Ringkih Ireng bangga dan
bergembira. Dia benar-benar semakin jadi bertambah kagum pada muridnya ini.
Bukankah itu menandakan kalau Pandu benar-benar seorang pemuda kesatria"
"Bagus sekali pertanyaanmu itu, Pandu. Memang benar, mengapa aku harus
menurunkannya padamu" Karena tugasmu yang sesungguhnya adalah untuk membela
kebenaran dan keadilan. Dan aku yakin
pula kau akan bertemu dengan orang-orang jahat yang sakti. Aku mengajarkan ilmu
padamu ini, dengan maksud, agar kau bisa menjaga diri. Tentunya kau tidak boleh
sembarangan untuk menggunakannya. Bila kau benar-benar terdesak dan tidak mampu
lagi untuk melawan, kau boleh
mengeluarkan ilmu ini. Di samping itu yang perlu kau ingat, perlukah kau
membunuh dengan ilmu ini" Bagaimana, Pandu" Kau mengerti maksudku"
"Ya, Eyang...."
"Bagus! Kini siapkah kau menerima ilmu Tangan Malaikat dariku?"
"Semua yang guru berikan, akan saya terima."
"Bagus! Dengarlah baik-baik, Pandu.
Ilmu Cakar Gagak Rimang hanya bisa dipelajari oleh seseorang yang berhati
bersih. Ilmu itu hanya terdiri dari tiga gerakan yang nampak ringan. Pertama,
kedua tangan terbuka dan bergerak
seperti menyapu ombak. Kedua dengan satu dorongan. Dan bila kau masih belum
dapat mengalahkan lawanmu dengan kedua jurus itu, kau bisa menggunakan jurus
yang ketiga. Dengan cara memukulkan kedua telapak tanganmu pada lawan. Bahkan
bila kau sudah mengeluarkan ilmu itu, apapun
yang kau pegang dapat hancur lebur binasa!"
"Bukan main!" desis Pandu. "Satu ilmu yang sungguh amat langka!"
"Benar, Pandu. Ilmu ini hanya bisa dipelajari dalam waktu lima menit. Bila kau
gagal dalam waktu itu, maka kau akan gagal mendapatkannya!"
"Lima menit, Eyang?"
"Ya! Dan selama lima menit itu pula kau harus mengosongkan diri. Sanggupkah kau,
Pandu?" "Akan saya coba, Eyang."
"Bagus! Nah, sekarang kosongkan dirimu!"
Lalu Pandu pun terdiam. Semua
pikiran yang mengganggunya dikosongkan.
Kini pikirannya seakan hampa belaka. Dan perlahan-lahan Eyang Ringkih Ireng
mendekatinya. Terlihat kalau laki-laki berumur
itu terdiam. Dia berdiri di depan Pandu yang duduk bersila dengan mengosongkan
diri. Nampak pula kalau Eyang Ringkih
Ireng tengah merapal sesuatu. Dan
tiba-tiba dia menggerakkan kedua
tangannya. Lalu terlihatlah, warna merah di kedua telapak tangannya.
Dan dengan hati-hati dia
menempelkan kedua telapak tangan yang memerah itu ke kepala Pandu.
Pandu yang tengah mengosongkan
pikirannya, tidak bisa merasakan apa yang terjadi pada dirinya. Rupanya
tingkatan konsentrasi miliknya
benar-benar sudah dalam tahap yang sempurna.
Padahal bila dia tidak mengosongkan diri, atau gagal dalam tahap itu.
Mustahillah harapannya untuk memiliki ilmu Cakar Gagak Rimang. Karena kunci dari
ilmu itu sebenarnya mengosongkan diri yang sempurna.
Dan terlihatlah dari rambut Pandu
keluar asap putih yang cukup tebal. Dan terlihat pula kalau sekujur tubuh pemuda
itu nampak berkeringat dan menggigil.
Rupanya ada satu desakan hawa panas yang mengalir ke tubuhnya dari kepala berkat
tangan yang ditempelkan oleh Eyang Ringkih Ireng ke kepalanya.
Setelah lima menit berlalu, Eyang
Ringkih Ireng tiba-tiba bersalto ke belakang dan kala dia hinggap di tanah sudah
dalam keadaan bersila. Tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya ke depan.
Serangkum angin keras menerpa tubuh Pandu.
