Pencarian

Misteri Patung Kematian 2

Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian Bagian 2


karenanya. Serangan mereka mendadak terhenti ketika melihat salah seorang kawan mereka
jatuh di atas tanah berpasir tanpa mampu bangkit kembali. Sesaat mereka saling
berpandangan. Bahkan tanpa
sadar bibir mereka mendesis tidak ubahnya bagai
melihat bantu di siang bolong.
"Pendekar Hina Kelana"!" gumamnya serentak. Nyali mereka berobah ciut. Selama
ini rupanya mereka mengenal kehebatan sepak terjang
Pendekar Hina Kelana. Dengan senjata andalannya
yang berupa Golok Buntung serta Cambuk Gelap
Sayuto. Dan mereka sama sekali-tidak menyangka
kalau malam ini orang yang harus mereka hadapi
adalah pendekar yang sangat tangguh itu.
"Bagus sekali jika kalian telah mengenalku.
Sekarang katakan padaku, siapakah orang yang
berdiri di belakang kalian?" bentak Buang Sengketa dengan sorot mata tajam
menusuk. "Kami tidak akan menjayab pertanyaanmu
itu, pendekar! Sebuah kesetiaan bagi kami lebih
berharga bila dibandingkan dengan kematian...!"
dengus salah seorang dari laki-laki bertopeng itu
dengan sikap waspada. Bukan main geramnya
Buang Sengketa mendengar jawaban itu.
"Hemm...!" Buang menggumam tidak jelas.
Dipandanginya dua orang laki-laki berjubah hitam
tersebut. Dan dia semakin bertambah yakin,
orang-orang bersenjata pedang pendek itu pastilah
bekerja atas perintah seseorang. Itulah yang perlu
dicari jawabannya.
"Kalian orang-orang sesat masih menghargai arti sebuah kesetiaan. Kalau begitu
kalian menghendaki jalan kekerasan agar aku dapat
membongkar topeng yang sangat menakutkan
itu?" geram Pendekar Hina Kelana.
Tanpa berkata lagi, Buang Sengketa segera
berkelebat melancarkan serangan-serangan mematikan. Meskipun kedua laki-laki ini
merasa tidak akan menang menghadapi Pendekar Hina Kelana.
Namun diam-diam mereka telah memikirkan jalan
untuk meloloskan diri. Itulah sebabnya ketika
Buang menyerang mereka dengan mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk yang tidak
perlu lagi diragukan kedahsyatannya. Dengan segenap kemampuan yang mereka miliki. Dua orang
berjubah hitam ini berusaha mematahkan setiap serangan
yang dilakukan oleh Buang dengan kecepatan gerak pedang pendek di tangan mereka.
"Shaa...!"
Dua orang lawan menerjang Buang Sengketa dalam waktu bersamaan. Pedang di tangan
mereka mengancam bagian kepala dan perut. Sedangkan kaki mereka melakukan
tendangan menggeledek menyapu pertahanan Buang Sengketa.
"Heeuup!" tidak kalah cepatnya, Pendekar
Hina Kelana melentikkan tubuhnya ke udara. Be-
gitu pemuda ini menjejakkan kakinya di atas tanah. Dengan gerakan cepat dan
sulit di duga-duga
tubuhnya berbalik dan melontarkan pukulan si
Hina Kelana Merana menyongsong serangan susulan lawan yang berupa sambitan
senjata pedang pendek di tangan.
Brees! Angin kencang yang menebarkan hawa panas luar biasa menderu hebat dari kedua
telapak tangan Buang Sengketa. Dua buah senjata yang
disambitkan oleh lawannya hancur berantakan dilanda pukulan Buang Sengketa.
Namun beberapa saat kemudian pemuda ini menjadi kecewa ketika
dilihatnya dua orang lawan bertopeng tengkorak
itu telah lenyap dari hadapannya.
"Kurang ajar! Mereka kiranya memilih jalan
sebagai pengecut dari pada harus memberi keterangan padaku." desis Buang
Sengketa. Saat Pendekar Hina Kelana bermaksud
kembali ke dalam kamarnya, dilihatnya Eyang Wiku Swanda telah berada di sana
bersama beberapa
orang. "Siapakah mereka, Buang?" tanya laki-laki
tua ini sambil memandangi Buang Sengketa dengan perasaan cemas.
"Aku tidak tahu, kek. Mereka menyerangku
dengan pedang ketika aku sedang tidur." sahutnya sambil memperhatikan mayat yang
tergeletak tidak jauh dari mereka.
"Apakah itu mayat salah seorang...!"
"Betul...!" Buang menyahut.
Eyang Wiku Swanda segera memeriksa kea-
daan mayat itu. Kemudian dari balik jubah manusia bertopeng itu ditemukan
beberapa bilah pedang yang sama. Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Nampaknya
ia sedang berusaha mengingat-ingat sesuatu. Namun akhirnya beliau menggelengkan
kepalanya ketika merasa tidak mengenali
pemilik senjata rahasia itu.
"Tidak ada petunjuk lain kecuali senjata
yang sama, Buang!"
"Apakah kakek tidak dapat memastikan dari
golongan mana mereka berasal?"
"Mempergunakan pedang pendek sebagai
senjata rahasia, baru kali ini kutemui." sahut ketua perguruan Teratai Putih.
Buang Sengketa menjadi bingung sendiri.
Lenyapnya Patung Kematian, kemunculan Tokoh
Misterius serta kehadiran tiga laki-laki bertopeng.
Semuanya merupakan teka-teki yang membuat
kepalanya berdenyut-denyut.
"Bagaimana dengan Beruang Hitam?"
"Beruang Hitam merupakan tokoh tunggal
yang tidak mempunyai kawan. Jangankan lagi
anggota...!"
"Terlalu sulit jika kita hanya menduga-duga.
Baiknya malam ini juga aku akan mulai mencari
jejak mereka." keputusan Pendekar Hina Kelana
ini tentu saja membuat Eyang Wiku Swanda menjadi terkejut.
"Secepat itu?" tanya kakek tua ini seolah tidak percaya. Buang Sengketa
menganggukkan kepalanya pelan.
"Melakukan perjalanan pada malam hari
terlalu besar resikonya, Buang!"
"Kakek tidak usah menghawatirkan keselamatanku. Pesanku kakek dan murid-murid
Teratai Putih ini harus selalu bersiaga. Mungkin satu purnama di depan aku telah kembali
ke perguruan ini." Buang berjanji.
Selanjutnya mereka beriringan menuju ke
padepokan, sedangkan Buang segera kembali ke
dalam kamarnya. Sesampainya di dalam ruangan
itu Buang Sengketa segera mengitarkan pandangan matanya ke segenap ruangan.
Sesaat setelah itu sadarlah pemuda ini ketika melihat pedang
pendek yang disambitkan orang-orang bertopeng
tadi salah satu diantaranya terdapat daun lontar.
Buang segera mengambil daun lontar bertuliskan
tinta darah itu. Dengan hati berdebar Pendekar
Hina Kelana langsung membacanya.
Pemuda berperiuk!
Siapapun adanya engkau ini, kami harap
kau jangan coba-coba mencampuri urusan kami.
Apalagi sampai membantu perguruan Teratai Putih.
Jika kau sayangkan nyawamu, baiknya kau turuti
perintah kami! Tertanda Arwah Bayangan "Keparaat!" Buang Sengketa menggeram.
Dengan geram diremasnya daun lontar di tangannya sehingga menjadi serpihan-
serpihan kecil.
"Arwah Bayangan! Setan mana lagi yang
memakai gelar menyeramkan ini." gumam si pe-
muda. "Tapi ada baiknya kalau apa yang kuketahui ini tidak kuberitahukan pada
Eyang Wiku Swanda. Aku harus melakukan penyelidikan secepatnya." Buang Sengketa akhirnya
keluar kembali dari dalam kamarnya. Setelah berpamitan pada
Eyang Wiku Swanda. Akhirnya malam itu juga ia
meninggalkan perguruan Teratai Putih.
*** 4 Lembah Tapis Angin merupakan sebuah
daerah yang sangat subur. Walaupun begitu selama ratusan tahun yang lalu hingga
sampai saat ini, lembah itu sangat jarang di jamah oleh kalangan manapun. Karena daerah itu
dihuni oleh berbagai jenis binatang berbisa. Tapi siapa sangka
nun jauh di tengah-tengah lembah, berdiri sebuah
rumah berukuran cukup besar, yang lantai dan
dindingnya terbuat dari batu pualam putih. Di
daerah itulah orang-orang berjubah hitam bertopeng tengkorak melakukan segala
kegiatannya. Pagi itu lembah Tapis Angin yang senantiasa berselimut kabut abadi nampak sunyi.
