Pencarian

Misteri Patung Kematian 1

Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian Bagian 1


MISTERI PATUNG KEMATIAN Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D.Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Misteri Patung Kematian
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Laki-laki berbaju serba biru itu hanya dapat
membelalakkan matanya saja ketika menemukan
tubuh dua orang kawannya tergeletak tanpa nyawa di pinggir sungai Bantar Hulu.
Wajahnya membersitkan kecemasan dan berubah pucat seketika.
Tangan kanannya segera meraba gagang pedang
yang menggantung di pinggangnya. Sepasang bola
matanya yang nampak lelah memperhatikan
mayat bergelimang darah di depannya. Dengan
seksama diperhatikannya bekas-bekas luka yang
terdapat di bagian dada dan kening kedua mayat
itu. Ketika laki-laki bertubuh tinggi tegap, dengan
kulit hitam legam ini sudah dapat memastikan
adanya dua titik hitam yang masih mengeluarkan
darah, semakin bertambah pucatlah wajahnya.
Tanpa disadarinya, laki-laki berbaju biru ini melangkah mundur dua tindak.
Seperti dalam keadaan tergesa-gesa dan diburu sesuatu yang tidak
jelas. Ia memalingkan wajahnya ke arah jalan yang
dilaluinya tadi. Kemudian dia mengedarkan pandangannya berkeliling.
Rasanya tiada alasan baginya untuk curiga
pada tempat-tempat yang sangat jarang dilalui
oleh manusia seperti di daerah kali Bantar Hulu
ini. Lagi pula hari masih terlalu pagi. Namun kematian dua orang kawannya dengan
luka sama seperti dialami oleh yang lainnya, telah membuat
laki-laki berbaju biru merasa perlu menjaga setiap
kemungkinan yang ada. Kemudian dibesarkan ke-
beraniannya untuk meneliti lebih lanjut tentang
keadaan mayat kawannya. Tanpa mengurangi kewaspadaannya ia segera meraba saku
kedua mayat ini. Dan tubuh yang tegap itu menggigil seketika dengan wajah pucat bagai
kehilangan darah.
"Celaka! Benda itu sudah tidak ada lagi.
Orang yang telah membunuhnya pasti sudah menemukannya. Bagaimana aku
mempertanggung jawabkan semua ini pada Eyang Wiku Swanda?"
desisnya. Kata-katanya seakan ditujukan pada dirinya sendiri. Menyadari betapa
berbahayanya benda yang telah lenyap dari saku salah seorang
mayat itu. Laki-laki berbaju biru itu seperti merasa
putus asa. "Rasanya sia-sia saja pengorbanan besar
yang telah di lakukan Eyang. Selain benda jatuh
ke tangan orang lain, menurutku posisi kaum golongan putih juga semakin
terjepit. Cepat atau
lambat tokoh-tokoh persilatan aliran putih pasti
akan tersisih!" desahnya dengan tarikan nafas semakin berat.
Sekali lagi dipandanginya keadaan mayatmayat itu. Kali ini tidak ada perubahan
yang terjadi pada wajahnya. Sorot matanya terlihat kosong,
terarah pada luka yang terlihat samar-samar. Sehingga sama sekali dia tidak
melihat kedua mayat
itu menunjukkan perubahan sedikit demi sedikit.
Mungkin karena begitu beratnya beban yang harus
dipikulnya, atau mungkin juga karena pikirannya
sedang kacau. Sehingga tidak menyadari kalau dari pori-pori kedua mayat itu
mengeluarkan cairan
berwarna putih dan berlendir. Bahkan kedua
mayat itu semakin menyusut, sehingga kerut merut mulai kelihatan di sekujur
tubuhnya. Baru saja dia hendak mengubur mayat kedua kawannya ini, tiba-tiba saja ia
merasakan desiran halus dari arah samping kanan. Cepat-cepat
dia melakukan lompatan beberapa kali ke belakang. Gerakannya begitu ringan
sekali, menandakan kalau kepandaiannya sudah mencapai tingkat
yang cukup tinggi. Dan sebelum laki-laki berumur
tiga puluh lima tahun ini sempat menjejakkan kakinya dengan baik, desiran angin
dingin kembali meluruk ke arahnya.
"Ihh!" cepat-cepat dia melakukan gerakan
menghindar yang dilakukannya lebih cepat dari
yang pertama tadi. Tapi serangan jarak jauh itu terus saja menderu dan
mengejarnya ke mana sajapun ia menghindar.
"Kurang ajar! Pekerjaan siapa lagi ini?" desis
laki-laki itu bersungut dalam hati.
Saat itu juga dia merasakan seranganserangan gelap itu terus mengejarnya ke
manapun dia berusaha menghindar. Sambil berjumpalitan di
udara, laki-laki berpakaian serba biru ini menghentakkan tangannya ke arah
serangan gelap yang
terus mengejarnya ini, dan saat itu juga...
"Haiit!"
Dwueer...! Seketika terdengar suara ledakan sangat
dahsyat, begitu kekuatan yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi itu bertemu
di udara. Tampak Jala Dara terbanting-banting ke tanah. Seke-
tika itu juga dia merasakan dadanya sesak luar biasa. Dan bagian telapak tangan
yang dipergunakan untuk memapak serangan gelap itu terasa
nyeri. Tanpa menghiraukan tubuhnya yang terasa
remuk, dengan cepat ia melompat bangkit berdiri.
Sungguh mengherankan sekali, saat itu juga tak ada reaksi dari orang yang
menyerangnya tadi. Bahkan pukulan yang menebarkan hawa dingin pun seperti tidak pernah ada.
Kenyataan ini jelas membuat Jala Dara menjadi sangat penasaran
sekali. Beberapa saat dia perhatikan semak belukar asal serangan tadi datang.
Jala Dara menjadi
merasa heran sendiri. Namun belum juga keheranannya hilang. Tiba-tiba saja dia
jadi terkesiap.
Tampak dari arah lain terlihat sosok bayangan
berkelebat cepat ke arah yang berlawanan.
Beeet! "Hiyaa...!" laki-laki bertubuh tinggi tegap itu
tanpa berpikir panjang lagi segera melesat mengejar. Tetapi bayangan itu sangat
cepat sekali gerakannya. Sehingga dalam waktu yang singkat dia
sudah kehilangan jejak. Menyadari betapa berbahayanya melakukan pengejaran
seorang diri. Tanpa pikir panjang lagi dia berbalik, kemudian berlari
sekencang-kencangnya ke arah lain.
Jala Dara terduduk lemas di atas sebongkah batu hitam berlumut. Wajahnya
membayangkan rasa letih dan putus asa. Sesekali terdengar
tarikan nafasnya yang berat. Tanpa disadarinya
matahari telah tenggelam di ufuk Barat. Sekarang
yang terlihat hanya rona merah membersit di ufuk
Barat. Entah kenapa sampai saat ini ia merasa
bingung sekali melihat kejadian demi kejadian
yang berlangsung begitu cepat. Pembunuhanpembunuhan dengan luka yang sama.
Kemudian korban pembunuhan yang lenyap tanpa bekas.
Hingga kalangan persilatan kemudian saling curiga mencurigai antara golongan
yang satu dengan
golongan yang lain.
Sekarang benda berharga yang telah dilarikan oleh kawannya untuk disampaikan
kepada Eyang Wiku Swanda, yaitu tokoh tua sekaligus
merupakan ketua perguruan Teratai Putih telah
lenyap tanpa bekas. Bagaimana harus mempertanggung jawabkan semua ini di depan
Eyang Wiku Swanda" Jala Dara tidak dapat membayangkan
betapa marahnya ketua perguruan Teratai Putih
dan mungkin saja menghukumnya.
"Hmm... bagaimanapun aku harus mengabarkan semua ini pada Eyang Wiku Swanda. Aku
khawatir dengan hilangnya benda itu, pergolakan
besar dalam dunia persilatan segera terjadi." gumam Jala Dara perlahan.
Selanjutnya dengan perasaan ragu dia bangkit berdiri. Namun ketika pikirannya
teringat pada tugas berat dan gagal pula
dilaksanakan, dengan cepat ia mulai mengayunkan langkahnya kembali.
Suasana sudah mulai gelap saat Jala Dara
menelusuri jalan setapak menuju perguruan Teratai Putih yang terletak di daerah
Banjar Kemuning.
