Pencarian

Penghuni Goa Kramat 2

Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat Bagian 2


Ketika mereka membelok pada sebuah tikungan, tiba-tiba salah seorang murid
perguruan Merak Emas yang bernama Ayu Ningsih menghentikan langkahnya. Apa yang dilakukan
oleh Ayu Ningsih, sudah tentu membuat Nyai Surti terheran-heran.
"Apa yang kau lihat, Ayu...?" tanya perempuan setengah baya ini sambil memandang
ke jurusan depan.
"Guru lihatlah...!" kata Ayu Ningsih menudingkan telunjuknya.
"Nampaknya orang itu memerlukan pertolongan, Ayu...!" ujar ketua perguruan Merak
Emas setelah memperhatikan sejenak lamanya.
Tanpa menunggu perintah, mereka pun
bergegas mendekati orang berjubah putih yang kelihatan terus berguling-guling di atas tanah. Namun ketika mereka semua sampai di tempat itu,
mendadak wajah mereka berubah pucat. Kedua
mata mereka membelalak seakan tidak percaya
melihat pemandangan yang terjadi di depan mereka. Bagaimana tidak, tadinya
mereka melihat lakilaki itu nampak seperti sedang membutuhkan pertolongan.
Bahkan dengan jelas mereka melihat
orang itu seperti sedang kedinginan yang tiada tertahankan. Namun ketika mereka
tiba di tempat itu
dengan maksud memberikan pertolongan. Tidak
mereka sangka laki-laki itu sedang mengalami perobahan bentuk. Mula-mula bagian
wajahnya ditumbuhi dengan bulu-bulu kasar berwarna cokelat
kehitam-hitaman. Selanjutnya di sela-sela bibirnya
keluar pula dua pasang taring panjang lagi tajam.
Bahkan mulut orang itu tidak henti-hentinya mengeluarkan suara lolongan. Mula-
mula suaranya hanya lirih saja, namun semakin lama semakin
keras dan jelas. Lebih dari itu, sekarang pada bagian ujung-ujung jemarinya
telah pula keluar kuku-kuku yang panjang lagi runcing. Serta merta siluman
serigala itu telah melompat berdiri. Sepasang matanya yang memerah sudah nampak
berkilat-kilat penuh nafsu membunuh.
"Siluman serigala...!" desis Ayu Ningsih.
Dengan cepat murid utama perguruan Merak
Emas ini mencabut pedangnya. Apa yang dilakukan oleh Ayu Ningsih kemudian
diikuti oleh yang
lainnya. Tidak ketinggalan ketua perguruan Merak
Emas pun segera pula melolos pedang pusakanya.
Agaknya mereka menyadari betapa manusia siluman itu merupakan seorang lawan
tangguh yang tidak dapat di anggap sembarangan.
"Cepat kurung dia...!" perintah Nyai Surti
tanpa ayal-ayalan lagi.
Secara serentak lima orang muridnya langsung mengepung manusia siluman itu dari
her- " bagai penjuru. Perlu diketahui perguruan Merak
Emas sungguhpun bukan merupakan sebuah perguruan yang cukup besar. Namun
perguruan yang dipimpin oleh Nyai Surti itu merupakan sebuah
perguruan yang sangat disegani, baik oleh kawan
maupun lawan. Empat penjuru dunia persilatan
mengenal perguruan Merak Emas justru karena
kehebatannya dalam memainkan ilmu pedang, lebih dari itu mereka juga bahkan
menguasai ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf
sempurna. Tidak heran ketika mereka secara serentak
mengepung siluman serigala itu dalam gebrakan
pertama saja senjata di tangan mereka langsung
berkelebat, menyambar ke arah pertahanan lawan
yang mereka anggap lemah. Akan tetapi manusia
siluman yang mereka hadapi kali ini merupakan
seorang lawan, selain memiliki ilmu kebal juga
memiliki berbagai ilmu simpanan yang tidak dapat
dianggap remeh. Hujan senjata yang dilakukan
oleh orang-orang perguruan Merak Emas dilayaninya dengan tangkisan tangan kosong
serta di balas pula dengan serangan-serangan kuku-kuku
yang runcing itu. Terasa adanya sambaran angin
bersiuran manakala kuku-kuku runcing yang telah meminta korban begitu banyak ini
menyambar bagian wajah dan dada murid-murid perguruan
Merak Emas. Acapkali mereka terpaksa menarik
balik serangan pedangnya bahkan secepatnya melindungi diri dari cakaran maupun
terkaman yang dilakukan oleh manusia siluman itu.
Pertarungan sengit itupun terus berlangsung. Namun sejauh itu masih belum ada
tandatanda jatuhnya korban. Padahal dalam waktu yang
singkat itu pertarungan telah berlangsung lebih
dari tiga puluh jurus. Di lain saat setelah berhasil
keluar dari kepungan dan babatan senjata lawannya. Manusia siluman itupun dengan
cepat segera merobah jurus-jurus silatnya. Mula-mula manusia
siluman ini membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Selanjutnya dengan
disertai suara lolon-
gan setinggi langit. Tubuhnya berputar-putar.
Bahkan putaran tubuh makhluk menakutkan itu
semakin lama semakin kencang luar biasa. Lebih
dari itu, tubuh yang dalam keadaan berputarputar itu selanjutnya melakukan
gerakan-gerakan
yang sangat aneh. Di lain saat berkelebat menyambar ke arah lawan yang paling
dekat dengan dirinya. Wuut! Brebet... brebet...!
Terdengar adanya suatu benda yang terobek
saat kedua tangannya melakukan sambaran berturut-turut. Dua murid perguruan
Merak Emas tersungkur roboh dengan sebuah luka di bagian
perut. Tubuh kedua gadis itu nampak berkelojotan
sebentar selanjutnya terdiam untuk selamalamanya. Apa yang dialami oleh saudara
seperguruannya, ternyata membuat amarah murid-murid
lainnya terbangkitkan. Sekarang dua orang murid
merangsak dalam jarak dekat. Serangan pedang
mereka menggebu-gebu. Bahkan beberapa kali,
tusukan pedang mengarah pada bagian perut berhasil mencapai sasarannya. Tetapi
mereka harus menelan kekecewaannya ketika dengan mata kepala sendiri yang menjadi lawan kali
ini merupakan siluman yang kebal terhadap senjata tajam.
Semuanya sudah kepalang basah. Mereka
nampaknya merasa tidak mempunyai pilihan lain
lagi, terkecuali menggempur manusia siluman itu
dengan segenap kemampuan yang mereka miliki.
Sebelum ketua perguruan Merak Emas melakukan
tindakan lebih jauh lagi. Kembali terdengar suara
jeritan menyayat hati. Seorang murid Nyai Surti
kembali tergelimpang dengan tubuh berlumuran
darah. Bahkan belum lagi hilang kegusaran wanita
itu, dua murid perguruan Merak Emas nampak
terhuyung-huyung sambil memegangi bagian lehernya yang tersambar cakaran manusia
siluman itu. Murid perguruan Merak Emas yang malang inipun terpaksa menyusul saudara-
saudaranya yang
lain. Sekarang tinggallah Ayu Ningsih dan Nyai
Surti. Guru dan murid satu-satunya ini kelihatan
sudah sedemikian kalapnya. Sejauh itu keduanya
tetap mempergunakan akal sehat agar tidak terbawa perasaan yang mungkin saja
akan membawa akibat celaka bagi mereka.
Sementara pertarungan terus berlanjut. Dalam puncak kemarahannya itu, Nyai Surti
memberi aba-aba pada muridnya.
"Ayu! Pergunakan jurus andalan Merak
Emas Kembangkan Sayap...!" perintahnya melalui
ilmu menyusupkan suara.
Tanpa berkata apa-apa, gadis itu nampak
melompat menjauhi pertempuran. Sekarang ia
mencabut sebuah pedang lainnya yang terselip di
bagian pinggang sebelah kiri. Dengan mempergunakan dua buah pedang. Tubuh Ayu
Ningsih selanjutnya telah pula berkelebat lenyap. Tubuhnya
sekarang telah terbungkus sinar putih yang berasal dari kelebatan pedang di
tangannya yang berubah cepat luar biasa. Sebaliknya Nyai Surti pun
melakukan hal yang sama. Kali ini ketua perguruan Merak Emas ini pun segera
mencabut pedang
pusaka lainnya. Terdengar bunyi mendengungdengung laksana ribuan suara lebah
yang keluar dari sarangnya. Saat mana Nyai Surti menggelar
jurus Merak Emas Kembangkan Sayap.
Siluman serigala itu nampaknya merasa kerepotan juga menghadapi serangan yang
datangnya bagai air bah itu. Dalam situasi seperti itu
manusia siluman juga mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. Setelah
beberapa kali berhasil menghindari sergapan mata pedang yang
datangnya dari dua penjuru. Maka manusia siluman inipun segera mengerahkan
pukulan 'Siluman Serigala Memburu Mangsa'. Beberapa
kali manusia jejadian ini mendengus, mulutnya
menyeringai memperlihatkan taring-taringnya
yang tajam dan panjang. Sementara itu matanya
yang berkilat-kilat dalam kegelapan malam itu
nampak memancarkan sinar merah laksana bara.
Sebaliknya Nyai Surti dan Ayu Ningsih tanpa
menghiraukan apa yang dilakukan oleh manusia
siluman itu terus berusaha merangsak lawannya
dengan cara memperhebat serangan-serangannya.
"Auuung...!"
