Pencarian

Misteri Sepasang Pedang Setan 1

Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan Bagian 1


MISTERI SEPASANG PEDANG SETAN Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1992
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Misteri Sepasang Pedang Setan
1 Dengan ilmu mengentengi tubuh yang
sangat sempurna, mereka mulai mengepung
rumah besar itu dari segala penjuru. Di dalam terlihat terang benderang, tanda
bahwa semua penghuninya belum tidur semua. Seseo-
rang dari pengintai itu, yang bertubuh agak
besar, mendekati seorang laki-laki berusia ti-ga puluh tahun. Tubuhnya sedang
dan wa- jahnya selalu berkerut.
"Ketua, apakah akan kita masuki saat
ini juga?" tanyanya menunggu perintah.
Orang itu diam sejenak dan kembali memper-
hatikan rumah itu. Beberapa saat kemudian
dia mengangguk pasti. Orang bertubuh besar
itu cepat bergerak memberi komando pada
beberapa orang kawannya. Tak berapa lama
terlihat beberapa orang yang memakai baju
hitam dengan lambing tengkorak di pung-
gungnya, meloncat dari cabang-cabang pohon
serta dari balik semak-semak. Dengan men-
gendap-endap mereka melompati pagar. Lima
penjaga tersentak kaget. Seseorang memben-
tak sambil membawa obor menerangi tempat
yang dicurigainya.
"Siapa itu"!"
Tak ada sahutan. Dia coba mene-
gaskan sambil mendekati tepi pagar. Keempat
kawannya memperhatikan dari gardu mereka
dengan seksama.
"Aaaaaakh...!"
Orang yang membawa obor itu tiba-tiba
keluarkan jerit kematian. Tubuhnya limbung,
dan kemudian ambruk dengan leher hampir
putus. Melihat itu, tentu saja keempat ka-
wannya cepat bergerak dan menghunus golok
masing-masing dan bersiaga menghadapi ke-
mungkinan. Salah seorang diantara mereka
yang bertubuh besar dan bercambang bawuk,
keluarkan suara mengancam.
"Anjing-anjing geladak! Perlihatkan ce-
congor kalian ke sini biar bisa kuhadiahkan
kepalamu untuk Kanjeng Raden Nugraha Wi-
sesa, karena kalian begitu lancang memasuki
rumah kediamannya!"
"Hi... hi... hi... hi...!" Terdengar ketawa mengikik tanpa ujud, dari kegelapan cabang
pohon yang tak jauh dari rumah ini. "Berani betul kau mengatai kami sebagai
anjing. Ju-lukan itu lebih tepat buatmu. Bukankah ka-
lian yang menjaga di sini gunanya seperti anjing-anjing kelaparan yang bisanya
cuma me- nangkap seekor maling kelas teri"! He., he.,
he...! Lebih baik kalian gorok leher sendiri sebelum aku yang akan
menggoroknya!"
"Buangsaaaat...! Apa kamu pikir si
Alap-Alap Golok Terbang keder menghadapi-
mu!" bentak orang yang bercambang bawuk
itu. "Keluarlah kau dan tunjukkan cecongor-mu!" "Ha... ha... ha... ha....! Jadi
engkau orang yang punya nama Alap-Alap Golok Terbang?" "Kalau sudah tahu, kenapa
tak cepat- cepat kabur"!"
"Ha... ha... ha... ha....!" Suara itu per-dengarkan suara halus yang lebih
panjang. Selesai ketawanya, tiba melesat beberapa
bayangan yang langsung menyerang keempat
penjaga itu. Masih untung keempat orang itu
telah siap, jadi mereka bisa langsung berkelit atau menangkis. Seorang diantara
mereka malah langsung balas menyerang.
"Ingin kulihat kemampuan si Alap-alap
Golok Terbang menghadapi murid-murid Per-
guruan Tengkorak Hitam tingkat ketiga!" lanjut suara itu lagi dengan suara yang
meman- dang rendah pada orang bercambang bawuk
itu. Direndahkan begitu, bukan main marah-
nya si Alap-Alap Golok Terbang yang bernama
Gondo Suramangun. Dengan cepat dicabut-
nya senjata yang berupa golok se-panjang dua
depa. Bagian atasnya nampak melebar dan
tajam mengkilat. Sepasang matanya liar dan
menatap bengis pada dua orang lawan yang
mengurungnya. Dengan teriakan keras, dia
mulai mainkan jurus Membelah Kayu Men-
congkel Akar, yang merupakan jurus terdah-
syat yang dimilikinya. Agaknya orang ini ingin membuktikan bahwa dirinya tak
bisa dipan-dang enteng begitu saja, dengan niat menja-
tuhkan dua orang penyerang yang mengaku
sebagai murid-murid Perguruan Tengkorak
Hitam. "Ciaaaat!"
"Trang! Trang!"
"Wuaaaaa....!"
