Pencarian

Menumpas Angkara Murka 2

Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka Bagian 2


Membuat Sembarita segera menarik
tangannya dan menghantam kaki Joko bara.
"Des!"
Belum lagi serangan itu terhenti, dengan tiba-tiba saja dia bergerak dengan satu
gerakan yang amat
menakjubkan. Berputar dua kali dari bawah ke atas dan begitu meluncur ke arah
Joko Bara, kaki Sembarita sudah terarah lurus!
Joko Bara sedikit terkejut
melihat serangan itu. Diam-diam dia mendesis kagum melihat
pameran kehebatan yang diperlihatkan
Sembarita. Dan sebelum serangan yang
dilancarkan Sembarita mengenai
sasarannya, Joko Bara sudah
menggulingkan tubuhnya ke kiri. Kali ini Sembarita yang terkejut karena tidak
menyangka pemuda itu bisa
mengelakkan serangannya.
Kini dia sadar kalau pemuda itu
tidak bisa dianggap remeh. Dan ini merupakan sebuah penghinaan untuknya!
"Anjing buduk! Rupanya kau memang benar-benar punya kelebihan!!" makinya geram
setelah hinggap di tanah dan berhadapan dengan Joko Bara.
Joko Bara terbahak. "Hahaha...
agaknya kau memang benar-benar kaget, Iblis! Lumayan bukan, ilmuku cukup untuk
menghentikan sepak terjang manusia busuk macam kau!!"
Mendengar kata-kata itu Sembarita
semakin memerah wajahnya. Lalu dia pun menerjang kembali diiringi dengan
pekikan yang keras.
Sembarita pun merasa ini bukanlah
main-main lagi, karena pemuda itu
benar-benar tangguh. Dan membuktikan ucapannya.
Joko Bara sendiri pun segera
melesat memapaki serangan Sembarita.
Pertarungan antara
keduanya berlangsung dengan sengit dan hebat.
Masing-masing memperlihatkan
kehebatannya. Jurus demi jurus pun berlangsung
dengan ketat. Saling serang dan saling menghindar.
Penggekrawung yang melihat
kawannya itu belum juga bisa mengatasi si pemuda berseru, "Sembarita! Jangan
membuang waktu lagi!!"
Sembarita pun mempergencar
serangannya, Namun Joko Bara bukanlah pemuda kemarin sore, dia seorang
pemuda yang rupanya benar-benar
menguasai ilmu bela diri. Sampai
sejauh itu dia masih bisa bertahan bahkan membalas.
Dan dalam satu kesempatan, tiba-
tiba Joko Bara memekik keras. Memapaki jotosan Sembarita dengan tangan
kanannya. Dan dengan satu gerakan yang tak terduga, tiba-tiba dia berputar,
kakinya mengayun.
Seketika Sembarita terpana. Dan
sebelum dia menyadari apa yang
terjadi, tiba-tiba dirasakannya
dadanya sakit. Ayunan kaki Joko Bara dengan telak mengenai dadanya.
Membuat laki-laki sombong itu
terhuyung ke belakang.
Teman-temannya terkejut melihat
hal itu. Sembarita dapat dipecundangi"
Joko Bara sendiri sudah terbahak
melihat hasil kerjanya.
"Hahaha... rupanya kau memang orang yang sombong yang ternyata
kosong melompong, Sembarita! Lebih baik kau kembali saja ke partaimu! Dan
katakan pada ketuamu, agar lebih baik angkat kaki dari Desa Babakan Hijau!!"
Wajah Sembarita semakin memerah.
Kegeramannya sudah sampai ke kepala.
Hatinya penuh dendam. Di samping malu pada teman-temannya karena dia bisa
dikalahkan, juga merasa tersinggung karena perlakuan pemuda itu.
Lalu dia pun berdiri tegak.
Tatapannya memancarkan sinar ber-
bahaya. "Pemuda sombong! Mampuslah kau!!"
geramnya seraya menyerbu menyerang.
Joko Bara hanya terbahak. Kembali keduanya bertarung dengan hebat. Namun lagi-
lagi terlihat kalau Sembarita yang terdesak kali ini.
Dan sekali lagi tendangan yang
dilancarkan oleh Joko Bara mengenai sasarannya.
Begitu Sembarita terhuyung,
teman-temannya pun segera berlompatan mengurung Joko Bara. Tetapi pemuda itu
hanya terbahak saja.
"Hahaha... kini sudah terlihat bukan, kalau kalian adalah orang-orang pengecut!"
"Anjing kurapan!" memaki Penggekrawung dengan geram. Harga dirinya
pun tersinggung dengan kata-kata
pemuda itu. Lalu dia mengangkat
tangannya pada teman-temannya. "Mundur kalian semua, biar kuhajar pemuda tak
tahu diri ini!!"
Serentak teman-temannya mundur.
Joko Bara terbahak lagi dan melihat tatapan Penggekrawung yang buas dan
berbahaya padanya.
"Hahaha... rupanya kau punya
nyali juga, Orang jelek! Apakah kau menginginkan nasib seperti kawanmu itu"!"
tertawa Joko Bara sambil menunjuk Sembarita yang tengah menahan sakit di dada. Bahkan dia tidak
sanggup untuk bangkit karena dadanya dirasakan sakit sekali.
Wajah Penggekrawung memerah
marah. "Bedebah! Mampuslah kau!!"
geramnya marah dan menyerbu ke depan.
Joko Bara pun segera melayaninya.
Kini perkelahian terjadi kembali.
Teman-teman Penggekrawung hanya bisa menahan marah dan mengepal tangannya karena
sudah gatal untuk menghajar pemuda sombong itu. Sementara salah seorang menolong
Sembarita. Penggekrawung sendiri tidak mau
menganggap enteng pemuda ini. Karena dia sudah tahu kekuatan yang dimiliki
pemuda ini. Maka dia pun bertindak dengan hati-hati. Namun serangan-serangannya
amat kejam dan telengas.
Joko Bara sendiri pun cukup
terkejut ketika merasakan angin dingin keluar dari tangan Penggekrawung kala
laki-laki itu menggerakkan tangannya.
Dan dia pun dapat menduga, kalau ilmu kanuragan yang dimiliki Penggekrawung
lebih tinggi daripada yang dimiliki Sembarita.
"Hahaha... kau mau lari ke mana, Bocah"!" Terbahak Penggekrawung kala Joko Bara
bersalto berulang kali
menghindari pukulan, jotosan dan
tendangan yang dilancarkan oleh
Penggekrawung. Serangan-serangan itu begitu
cepat. Tetapi Joko Bara memang sudah
membulatkan tekad, untuk berusaha
membasmi manusia-manusia durjana itu.
Dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga dia berusaha bertahan.
Bahkan dia pun mencoba untuk
membalas. Namun desakan yang gencar dilan-
carkan oleh Penggekrawung membuatnya kewalahan juga. Ternyata lain
Sembarita lain pula Penggekrawung.
Menyadari lawannya tengah kebingungan karena terdesak, Penggekrawung
terbahak. "Hahaha... lebih baik kau
membunuh diri saja, Bocah sombong!
Sebelum tanganku begitu telengas
membunuhmu! Hhhh! Jangan salahkan aku
bila semua itu terjadi"! Ini
dikarenakan perbuatan usilmu yang
ingin campur tangan urusan orang
lain!!" bentak Penggekrawung sambil terus mencecar Joko Bara dengan
cepatnya. "Jangan kau pikir aku takut,
Manusia busuk!!" balas Joko Bara tak mau kalah. Dia berkelit ke kiri dengan
cepat kala tangan Penggekrawung
bergerak ke arah dadanya. Lalu dia pun bersalto ke belakang kala kaki
Penggekrawung bergerak ke arah kedua kakinya, meneruskan rangkaian serangan
tadi. "Ke mana pun kau lari akan
kukejar!!"
"Hhh! Kemana pun kau kejar aku akan lari... hahahaha!!" terbahak Joko Bara
meskipun dalam keadaan terdesak.
Dan mendengar kata-kata yang
diputar balikkan itu, membuat dada Penggekrawung semakin membara.
Darahnya seketika mendidih.
"Anjing buduk! Kau tak akan bisa lepas dari tanganku!!" makinya geram sambil
menyerbu. Joko Bara pun segera mengimbangi kembali.
Jurus demi jurus pun tetap
berlangsung. Dan Joko Bara lah yang kelihatan terdesak. Tetapi sampai saat itu,
Penggekrawung belum juga bisa menjatuhkannya. Hal ini makin
membuatnya buas dan marah.
"Hehehe... mengapa kau tidak
segera buktikan
ucapanmu, Orang
jelek"!" terkekeh Joko Bara sambil bersalto menghindari pukulan lurus yang
dilontarkan oleh Penggekrawung.
