Misteri Dendam Berdarah 3
Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah Bagian 3
rangkaian terakhir dari jurus-jurus di kitab itu. Lalu ia jatuh pingsan karena
lelahnya. Ketika ia tersadar, dirasakannya keletihannya menghilang begitu saja. Bahkan
Seto terkejut, ketika ia melangkah dirasakannya tubuhnya bertambah ringan saja.
Lalu dicarinya Nimas Kunti, akan diberitahukannya kalau ia berhasil menamatkan
seluruh isi buku Kitab Pedang Sinar Ungu.
Tetapi Nimas Kunti tidak ada di gubuknya, lalu ia pun mulai mencari sambil
berseru-seru. Sementara itu Sena memperhatikan dari tempat persembunyiannya. Ia memandang
takjub pada pedang yang dipegang pemuda itu, memancarkan sinar ungu.
Mendadak saja selarik sinar ungu melesat ke arahnya.
Singng! "Kraaak!"
Dahan pohon yang diinjak Sena pecah terhantam sinar ungu itu, sementara Sena pun
melayang turun.
Kini ia berhadapan dengan pemuda itu. Dan ia tahu dari mana asal sinar ungu
tadi, karena kini pedang itu sudah terlepas dari warangkanya. Terpegang di
tangan kanan pemuda itu dan memancarkan sinar ungu!
'Tidak baik bersembunyi seperti maling!" dengus Seto.
Sena tertawa terkekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Benar, benar itu. Kayak maling... he he he...."
Seto mengerutkan keningnya melihat tingkah
pemuda berpakaian rompi kulit ular. Tetapi ia harus siaga sekarang, la tidak
lagi mudah percaya pada siapa pun, kecuali Nimas Kunti.
"Siapa kau gerangan?" tanyanya dengan tatapan waspada. Pedang Sinar Ungu tetap
berada di tangan kanannya.
"He he he... namaku Sena... Dan kau?"
"Sena! Mau apa kau mengintip aku, hah?" bentak Seto dengan geram.
"Mengintip" Ha ha ha... mana mungkin aku
mengintip kau" Kalau gadis sedang mandi... he he he... lain itu... lain
sekali..."
Seto semakin mengerutkan keningnya. Merasa ada sesuatu yang salah di sini. Ia
bertanya-tanya dalam hati, apakah sifat gila itu memang milik pemuda yang
bernama Sena ini" Ataukah hanya berlagak saja"
"Sebutkan julukanmu!"
"He he he... julukan" He he he... tak ada gunanya.... Lebih baik, kita berpisah
saja sekarang...
aku masih ada urusan.... Selamat ting... hei!"
Sena melompat ke kiri, dan tempat bekas ia berpijak tadi kini mengeluarkan asap.
Sinar ungu yang dipancarkan dari pedang itu telah membuat tempatnya hangus.
"Jangan bersikap seperti malingi. Hadapi aku, Manusia gila!" Seto pun melompat
dengan Pedang Sinar Ungu di tangannya. Gerakannya begitu dahsyat dan cepat
sekali. Yang dipergunakan adalah jurus pembuka dari sekian jurus Pedang Sinar
Ungu, 'Mencabik Angkasa Raya'. Berupa rangkaian pedang yang selalu mengincar bagian
atas. Dengan perpaduan tenaga dalam yang dahsyat.
Sebenarnya, ilmu-ilmu yang diturunkan dari Setan
Pedang Kembar kepada Seto, adalah suatu ilmu yang tak kalah dahsyatnya. Tetapi
sekarang, jurus itu hanya merupakan bagian pembuka saja, sebelum mempergunakan
jurus-jurus Pedang Sinar Ungu.
Pendekar Gila cukup terkejut juga menerima serangan yang sangat gencar itu.
Sebisanya ia menghindar dan hanya bisa melihat beberapa pohon tumbang. Sungguh
satu ilmu pedang yang amat dahsyat diperlihatkan Seto.
"Mengapa kau hanya bisa menghindar saja,
Orang Gila!" dengusnya sambil terus menyerang dengan gencarnya.
Wuttt! Wuuttt! Pedangnya berkelebat ke sana kemari. Semakin banyak pohon yang tumbang karena
sabetannya dan menimbulkan suara berdebam yang keras ketika jatuh ke bumi.
Sena pun mulai mempergunakan jurus tangan kosongnya, 'Si Gila Melepas Belitan
Benang Kusut'. Tubuhnya mendadak berputar dengan arah yang berlawanan dari Seto. namun Seto pun
segera melanjutkan dengan jurus kedua dari Pedang Sinar Ungu, 'Dorongan Ke
Tengah Badai'. Hal itu membuat Sena menjerit kaget.
"Gila!"
"Ha ha ha... kau hanya bisa seperti kera belaka yang lompat sana lompat sini!"
Mendadak Sena bersalto ke belakang dan begitu hinggap di bumi, tangannya sudah
terangkum menjadi satu di dada lalu perlahan-lahan mulai direntangkan. Ajian
pamungkas 'Inti Bayu' mulai dikeluarkan.
"Apa lagi yang hendak kau pergunakan, Orang
gila!" seru Seto sambil merangsek maju. "Mampuslah kau, heeeaaattt!"
Bersamaan dengan tubuh Seto mendekat, Sena melontarkan kedua tangannya ke muka.
Mendadak deru angin yang sangat kencang terdengar, lalu menerpa ke arah Seto.
Seto terpelanting ke belakang karena tidak menyangka ada serangan yang dahsyat
diperlihatkan lawannya.
Tubuhnya menabrak pohon yang langsung
tumbang. Tubuhnya melayang dan saat yang kritis itu tiba-tiba ia menancapkan
Pedang Sinar Ungu ke tanah. Dengan bantuan pedang itulah ia bisa berdiri tegak
menerima ajian 'Inti Bayu'. Hanya pakaiannya saja yang terbuka dan celana
pangsinya yang sobek-sobek.
Plok! Plok! Plok!
Sena bertepuk tangan sambil menghentikan
serangannya. Ia yakin di antara mereka hanya ada salah paham belaka.
"Hebat, hebat!"
"Jangan berbangga dulu, Gila!" Kembali Seto mengempos tubuhnya. Kali ini jurus
ketiga dari Pedang Sinar Ungu dikeluarkan, 'Memusnahkan Gunung'.
Jurus yang lebih dahsyat lagi. Jurus yang tenaganya berlipat ganda. Suara
desingan dan kesiurnya angin dari pedang itu terdengar hebat.
Sena sendiri tidak mau meladeni lagi dengan tangan kosong. Ia melompat ke kiri
dan ketika hinggap di bumi, di tangannya sudah terdapat Suling Naga Sakti.
Lalu disongsongnya gerakan Seto dengan cepat.
"Heeeaaattt!"
Trang! Trang! Seto mundur dua langkah. Ia terkejut ketika melihat suling yang dipegang pemuda
berbaju rompi kulit ular itu tidak patah. Penasaran, ia menerjang sekali lagi.
Kali ini dengan tenaga penuh.
Kembali terdengar suara yang keras.
Trang! Keduanya bersalto ke belakang. Lagi-lagi Seto tidak percaya apa yang telah
terjadi. Suling itu tetap tidak patah. Sementara Pendekar Gila cuma cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Tiba-tiba Seto teringat akan kata Nimas Kunti.
Pedang Sinar Ungu adalah pedang yang sangat tajam.
Senjata apa pun tak akan mampu menandinginya, kecuali, Suling Naga Sakti milik
Pendekar Gila. Seto menatap pemuda yang masih cengar-cengir itu. Bila melihat sikapnya, ia
memang seperti orang gila. Apakah pemuda ini yang berjuluk Pendekar Gila"
Dan apakah suling yang dipegangnya itu adalah Suling Naga Sakti seperti yang
diceritakan oleh Nimas Kunti"
Perlahan-lahan ia mengatur napasnya, mencoba menghilangkan ketegangannya. Lalu
katanya, "Apakah... Saudara Sena yang berjuluk Pendekar Gila?"
"He he he... gila, gila... Ya, ya... orang-orang memberiku julukan yang jelek
itu. Pendekar Gila... he he he... padahal aku tidak gila. Cuma sedikit gilanya."
Seto tersenyum. Ketegangannya semakin hilang.
Kini ia yakin, kalau yang berdiri di hadapannya adalah Pendekar Gila. Pedang
Sinar Ungu kembali
dimasukkannya ke warangkanya. Lalu ia menjura,
"Maafkan aku, Tuan Pendekar. Sungguh, aku telah buta tidak mengetahui, kalau
yang berdiri di hadapanku ternyata Pendekar Gila adanya."
Sena hanya tertawa-tawa sambil memasukkan kembali Suling Naga Sakti ke
pinggangnya. Kini ketegangan sudah tidak ada lagi di antara mereka.
"Sudahlah, kau sangat hebat, Seto. Ilmu
pedangmu sungguh dahsyat sekali...."
'Tuan Pendekar hanya memuji."
"Hei, hei... jangan memanggilku seperti itu. Terlalu tinggi sebutan itu
untukku..."
Seto hanya tersenyum. Lalu keduanya saling menjelaskan apa tujuan mereka kali
ini. Dari cerita Seto, Sena mengetahui kalau Seto mempunyai dendam pada Soka
Wijaya. Seto pun mengetahui kalau nanti malam Sena beserta Ki Sobrang ajcan
menyatroni rumah Soka Wijaya.
"Kita ternyata punya kesamaan sekarang ini, Seto...."
"Benar, Kang Sena," kata Seto. Kini keduanya duduk di batang kayu yang tumbang.
"Tetapi, aku harus mencari dahulu Nimas Kunti."
"Siapakah gerangan dia?"
"Nimas Kunti telah menyelamatkan nyawaku dari Keris Dewa milik Jalaluta. Ia pula
yang memberikan pedang dan kitab Sinar Ungu kepadaku."
"Kau beruntung... he he he... karena men-
dapatkan senjata pamungkas yang sangat hebat..."
"Aku sendiri tidak menyangka akan memilikinya,"
sahut Seto dengan suara merendah.
Sena berdiri, "Apakah tidak sebaiknya kita segera menuju Desa Bojong Sawo saja"
Kita harus menyusun kekuatan dengan meminta bantuan para penduduk. Paling tidak, waktu kita
sangat sempit sekali. Karena menurut perhitunganku, nanti malam adalah saat yang
baik untuk menyerang."
"Mengapa?"
"Orang-orang sakti seperti Jalaluta si Keris Dewa dan Tiga Iblis Bergelang Bahar
sedang berkeliaran mencariku, Ki Sobrang dan Lastri. Paling tidak, kita bisa
menghancurkan lebih dulu Soka Wijaya sebelum memusnahkan seluruh antek-
anteknya."
Seto hanya mengangguk saja.
Lalu keduanya melesat, saling mengeluarkan ilmu larinya. Seolah sekarang yang
terlihat, ada dua anak muda yang sedang berlomba lari. Yang satu mengenakan
rompi kulit ular, sementara yang satu bertelanjang dada, karena bajunya sudah
terbang bersama 'Inti Bayu' yang dilontarkan Pendekar Gila.
*** 7 Nimas Kunti berdiri di depan rumah besar dan megah itu. Sejenak ia
memperhatikannya, sehingga empat orang penjaga yang berdiri tegak dengan wajah
dingin di sana, menjadi saling pandang. Lalu serentak keempatnya mendekat.
"Mau apa kau, Nenek tua?" bentak salah seorang dengan beringas.
Nimas Kunti tersenyum, mengerling genit
sehingga membuat mereka merasa muak.
"Aku mencari Soka Wijaya."
"Kurang ajar!" Yang bertanya tadi, Madkuro menggeram marah. "Enak saja kau
menyebut majikan kami seperti kebanyakan orang layaknya."
"He he he... lalu aku harus memanggil apa?"
"Panggil dia Juragan Soka Wijaya...."
"Ya, ya... Juragan Soka Wijaya. Panggilkan dia, katakan, Nimas Kunti datang
untuk membunuhnya."
Mendengar kata-kata itu, keempatnya segera bersiaga. Tombak di tangan mereka
segera terhunus.
"Nenek peot! Kau mencari mati rupanya!"
Nimas Kunti hanya terkekeh saja.
"Bila kalian masih sayang dengan nyawa kalian, lebih baik segera panggilkan
manusia keparat itu."
Kali ini mereka sudah tidak bisa menahan
amarah lagi. Serentak keempatnya menerjang cepat dengan bentakan yang keras.
"Mampus kau... heeaaa!"
Namun mendadak saja tubuh keempatnya
terpental kembali ke belakang dan ambruk langsung
menemui ajal. Nimas Kunti terkekeh sambil mengusap ujung tongkatnya yang penuh
darah. "Bodoh! Tidak sayang dengan nyawa sendiri!"
Lalu ia segera masuk ke rumah besar itu melalui pintu gerbang yang terbuat dari
kayu jati yang tebal.
Sudah tentu kehadirannya membuat orang-orang yang berada di sana menjadi
terbelalak. Siapa gerangan nenek peot yang berani-berani memasuki rumah majikan
mereka. Sepuluh orang laki-laki bersenjata golok, parang, dan tombak segera menghadang.
"Siapa kau!"
"He he he... namaku Nimas Kunti. Aku datang untuk membunuh Soka Wijaya!"
"Keparat!"
Serentak mereka menyerang Nimas Kunti yang cuma tertawa saja. Dan lagi dengan
gerakan yang sangat cepat, Nimas Kunti mengayunkan tombaknya.
Seketika lima orang dari mereka menjadi mayat dengan kepala terbelah retak.
Kelima lainnya yang masih hidup sudah tentu terkejut bukan main. Mereka seolah
tidak melihat bagaimana tongkat di tangan nenek tua itu terayun.
Suatu ilmu yang sangat tinggi sekali.
Dan rupanya Nimas Kunti tidak menginginkan untuk berlama-lama lagi, yang menjadi
sasarannya adalah Soka Wijaya. Bukan para keroco yang hanya menjadi duri sesaat.
Sekali lagi ia mengayunkan tongkatnya, dan....
Wuttt! Wuttt! "Aaakhh!"
Prak! Des! Prak! "Aaakhh!"
Kelima tubuh itu langsung berkalang tanah. Dan sudah tentu keributan yang
terjadi di halaman rumah besar itu, memancing orang-orang yang menghuni rumah
itu keluar. Rata-rata laki-laki yang berwajah ganas dan garang. Juga keluar dua
sosok tubuh yang agak aneh. Yang wanita kurus tinggi dengan dagu yang panjang.
Ia mengenakan pakaian berwarna merah seperti sisik ikan. Ia adalah Nyai Sisik
Merah alias Mayang, yang menggunakan senjata seperti kebutan debu. Sementara
yang satunya lagi seorang laki-laki yang pendek, ia adalah si Cebol dari Utara,
yang terkenal kekejaman dan senjatanya, toya bermata tiga di ujungnya.
Nimas Kunti tertawa begitu melihat Nyai Sisik Merah.
"Aih, aih! Rupanya si penjual ikan ada di sini! Apa kabarmu, Nyai Sisik Merah?"
Mayang alias Nyai Sisik Merah terkejut melihat siapa yang telah membuat keonaran
di rumah majikannya. Lalu ia tertawa, "Rupanya Nimas Kunti, si Nenek Pesolek.
Hmmm... mengapa harus membuat onar di sini, hah?"
"Rupanya, perjanjian yang kita ucapkan sepuluh tahun yang lalu agar mengundurkan
diri dari dunia persilatan, ternyata telah kau ingkari."
"Peduli setan dengan semua janji itu, Nenek Genit! Ketahuilah, Wasongso si Keris
Dewa telah memiliki seorang murid yang bernama Jalaluta, dan kini ia telah
bergabung denganku. Kunti... untuk apa masa tuamu kalau bukan kau pergunakan
secara baik-baik" Manfaatkanlah untuk mendapatkan sesuatu yang tak pernah kita
pikirkan sebelumnya.