Manusia siluman itu melolong panjang. Pada saat itu kedua belah tangannya yang
mulai mengepulkan uap putih kebiru-biruan itu sudah
berubah warna menjadi hitam legam.
"Graauuung...! Weeeest...!"
Tanpa membuang-buang waktu lebih lama
lagi, manusia siluman tersebut menghantamkan
pukulannya kedua arah. Tak ayal lagi pukulan itu
laksana kilat meluruk ke arah lawan-lawannya.
Baik Ayu Ningsih maupun Nyai Surti yang melihat
datangnya pukulan yang berbahaya itu berbalik
memutar pedangnya untuk melindungi diri. Sekarang tubuh mereka benar-benar telah
terbungkus oleh gulungan sinar putih laksana perak.
Bldaarr! Bldaaar...!
Terdengar dua ledakan berturut-turut ketika pukulan yang dilancarkan oleh
manusia siluman itu membentur pertahanan lawannya. Tubuh
laki-laki berkepala serigala itu sempat terhuyunghuyung beberapa tindak ke
belakang. Sementara
Nyai Surti sendiri jatuh kerengkangan sejauh tiga
tombak. Perempuan itu kelihatannya menderita
luka dalam yang tidak ringan. Dan pabila ia menoleh ke arah Ayu Ningsih. Maka ia
melihat murid kesayangannya itu sudah terkapar di bawah sebatang pohon. Melihat keadaan
tubuhnya yang berubah hitam kebiru-biruan itu. Nyai Surti sudah dapat merasakan
bahwa Ayu Ningsih sudah tidak
dapat diselamatkan lagi.
Tidak terperikan betapa marahnya perempuan itu melihat kematian yang dialami
oleh murid kesayangannya itu. Perasaan sedih bercampur
dengan amarah. Membuat wajah Nyai Surti berubah merah padam. Pandangan matanya
yang semula penuh welas asih. Sekarang telah pula berubah menjadi beringas dan
penuh dengan isyarat
membunuh meledak-ledak.
"Seumur hidupku. Engkaulah bangsat siluman yang paling buas diantara yang pernah
ku temui. Ahkh... kau benar-benar makhluk keparat
yang harus dibinasakan meski pun harus menggunakan seribu satu macam cara."
teriak Nyai Surti. Sementara kedua pedang di tangannya terus berputar-putar tanpa henti. "Manusia
keparaaat! Aku pasti tidak dapat mati dengan mata terpejam sebelum engkau mampus
di tanganku."
bentaknya lagi.
"Hiaaat. Haiiit...!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, dengan sisasisa kemampuan yang dimilikinya perempuan
itu kembali menerjang lawannya. Pedang di tangannya
membabat ke arah bagian leher, sedangkan yang
satunya lagi menebas ke bagian kaki. Si manusia
siluman menyeringai memperlihatkan taringtaringnya yang panjang. Tiada diduga-
duga manusia jejadian itu melakukan satu tendangan memutar ke arah bagian perut
Nyai Surti, sedangkan
tangannya menyambar ke arah pedang yang berkelebat ke arah bagian pangkal
tenggorokannya.
Rupanya ketua perguruan Merak Emas yang sudah nekad itu tidak mempunyai
keinginan untuk
menarik balik serangannya. Meskipun ia menyadari tendangan yang dilakukan oleh
lawan sebenarnya jauh lebih berbahaya dari sambaran jari tangan yang berkuku
panjang itu. Traaak...! Tidak ubahnya bagai membentur batu gunung saja layaknya ketika senjata Nyai
Surti berhasil menghantam bagian tenggorokan manusia siluman. Sebaliknya yang
menjadi lawannya juga
berhasil menghantamkan kakinya ke bagian perut
Nyai Surti. Perempuan berusia empat puluh tahun
itu kembali terjengkang roboh. Darah kental
menggelogok dari sela bibirnya. Wajahnya bahkan
nampak pucat sekali. Di lain pihak begitu melihat
lawannya sudah tiada berdaya, manusia siluman
yang telah menjatuhkan lima orang korban ini
nampak menggerung sesaat. Mungkin ada sesuatu
yang terlintas di dalam pikirannya. Hingga akhirnya ia melarikan diri begitu
saja meninggalkan
Nyai Surti yang berusaha mengobati luka dalamnya dengan cara mengerahkan hawa
murni. 6 Senja hanya tinggal bayang-bayang merah
belaka, suasana di jalan yang menuju ke Goa Keramat terasa sunyi. Hanya pemuda
berpakaian serba merah itu saja yang terlihat berjalan gontai
menelusuri jalan itu. Sesekali terdengar pula helaan nafasnya yang terasa berat.
Seolah ada sesuatu yang teramat besar menghimpit rongga dadanya
sehingga membuatnya sulit untuk bernafas.
"Siluman serigala itu ternyata sangat sakti


Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Seumur hidup aku belum pernah melihat
seorang manusia siluman yang memiliki kekebalan
tubuh yang luar biasa seperti dia. Bahkan mungkin pusaka Golok Buntung tidak
mampu menembus kulit tubuhnya. Apa akalku sekarang" Aku tidak dapat membiarkan
manusia siluman itu berkeliaran bebas lebih lama lagi. Tapi selama aku tidak
mengetahui di mana letak kelemahan makhluk itu. Maka sangat sulit bagiku untuk
menjatuhkan manusia siluman itu. Mungkin jalan satusatunya yang harus kutempuh
adalah menjumpai
roh guruku Si Bangkotan Koreng Seribu. Hanya
dengan petunjuk dari dia sajalah aku dapat menyelesaikan semua tugas-tugasku
dengan baik. Dan semua itu baru dapat kukerjakan jika aku telah mempergunakan ajian 'Tinggal
Rogo'...!" gumam pemuda itu sambil menghentikan langkahnya, kemudian setelah
memperhatikan situasi
yang terdapat di sekitarnya. Buang Sengketa segera melesat ke sebuah tempat yang
tersembunyi. Sejenak ia menarik nafas panjang. Barulah setelah
Buang Sengketa merasa yakin betul bahwa keadaan di sekelilingnya dalam keadaan
aman. Pemuda inipun segera melipat kedua tangannya di depan dada. Kemudian
setelah memejamkan kedua
matanya ia berusaha mengosongkan alam pikirannya. Keadaan seperti itu
berlangsung cukup lama,
hingga sampai kemudian.
Plaaass! Terlihat benda berbentuk kabut putih keluar dan langsung melesat meninggalkan
jasad kasarnya. Betapa hebatnya ajian 'Tinggal Rogo' yang
dimiliki Buang Sengketa itu sehingga dengan seizin
sang Hyang Tunggal ia dapat menempuh perjalanan di alam gaib.
Ketika kemudian roh Pendekar Hina Kelana
telah bergerak jauh meninggalkan jasad kasar-nya.
Maka dari arah depan ia melihat kilauan cahaya
berwarna putih yang tidak jauh bedanya dengan
kain kafan. Cahaya itu berpendar menyilaukan
mata. Plaass...! Begitu cahaya putih itu mendekati Buang
Sengketa, maka terlihatlah secara samar roh Si
Bangkotan Koreng Seribu.
"Hem. Kembali kau berkeliaran ke alam roh,
apakah kau masih ingin mengatakan padaku tentang sesuatu yang tiada berguna,
murid Hina?"
"Maafkan aku guru! Aku memang telah
mengganggu kehidupanmu di alam kelanggengan.
Tetapi kedatanganku karena membawa berita yang
sangat penting, yang aku sendiri tidak tahu jalan
pemecahannya...!" kata Buang Sengketa dengan
sikap menghormat.
Roh kakek Bangkotan Koreng Seribu yang
dikenal sebagai gurunya Pendekar Hina Kelana
tertawa tergelak-gelak.
"Di hadapanku kau merengek-rengek seperti anak kecil. Padahal usiamu sudah
hampir seperempat abad. Heh... apakah ada sesuatu yang tidak
beres?" tanyanya mencemooh.
"Bukan muridmu ini yang tidak beres. Tetapi ada seorang lawan yang memiliki
kesaktian kurang beres...!" ujar Buang Sengketa dengan sikap
serius. "Mengapa kau tidak segera membereskannya...?" Si Bangkotan Koreng Seribu balik
bertanya. "Justru karena aku tidak dapat melakukannya sehingga aku merasa perlu untuk
menjumpaimu. Jika saja aku dapat menyelesaikannya
sendiri, untuk apa aku harus bersusah payah datang menjumpaimu...!"
"Heh. Sejak nyawaku melekat di dalam jasad kasarku. Kau memang merupakan seorang
murid yang menyebalkan. Tapi aku selalu dapat
memakluminya, karena kau merupakan seorang
murid yang setengah gendeng." komentar laki-laki
pemurung itu sambil menatap tajam pada Pendekar Hina Kelana.
"Guru sendiri juga sinting...!"
"Hahaha... kita memang sama-sama keblinger...!" sambut Si Bangkotan Koreng
Seribu sambil terus tertawa-tawa. Tapi kemudian laki-laki pemurung itu menghentikan suara
tawanya. Dengan sikapnya yang selalu acuh, roh manusia setengah
dewa itu langsung berkata.
"Sekarang katakanlah apa yang menjadi kesulitanmu...!" sikap kakek Bangkotan
Koreng Seribu mendadak berubah serius.