Belum jauh ia melangkahkan kaki dari tempat ia
melepas lelah tadi, kembali ia merasakan adanya
desiran halus seperti yang dirasakannya pertama
tadi. Tentu sekali ini dia tidak ingin dipermainkan.
Yang jelas sejak peristiwa-peristiwa menggemparkan yang pernah dia alami bersama
kawankawannya, sikapnya selalu mudah curiga terhadap
siapapun. Satu sambaran angin yang sangat deras
menghantam ke arahnya, tanpa membuang waktu
tubuhnya langsung melompat ringan. Kemudian
berjumpalitan menghindari terjangan hawa panas
yang disertai melesatnya benda putih mengkilat ke
arahnya. Sesaat dengan gerakan manis ia telah
menjejakkan kakinya kembali. Jala Dara memperhatikan suasana di sekelilingnya
dengan pandangan menyelidik. Tidak terlihat tanda-tanda mencurigakan, bahkan
semak-semak tidak bergoyang sedikitpun juga.
Namun laki-laki ini merasa yakin di dalam
semak-semak itu bersembunyi beberapa orang laki-laki.
"Hanya orang-orang pengecut saja yang berani bertindak dan main bokong pada
orang yang belum tentu bersalah." kata Jala Dara seolah ucapan itu untuk dirinya. Sepi
sejenak, namun kesunyian segera dipecahkan oleh suara tawa yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga membuat sakit telinga yang
mendengarnya. Sadarlah Jala Dara bahwa orang yang bersembunyi di semak belukar itu pastilah
bukan orangorang sembarangan. Dia pun bersiaga menjaga segala kemungkinan.
"Serahkan benda yang di bawa oleh kawanmu itu, Jala Dara!" perintah seseorang
berwibawa. Jala Dara bersikap tenang-tenang saja.
"Aku tidak mengerti benda apa yang kau
maksudkan, sobat."
Mendengar jawaban itu orang yang bersembunyi di dalam semak-semak mendengus
marah. Salah seorang dari mereka yang bertindak sebagai
pimpinan memberi isyarat pada kawan-kawannya.
Maka dari kanan kiri jalan yang dilalui Jala Dara
berloncatan delapan laki-laki berpakaian hitam
mengurung Jala Dara dengan senjata terhunus.
Jala Dara tersentak kaget tanpa sadar ia menggeser dua langkah ke belakang.
"Ka... kalian Iblis Hitam?" Jala Dara mendesis dengan suara bergetar. Tubuhnya
langsung menggigil ketakutan saat melihat delapan Iblis Hitam ini. Sebaliknya ketua Iblis
Hitam tersenyum
sinis. "Benar Jala Dara, akulah Iblis Hitam. Sebaiknya kau serahkan benda yang dibawa
oleh kedua kawanmu itu pada kami!" bentak laki-laki
berpakaian serba hitam yang di seluruh wajahnya
ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Laki-laki bersenjata pedang ini memang
berpenampilan menyeramkan. Tindakannya sangat keji dan licik, sehingga kalangan
persilatan sangat segan berurusan dengannya.
"Benda itu telah lenyap pagi tadi. Bahkan
kedua kawanku telah tewas di pinggir kali Bantaran Hulu." jawab Jala Dara. Nada
suaranya bergetar, menandakan ia berusaha menekan gejolak perasaannya yang tiada
menentu. "Siapa yang mau percaya dengan segala
ocehanmu, Jala Dara!" nada suara Iblis Hitam din-
gin dan menyeramkan, sehingga membuat bulu
tengkuk Jala Dara meremang berdiri. Sebelum rasa kecut di hati Jala Dara sirna
sama sekali, ketua
Iblis Hitam telah berkata kembali dengan suara
menggelegar. "Jala Dara! Kuperingatkan padamu untuk
segera menyerahkan benda itu secepatnya padaku.
Jika tidak aku tidak akan mengampuni jiwamu!"
Jala Dara terkesiap, ia telah tahu betapa kejamnya orang yang berjuluk Iblis
Hitam ini. Ancaman Iblis Hitam bukan merupakan kosong belaka. Namun bagaimana
mungkin ia dapat menyerahkan benda yang diinginkan oleh Iblis Hitam.
Sedangkan Jala Dara sendiri tidak tahu siapa yang
telah merampas benda itu dari tangan kawankawannya.
"Maafkan aku kisanak. Mungkin kisanak
sendiri telah tahu bahwa kawanku yang ditugaskan membawa benda itu telah tewas
di tangan seseorang. Benda itu lenyap tanpa meninggalkan
jejak. Lagipula jika benda itu benar-benar ada padaku, tidak mungkin aku
menyerahkannya pada
orang-orang Iblis Hitam. Yang jelas merupakan golongan beraliran sesat...!"
dengus Jala Dara. Entah
sebab apa mendadak timbul keberanian di hati Jala Dara untuk membantah perintah
orang yang telah ia ketahui kekejamannya.
Ucapan Jala Dara yang sangat meremehkan
bagi Iblis Hitam tentu tidak jauh bedanya dengan
sebuah tamparan yang sangat keras sekaligus
menghina mereka. Selama malang melintang di
rimba persilatan belum ada orang dari aliran ma-
napun yang berani membantah keinginannya. Tapi
sekarang seorang suruhan Wiku Swanda yang ia
taksir memiliki kepandaian lebih rendah darinya
berani membantah perintahnya. Kenyataan ini
membuat amarahnya membara.
"Kau memang tidak pantas diberi hidup, Jala Dara! Bunuh dia...!" teriak Iblis
Hitam tinggi melengking. Sebelum gema suara Iblis Hitam lenyap
ditelan kegelapan malam. Delapan orang bawahan
Iblis Hitam segera menyerang dari segala penjuru.
Mendapat serangan ganas yang berlangsung sangat cepat ini, Jala Dara tidak
tinggal diam. Apalagi
ketika melihat para penyerangnya begitu berambisi
untuk membunuhnya. Tidak pelak lagi sebelum
senjata di tangan lawan-lawannya menghantam
tubuhnya. Dengan gerakan yang manis Jala Dara


Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melentingkan tubuhnya ke udara, serangan lawan
luput dan menyambar tempat kosong.
"Yeaa!"
Bet! Wuut! Jala Dara terpaksa membanting tubuhnya
ke samping kiri begitu menjejakkan kakinya di
atas rerumputan. Namun serangan-serangan anggota Iblis Hitam menyambar ke bagian
tubuh yang mematikan. Ia harus bekerja keras menghalau setiap serangan yang datang tidak
ubahnya air bah.
Jala Dara bangkit berdiri, kedua kakinya melakukan gerakan-gerakan lincah,
sehingga acapkali ia
berhasil mematahkan sabetan senjata yang datang
dari sebelah kiri. Bahkan dengan kecepatan gerak
tangan yang sulit untuk diikuti oleh mata ia berhasil menjatuhkan lawannya yang
menyerang dari bagian depan. Buuuk! Buuuk! "Arrk...!" suara teriakan lainnya kembali
terdengar. Seorang lawan yang menyerangnya dari
bagian belakang terkena sambaran telak di bagian
dada sehingga membuat orang itu tersungkur roboh tanpa mampu bangkit kembali.
Apa yang dilakukan oleh Jala Dara rupanya
di luar perhitungan ketua Iblis Hitam. Semula ia
beranggapan sembilan orang bawahan pasti mampu meringkus Jala Dara. Tapi
kenyataannya ketika
pertempuran baru saja berlangsung lima belas jurus. Jala Dara yang dianggap
lemah oleh Iblis Hitam, telah menjatuhkan tiga orang bawahannya
tanpa mampu bangkit kembali. Mendidih darah Iblis Hitam melihat kematian tiga
orangnya. Dengan
kemarahan meluap. Seraya memungut pedang
yang terletak di atas tanah. Laki- laki bertampang
sadis ini segera berteriak lantang...
"Minggir kalian semuanya! Rupanya kadal
buntung ini ingin melihat betapa tajamnya pedang
di tanganku!"
Tanpa berkata lagi lima orang yang sedang
mendesak Jala Dara, segera menarik balik serangannya. Dengan cepat mereka
melompat mundur.
Sementara Jala Dara sendiri merasa sekaranglah
ajalnya menjemput. Ia sepenuhnya menyadari, Iblis Hitam merupakan seorang lawan
yang sangat tangguh. Kepandaiannya bisa jadi di atas Jala Dara. Namun pantang baginya untuk
bersurut mundur, sebelum ia sendiri membuktikan sampai di
mana kehebatan lawannya.
