Pencarian

Rahasia Golok Cindar Buana 1

Pendekar Gagak Rimang 4 Rahasia Golok Cindar Buana Bagian 1


RAHASIA GOLOK CINDARBUANA Oleh Freddy S. Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Fredy S. Serial Pendekar Gagak Rimang
dalam episode Rahasia Golok Cindarbuana
1 Suara derap langkah kuda memecah keheningan suasana. Keadaan yang sunyi senyap
itu pun harus terpecahkan oleh hentakkan kaki kuda yang dijalankan dengan cepat,
lalu suara itu pun melambat dan perlahan-lahan. Hanya seperti bunyi ketukan yang
berirama. Dan terdengar pula suara binatang yang berlarian karena merasa ketenangan mereka
terganggu dengan terdengarnya derap langkah kuda yang mendatangi tempat mereka
itu. Suasana hutan yang cukup lebat tadi sebenarnya amat hening. Suasana di sana pun
teramat mencekam. Sepertinya hutan itu, jarang didatangi orang.
Namun seorang pemuda yang berpakaian putih-putih dengan wajah sebagian yang
tertutup-caping di kepalanya itu, menghentikan laju kudanya. Nampak sepasang
mata bening yang awas itu memperhatikan sekelilingnya.
"Hmm... agaknya tempat ini cukup cocok bagiku beristirahat," katanya dalam hati.
Lalu dia menjalankan kudanya perlahan-lahan. Matanya tetap memperhatikan
sekelilingnya. Tak lama kemudian pemuda berbaju putih dengan sebuah golok di punggungnya itu
pun turun dari kudanya dan menam-
batkan kudanya pada sebatang pohon. Golok yang ada di punggungnya nampak agak
aneh. Sarungnya terbuat dari kulit kayu yang berlapiskan timah berwarna kuning.
Pemuda itu kembali memperhatikan sekelilingnya. "Hmm... nampaknya hutan ini tak
pernah di jamah orang. Binatang-bina-tang nampak begitu gembira berlarian ke
sana ke mari tanpa kuatir diganggu oleh tangan-tangan manusia yang jahat.
Ah, kehidupan seperti inilah yang sebenarnya amat ku dambakan. Tenang. Bersih.
Jauh dari segala orang-orang yang bermaksud jahat dan hendak berbuat jahat. Tapi
agaknya, di muka bumi ini kejahatan itu akan terus berlangsung selama manusia
masih ada. Sampai kapan pun. Hingga akhir kiamat nanti!" desisnya sambil
mengusap dagunya yang kukuh. Wajahnya tertutup oleh sebagian caping yang
menutupi kepalanya. Namun melihat dari bentuk wajah dan dagunya, sudah bertanda
dia adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Lalu siapakah dia sebenarnya"
Pemuda berbaju putih dengan memakai caping itu tak lain adalah Pandu atau
Pendekar Gagak Rimang. Murid dari Eyang Ringkih Ireng yang bermukim di Gunung
Kidul, memang sedang berkelana. Dalam pen-gelanaannya dia sudah banyak terlibat
dalam satu bentuk kehidupan manusia. Di ma-na ada yang baik, berpura-pura baik
dan ada yang jahat. Sifat manusia itu sukar dicari tolak ukurnya yang pasti. Karena
hanya Yang Maha Kuasalah yang mengetahui apa yang tersimpan di dasar sanubari
manusia. Dan Pandu semakin yakin, bahwa kehidupan ini sukar untuk berdampingannya
kejahatan dan kebaikan. Tidak akan pernah bisa. Karena keduanya nampak saling
ber-musuhan. Inilah sifat manusia yang mendasar namun sukar untuk diketahui secara pasti.
Lalu murid Eyang Ringkih Ireng dari Gunung Kidul itu pun melangkah ke mata air
yang terdapat di sana. Dia minum dengan sepuasnya dan membasuh mukanya. Terasa
sugar sekali. Dan ketika dia baru saja hendak kembali, tiba-tiba pendengarannya yang terlatih
mendengar gerakan-gerakan yang mencurigakan. Pandu pun menjadi waspada.
Namun dia tetap melangkahkan kakinya dengan ketenangan yang meyakinkan dan
pasti. "Hm... rupanya ada manusia-manusia iseng yang ingin bermain-main denganku,"
desisnya. "Hmm... baiknya aku lihat saja siapa orang-orang ini. Dan apa yang
mereka inginkan dariku, hah"!"
Dan langkahnya semakin pasti. Pandu bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa.
Dugaannya pun menemui kenyataan, karena tiba-tiba saja meluncur tiga buah
tali yang di ujungnya terdapat sebuah be-si tajam dan menuju deras ke arahnya.
"Siiinggg!!"
"Siiingg!!"
"Siiingg!!"
Merasakan ada desiran angin yang keras menerpa ke arahnya, Pandu segera
mengempos tubuhnya berjumpalitan ke atas.
Dan ketika besi yang terikat di tiga buah tali itu pun menancap ke tanah.
Barulah Pandu melihat benda apa yang menyerangnya. Dia menggeram.
"Bangsat! Apa maunya orang-orang ini!"
Tiba-tiba saja ketiga besi yang menancap di tanah itu tercabut. Dan bagaikan
mempunyai mata yang bisa melihat sasarannya, ketiga besi itu bergerak lagi ke
arah Pandu. Bersamaan sehingga angin yang ditimbulkan ketiga besi itu teramat kuat, berdesir
membuat bulu roma berdiri.
"Heit!" Pandu membentak seraya mengempos tubuhnya kembali ke udara. Gerakannya
ringan sekali dan instingnya berbicara penuh naluri. Ketiga besi itu lu-put
mengenai sasarannya. Namun sebelum dia hinggap kembali di tanah, salah satu besi
itu berbalik dan meluncur kembali dengan deras ke arah punggungnya.
Hampir saja punggung murid Eyang Ringkih Ireng itu bolong bila saja dia
tidak segera berguling ke kiri.
"Bedebah!" makinya geram. Lalu dengan satu gerakan yang ringan pula dia berdiri.
"Hei, manusia-manusia busuk! Ke luaaaar kalian!"
Tak ada sahutan.
"Bangsat! Beraninya jangan hanya main bokong saja!!" bentaknya pula, keras dan
suaranya menggema di seluruh hutan itu, membedah keheningan.
Tetap tak ada sahutan.
Hanya desir angin yang terdengar.
Beberapa binatang malam pun segera kembali ke sarang mereka, karena naluri
mereka seakan menangkap satu gerakan yang berbahaya yang akan terjadi.
Menggeram marah Pandu membentak la-gi, "Anjing-anjing kurap! Tampakkan batang
hidung kalian yang tidak tahu malu bisanya hanya membokong saja!"
Tetap tak ada sahutan. Sepertinya orang-orang gelap yang menyerang itu memang
ingin mempermainkannya. Mereka membiarkan saja pemuda bercaping itu berseru-
seru. Menyadari hal itu, Pandu menggeram dalam hati.
"Bangsat! Mereka memang ingin main-main denganku," desisnya. "Tetapi menen-tukan
di mana posisi mereka, sulit juga buatku."
Dia berseru kembali.
"Hei, bangsat-bangsat pengecut, ayo tampakkan batang hidung kalian! Jangan hanya
bisanya main bokong secara pengecut seperti anak perempuan!!"
Tetap tak ada sahutan.
Pandu semakin bertambah geram.
Dia kepalkan kedua tangannya. Matanya awas memperhatikan sekelilingnya.
Namun kegelapan malam membuatnya semakin bertambah kegelapan. Bukan apa-apa, dia
memang telah digembleng oleh Eyang Ringkih Ireng untuk melihat dalam gelap.
Namun saat ini bukankah dia harus mencari manusia yang membokongnya"
Pandu berseru lagi, "Bila kalian memang jantan, tampakkan batang hidung kalian!
Bila memang kalian bersembunyi, tentulah kalian adalah orang-orang yang
pengecut! Ayo tampakkan batang hidung kalian!!"
Tetap tak ada sahutan.
Malah secara tiba-tiba sebagai jawaban dari bentakkannya, ketiga tab berujung
besi tajam itu meluncur kembali ke arahnya.
"Bangsat!" maki Pandu seraya menghindar.
Tetapi ketiga tali berujungkan besi tajam itu seakan mempunyai mata. Kali ini
tak memberi kesempatan lagi bagi Pandu untuk berdiam sedetik pun. Ketiganya te-
rus bergerak, kadang bersamaan kadang berlainan arah datangnya, namun sasarannya
satu, tubuh Pandu!
Setiap detik agaknya maut bagi Pandu bila dia tidak bergerak dengan cepat.
Ujung-ujung tali itu siap untuk mencabut nyawanya.
"Keparat!" maki Pandu yang tunggang langgang menghindari serangan tali berujung
besi tajam itu.
Tiba-tiba salah sebuah tali meluncur ke arah kepalanya, Pandu berkelit.
Namun tali berujung besi itu secara tiba-tiba memutar dan mengancam dari
belakang. "Sialan!!" makinya seraya bergulingan. Dan tak ada kesempatan baginya untuk
bernafas sejenak.
Ketiga tali berujung besi tajam itu kembali menyerangnya.
"Bangsat! Baiklah, kita lihat siapa yang lebih unggul!!" maki Pandu.