Kau bodoh, bila masih harus bergulat dengan segala
kebodohanmu. Mengasingkan diri sesuai janji hanyalah omong kosong belaka."
Nimas Kunti tersenyum.
"Dan kini kau menjadi sekutu dari manusia busuk yang menamakan dirinya Soka
Wijaya!" Nimas Kunti menggeser kedudukan kakinya.
Melihat gerakan yang diperlihatkan Nimas Kunti, Nyai Sisik Merah bersalto ke
muka. Tangannya mengibas terentang, beberapa pengawal lainnya mundur beberapa
tindak. Kini yang ada di halaman hanyalah Nimas Kunti dan Nyai Sisik Merah, dua
sahabat yang dulu bergabung dengan Wasongso si Keris Dewa dengan julukan Tiga
Malaikat Pencabut Nyawa dari golongan putih harus saling bertempur. Hanya
Sasongso yang kini masih mengasingkan diri di kediamannya.
Suasana nampak sangat panas. Keduanya
bertatap mata dengan senyum sinis di bibir. Si Cebol dari Utara terkekeh, "Ini
pertarungan yang menarik.
Bunuh manusia itu, Mayang!"
Nyai Sisik Merah memainkan kebutannya, seolah sedang berkipas. Tiba-tiba ia
menggerakkannya ke arah Nimas Kunti.
Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serangkum angin kuat menderu.
Wuttt! Nimas Kunti melompat sambil terkekeh. Ia
berhasil meloloskan diri, namun orang-orang yang berdiri di belakangnya, harus
terpental dan muntah darah sebelum mampus.
"Wah, wah... Kebutan Angin Dinginmu ternyata masih sangat hebat, Mayang. Tetapi
kasihan... justru orang-orangmu sendiri yang harus mampus!" seru Nimas Kunti
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Nyai Sisik Merah menggeram. "Hhh! Kau pun
masih hebat juga, Kunti! Bagus, bagus sekali!
Sekarang lihat!"
Tiba-tiba Nyai Sisik Merah memutar tubuhnya, gerakannya sangat cepat sekali
sehingga menimbulkan getaran yang kuat. Nimas Kunti hanya tertawa-tawa saja.
Mendadak ia mengayunkan tongkatnya, memutarnya bagaikan menamengkan diri.
Puluhan sisik berwarna merah melesat ke
arahnya. Itulah yang disebut ilmu 'Sambaran Sisik Merah' milik Mayang.
Terdengar suara, crang-cring yang ber-
kepanjangan dan deru tongkat yang bagai baling-baling belaka. Hebat sekali
putaran tubuh Nyai Sisik Merah yang mengeluarkan ilmunya, namun begitu hebat
pula putaran tongkat Nimas Kunti yang membuat tameng untuk melindungi dirinya.
Namun akibat yang paling fatal, begitu sisik-sisik beracun itu terpental
kembali, beberapa orang kembali menjerit dengan kerasnya disusul dengan tubuh-
tubuh yang ambruk.
"Kau hanya membunuhi para anak buahmu saja, Mayang!" seru Nimas Kunti sambil
terus memutar tongkatnya.
Melihat hal itu, Nyai Sisik Merah menghentikan putaran tubuhnya. Pandangannya
begitu geram sekali, mendadak saja ia melompat cepat dengan satu gerakan yang
sangat penuh tenaga ke arah Nimas Kunti.
"Mampuslah kau, Nenek genit!" dengusnya.
Nimas Kunti yang sudah tahu kehebatan
lawannya yang dulu menjadi kawannya pun tidak mau kalah. Ia langsung melompat
memapaki serangan Nyai Sisik Merah dengan tak kalah cepatnya.
Pertarungan yang sengit pun terjadi. Saling serang
dan bertahan dengan sengitnya. Nimas Kunti mengeluarkan segenap kemampuannya,
begitu pula dengan Nyai Sisik Merah. Ia bisa jatuh pamor bila dikalahkan oleh
Nimas Kunti di-hadapan anak buahnya. Paling tidak, ia bisa memukul mundur si
Nenek Pesolek ini kalau tak mampu menjatuhkannya.
Namun dalam pikiran Nyai Sisik Merah, Nimas Kunti harus dikalahkannya.
Dalam waktu singkat saja lima belas jurus sudah terlampaui. Belum ada tanda-
tanda kekalahan satu sama lain. Keduanya justru semakin bersemangat dan
meningkatkan serangan demi serangan mereka.
Suara jeritan selalu terdengar, karena kebutan angin yang dipergunakan oleh Nyai
Sisik Merah selalu berhasil dihindari oleh Nimas Kunti, dan akibatnya mengenai
orang-orang yang berada di belakangnya.
Tetapi tiba-tiba, Nimas Kunti melemparkan tongkatnya ke arah Nyai Sisik Merah,
gerakannya itu sangat mengejutkan sekali. Nyai Sisik Merah melompat dan
menepiskan tongkat itu dengan kebutan anginnya. Justru itulah yang diharapkan
oleh Nimas Kunti. Karena begitu Nyai Sisik Merah sibuk menyelamatkan diri dari
lemparan tongkat Nimas Kunti, Nimas Kunti sudah merangsek masuk dengan gerakan
yang cepat. Des! Duk! Dua pukulan masuk, bersarang pada perut dan dada Nyai Sisik Merah yang segera
terhuyung-huyung.
Nimas Kunti terus memburu, "Kau telah mengkhianati janji-janji kita dulu! Kini
mampuslah kau!"
Dalam kedudukan terhuyung dan rasa sakit yang dideritanya, sudah tentu membuat
Nyai Sisik Merah tidak bisa menghindari serangan Nimas Kunti. Karena jurus yang
dipergunakan Nimas Kunti sangat ia hafal
sekali, 'Tepukan Satu Tangan'. Karena ternyata, tepukan satu tangan lebih keras
terdengar daripada dua tangan. 'Tepukan Satu Tangan' merupakan gerakan mata
rantai tangan kosong yang hebat, tepukannya mampu menghancurkan batu karang
sebesar lembu jantan.
Keunikannya, bila menghindari serangan itu, justru lawan sendiri yang akan
termakan. Jalan satu-satunya, haruslah memapaki. Namun tenaga dalam yang
sempurna dan hawa murni yang tinggi, haruslah dimiliki. Kalau tidak, akan remuk
sekali kepruk. Dalam keadaan yang kritis bagi Nyai Sisik Merah, tiba-tiba sebuah toya bermata
trisula melesat ke arah Nimas Kunti. Nimas Kunti terpaksa menghentikan
serangannya pada Nyai Sisik Merah. Dikepruknya tongkat itu hingga lebur menjadi
abu. Si Cebol dari Utara memandang terbengong
melihatnya. Padahal senjatanya itu adalah senjata pusaka dan andalannya. Hanya
sekali kepruk sudah hancur.
Nimas Kunti bersalto. Begitu ia hinggap di tanah, ia berseru sambil tertawa,
"Mengapa harus menunggu terlalu lama, Cebol" Majulah kalian berdua! Akan
kumusnahkan dari muka bumi ini, bila kalian tidak memangil keluar Soka Wijaya!"
Sebenarnya Soka Wijaya sudah mengetahui
kedatangan Nimas Kunti. Tetapi ia masih tenang-tenang saja. Masih sibuk
menggeluti tiga orang gadis yang berada di peraduannya. Baginya, kenikmatan ini
tidak boleh dilewatkan. Permainan dengan tiga orang gadis sekaligus memberikan
kenikmatan tersendiri yang tiada tara.
Si Cebol dari Utara bergerak dengan cara
menggelinding seperti bola. Lalu berdiri di sisi Nyai
Sisik Merah yang sedang mengalirkan tenaga dalamnya, membuang rasa sakit yang
dideritanya akibat pukulan Nimas Kunti.
"Hebat, hebat! Aku kagum dengan kau, Nenek genit!" katanya sambil tertawa.
Suaranya lucu, cempreng sekali.
Nimas Kunti tersenyum. Mengambil selendangnya dan mengelap wajahnya dengan
perlahan dan halus.
Lalu mengeluarkan bubuk merang yang ditumbuk dengan biji-biji bunga matahari,
disaputkannya ke wajahnya dengan gerakan gemulai.
Setelah selesai, ia memasukkannya lagi.
"Cebol... kau lucu sekali, ya" Hi hi hi... tubuhmu kayak bola!"
Wajah si Cebol merah padam. Ia berjuluk Tunggul Petaka. Dan mendadak saja ia
sudah melesat dengan gerakan yang tadi diperlihatkan, menggelinding bagaikan
bola. Mencecar ke arah Nimas Kunti yang melompat ke sana kemari. Dan sekali-
sekali berseru.
"Hebat! Hebat sekali! Mirip landak! Hi hi hi...."
Semakin marah Tunggul Petaka karena serangannya tidak membawa hasil, la kembali
berdiri tegak. Lalu menyerbu dengan satu gerakan aneh, kali ini tubuhnya bergerak tidak
beraturan seperti tadi, bukannya ke arah Nimas Kunti, melainkan ke arah yang
akan dijadikan sebagai tempat berpijak Nimas Kunti bila ia menghindar.
Sudah tentu Nimas Kunti tidak akan menghindar atau berpijak ke tempat lain,
karena yang diserang sekarang oleh Tunggul Petaka sepertinya bukan dirinya.
Memang itulah yang diharapkan oleh Tunggul Petaka. Karena itu adalah satu gerak
tipuan yang sangat manis sekali. Bila lawan sudah terpana
melihat serangannya, berarti ia sudah terjebak.
Karena mendadak saja beberapa jarum berbisa mengarah pada Nimas Kunti.
Gerakannya begitu pelan sekali. Untungnya, Nimas Kunti memiliki pendengaran yang
masih berfungsi dengan bagus.
"Setan!" makinya seraya menghindar. Dan ia tidak berani menyerang Tunggul Petaka
dalam keadaan berguling seperti itu. Kali ini Tunggul Petaka mengarahkan
serangannya langsung pada Nimas Kunti yang kembali menghindari serangannya.
Sekali ia melompat ke samping, Nyai Sisik Merah yang sudah pulih dari rasa
sakitnya, segera mempergunakan kesempatan yang baik itu.
"Mampuslah kau, Nenek genit! Heeeaaa!"
Kebutan anginnya mengarah pada Nimas Kunti.
Nimas Kunti masih bisa menghindari serangan kebutan angin itu. Namun
pertahanannya menjadi terbuka. Dengan leluasa, Nyai Sisik Merah menendangnya.
Des! Tubuh Nimas Kunti terhuyung ke belakang.
Beberapa pengawal yang sejak tadi hanya menonton saja karena belum ada komando
untuk membantu, segera mengayunkan senjata mereka. Nimas Kunti masih bisa
menghindari serangan itu dengan jalan berguling. Namun tak urung lengannya
terkena tusukan tombak.
Melihat darah yang mengalir, para pengawal itu mencecarnya. Kali ini Nimas Kunti
memang sudah di ambang maut, namun ia masih bisa menghimpun tenaganya dalam
jurus 'Tepukan Satu Tangan' dan mengibaskan pada orang yang mengejarnya.
Orang-orang itu beterbangan disertai jeritan yang
menyayat hati. Dan ambruk dengan nyawa melayang.
Nyai Sisik Merah mendengus. "Bodoh, sudah kukatakan jangan menyerang! Itulah
akibatnya bila tidak mendengar perintah. Nimas, kau harus mampus!"
Bersamaan dengan tubuhnya melayang menye-
rang Nimas Kunti, Tunggul Petaka pun bergerak.
Menggelinding seraya hendak melemparkan senjata rahasianya.
Nimas Kunti kali ini tidak bisa berbuat banyak lagi. Ia hanya terkekeh sambil
mendekap lengannya yang berdarah.
Namun mendadak saja selarik sinar berwarna ungu melesat ke arah Nyai Sisik Merah
dan Tunggul Petaka. Keduanya segera menghindar dengan cepat.
Lalu berdiri tegak agak menjauh dari Nimas Kunti.
Begitu mereka mendongak, di tembok yang tinggi telah berdiri satu sosok tubuh
bertelanjang dada. Di tangannya ada pedang berwarna ungu.
Nimas Kunti berseru, "Seeetooo...!"
Seto melompat dan hinggap di sisi Nimas Kunti.
"Kau tidak apa, Nimas?" tanyanya penuh
perhatian. Nimas Kunti tersenyum.
"Rupanya kau berhasil menamatkan isi Kitab Pedang Sinar Ungu itu, Seto."
"Benar, Nimas," sahut Seto sambil memandang kedua lawannya. Wajahnya tegang
dengan kemarahan yang membludak, la tidak sabar untuk segera menghancurkan mereka dan
membunuh Juragan Soka Wijaya.
Seto memang sudah berpisah dengan Pendekar Gila. Setelah berhasil mempengaruhi
para penduduk untuk bergabung dan melakukan penyerangan pada
Soka Wijaya, Seto bermaksud mencari Nimas Kunti.
Sementara Pendekar Gila akan menemui Ki Sobrang dan Lastri untuk mengabarkan
semua itu. Ketika sedang mencari Nimas Kunti, ia melewati rumah Soka Wijaya, di mana
dendamnya semakin kuat membelenggu. Lalu ia pun mendengar suara Nimas Kunti dari
sana. Dengan cepat ia melompat ke tembok besar itu dan melihat Nimas Kunti
sedang dalam bahaya. Ia pun segera bertindak dengan cepat dan berhasil
menyelamatkan nyawa Nimas Kunti.
"Hhh! Rupanya anjing-anjing Soka Wijaya yang berada di hadapanku" Mengapa
manusia busuk itu tidak keluar, hah" Ataukah ia penakut?"
Nyai Sisik Merah dan si Cebol dari Utara saling berpandangan. Sejenak mereka
kagum juga dengan pedang yang dipegang oleh pemuda itu. Keduanya yakin, sinar
ungu tadi terpancar dari pedang itu.
"Anak muda... lebih baik kau bergabung saja dengan kami," ajak Nyai Sisik Merah.
"Hidupmu akan lebih bahagia di sini!"
"Hhh! Busuk! Kalian semua adalah manusia-
manusia busuk yang selalu menjunjung tinggi keangkaramurkaan!"
"Hi hi hi... bodoh, bodoh sekali kau, Anak muda,"
kata Nyai Sisik Merah masih berusaha membujuk Seto. "Bila kau bergabung dengan
kami, kau akan mendapatkan pakaian yang bagus, rumah yang mewah, uang yang
banyak dan gadis-gadis yang cantik, yang siap melayanimu. Untuk apa kau bersikap
dingin seperti itu, hah?"
Wrrrt! Seto mencabut Pedang Sinar Ungu dari warangkanya. Ia kelihatan amat geram
sekali. "Sekali lagi kau membujukku, maka kau akan
mampus!" "Hi hi hi... benar-benar pemuda bodoh! Tidak mau mempergunakan kesempatan yang
bagus ini!"
"Ha ha ha... Mayang, Mayang... kau akan percuma membujuk pemuda yang kuat
imannya. Yang membenci kejahatan yang kau lakukan. Percuma membujuknya...."
"Diam kau, Peot!"
"Hi hi hi... apakah kau sendiri tidak peot?"
Mendengar kata-kata itu, bukan main marahnya Nyai Sisik Merah. Dengan segera ia
mengempos tubuhnya dan menyerang Nimas Kunti.
Tetapi Seto tidak mau tinggal diam, ia segera memapakinya dengan hebat.
*** 8 Dengan mempergunakan ilmu lari Sapta Bayu, Sena tiba di tempat di mana Ki
Sobrang dan Lastri menunggu. Namun ia sangat terkejut, karena suasana di sana
sangat berantakan sekali. Banyak pohon yang telah tumbang. Dan yang sangat
mengejutkan sekali, ketika ia melihat satu sosok tubuh tergeletak terhimpit oleh
sebatang pohon besar. Ki Sobrang!