Dengan sebat, golok di tangan Gondo
Suramangun memapaki ayunan pedang la-
wan. Terlihat bunga api di malam yang kelam
ini. Namun alangkah kagetnya orang ber-
cambang bawuk ini saat dia baru saja jejak-
kan kaki, terdengar jerit kematian. Ketika melihat, ternyata dua orang kawannya
tewas dengan leher hampir putus. Seorang lagi
nampak sedang terdesak hebat menghadapi
tiga orang pengeroyoknya. Dengan geram dan
gigi bergemeletuk, dia babatkan golok pada
lawan. Tapi dua orang pengeroyoknya itu bu-
kanlah anak kemarin sore yang baru belajar
ilmu silat. Meski mereka hanya murid-murid
tingkat tiga, tapi siapa yang tak kenal dengan Perguruan Tengkorak Hitam" Selain
ganas dan kejam, mereka juga terkenal dengan ilmu
pedangnya yang lihai dan jarang ketemu ban-
dingnya. Sudah barang tentu hal ini sangat
menyulitkan Gondo Suramangun. Meski telah
kerahkan segenap kemampuan untuk cepat-
cepat membereskan lawan, tapi akhirnya ma-
lah dia sendiri yang pelan-pelan terdesak he-
bat. "Kurang ajar!" makinya saat ujung pedang salah seorang lawan nyaris memotes
le- hernya. Masih untung dia cepat memapaki.
Tapi tangannya kesemutan saat senjata me-
reka beradu. Dari situ saja sebenarnya dia telah mengetahui bahwa tenaga dalam
lawan setingkat lebih tinggi. Bagaimana mungkin
dia bisa mengalahkan kedua orang ini" Diam-
diam orang bertubuh besar itu mengeluh di
hati. Serangan lawan dirasa semakin berat.
Satu serangan yang menusuk ke jantung ber-
hasil dielakkannya. Namun yang seorang lagi
dengan cepat membabat pinggang.
"Trang!"
"Cras! Cras!"
"Wuaaaa...!!"
Gondo Suramangun coba memapaki,
namun alangkah kagetnya orang itu saat la-
wan yang seorang lagi sabetkan pedang ke
leher. Dengan mati-matian dia berusaha
mengelak. Namun tak urung, ujung pedang
lawan berhasil merobek lehernya sedalam tiga
senti. Kontan saja orang bercambang bawuk
itu menjerit kesakitan sambil pegangi leher-
nya. Belum lagi sempat menguasai diri, lawan
telah kembali ayunkan pedang, dan... cras!
Dalam sekali tebas, kedua pergelangan tan-
gan dan batang lehernya putus seketika.
Orang itu tak sempat lagi keluarkan suara.
Tubuhnya limbung sesaat, kemudian am-
bruk tanpa bergerak lagi. Tanpa membuang
waktu, orang-orang dari Perguruan Tengkorak
Hitam itu menyerbu ke dalam setelah bersa-
maan dengan itu salah seorang kawannya si
Alap-Alap Golok Terbang yang tinggal seo-
rang, dibuat mampus dengan leher putus.
"Berhenti...!" teriak seseorang yang berdiri di ambang pintu depan yang terkuak
pelan-pelan. Nampak seraut wajah berwibawa
dengan pakaian bagus layaknya seorang
bangsawan di jaman ini. Usianya sekitar tiga
puluh tahun. Sorot matanya tajam menatap
pada beberapa orang yang membawa-bawa
pedang di hadapannya pada jarak dua tem-
bok. Orang-orang itu tertegun untuk bebera-
pa saat. Bangsawan yang tak lain dari tuan
rumah yang bernama Nugraha Wisesa, lan-
jutkan ucapannya.
"Hemm, ternyata kalian orang-orang
Tengkorak Hitam. Ada keperluan apa malam-
malam begini menyambangi kediamanku dan
membuat onar?"
Salah seorang diantara mereka maju
dua langkah sambil hunuskan pedang. "Eng-kaukah yang bernama Nugraha Wisesa"!"
tanyanya sinis.
"Betul!"
"Bagus! Serahkan Sepasang Pedang Se-
tan itu pada kami!"
"Pedang Setan?" Laki-laki berpakaian mewah itu kernyitkan dahi begitu mendengar
permintaan mereka. "Maaf, kisanak. Mungkin kalian salah alamat. Aku sama sekali
tak ta-hu menahu tentang pedang yang kau sebut
itu." "Jangan berpura-pura! Kau tahu betul tentang benda itu. Kakekmu,
Tumenggung Gandasena pernah menyimpan sepasang sen-
jata itu. Masakan kau sebagai keturunannya
tak tahu menahu... Mustahil!"
"Kisanak, aku berkata yang sesung-
guhnya. Aku sama sekali tak tahu menahu
tentang senjata yang kau sebutkan tadi," sahut Raden Nugraha Wisesa masih
menahan sabar. "Ha... ha... ha... ha...! Apa yang kau katakan tak salah!" sahut satu
suara diiringi tawa yang menyeramkan. Saat itu juga melayang seorang bertubuh
sedang dari atas se-
buah cabang pohon. Dia berdiri persis di ha-
dapan pemilik rumah itu pada jarak satu
tombak. Wajahnya menyeramkan dengan so-
rot mata tajam. Meskipun sudah tertawa, tak
terlihat sedikitpun keramahan di wajahnya
itu. "Mungkin kau tak tahu menahu ten-
tang sepasang senjata itu," lanjut orang itu,
"Tapi di sinilah letak muslihat yang dijalankan kakekmu itu. Dia sengaja memilih
eng- kau yang menyembunyikan Pedang Setan
agar orang-orang persilatan tak mencuri-
gainya. Siapa yang tak mengenal Raden Nu-
graha Wisesa sebagai orang yang lemah lem-
but dan selalu menggeluti kesusteraan" Ber-
beda betul dengan kakek atau ayahmu si Arya
Sena itu. Mereka adalah orang-orang kerajaan
yang kasar dan perkasa. Setelah mereka te-
was dalam peperangan, siapa lagi yang akan
mewarisi pedang itu kalau bukan engkau!"