Namun bukan berarti tidak ada tanda-tanda kehidupan di
sana. Saat itu di dalam sebuah ruangan yang cukup besar seorang laki-laki
berpakaian serba hitam, berkumis serta berjambang lebat nampak sedang duduk di
atas sebuah kursi berwarna hitam.
Kursi yang didudukinya berukiran gambar tengko-
rak kepala manusia. Sedangkan tidak jauh dari
tempat laki-laki bertampang bengis itu berada,
nampak puluhan orang yang mengenakan pakaian
yang sama duduk bersimpuh dengan sikap penuh
hormat. Dilihat sekilas laki-laki berwajah bengis
ini tidak ubahnya bagai seorang raja kecil di dalam
lingkungan lembah yang tidak terukur luasnya.
Sejenak laki-laki yang menjadi penguasa
lembah Tapis Angin yang memiliki julukan Iblis
Tengkorak Hitam ini memperhatikan orang-orang
yang bersimpuh tidak begitu jauh dari hadapannya.
"Sepuluh tahun aku mendidik kalian menjadi murid-murid pilihan. Ternyata dalam
melaksanakan sebuah tugas kalian tidak becus sama
sekali." walaupun kata-kata yang diucapkan oleh
Iblis Tengkorak Hitam diucapkan dengan suara lirih. Namun gema suaranya
menggetarkan jantung
para pendengarnya. Dapat dibayangkan betapa
tingginya tenaga dalam yang dimiliki oleh laki-laki
itu. Sepuluh orang murid pilihan yang hadir di dalam ruangan itu terdiam.
Masing-masing kepala
nampak tertunduk dalam-dalam. Sesaat lamanya
suasana dalam kesunyian yang mencekam. Iblis
Tengkorak Hitam kembali memperhatikan orangorang yang mengelilinginya. Kemudian
perhatiannya terhenti pada seorang laki-laki berpakaian
tambal-tambalan. Usia laki-laki itu mungkin tidak
lebih dari enam puluh tahun. Wajahnya tirus, air
mukanya memancarkan mimik duka yang mendalam.
Di atas pangkuan laki-laki berpakaian tam-
bal-tambalan itu terdapat sebuah tongkat sepanjang satu depa. Sedangkan pada
bagian hulu tongkat itu berhiaskan gambar kepala seekor Naga. Kalangan persilatan
mengenalnya sebagai ketua Pengemis Partai Utara dengan julukan Tua
Duka Tongkat Naga.
"Kau, Tua Duka! Apa pendapatmu tentang
kegagalan yang dialami oleh ketiga orang utusan
kita?" tanya Iblis Tengkorak Hitam dengan tatapan
tajam menusuk. Laki-laki berpakaian tambaltambalan ini merapatkan kedua
tangannya ke depan hidung. Selanjutnya terdengar pula suaranya
yang serak bagai orang yang mengidap penyakit
sesak nafas. "Ketua! Sebenarnya kita tidak perlu lagi
mengutus orang-orang bernyawa seperti mereka
ini. Usaha itu hanya akan sia-sia belaka."
"Maksudmu...?" tanya laki-laki itu penuh
perhatian. Yang ditanya nampak menarik nafas
dalam-dalam. Namun sikapnya tetap hormat seperti tadi.
"Maafkan aku ketua, jika pendapatku ini
keliru nantinya...!" ujar ketua Pengemis Partai Utara ini dengan sikap ragu. Hal
ini membuat Iblis
Tengkorak Hitam menjadi tidak sabaran lagi. Dengan suaranya yang senantiasa
membuat sakit gendang-gendang telinga, ia pun berucap.
"Tua Duka Tongkat Naga! Dua tahun kau
kuangkat menjadi wakilku di singgasana Iblis,
yang selalu kuharapkan darimu adalah demi terbinanya sebuah kerja sama yang baik
sesama golongan sendiri. Karena itu aku selalu berharap
agar kau bersikap terbuka. Karena siapa tahu
pendapatmu patut kita pertimbangkan." katanya
tenang berwibawa.
Ketua Pengemis Partai Utara kembali merapatkan tangannya ke depan hidung.
"Begini ketua. Menurut hematku, sekarang
sudah saatnya bagi kita untuk mengerakkan
mayat-mayat korban si Tokoh Misterius yang telah
ketua bangkitkan kembali. Dengan kekuatan yang
kita miliki itu, mungkin dalam waktu yang singkat
kita sudah dapat merebut Patung Kematian dari si
Tokoh Misterius tersebut. Keuntungan lainnya kita
dapat menghemat tenaga tanpa harus mengorbankan murid-murid yang berada di
singgasana iblis
ini!" jelas Tua Duka Tongkat Naga.
Iblis Tengkorak Hitam mengerutkan keningnya. Dalam hati ia membenarkan apa yang
baru saja dikatakan oleh wakilnya itu. Tapi pada
sisi lain ia masih merasa ragu, benarkah Patung
Kematian berada di tangan si Tokoh Misterius atau
di tangan Beruang Hitam dedengkot tokoh sesat
yang tidak pernah mengenal arti persahabatan.
Namun begitupun akhirnya ia memutuskan.
"Saranmu cukup baik, Tua Duka. Tapi aku
belum begitu yakin kalau Patung Kematian sekarang ini telah jatuh di tangan
Tokoh Misterius itu?"
"Mengapa ketua harus ragu. Bukankah
dengan terbunuhnya penjaga serta kedua murid


Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perguruan Teratai Putih yang diutus Wiku Swanda
sudah merupakan satu bukti yang kuat bahwa
Tokoh Misterius itulah sekarang yang telah menguasai Patung Kematian!" jelas
ketua Pengemis Partai Utara penuh keyakinan.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu?" tanya
Iblis Tengkorak Hitam pelan.
"Beberapa orang-orang kita yang kutugaskan melakukan pengintaian mengatakan,
bahwa pemilik senjata rahasia yang berupa paku beracun
itu tidak lain dan tidak bukan si Tokoh Misterius
itulah orangnya." jelas Tua Duka Tongkat Naga lebih lanjut. Sementara ini ketua
singgasana iblis itu
menganggukkan kepalanya dengan sedikit keraguan di hatinya.
"Beberapa laporan lain yang kuterima, pada
saat kedua murid perguruan Teratai Putih yang
membawa Patung Kematian mendapat serangan
senjata rahasia seperti yang kau sebutkan itu. Kabarnya Iblis Hitam dan orang-
orangnya juga berada di sana. Bukan tidak mustahil kalau sekarang
ini benda yang sedang diperebutkan oleh tokohtokoh rimba persilatan itu berada
di tangan Iblis
Hitam." Ketua Pengemis Partai Utara cepat-cepat
menggelengkan kepalanya ketika Iblis Tengkorak
Hitam menyebut-nyebut Iblis Hitam sebagai orang
yang telah berhasil merampas Patung Kematian
dari tangan kedua murid perguruan Teratai Putih.
"Dengan pasti aku dapat mengatakan Iblis
Hitam bukanlah orang yang telah menguasai Patung Kematian. Sebab seingatku,
Iblis Hitam memiliki kepandaian tidak sehebat Tokoh Misterius
itu. Bukannya menyombongkan diri, kalau kukatakan kepandaian yang dimiliki oleh
ketua Iblis Hitam beberapa tingkat berada di bawahku." sergah
Tua Duka Tongkat Naga dengan penuh keyakinan.
Sekali ini Iblis Tengkorak Hitam berdecak kagum
dengan pengalaman yang dimiliki oleh wakilnya
itu. "Baiklah! Sekarang aku tidak ragu lagi. Kurasa sekaranglah saatnya yang tepat
bagi kita untuk menggerakkan mayat-mayat yang telah kubangkitkan dengan ilmu
iblisku itu. Tetapi sebagai
orang kepercayaanku, kuharap kau mau memimpin mayat-mayat itu agar maksud kita
segera terlaksana." kata Iblis Tengkorak Hitam memberi keputusan.
