Pencarian

Misteri Dendam Berdarah 1

Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah Bagian 1


MISTERI DENDAM BERDARAH
Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Fahri
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Firman R Serial Pendekar Gila
dalam episode :
Misteri Dendam Berdarah
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Malam merebak, membedah sisi alam dalam
kehidupan gulita. Suasana hening. Gerimis pun mulai turun. Desa yang terletak
sepuluh perjalanan menanak nasi dari Hutan Alas Warangan, sunyi.
Lampu sentir yang ada di setiap rumah hanya bisa bertahan sekejap, karena
gerimis telah- memadam-kannya.
Suara binatang malam pun tak terdengar. Mereka lebih suka berdiam di sarangnya
daripada harus kena hujan. Tetapi binatang yang memang gemar air, begitu asyik
bersenda gurau dengan sesamanya.
Desa yang bernama Bojong Sawo itu kalau pagi merupakan sebuah desa yang penuh
dengan kegiatan. Para laki-lakinya kalau pagi bekerja di sawah dan ladang. Sementara
yang wanita mencuci dan menanak nasi. Kehidupan yang ramah, ramai dan penuh
kesahajaan. Hanya saja beberapa bulan belakangan ini para penduduk di Desa Bojong Sawo
mengalami sebuah tekanan yang menyakitkan, dengan kedatangan seorang laki-laki
yang bernama Soka Wijaya beserta antek-anteknya. Ketenangan mereka pun menjadi
kacau-balau. Mereka tidak lagi merasakan ke-damaian hidup seperti dulu. Selalu
berbalur ketakutan demi ketakutan, terutama yang memiliki anak gadis.
Sampai sejauh ini mereka tidak ada yang berani memberontak, diam saja dengan
kepasrahan dan berharap satu saat kemurkaan yang mereka alami
sekarang ini akan pergi.
Tiba-tiba, dua sosok tubuh melompat dari balik semak. Keduanya mengenakan topeng
berwarna hitam. Di punggung mereka tersampir sepasang pedang yang bersilangan.
Melihat dari gerak-geriknya, mereka bersiap menuju ke arah yang paling besar di
desa itu. Di depan pintu gerbangnya, berdiri dua orang laki-laki gagah dengan
posisi tegap. Tidak mempedulikan hawa dingin dan gerimis yang semakin banyak
menumpahkan airnya.
"Kau yakin ini rumah juragan tanah yang serakah itu, Kakang?" salah seorang yang
mengenakan topeng hitam itu bertanya pada kawannya.
Kawannya hanya menganggukkan kepalanya.
"Ya, Adimas. Aku sudah menyelidikinya tadi siang.
Hhh! Juragan Soka Wijaya adalah seorang lintah darat yang sangat kejam. Ia tidak
segan-segan untuk memeras rakyat dengan praktek lintah daratnya. Kau ingat yang
dialami oleh Bibik Utari?"
"Ya."
"Hhh! Manusia itu bukan hanya telah mem-
bunuhnya, tetapi memperkosanya begitu saja karena ia tidak mampu membayar
hutang-hutangnya! Aku tidak akan pernah tenang bila masih membiarkan laki-laki
keparat itu hidup, Adimas!"
"Betul, Kakang!" sahut yang dipanggil 'Adimas'
dengan kegeraman yang sama. Tubuh keduanya mulai membasah karena gerimis. Tetapi
mereka tidak mem-pedulikannya. Dendam sudah bergejolak di sanubari mereka.
Mereka harus menuntut balas atas kematian bibik mereka yang dibunuh secara kejam
oleh Juragan Soka Wijaya.
"Ayo!" seru si kakang sambil mengendap mendekati rumah besar itu. Di belakangnya
si adik mengikuti dengan kesigapan yang sama. Mereka berhenti di balik semak. Jarak dari
tempat mereka ke rumah besar itu hanya beberapa tombak saja.
"Adimas... kau sanggup melumpuhkan penjaga yang sebelah kanan tanpa menimbulkan
suara?" bisik si kakang.
"Ditanggung beres, Kakang."
"Aku akan melumpuhkan yang sebelah kiri. Ayo, kita mulai!" seraya berkata
begitu, si kakang melompat dari tempat persembunyiannya. Gerakannya sangat
ringan sekali, menandakan kalau ilmu yang dimilikinya cukup tinggi. Si adik pun
tidak mau ketinggalan, melakukan gerakan yang bersamaan.
Dua penjaga yang membiarkan tubuh mereka
diterpa gerimis, tidak menyangka akan serangan mendadak itu. Kedua penjaga
langsung lunglai dan menemui ajalnya dengan leher patah.
Kedua kakak beradik itu saling mengangguk. Lalu mengempos tubuhnya, hup! Kini
hinggap di atas tembok yang cukup tinggi mengelilingi rumah besar itu.
"Kita harus bergerak cepat, Adi! Jangan sampai rencana ini gagal!" "Baik,
Kakang!" Keduanya bersalto, namun malang, bertepatan mereka menginjak tanah, lima orang
penjaga yang sedang berpatroli di sekeliling rumah, memergoki mereka.
"Siapa kalian?" bentak salah seorang. Tubuhnya tegap dengan kumis tebal
menakutkan. Di tangannya ada sebuah golok yang tajam sekali. Ia bernama Tunggal
Murka. Kakak beradik itu beradu pandang. Memang tidak ada jalan lain lagi, selain
menghadapi para peng-hadangnya.
Si kakang maju selangkah, suaranya mengandung ancaman ketika berseru, "Kalian
lebih baik pergi dari sini! Kami tidak ada urusan dengan kalian!"
"Hhh! Siapa pun yang berani menginjakkan
kakinya di tanah Juragan Soka Wijaya, harus berkalang tanah!"
"Bangsat! Lihat serangan!" Mendadak si kakang melesat dengan cepat, sambil
melompat itu kedua tangannya bergerak. Kini sepasang pedang yang ada di
punggungnya telah berpindah, di telapak tangannya dan siap menghunjamkan ke
tubuh lawan. Namun Tunggal Murka pun tidak mau kalah,
Baginya, gebrakan yang dilakukan lawannya hanyalah permainan anak kecil saja. Ia
menyongsong dengan menggulirkan tubuhnya di tanah. Melewati serangan si kakang
yang bernama Seto itu, dan mengibaskan goloknya, membujur dari bawah ke atas,
mengancam selangkangan Seto.
"Heeeaaa...!"
Seto mendengus. Gebrakan pertama yang
diperlihatkan lawannya menandakan sang lawan bukanlah orang yang bisa dianggap
ringan. Gerakan itu sungguh menakjubkan, menandakan lawannya memiliki keberanian
dan ketangkasan yang menjadi modalnya.
"Yiaaattt!"
Seto mengeropos tubuhnya dengan tumpuan
pedang di tangan kanannya yang menangkis golok Tunggal Murka.
Trang! Bersamaan dengan itu tubuhnya melenting, dan sepasang pedang kembarnya mengarah
pada empat orang lawannya yang sejak tadi bersiaga.
"Jangan seperti sapi ompong, Monyet-monyet
Lintah Darat! Jaga serangan!"
Sudah tentu keempat lawannya langsung menarik golok mereka dari sarungnya, dan
memapaki serangan Seto. Jurus 'Pedang Kembar Mencabik Laut'
yang dimainkan Seto bukannya ilmu pedang yang ringan, itu adalah jurus warisan
dari gurunya, Resi Mulia yang berjuluk Setan Pedang Kembar.
Kembangan dari jurusnya, merupakan rangkaian seperti bacokan pedang asal saja.
Namun sebenarnya itu sangat terarah.
Bunyi beradunya pedang dan golok terdengar nyaring di keremangan malam.
Membangkitkan keingintahuan orang-orang di dalam rumah besar itu.
Sepuluh orang bersenjatakan tombak, pun berlarian keluar. Yang sebagian lagi
berjaga-jaga di dalam.
Seorang yang bertubuh tambur dengan
pakaiannya yang bagus keluar dari peraduannya. Ia nampak , jengkel dan marah.
"Ada apa?"
"Maaf, Tuan... ada dua orang pengacau yang menyerang kita. Saya harap, Tuan
berada di dalam saja... semuanya akan beres," sahut pengawal yang mengenakan
pakaian seperti orang keraton layaknya.
Ia bernama Jalaluta, atau yang berjuluk si Keris Dewa, karena senjatanya berupa
sebilah keris yang sakti.
Juragan Soka Wijaya mendengus.
"Beritahu aku siapa mereka! Setelah itu, bunuh kedua cecunguk itu!"
"Baik, Tuan...."
"Aku tidak suka maling kecil yang ingin mencoba menembus rumah ini dibiarkan
hidup!" "Baik, Tuan..."