Namun Penggekrawung yang telah
geram mencecar secara membabi buta, segera melancarkan satu tendangan ke arah
perut Joko Bara. Joko Bara
berhasil menghindari tendangan itu, namun karena tenaganya sudah cukup terkuras,
entah bagaimana dia
kehilangan keseimbangannya saat
menghindar. Dan posisi demikian,
Penggekrawung bergerak cepat. Melayang ke arahnya. Satu jotosan tangannya
menghantam Joko Bara yang makin
terhuyung. Lalu ambruk ke tanah karena
benar-benar hilang keseimbangannya.
Penggekrawung terkekeh. Karena
berhasil juga menjatuhkan pemuda
sombong itu. "Hahaha... rupanya hanya sampai di situ saja kebiasaanmu, Pemuda
sombong!!"
Joko Bara pun perlahan-lahan
mengumpulkan lagi segenap tenaganya.
Lalu bangkit. Kedua tangannya
mengepal. Dia berdiri gagah dengan sepasang mata terbuka, nyalang.
"Hhh! Orang sepertimu juga tak layak untuk hidup lebih lama!"
balasnya. "Monyet jelek! Kau benar-benar minta mampus"!"
Joko Bara mendengus walaupun dia
menahan sakit di dadanya. "Hhh! Kau pikir aku takut mati, Orang jelek"!
Aku lebih suka mati berkalang tanah dari pada hidup melihat kalian
berpetualang minta darah dan
kematian!!"
"Bangsat! Rupanya aku tidak perlu main-main lagi!!" geram Penggekrawung.
"Hmm... apakah sejak tadi kau main-main, Orang jelek?"
"Kurap!"
Penggekrawung mencabut goloknya.
Golok itu tebal dan berkilat-kilat.
Gagangnya berwarna hitam.
"Hmm... tak sanggup untuk
membunuh ku dengan tangan kosong, harus memakai senjata rupanya. Tapi baiklah,
tak sejengkal pun aku akan mundur dari hadapan wajahmu yang busuk itu!!"
"Setan!!" maki Penggekrawung dan tubuhnya pun sudah melesat ke depan, dengan
satu kibasan golok yang seakan hendak membelah tubuh Joko Bara dari kepala ke
bawah. Joko Bara pun berkelit ke kiri.
Namun bersamaan dengan itu, golok di tangan Penggekrawung pun bergerak ke kiri.
Kibasan angin yang
ditimbulkannya cukup membuat bulu
kuduk berdiri. Golok itu seakan mempunyai mata,
karena ke mana Joko Bara berkelit, pasti golok itu bergerak menyusul. Dan ini
sungguh-sungguh merepotkannya.
Rupanya Penggekrawung
seorang yang ahli dalam memainkan ilmu golok.
"Hahaha... kau akan mampus di tanganku, Pemuda kurapan!" makinya sambil terus
mencecar. "Tetapi sejak tadi, kau belum membuatku mampus!!" balas Joko Bara sambil terus
menghindar. Serangan golok yang dilancarkan
oleh Penggekrawung benar-benar hebat.
Joko Bara hingga saat ini berhasil menghindarinya. Namun satu ketika
terdengar seruan dari Penggekrawung yang cukup keras. Dan tubuhnya pun tiba-tiba
melayang deras ke arah Joko Bara.
Joko Bara terkejut. Dia langsung
bersalto ke depan. Namun sungguh di luar dugaan, Penggekrawung pun tiba-tiba
bersalto ke belakang. Bergerak menyusul Joko Bara dengan golok di tangannya.
"Hait!!" pekik Penggekrawung.
"Hei!!" jerit Joko Bara kaget.
Karena hanya beberapa senti saja golok di tangan Penggekrawung berada di
dekat tubuhnya. Itu pun dia cepat
menjatuhkan diri ke tanah, bila saja dia terlambat, maka mampuslah Joko
Bara! Namun satu pameran ilmu golok
yang dipamerkan oleh Penggekrawung tidak hanya sampai di sana saja. Tiba-tiba
dia berputar bagaikan angin ke arah Joko Bara dan goloknya pun
kembali menebas.
"Wut!"
Joko Bara berhasil merunduk
menghindari tebasan golok itu, namun satu tendangan yang dilancarkan secara
bersamaan oleh Penggekrawung sukar untuk dihindarinya. Tak ayal lagi dadanya pun
terhantam tendangan itu.


Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Des!"
Kembali tubuh Joko Bara terhuyung kebelakang.
Saat dia berhasil
menguasai keseimbangannya, nampak dia muntah darah. Nafasnya sudah terengah-
engah. Tenaganya benar-benar terkuras habis. Dan matanya berkunang-kunang.
Sementara Penggekrawung terbahak
melihat pemuda itu muntah darah.
"Hhh! Mampus kau!!" bentaknya karena tak ingin membuang waktu lagi.
Diiringi satu pekikan yang keras,
tubuhnya pun melayang dengan golok lurus di tangan.
Keadaan Joko Bara memang sudah
memprihatinkan. Dia sudah tidak mampu lagi untuk menghindar. Jangankan untuk
menghindar dengan cara bersalto,
menggeser tubuhnya saja pun dia sudah tidak sanggup.
Ajal sepertinya siap untuk
menjemput Joko Bara.
Namun tanpa diduga siapa pun,
sesosok bayangan hitam berkelebat dan membawa pergi tubuh Joko Bara.
Golok Penggekrawung menghunjam di
tanah. "Hei!!" seru Penggekrawung terkejut.
Namun bayangan hitam itu terus
berkelebat pergi dengan membawa tubuh Joko Bara dan
samar-samar nampak
secarik kertas melayang-layang di
udara dan jatuh di tanah.
Rembaga mengambil kertas itu. Ada
beberapa baris tulisan. Dia
membacanya. "Kehancuran untuk Golok Hitam sudah diambang pintu. Si Tua Tongkat Kayu."
Orang-orang itu berpandangan. Si
Tua Tongkat Kayu. Siapa dia" Mengapa begitu berani ikut campur tangan
urusan Golok Hitam" Hhh! Pasti seorang tua yang iseng dan tak punya kemampuan
apa-apa! Mereka kembali ke rumah makan
itu. Orang-orang yang diam-diam
menonton tadi, buru-buru menghadapi hidangannya. Roro Dewi kali ini yang
melayani mereka. Orang-orang beringas itu makan dengan sepuasnya dan sekali-
sekali mencolek lengan, pipi, dagu, hidung Roro Dewi, yang hanya
menerimanya dengan pasrah saja, namun dengan perasaan muak di hati.
Apalagi suara orang-orang itu
demikian kerasnya, membuat gendang telinga Roro Dewi seakan mau pecah.
Dan dengan congkaknya Penggekrawung memuji dirinya sendiri karena berhasil
mengalahkan pemuda itu.
Setelah puas makan dan minum,
barulah orang-orang itu berangkat
tanpa membayar sepeser pun. Sedangkan Roro Dewi kembali mandi lagi untuk
menghilangkan kuman yang tertinggal di wajahnya dari tangan orang-orang itu.
Lalu dia pun segera berangkat ke
Padepokan Melati Putih untuk
meneruskan belajar menarinya. Roro
Dewi mempunyai cita-cita ingin
menghibur baginda raja di keraton.
Atau kalau bisa, Roro Dewi ingin
sekali menjadi selirnya!
Itulah sebabnya dia selalu giat
berlatih menari di Padepokan Melati Putih pimpinan Nyi Ratih Alas Kembang.
Sekali waktu dia memang amat
cemas dengan perlakuan orang-orang Golok Hitam terhadap diri dan ayahnya.
Juga terhadap warga desa lainnya.
Namun dia berusaha untuk
menghilangkan semua ketakutan itu.
Karena giatnya, dengan rasa ketakutan atau pun tidak, orang-orang itu tetap
akan menyebarkan terornya pada siapa saja yang membangkang mereka. Jadi buat apa
dia ketakutan" Sebenarnya Roro Dewi sejak tadi memperhatikan sejak terjang dari
Joko Bara. Dia menjadi amat kagum dengan keberanian pemuda itu.
"Tapi sayang. aku tidak mencintai pemuda itu. Bila saja aku punya rasa simpati,
pastilah aku amat bangga
terhadapnya.... Dan tentulah aku amat menginginkan dia menjadi pendamping dan
pelindungku...." desisnya. "Tapi sayang... aku tak punya perasaan apa-apa...."
* * * 4 Kuda hitam itu berhenti tepat
didepan rumah makan milik Wayan Tua.
Pandu turun dari sana. Namun dia
sungguh terkejut karena dengan tiba-tiba saja, Wayan Tua menyuruhnya untuk
meninggalkan kedainya.
"Ada apa, Bapa?" tanyanya keheranan.
"Anak muda... cepatlah kau
tinggalkan kedai ini.... Cepatlah...."
desis Wayan Tua dengan ketakutan.
Kepalanya mencari-cari sesuatu yang nampaknya mampu membuatnya menjadi ketakutan
seperti itu. "Kenapa, Bapa?" tanya Pandu pula.
"Apakah kedatangan saya mengganggu?"
"Ya, kedatanganmu mengganggu
sekali di sini, Anak muda!" kata Wayan Tua tegas.