"Kisanak, siapakah engkau ini" Kenapa
engkau begitu mengenal kakek dan ayahku?"
tanya Raden Nugraha Wisesa heran. Orang
itu tergelak sambil bertolak pinggang.
"Masakan engkau tak mengenal pa-
manmu sendiri" Bisa jadi si Arya Sena malu
menceritakannya. Tapi baiklah akan kute-
rangkan siapa aku sebenarnya! Namaku Su-
ryudana" Dan ibuku adalah selir kakekmu
yang paling muda. Jadi antara aku dan
ayahmu ada pertalian saudara meski cuma
saudara tiri. Dengan begitu engkau masih
terhitung keponakanku."
"Ah, maafkanlah atas kelancanganku,
paman," sahut Raden Nugraha Wisesa sambil menjura hormat. "Memang benar. Ayah
tak pernah menceritakan tentang paman sedikit-
pun." "Sudahlah. Aku tahu betul tentang watak ayahmu. Dia sangat membenciku.
Tapi aku tak bisa berlama-lama, Nugraha. Kau su-
dah tahu apa yang kuinginkan, bukan?"
"Apakah tentang Pedang Setan itu, pa-
man?" "Betul!"
"Ah, sayang sekali. Aku sungguh-
sungguh tak mengetahuinya sedikitpun. Men-
gapa tak percaya juga?" sahut. Raden Nugraha Wisesa dengan suara lunak. Tapi
Duryu- dana agaknya brangasan dan mulai hilang
kesabarannya. Dengan suara yang agak ke-


Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ras, dia kembali berkata.
"Nugraha, jangan coba-coba menyem-
bunyikan sesuatu padaku. Katakan di mana
pedang itu berada dan aku akan segera pergi
dan tak akan mengganggu di sini lagi!"
Mendengar ucapan orang itu, tentu sa-
ja Nugraha Wisesa jadi merasa kurang se-
nang. Kalaupun tadi dia mengakui begitu saja
orang ini sebagai paman tanpa selidik lebih
dulu, itu karena dia tak mau membuat masa-
lah yang lebih panjang. Dengan diakuinya
orang ini sebagai paman, siapa tahu dia mau
urungkan niat jahatnya. Namun diperlakukan
begitu, tentu saja dia tak bisa terima. Masih dengan suara lunak, namun
mengandung ke-tegasan, dia menjawab.
"Paman, sekali lagi kutekankan pula
padamu, bahwa aku sama sekali tak tahu
menahu tentang pedang yang kau cari itu!
Maaf, aku tak bisa membantumu. Kalau kau
datang untuk bersilaturahmi, tentu aku akan
senang sekali. Tapi kalau kau datang untuk
mencari keributan, aku tak punya waktu me-
ladeninya. Lagipula hari telah terlalu malam,"
sahut Raden Nugraha.
Tentu saja diperlakukan begitu amarah
Duryudana semakin memuncak. Lebih-lebih
saat dilihatnya tuan rumah bersiap-siap putar tubuh dan akan menutup pintu.
Dengan berang dan sekali tendang, daun pintu rumah
itu hancur ditendangnya. Dengus nafasnya
semakin kencang. Rahangnya bergemeletukan
menahan geram. Sepasang matanya menatap
tajam pada tuan rumah yang tersentak kaget
karena perbuatannya. Beberapa orang anak
buahnya telah siap dengan pedang terhunus
sambil mendekat pelan.
"Aku masih berlaku sabar padamu,
Nugraha. Katakan di mana pedang itu berada,
nyawa keluargamu pasti kuampuni. Tapi ka-
lau kau membandel dan pura-pura tak tahu,
kau tahu sendiri akibatnya!" kata Suryudana sambil menjambak rambut Raden
Nugraha dan menyorongkannya ke salah satu pilar.
Dengan keras dihantamkannya batok kepala
itu hingga laki-laki bangsawan itu menjerit
kesakitan manakala darah mulai mengucur
dari batok kepalanya.
Pada saat itu, sekonyong-konyong ke-
luar seorang perempuan berusia sekitar dua
puluh lima tahun dari salah sebuah kamar.
Wajahnya cantik jelita, rambutnya ikal
mayang. Dalam pangkuannya terdapat seo-
rang bayi berusia sekitar enam bulan. Wajah-
nya terlihat pias dan jeritnya tak terbendung manakala dilihatnya Raden Nugraha
menjerit-jerit kesakitan.
"Kangmas....!!"
Raden Nugraha menatap lesu saat pe-
rempuan itu berlari mendekatinya. Tapi dia
berusaha memperingati dengan sekuat tenaga
yang dimilikinya.
"Ratiiiih, cepat selamatkan dirimu!
Jangan dekat-dekat ke sini! Ayo, selamatkan
dirimu! Jangan hiraukan aku!!"