Pintu kamar yang terukir itu terbuka, satu sosok tubuh yang hanya mengenakan
kain saja dan rambut yang awut-awutan keluar. Wajahnya jelita sekali.
Sepasang matanya bening, penuh dengan ke-
gairahan. Tubuhnya yang hanya tertutup kain belaka, menampilkan satu sosok penuh
gairah, menjanjikan surga dunia yang akan bisa diberikannya.
"Ada apa, Kangmas?" tanyanya mendayu-dayu.
Mengerling pada Jalaluta yang langsung menundukkan kepalanya. Bila ia membalas
kerlingan itu dan diketa: hui oleh Juragan Soka Wijaya, maka akan tamatlah
riwayatnya. "He he he... tidak apa-apa, Nimas. Ayo, ayo... kita lakukan lagi," sahut Juragan
Soka Wijaya sambil tertawa. Lalu katanya pada Jalaluta, "Kenapa kau masih berada
di sini, hah"!"
Tergagap Jalaluta segera berlalu. Sialan! Memang enak jadi orang kaya. Apa saja
bisa diperbuat. Lalu ia segera keluar sementara Juragan Soka Wijaya menggandeng
wanita itu masuk ke kamar kembali.
Di halaman rumah besar itu, dua kakak beradik yang menyelinap masuk, sedang
sibuk menghadapi keroyokan dari orang-orang gagah pengawal Juragan Soka Wijaya.
Orang itu tidak malu-malu untuk mengeroyok mereka. Karena pada dasarnya, mereka
memang suka sekali mengeroyok. Bagi mereka, yang penting adalah memetik
kemenangan. Persetan dengan cara apa pun! Jangankan cuma main
keroyokan, menjebak lawan dengan siasat yang paling licik pun.
"Panggil keluar semua orang-orang juragan busuk itu! Kalian akan mampus secara
mengerikan!" seru Seto sambil menebaskan pedangnya ke sana kemari.
Gerakannya tetap seperti asal saja. Seolah ia hanya mengibaskan pedangnya bagai
sedang menepuk lalat, tanpa melihat sasaran. Namun hasilnya justru mengejutkan.
Dan dua buah jeritan terdengar dengan
dua sosok tubuh ambruk bergelimang darah.
Orang-orang itu semakin mencecar Seto dan Bo-no yang berusaha membebaskan diri.
Dengan mengerahkan segala kemampuannya, keduanya beberapa kali berhasil
menghindarkan diri, bahkan membalas dengan hebatnya.
Seto sebenarnya bermaksud hendak melompat ke dalam rumah. Namun ia masih
memperhitungkan kedudukan adiknya. Melawan sepuluh orang itu, bukanlah hal yang
mudah. Makanya, ia masih mengurungkan niatnya untuk masuk ke rumah mewah itu dan
membunuh Juragan Soka Wijaya.
Tetapi agaknya Bono mengerti maksud kakaknya.
"Kakang! Jangan ragu-ragu! Cari bangsat itu dan bunuh biar mampus!"
'Tapi, Adi...," balas Seto sambil menyabetkan pedangnya ke bagian bawah
lawannya. Lawannya masih bisa menghindar, namun dengan gerakan yang lebih jitu
lagi, Seto melancarkan sabetan sekali lagi.
Des! "Aaakhhh!"
Tubuh lawannya terbelah di bagian perut! "Jangan khawatir, Kakang... aku bisa
menghadapi manusia-manusia busuk ini!" sahut Bono sambil mempergencar
serangannya. "Heeeaaa!"
"Tidak usah, kita habisi saja dulu manusia-manusia bangsat ini! Setelah itu,
kita cincang Juragan busuk itu! Tingkatkan ilmu pedang ke tingkat dua, Adi!"
"Baik, Kakang! Yeaaa!"
"Yiaaat! Mampuslah kalian semua!"
Keduanya bergerak semakin gencar. Semakin membabi buta. Pada gebrakan
selanjutnya, terlihat lawan yang kini tinggal tujuh orang bukan tandingan
ilmu pedang tingkat kedua milik Seto dan Bono.
Mereka malah kalang kabut menghadapi rangkaian jurus mematikan dari keduanya.
Sabetan empat buah pedang yang berada di tangan keduanya, seolah menjelma
menjadi banyak. Menimbulkan suara deru angin yang keras, disertai jeritan demi
jeritan. Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Hentikan!"
Gerakan dari lawan Seto dan Bono segera
terhenti. Mereka bersyukur karena ada yang menghentikan pertarungan itu.
Kesempatan itu pun dipergunakan oleh Seto dan Bono untuk mengatur napas. Mereka
melihat satu sosok tubuh berpakaian keraton keluar dengan langkah pelan namun
berisi. Wajahnya menampilkan kegeraman yang amat
sangat. "Hhh! Bodoh kalian semua! Menghadapi dua
manusia bangsat ini harus mengorbankan beberapa nyawa teman kalian!" bentak
Jalaluta dengan tatapan nyalang pada kedua kakak beradik itu. "Siapa kalian
adanya?" "Kami adalah orang-orang yang akan meng-
hancurkan kebusukan Juragan Soka Wijaya!" sahut Seto dengan dengusan yang
panjang, la bisa mengukur tenaga dalam lawan, yang sudah dialiri melalui
suaranya. "Sudah tinggikah rupanya ilmu yang kalian miliki"
Cih! Lebih baik segera kembali dan menetek pada ibu kalian!" Jalaluta membuang
ludahnya. "Ha ha ha... kau tidak pernah memandang betapa tingginya langit dan dalamnya
bumi, Antek Soka Wijaya!"
Mendapat jawaban seperti itu, Jalaluta semakin terbahak-bahak. Lebih keras dari
yang pertama. "Biasanya, orang yang ingin mati lebih suka
sesumbar!"
Kedua kakak beradik itu beradu pandang. Lalu seperti sudah disepakati, mereka
segera menerjang dengan ilmu pedang gabungan, 'Dua Kembar
Menghalau Bukit'. Gerakan itu begitu dahsyat, menimbulkan suara gemuruh yang
keras dan setiap kali mereka mengayunkan pedang, terdengar suara siungan angin
yang menderu-deru.
"Mampuslah kau, Keparat!" dengus Seto.
"Heeeaaa!"
Jalaluta hanya terbahak-bahak saja. "Ada
hubungan apa kalian dengan Setan Pedang Kembar, hah?"
"Bertekuk lututlah kau saat menyebutkan nama guru kami!" bentak Bono yang
menyerang dari sisi sebelah kiri.
"Ha ha ha... rupanya si Tua itu telah mempunyai murid! Bagus, bagus! Sampaikan
salamku untuknya!
Katakan, biar dia cepat mampus!"
Mendengar ejekan yang ditimpakan kepada guru mereka, membuat kedua kakak beradik
itu marah besar. Mereka terus menerjang dengan gabungan jurus pedang yang
dahsyat. Namun sampai sejauh itu belum membawakan hasil yang seperti diharapkan.
Karena Jalaluta memiliki ilmu meringankan tubuh dalam taraf yang cukup tinggi.
Tubuhnya melenting ke sana kemari menghindari setiap serangan mereka.
Hal itu semakin membuat kedua kakak beradik itu bertambah geram. Mereka
meningkatkan penyerangan, dengan menggunakan tenaga dalam yang berlipat ganda.
"Gunakan 'Gabungan Kembar Menipu Setan', Adi Bono!"
Dengan menggunakan jurus berikutnya, agaknya
membawa hasil. Jurus itu merupakan rangkaian kelitan yang hebat, dan sekali-
sekali menyerang dengan gerakan cepat dan bertenaga. Merupakan rangkaian gerak
yang sangat dahsyat. Lebih hebat dari jurus gabungan pertama yang mereka
perlihatkan tadi.
Kali ini Jalaluta menggeram marah. Ia berkelit ke sana kemari dengan menggunakan
ilmu meringankan tubuhnya. Hanya kali ini ia tertipu beberapa kali.
Karena, serangan yang kedua kakak beradik itu lakukan, sepertinya selalu
berkelit. Jadi, mengikuti setiap gerakan kelitan yang dilakukan oleh Jalaluta.
Hal itu teramat menyulitkannya. Bukan hanya sampai di sana tingkat kesulitan
yang dihadapinya, melainkan karena ia pun harus mengelakkan setiap sodokan,
sabetan dan pan-cungan dari pedang yang dilakukan oleh kakak beradik itu.
"Anjing buduk!" geramnya sambil bersalto


Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa kali ke belakang, lalu hinggap di tanah dengan ringannya. Tetapi ia
harus mengempos lagi tubuhnya, karena serangan yang datang kembali beruntun.