"Begini, guru! Aku menghadapi seorang lawan yang sangat tangguh. Tubuhnya kebal
terhadap berbagai senjata tajam. Dia merupakan manusia siluman serigala yang
telah meminta banyak
korban. Bahkan aku sendiri hampir tidak sanggup
untuk menghadapinya. Bagaimana ini guru" Apakah guru tahu di mama kira-kira
letak kelemahan
dari ilmu kebal yang dimilikinya?" tanya Buang
Sengketa penuh harap.
Roh Si Bangkotan Koreng Seribu terdiam
untuk sesaat lamanya. Namun hanya dalam beberapa saat setelah itu sikapnya telah
berubah biasa kembali. "Apakah kau telah merasa bahwa pusaka
Golok Buntung dan cambuk Gelap Sayuto telah
kehilangan pamornya" Ah... ah... sebagai seorang
murid ternyata kau sangat jarang mempergunakan
daya pikirmu. Tapi tidak mengapa, karena aku
sendiri dapat melihat, bahwa lawan yang kau hadapi kali ini benar-benar kebal
luar biasa. Tapi
jangan kira setiap kekebalan itu tidak ada titik kelemahannya."
"Itulah sebabnya aku menanyakannya pada
guru!" sahut si pemuda.
"Buang Sengketa, muridku. Sebenarnya
manusia siluman itu memiliki hati yang baik.
Hanya saja ia tidak dapat mengendalikan ilmu siluman yang dipelajarinya.
Sehingga hampir setiap
waktu ia meminta korban. Tapi kalau kau memang
ingin menjatuhkan manusia siluman itu. Kelemahannya terdapat pada bagian telapak
kakinya. Dan itupun baru dapat kau hadapi pada saat malam
purnama penuh." kakek Bangkotan Koreng Seribu
menjelaskan. "Tapi, guru! Apakah aku tidak dapat menjatuhkannya di saat-saat lainnya.
Misalnya pada saat bulan setengah, seperempat atau tiga perempatnya...?" tanya Buang Sengketa
timbul kekonyolannya.
"Kalau kau mencari mampus. Kau dapat
melakukannya kapan saja jika kau mau." bentak
Si Bangkotan Koreng Seribu, kesal.
"Maafkan aku sekali lagi, guru. Aku hanya
bertanya saja. Tapi baiklah aku merasa berterima
kasih dengan petunjuk yang guru berikan."
"Nah, sekarang tunggu apa lagi. Kembalilah
ke dalam jasadmu...!" perintah roh Bangkotan Koreng Seribu.
Sekali saja seberkas cahaya putih berpen-
dar, maka ujud dari tokoh sakti itupun lenyap begitu saja. Sementara dengan hati
mantap roh Buang Sengketa kembali pula menghampiri jasadnya.
Plaass...! Tidak lama setelah itu tubuh Pendekar Hina
Kelana telah kembali bergerak-gerak seperti sediakala.
"Sekarang setelah kudapatkan di mana titik
kelemahannya, satu hal lagi yang harus kukerjakan adalah menemukan tempat
persembunyian manusia siluman itu." kata Buang Sengketa.
*** Berbagai perguruan bersatu saling bahu
membahu dengan perguruan lainnya. Dengan satu
tujuan membasmi siluman serigala itu dalam waktu secepatnya. Namun sampai sejauh
itu tandatanda mereka akan berhasil memusnahkan manusia siluman tersebut masih
juga belum kelihatan.
Bahkan kian hari usaha kalangan persilatan
hanya menambah deretan angka korban manusia
siluman itu semakin bertambah banyak. Perasaan
cemas semakin menyelimuti hati mereka, kemunculan manusia siluman itu yang tidak
dapat diduga-duga, membuat semua penduduk di berbagai
daerah menutup pintu rumahnya rapat-rapat sejak sore. Dusun-dusun sunyi senyap
bagai kuburan. Kota-kota terasa bagai mati. Setiap hati hanya
mampu memanjatkan doa semoga mereka masih
mampu melihat matahari esok pagi.
Di sementara pihak, perasaan putus asa
menghantui berbagai perguruan yang pernah
maupun yang belum sama sekali ikut melakukan
pemburuan serigala yang haus darah itu. Bagaimana tidak" Hampir setiap hari
mereka selalu pulang dengan wajah kecewa. Bahkan beberapa perguruan yang berada
di wilayah barat ada yang tidak pernah kembali ke perguruannya sama sekali.
Semua orang dapat memastikan mereka pastilah
tewas dibantai oleh manusia siluman yang sangat
ganas itu. Pada saat begitu banyak perguruan silat
dirundung putus asa yang mendalam.
Di sebuah tempat, tepatnya di sebuah kaki
bukit yang bernama bukit Gerbang Kematian,
nampak sedang berkumpul lima orang tokoh persilatan yang terdiri dari golongan
putih dan golongan
hitam. Nampaknya dua golongan berbeda yang
hampir sepanjang sejarahnya menjadi seteru ini
merasa perlu bergabung untuk memburu seorang
lawan yang sangat tangguh di samping memiliki
ilmu kebal yang luar biasa sekali. Kelima tokoh
persilatan itu antara lain adalah, Buris Rawa atau
yang lebih dikenal dengan julukan Iblis Rambut
Api, Selasih atau si Selendang Akherat, Aki Tapa
Rewang alias manusia Halilintar. Seorang tokoh
yang terkenal karena kekejamannya. Dan juga pukulan sakti yang dapat membuat
hangus lawanlawannya. Sedangkan dua orang lainnya adalah
Jumena dan pendeta Adi Darma. Kelebihan yang
dimiliki oleh saudara seperguruan ini terletak pada
permainan tasbih sakti yang dapat mulur mengejar lawannya.
Saat itu mereka duduk membentuk sebuah
lingkaran dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan antara yang satu
dengan lainnya.
Yang terlihat aneh bahkan mengundang kagum
bagi orang-orang yang melihatnya adalah karena
mereka berada di atas balai-balai terbuat dari
bambu. Sedangkan balai-balai itu hanya mempunyai sebuah tiang penyanggah sebesar
pergelangan tangan dan telah lapuk pula. Dan menyanggah berat tubuh sedemikian banyaknya.
Tiang balai-balai
itu tidak patah. Kenyataan ini merupakan suatu
tanda bahwa kelima tokoh itu, selain memiliki kepandaian tinggi, juga mempunyai
ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna.
"Aku merasa dapat penghormatan yang
sangat besar sekali. Sebab hari ini anda semua
benar-benar memenuhi undanganku. Sehingga
bersedia datang di kaki bukit Gerbang Kematian
ini untuk sama-sama membicarakan masalah
penting. Yang semuanya kita lakukan demi keselamatan orang banyak." seorang
laki-laki berkepala botak memulai pembicaraan. Dialah pendeta
Adi Darma penghuni Gerbang Kematian.
"Sobat Adi Darma tidak usah memakai peradatan segala. Kedatanganku kemari bukan
untuk melihat balai-balaimu yang reyot dan tidak
menyenangkan ini, tetapi aku hanya ingin ikut serta menyumbangkan tenaga.
Kuminta langsung saja bicara pada titik persoalan." yang berkata begitu
adalah Buris Rawa atau yang lebih di kenal dengan julukan Iblis Rambut Api.
"Betul... hendaklah kita segera membica-
rakan titik persoalan yang sebenarnya sehingga
semuanya dapat kita selesaikan dalam waktu yang
singkat." dukung salah seorang wanita yang bernama Selasih.
Pendeta Adi Darma yang menjadi tuan rumah nampak mengangguk-anggukkan
kenalannya. Kemudian setelah memperhatikan wajah mereka satu-persatu. Laki-laki
berpakaian serba putih ini pun segera berkata.
"Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, bahwa sekarang ini rimba persilatan
gempar dengan kemunculan seorang manusia siluman
yang mengganas dan bertindak tanpa padang bulu. Telah begitu banyak korban yang
berjatuhan. Bahkan beberapa perguruan sampai tidak bersisa
sama sekali. Karena siluman itu kebal dengan berbagai senjata tajam. Saya kira
inilah kesulitan
yang bakal kita hadapi." kata pendeta Adi Darma
mengawali pembicaraannya.
"Hemm. Sebenarnya aku tidak perduli dengan segala monyet persilatan yang gugur
di tangan manusia siluman itu. Tetapi karena tindakan manusia jejadian itu melebihi dari
tindakan iblis. Maka meskipun aku merupakan tokoh sesat, sudah
selayaknya aku berbuat sesuatu...!" sahut Buris
Rawa dengan sikap acuh.
"Bagaimana,
saudara-saudara
lainnya" Apakah anda sependapat dengan apa yang dikatakan oleh saudara Buris Rawa
tadi...?" tanya sang
pendeta sambil mengitarkan pandangan matanya
pada orang-orang yang hadir di situ.
"Kami semua merasa setuju. Hanya saja si-
lahkan tentukan kapan kita harus memulai usaha
kita untuk menemukan manusia siluman itu...!"
jawab tiga orang lainnya.
"Sebaiknya kita baru dapat memulai pencarian itu mulai besok pagi. Sekarang
matahari sudah hampir tenggelam. Terlalu banyak resiko yang
bakal kita hadapi jika kita berkeliaran malam hari...!" pendeta Adi Darma sekali
lagi memberi saran
yang langsung diterima oleh keempat orang lainnya.