"Tapi, Bapa...."
"Anak muda... akibat perlakuanmu itu, orang-orang Golok Hitam semakin telengas
menurunkan tangan. Sebaiknya kau pergi saja dari sini. Cepat!"
"Apa yang telah mereka lakukan, Bapa?"
"Tak perlulah kau banyak
bertanya! Cepat tinggalkan tempat
ini!" Pandu dapat menangkap kalau wajah
si Bapa ini amat ketakutan sekali. Dan Pandu pun dapat mengira-ngira apa dan
siapa yang membuatnya ketakutan.
Golok Hitam.... Hmm... mereka
merupakan satu momok abadi yang amat menakutkan dan mampu membuat orang
terkencing-kencing mendengarnya. Dalam lubuk hati Pandu, rasa penasaran untuk
membasmi orang-orang itu semakin
besar. Lalu untuk mengenakan hati si
Wayan Tua, Pandu pun menaiki kudanya kembali. Sebelum dia menggebrak
kudanya, dia berkata:
"Bapa maafkan bila perbuatanku tempo hari malah menyulitkanmu...."
Si Wayan Tua hanya diam saja.
Sebagian bebannya seolah lenyap dengan perginya anak muda itu. Tetapi dia pun
menjadi amat was-was karena kini tak ada lagi yang berani untuk mencoba
menentang atau pun menghadapi sepak terjang dari orang-orang Golok Hitam.
Dua pemuda yang gagah perkasa pun
harus pergi dari sini. Pertama, pemuda bercaping itu. Bahkan dia sendiri yang
mengusirnya. Kedua Joko Bara... pemuda petani yang gagah berani, namun sia-sia
belaka. Wayan Tua pun kembali masuk ke
kedainya. Sejak kejadian beruntun
beberapa hari yang lalu, kedainya
semakin lama semakin sepi saja
dirasakan. Para penduduk yang biasa sering makan di kedainya, nampak sudah amat
ketakutan karena sepak terjang orang-orang Golok Hitam semakin kejam saja.
Sedangkan para pendatang yang hendak makan di kedai itu, setelah mengetahui
keadaan yang sesungguhnya menjadi undur diri. Mereka lebih suka makan di tempat
lain, sekali pun
mereka merasa sayang karena mereka mendengar kabar betapa cantiknya Roro Dewi
putri dari Wayan Tua.
Wayan Tua mengeluh dalam. Namun
belum lagi keluhannya putus, tiba-tiba pintu kedainya digebrak dari luar.
Sembarita, Rembaga dan Penggekrawung berdiri dengan wajah angker. Terkejut Wayan
Tua menoleh ke belakang.
"Oh! Selamat... selamat pagi, Tuan-tuan...." katanya dengan suara
bernada takut. "Pagi!" suara Penggekrawung angker terasa. Mengejutkan. Wajahnya pun semakin
garang saja kelihatannya.
"Oh, silahkan... silahkan duduk, Tuan-tuan...."
"Hhh!!" Menggeram Penggekrawung.
"Wayan Tua... apakah kau sekarang masih ingin mungkir, kalau kau
berhubungan dengan pemuda sialan
itu"!"
"Pemuda... pemuda yang mana,
Tuan?" "Jangan banyak cingcong! Dan
jangan jual lagak di depan kami!!"
"Sungguh, Tuan... saya tidak tahu maksud tuan...."
"Settan!!" Tangan Penggekrawung bergerak, melayang dan hinggap di pipi Wayan
Tua. "Plak!!"
Tubuh yang cukup tua dengan rasa
takut yang luar biasa, terpental kala tangan itu menyambar pipinya. Sungguh
penderitaan semacam inilah yang amat ditakutkan Wayan Tua.
Penggekrawung memburu dan
menginjak dada yang renta itu.
"Katakan cepat! Dan jangan banyak menjual lagak lagi, bila kau masih ingin
dadamu ini utuh dan tidak hancur diinjak kakiku!!"
"Sungguh, Tuan... saya tidak
berhubungan dengannya...." meringis
Wayan Tua menahan sakit.
"Bangsat!! Kau pikir orang kami buta sehingga salah melihat, Wayan Tua"!"
"Tapi... pemuda itu datang tanpa kuundang, Tuan.... Dia bahkan aku usir untuk
segera meninggalkan kedaiku
ini!" Penggekrawung terbahak.
"Bagus, bagus apa yang telah kau lakukan, Wayan Tua... Tapi mengapa kau harus
berbohong padaku, hah"! Mengapa kau tidak melaporkan semua itu padaku, hah"!
Mengapa kau tidak melaporkan semua itu padaku, hah"! Kau mau coba-coba dengan
kami, Wayan Tua"!"
"Tidak, Tuan.... Tidak.... Semula aku memang berniat untuk
memberitahukan kalian. Namun kedaiku ini tidak ada yang menjaga. Semua
pelayan dan pembantuku sedang belanja di kota. Lalu... lalu kupikir, nanti siang
atau sorelah aku baru melaporkan hal ini pada tuan...." Sembarita terbahak. Dan
mengangkat kakinya dari dada yang tua itu. Wayan Tua merayap bangun perlahan
sambil meringis.
"Bagus, bagus.... Lalu dimana
putrimu itu si Roro Dewi?"
"Oh, dia... dia ada di kamarnya, Tuan...."
"Cepat suruh dia keluar! Dan
katakan padanya, kami ingin dilayani olehnya!!"
Tak berani membantah karena
kuatir tangan kekar dan kejam itu
melayang kembali, Wayan Tua bergegas masuk ke kamar putrinya. Ketiga orang itu
terbahak sambil menuju ke tempat duduk. Sikap mereka benar-benar begitu kejam
dan amat kurang ajar.
Sementara di kamar putrinya,
Wayan Tua berusaha keras untuk
membujuk Roro Dewi agar dia mau keluar untuk menemani ketiga orang itu.
"Tapi Bapa... aku sesungguhnya takut dengan mereka, Bapak...." kata Roro Dewi
bagaikan keluhan belaka.
"Begitu pula aku, Roro.... Aku pun tak bisa berbuat apa-apa
menghadapi mereka. Yah... mungkin aku terlalu lemah sebagai seorang laki-laki,
juga sebagai seorang ayah yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk
melindungi keluarganya. Yah... maafkan Bapa, Roro...."
Roro Dewi menjadi tidak tahan
melihat ayahnya bersikap seperti itu.
Sungguh mati, sebenarnya dia tidak tahan diperlakukan semuanya saja oleh orang-
orang seram itu. Bahkan tindakan mereka selalu amat kurang ajar.
Namun dia pun pasrah pada keadaan
yang tengah menjeratnya. Dan semua itu mau tidak mau harus dihadapinya. Lalu
dihampirinya ayahnya.
"Bapa... tenanglah... Janganlah Bapa berkata seperti itu. Ini mungkin sudah
nasib kita, Bapa.... Biarlah
semua kita jalankan semampu kita. Bapa mengerti, bukan?"
Wayan Tua hanya mendesah saja.
Jelas dia malu dengan apa yang
terjadi di sini. Apa yang menimpa
keluarganya. Namun sebagai laki-laki dia tidak bisa berbuat apa-apa. Namun tidak
sepenuhnya Wayan Tua tidak bisa berbuat apa-apa.
Karena dia mengambil sikap
mengalah ini, demi anaknya. Demi
putrinya tercinta. Maka dia biarkanlah semua harga dirinya jatuh terinjak, yang
penting baginya... putri
kesayangannya itu, putrinya semata wayang, tidak diperlakukan dengan cara yang
amat kurang ajar. Meskipun Wayan Tua sebenarnya tidak tahan bila
melihat perlakuan orang-orang itu
terhadap putrinya.
Ditatapnya wajah putrinya yang
amat jelita. Tanpa sadar dia jadi
teringat dengan mendiang istinya yang harus membayar semua ini dengan mahal.
Teramat mahal, karena dia berjuang antara hidup dan mati untuk melahir-kan Roro
Dewi 17 tahun yang lalu.
Dan semua itu memang harus
dibayar dengan mahal. Karena begitu Roro Dewi dilahirkan, maka tak lama kemudian
nyawanya pun melayang.
Tanpa sadar pula air matanya
mengalir. Roro Dewi melihat hal itu.
"Mengapa, Bapa" Mengapa Bapa
menangis?" tanyanya pelan namun hatinya pilu. Dia yakin, tangis
ayahnya itu bukanlah satu bentuk
tangis kebahagiaan, melainkan tangis kepedihan dan kesusahan.
Wayan Tua bergegas mengusap air
matanya. Malu dia terlihat menangis oleh putrinya.
Dia tersenyum walau terasa sekali
di mata Roro Dewi kalau semua itu
dipaksakan. "Aku tidak apa-apa, Roro...."
"Lalu mengapa Bapa menangis?"
tanya Roro Dewi tidak tahan dan
menjadi penasaran.
Wayan Tua sekali lagi mendesah.