Dia langsung melompat ke kiri begitu sebuah tali mengarah padanya. Pandu sengaja
berkelit ke arah pohon. Dan ketika tali berujungkan besi itu mengarah padanya,
dia langsung melompat.
"Cep!"
Ujung besi itu menancap di batang pohon tadi. Sebelum tali itu bisa lepas, Pandu
segera bergerak cepat. Membentak tali itu dengan keras. Dan dari salah sa-tu
pohon, meluncur sosok tubuh dengan
lengkingan keras ke tanah.
Pada saat itu dua buah tali berujung besi yang lain tengah meluncur ke arahnya!
Pandu bergerak cepat dan bertindak di luar dugaannya.
Dia menyongsong kedua besi tajam itu sedang tangannya masih memegang tali yang
penyerangnya jatuh ke tanah. Ketika kedua besi itu akan menancap ke tubuhnya,
tiba-tiba Pandu melenting lebih tinggi.
Dan menarik dengan keras tali yang dipe-gangnya hingga pemiliknya terbawa dan
menyongsong kedua tali berujung besi tajam itu. Tanpa ampun lagi, kedua besi
tajam itu menembus tepat di jantung dan tenggo-rokan orang itu.
Seketika terdengar jeritan kematian yang keras, merobek keheningan malam.
"Aaaaakkkkhhhh!!!"
Dari salah sebuah pohon yang ada di sana terdengar seruan kaget, "Tambon!"
Pandu yang sudah hinggap di tanah, melirik ke arah suara itu. Berarti manusia
penyerangnya itu bercokok di sana.
Dan samar-samar dia melihat sebuah bayangan sosok tubuh yang berdiri di salah
sa-tu dahan. Dengan gerakan yang cepat dia berguling mengambil sebuah kerikil dan me-
nyambitkannya ke atas.
"Tuk!"
Kerikil itu tepat menotok urat kaku
si orang tadi, hingga orang itu terdiam kaku. Dan tidak menyangka kalau pemuda
yang diserangnya dapat menotok dengan sebuah kerikil kecil dari jarak jauh.
Tubuh kaku orang itu tidak sampai jatuh, karena terhalang dahan pohon.
"Hm... tinggal yang seorang lagi,"
desis Pandu dalam hati. Tetapi Pandu tidak perduli mencari karena orang itu
sudah meloncat turun dan berdiri di hadapannya.
Dia seorang laki-laki bertubuh te-gap dengan wajah yang menakutkan. Wajahnya
penuh kumis, cambang dan brewok. Seperti gendoruwo kalau di lihat malam begini.
Wajah itu beringas dengan sepasang mata berkilat-kilat berbahaya.
"Hahaha... akhirnya kau muncul ju-ga, Setan!" Pandu terbahak begitu melihat
kemunculan orang itu.
Orang itu mengeram berat. Marah karena merasa diremehkan, dan marah karena salah
seorang kawannya harus mati di makan ujung tali yang terikat sebuah besi
miliknya sendiri.
"Jangan tertawa kau, Bangsat! Kau telah membunuh temanku!!" geramnya.
"Hahaha... membunuh" Bukankah kau sendiri yang membunuhnya dengan senjata mu
itu"!" balas Pandu seenaknya.
Yang membuat wajah laki-laki itu
memerah. "Bangsat! Kau harus mengganti nyawa temanku itu, Setan!!"
"Hahaha... baiklah, bila memang aku yang membunuh, aku telah siap untuk
mengganti. Tapi... tentunya bila kau mampu untuk mencabut nyawaku...."
"Kau terlalu sombong!!"
"Hahaha... baik, baik... tetapi katakanlah dulu siapa kalian dan mengapa kalian
menyerangku" Setahuku, kita tak pernah bertemu sebelumnya! Dan kita pun tak
punya silang sengketa!"
"Jangan banyak bacot, Bangsat! Bila kau ingin selamat, serahkan Golok
Cindarbuana itu padaku! Kalau tidak, kugorok lehermu!!"
Walau kini mengerti, mengapa orang-orang itu menyerangnya tetapi Pandu heran.
Mengapa golok ini diincar orang-orang ini" Hmm, ada apa dengan golok ini"
Dia kembali menatap. wajah seram di hadapannya.
"Kalau aku tidak memberikan, kau mau apa?" kata Pandu dengan nada menantang.
Padahal dia bermaksud mengorek keterangan lebih lanjut sebab apa orang-orang ini
menginginkan golok yang tersam-pir di punggungnya.
"Akan kurebut secara paksa golok itu! Dan kuhabisi nyawa kau, Pemuda gen-deng!!"
"Hmm... apakah kau yakin golok yang hendak kau rebut dari tanganku ini Golok
Cindarbuana?"
"Cepat serahkan golok itu padaku!!"
"Hahaha... mengapa kau tidak segera mengambilnya dariku"!"
"Bangsat! Kubunuh kau!!"
"Hahaha... apakah kau mampu, heh"
Silakan, kedua tanganku terbuka untuk me-nyambutmu!"
Diejek seperti itu, semakin menggeram orang berwajah seram itu. Dia memanggil-
manggil kawannya yang di atas, tetapi sekian lama dia memanggil kawannya itu
tidak turun-turun.
Pandu mentertawakannya.
"Biar sampai habis suaramu, temanmu tak akan muncul, Orang jelek! Dia telah ku
totok! Dan kini menjadi kaku seperti batang pohon!!"
"Bangsaaaat!!" geram si jelek sambil memutar tali berujung besinya dan
menimbulkan suara angin yang besar, berdesing-desing.
Begitu dingin dan menyeramkan.
Pandu pun segera bersiap. Dia tetap heran, kenapa orang ini menginginkan golok
pemberian gurunya, Golok Cindarbuana"
Mengapa" Kenapa"
Dan siapa sebenarnya orang ini"
Apakah memang dia dan temannya yang menginginkan Golok Cindarbuana, ataukah ma-
sih ada orang lain yang menyuruhnya" Dan apa sebenarnya yang diinginkan orang
ini dari golok pemberian gurunya ini"
Tetapi Pandu tidak sempat berpikir panjang lagi, karena tali berujung besi itu
sebenarnya jauh lebih mudah, tetapi jurus-jurus tali yang di mainkan lawannya
lebih dahsyat dari yang tadi. Nampaknya dia lebih leluasa
memainkan jurus-
jurusnya di tanah. Juga tidak terganggu oleh kedua senjata kawannya tadi.
Pandu sendiri sudah memainkan jurus berkelitnya dari rangkaian jurus Gagak
Rimang-nya. Hingga sukar bagi lawannya untuk mengenai sasaran yang tepat. Ini
membuat lawannya murka.
Kembali dia memperlihatkan kehebatan permainan tali berujung besi tajam itu.
Ujung besi itu berdesing-desing hingga menimbulkan suara seperti tawon yang
sedang marah. Tetapi Pandu tidak mau ayal lagi, mendadak dia melompat ke belakang dan
melontarkan pukulan sinar putihnya yang am-puh! Sekaligus mencoba kembali!
Seberkas sinar terang melesat ke arah tali berujung besi itu yang sedang
mengarah padanya.
"Tes!"
Sinar itu menyambar tepat dan memu-tuskan tali itu hingga terpisah dari ujung
besinya. Orang itu terkejut dan menggeram.
Biarpun senjatanya telah dimusnahkan tetapi dia tidak takut. Lawan Pandu ini
adalah orang yang telah matang dalam dunia kekerasan.
Maka dia pun segera melengking dan melesat dengan jurus tangan kosongnya.
Pandu pun segera menyambutnya dengan jurus Patuk Bangaunya yang telah di-
latihnya selama sepuluh tahun lamanya.
Inilah jurus-jurus sakti dan telah diturunkan Eyang Ringkih Ireng kepada murid
tunggalnya. Jurus Pukulan Patuk Gagak Rimang.
Kembali di tempat itu terjadi perkelahian yang hebat. Kali ini masing-masing
bertangan kosong. Dan saling memperlihatkan kehebatan mereka.
Kadang saling memukul, bertahan, menendang, menangkis, menghantam, juga


Pendekar Gagak Rimang 4 Rahasia Golok Cindar Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghindar. Keduanya benar-benar dalam kondisi puncak bertarung.
Mendadak lawan Pandu berputar dan tubuhnya berguling di tanah dan bergerak
dengan cepat sekali ke arah Pandu. Pandu terkejut, dia berusaha untuk melompat
kalau tidak mau kemaluannya di sodok tangan yang sekokoh besi.
Tetapi terlambat, karena meskipun gagal mengenai sasaran yang diincar, tangan
orang itu telah menghantam betis Pandu, yang loncatannya menjadi kacau dan
hilang keseimbangannya.
Tubuh Pandu ambruk ke tanah. Sungguh aneh jurus yang di mainkan orang itu.
Orang itu berdiri kembali dan tawanya pun menggema keras.
"Hahaha... lebih baik kau serahkan Golok Cindarbuana padaku!!" serunya.
Pandu menahan rasa sakit di betis-nya.
"Hhh! Sejengkal pun aku tak akan mundur darimu! Dan tak akan pernah kube-rikan
golok ini padamu!!"
"Hahaha... jangan main-main dengan Tiga Malaikat Pencabut Nyawa, Anak muda!
Bila kau penasaran ingin tahu siapa aku... hahaha... namaku Jimbun. Kau telah
merasakan kehebatan Jimbun bukan?"
"Bangsat!!"