Malam itu mereka terpaksa menginap di
pondok kediaman pendeta Adi Darma dan Jumena. Di langit bulan memancarkan cahaya
kuning kemilau keemasan. Sang waktu merangkak dengan pasti. Saat itu malam baru
menunjukkan pukul sepuluh. Sementara Adi Darma dan Jumena
tidur di dalam ruangan pondok. Sementara Buris
Rawa sedang duduk bersandar di bawah sebatang
pohon sambil memandangi sinar bulan yang menerobos lewat dedaunan. Selasih atau
si Selendang Akherat nampak sedang melepaskan lelah di balau-balai ruangan depan pondok. Satu
lagi seorang laki-laki yang bernama Aki Tapa Rewang sudah
mendengkur di atas balai di samping pondok sejak


Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sore tadi. Demikianlah ketika kelima tokoh ini sedang
tenggelam dalam alam pikirannya masing-masing.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang disertai
hembusan angin yang agak kencang.
"Heh. Malam dingin... udara di mana-mana
menjadi dingin. Celaka... aku, celaka diriku yang
tidak dapat mengendalikan apa yang kumiliki. Te-
tapi kelima orang itu juga bakal celaka. Mereka
pasti akan celaka di tanganku...!"
Kata-kata yang disampaikan lewat ilmu
mengirimkan suara itu menggema sampai ke seluruh penjuru bukit. Bahkan Buris
Rawa yang sedang melamun memandang bulan juga sempat
mendengar suara yang sebenarnya ditujukan buat
mereka itu. Dengan cepat Buris Rawa segera
bangkit. Kemudian tanpa berpikir panjang lagi segera pula berlari ke arah
datangnya suara tadi.
Sementara itu empat orang lainnya yang juga sempat mendengar suara yang
disampaikan lewat ilmu mengirimkan suara itu segera berlompatan dari tempatnya
masing-masing. Bahkan sekarang Adi Darma dan Selasih telah berada di halaman
depan. "Apakah kau mendengar suara tadi, adi Selasih...?" tanya pendeta Adi Darma
seolah ingin meyakinkan pendengarannya.
"Aku dengar. Orang itu pastilah memiliki
kepandaian tinggi sekali. Di tempat ini hanya ada
kita berlima. Pastilah yang dimaksud 'Mereka' oleh
orang itu tidak lain kita-kita ini."
"Alangkah lebih baik jika kita mencari tahu
siapa sebenarnya orang itu." kata Selasih memberi
tanggapan. "Kalau begitu kita bangunkan dulu adi Jumena dan Aki Tapa Rewang...!" perintah
pendeta Adi Darma kepada Selasih. Dengan cepat mereka
membangunkan dua orang lainnya. Setelah itu
mereka bergegas ke luar dari dalam pondok. Pada
saat itu mereka tidak melihat ke mana perginya
Buris Rawa. "Celaka! Kakang Buris Rawa telah mendahului kita...!" kata Jumena dengan mata
mencaricari ke segala sudut.
"Jangan membuang-buang waktu. Kita susul saja dia!" ucap Aki Tapa Rewang.
Akhirnya keempat orang itu segera berkelebat pergi menembus kegelapan malam.
Dalam waktu yang sangat singkat mereka telah jauh meninggalkan Gerbang Kematian.
Tujuan mereka sekarang terpusat pada satu arah, di mana suara tadi berasal.
Namun setelah sampai di tempat itu
mereka tidak menjumpai sesuatu apapun yang
mencurigakan. Keempat orang ini saling pandang
sesamanya. "Mengherankan sekali. Tadi padahal aku
mendengar suara yang sangat jelas dari sini. Namun setelah kita melakukan
pencarian. Ternyata
tidak ada siapa-siapa di tempat ini." gumam Selasih seperti berkata pada dirinya
sendiri. "Anehnya kakang Buris Rawa juga tidak kita temukan. Namun entah mengapa
perasaanku jadi tidak enak. Jangan-jangan...!" Jumena tidak
meneruskan ucapannya. Ia merasakan sesuatu
sedang terjadi pada tokoh sesat yang bernama Buris Rawa itu.
Apa yang menjadi kekhawatiran Jumena
ternyata bukan rasa kekhawatiran yang tidak bersebab, karena pada saat itu di
sebuah tempat yang
agak jauh terpisah Buris Rawa sedang bertarung
mati-matian dengan siluman serigala yang mereka
cari. Dalam gebrakan pertama itu saja Buris Rawa
atau Iblis Rambut Api sudah sedemikian terdesak
mendapat tekanan-tekanan dari lawan yang begitu
mematikan. Bahkan ketika Buris Rawa berhasil
menghantamkan pukulan telak ke bagian dada lawan, manusia siluman itu hanya
terhuyunghuyung dengan darah meleleh di bagian bibirnya.
Sekarang setelah melihat dengan mata kepada
sendiri, sadarlah Buris Rawa bahwa lawannya
memiliki kekebalan yang sangat luar biasa.
Kini tanpa sungkan-sungkan lagi Buris Rawa segera mencabut senjatanya yang
berupa bolabola berduri yang memiliki rantai panjang. Dengan
mempergunakan senjata andalan ini tokoh sesat
tersebut berharap dapat menghantam lawannya
pada bagian titik kelemahannya, yang ia sendiri tidak mengetahui tempatnya
secara pasti. Di pihak
siluman serigala begitu melihat lawannya mengeluarkan senjata, nampak
menyeringai buas. Dalam
kegelapan malam, sinar matanya semakin bertambah merah menyala. Bahkan di lain
waktu sesekali terdengar pula suara lolongannya yang panjang
menyeramkan. Sementara itu lidahnya nampak terus menjulur dan meneteskan air
liur menjijikkan,
bahkan taring-taringnya yang nampak berkilatkilat itu bagai tak sabar untuk
merobek-robek tubuh Buris Rawa.
Pada kenyataannya Iblis Rambut Api ini
adalah seorang tokoh sesat yang tidak pernah
mengenal perasaan takut walau barang sedikitpun. Itulah sebabnya meskipun pada
saat itu lawannya nampak sedang dilanda kemarahan dengan memperlihatkan
keangkerannya. Namun Buris
Rawa malah terkekeh-kekeh. Bahkan dengan suara lantang. Laki-laki berwajah
angker itu malah
membentak. "Telah begitu banyak orang-orang yang tiada berdosa tewas di tanganmu, siluman
keparat. Sekarang kau harus mati di tanganku...!" teriak
Buris Rawa. Setelah berkata begitu Buris Rawa langsung
memutar-mutar bola berduri di tangannya. Sementara itu manusia siluman kelihatan
sangat marah sekali. Sepasang matanya bertambah merah membara, lidah menjulur-julur
meneteskan air liur
yang menebarkan bau busuk menyengat hidung.
Ngung...! Deees! Duess...!
Dengan gerakan sangat cepat Buris Rawa
berhasil menyarangkan pukulannya pada bagian
tubuh manusia siluman serigala itu. Manusia siluman itu terhuyung-huyung. Ia
merasa akibat pukulan tadi membuat kepalanya berdenyutdenyut sakit. Walaupun ia menyadari
baginya apa yang baru saja ia rasakan tidak membawa akibat
apa-apa. Namun ia merasa perlu untuk mengakhiri lawannya dalam waktu secepatnya.
Pada saat itu, Buris Rawa terus mengumbar
pukulan-pukulan mautnya. Di lain saat senjatanya
yang berapa bola berduri itu pun ikut menabrak.
Namun kali ini rupanya manusia siluman itu telah
merubah jurus-jurus silatnya. Tubuh berkepala
serigala itu bahkan berkelebat cepat menghindari
sergapan-sergapan bola berduri. Di lain waktu
dengan gerakan seringan kapas ia bersalto ke uda-
ra untuk menghindari pukulan Iblis Penggetar Jagad. Gerakan-gerakan istimewa
yang dilakukan oleh manusia siluman sudah jelas mendatangkan
kerugian di pihak Buris Rawa. Laki-laki bertampang seram ini merasa hanya
menguras tenaga secara sia-sia. Tiada terduga Iblis Rambut Api yang
gampang naik darah ini melemparkan senjatanya
sedemikian rupa. Lalu ia segera merangkapkan
kedua tangannya ke depan dada. Sesaat setelahnya tubuh Buris Rawa nampak
bergetar hebat.
Kedua telapak tangannya telah pula mengepulkan
uap putih kebiru-biruan. Bahkan yang membuat
siluman serigala itu terperangah dalam puncak
pengerahan tenaga dalam yang dilakukan oleh lawan. Tubuh Buris Rawa menebarkan
bau menjijikkan. Sedangkan rambut Buris Rawa telah berubah pula merah membara.
Mengetahui lawan yang dihadapinya kali ini
benar-benar merupakan seorang lawan yang sangat tangguh. Maka tanpa membuang-
buang waktu lagi, siluman serigala segera pula mengeluarkan
ilmu andalan yang berupa ajian 'Serigala Memburu
Mangsa' yang tidak kalah hebatnya, tubuh manusia siluman itupun menggeletar
ketika ia mengeluarkan ilmu andalannya ini. Kemudian terdengar
pula suara lolongan yang terasa menggidikkan bulu roma menembus jauh sampai ke
seantero hutan rimba. Bahkan empat tokoh persilatan lainnya begitu mendengar suara lolongan itu
segera bergerak
menuju ke tempat terjadinya pertarungan.
Sementara itu Iblis Rambut Api dan siluman serigala terlibat pertarungan sengit.
Setiap masing-masing lawan melepaskan pukulan mautnya. Maka setiap kali pula tubuh
mereka terlempar beberapa tombak. Yang membuat Buris Rawa
semakin bertambah marah. Justru karena ia melihat lawannya hanya sedikit
menderita luka dalam
saja. Lain lagi halnya dengan dirinya, setiap benturan tenaga dalam itu terjadi.