"Aku teringat akan ibumu, Roro...
Yah, sudahlah... tidak perlu lagi
diingat masa yang telah lewat. Dan kesedihanku yang sekarang ini, aku seolah
membiarkan saja kau masuk ke perangkap dan ke sarang macan orang-orang Golok
Hitam.... Aku sedih
sekali, Roro...."
"Bapa... sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Bila aku tidak melakukan hal itu,
maka kita semua ini akan


Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hancur binasa. Untungnya, mereka tidak melakukan hal yang teramat kurang
ajar, meskipun hatiku terasa pedih dan teramat sakit bila mengingat
perlakukan mereka itu...."
"Maafkan Bapa, Roro.... Bapak
tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bila Bapa menentang mereka, maka yang Bapa
kuatirkan adalah nasib kau. Nasib kau sesungguhnya berada di tangan Bapa. Di
sikap Bapa. Dan begitu pula
sebaliknya. Nasib Bapa pun berada di tangan kau. Dari sikap kau terhadap orang-
orang itu. Bila kita sedikit saja
melakukan kesalahan bersikap,
maka habislah kita...."
"Wayan Tuaaa!!!" Terdengar seruan itu. "Mengapa kau begitu lama, hah"!"
"Cepatlah, Roro... manusia-
manusia itu sudah tidak sabar lagi untuk kau temani...."
"Baiklah, Bapa... untuk saat ini kita harus menurut pada mereka. Namun suatu
ketika, kita akan terbebas dari mereka..,." kata Roro Dewi mantap dengan nada
yang amat yakin sekali akan kemungkinan itu.
Wayan Tua sendiri terperangah
mendengar kata-kata yang dilontarkan dengan nada yang meyakinkan.
Lalu dia melihat Roro Dewi telah
bersalin dari balik kamarnya. Dan
dilihatnya pula langkah ringan
putrinya berjalan ke arah orang-orang yang menunggu itu. Wayan Tua merasa seakan
melepas putrinya ke sarang
macan. Dan dia hanya bisa menunggu dengan hati yang teramat cemas.
"Tuhan, lindungilah kami dari kekejaman orang-orang telengas ini...."
desisnya pilu dan hampir selalu dia mengucapkan doa itu.
Dan dia hanya bisa memperhatikan
dengan hati yang pilu melihat putrinya diperlakukan dengan kurang ajar oleh
orang-orang itu sambil terbahak-bahak.
Wayan Tua pun dapat merasakan
kesedihan apa yang diderita oleh
putrinya. Rasa malu dan rasa marah tentunya bercampur dengan rasa tidak berdaya.
"Maafkan Bapak, Roro...."
* * * 5 "Mulai besok malam, Roro Dewi sudah berada di sini! Mengerti"!"
Membentak Gondeng dengan suaranya yang keras. Membuat anak buahnya terkejut.
"Baik, Ketua," sahut
Penggekrawung. "Dan aku tidak ingin kalian berlambat-lambat lagi! Mencari pemuda
bercaping itu saja hingga
sekarang kalian belum berhasil juga!
Apa sebenarnya yang bisa kalian
lakukan, hah"!"
Mereka hanya menundukkan kepala.
Tak ada satu pun yang berani mendeham, menyahut. Bahkan bernafas saja mereka
seakan kesusahan. Namun dalam hati mereka menggerutu, "Sialan... siapa pun mau
sama Roro Dewi yang cantik
itu...." Namun sudah tentu hal itu tidak mereka kemukakan.
Karena bila mereka lakukan itu,
maka artinya mereka tengah mencoba menentang maut.
Jadi yang bisa mereka lakukan
sekarang, hanyalah menganggukkan
kepala saja. Karena tak ada lagi yang dapat mereka lakukan.
"Hhh! Kalian ini adalah kambing-kambing congek yang tak punya malu!
Bisa kalian hanya mengangguk dan
berjanji untuk memenuhi semua
keinginanku. Namun mencari pemuda
bercaping itu saja kalian tidak tahu!
Goblok semuanya!! Dan apakah kalian akan gagal pula membawa Roro Dewi ke sini"!"
Penggekrawung menyahut. "Tidak, Ketua... Kami tidak akan pernah
gagal...."
"Hmm... bagus, aku amat senang mendengar omongan seperti itu. Tetapi aku amat
tidak senang bila melihat hasil yang kalian perbuat nol belaka!
Kosong melompong tanpa satu bentuk yang membanggakan! Mengerti?"
"Ya, Ketua!"
"Hmm... lebih baik kalian
keluarlah dari sini! Aku muak melihat tampang bodoh kalian!!"
Satu persatu mereka keluar
meninggalkan ruangan itu. Lalu Gondeng sendiri segera masuk ke kamarnya. Di
mana di sana sudah menunggu dua orang wanita muda dengan pakaian minim yang
merangsang dan wajah tidak sabar.
Gondeng tertawa melihatnya.
Tak lama kemudian di kamar itu
pun terdengar desah mesum dan tawa yang dapat menggoda napsu birahi.
Malam semakin larut.
Suara mesum dari kamar itu makin
jelas terdengar. Membuat gairah makin memuncak.
"Wayan Tua!! Panggil Roro Dewi ke mari! Cepat!!" Terdengar seruan itu demikian
keras. Mengejutkan telinga Wayan Tua yang berada di ruang tengah.
Juga membuat terkejut Roro Dewi yang tengah bersiap-siap untuk berlatih menari
di Padepokan Melati Putih
pimpinan Nyi Ratih Alas Kembang.
Tergopoh-gopoh Wayan Tua muncul
dari dalam. Terbungkuk-bungkuk dia berkata, "Oh, selamat datang, Tuan-tuan....
selamat datang...."
Penggekrawung menendang sebuah
kursi. "Panggil Roro Dewi keluar!"
"Oh, dia... dia...."
"Panggil cepat!!"
"Putriku... sedang... bersiap-siap hendak latihan menari, Tuan...."
"Perduli setan! Cepat panggil dia keluar! Aku tidak mau bertele-tele, Wayan
Tua!" "Tapi, Tuan...."
"Bangsat!!" Tangan Penggekrawung melayang. Panas sekali Wayan Tua
terasa di pipi. "Jangan coba-coba membantah, Wayan Tua! Panggil dia!"
"Roro Dewi...."
"Plak!"
Kali ini dengan hentakan tubuh
yang terpelanting.
"Orang bodoh! Goblok! Panggil Roro Dewi, cepat!!"
Namun Wayan Tua tetap menolak.
Dia yakin sekali kalau orang-orang ini punya maksud yang amat tidak baik.
Karena melihat dari sikap mereka yang berangasan seperti ini. Entah mengapa
Wayan Tua merasakan kalau putrinya hendak diculik oleh orang-orang
beringas itu! Maka dia bersikeras untuk tidak
memanggil. Sembarita mendengus keras.
Kakinya melayang.
"Des!"
Tubuh tua yang hendak bangkit itu terpelanting kembali.
"Banyak cingcong!" geram Sembarita,
"Biar aku cari gadis itu"
dengusnya pula seraya melangkah ke dalam.
Wayan Tua yang yakin kalau
putrinya hendak diculik berusaha
menahan langkah Sembarita. Dia
menubruk kaki Sembarita. Dan
memegangnya dengan erat sekali.
"Anjing buduk!" geram Sembarita seraya menendang. Namun dekapan tangan yang amat
kuat itu tak terlepas.
Membuat Sembarita semakin jengkel.
"Bangsat!!" Dia menendang lagi. Dan lagi. Semua itu dilakukan dengan
kekejaman yang luar biasa. "Mampuslah kau, orang tak berguna!!" dengusnya dan
menjejakkan kakinya ketangan yang masih berusaha untuk menahan
langkahnya itu. Namun genggaman tangan itu bagaikan dekapan belaka. Teramat kuat
mengikat. Kegeraman Sembarita semakin
menjadi-jadi. Dengan ganas dan
berulangkali tanpa rasa kasihan
sedikit pun, dia menjejak-jejakkan kakinya terus menerus. Hingga tangan itu pun
luka dan mengeluarkan darah segar.
Wajah Wayan Tua meringis menahan
sakit yang amat luar biasa. Namun dia masih berusaha untuk menahan langkah
Sembarita. Sayup berat dan samar dia
berseru, "Roro... Roro... cepat tinggalkan tempat ini! Cepat, Roro!"
Sebenarnya tanpa diperintahkan
seperti itu pun Roro Dewi sudah
melihat kejadian yang menimpa ayahnya.
Keadaan ayahnya amat menyedihkan
sekali. Dia dapat melihat pula kedua tangan ayahnya yang erat menggenggam kaki
Sembarita telah penuh dengan
darah. Dan dia pun melihat pula sebelah
kaki Sembarita yang bebas, berulangkali menjejak di kedua tangan ayahnya.
Pilu Roro Dewi mendesah,
"Tuhan... selamatkan nyawa ayahku dari orang-orang beringas itu...."