Rupanya kakak beradik itu tidak pernah mau membiarkan Jalaluta bernapas.
"Monyet!"
Terpaksa Jalaluta melompat kembali. Tetapi kali ini ia sudah terdesak dan
terjebak. Ia terkurung dalam kilatan empat buah pedang yang berkelebat ke sana
kemari. Nasib Jalaluta sudah di ujung tanduk, ia tidak mungkin menghindari
serangan yang kembali datang.
Namun mendadak terdengar seruan keras.
Tunggal Murka sudah menerjang maju dengan goloknya. Maksudnya, untuk membebaskan
Jalaluta dari kepungan golok itu.
Namun itu adalah kesalahan terbesar yang
dilakukannya. Selagi pedang yang berada di tangan kakak beradik berkelebat
mengurung Jalaluta, seharusnya Tunggal Murka tidak menyerang dan masuk ke dalam
pusaran. Karena, itu hanya membuang nyawa dengan percuma.
"Bangsat!" maki Seto sambil menggerakkan
kibasan pedangnnya.
Terdengar bunyi nyaring beberapa kali. Disusul dengan lolongan yang sangat kuat.
Tubuh Tunggal Murka mencelat ke atas dalam keadaan tercabik-cabik.
Beberapa temannya segera memburu. Dan
melihat tubuh yang sangat mengerikan sekali. Penuh darah dan wajahnya hancur.
Mereka menjadi marah, dan memasuki
pertarungan itu. Hal ini membawa hasil yang menggembirakan bagi Jalaluta. Ia
segera terbebas dari jebakan pedang yang mengitarinya, karena Seto dan Bono
harus menghadapi serangan yang baru datang itu.
Jalaluta mempergunakan kesempatan itu untuk mengatur napasnya. Dan melihat
betapa para penjaga itu tewas dengan tubuh yang tak kalah mengerikannya dari
yang dialami oleh Tunggal Murka.
"Mampuslah kau, Keparat!" Kali ini Jalaluta menyerang dengan kerisnya. Sinar
merah terpancar dari keris itu. Menyilaukan mata. Dan kilatan itu menerpa kedua
mata kakak beradik yang sekejap memejamkan matanya. Namun sekejap pula Jalaluta
sudah merang-sek maju, yang ditujunya adalah Bono, karena ia berada paling dekat
dengannya. "Adi Bono!" seru Seto mengingatkan Bono akan serangan yang mendadak masuk.
Sebisanya ia menangkis serangan keris itu.
Trang! Hanya sekali ia berhasil melakukannya. Karena tiba-tiba tubuh Jalaluta berputar
dan kerisnya segera menyambar lengan kanan Bono.
Cras! "Aaakhhh!"
Lengan itu putus mengalirkan darah. Bono
meraung-raung dengan keras sambil mendekap tangan kanannya dengan tangan
kirinya. Pedangnya sudah dilepaskan.
Melihat darah yang sudah memancar, mendadak saja Jalaluta bergerak cepat. Ia
seperti manusia yang haus darah. Itu karena pengaruh dari Keris Dewa yang
dipegangnya. Keris yang seolah mempunyai indera penciuman dan sangat haus darah.
Seto melihat kedudukan adiknya tidak
menguntungkan, sementara Jalaluta sudah
merangsek maju dengan cepatnya, la pun menjerit keras dan menerjang, mencoba
memotong gerakan keris itu dengan 'Kembar Menghalau Gunung'. Namun sayang, keris
itu sepertinya bermata. Mendadak saja tangan Jalaluta yang menggenggam keris
bergerak ke arahnya, sementara kaki Jalaluta menendang Bono hingga terlempar
beberapa tombak.
Menghadapi serangan balik seperti itu, Seto menjadi gugup. Ia tidak menyangka
kalau serangannya menjadi seperti disongsong dengan kuat. Tidak ada jalan lain
selain memapaki.
Trang! Trang! Dua kali terjadi benturan. Seto merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Dan
dirasakannya hawa panas mengalir sekujur tubuhnya. Mendadak saja ia melemparkan
sepasang pedangnya yang seolah menjadi bara api. Dipejamkannya matanya. Ia
pasrah menerima kematiannya di ujung keris Jalaluta.
Tetapi yang mengherankannya, Jalaluta justru kembali menyerang Bono yang sedang
mengerang hebat Rasa sakit yang dialaminya tak terkira. Begitu menyiksanya.
Seto tidak tahu, kalau gerakan yang dilakukan Jalaluta itu bukanlah atas kemauan
Jalaluta sendiri, melainkan atas kemauan dari keris di tangannya.
Keris itu memang menginginkan darah lawannya.
Tubuh Bono sudah mengalirkan darah, sementara Seto belum terluka, meskipun
getaran dan hawa panas di tubuhnya semakin mengencang.
Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan kematian yang siap menerpa
adiknya. Dipejamkannya matanya ketika dilihatnya keris itu menusuk tepat di
bagian jantung Bono. Suara jeritan yang sangat keras terdengar. Lolongan itu
memecahkan malam, membuat para penduduk terbangun, namun tidak ada yang berani
keluar. Lebih baik berdiam saja di rumah.
Seto menggigil karena menahan amarah yang menjalari setiap tubuhnya. Mendadak ia
bergerak dengan cepatnya, tidak dipedulikannya hawa panas yang mengaliri setiap
pori-porinya. Begitu menyiksanya.
"Kau harus membayar semua ini, Anjing Buduk!"
serunya keras sambil mengarahkan sebuah pukulan ke arah Jalaluta. Jalaluta hanya
memiringkan tubuhnya, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Seto untuk menyambar
tubuh adiknya yang sudah menjadi mayat. Menepak keris Jalaluta yang mengancam
tubuhnya. Tangannya berdarah. Tetapi tidak dihiraukannya. Langsung ia melarikan
diri dengan membawa tubuh Bono yang tak bernyawa.
Beberapa orang hendak mengejar, tetapi Jalaluta menahannya.
"Tidak usah! Biarkan dia menderita akibat hawa panas yang menerpanya! Kalau ia
memiliki hawa murni yang cukup, tubuhnya akan bertahan selama tiga hari tiga
malam. Tetapi kalau tidak, ha ha ha... ia akan mampus dengan tubuh meledak besok
pagi juga! Inilah akibatnya bila berani bermain-main nyawa dengan Jalaluta! Ha
ha ha!" Lalu Jalaluta masuk kembali ke dalam, setelah memerintahkan para penjaga untuk
mengangkuti mayat-mayat kawan mereka dan menguburkannya.
Suasana kembali hening.
*** Hutan Alas Warangan merupakan hutan yang
lebat dan menyeramkan di daerah itu. Konon, hutan itu tempat bermukimnya para
buto. Satu sosok tubuh tidak mempedulikannya. Sosok itu terus berlari dan
berlari. Sudah setengah tersaruk-saruk karena keletihan dan beban yang
dibawanya. Ia tak lain adalah Seto yang memanggul mayat Bono. Tubuhnya sudah dirasakan
semakin panas saja. Gerakannya sudah tidak selincah tadi.
Tenaganya semakin terkuras dengan keadaan yang sangat menyakitkan.
Beberapa menit kemudian, ia tidak bisa bertahan lagi. Tubuhnya ambruk. Mayat
Bono terpental beberapa tombak. Masih dikuatkannya seluruh tenaganya,
dihimpunnya dengan jalan merangkak untuk menggapai mayat adiknya.
Malam semakin merambat Hutan Alas Warangan tetap mengerikan. Namun ia tidak
peduli, terus dikerahkannya sisa-sisa tenaganya untuk mendapatkan mayat adiknya.
Dengan sisa tenaganya pula ia membuka topeng hitam yang menutupi wajah adiknya,
dan memegangi wajah itu yang terdiam, kaku. Seolah ia tenang dalam matinya.
Namun Seto yakin, kalau adiknya mati dengan membawa berjuta dendam. Dendam
mereka atas kematian Bibik Utari belum terbalas, kini harus menerima nasib yang
mengenaskan. Bono telah tewas bersama dendam yang masih membara.
Seto pun melepaskan topeng hitamnya. Ia
memandangi mayat adiknya dengan hati yang pilu sekali. Dengan kenyataan yang tak
pernah ia bayangkan. Tak dipedulikannya kalau hawa panas di tubuhnya semakin
menyerang. Ia merasa bagaikan berada dalam neraka.
Hatinya terpukul menghadapi kenyataan yang terasa pahit ini. Bono adalah adik
kandungnya, temannya semasa kecil hingga remaja seperti sekarang ini. Dan kini,
Bono sudah meninggalkannya.
Hal ini membuatnya sakit hati sekali.