Tubuh Pandu pun goyang seperti orang di dalam perahu.
Dan tak berapa lama kemudian,
terlihat Eyang Ringkih Ireng tengah mengatur nafasnya. Dan terlihat pula kalau
Pandu perlahan-lahan membuka matanya.
"Eyang!" serunya begitu melihat Eyang Ringkih Ireng tengah
berkonsentrasi. Keringat mengalir di sekujur tubuh laki-laki tua itu.
Dan tak lama kemudian sepasang mata yang terpejam itu pun terbuka.
Eyang Ringkih Ireng tersenyum.
"Kau sungguh hebat, Pandu,"
desisnya. "Apa maksud, Eyang?"
"Bila saja kau gagal mengosongkan dirimu, maka hawa panas yang mengalir di
tubuhnya akan mengingatmu dan bisa membuat sebagian tubuhmu hangus! Itulah
sebenarnya resiko yang akan kau hadapi bila kau gagal mengosongkan diri!"
Wajah Pandu terlihat sedikit pucat.
Ah, kalau saja dia gagal.
"Lalu sekarang bagaimana, Eyang?"
"Sekarang kau sudah memiliki ilmu Cakar Gagak Rimang, Pandu!"
"Oh, benarkah, Eyang?"
"Kau bisa membuktikannya! Nah, lakukanlah gerakan-gerakan yang seperti kukatakan
tadi!!" Lalu Pandu pun berdiri. Dan entah
bagaimana caranya, tiba-tiba dia
merasakan hawa panas mengalir di
tubuhnya dan mengalir ke kedua
tangannya. Seketika kedua telapak tangan itu
berubah warna menjadi merah.
"Jangan terkejut, Pandu! Ilmu itu akan keluar bila kau niat untuk
mengeluarkannya!
"Oh!"
"Lakukan gerakan yang seperti kukatakan, Pandu!"
Lalu Pandu pun mengarahkan kedua
tangannya ke beberapa batu besar seperti seekor kerbau. Dan dia pun mengayunkan
kedua telapak tangannya dari bawah ke atas. Dan mendadak saja batu yang
dijadikan sasarannya itu melayang ke atas seperti tengah menyapu ombak. Lalu
jatuh lagi ke bawah dengan suara
berdebam. "Bummm!!"
Debu-debu pun berterbangan.
"Hebat sekali, Eyang. Bukan main!"
"Lakukan yang kedua, Pandu!"
Lalu Pandu pun kali ini menggerakkan kedua tangannya seperti tengan
mendorong. Dan seketika batu tadi
terdorong beberapa meter dengan kuatnya.
"Hebat, Eyang! Hebat!!"
"Lakukan yang ketiga, Pandu!
Terserah apa yang kau hendak lakukan, memegangnya atau memukulnya!"
"Aku akan memegangnya, Eyang!"
"Lakukanlah!!"
Lalu Pandu berjalan ke batu sebesar kerbau tadi. Dan dia pun memegang batu besar
itu. Sungguh luar biasa, batu itu
mendadak terbelah dan menimbulkan
kerikil-kerikil kecil.
"Eyang!" pekik Pandu gembira.
"Sekarang kau pukulkan kedua
telapak tanganmu pada batu itu, Pandu!!"
Pandu pun melakukan hal yang sama.
Dan kali ini sungguh luar biasa, amat luar biasa. Batu itu hancur menjadi
kerikil seketika. Kontan Pandu
berlonjak-lonjak kegirangan.
Setelah itu dia menjatuhkan dirinya di kaki Eyang Ringkih Ireng.
"Terima kasih, Eyang... Eyang telah mengajarkan padaku satu ilmu yang amat
hebat. "Bangunlah, Pandu...." kata Eyang sakti itu. "Sekarang kau telah memiliki satu
jenis ilmu yang langka dan
berbahaya. Pergunakanlah sebaik-baiknya dalam petualanganmu nanti. Semua ilmu
yang kuberikan, harus kau manfaatkan untuk membela kebenaran dan menentang
kezaliman. Dan pesanku, bila kau tidak merasa perlu menggunakan ilmu ini,
janganlah kau menggunakannya.
Tetapi bila keadaan mendesak,
gunakanlah! Ingat Pandu... semua harus di jalan kebenaran!"
Pendekar Gagak Rimang 1 Lahirnya Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Eyang...."
"Dan kini sebutanmu menjadi...