"Shaa...!" sambil berteriak melengking tinggi, dalam kegelapan malam yang hanya
diterangi cahaya bintang. Pedang di tangan Iblis Hitam berkelebat cepat sehingga kelihatan
cahaya putih menyilaukan mata menderu deras ke bagian dada Jala Dara. Jala Dara
secepatnya menggeser bagian
kakinya ke samping kanan sehingga serangan Iblis
Hitam yang berupa tusukan menyilang gagal mencapai sasaran. Dengan cepat Jala
Dara segera melakukan serangan balasan dengan melontarkan
pukulan keras yang disertai seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya.
Gerakan kilat yang dilakukan Jala Dara rupanya sempat dilihat oleh Iblis Hitam.
Sehingga dalam keadaan yang gawat itu Iblis Hitam menadahkan tangan kirinya. Kiranya
benturan keras tidak dapat dihindari lagi.
Duees! "Uh...!" Jala Dara mengeluh tertahan ketika
tangannya membentur tangan Iblis Hitam. Jala
Dara tersungkur, ia dapat merasakan tangannya
terasa nyeri luar biasa. Selain itu dadanyapun
berdenyut-denyut. Tanpa menghiraukan luka dalam yang di deritanya. Dia
secepatnya bangkit berdiri, langkahnya terhuyung-huyung. Namun dia tetap
berusaha memperbaiki posisinya.
"Sebentar lagi nyawamu segera terbang ke
Neraka, Jala Dara!" Iblis Hitam menggeram marah.
"Lebih baik kau serahkan benda itu, siapa tahu
pikiranku berubah...!"
Tapi orang seperti Jala Dara adalah orang
yang mempunyai prinsip pantang menyerah. Sebe-
lum bertarung sampai titik darah penghabisan.
Sungguhpun ia sendiri telah merasakan kehebatan
yang satu ini, namun tiada sedikitpun rasa gentar
di hatinya. Tanpa berkata apa-apa tubuhnya berkelebat. Dengan gerakan yang sulit untuk
didugaduga, Jala Dara melakukan tendangan terarah pada bagian perut Iblis Hitam.
Tendangan itu keras
bukan main, sebaliknya Iblis Hitam begitu merasakan datangnya desiran halus dari
bagian punggungnya segera pula mengayunkan senjata di tangannya. Lalu tebasan
menyilang dilakukannya beberapa kali.
Wuuus! "Ihh!" Jala Dara mengeluh tertahan. Masih
untung ia sempat menarik balik serangannya, sehingga kaki kanannya berhasil
diselamatkan dari
ketajaman mata pedang di tangan Iblis Hitam. Tiada diduga-duga lawannya
melakukan serangan balik dengan kecepatan berlipat ganda. Jala Dara
langsung terdesak hebat. Pada satu kesempatan
yang sangat baik, Iblis Hitam tidak menyianyiakan waktu.
Breet! "Akkh...!" sambil memekik tertahan Jala
Dara masih sempat melompat menghindari sergapan senjata berikutnya. Tidak urung
bagian bahunya yang tersambar ketajaman pedang di tangan lawan terasa nyeri dan
banyak mengeluarkan
darah. Darah meleleh dari luka memanjang di
punggung laki-laki ini. Lawan yang sempat melihat
semua ini segera memburunya tanpa memberi kesempatan sedikitpun pada Jala Dara
untuk melakukan sesuatu. Disertai jeritan tinggi melengking,
Iblis Hitam mengayunkan senjatanya ke bagian
kepala Jala Dara. Nampaknya dia sudah tidak
mempunyai kemungkinan dapat meloloskan diri
dari maut, jika pada saat yang sangat kritis itu tidak berkelebat bayangan
sesosok tubuh menyambar Jala Dara dan langsung melesat pergi menembus kegelapan
malam. "Kurang ajar!" maki Iblis Hitam ketika menyadari lawannya telah dilarikan oleh
sesosok bayangan yang tidak dikenalnya sama sekali. Dengan langkah tergesa-gesa mereka
segera memburu ke arah menghilangnya bayangan tadi.
*** Gabruk! Orang yang bergerak dengan kecepatan bagai tidak ubahnya bayangan itu
menjatuhkan tubuh Jala Dara di atas tanah berumput hijau. Saat
itu bulan di langit sana mulai menampakkan diri,
sehingga Jala Dara dapat melihat dengan jelas siapa yang telah menyelamatkan
dirinya dari tangan
Iblis Hitam. Dengan rasa terima kasih yang mendalam dia melihat orang yang telah
menyelamatkannya.
Jala Dara tercengang ketika melihat orang
yang telah menolongnya itu ternyata hanya seorang pemuda berpakaian serba merah
dengan rambut dikuncir, sementara di pinggangnya meng-
gantung sebuah periuk berwarna hitam. Yang
membuat Jala Dara kagum justru karena pemuda
ini memiliki ilmu meringankan tubuh dan kecepatan berlari luar biasa. Padahal
usia pemuda itu
mungkin baru sekitar dua puluhan. Di lain pihak
pemuda berpakaian merah yang tidak lain Buang
Sengketa ini terus memperhatikan Jala Dara tanpa
berkata apa-apa. Jala Dara sebagai orang yang ditolong langsung merapatkan
tangannya di depan
dada. "Terima kasih atas pertolongan anda, kisanak! Aku berhutang nyawa pada kisanak."
ucapnya dengan wajah tertunduk. Pemuda berpakaian
merah melirik pada Jala Dara sekilas. Kemudian
timbul dalam ingatannya bahwa orang di depannya ini mempunyai budi pekerti yang
luhur. "Tolong menolong sesama manusia memang
sangat dianjurkan, paman. Paman tidak usah berkata begitu, sebab persoalan nyawa
merupakan urusan Yang Maha Kuasa!"
"Tapi, kis...!"
"Panggil saja, Buang! Namaku Buang Sengketa, paman...!" sergah Buang Sengketa
tanpa ragu. Jala Dara menganggukkan kepalanya dengan
perasaan kagum.
"Ah. Buang, jika saja kau tidak muncul.
Mungkin sekarang ini aku hanya tinggal nama saja." ucapnya dengan suara
tersendat. Mendengar
keterangan laki-laki yang duduk tidak jauh darinya ini tentu saja Buang Sengketa
atau yang lebih di kenal dengan julukan Pendekar Hina Kelana
ini merasa tertarik.
"Paman, sebenarnya siapakah paman ini
dan siapa pula orang-orang yang telah mengeroyok
paman?" Jala Dara mendapat pertanyaan seperti itu
nampak ragu-ragu.
"Katakanlah paman! Barangkali aku dapat
menolongmu." desak Buang Sengketa.
Jala Dara menarik nafas, kemudian:
"Namaku Jala Dara, sedangkan orang yang
mengeroyokku itu tidak lain Iblis Hitam. Namun
menurut hematku sebaiknya kau tidak usah mencampuri urusanku." Jala Dara
menyarankan, sepertinya ia enggan persoalannya dicampuri oleh
orang lain. "Mengapa paman menjadi ragu" Apakah
paman merasa bahwa aku bukan orang yang dapat di percaya?" desah Buang Sengketa
dengan suara agak keras.
"Bukan begitu, aku hanya merasa tidak ada
gunanya menceritakan segala yang kuhadapi dengan orang lain. Mungkin engkau
tidak tahu bahwa
saat sekarang ini rimba persilatan di bagian Timur
sedang di landa teror. Begitu banyak tokoh golongan putih yang tewas di tangan
golongan hitam."
Buang Sengketa terdiam, bagaimanapun ia
merasa terkesan dengan keterangan Jala Dara.
Sehingga ia bertekad untuk membantunya.
"Sudah hampir empat purnama rimba persilatan bagian Timur dilanda kejadian-
kejadian yang mengejutkan. Beberapa perguruan silat yang terdapat di sekitar daerah Bumi Ayu
geger dengan tewasnya beberapa orang murid utama, dan bah-
kan guru mereka ada yang tewas dengan luka
menghitam akibat serangan senjata paku beracun
dari Tokoh Misterius yang memiliki kepandaian
sulit diukur. Yang lebih mengherankan mayatmayat mereka hilang raib tidak tentu
rimbanya."