"Baiklah ketua! Aku berjanji dengan segenap kemampuan yang kita miliki untuk
segera mendapatkan Patung Kematian. Tidak perduli siapapun yang telah berhasil
mendapatkan patung
itu kita harus mendapatkannya." ucap Tua Duka
Tongkat Naga penuh percaya diri.
Iblis Tengkorak Hitam langsung tertawa tergelak-gelak. Selain ketua Pengemis
Partai Utara, beberapa orang lainnya yang berada di tempat itu
terpaksa menutup indera pendengaran mereka
demi mendengar suara tawa ketua mereka yang
menggeledek bagai bunyi petir. Pagi itu juga berangkatlah Tua Duka Tongkat Naga
itu memimpin mayat-mayat yang telah berhasil dibangkitkan oleh
Iblis Tengkorak Hitam dengan ilmu iblisnya. Sungguh menyeramkan sekali iring-
iringan mayat yang
jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang ini.
Sepintas lalu, laki-laki tua berpakaian tambaltambalan ini tidak ubahnya bagai
seorang pengembala di tengah-tengah hewan yang digembala-
kannya. Suasana menyeramkan berbau kematian,
meskipun saat itu matahari mulai naik tinggi.
*** Laki-laki berbadan gemuk berperut buncit
itu tidur mendengkur tidak ubahnya bagai suara
kodok. Tidurnya nyenyak sekali, terkadang tubuhnya yang gemuk bundar seperti
gentong menggeliat beberapa kali. Di lain saat tangannya yang
pendek mengusap air liur yang meleleh di sela-sela
bibirnya. Nampaknya ia tidak perduli dengan terik
matahari yang memanggang tubuhnya. Bahkan ia
lebih baik tidak perduli lagi meskipun saat itu ia
tertidur di pinggiran jalan.
Tidak begitu jauh di sisi laki-laki berambut
jarang ini menggeletak sebuah benda terbungkus
kain sutera merah. Di lihat sekilas benda yang terbungkus itu tidak ubahnya
bagai bocah bayi berumur belasan hari. Dan bungkusan itulah yang
menarik perhatian seorang laki-laki berbadan tegap yang terus memperhatikannya
sejak tadi. Berulang kali laki-laki berpakaian serba hitam itu berusaha
mempertegas penglihatannya. Semakin tajam pandangan matanya memperhatikan
bungkusan yang berada di sisi laki-laki gemuk perut buncit yang sedang tertidur
pulas ini, maka semakin
berdebarlah hatinya.
"Kurasa yang satu ini tidak salah lagi.
Mungkin inilah benda yang telah membuat gempar
delapan penjuru persilatan itu. Aku harus mengambilnya dari tangan Beruang
Hitam. Tetapi...!"
sejenak laki-laki yang tidak lain adalah Iblis Hitam
ini menjadi ragu. Rupanya ia sadar betul siapa
yang dihadapinya kali ini. Dedengkot golongan sesat yang dapat membunuh tanpa
memandang dari golongan mana dia berasal. "Hem. Dia sedang tertidur pulas. Sangat mustahil
kalau bakul nasi ini
tahu jika aku mengambil Patung Kematian dari
tangannya." gumamnya lagi. Selanjutnya dengan
sikap sangat berhati-hati sekali ia mulai melangkah mendekati Beruang Hitam yang
sedang tertidur pulas.
Sementara tidak jauh dari tempat itu, pada
sebuah kerimbunan pohon, seorang pemuda berpakaian merah nampak sedang
memperhatikan apa yang dilakukan oleh laki-laki yang sudah dikenalnya itu. Ternyata bukan
secara kebetulan
pemuda berpakaian merah yang tidak lain Buang
Sengketa ini melihat Iblis Hitam di tempat itu. Sejak meninggalkan perguruan
Teratai Putih dalam
perjalanannya mencari jejak Patung Kematian
yang diduga telah berhasil dirampas oleh si Tokoh
Misterius. Di dalam perjalanan, Buang melihat
berkelebatnya sosok bayangan hitam menuju ke
arah Tenggara. Merasa curiga dan penasaran, dari
jarak tertentu Buang mengikuti bayangan hitam
yang tidak lain merupakan Iblis Hitam. Setelah
hampir setengah hari dua sosok bayangan yang tidak ubahnya bagai orang yang
sedang berkejarkejaran. Mendadak Iblis Hitam menghentikan larinya. Ia tertegun
ketika melihat sosok tubuh yang
tidak ubahnya bagai sebuah gentong nampak tertidur di pinggiran jalan. Pada saat
itu Buang seca-
ra diam-diam menyelinap di sebuah tempat yang
tersembunyi. Niatnya sudah jelas ingin mengetahui apa saja yang akan dilakukan
oleh Iblis Hitam
terhadap laki-laki yang tertidur pulas di pinggiran
jalan. Sekarang jarak antara Iblis Hitam dengan
Beruang Hitam yang sedang tertidur pulas ini semakin bertambah dekat saja.
Semakin dekat jarak
diantara mereka, maka semakin bertambah berdebarlah dada Iblis Hitam. Bagaimana
tidak, orang yang dihadapinya kali ini adalah tokoh dari seluruh kaum sesat. Ia sendiri tidak
dapat membayangkan bagaimana nantinya jika sampai perbuatannya itu ketahuan oleh
laki-laki berperut
buncit ini. Begitupun Iblis Hitam tidak ingin bersurut langkah, meskipun
perasaannya kian tidak
menentu, namun langkah kakinya tetap bergeser
juga. Ketika jarak diantara mereka tinggal hanya
setengah tombak lagi. Maka Iblis Hitam ini menjulurkan tangannya untuk meraih
benda yang terbungkus kain sutera itu. Namun belum lagi tangannya mencapai
bungkusan yang tergeletak di sisi laki-laki berbadan gembur itu. Tiba-tiba
terdengar suara lirih.
"Eiit, mau ngapain kau" Jangan bertindak
gegabah jika kau sayang dengan nyawamu." kata
Beruang Hitam bagai orang yang sedang mengigau
dalam mimpi. Tentu saja Iblis Hitam cepat-cepat menarik
balik tangannya yang sudah terulur. Dengan hati
berdebar keras diperhatikannya Beruang Hitam
yang masih mendengkur bagai suara kodok. Dalam perkiraannya pastilah dedengkot
golongan sesat ini sedang dalam keadaan pulas. Tapi bagaimana mungkin orang yang
sedang tertidur dapat
mengetahui gelagat yang tidak baik. Ataukah Beruang Hitam itu sedang bermimpi"
Merasa penasaran Iblis Hitam akhirnya mencoba mengulangi
niatnya. Sekali ini gerakan tangannya lebih cepat
dari yang pertama tadi.
Celakanya begitu jemari tangannya hampir
menyentuh benda yang terbungkus kain sutera
merah itu. Dari arah samping sebuah gerakan
yang lebih cepat lagi dari gerakan yang dilakukan
Iblis Hitam menyambar ke arah tangannya.
Wuus! Dess! "Uhh...!" Iblis Hitam mengaduh, tubuhnya
terlempar sejauh dua tombak. Pada saat laki-laki
berbadan tegap itu belum mengerti apa yang terjadi. Laki-laki gemuk yang
tertidur pulas itu telah
terjaga dari tidurnya. Dengan bermalas-malasan
Beruang Hitam bangkit dari tempatnya. Matanya
yang sipit itu masih agak terpejam. Sementara mulutnya menguap beberapa kali.
Sebentar diperhatikannya bungkusan yang menggeletak di bawah
kakinya. Kemudian seperti ditujukan buat dirinya
sendiri. Laki-laki berambut jarang-jarang ini berkata dengan angkernya.
"Sudah kukatakan jangan bertindak macam-macam. Terlalu berani jika seekor tikus
kecil mengusik tidur seekor beruang. Heh, siapakah
kau?" tanpa memandang pada Iblis Hitam sedikitpun. Laki-laki berbadan gemuk
bertubuh pendek
inipun membentak dengan suara menggeledek. Iblis Hitam terkesiap demi mendengar
suara teguran yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam
sangat tinggi itu. Bahkan Buang Sengketa yang terus memperhatikan kejadian demi
kejadian itu buru-buru mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mengusir pengaruh suara Beruang Hitam.
"Ah. Seumur hidup Beruang Hitam paling
tidak suka mengulang pertanyaan sampai dua
kali. Kalau kau tetap tidak mau menjawab! Maka
teguranku yang kedua adalah kematian bagimu!"
kata Beruang Hitam dengan suara dingin mengancam.