"Hhh! Cepat serahkan golok itu padaku"! Atau... kutebas lehermu itu!!"
"Kau banyak omong juga rupanya, Jimbun! Bila kau memang menginginkan nya, ambil
dari tanganku!!"
"Bangsat! Kutebas lehermu!!"
"Kau belum membuktikan leherku kau tebas!!" bentak Pandu tak kalah geramnya.
Dia baru saja turun gunung, dia masih belum tahu akan kelicikan orang-orang di
dunia luar. Dia belum tahu kalau ilmu yang teramat keji, semacam ilmu yang dilancarkan oleh
orang yang bernama Jimbun tadi. Dia
kalah pengalaman, dan hal inilah yang membuat pengalamannya bertambah.
Dia harus berhati-hati mengahadapi jurus lawannya yang tadi!
Pandu mencoba berdiri. Hmmmp! Kaki kanannya terasa agak sakit. Dan perlahan-
lahan dia mengalirkan tenaga dalamnya ke kaki kanannya.
Dan perlahan-lahan pula dirasakannya sudah agak membaik. Dan dia bergidik
mengingat jurus aneh yang dilancarkan orang bernama Jimbun ini tadi!
Dan Pandu lebih terkejut mengingat tugas yang diembannya belum mendapatkan hasil
apa-apa. Malah kini dia mendapat halangan dari orang yang ingin merebut Golok
Cindarbuana. Hmm... dia harus segera membereskan orang ini. Lalu dia membentak, "Hhh!
Katakan... siapa yang menyuruhmu dan kedua temanmu itu untuk merebut golokku
ini"!"
"Hahaha... rupanya kau belum tahu riwayat golok sakti itu, Anak muda!"
"Apa maksudmu"!"
"Perduli apa maksudku! Hhh! Dari mana kau dapatkan golok itu"!"
"Itu urusanku!" sahut Pandu keras.
"Tak layak orang sepertimu diberitahu!"
"Jawab pertanyaanku. Kalau tidak...."
Pandu telah memotong lebih cepat,
"Kau sudah mulai mengancam lagi" Tetapi
mengapa sejak tadi tidak kau buktikan an-camanmu itu, hah"!"
"Bangsaaaat!! Kau memang mau mampus rupanya! Cepat serahkan golok itu padaku!!"
Sambil membentak keras, tubuh Jimbun menyerbu maju dengan pukulan lurus ke
depan, ke arah dada Pandu.
Pandu hanya tersenyum saja. Meskipun nampaknya tenang, namun dia dapat merasakan
angin besar akibat tubuh dan do-rongan tangan dari Jimbun.
Itu menandakan tenaga dalamnya telah terkumpul di tangan dan membentak sa-tu
pertahanan tenaga yang amat kuat.
Tubuh itu pun semakin meluncur.
Pandu yang sudah mendapatkan pengalaman pahit tadi, kini menjadi lebih berhati-
hati. Pada gebrakan pertama dia menyambut pukulan Jimbun dengan tangkisan tangan
kanannya. "Des!"
Pandu dapat merasakan kalau tenaga dalam lawannya cukup besar. Jimbun sendiri
merasakan tangannya cukup ngilu. Dia meneruskan serangannya dengan satu
tendangan yang cukup kuat.
Ke arah ulu hati Pandu.
Pandu menangkis serangan itu dengan ayunan siku kanannya. Dan dengan gerakan
yang mendadak dia memutar, tangan kanannya tadi diteruskan pada satu gerakan
yang cepat, mengarah hendak menyambar ke-
pala lawan. Luput, karena Jimbun dengan cepat menarik kepalanya. Dan langsung melancar-kan
pukulan lagi ke perut Pandu.
Diam-diam Pandu mendesis kagum dalam hati, "Hmm... rupanya manusia ini memiliki
kepandaian yang cukup lumayan."
Serangan yang dilancarkan Jimbun tadi dihindarinya dengan satu gerakan me-
miringkan tubuhnya dan menggeser kakinya satu langkah. Gerakan itu sungguh
cepat. Keduanya saling serang.
Namun Pandu kali ini lebih mengan-dalkan jurus berkelitnya. Tubuhnya dengan
lincah berkelit ke sana ke mari. Dengan maksud hendak menguras tenaga Jimbun.
Jimbun sendiri menjadi penasaran.
Dia merasa dipermainkan karena sejak tadi tak satu serangan pun yang berhasil
mengenai sasarannya.
"Anjing buduk!" makinya. "Jangan hanya bisa menghindar saja kau, Setan!"
Pandu terbahak.
"Bukankah dengan begini ketahuan bahwa kau sesungguhnya tidak memiliki gerakan
yang patut di andalkan, bukan?" se-ru Pandu dan terus menghindar.
Mendengar kata-kata yang penuh ejekan itu, membuat Jimbun semakin meradang.
Dia pun menjadi buas. Dan serangan-serangannya jadi sukar terkendalikan.
Tenaganya banyak yang terkuras karena ter-
lalu bernafsu menyerang.
Hal inilah yang sejak tadi diinginkan Pandu. Dengan banyak tenaga yang terkuras
dari Jimbun, semakin membuat serangannya bertambah kacau balau. Banyak
serangannya yang tidak terarah lagi.
"Hahaha... lebih baik kau menyerah saja dan berlutut mencium kakiku. Niscaya aku
akan memaafkanmu...." seru Pandu sambil terus menghindar.
"Bangsat! Rupanya kau hanya bisa menghindar saja, Pengecut!"
"Hahaha... baik, baik... bila kau ingin melihat aku menyerang. Dan jangan
salahkan aku bila kau akan kewalahan. Bukankah kau sendiri yang menginginkan-
nya!" "Buktikan, pengecut!"
"Kau lihatlah. Tahan serangan!" se-ru Pandu sambil berjumpalitan ke depan, dan
langsung menyerang begitu hinggap di tanah.
Kecepatan jurus Pukulan Patuk Gagak diperlihatkan dengan sempurna. Sejenak
Jimbun tertegun melihatnya. Namun di detik lain dia pun harus berusaha
menghindari serangan yang secara beruntun itu di lancarkan oleh Pandu. Ini
membuatnya sedikit kewalahan.
Dan susah payah dia menghindari hal itu.
Pandu terbahak melihat lawannya
tunggang langgang menghindar.
"Hahaha... maafkan aku, Kawan...
Bukankah kau yang meminta hal itu?"
"Anjing!"
"Hahaha... kini terimalah pelajaran pertama dariku!" desis Pandu dan memper-
gencar serangannya.
Gerakannya semakin cepat.
Dua kali pukulan Patuk Gagak berhasil mengenai tubuh Jimbun hingga terhuyung.
"Des!" "Des!"
Di saat tubuh itu masih terhuyung kehilangan keseimbangannya, tubuh Pandu
bergerak lagi dengan cepat.
Menotok jalan darah Jimbun hingga kaku.
Pandu menghentikan gerakannya. Wajah yang sebagian tertutup caping itu
tersenyum. Dihampirinya tubuh Jimbun yang masih dalam keadaan kaku.
"Maafkan aku, kawan. Bukankah kau yang memaksaku untuk berbuat seperti ini?"
"Anjing buduk! Lepaskan totokanmu!
Kita kembali bertarung!"
"Hmm... nampaknya kau sudah tidak mampu untuk melawanku. Lebih baik kau tenang
saja dalam keadaan dirimu yang seperti ini."
Sepasang mata itu terbelalak gusar.
Berpendar sinar marah dan dendam. Kala
mulut yang menguarkan bau busuk itu hendak berucap lagi, dengan cepat Pandu
menggerakkan tangannya. menotok urat ga-gunya hingga mulut itu kaku dan dalam
posisi terbuka.
Dan mata itu terlihat semakin kasar melotot.
Pandu hanya tersenyum.
"Hhh... sayang, aku lagi malas bicara. Bila tidak, kupaksa kau untuk mengatakan
siapa yang menyuruhmu dan kedua temanmu itu berbuat seperti ini padaku!"
Mulut itu tetap terbuka, tanpa mengeluarkan suara. Matanya saja yang nampak
melotot, yang seakan menggantikan fungsi mulutnya untuk bicara.
"Hahaha... kau kesal denganku, bukan" Tak perlulah kau sesali. Bukankah semua
ini kau yang meminta?"
Sepasang mata itu semakin mendelik.
"Hmm... tadi kupikir aku bisa ber-malam di sini, namun rupanya seleraku untuk
tidur di hutan ini jadi hilang. Tentu kau tahu bukan, di mana desa yang terde-
kat dari sini" Hahaha... tak usah, tak usahlah kau memberitahukannya padaku. Aku
akan mencarinya sendiri. Oh, Tuhan... aku lupa... Maafkan aku, kawan... aku
lupa, kalau kau sekarang tidak bisa bicara,"
kata Pandu sambil menahan tawanya.
Kegeraman Jimbun semakin menjadijadi. Namun dia sungguh tidak berdaya se-
karang. Matanya yang tadi garang itu, ki-ni pun mulai meredup.
Merasa tak berdaya.
Pandu memalingkan wajahnya, menatap gunung merapi yang dari kejauhan begitu
menyeramkan. Samar terselubung oleh kabut dan suasana kegelapan yang amat pekat.
