Pencarian

Misteri Dendam Berdarah 2

Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah Bagian 2


Dalam waktu yang sangat sempit, penyesuaian memutar gerakan pada arah yang
berlawanan tidak mungkin. Karena harus melakukan gerakan lurus ke muka, sehingga
semua beraturan sebelum kembali pada sasaran.
Sena melihat kesempatan itu.
"He he he... kacau, ya" Kacau!" serunya lalu mempergunakan saat yang ditunggunya
untuk merangsek masuk. Dengan mempergunakan 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', ia
berhasil masuk.
Gerakannya seperti menari, dan dengan gemulainya menepuk.
Sudra Kepala melihat gerakan yang dilakukan lawannya seperti tidak bertenaga. Ia
memberi komando, "Hadang!"
Itu adalah kesalahan. Karena di balik tepukan
yang lembut itu, tersimpan tenaga dalam yang hebat.
Salah seorang dari mereka mencoba menghadang, dan hasilnya... tubuhnya mencelat
beberapa tombak dan ambruk dengan muntah darah.
"Bangsat keparat! Kubunuh kau!" seru Sudra Kepala. "Hiaaattt!"
Buyarlah sudah paduan jurus 'Tombak Membuka Jalan'. Selain salah seorang sudah
mampus, juga Sudra Kepala yang justru melepaskan dari paduan jurus itu.
Kemarahannya melihat salah seorang adik
seperguruannya tewas, membuat serangannya menjadi tidak terarah. Hal ini sudah
tentu dimanfaat-kan sebaik-baiknya oleh Pendekar Gila. Masih dengan rangkaian
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', tubuh Sudra Kepala terlontar beberapa
tombak setelah menjerit keras.
"Aaakkhh!"
Tubuhnya ambruk menabrak pohon. Dari kepalanya mengalir darah segar.
Melihat hal itu, dua orang pengeroyoknya yang masih tersisa, segera menerjang
dengan hebat. Gerakan tombak mereka sekarang tidak mempunyai bentuk. Hanya sekadar untung-
untungan untuk menjatuhkan lawannya.
Sena pun menghabisi keduanya dengan sekali gebrak.
"Nah, nah... itu akibatnya kalau nekat!" Lalu diperhatikannya Ki Sobrang yang
masih menghadapi serangan dari Kebo Ijo dan seorang kawannya.
Sebenarnya perhatian Kebo Ijo sudah terpecah begitu melihat keempat temannya
sudah berkalang tanah. Namun ia masih berusaha mengembalikan semua
konsentrasinya pada lawannya. Begitu pula
dengan temannya yang lebih sering mempergencar serangan tombaknya.
Sena sendiri melihat kalau Ki Sobrang mulai terdesak. Namun diam-diam ia
mengakui kehebatan Ki Sobrang. Hanya mempergunakan tangan kosong belaka ia bisa
menghadapi dua serangan tombak yang datang susul-menyusul.
"Ki! Kayaknya aku ingin turut juga! Biar aku ambil satu!" seru Pendekar Gila
sambil melompat memapaki serangan dari Kala Dera. "Heit! Jangan terburu nafsu!
Sabar, sabar saja... he he he...."
Kala Dera kini berhadapan dengan Sena yang semakin bernafsu untuk menjatuhkan
lawannya. Sementara Ki Sobrang merasakan mendapat
keringanan hanya melawan Kebo Ijo. Kali ini ia yang justru menguasai jalannya
pertarungan. Didesaknya dengan rangkaian tangan kosong yang cepat dan penuh
tenaga itu ke arah Kebo Ijo. Membuat Kebo Ijo kalang kabut. Apalagi dengan
rangkaian jurus yang cukup mematikan.
Dengan satu gerak tipu yang hebat, Ki Sobrang berhasil menendang jatuh tombak
yang dipergunakan Kebo Ijo.
"Ha ha ha... kau bisa berbuat apa sekarang, Kebo Busuk?" ejeknya sambil terus
mencecar. Tanpa mempergunakan senjatanya, sudah tentu membuat Kebo Ijo kewalahan. Berkali-
kali tubuhnya terkena pukulan dan tendangan Ki Sobrang. Namun ia masih bertahan
dan masih berusaha menyerang.
Sementara itu Sena yang sejak tadi memper-mainkan Kala Dera, kini segera
menghabisi lawannya.
'Elang Gila Menyambar Mangsa' pun dipergunakan.
Tubuhnya melenting ke atas, lalu dengan satu gerakan manis segera mencengkeram
leher Kala Dera, dan memuntirnya.
Krak! Tubuh Kala Dera pun ambruk.
Melihat kawannya mampus dan merasa seorang diri, Kebo Ijo segera mencari jalan
untuk meloloskan diri. Ia yakin, kalau nyawanya pun akan habis di sini saat ini
juga. Tiba-tiba saja ia menjerit keras dan menyeruduk masuk ke arah Ki Sobrang.
Ki Sobrang segera bersalto ke belakang.
Rupanya yang dipergunakan oleh Kebo Ijo itu hanyalah pancingan belaka. Karena
begitu tubuh Ki Sobrang mundur, Kebo Ijo segera mengambil kesempatan untuk
melarikan diri.
"Hayo! Hayo! Pegang, pegang!" seru Sena sambil berjingkrakan. Sementara Ki
Sobrang mendesah panjang. Menghapus keringatnya.
"Aku sudah terlibat dalam kesulitan, Sena..."
"He he he... tidak usah khawatir, Ki. Tetapi menurutku, lebih baik sekarang juga
kita segera meninggalkan rumah ini."
Ki Sobrang pun sudah memikirkan kemungkinan itu tadi. Ia yakin, kalau orang-
orang Juragan Soka Wijaya akan kembali lagi ke rumahnya.
Setelah itu, bertiga dengan Lastri dan Sena, mereka menyelinap memasuki Hutan
Alas Warangan. *** "Bodoh! Bodoh! Begitu saja tidak becus
menangkap orang tua, hah"!" maki Juragan Soka Wijaya sambil melangkah mondar-
mandir dengan tangan terkepal. Sejak tadi ia sudah membayangkan bagaimana
nikmatnya tubuh Lastri. Tetapi sekarang, yang didapatkannya hanyalah bayangannya
belaka. Mereka berada di ruang belakang rumah besar itu. Di sana telah duduk Jalaluta,
Tiga Iblis Bergelang Bahar yang segera diterima dengan baik oleh Soka Wijaya,
Nyai Sisik Merah yang bernama Mayang, dan orang cebol yang wajahnya begitu
dingin, dikenal dengan julukan Si Cebol dari Utara.
Sementara itu Kebo Ijo berlutut di lantai dengan wajah yang ketakutan dan keringat dingin yang keluar.
"Maaf... maafkan saya, Juragan... Sebenarnya saya dan yang lainnya, berhasil
menangkap Ki Sobrang...."
"Bagus! Tapi mana buktinya?" bentak Juragan Soka Wijaya dengan kemarahan yang
semakin kuat. Tiga orang gadis yang bersimpuh di sisinya hanya menundukkan kepalanya.
Ketiganya mengenakan pakaian hijau yang tipis menerawang,
memperlihatkan lekuk tubuh bagian dalam yang merangsang.
"Soalnya... Ki Sobrang dibantu oleh seorang pemuda, Juragan..."
"Dan kau tidak sanggup menghadapinya juga, hah"!"
"Ilmunya... sangat tinggi, Juragan..." "Bodoh!
Bodoh!" Menggolo yang sejak tadi mendengarkan,
mengangkat tangannya. "Maaf, Tuan Soka Wijaya...
bila saya memotong. Boleh saya bertanya pada Kebo Ijo?"
"Hhh!" Juragan Soka Wijaya kembali duduk di kursinya. Ketiga gadis itu segera
mengipasinya kembali.
"Kebo Ijo... bagaimanakah ciri-ciri dari pemuda itu?"
"Ia... ia sangat muda, Tuan... dan kesaktiannya sangat tinggi.... Ia...
mengenakan rompi terbuat dari kulit ular."
"Pendekar Gila!" seru Menggolo keras. Terbayang bagaimana pertarungannya tadi
pagi dengan pemuda yang mengenakan rompi terbuat dari kulit ular. "Tuan Soka
Wijaya... yang dihadapi oleh Kebo Ijo dan lainnya, tak lain adalah Pendekar
Gila." Juragan Soka Wijaya terdiam. Mengusap-usap dagunya.
"Hhh! Rupanya Pendekar Budiman itu sudah
masuk ke daerah ini! Sekarang kuperintahkan kepada Jalaluta dan kalian Tiga
Iblis Bergelang Bahar, tangkap si Pendekar Gila! Dan bunuh Ki Sobrang!
Sementara, bawa Lastri ke sini!"
Yang disebut oleh Soka Wijaya segera berdiri.
"Ingat, jangan kembali sebelum membawa salah seorang dari mereka! Dan kau Kebo
Ijo, karena kelalaian dan ketololanmu, kau harus menerima hukuman!"