Lalu dia pun segera berkemas. Dan
kala dilihatnya Penggekrawung dan
Rembaga bergegas menuju ke dalam, dia pun berlari melalui pintu belakang.
Sebenarnya dia tak kuasa untuk
meninggalkan ayahnya dalam keadaan disiksa seperti itu. Namun mau tak mau dia
memang harus meninggalkannya.
Menurutnya, dia atau ayahnya yang
harus berkorban. Bila kedua-duanya yang berkorban, maka akan terasa makin sia-
sia. Sambil terus berlari dia mendesah pelan, "Maafkan aku, Bapa...."
Sementara Penggekrawung dan
Rembaga mendengus hebat menyadari Roro Dewi sudah tidak ada di tempatnya.
"Bangsat!" Menggeram
Penggekrawung sambil menendang ranjang milik Roro Dewi hingga hancur
berantakan. Lalu dia pun mengacak-ngacak
seisi kamar itu, sedangkan Rembaga telah berlari ke luar. Dan tidak
melihat bayangan Roro Dewi yang masih nampak.
"Anjing!! Setan!" Dia pun mendengus hebat. Tangannya melayang ke dinding
belakang rumah Wayan Tua,
dinding itu pun bolong seketika.
Lalu dengan wajah panas dan
kejengkelan yang amat luar biasa,
keduanya kembali ke dalam. Dan melihat Sembarita sudah berhasil membebaskan
diri, dan tengah menendang dada Wayan Tua hingga terpelanting muntah darah.
"Bagaimana" Mengapa Roro Dewi tidak bersama kalian?" tanyanya melihat kedua
temannya kembali tanpa Roro Dewi.
"Dia sudah melarikan diri!" geram Rembaga. Dan menghampiri Wayan Tua yang nampak
sedikit tersenyum
mendengar hal itu.
"Ini semua gara-gara kau, laki-laki tak
berguna!!" Lalu kakinya
melayang dengan deras.
"Des!"
Kembali sosok tua itu harus
terpelanting ke belakang dan kembali muntah darah.
Menyadari hal itu, Sembarita pun
menjadi semakin buas. Demikian pula dengan Penggekrawung. Dan ketiganya pun
menjadikan tubuh Wayan Tua seperti bola yang dioper ke sana ke mari
belaka. Namun meskipun mengalami siksaan
yang amat hebat, sekali pun tidak
terdengar seruan kesakitan dari mulut
Wayan Tua. Dia sepertinya mandah dan pasrah saja pada Tuhan akan nasib yang akan
dideritanya. Hal ini semakin membuat orang-
orang itu marah.
"Anjing!" bentak Penggekrawung.
"Bunuh saja manusia tak berguna ini!"
Rembaga pun segera meloloskan
goloknya yang besar.
"Memang tak layak hidup manusia seperti ini!" geramnya. Dan tangannya pun
mengayun, goloknya siap mengancam.
Wayan Tua yang tak berdaya hanya bisa memejamkan matanya belaka.
Namun tiba-tiba saja ayunan
tangan yang memegang golok besar itu terhenti. Dan kaku dengan tangan dan golok
yang masih terangkat.
Lalu terdengar suara benda jatuh
di dekat kaki Rembaga. Ketika mereka lihat, sebuah kerikil yang jatuh tadi.
Dan kerikil itulah yang membuat tubuh Rembaga menjadi kaku. Rupanya ada
seseorang yang melemparkan kerikil itu dari jarak jauh untuk menotok Rembaga.
"Bangsat!! Siapa yang berani buat ulah seperti ini, hah"!" Menggeram
Penggekrawung dengan mata bersiaga.
"Keluar kau, Manusia pengecut!"
Namun Penggekrawung tak perlu
lagi untuk meneriakkan kata yang sama untuk kedua kalinya, karena mendadak saja
bagai ada angin keras yang
datang, tiba-tiba terlihat satu sosok
tubuh berdiri tegak di hadapan mereka.
Wayan Tua cukup terkejut melihat
sosok itu. Tadi pun dia heran dan
membuka matanya karena merasa golok Rembaga tidak segera menjalankan
tugasnya. Sosok itu seorang pemuda gagah.
Dia berbaju putih. Di punggungnya
terdapat sebilah golok yang sarungnya terbuat dari batang kayu yang
berlapiskan timah kuning.
Dan dia mengenakan caping yang
menutupi sebagian wajahnya. Dia adalah Pandu, Pendekar Gagak Rimang.
"Anak muda!" desis Wayan Tua tidak sadar.
Sementara orang-orang itu pun tak
kalah terkejutnya melihat siapa yang datang dan siapa yang telah membuat kawan
mereka menjadi kaku seperti itu.
Pemuda yang telah lama mereka
cari. "Kau?" dengus Penggekrawung.
Wajah yang sebagian hampir
tertutup oleh caping itu, mendengus.
"Ya, aku yang datang. Dan akan menghentikan sepak terjang kalian!"
"Sombong!"
"Hmm... kalian akan melihat
seperti apa omongan yang baru saja kuucapkan tadi! Dan aku bukanlah orang
pengecut seperti kalian, yang hanya bisa mengeroyok orang yang lemah tak
berdaya! Aku juga bukan orang yang
kejam, yang telengas menurunkan
tangan! Bila kalian ingin bertobat dan berjanji tidak akan melakukan hal
seperti ini lagi, maka aku akan


Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengampuni semua perbuatan kotor
kalian!" Tetapi kata-kata itu malah
membuat mereka menjadi geram dengan wajah memerah. Lalu disusul dengan tawa yang
keras. "Hahaha... sombong! Kita buktikan dulu apa yang bisa kau perbuat, hah?"
"Apakah kalian masih belum kapok atau sudah lupa yang kalian alami
beberapa minggu yang lalu" Atau kalian masih ingin merasakan kerasnya kepalan
tanganku"!"
"Sombong!" geram Sembarita dan mencoba untuk melepaskan totokan pada tubuh
Rembaga. Namun dia terkejut, karena totokan itu sukar untuk
dilepaskan. Mestinya menurut Sembarita totokan itu akan mudah dilepaskan,
mengingat totokan itu dilakukan dari jarak jauh dengan sebuah kerikil kecil
pula. Namun totokan itu memang
dilakukan oleh seorang yang ahli,
sehingga sulit untuk dilepaskan. Dan Pandu sudah amat ahli dengan segala bentuk
totokan, meskipun dilakukannya dari jauh maupun dekat.
Sekali lagi Sembarita melakukannya. Namun lagi-lagi totokan
itu tidak bisa terlepas. Hingga dia mengeluarkan tenaga dalamnya pun
totokan itu tetap pada tempatnya.
Malah membuat Rembaga meringis
kesakitan akibat totokan itu.
Pandulah menarik senyumnya.
"Hmm... kau nampaknya masih harus belajar lebih banyak lagi, Ki
Sanak...." desisnya yang membuat Sembarita langsung menoleh dengan mata
terbelalak garang.
"Sombong!" dengusnya.
"Kubunuh kau!"
"Hahaha... majulah, Ki Sanak...."
"Tunggu!" Tahan Penggekrawung sebelum Sembarita menyerang. Namun golok itu telah
diloloskan dari
sarungnya. Penggekrewung mendengus tajam, "Anak muda... katakanlah siapa kau sesungguhnya?"
"Dulu... bukankah sudah pernah kukatakan siapa namaku. Baiklah... aku
mengulanginya lagi. Namaku Pandu. Dan orang menjulukiku Pendekar Gagak
Rimang. Puas" Atau... ya, tentunya kau tidak puas, bukan" Baiklah... akulah yang
akan menghentikan sepak terjang kejam yang telah kalian lakukan. Juga bagi semua
orang-orang Golok Hitam!"
Kali ini Sembara tak bisa lagi
menahan emosinya. Maka dengan satu jeritan keras, dia pun menerjang.
Golok besar di tangannya yang berwarna hitam itu berkelebat dengan ganas
menyerbu. "Hati-hati dengan golok itu, Ki Sanak...." sahut Pandu sambil terus menghindar.
Golok itu memang seakan memiliki mata, namun naluri berkelebat menghindar milik
Pandu pun berjalan dengan penuh konsentrasi.
Melihat kawannya hanya dijadikan
mainan belaka oleh Pandu,
Penggekrawung pun datang
membantu. Keduanya bergerak dengan cepat.
Membabi buta dengan gerakan dan
serangan yang amat berbahaya.
Pandu pun merasa harus segera
memberikan pelajaran bagi kedua orang itu. Kini dia tidak hanya menghindar saja,
dia pun mulai membalas dengan jurus Pukulan Patuk Gagak Rimang. Kali ini kedua
lawannya benar-benar
kebingungan dan kewalahan.
Kedua tangannya yang membentuk
paruh mirip gagak berkelebat dengan gerakan yang amat fantastis sekali.
Cepat, tangkas dan hebat.
"Hahaha... di mana nama besar orang-orang Golok Hitam bila tingkah laku kalian
begitu pengecut seperti ini"!"