"Maafkan aku, Kawan... terpaksa kau harus kutinggal di sini bertemankan dingin
dan kegelapan. Hahaha... soalnya aku sudah mengantuk dan perutku lapar terasa!"
kata Pandu kemudian. Lalu dia pun mengambil kudanya. Dan dengan sekali melompat
sudah hinggap di atas kudanya.
Dijalankannya kudanya mendekati Jimbun.
"Hmm... maafkan aku, kawan... Selamat berdingin-dingin dan kau tentunya senang
bukan ditemani oleh nyamuk-nyamuk nakal yang liar?"
Lalu dia pun menggebrak" kudanya dengan diiringi tawanya yang mengejek.
Sementara Jimbun hanya bisa melotot saja.
Sedangkan Pandu terus memacu kudanya menerobos kepekatan malam. Berkali-kali dia
mendengus karena keinginannya untuk beristirahat ternyata terganggu.
"Sialan! Dasar manusia-manusia sab-leng!
Kerjanya hanya mengganggu orang sa-ja. Dan sungguh sialan, ada apa sebenar-
nya dengan Golok Cindarbuana ku ini!"
Memang, sebenarnya sudah lama Pandu tidak mengerti. Mengapa banyak orang-orang
yang menginginkan golok pemberian gurunya itu. Dia sungguh tidak tahu rahasia
apa yang terpendam di balik golok itu.
Gurunya sendiri tidak menjelaskan apa-apa saat pertama dia turun gunung,
meninggalkan Gunung Kidul yang telah lama di diami nya.
"Hmm... mulai saat ini, aku akan mencari rahasia apa yang terdapat di balik
Golok Cindarbuana ini," desisnya penuh keyakinan yang mendalam.
Lalu dipacunya kudanya dengan cepat. Sebenarnya perutnya sudah cukup lapar. Dan
lelah menderanya. Dia sebenarnya tidak mengerti mengapa tiba di hutan itu tadi.
"Masa bodohlah, yang penting aku bisa beristirahat sejenak. Ah, betapa ba-
nyaknya kejahatan di muka bumi ini. Dan semuanya menjanjikan keangkaramurkaan."
Kudanya pun terus dipacu ke luar dari hutan itu. Dia mengarahkan kudanya menuju
Tenggara. Beberapa saat kemudian, Pandu cukup terkejut ketika melihat sinar api
dari kejauhan. Berkobar dengan hebat.
Dia menghentikan laju kudanya.
"Gila. Ada pesta apa hingga membuat api demikian besarnya?" gumamnya "Atau
penduduk di desa itu memang gila berbuat seperti itu" Bermain api" Hm... tapi
mengapa nampaknya banyak dan seperti terpisah?"
Api yang dari kejauhan di lihat Pandu itu memang nampak besar. Dan terdapat di
beberapa bagian.
Pandu jelas saja menjadi keheranan.
"Hmm... lebih baik aku lihat saja, pesta apa yang tengah dirayakan oleh para
penduduk desa itu."
Lalu dipacunya kembali kudanya menuju ke arah api yang besar itu. Dan se-sampai
di tengah desa itu, dia menjadi tercengang.
Tak sadar dia menghentikan kudanya dengan menarik kuat tali kekangnya hingga
kudanya berdiri dan meringkik keras.
"Tenang, Hitam... Tenang...." desisnya.
Matanya kembali memperhatikan keadaan di depannya. Sungguh tragis sekali.
Api besar yang dilihatnya di beberapa bagian itu bukan berasal dari sebuah api
unggun dalam satu pesta. Melainkan dari beberapa rumah penduduk yang terbakar.
"Apa yang telah terjadi sini?" desisnya.
Dia pun melihat sebagian besar penduduk desa itu berlarian ke sana ke mari
dengan kepanikan yang luar biasa. Juga matanya menangkap beberapa sosok tubuh
yang bergeletakan. Ada yang luka parah, juga ada yang mati terbakar.
"Oh, Tuhan... siapa yang telah melakukan semua ini?"
Pandu melihat seorang laki-laki setengah baya yang tengah berusaha untuk
menenangkan orang-orang yang panik itu.
Dia nampaknya sedikit agak kewalahan ju-ga, namun lama kelamaan dia pun berhasil
kelihatannya. Dan para warga yang berlarian itu pun berkumpul di depannya yang berdiri tegak.
"Tenang... tenang semua!" serunya lantang. "Usahakanlah agar kalian tidak
menjadi panik adanya. Lebih baik, kita padamkan saja api yang masih menyala di
beberapa rumah! Untunglah Gerombolan Telapak Bara sudah pergi meninggalkan desa
kita!" "Tetapi bagaimana dengan anak-anak gadis kami yang mereka culik, Ki Lurah?"
terdengar seruan keras itu di susul dengan suara yang ramai.
Pandu yang masih tegak di atas kudanya, menjadi paham sekarang. Laki-laki yang
nampak berwibawa itu bukan lain adalah lurah di desa ini.
* ** 2 Dilihatnya Ki Lurah itu nampak
menghela nafas panjang. Jelas sekali dia menjadi masygul dan gundah mendengar
ka-ta-kata yang diucapkan seseorang tadi.
"Yah... itu memang amat kusesali sekali. Tetapi lebih baik, kita padamkan saja
api-api yang masih berkobar itu sebelum merambat ke yang lainnya!"
Dan terlihatlah beberapa orang segera berusaha memadamkan api. Pandu mendesah.
Dia jadi ingin mengetahui lebih banyak apa yang telah terjadi.
Lalu perlahan-lahan di jalankannya kudanya ke tengah kerumunan orang-orang itu
dan ki lurah yang tengah berkata-kata, sudah tentu kemunculannya menarik
perhatian mereka. Dan beberapa orang nampaknya menjadi curiga, terlihat jelas
da-ri sikap dan tatapan mata mereka.
Pandu yang mengetahui kalau sebagian dari mereka menaruh curiga padanya, segera
turun dari kudanya dan membuka capingnya. Terlihatlah seraut wajah yang tampan,
dengan rambut tergerai yang terikat berbentuk kucir kuda.
Beberapa orang gadis yang berada di sana diam-diam mendesah dalam hati melihat
ketampanan wajah pemuda yang baru datang itu.
"Bukan main, baru kali ini kulihat
pemuda begitu tampan," desis salah seorang.
"Oh, Tuhan... Dewa Kamajayakah yang hadir sekarang ini?" desis salah seorang.
Begitu pula dengan para ibu yang memiliki anak gadis.
"Andaikata pemuda itu menjadi suami Lastri, alangkah bahagianya aku. Dia bukan
hanya tampan, namun gagah pula. Oh, siapakah dia?"
Namun sebagian pemuda atau laki-laki yang berada di sana, masih menaruh curiga.
Siapa pemuda ini" Kapan dia muncul" Mau apa dia muncul" Ataukah... dia
sesungguhnya adalah teman dari orang-orang kejam yang menyerang desa kami ta-di"
Pandu segera menjura.
"Maafkanlah bila kemunculanku mengejutkan kalian," katanya sopan. Lalu berkata
pada Ki Lurah, "Salam hormat dan kenal dari ku, Ki Lurah...."
Laki-laki setengah baya yang nampak masih gagah itu, mau tidak mau menaruh rasa
kagum pula melihat kesopanan yang di tampilkan oleh si pemuda.
"Anak muda... siapakah kau gerangan adanya?" tanyanya sambil memperhatikan
Pandu. Pandu tersenyum. Hati beberapa gadis yang berada di sana menjadi galau.


Pendekar Gagak Rimang 4 Rahasia Golok Cindar Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki Lurah... aku datang dari Gunung
Kidul. Nama saya Pandu...." katanya sopan.
Dan beberapa orang gadis segera mengingat-ingat nama itu dalam hati.
"Anak muda... namaku Perkoso. Aku lurah di Desa Batang Muara ini," kata la-ki-
laki setengah baya itu.
Pandu masih memasang senyumnya.
"Ki Lurah... ada apa gerangan yang terjadi di desa ini" Dari kejauhan sana
kulihat api berkobar dengan hebat, mem-bumbung tinggi. Kupikir ada pesta yang
tengah diselenggarakan oleh penduduk di sini. Namun yang mengherankan ku,
mengapa api unggunnya terlihat ada di beberapa bagian.
Dan yang lebih membuatku terkejut lagi, kala dekat kuperhatikan, bukannya api
unggun, namun api yang membakar beberapa rumah. Juga kelihatan keadaan yang
kacau balau. Ki Lurah, bila aku boleh ta-hu. sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Ki Lurah Prakoso mendesah panjang.
Beberapa orang yang tadi diperintahkan untuk memadamkan api, sudah kembali
berkumpul. Mereka keheranan melihat Pandu berada di sana. Dengan berbisik-bisik
mereka bertanya siapa dia dan mengetahui jawabannya.
"Memang benar, Pandu. Desa ini baru saja kedatangan orang-orang kejam yang me-
namakan diri Telapak Bara...."
"Telapak Bara?" potong Pandu.
"Benar. Mereka amat kejam dan te-lengas sekali. Dan... oh, Tuhan... mereka
membunuhi siapa saja. Dan mereka juga menculik beberapa anak gadis kami yang
entah di bawa ke mana."
"Siapakah sebenarnya mereka, Ki?"
"Aku tak tahu. Karena tiba-tiba sa-ja mereka muncul dan dengan ganasnya
menyerang."
"Apa yang mereka inginkan?" "Mereka menginginkan anak-anak gadis kami." "Gi-la!"