Wajah Kebo Ijo menjadi pias. Ia meratap
ketakutan dan memohon ampun. Tetapi Soka Wijaya hanya tertawa saja dan sudah
menggerakkan tangannya. Selarik sinar merah melesat.
Singng! "Aaaakkkhhh!"
Sinar merah itu tepat menghujam ke jantung Kebo Ijo yang segera ambruk. Anehnya,
perlahan demi perlahan tubuh Kebo Ijo menciut. Memucat dan memutih, seolah darah
sudah tidak ada lagi di tubuhnya. Itu akibat pengaruh sinar merah yang memang
mematikan, dengan jalan mengisap darah lawan.
"Buang mayat itu! Dan segera lakukan tugas
kalian!" bentak Soka Wijaya. Lalu merangkul ketiga gadis cantik itu.
"Ha ha ha... hayo, Manis... hibur aku dengan permainan kenikmatan yang kalian
miliki..."
Jalaluta dan Tiga Iblis Bergelang Bahar itu pun segera menjalankan tugasnya
dengan hati marah.
Terutama Tiga Iblis Bergelang Bahar yang sempat bentrok dengan Sena tadi pagi.
Kali ini, mereka tidak akan bertindak murah hati lagi. Akan dihabisinya Pendekar
Gila itu! Ketika mereka tidak menemui orang-orang yang mereka cari, mereka menjadi marah.
Rumah itu pun dibakar.
Orang-orang di sana tidak berani berbuat apa-apa, ketika mata Jalaluta dan Tiga
Iblis Bergelang Bahar menoleh kepada mereka. Mereka pun buru-buru masuk ke rumah
dan mengunci pintu daripada terkena sasaran.
*** 4 "Seto... kini tenagamu sudah pulih kembali.
Ceritakan, apa sebenarnya yang terjadi padamu?"
Nimas Kunti bertanya sambil tersenyum pada Seto yang duduk bersila di
hadapannya. Mereka berada di gubuk Nimas Kunti di bagian timur dari Hutan Alas
Warangan. Selama lima belas tahun Nimas Kunti yang berjuluk si Nenek Pesolek
menghuni gubuk itu.
Pagi mulai membedah alam. Suasana begitu
sunyi sekali. Meskipun matahari sudah sepenggalah, namun sinarnya belum mampu
menembus tinggi dan rimbunnya pepohonan di Hutan Alas Warangan.
Binatang hutan pun sudah banyak yang berkeliaran demi mencari makan.
Seto mendesah pendek. Ingatannya kembapi
pada Bono yang telah menemui ajalnya. Seketika ia menjadi geram. Lalu perlahan-
lahan ditatapnya wanita tua yang masih pesolek itu. Seto yakin kalau Nimas Kunti
adalah seorang wanita yang jelita.
Terbukti sisa-sisa kecantikannya masih membias di wajah Nimas Kunti.
"Nimas... sebelumnya aku ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
pertolonganmu...."
"Pemuda yang tahu sopan santun," Nimas Kunti tersenyum.
"Sebenarnya, luka yang kuderita ini diakibatkan oleh sebuah keris dari tangan
Jalaluta...."
"Jalaluta?" Nimas Kunti menghentikan mengu-nyahnya.
"Tetapi setahuku, luka dan hawa panas yang kau
derita itu hanya bisa dilakukan oleh si Tua Keris Dewa alias Wasongso. Mengapa
kau sebut Jalaluta?"
"Karena memang itulah namanya, Nimas...."
Nimas Kunti mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hmmm... aku tahu sekarang, rupanya si Tua Keris Dewa itu telah mengangkat
seorang murid. Tetapi, ada urusan apakah kau dengan Jalaluta?"
"Nimas, sebenarnya... aku dan adikku Bono datang dengan maksud untuk membunuh
Juragan Soka Wijaya."
"Aku sudah pernah mendengar nama laki-laki itu.
Yang berpraktek lintah darat dan bertanggung jawab atas serangkaian pembunuhan
terhadap para penduduk.... Mengapa kau ingin membunuhnya, Seto?"
Seto mendesah panjang. Lalu diceritakannya asal muasal ia dan adiknya bermaksud
untuk membunuh Soka Wijaya.
Seto dan Bono adalah kakak beradik yang telah lama ditinggal mati oleh kedua
orangtuanya. Satu-satunya yang mendidik mereka adalah adik dari ayah mereka,
Bibik Utari. Dengan Bibik Utari-lah mereka dibesarkan dan hidup di Desa Bojong
Lolo, desa tetangga dari Desa Bojong Sawo.
Ketika mereka berusia sembilan dan tujuh tahun, datang seorang kakek yang
mengaku bernama Setan Pedang Kembar. Mereka pun dibawa ke sebuah gunung yang
terletak di sebelah utara di mana mereka tinggal.
Setelah sepuluh tahun mereka berguru pada Setan Pedang Kembar, lalu tibalah
mereka untuk kembali pulang. Setan Pedang Kembar memang mengizinkan, karena ia
tahu, Bibik Utari terlalu lama menunggu.
Mereka pun pulang dan melihat beberapa
perubahan di Desa Bojong Lolo. Desa yang dulunya sepi, kini mulai banyak
penduduk yang tinggal di sana. Suasana pun sudah semakin berubah.
Keramaian mulai mewarnai.
Ketika keduanya tiba di muka perbatasan desa saja, sudah berdiri gapura tinggi
yang melambangkan perdamaian dalam kehidupan ini. Rasa tak sabar mulai menyeruak
pada hati keduanya. Mereka sangat rindu sekali pada Bibik Utari. Sekian tahun
mereka berpisah dan tak sekalipun juga pernah bersua.
Mereka sejenak mengerutkan keningnya, ketika tiba di rumah Bibik Utari sudah
melihat perubahan rumah besar itu. Sejenak mereka ragu, apakah benar ini rumah
Bibik Utari" Tetapi mengingat ada dua buah pohon kelapa di sebelah kanan rumah
Bibik Utari, keyakinan mereka mulai tumbuh.
"Menurutmu bagaimana, Adi Bono?" tanya Seto sambil memperhatikan rumah besar
itu. "Aku tidak yakin apakah ini rumah Bibik Utari.
Tetapi bila mengingat letak pohon kelapa itu, sepertinya, ya," sahut Bono sambil
memperhatikan rumah besar itu pula.
"Mengapa ia menjadi kaya begitu" Setahu kita, Bik Utari hanya memiliki sebidang
sawah belaka."
"Mungkin Yang Kuasa tengah menganugerahkan rezeki padanya, Kakang."
"Kita masuk?" ajak Seto.
"Untuk lebih meyakinkan, kita memang harus masuk."
Tetapi ketika keluar sang tuan rumah, mereka cukup terkejut juga. Seorang gadis
cantik. Ia tersenyum-senyum.
"Mencari siapa, Kakang?"
Keduanya gelagapan. Sepuluh tahun mereka
bermukim jauh dari keramaian dan gadis-gadis, sudah tentu kemunculan gadis yang
nampak pesolek itu cukup membuat mereka gugup.
"Maaf... kami... kami ingin bertanya...," sahut Seto yang mendadak merasakan
keringatnya turun.
Gadis itu terkikik.
"Hi hi hi... silakan..."
"Ini... rumah Bik Utari?"
"Bik Utari?"
'Ya. Ia adalah bibik kami."
"O...," Gadis itu mengangguk-angguk. "Ya, ya...
saya ingat. Wanita setengah umur yang kurus kering itu, bukan?"
Seto dan Bono saling berpandangan. Kurus
kering" Setahu mereka Bibik Utari bertubuh gemuk dan sehat.
"Kami... sudah sepuluh tahun tidak bertemu, jadi... tidak tahu bagaimana
kondisinya sekarang ini,..," sahut Seto.
"Kalau yang kalian cari wanita itu, ia tinggal di gubuk di ujung jalan sana."
"Gubuk?" Kedua kakak beradik itu serentak menyahut.
"Ya, gubuk."
"Tetapi, bukankah ini rumahnya?" tanya Seto tidak mengerti.
"Dulu memang, iya. Tetapi sekarang, bukan lagi."
"Mengapa?"
"Rumah ini sudah dijualnya."
"Oh, Gusti... rumah siapa ini?"
Gadis itu tersenyum-senyum. "Memang betul-betul baru, ya" Ini Rumah Bunga Mawar
milik Nyi Alas Nipah. Bagaimana kalau kalian mampir" Untuk
Kakang-kakang yang ganteng begini, semuanya gratis. Ayo, ayo!"
Kedua kakak beradik itu buru-buru pergi. Gadis itu berseru-seru memanggil, tetap
mereka tidak peduli.
"Huh! Kayak banci! Belum tahu enaknya
perempuan!" dengusnya sambil memasuki kamarnya lagi. Seorang laki-laki yang
sejak tadi tidak sabar menunggu langsung berkata, "Oh... mengapa lama, Dewi?"


Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu cekikikan. "Ih! Tidak sabar amat!"
katanya sambil membukai pakaiannya dan ternyata tidak mengenakan lapisan apa-apa
lagi di dalamnya.
Laki-laki itu tidak mau membuang waktu. Ia langsung menubruk tubuh gadis itu
yang cekikikan.
Sementara itu Seto dan Bono dengan hati
bertanya-tanya mengapa rumah itu sampai dijual, bergegas menuju ke ujung jalan
sebelah timur sana.
Mereka tidak mengerti mengapa bisa terjadi seperti itu.
Mengapa" Mereka mencari-cari rumah yang ada di jalan setapak itu. Di belakang jalan itu
banyak terdapat semak dan pepohonan yang tinggi. Tidak ada rumah di sana, tetapi
ada sebuah gubuk yang terletak agak jauh dari jalan setapak itu.
Hati mereka tercekat. "Apakah gubuk itu tempat tinggal Bibik Utari sekarang" Oh,
Gusti... mengapa jadi seperti itu?" desis mereka pilu.
Lalu perlahan-lahan mereka mendekati gubuk itu.
Suasana hening dan sepi. Padahal matahari sudah sepenggalah. Kehidupan sudah
mewarnai Desa Bojong Lolo.
Keduanya sekarang tiba di depan gubuk itu.
Sejenak mereka memperhatikannya. Oh, bila memang benar Bibik Utari tinggal di
gubuk reot ini, betapa menyedihkannya.
"Sampurasun!" Seto berseru.
Tak ada sahutan.
Sekali lagi ia berkata, "Sampurasun!"
Lama mereka menunggu sebelum terdengar
suara batuk dari dalam, menandakan orang itu sedang sakit. "Ya, ya... tunggu
sebentar... huk! Huk!
Huk!" Keduanya berpandangan. Mereka sangat ingat suara Bibik Utari. Jadi... apa yang
dikatakan gadis itu ternyata benar. Bibik Utari yang meninggali gubuk ini.
Pintu gubuk itu terbuka. Seorang wanita kurus kering keluar dengan mata
mengeriap-ngeriap.
"Siapa, ya?"
Hati mereka semakin pilu. Semakin tertindih oleh batu besar. Selama sepuluh
tahun mereka meninggalkan Bibik Utari, ternyata kehidupan telah mengubah Bibik Utari menjadi
kurus kering dan miskin seperti ini.
Tak sanggup menahan haru dan sedih, keduanya melemparkan buntalan yang mereka
bawa ke tanah, lalu menubruk kaki wanita itu.
"Bibik!"
"Hei, hei... siapa kalian?"
Seto menengadah. Matanya berkaca-kaca.
"Lupakah Bibik dengan kami?"
"Siapa?"
"Aku Seto, Bik. Aku Seto!" Wanita itu tercekat.
"Oh, Gusti! Kau... kau Seto?" tanyanya terbata.
"Iya, Bik. Ini Bono!"
"Saya Bono, Bik...," kata Bono dengan suara tersendat di tenggorokan.
Wanita itu memejamkan matanya. Mendadak saja ia terhuyung. "Bibik!" seru
keduanya bersamaan. Seto berkata, "Bibik nampaknya sakit panas, Adi Bono.
Kau buat ramuan, aku akan mengalirkan hawa dingin ke tubuhnya! Cepat!"
Keduanya pun bekerja dengan cepat, untuk
menyelamatkan nyawa Bibik Utari. Selama dua belas jam Bibik Utari pingsan.
Ketika ia terbangun, dirasakannya kepalanya sedikit pening, dengan mata yang
berkunang-kunang.
Perlahan-lahan fokus matanya membaik. Ia
melihat dua orang pemuda sedang duduk di tepi pembaringannya. Yang seorang
sedang memijat-mijat kepalanya dan yang lainnya, sedang memijat-mijat kakinya.
"Bik...," desis Seto dengan hati pilu. "Mengapa semua ini sampai terjadi, Bik?"
Bibik Utari tersenyum. Sekian tahun ia
memendam rindu yang amat sangat kepada keduanya. Dan kini, keduanya sudah
kembali. Tumbuh menjadi pemuda gagah dan tampan.
"Tidak, Bibik tidak apa-apa...."
"Bik, katakan... siapa yang melakukan semua ini"
Mengapa, Bik" Mengapa" Bukankah Bibik sangat menyayangi rumah kita yang dulu,
mengapa harus menjualnya" Pasti ada alasan yang sangat kuat sehingga Bibik
terpaksa menjualnya, bukan?"
Bibik Utari tersenyum lagi. Sarat dengan duka.
"Bibik terpaksa menjualnya. Kau lihat sendiri bukan, Bibik sedang sakit" Bibik
membutuhkan uang untuk biaya pengobatan...," katanya dengan kepasrahan yang
semakin kentara.
Hati keduanya terasa pilu.
Bono membuka buntalannya. Ada buntalan kecil
yang kemudian diambilnya. Diserahkannya pada Bibik Utari, "Ini uang, Bik:..
dengan uang ini... sakit Bibik akan bisa disembuhkan...."
Lagi-lagi Bibik Utari tersenyum.
"Bibik rindu pada kalian. Siang dan malam Bibik mendoakan agar kalian selamat,
dan tidak kurang satu apa. O ya, kalian sudah makan?"
Seto tahu kalau Bibik Utari mengalihkan pem-bicaraan dari masalah penjualan
rumah. Tetapi untuk sementara ia akan menurut saja, nanti bila saat tepat, ia
akan mulai menanyakannya lagi. Saat ini biar saja ia mencoba memendam rasa ingin
tahunya. "Kami sudah memasak untuk Bibik. Ayo, makan dulu... "
Saat mereka makan, Seto lebih banyak bercerita tentang apa yang mereka dapatkan
dari Setan Pedang Kembar. Juga tentang kerinduan mereka pada Bibik Utari yang
sudah menumpuk. Bono pun bercerita tak kalah serunya. Ia mengatakan, siang dan
malam selalu mengingat Bibik Utari.
Di wajah wanita setengah baya yang nampak letih itu, mulai terpancar sinar
kebahagiaan. Rasanya sudah sangat lama sekali ia tidak merasakan kebahagiaan
seperti hari-hari yang lalu.
"Sekarang kalian sudah pulang," kata Bibik Utari.
"Apa yang akan kalian kerjakan?"
"Ha ha ha... Bibik ini bagaimana?" pancing Seto.
Sedikit banyaknya ia masih penasaran dengan masalah yang dihadapi Bibik Utari.
"Sudah tentu kami akan membantu Bibik menggarap sawah. Iya kan, Adi Bono?"
Bono yang tidak tahu maksud dari kakangnya hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Betul, Bik... di samping itu, kami juga akan
membangun rumah yang layak untuk Bibik. Gubuk yang reyot seperti ini tidak layak
untuk kesehatan Bibik."
Bukannya gembira, Bibik Utari justru
menghentikan makannya. Wajahnya nampak lesu sekali. Seto semakin yakin kalau ada
masalah yang sangat mengganggu bibiknya.
"Kenapa, Bik?" tanyanya berlagak tidak tahu.
Bibik Utari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak ada apa-apa. Hmmm... kalian sebaiknya... ah, tidak enak rasanya
Bibik mengatakan hal ini."
"Maksud Bibik, karena gubuk Bibik kecil,
kemudian kami tidak bisa tidur di sini?" kata Bono sambil tersenyum. "Tidak jadi
masalah, Bik. Semuanya beres. Kami bisa tidur di luar. Selama hidup bersama
Guru, kami sudah digemblengnya untuk mempertahankan diri dari kehidupan alam
yang keras ini."
Bibik Utari hanya tersenyum.
Malam pun semakin merambat. Seto dan Bono mencari tempat yang tidak jauh dari
gubuk Bibik Utari. Mereka mengambil dedaunan yang dijadikan alas tubuh.
Tengah malam, selagi semua penghuni Desa Bojong Lolo terlelap, Seto terbangun.
Pertama yang dilihatnya, hanyalah gelap semata. Setelah fokus matanya membaik,
ia bisa melihat ke sekelilingnya.
Hanya semak belukar dan pepohonan belaka. Dan suara binatang malam yang
terdengar ramai.
Tiba-tiba ia teringat akan bibiknya. Oh, apakah tiba-tiba sakitnya akan kumat"
Kalau kumat, siapa yang akan menolongnya" Mendadak ia bangkit, lalu perlahan-
lahan melirik adiknya. Bono nampak sangat
terlelap, ia lelah sekali.
Lalu Seto pun melangkah mendekati gubuk di mana bibiknya tinggal. Tidak ada
tanda-tanda kehidupan di sana. Rupanya Bibik Utari terlelap dalam tidurnya.