Sena memburu dengan cepat. Diangkatnya
batang pohon besar itu dan ditariknya tubuh Ki Sobrang. Diperiksanya dengan
seksama. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi bagi Ki Sobrang. Di perutnya ada
luka yang sangat besar sekali.
"Oh, Tuhan... apa yang telah terjadi?" desis Pendekar Gila dengan pikiran yang
kacau. Lebih-lebih setelah menyadari ia tidak melihat Lastri. Dicarinya di
sekitar sana barangkali Lastri sudah menjadi mayat, namun ia tidak menemukan
mayatnya. Ke mana gadis itu" Pikirnya dengan hati bertanya-tanya. Ia yakin, telah terjadi
pertarungan antara Ki Sobrang entah dengan siapa. Mendadak saja Pendekar Gila
melesat ke satu tempat, telinganya yang tajam mendengar satu jeritan yang
menyayat hati. Bergegas ia mencari asal suara itu.
"Tolong! Lepaskan aku, Setan! Lepaskan!" suara itu terdengar lagi dan Sena yakin
kalau itu adalah suara Lastri. Bergegas ia mencarinya.
Sementara itu Lastri tengah mengalami hal yang sangat mengerikan sekali. Kedua
tangannya di- pegangi oleh Menggolo dan Karto Suro, sedangkan kedua kakinya dipegang erat-erat
oleh Wono Jarot.
Ketiganya terbahak-bahak, sementara Jalaluta tengah membelai-belai sekujur tubuh
Lastri. Lastri menjerit-jerit.
"Lepaskan tanganmu, Babi! Lepaskan!" serunya sambil berusaha memberontak. Justru
karena rontaannya itu, kain yang dipergunakannya tersingkap sehingga
memperlihatkan bungkahan pahanya yang padat berisi, putih mulus. Membuat keempat
laki-laki itu semakin terangsang.
"Ha ha ha... ayolah, Manis... Kau kan tidak mau untuk dijadikan sebagai selir
Soka Wijaya. Nah, biar kau melayani kami saja...," desis Jalaluta.
Lastri berusaha memberontak. Wajahnya memancarkan ketakutan yang teramat sangat.
Ketakutan yang membuatnya menjadi panas dingin dengan keringat yang mengucur. Ia
bisa membayangkan apa yang akan dialaminya ini.
Untunglah di saat yang kritis itu terdengar bentakan yang keras, "Manusia
keparat! Lepaskan gadis itu!"
Serentak mereka berdiri, dan Lastri mempergunakan kesempatan itu untuk beringsut
dan merapatkan kedua tangannya di dada. Ia menangis di bawah sebatang pohon yang
besar, meskipun ia bersyukur karena Pendekar Gila yang muncul.
Tiga Iblis Bergelang Bahar sudah sangat
mengenal Pendekar Gila, pendekar yang bertarung dengannya.
"Ha ha ha... rupanya kita bertemu lagi, Pendekar Gila," kata Menggolo sambil
terbahak-bahak.
Sementara telinga Jalaluta menegak. "Hhh!
Rupanya hanya begini saja tampang Pendekar Gila
yang tersohor itu. Apanya yang digembar-gemborkan oleh orang-orang persilatan,
sehingga namanya melambung tinggi dan dibicarakan oleh banyak orang."
Ia pun melompat satu tindak dengan gerakan yang ringan sekali. Sengaja
memperlihatkan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi.
"Rupanya engkaulah yang berjuluk Pendekar Gila!
Bagus, aku tidak perlu bersusah payah untuk mencarimu dan membunuhmu! Cepat kau
berlutut di hadapanku sebelum mampus!" serunya keras dan memandang sebelah mata.
Pendekar Gila kali ini sudah pada puncak
kemarahannya. Pertama, dengan kematian Ki Sobrang. Kedua, ia melihat Lastri
hampir saja diperkosa. Tetapi meskipun begitu, sikapnya masih cengengesan saja.
Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha ha ha... jadi gagal ya pestanya" Bagus itu, bagus! Sekarang, katakan...
siapa di antara kalian yang bernama Jalaluta?"
"Mau apa kau, hah?" bentak Jalaluta dengan suara yang angker. Wajahnya sangar,
penuh kemarahan. Pertama karena keasyikannya terganggu.
Kedua, karena pemuda inilah yang diperintahkan oleh Juragan Soka Wijaya harus
ditangkap. Paling tidak, ia memiliki tugas yang harus segera dijalankan.
Padahal, memperkosa Lastri lebih mengasyikkan.
"He he he... rupanya engkaulah si Jalaluta itu.
Bagus, bagus sekali... Nah, lebih baik kau bersujud di hadapanku sebelum kukirim
ke neraka!"
"Pendekar Gila..., boleh juga sesumbarmu itu!
Hebat, aku sangat menyukainya. Tetapi yang perlu kau ketahui... justru kau yang
harus mampus sekarang, seperti Ki Sobrang!"
Sesudah berkata begitu, Jalaluta segera
menerjang dengan Keris Dewa di tangannya. Ia tahu, siapa lawan yang dihadapinya.
Tidak perlu bertindak setengah-setengah lagi. Harus langsung pada sasarannya.
"Heeeaaa!"
Pendekar Gila masih tertawa-tawa saja, membuat Jalaluta semakin murka karena
merasa dianggap ringan. Makanya, ia semakin melipatkan tenaganya.
Dari gerakan keris di tangan Jalaluta, Pendekar Gila merasakan hawa panas yang
aneh, yang terpancar dari keris itu.
Seketika Pendekar Gila menutupi dirinya dengan
'Inti Bayu' yang hanya ia pusatkan pada tenaga di pusarnya. Sehingga tidak
terlontar keluar. Lalu dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
ia mencoba memapaki serangan Jalaluta.
"Hiaaattt!"
Hawa panas itu sudah tidak dirasakannya.
Jalaluta semakin mendengus ketika tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk menghindari
setiap serangannya.
"Hi hi hi... hanya begini saja nama besar Jalaluta rupanya," ejek Pendekar Gila
dan membuat Jalaluta semakin panas.
Ia menyerang semakin gencar, begitu pula
dengan Pendekar Gila yang masih meliuk-liuk menghindari serangannya. Membuat
Jalaluta semakin murka. Dan tiba-tiba ia menepuk. Jalaluta yakin, kalau tepukan
itu yang kelihatan sangat lemah mengandung tenaga yang sangat kuat sekali.
Makanya ia menghindar. Apa yang diduganya ternyata terbukti, karena sebuah pohon
langsung tumbang begitu kena tepukan Pendekar Gila.
"Ilmu edan!" maki Jalaluta.
Tiba-tiba terdengar seruan keras, "Hhh! Tanganku jadi gatal untuk turun tangan,
Kawan Jalaluta!" Menggolo sudah menenang masuk ke pertarungan itu.
Begitu pula dengan Karto Suro dan Wono Jarot.
"Heeeaaa!"
"Mampus kau, Orang gila!"
Menghadapi keempat lawan yang tangguh itu, Pendekar Gila masih tertawa-tawa
saja. Ia mengubah jurusnya, 'Si Gila Melepas Belitan Benang Kusut'
mulai digunakan. Gerakan memutar arah yang berlawanan dari lawan-lawannya
sejenak mengecoh mereka. Hal ini sudah tentu tidak disia-siakan oleh Pendekar
Gila. Ia terus mencecar dengan hebatnya.
Malang bagi Karto Suro yang berada di dekatnya.
Karena Pendekar Gila sudah melancarkan pukulannya dengan telak dan penuh tenaga.
Tanpa ampun lagi terkena hantaman tangan Pendekar Gila yang tiba-tiba bergerak
ke depan. Prak ! "Aaakkhhh!"
Jeritan itu menggema, tubuh Karto Suro langsung menggelosoh ambruk. Melihat hal
itu, Menggolo dan Wono Jarot semakin murka. Keduanya melesat menerjang dibantu
oleh Jalaluta. "Kau harus membayar nyawa saudaraku, Orang gila!" seru Menggolo dan mengayunkan
senjatanya dengan cepat Baginya, ia harus membunuh Pendekar Gila saat ini juga.
Pendekar Gila masih saja tertawa-tawa saja menerima setiap serangan itu. Namun
kali ini ia sudah tidak ingin main-main lagi. Mendadak saja ia bersalto, sambil
bersalto itu ia menggosok kedua tangannya seraya mengalirkan kedua tangannya.
"Inti Brahma!" serunya keras sambil menggerak-
kan tangannya ke depan. Gulungan bola api melesat ke arah lawannya yang menjadi
kocar-kacir. Hawa panas mulai menyeruak ke sana. Hutan itu pun terbakar. Namun
pertarungan masih saja berlangsung. Bola-bola api yang keluar dari tangan
Pendekar Gila terus menyerang lawan-lawannya.
Wono Jarot tidak mampu bertahan lagi.
Tubuhnya pun tersambar bola api itu. Dan
terbakar dengan lolongan yang keras.
Menggolo yang bermaksud membantu Wono
Jarot, harus mundur kalau tidak ingin tubuhnya termakan bola-bola api lainnya.
Kemarahannya semakin membludak. Mendadak ia bersalto ke depan. Gerakannya sudah
tidak pakai perhitungan lagi. Yang pasti ia harus bisa membalaskan dendamnya
atas kematian dua adik seperguruannya.
"Kau harus membayar nyawa adik seperguruan-ku, Pendekar Gila!"
Hal itu sudah tentu merupakan kesalahan yang sangat besar. Karena begitu ia
melompat ke arah Pendekar Gila, bola api pun melesat, menghantam tubuh Menggolo
yang tersuruk ke belakang dan kelojotan kepanasan terbakar.
Lalu ambruk dengan tubuh hangus. Sementara kebakaran di hutan itu sudah semakin
banyak. Api menjalar dari satu pohon ke pohon lain. Lastri menjerit-jerit suara
sambil berlarian ke sana kemari.
Sementara itu Jalaluta merasa tak ada gunanya lagi untuk menghadapi Pendekar
Gila. Ia sudah merasa terjebak dalam lingkaran api. Mendadak saja ia melompat ke
belakang, dan menerobos api yang sangat besar itu.
Begitu lawannya menghilang, Pendekar Gila segera menghentikan ajian 'Inti
Brahma'. Ia menarik
tangan Lastri ke tempat yang aman.
Lastri berpindah tempat, menjauh dari api yang semakin menjalar. Mendadak Sena
berdiri tegak. Tangannya tiba-tiba terangkat ke atas sambil mengalirkan tenaga dalamnya ke
sendi-sendi tangannya.
Lalu dibawanya tangan itu ke bawah, dan diletakkan di pinggang. Sambil berseru
keras, kedua tangannya disorongkan ke depan dengan dihentakkan, "Inti Bayu!"
Seketika keluar angin besar yang menggulung-gulung. Suaranya menderu-deru, bagai
air laut yang luber ke daratan. Angin yang keras itu pun memadamkan api yang
mulai menjalar. Tinggal asapnya yang mengepul dan beberapa batang pohon yang
hangus. Pendekar Gila menarik tangan Lastri.
"Pejamkan matamu! Kita harus ke rumah Soka Wijaya sekarang juga!"
Kali ini Lastri hanya menurut saja. Ia memejamkan matanya. Dan... wuttt!
Dirasakannya tubuhnya bagai terbang saja, mengikuti tarikan tangan Pendekar Gila
yang sudah menggunakan ilmu lari
'Sapta Bayu'. Karena, Pendekar Gila yakin, larinya Jalaluta paling tidak ke
tempat kediaman Soka Wijaya.
*** 9 Sementara itu, pertarungan Seto melawan Nyai Sisik Merah semakin seru saja.
Apalagi setelah si Cebol dari Utara membantu. Dengan mempergunakan Pedang Sinar
Ungunya Seto menembus ke pertahanan keduanya. Menggerakkan dengan kecepatan yang
sangat tinggi. Wuttt! Wuttt! "Mampuslah kalian!" serunya keras dengan
memutar tubuhnya sambil menggunakan jurus keempat dari ilmu Pedang Sinar Ungu,
'Gelombang Batu Karang'. Gerakannya semakin bertambah dahsyat dengan tenaga
dalam yang berlipat ganda.
Yang mengejutkan sekali, karena dari pedang itu terlontar sinar ungu yang sangat
panas dan menyilaukan.
Mayang dan Tunggul Petaka terkejut dibuatnya.
Mereka seperti kocar-kacir terhantam petir.
"Mau lari ke mana kalian, Monyet-monyet!" geram Seto terus mencecar.
Sementara itu Nimas Kunti sudah berdiri tegak dan menghadapi serangan dari anak
buah Soka Wijaya yang lainnya. Nimas Kunti sudah mempergunakan tongkat kayunya,
yang diputar menjadi baling-baling. Suasana menjadi riuh dengan teriakan dan
suara senjata beradu.
Dari dalam sebuah kamar, laki-laki bertubuh tambun mendengus geram sambil
bangkit dari tubuh wanita yang berada di bawahnya. Mengenakan
pakaiannya. "Bangsat! Mengapa belum diselesaikan juga!"
makinya geram. Keasyikannya terganggu karena keributan-keributan itu.
Wanita yang berada di bawah tubuhnya tadi, yang bertelanjang bulat berkata
dengan nada manja, "Mau ke mana" Kan belum selesai?"
Soka Wijaya tertawa. "He he he... sabar kau, Manis. Sabar ya" Hanya
sebentar...," katanya sambil mencium bibir wanita itu, sementara yang dua lagi
hanya telentang-lentang sambil tertawa-tawa. Soka Wijaya tidak tahu kalau
wanita-wanita itu sebenarnya merasa muak dengannya, dan merasa terbebas dari
beban mental karena harus melayani Soka Wijaya.
Soka Wijaya keluar melalui pintu yang berukir itu.
Melalui ruang tengah yang penuh dengan ukiran cin-deramata senjata-senjata. Lalu
melangkah melalui pendopo, dan ia pun tiba di halaman depan rumahnya.
Di sana, ia melihat seorang pemuda yang
bertelanjang dada dengan pedang yang memancarkan sinar ungu, seperti sedang
mengamuk. Menyerang dengan ganas dan tangkas pada Nyai Sisik Merah dan si Cebol dari
Utara. Sejenak Soka Wijaya mengerutkan keningnya, karena pemuda itu masih sangat muda
sekali! Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba ia bertepuk tangan, membuat pertarungan itu segera berhenti. Masing-
masing segera mengambil posisi. Begitu pula dengan orang-orang yang mengeroyok
Nimas Kunti, semuanya terhenti begitu saja. Dan menjura ke arah Soka Wijaya yang
masih bertepuk tangan.
"Hebat, hebat kau, Anak Muda! Ilmu pedangmu
sangat tinggi sekali!" puji Soka Wijaya sambil turun melalui undakan ke halaman
rumahnya. Seto memicingkan matanya. Ia mendadak
merasakan sekujur tubuhnya gemetar. Inikah Soka Wijaya, yang telah merampas
seluruh harta milik Bibik Utari dan memerintahkan Bibik Utari dibunuh. Saking
hebatnya getaran itu, mendadak saja sinar ungu melesat dari pedangnya.
Duarr! Tembok tinggi yang berada di sisi sebelah kanan, jebol karena hantaman sinar
itu. Bersamaan dengan itu, Seto segera melesat ke arah Soka Wijaya.
Gerakannya sangat ringan dan cepat sekali. Ia mempergunakan jurus pamungkas dari
Pedang Sinar Ungu, 'Mengelabui Bayang-bayang Rembulan'. Karena Seto sudah tidak
mampu menahan amarahnya lagi.
Ia ingin laki-laki itu segera mampus.
"Heeeaaa!"
Soka Wijaya hanya tertawa-tawa saja. Ia sudah mempersiapkan diri dengan ilmu
'Beban Sejuta Beton'. Itulah sebabnya ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Hanya beberapa tindak saja pedang Seto akan menebas batang lehernya, Soka Wijaya
mengangkat kedua tangannya, dan
mendorong ke depan.
Serangkum angin deras menerpa tubuh Seto.