Pendekar Tangan Malaikat!" seru Eyang Ringkih Ireng.
Entah bagaimana mulanya, mendadak
saja terasa angin besar bertiup kencang.
Menerpa dedaunan hingga berguguran dan bebatuan hingga bergulingan.
Rambut panjang Pandu tergerai oleh angin itu.
Dia menjura, "Terima kasih,
Eyang...."
"Besok kala matahari sepenggalah...
kau sudah harus meninggalkan Bukit Paringin dan seluruh wilayah Gunung Kidul
ini....". *** 7 Kala matahari sepenggalah, nampak
satu sosok tubuh dengan mengenakan caping beranjak menuruni Gunung Kidul atau
tepatnya, bagian Bukit Paringin yang ada di sana. Di punggungnya terdapat sebuah
golok tipis yang indah dan
panjang. Sarungnya kelihatan terbuat dari batang kayu namun kelihatan pula
berlapis timah kuning.
Golok itu bernama golok
Cindarbuana. Sebuah golok yang teramat tajam dan ampuh, apalagi bila dimainkan
oleh seseorang yang memiliki ilmu golok yang tangguh.
Golok pemberian Eyang Ringkih Ireng sebelum Pandu meninggalkan atau menuruni
Bukit Paringin adalah sebuah golok sakti yang hebat, dan memang pantas bagi
Pandu untuk memilikinya. Dan karena golok itu nanti, Pandu akan berkali-kali
mendapatkan kesulitan dari orang-orang yang hendak merebut goloknya.
Sosok bercaping dengan golok di
punggung itu sejenak membalikkan tubuh
ke atas. Meskipun tak ada bayangan Eyang Ringkih Ireng, namun pemuda itu seakan
melihatnya dan yakin kalau Eyang Ringkih Ireng pun sedang melihatnya pula.
Setelah itu, lalu Pandu pun mulai
berlari dengan menggunakan ilmu larinya menuruni Bukit Paringin yang terjal dan
di sana sini banyak terdapat lembah.
Gerakan tubuhnya amat ringan sekali. Dan kala siang hari dia pun beristirahat.
Dan terus dia melangkah memulai
petualangannya. Memulai satu pengalaman yang selama ini tak pernah ditemuinya.
Dia amat mengagumi segala ciptaan
Yang Maha Kuasa. Sangat bangga dengan alamnya yang indah dan permai ini. Kadang
Pandu menyesali pula mengapa eyangnya tidak saja pergi bersama-sama menikmati
segala yang ada ini.
Setelah itu dia pun melanjutkan
perjalanannya lagi. Tak terasa sudah hampir sebulan dia melangkahkan kakinya
meninggalkan Gunung Kidul. Dan dalam perjalanannya selama sebulan itu, banyak
dijumpainya perampok dan pencoleng.
Namun tak pernah Pandu menurunkan tangan telengas. Dia hanya sekedar memberi
mereka pelajaran.
"Janganlah kalian berbuat keji dan kotor seperti ini lagi!" pesannya lalu
meninggalkan orang-orang yang menjadi kebingungan itu.
Siapa pendekar bercaping dan
bergolok di punggung itu" Siapa dia"
Kelak rimba persilatan akan tahu,
kalau sekarang telah muncul seorang pendekar yang maha sakti yang bergelar Gagak
Rimang yang akan membuat geger rimba persilatan. Yang akan membuat orang-orang
golongan hitam akan keder hatinya.
Sungguh tak terasa, kalau kakinya kini telah menginjak perbatasan Tanah Keraton
Utara. Pandu yang tidak
mengetahui apa yang tengah terjadi di sana dengan senaknya meneruskan
langkahnya. Dan dia sungguh terkejut ketika
melihat betapa banyaknya prajurit yang nampak berada di depan Keraton Utara.
Belum lagi dia mengerti apa yang
terjadi, tiga orang tiba-tiba telah mengurungnya.
"Siapa kau"!!" bentak salah seorang.
Nah, bagaimana dengan Pandu"
Bagaimana dengan Keraton Utara dan Keraton Selatan" Siapa sesungguhnya pencuri
Pusaka Patung Pualam itu" Apa tindakan Pandu" Temukan Jawabannya pada episode :
" Genta Perebut Kekuasaan"
SEKIAN Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Medali Wasiat 8 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pedang Inti Es 1