Seruan mengejek Pandu itu membuat
keduanya semakin ganas menyerang,
sementara Rembaga masih terdiam kaku.
Dia sungguh geram sekali menyadari dirinya tak berguna sama sekali.
Pandu lama kelamaan merasa bosan
dengan cara berlama yang dia lakukan sendiri. Semula dia hendak membuat jera
kedua manusia ini dengan cara mempermainkan mereka. Namun lama
kelamaan dia sendiri yang merasa
bosan. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya berjumpalitan ke belakang, kala golok
Penggekrawung dengan kejamnya mencoba menyabet kedua kakinya dan golok
Sembarita bergerak hendak menusuk
perutnya. Dan begitu kakinya hinggap di
lantai, tubuhnya melenting kembali, dengan kedua tangan berbentuk patuk gagak
yang siap menghantam sasarannya.
Kedua lawannya terkejut dengan
gerakan yang diperlihatkan Pandu.
Sebisanya keduanya menyabetkan golok yang mereka pegang untuk menghalau serangan
itu. Namun lagi-lagi gerakan yang aneh diperlihatkan Pandu. Begitu kedua golok
lawannya berkelebat di dada, dengan menurunkan sedikit posisi tangannya, Pandu
menangkap pergelangan tangan kedua lawannya yang memegang golok.
Lalu memuntirnya, semua gerakan
itu dilakukannya dengan cepat.
Dan kedua golok itu pun terlepas
karena kedua lawannya tidak mau kalau tangan kanan mereka patah.
Tidak hanya sampai di situ saja
yang dilakukan Pandu, begitu kedua golok lawannya berhasil pindah tangan,
dia menekuk kedua tangan dan
menghantam dada kedua lawannya dengan tangkai golok itu.
"Des!"
"Des!"
Kedua lawannya tersuruk ke bela-
kang dengan masing-masing merasakan dadanya sakit bukan kepalang. Hantaman tadi
mereka rasakan bagaikan gedoran sebuah godam besar.
Pandu mendengus seraya melem-
parkan golok itu ke belakang. Dan
hebatnya, kedua golok itu menancap di tembok yang terbuat dari batu hingga
setengahnya. Pertunjukan tenaga dalam yang hebat diperlihatkan Pandu.
"Hmm... lebih baik kalian segera pergi dari sini. Aku bukanlah orang yang kejam,
yang suka menurunkan
tangan telengas pada siapa pun.
Termasuk kalian. Namun bila kalian, masih keras kepala juga, maka aku tak kuasa
untuk menahan marahku berlama-lama.
Cepatlah kalian pergi dari sini.
Dan katakan pada pimpinan kalian...
kalau aku, Pandu... akan menghentikan segala kegiatan busuknya hingga ke akar-
akarnya!" Penggekrawung dan Sembarita yang
merasa tidak akan mampu untuk
menghadapi Pandu segera bergegas
melarikan diri, tanpa menghiraukan Rembaga yang masih dalam keadaan
tertotok. Pandu tersenyum seraya mendekati
Rembaga. "Hmm... bukankah kau lihat, bahwa sesungguhnya kedua temanmu itu amat pengecut"
Bila saja aku ingin membunuh kalian, tak ada susahnya sedikit pun.
Namun aku bukanlah kalian, juga bukan kau yang telengas menurunkan tangan.
Nah, pergilah dari sini, katakan pada pemimpin kalian, kalau aku akan datang ke
tempat kediamannya untuk
menghentikan sepak terjang kejamnya.
Nah, pergilah!" desis Pandu seraya melepaskan totokan pada Rembaga.
Tubuh yang kaku itu pun dapat
digerakkan kembali.
"Terima kasih, Pendekar...."
desisnya lalu beranjak hendak
meninggalkan tempat itu. Namun baru dua tindak dia melangkah, tiba-tiba saja dia
membalikkan tubuhnya dengan cepat, seraya menyabetkan goloknya.
Sekali pun Pandu sedang
membelakanginya, namun angin yang
cukup keras akibat sabetan golok itu dapat dirasakannya. Mendadak saja dia
melenting ke belakang dan langsung menghantamkan tangannya ke leher
Rembaga saat dia masih posisi di
udara. Terdengar suara "Krak" yang cukup keras. Leher Rembaga patah. Dan
tubuhnya menggelosor ke lantai.
Pandu mendesah panjang.
"Maafkan aku, Ki Sanak... bukan maksudku untuk membunuh. Namun kau sendiri yang
memaksaku untuk berbuat seperti itu," desahnya pilu.
Lalu perlahan-lahan dihampirinya
Wayan Tua yang tengah menahan rasa sakitnya. Pandu menotok beberapa jalan
darahnya untuk mengurangi rasa sakit yang diderita Wayan Tua. Dan
mengalirkan sedikit tenaga dalamnya melalui kedua tapak tangan Wayan Tua.
Perlahan-lahan terlihat kalau
wajah itu mulai sedikit bersinar dan tidak meringis kesakitan seperti tadi.
Hanya suaranya yang masih lemah.
"Kau...." desisnya pelan.
"Bapa sudah kukatakan sejak
semula padamu, biarkan aku berada di sini. Bila kita tidak mencoba melawan
mereka, niscaya kita akan selalu
mereka tekan, Bapa...."
"Kau benar, Anak muda...."
"Perbuatan mereka itu tidak bisa kita biarkan begitu saja, Bapa... Kita harus
melawan...."
"Ya, ya... seharusnya aku memang berani melawan mereka. Dan karena
kepengecutankulah... maka semua ini terjadi."
"Bapa... aku tahu, apa yang
terjadi. Aku pun sudah menghubungi Ki Lurah Sen Kawung. Dia sendiri angkat
tangan. Apalagi engkau. Namun mulai
detik ini kita akan mencoba untuk
menentang mereka. Ki Lurah Sen Kawung sendiri menyetujui usulku itu...."
"Anak muda... siapakah kau
sebenarnya?" tanya Wayan Tua sambil menatap lekat pada Pandu.
"Aku hanyalah seorang pengelana dari Gunung Kidul, Bapa....
Kedatanganku ke Desa Babakan Hijau ini secara tidak sengaja. Dan melihat
adanya kezaliman yang sedang terjadi di sini, aku tidak bisa lagi untuk segera
melanjutkan perjalanan. Karena belum merasa tenang bila masih melihat dan
mengingat keadaan desa ini...."
"Sungguh mulia hatimu, Anak
muda...." "Karena sebagai umat manusia, kita harus tolong menolong, bukan" Kau bersedia
untuk menentang mereka,
Bapa?" "Ya, Anak muda.... Tentu aku
bersedia...." Dan tiba-tiba saja Wayan Tua tertegun.
Pandu melihat itu dan menangkap
satu perubahan yang drastis.
Penasaran dia bertanya, "Ada apa, Bapa?"
"Roro Dewi...."
"Apa, Bapa?"
Kepala Wayan Tua terangkat,
menatap Pandu. "Anakku..."
"Mengapa dengan anakmu, Bapa?"
"Oh! Roro Dewi!"
Pandu mengerti sekarang, putri
laki-laki inilah yang ada di pikiran Wayan Tua.
"Mengapa dengan putrimu" Mengapa dengan Roro Dewi?" tanyanya cepat.
Wayan Tua menyaut, "Putriku
melarikan diri, Anak muda...."
"Maksudmu?"
"Entahlah yang sebenarnya
bagaimana. Namun yang kutahu, saat orang-orang kejam itu hendak menculik
putriku, mereka kembali tanpa membawa putriku dari kamarnya. Kata salah
seorang, putriku sudah melarikan diri.
Tapi entahlah bagaimana
sesungguhnya...."
Pandu mendesah.
"Ke mana dia pergi, Bapa?"
"Aku tidak tahu, Anak muda...
tadi aku senang mendengar kabar
putriku melarikan diri, namun sekarang aku cemas memikirkan nasibnya.
Tentunya orang-orang itu tak akan
membiarkan dia lolos begitu saja."
"Pernahkah dia ngambek pada
Bapa?" "Apa maksud dari pertanyaanmu itu, Anak muda?"
"Jawablah, Bapa... Pernah atau tidak."
"Pernah."
"Hmm... bila dia sedang ngambek, apa yang dilakukan?"
"Hmm... biasanya, dia mening-
galkan rumah."
"Bapa tahu ke mana dia pergi?"
"Oh, ya... ya... aku tahu.
Padepokan Melati Putih. Tempat dia belajar menari. Ya, ya... dia selalu pergi ke
sana bila sedang ngambek atau pun kena marah. Nyai Ratih Alas
Kembang amat mengasihinya."
"Kalau begitu... biar saya yang mencarinya ke sana. Lebih baik bapa istirahat
saja dulu."
"Ya, ya... Anak muda... Tolong carikan putriku. Dan jaga
keselamatannya," kata Wayan Tua. Lalu dengan suara mantap dan penuh
keyakinan, dia berkata sambil menatap Pandu. "Anak muda... kuserahkan jiwa dan
raga milik putriku itu padamu.