"Yang lebih gila lagi, bila permintaan mereka tidak kami penuhi...."
"Apa yang akan mereka lakukan?"
"Mereka akan membakar hangus seisi desa ini. Dan apa yang mereka lakukan ta-di
adalah sebagai peringatan...."
"Rupanya ancaman mereka tidak bisa di anggap main-main, Ki...."
"Benar. Dan kami kebingungan menghadapi masalah seperti ini Pandu...."
Pandu terdiam sejenak. Hmm, agaknya dia pun harus terlibat dalam masalah ini.
Masalah dengan orang-orang yang menyerangnya di hutan itu saja tadi masih mem-
bingungkannya. Siapa sebenarnya mereka" Dan mengapa mereka menginginkan goloknya" Masih belum
tuntas dia selesaikan. Hmm, lebih baik nanti dia kembali ke sana dan mena-
nyai mereka. Lalu di tatapnya Ki Lurah Perkoso.
"Ki Lurah... aku hanyalah seorang kelana.
Namun... bila Ki Lurah mengizinkan... aku bermaksud untuk membantu Desa Batang
Muara ini dari orang-orang Telapak Bara itu.
Bagaimana, Ki Lurah" Yah... mungkin ban-tuanku ini tak seberapa..."
Ki Lurah Perkoso yang sejak tadi sudah kagum dengan sikap dan tutur kata pemuda
itu, mengembangkan senyumnya.
"Anak muda... bila kau jujur dan tulus ingin membantu kami menghadapi orang-
orang itu, tentu saja akan kami terima dengan senang hati. Tapi yang perlu kau
ingat, kami tidak punya sesuatu yang patut untuk diberikan kepadamu sebagai
imbalannya...."
Pandu tersenyum.
Perlahan menggelengkan kepalanya.
"Aku tulus membantumu, Ki Lurah...
karena kupikir dalam hidup ini kita harus saling tolong menolong, bukan?"
Kembali Ki Lurah Perkoso tersenyum.
Dia tak kuasa lagi untuk membendung rasa kagumnya.
"Pandu.... Rasanya baru kali ini aku bertemu dengan seorang pemuda seperti kau.
Biarpun kita baru saling bertemu namun hati kecilku telah mempercayaimu sebagai
seorang pemuda yang bertanggungja-wab."
"Terima kasih, Ki Lurah...."
Dan diam-diam salah seorang gadis yang bernama Lastri yang sejak pertama melihat
Pandu sudah tertarik, semakin tertarik pula melihat sikap dan tutur katanya. Dan
hatinya semakin berbunga-bunga kala dia mendengar kata-kata Ki Lurah
selanjutnya. "Sebaiknya... kau tinggallah bersama kami, Pandu. Dan kau bisa menumpang untuk
sementara di rumah Nyai Kasimah...."
Pandu hanya mengangguk.
"Baiklah, Ki Lurah...."
Dan dada Lastri ingin meledak rasanya. Nyai Kasimah itu adalah ibunya.
Berarti pemuda itu akan tinggal di rumahnya. Bukankah itu akan membuatnya lebih
banyak berdekatan dengan pemuda itu. Tanpa sadar dia melirik Pandu yang juga
sedang melihatnya karena Ki Lurah tengah menunjuk Nyai Kasimah dan putrinya.
Hati Lastri galau. Gemuruh hatinya semakin menjadi-jadi bertalu-talu, ber-
goyang. Apalagi setelah pemuda itu mema-merkan senyumnya.
Hati Lastri seakan mau runtuh.
"Bagaimana, Pandu" Kau bersedia menumpang di sana?" tanya ki lurah.
"Bila segala sesuatunya memungkinkan, saya bersedia ki lurah. Dan sebalik-nya
kita harus segera menyusun segala se-
suatunya."
"Ya, sebaiknya memang begitu...."
sahut Ki Lurah Perkoso. Lalu dia berseru pada warganya, "Sebaiknya kalian yang
perempuan masuk kembali ke rumah! Dan bagi yang rumahnya terbakar sebaiknya
menumpang di rumah yang lain! Bawa masuk juga anak-anak kalian! Sementara yang
laki-laki menguburkan mayat-mayat itu malam ini juga!"
Seruan itu pun di patuhi. Lastri masih sempat menatap Pandu sebelum dia
melangkahkan kakinya. Rasanya dia sudah tidak sabar menunggu Pandu tinggal di
rumahnya. Ah, mengapa perasaannya menjadi galau seperti ini" Jarang sekali dia menga-lami
hal seperti ini.
Pandu sendiri hanya tersenyum saja.
Lalu keisengannya timbul. Dia mengedipkan matanya pada Lastri hingga gadis itu
semakin galau. Dan buru-buru menunduk, sementara langkahnya makin bergegas.
Setelah mayat-mayat di kuburkan, Pandu menghampiri Ki Lurah Perkoso.
"Ki lurah... aku ada urusan sebentar di hutan sana. Dalam waktu beberapa jam
nanti, aku akan kembali ke sini...."
katanya yang tiba-tiba saja teringat akan para penyerangnya yang dalam keadaan
tertotok. Dia bermaksud hendak langsung saja
menanyai mereka siapa yang menyuruh mereka hendak merebut Golok Cindarbuana dari
tangannya. Karena sesungguhnya Pandu masih amat heran dengan golok itu.
Ada rahasia apa sebenarnya.
Ki lurah tersenyum.
"Pandu... bila kulihat dari kea-daanmu, kau nampaknya amat lapar dan lelah.
Tidak bisakah untuk sementara uru-sanmu itu di tunda dulu kau beristirahat?"
"Ki lurah... bukan aku menampak ta-waranmu, tapi sungguh, aku harus
menyelesaikan urusanku ini. Demi Gusti Batara Agung, aku berjanji untuk membantu
kalian menghalau orang-orang Telapak Bara itu."
Ki lurah tersenyum.
"Pergilah, Pandu... dan kembalilah ke sini!"
"Baik, Ki!" sahut Pandu sambil tersenyum. Lalu dipasangnya kembali capingnya dan
dia berjumpalitan naik ke kudanya hingga membuat orang-orang itu berdecak kagum.
Ki lurah sendiri mendesis, "Agaknya pemuda itu memang di datangkan Dewata untuk
menolong kita. Buktinya, bertepatan desa kita di serang orang-orang kejam itu,
dia datang dan menawarkan diri untuk membantu.
"Ah, siapa pun adanya kau Pandu...
sikapmu sudah membuat hatiku tertarik!"
Sementara itu murid Eyang Ringkih Ireng dari Gunung Kidul semakin memperce-pat
laju kudanya. Dalam hatinya mendengus, "Sialan, perutku melilit sekali rasanya!
Tetapi bila aku tidak menyelesaikan masalah ini satu persatu bisa runyam
semuanya. Yang paling penting adalah mencari jawaban rahasia apa yang ada di
balik Golok Cindarbuana ini. Sekaligus menolong mereka dari ancaman orang-orang
Telapak Bara!"
Kembali Pandu mengarahkan kudanya ke jalan semula. Di pacunya dengan kencang
menerobos kepekatan malam.
Beberapa saat kemudian, dia sudah tiba di tempat tadi, di mana dia dibokong
secara liar oleh tiga orang seram dengan bersenjata tali yang ujungnya terdapat
besi tajam. Namun betapa terkejutnya Pandu ketika melihat tak satu sosok tubuh pun yang ada
di sana. "Hmm... ke mana larinya mereka?"
desisnya. Bahkan mayat salah seorang dari ketiga nya sudah tidak ada di
tempatnya. Pandu menengadah ke atas, mencari sosok tubuh yang telah kaku tertotok olehnya.
Namun lenyap. Semuanya lenyap.
Kening Pandu berkerut.
"Hmm... apa yang telah terjadi"
Mengapa mereka menghilang begitu saja"
Bila yang tertotok tadi membebaskan totokan dengan tangannya sendiri, rasanya
mustahil. Karena tak akan mungkin bisa.
Yang kugunakan itu adalah totokan satu jari!
"Lalu bila begini, siapakah yang telah membebaskan mereka" Aneh sekali.
Dan nampaknya aku kalah cepat dengan orang itu. Ya, keyakinanku semakin
bertambah, kalau ketiga pembokongku tadi itu adalah orang-orang suruhan atau
orang-orang bawahan dari seorang yang jago.
Hmm... aku jadi penasaran sekali dalam hal ini. Baiknya kucoba saja mencari yang
mungkin bisa kutemukan."
Namun jejak itu pun tak ada sedikit pun. Tak ada tanda-tanda yang menggembirakan
baginya untuk mengetahui siapakah yang telah menolong orang-orang itu.
"Sialan!" dengusnya. "Orang itu terlalu pintar, dan agaknya dia memiliki tenaga
dalam yang lumayan!"
Memang, sungguh hebat orang yang biasa membebaskan dua orang yang telah tertotok
itu. Pandu mendengus. Lalu kembali dia menaiki kudanya. Lebih baik dia segera saja ke
Desa Batang Muara, karena dia yakin, ki lurah masih menunggu.
Dan begitu dia tiba di desa itu, pagi telah menjelang dengan sinar matahari yang
menyinari seluruh desa.
Gunung merapi di kejauhan sana nampak begitu angkuh dan menyimpan misteri yang
mengerikan. * * * 3 Di Utara Desa Batang Muara, yang letaknya cukup jauh, ada sebuah gunung merapi
yang masih aktif. Bila hendak pergi ke sana dari Desa Batang Muara, membu-tuhkan
waktu kira-kira tiga hari lamanya.