"Hmm... sebuah kejadian yang sangat langka dan jarang terdengar!" Buang bergumam
sambil menatap Jala Dara lekat-lekat.
"Tapi menurutku si Tokoh Misterius melakukan tindakan itu pastilah ada
sebabnya."
Jala Dara terdiam, namun tidak lama kemudian...
"Apa yang kau katakan memang benar,
Buang. Tokoh misterius itu tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan yang keji
jika tidak ada sesuatu yang sangat berharga yang dicarinya."
"Coba tolong paman jelaskan padaku!"
Jala Dara menarik nafasnya panjangpanjang.
"Aku sebenarnya penjaga benda langka di
lembah Putus Nyawa. Benda yang ku jaga berupa
patung yang terbuat dari emas murni. Pemilik patung itu memberi nama Patung
Kematian, sebab
siapapun yang menyentuh benda itu tanpa kain
sutera merah, maka mereka akan menemui kematian dengan kulit berubah membiru."
"Betapa beracunnya patung yang paman jaga itu?" kata Buang, tubuhnya meremang
membayangkan betapa ganasnya racun yang terdapat
pada patung yang diceritakan oleh Jala Dara.
"Patung Kematian memang mengandung racun yang ganas. Namun dalam kenyataannya
san- gat banyak orang persilatan yang berhasrat memiliki patung itu. Karena di dalam
Patung Kematian
sutera yang memuat pelajaran menciptakan racun
Seribu Wisa tingkat tinggi yang tidak ada duanya."
jelas Jala Dara agak ragu.
Pendekar Hina Kelana merasa terkejut
mendengar penuturan Jala Dara. Kalau benar apa
yang dikatakan Jala Dara, sama saja artinya rimba
persilatan berada dalam situasi curiga-mencurigai.
Tapi apa hubungannya antara Patung Kematian
dengan sepak terjang si Tokoh Misterius yang terus mengancam keselamatan kaum
persilatan golongan putih" Dan bagaimana mungkin orangorang yang menjadi korban
Tokoh Misterius bisa
hilang begitu saja" Pikir Buang Sengketa.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara
desiran halus yang datang dari empat penjuru.
"Paman Jala Dara! Awaas...!" teriak Buang
Sengketa sambil melentingkan tubuhnya ke udara
menghindari serangan gelap yang datang secara
tiba-tiba itu. "Aaah...!" Jala Dara menjerit tertahan. Rupanya ia tidak sempat menghindari
serangan gelap berupa paku-paku beracun itu. Tubuh laki-laki ini
langsung ambruk ke semak-semak dengan posisi
terlentang. "Paman...!" dalam keterkejutannya itu
Buang Sengketa berteriak keras sambil berlari ke
arah Jala Dara yang tergeletak tidak berdaya.
Buang Sengketa segera berlutut di samping
tubuh Jala Dara yang mendapat luka di bagian
dada dan keningnya. Luka yang berbentuk bulat
itu meninggalkan luka menghitam dan terus mengalirkan darah berwarna kehitam-
hitaman pula. Anehnya paku-paku beracun itu tidak lagi menempel pada luka-luka yang di
timbulkannya. Dilihat sekilas saja orang sudah tahu betapa orang
yang menyambitkan senjata rahasia itu kemudian
mencabutnya kembali setelah mencapai sasaran.


Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu merupakan orang yang memiliki kepandaian
tinggi. Pendekar Hina Kelana sadar betul akan hal
yang satu ini. Namun ia tidak perduli, yang ada
dalam pikirannya adalah bagaimana caranya menyelamatkan nyawa Jala Dara dari
racun yang sangat ganas "Sabarlah, paman. Aku akan berusaha menolongmu..." kata Buang. Meskipun dalam
hati kecilnya mengatakan bahwa Jala Dara tidak mungkin tertolong lagi. Rupanya
Jala Dara yang kulit
tubuhnya mulai membiru akibat cepatnya racun
itu bekerja menggelengkan kepala.
"Tid... tidak! Ajalku sudah sampai. Kalau
kau butuh keterangan, datanglah ke perguruan
Teratai Putih." sebelum Jala Dara sempat melanjutkan ucapannya, tiba-tiba
kepalanya terkulai.
Tubuh Jala Dara cepat sekali berubah dingin.
Buang Sengketa menggelengkan kepalanya lemah.
Dalam hati ia bertekad untuk menyelidiki tentang
apa yang di sebut-sebut oleh Jala Dara. Dan satusatunya tempat yang akan
ditujunya adalah perguruan Teratai Putih.
*** 2 Perguruan Teratai Putih merupakan perguruan yang cukup besar. Murid-muridnya
berjumlah tidak kurang dari tiga puluh lima orang. Perguruan ini terletak di
daerah padat penduduk di kaki
bukit Abadi. Perguruan Teratai Putih menjadi terkenal, bahkan disegani baik oleh
kawan maupun lawan karena ketinggian dan kemahiran para murid-muridnya dalam memainkan ilmu
pedang. Namun, pagi itu perguruan Teratai Putih
yang dipimpin oleh Eyang Wiku Swanda menjadi
gempar dengan hadirnya Iblis Hitam beserta lima
orang kawannya. Begitu mereka menginjakkan kakinya di perguruan Teratai Putih,
Iblis Hitam dan
lima orang kawannya langsung menyerang muridmurid perguruan Teratai Putih.
Murid- murid perguruan Teratai Putih yang rata-rata memiliki ilmu
pedang yang sangat lumayan ini tentu saja tidak
tinggal diam. Dengan cepat merekapun membalas
serangan-serangan ganas lawannya dengan tidak
kalah sengitnya.
Pertempuran serupun terjadi. Lima orang
Iblis Hitam berusaha mendesak murid-murid perguruan Teratai Putih yang juga
mempergunakan senjata pedang. Dalam waktu yang singkat, muridmurid perguruan Teratai Putih
satu demi satu bergelimpanggan roboh. Semua ini tentu saja memancing kemarahan
yang lain. Kemudian secara
serentak, dengan disertai teriakan-teriakan menggelegar, mereka yang memiliki
tingkat kepandaian
lebih tinggi segera mengeroyok kelima anggota Iblis
Hitam. Dengan turunnya murid utama dari perguruan itu, maka sekarang keadaan
menjadi berbalik. Kelima anggota Iblis Hitam mulai merasakan
tekanan yang dilakukan oleh lawan-lawan mereka.
Semua itu tidak luput dari perhatian laki-laki berwajah angker yang menjadi
ketua mereka. Tanpa
berkata apa-apa, laki-laki ini segera ikut menggabungkan diri ke dalam
pertempuran. Dengan
hanya bertangan kosong dia menghajar lawanlawannya. Tendangan kilat yang
dilakukannya secara beruntun maupun pukulan-pukulan kilat saling susul menyusul.
Beberapa orang murid perguruan Teratai Putih yang berada dekat dengan dirinya
nampak bergelimpangan roboh tanpa mampu bangkit kembali.
Ketika Iblis Hitam berusaha membuka jalan
darah untuk menerobos masuk ke dalam pondok
perguruan. Pada saat itu dari bagian samping
pondok menderu angin kencang menebarkan hawa
panas luar biasa ke arah Iblis Hitam. Dengan gerakan kilat, laki-laki berwajah
bengis ini memiringkan tubuhnya ke samping kiri, lalu iapun melompat sejauh tiga
langkah. Pukulan yang hampir
menghajar tubuhnya dari samping pondok pun luput dan menghantam tangga hingga
hancur berantakan. Dengan cepat Iblis Hitam memandang ke
arah datangnya pukulan tadi. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping
pondok telah berdiri seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh
tahun, pakaiannya warna putih tidak ubahnya bagai pendeta Brahma, sedangkan
rambut, jenggot
serta kumisnya juga berwarna putih. Laki-laki ini
tidak lain Eyang Wiku Swanda. Ia memandang tajam pada Iblis Hitam dengan sorot
mata tajam menusuk.
"Melihat dandanan kalian yang mirip orang
gila. Aku yakin kalian pastilah Iblis Hitam, yang
selama ini tinggal di bukit Tunggul. Ada keperluan
apakah sehingga begitu datang kalian membunuhi
beberapa orang muridku?" tanya laki-laki berpakaian Brahma ini dengan sikap
tenang dan pandangan menyelidik.