Menyadari hal itu, Seto pun bermaksud kembali ke tempatnya. Namun tiba-tiba ia
terkejut, karena tiga sosok tubuh berkelebat dari sana.
"Hei! Berhenti!" serunya sambil mengerahkan ilmu larinya. Di tanah terbuka, Seto
berteriak, "Heaaa!" Tubuhnya bersalto dua kali dan hinggap di hadapan ketiga orang itu. Ia
melihat salah seorang dari mereka memegang golok, dan di ujungnya meneteskan
darah! Pikirannya menerawang pada Bibik Utari. Dan sesuatu yang mengerikan menjelma di
pikirannya. "Hhh! Minggir kau, Bocah sialan!" membentak salah seorang yang mengenakan angkin
berwarna merah. Ialah yang memegang golok berdarah itu.
"Aku cuma ingin tahu, apa yang telah kalian lakukan di gubuk itu, hah?" bentak
Seto dengan mata yang tajam memperhatikan mereka.
Bukannya menyahuti kata-katanya, si angkin merah justru terbahak-bahak.
"Siapa kau adanya, Anak Muda?" bentaknya.
"Jawab pertanyaanku itu! Bila terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan atas Bibik
Utari, kalian akan mampus di tanganku!"
Si angkin merah bernama Pujo Dondong. Ia
tertawa terbahak-bahak.
"Bibik" Ha ha ha... rupanya kau masih punya hubungan darah dengan si penghutang
itu, hah?"
Kening Seto berkerut. Penghutang" Apa maksud laki-laki itu" Bibik Utarikah"
"Hei, Anak muda! Bibikmu telah mendapatkan hukuman yang setimpal karena tak
mampu membayar hutang-hutangnya!"
"Apa maksudmu dengan berhutang, hah?"
"Ya, ya... kau memang orang bodoh! Bibikmu itu telah berhutang banyak sekali
pada Juragan Soka Wijaya. Dan ia tidak mampu membayar! Apakah kau sudah tahu
kalau rumah dan sawahnya sudah disita, hah"!"
Seto tidak bisa lagi menahan amarahnya. Semua yang ingin diketahuinya, justru
melalui orang-orang biadab ini. Tiba-tiba ia melompat seraya memekik keras,
"Anjing keparat! Mampuslah kau!"
Pujo Dondong hanya terkekeh. Lalu melompat pula, memapaki serangan yang
dilakukan oleh Seto.
"Bocah kemarin sore sudah bertingkah di
depanku!" dengusnya sambil meningkatkan tenaga dalamnya. Sementara dua temannya
hanya memperhatikan saja. Pikir mereka, bocah itu terlalu nekat. Pasti ia akan roboh
hanya dengan sekali gebrak.
Benturan itu terjadi.
Des! Des! Satu sosok tubuh terpental ke belakang. Tubuh Pujo Dondong! Sementara Seto
bukannya terpental, malah semakin menggenjot tubuhnya. Memburu Pujo Dondong.
Sudah tentu Sengkala dan Bayantoro terkejut melihatnya. Mereka tidak menyangka
kalau pemuda yang kelihatan lemah itu bisa membuat Pujo Dondong terpental.
Seketika keduanya mengegos tubuh, mencoba memotong gerakan Seto dengan golok di
tangan. Seto yang sudah memperhitungkan kalau
serangannya akan dipotong hanya melepaskan tendangan dua kali.
Duk! Duk! Golok di tangan Bayantoro terlepas, sementara Sengkala merasakan dadanya bagai
dihantam godam. Karena tendangan yang penuh tenaga itu tepat mengenai dadanya.
Seto terus memburu Pujo Dondong yang sudah terhuyung. Ia tidak menyangka kalau
pemuda itu bisa melepaskan pukulan telaknya saat tubuh keduanya beradu tenaga.
Dan yang tidak disangkanya pula, kalau pukulan yang dilepaskan pemuda itu
mengandung tenaga dalam yang tinggi.
Kini tak ada jalan lain baginya, kecuali hanya mencoba menutupi gerakan Seto
dengan jalan mengibaskan goloknya. Seto sendiri sudah tidak mungkin untuk
menarik pulang serangannya. Golok yang mengibas di depan itu di tendang, hingga
mencelat ke atas. Sementara dua buah pukulannya sekaligus masuk menghantam dada
Pujo Dondong yang semakin terhuyung.
Bersamaan dengan itu, Seto mendadak bersalto, dan menendang dengan secepat kilat
golok yang sudah turun kembali.
Plak! Singng! Golok itu melesat cepat ke arah Pujo Dondong yang hanya bisa ternganga dan...
bles! "Aaaakhhhgghhh!"
Jeritan panjang terdengar, memecah malam yang sunyi. Tetapi tidak ada yang
keluar, karena jarak tanah kosong itu agak jauh dari desa. Hanya satu sosok
tubuh yang muncul dan memperhatikan Seto
sedang bertarung dengan Pujo Dondong.
"Kakang!"
Seto menoleh. "Adi Bono... periksa keadaan Bibik Utari! Dua cecunguk ini harus
mampus! Heaaa!"
Meskipun tidak mengerti apa maksud kakangnya, Bono berlari juga ke gubuk Bibik
Utari. Sementara itu Sengkala dan Bayantoro harus menghadapi serangan yang
dilakukan oleh Seto.
Keduanya cukup mengalami kesulitan dengan serangan-serangan yang dilakukan Seto!
Mereka benar-benar tidak menyangka kalau pemuda itu memiliki ilmu kesaktian yang
tinggi. Sebisanya mereka menghadapi dengan golok setiap serangan yang datang ke
arahnya. Mencoba untuk mencari sela menyerang... dan kalau mempunyai kesempatan
mereka akan melarikan diri.
Tetapi sudah tentu Seto yang murka tidak mau melepaskan kesempatan itu.
Disambarnya dua buah ranting dan dipergunakannya sebagai senjata.
Sebuah ranting di tangan orang yang memiliki ilmu kesaktian, bukanlah barang tak
berguna. Bisa menjelma menjadi barang yang sangat berbahaya.
Begitu pula yang dilakukan Seto. Ia adalah murid dari Setan Pedang Kembar.
Dengan memadukan jurus-jurus pedangnya, ia menghantam kedua lawannya hingga
tunggang-langgang. Dan berkali-kali terdengar jeritan kesakitan.
"Ampun... ampun...!"
"Aaauhh... sakit...!"
Tetapi Seto tidak juga mengendurkan serangannya. Ia semakin gencar. Tiba-tiba
dilemparkannya salah sebuah ranting di tangannya, yang meluncur ke arah
Bayantoro. "Mampuslah kau, Anjing!"
Ranting itu tepat menusuk jantung Bayantoro.
Menembus hingga ke punggungnya! Lalu tubuh itu ambruk tanpa sempat berteriak
lagi, bersimbah darah.
Melihat Bayantoro sudah mampus, Sengkala
menjadi panik. Ia mencoba melarikan diri, tetapi dengan sekali kelebat, Seto
sudah berhasil menangkapnya.
"Mau ke mana kau, Setan!"
"Ampun... ampun..., Jangan bunuh saya...
jangan...," jerit Sengkala dengan wajah yang memucat. Sungguh, ia tidak
menyangka akan mengalami kejadian tidak enak seperti ini.
"Ceritakan, siapa Soka Wijaya itu!" seru Seto sambil memuntir tangan Sengkala ke
belakang. Dan menariknya sehingga Sengkala menjerit-jerit.
"Ampun... ampun!"
"Katakan, siapa dia?"
'Ya, ya... saya katakan. Dia... dia majikan kami...."
"Apa kerjanya?"
"Dia... memeras rakyat dan melakukan praktek lintah darat."
"Apa hubungannya dengan bibiku, hah" Mengapa ia sampai terlibat hutang padanya!"
"Karena... karena ia tidak pemah membayar pajak."
"Bangsat! Pajak apa yang diterapkan!"
"Semua... penduduk Desa Bojong Lolo dan Bojong Sawo... harus menyetor pajak
kepada Juragan Soka Wijaya. Kalau tidak hari ini... berarti besok akan berlipat
ganda... begitu seterusnya..."
"Gara-gara pajak itu sawah dan rumah Bibik Utari dijual?"
'Ya, ya... dengan harga yang sangat murah."
"Di mana manusia busuk itu tinggal?"
"Ampun, Tuan Pendekar... saya tidak berani mengatakannya?"
"Kau mau mampus?"
"Jangan, Tuan... jangan...."


Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan, Monyet!" Seto memuntir tangan Sengkala lebih kuat, yang hanya bisa
menjerit-jerit kesakitan.
'Ya, ya... dia tinggal di Desa Bojong Sawo... rumah yang paling besar...."
Seto melepaskan puntirannya dan mendorong tubuh Sengkala hingga tersuruk.
"Pergilah kau dari sini, kalau tidak, kau akan mampus!"
"Oh, baik, baik...," Sengkala berlari terbirit-birit. Ia merasa tenang sekarang,
meskipun ia geram dengan anak muda itu.