Maka Buris Rawa merasa dadanya semakin bertambah sesak luar biasa. Bahkan ia
merasakan adanya hawa dingin secara terus menerus menyerang tubuhnya. Sadarlah
ia betapa siluman serigala itu juga memiliki
pukulan beracun yang sangat ganas.
"Hoeek!"
Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, Buris Rawa kelihatan muntah darah beberapa
kali. Darah meleleh dari celah-celah bibirnya. Sementara hawa dingin akibat pukulan
lawan yang ternyata di atas pukulan yang dimilikinya telah menyerang ke seluruh
pembuluh darahnya. Laki-laki
bertampang sangar itu merasa tidak mampu mengungguli lawannya. Apalagi jika
harus melawan manusia siluman itu seorang diri. Kemudian berbagai akal muslihatpun bermunculan
di dalam benaknya.
7 Namun sebelum Buris Rawa dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya. Tiba-tiba
si manusia siluman yang telah melihat lawannya sedang terluka dalam, nampak
bergebrak lagi. Kali
ini tubuh manusia siluman melakukan satu gerakan menerkam ke bagian perut
lawannya. Buris
Rawa langsung membantingkan tubuhnya begitu
merasakan adanya sambaran hawa dingin menerpa bagian tubuhnya. Namun gerakan ini
kalah cepatnya bila dibandingkan sambaran kuku-kuku
lawannya. Breet... Craaak...!
"Argggkh...!" Buris Rawa melolong setinggi
langit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Sementara
darah nampak mengalir dari bagian perutnya yang
memburai. Sedangkan sepasang matanya membelalak bagai hendak melompat keluar.
Melihat lawannya dalam keadaan tiada berdaya. Siluman serigala itu mendengus-
dengus. Tidak lama setelah tubuh Buris Rawa ambruk ke
bumi, maka manusia siluman itupun telah pula
mengeluarkan suara lolongan berkepanjangan.
Dengan terhentinya suara lolongan manusia
siluman itu, keadaan di sekitarnya berubah sunyi
seketika. Bahkan makhluk siluman itu hampir saja meninggalkan korbannya yang
sudah menjadi mayat, ketika secara mendadak muncul tiga orang
laki-laki dan seorang perempuan mengepung dirinya.
"Siluman keparaat!" maki Selasih ketika melihat kawan mereka dari golongan hitam
telah terbujur menjadi mayat. "Kawan-kawan. Lihatlah
makhluk celaka ini telah membunuh kakang Buris
Rawa dengan cara yang amat keji...!"
Semua mata sekarang tertuju ke arah
mayat Buris Rawa dan manusia siluman secara si-
lih berganti. Bahkan beberapa di antara mereka
langsung memalingkan kepada tidak tahan melihat
keadaan Iblis Rambut Api yang sangat menggenaskan itu.
"Betapa Tuhan mengutuk perbuatanmu,
siapapun adanya engkau ini. Sungguh pekerjaan
ini hanya pantas dilakukan oleh setan berhati iblis...!" kata pendeta Adi Darma,
sambil memandang
tiada berkedip pada manusia serigala yang berdiri
tidak begitu jauh darinya. Manusia jejadian itu diam tiada bereaksi. Hanya
pandangan matanya saja
yang tajam menusuk nampak memperhatikan
orang-orang yang mengepungnya.
"Aku yakin kau bisa bicara manusia siluman!" bentak Aki Tapa Rewang merasa tidak
sabaran lagi. "Tapi kau sengaja diam membisu. Tapi...
tidak mengapa, ilmu yang kau miliki benar-benar
telah menyesatkanmu. Telah begitu banyak orangorang yang tiada berdosa tewas di
tanganmu. Engkau pantas untuk mendapat hukuman yang setimpal...!" tambahnya
lagi. Siluman serigala itu masih juga bungkam.
Hal ini membuat Jumena yaitu adik seperguruan
pendeta Adi Darma yang juga gampang naik darah, menjadi tidak sabaran lagi.
"Siluman sialan! Kami berempat datang
mewakili mereka-mereka yang telah tiada. Harap
sudilah membunuh diri di depan kami, sebagai
penebus dosa-dosamu yang telah melampaui batas
itu. Cepatlah sebelum kami yang akan menjatuhkan hukuman lebih berat lagi
padamu...!"
Mendengar kata-kata Jumena yang bernada
memerintah ini, manusia siluman itu nampak
sangat marah sekali. Sekarang sinar matanya yang
tadinya meredup, kini semakin bertambah merah
berkilat-kilat. Mulutnya mendengus memperlihatkan dua pasang taringnya yang
panjang berlumuran darah. Bahkan beberapa saat setelah itu,
kembali mengeluarkan suara lolongan panjang.
Empat orang pengepungnya saling berpandangan
sesamanya. Rasanya mereka tidak mempunyai pilihan lain lagi, kecuali menggempur
manusia jejadian itu sampai titik darah yang terakhir. Maka ketika melihat
pendeta Adi Darma menerjang manusia jadi-jadian ini, maka tiga orang lainnya
langsung pula melibatkan diri ke gelanggang pertempuran. Menyadari yang menjadi
lawannya kali ini
selain kebal juga memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Maka dalam gebrakan pertama ini saja mereka telah mengeluarkan jurus-
jurus andalan yang
mereka miliki. Sebaliknya manusia siluman ini juga sadar bahwa empat orang
pengeroyoknya juga
memiliki kepandaian setingkat dengan Iblis Rambut Api. Ia berpikir tidak mudah
menjatuhkan lawan seperti itu. Namun untuk mundur apalagi kabur baginya


Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan sebuah pantangan yang
tidak perlu dilanggar. Pula kalau pun ia berhasil
meninggalkan mereka. Cepat atau lambat pada
suatu saat mereka pasti akan mencari dirinya.
Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba saja manusia siluman itu membangun sebuah
serangan yang tidak kalah hebatnya dengan seranganserangan gencar yang dilakukan oleh
lawanlawannya. Tidak dapat dihindari lagi. Dalam waktu
sekejap saja pertarungan sengitpun berlangsung di
tempat itu. Siluman serigala itu meskipun memiliki kepandaian tidak terukur.
Namun kali ini lawan-lawannya merupakan orang-orang yang memiliki pengalaman
dalam berbagai pertempuran.
Di samping memiliki ilmu silat tinggi. Tidak pelak
lagi ketika pertempuran berlangsung lima belas jurus, manusia jejadian itu sudah
mulai terdesak.
Bahkan dua kali tendangan menggeledek yang dilakukan oleh Aki Tapa Rewang
mendarat telak di
bagian punggungnya. Si manusia siluman terhuyung-huyung ke depan. Dari bagian
depannya telah pula menyambut serangan pedang yang dilakukan oleh Jumena. Manusia siluman
itu meskipun tubuhnya kebal terhadap berbagai senjata tajam, namun mana mau ia
membiarkan tubuhnya
termakan pedang lawannya. Dengan gerakan tidak
terlihat. Ia mempergunakan jemari tangannya untuk menangkap ujung pedang
lawannya. Sementara kaki kanannya melakukan tendangan menyilang ke arah bagian
perut pendeta Adi Darma.
"Crret! Dueees...!"
Gerakan kilat lawan benar-benar di luar
perhitungan pendeta Adi Darma. Hingga membuat
pendeta itu terjengkang. Sementara itu pedang
Jumena berhasil ditangkap oleh lawannya. Tariktarikan memperebutkan pedang
itupun terjadi. Celakanya Jumena tidak juga melepaskan senjatanya
yang terjepit di sela-sela jemari tangannya. Padahal jarak di antara mereka
begitu dekat. Kesempatan yang hanya sesaat itu dipergunakan oleh si
manusia siluman dengan mempergunakan kuku-
kukunya yang tajam.
"Adi Jumena! Awaaas...!"
"Craaas...!"
Peringatan pendeta Adi Darma nampak siasia belaka. Kuku yang tajam dan
mengandung racun ganas telah menghunjam di bagian pangkal
leher Jumena. Darah langsung menyembur dari
luka-luka itu. Tiada jeritan yang terdengar. Tubuh
Jumena langsung terkapar di atas tanah kering
berembun, tidak begitu jauh dari tempat Aki Tapa
Rewang berada. Sebagaimana yang lain-lainnya.
Laki-laki berpakaian serba hitam itu pun menjadi
murka demi melihat kematian tragis yang dialami
oleh Jumena. Meskipun Aki Tapa Rewang merupakan tokoh golongan sesat, namun
Jumena merupakan sahabat baiknya selama berpuluh-puluh
tahun. Apa yang ia saksikan hari ini benar-benar
telah membuka matanya. Betapa siluman serigala
itu benar-benar siluman yang sangat ganas sekali.
Dalam kemarahannya itu, sambil bersiap-siap
mengerahkan pukulan 'Halilintar Membelah Samudra', Aki Tapa Rewang membentak,
"Siluman keparat! Kau habiskan sisa-sisa hidupmu hanya
untuk mengamalkan ilmu celaka itu. Sampai menutup mata, hatiku tidak akan pernah
tenang sebelum berhasil membunuhmu...!"
"Auuuungg...!"
Sebagai jawaban, manusia siluman itu
menggerung. Suaranya yang tinggi melengking
bahkan serasa meruntuhkan seisi langit. Membuat
bulu kuduk mereka yang ikut terlibat pertempuran
merinding. Kejadian seperti itu hanya berlangsung
sesaat saja. Kematian Jumena membuat mereka
sudah tidak dapat berpikir lagi siapa sesungguhnya manusia siluman itu.