Ketua Iblis Hitam sebenarnya menyadari betapa tingginya ilmu kepandaian yang
dimiliki oleh tokoh golongan putih yang satu ini. Itulah sebabnya walaupun mereka sempat
membunuh beberapa orang murid perguruan Teratai Putih. Namun
dalam hal bertutur kata ia masih bersikap hatihati.
"Maafkan kami, Eyang Wiku." kata Iblis Hitam yang ternyata kenal betul dengan
ketua perguruan Teratai Putih. "Sebenarnya kedatanganku
dengan beberapa orang kawan ke perguruan anda
ini bukan ingin membuat ribut. Tapi karena murid-muridmu terlalu curiga dan
menghalanghalangi kami untuk berjumpa denganmu. Maka
dengan sangat terpaksa kami memberi sedikit pelajaran pada mereka." kata-kata
Iblis Hitam ini diucapkan seolah penuh penyesalan. Padahal semua
murid-murid perguruan Teratai Putih jelas tahu
bahwa merekalah yang telah melakukan serangan
begitu mereka datang tadi. Sebagai orang yang telah berpengalaman, Eyang Wiku
Swanda menya- dari bahwa apa yang dikatakan oleh Iblis Hitam
hanya berupa kebohongan semata-mata. Diamdiam hati ketua perguruan Teratai Putih
ini menjadi geram bukan main, tapi di depan ketua Iblis
Hitam ia berusaha menutupi kemarahannya. Karena ia sebenarnya ingin mengetahui
apa yang menjadi tujuan Iblis Hitam datang ke perguruan
yang dipimpinnya. Kemudian dengan kata-kata tajam menusuk, Eyang Wiku Swanda
berkata: "Membunuh beberapa orang murid perguruan Teratai Putih bukanlah merupakan sebuah
pelajaran. Semua itu tidak jauh bedanya dengan
sebuah penghinaan dan pembunuhan yang tidak
bertanggung jawab. Namun aku yang tua ini
mungkin saja dapat memaafkan kalian, jika anda
segera menjelaskan padaku apa sebenarnya yang
menjadi tujuan kalian hingga datang ke perguruan
kami?" "Inilah saat yang kutunggu-tunggu. Tanpa
bersusah payah menjelaskannya, kiranya Wiku
Swanda memberi kesempatan padaku untuk bicara" Pikir Iblis Hitam, sementara
Eyang Wiku Swanda terus memandanginya dengan sikap tidak
sabar. "Eyang Wiku! Adapun niat kedatangan kami
ke perguruan Teratai Putih ini, pertama-tama adalah untuk melihat keselamatan
Wiku. Sedangkan
yang kedua adalah untuk menanyakan tentang perihal Patung Kematian yang kabarnya
telah lenyap dari sebuah tempat yang hanya Wiku sendiri yang
mengetahuinya." kata Iblis Hitam di sertai sesungging senyum penuh kelicikan.
Wajah Eyang Wiku Swanda berubah memerah seketika. Tanpa sadar ia mengatupkan
gerahamnya rapat-rapat. Sebenarnya ia sendiri selain
sangat marah juga heran. Bagaimana Iblis Hitam
bisa tahu bahwa Patung Kematian yang baru diambil oleh dua orang muridnya dan
jatuh ke tangan orang lain bisa secepat itu beritanya sampai
kepada Iblis Hitam. Padahal kabar itu baru diterimanya malam tadi. Eyang Wiku
Swanda berkesimpulan, jika saja Iblis Hitam telah mengetahui
perihal hilangnya Patung Kematian. Bukan mustahil saat itu golongan persilatan
lainnya juga telah
mengetahuinya. Kenyataan ini sangat berbahaya
sekali. Karena Patung Kematian bisa saja diperebutkan oleh banyak golongan yang
berambisi ingin
memilikinya. Jika Patung Kematian sampai terjatuh ke tangan golongan sesat,
rimba persilatan terancam malapetaka yang sangat besar. Diam-diam
Eyang Wiku Swanda bergidik ngeri membayangkan
bencana yang mungkin saja bakal terjadi
"Bagaimana, Wiku" Apakah betul apa yang
kukatakan tadi?" desak Iblis Hitam tidak sabar.
Ketua perguruan Teratai Putih tersentak dari lamunannya.
"Huh!" Eyang Wiku Swanda mendengus.
"Dalam sejarahnya belum ada golongan sesat sikap
baik pada golongan putih! Biasanya yang kutahu
iblis hanya mengunjungi setan. Kalian datang ingin menanyakan keselamatanku.
Tapi justru karena kehadiran kalian, beberapa orang muridku
menjadi tidak selamat! Bicaramu berputar-putar
membuat pusing kepala, tidak tahunya Patung
Kematian juga yang menjadi tujuan kalian. Kalian
memang orang-orang sesat yang tidak tahu malu."
bentak laki-laki berpakaian putih ini dengan kemarahan membara. Iblis Hitam
memang tokoh yang tidak bermalu, terbukti...
"Wiku! Kami merasa beruntung kalau Wiku
memang telah mengetahui apa yang menjadi tujuan kami. Menurutku berita tentang
hilangnya Patung Kematian itu sesungguhnya hanyalah sebuah kabar yang tidak lucu. Dan kami
yakin patung itu sekarang berada di tanganmu, singkatnya
serahkanlah patung itu kepada kami!" perintah Iblis Hitam tanpa malu-malu lagi.
Keinginan tokoh
sesat itu tentu saja membuat Eyang Wiku Swanda
menjadi gusar. Dia merasa Iblis Hitam tidak memandang muka padanya. Kenyataan
inilah yang membuat kesabarannya hilang.
"Iblis Hitam! Kuperingatkan padamu untuk
menyingkir dari hadapan kami." begitu dingin suara Eyang Wiku Swanda, namun
Iblis Hitam malah
tertawa tergelak-gelak. Hatinya merasa senang sekali karena merasa mampu
memancing kemarahan laki-laki tua ini.
"Bagaimana kalau kami tidak ingin menyingkir dari tempat kediamanmu ini,
Wiku..." Apakah kau merasa mampu mengusirku?" ejek Iblis Hitam disambut gelak tawa kawan-
kawannya. "Wiku. Mengapa harus bersusah payah. Kalau mereka tidak mau menyingkir, lebih
baik kita gebuk saja mereka beramai-ramai..." entah dari
mana datangnya tahu-tahu tidak jauh dari hadapan mereka telaih berdiri seorang
pemuda berwa- jah sangat tampan berpakaian merah.
Ketika Eyang Wiku Swanda melihat kehadiran Buang, laki-laki tua ini
mengernyitkan alisnya.
Sama sekali ia tidak mengenal pemuda itu. Namun
sebagai orang yang telah berpengalaman, Eyang
Wiku Swanda tahu kalau kehadiran pemuda ini
bukan membawa maksud-maksud tidak baik.
Lain lagi halnya dengan ketua Iblis Hitam
dan lima orang kawannya. Mereka ini jelas pernah
bertemu dengan Buang Sengketa, meskipun tidak
pernah bentrok secara langsung. Namun melihat
gerakannya yang cepat luar biasa saat menyelamatkan Jala Dara beberapa hari yang
lalu, mereka segera maklum pemuda itu memiliki kepandaian
tinggi. Karena itu ketua Iblis Hitam merasa perlu
berbuat sesuatu agar pemuda berpakaian merah
ini jangan sampai mencampuri urusannya dengan
Eyang Wiku Swanda.
"Kisanak, ku harap engkau tidak mencampuri urusanku dengannya. Jika anda tetap
bersikeras, maka kami tidak segan-segan menghajarmu." ancam Iblis Hitam. Namun
apa yang dikatakan oleh Buang kemudian benar-benar membuat
Iblis Hitam mati kutu.
"Ha... ha... ha...!" Buang menghentikan tawanya sejenak sambil menggaruk-garuk
kepalanya. "Kalian bukanlah bangsanya memedi yang
patut ditakuti." Buang lalu berpaling pada Eyang
Wiku Swanda. "Eyang... anda tentu belum mengenalku. Tapi, ketahuilah beberapa
hari yang lalu Iblis Hitam hampir saja membunuh paman Jala Dara, yang mereka
sangka membawa Patung Kema-
tian." Kata-kata yang disampaikan oleh Buang
membuat terkejut kakek tua ini. Sama sekali ia tidak pernah menyangka kalau
pemuda ini malah
pernah bertemu dengan Jala Dara penjaga pintu
Kematian. Tapi Eyang Wiku Swanda menjadi bingung sendiri ketika ia tidak melihat
Jala Dara datang bersama pemuda berpakaian merah itu. Beberapa orang muridnya
yang melakukan pencarian
mengatakan Jala Dara telah tewas, jadi mana yang
benar" "Kisanak. Siapakah engkau" Dan bagaimana bisa mengenal Jala Dara?" tanyanya
dalam keraguan.