Seto mengatur napasnya.
Ia bermaksud hendak ke gubuk Bibik Utari, tetapi tiba-tiba terdengar lolongan
kematian dari kejauhan.
Seto bermaksud mencari suara itu, tetapi Bono telah muncul. Di tangannya ada
kepala Sengkala yang putus.
"Jangan dibiarkan manusia itu hidup, Kakang....
Mereka telah membunuh Bibik Utari...," desisnya dingin.
Seto menengadah. Lalu jatuh terduduk.
"Kita harus membalas kematian Bibik Utari, Adi Bono...," katanya dengan hati
pilu. Baru sekarang ini mereka berjumpa selama sepuluh tahun berpisah.
Dan perjumpaan itu hanya terjadi sesaat saja.
Bono melemparkan kepala Sengkala jauh-jauh.
Suaranya dingin dan kejam.
"Segera, Kakang...!"
*** Seto menghela napas panjang. "Begitulah
ceritanya, Nimas. Kemudian kami mendatangi rumah Soka Wijaya. Dan semuanya itu
sia-sia belaka...
bahkan harus mengorbankan nyawa Bono."
Nimas Kunti yang mendengarkan dengan
seksama, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau masih mendendam pada mereka?"
"Ya."
"Hi hi hi... kalau begitu aku akan ikutan maju.
Kebetulan sudah lama aku tidak mencoba ilmu-ilmuku.... Terutama setelah aku
sadari kalau bukan si Tua Keris Dewa yang melakukan semua ini. Hmmm, ternyata ia
masih menepati janjinya dulu, bahwa Tiga Malaikat Pencabut Nyawa tidak akan
muncul di dunia persilatan. Entah kalau Mayang, yang berjuluk Nyai Sisik Merah.
Hei, Seto... kau tahu, kalau aku, Wasongso dan Mayang, adalah orang-orang dari
golongan putih yang selalu membela kebenaran.
Karena sudah tua, kami memutuskan untuk tidak memasuki dunia persilatan lagi.
Dan... aku akan membantumu...."
Seto mengangkat kepalanya.
"Nimas mau membantu?"
"Bahkan aku akan membelikanmu sesuatu,"
Nimas Kunti berdiri. Lalu masuk ke kamarnya dan keluar lagi dengan membawa
sebilah peti besar. Ia begitu ringan sekali membawanya. Sejak semula sebenarnya
Seto sudah merasakan kalau wanita tua ini bukanlah orang sembarangan. Nimas
Kunti membuka peti itu. Lalu dikeluarkannya sebilah pedang dari sana. Pedang itu
bersinar ungu, agak menyilaukan.
Lalu ditariknya dari warangkanya.
Sreettt! Sinar ungu itu semakin menyilaukan.
"Hi hi hi... sudah sangat lama Pedang Sinar Ungu ini ada di tanganku. Nah,
sekarang pedang ini menjadi milikmu, Seto..."
"Tetapi, Nimas?"
"Kenapa" Kau menolaknya?"
"Bukan... maksudku, bagaimana aku bisa
menerimanya?"
"Hi hi hi... kau memang pemuda yang tahu sopan santun. Sekarang mudah saja,
pedang ini kuberikan kepadamu.... Dan sudah tentu kau bisa menerimanya dengan
segera. Nah, apalagi yang kau pikirkan, Seto?"
Seto hanya tersenyum saja. Ia tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Nimas
Kunti. Hal ini sudah tentu sangat menguntungkannya. Diterimanya Pedang Sinar
Ungu yang diberikan oleh Nimas Kunti.
"Tetapi Seto... ada syaratnya saat kau
mempelajari kitab Ilmu Pedang Sinar Ungu ini," kata Nimas Kunti kemudian.
"Oh, apakah itu gerangan, Nimas?" tanya Seto dengan dada berdebar.
"Mudah-mudahan saja. Pedang Sinar Ungu ini adalah sebuah pedang yang sangat
sakti. Bahkan kesaktiannya hanya bisa ditandingi oleh Suling Naga Sakti milik
Pendekar Gila."
"Siapa pula Pendekar Gila ini, Nimas?"
Nimas Kunti tertawa-tawa. Rupanya pemuda ini memang benar-benar baru turun
gunung. Nama Pendekar Gila selama ini sudah mulai membubung tinggi sebagai
pendekar pembela kebenaran.
"Ketahuilah, Seto... Pendekar Gila adalah seorang
pemuda budiman yang telah banyak menghancurkan tokoh-tokoh jahat. Ia adalah
murid tunggal dari Singo Edan, yang hingga sekarang ini terus berdiam diri di
Gua Setan. Kesaktian si Pendekar Gila teramat tinggi, begitu pula dengan
senjatanya, yaitu Suling Naga Sakti. Nah, Pedang Sinar Ungu inilah yang bisa
sejalan dengan Suling Naga Sakti. Jadi bila kau bisa mempergunakannya pada jalan
kebaikan, kau akan menjadi pendekar kenamaan. Tetapi bila kau berada pada jalan
sesat, maka kau akan menjadi pendekar durjana...."
"Kalau begitu, Nimas... mengapa kau tidak khawatir bila ternyata Pedang Sinar
Ungu ini kubawa pada jalan sesat?" tanya Seto sambil menatap Nimas Kunti yang
terkekeh-kekeh.
"Aku tahu siapa kau, Seto. Dan aku yakin, murid dari Setan Pedang Kembar tak
akan mengkhianati kebajikan. Tetapi seperti yang kukatakan tadi, kau masih harus
melakukan satu syarat yang harus kau jalani."
Dada Seto kembali berdebar.
"Apakah itu gerangan, Nimas?"
Nimas Kunti memasukkan kembali tangannya ke dalam peti yang masih ada di
hadapannya. Lalu diangkatnya sebuah benda yang terbungkus kain perca yang sudah
tua. "Ini adalah kitab Pedang Sinar Ungu. Kau harus mempelajarinya untuk bisa
mendapatkan kesaktian dari Pedang Sinar Ungu."
"Saya akan menjalankannya, Nimas..."
"Hi hi hi... hebat, hebat! Nyalimu sungguh besar, Seto. Meskipun masih kurasakan
kau menyimpan dendam yang sangat kuat kepada orang-orang yang telah membunuh
bibikmu dan adikmu. Kau memiliki
semangat yang sangat bagus. Itu patut dipuji. Tetapi sekarang, yang menjadi
masalah adalah syarat yang harus kau jalani," kata Nimas Kunti. Lalu
melanjutkan, "Sekarang yang terpenting adalah kitab ini, Seto "
"Nimas... apakah syaratnya?"
"Kau harus menamatkan seluruh isi kitab Pedang Sinar Ungu ini hanya dalam waktu
satu malam."
Seto tersentak. Menamatkan kitab setebal itu hanya dalam satu malam" Edan! Siapa
yang sanggup "Tetapi, Nimas. "
"Di mana semangatmu, Seto" Pergunakanlah
otakmu untuk menemukan jawaban yang paling singkat dan cara menamatkan seluruh
isi kitab ini. Bila kau tidak sanggup, lebih baik kau kembalikan lagi kepadaku. Bila kau
sanggup, masih ada pula hal yang sangat mengejutkan."
"Apakah itu, Nimas?"
"Bila kau gagal menamatkan isi kitab Pedang Sinar Ungu ini dalam satu malam,
maka nyawamu sendiri yang akan terkena sinar pedang itu yang sangat mematikan.
Bagaimana?"
Nimas Kunti melihat wajah Seto menjadi pias.
Namun ia pun melihat ketegaran di mata itu. Betapa pemuda ini masih sanggup
untuk menjalankan apa yang hendak dilakukannya.
"Bagaimana?"
Seto mendesah pendek. Terbayang bibiknya yang telah menjadi mayat. Terbayang
pula bagaimana Bono harus menemui ajalnya dengan cara yang menyedihkan. Semuanya
masih berpendar-pendar dalam ingatan Seto.
Mungkin pula, ia tidak akan pernah bisa
melupakannya. Karena dendam itulah Seto akhirnya
mengangguk. "Baiklah, Nimas... saya akan melakukannya."
"Hi hi hi... bagus, bagus sekali... Purnama tinggal tiga hari lagi. Nah, saat
purnama tiba kau harus mulai mempelajari kitab Pedang Sinar Ungu yang harus kau
tamatkan satu malam. Dan... hi hi hi... kau tidak lupa akan resikonya, bukan?"
Seto mengangguk mantap. Terbayang lagi
bagaimana jeritan Bono ketika tangannya disambar putus oleh keris Jalaluta.
Menyusul ajal yang segera menjemputnya. Tidak, ia tidak akan membiarkan semua
itu membayanginya terus menerus. Ia harus membalaskan sakit hatinya!
Juga membalas sakit hati Bibik Utari.
"Baiklah, Nimas... saya siap untuk melakukannya."