Belum lagi sempat perempuan itu ber-
pikir lebih lanjut, salah seorang murid Teng-
korak Hitam telah melesat dan menyambar
tubuhnya sambil terkekeh pelan. Suryudana
hanya mendengus sambil memberi isyarat
pada anak buahnya itu.
"Jaga dia baik-baik dan yang lain, gele-
dah seluruh isi rumah ini!"
"Baik, ketua!" sahut mereka. Suryuda-na kembali mendengus sinis pada Raden Nu-
graha. "Nah, kau lihat bukan" Aku bisa ber-
buat apa saja kalau kau tak menurut. Kau
masih punya istri yang cantik dan seorang
bayi. Kalau kau sayang jiwamu dan jiwa ke-
luargamu, katakan di mana pedang itu bera-
da. Kalau tidak, kau akan melihat mereka
mati satu persatu di hadapanmu!"
"Cuih! Bedebah! Meskipun aku tahu di
mana benda itu berada, tak nanti kau akan
kuberitahu!" meludah Raden Nugraha dan tepat mengenai Suryudana. Bukan main
kalap- nya orang itu. Lutut kanannya segera terayun
ke perut Raden Nugraha dengan keras. Laki-
laki bangsawan itu menjerit setinggi langit.
Dari mulutnya muncrat darah segar.
Perempuan yang tak lain dari istrinya
itu kembali menjerit ketakutan dengan wajah
panik. Namun seorang murid Tengkorak Hi-
tam yang memegangnya, memperkuat cekalan
ketika perempuan itu berusaha berontak.
"Jahanam keparat! Lepaskan istriku!"
maki Raden Nugraha. Suryudana tersenyum
sinis sambil melirik perempuan itu.
"Istrimu cantik juga, Nugraha..." katanya tersenyum sinis sambil mendekat dan
melepas jenggutannya di rambut laki-laki itu.
"Alangkah manisnya kalau dia ikut dengan-ku..." "Keparat! Hentikan niat busukmu
itu!" maki Raden Nugraha sambil menerjang ketua
Perguruan Tengkorak Hitam dengan kalap.
Tapi apalah dayanya. Laki-laki itu sama sekali tak mengerti ilmu silat. Sekali
Suryudana mendengar desir angin serangan, dia berkelit
dengan mudah. Kaki kanannya menggaet kaki
lawan. Tak ampun lagi, Raden Nugraha ter-
sungkur dengan dagu menghantam lantai
rumahnya yang terbuat dari marmer keras.
Darah mengucur deras dari dagunya yang ro-
bek. Dia berusaha bangkit, namun kaki ka-
nan Suryudana lebih cepat lagi menginjak
punggungnya. "Yang aku inginkan hanya sepasang
pedang itu, Nugraha. Tapi karena kau menu-
tup-nutupinya, terpaksa aku menginginkan
segalanya. Termasuk istrimu yang cantik ini!"
kata Suryudana dengan senyum sinis. Sekali
dia memberi isyarat, anak buahnya itu men-
dorong tubuh perempuan itu setelah terlebih
dulu merenggut bayi dalam momongannya.
Karuan saja, bocah yang belum lagi berusia
setahun itu menjerit keras. Istri Raden Nu-
graha berusaha menyambarnya. Tapi Suryu-
dana lebih cepat lagi bergerak memeluk pe-
rempuan itu dan mencumbuinya di depan
mata Raden Nugraha. Laki-laki itu memaki
garang. Teriakan-teriakan bayi serta istrinya yang ketakutan, seolah memberi
semangat untuknya. Dengan menggeram buas, dia be-
rusaha bangkit.
"Bukk!"
"Aaaaakh...!"
Seorang anak buah Tengkorak Hitam
langsung menghajar dadanya dengan ujung
kaki. Laki-laki itu terjerembab sejauh satu
tombak. Ubun-ubun kepalanya membentur
tembok. Untuk sesaat Raden Nugraha tak bi-
sa berbuat apa-apa. Kepalanya terasa berat
dan darah menetes dari luka akibat benturan
yang dilakukan Suryudana tadi sebelumnya.
Samar-samar dia melihat istrinya diseret den-
gan paksa ke kamar yang pintunya sengaja
dibuka hingga mampu dilihatnya. Darah laki-
laki itu semakin mendidih menahan amarah.
Dia berusaha bangkit saat pandangannya me-
lihat istrinya sedang digeluti oleh ketua Perguruan Tengkorak Hitam itu. Namun
baru sa- ja dia mendongakkan kepala, satu tendangan
kembali menghajar wajahnya. Laki-laki bang-
sawan itu menjerit keras menahan sakit. Tapi
lebih sakit lagi hatinya mendengar istrinya
berteriak-teriak ketakutan tanpa daya.
Tapi bagai tak merasakan sakit yang
dideritanya, Raden Nugraha terus mencoba
melawan. Akibatnya sungguh sangat parah.
Beberapa orang anggota Tengkorak Hitam
yang telah melaporkan bahwa mereka tak
menemukan apa-apa di rumah ini, bertindak
beringas kepadanya akibat kemarahan Su-
ryudana yang merasa niatnya mencari sepa-
sang Pedang Setan itu tak ketemu. Ketua
Tengkorak Hitam itu memaki-maki habis-
habisan pada anak buahnya.
"Pergi cari lagi dan biarkan laki-laki itu merangkak-rangkak ke sini untuk
menolong istrinya!"