Karena dilandasi oleh amarahnya sendiri, Seto terpental ke belakang beberapa
tindak. "Ha ha ha... ilmumu sangat hebat sebenarnya, Anak Muda! Hanya sayang, kau
terlalu ceroboh!
Hmmm... lebih baik kau bergabung saja denganku,"
kata Soka Wijaya sambil tertawa-tawa.
Seto menjadi geram. Ia kembali menyerang
dengan hebat, didahului dengan hentakan sebuah
sinar dari Pedang Sinar Ungunya, yang membuat Soka Wijaya harus menghindar
dengan jalan melentingkan tubuhnya. Kesempatan itu pun dipergunakan oleh Seto
untuk menyerang masuk.
"Hebat!" seru Soka Wijaya sambil menghindar ke kiri. Namun 'Mengelabui Bayang-
bayang Rembulan'
adalah sebuah jurus tipu daya yang sangat mematikan. Selagi Soka Wijaya
menghindar ke kanan, Seto justru menyerang bagian kiri. Hal itu disangka oleh
Soka Wijaya karena kehebatan ilmu menghindarnya. Hanya saja tiba-tiba ia
terkejut, karena tangan kanannya justru tergores oleh ujung pedang itu.
Rasa sakitnya tak terkira. Soka Wijaya sampai meringis, sementara Seto sudah
melayang turun dan hinggap di sisi Nimas Kunti yang masih bersiaga.
"Kau hebat, Seto...," bisik Nimas Kunti.
"Kita harus berhati-hati, Nimas. Kita memasuki kandang harimau."
"Aku sudah bersiaga sejak tadi."
Seto berseru pada Soka Wijaya, "Ha ha ha...
ternyata Juragan Soka Wijaya yang digembar-gemborkan banyak orang dan ditakuti
oleh siapa saja yang mendengar namanya, ternyata hanyalah seorang pecundang yang
tak memiliki apa-apa! Hhh!
Kurasa bibikku, Bibik Utari akan tersenyum bahagia di tempatnya sana melihat kau
mampus! Soka Wijaya cuma tertawa untuk menutupi rasa malunya karena berhasil
dipecundangi. "Dan kau sekarang harus mampus di tanganku, Anak Muda!" katanya membesarkan
namanya. "Kita lihat sekarang!" Seto sudah menyerang kembali dengan satu teriakan keras,
"Kini kau mampuslah, Soka Wijayaaa!"
Bersamaan tubuh Seto melenting ke atas,
Mayang dan Tunggul Petaka pun segera bergerak, dengan teriakan yang kencang.
"Heaaa!"
"Hiaaattt!"
Seto segera mengalihkan serangannya pada
keduanya. Pedangnya berkelebat ke sana kemari dengan hebatnya. Sementara Nimas
Kunti terkekeh-kekeh.
"Soka Wijaya... lebih baik kau membunuh diri saja daripada berkalang tanah
dengan mengerikan...."
Soka Wijaya pun tertawa tak kalah hebatnya.
"Usiamu yang sudah senja seperti itu, seharusnya kaulah yang mampus! Lihat
serangan!"
Tubuh Soka Wijaya sudah merangsek menyerang, Nimas Kunti pun tidak mau kalah.
Saling serang pun terjadi. Kehebatan dua pertarungan itu, sampai-sampai orang-
orang yang sejak tadi menunggu perintah untuk menyerang merasakan bumi yang
mereka pijak bergoyang.
Pertarungan antara Seto melawan dua pengawal tangguh semakin hebat. Apalagi
ketika Jalaluta tiba di sana dan langsung mengeroyok Seto.
Seto sangat mengenali sekali siapa yang baru datang ini. Terbayang bagaimana
kematian Bono di tangan Jalaluta. Ia semakin mempergencar serangannya. Semakin
hebat, terutama kepada Jalaluta.
'Mengelabui Bayang-bayang Rembulan' sangat hebat sekali. Si Cebol dari Utara pun
harus mengakui kehebatan itu. Kakinya tertebas oleh Pedang Sinar Ungu.
Dan ia merasakan hawa panas yang menjalari sekujur tubuhnya. Panasnya tak
terkira. Saking panasnya ia menjerit-jerit keras. Lalu berkelojotan
dengan tubuh berguling-guling dan terdiam setelah menabrak dinding yang memagari
rumah besar itu.
Dinding itu langsung ambruk dan ambrukannya menguruk tubuh si Cebol dari Utara
untuk selama-lamanya.
Sementara Mayang dan Jalaluta harus terus menghadapi serangan demi serangan yang
dilakukan oleh Seto, yang semakin gigih dan gencar menyerang.
Seto jelas-jelas tidak memberikan kesempatan bernapas pada keduanya.
Sedangkan Nimas Kunti kelihatan terdesak sekali oleh serangan demi serangan yang
gencar dan mengandung tenaga dalam yang hebat dari Soka Wijaya.
"Ha ha ha... ternyata kaulah yang harus membunuh diri, Nenek peot!" seru Soka
Wijaya sambil mempergencar serangannya.
Nimas Kunti sebisanya mengayunkan tongkatnya untuk menutup setiap serangan yang
dilakukan oleh Soka Wijaya. Namun hal itu pun tidak membawa arti banyak. Karena
berkali-kali ia terkena pukulan dan tendangan dari Soka Wijaya. Seto yang
melihat keadaan itu ingin segera membantu Nimas Kunti, namun ia sendiri masih
terus menghadapi serangan-serangan yang dilakukan oleh Nyai Sisik Merah dan
Jalaluta. Terutama serangan berbahaya yang dilakukan oleh Jalaluta.
Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di saat yang genting itulah, mendadak berkelebat satu sosok tubuh yang memapaki
serangan Soka Wijaya pada Nimas Kunti.
Plak! Des! Soka Wijaya merasakan nyeri di dadanya dan mundur beberapa langkah. Saat itulah
ia melihat satu
sosok tubuh mengenakan rompi kulit ular sedang cengengesan kepadanya.
"Anjing buduk! Siapa kau?" bentaknya murka.
Sementara Nimas Kunti mendesah lega karena ajal tidak jadi menjemputnya. Ia
segera duduk bersemadi dengan mata tertutup guna memulihkan tenaga dalam dan
hawa murninya. Pemuda yang memakai rompi terbuat dari kulit ular itu, cuma cengar-cengir saja
sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku" He he he... orang-orang memanggilku si Gila. Padahal aku tidak gila, he he
he..." Soka Wijaya memicingkan matanya. Sejak
pertama kali pemuda itu muncul dan memperlihatkan sikapnya yang agak kurang,
hatinya sedikit tergetar dan bertanya-tanya, apakah pemuda ini yang telah
dibicarakan orang-orang rimba persilatan, dengan gelarnya yang angker" Pendekar
Gila" Dan sekarang, Soka Wijaya sudah tidak ragu-ragu lagi. Yang berdiri di hadapannya
pastilah Pendekar Gila.
Seto sendiri kini bisa berkonsentrasi menghadapi dua lawannya dan ia bisa
bernapas lega karena Pendekar Gila yang muncul. Sementara Soka Wijaya sedang
terbahak-bahak.
"Rupanya Pendekar Gila yang selama ini banyak dibicarakan orang yang berdiri di
hadapanku," kata Soka Wijaya. Tangannya terangkat mengacung, tetapi hanya
sekilas. Itu merupakan tanda bagi anak buahnya untuk diam-diam membokong
Pendekar Gila. Tiga orang anak buah Soka Wijaya perlahan-lahan mendekati dengan
senjata di tangan.
"Soka Wijaya, lebih baik kau pergi dari sini selama-lamanya dan mengurung diri
di satu tempat!
Daripada kau harus mampus untuk menebus segala dosa-dosamu!" kata Pendekar Gila
sambil cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Soka Wijaya hanya tertawa saja. Ia semakin memancing Pendekar Gila untuk terus
berbicara dengannya, sementara tiga anak buahnya terus mendekat dengan senjata
siap dihujamkan ke tubuh Sena.
"Bagus, bagus sekali! Tetapi sayang, nama besar Pendekar Gila harus terkubur
hari ini juga!"
Saat itulah tiga orang anak buahnya bergerak dengan senjata diayunkan ke tubuh
Sena. Selama dua puluh empat jam, Sena adalah seorang
pendekar. Menghadapi bokongan seperti itu, dengan ringannya ia bersalto. Hanya
saja, saat bersalto itulah Soka Wijaya menderu maju dengan kedua tangan berubah
memerah. Rupanya ia telah menggunakan jurus 'Tapak Api' yang dahsyat. Bila
terkena pukulannya, akan hangus menghitam.
"Heeeeaaa!"
Sena yang masih bersalto dengan gerakan yang manis mencoba memapaki serangan
itu. Des! Des! Satu pukulan Sena berhasil masuk mengenai dada Soka Wijaya yang terhuyung ke
belakang. Tetapi Sena tak urung terkena 'Tapak Api' Soka Wijaya. Ia merasakan
hawa panas menjalar di tubuhnya.
Dengan cepat diputarnya kedua tangannya ke atas, lalu dirang-kumkannya di dada.
Ajian 'Inti Bayu'
tingkat pertama mengalir di tubuhnya dan perlahan-lahan mengusir hawa panas di
tubuhnya. Sebentar saja ia sudah cengengesan lagi.
"Hebat, hangat rasanya tubuhku ini... he he he...
bagaimana kalau sekali lagi?"
Soka Wijaya menggeram. Ia tadi sudah senang karena Pendekar Gila terkena aji
'Tapak Api' miliknya.
Namun pada kenyataannya Pendekar Gila hanya membutuhkan waktu beberapa detik
untuk mengusir hawa panas yang mengaliri tubuhnya.
Mendadak Soka Wijaya berseru keras, "Serang manusia gila itu!"
Mendadak anak buahnya segera menyerang
Sena, yang tertawa-tawa saja lalu bersuit keras. Tiba-tiba terdengar gemuruh
suara yang kencang. Para penduduk Desa Bojong Sawo masuk ke rumah besar itu
dengan senjata di tangan. Apa saja mereka bawa dan dijadikan senjata.
Kegaduhan semakin berlipatganda. Suara
teriakan, jeritan dan beradunya senjata terdengar mengudara. Sena sendiri segera
menyerang kembali ke arah Soka Wijaya. Pertempuran sengit pun terjadi dengan
hebatnya. Saling balas dan serang. Saling mengimbangi dan bertahan.
Sementara itu Seto sedang merangkum ilmu
Pedang Sinar Ungu, 'Sinar Rembulan Memburu Mangsa'. Mendadak dari pedang itu
berkelebat sinar warna ungu ke arah Jalaluta dan Nyai Sisik Merah.
Keduanya berlompatan menghindar dengan cepat.
Suara sinar itu sangat memusingkan kepalanya.
"Ha ha ha... menarilah kalian seperti monyet-monyet kelaparan!" Seto tertawa
sambil terus menyerang. Satu ketika, Nyai Sisik Merah terkena sinar ungu itu di
kakinya, ia terjatuh. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Seto Ia langsung
memburu dan membabat-kan pedangnya pada perut Nyai Sisik Merah.
"Aaakhhh!" Jeritan itu terdengar, membuat Jalaluta ngeri Apalagi melihat tubuh
Nyai Sisik Merah terbelah miMindi dua. Matanya melotot dan darah menyembul
keluar dari perutnya. Sementara darah yang menempel di ujung pedang yang
dipegang Seto, perlahan lahan mengeluarkan asap dan darah itu menghilang
Seto memandang buas pada Jalaluta yang
semakin ngeri. "Jalaluta, ingatkah kau ketika dua orang ber-topeng menyerang rumah ini, hah"!
Salah seorang itu adalah aku, dan salah seorang lagi adalah adikku, yang telah
kau bunuh! Kini, terimalah ajalmu...
yeaaa!" Jalaluta harus menghadapi Seto kembali. Ia tidak menyangka kalau pemuda inilah
yang berada di balik topeng hitam waktu itu. Yang membuatnya heran, mengapa
kesaktiannya menjadi bertambah. Sebisanya dengan mempergunakan Keris Dewa ia
menangkis setiap serangan Seto. Namun Seto yang sekali-sekali menyerang dengan
sinar ungu yang berdesingan, bisa membuat jarak bila Jalaluta menyerang. Dan
mempersempit jarak dengan jurus-jurus Pedang Sinar Ungu.
Saat itu, Jalaluta terhimpit di tembok, ia celinguk-an seperti kelinci yang
diburu ular. Matanya menger-jap-ngerjap menyiratkan ingin minta ampun. Namun
dendam di hati Seto sudah tidak bisa ditahan lagi.
Dengan buas ia menyerang dan menusukkan
pedangnya tepat ke jantung Jalaluta. Lalu diludahinya tubuh itu ketika
menggelosoh ke lantai.
Setelah itu Seto pun segera membantu penduduk untuk melawan antek-antek Soka
Wijaya. Begitu pula Nimas Kunti yang sudah selesai bersemadi. Mereka
membuat kocar-kacir para pengawal Soka Wijaya.
Sebagian besar kini sudah merangsek masuk rumah megah itu. Beberapa pengawal
yang ada di sana pun harus mampus berkalang tanah.
Para gadis yang disekap Soka Wijaya dan
dijadikan selirnya, kocar-kacir meninggalkan tempat itu untuk kembali ke rumah
masing-masing. Ternak yang banyak pun berlarian menerjang siapa saja.
Suasana semakin kacau-balau saja.
Sementara Pendekar Gila sedang mendesak Soka Wijaya yang kembali mempergunakan
'Tapak Api'nya.
Pendekar Gila pun melayani dengan ajian 'Inti Bayu'
yang sangat kontra dengan ajian milik Soka Wijaya.
Dan mendadak Sena menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Gulungan angin yang kuat menerpa Soka Wijaya dan menabrak
dinding. Para penduduk yang berada didekatnya, segera meng-hujamkan senjata
mereka ke tubuh Soka Wijaya.
Mereka tidak memberi ampun lagi.
Menjelang tengah malam pertarungan itu baru berhenti. Seto dan Nimas Kunti
dielu-elukan oleh para penduduk. Sementara itu Seto segera mencari Sena.
Ia tak melihat pemuda berpakaian rompi ular itu di sana. Justru pada dinding,
ada tulisan yang besar.
Saudara Seto, kita berpisah di sini, jaga Lastri.
Sayangi dia. Jangan lupa, hancurkan rumah mesum di Dewa Bojong Lolo.
Pendekar Gila. Seto hanya tersenyum. Ah, sebenarnya ia sangat berterima kasih atas bantuan
Pendekar Gila. Karena dialah masa jayanya Soka Wijaya bisa dihancurkan.
Malam itu juga Seto menemui Lastri dan
menceritakan semuanya. Lastri hanya tertunduk sedih. Mengapa Pendekar Gila tidak
berpamitan padanya" Mengapa mereka harus berpisah" Lastri merasa hatinya remuk.
Seto sendiri tahu akan perasaan Lastri terhadap Pendekar Gila. Makanya ia
mendiamkan dulu. Dan Mendatangi Desa Bojong Lolo. Rumah mesum yang bangun di
atas tanah rumah Bibik Utari dibakarnya, orang-orang berkeluaran dari sana
dengan kalang kabut.
Seto segera menaiki kudanya kembali. Di tengah jalan ia mendesis, "Pendekar
Gila, aku akan menjaga Lastri sesuai dengan pesanmu. Mudah-mudahan kita bertemu
kembali." Sementara itu, di satu jalan menuju ke timur, seorang pemuda berpakaian rompi
dari kulit ular sedang melangkah sambil bersiul-siul. Tugasnya sudah selesai
satu lagi. Dan sosok itu, Pendekar Gila, yakin kalau masih banyak tugas-tugas
memberantas kejahatan yang akan terpampang di depan matanya.
Ia pun meneruskan pengembaraannya.