Jagalah dia, Anak muda...."
Namun Pandu sudah tidak mendengar
lagi kata-kata selanjutnya, karena tubuhnya sudah melesat pergi dengan cepat.
Dan menyadari sosok pemuda
bercaping itu sudah tidak ada di
tempatnya, Wayan Tua hanya bisa
melongo. Namun dari rasa kaget itu beralih ke rasa kagum.
"Kau benar, Anak muda,... Bila kita tidak berusaha untuk melawan, maka
selamanyalah kita akan ditindas oleh orang-orang kejam itu...."
desisnya. "Ah, andaikata saja kau berjodoh dengan Roro Dewi... alangkah
senangnya aku mempunyai menantu
seorang gagah perkasa dan baik budi seperti kau, Anak muda... Mudah-mudahan
semua keinginanku itu
tercapai...."
Sementara itu kuda yang dipacu
Pandu sudah melesat. Dia memang
menemukan Roro Dewi berada di
Padepokan Melati Putih milik Nyai
Ratih Alas Kembang.


Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semula Roro Dewi ragu untuk
menemuinya karena dia kuatir pemuda itu merupakan salah seorang dari
gerombolan kejam itu. Namun setelah Pandu menjelaskan semuanya, barulah rasa
kuatirnya perlahan-lahan sirna.
"Lalu... bagaimana dengan bapa, Kakang?" tanya Roro Dewi cemas.
"Tenanglah, Roro... Kupikir,
ayahmu tidak mengalami kurang suatu apa. Kondisinya sudah cukup sehat."
"Terima kasih, Kakang," kata Roro Dewi sambil berusaha menatap wajah yang
sebagian tertutup caping itu.
Namun tidak berhasil. Hati kecilnya berkata, "Aku berani bertaruh... pasti wajah
itu begitu tampannya...."
"Roro... kalau begitu, kau tetap saja di sini. Kau nampaknya aman. Dan
tersembunyi. Bila keadaan diluar sudah betul-betul, aman barulah kau bisa keluar
dan kembali ke rumah." kata Pandu yang diam-diam mengagumi pula kecantikan wajah
Roro Dewi. "Iya, Kakang."
"Kalau begitu, aku permisi,
Roro!" kata Pandu sopan, lalu mundur dan menaiki kudanya.
Digebraknya kudanya tanpa menoleh lagi pada Roro Dewi padahal gadis itu berharap tadi,
mungkin dari bawah bisa melihat wajah pemuda itu.
Roro Dewi hanya mendesah panjang.
Entah mengapa dia sudah menaruh
rasa kagum terhadap pemuda itu.
Padahal dia baru kali ini melihatnya.
Melihat wajahnya" Ah, tidak sedikit pun dia bisa melihat secara utuh.
Namun dia yakin, wajah pemuda itu
pasti tampan. Ih, memikirkan hal itu wajah Roro
Dewi memerah. Lalu buru-buru dia masuk ke dalam Padepokan Melati Putih milik Nyi Ratih Alas
Kembang, yang menerima
kedatangannya dengan senang hati.
Dia pun diberikan sebuah kamar.
Dan di kamar itulah langkahnya
mendadak terhenti. Tertegun. Dan
mulutnya terbuka.
Dia belum tahu nama pemuda itu!
* * * 6 Bukit Siguntang malam hari.
Gondeng menggeram hebat ketika
Penggekrawung dan Sembarita melaporkan hasil kerjanya. Wajah laki-laki seram itu
semakin menyeramkan saja.
"Bodoh! Goblok!!" makinya.
Penggekrawung dan Sembarita hanya
terdiam. Lalu terdengar suara
Penggekrawung berkata, "Maafkan kami, Ketua... lagi-lagi pemuda itu yang
menghalangi sepak terjang kami."
"Goblok! Mengapa tidak kalian tangkap saja, hah"!"
"Kesaktiannya amat tinggi,
Ketua...."
"Bodoh! Hmm... Pandu, siapa kau sebenarnya...."
"Dia mengaku bernama Pendekar Gagak Rimang, Ketua...."
Godeng yang sedang melangkah
mondar mandir, seketika langkahnya terhenti dan menoleh cepat.
"Apa"!"
"Ya, Ketua... dia bergelar
Pendekar Gagak Rimang...."
Gondeng mengusap-usap dagunya.
"Hm... ya, ya... aku kini tahu siapa dia. Beberapa bulan yang lalu, kala
kudengar sengketa antara Keraton Utara dan Keraton Selatan, dengan pengkhianatan
yang dilakukan oleh
salah seorang Keraton Utara yang
bermaksud hendak menggulingkan Prabu Sri Jayarasa... seorang pemuda
bercaping... hei, benarkah dia
mengenakan caping?"
"Ya, Ketua...."
"Ya, ya... pemuda bercaping
itulah yang menyelamatkan kedua
keraton itu dari salah paham mereka.
Dan dia mengaku bergelar Pendekar
Gagak Rimang...."
Apa yang dikatakan Gondeng itu
memang benar adanya. Dalam mulai turun gunungnya, Pandu sudah terlibat dalam
satu pertikaian hebat antara Keraton Utara dan Keraton Selatan, yang mana
ternyata semua itu ditimbulkan oleh salah seorang panglima yang ingin
menggulingkan keraton. (Baca: Lahirnya sang Pendekar & Genta Perebutan
Kekuasaan) Mereka terdiam. Gondeng pun
nampaknya tengah memikirkan sesuatu.
Tiba-tiba dia memukulkan tangannya ke meja hingga meja itu hancur
berantakan. "Hmm... aku ingin mengenal pemuda itu lebih dekat. Dan ingin kutahu
sampai di mana kehebatan ilmunya.
Hahaha... mampukah dia menghadapi ilmu golokku dan kesaktian Mestika Golok
Hitam" Hahaha... kau akan segera
mampus, Pendekar Gagak Rimang...."
Gondeng tertawa hebat. Namun
seketika tawanya terhenti, karena
diluar terdengar suara ribut-ribut.
Seperti orang sedang berkelahi.
Penggekrawung dan Sembarita sudah
melesat ke luar. Dan mereka melihat sepuluh orang pemuda tengah bertarung sengit
dengan anggota Golok Hitam yang menjaga. Di antara mereka terdapat Ki Lurah Sen
Kawung. Dan salah seorang pemuda itu adalah sosok berpakaian putih yang
mengenakan caping.
Rupanya Pandu sudah berhasil
menyusun satu pasukan yang gagah
berani, termasuk Ki Lurah Sen Kawung sendiri. Malam ini pula dia segera mengajak
orang-orang itu untuk
menyerbu ke Bukit Siguntang, di mana anggota Gerombolan Golok Hitam
bermukim. Melihat hal itu, Penggekrawung
dan Sembarita segera menerjunkan diri dalam pertempuran. Suara senjata
beradu ramai terdengar.
Bukit yang kelihatan sepi itu
malam ini seperti bagaikan ada sebuah pesta yang meriah.
"Trang!"
"Trang!"
"Cras!"
"Aduh!"
"Akkkhhh!!"
"Serbuuuu!!"
Seruan-seruan itu bercampur baur
dengan hentakan hebat yang mereka
lakukan. Ki Lurah Sen Kawung seperti
menemukan sosok dirinya di zaman
mudanya, yang gagah berani dan
perkasa. Namun begitu masuknya Pengge-
krawung dan Sembarita, kelihatan
mereka cukup terdesak. Pandu yang
bermaksud hendak masuk ke bangunan besar itu untuk mencari Gondeng,
mengurungkan niatnya.
Namun begitu dia hendak mendekati
Penggekrawung dan Sembarita, terdengar seruan keras disusul dengan dua sosok
tubuh yang bersalto memasuki
pertempuran. "Anak muda... biar orang-orang ini aku yang mengurus!"
Lalu disusul dengan sebuah
kibasan tongkat.
"Trang!"
Pandu melihat yang berseru itu
adalah si Pengemis. Dia tersenyum.
"Baiklah, Paman!"
"Nah, cepatlah kau ke dalam,
sebelum bangsat pimpinan itu melarikan diri!"
"Baik, Paman!"
Pandu pun melesat ke dalam.
Sementara si pengemis itu pun
segera memutar tongkat kayunya dan mengibaskannya pada anggota gerombolan itu.
"Hahaha... kalian, akan mampus semua! Akulah si Tua Tongkat Kayu yang bermaksud
memusnahkan kalian!!"
Sedangkan yang seorang lagi
adalah Joko Bara, pemuda gagah berani yang mencoba menentang sikap orang-orang
itu di kedai milik Wayan Tua.
Melihat di antara orang-orang itu
adalah warga desanya, maka dengan
penuh semangat Joko Bara pun masuk ke kancah pertempuran.
Dengan datangnya dua orang itu,
kedudukan orang-orang Golok Hitam
nampak terdesak hebat. Belum lagi kayu yang ada di tangan pengemis itu, yang
mengibas gila dengan cepat. Dan sekali tongkatnya berkelebat, maka akan
terdengar suara jeritan kesakitan.