Dalam pada itu Aki Tapa Rewang, pendeta
Adi Darma dan Selasih atau si Selendang Akherat
sama-sama telah melepaskan pukulan andalannya. Semuanya mengarah pada si manusia
siluman. Manusia jejadian itu benar-benar terperanjat begitu melihat datangnya pukulan
maut dari berbagai jurusan. Hawa dingin dan panas serasa
memenuhi tempat itu. Rasanya ia tidak memiliki
pilihan lain lagi untuk menyelamatkan diri. Bahkan manusia jejadian itu tidak
dapat mengukur seberapa hebat akibat yang ditimbulkan oleh pukulan yang dilepaskan oleh lawan-
lawannya. Namun dari sisi lain ia dapat merasakan bahwa pukulan yang dilepaskan
oleh Aki Tapa Rewang tadi
yang benar-benar sangat berbahaya bila dibandingkan dengan dua lainnya. Akhirnya
dengan nekad manusia siluman itu mengerahkan segenap
tenaga dalam yang dimilikinya untuk memapak serangan-serangan itu. Sekejap
kemudian iapun telah mengembangkan tangan-tangannya. Setelah
itu langsung memutarnya ke segala arah membentuk perisai diri. Terdengar suara
angin bersiuran
manakala kedua tangan berkuku runcing itu berkelebat cepat laksana baling-
baling. Wuuust! Blaam! Blaam...!
Akibat benturan yang sangat hebat itu.
Membuat pohon-pohon di sekitarnya menjadi porak poranda. Bumi terguncang bagai
dilanda se- laksa gempa. Aki Tapa Rewang terjengkang sejauh
tiga tombak. Darah kental menggelogok dari mulutnya. Jelas sekali laki-laki
berjanggut putih ini
mengalami luka dalam yang tidak ringan. Sementara pendeta Adi Darma terpelanting
ke dalam semak-semak. Tidak dapat disangkal pendeta berjubah putih inipun
mengalami luka dalam lebih serius bila dibandingkan dengan Aki Tapa Rewang.
Sebaliknya Selasih atau si Selendang Akherat malah tidak berkutik-kutik lagi.
Sebaliknya siluman serigala itupun mengalami akibat yang tidak ringan. Dengan
terjadinya benturan yang sangat keras tadi. Membuat tubuh
siluman serigala melesak ke dalam tanah hingga
sebatas dada. Ia merasakan dadanya sesak, nafasnya terasa memburu namun
tersendat-sendat.
Dengan bersusah payah siluman itu mencoba
membebaskan diri dari gumpalan tanah yang
menghimpitnya. Setelah memakan waktu agak lama barulah siluman itu benar-benar
terbebas sepenuhnya. Namun kejadian yang dialaminya benar-benar membuatnya marah
sekali. Kini dengan
nafas mendengus dam lidah menjulur-julur. Ia
memperhatikan situasi di sekelilingnya. Namun ia
sudah tidak melihat lagi adanya tiga orang lawan
yang tadi hampir membuatnya terkubur hiduphidup. Rupanya di luar sepengetahuan
manusia siluman. Aki Tapa Rewang, pendeta Adi Darma
dan Selasih meninggalkan tempat itu dengan memanggul tubuh Jumena dan Iblis
Rambut Api yang
telah menjadi mayat. Mereka memang harus mengakui, tidak mungkin mampu
mengalahkan ma-
nusia siluman itu, selama mereka tidak dapat
mengetahui di mana titik kelemahannya. Jika pun
pertarungan itu tetap dilanjutkan, mereka merasa
usahanya hanya akan sia-sia saja. Apalagi mereka
menyadari saat itu masing-masing telah terluka
dalam cukup parah. Tidak ada pilihan lain, mereka
harus pergi untuk menyembuhkan luka dalam
yang mereka derita. Setelah itu baru berusaha
menemukan jalan lain dalam usahanya membunuh siluman ganas dan kebal terhadap
berbagai senjata itu. 8 Sudah satu purnama lebih Buang Sengketa
melakukan perjalanan jauh dalam usahanya mencari siluman yang sangat ganas itu.
Namun hingga sampai saat ini Pendekar Hina Kelana masih belum juga berhasil menemukan tempat
persembunyiannya. Dengan tiada mengenal putus asa,
Buang Sengketa terus melanjutkan usahanya di
lain tempat. Hingga sampai siang itu si pemuda
melintas di pinggiran hutan kecil yang ia ketahui
merupakan jalan satu-satunya menuju perguruan
Naga Putih. Dengan sikap acuh tak acuh pemuda
ini mengayunkan langkahnya. Sesekali irama
syair-syair lagu yang terdengar sumbang pun terlepas dari bibirnya. Tak urung
Buang Sengketa tersenyum sendiri manakala menyadari lagu yang
dinyanyikannya tidak enak di dengar. Meskipun
untuk ukuran telinganya sendiri.
"Syair jelek. Lagu jelek! Ha... ha... ha...! Ku
kira sangat pantas dan wajar-wajar saja. Lha yang
menyanyikan saja bukan penyair sejati. Tapi kupikir-pikir suaraku tidak kalah
bagusnya bila dibandingkan dengan suara burung kutilang." gumamnya sambil terus
mengayunkan langkah.
Namun pada detik-detik selanjutnya sudah
pula terdengar suara siulan yang sangat ringan.
Iramanya yang tidak teratur dan terasa menyimpang dari yang dikehendakinya,
membuat pemuda itu kembali menggerutu di dalam hati.
"Uhh. Rasanya suara siulanku juga tidak
bagus. Kupikir-pikir masih lebih baik lagi suara
derit pintu bambu. Mau nyanyi tidak becus, mau
bersiul juga hanya membuat monyet hutan lari
terbirit-birit. Lebih baik diam saja...!"
Buang Sengketa kemudian sambil tersenyum-senyum segera mempercepat langkahnya.
Bahkan beberapa saat kemudian pemuda itu
hampir saja mengerahkan ajian Sepi Angin jika ia
tidak mendengar suara tangis seorang perempuan
yang tidak begitu jelas. Karena Buang Sengketa tidak mengetahui secara pasti
siapa sebenarnya
yang sedang menangis itu. Maka tidak ayal lagi, ia
segera mendatangi ke sumber suara tadi. Hanya
dalam waktu yang sangat singkat, pemuda itu telah sampai ke tempat sumber suara
tadi. Namun ia tidak segera menghampiri perempuan itu. Karena sebenarnya ia ingin tahu siapa
sebenarnya perempuan setengah baya yang terus tersedu-sedu di
atas kuburan yang masih sangat baru itu.
"Murid-muridku, maafkan gurumu ini. Tia-
da kusangka kalian akan pergi secepat ini. Oh...
betapa perguruan Merak Emas telah kehilangan
kalian untuk selama-lamanya. Aku menyesal telah
mengajak kalian mengadu jiwa dengan siluman serigala keparat itu. Padahal jika
kuizinkan kalian
tetap tinggal di perguruan, tentu nasib yang kalian
alami tidak setragis ini...!" kata perempuan itu
yang tidak lain merupakan ketua perguruan Merak
Emas. Sekarang mengertilah Buang Sengketa, rupanya ketua perguruan Merak Emas
itu baru saja kehilangan murid-muridnya. Buang Sengketa
bahkan merasa yakin mungkin lima gundukan tanah merah yang masih baru merupakan
kuburan para murid perguruan Merak Emas. Pendekar Hina Kelana dapat merasakan betapa
sangat terpukulnya ketua perguruan Merak Emas itu karena
kematian murid-murid yang dikasihinya. Apalagi
mereka tewas dengan cara yang sangat menyedihkan. Sekarang dengan sikap berhati-
hati sekali, pemuda itu keluar dari tempat persembunyiannya.
Hal ini sebenarnya bukan di luar sepengetahuan
Nyai Surti. Sebab sejak kehadiran Buang Sengketa
pertama tadi sebenarnya perempuan itu sudah
mengetahui kehadiran orang lain di tempat itu.
Namun karena ia merasa, pendatang yang berusia
masih muda itu tidak bermaksud mengganggunya
meskipun sedikit ada perasaan curiga tapi ia tetap
diam saja. Apalagi pada saat itu ia sedang dalam
keadaan berduka.
Baru saja Pendekar Hina Kelana hendak
mengatakan sesuatu, di luar dugaan Nyai Surti telah mendahuluinya.
"Siapakah engkau ini, bocah" Sehingga begitu berani mengganggu masa
berkabungku...?"
tanya perempuan itu dengan suara tergetar.
Buang Sengketa buru-buru menjura beberapa kali demi menghindari hal-hal yang
tidak diharapkannya.
"Maafkan saya, orangtua. Sama sekali saya
tidak mempunyai maksud mengusik ketenanganmu. Bahkan sayapun ikut berduka cita
atas musibah yang telah menimpa murid-murid perguruan
Merak Emas." ujarnya dengan mimik serius.
"Aku bertanya siapakah engkau ini yang sebenarnya?" ulang ketua perguruan Merak
Emas tanpa berpaling sedikitpun juga.