"Namaku Buang Sengketa. Mengenai perjumpaanku dengan paman Jala Dara agak
panjang ceritanya. Tapi apakah anda merasa pantas kalau
kuceritakan segala sesuatunya di depan orangorang ini?" Buang langsung menunjuk
ke arah Iblis Hitam dan kawannya. Tokoh aliran sesat ini
menjadi marah karena merasa diremehkan. Ketika
Eyang Wiku Swanda belum sempat berkata apaapa, ketua Iblis Hitam segera
menyerang Pendekar
Hina Kelana. Sedangkan lima orang lainnya dengan pedang terhunus segera
menyerang Eyang Wiku Swanda. Eyang Wiku Swanda menyambut serangan senjata kelima
anggota Iblis Hitam dengan
sikap tenang. Pada kenyataannya Eyang Wiku
Swanda bukanlah lawan bagi lima anggota Iblis Hitam. Ilmu kepandaian yang
dimiliki oleh kakek tua
ini jelas jauh lebih tinggi dari lawan-lawannya.
Namun bagi lawan yang senantiasa haus darah,
mereka mana mau perduli dengan kenyataan yang
mereka hadapi. Lima mata pedang laksana kilat
menghujani laki-laki berumur tujuh puluh tahun
ini, sehingga harus membuatnya mengerahkan ilmu meringankan tubuh serta
kecepatan gerak
yang tiada dapat diduga-duga.
"Uakh...!"
Wuuus! Satu tusukan mata pedang yang mengarah
bagian lambung kiri berhasil dielakkan oleh kakek
ini. Pada kesempatan itu Eyang Wiku Swanda melontarkan pukulan keras ke arah


Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya. Blaaar! "Wuaark...!"
Dua orang lawan yang terus berusaha mendesaknya di bagian samping kiri langsung
terbanting roboh. Pukulan kakek tua yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
menghajar tubuh mereka. Terdengar tulang-belulang berderak patah menyertai
jatuhnya dua sosok tubuh anggota Iblis Hitam. Kedua laki-laki yang terkena
pukulan kakek tua ini nampak memuntahkan darah segar. Tubuh
mereka berkelojotan, selanjutnya terdiam tiada
bergerak-gerak lagi.
Melihat dua orang kawannya dapat dijatuhkan oleh lawan mereka, tiga orang
lainnya langsung menghentikan serangan. Tapi sesaat setelah
mereka saling berpandangan sesamanya. Dengan
disertai teriakan-teriakan melengking tinggi, ketiga
orang itu sudah membangun serangan kembali.
Semakin lama serangan yang dilakukan oleh ketiga laki-laki ini semakin bertambah
gencar dan ga- nas. Meskipun laki-laki tua ini agak kerepotan juga menghadapi serangan mata
pedang yang meluncur deras ke arahnya, Eyang Wiku Swanda masih dapat bersikap
tenang. Semua ini merupakan
suatu pertanda bahwa laki-laki itu mempunyai kepandaian di atas lawan-lawannya.
Di lain pihak, ketua Iblis Hitam yang sedang
berhadapan dengan Buang atau Pendekar Hina
Kelana. Nampak sudah mulai mendesak pendekar
ini. Berulangkali senjata andalannya berupa pedang yang mengandung hawa panas
beracun berkelebat cepat terarah pada bagian-bagian tubuh
yang mematikan. Dengan cepat Buang melentikkan tubuhnya ke udara. Selanjutnya
dengan gerakan yang ringan, tubuhnya telah meluncur ke bawah sambil melontarkan
pukulan Empat Anasir
Kehidupan. Serangkum gelombang pukulan yang
menebarkan hawa panas tiada tertahankan menghantam tubuh Iblis Hitam. Namun
rupanya lakilaki bertampang angker ini menyadari datangnya
pukulan ini. Hanya sesaat saja dia terperangah.
Selanjutnya dengan gerakan yang tiada terduga
oleh Buang Sengketa, lawan langsung memutar
pedangnya di atas kepala. Buang sempat tersentak
kaget, ia memang tidak pernah menyangka lawannya mampu melakukan gerakan yang
sangat sulit seperti itu. Masih untung ia masih dapat menghentikan arus pukulannya.
"Heeuph!"
Sesaat ia terhindar dari serangan senjata
lawannya, Buang telah menjejakkan kedua kakinya kembali ke tanah. Pendekar Hina
Kelana ini berdiri tegak sambil memandang tajam pada lakilaki berbadan pendek yang seluruh
bagian wajahnya ditumbuhi bulu-bulu halus. Sementara Iblis
Hitam ini juga menghentikan serangannya. Seraya
melirik pada Buang dengan pandangan kagum
bercampur amarah. Namun tidak lama setelahnya
dia telah berpaling ke arah Wiku Swanda yang baru saja menyelesaikan pertarungan
dengan anggota Iblis Hitam.
Iblis Hitam tersentak kaget melihat seluruh
anak buahnya terbantai habis oleh Eyang Wiku
Swanda, dengan geram...
"Keparaat! Kalian telah membunuh orangorangku!" bentak Iblis Hitam dengan amarah
berkobar-kobar.
Eyang Wiku Swanda dan Buang Sengketa
saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka
mengalihkan perhatiannya pada Iblis Hitam yang
telah berubah tegang akibat kematian kawankawannya.
"Iblis Hitam. Kalau kau tidak segera pergi
dari tempat kediamanku ini. Jangan menyesal
nanti jika aku sampai turun tangan kejam padamu!" desis Eyang Wiku Swanda dengan
suara dingin menggetarkan.
Ketua Iblis Hitam mendengus. Pikirannya
yang cerdik dam dipenuhi kelicikan ini berputar
cepat. Dia sadar karena Patung Kematian yang kabarnya mengandung ilmu racun
ganas, dia telah
mengorbankan nyawa lima orang kawannya. Padahal seperti yang diakui oleh Eyang
Wiku Swanda, benda yang sedang diincar oleh berbagai tokoh
itu tidak ada padanya. Dan mengapa baru sekarang dia ingat bahwa dua orang murid
perguruan Teratai Putih yang membawa Patung Kematian tewas di tangan pembunuh misterius
bersama lenyapnya Patung Kematian itu. Andai sekarang ini
ia tetap bersikeras melanjutkan pertarungan dengan Wiku Swanda. Maka semakin
kecillah harapan
baginya untuk keluar sebagai pemenang. Eyang
Wiku Swanda adalah seorang tokoh persilatan
yang mempunyai kepandaian tinggi, belum tentu
dia mampu mengalahkannya, apalagi jika sampai
pemuda berperiuk itu turut membantu. Bisa saja
jiwanya tidak akan selamat. Kalau begitu siasialah harapannya selama ini untuk
memiliki Patung Kematian. Teringat sampai di situ, Iblis Hitam
tidak mampu membayangkan bagaimana nasibnya
nanti. Dia pun akhirnya memutuskan...
"Baiklah orangtua. Hari ini kau boleh tertawa atas kemenanganmu, tapi ingat di
suatu saat kelak aku akan mencarimu!" kata Iblis Hitam penuh ancaman. Selanjutnya tanpa
berkata-kata lagi, ia segera memutar tubuh kemudian berlari cepat meninggalkan
perguruan Teratai Putih.
*** 3 "Terlalu sulit untuk mencari kepastian siapa
yang telah merebut patung itu, Buang!" ujar Eyang
Wiku Swanda ketika sore itu mereka terlihat pem-
bicaraan serius di ruangan pendopo depan.
"Lalu menurut kakek sendiri bagaimana?"