"Bagus!"
*** 5 Pagi mulai menjelang kembali. Suasana di Desa Bojong Sawo tetap seperti biasa,
selalu dihiasi oleh ketakutan demi ketakutan. Mereka terkadang lebih suka berada
di dalam rumah demi menjaga
keselamatan istri dan anak gadis mereka. Tetapi pajak yang telah diterapkan oleh
Soka Wijaya, mau tidak mau membuat mereka terpaksa angkat kaki ke sawah.
Sebagian besar sawah dan ladang di Desa Bojong Sawo, kini sudah berpindah
tangan. Menjadi milik Soka Wijaya.
Pagi itu, seorang wanita setengah umur yang melangkah dengan menggunakan
tongkat, memasuki Desa Bojong Sawo. Bila melihat arah dari mana nenek itu
datang, sudah jelas muncul dari Hutan Alas Warangan.
Nenek itu tak lain adalah Nimas Kunti, yang menjadi sangat penasaran ingin
mengetahui rupa Jalaluta. Baginya, yang ia kenal sebagai pemilik Keris Dewa
adalah Wasongso, alis si Tua Keris Dewa.
Tetapi menurut Seto, yang memiliki sekarang adalah Jalaluta. Kemungkinan besar,
menurut Nimas Kunti, Jalaluta adalah murid dari Wasongso. Hanya yang membuatnya
tidak habis berpikir, mengapa sangat jauh sekali watak dari Jalaluta dengan
Wasongso" Itulah yang menyebabkannya datang ke Desa Bojong Sawo.
Kemunculannya sudah tentu memancing per-
hatian orang-orang di sana, terutama para pengawal Soka Wijaya yang memang
banyak berkeliaran.
Mereka mencari siapa saja orang-orang yang menjelek-jelekkan nama Soka Wijaya,
atau pun tengah berunding untuk melawannya. Bila ada yang ketahuan seperti itu,
sudah pasti besoknya tidak akan pernah lagi melihat matahari.
Nimas Kunti menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keadaan yang sepi seperti
itu. Jarang sekali ia melihat anak kecil yang bermain-main di luar rumah.
Juga, kaum wanitanya yang biasanya sedang sibuk menjemur sepagi ini.
Ia mulai merasakan kebenaran ucapan Seto.
Tiba-tiba dia berhenti di satu rumah. Di sana seorang laki-laki berusia tiga
puluh tahun sedang membelah kayu.
"Maafkan aku, Kisanak... tahukah di mana
tempat tinggalnya Soka Wijaya?"
Laki-laki yang menghentikan kegiatannya dan menatap ke arah Nimas Kunti, segera
meneruskan pekerjaannya lagi. Seolah tidak mendengar apa yang ditanyakan
olehnya. Nimas Kunti mengerutkan keningnya. Ia jelas-jelas sekali melihat kalau
sebelumnya laki-laki itu mendengar perkataannya. Namun mengapa
kemudian akhirnya justru berlagak seperti tidak mendengar"
Ia yakin, ini berkaitan dengan nama Soka Wijaya yang ia sebutkan. Gagal
mendapatkan jawaban, ia meneruskan langkahnya. Sementara laki-laki yang ditanya
tadi mengangkat kepalanya, lalu menggeleng-geleng.
Nimas Kunti mencoba bertanya lagi pada seorang wanita yang kebetulan sedang
mengejar anaknya yang keluar rumah. Bukannya memberikan jawaban yang memuaskan,
wanita itu justru tergesa-gesa
masuk dan mengunci pintu.
Semakin kuat keyakinan Nimas Kunti, kalau nama Soka Wijaya merupakan momok yang
menakutkan. Kini ia tiba di sebuah kedai yang cukup ramai.
Seluruh pengunjungnya adalah kaum laki-laki. Melihat kemunculannya, orang-orang
yang berada di sana berpandangan. Mereka yakin belum pernah melihat wanita tua
itu sebelumnya.
Nimas Kunti tidak menghiraukan pandangan
mereka. Ia hanya tersenyum-senyum saja sambil melangkah mendekati salah seorang
pelayan yang sedang sibuk menuangkan arak. Di sudut sana, beberapa orang sudah
dalam keadaan mabuk.
"Ki... tahukah di mana tempat tinggal Soka Wijaya?" tanyanya.
Pelayan itu lagi-lagi menunjukkan sikap yang sama seperti orang-orang yang
ditanyanya. Pandangannya sekilas tertuju pada lima orang laki-laki berpakaian Jingga yang
duduk di pojok sebelah kiri. Lalu ia meneruskan pekerjaannya.
"Hei, tahukah kau"!" bentaknya.
Orang itu lagi-lagi tidak menghiraukannya. Nimas Kunti menjadi gemas sendiri.
Tiba-tiba Nimas Kunti membalikkan tubuhnya. Pandangannya mengedar pada orang-
orang yang berada di dalam kedai itu.
Mereka sebagian besar memperhatikannya sejenak, lalu sibuk dengan kegiatan
masing-masing. Tiba-tiba Nimas Kunti berseru, "Hei, kalian semua! Barang siapa yang bisa
menunjukkan kepadaku, di mana rumah Soka Wijaya, keping uang perak!"
Orang-orang itu mengangkat kepalanya. Namun sebagian besar buru-buru menyibukkan
diri dengan hidangan mereka. Kecuali enam orang yang berpakaian jingga.
Salah seorang berdiri, "Siapa yang kau cari, Nenek peot?"
"Hi hi hi... rupanya ada yang bersuara juga sekarang. Aku mencari rumah Juragan
Soka Wijaya! Bila kau bisa memberitahukan di mana letaknya, kau akan mendapatkan dua keping
uang perak!" sahut Nimas Kunti sambil mengeluarkan dua keping uang perak dari
angkinnya. Orang itu berpandangan pada teman-temannya.
Setelah saling mengangguk, mereka serentak berdiri dan mendekati" Nimas Kunti.
"Kami tahu!"
"Di mana?"
"Mana uang itu?"
"Bila kau sudah memberitahukan kepadaku di mana. Rumahnya, uang ini akan
berpindah ke tanganmu," sahut Nimas Kunti sambil tersenyum.
Pandangannya mengarah satu persatu pada orang-orang berpakaian jingga itu.
"Uangnya dulu!"
"Katakan di mana tempatnya," sahut Nimas Kunti tak mau kalah.
Salah seorang mencolek bahu si pembentak tadi.
la bernama Kagangga. "Tenang... kalau Nyai bersedia kami antar... kami akan
mengantarnya..."
"Bagus! Tetapi, jangan panggil aku Nyai, panggil aku Nimas. Mengerti?" Nimas
Kunti mengerling genit.
Kagangga ingin rasanya tertawa, namun dua keping uang perak itu membuatnya
menahan tawanya. Kalau tidak jadi, sangat sayang. Ia pun yakin, kalau nenek ini
membawa lebih dari dua keping uang perak itu.
"Kalau begitu, ikuti kami!" katanya seraya melangkah, menyusul teman-temannya
yang meng-iringi langkah Nimas Kunti.
Orang-orang yang berada di kedai itu mendesah panjang. Mereka bisa membayangkan
apa yang akan dialami oleh nenek itu, yang berani-beraninya mencari Soka Wijaya.
Padahal, orang-orang berpakaian jingga itulah anak buah Soka Wijaya.
Dan sepeninggal mereka, orang-orang yang
berada di kedai pun mulai berani berbicara banyak.
Sejak tadi mereka hanya makan sambil berdiam diri dan hanya membiarkan orang-
orang berpakaian jingga itu bersuara.
"Ah, siapakah nenek itu sebenarnya?" tanya salah seorang, menyesali kecerobohan
si nenek tadi. "Aku baru melihatnya," sahut salah seorang.
"Aku juga," sahut yang lainnya.
"Aku tak bisa membayangkan bagaimana
mengenaskannya nasib nenek itu nanti," kata salah seorang.
Sementara itu, Nimas Kunti tetap mengikuti langkah orang-orang itu. Sikapnya
begitu tenang sekali. Ia adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kesaktian


Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat tinggi. Ia bukannya tidak tahu kalau orang ini bermaksud tidak baik
dengannya. Paling tidak, ia yakin, orang-orang ini punya hubungan dengan Soka
Wijaya. Nimas Kunti semakin yakin akan pikirannya, karena orang-orang itu membawanya ke
arah semak belukar. Namun tetap dengan ketenangan yang sama, ia terus melangkah.
"Masih jauhkah rumah Soka Wijaya?" tanyanya sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Kau diam saja! Yang pasti kau sampai di sana!"
bentak Kagangga sambil terus melangkah. Hhh! Ia bisa membayangkan kalau ia akan
mendapatkan uang perak yang banyak dari nenek itu. Akan didatanginya tempat
plesiran yang ada di Desa Bojong Lolo. Akan dipuaskannya nafsunya bermain-main
dengan gadis-gadis cantik di sana.