"Baik, ketua!" sahut mereka serentak.
Anak buahnya segera mengerti maksud ketua
mereka. Dengan sadis mereka membuat Ra-
den Nugraha tak berdaya. Kedua kakinya di-
buntungi, punggung ditendang berkali-kali
hingga beberapa tulangnya hancur. Wajahnya
dipermak habis-habisan. Setelah puas dan
merasa bahwa laki-laki bangsawan itu tak
mempunyai daya lagi, mereka meninggalkan-
nya begitu saja. Raden Nugraha berusaha
bangkit sambil merangkak-rangkak mendeka-
ti Suryudana yang masih saja menggeluti is-
trinya yang telah dibuatnya tak berdaya sete-
lah ditotok urat geraknya.
"Sekarang kau bisa merasakan akibat
kebandelanmu sendiri, Nugraha. Mestinya
aku tak memperlakukan kau begini rupa asal
kau sudi menunjukkan padaku, di mana Pe-
dang Setan itu berada. Tapi tak apalah. Hi-
tung-hitung dendamku terhadap keluarga ka-
lian akan terbalas hari ini. Betapa ayahmu
sangat menghina padaku karena ibuku hanya
seorang selir dari kakekmu. Ayahmu meman-
dang dan memperlakukanku bagai seekor
anjing. Kau dapat rasakan hal itu. Saat itu
aku tak berdaya, persis keadaanmu sekarang
ini. Kurasa kaupun tahu hal itu sebab usia
kita tak jauh berbeda. Nah, sekarang rasa-
kanlah bagaimana aku merasakannya tempo
hari!" kata Suryudana sambil tergelak-gelak dan mencumbu perempuan itu dengan
seringai buas. Perempuan itu berteriak-teriak ke-
takutan sambil memaki-maki. Tapi mana mau
Suryudana melepaskan begitu saja. Apalagi
saat nafsu iblisnya mulai memuncak tatkala
pakaian perempuan itu mulai tak karuan di-
acak-acaknya. Tersingkaplah daerah-daerah
terlarang di bagian dadanya yang halus dan
montok. Darah Suryudana seolah mengalir
kencang dan tak beraturan. Dengan mengge-
ram hebat, dia melucuti seluruh pakaian pe-
rempuan itu tanpa sisa. Setelah itu, dia sen-
diri membuka pakaiannya dengan terburu-
buru. Raden Nugraha tak kuat melihat pe-
mandangan yang berada di depan matanya
itu. Dia berusaha bangkit, tapi untuk berge-
rak pun terasa sakit luar biasa. Kepalanya
tertunduk lesu manakala telinganya menden-
gar teriakan-teriakan istrinya yang akhirnya
mulai hilang dan berganti dengan dengus na-
fas Suryudana yang memburu bagai orang
berlari. Pandangannya pun mulai mengabur.
Ingatannya melayang entah ke mana. Suara-
suara itu semakin samar di telinga, dan tiba-
tiba terasa rumahnya panas bagai dikelilingi
api yang berkobar-kobar dengan hebat.
Apa yang dirasakan oleh laki-laki itu
ternyata tak salah. Setelah puas melam-
piaskan nafsu iblisnya, rupanya dendam ke-
sumat Suryudana belum tuntas. Setelah pe-
dang yang dicarinya tak diperoleh, dia meme-
rintahkan anak buahnya untuk membakar
seluruh gedung ini berikut penghuninya.
Termasuk di dalamnya bayi yang belum beru-
sia setahun itu. Raden Nughraha tak mampu
berbuat apa-apa. Selain tubuhnya yang terlu-
ka parah, diapun pingsan saat itu. Apalagi istrinya yang menderita tekanan batin
akibat perbuatan Suryudana. Saat itu juga tak sa-
darkan diri. Tinggallah bayi itu yang terus
menjerit ketakutan melihat kobaran api dan
kepanasan yang amat sangat.
Suryudana tergelak puas dan tinggal-
kan tempat itu seketika sambil berkelebat ce-
pat. Tanpa sepengetahuannya, seseorang ber-
kelebat ke dalam rumah yang sedang diamuk
api tadi dan menyambar tubuh bayi yang ter-
geletak di ranjang dan membawanya kabur
entah ke mana. Tepat saat itu, terdengar de-
rak kayu dan genteng-genteng rumah yang ja-
tuh. Rumah itu roboh beberapa saat kemu-
dian dan mengubur dua orang penghuninya
saat itu juga. 2 Sesosok tubuh itu terus berlari dan
berlari dengan lincahnya sambil mengerahkan


Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu mengentengi tubuh yang telah mencapai
tingkat sempurna. Kedua tangannya tampak
memomong seorang bocah yang berusia ku-
rang dari setahun. Kalau melihat raut wajah-
nya di kegelapan itu, agak kurang jelas. Yang pasti dia memiliki tubuh ramping
agak tinggi dan berambut panjang dengan pengikat kepa-
la. Tubuh itu terus berlari hingga mende-
kati kaki Gunung Sumbing. Dia berhenti se-
jenak sambil mengatur nafas. Wajahnya men-
dongak ke atas pada tebing-tebing terjal. Lalu dengan sekali genjotkan tubuh,
dia telah me- lesat seringan kapas dan berloncat-loncatan
melalui batu-batu yang menonjol di tebing-
tebing itu. Kira-kira sepeminuman teh sam-
pailah sesosok tubuh itu pada sebuah data-
ran yang agak luas. Bertepatan dengan fajar
yang mulai tiba. Dia berlari-lari kecil mendekati sebuah pondok yang tak jauh
dari situ sambil berteriak-teriak memanggil seseorang
dari dalamnya. "Eyang...! Eyang...! Cepatlah keluar dan lihat apa yang kubawa ini!"