Tiba-tiba pandangannya terbuka, memancarkan sinar amarah dan dendam yang teramat
sangat. "Soka Wijaya... satu saat kau akan mampus!"
geramnya. "Kau Jalaluta, kau pun akan mam...
pus...." Lalu tubuh itu terkulai. Pingsan karena tak kuat menahan hawa panas.
Malam pun bergulir menjadi pagi. Mentari sudah menampakkan wajahnya di ufuk
timur sana. Satu sosok tubuh yang mengenakan pakaian berwarna kuning keemasan
sedang melangkah di hutan itu.
Nampak ia sedang mencari angin belaka sambil menari-nari seperti anak kecil.
Bila melihat kulit tubuhnya, sosok tubuh itu kira-kira berusia sekitar enam
puluh delapan tahun.
Namun bila melihat wajahnya yang dipoles dengan baju wama kuning keemasan,
menandakan ia sangat suka bersolek. Begitu pula melihat sikapnya yang nampak
begitu riang tak ubahnya seorang gadis remaja. Dan sekali-sekali ia mengambil
cermin kecil dari balik kebayanya.
Lalu berkaca sambil tersenyum-senyum.
"Kau memang cantik," katanya pada diri sendiri.
Ia kembali meneruskan langkahnya, tetap dengan gaya menari-nari. Sekali-sekali
keluar dari mulutnya senandung kecil, yang menceritakan keindahan alam.
Namun di satu tempat, mendadak ia berhenti melangkah, ketika melihat dua sosok
tubuh yang tergeletak di tanah. Keningnya berkerut sejenak.
"Hmm, apalagi ini" Kenapa banyak sekali yang mati?" desisnya sambil mendekati
dua sosok tubuh itu. Lalu diperiksanya dua sosok tubuh itu. "Wah, wah... yang
ini sudah mampus rupanya. Hmm... yang ini masih punya napas. Edan! Gila!
Sinting! Rupanya ia terkena hawa panas dari Keris Dewa. Wah, wah...
katanya si Tua Keris Dewa sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan, mengapa
sekarang masih menurunkan tangan telengasnya?" katanya sambil mendengus.
Lalu nenek pesolek itu bersila, mengatupkan kedua tangannya di dada. Lalu
perlahan-lahan menempelkannya pada tubuh Seto. Rupanya ia mengalirkan hawa
dingin ke tubuh Seto, terbukti dari asap yang mengepul hebat. Wanita itu tidak
bergeming beberapa saat, masih mengalirkan hawa dinginnya ke tubuh Seto.
Sementara asap yang mengepul semakin banyak dan lama kelamaan
menipis. Wajah nenek pesolek itu pun sudah tidak setegang tadi.
Setelah itu ia mendesah.
"Tua, Tua... rupanya kau masih kejam juga...,"
kekehnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kupikir kau sudah mengasingkan diri. Hhh! Orang seperti kau- yang selalu haus
darah, mana mungkin menghentikan segala kegiatan busukmu itu, Tua Keris Dewa!"
dengusnya. Nenek pesolek itu mengambil sebuah cermin dari balik kebayanya. Lalu dibukanya,
dan diperhatikannya wajahnya dalam cermin.
"Wah, wah... gara-gara kau ada debu di wajahku."
Lalu dengan selendang yang tersampir di
pinggangnya, dihapusnya debu itu. Kembali ia memandangi cermin yang masih
dipegangnya sambil tertawa-tawa.
"Ha ha ha... Nimas Kunti, Nimas Kunti... semakin lama kau nampak semakin ayu
saja." Kembali ia memasukkan cermin itu ke balik kebayanya. Lalu merapikan pakaiannya
yang berwarna kuning keemasan. Sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya, Nimas Kunti yang bergelar si Nenek Pesolek, lalu bangkit.
Diambilnya sebatang ranting yang paling kecil. Dengan ranting itu ia menggali
tanah dan menguburkan mayat Bono!
Tanpa keringat setitik pun!
Pekerjaan itu pun dilakukan dengan sangat cepat.
Seolah tanpa beban sedikit pun. Bahkan ia melakukannya sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya, menandakan kekesalannya karena masih saja keangkaramurkaan
berlangsung di muka bumi ini.
Setelah itu dibawanya tubuh Seto yang masih pingsan. Sekali lagi seolah tanpa
beban. Begitu ringannya. Dan tetap dengan gayanya yang mirip gadis remaja. Menari-nari dan berdendang.
*** 2 Pagi kembali membedah alam. Mentari telah memberikan penerangannya ke seluruh
penjuru. Satu sosok tubuh mengenakan rompi dari kulit ular, melangkah sambil
mendendangkan kidung senja, lambang keabadian dan persahabatan. Langkahnya
santai sekali sambil menggerak-gerakkan tubuhnya.
Tetapi tiba-tiba sosok tubuh yang tak lain si Pendekar Gila terkekeh.
"Lucu, lucu.. mengapa aku bernyanyi seperti itu"
He he he... padahal dunia ini penuh darah, darah yang bersimbah. Edan memang!
Gila, gila! Ya, ya...
gila!" Pendekar Gila terus melangkah. Memperhatikan jalan setapak yang dilaluinya, di
sana-sini penuh dengan pohon-pohon yang tinggi. Tiba-tiba pen-dengarannya yang
tajam menangkap sebuah kidung dari sebelah timur.
"Ealah... ada gadis menyanyi dengan suara yang merdu," desisnya terkekeh. "Ini
lucu, ini harus dilihat..."
Tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas. Dari pohon itu ia melihat ke bawah, di
sebelah timur sana ternyata terdapat sebuah sungai yang airnya mengalir jernih.
Pendekar Gila melihat satu sosok tubuh sedang berendam di sungai itu.
"Wah, wah... badannya itu, itu badan... mulus, mulus.... Ah, Mei Lie... aku
rindu padamu... Ya, ya...
aku rindu... Du-du-du..."
Sejenak Pendekar Gila menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ingatannya kembali pada kekasihnya Mei Lie. Mendadak ia teringat akan
kenangan terakhirnya dengan Mei Lie. Tetapi tugasnya sebagai pembela kebenaran
mengharuskannya meninggalkan Mei Lie.
Entah di mana gadis itu sekarang berada.
Mendadak lamunannya buyar ketika telinganya menangkap jeritan yang sangat keras
dari arah sungai itu. Sena melihat tiga orang laki-laki yang mengenakan gelang
bahar sedang mendekati gadis itu dengan menyeringai.
"Wah, wah... kejahatan itu memang tidak pernah berakhir!" dengusnya sambil
bersalto turun.
Sementara itu di sungai, Lastri terkejut bukan main ketika menyadari tiga sosok
tubuh seram mendekatinya. Lastri adalah salah seorang gadis dari warga Desa
Bojong Sawo. Kecantikannya tidak pernah dipoles apa pun. Begitu alami dan mumi.
Alamlah yang telah menempa kecantikannya. Alamlah yang membuatnya tumbuh menjadi
seorang gadis yang jelita.
"Oww!" serunya kaget begitu menyadari ketiga sosok tubuh itu semakin mendekat.
Ia langsung berendam untuk menutupi bagian-bagian tubuhnya yang terlarang. "Sana
pergi! Pergi!"
"He he he..., Manis, mengapa kau harus marah pada kakangmu, nah?" salah seorang
dari tiga laki-laki yang mengenakan gelang bahar itu menyeringai.
Wajahnya bulat, dengan bopeng di sana-sini. Ia bernama Menggolo. Sementara dua
orang temannya bernama Karto Suro dan Wono Jarot. Mereka ter-gabung dalam Tiga
Iblis Bergelang Bahar.
Lastri semakin ketakutan. Wajahnya yang cantik pias seketika. Ia dapat
membayangkan apa yang akan dialaminya bila ketiga laki-laki itu berhasil
mendapatkannya. Tidak, ia harus mempertahankan diri.
Mendadak ia berenang ke arah yang berlawanan, membiarkan Wono Jarot merobek-
robek pakaiannya.
"Hei, mau ke mana, Manis" Tidak usah takut!
Kakangmu akan menyerahkanmu kepada Juragan Soka Wijaya!"
Lastri tidak menggubris ucapan kotor Menggolo, ia terus berenang sekuat
tenaganya. Sebenarnya Tiga Iblis Bergelang Bahar itu baru saja keluar dari kediaman mereka,
di Lembah Iblis.
Mereka bermaksud untuk mengabdi pada Juragan Soka Wijaya, karena Jalaluta,
sahabat mereka sudah berada di sana. Menurut Jalaluta, ia mendapatkan apa saja
yang diinginkannya. Itulah yang membuat Tiga Iblis Bergelang Bahar bertekad
untuk mengabdi pada Juragan Soka Wijaya.