Iblis Hitam terdiam beberapa saat lamanya.
Rupanya ia sadar betul dengan siapa ia berhadapan. Tapi baginya apakah masih
mungkin menghindari Beruang Hitam ini, padahal perbuatannya
sudah sempat diketahui oleh lawannya!
*** "Maafkan aku, paman Beruang Hitam.
Hanya secara kebetulan saja aku melewati daerah
ini. Sekali lagi aku mohon maafmu jika hal ini anda anggap sebagai sebuah
kesalahan." jawab Iblis
Hitam dengan nada suara setenang mungkin.
Mendengar jawaban ini untuk pertama kalinya Beruang Hitam memperhatikan lawan
bicaranya yang saat itu telah berdiri dengan jarak tidak begitu jauh darinya.
Sepasang mata Beruang
Hitam yang tidak ubahnya bagai orang mengantuk
ini berkedip-kedip. Kemudian sesungging seringai
maut pun menghias bibirnya.
"Setan mana yang berani mengakuiku sebagai pamannya. Hidup sembilan puluh tahun
aku merasa tidak punya keponakan di kolong langit
ini." "Aku bukan setan, paman. Aku Iblis Hitam
yang masih merupakan kaum segolonganmu."
ucap laki-laki berpakaian serba merah ini dengan
suara agak tergetar.
"Hahaha! Iblis Hitam. Aku Beruang Hitam.
Kita sama-sama Hitam, tapi bukan berarti saudara. Julukanmu memang meyakinkan,
namun tindakanmu tidak jauh bedanya dengan seorang pengecut. Bicara terus
terang, bukankah kau menghendaki isi bungkusan ini?" bentak Beruang Hitam
dengan pandangan berapi-api. Maka semakin bertambah pucatlah laki-laki
berpakaian serba hitam
ini demi mendapat kenyataan kalau laki-laki berbadan gembur ini sulit untuk di
ajak kompromi. Tanpa berpikir panjang lagi akan akibatnya Iblis
Hitam menjadi nekad.
"Bicara terus terang. Aku memang menghendaki bungkusan itu, tetapi mana berani
aku bertindak gegabah pada dedengkot rimba persilatan." akhirnya dengan wajah merah
padam Iblis Hitam mengakui.
"Tahukah kau benda apa yang berada dalam bungkusan ini?" geram Beruang Hitam.
"Karena aku mengetahui dengan pasti isi
bungkusan itulah maka aku ingin memilikinya."
kata Iblis Hitam sambil bersikap waspada.
"Hemm." Beruang Hitam menggumam tidak
jelas. Sebagaimana diketahui oleh laki-laki berpakaian serba hitam ini. Orang
yang dihadapinya kali
ini merupakan seorang lawan yang mempunyai
watak aneh. Tindak tanduknya sangat sulit untuk
diduga-duga. Apa yang diperhitungkan oleh Iblis
Hitam ini ternyata terbukti. Pada saat itu juga, Beruang Hitam menjentikkan
jemari tangannya yang
memiliki kuku panjang dan runcing. Dari jari-jari
tangan Beruang Hitam kemudian menderu angin
kencang yang disertai dengan menebarnya hawa
panas ke arah Iblis Hitam.
Laki-laki berbadan tegap ini yang sudah
memperhitungkan segala sesuatunya sejak dari
tadi segera menghindari serangan mendadak yang
dilakukan oleh Beruang Hitam dengan cara membantingkan tubuhnya ke sisi kanan.
Serangan pertama itu dapat dielakkan oleh Iblis Hitam dengan
baik. Tapi celakanya sebelum ia siap dengan posisinya. Serangan lain yang
dilancarkan oleh Beruang Hitam telah melabraknya. Dengan kecepatan yang sangat
sulit untuk diduga-duga. Iblis Hitam terpaksa melontarkan pukulan keras untuk
menjajaki sampai di mana kekuatan pukulan jarak
jauh yang dilakukan oleh lawannya.
Wus! Wus!

Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bledar! Terdengar suara ledakan yang sangat dahsyat ketika dua tenaga sakti itu saling
bertemu. Tapi dalam hal adu tenaga dalam ini nampaknya
Iblis Hitam kalah beberapa tingkat di bawah Beruang Hitam. Terbukti selain
tubuhnya terlempar
agak jauh. Namun dari sela-sela bibirnya mengalir
darah segar. Di lain pihak Beruang Hitam hanya
tergetar saja tubuhnya. Iblis Hitam cepat bangkit
kembali. Tanpa menghiraukan luka dalam yang
dideritanya, sekali ini ia menyerang Beruang Hitam
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Tapi yang menjadi lawannya kali ini
adalah tokoh sesat yang memiliki kepandaian bermacam-macam.
Sehingga ketika melihat Iblis Hitam mempergunakan jurus-jurus silatnya untuk
mendesak lawan.
Beruang Hitam hanya tertawa sambil melayani serangan-serangan gencar lawannya.
"Hiyaa! Hiyaaa!"
Dengan gerakan kilat Iblis Hitam melakukan tendangan terarah ke bagian perut
lawannya. Tangannya terkepal menghantam ke bagian kepala
Beruang Hitam. Sekali ini ia berharap salah satu
dari serangan yang dilakukannya dapat mencapai
sasarannya dengan baik. Namun Beruang Hitam
yang sudah dapat membaca gerakan lawan hanya
dalam waktu sekedipan mata, segera menggeser
kakinya dua langkah ke samping. Dengan tubuh
setengah menunduk dan kedua tangan terkembang ia memapaki tendangan sekaligus
pukulan lawan yang berisi tenaga dalam kuat.
"Hep!"
Dengan perasaan kesal Iblis Hitam cepatcepat menarik balik arus pukulan. Rupanya
ia sadar betul sangat besar resikonya jika harus mengadu tenaga dalam dengan
lawannya yang nyatanyata beberapa tingkat berada di atasnya.
"Hahaha...! Kau memang pantas untuk kujadikan sebagai santapan cacing tanah."
Kembali terdengar suara tawa Beruang Hitam yang dapat
membuat merinding bulu roma siapapun. Dengan
gerakan serta langkah yang agak lambat namun
terarah, sekarang Beruang Hitam berbalik melakukan serangan dahsyat ke arah
lawannya. Sementara itu Pendekar Hina Kelana yang
terus mengawasi jalannya pertempuran antara Iblis Hitam dan Beruang Hitam, mulai
berpikir-pikir untuk menyelamatkan benda yang menggeletak tidak jauh dari tempat pertempuran
itu terjadi. "Aku merasa yakin meskipun mereka tidak
menyebut isi bungkusan itu. Tetapi itulah Patung
Kematian yang menggemparkan itu. Untuk mengambilnya selagi mereka terlihat
pertempuran seperti itu, rasanya tidak pantas untuk kulakukan.
Tetapi...!" Buang Sengketa menjadi ragu-ragu. Sejenak perhatiannya kembali ke
arah pertempuran.
Saat itu dilihatnya Iblis Hitam sudah dalam keadaan terdesak hebat. Bahkan laki-
laki tinggi tegap
berpakaian serba hitam itu hanya mampu menangkis setiap serangan ganas yang
datang tanpa dapat melancarkan serangan balik.
"Sebentar lagi mungkin saja Iblis Hitam tidak mampu berbuat apa-apa. Lebih baik
kutunggu saat-saat yang tepat seperti itu. Jika Iblis Hitam telah mampus di tangan laki-
laki berkepala botak,
saat itulah aku harus berhadapan dengan pencuri
Patung Kematian." gumam Buang sambil terus
memperhatikan jalannya pertempuran. Dan kenyataannya apa yang diperhitungkan
oleh Pendekar Hina Kelana ini tidak lama kemudian segera
terbukti. Iblis Hitam mengeluarkan jeritan keras
ketika jemari tangan lawan menghunjam di bagian
wajah dan lehernya. Dan ketika Beruang Hitam
menyentakkan kuku-kukunya yang menghunjam
dalam dari tubuh lawannya itu. Maka terdengarlah
suara daging serta kulit tercabik-cabik dari tubuh
lawannya. Iblis Hitam tidak mampu mengeluarkan
jeritan lagi. Suaranya terhenti sebatas tenggorokannya yang terputus akibat
disentakkan oleh lawannya. Tidak lama kemudian tubuh laki-laki
berpakaian serba hitam inipun jatuh tersungkur
tanpa mampu bergerak-gerak lagi, mati.