"Eeh... namaku Buang Sengketa. Saya
hanya seorang pengelana biasa!" kata pemuda itu
dengan sikap merendah. Sudah barang tentu begitu Buang Sengketa menyebutkan
namanya, Nyai Surti terperanjat bahkan di luar dugaan si pemuda. Ketua perguruan Merak Emas
inipun membalikkan tubuhnya dan memandang takjub pada si
pemuda yang berdiri tidak begitu jauh dari hadapannya. Yang membuat Buang
Sengketa semakin
tidak mengerti adalah karena sorot mata perempuan itu meskipun masih kelihatan
berduka, namun telah berubah lembut tanpa perasaan curiga
apa-apa. "Buang Sengketa...!" ucapnya seperti ingat
sesuatu. "Melihat penampilanmu aku merasa yakin pastilah anda memiliki sangkut
paut dengan almarhum Si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau dugaanku ini benar, itu berarti
andalah tokoh rimba
persilatan yang memiliki gelar Pendekar Hina Kelana. Apakah benar apa yang
menjadi dugaanku
ini?" tanya Nyai Surti penuh harap.
Buang Sengketa meskipun merasa sangat
terkejut, bahkan tiada menyangka ketua perguruan Merak Emas tahu banyak tentang
dirinya. Akhirnya hanya menganggukkan kepala saja.
"Pendekar Hina Kelana, sudah terlalu sering
aku mendengar kehebatan sepak terjangmu. Anda
merupakan seorang tokoh muda yang tiada tandingnya hingga sampai saat ini...!"
kata Nyai Surti
polos. "Orangtua, janganlah memakai segala peradatan. Saya hanya seorang manusia biasa.
Apapun yang ingin saya lakukan di tempat ini hanyalah
dengan satu tujuan. Yaitu mencari siluman serigala yang telah menjatuhkan banyak


Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

korban...!" kata
Buang Sengketa tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Akupun sudah menduga, anda pasti akan
melakukannya. Sungguhpun murid-muridku semua telah tewas di tangan manusia
siluman itu. Namun kalau anda tidak keberatan saya bersedia
mengulurkan tenaga."
Wajah pemuda itu berubah memerah sesaat, ketika Nyai Surti menawarkan diri.
"Maaf, Nyai...! Bukan aku menolak maksud
baikmu. Tetapi mengingat manusia siluman itu telah meminta banyak korban. Maka
aku telah bertekad melakukan pencarian seorang diri. Sekali lagi maafkan aku,
orangtua...!"
"Tidak kusangka, Pendekar Hina Kelana
mempunyai jiwa rendah hati. Baiklah pendekar.
Kalau itu sudah keinginanmu, sebagai orangtua
aku hanya mampu mendoakan keselamatan dan
keberhasilanmu...!" kata Nyai Surti polos.
Buang Sengketa kembali menganggukkan
kepala. Sebenarnya Buang tahu, Nyai Surti agak
kecewa dengan penolakannya itu. Tapi sudah
menjadi kebiasaan pemuda ini sejak dulu. Ia merasa lebih leluasa bertindak
seorang diri. Daripada
harus bertindak dengan campur tangan orang lain.
Selain itu ia juga menghendaki agar korban yang
jatuh tidak semakin bertambah banyak lagi.
"Kuharap orangtua dapat maklum dengan
keputusanku ini. Seperti yang sudah sama-sama
kita ketahui siluman serigala itu selain kebal, juga
sangat ganas sekali. Selama ini sangat jarang sekali setiap lawan-lawannya
dibiarkan bersisa. Apalagi bila mengingat perguruan Merak Emas baru
saja kehilangan beberapa orang muridnya. Saya
pribadi tidak ingin korban berjatuhan lebih banyak
lagi. Untuk itu saya telah memutuskan untuk
mencarinya sendiri...!" kata Buang Sengketa mantap.
Nyai Surti nampaknya sadar betul dengan
apa yang baru saja dikatakan oleh pendekar itu.
"Baiklah pendekar! Aku merasa yakin dengan kemampuan yang anda miliki. Dari sini
aku hanya mampu mendoakan keselamatanmu selalu...!" kata perempuan itu mengulangi
katakatanya. Buang Sengketa hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian setelah berpamitan dengan
ke- tua perguruan Merak Emas, pemuda inipun berkelebat pergi menelusuri kelebatan
hutan yang sunyi
lagi angker. 9 Nama tabib Sapta Dewa kian hari kian dikenal orang di berbagai tempat. Sudah
sangat banyak korban manusia siluman serigala itu yang
tersembuhkan lewat tangannya. Tidak heran jika
orang merasa takjub bahkan bersikap hormat kepadanya karena selain tabib itu
dapat datang sewaktu-waktu tanpa diundang. Juga pertolongan
yang diberikannya tidak pernah meminta pamrih
apa-apa. Siang itu di sebuah tempat yang agak terpencil, tabib Sapta Dewa dengan tekunnya
nampak sedang mengobati beberapa orang laki-laki
korban manusia siluman itu. Entah karena sudah
dua hari lebih ilmu iblis yang dianutnya tidak melihat darah atau karena memang
sudah waktunya penyakit anehnya kambuh. Yang jelas ketika berhadapan dengan orang terakhir yang
akan disembuhkannya. Tiba-tiba saja tubuhnya nampak
menggeletar hebat, bagai orang yang terserang racun ganas. Mula-mula mereka yang
mendapat perawatan tabib Sapta Dewa hanya menganggap,
mungkin saja orangtua budiman itu sedang mengeluarkan racun yang mengendap di
bagian tubuh kawan mereka. Hal ini memang masuk akal sekali.
Sebab orang yang mendapat perawatan terakhir
dari tabib Sapta Dewa mengalami pembekuan darah di beberapa tempat.
Namun ketika mereka melihat perubahan
wajah dan tangan tabib Sapta Dewa yang berlangsung secara cepat itu, mereka
menjadi memekik
ketakutan. Bagaimana tidak" Sekarang mereka
dengan jelas dapat melihat wajah tabib Sapta Dewa telah berubah sepenuhnya
menjadi ujud kepala
serigala. Bahkan sepasang matanya yang teduh,
sekarang telah berubah merah menyala. Lebih dari
itu, dari bibir laki-laki itu sekarang telah pula
mengeluarkan taring panjang lagi tajam.
"Kurang ajar. Kiranya manusia siluman itu
tidak lain tabib Sapta Dewa adanya...!" teriak salah
seorang laki-laki yang terus mengawasi jalannya
pengobatan yang dilakukan oleh tabib Sapta Dewa.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki itu
segera menghunus goloknya dan langsung menyerang tabib Sapta Dewa alias siluman
serigala yang selama ini telah mengganas di mana-mana.
Tapi sampai di manalah kekuatan yang dimiliki oleh laki-laki itu" Walaupun golok
panjangnya yang mengkilap tajam beberapa kali sempat menghantam tubuh siluman
itu, namun yang
menjadi lawannya tidak bergeming sedikitpun juga. Beberapa orang kembali menjadi
korban. Bahkan orang-orang yang tadinya mendapat perawatan dari tabib Sapta Dewa
yang sekarang telah berubah menjadi siluman, sekarang sudah tidak tersisa lagi.
Sekarang hanya laki-laki itulah seorang
diri mempertahankan nyawanya.
"Auuung...!"
Bersamaan dengan suara lolongan itu. Detik-detik selanjutnya tubuh siluman itu
melayang. Tangan membentang membentuk gerakan mencakar ke arah laki-laki bersenjata golok
itu. Nampaknya tiada kesempatan lagi bagi orang itu untuk
menyelamatkan diri. Kedua matanya hanya membelalak dengan mulut terbuka. Seolah
ia merasa tidak ada lagi harapan untuk melihat matahari di
hari esok. Namun dalam detik-detik yang menentukan itu, tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat,
langsung menyambar ke arah siluman serigala itu.
Tuuk! Benturan yang sangat keras membuat manusia siluman itu tersentak kaget. Di luar
dugaan, manusia jejadian itu menggerung marah demi melihat usahanya sempat digagalkan
oleh orang lain.
Begitu ia menoleh dan memandang ke arah samping kiri. Ia melihat seorang pemuda
berpakaian merah dengan sebuah periuk mustika menggelantung di bagian pinggangnya telah
berdiri tegak di
sana. Bibir pemuda itu menyunggingkan seulas
senyum sinis. "Ki sanak, menepilah! Siluman keparat ini
bukan tandingan mu...!" perintah Buang Sengketa
pada laki-laki jangkung yang tadinya nyaris menjadi korban manusia siluman ini.
Sekarang setelah
laki-laki bersenjata golok itu menyingkir. Buang
Sengketa kembali berpaling pada lawannya. Pemuda itu mendengus, meskipun
bibirnya tetap menyunggingkan seulas senyum.
"Telah begitu banyak korban yang tiada
berdosa akibat semua ulahmu. Tapi kupikir-pikir
engkau tidak akan pernah berhenti sebelum manusia di kolong langit ini musnah
seluruhnya di tanganmu. Yang sangat kusesalkan kau telah terlanjur sesat. Sehingga kau tidak
pernah berpikir
untuk menghentikan semua sepak terjangmu...!"
bentak Pendekar Hina Kelana berwibawa.
Manusia siluman serigala itu tertegun mendengar ucapan Pendekar Hina Kelana yang
beberapa waktu lalu sempat bentrok dengan dirinya.
Apa yang terjadi di dalam hati manusia siluman
itu sebenarnya Buang Sengketa tidak pernah tahu.
Padahal tidak perlu pemuda di hadapannya berkata seperti itu, sebenarnya sejak
jauh-jauh hari. Siluman serigala itu telah menyesali perbuatannya.