Kebetulan sekali, mereka melihat seorang gadis cantik sedang mandi seorang diri
di sungai. Mereka sudah tahu dari Jalaluta, kalau Juragan Soka Wijaya sangat
menyukai gadis-gadis cantik untuk digaulinya.
Mereka pun bermaksud menyerahkan gadis itu pada Juragan Soka Wijaya.
"Hei, kau mau ke mana"!" seru Menggolo, lalu mengambil sebuah kerikil dan
dilemparkannya ke arah Lastri yang sedang bersusah payah mencapai tepi sungai.
Kerikil itu tepat mengenai punggung Lastri, mendadak saja tubuhnya menjadi kaku.
Lalu mengambang layaknya orang mati.
"He he he... sudah kukatakan, jangan lari! Karto, ambil dia!"


Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karto Suro segera melemparkan beberapa ranting ke sungai itu, lalu dengan
gerakan yang ringan sekali ia melompati ranting demi ranting dan mengambil
tubuh Lastri dengan ringannya. Dan kembali ke tempat semula Menggolo tertawa.
"Ha ha ha... gila, sayang sekali aku menginginkan mengabdi pada Juragan Soka
Wijaya, kalau tidak...
kau sudah kumakan di sini, Manis!" serunya yang melihat tubuh telanjang Lastri.
Kelaki-lakiannya perlahan-lahan naik. Tetapi ia mendengus karena teringat kalau
ia akan menyerahkan gadis ini pada calon majikannya.
Lastri yang tidak bisa bergerak karena terkena totokan namun masih bisa bersuara
berseru lantang bercampur ketakutan, "Lepaskan aku, Manusia busuk! Lepaskan!"
"Mana mungkin kami melepaskanmu, hah?"
Menggolo menotok urat suara Lastri sehingga gadis itu tidak bisa berbicara.
"Wono, buka pakaianmu, tutupi tubuh gadis itu! Ayo, kita harus segera tiba di
rumah Juragan Soka Wijaya, Jalaluta pasti sudah menunggu kita!"
Belum lagi mereka melangkah, tiba-tiba terdengar kekehan dari atas pohon, "Enak
saja membawa anak orang, Monyet-monyet gendut! Lepaskan dia!"
Ketiganya terkesiap kaget. Mereka melihat satu sosok tubuh sedang berayun-ayun
pada ranting kayu paling ujung, mengenakan rompi kulit ular.
"Manusia iseng! Siapa kau sebenarnya?" bentak Menggolo dengan tatapan nyalang.
Ia paling tidak suka ada yang turut campur dalam urusannya.
"Iseng" He he he.. bagus, bagus. Biasanya orang menyebutku gila. He he he...
terbukti sekarang, kalau aku tidak gila, kan" Ya, ya... iseng, iseng...."
Menggolo mengerutkan keningnya. Melihat sikap pemuda yang duduk di ranting kecil
itu, sepertinya ia memang tidak waras. Tetapi bila melihat betapa
ranting kecil itu tidak patah didudukinya, menandakan orang itu memiliki ilmu
yang tinggi. "Hei, Monyet busuk! Katakan, siapa kau adanya?"
"Lho, lho! Aneh! Bukankah tadi kau menyebutku manusia iseng. Barangkali... ya,
namaku memang itu!
Sekarang, sebutkan namamu! Tetapi kalau melihat wajahmu yang buruk itu, pasti
namamu si Bopeng, kan" He he he... Bopeng, Bopeng!"
Menggolo menggeram marah. Kakinya me-
nendang sebatang ranting di tanah. Mendadak saja ranting itu melesat menderu
dengan kekuatan penuh ke arah Pendekar Gila.
"Cih! Mengajak main lempar-lemparan rupanya!"
Sena menggerakkan tangan kanannya, mendadak saja ranting itu berbalik arah.
Mengarah pada Menggolo yang langsung bersalto. Ketika ia hinggap kembali ke
tanah, ia melihat ranting itu sudah menancap hampir ke pangkalnya.
"Bangsat! Turun kau, biar kuberi pelajaran padamu!"
Sena menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku tidak ingin mendapatkan pelajaran darimu!
Yang kuminta lepaskan gadis itu! Kalian akan meninggalkan tempat ini dengan
selamat!" Wono Jarot sudah tidak sabar lagi melihat kakangnya masih bermain-main kata-kata
seperti itu. Mendadak saja ia mengegos tubuhnya. Hup!
Tubuhnya meluncur ke atas, dengan dua tangan berbentuk cakar. Pendekar Gila cuma
tertawa saja. Bertepatan kedua tangan Wono Jarot akan
mencengkeram tubuhnya, mendadak ia bersalto turun. Gerakan yang diperlihatkan
mirip gerakan kera yang menghindari lawannya. Hebatnya, sambil bersalto itu,
kedua tangan Sena bergerak dengan
cepat. Membetot turun celana pangsi yang
dipergunakan oleh Wono Jarot, sehingga kini ia bertelanjang celana. "Ha ha ha...
lucu, lucu!"
Wono Jarot pun hinggap di tanah. Wajahnya memerah karena marahnya. Lebih marah
lagi karena ia tidak mengenakan pakaian. Pakaiannya diberikan pada Lastri.
Jadinya ia telanjang.
"Rupanya ada orang hutan di sini! Hi hi hi... bagus sekali itu, bagus sekali!"
Melihat adik seperguruannya dipermalukan
dengan sekali gebrak, Karto Suro melempar tubuh Lastri begitu saja ke tanah.
Lalu ia mengegos tubuhnya, mencelat ke depan.
"Mampus kau, Orang gila! Heeeeaaa!"
Sena cuma tertawa saja. Malah ia menggaruk-garuk pantatnya, lalu bergantian
menggaruk kepalanya.
"Ini lagi! Mau apa!" serunya sambil berkelit. Karto Suro tidak mau membuat
gebrakan hanya sekali. Ia mencoba memperpadukannya dengan jurus 'Gelang Bahar
Membentuk Lingkaran'. Mendadak saja tubuhnya bagaikan sebuah gelang bahar,
bergerak me-lingkari Sena yang masih terkekeh.
Mendadak saja tubuh Pendekar Gila mem-
bungkuk, kedua tangannya siap mencengkeram lawan. Jurus 'Si Gila Mencengkeram
Mangsa' memang dipergunakan untuk melepaskan diri dari lawan yang menyerang bagian
bawah. Namun karena lawan berbentuk melingkar dengan sekali-sekali melepaskan
pukulan dan tendangan berisi, jurus itu pun berguna.
Mendadak saja tangan Pendekar Gila berhasil mencengkeram kaki kanan Karto Suro.
Lalu diputarnya tubuh itu sehingga Karto Suro minta
dilepaskan. Tetapi sudah tentu Pendekar Gila tidak ingin melepaskannya. Mendadak
saja tubuh itu dilemparnya. Bersamaan dengan melayangnya tubuh Karto Suro, tubuh
Pendekar Gila pun mencelat.
Dengan mempergunakan jurus 'Kera Gila Berayun Menyambar', Sena bergerak dengan
cepat. Hinggap di satu dahan pohon dan menendang tubuh Karto Suro sehingga
terpental kembali. Lalu Sena melompat lagi ke dahan yang lain dan kembali
menendang tubuh Karto Suro.
Melihat Karto Suro di ambang maut, Menggolo segera melepaskan gelang baharnya.
Singng! Gelang bahar yang telah dialiri tenaga dalam itu melesat ke arah Sena. Memotong
gerakan yang dilakukannya. Sena yang akan menendang tubuh Karto Suro lagi
menjadi urung menarik pulang kakinya. Dan senjata gelang bahar yang dilemparkan
oleh Menggolo kembali ke pemiliknya, mirip bumerang.
Sementara Wono Jarot segera menyambut tubuh Karto Suro yang melayang jatuh. Ia
melihat tubuh Karto Suro membiru dengan wajah yang merah legam.
"Sudah kukatakan tadi, lebih baik kalian
tinggalkan gadis itu dan segera pergi dari sini!"
bentak Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Menggolo menggeram.
"Kejadian ini tidak pernah aku lupakan, Bangsat!"
"He he he... aku pun tidak akan pernah
melupakan wajahmu yang mulus itu, Bopeng!" balas Pendekar Gila sambil mengusap-
usap wajahnya dengan gerakan meledek.
"Kakang...," bisik Wono Jarot. "Ingatkah Kakang, kalau saat ini di rimba
persilatan muncul seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Gila" Apakah ini
orangnya?"
Menggolo menggelengkan kepalanya.
"Sebenarnya sejak tadi sudah kupikirkan soal itu.
Hmmm... rupanya pendekar itu masih sangat muda."