SELESAI Serial Pendekar Gila selanjutnya:
PRAHARA DI GUNUNG KEMATIAN
Created ebook by
Sean & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Pedang Pelangi 23 Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long Pedang Langit Dan Golok Naga 12
rangkaian terakhir dari jurus-jurus di kitab itu. Lalu ia jatuh pingsan karena
lelahnya. Ketika ia tersadar, dirasakannya keletihannya menghilang begitu saja. Bahkan
Seto terkejut, ketika ia melangkah dirasakannya tubuhnya bertambah ringan saja.
Lalu dicarinya Nimas Kunti, akan diberitahukannya kalau ia berhasil menamatkan
seluruh isi buku Kitab Pedang Sinar Ungu.
Tetapi Nimas Kunti tidak ada di gubuknya, lalu ia pun mulai mencari sambil
berseru-seru. Sementara itu Sena memperhatikan dari tempat persembunyiannya. Ia memandang
takjub pada pedang yang dipegang pemuda itu, memancarkan sinar ungu.
Mendadak saja selarik sinar ungu melesat ke arahnya.
Singng! "Kraaak!"
Dahan pohon yang diinjak Sena pecah terhantam sinar ungu itu, sementara Sena pun
melayang turun.
Kini ia berhadapan dengan pemuda itu. Dan ia tahu dari mana asal sinar ungu
tadi, karena kini pedang itu sudah terlepas dari warangkanya. Terpegang di
tangan kanan pemuda itu dan memancarkan sinar ungu!
'Tidak baik bersembunyi seperti maling!" dengus Seto.
Sena tertawa terkekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Benar, benar itu. Kayak maling... he he he...."
Seto mengerutkan keningnya melihat tingkah
pemuda berpakaian rompi kulit ular. Tetapi ia harus siaga sekarang, la tidak
lagi mudah percaya pada siapa pun, kecuali Nimas Kunti.
"Siapa kau gerangan?" tanyanya dengan tatapan waspada. Pedang Sinar Ungu tetap
berada di tangan kanannya.
"He he he... namaku Sena... Dan kau?"
"Sena! Mau apa kau mengintip aku, hah?" bentak Seto dengan geram.
"Mengintip" Ha ha ha... mana mungkin aku
mengintip kau" Kalau gadis sedang mandi... he he he... lain itu... lain
sekali..."
Seto semakin mengerutkan keningnya. Merasa ada sesuatu yang salah di sini. Ia
bertanya-tanya dalam hati, apakah sifat gila itu memang milik pemuda yang
bernama Sena ini" Ataukah hanya berlagak saja"
"Sebutkan julukanmu!"
"He he he... julukan" He he he... tak ada gunanya.... Lebih baik, kita berpisah
saja sekarang...
aku masih ada urusan.... Selamat ting... hei!"
Sena melompat ke kiri, dan tempat bekas ia berpijak tadi kini mengeluarkan asap.
Sinar ungu yang dipancarkan dari pedang itu telah membuat tempatnya hangus.
"Jangan bersikap seperti malingi. Hadapi aku, Manusia gila!" Seto pun melompat
dengan Pedang Sinar Ungu di tangannya. Gerakannya begitu dahsyat dan cepat
sekali. Yang dipergunakan adalah jurus pembuka dari sekian jurus Pedang Sinar
Ungu, 'Mencabik Angkasa Raya'. Berupa rangkaian pedang yang selalu mengincar bagian
atas. Dengan perpaduan tenaga dalam yang dahsyat.
Sebenarnya, ilmu-ilmu yang diturunkan dari Setan
Pedang Kembar kepada Seto, adalah suatu ilmu yang tak kalah dahsyatnya. Tetapi
sekarang, jurus itu hanya merupakan bagian pembuka saja, sebelum mempergunakan
jurus-jurus Pedang Sinar Ungu.
Pendekar Gila cukup terkejut juga menerima serangan yang sangat gencar itu.
Sebisanya ia menghindar dan hanya bisa melihat beberapa pohon tumbang. Sungguh
satu ilmu pedang yang amat dahsyat diperlihatkan Seto.
"Mengapa kau hanya bisa menghindar saja,
Orang Gila!" dengusnya sambil terus menyerang dengan gencarnya.
Wuttt! Wuuttt! Pedangnya berkelebat ke sana kemari. Semakin banyak pohon yang tumbang karena
sabetannya dan menimbulkan suara berdebam yang keras ketika jatuh ke bumi.
Sena pun mulai mempergunakan jurus tangan kosongnya, 'Si Gila Melepas Belitan
Benang Kusut'. Tubuhnya mendadak berputar dengan arah yang berlawanan dari Seto. namun Seto pun
segera melanjutkan dengan jurus kedua dari Pedang Sinar Ungu, 'Dorongan Ke
Tengah Badai'. Hal itu membuat Sena menjerit kaget.
"Gila!"
"Ha ha ha... kau hanya bisa seperti kera belaka yang lompat sana lompat sini!"
Mendadak Sena bersalto ke belakang dan begitu hinggap di bumi, tangannya sudah
terangkum menjadi satu di dada lalu perlahan-lahan mulai direntangkan. Ajian
pamungkas 'Inti Bayu' mulai dikeluarkan.
"Apa lagi yang hendak kau pergunakan, Orang
gila!" seru Seto sambil merangsek maju. "Mampuslah kau, heeeaaattt!"
Bersamaan dengan tubuh Seto mendekat, Sena melontarkan kedua tangannya ke muka.
Mendadak deru angin yang sangat kencang terdengar, lalu menerpa ke arah Seto.
Seto terpelanting ke belakang karena tidak menyangka ada serangan yang dahsyat
diperlihatkan lawannya.
Tubuhnya menabrak pohon yang langsung
tumbang. Tubuhnya melayang dan saat yang kritis itu tiba-tiba ia menancapkan
Pedang Sinar Ungu ke tanah. Dengan bantuan pedang itulah ia bisa berdiri tegak
menerima ajian 'Inti Bayu'. Hanya pakaiannya saja yang terbuka dan celana
pangsinya yang sobek-sobek.
Plok! Plok! Plok!
Sena bertepuk tangan sambil menghentikan
serangannya. Ia yakin di antara mereka hanya ada salah paham belaka.
"Hebat, hebat!"
"Jangan berbangga dulu, Gila!" Kembali Seto mengempos tubuhnya. Kali ini jurus
ketiga dari Pedang Sinar Ungu dikeluarkan, 'Memusnahkan Gunung'.
Jurus yang lebih dahsyat lagi. Jurus yang tenaganya berlipat ganda. Suara
desingan dan kesiurnya angin dari pedang itu terdengar hebat.
Sena sendiri tidak mau meladeni lagi dengan tangan kosong. Ia melompat ke kiri
dan ketika hinggap di bumi, di tangannya sudah terdapat Suling Naga Sakti.
Lalu disongsongnya gerakan Seto dengan cepat.
"Heeeaaattt!"
Trang! Trang! Seto mundur dua langkah. Ia terkejut ketika melihat suling yang dipegang pemuda
berbaju rompi kulit ular itu tidak patah. Penasaran, ia menerjang sekali lagi.
Kali ini dengan tenaga penuh.
Kembali terdengar suara yang keras.
Trang! Keduanya bersalto ke belakang. Lagi-lagi Seto tidak percaya apa yang telah
terjadi. Suling itu tetap tidak patah. Sementara Pendekar Gila cuma cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Tiba-tiba Seto teringat akan kata Nimas Kunti.
Pedang Sinar Ungu adalah pedang yang sangat tajam.
Senjata apa pun tak akan mampu menandinginya, kecuali, Suling Naga Sakti milik
Pendekar Gila. Seto menatap pemuda yang masih cengar-cengir itu. Bila melihat sikapnya, ia
memang seperti orang gila. Apakah pemuda ini yang berjuluk Pendekar Gila"
Dan apakah suling yang dipegangnya itu adalah Suling Naga Sakti seperti yang
diceritakan oleh Nimas Kunti"
Perlahan-lahan ia mengatur napasnya, mencoba menghilangkan ketegangannya. Lalu
katanya, "Apakah... Saudara Sena yang berjuluk Pendekar Gila?"
"He he he... gila, gila... Ya, ya... orang-orang memberiku julukan yang jelek
itu. Pendekar Gila... he he he... padahal aku tidak gila. Cuma sedikit gilanya."
Seto tersenyum. Ketegangannya semakin hilang.
Kini ia yakin, kalau yang berdiri di hadapannya adalah Pendekar Gila. Pedang
Sinar Ungu kembali
dimasukkannya ke warangkanya. Lalu ia menjura,
"Maafkan aku, Tuan Pendekar. Sungguh, aku telah buta tidak mengetahui, kalau
yang berdiri di hadapanku ternyata Pendekar Gila adanya."
Sena hanya tertawa-tawa sambil memasukkan kembali Suling Naga Sakti ke
pinggangnya. Kini ketegangan sudah tidak ada lagi di antara mereka.
"Sudahlah, kau sangat hebat, Seto. Ilmu
pedangmu sungguh dahsyat sekali...."
'Tuan Pendekar hanya memuji."
"Hei, hei... jangan memanggilku seperti itu. Terlalu tinggi sebutan itu
untukku..."
Seto hanya tersenyum. Lalu keduanya saling menjelaskan apa tujuan mereka kali
ini. Dari cerita Seto, Sena mengetahui kalau Seto mempunyai dendam pada Soka
Wijaya. Seto pun mengetahui kalau nanti malam Sena beserta Ki Sobrang ajcan
menyatroni rumah Soka Wijaya.
"Kita ternyata punya kesamaan sekarang ini, Seto...."
"Benar, Kang Sena," kata Seto. Kini keduanya duduk di batang kayu yang tumbang.
"Tetapi, aku harus mencari dahulu Nimas Kunti."
"Siapakah gerangan dia?"
"Nimas Kunti telah menyelamatkan nyawaku dari Keris Dewa milik Jalaluta. Ia pula
yang memberikan pedang dan kitab Sinar Ungu kepadaku."
"Kau beruntung... he he he... karena men-
dapatkan senjata pamungkas yang sangat hebat..."
"Aku sendiri tidak menyangka akan memilikinya,"
sahut Seto dengan suara merendah.
Sena berdiri, "Apakah tidak sebaiknya kita segera menuju Desa Bojong Sawo saja"
Kita harus menyusun kekuatan dengan meminta bantuan para penduduk. Paling tidak, waktu kita
sangat sempit sekali. Karena menurut perhitunganku, nanti malam adalah saat yang
baik untuk menyerang."
"Mengapa?"
"Orang-orang sakti seperti Jalaluta si Keris Dewa dan Tiga Iblis Bergelang Bahar
sedang berkeliaran mencariku, Ki Sobrang dan Lastri. Paling tidak, kita bisa
menghancurkan lebih dulu Soka Wijaya sebelum memusnahkan seluruh antek-
anteknya."
Seto hanya mengangguk saja.
Lalu keduanya melesat, saling mengeluarkan ilmu larinya. Seolah sekarang yang
terlihat, ada dua anak muda yang sedang berlomba lari. Yang satu mengenakan
rompi kulit ular, sementara yang satu bertelanjang dada, karena bajunya sudah
terbang bersama 'Inti Bayu' yang dilontarkan Pendekar Gila.
*** 7 Nimas Kunti berdiri di depan rumah besar dan megah itu. Sejenak ia
memperhatikannya, sehingga empat orang penjaga yang berdiri tegak dengan wajah
dingin di sana, menjadi saling pandang. Lalu serentak keempatnya mendekat.
"Mau apa kau, Nenek tua?" bentak salah seorang dengan beringas.
Nimas Kunti tersenyum, mengerling genit
sehingga membuat mereka merasa muak.
"Aku mencari Soka Wijaya."
"Kurang ajar!" Yang bertanya tadi, Madkuro menggeram marah. "Enak saja kau
menyebut majikan kami seperti kebanyakan orang layaknya."
"He he he... lalu aku harus memanggil apa?"
"Panggil dia Juragan Soka Wijaya...."
"Ya, ya... Juragan Soka Wijaya. Panggilkan dia, katakan, Nimas Kunti datang
untuk membunuhnya."
Mendengar kata-kata itu, keempatnya segera bersiaga. Tombak di tangan mereka
segera terhunus.
"Nenek peot! Kau mencari mati rupanya!"
Nimas Kunti hanya terkekeh saja.
"Bila kalian masih sayang dengan nyawa kalian, lebih baik segera panggilkan
manusia keparat itu."
Kali ini mereka sudah tidak bisa menahan
amarah lagi. Serentak keempatnya menerjang cepat dengan bentakan yang keras.
"Mampus kau... heeaaa!"
Namun mendadak saja tubuh keempatnya
terpental kembali ke belakang dan ambruk langsung
menemui ajal. Nimas Kunti terkekeh sambil mengusap ujung tongkatnya yang penuh
darah. "Bodoh! Tidak sayang dengan nyawa sendiri!"
Lalu ia segera masuk ke rumah besar itu melalui pintu gerbang yang terbuat dari
kayu jati yang tebal.
Sudah tentu kehadirannya membuat orang-orang yang berada di sana menjadi
terbelalak. Siapa gerangan nenek peot yang berani-berani memasuki rumah majikan
mereka. Sepuluh orang laki-laki bersenjata golok, parang, dan tombak segera menghadang.
"Siapa kau!"
"He he he... namaku Nimas Kunti. Aku datang untuk membunuh Soka Wijaya!"
"Keparat!"
Serentak mereka menyerang Nimas Kunti yang cuma tertawa saja. Dan lagi dengan
gerakan yang sangat cepat, Nimas Kunti mengayunkan tombaknya.
Seketika lima orang dari mereka menjadi mayat dengan kepala terbelah retak.
Kelima lainnya yang masih hidup sudah tentu terkejut bukan main. Mereka seolah
tidak melihat bagaimana tongkat di tangan nenek tua itu terayun.
Suatu ilmu yang sangat tinggi sekali.
Dan rupanya Nimas Kunti tidak menginginkan untuk berlama-lama lagi, yang menjadi
sasarannya adalah Soka Wijaya. Bukan para keroco yang hanya menjadi duri sesaat.
Sekali lagi ia mengayunkan tongkatnya, dan....
Wuttt! Wuttt! "Aaakhh!"
Prak! Des! Prak! "Aaakhh!"
Kelima tubuh itu langsung berkalang tanah. Dan sudah tentu keributan yang
terjadi di halaman rumah besar itu, memancing orang-orang yang menghuni rumah
itu keluar. Rata-rata laki-laki yang berwajah ganas dan garang. Juga keluar dua
sosok tubuh yang agak aneh. Yang wanita kurus tinggi dengan dagu yang panjang.
Ia mengenakan pakaian berwarna merah seperti sisik ikan. Ia adalah Nyai Sisik
Merah alias Mayang, yang menggunakan senjata seperti kebutan debu. Sementara
yang satunya lagi seorang laki-laki yang pendek, ia adalah si Cebol dari Utara,
yang terkenal kekejaman dan senjatanya, toya bermata tiga di ujungnya.
Nimas Kunti tertawa begitu melihat Nyai Sisik Merah.
"Aih, aih! Rupanya si penjual ikan ada di sini! Apa kabarmu, Nyai Sisik Merah?"
Mayang alias Nyai Sisik Merah terkejut melihat siapa yang telah membuat keonaran
di rumah majikannya. Lalu ia tertawa, "Rupanya Nimas Kunti, si Nenek Pesolek.
Hmmm... mengapa harus membuat onar di sini, hah?"
"Rupanya, perjanjian yang kita ucapkan sepuluh tahun yang lalu agar mengundurkan
diri dari dunia persilatan, ternyata telah kau ingkari."
"Peduli setan dengan semua janji itu, Nenek Genit! Ketahuilah, Wasongso si Keris
Dewa telah memiliki seorang murid yang bernama Jalaluta, dan kini ia telah
bergabung denganku. Kunti... untuk apa masa tuamu kalau bukan kau pergunakan
secara baik-baik" Manfaatkanlah untuk mendapatkan sesuatu yang tak pernah kita
pikirkan sebelumnya.