Pendekar Hina Kelana yang melihat kesadisan Beruang Hitam bergidik ngeri. Tapi
sekejap kemudian dari tempat persembunyiannya tubuhnya berkelebat menghampiri Beruang
Hitam yang sedang memandangi mayat Iblis Hitam sambil tertawa-tawa puas bagai orang
sinting. "Ternyata nama Beruang Hitam bukan nama kosong. Hem, baru sekali ini kulihat
seorang manusia memiliki perilaku seperti binatang." kata
Buang dengan sesungging senyum mengejek.
Beruang Hitam tentu saja merasa terkejut
sekali mendengar suara teguran yang tidak disangka-sangkanya itu. Dan laki-laki
berbadan gembur berperut buncit ini lebih terkejut lagi ketika ia
memutar tubuh, entah dari mana datangnya tahutahu seorang pemuda berwajah tampan
berpakaian merah ini telah berdiri tidak jauh di depannya.
"Kau. Siapakah engkau ini" Apakah kau
kawannya kadal buntung yang menginginkan isi
bungkusan itu?" tanyanya sambil menunjuk ke
arah bungkusan yang menggeletak di atas tanah.
Buang berpikir tokoh yang satu ini sebenarnya merupakan figur manusia yang lucu.
Hanya saja ia memiliki watak yang sangat kejam
sekali. Terhadap orang yang satu ini rasanya Pendekar Hina Kelana tidak perlu
basa basi. Itulah
sebabnya dengan tegas ia menjawab.
"Aku bukan kawan Iblis Hitam. Tapi kedatanganku ke mari adalah untuk mengambil
benda yang telah kau curi untuk dikembalikan pada yang
berhak." kata Buang dengan suara tajam menusuk.
Beruang Hitam tersentak kaget, sama sekali
ia tidak menduga kalau kehadiran pemuda itu juga menginginkan benda yang sama.
Baginya hal ini merupakan suatu persoalan yang patut diwaspadai. Sekarang setindak demi
setindak Beruang
Hitam melangkahkan kakinya mendekati Patung
Kematian yang terbungkus kain sutera merah itu.
"Sudah begitu banyak korban berjatuhan
akibat benda yang sangat berharga ini. Apakah
engkau juga ingin mengorbankan nyawa hanya
demi benda ini?" tanya laki-laki berperut buncit ini
sambil menepuk-nepuk bungkusan yang telah berada di tangannya.
Buang mendengus geram, sekarang ia merasa semakin tidak sabar saja menghadapi
tingkah Beruang Hitam yang berubah jadi memuakkan.
"Benda itu ada pemiliknya yang sah. Kalau
sekarang ia berada di tanganmu, semua itu pastilah karena kau merampasnya."
"Hey, bocah! Bicaramu kelewat lancang. Ta-
hukah engkau dengan siapa kau berhadapan!"
bentak Beruang Hitam dengan amarah membara
Pendekar Hina Kelana ini sadar betul siapa
yang dihadapinya kali ini. Namun baginya hal itu
sudah menjadi perhitungannya.
"Yang kutahu, kau tidak lebih dari seorang
tokoh sesat yang terlalu kemaruk dengan bendabenda berharga milik orang lain.
Bicara terus terang lebih baik kembalikan benda itu kepada perguruan Teratai
Putih. Jika tidak aku pasti akan
menghajarmu." bentak Buang hampir tidak dapat
lagi mengendalikan amarahnya.
Beruang Hitam nampak tertegun beberapa
saat lamanya. Dipandanginya Buang Sengketa
dengan tatapan tajam menyelidik. Selama ini rasanya ia belum pernah bertemu
dengan seorang pemuda berpakaian serba merah dengan rambut
dikuncir itu. Tapi sebagai orang yang selalu malang melintang di rimba
persilatan, nampaknya ia
sadar betul bahwa pemuda itu tidak dapat dianggap enteng.
"Hahaha. Kau benar-benar seorang pemuda
pemberani yang pernah kujumpai. Tapi ketahuilah
sama sekali aku tidak pernah mencuri Patung Kematian. Hanya saja aku telah
merampasnya dari
tangan si Tokoh Misterius ketika ia sedang lengah."
"Kalau begitu kalian sama saja. Kukatakan
sekali lagi padamu. Cepat kau serahkan benda di
tanganmu itu." teriak Buang Sengketa dengan suara menggeledek.
Hebatnya Beruang Hitam malah menyam-
butnya dengan tawa.
"Lakukanlah kalau kau mampu." dengus
Beruang Hitam dengan sikap menantang.
Buang sudah dikuasai hawa amarah, akhirnya tidak dapat lagi menahan diri. Dengan
diawali lengkingan tinggi melengking. Dia melepaskan pukulan Si Hina Kelana
Merana, yaitu salah satu pukulan maut yang memancarkan sinar
merah membara ke arah Beruang Hitam. Laki-laki
ini semula ingin tertawa, sekarang malah terperangah. Pukulan yang dilontarkan
oleh Buang Sengketa di samping menimbulkan hembusan angin yang sangat kuat, juga menebarkan
hawa panas luar biasa. Buang memang tidak bertindak setengah-setengah. Apalagi
menyadari lawan yang
dihadapinya merupakan seorang tokoh sesat berilmu tangguh. Maka begitu mengawali
serangannya dia telah melepaskan salah satu pukulan yang
sangat dahsyat. Serangan Buang yang datangnya
laksana kilat membuat Beruang Hitam menjadi kelabakan sesaat. Namun kesempatan
yang hanya sedetik itu telah dimanfaatkan oleh Buang Sengketa dengan sebaik-baiknya.
Blaam! Blaaam! "Uuhgk...!"
Beruang Hitam memekik keras ketika pukulan yang dilakukan oleh lawan menghantam
di bagian dadanya. Laki-laki bertubuh gembur ini jatuh
terjengkang. Dari mulutnya meleleh darah kental.
Buang sendiri langsung terperangah melihat kekebalan yang dimiliki oleh
lawannya. Seperti diketahui, pukulan Si Hina Kelana Merana adalah meru-
pakan pukulan pamungkas yang maha dahsyat.
Jangankan hanya manusia biasa, sedangkan seekor gajahpun akan hangus bila
terkena pukulan
maut itu. Tapi kini Beruang Hitam hanya terluka
dalam menerima pukulan itu. Kenyataan ini membuat, Buang memuji kehebatan lawan
dalam hati. Beruang Hitam sekarang telah bangkit kembali.
Sepasang matanya yang agak sipit itu berkilat-kilat
mengisyaratkan hawa pembunuhan. Nafasnya
memburu tidak jauh bedanya dengan dengusan
banteng yang sedang mengamuk.
"Tidak perduli siapa engkau. Hari ini aku
harus membunuhmu!" desis Beruang Hitam mulai
membuka jurus andalannya yang diberi nama Beruang Hitam Mengusir Lebah.
"Hiaat...!"
Begitu lawan melancarkan serangkaian serangan ganas dengan mempergunakan
kukukukunya yang runcing lagi berbisa. Bergegas
Buang Sengketa berputar sambil melesat ke udara.
Sergapan itu luput. Ketika tubuh Buang Sengketa
kembali menukik ke bawah dengan kaki lurus di
atas, ia kembali melepaskan pukulan Si Hina Kelana Merana dengan mempergunakan
setengah tenaga dalam yang dimilikinya. Angin yang sangat
kencang menderu di sertai bergulung-gulungnya
udara panas bagai bara api. Beruang Hitam yang
kehilangan posisi lawannya tersentak kaget. Begitu
tubuhnya berbalik. Pukulan yang dilepaskan lawannya tepat mengenai dada.
Blaam! "Wuaah...!"
Untuk kedua kalinya Beruang Hitam jatuh
tersungkur di atas tanah berdebu. Seluruh mukanya yang kotor agak basah oleh
keringat bercampur darah yang menetes di bagian hidung.
Buang Sengketa kembali terperangah saat melihat
lawan yang terkena pukulannya itu telah bangkit
kembali seolah tidak merasakan pukulan yang dideritanya.