"Lalu bagaimana sekarang, Kakang?"
"Kita tinggalkan gadis itu. Karto Suro harus segera ditolong, kalau tidak ia
akan mampus! Pendekar busuk, kita akan bertemu lagi!" Sesudah berkata demikian, Menggolo
segera mengegoskan tubuhnya, begitu pula dengan Wono Jarot yang memanggul tubuh
Karto Suro. Sena cuma terkekeh saja. Lalu menghampiri Lastri yang sejak tadi terbaring di
tanah. "Jangan takut, Manis... kau sudah aman
sekarang, " katanya setelah membebaskan totokan dari tubuh Lastri.
Lastri tersipu. Apalagi mengingat ia tidak mengenakan apa-apa di balik pakaian
gombrong milik Wono Jarot.
"Terima kasih atas pertolongan Kakang..."
"Ya, ya... siapa namamu?"
"Lastri, Kakang...."
"Lastri, Lastri... he he he... bagus, nama itu bagus sekali. Namaku... Sena..."
"Kang Sena...."
"Nah, nah... itu bagus, bagus sekali. Kang Sena...
he he he... Kang Sena..."
Melihat sikap Pendekar Gila yang blak-blakan dan agak lucu itu membuat Lastri
bisa memulihkan rasa malunya.
"Kakang mau ke mana sekarang?"
"Aku" Tidak tahu."
"Bagaimana... bagaimana kalau ke rumah saya?"
tanya Lastri tersipu.
"Ke rumahmu" Mau apa?"
"Ya... saya... cuma ingin menjamu Kakang sedikit saja... sebagai... ucapan
terima kasih...."
"Oh, boleh, boleh...."
Hati Lastri berbunga. Entah kenapa. Sebenarnya banyak pemuda yang menaruh hati
pada Lastri, tetapi sampai sekarang ini gadis itu masih menolak saja.
Dan kini, entah kenapa tiba-tiba hatinya bergetar melihat pemuda ini.
*** Ki Sobrang adalah bapak dari Lastri. Ia
menyambut kedatangan anaknya yang datang
bersama Sena dengan hati gembira. Pertama-tama begitu melihat Sena, hatinya
jengkel sekali. Karena, anaknya berani berjumpa dengan seorang pemuda.
Tetapi setelah mendengar cerita Lastri kalau ia baru saja diselamatkan oleh
Sena, Ki Sobrang bisa mengerti.
Bahkan menerimanya dengan baik.
"Terima kasih atas bantuan Saudara Pendekar pada anak saya," katanya dengan
tulus. Sena tersenyum.
"Anak Aki cantik."
Kening Ki Sobrang berkerut. Apa-apaan anak muda ini berkata demikian. Tetapi
ketika ia melihat Lastri yang bersimpuh di sebelahnya tersipu, ia pun tertawa.
"Ha ha ha... ya, ya... Lastri memang cantik. Ia adalah burung gelatikku satu-
satunya, setelah ibunya
meninggal.... Pujian Saudara Sena sangat tinggi sekali...."
"Lho" Anak Aki memang cantik," sahut Sena.
Wajah Lastri kali ini memerah. Ia buru-buru masuk ke dalam sebelum ia telanjur
malu. Namun hatinya senang bukan main.
Ki Sobrang masih tertawa, lalu menghentikan tawanya. "Sebenarnya, siapa Anak
ini?" "Saya Sena."
"Maksud Aki... mau ke manakah Nak Sena
sekarang?"
"Saya tidak tahu, Ki. Di mana ada bumi, mungkin di sanalah saya berpijak."
"Ah, gemar berpetualang rupanya...."
"Begitulah, Ki... he he he...."
Lagi Ki Sobrang mendesah dalam hati. Ia suka terkejut bila melihat Sena mendadak
tertawa sendiri.
Jangan-jangan, pemuda ini agak tidak waras"
"Saya ingin bertanya, Ki.... Ketika orang-orang kasar itu mengganggu rayi
Lastri, saya mendengar mereka hendak mengabdi pada Juragan Soka Wijaya.
Siapakah dia gerangan, Ki?"
Sena melihat wajah Ki Sobrang menjadi pias.
"Kenapa Anak bertanya begitu?"
"Karena saya penasaran, Ki...."
Ki Sobrang menghela napas berkali-kali. Lalu katanya seraya menatap Sena, "Anak
muda... ketahuilah... dulu desa ini sangat makmur sekali.
Kehidupan para penduduknya sangat aman sentosa, kami semua saling bahu-membahu
dan gotong royong. Hanya saja... setelah kedatangan Juragan Soka Wijaya berikut
tukang pukulnya setahun yang lalu... kehidupan di desa ini berubah total.
Semuanya menjadi berantakan dan tidak pernah sekalipun kami
membayangkan akan terjadi perubahan besar-besaran di desa ini...."
"Perubahan apa yang Aki maksudkan?"
Ki Sobrang mendesah. Rupanya anak muda ini bisa serius juga. "Perubahan yang
sangat menyedihkan sekali. Juragan Soka Wijaya dan anak buahnya tidak segan-
segan menghancurkan siapa saja. Mula-mula ia memang baik sekali, meminjamkan
uang kepada para petani, namun ketika mereka mengembalikan uang yang
dipinjamkannya, mereka sangat terkejut. Karena Juragan Soka Wijaya meminta
pengembalian tiga kali lipat dari pinjaman. Hal ini sudah tentu tidak bisa
diterima. Mereka membantah dan melawan, namun nyawanyalah yang justru melayang."
"Kejam!"
"Ya, sangat kejam! Yang tidak berhasil membayar hutang berikut bunganya, akan
disita apa saja miliknya. Ternak. Sawah. Ladang dan apa saja. Bagi yang tidak
memiliki benda-benda itu, anak gadis mereka atau istri mereka sebagai
penggantinya. "
"Apakah tidak ada yang berani melawan, Ki?"
"Kami bukannya tidak berani, hanya kami masih mengingat bagaimana anak-anak kami
kelak. Lagipula, tukang pukul Juragan Soka Wijaya sangat kejam. Mereka tidak segan-
segan membunuh siapa saja yang melawan peraturan yang ditetapkan oleh Juragan
Soka Wijaya...."
Sena menggangguk-anggukkan kepalanya.
"Di manakah Juragan Soka Wijaya tinggal, Ki?"
tanyanya kemudian.
"Oh! Kau... kau mau apa, Anak Muda?"
Pendekar Gila menggaruk-garukkan kepalanya. Ia nyengir. "He he he... bertamu
saja. Barangkali saya
mendapatkan hidangan yang enak. Orang kaya itu hidupnya enakan, Ki?"
Ki Sobrang mendesah. Mulai kumat lagi anak muda ini.
"Aku yakin... kau memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kuharap, kau tidak usah ikut
campur dalam urusan ini, Sena.'
"Ki Sobrang... saya paling tidak suka melihat keonaran dan keangkaramurkaan di
dunia ini. Selagi saya masih hidup dan bisa mengatasi setiap kejahatan, saya
akan tetap melakukannya. He he he... kan ini bagus ya, Ki?"
"Apa yang kau katakan itu benar, Sena... jadi..."
Kata-kata Ki Sobrang terputus, karena mendadak terdengar seruan keras dari luar,
"Ki Sobrang! Keluar kau!"
"Siapa itu, Ki?" tanya Sena yang sudah bersiaga.
"Tenang saja. Pasti itu pengawal Juragan Soka Wijaya."
"Ada apa mereka kemari?" tanya Sena yang
melihat ketenangan Ki Sobrang.
"Apa lagi kalau bukan untuk meminta anakku?"
"Lastri?"
"Ya. Karena cuma dia anakku satu-satunya."
"Ki Sobrang! Jangan bersembunyi seperti anak perempuan!" seruan itu terdengar
lagi. "Bila kau tidak muncul juga, kubakar rumah ini!"
Ki Sobrang pun bangkit, menemui tamunya.
Sementara Sena berlari lewat pintu belakang.
"Kang Sena," suara itu terdengar.
Sena nyengir dan menggaruk-garuk kepalanya.
"He he he... kenapa?"
"Saya... saya takut, Kang...," kata Lastri yang mendengar seruan itu. Ia
teringat bagaimana
ancaman dari orang-orang Juragan Soka Wijaya bila bapaknya atau ia tidak
bersedia menjadi selir dari Juragan Soka Wijaya. Mereka akan dicincang sebelum
dibunuh! "Rayi Lastri, lebih baik Rayi berdiam di kamar saja. Tidak usah keluar."
'Tapi..." Sena tersenyum. "Masuklah..."