Eyang Wiku Swanda langsung terdiam sesaat setelah Pendekar Hina Kelana ini
mengajukan pertanyaan. Memang sebenarnya terasa sulit bagi
laki-laki berusia tujuh puluhan ini untuk menerka
siapa sebenarnya orang yang telah berhasil merampas Patung Kematian dari tangan
kedua orang muridnya. Sepanjang yang diketahuinya, sejak Patung Kematian berada dalam
pengawasan Jala Dara. Salah seorang abdi yang sangat dipercayainya,
Patung Kematian selalu menjadi incaran kaum golongan sesat. Bahkan tidak
tertutup kemungkinan,
tokoh-tokoh persilatan dari golongan putihpun
mengincar patung itu. Selain itu ada satu hal yang
selalu membebani perasaannya. Yaitu siapakah
pembunuh misterius yang mempergunakan paku
beracun sebagai senjata rahasia" Apakah Tokoh
Misterius itu yang telah merampas Patung Kematian yang dibawa oleh kedua orang
muridnya" Eyang Wiku Swanda tidak berani menarik kesimpulan sampai sejauh itu. Sebab
selama ini ia merasa tidak mempunyai seorang musuhpun di rimba persilatan.
Sekarang ada pula seorang pemuda yang
muncul begitu saja dan menyatakan kesanggupannya untuk membantu menemukan patung
yang hilang itu. Eyang Wiku Swanda sebenarnya
merasa senang juga dengan kemunculan serta kesanggupan Buang Sengketa. Namun
keraguan terkadang selalu hadir di benaknya. Entah mengapa
akhir-akhir ini dia mudah curiga terhadap orang
lain. Terlebih-lebih sejak almarhum kakeknya Besu Dewa memberi amanat untuk
menjaga keselamatan Patung Kematian. Tidak seharusnya aku
menanamkan kecurigaan yang berlebih-lebihan
pada itikad baik pemuda ini, pikir Eyang Wiku
Swanda. "Hemm...!"
Suara Pendekar Hina Kelana memecah keheningan suasana yang terasa kaku. Ketua
perguruan Teratai Putih yang sejak tadi di buai lamunannya nampak tersentak
kaget. Laki-laki ini
menggeragap, bibirnya menyunggingkan seulas
senyum tipis. "Baiklah, kek! Kalau kakek masih menaruh
kecurigaan terhadap niat saya. Baiknya saya tidak
usah terlalu memaksakan diri. Lagi pula tidak ada
untungnya bagi saya mencampuri urusan kakek."
desah Buang, seakan ia dapat membaca pikiran
orangtua yang duduk di depannya itu.
"Eh, tunggu Buang! Bukankah aku belum
memutuskan apa-apa!" Eyang Wiku Swanda buruburu mencegah saat dilihatnya Buang
Sengketa hendak beranjak dari tempat duduknya.
"Kau jangan tersinggung, Buang. Terus terang kukatakan padamu, bahwa pada saat
sekarang ini pikiranku sedang kacau. Aku mengharapkan pengertianmu, sungguh...!"
Mau tidak mau Pendekar Hina Kelana kembali duduk di tempatnya, namun ia tetap
diam dengan sikap menunggu.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu
yang sifatnya sangat rahasia sekali." ketua pergu-
ruan Teratai Putih ini melanjutkan ucapannya.
Sebentar matanya yang agak cekung itu memperhatikan suasana di sekitarnya.
"Katakan saja Kek! Kakek tidak perlu merasa ragu." tegas Buang Sengketa berusaha
menghilangkan keraguan di hati Eyang Wiku Swanda.
Kakek tua ini kembali tersenyum sambil
menarik nafasnya dalam-dalam. Sebagai orang
berpengalaman dia tahu Buang berkata jujur. Sehingga sesaat kemudian...
"Telah begitu lama aku menghawatirkan
keamanan Patung Kematian yang saat itu kusimpan di kuburan Mayit. Selama lima
tahun tempat penyimpanan benda peninggalan leluhurku itu dijaga Jala Dara. Ia merupakan
abdiku yang paling
setia. Abdi keluarga kami itu mempunyai ilmu kanuragan yang cukup tinggi, bahkan
aku sendiri tidak meragukan kemampuannya. Selama itu Patung Kematian tersimpan
di tempat yang aman."
jelas Eyang Wiku Swanda dengan suara tersendat
bercampur sedih. Sesaat dia terdiam, tapi kemudian segera melanjutkan kembali
setelah Buang Sengketa hanya diam saja.
"Beberapa purnama belakangan, seorang
Tokoh Misterius muncul dalam rimba persilatan.
Kemunculannya menebarkan malapetaka besar,
karena ia melakukan pembunuhan di mana-mana.
Satu purnama yang telah lewat, Tokoh Misterius
itu datang ke perguruan Teratai Putih ini. Yang
membuat aku terkejut justru kehadirannya di sini
menanyakan Patung Kematian. Aku saat itu hanya
bersikap tidak tahu menahu dengan benda yang
ditanyakannya itu. Akibatnya Tokoh Misterius itu
membunuh beberapa orang muridku. Setelah itu
bagai bantu yang bergentayangan ia pergi dalam
kegelapan malam, setelah mengancamku. Jika dalam waktu dua purnama di depan aku
tidak menyerahkan benda yang diinginkannya. Maka dia
akan menghancurkan perguruan Teratai Putih"
kata laki-laki berpakaian serba putih itu sedih.
"Kakek menyanggupi keinginannya itu?"
tanya Buang Sengketa penuh perhatian.
"Aku tidak pernah menuruti keinginannya,
Buang! Karena aku tidak tahu siapakah Tokoh
Misterius yang telah mengetahui rahasia yang terkandung di dalam Patung Kematian
itu." "Lalu kakek mengutus beberapa orang murid untuk mengambil benda itu dari kuburan
Mayit?" tebak Buang. Kemudian dijawab oleh
Eyang Wiku Swanda dengan anggukkan kepala.
"Dua orang muridku memang kusuruh
mengambil Patung Kematian yang selama ini di jaga oleh Jala Dara di kuburan
Mayit. Kemudian kejadian selanjutnya kau sendiri sudah mengetahuinya."
"Hmm...!" Buang Sengketa menggumam tidak jelas.
Suasana sunyi kembali mencekam, baik
Buang Sengketa maupun Eyang Wiku Swanda
nampak tenggelam dalam pikirannya masingmasing. Bagi Pendekar Hina Kelana
sendiri sudah tentu merasa kesulitan untuk menentukan di tangan siapa sebenarnya Patung
Kematian saat ini berada. Repotnya begitu banyak orang-orang dari
rimba persilatan yang menginginkan benda itu.
Mula-mula Iblis Hitam, kemudian Eyang Wiku
Swanda ada menyebut bahwa Tokoh Misterius
yang mempergunakan senjata paku beracun juga
menginginkan benda itu.
Kenyataaannya paku-paku beracun itu pula
yang telah menewaskan Jala Dara dan dua orang
murid Teratai Putih ketika mereka diutus untuk
mengambil Patung Kematian dari kuburan Mayit.
Begitupun tidak tertutup kemungkinan beberapa
tokoh lain bersembunyi di balik semua peristiwa
yang terjadi. Namun mungkinkah mereka semuanya tewas di tangan Tokoh Misterius
itu" Buang
Sengketa sendiri merasa perlu tahu lebih banyak
lagi dari Eyang Wiku Swanda.
"Kek... sepanjang yang kakek ketahui apakah hanya Tokoh Misterius itu dan Iblis
Hitam saja yang menginginkan benda itu?"
"Kalaulah hanya Iblis Hitam dan tokoh yang
selalu memakai topeng itu saja yang menginginkan
Patung Kematian. Tentu bagi kita sangat mudah
untuk mencarinya. Tapi masih ada lagi dua kekuatan lain yang bergerak secara
sembunyi-sembunyi.
Mereka itu adalah Pengemis Partai Utara dan juga
seorang tokoh sesat yang sangat sakti yang mempunyai julukan Beruang Hitam...!"
"Ternyata untuk mendapatkan benda itu
kembali, kita harus mampu menembus lingkaran
setan. Semua ini bukanlah pekerjaan mudah, karena kita harus menyelidiki di
tangan siapa sebenarnya Patung Kematian berada." kata Buang
Sengketa setengah mengeluh. Dalam hati Buang
sebenarnya agak menyesal juga karena telah ikut
terlihat dalam urusan yang agak rumit itu. Namun
bagi Pendekar Hina Kelana, untuk bersurut mundur dan tidak mencampuri urusan
yang sedang dihadapi oleh Eyang Wiku Swanda rasanya sangat
mustahil sekali. Apalagi bila mengingat betapa
berbahayanya Patung Kematian jika sampai terjatuh ke tangan golongan sesat.