Kau bodoh, bila masih harus bergulat dengan segala
kebodohanmu. Mengasingkan diri sesuai janji hanyalah omong kosong belaka."
Nimas Kunti tersenyum.
"Dan kini kau menjadi sekutu dari manusia busuk yang menamakan dirinya Soka
Wijaya!" Nimas Kunti menggeser kedudukan kakinya.
Melihat gerakan yang diperlihatkan Nimas Kunti, Nyai Sisik Merah bersalto ke
muka. Tangannya mengibas terentang, beberapa pengawal lainnya mundur beberapa
tindak. Kini yang ada di halaman hanyalah Nimas Kunti dan Nyai Sisik Merah, dua
sahabat yang dulu bergabung dengan Wasongso si Keris Dewa dengan julukan Tiga
Malaikat Pencabut Nyawa dari golongan putih harus saling bertempur. Hanya
Sasongso yang kini masih mengasingkan diri di kediamannya.
Suasana nampak sangat panas. Keduanya
bertatap mata dengan senyum sinis di bibir. Si Cebol dari Utara terkekeh, "Ini
pertarungan yang menarik.
Bunuh manusia itu, Mayang!"
Nyai Sisik Merah memainkan kebutannya, seolah sedang berkipas. Tiba-tiba ia
menggerakkannya ke arah Nimas Kunti.
Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serangkum angin kuat menderu.
Wuttt! Nimas Kunti melompat sambil terkekeh. Ia
berhasil meloloskan diri, namun orang-orang yang berdiri di belakangnya, harus
terpental dan muntah darah sebelum mampus.
"Wah, wah... Kebutan Angin Dinginmu ternyata masih sangat hebat, Mayang. Tetapi
kasihan... justru orang-orangmu sendiri yang harus mampus!" seru Nimas Kunti
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Nyai Sisik Merah menggeram. "Hhh! Kau pun
masih hebat juga, Kunti! Bagus, bagus sekali!
Sekarang lihat!"
Tiba-tiba Nyai Sisik Merah memutar tubuhnya, gerakannya sangat cepat sekali
sehingga menimbulkan getaran yang kuat. Nimas Kunti hanya tertawa-tawa saja.
Mendadak ia mengayunkan tongkatnya, memutarnya bagaikan menamengkan diri.
Puluhan sisik berwarna merah melesat ke
arahnya. Itulah yang disebut ilmu 'Sambaran Sisik Merah' milik Mayang.
Terdengar suara, crang-cring yang ber-
kepanjangan dan deru tongkat yang bagai baling-baling belaka. Hebat sekali
putaran tubuh Nyai Sisik Merah yang mengeluarkan ilmunya, namun begitu hebat
pula putaran tongkat Nimas Kunti yang membuat tameng untuk melindungi dirinya.
Namun akibat yang paling fatal, begitu sisik-sisik beracun itu terpental
kembali, beberapa orang kembali menjerit dengan kerasnya disusul dengan tubuh-
tubuh yang ambruk.
"Kau hanya membunuhi para anak buahmu saja, Mayang!" seru Nimas Kunti sambil
terus memutar tongkatnya.
Melihat hal itu, Nyai Sisik Merah menghentikan putaran tubuhnya. Pandangannya
begitu geram sekali, mendadak saja ia melompat cepat dengan satu gerakan yang
sangat penuh tenaga ke arah Nimas Kunti.
"Mampuslah kau, Nenek genit!" dengusnya.
Nimas Kunti yang sudah tahu kehebatan
lawannya yang dulu menjadi kawannya pun tidak mau kalah. Ia langsung melompat
memapaki serangan Nyai Sisik Merah dengan tak kalah cepatnya.
Pertarungan yang sengit pun terjadi. Saling serang
dan bertahan dengan sengitnya. Nimas Kunti mengeluarkan segenap kemampuannya,
begitu pula dengan Nyai Sisik Merah. Ia bisa jatuh pamor bila dikalahkan oleh
Nimas Kunti di-hadapan anak buahnya. Paling tidak, ia bisa memukul mundur si
Nenek Pesolek ini kalau tak mampu menjatuhkannya.
Namun dalam pikiran Nyai Sisik Merah, Nimas Kunti harus dikalahkannya.
Dalam waktu singkat saja lima belas jurus sudah terlampaui. Belum ada tanda-
tanda kekalahan satu sama lain. Keduanya justru semakin bersemangat dan
meningkatkan serangan demi serangan mereka.
Suara jeritan selalu terdengar, karena kebutan angin yang dipergunakan oleh Nyai
Sisik Merah selalu berhasil dihindari oleh Nimas Kunti, dan akibatnya mengenai
orang-orang yang berada di belakangnya.
Tetapi tiba-tiba, Nimas Kunti melemparkan tongkatnya ke arah Nyai Sisik Merah,
gerakannya itu sangat mengejutkan sekali. Nyai Sisik Merah melompat dan
menepiskan tongkat itu dengan kebutan anginnya. Justru itulah yang diharapkan
oleh Nimas Kunti. Karena begitu Nyai Sisik Merah sibuk menyelamatkan diri dari
lemparan tongkat Nimas Kunti, Nimas Kunti sudah merangsek masuk dengan gerakan
yang cepat. Des! Duk! Dua pukulan masuk, bersarang pada perut dan dada Nyai Sisik Merah yang segera
terhuyung-huyung.
Nimas Kunti terus memburu, "Kau telah mengkhianati janji-janji kita dulu! Kini
mampuslah kau!"
Dalam kedudukan terhuyung dan rasa sakit yang dideritanya, sudah tentu membuat
Nyai Sisik Merah tidak bisa menghindari serangan Nimas Kunti. Karena jurus yang
dipergunakan Nimas Kunti sangat ia hafal
sekali, 'Tepukan Satu Tangan'. Karena ternyata, tepukan satu tangan lebih keras
terdengar daripada dua tangan. 'Tepukan Satu Tangan' merupakan gerakan mata
rantai tangan kosong yang hebat, tepukannya mampu menghancurkan batu karang
sebesar lembu jantan.
Keunikannya, bila menghindari serangan itu, justru lawan sendiri yang akan
termakan. Jalan satu-satunya, haruslah memapaki. Namun tenaga dalam yang
sempurna dan hawa murni yang tinggi, haruslah dimiliki. Kalau tidak, akan remuk
sekali kepruk. Dalam keadaan yang kritis bagi Nyai Sisik Merah, tiba-tiba sebuah toya bermata
trisula melesat ke arah Nimas Kunti. Nimas Kunti terpaksa menghentikan
serangannya pada Nyai Sisik Merah. Dikepruknya tongkat itu hingga lebur menjadi
abu. Si Cebol dari Utara memandang terbengong
melihatnya. Padahal senjatanya itu adalah senjata pusaka dan andalannya. Hanya
sekali kepruk sudah hancur.
Nimas Kunti bersalto. Begitu ia hinggap di tanah, ia berseru sambil tertawa,
"Mengapa harus menunggu terlalu lama, Cebol" Majulah kalian berdua! Akan
kumusnahkan dari muka bumi ini, bila kalian tidak memangil keluar Soka Wijaya!"
Sebenarnya Soka Wijaya sudah mengetahui
kedatangan Nimas Kunti. Tetapi ia masih tenang-tenang saja. Masih sibuk
menggeluti tiga orang gadis yang berada di peraduannya. Baginya, kenikmatan ini
tidak boleh dilewatkan. Permainan dengan tiga orang gadis sekaligus memberikan
kenikmatan tersendiri yang tiada tara.
Si Cebol dari Utara bergerak dengan cara
menggelinding seperti bola. Lalu berdiri di sisi Nyai
Sisik Merah yang sedang mengalirkan tenaga dalamnya, membuang rasa sakit yang
dideritanya akibat pukulan Nimas Kunti.
"Hebat, hebat! Aku kagum dengan kau, Nenek genit!" katanya sambil tertawa.
Suaranya lucu, cempreng sekali.
Nimas Kunti tersenyum. Mengambil selendangnya dan mengelap wajahnya dengan
perlahan dan halus.
Lalu mengeluarkan bubuk merang yang ditumbuk dengan biji-biji bunga matahari,
disaputkannya ke wajahnya dengan gerakan gemulai.
Setelah selesai, ia memasukkannya lagi.
"Cebol... kau lucu sekali, ya" Hi hi hi... tubuhmu kayak bola!"
Wajah si Cebol merah padam. Ia berjuluk Tunggul Petaka. Dan mendadak saja ia
sudah melesat dengan gerakan yang tadi diperlihatkan, menggelinding bagaikan
bola. Mencecar ke arah Nimas Kunti yang melompat ke sana kemari. Dan sekali-
sekali berseru.
"Hebat! Hebat sekali! Mirip landak! Hi hi hi...."
Semakin marah Tunggul Petaka karena serangannya tidak membawa hasil, la kembali
berdiri tegak. Lalu menyerbu dengan satu gerakan aneh, kali ini tubuhnya bergerak tidak
beraturan seperti tadi, bukannya ke arah Nimas Kunti, melainkan ke arah yang
akan dijadikan sebagai tempat berpijak Nimas Kunti bila ia menghindar.
Sudah tentu Nimas Kunti tidak akan menghindar atau berpijak ke tempat lain,
karena yang diserang sekarang oleh Tunggul Petaka sepertinya bukan dirinya.
Memang itulah yang diharapkan oleh Tunggul Petaka. Karena itu adalah satu gerak
tipuan yang sangat manis sekali. Bila lawan sudah terpana
melihat serangannya, berarti ia sudah terjebak.
Karena mendadak saja beberapa jarum berbisa mengarah pada Nimas Kunti.
Gerakannya begitu pelan sekali. Untungnya, Nimas Kunti memiliki pendengaran yang
masih berfungsi dengan bagus.
"Setan!" makinya seraya menghindar. Dan ia tidak berani menyerang Tunggul Petaka
dalam keadaan berguling seperti itu. Kali ini Tunggul Petaka mengarahkan
serangannya langsung pada Nimas Kunti yang kembali menghindari serangannya.
Sekali ia melompat ke samping, Nyai Sisik Merah yang sudah pulih dari rasa
sakitnya, segera mempergunakan kesempatan yang baik itu.
"Mampuslah kau, Nenek genit! Heeeaaa!"
Kebutan anginnya mengarah pada Nimas Kunti.
Nimas Kunti masih bisa menghindari serangan kebutan angin itu. Namun
pertahanannya menjadi terbuka. Dengan leluasa, Nyai Sisik Merah menendangnya.
Des! Tubuh Nimas Kunti terhuyung ke belakang.
Beberapa pengawal yang sejak tadi hanya menonton saja karena belum ada komando
untuk membantu, segera mengayunkan senjata mereka. Nimas Kunti masih bisa
menghindari serangan itu dengan jalan berguling. Namun tak urung lengannya
terkena tusukan tombak.
Melihat darah yang mengalir, para pengawal itu mencecarnya. Kali ini Nimas Kunti
memang sudah di ambang maut, namun ia masih bisa menghimpun tenaganya dalam
jurus 'Tepukan Satu Tangan' dan mengibaskan pada orang yang mengejarnya.
Orang-orang itu beterbangan disertai jeritan yang
menyayat hati. Dan ambruk dengan nyawa melayang.
Nyai Sisik Merah mendengus. "Bodoh, sudah kukatakan jangan menyerang! Itulah
akibatnya bila tidak mendengar perintah. Nimas, kau harus mampus!"
Bersamaan dengan tubuhnya melayang menye-
rang Nimas Kunti, Tunggul Petaka pun bergerak.
Menggelinding seraya hendak melemparkan senjata rahasianya.
Nimas Kunti kali ini tidak bisa berbuat banyak lagi. Ia hanya terkekeh sambil
mendekap lengannya yang berdarah.
Namun mendadak saja selarik sinar berwarna ungu melesat ke arah Nyai Sisik Merah
dan Tunggul Petaka. Keduanya segera menghindar dengan cepat.
Lalu berdiri tegak agak menjauh dari Nimas Kunti.
Begitu mereka mendongak, di tembok yang tinggi telah berdiri satu sosok tubuh
bertelanjang dada. Di tangannya ada pedang berwarna ungu.
Nimas Kunti berseru, "Seeetooo...!"
Seto melompat dan hinggap di sisi Nimas Kunti.
"Kau tidak apa, Nimas?" tanyanya penuh
perhatian. Nimas Kunti tersenyum.
"Rupanya kau berhasil menamatkan isi Kitab Pedang Sinar Ungu itu, Seto."
"Benar, Nimas," sahut Seto sambil memandang kedua lawannya. Wajahnya tegang
dengan kemarahan yang membludak, la tidak sabar untuk segera menghancurkan mereka dan
membunuh Juragan Soka Wijaya.
Seto memang sudah berpisah dengan Pendekar Gila. Setelah berhasil mempengaruhi
para penduduk untuk bergabung dan melakukan penyerangan pada
Soka Wijaya, Seto bermaksud mencari Nimas Kunti.
Sementara Pendekar Gila akan menemui Ki Sobrang dan Lastri untuk mengabarkan
semua itu. Ketika sedang mencari Nimas Kunti, ia melewati rumah Soka Wijaya, di mana
dendamnya semakin kuat membelenggu. Lalu ia pun mendengar suara Nimas Kunti dari
sana. Dengan cepat ia melompat ke tembok besar itu dan melihat Nimas Kunti
sedang dalam bahaya. Ia pun segera bertindak dengan cepat dan berhasil
menyelamatkan nyawa Nimas Kunti.
"Hhh! Rupanya anjing-anjing Soka Wijaya yang berada di hadapanku" Mengapa
manusia busuk itu tidak keluar, hah" Ataukah ia penakut?"
Nyai Sisik Merah dan si Cebol dari Utara saling berpandangan. Sejenak mereka
kagum juga dengan pedang yang dipegang oleh pemuda itu. Keduanya yakin, sinar
ungu tadi terpancar dari pedang itu.
"Anak muda... lebih baik kau bergabung saja dengan kami," ajak Nyai Sisik Merah.
"Hidupmu akan lebih bahagia di sini!"
"Hhh! Busuk! Kalian semua adalah manusia-
manusia busuk yang selalu menjunjung tinggi keangkaramurkaan!"
"Hi hi hi... bodoh, bodoh sekali kau, Anak muda,"
kata Nyai Sisik Merah masih berusaha membujuk Seto. "Bila kau bergabung dengan
kami, kau akan mendapatkan pakaian yang bagus, rumah yang mewah, uang yang
banyak dan gadis-gadis yang cantik, yang siap melayanimu. Untuk apa kau bersikap
dingin seperti itu, hah?"
Wrrrt! Seto mencabut Pedang Sinar Ungu dari warangkanya. Ia kelihatan amat geram
sekali. "Sekali lagi kau membujukku, maka kau akan
mampus!" "Hi hi hi... benar-benar pemuda bodoh! Tidak mau mempergunakan kesempatan yang
bagus ini!"
"Ha ha ha... Mayang, Mayang... kau akan percuma membujuk pemuda yang kuat
imannya. Yang membenci kejahatan yang kau lakukan. Percuma membujuknya...."
"Diam kau, Peot!"
"Hi hi hi... apakah kau sendiri tidak peot?"
Mendengar kata-kata itu, bukan main marahnya Nyai Sisik Merah. Dengan segera ia
mengempos tubuhnya dan menyerang Nimas Kunti.
Tetapi Seto tidak mau tinggal diam, ia segera memapakinya dengan hebat.
*** 8 Dengan mempergunakan ilmu lari Sapta Bayu, Sena tiba di tempat di mana Ki
Sobrang dan Lastri menunggu. Namun ia sangat terkejut, karena suasana di sana
sangat berantakan sekali. Banyak pohon yang telah tumbang. Dan yang sangat
mengejutkan sekali, ketika ia melihat satu sosok tubuh tergeletak terhimpit oleh
sebatang pohon besar. Ki Sobrang!
Sena memburu dengan cepat. Diangkatnya
batang pohon besar itu dan ditariknya tubuh Ki Sobrang. Diperiksanya dengan
seksama. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi bagi Ki Sobrang. Di perutnya ada
luka yang sangat besar sekali.