Suasana di sekitar lereng gunung itu amat sepi dan menyeramkan. Tak seorang
manusia pun yang berani untuk mendatangi tempat itu. Padahal tanah di sekitar
lereng gunung merapi itu amat subur.
Apapun yang di tanam di sana akan tumbuh.
Namun tak seorang pun yang tertarik untuk tinggal di sana. Bagi mereka, hanyalah
kematian yang akan didapati bila nekad untuk tinggal di sana.
Bahkan sepertinya gunung merapi itu nampak menyimpan satu misteri yang hingga
sekarang belum terungkap oleh siapa pun.
Dia tetap tegar dengan keangkuhan yang amat tinggi menjulang.
Gunung itu dikelilingi hutan yang lebat, masih banyak terdapat binatang
buas di sana. Seperti monyet, ular dan harimau. Di sana-sininya pun banyak
terdapat jurang dan lembah yang terjal dan dalam.
Sungguh suatu keadaan yang amat mengerikan. Membuat orang harus berpikir sepuluh
kali untuk mendatangi tempat itu.
Dulu di sekitar lereng gunung merapi itu memang banyak penduduk yang men-
diaminya. Mereka hidup dari bercocok tanam dan rata-rata hidup serba kecukupan.
Mereka hidup rukun dan damai. Saling hormat menghormati satu sama lain.
Namun sekitar dua tahun kemudian, suasana kehidupan yang ten tram dan damai itu
pun harus porak poranda dengan datangnya ke tempat itu gerombolan yang kejam dan
ganas. Mereka membuat hancur semuanya. Mereka membunuhi siapa saja yang ada di sa-na.
Tidak tua maupun muda. Mereka bengis dan kejam. Semua mereka bantai.
Ladang dan sawah yang di tanami tumbuh-tumbuhan yang telah tumbuh dengan subur,
mereka bakar dan bumi hanguskan.
Yang amat kasihan dan mengenaskan tentulah nasib para wanitanya. Mereka di buat
menjadi bulan-bulanan nafsu binatang para gerombolan itu. Orang-orang itu dengan
buasnya menggumuli mereka. Bergantian. Sungguh amat tragis apa yang dialami oleh
kaum wanita di sana pada kala
itu. Sifat dan perangai orang-orang kejam itu tak ubahnya seperti binatang belaka.
Mereka tidak mengenal kasihan. Mereka tak menghiraukan jerit dan tangis minta
dilepaskan dari para wanita yang merasakan dunia ini runtuh tepat menimpa
kepalanya. Orang-orang itu bagaikan srigala yang tengah menggarap kelinci-kelinci mungil
nan lembut. Dengan tawa birahi yang membludak diiringi dengan desis setan
merasuk jiwa, mereka hancurkan hidup mereka!
Karena tak kuasa menahan siksaan yang amat keji dan memalukan itu, tak jarang
para wanitanya yang banyak membunuh diri. Sesudah atau sebelum diperkosa dan di
gilir. Sungguh amat menyedihkan nasib mereka. Tetapi tidak sedikit pula yang hingga
melahirkan. Namun setelah itu membunuh diri sambil menatap anak yang baru saja
mereka lahirkan. Anak yang kelahi-rannya mereka tidak inginkan. Anak yang
terlahir dari hasil nafsu binatang laki-laki, bukan dari perpaduan kasih sayang
antara dua insan manusia yang berbeda.
Namun dari nafsu binatang dan ketidakber-dayaan perempuan.
Namun anak-anak yang mereka lahirkan itu, lebih banyak mati kemudian dari
pada hidup. Karena tak ada seorang manusia pun yang menurunkan kasih sayang
kepada mereka. Sungguh memang amat mengerikan apa yang telah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Satu peristiwa yang tak mungkin terlupakan.
Namun siapa yang bisa mengingatnya lagi, karena tempat itu sudah tidak
berpenghuni lagi. Atau tepatnya, sesungguhnya tidak ada yang tahu kalau tempat
itu sebenarnya berpenghuni.
Dan hanya orang-orang itulah yang masih bisa mengingat peristiwa beberapa tahun
yang lalu. Karena di salah satu tempat di gunung merapi itu, dekat sebuah lembah yang
terjal dan curam, bermukimlah gerombolan kejam itu yang telah memporak-
porandakan desa yang ada di sana beberapa tahun yang lalu. Mereka tidak
meninggalkan tempat itu rupanya. Karena bagi mereka ini adalah satu tempat yang
amat strategis untuk di jadikan kediaman.
Hidup mereka pun begitu mudah. Mereka tinggal menyerang beberapa buah desa yang
letaknya berada di sekitar sana atau pun harus ke luar dari tempat mereka.
Bukankah hal ini amat menyenangkan"
Terlalu bodoh bila mereka meninggalkan tempat itu!
Gerombolan kejam itu dipimpin oleh
seorang laki-laki yang bernama Ki Pancang Jalak. Dia adalah seorang laki-laki
yang sudah berusia lima puluhan. Namun masih nampak gagah dan kuat. Semua itu
berkat kesaktiannya. Dialah yang memimpin gerombolannya untuk menghabisi para
penduduk yang hidup di sekitar lereng Gunung Berapi itu beberapa tahun yang
lalu. Dia adalah seseorang laki-laki yang teramat kejam.
"Tak seorang pun yang bisa mengalahkan aku di muka bumi ini!" serunya sombong
Dan dia pula yang menyuruh dan memerintahkan puluhan orang anak buahnya untuk
menyerang desa-desa. Sekadar membuat mereka takluk dan keder. Namun tidak hanya
sampai di sana saja tindakan yang dilakukan Ki Pancang Jalak.
"Bunuh semuanya, siapa saja yang berani membantah perintahku!"
Dan kekejamannya itu pun menular pada diri anak buahnya.
"Bawa gadis-gadis cantik ke sini!
Jadikan mereka perhiasan dan pajangan buat istana kita!" seru Ki Pancang Jalak.
Memang sudah puluhan gadis yang mereka culik dan mereka paksa untuk menjadi
dayang-dayang atau pun pelayan di sana.
Namun nasib mereka tidaklah enak seperti yang dibayangkan.
Karena di samping itu, mereka harus
bersedia melayani nafsu binatang siapa saja dari gerombolan itu. Dan bila mereka
menolak maka mautlah sebagai ganjarannya.


Pendekar Gagak Rimang 4 Rahasia Golok Cindar Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang banyak yang menolak dan mati dengan leher patah. Namun tak sedikit pu-la
yang masih berusaha bertahan hidup dengan merelakan harga diri dan kehorma-
tannya diinjak-injak oleh mereka.
Namun di hati mereka, dendam dan sakit hati itu sudah amat membludak dan
sepertinya siap untuk di muntahkan.
Tetapi tak satupun yang berani menantang Ki Pancang Jalak. Manusia yang bersifat
dan bersikap seperti binatang.
Dia tak ubahnya seperti seekor srigala lapar yang siap dan kapan saja menampak-
kan taring-taring giginya yang tajam dan kuku-kukunya yang seperti pisau.
Dia adalah manusia harimau yang kejam.
Sejarah telah membuktikannya di saat dia menghancurkan hidup para penduduk yang
tak berdosa dan tak bersalah yang hidup di sekitar lereng gunung merapi di
sekitar beberapa tahun yang lalu.
Dia adalah orang yang kejam dan menakutkan. Siapa pun yang membangkangnya akan
dihabisinya. Tak seorang pun anak buahnya yang berani mencoba-coba untuk membangkang perintah
darinya. Ki Panjang Jalak adalah seorang pemimpin yang mempunyai ilmu ke-
saktian yang hebat. Dari tangannya bisa mengeluarkan panas yang bukan main me-
nyengatnya. Bila sesuatu atau apa pun terkena sentuhan tangan itu, maka niscaya
akan hangus seketika.
Hingga dia sering dijuluki oleh kawan maupun lawan dengan sebutan Hantu
Bertangan Bara. Ki Pancang Jalak bangga dengan sebutan itu. Dan dia semakin
membuat namanya menjulang menembus ke langit tujuh yang begitu menggetarkan.
Dan sepak terjangnya amat mengenaskan.
Begitu pula dengan para anak buahnya yang dipimpinnya dalam panji kebesa-ran
Telapak Bara. Dan rata-rata para anak buahnya mewarisi ilmu ketua mereka walau
masih jauh berada di bawah Ki Pancang Jalak, namun cukup mampu untuk membuat
lawan-lawan mereka ngeri untuk menghadapi.
Sepertinya Ki Pancang Jalak memang sengaja mewarisi ilmu Tangan Baranya kepada
beberapa anak buah pilihannya.
Tempat persembunyian mereka yang sukar dijamah dan sukar diketahui orang, lebih
memungkinkan bagi mereka untuk men-gepak dan mengembangkan sayap, Melatih
anggota baru atau pun lama dengan ilmu andalan gerombolan itu, yaitu ilmu
Telapak Bara, pengembangan dari ilmu Ki Pancang Jalak atau yang bergelar Hantu
Bertangan Bara.
Ini merupakan satu tempat yang aman bagi Ki Pancang Jalak dan para anggotanya
untuk berdiam. Hari ini, Ki Pancang Jalak sedang berhadapan dengan tiga orang anak buahnya di
pendoponya yang mirip dengan istana.