Bahkan ia sengaja melakukan pengobatan di mana-mana, semua itu semata-mata hanya
ingin mengurangi tekanan batinnya yang sangat berat.
Tetapi sejauh itu ia selalu tidak berdaya menghadapi sekaligus mengendalikan
ilmu siluman yang
telah mendarah daging di dalam tubuhnya.
"Manusia keparat. Kurasa tiada gunanya
aku bicara padamu. Sekarang kau harus merasakan hukuman yang sangat setimpal
atas segala perbuatanmu." teriak Buang Sengketa merasa tidak sabar lagi.
"Hiaat...!" sekali bergebrak, Buang Sengketa
telah mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk
yang selama ini merupakan jurus andalan dalam
melakukan serangan-serangan yang dilakukan
dengan gerakan seperti orang mabuk.
"Grauuung! Geerr...!"
Kelihatannya manusia siluman itu menya-
dari lawannya kali ini sengaja datang untuk menjatuhkan hukuman terhadapnya.
Namun ia tetap yakin sampai sejauh itu, pastilah lawan belum
mengetahui di mana titik kelemahan dari ilmu
yang dimilikinya. Karena keyakinannya itulah,
maka tanpa ragu-ragu lagi manusia siluman itu
segera mempergunakan jurus 'Siluman Serigala
Kembangkan Kuku'. Sungguh berbahaya dan terkenal ganas jurus yang dipergunakan
oleh lawannya ini. Dari gerakan menendang maupun gerakan
mencakar yang mendatangkan angin dingin.
Buang Sengketa segera menyadari segala sepak
terjang yang dilakukan oleh lawannya mengandung racun yang sangat ganas. Tidak
heran kalau secara berganti Buang Sengketa merobah jurusjurus silatnya. Semua itu
dilakukannya dengan tujuan agar lawannya merasa kerepotan membaca
gerakan silatnya. Sekali waktu manusia siluman
yang telah terbakar api kemarahan karena merasa
dipermainkan oleh lawannya ini nampak melakukan sergapan kilat yang datangnya
tiada dapat diduga-duga. Tabib Sapta Dewa menyadari jurus
yang dipergunakannya kali ini merupakan puncak
dari seluruh jurus yang pernah dipelajarinya. Selain itu jurus yang diberi nama
'Seribu Makhluk
Siluman Mengecoh Iblis' tersebut dikenal sebagai
sebuah jurus yang penuh dengan tipuan-tipuan
dan juga kelicikan. Bahkan Buang Sengketa sendiri dapat merasakan akibatnya.
Setelah manusia siluman itu membuka jurus pamungkas. Berulang kali Buang
Sengketa nyaris termakan cakaran maupun tendangan be-
runtun yang dilakukan oleh lawannya.
"Kutu kupret ini benar-benar sangat berbahaya sekali. Kalau aku tidak cepat-
cepat bertindak
bukan mustahil suatu saat mukaku habis dicakarnya...!" batinnya.
"Haiit...!" pemuda itu nyaris termakan tendangan lawannya. Masih untung ia
cepat-cepat memiringkam tubuhnya. Namun tak urung ia
sempat juga merasakan sambaran kaki lawannya
yang bertumit besi itu.
"Brees...!"
"Uhh... hampir saja...!" kata pemuda itu.
Karena lawannya terus berupaya memburunya ke
manapun langkahnya bergerak. Tidak ayal lagi
pemuda itupun melentingkan tubuhnya ke udara.
Hal ini begitu mudah dilakukannya karena ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sangat sempurna.
Jliiigkh...! Dengan gerakan yang sangat manis sekarang Buang Sengketa telah menjejakkan
kakinya di atas sebuah cabang pohon. Apa yang dilakukan
oleh Pendekar Hina Kelana membuat manusia siluman serigala itu menjadi
terperangah, namun
hal itu hanya berlangsung sesaat saja. Selanjutnya
ia telah bersiap-siap melepaskan pukulan 'Serigala
Memburu Mangsa'. Sebentar saja tubuh manusia
siluman itu tergetar hebat. Dari kedua telapak
tangannya yang terangkap di depan dada nampak
telah mengepulkan kabut tipis. Begitu kedua tangan yang berkuku runcing itu ia
hantamkan ke arah cabang pohon, tidak dapat dicegah lagi se-
rangkum hawa dingin yang sangat luar biasa datang membadai menghantam Buang
Sengketa. Namun sebelum pukulan itu benar-benar sampai
pada sasarannya. Tubuh Pendekar Hina Kelana telah melayang dengan cara bersalto
beberapa kali. Terdengar suara ledakan serasa mengguncangkan
jagad manakala pukulan yang dilakukan oleh manusia siluman menghantam cabang
pohon, sehingga membuatnya hancur berkeping-keping. Bekas patahan itu jatuh di
atas tanah dengan menimbulkan suara berdebum. Buang Sengketa sendiri demi
melihat kehebatan yang dimiliki oleh lawannya nampak bergidik. Ia tidak dapat
membayangkan bagaimana jika tubuhnya terhantam
pukulan keji itu.
Sekarang setelah memikirkan segala sesuatunya, ia tidak ingin bertindak ayal-
ayalan lagi. Apalagi ia masih ingat manusia siluman itu dulu
tidak mempan dengan pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dimilikinya. Bahkan
dengan mempergunakan pukulan si Hina Kelana Merana, ketika itu tubuh manusia
siluman itu hanya mengalami luka dalam saja. Padahal pukulan andalan
yang dimilikinya dapat menghancurkan batu gunung sebesar apapun. Mengingat
sampai ke situ.
Sekarang si pemuda segera membuka jurus pamungkas yang diberi nama jurus Koreng
Seribu. Selanjutnya pemuda itu menggerung keras,
sambil melakukan gerakan-gerakan aneh secara
silih berganti. Tubuh pemuda itu terus berkelebatkelebat laksana angin, bahkan
beberapa kali kaki
kanannya melakukan tendangan-tendangan kilat
mengarah pada bagian kepala lawannya. Sekarang
sadarlah manusia siluman itu, bahwa lawan yang
dihadapinya kali ini benar-benar seorang lawan
yang sangat tangguh. Padahal sejak dulu juga ia
selalu berharap agar dirinya selalu terhindar dari
Pendekar Hina Kelana ini. Tetapi karena ilmu celaka itulah hingga kali ini untuk
yang kedua kalinya
ia terpaksa berhadapan dengan pemuda itu lagi.
"Hiaat...!"
Sebuah serangan telak dilakukan oleh pemuda itu. Si manusia siluman berusaha
menghindari terjangan yang dilakukan oleh lawannya. Namun ia harus pontang


Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panting menghindari serangan itu ketika ia merasakan jotosan dan tendangan kaki
lawannya seperti mengejar dirinya ke
manapun ia berusaha menghindar.
Duees...! Sebuah tendangan telah menghantam ulu
hati siluman serigala. Laki-laki itu terjengkang. Tetapi ketika Buang Sengketa
kembali memburunya
dan memukulkan tangan kanannya ke arah dada
lawan. Tiada terduga manusia siluman itu melakukan satu sapuan dengan
mempergunakan kakinya.
Duuuk! "Uhhk...!"
Tubuh Buang Sengketa jatuh terpelanting
ketika tulang betisnya terhantam tendangan lawannya. Manusia siluman itu tidak
ingin menyianyiakan kesempatan yang berharga ini. Dengan
cepat ia bangkit berdiri. Kemudian melakukan satu terkaman ganas ke arah Buang
Sengketa yang masih dalam keadaan terlentang. Gerakan yang
sedemikian cepatnya ini membuat Pendekar Hina
Kelana tidak dapat menghindarkan dirinya lagi dari serangan tersebut. Namun
begitu ia teringat sesuatu, pemuda itu secepatnya meloloskan pusaka
Golok Buntung yang menjadi senjata andalannya.
Sebagaimana pesan roh gurunya, bahwa titik kelemahan lawannya terletak pada
bagian telapak kakinya yang terlindung sepatu besi. Meskipun
agak ragu, namun Buang Sengketa cepat menggerakkan senjatanya yang memancarkan
sinar merah menyala itu ke bagian telapak kaki lawannya.
Manusia siluman itu merasa kaget bukan alang
kepalang demi melihat senjata yang sangat ditakutinya itu. Namun jaraknya yang
hanya beberapa senti itu dari telapak kakinya, sudah tidak mungkin lagi untuk dielakkan. Tidak
dapat dihindari lagi, akhirnya.
Craaas! Jrooos...! "Arrrggkh...!" manusia jejadian itu menjeritjerit setinggi langit ketika bagian
telapak kakinya
tertembus senjata Golok Buntung di tangannya.
Buang Sengketa segera menghentakkan senjatanya dari kaki lawan. Tiada ampun
tubuh manusia siluman itu terbanting keras. Tubuhnya berkelojotan, lalu sebuah
keganjilan pun terjadi. Mulamula tubuh manusia siluman itu menghitam seluruhnya.
Kemudian tercium bau daging terbakar
yang sangat menusuk hidung. Tak lama setelah itu
tubuh manusia siluman yang telah mengeluarkan
asap itu langsung terbakar, hingga akhirnya mus-
nah tiada bersisa lagi.
Buang Sengketa menarik nafas lega, lalu
bergumam pelan.
"Sungguh kematian lebih baik bagimu...!"
lalu tanpa menoleh lagi Pendekar Hina Kelana ini
segera melangkah pergi.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Sengkala Angin Darah 2 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Pendekar Laknat 6
^