Lastri menuruti kata-kata Sena. Di dalam
kamarnya ia berdoa banyak-banyak demi ke-
selamatan bapaknya dan sudah tentu, Sena. Sena sendiri keluar lewat pintu
belakang. Di depan rumah itu, Ki Sobrang sudah
berhadapan dengan tamu-tamunya yang berjumlah enam orang. Semuanya bersenjatakan
tombak. Yang berdiri di depan seorang laki-laki berwajah seram, dengan kedua tangan yang
kekar. Kedua kakinya dibuka sedikit, menandakan ia seorang jagoan.


Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akhirnya kau keluar juga, Orang tua," katanya sambil tertawa. "Bagaimana dengan
janjimu, ha?"
Ki Sobrang mendengus. Ia sudah muak dengan tingkah laku orang-orang ini.
Meskipun usianya sudah lanjut, namun keberaniannya tidak pernah luntur.
"Kebo Ijo! Aku tidak pernah punya janji apa-apa denganmu. Jadi kuharap... lebih
baik kau segera me ninggalkan tempat ini sebelum kemarahanku naik!'
sahutnya gagah. Matanya memperhitungkan jarak.
Kebo Ijo tertawa mendengar suara penuh
tantangan itu. Begitu pula dengan lima orang kawannya. Bagi mereka, kata-kata Ki
Sobrang itu hanya patut untuk menggertak anak kecil.
"Aku tidak suka bertele-tele! Sudah tiga kali kami datang ke sini, untuk membawa
Rayi Lastri ke kediaman Juragan Soka Wijaya! Dan kau masih belum juga memberikan jawaban yang
enak untukku, Ki!"
Ki Sobrang mendengus. Kedua tangannya
terkepal. "Kebo Ijo, aku tidak punya jawaban yang enak untukmu, selain jangan kau ganggu
anakku lagi!"
Wajah Kebo Ijo memerah.
"Apa maksud kata-katamu itu, Ki?" suaranya mengeras, mengandung ancaman yang
tidak main-main.
Ki Sobrang pun merasakan hal itu. Namun ia tidak mau lagi mengulur-ngulur waktu.
Sudah tiba saatnya ia harus unjuk gigi. Kalau tidak, ia akan terus menerus
dicecar dan diancam. Yang dikhawatirkan-nya, kalau ia lengah menjaga Lastri.
Seperti kejadian di sungai tadi. Kalau tidak ada Sena, sudah tentu nasib
putrinya berada di ambang kehancuran. Dan ia pun mendengus muak ketika menyadari
kalau Juragan Soka Wijaya menambah kekuatannya dengan tambahan orang-orang ber-
gelang bahar seperti yang diceritakan oleh Sena.
Ki Sobrang menyahut dengan gagah, "Kebo Ijo!
Aku tak pernah suka bertarung dengan siapa pun, tetapi kalau kau memaksaku juga,
silakan...."
Ki Sobrang menggeser tubuhnya ke kiri dua tindak, mencari kelowongan bila
diserang dan menyerang. Membuka kakinya, menumpukkan
kekuatannya pada kaki sebelah kanan.
Melihat hal itu, keenam tukang pukul Juragan Soka Wijaya terbahak-bahak sambil
memandang melecehkan. Terutama Kebo Ijo yang tidak menyangka akan mendapatkan
sambutan seperti ini.
"Pikirkan nyawa tuamu, Ki... sebelum kucabut!"
"Sudah lama aku ingin merasakan ketajaman tombakmu, Kebo Busuk! Mengapa kau
masih berdiam diri, hah" Bila kau takut, katakan pada Soka Wijaya, untuk cepat-cepat
angkat kaki dari desa ini!"
Wajah Kebo Ijo memerah.
Mendadak ia mengempos tubuhnya, "Keparat!
Mampuslah kau! Heaaa...!"
*** 3 Ki Sobrang yang sejak tadi sudah memperhitungkan posisinya, menggeser kakinya
dua tindak, lalu memutar tubuhnya sambil melancarkan sebuah tendangan. Gerakan
itu sangat cepat dilakukannya.
Kebo Ijo tersentak melihat cara Ki Sobrang menghindarkan diri dan langsung
melancarkan serangan. Sungguh tidak disangka. Sehingga mau tidak mau ia melompat
ke samping satu tombak, bila tidak ingin tubuhnya terhantam tendangan Ki
Sobrang. Ketika hinggap di tanah wajahnya memerah.
Ia tidak menyangka kalau Ki Sobrang memiliki ilmu yang cukup tinggi juga.
"Pantas kau berani membantah, Tua Keparat!"
geramnya sambil memegang tombaknya. "Tetapi jangan harap kau bisa melihat
rembulan nanti malam!"
"Ha ha ha... mengapa tidak kau selesaikan saja nyawa tuaku ini?" sahut Ki
Sobrang penuh ejekan.
"Atau... kau sebenarnya hanyalah seorang pengecut yang berkedok jagoan?"
Kebo Ijo menjadi semakin marah. Ia tadi begitu yakin dengan hanya sekali gebrak
saja Ki Sobrang akan berkalang tanah. Namun pada kenyataannya, justru ia yang
hampir saja menerima tendangan yang penuh tenaga.
Sekarang, ia diejek seperti itu. Tua keparat ini memang harus mampus.
"Mampuslah kau, Ki! Yeeeaaa!" Kebo Ijo
menyerang lagi. Kali ini dengan perhitungan yang
lebih matang. Mempergunakan tombaknya yang ia gerakkan dengan kecepatan penuh.
Suaranya bagaikan dengungan puluhan tawon yang menyerang.
Ki Sobrang ternyata memang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Terbukti ia bisa
menghindari sodokan, sabetan, tusukan atau pun pentungan tombak yang dilakukan
oleh Kebo Ijo. Semua gerakan yang dilakukannya sangat manis, lincah, dan berisi.
Bahkan sekali-sekali ia bisa menyerang.
Melihat hal itu, Kebo Ijo semakin penasaran. Ia mengangkat tangannya sebagai
tanda agar kelima temannya jangan dulu ikut campur. Pamornya bisa menurun bila
ia tidak dapat mengalahkan Ki Sobrang.
Kali ini ia bergerak dengan tenaga penuh dan kemarahan yang sudah menjalari
setiap tubuhnya.
Tetapi rupanya Ki Sobrang memang seorang
pendekar tua yang handal. Sampai lima belas jurus terlewati, Kebo Ijo belum
berhasil menjatuhkannya.
Padahal hanya dihadapi dengan tangan kosong belaka.
"Aku sudah bosan bermain-main denganmu,
Kebo Busuk!" seru Ki Sobrang sambil meliukkan tubuhnya ke kiri, menghindari
sodokan tombak yang dilakukan Kebo Ijo. Lalu mendadak saja dengan gerakan
seperti ular dan tangan berbentuk patuk ular, Ki Sobrang mendesak masuk dan
mematuk tepat di bagian kening Kebo Ijo, yang menjadi terhuyung ke belakang.
"Setan!" makinya sambil menyerang kembali. Ia sangat malu bila ia tidak segera
menyerang. Dengan menyerang seperti itu, ia bisa menutupi
kekalahannya. "Lihat tombakku, Ki!"
"Aku belum buta, Kebo Busuk!" sahut Ki Sobrang dan kembali melayani setiap
serangan yang dilaku
oleh Kebo Ijo. Kali ini lebih hebat dari serangan yang pertama. Tombaknya terus
mengancam bagian bawah Ki Sobrang yang harus berlompatan ke sana kemari. Lalu
berganti arah, dengan cara memutar tombaknya ke bawah dan dibawa melalui
punggung sebagai lan-dasan, dan tahu-tahu bagian leher Ki Sobrang yang diserang.
Ki Sobrang cukup kewalahan juga menghadapi serangan gencar yang dilakukan oleh
Kebo Ijo. Namun ia sudah melihat titik kelemahan ilmu tombak yang diperlihatkan lawannya.
Kebo Ijo selalu memegang tombak pada tumpuan tenaga tangan kiri, kemudian
melemparkannya ke tangan kanan.
Sehingga, tangan kiri seolah hanya menjadi landasan belaka, sementara tangan
kanan yang bekerja.
Ini kuncinya, dan Ki Sobrang telah menemukannya. Ketika Kebo Ijo kembali
melancarkan putaran tombaknya ke bagian kepala Ki Sobrang, Ki Sobrang mundur dua
tindak. Bukannya untuk menghentikan serangan, melainkan mencoba melompat
melewati kepala Kebo Ijo. Rupaya Kebo Ijo mengetahui taktik seperti itu. Ia
mengangkat tombaknya tinggi-tinggi. Ujungnya siap menghantam perut Ki Sobrang
bila me-lompatinya.