Nimas Kunti cuma tertawa saja.
"Pemarah," desisnya.
Kagangga sangat jengkel dibilang seperti itu.
Namun ia masih mencoba bersabar. Ketika tiba di tempat yang ditentukan sebuah
tempat yang sepi dan penuh dengan semak belukar tiba-tiba ia menghentikan
langkahnya dan berbalik pada Nimas Kunti.
Pandangannya geram. Lalu membentak dengan sangar. "Mau apa kau mencari Soka
Wijaya, nah?"
Yang dibentak bukannya ketakutan, malah
tertawa-tawa. "Bukankah tadi kita sudah berjanji, kau tunjukkan di mana rumahnya, aku akan
memberikan dua keping uang perak!"
"Tidak ada perjanjian! Serahkan semua uangmu, Nenek peot!" tertawa Kagangga
sekarang. Nimas Kunti masih tetap tersenyum. Lalu katanya sambil membalikkan tubuh, "Bila
kau tidak mau menunjukkan di mana rumah Soka Wijaya, aku akan Begitu ia
melangkah, lima orang di belakangnya sudah menghadangnya dengan pandangan
beringas. Nimas Kunti masih tertawa-tawa.
"Ada apa ini?"
"Jangan banyak bacot, serahkan seluruh uang perakmu, Nenek Peot! Kalau tidak...
kau akan mampus!" bentak Togonggo sambil mencabut
goloknya dari pinggang. Ia menimang-nimang golok itu di hadapan Nimas Kunti.
"Hmm.... tubuhmu yang
peot dan renta itu, hanya sekali sabet saja sudah berantakan!"
Kini Nimas Kunti semakin yakin, kalau orang-orang ini punya hubungan dengan Soka
Wijaya. "Kalau kau memang yakin, mengapa tidak segera kau lakukan untuk merebut uang
perakku, hah?"
katanya sambil tersenyum.
Sudah tentu Togonggo yang bertubuh bulat
pendek menjadi tersinggung mendengar kata-kata itu.
Ia langsung menyabetkan goloknya, dengan
keyakinan sekali sabet nyawa Nimas Kunti akan melayang.
"Mampus kau! Yeeeaaa!"
Nimas Kunti tidak bergeming dari tempatnya. Ia cuma terkekeh saja. Bersamaan
golok Togonggo bergerak ke arahnya, Nimas Kunti menggerakkan tongkatnya.
Tuk! Ujung tongkat itu menotok urat kaku Togonggo yang terletak di bawah ketiak.
Seketika Togonggo terdiam dalam keadaan mulut terbuka, mata terbelalak dan
tangan terangkat.
"Lho, mengapa tidak jadi?" kata Nimas Kunti sambil tertawa-tawa.
Melihat gebrakan yang dilakukan oleh Nimas Kunti itu, membuat yang lainnya
menjadi murka. Kini mereka yakin, nenek ini tidak bisa dianggap enteng.
Terbukti dari sekali gerak, Togonggo sudah terdiam kaku.
Yang paling marah adalah Kagangga. Ia
mendahului teman-temannya menyerang. Serangan yang dilakukan adalah pembokongan,
karena Nimas Kunti sudah membelakanginya. Ia mengayunkan goloknya dengan kuat ke
arah leher Nimas Kunti.
Wuuttt! Sepersekian detik Nimas Kunti tidak merundukkan tubuhnya, lehernya akan berpisah
dari tubuhnya. Lalu ia melompat ke samping, "He he he... membokong adalah pekerjaan seorang
pengecut."
"Mampuslah kau, Nenek Tua!" Kagangga
menyerang kembali. Kali ini dengan diiringi oleh teman-temannya. Sementara
Togonggo masih berdiri kaku.
Nimas Kunti pun harus melayani golok-golok yang mengarah ke tubuhnya. Dengan
licahnya ia memainkan tongkatnya dengan jurus 'Sapuan Ke Tengah Telaga'.
Gerakannya begitu cepat sekali, menimbulkan gemuruh yang keras. Dan sekali-
sekali tongkat itu bagaikan baling-baling belaka.
Sudah tentu Kagangga dan kawan-kawannya
menjadi terkejut. Serangan mereka bukan hanya terhalang, melainkan sekali-sekali
mereka mendapatkan balasan.
Trakkk! Wuttt! "Aaaakhh!"
Tongkat itu telah berubah fungsinya sebagai mesin penggebuk yang cepat dan
tangkas. Gerakan demi gerakan yang dilakukan oleh Nimas Kunti penuh tenaga dan
sangat cepat. "Hei, mengapa kalian menjadi kocar-kacir begitu"
Mana sesumbar kalian yang ingin membunuhku, hah!" serunya sambil tertawa dan
terus menggerakkan tongkatnya dengan cepat.
Orang-orang itu berusaha untuk menghindar, menangkis dan membalas. Namun tongkat
itu seolah memiliki mata yang tajam, ke mana mereka berpijak, ke sana tongkat
itu menyerang. Dedaunan yang telah
gugur beterbangan kembali. Suasana di tempat itu yang semula tenang kini menjadi
hiruk-pikuk. Ramai oleh orang suara teriakan. Ramai oleh suara senjata beradu.
Kagangga merasa yakin, dalam dua gebrakan berikutnya, mereka tidak akan berhasil
mengalahkan wanita tua ini. Terlihat dari gerakan yang dilakukan oleh nenek itu
begitu cepat, hebat dan tangkas.
Mereka berlima saja tidak mampu untuk
mengalahkannya. Jangankan untuk mengalahkan, memukul mundur saja tidak berhasil.
Justru mereka yang terus didesak oleh tongkat yang menimbulkan angin kencang.
"Mengapa jadi berantakan begini, hah?" tertawa Nimas Kunti sambil terus
mendesak. Sekali-sekali tongkatnya berhasil menemui sasarannya. Yang terkena
pukulannya merasa bagaikan patah. "Siapa yang mengatakan di mana rumah Soka
Wijaya kepadaku, maka ia akan kuampuni! Ayo, tunjuk tangan kalian, hi hi hi!"
Namun kelimanya tidak mempunyai kesempatan untuk mengangkat tangan. Karena
tongkat kayu itu terus mencecar dengan gencarnya, membuat mereka menjadi kalang
kabut tak karuan.
Kali ini Nimas Kunti sendiri sudah tidak mau lagi bertindak tanggung. Ia memutar
tongkatnya ke atas, lalu dengan gerakan yang cepat sekali, tongkatnya menyambar
kaki-kaki lawan, sehingga mereka bertumbangan.
Nimas Kunti tertawa sambil berdiri tegak. Tongkat terpancang di tangan kanannya.
Suaranya kali ini mendesis geram, "Sekali lagi kuminta, katakan... di mana rumah
Soka Wijaya?"
Tak ada yang bersuara. Ada ketakutan yang lebih
kuat lagi di hati mereka bila memberitahukan di mana rumah Soka Wijaya pada
wanita tua ini. Karena, mereka yakin hukuman yang lebih keras akan mereka terima
dari Soka Wijaya. Inilah yang membuat mereka lebih suka berdiam saja walaupun
tubuh mereka menggigil ketakutan.
Nimas Kunti mendengus.
"Katakan!" bentaknya keras.
Tak ada yang bersuara. Semuanya menundukkan kepalanya. Kaki mereka seakan mau
patah sehingga tidak bisa diangkat kembali. Melarikan diri pun tidak kuasa lagi.
Yang ada, hanya kepasrahan belaka.
Tiba-tiba Nimas Kunti menggeram, lalu mengayunkan tongkatnya dengan cepat. Lima
buah jeritan terdengar, bersamaan tubuh-tubuh yang tumbang dengan kepala pecah
berdarah! "Hhh! Orang-orang tak berguna!"
Lalu dihampirinya Togonggo yang masih berdiri kaku. Nimas Kunti menyeringai
sambil menjewer telinga Togonggo. Lalu memutar tubuhnya, bagaikan memutar patung
belaka. "Kau lihat itu, Monyet! Apakah kau ingin mampus juga menyusul teman-temanmu
itu?" Dengan satu gerakan, Nimas Kunti membuka totokan Togonggo yang jatuh
menggelosoh ke bumi. Dan terburu-buru mengangkat kepalanya serta meratap-ratap
mohon ampun. "Yang kuinginkan, di mana rumah Soka Wija-ya...."
"Saya... saya tidak tahu, Nimas... sungguh saya tidak tahu...."
"He he he... kebohongan yang tak ada gunanya.
Baiklah, aku pun bosan bermain denganmu. Kau akan menyusul teman-teman busukmu
itu!" "Jangan, Nimas... jangan... ampun, ampuni aku, Nimas.... Jangan... jangan bunuh
aku...." "Katakan di mana rumahnya, dan kau akan tetap mendapatkan dua keping uang perak
sebagaimana janjiku tadi..."
Togonggo adalah orang yang tamak. Mendengar janji Nimas Kunti ia menjadi
tersenyum gembira.