Dari pembicaraan itu, nampak jelas sekali kalau Ki Pancang Jalak amat serius
men-dengarkan salah seorang anak buahnya yang bernama Wayaluta berkata-kata.
Berkali-kali Ki Pancang Jalak manggut-manggut dan sekali-sekali pula dia
menyela. "Jadi kau tidak tahu siapa dia, Wayaluta?" terdengar suara Ki Pancang Jalak
kemudian. Wayaluta mengangguk hormat.
"Begitulah, Ketua. Aku tidak tahu siapa pemuda itu sebenarnya. Agaknya pemuda
itu murid seorang tua yang gagah perkasa. Atau...."
"Atau apa, Wayaluta?" tanya Ki Pancang Jalak karena Wayaluta menghentikan kata-
katanya. Sepertinya pemuda itu teringat akan sesuatu.
"Dialah yang mewarisi Golok Cindarbuana itu berikut ilmu dahsyat yang terpendam
di dalam golok itu, Ketua!"
Terlihat kepala Ki Pancang Jalak menggeleng.
"Tidak mungkin!" potongnya cepat.
"Bagaimana tidak mungkin, Ketua!
Golok Cindarbuana itu berada di tangannya!"
"Tetapi tidak mungkin, Wayaluta.
Golok Cindarbuana adalah milik sepasang kakek nenek dari Tiongkok, yang hilang
begitu saja ketika sepasang kakek nenek itu lengah. Mereka tidak tahu siapa yang
telah mencuri Golok Cindarbuana. Dan mereka bersumpah, akan membunuh orang yang
telah mengambil golok itu. Tetapi sayang, mereka keburu mati. Maut telah
mengundang mereka terlalu cepat sebelum mereka tahu siapa yang telah mencuri
golok sakti itu."
"Lalu bagaimana golok itu bisa berada pada pemuda itu, Ketua?"
"Aku pun tidak tahu," kata Ki Pancang Jalak. Lalu berpaling pada dua orang yang
duduk di sebelah Wayaluta. "Jimbun dan Rimbin... apakah kalian yakin Golok
Cindarbuana yang ada di tangan pemuda sakti itu?"
"Begitulah, Ketua...." kata Jimbun hormat. Juga temannya yang bernama Rimbin.
"Kau yakin?"
"Saya yakin sekali, Ketua. Yang ada di punggung pemuda yang bernama Pandu itu
adalah Golok Cindarbuana. Golok yang puluhan tahun yang lalu telah hilang dan
tak seorang pun yang tahu siapa pencu-rinya. Seperti yang ketua pernah ceritakan
kepada kami dulu...."
Ki Pancang Jalak manggut-manggut.
Usapkan tangannya pada jenggotnya yang memutih.
Rupanya yang duduk di sebelah Wayaluta adalah dua manusia yang ingin merebut
Golok Cindarbuana dari tangan Pandu.
Jimbun dan Rimbin serta seorang teman mereka yang tewas di tangan Pandu dalam
perkelahian di hutan lebat yang jauh dari Desa Pareden.
Ketiga penyerang Pandu itu bergelar Tiga Malaikat Tali Pencabut Nyawa. Pandu
yang bermaksud hendak beristirahat diserang begitu saja oleh ketiganya, yang
ternyata hanya merebut Golok Cindarbuana pemberian gurunya, Eyang Ringkih Ireng
atau sesepuh Gunung Kidul.
Dan dalam perkelahian itu Pandu berhasil menang. Namun kala dia kembali hendak
mengorek siapa mereka sebenarnya, bukan main terkejutnya Pandu karena orang-
orang itu sudah tidak ada di tempatnya.
Orang yang membebaskan Jimbun dan Rimbin dari totokan Pandu adalah Wayaluta.
Dialah yang telah membuat neraka bagi penduduk Desa Batang Muara, dengan
beberapa gerombolannya.
Ketika mereka melewati hutan lebat itu, mereka secara tak sengaja melihat Jimbun
dan Rimbin dalam keadaan tertotok.
Dan Wayaluta menjadi amat geram sekali mendengar kata-kata Rimbin. Dan ke-
geramannya berubah menjadi keterkejutan, setelah Rimbin berkata-kata tentang
Golok Cindarbuana. Golok sakti yang tengah di cari ketua mereka, Ki Pancang
Jalak! Tetapi mengapa mereka tidak berpa-pasan dengan Pandu atau Pendekar Tangan
Malaikat yang tengah ke luar dari hutan lebat itu"
Tentu saja tidak, karena Pandu mengambil arah ke Tenggara, sedangkan orang-orang
itu melalui Barat Daya, karena mereka membuat onar lagi di sebuah desa yang ada
di arah Barat Daya.
Lalu Wayaluta segera memerintahkan para anggotanya untuk kembali ke markas
mereka. Dia bermaksud hendak mencegat Pandu untuk merebut langsung Golok
Cindarbuana bersama Jimbun dan Rimbin.
Tetapi kemudian, Wayaluta merasa lebih baik mereka melaporkan hal itu pada Ki
Pancang Jalak. Dan menguburkan mayat Tambon.
Hal itu pun segera di laporkan kepada Ki Pancang Jalak, yang juga merupakan
pimpinan dari Tiga Malaikat Tali Pencabut Nyawa.
Walau sedikitnya geram dan marah
karena mengetahui Tambon tewas, namun Ki Pancang Jalak masih bisa tertawa
gembira mendengar tentang golok sakti yang berta-hun-tahun lamanya dia cari.
Bahkan sele-ranya terhadap wanita yang di culik pun menjadi lenyap begitu saja.
Tak sabar dia untuk mengetahui ke-jadian apa selanjutnya. Bukankah telah lama
dia mencari tentang golok sakti itu"
Dan sekarang telah didengarnya di mana golok itu berada, tentu saja dia tidak
akan menyia-nyiakannya.
Dan dia sudah membayangkan kalau dirinya akan menjadi seorang jago yang tak
terkalahkan. Dengan golok sakti itu, tentunya tak seorang manusia pun yang akan bisa
mengalahkannya.
Sekarang pun dia membicarakan masalah itu lagi. Dari raut wajahnya sudah
tergambar rasa ketidaksabaran yang membludak.
"Kalau benar Golok Cindarbuana yang di-bawa oleh pemuda itu, kita harus segera
merebutnya. Golok itu adalah golok yang teramat sakti."
"Ketua... sebenarnya rahasia apa yang terdapat di balik Golok Cindarbuana itu?"
tanya Wayaluta.
"Aku sendiri tidak tahu secara pasti. Konon golok itu adalah sebuah golok yang
hebat. Benda sekeras dan sehebat apa
pun akan patah dan musnah di tebas oleh golok itu. Dan konon ada sebuah rahasia
yang hingga sekarang belum terpecahkan.
Karena sepasang kakek itu telah pergi sebelum ada yang tahu apa rahasia itu."
"Apa kira-kira rahasia itu, Ketua...."
"Entahlah... aku sendiri tidak yakin, karena golok itu belum ada padaku.
Dan tak lama lagi rahasia itu akan kuke-tahui, karena sebentar lagi golok itu
akan pindah tangan kepadaku, bukan?"
Ki Pancang Jalak terbahak-bahak.
Penuh keyakinan akan berhasil memiliki Golok Cindarbuana itu
* ** 4 Ketiga bawahannya itu pun ikut tertawa. Mereka begitu heran sebenarnya melihat
Ki Pancang Jalak begitu gembira.
Rupanya laki-laki setengah baya itu memang amat berharap dan berkeinginan untuk
berhasil memiliki Golok Cindarbuana.
Yang konon tak ada satu benda pun yang dapat menandingi kehebatannya.
"Ketua... kita rebut golok itu,"
kata Jimbun. "Dan kita bunuh pemuda bercaping itu!"
"Benar, Ketua," lanjut Rimbin. "Ka-mi hendak membalas dendam atas kematian adik
kami Tambon. Kami tidak akan pernah merasakan kegembiraan dalam hidup ini,
selama pemuda itu masih hidup. Dan adik seperguruan kami tidak akan tenang dalam
kuburnya sebelum nyawa pemuda itu datang menemainya. Hhh! Aku sudah tidak sabar
rasanya untuk bertemu dan membalaskan kematian Tambon pada pemuda bercaping yang
juga mengaku Pendekar Tangan Malaikat!"
Mendengar nama itu disebutkan, telinga Ki Pancang Jalak kelihatan menegak.
Samar-samar dia pernah mendengar akan sebuah julukan yang akhir-akhir ini
menjadi pembicaraan orang ramai. Karena julukan itu telah mendatangkan bencana
bagi orang-orang golongan hitam
Ah, persetan dengan semua itu. Yang pasti, dia harus merebut dan memiliki Golok
Cindarbuana. Dan membunuh pemuda sialan itu bila benar dia Pendekar Tangan
Malaikat adanya.
Ki Pancang Jalak memperhatikan Jimbun dan Rimbin yang ucapan keduanya terdengar
begitu berapi-api. Dari kedua mata mereka terlihat sinar dendam yang menyala-
nyala, yang siap untuk ditumpahkan.
"Hmm... ya, kalian kutugaskan untuk membunuh pemuda itu. Dan rebutlah Golok
Cindarbuana untukku," katanya kemudian.
"Ketua... lebih cepat lebih baik.