"Ulah apa lagi yang kau buat saat ini"
Apakah kau telah memenggal kepala penjahat
ternama?" Terdengar sahutan dari dalam
pondok tanpa orangnya keluar.
"Ayolah, Eyang...! Apakah kau tak ber-
minat melihatnya?" sahut suara itu manja.
"Ya, ya! Aku mendengar tangis bayi.
Tapi dari mana kau dapatkan anak itu?"
"Bukan mendapatkannya, malah aku
menyelamatkannya!" Tubuh itu masuk den-
gan cepat ke dalam pondok. Di dalamnya tak
terlalu luas. Dua buah kamar tidur dan ruan-
gan yang menembus ke dapur. Dindingnya
terbuat dari tepas dan beratap daun nira. Di
ruang depan terlihat seorang berusia sekitar
delapan puluh tahun sedang duduk bersila di
atas bale-bale. Kepalanya yang botak ditutupi oleh sorban putih. Janggutnya
panjang seda-da dan telah memutih. Wajahnya masih keli-
hatan bersih meski kerut merut telah nyata di sana sini. Wajahnya membiaskan
kekerasan, namun ada wibawa yang dipancarkan.
Sesosok tubuh itu yang kini mulai nya-
ta ditimpa cahaya obor di ruangan itu ternya-
ta seorang gadis jelita berusia sekitar duapuluh enam tahun. Dia segera memberi
hormat setelah meletakkan bayi itu di dekat si orang tua. "Roro Ningrum, dari mana saja
kau sejak subuh dan kembali subuh pula"!" tanya orang tua itu pelan namun
mengandung kete-gasan dan ancaman
"Ti... tidak dari mana-mana, Eyang,"
sahut gadis itu kecut. "Aku... aku hanya merasa kesepian di sini terus. Apakah
salah se- sekali turun gunung untuk berbaur dengan
dunia ramai?"
Mendengar jawaban itu, si orang tua
terdiam sejenak. Suaranya berubah lunak
dengan nada membujuk.
"Roro, sudah berapa kali Eyang kata-
kan. Dunia ramai itu tak cocok untuk mu. Di
sana banyak kekejaman yang se-waktu-waktu
dapat merenggut jiwamu..."
"Eyang, duapuluh enam tahun aku be-
rada di sini, apakah itu bukan suatu bukti
bahwa aku cukup bersabar diri dalam kese-
pian" Terkadang aku butuh kawan untuk
bercerita dan bercanda. Tapi hanya dengan
burung dan angin saja aku bisa bicara dan
mengadu. Salahkah bila aku bertemu dengan
orang-orang ramai, lalu bergaul dan berbuat
sesuatu yang bisa membantu mereka" Aku
sudah cukup besar untuk menjaga diri. Se-
mua petuah Eyang rasanya tak pernah lupa
di benakku. Lalu apa lagi yang Eyang khawa-
tirkan?" Orang tua itu hela nafas. Untuk sesaat
dia tak tahu apa yang harus dikatakannya.
Apa yang diucapkan gadis itu tak salah. Se-
lama ini dia terlalu khawatir bila gadis itu turun gunung dan berbaur di dunia
ramai. Me- nurutnya dunia ramai itu penuh dengan tipu
muslihat dan kecurangan. Dia tak mau cicit
satu-satunya itu menjadi korban dari kelici-
kan orang-orang. Lebih-lebih saat kedua
orang tua gadis ini meninggal juga akibat dari kelicikan, semakin membuatnya
bertambah was-was. Karena tak mau lagi menyinggung ten-
tang hal itu, si orang tua mengalihkan pembi-
caraan pada persoalan bayi itu. Roro Ningrum
pun menceritakan persoalan yang diketa-
huinya. Orang tua itu manggut-manggut.
"Maaf, Eyang. Aku patuh pada nasehat
Eyang, tapi kadang-kadang juga ada niat un-
tuk berontak. Maka Eyang angkatlah bayi ini
kelak menjadi murid agar aku memiliki ka-
wan hingga aku tak merasa kesepian lagi,"
kata Roro Ningrum mengajukan alasan.
"Hemm, aku paham maksudmu, Roro.
Tapi mengangkat seorang murid, buatku bu-
kanlah persoalan mudah..."
"Kalau Eyang tak mau, biarlah aku
pergi saja dari tempat yang membosankan
ini!" potong gadis itu cepat sambil merajuk dan palingkan wajah. Orang tua itu
tak tahu harus berkata apa lagi. Dia cuma bisa hela
nafas pendek. "Baiklah! Baiklah! Aku akan turuti
permintaanmu, tapi dengan satu syarat, bah-
wa kau harus yakin bahwa bocah ini berasal
dari keluarga baik-baik, dan kau bersedia
menanggung akibat dari perbuatannya kelak
di kemudian hari!?"