"Ka... kau memang hebat, orang muda. Gerakan silatmu yang sangat cepat membuat
kepalaku berdenyut-denyut sakit. Tapi jangan kira kau
sudah menang dalam menghadapi aku. Tidak seorangpun di rimba persilatan ini yang
bakal mampu mengalahkan Beruang Hitam!" teriak laki-laki berperut buncit ini sambil tertawa-
tawa bagai orang
sinting. Sekarang tanpa menghiraukan buntalan
yang terjatuh akibat pukulan Pendekar Hina Kelana. Beruang Hitam segera
merentangkan kedua
tangannya. Terdengar suara raungan bagai orang
kesetanan saat laki-laki ini memburu ke arah si
pemuda. Tidak salah lagi Beruang Hitam saat itu
memang telah mempergunakan Ajian 'Raungan Iblis' untuk menghadapi lawannya.
Buang Sengketa tidak tinggal diam, ia sadar lawan kali ini benarbenar mulai mempergunakan
segenap kepandaian
yang dimilikinya. Pada saat itu juga si pemuda
menghentakkan tangannya ke bagian dada lawannya, herannya lawan yang berperut
buncit ini tidak berkelit sama sekali. Sebaliknya dengan cepat
dia menggerakkan jari tangannya yang berkuku
runcing. Buang Sengketa merasa terkejut bukan
main. Dengan cepat tangannya di tarik kembali.
Belum sempat Buang melakukan sesuatu,
mendadak dari arah bawah melesat tendangan telak. Pemuda ini segera
mempergunakan jurus Si
Gila Mengamuk untuk menghindari tendangan lawannya itu. Tubuh Buang Sengketa
terhuyunghuyung bagai seorang pemabukan. Meskipun lawan terus memburunya, namun
berkat jurus Si
Gila Mengamuk serangan Beruang Hitam selalu
mencapai sasaran kosong. Satu kali tendangan Beruang Hitam menyerempet
punggungnya. Buuk! "Aduh...!" Buang Sengketa jatuh terjengkang, manakala tendangan Beruang Hitam
yang mempergunakan tenaga dalam sepenuhnya itu
menghantam punggungnya. Buang merasakan tubuhnya seperti remuk. Sambil terus
bergulingguling menghindari tendangan susulan. Cepat sekali Buang bangkit
kembali. Namun pada saat itu
Beruang Hitam yang sudah kalap sudah mendesaknya dengan jurus Rentangan Cakar
Berbisa. Pendekar Hina Kelana berkelit menghindar, cakaran yang sangat berbahaya itu
berhasil dielakkannya. Lagi-lagi satu tendangan kilat yang tiada diduga-duga


Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendarat di perut Buang Sengketa.
"Argkh...!"
Buang Sengketa terpelanting roboh. Dari
bagian mulutnya meleleh darah segar. Beruang Hitam tersenyum tipis, raut
wajahnya berubah merah menggidikkan. Sebelum Buang Sengketa sempat melancarkan
jalan darahnya yang kacau, Beruang Hitam telah menyerangnya lagi.
"Hiaa...!"
Agaknya kali ini Buang Sengketa yang sedang menderita luka dalam itu tidak mampu
lagi menghindari serangan mematikan yang dilakukan
oleh Beruang Hitam. Terlebih-lebih serangan itu
datangnya terlalu cepat sekali, bahkan sangat sulit
diikuti kasat mata. Pada detik-detik yang kritis itu
terlihat sinar merah menyala yang menebarkan
udara sedingin es. Melihat semua ini Beruang Hitam nampak terperangah wajahnya
bahkan berubah pucat pasi. Masih syukur ia mampu menghentikan arus pukulannya,
bahkan sempat menarik
balik tangannya yang mengancam bagian kepala
Buang Sengketa.
"Pendekar Golok Buntung! Ka... kau Pendekar Hina Kelana?" desis Beruang Hitam
dengan suara bergetar.
Sementara Buang Sengketa sendiri telah
bangkit berdiri. Pusaka Golok Buntung sekarang
telah berada dalam genggamannya. Hawa hangat
terasa mengalir deras dari senjata andalan yang
digenggamnya itu. Rasa sesak yang memenuhi dadanya sekarang sedikit demi sedikit
mulai berkurang, Buang Sengketa perlahan membuka matanya yang terpejam.
Sesungging seringai menggidikkan menghias di bibirnya.
"Sekarang kau benar-benar telah mengetahui siapa aku. Karena kau tidak mau
menyerahkan Patung Kematian secara baik-baik padaku.
Maka sekarang terimalah kematianmu! Haiit...!"
dengan di sertai lengkingan ilmu Pemenggal Roh,
tubuh Pendekar Hina Kelana berkelebat lenyap.
Senjata di tangannya menderu dan menimbulkan
suara bercuitan. Sementara udara di sekelilingnya
berubah dingin luar biasa.
Beruang Hitam terkesiap, ia terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melindungi pendengarannya dari suara lengkingan ilmu Pemenggal Roh yang
dikerahkan oleh lawannya.
"Hees...!"
Ngungg...! Dengan tunggang langgang Beruang Hitam
berusaha menghindari sergapan senjata di tangan
lawannya. Tapi usaha-usaha seperti itu hanya beberapa kali saja berhasil
dilakukannya. Sampai
pada satu waktu, tubuh Buang Sengketa berputar
cepat mematikan setiap gerak langkahnya. Pusaka
yang menebarkan hawa sedingin badai es itupun
menyambar ke bagian perut Beruang Hitam.
Nguuung...! Craak! Craaak! "Aarrrhkg...!" Beruang Hitam melolong bagai
serigala terluka saat bagian perutnya terbelah. Isi
perut memburai keluar disertai menyemburnya
darah dari luka itu.
"Ka... kau memang hebat, boc... aaah...!"
Beruang Hitam jatuh tersungkur dengan tubuh
menekuk. Seketika itu juga nyawanya melayang
meninggalkan raga. Buang menarik nafas lega,
namun begitu berpaling ke arah buntalan. Ia melihat sesosok bayangan berkelebat
menyambar buntalan itu, kemudian berlari cepat ke arah lain.
Pendekar Hina Kelana hanya sesaat saja sempat
terperangah. Kemudian...
"Hei... berhenti! Tinggalkan Patung Kema-
tian!" teriak Buang Sengketa. Karena bayangan itu
terus berlari, maka pemuda inipun segera melakukan pengejaran. Tapi bayangan
hijau itu cepat bukan main. Buang Sengketa terpaksa mengerahkan
Ajian Sepi Angin untuk menyusul orang di depannya. Hanya dalam waktu singkat ia
berhasil mempersempit jarak. Di luar dugaan orang yang dikejarnya menyambitkan
senjata rahasia ke arahnya.
"Keparaaat!" Buang bersalto beberapa kali
untuk menghindari serangan itu. Begitu ia menjejakkan kakinya, bayangan hijau
itu telah lenyap
dari hadapannya.
"Tidak salah lagi, orang yang mempergunakan senjata rahasia pastilah si Tokoh
Misterius...!"
gumamnya sambil terus bergerak ke arah hilangnya bayangan tadi.
*** 5 Setelah lebih dari satu purnama Pendekar
Hina Kelana yang ditunggu-tunggu oleh Wiku
Swanda tidak kembali juga ke perguruan Teratai
Putih. Maka laki-laki berusia lanjut ini kemudian
memutuskan untuk segera menyusulnya sekaligus
mencari Patung Kematian yang telah jatuh ke tangan golongan sesat. Pagi itu
dengan mempergunakan kuda-kuda tunggangan. Berangkatlah Wiku
Swanda dengan disertai oleh lima belas orang muridnya. Di sepanjang jalan yang
mereka lalui, tidak
seorangpun diantara mereka yang berani buka bicara. Yang terdengar hanyalah
derap langkah kuda
mereka yang dipacu dengan kecepatan luar biasa.
Kuda-kuda tunggangan itu terus menelusuri jalan berbatu kapur menuju arah Utara.
Menjelang setengah hari, Wiku Swanda dan rombongan
telah jauh meninggalkan daerah Bayur Kemuning
yaitu tempat perguruan yang mereka tinggalkan.
Kecepatan kuda terus dipacu hingga terdengar suara hiruk pikuk memekakkan
telinga. Dan debu
tebal nampak mengepul tinggi di angkasa. Ketika
mereka sampai di sebuah tikungan jalan tiba-tiba
kuda-kuda yang mereka tunggangi meringkik keras. Bahkan beberapa diantaranya ada
yang melonjak-lonjak, sehingga membuat murid-murid Wiku Swanda jatuh
terpelanting dari atas punggung
kuda. Serentak dalam waktu yang bersamaan terdengar suara bentakan-bentakan
nyaring dari sebelah kiri bukit.