"Benarkah?"
"Di mana rumahnya?"
"Nimas... Nimas berjalan saja ke arah barat. Di sana nanti Nimas akan melihat
rumah yang sangat besar sekali, dan sudah tentu ada beberapa penjaga di rumah
itu.... Itulah rumah Juragan Soka Wijaya."
"Apakah benar, di sana tinggal seseorang yang memiliki senjata sebilah keris?"
"Ya, ya...."
"Keris Dewa?"
"Ya, ya... saya pernah mendengar nama keris itu."
"Siapa yang memilikinya?"
"Tuan... Tuan Jalaluta."
"Hmmm... bagaimana orangnya" Sudah tua?"
"Tidak, tidak... Tuan Jalaluta masih muda. Ia adalah tangan kanan dari Juragan
Soka Wijaya. Kesaktiannya sangat tinggi sekali."
"Apakah ada yang bernama Wasongso sebagai pengawal Soka Wijaya?"
"Wasongso" Tidak, sepertinya tidak ada."
"Apakah kau dan teman-temanmu ini bekerja padanya?"
'Ya, ya... kami bekerja padanya."
"Mengapa tadi kau mengatakan tidak tahu di mana tempat tinggalnya?" Pandangan
Nimas Kunti menusuk.
"Saya... saya... takut akan dibunuh."
Nimas Kunti tersenyum. Lalu mendadak
tangannya bergerak. Tongkat kayu itu mengepruk pecah kepala Togonggo yang
langsung menggelosoh tanpa sempat menjerit.
"Hhh! Aku tidak pernah berjanji untuk menjaga nyawamu!" dengus Nimas Kunti. "Aku
hanya berjanji untuk memberikan uang perak itu kepadamu!" Nimas Kunti mengambil
dua keping uang perak dari angkinnya dan melemparkannya pada mayat Togonggo.
"Itu hadiah untukmu!"
Lalu ia melangkah keluar dari semak belukar itu.
*** 6 "Bagaimana sekarang, Sena?" tanya Ki Sobrang yang siang itu tengah berembuk
dengan Pendekar Gila.
Sudah tiga malam mereka berdiam diri di Hutan Alas Warangan, dan tidur di atas
pohon dengan hanya memakan buah-buahan yang terdapat di sana.
Sena sudah beberapa kali keluar dari per-
sembunyiannya. Dari satu tempat tersembunyi, Sena mengetahui kalau Soka Wijaya
telah mengirimkan Jalaluta dan Tiga Iblis Bergelang Bahar untuk mencari mereka.
Sena juga melihat betapa beberapa penduduk dipukuli sampai berdarah. Sebenarnya
ia ingin membantu, namun yang terpenting sekali, ia mengetahui di mana Soka
Wijaya tinggal. Karena pikirnya, bila sudah tiba saatnya, ia akan meng-gempur
Soka Wijaya beserta antek-anteknya.
"Kupikir Ki, nanti malam kita mulai mengadakan penyerangan," sahut Pendekar Gila
sambil cengar-cengir.
"Nanti malam?"
"Ya. Karena... berkali-kali kulihat penderitaan rakyat yang sudah amburadul
terinjak-injak oleh kekejaman Soka Wijaya beserta antek-anteknya, Ki.
Hal ini tidak bisa kita biarkan lagi. Karena, keadaan yang akan membuat semakin
bergelisahnya rakyat dan masyarakat di Desa Bojong Sawo."
"Tetapi...."
Sena Manggala tersenyum. "Maksudmu, kita
hanya berdua saja?"
"Begitulah."
"Ki... yang kita perlukan sekarang adalah mampu menggerakkan rakyat untuk
memberontak. Walaupun sangat sempit sekali waktunya, kita harus men-cobanya."
"Kapan kau akan mencoba mempengaruhi
rakyat?" "Siang ini juga," Sena cengengesan sambil menggaruk-garukkan kepalanya. "Karena,
nanti malam kita akan mengadakan penyerangan ke sana.
Baiklah, Ki... aku pergi sekarang...."
Sebelum Ki Sobrang menyahut apa-apa, tubuh Sena sudah menghilang hanya dengan
sekali berkelebat.
Ki Sobrang menggeleng-gelengkan kepalanya. Ah, siapakah sebenarnya pemuda
berpakaian rompi kulit ular yang agak gila itu"
Lastri muncul, ia habis mandi di sungai yang ada di sana.
"Bapak.... di mana Kang Sena?" tanyanya karena tidak melihat Sena berada di
sana. Ki Sobrang mendesah.
"Ia pergi ke Desa Bojong Sawo."
"Untuk apa, Bapak" Bukankah keadaan sangat genting sekali?"
"Menurut rencananya, malam ini kami akan
menyerang kediaman Soka Wijaya."
Lastri terbelalak. "Bapak dan Sena?"
"Ya."
"Oh, Gusti... mengapa, Pak" Mengapa" Kekuatan Soka Wijaya beserta antek-anteknya
sangat kuat, Pak."
"Bapak pun mengatakan hal itu pada Sena.
Namun ia sudah mantap antuk melakukan
penyerangan nanti malam di kediaman Soka Wijaya."
Lastri menjatuhkan tubuhnya di sebatang dahan pohon yang tumbang. Ia bisa
membayangkan apa yang akan terjadi bila bapaknya dan Sena menyerang kediaman
Soka Wijaya. Ah, dalam pertemuannya dengan Sena yang menolongnya dari cengkeraman Tiga Iblis
Bergelang Bahar, hati Lastri sudah merasakan satu ketukan yang sebelumnya tidak
pernah ia rasakan. Dan beberapa hari kebersamaannya dengan Pendekar Gila,
hatinya sudah semakin lengket saja. Sudah memberikan satu masukan yang sama
sekali ia tidak mengerti. Ah, apakah ini benih-benih cinta yang mulai tumbuh"
Ki Sobrang dapat merasakan pula apa yang
dirasakan oleh putrinya. Ia yakin, Lastri sudah menaruh hati pada pemuda itu.
Ah, biarpun tingkah lakunya seperti orang gila, namun Sena memiliki kepribadian
yang bagus. Tetapi mengingat kalau ia adalah seorang
pendekar kenamaan yang selalu melanglang buana sudah tentu apa yang diharapkan
putrinya tidak akan mendapatkan tanggapan. Ki Sobrang tidak mau menganggu
pikiran putrinya.
Lastri masih termangu.
*** Sementara itu dengan mempergunakan ilmu
larinya, Sena alias Pendekar Gila melesat keluar dari Hutan Alas Warangan. Hutan
yang lebat sekali.
Meskipun siang yang sampai pada titik pangkalnya, namun sinar mentari hanya
sedikit yang mampu menembus kerimbunan pepohonan yang lebat.
Tiba-tiba Sena menghentikan larinya, ketika ia
mendengar seruan memanggil, "Nimas! Aku berhasil, Nimas! Aku berhasil!"
Sena segera melentingkan tubuhnya ke atas, dan hinggap di dahan pohon. Dari
tempatnya yang sekarang, ia melihat satu sosok tubuh tengah berlari sambil
memanggil-manggil.
"Nimas! Di mana kau, Nimas" Aku berhasil


Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menamatkannya! Aku berhasil memecahkan isi Kitab Pedang Sinar Ungu!"
Pemuda yang tidak lain adalah Seto itu tengah mencari Nimas Kunti. Pada purnama
semalam, ia mengerahkan segenap kemampuannya untuk
memecahkan kitab Pedang Sinar Ungu. Tengah malam, ia sudah hampir putus asa
karena belum menemukan juga kuncinya. Terbayang bagaimana nanti justru ia
sendiri yang akan terkena sinar ungu dari pedang itu yang mematikan.
Namun dendamnya terus berkobar. Terus menari-nari di benaknya. Bagaimana Bibik
Utari mati menemui ajalnya. Bagaimana Bono harus mati secara mengerikan.
Diperasnya otaknya, digunakannya seluruh akal pikirannya. Hingga tiba-tiba ia
tersentak. Ia telah menemukan kunci dari Kitab Pedang Sinar Ungu. Kuncinya justru terletak
di halaman terakhir, di mana penyelesaian dari semua jurus-jurus Pedang Sinar
Ungu bukannya pada halaman terakhir.
Melainkan pada halaman pertama. Itu sebabnya ketika ia mencoba memainkan jurus
pada halaman pertama, se menjadi kacau. Karena itu adalah jurus penutup.
Semangat Seto semakin berlipat ganda. Satu malam suntuk ia mempelajari semua isi
kitab itu tanpa mengalami kesulitan. Tak dihiraukannya kelelahan yang sudah
dideritanya. Tak dipedulikannya
keringat yang semakin banyak mengucur.
Tepat mentari menampakkan biasnya di ufuk timur sana, Seto menyelesaikan semua
Kemelut Blambangan 8 Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bunga Penyebar Maut 2
^