"Sanggup!" sahut gadis itu cepat tanpa pikir panjang lagi. "Bukankah aku telah
katakan pada Eyang bahwa bayi ini anak seorang
bangsawan?"
"Orang bangsawan tak sama dengan
orang baik-baik! Siapa nama bangsawan itu?"
"Mana kutahu!" sahut Roro sambil
angkat bahu. "Kalau kau katakan bahwa orang tua
anak ini dibantai oleh mereka yang menjuluki
diri sebagai orang-orang Tengkorak Hitam.
Kenapa kau tak menolong kedua orang tua-
nya?" "Mana aku tahu. Pada saat itu kawa-nan itu telah pergi jauh dan lagi pula
Eyang berpesan bahwa aku tak boleh banyak ikut
campur dalam urusan orang-orang persilatan.
Aku turuti nasehat Eyang itu. Tapi menyela-
matkan bayi ini, tentu tak melanggar pesan
Eyang, bukan?"
"Kau memang pandai sekali bicara!"
sahut orang tua itu sambil gelengkan kepala.
Gadis itu ketawa renyah.
"Jadi bagaimana, Eyang" Apakah
Eyang mengijinkan bayi ini tinggal di sini dan kelak Eyang angkat menjadi murid
pula"!"
"Kalau kau telah berjanji begitu, buat
apa pula aku ragu?"
"Oh, terima kasih, Eyang!" jawab gadis itu girang bukan main. "Kini aku punya
te-man dan tak kesepian lagi. Biarlah kurawat
dia bagai anakku sendiri," lanjutnya sambil mencarikan baju-baju yang tak pantas
untuk bayi itu. Siapakah sebenarnya orang tua yang
menghuni puncak Gunung Sumbing ini sebe-
narnya" Puluhan tahun yang lalu rimba per-
silatan pernah digemparkan oleh kemunculan
seorang pemuda perkasa yang ilmu silatnya
tinggi luar biasa. Tak seorang pun yang mam-
pu mengalahkannya. Banyak sekali tokoh-
tokoh sesat yang dibantainya dengan sepa-
sang senjatanya yang berupa dua bilah pe-
dang. Meski dia sendiri termasuk orang persi-
latan kaum lurus, namun tindakannya kejam
sekali dalam membantai musuh-musuhnya.
Semua itu tak lain karena pengaruh senjata
mustikanya itu. Lama kelamaan pemuda itu
akhirnya mulai menyadari kekeliruannya dan
melepaskan senjata itu dengan menitipkan-
nya pada seorang kawannya yang bisa diper-
caya. Dia sendiri akhirnya mengasingkan diri
di puncak Gunung Sumbing ini dan perlahan-
lahan namanya mulai dilupakan orang yang
menyangkanya telah tiada. Orang itu mem-
punyai gelar Malaikat Pedang Bertangan Seri-
bu! 3 Waktu berjalan tanpa terasa dari hari
berganti hari dan bulan berganti tahun. Kehi-
dupan terus berlangsung sebagaimana mes-
tinya. Roda jaman seakan menggilas dan
menggelar berbagai peristiwa. Tak terasa, tu-
juh belas tahun telah berlalu sejak peristiwa itu. Di puncak Gunung Sumbing
seakan tak lewat dari hukum alam itu. Bayi perempuan
yang diselamatkan Roro Ningrum telah ber-
kembang menjadi dewasa. Seorang gadis ru-
pawan yang cantik jelita. Perempuan itu telah menganggapnya sebagai anak
sendiri. Kasih sayangnya tercurah bagai seorang ibu pada
anak kandungnya.
Pagi ini nampak orang tua yang berge-
lar Malaikat Pedang Bertangan Seribu gelisah
sekali seperti ada yang dipikirkannya. Bela-
kangan ini bukan ulah Roro Ningrum yang
masih saja kelayapan di dunia ramai yang
dikhawatirkannya, melainkan ada sesuatu
yang lebih penting dari cerita yang dibawa cicitnya itu.
Sementara itu sepasang matanya tak
berkedip melihat dua orang perempuan yang
sedang berlatih ilmu silat tak jauh dari pon-
dok. Kemajuan gadis itu pesat sekali. Roro
Ningrum seolah tak jemu melatih dan menun-
jukkan kesalahannya. Lagipula tutur bahasa
gadis itu lemah lembut dan tak terlihat kesan sebagai gadis binal. Hal ini
semakin membuat
orang tua itu bertambah suka padanya.
"Eyang tak memperhatikan kami berla-
tih?" sapa Roro Ningrum yang tiba-tiba telah berada di depan orang tua itu.
Perempuan yang kini berusia lebih empat puluh tahun itu duduk di sebelahnya dan
memperhatikan dengan seksama. Meski usianya telah mende-
kati setengah abad, namun tak terlihat kesan-
kesan tua di wajahnya. Bahkan sepintas
orang akan melihatnya seperti gadis usia du-
apuluh tahun saja layaknya.
"Ada sesuatu yang Eyang pikirkan?"
tanya gadis yang bersama cicitnya itu dengan
lemah lembut. "Katakanlah, Eyang. Barangkali kami bisa membantu."
Orang tua itu menatapnya sejenak dan
tersenyum kecil. "Dewi Ambarwati, tahukah sudah berapa lama kau bersama kami?"
"Kalau tak salah tujuh belas tahun
Eyang." "Betul. Kurasa inilah saatnya aku ha-
rus berterus terang padamu..."