"Berhenti...!"
Belum lagi gema suara teriakan itu hilang
dari pendengaran penunggang kuda ini, dari kanan dan kiri jalan itu nampak
berlompatan beberapa sosok tubuh berpakaian kuning gading. Dalam waktu yang
singkat sepuluh orang berpakaian
kuning bertampang kasar telah mengepung rombongan perguruan Teratai Putih yang
di pimpin oleh Wiku Swanda.
"Siapa kalian!" tanya Wiku Swanda sambil
memperhatikan orang-orang yang telah mengepung mereka itu satu demi satu.
Kemudian ketua perguruan Teratai Putih itu melihat salah seorang
diantara mereka maju dua langkah mendekati kuda Wiku Swanda. Ketua perguruan
Teratai Putih itu terdiam, tapi pandangan matanya terus memperhatikan gerak-gerik laki-laki
bercambang serta
bawuk lebat. "Hahaha! Kalau tak salah, anda semua merupakan orang-orang dari perguruan
Teratai Putih. Dan yang paling tua dan hendak masuk kubur,
pastilah Wiku Swanda. Hemm. Kelihatannya akhirakhir ini anda sibuk sekali, Wiku"
Apakah anda merasa bingung untuk menyembunyikan Patung
Kematian supaya aman dari incaran kalangan
rimba persilatan" Kalau begitu alangkah baiknya
jika Wiku menyerahkan Patung Kematian kepada
kami agar selalu dalam keadaan aman." kata lakilaki berpakaian kuning yang
menjadi pimpinan
sembilan orang lainnya sambil tersenyum licik.
Wiku Swanda maupun murid-muridnya sudah barang tentu menjadi marah atas sikap
lancang orang-orang yang tidak mereka kenal itu.
Bahkan dua orang murid perguruan Teratai Putih
itu tanpa berkata apa-apa langsung mencabut pedangnya. Tetapi niat mereka untuk
menerjang laki-laki bersenjata tombak pendek berwarna putih
ini menjadi urung begitu melihat guru mereka
mengangkat tangannya memberi isyarat.
Tidak lama setelah itu, Wiku Swanda kembali berpaling pada laki- laid yang
menjadi pimpinan gerombolan itu. Sekejap diamatinya orang itu
dengan pandangan tajam menusuk.
"Umur seusia jagung. Kalian kelompok garong dari manakah, sehingga begitu berani
meng- guruiku orang yang sudah tua bangka?" bentak
Wiku Swanda dengan suara menggelegar.
Beberapa orang diantara mereka nampak
terkesiap ketika mendengar ucapan Wiku Swanda
yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam
yang sangat tinggi. Namun yang menjadi ketua
orang-orang berpakaian kuning bersenjata tombak
pendek ini malah tertawa tergelak-gelak.
"Wiku, suaramu yang melengking itu hanya
pantas untuk mengusir monyet-monyet di hutan.
Ah... mengapa tidak kau serahkan saja Patung
Kematian itu kepada kami, agar semua urusan
menjadi beres."
"Kalau itu yang kalian inginkan. Lebih baik
kalian bermimpi telah mendapatkan benda itu daripada mendapatkannya secara
kenyataan tapi jiwa kalian tidak dapat diselamatkan...!" ucap Wiku
Swanda dengan sikap tenang berwibawa.
"Hemm. Kau tidak bisa menggertak si Tombak Perak dengan segala bualanmu itu,
Wiku. Dan kami akan membuktikannya." teriak ketua Tombak Perak. Selanjutnya tanpa berkata
apa-apa lagi ia memberi isyarat pada sembilan orang bawahannya. Tanpa menunggu di perintah
dua kali. Sembilan orang bawahan laki-laki berbadan tinggi besar
ini mencabut senjata mereka yang berupa sebilah
tombak pendek berwarna putih keperakan dari
pinggang mereka. "Hiyaa...!"
Secara serentak dengan disertai teriakanteriakan melengking tinggi kesembilan
orang-orang bawahan si Tombak Perak atau Rahasia ini menerjang Wiku Swanda dan murid-
muridnya yang su-
dah berlompatan dari punggung kuda menyambut
kedatangan serangan ganas orang-orang berpakaian kuning gading ini.
Tidak terelakkan lagi pertempuran sengitpun terjadi. Masing- masing lawan telah
mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya.
Bahkan di pihak murid-murid perguruan Teratai
Putih pun telah pula mengeluarkan senjata mereka yang berupa sebilah pedang
berwarna putih mengkilat karena ketajamannya. Pada kenyataannya meskipun bawahan Tombak Perak
hanya berjumlah sembilan orang, namun dalam melakukan
penyerangan gerakan mereka sangat cepat dan gesit. Mereka terus merangsak murid-
murid Wiku Swanda yang berjumlah lima belas orang ini. Menyadari betapa berbahaya serangan
tombak yang menimbulkan angin menderu-deru ini. Muridmurid perguruan Teratai Putih laksana
kilat langsung memutar pedang mereka sehingga membentuk perisai diri yang begitu
kokoh. "Haiit! Shaaa..!"
Begitu beberapa orang bawahan Rahasia
berhasil menerobos pertahanan murid-murid Wiku
Swanda. Maka tiga orang diantaranya langsung
terpelanting roboh dengan dada tertembus tombak
pendek di tangan lawannya. Semua yang terjadi
pada murid-muridnya kiranya tidak terlepas dari
perhatian Wiku Swanda yang sudah mulai menjatuhkan bawahan Rahasia hanya dengan
mengandalkan jurus-jurus tangan kosong saja. Tentu saja
laki-laki berusia tujuh puluhan ini menjadi sangat
marah sekali. "Keparaat. Kalian memang benar-benar ingin cepat di buat mampus!" dengus Wiku
Swanda sambil menerjang lawannya yang bersenjata tombak itu dengan serangan-serangan
yang sangat mematikan. Dengan tendangan-tendangan kakinya
yang disertai tenaga dalam yang tinggi, beberapa
kali ia berhasil membuat tersungkur lawannya
dengan dada hancur akibat terhantam tendangan
yang menggeledek tadi. Tapi tidak sampai di situ
saja Wiku yang sudah dirasuki hawa amarah ini
bertindak. Beberapa kali ia melontarkan pukulan
keras ke arah bawahan Rahasia yang hanya tinggal beberapa orang itu. Melihat
gelagat yang kurang menguntungkan ini Rahasia segera bertindak
cepat dengan menghentakkan tangannya ke arah
Wiku Swanda. Wus! Terasa adanya sambaran angin berhawa
panas luar biasa menderu ke arah laki-laki berusia
lanjut ini. Selanjutnya benturan keras pun terdengar, membuat seisi dada bagai
terguncang. Bledaar...! "Wuaakh...!"
Tubuh ketua perguruan Teratai Putih itu
tergetar hebat. Dirasakannya telapak tangannya
berdenyut-denyut sakit. Namun setelah mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melancarkan jalan
darahnya yang agak kacau, sebentar kemudian
keadaan tubuhnya sudah kembali seperti biasa. Di
pihak Rahasia sendiri selain tubuhnya sempat terbanting roboh, namun ia juga
merasakan pukulannya membalik seolah telah membentur tembok
baja. Bahkan selain ia merasakan dadanya sesak
luar biasa. Namun juga dari celah-celah bibirnya
telah mengalir darah segar. Sekarang sadarlah ketua Tombak Perak itu betapa
lawan yang dihadapinya kali ini memiliki tenaga dalam yang berada
jauh di atasnya.
Namun orang yang satu ini nampaknya tidak ingin bersurut langkah. Meskipun saat
itu ia melihat seluruh bawahannya telah terbunuh di
tangan Wiku Swanda dan murid-muridnya. Dengan cepat laki-laki berpakaian kuning
gading ini telah bangkit kembali. Kemudian dipandanginya
murid-murid perguruan Teratai Putih yang hanya
tinggal sepuluh orang. Dengan perasaan geram ia
menoleh ke arah Wiku Swanda yang juga sedang
memandang ke arahnya dengan tatapan tajam
menusuk. "Kau hebat, Wiku! Tapi kau jangan bangga


Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulu, karena aku sama sekali belum kalah. Satu
yang perlu kau ingat bahwa Patung Kematian harus dapat kumiliki."