"Hahahaha... kalian memang
manusia-manusia durjana yang nampaknya lebih baik mampus daripada hidup hanya
membuat onar saja!"
Penggekrawung menggeram.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Pengemis busuk!" geramnya seraya menyerbu.
Sementara itu Pandu telah
menemukan di mana Gondeng berada. Dia melihat sosok tubuh itu sedang duduk di
sebuah kursi yang layaknya mirip sebuah singgasana dengan kaki terlipat
menumpuk. Di tangan kanannya adalah sebuah golok besar berwarna hitam yang
mengeluarkan cahaya tertekan ujungnya ke lantai.
"Hahaha... selamat datang di
tempat kediamanku ini, Pemuda
bercaping...."
Pandu menjura. "Salam kenal dariku untuk ketua Gerombolan Golok Hitam...." sahut Pandu.
"Hahaha... Mengapa harus
bersungkan-sungkan, Pendekar?"
"Sebagai seorang tamu yang sopan, maka aku pun bertindak seperti
itu...." "Baik, baiklah... namun aku
yakin, kedatanganmu bukanlah sebagai seorang tamu..."
"Bila kau sudah mengetahui maksud kedatanganku, mengapa kau tidak segera
menghentikan semua sepak terjangmu ini dan meninggalkan Desa Babakan Hijau
ini...." sahut Pandu dengan suara yang terdengar angker.
"Meninggalkan desa ini?" Gondeng bangkit sambil mendengus. "Rasanya aku enggan
untuk meninggalkan desa ini yang mana di sini semua kebutuhanku terpenuhi! Hhh!
Kau telah lancang ikut campur dalam urusanku ini, Pandu! Dan kau layak untuk
mampus!" geram Gondeng dengan suara yang tiba-tiba berubah kasar dan keras. Lalu
mendadak dia melompat menyerang.
Pandu pun segera menyambutnya.
Meskipun memegang sebuah golok yang belum digunakan, namun Gondeng dapat
memainkan ilmu tangan kosong yang
lumayan hebat. Pandu sendiri sudah mengeluarkan
Pukulan Patuk Gagaknya. Serang
menyerang di antara mereka begitu
hebat dan ketat. Masing-masing seakan hendak memperlihatkan kemampuan yang
keduanya miliki.
Dan agaknya dengan tangan kosong
seperti itu keduanya berimbang.
Mendadak saja, Gondang bersalto ke belakang dan kini golok besarnya
tergenggam dan terpancang ke atas.
"Hmm... kulihat di balik
punggungmu ada sebuah golok. Pandu!"
desisnya. "Cabutlah, ingin kulihat sampai di mana kehebatan ilmu golokmu itu!!"
"Bila memang sudah kurasakan
perlu, maka aku akan mencabutnya.
Silahkan!"
Gondeng pun menderu dengan
sabetan golok yang hebat. Golok besar itu amat mengerikan sekali. Sekali menyapu
terdengar deruan bagaikan
tawon yang sedang menyerang. Belum lagi angin dingin yang ditimbulkan akibat
sabetan golok itu.
Pandu setelah dua jurus berlalu
pun merasa dia harus mencabut
goloknya. Golok Cindarbuana yang
hingga saat ini dia belum tahu ada rahasia apa di baliknya.
Tiba-tiba saja dia melenting ke
belakang dan kala hinggap di bumi
goloknya sudah tergenggam di tangan.
"Hahaha... mengapa harus sungkan, Pandu. Ayo, lakukanlah!"
Dan dengan senjata di tangan,
keduanya segera bertarung kembali.
Sungguh cepat permainan golok yang diperlihatkan oleh Gondeng. Golok
mestikanya itu sungguh suatu golok yang amat istimewa. Namun golok
Cindarbuana di tangan Pandu pun tak kalah istimewanya. Karena golok tipis yang
kecil itu mampu menahan sapuan golok yang besar itu.
Semula Gondeng sendiri saja
terkejut. Namun rasa terkejutnya itu berubah menjadi penasaran. Namun
hasilnya tetap sama, golok di tangan Pandu tetap kokoh dan kuat.
"Hahaha... jangan kaget, Orang busuk! Bila kau ingin mengetahui golok di
tanganku ini, namanya golok
Cindarbuana!"
"Apa"! Golok Cindarbuana" Golok yang sakti yang menjadi impianku sejak lama!
Bangsat! Berikan golok itu
padaku cepat!!" serunya dengan kalap lantas menyerang lagi dengan membabi buta.
Pandu pun segera melayaninya kembali. Hingga suatu ketika dia dapat memukul
jatuh golok yang dipegang oleh Gondeng, lalu dengan cepat Pandu
menerjang dan menghantamkan golok
Cindarbuana ke tubuh yang masih
kesakitan. Namun sungguh di luar dugaannya,
karena tubuh itu masih bisa
menghindar. "Hhh!" dengus Gondeng. "Bila kau berani... janganlah pakai senjata!"
"Hammm...." Pandu tersenyum. "Aku tak pernah takut, Orang busuk!"
desisnya seraya memasukkan goloknya kembali ke sarungnya. "Majulah!"
Gondeng menggeram. Tiba-tiba dia
nampak terdiam, berkonsentarasi akan satu ilmu. Nampaknya ilmu simpanan.
Kemudian terlihatkan kalau tangan
hingga sikunya berwarna hitam.


Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dia mendengus dengan tatapan
garang. "Hhh!" desisnya seram. "Terimalah ajian pemungkasku ini, Pandu! Aji
Pemusnah Rasa!"
Pandu sendiri dapat merasakan
betapa hebatnya ilmu itu tentunya.
Lalu diam-diam dia pun merangkum ilmu pamungkasnya, ilmu Gagak Rimang.
Dan terdengar seruan keras dari
Gondeng diiringi dengan tubuh yang melesat. Pandu pun segera berbuat yang sama.
Tubuh keduanya melesat. Geraman keras terdengar.
Kemudian kedua pukulan sakti itu
pun berbenturan.
Sungguh hebat. Dan teramat hebat.
Karena kemudian terdengar suara
seperti ledakan belaka.
"Duaaaarrr!!"
Dinding bangunan itu seakan
goyang. Atap-atapnya pun berguguran.
Dan dari kepulan asap putih yang
terjadi kala keduanya berbenturan, terpental dua sosok tubuh ke belakang.
Pandu merasakan dadanya sakit
yang luar biasa.
Sementara Gondeng sudah bisa
menguasai dirinya!
Dia terbahak melihat Pandu
memegangi dadanya. Pandu sendiri
mendesis dalam hati. "Gila... Tangan Malaikat tak mampu menandingi Pemusnah Rasa
miliknya. Gawat kalau begini!"
"Hahaha... itulah ilmu Cakar
Gagak Rimang, Pandu" Tak ada gunanya, tak ada gunanya sama sekali. Kini
terimalah ajalmu. Hmm... nah,
mampuslah kau... oh... akhh...
auggh... akkkhhh!!!" Tiba-tiba saja tubuh yang hendak menyerang itu
lunglai sambil memegangi dadanya. Lalu ambruk.
Pandu mendesah panjang. Sungguh
luar biasa daya tahan tubuh yang
dimiliki oleh Gondeng.
Tiba-tiba terdengar suara ramai
di belakang. Ki Lurah Sen Kawung,
Pengemis Tua Tongkat Kayu, dan Joko Bara berdiri di belakang mereka.
Dengan beberapa orang desa yang
tersisa. Mereka mendesah lega melihat Gondeng telah tewas menjadi mayat.
Pengemis itu tersenyum. Pandu
melangkah sambil menahan rasa sakit di
dadanya. Kini semua dapat melihat
wajah yang begitu tampan karena caping itu terbuka kala bertempur.
"Paman...." desis Pandu.
"Masihkah kau merahasiakan siapa dirimu ini..." Pengemis itu hanya tersenyum.
"Anak muda... waktu itu aku
pernah mengatakan, suatu saat nanti kau akan mengetahui siapa aku. Namun tidak
sekarang. Maafkan aku, Anak
muda...." Dan tiba-tiba saja tubuh itu melesat menghilang membuat semuanya
melongo dan berdecak kagum.
Sementara Pandu sendiri tengah
berjalan kekudanya. Dia tak
menghiraukan kata-kata Ki Lurah yang memintanya untuk singgah ke desa
mereka dan merawat luka dadanya.
Pandu hanya tersenyum. Memasang
capingnya. "Joko Bara... Roro Dewi ada di Padepokan Melati Putih!" menggebrak kudanya.
Joko Bara tertegun.
Roro Dewi"
Dan kuda yang membawa
tubuh Pendekar Gagak Rimang terus berlari dengan kencangnya.
TAMAT Ikutilah serial berikutnya,
dalam episode :
"Rahasia Golok Cindarbuana"
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Mybenomybeyes
Seruling Gading 14 Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Hina Kelana 44
^