Dunia persilatan
pastilah dilanda malapetaka.
"Semuanya memang terasa sulit, Buang!
Tapi jika tidak kita lakukan, tidak dapat kubayangkan apa yang terjadi di rimba
persilatan jika kitab ilmu penggunaan racun dalam tubuh Patung Kematian
diketahui oleh orang-orang sesat.
Tidak seorang pun di kolong langit ini yang mampu menandinginya." suara Eyang
Wiku Swanda bergetar. Sementara wajahnya membayangkan rasa khawatiran yang mendalam. Melihat


Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua ini Pendekar Hina Kelana merasa tidak tega jadinya.
"Baiklah, kek. Sekarang segala-galanya telah jelas bagiku, aku bahkan bersedia
membantumu. Tapi bagaimana jika aku pergi nanti Tokoh
Misterius itu menagih janji datang ke sini?" tanya
Buang dengan perasaan cemas.
Eyang Wiku Swanda menyambutnya dengan sesungging senyum ramah.
"Aku tidak pernah merasa gentar dengan
kehadirannya, Buang. Aku sudah terlalu tua untuk menjalani sisa-sisa hidup ini.
Tapi aku bisa menyesal seumur hidup, jika Patung Kematian itu
salah dipergunakan oleh orang lain."
Buang Sengketa merasa tersentuh juga ha-
tinya mendengar pengakuan tulus laki-laki itu.
Dalam hati ia telah bertekad untuk membantu laki-laki tua itu dengan segenap
kemampuannya. "Baiklah, kek. Besok pagi-pagi sekali aku
akan segera memulai mencari jejak hilangnya Patung Kematian itu." janji Buang
sambil mengangguk dengan sikap hormat.
Malamnya setelah melakukan santap malam bersama Eyang Wiku Swanda, Pendekar Hina
Kelana segera melangkahkan kakinya memasuki
kamar yang telah disediakan. Waktu terus berlalu
tiada henti, di luar rumah kediaman Eyang Wiku
Swanda terasa gelap, sepi mencekam. Hanya sesekali saja terdengar suara lolongan
serigala di kejauhan sana. Sehingga membuat merinding bulu
kuduk murid-murid perguruan Teratai Putih yang
sedang bertugas jaga. Sementara di dalam kamarnya, Buang sudah terlelap sejak
dua jam tadi. Pada saat itu di dalam kegelapan nampak berkelebat
beberapa sosok tubuh mendekati kamar yang di
tempati oleh Buang Sengketa. Melihat dari gerakan
mereka, jelas mereka merupakan orang-orang persilatan yang memiliki kepandaian
tinggi. Sejenak
bayangan itu menghentikan gerakannya, kemudian mereka memperhatikan kamar yang
ditempati oleh Buang Sengketa. Selanjutnya ketiga bayangan
itu segera mengambil sesuatu dari balik jubah hitam mereka yang menjela-jela
sampai ke tanah.
Maka tidak lama kemudian terlihatlah sebuah
benda berwarna putih berkilauan berada di tangan
mereka. Namun pada saat itu ketiga pendatang ini
sibuk berkasak-kusuk dengan kawan-kawannya.
Di dalam kamarnya Buang Sengketa menggeliat
gelisah. Kemudian ia merasakan seperti mendengar suara almarhum gurunya
membisikkan sesuatu tentang situasi di sekelilingnya. Pendekar Hina
Kelana langsung terjaga dari tidurnya. Secara reflek ia melirik ke arah jendela
kamar. Pada saat itulah matanya yang tajam melihat berkelebatnya beberapa buah
benda berwarna putih berkilauan meluncur deras ke arahnya. Dengan cepat Buang
menjatuhkan tubuhnya di samping dipan yang ditempatinya.
Weees! ..... Zeb! Zeb! Benda putih yang ternyata merupakan dua
buah pedang pendek itu luput dari sasarannya.
Kemudian meluncur dan menancap dinding yang
berada di belakangnya. Dengan cepat Buang
bangkit berdiri, tanpa menghiraukan pedangpedang pendek yang menancap di dinding
itu ia segera melompati jendela dan melakukan pengejaran ke arah menghilangnya tiga
sosok bayangan tadi. Berkat ilmu lari cepat Ajian Sepi Angin, serta ilmu meringankan tubuh yang sudah
sangat sempurna. Dalam waktu yang singkat Buang telah
berhasil menyusul tiga orang berjubah hitam yang
hampir saja berhasil membunuhnya.
"Heeuup...!"
Tubuh Buang Sengketa melompat ke udara,
kemudian dengan gerakan yang ringan pula tanpa
menimbulkan suara sedikitpun, Buang telah menjejakkan kakinya persis di depan
tiga laki-laki ber-
jubah hitam ini. Mereka terpaksa menghentikan
larinya ketika melihat Pendekar Hina Kelana
menghadang di depannya.
"Siapa kalian!" bentak Buang Sengketa dengan amarah membara. Sebaliknya tidak
seorangpun diantara ketiga orang ini yang menjawab pertanyaan Buang, terkecuali
suara dengusan yang
membuat Buang kehilangan rasa kesabarannya.
"Kurang ajar! Kalian benar-benar membuat
kesabaranku hilang, manusia bertopeng jubah hitam!" teriak Buang dingin
menggetarkan. Tapi anehnya tak sedikitpun ketiga laki-laki
berjubah hitam itu terpengaruh. Bahkan tanpa
berkata apa-apa lagi, mereka serentak mencabut
senjata mereka berupa pedang pendek, lalu langsung menyerang Pendekar Hina
Kelana dari tiga
penjuru arah. Tanpa memberi kesempatan pada
penyerangnya, Buang segera menyambut serangan
mereka dengan kekuatan berlipat ganda. Namun
penyerang itu rupanya rata-rata mempunyai kepandaian tinggi. Sehingga bagi Buang
bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
"Huup! Ciaaat...!"
Buang dengan cepat mempergunakan jurus
Membendung Gelombang Menimba Samudra ketika dua tusukan yang datang dari depan
dan belakang menderu ke bagian perutnya. Serangan kilat
yang dilakukan lawan, luput. Tapi serangan lainnya mengancam bagian kepalanya.
"Iih...!"
Pemuda ini merasakan serangan yang dila-
kukan lawannya yang seorang lagi benar-benar
sangat berbahaya sekali. Terbukti ketika pedang
pendek di tangan lawan menyambar ganas, terasa
adanya hembusan udara dingin yang membuat
nyeri kulit tubuhnya.
"Haiit!"
Wuuus! Hanya dengan jurus si Jadah Terbuang,
Pendekar Hina Kelana menarik balik tubuhnya sejauh dua langkah ke belakang.
Luput dari ancaman maut itu, serangan lain yang datang dari dua
penjuru arah menderanya. Bahkan sekali ini lawan
sengaja melipat gandakan tenaga dalamnya. Sehingga serangan pedang mereka
mengeluarkan bunyi menderu dan berbahaya sekali. Menyadari
kenyataan ini tentu saja Buang Sengketa semakin
bertambah marah. Sekali ia menghentakkan tangannya ke arah depan, maka
menderulah serangkum gelombang menebarkan hawa panas luar biasa dari telapak
tangannya itu. Tidak ayal lagi pada saat itu Buang Sengketa telah melepaskan
pukulan Empat Anasir kehidupan. Salah seorang penyerang hanya sempat melihat
serangkum gelombang Ultra Violet melesat ke arahnya. Ia menjadi
terkejut beberapa saat lamanya. Dengan sigap ia
membabatkan senjatanya membentuk perisai diri.
Di luar dugaan pukulan yang datangnya bergulung-gulung itu lebih kuat lagi dari
perisai diri yang dibuatnya.
Blaam! Terdengar suara ledakan yang sangat keras
saat pukulan Buang Sengketa menghantam tubuh
lawannya. "Arrgkh...!" laki-laki berjubah hitam itu
langsung tersungkur roboh dengan tubuh menghitam, darah kental menyembur dari
mulut serta hidungnya.
Dua laki-laki berjubah hitam serta bertopeng tengkorak itu menjadi terpana
Pahlawan Dan Kaisar 24 Lembah Merpati Karya Chung Sin Bendera Maut 1
^