"Kau benar-benar manusia yang tolol. Apa
yang kau harapkan dari pertarungan ini sedangkan aku sendiri sekarang sedang
berusaha menemukan kembali Patung Kematian yang telah di
rampas oleh orang lain...!" sahut laki-laki itu merasa geli sendiri. Tapi mana
mungkin ketua Tombak Perak ini percaya dengan kata-kata Wiku
Swanda. Sebagai orang yang datang dari sebuah
tempat yang jauh dari kaki gunung Cimanuk sana
tentu saja berita tentang Patung Kematian yang
sedang ramai dibicarakan oleh orang-orang rimba
persilatan menarik perhatiannya. Apalagi seperti
yang didengarnya patung itu selain mengandung
racun yang sangat ganas. Juga di dalam tubuh patung itu tersimpan pelajaran ilmu
silat yang sangat
tinggi. Hal ini tentu saja menarik minat Rahasia
yang selalu keranjingan terhadap berbagai ilmu silat. Itulah sebabnya dari
tempat yang jauh di bagian Tenggara sana ia rela menempuh perjalanan
yang sangat jauh dan melelahkan, semata-mata
hanya ingin merebut Patung Kematian dari tangan
Wiku Swanda. Tidak heran jika begitu bertemu ketua perguruan Teratai Putih ini
sama sekali tidak
mengenali si Tombak Perak karena sebelum itu
mereka memang tidak pernah bertemu sama sekali.
Sekarang setelah berhadapan langsung
dengan Wiku Swanda. Laki-laki tua itu mengatakan Patung Kematian telah hilang
dari perguruannya. Mana mungkin Rahasia bisa percaya
begitu saja. "Hmm...!" Wiku Swanda menggumam tidak
jelas. Namun perhatiannya tetap tertuju pada Rahasia yang nampak tercenung
seolah-olah sedang
memikirkan sesuatu.
"Aku tidak percaya patung itu telah hilang,
Wiku...!" katanya kemudian setelah agak lama
hanya berdiam diri. Ketua perguruan Teratai Putih
itu tersentak kaget. Hal ini bukan karena Wiku
Swanda merasa gentar menghadapi si Tombak Perak. Namun disebabkan sikap Rahasia
yang ngotot, seolah ia merupakan pemilik Patung Kematian.
Padahal sejak beradunya tenaga dalam tadi, jelasjelas Wiku tua ini dapat
merasakan betapa tenaga
dalam yang dimilikinya jauh berada di atas lawannya. Apakah dengan kenyataan ini
Rahasia masih juga belum tahu gelagat"
"Kalau kau tetap tidak percaya, silahkan
mampus saja!" geram Wiku Swanda. Kemudian setelah menghembuskan nafasnya dalam-
dalam, ketua perguruan Teratai Putih ini mendadak berteriak keras menggelegar.
Seketika itu juga tubuhnya melesat secepat kilat ke udara. Ketika sebentar
kemudian tubuhnya telah meluncur kembali ke
bawah. Maka Wiku Swanda telah melontarkan pukulan jarak jauh ke arah Rahasia. Si
Tombak Perak yang sudah merasakan kehebatan lawannya
sejak gebrakan-gebrakan pertama tadi, sekarang
terlihat nampak berhati-hati sekali. Terbukti ketika
ia merasakan angin keras menderu dari atas kepalanya. Dengan gerakan luar biasa
cepatnya ia membanting dirinya sambil memutar tombak pendek di tangannya. Terdengar suara
mendengungdengung ketika tombak perak di tangan Rahasia
diputar laksana baling-baling. Dalam keadaan seperti itu tentu merupakan
kesulitan tersendiri bagi
Wiku Swanda yang tidak menyangka akan mendapat serangan balik ini. Dengan cepat
ia menghentikan arus pukulan. Namun ketika kakinya telah
menjejak di atas tanah, Wiku Swanda segera melepaskan pukulannya kembali.
"Hiyaa!"
Dengan jari-jari terkembang membentuk
kuntum bunga teratai, laki- laki berusia lanjut ini
mendorongkan kedua tangannya ke depan. Ketika
tangan itu telah menghantam ke arah lawan. Maka
gelombang hawa panas yang disertai gemuruh suara angin menghantam pertahanan
Rahasia. Lakilaki dari lereng gunung Cimanuk ini langsung tersentak ke belakang.
Tombak pendek yang ia pergunakan untuk melindungi diri terpental jauh dan
jatuh entah ke mana. Dapat dibayangkan betapa
kerasnya pukulan yang dilakukan oleh Wiku
Swanda ini. Wajah Rahasia langsung berubah pucat seputih kain kafan, tapi rasa
keterkejutannya itu tidak berlangsung lama, karena pukulan yang dilancarkan oleh
Wiku Swanda telah kembali menderanya. Sedapat-dapatnya Rahasia berusaha
menyelamatkan diri dari pukulan maut yang terus
memburunya ke mana pun ia berusaha menghindar.
"Heaa..!"
Ketua Tombak Perak ini mengibaskan tangannya. Kemudian beberapa batang tombak
yang lebih pendek dan sangat tipis meluncur dari telapak tangannya itu. Tetapi
pukulan yang dilakukan
oleh Wiku Swanda datangnya lebih cepat lagi dari
dugaan laki-laki itu.
Brees! "Aaa...!" terdengar jeritan Rahasia yang melengking tinggi ketika pukulan Kuntum
Bunga Teratai yang dilepaskan lawan dengan telak menghantam tubuhnya. Untuk yang
kesekian kalinya
Rahasia jatuh terpelanting. Sementara tombaktombak pendek yang disambitkan oleh
Rahasia dengan baik dapat dihindari oleh Wiku Swanda,
sehingga senjata-senjata itu mengenai tempat kosong.
"Ka... kau...!" Rahasia yang sudah terluka
parah itu nampak ingin mengatakan sesuatu.
Tapi niatnya itu tidak pernah kesampaian
karena ternyata ajal lebih cepat menjemputnya.
Melihat kematian lawannya, ketua perguruan Teratai Putih ini langsung menarik
nafas dalamdalam. Hanya sekejap dipandanginya mayat Rahasia yang mulai dingin
membeku. Ketika laki-laki
berpakaian serba putih ini memandang pada murid-muridnya. Maka dilihatnya mereka
sedang sibuk mempersiapkam kubur buat lima orang saudara seperguruan mereka yang
menjadi korban serangan anak buah Tombak Perak.
"Berapa orang kawan-kawan kalian yang
tewas, Narada?" tanya laki- laki itu pada salah seorang murid tertuanya.
"Semuanya ada lima orang, Eyang guru!"
sahut Narada dengan sikap hormat.
"Kalau begitu cepat selesaikan penguburan
mereka. Setelah itu kita secepatnya harus meneruskan perjalanan kembali."
perintah Wiku Swanda dengan perasaan sulit diduga-duga. Pada
saat itu Narada tanpa berkata apa-apa segera
mengerjakan apa yang diperintahkan oleh guru
mereka. Sepuluh orang murid perguruan Teratai
Putih bahu membahu menguburkan kawan-kawan
mereka sehingga pekerjaan menguburkan mayat
pun hanya dalam waktu yang singkat telah selesai.
Siang itu juga Wiku Swanda dan sepuluh orang
muridnya kembali meneruskan perjalanan mereka
yang sempat tertunda.
*** 6 Buang merasa kesal sekali ketika ia kehilangan jejak orang yang diburunya.
Padahal hari sudah mulai beranjak malam. Udara terasa dingin
dengan datangnya hembusan angin yang sangat
kencang. Namun suasana seperti itu tidak membuat Pendekar Hina Kelana ini
menghentikan pencariannya. Patung Kematian sangat perlu untuk di
selamatkan, terlebih-lebih ia pernah berjanji pada
ketua perguruan Teratai Putih untuk mendapatkan patung itu kembali dalam waktu
secepatnya. Tapi setelah lebih dari satu purnama Buang
melakukan pencarian, hingga kini ia masih belum
berhasil mendapatkan benda itu. Hal ini yang merisaukan hatinya.
Semua itu merupakan masalah nasib, jika
saja saat itu tidak muncul si Tokoh Misterius dan
melarikan Patung Kematian. Tentu saja sekarang
ini ia telah kembali ke perguruan Teratai Putih untuk menyerahkan benda yang
diperebutkan itu.
Buang menggerutu kesal. Meskipun begitu dalam
keadaan malam yang hanya diterangi oleh cahaya
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 15 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Sang Ratu Tawon 3
^