Izinkanlah kami pergi mencarinya," kata Jimbun.
"Baiklah, kalian memang kuizinkan untuk pergi," kata Ki Pancang Jalak. "Tetapi
mendengar cerita kau berdua, ilmu pemuda itu agaknya cukup tinggi. Dan la-gi,
bila benar dia adalah Pendekar Tangan Malaikat yang namanya sudah sering
dibicarakan orang, kalian harus lebih berhati-hati lagi. Dan ada baiknya bila
Wayaluta ikut menemani kalian. Kuminta pada kalian untuk menyelesaikan tugas ini
dengan baik!"
"Baik, Ketua. Saya pun penasaran hendak melihat siapa dia adanya, juga sampai
seberapa tinggi kesaktiannya," ka-ta Wayaluta.
"Jangan lupa... selain nyawa pemuda itu, Golok Cindarbuana sasarannya."
"Saya akan ingat pesan, Ketua."
"Dan aku tidak suka dengan kegaga-lan kalau tidak terpaksa."
"Kami akan berusaha merebutnya. Ka-mi yakin, akan berhasil mendapatkan golok
itu." "Aku pun yakin akan hal itu. Kau Wayaluta, adalah orang ke satu di bawah-ku.
Ilmu Telapak Bara pun sudah sedemi-kian tinggi. Aku harapkan kau bisa mengambil
golok yang kuidam-idamkan. Dan persiapkan kau sendiri bagaimana, Jimbun,
Rimbin?" Kedua orang itu menyembah hormat.
"Maafkan kami, Ketua," kata Jimbun.
"Dengan Adik Tambon, kami adalah Tiga Malaikat Tali Pencabut Nyawa. Kami terlalu
sombong, hingga tidak mau mempelajari Il-mu Telapak Bara yang ketua ajarkan.
Tetapi sekarang, kami telah mempelajarinya.
Sudah cukup kami rasa dalam waktu tiga bulan mempelajarinya."
Ki Pancang Jalak manggut-manggut.
"Waktu itu sudah cukup memang. Kulihat kalian berdua belajar dengan sungguh-
sungguh. Nah, lakukan sekarang juga.
Pergilah, rebut Golok Cindarbuana itu."
"Kami akan penuhi harapan, Ketua,"
kata Jimbun dan Rimbin bersamaan. "Kami akan membawa pula mayat pemuda itu di
hadapan ketua...."
"Kami tak ingin melihat ketua kecewa," sambung Wayaluta.
Dan kata-kata ketiga orang itu membuat Ki Pancang Jalak tertawa lebar. Senang
dia anak buahnya begitu patuh.
Hmm... sebentar lagi golok itu akan menjadi miliknya. Dia akan berusaha memecah-
kan rahasia golok itu.
Dia akan menjadi orang nomor satu dalam hal ilmu kesaktian. Olah kanuragan yang
di dambakan oleh setiap manusia. Il-mu yang memang perlu dimiliki oleh siapa
saja. Namun alangkah salahnya jika ilmu kesaktian itu dibuat untuk membunuh, me-
nyakiti atau melukai sesamanya. Olah kanuragan hanya dipakai untuk membela diri,
tanpa menyakiti sesamanya, selain pula untuk olahraga, mencari kesegaran jasma-
niah dan rohaniah.
Tetapi orang-orang yang memiliki ilmu kesaktian atau olah kanuragan lebih banyak
sombongnya daripada menyembunyikan kepandaiannya itu. Mereka lebih suka untuk
berseru-seru menyatakan diri mereka kuat. Diri mereka gagah. Diri mereka mampu
menghadapi apa pun dan siapa pun.
Mereka merasa lebih dari siapa pun!
Dan mereka tidak memakai ilmu padi, yang semakin berisi malah semakin merunduk.
Kita mengalah belum tentu kalah.
Kita merunduk belum tentu takut. Tetapi lebih baik menghindari perkelahian yang
menyakiti sesama daripada harus terlibat perkelahian yang sebenarnya tidak ada
gunanya. Tidak seperti Ki Pancang Jalak yang memiliki ilmu kesaktian untuk menyerang
sesama, menyakiti sesama dan membunuh se sama. Betapa sangat di sayangkannya
ilmu yang di milikinya itu hanya untuk menyakiti sesamanya.
Dia lupa akan kodratnya sebagai manusia yang lemah, yang sebenarnya tidak bisa
berbuat apa-apa bila takdir buruk telah menimpa dirinya.
Ki Pancang Jalak telah menyatakan dirinya sebagai orang yang ditakuti, dengan
gelar Hantu Bertangan Bara. Sebagai orang yang berkuasa. Dan gerombolan yang
dipimpinnya pun ditakuti oleh kawan maupun lawan.
Terdengar lagi dia berkata pada ketiga bawahannya.
"Gagal, aku paling benci dengan ka-ta-kata itu. Dan aku tak ingin kalian gagal."
"Seperti janji kami tadi, Ketua...
kami tak akan membuat ketua kecewa," kata Wayaluta.
"Bagus!"
"Dan kami berjanji akan membuat ketua tersenyum senang dan gembira," sambung
Jimbun. Ki Pancang Jalak terbahak.
"Hahaha... bagus, bagus sekali. Aku suka dengan semua kata-kata kalian itu.
Nah, rebutlah golok itu. Kalau perlu bunuh siapa saja yang akan menghalangi
kalian. Jangan bertindak tanggung-tanggung lagi. Tunjukkan bahwa kalian adalah
orang-orang yang kejam! Bantai semuanya!
Darah sebagai taruhannya"!! Mengerti kalian"!!"
Ketiganya mengangguk.
"Kami mengerti, Ketua!" kata Wayaluta.
Terdengar Ki Pancang Jalak kembali
terbahak. Dia merasa bangga pada dirinya sendiri karena para anak buahnya amat
menghormati dan menaruh rasa segan yang besar terhadapnya. Bukankah ini
merupakan satu kesenangan yang luar biasa"
Terlihat ketiga kepala mengangguk kembali. Dengan yakin dan pasti akan me-menuhi
semua keinginan sang ketua dan tidak akan mengecewakan mereka.
Lalu sore itu pula mereka berangkat dengan kuda yang tinggi dan gagah untuk men-
cari Pandu. Untuk merebut Golok Cindarbuana dan sekaligus membunuh Pandu!
Namun yang pasti, untuk menyenangkan hati ketua mereka, Ki Pancang Jalak.
Sementara. Ki Pancang Jalak langsung melangkahkan kakinya ke kamarnya. Di


Pendekar Gagak Rimang 4 Rahasia Golok Cindar Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamarnya telah terdapat dua orang gadis manis yang matanya sembab karena terlalu
banyak menangis.
Keduanya adalah gadis-gadis yang baru di culik oleh Wayaluta. Dan melihat
kemunculan laki-laki seram itu, membuat hati kedua gadis itu semakin ketakutan.
Wajah mereka pias.
Tak sadar mereka mundur ke sudut kamar begitu Ki Pancang Jalak menyeringai.
Dan ketakutan mereka semakin menjadi-jadi ketika laki-laki itu membuka ba-junya.
"Hehehe... mengapa harus ketakutan,
Manis" Kalian adalah hidanganku sore ini.
Ayo... berbuatlah yang mengenakan hatiku.
Hehehe... kalian memang ayam-ayam montok yang menggairahkan!"
Langkah Ki Pancang Jalak semakin dekat.
* ** 5 Malam yang larut itu pun berganti dengan secercah matahari keesokan pa-ginya.
Suasana begitu asri dan damai. Matahari menyinari sebagian besar Desa Batang
Muara yang kini nampak kembali cerah.
Sudah hampir lima malam keamanan desa diperketat sejak munculnya penyerang an
sadis yang dilakukan oleh orang-orang gerombolan Telapak Bara. Dan dengan gerak
cepat pula Pandu telah melatih beberapa orang warga desa dengan satu bentuk for-
masi pertahanan yang bagus dan cukup kuat dipakai untuk menghadang dan menahan.
Dan hingga sejauh ini, orang-orang Telapak Bara tidak lagi muncul. Ataukah
mereka tengah menyerang desa lainnya"
Kemungkinan itu pun dibicarakan orang-orang atau warga desa itu di balai desa.
Pandu pun hadir di sana.
"Bila memang benar kenyataannya, bahwa
orang-orang itu menyerang desa
lainnya, betapa mengenaskannya. Sementara kita menunggu di sini dan siap
memperta-ruhkan nyawa untuk melawan mereka semua, namun nyawanya tak satu pun
wajah orang-orang itu nongol," kata Ki Lurah Perkoso.
Wajahnya sedikit terlihat pancaran lega, namun juga terlihat pancaran kesal.
"Lalu apa yang akan kita perbuat, Ki Lurah?" tanya salah seorang.
"Bila kau bertanya tentang itu, ja-wabku hanya satu... kita tetap menunggu di
sini dan siap menyambut kedatangan mereka bila mereka datang. Yah... mungkin ini
agak membosankan bagi kita, namun bi-la kita perhitungkan dengan matang, maka
sesungguhnya ini merupakan satu keharusan yang tetap kita jalankan."
"Ki lurah... apakah sebagai manusia yang berbudi dan beradab, kita tidak mencoba
Kitab Mudjidjad 15 Manusia Harimau Merantau Lagi Karya S B. Chandra Mutiara Hitam 3
^