"Oh, Tuhan... apa yang telah terjadi?" desis Pendekar Gila dengan pikiran yang
kacau. Lebih-lebih setelah menyadari ia tidak melihat Lastri. Dicarinya di
sekitar sana barangkali Lastri sudah menjadi mayat, namun ia tidak menemukan
mayatnya. Ke mana gadis itu" Pikirnya dengan hati bertanya-tanya. Ia yakin, telah terjadi
pertarungan antara Ki Sobrang entah dengan siapa. Mendadak saja Pendekar Gila
melesat ke satu tempat, telinganya yang tajam mendengar satu jeritan yang
menyayat hati. Bergegas ia mencari asal suara itu.
"Tolong! Lepaskan aku, Setan! Lepaskan!" suara itu terdengar lagi dan Sena yakin
kalau itu adalah suara Lastri. Bergegas ia mencarinya.
Sementara itu Lastri tengah mengalami hal yang sangat mengerikan sekali. Kedua
tangannya di- pegangi oleh Menggolo dan Karto Suro, sedangkan kedua kakinya dipegang erat-erat
oleh Wono Jarot.
Ketiganya terbahak-bahak, sementara Jalaluta tengah membelai-belai sekujur tubuh
Lastri. Lastri menjerit-jerit.
"Lepaskan tanganmu, Babi! Lepaskan!" serunya sambil berusaha memberontak. Justru
karena rontaannya itu, kain yang dipergunakannya tersingkap sehingga
memperlihatkan bungkahan pahanya yang padat berisi, putih mulus. Membuat keempat
laki-laki itu semakin terangsang.
"Ha ha ha... ayolah, Manis... Kau kan tidak mau untuk dijadikan sebagai selir
Soka Wijaya. Nah, biar kau melayani kami saja...," desis Jalaluta.
Lastri berusaha memberontak. Wajahnya memancarkan ketakutan yang teramat sangat.
Ketakutan yang membuatnya menjadi panas dingin dengan keringat yang mengucur. Ia
bisa membayangkan apa yang akan dialaminya ini.
Untunglah di saat yang kritis itu terdengar bentakan yang keras, "Manusia
keparat! Lepaskan gadis itu!"
Serentak mereka berdiri, dan Lastri mempergunakan kesempatan itu untuk beringsut
dan merapatkan kedua tangannya di dada. Ia menangis di bawah sebatang pohon yang
besar, meskipun ia bersyukur karena Pendekar Gila yang muncul.
Tiga Iblis Bergelang Bahar sudah sangat
mengenal Pendekar Gila, pendekar yang bertarung dengannya.
"Ha ha ha... rupanya kita bertemu lagi, Pendekar Gila," kata Menggolo sambil
terbahak-bahak.
Sementara telinga Jalaluta menegak. "Hhh!
Rupanya hanya begini saja tampang Pendekar Gila
yang tersohor itu. Apanya yang digembar-gemborkan oleh orang-orang persilatan,
sehingga namanya melambung tinggi dan dibicarakan oleh banyak orang."
Ia pun melompat satu tindak dengan gerakan yang ringan sekali. Sengaja
memperlihatkan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi.
"Rupanya engkaulah yang berjuluk Pendekar Gila!
Bagus, aku tidak perlu bersusah payah untuk mencarimu dan membunuhmu! Cepat kau
berlutut di hadapanku sebelum mampus!" serunya keras dan memandang sebelah mata.
Pendekar Gila kali ini sudah pada puncak
kemarahannya. Pertama, dengan kematian Ki Sobrang. Kedua, ia melihat Lastri
hampir saja diperkosa. Tetapi meskipun begitu, sikapnya masih cengengesan saja.
Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha ha ha... jadi gagal ya pestanya" Bagus itu, bagus! Sekarang, katakan...
siapa di antara kalian yang bernama Jalaluta?"
"Mau apa kau, hah?" bentak Jalaluta dengan suara yang angker. Wajahnya sangar,
penuh kemarahan. Pertama karena keasyikannya terganggu.
Kedua, karena pemuda inilah yang diperintahkan oleh Juragan Soka Wijaya harus
ditangkap. Paling tidak, ia memiliki tugas yang harus segera dijalankan.
Padahal, memperkosa Lastri lebih mengasyikkan.
"He he he... rupanya engkaulah si Jalaluta itu.
Bagus, bagus sekali... Nah, lebih baik kau bersujud di hadapanku sebelum kukirim
ke neraka!"
"Pendekar Gila..., boleh juga sesumbarmu itu!
Hebat, aku sangat menyukainya. Tetapi yang perlu kau ketahui... justru kau yang
harus mampus sekarang, seperti Ki Sobrang!"
Sesudah berkata begitu, Jalaluta segera
menerjang dengan Keris Dewa di tangannya. Ia tahu, siapa lawan yang dihadapinya.
Tidak perlu bertindak setengah-setengah lagi. Harus langsung pada sasarannya.
"Heeeaaa!"
Pendekar Gila masih tertawa-tawa saja, membuat Jalaluta semakin murka karena
merasa dianggap ringan. Makanya, ia semakin melipatkan tenaganya.
Dari gerakan keris di tangan Jalaluta, Pendekar Gila merasakan hawa panas yang
aneh, yang terpancar dari keris itu.
Seketika Pendekar Gila menutupi dirinya dengan
'Inti Bayu' yang hanya ia pusatkan pada tenaga di pusarnya. Sehingga tidak
terlontar keluar. Lalu dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
ia mencoba memapaki serangan Jalaluta.
"Hiaaattt!"
Hawa panas itu sudah tidak dirasakannya.
Jalaluta semakin mendengus ketika tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk menghindari
setiap serangannya.
"Hi hi hi... hanya begini saja nama besar Jalaluta rupanya," ejek Pendekar Gila
dan membuat Jalaluta semakin panas.
Ia menyerang semakin gencar, begitu pula
dengan Pendekar Gila yang masih meliuk-liuk menghindari serangannya. Membuat
Jalaluta semakin murka. Dan tiba-tiba ia menepuk. Jalaluta yakin, kalau tepukan
itu yang kelihatan sangat lemah mengandung tenaga yang sangat kuat sekali.
Makanya ia menghindar. Apa yang diduganya ternyata terbukti, karena sebuah pohon
langsung tumbang begitu kena tepukan Pendekar Gila.
"Ilmu edan!" maki Jalaluta.
Tiba-tiba terdengar seruan keras, "Hhh! Tanganku jadi gatal untuk turun tangan,
Kawan Jalaluta!" Menggolo sudah menenang masuk ke pertarungan itu.
Begitu pula dengan Karto Suro dan Wono Jarot.
"Heeeaaa!"
"Mampus kau, Orang gila!"
Menghadapi keempat lawan yang tangguh itu, Pendekar Gila masih tertawa-tawa
saja. Ia mengubah jurusnya, 'Si Gila Melepas Belitan Benang Kusut'
mulai digunakan. Gerakan memutar arah yang berlawanan dari lawan-lawannya
sejenak mengecoh mereka. Hal ini sudah tentu tidak disia-siakan oleh Pendekar
Gila. Ia terus mencecar dengan hebatnya.
Malang bagi Karto Suro yang berada di dekatnya.
Karena Pendekar Gila sudah melancarkan pukulannya dengan telak dan penuh tenaga.
Tanpa ampun lagi terkena hantaman tangan Pendekar Gila yang tiba-tiba bergerak
ke depan. Prak ! "Aaakkhhh!"
Jeritan itu menggema, tubuh Karto Suro langsung menggelosoh ambruk. Melihat hal
itu, Menggolo dan Wono Jarot semakin murka. Keduanya melesat menerjang dibantu
oleh Jalaluta. "Kau harus membayar nyawa saudaraku, Orang gila!" seru Menggolo dan mengayunkan
senjatanya dengan cepat Baginya, ia harus membunuh Pendekar Gila saat ini juga.
Pendekar Gila masih saja tertawa-tawa saja menerima setiap serangan itu. Namun
kali ini ia sudah tidak ingin main-main lagi. Mendadak saja ia bersalto, sambil
bersalto itu ia menggosok kedua tangannya seraya mengalirkan kedua tangannya.
"Inti Brahma!" serunya keras sambil menggerak-
kan tangannya ke depan. Gulungan bola api melesat ke arah lawannya yang menjadi
kocar-kacir. Hawa panas mulai menyeruak ke sana. Hutan itu pun terbakar. Namun
pertarungan masih saja berlangsung. Bola-bola api yang keluar dari tangan
Pendekar Gila terus menyerang lawan-lawannya.
Wono Jarot tidak mampu bertahan lagi.
Tubuhnya pun tersambar bola api itu. Dan
terbakar dengan lolongan yang keras.
Menggolo yang bermaksud membantu Wono
Jarot, harus mundur kalau tidak ingin tubuhnya termakan bola-bola api lainnya.
Kemarahannya semakin membludak. Mendadak ia bersalto ke depan. Gerakannya sudah
tidak pakai perhitungan lagi. Yang pasti ia harus bisa membalaskan dendamnya
atas kematian dua adik seperguruannya.
"Kau harus membayar nyawa adik seperguruan-ku, Pendekar Gila!"
Hal itu sudah tentu merupakan kesalahan yang sangat besar. Karena begitu ia
melompat ke arah Pendekar Gila, bola api pun melesat, menghantam tubuh Menggolo
yang tersuruk ke belakang dan kelojotan kepanasan terbakar.
Lalu ambruk dengan tubuh hangus. Sementara kebakaran di hutan itu sudah semakin
banyak. Api menjalar dari satu pohon ke pohon lain. Lastri menjerit-jerit suara
sambil berlarian ke sana kemari.
Sementara itu Jalaluta merasa tak ada gunanya lagi untuk menghadapi Pendekar
Gila. Ia sudah merasa terjebak dalam lingkaran api. Mendadak saja ia melompat ke
belakang, dan menerobos api yang sangat besar itu.
Begitu lawannya menghilang, Pendekar Gila segera menghentikan ajian 'Inti
Brahma'. Ia menarik
tangan Lastri ke tempat yang aman.
Lastri berpindah tempat, menjauh dari api yang semakin menjalar. Mendadak Sena
berdiri tegak. Tangannya tiba-tiba terangkat ke atas sambil mengalirkan tenaga dalamnya ke
sendi-sendi tangannya.
Lalu dibawanya tangan itu ke bawah, dan diletakkan di pinggang. Sambil berseru
keras, kedua tangannya disorongkan ke depan dengan dihentakkan, "Inti Bayu!"
Seketika keluar angin besar yang menggulung-gulung. Suaranya menderu-deru, bagai
air laut yang luber ke daratan. Angin yang keras itu pun memadamkan api yang
mulai menjalar. Tinggal asapnya yang mengepul dan beberapa batang pohon yang
hangus. Pendekar Gila menarik tangan Lastri.
"Pejamkan matamu! Kita harus ke rumah Soka Wijaya sekarang juga!"
Kali ini Lastri hanya menurut saja. Ia memejamkan matanya. Dan... wuttt!
Dirasakannya tubuhnya bagai terbang saja, mengikuti tarikan tangan Pendekar Gila
yang sudah menggunakan ilmu lari
'Sapta Bayu'. Karena, Pendekar Gila yakin, larinya Jalaluta paling tidak ke
tempat kediaman Soka Wijaya.
*** 9 Sementara itu, pertarungan Seto melawan Nyai Sisik Merah semakin seru saja.
Apalagi setelah si Cebol dari Utara membantu. Dengan mempergunakan Pedang Sinar
Ungunya Seto menembus ke pertahanan keduanya. Menggerakkan dengan kecepatan yang
sangat tinggi. Wuttt! Wuttt! "Mampuslah kalian!" serunya keras dengan
memutar tubuhnya sambil menggunakan jurus keempat dari ilmu Pedang Sinar Ungu,
'Gelombang Batu Karang'. Gerakannya semakin bertambah dahsyat dengan tenaga
dalam yang berlipat ganda.
Yang mengejutkan sekali, karena dari pedang itu terlontar sinar ungu yang sangat
panas dan menyilaukan.
Mayang dan Tunggul Petaka terkejut dibuatnya.
Mereka seperti kocar-kacir terhantam petir.
"Mau lari ke mana kalian, Monyet-monyet!" geram Seto terus mencecar.
Sementara itu Nimas Kunti sudah berdiri tegak dan menghadapi serangan dari anak
buah Soka Wijaya yang lainnya. Nimas Kunti sudah mempergunakan tongkat kayunya,
yang diputar menjadi baling-baling. Suasana menjadi riuh dengan teriakan dan
suara senjata beradu.
Dari dalam sebuah kamar, laki-laki bertubuh tambun mendengus geram sambil
bangkit dari tubuh wanita yang berada di bawahnya. Mengenakan
pakaiannya. "Bangsat! Mengapa belum diselesaikan juga!"
makinya geram. Keasyikannya terganggu karena keributan-keributan itu.
Wanita yang berada di bawah tubuhnya tadi, yang bertelanjang bulat berkata
dengan nada manja, "Mau ke mana" Kan belum selesai?"
Soka Wijaya tertawa. "He he he... sabar kau, Manis. Sabar ya" Hanya
sebentar...," katanya sambil mencium bibir wanita itu, sementara yang dua lagi
hanya telentang-lentang sambil tertawa-tawa. Soka Wijaya tidak tahu kalau
wanita-wanita itu sebenarnya merasa muak dengannya, dan merasa terbebas dari
beban mental karena harus melayani Soka Wijaya.
Soka Wijaya keluar melalui pintu yang berukir itu.
Melalui ruang tengah yang penuh dengan ukiran cin-deramata senjata-senjata. Lalu
melangkah melalui pendopo, dan ia pun tiba di halaman depan rumahnya.
Di sana, ia melihat seorang pemuda yang
bertelanjang dada dengan pedang yang memancarkan sinar ungu, seperti sedang
mengamuk. Menyerang dengan ganas dan tangkas pada Nyai Sisik Merah dan si Cebol dari
Utara. Sejenak Soka Wijaya mengerutkan keningnya, karena pemuda itu masih sangat muda
sekali! Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba ia bertepuk tangan, membuat pertarungan itu segera berhenti. Masing-
masing segera mengambil posisi. Begitu pula dengan orang-orang yang mengeroyok
Nimas Kunti, semuanya terhenti begitu saja. Dan menjura ke arah Soka Wijaya yang
masih bertepuk tangan.
"Hebat, hebat kau, Anak Muda! Ilmu pedangmu
sangat tinggi sekali!" puji Soka Wijaya sambil turun melalui undakan ke halaman
rumahnya. Seto memicingkan matanya. Ia mendadak
merasakan sekujur tubuhnya gemetar. Inikah Soka Wijaya, yang telah merampas
seluruh harta milik Bibik Utari dan memerintahkan Bibik Utari dibunuh. Saking
hebatnya getaran itu, mendadak saja sinar ungu melesat dari pedangnya.
Duarr! Tembok tinggi yang berada di sisi sebelah kanan, jebol karena hantaman sinar
itu. Bersamaan dengan itu, Seto segera melesat ke arah Soka Wijaya.
Gerakannya sangat ringan dan cepat sekali. Ia mempergunakan jurus pamungkas dari
Pedang Sinar Ungu, 'Mengelabui Bayang-bayang Rembulan'. Karena Seto sudah tidak
mampu menahan amarahnya lagi.
Ia ingin laki-laki itu segera mampus.
"Heeeaaa!"
Soka Wijaya hanya tertawa-tawa saja. Ia sudah mempersiapkan diri dengan ilmu
'Beban Sejuta Beton'. Itulah sebabnya ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Hanya beberapa tindak saja pedang Seto akan menebas batang lehernya, Soka Wijaya
mengangkat kedua tangannya, dan
mendorong ke depan.
Serangkum angin deras menerpa tubuh Seto.