Inilah taktik yang dipergunakan Ki Sobrang. Ia tidak jadi melompat, justru ia
meluncur cepat dengan sepakan kaki pada kaki Kebo Ijo dan satu sontekan tangan
ke tangan kirinya. Apa yang diduganya ternyata benar. Kekuatan ilmu tombak Kebo
Ijo terpusat pada tenaga di tangan kiri. Begitu tangan kirinya kena hantam,
gerakannya melemah. Dengan satu gerakan yang lebih cepat, Ki Sobrang mengirimkan
satu sodokan ke perut.
"Heegggh!"
Kebo Ijo untuk kedua kalinya terhuyung ke belakang. Kali ini sangat nyeri sekali
lambungnya. "Ha ha ha... hebat! Hebat!" seruan itu terdengar dari sebatang ranting pohong di
dekat pertarungan itu. Mereka melihat satu sosok tubuh yang mengenakan rompi
kulit ular sedang bertepuk tangan sambil cengar-cengir.
Ki Sobrang sudah mengenal siapa pemuda itu.
Makanya, keberaniannya semakin berlipat ganda.
Sementara Kebo Ijo yang sedang menahan sakit, memperhatikan dengan kening
berkerut. Begitu pula dengan kelima temannya.
"Monyet gila! Turun kau!" bentak salah seorang dari mereka. Ia bernama Sudra
Kepala. Tubuhnya kurus tinggi, dengan wajah tirus dan sepasang mata yang menurun
bagian bawahnya. Suaranya cempreng dan keras.
Sebenarnya sejak tadi ia ingin membantu Kebo Ijo. Namun karena melihat isyarat
Kebo Ijo agar jangan membantunya, ia segera mengurungkan niatnya. Dan hasilnya,
Kebo Ijo kini dalam keadaan kesakitan.
Lalu muncul pemuda berpakaian rompi kulit ular itu. Siapa lagi pemuda itu"
Sena turun dengan ringannya, dan hinggap di bumi bagaikan sebuah kipas, la
cengar-cengir. "Nah, aku sudah turun" He he he... kau mau apa"
Ingin mengajakku dalam pertarungan ini" Bagus!
Sungguh kebetulan sekali! Aku memang sudah gatal untuk mengepruk kepalamu!" seru
Sena sambil menggaruk-garukkan kepalanya.
"Siapa kau, Orang Gila"!" bentak Sudra Kepala.
Sena terkekeh-kekeh. Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan menungging, lalu
berbicara dengan
posisi kepala di bawah dan kedua kaki terbuka.
"He he he... berkaca dululah kau! Siapa yang gila... he he he..."
Diperlakukan seperti itu Sudra Kepala menjadi murka. Ia bermaksud hendak
melampiaskan kemarahannya pada pemuda itu, karena tidak berhasil melepaskannya pada Ki
Sobrang yang sudah memukul mundur Kejo Ijo.
la pun melompat menerjang ke arah Sena. Yang diserang masih saja menungging.
Melihat hal itu, Sudra Kepala semakin bernafsu saja. Namun mendadak saja ia
mundur, karena begitu ia mendekat, angin dari perut Sena berbunyi.
"Duuttt!"
Sudra Kepala langsung melompat mundur,
sementara Sena terkekeh-kekeh kembali pada posisi semula.
"Hi hi hi... kau ini rakus sekali, ya" Maunya makan sendiri saja?"
Ki Sobrang tersenyum geli melihat tingkah laku Sena.
Seperti sudah disepakati, empat orang dari mereka segera melesat ke arah Sena
dengan tombak terhunus. Mereka sangat marah sekali, terutama Sudra Kepala.
"Heeeaaa!"
"Mampuslah kau!"
"Kucabik-cabik tubuhmu, Monyet gila!"
"Yeaaa!"
Seruan-seruan itu terdengar bersamaan empat tubuh yang memburu ke arah Sena yang
masih tertawa-tawa saja sambil cengar-cengir.
"He he he... sudah bosan hidup rupanya... bagus, bagus!" serunya sambil melompat
dengan ringan. Sodokan empat buah tombak itu tidak mengenai sasarannya. Dan tombak-tombak itu
terus mencecarnya, sementara Sena dengan mempergunakan ilmu meringankan
tubuhnya, terus menghindari serangan itu.
Melihat serangan demi serangan yang dilakukannya, Sudra Kepala berseru keras,
"Kerahkan 'Tombak Pembuka Jalan'!"
Dan serentak tiga orang temannya mendekatinya.
Saling menempelkan punggung. Sementara tombak di tangan siap dihujamkan ke tubuh
lawan. "He he he... apa lagi ini?"
"Hhhh! Kini mampuslah kau, Bocah gila!" seru Sudra Kepala, lalu memberi komando
menyerang. 'Tombak Pembuka Jalan' merupakan satu paduan jurus yang cepat dan tepat.
Serangan dilakukan saling susul-menyusul dengan gerakan kaki sedikit demi
sedikit melebar. Bila salah seorang kawan terdesak, yang lain bisa saling
menutupi. Tidak mudah untuk menerobos masuk ke dalam
pertahanan 'Tombak Pembuka Jalan'. Bila berani menerobos, itu namanya nekat.
Karena, tombak-tombak itu akan segera mendapatkan sasaran yang empuk sekali.
Sena pun harus mengalami hal yang sulit
sekarang. Setiap kali ia merangsek masuk, tombak-tombak itu segera
menghadangnya. Hebatnya, bisa langsung menyerang dengan menggeserkan tubuh
sedikit demi sedikit. Bila lawan lengah, maka ia akan terjebak dan masuk ke
lingkaran tombak itu.
Sementara itu Ki Sobrang sudah menghadapi salah seorang dari enam orang itu yang
tinggal. Kejo Ijo yang sudah pulih dari rasa sakitnya pun segera membantu
kawannya. Keduanya saling susul
menyusul dan bahu membahu melakukan satu
serangan yang cepat, hebat dan tangkas.
Kali ini Ki Sobrang harus mengeluarkan segenap kemampuannya. Karena, bila ia
lengah, maka tubuhnya akan menjadi sasaran empuk kedua tombak itu.
Suara yang keras itu menimbulkan keingintahuan para penduduk. Mereka melihat Ki
Sobrang sedang menghadapi dua orang bersenjata tombak. Mereka juga melihat
seorang pemuda yang berpakaian rompi kulit ular sedang dikeroyok oleh empat
laki-laki yang mengenakan tombak pula. Mereka tidak tahu siapa pemuda itu. Namun
mereka sangat mengenal siapa yang sedang berhadapan dengannya, begitu pula yang
berhadapan dengan Ki Sobrang.
Mereka orang-orang Juragan Soka Wijaya.
Para penduduk yang menyaksikan pertarungan itu, tidak berani untuk membela atau
pun melerai. Mereka masih sayang pada nyawa masing-masing.
Lalu disuruhnya masuk istri dan anak-anak mereka.
"Ayo, ayo masuk! Nanti jadi sasaran!"
Sementara dari balik jendela rumah Ki Sobrang, Lastri mengintip dengan harap-
harap cemas. Ia berdoa banyak-banyak semoga ayahnya dan Sena berhasil
memenangkan pertarungan itu. Sama halnya yang dilakukan oleh para penduduk.
Karena, mereka sangat membenci orang-orang Juragan Soka Wijaya dan Soka Wijaya
sendiri. "Hei, kenapa kau hanya bisa melompat-lompat, hah!" seru Sudra Kepala sambil
terus mempergencar serangannya. Begitu ia menusuk, tubuhnya masuk dua tindak ke
lingkar, ganti yang sebelahnya menusukkan tombak. Begitu seterusnya, bagaikan
berputar mengelilingi lawan.
Sementara Sena masih tertawa-tawa saja. Sambil tertawa-tawa itu ia memikirkan
bagaimana untuk menerobos masuk ke rangka tombak itu. Karena ia yakin, bila ia
berhasil merangsek masuk, maka pertahanan jurus 'Tombak Pembuka Jalan', akan
kocar-kacir dan ia bisa menghabisi lawan-lawannya.
Tiba-tiba Sena melompat ke belakang. Lalu mendadak tubuhnya berputar berlawanan
dengan arah jarum jam, sekaligus berlawanan dengan tombak-tombak lawan. Yang
dipergunakannya adalah jurus 'Si Gila Melepas Belitan Benang Kusut'. Sudah tentu
Sudra Kepala menjadi kaget.
Bila lawan berputar berlawanan arah dengan putarannya, berarti lawan berada di
belakang. Dan sudah tentu sangat tidak menguntungkan bagi kedudukannya. Ia
segera memberi komando untuk memutar tubuh.
Raja Pedang 14 Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Tiga Maha Besar 7
^