Karena dilandasi oleh amarahnya sendiri, Seto terpental ke belakang beberapa
tindak. "Ha ha ha... ilmumu sangat hebat sebenarnya, Anak Muda! Hanya sayang, kau
terlalu ceroboh!
Hmmm... lebih baik kau bergabung saja denganku,"
kata Soka Wijaya sambil tertawa-tawa.
Seto menjadi geram. Ia kembali menyerang
dengan hebat, didahului dengan hentakan sebuah
sinar dari Pedang Sinar Ungunya, yang membuat Soka Wijaya harus menghindar
dengan jalan melentingkan tubuhnya. Kesempatan itu pun dipergunakan oleh Seto
untuk menyerang masuk.
"Hebat!" seru Soka Wijaya sambil menghindar ke kiri. Namun 'Mengelabui Bayang-
bayang Rembulan'
adalah sebuah jurus tipu daya yang sangat mematikan. Selagi Soka Wijaya
menghindar ke kanan, Seto justru menyerang bagian kiri. Hal itu disangka oleh
Soka Wijaya karena kehebatan ilmu menghindarnya. Hanya saja tiba-tiba ia
terkejut, karena tangan kanannya justru tergores oleh ujung pedang itu.
Rasa sakitnya tak terkira. Soka Wijaya sampai meringis, sementara Seto sudah
melayang turun dan hinggap di sisi Nimas Kunti yang masih bersiaga.
"Kau hebat, Seto...," bisik Nimas Kunti.
"Kita harus berhati-hati, Nimas. Kita memasuki kandang harimau."
"Aku sudah bersiaga sejak tadi."
Seto berseru pada Soka Wijaya, "Ha ha ha...
ternyata Juragan Soka Wijaya yang digembar-gemborkan banyak orang dan ditakuti
oleh siapa saja yang mendengar namanya, ternyata hanyalah seorang pecundang yang
tak memiliki apa-apa! Hhh!
Kurasa bibikku, Bibik Utari akan tersenyum bahagia di tempatnya sana melihat kau
mampus! Soka Wijaya cuma tertawa untuk menutupi rasa malunya karena berhasil
dipecundangi. "Dan kau sekarang harus mampus di tanganku, Anak Muda!" katanya membesarkan
namanya. "Kita lihat sekarang!" Seto sudah menyerang kembali dengan satu teriakan keras,
"Kini kau mampuslah, Soka Wijayaaa!"
Bersamaan tubuh Seto melenting ke atas,
Mayang dan Tunggul Petaka pun segera bergerak, dengan teriakan yang kencang.
"Heaaa!"
"Hiaaattt!"
Seto segera mengalihkan serangannya pada
keduanya. Pedangnya berkelebat ke sana kemari dengan hebatnya. Sementara Nimas
Kunti terkekeh-kekeh.
"Soka Wijaya... lebih baik kau membunuh diri saja daripada berkalang tanah
dengan mengerikan...."
Soka Wijaya pun tertawa tak kalah hebatnya.
"Usiamu yang sudah senja seperti itu, seharusnya kaulah yang mampus! Lihat
serangan!"
Tubuh Soka Wijaya sudah merangsek menyerang, Nimas Kunti pun tidak mau kalah.
Saling serang pun terjadi. Kehebatan dua pertarungan itu, sampai-sampai orang-
orang yang sejak tadi menunggu perintah untuk menyerang merasakan bumi yang
mereka pijak bergoyang.
Pertarungan antara Seto melawan dua pengawal tangguh semakin hebat. Apalagi
ketika Jalaluta tiba di sana dan langsung mengeroyok Seto.
Seto sangat mengenali sekali siapa yang baru datang ini. Terbayang bagaimana
kematian Bono di tangan Jalaluta. Ia semakin mempergencar serangannya. Semakin
hebat, terutama kepada Jalaluta.
'Mengelabui Bayang-bayang Rembulan' sangat hebat sekali. Si Cebol dari Utara pun
harus mengakui kehebatan itu. Kakinya tertebas oleh Pedang Sinar Ungu.
Dan ia merasakan hawa panas yang menjalari sekujur tubuhnya. Panasnya tak
terkira. Saking panasnya ia menjerit-jerit keras. Lalu berkelojotan
dengan tubuh berguling-guling dan terdiam setelah menabrak dinding yang memagari
rumah besar itu.
Dinding itu langsung ambruk dan ambrukannya menguruk tubuh si Cebol dari Utara
untuk selama-lamanya.
Sementara Mayang dan Jalaluta harus terus menghadapi serangan demi serangan yang
dilakukan oleh Seto, yang semakin gigih dan gencar menyerang.
Seto jelas-jelas tidak memberikan kesempatan bernapas pada keduanya.
Sedangkan Nimas Kunti kelihatan terdesak sekali oleh serangan demi serangan yang
gencar dan mengandung tenaga dalam yang hebat dari Soka Wijaya.
"Ha ha ha... ternyata kaulah yang harus membunuh diri, Nenek peot!" seru Soka
Wijaya sambil mempergencar serangannya.
Nimas Kunti sebisanya mengayunkan tongkatnya untuk menutup setiap serangan yang
dilakukan oleh Soka Wijaya. Namun hal itu pun tidak membawa arti banyak. Karena
berkali-kali ia terkena pukulan dan tendangan dari Soka Wijaya. Seto yang
melihat keadaan itu ingin segera membantu Nimas Kunti, namun ia sendiri masih
terus menghadapi serangan-serangan yang dilakukan oleh Nyai Sisik Merah dan
Jalaluta. Terutama serangan berbahaya yang dilakukan oleh Jalaluta.
Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di saat yang genting itulah, mendadak berkelebat satu sosok tubuh yang memapaki
serangan Soka Wijaya pada Nimas Kunti.
Plak! Des! Soka Wijaya merasakan nyeri di dadanya dan mundur beberapa langkah. Saat itulah
ia melihat satu
sosok tubuh mengenakan rompi kulit ular sedang cengengesan kepadanya.
"Anjing buduk! Siapa kau?" bentaknya murka.
Sementara Nimas Kunti mendesah lega karena ajal tidak jadi menjemputnya. Ia
segera duduk bersemadi dengan mata tertutup guna memulihkan tenaga dalam dan
hawa murninya. Pemuda yang memakai rompi terbuat dari kulit ular itu, cuma cengar-cengir saja
sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku" He he he... orang-orang memanggilku si Gila. Padahal aku tidak gila, he he
he..." Soka Wijaya memicingkan matanya. Sejak
pertama kali pemuda itu muncul dan memperlihatkan sikapnya yang agak kurang,
hatinya sedikit tergetar dan bertanya-tanya, apakah pemuda ini yang telah
dibicarakan orang-orang rimba persilatan, dengan gelarnya yang angker" Pendekar
Gila" Dan sekarang, Soka Wijaya sudah tidak ragu-ragu lagi. Yang berdiri di hadapannya
pastilah Pendekar Gila.
Seto sendiri kini bisa berkonsentrasi menghadapi dua lawannya dan ia bisa
bernapas lega karena Pendekar Gila yang muncul. Sementara Soka Wijaya sedang
terbahak-bahak.
"Rupanya Pendekar Gila yang selama ini banyak dibicarakan orang yang berdiri di
hadapanku," kata Soka Wijaya. Tangannya terangkat mengacung, tetapi hanya
sekilas. Itu merupakan tanda bagi anak buahnya untuk diam-diam membokong
Pendekar Gila. Tiga orang anak buah Soka Wijaya perlahan-lahan mendekati dengan
senjata di tangan.
"Soka Wijaya, lebih baik kau pergi dari sini selama-lamanya dan mengurung diri
di satu tempat!
Daripada kau harus mampus untuk menebus segala dosa-dosamu!" kata Pendekar Gila
sambil cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Soka Wijaya hanya tertawa saja. Ia semakin memancing Pendekar Gila untuk terus
berbicara dengannya, sementara tiga anak buahnya terus mendekat dengan senjata
siap dihujamkan ke tubuh Sena.
"Bagus, bagus sekali! Tetapi sayang, nama besar Pendekar Gila harus terkubur
hari ini juga!"
Saat itulah tiga orang anak buahnya bergerak dengan senjata diayunkan ke tubuh
Sena. Selama dua puluh empat jam, Sena adalah seorang
pendekar. Menghadapi bokongan seperti itu, dengan ringannya ia bersalto. Hanya
saja, saat bersalto itulah Soka Wijaya menderu maju dengan kedua tangan berubah
memerah. Rupanya ia telah menggunakan jurus 'Tapak Api' yang dahsyat. Bila
terkena pukulannya, akan hangus menghitam.
"Heeeeaaa!"
Sena yang masih bersalto dengan gerakan yang manis mencoba memapaki serangan
itu. Des! Des! Satu pukulan Sena berhasil masuk mengenai dada Soka Wijaya yang terhuyung ke
belakang. Tetapi Sena tak urung terkena 'Tapak Api' Soka Wijaya. Ia merasakan
hawa panas menjalar di tubuhnya.
Dengan cepat diputarnya kedua tangannya ke atas, lalu dirang-kumkannya di dada.
Ajian 'Inti Bayu'
tingkat pertama mengalir di tubuhnya dan perlahan-lahan mengusir hawa panas di
tubuhnya. Sebentar saja ia sudah cengengesan lagi.
"Hebat, hangat rasanya tubuhku ini... he he he...
bagaimana kalau sekali lagi?"
Soka Wijaya menggeram. Ia tadi sudah senang karena Pendekar Gila terkena aji
'Tapak Api' miliknya.
Namun pada kenyataannya Pendekar Gila hanya membutuhkan waktu beberapa detik
untuk mengusir hawa panas yang mengaliri tubuhnya.
Mendadak Soka Wijaya berseru keras, "Serang manusia gila itu!"
Mendadak anak buahnya segera menyerang
Sena, yang tertawa-tawa saja lalu bersuit keras. Tiba-tiba terdengar gemuruh
suara yang kencang. Para penduduk Desa Bojong Sawo masuk ke rumah besar itu
dengan senjata di tangan. Apa saja mereka bawa dan dijadikan senjata.
Kegaduhan semakin berlipatganda. Suara
teriakan, jeritan dan beradunya senjata terdengar mengudara. Sena sendiri segera
menyerang kembali ke arah Soka Wijaya. Pertempuran sengit pun terjadi dengan
hebatnya. Saling balas dan serang. Saling mengimbangi dan bertahan.
Sementara itu Seto sedang merangkum ilmu
Pedang Sinar Ungu, 'Sinar Rembulan Memburu Mangsa'. Mendadak dari pedang itu
berkelebat sinar warna ungu ke arah Jalaluta dan Nyai Sisik Merah.
Keduanya berlompatan menghindar dengan cepat.
Suara sinar itu sangat memusingkan kepalanya.
"Ha ha ha... menarilah kalian seperti monyet-monyet kelaparan!" Seto tertawa
sambil terus menyerang. Satu ketika, Nyai Sisik Merah terkena sinar ungu itu di
kakinya, ia terjatuh. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Seto Ia langsung
memburu dan membabat-kan pedangnya pada perut Nyai Sisik Merah.
"Aaakhhh!" Jeritan itu terdengar, membuat Jalaluta ngeri Apalagi melihat tubuh
Nyai Sisik Merah terbelah miMindi dua. Matanya melotot dan darah menyembul
keluar dari perutnya. Sementara darah yang menempel di ujung pedang yang
dipegang Seto, perlahan lahan mengeluarkan asap dan darah itu menghilang
Seto memandang buas pada Jalaluta yang
semakin ngeri. "Jalaluta, ingatkah kau ketika dua orang ber-topeng menyerang rumah ini, hah"!
Salah seorang itu adalah aku, dan salah seorang lagi adalah adikku, yang telah
kau bunuh! Kini, terimalah ajalmu...
yeaaa!" Jalaluta harus menghadapi Seto kembali. Ia tidak menyangka kalau pemuda inilah
yang berada di balik topeng hitam waktu itu. Yang membuatnya heran, mengapa
kesaktiannya menjadi bertambah. Sebisanya dengan mempergunakan Keris Dewa ia
menangkis setiap serangan Seto. Namun Seto yang sekali-sekali menyerang dengan
sinar ungu yang berdesingan, bisa membuat jarak bila Jalaluta menyerang. Dan
mempersempit jarak dengan jurus-jurus Pedang Sinar Ungu.
Saat itu, Jalaluta terhimpit di tembok, ia celinguk-an seperti kelinci yang
diburu ular. Matanya menger-jap-ngerjap menyiratkan ingin minta ampun. Namun
dendam di hati Seto sudah tidak bisa ditahan lagi.
Dengan buas ia menyerang dan menusukkan
pedangnya tepat ke jantung Jalaluta. Lalu diludahinya tubuh itu ketika
menggelosoh ke lantai.
Setelah itu Seto pun segera membantu penduduk untuk melawan antek-antek Soka
Wijaya. Begitu pula Nimas Kunti yang sudah selesai bersemadi. Mereka
membuat kocar-kacir para pengawal Soka Wijaya.
Sebagian besar kini sudah merangsek masuk rumah megah itu. Beberapa pengawal
yang ada di sana pun harus mampus berkalang tanah.
Para gadis yang disekap Soka Wijaya dan
dijadikan selirnya, kocar-kacir meninggalkan tempat itu untuk kembali ke rumah
masing-masing. Ternak yang banyak pun berlarian menerjang siapa saja.
Suasana semakin kacau-balau saja.
Sementara Pendekar Gila sedang mendesak Soka Wijaya yang kembali mempergunakan
'Tapak Api'nya.
Pendekar Gila pun melayani dengan ajian 'Inti Bayu'
yang sangat kontra dengan ajian milik Soka Wijaya.
Dan mendadak Sena menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Gulungan angin yang kuat menerpa Soka Wijaya dan menabrak
dinding. Para penduduk yang berada didekatnya, segera meng-hujamkan senjata
mereka ke tubuh Soka Wijaya.
Mereka tidak memberi ampun lagi.
Menjelang tengah malam pertarungan itu baru berhenti. Seto dan Nimas Kunti
dielu-elukan oleh para penduduk. Sementara itu Seto segera mencari Sena.
Ia tak melihat pemuda berpakaian rompi ular itu di sana. Justru pada dinding,
ada tulisan yang besar.
Saudara Seto, kita berpisah di sini, jaga Lastri.
Sayangi dia. Jangan lupa, hancurkan rumah mesum di Dewa Bojong Lolo.
Pendekar Gila. Seto hanya tersenyum. Ah, sebenarnya ia sangat berterima kasih atas bantuan
Pendekar Gila. Karena dialah masa jayanya Soka Wijaya bisa dihancurkan.
Malam itu juga Seto menemui Lastri dan
menceritakan semuanya. Lastri hanya tertunduk sedih. Mengapa Pendekar Gila tidak
berpamitan padanya" Mengapa mereka harus berpisah" Lastri merasa hatinya remuk.
Seto sendiri tahu akan perasaan Lastri terhadap Pendekar Gila. Makanya ia
mendiamkan dulu. Dan Mendatangi Desa Bojong Lolo. Rumah mesum yang bangun di
atas tanah rumah Bibik Utari dibakarnya, orang-orang berkeluaran dari sana
dengan kalang kabut.
Seto segera menaiki kudanya kembali. Di tengah jalan ia mendesis, "Pendekar
Gila, aku akan menjaga Lastri sesuai dengan pesanmu. Mudah-mudahan kita bertemu
kembali." Sementara itu, di satu jalan menuju ke timur, seorang pemuda berpakaian rompi
dari kulit ular sedang melangkah sambil bersiul-siul. Tugasnya sudah selesai
satu lagi. Dan sosok itu, Pendekar Gila, yakin kalau masih banyak tugas-tugas
memberantas kejahatan yang akan terpampang di depan matanya.
Ia pun meneruskan pengembaraannya.
SELESAI Serial Pendekar Gila selanjutnya:
PRAHARA DI GUNUNG KEMATIAN
Created ebook by
Sean & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Pedang Pelangi 23 Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long Pedang Langit Dan Golok Naga 12