"Eyang, apakah itu perlu!" potong Roro Ningrum dengan wajah terkejut. Dia mulai
menduga-duga bahwa Eyangnya ini akan
membeberkan rahasia gadis itu, sebab selama
ini Roro Ningrum selalu mengatakan bahwa
dia adalah ibunya dan orang tua itu adalah
kakek buyutnya. Kalaupun gadis yang ber-
nama Dewi Ambarwati itu menanyakan ten-
tang ayahnya, Roro Ningrum selalu mengata-
kan bahwa ayahnya telah tewas sejak dia ma-
sih dalam kandungan. Semua itu dilakukan-
nya karena saking sayangnya dia pada gadis
itu dan tak ingin dia mendapat beban pikiran
jika mengetahui keadaan dirinya yang sebe-
narnya. "Tentang apakah gerangan, Eyang?"
tanya Dewi Ambarwati penasaran melihat
orang tua itu yang ragu sesaat.
"Eyang, kurasa hal itu tak perlu. Dewi
Ambarwati telah senang dan bahagia hidup
bersama kita. Kalau Eyang bermaksud men-
ceritakan hal itu, sama artinya merusak ke-
bahagiaannya," kata Roro Ningrum lebih lanjut. "Eyang hanya ingin mengatakan
sesua-tu tentang berita yang kau peroleh tempo hari di luaran sana..."
"Berita apa, Eyang?"
"Tentang Sepasang Pedang Setan!"
"Oh, apakah Eyang tertarik juga untuk
merebutnya"!"
"Tidak. Ada hal yang perlu kalian keta-
hui. Dahulu sekali saat aku masih muda,
nama Malaikat Pedang Bertangan Seribu san-
gat ditakuti orang-orang persilatan di delapan penjuru mata angin. Dia memiliki
sepasang

Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang pusaka yang sangat ampuh. Kalau te-
naga batin kita tidak kuat, maka jiwa akan
rusak dibuatnya. Sepasang pedang itu seakan
mendorong hati nurani kita untuk berbuat
kejam. Waktu itu si Malaikat Pedang Bertan-
gan Seribu belum memiliki batin yang kuat
hingga sepak terjangnya begitu meresahkan
semua orang. Masih untung karena dia berpi-
jak pada jalan lurus hingga dari sekian ba-
nyak tokoh persilatan yang menjadi korban
selalu tokoh-tokoh sesat. Tapi bukan berarti
bahwa tokoh-tokoh golongan lurus tak ada
yang menjadi korban. Semua itu karena do-
rongan dari sepasang pedang yang dimilikinya
yang sangat haus darah. Untunglah akhirnya
dia sadar dan melepaskan sepasang pedang
itu dengan menitipkannya pada seorang ka-
wan yang bisa dipercaya...."
"Lalu apa hubungannya dengan Sepa-
sang Pedang Setang itu, Eyang"!"
"Aku ingin kalian mendapatkannya dan
membawanya kemari!"
"Eyang, itu sama artinya Eyang menyu-
ruh kami untuk terjun dalam dunia ramai
dan berhadapan dengan tokoh-tokoh persila-
tan"!" Orang tua itu mengangguk lesu. "Dulu mungkin orang tak percaya padamu,
namun setelah sekian lama kau membuktikan bahwa
dirimu sanggup menjaga diri, aku semakin
yakin bahwa kau bisa dipercaya. Lagipula
dengan ilmu silat yang kau miliki saat ini, tak sembarangan orang mampu
menjatuhkan-mu." "Eyang, apakah sepasang pedang itu begitu berarti buat Eyang?"
"Roro, sekaranglah aku berterus terang
padamu, dan juga kau Dewi Ambarwati," Sahut orang tua itu pelan setelah menghela
na- fas pendek. "Kalau aku menyuruh kalian untuk mengambil kembali sepasang pedang
itu, bukan berarti aku serakah. Tapi pedang itu
adalah milikku!"
"Jadi... jadi Eyangkah yang bergelar
Malaikat Pedang Bertangan Seribu"!" sahut Roro Ningrum seolah tak percaya. Orang
tua itu mengangguk pelan.
"Kenapa Eyang merahasiakannya pada
kami?" tanya Dewi Ambarwati.
"Karena aku tahu kelakuan ibumu. Dia
sering pergi ke dunia ramai dan aku tak mau
dia mendapat celaka karena orang mengeta-
hui bahwa dia murid si Malaikat Pedang Ber-
tangan Seribu!"
Untuk sesaat ketiganya membisu, na-
mun cepat dipecahkan kembali saat orang tua
itu berkata, "Roro, sahabat yang kutitipkan pedang itu bernama Ki Wicaksana.
Tapi orang-orang persilatan mengenalnya sebagai
Pendekar Hati Suci. Sesuai dengan gelarnya
itu, dia memang memiliki hati yang bersih
dan selalu berbuat kebenaran dengan jalan
sebaik-baiknya. Disamping itu, dia memiliki
tenaga batin yang kuat saat itu. Namun ak-
hirnya aku mendengar bahwa dia dibunuh
oleh muridnya yang bernama Parinka. Orang
itu banyak membuat keonaran dengan sepa-
sang pedang yang dimilikinya, dan orang-
orang menjulukinya sebagai si Pedang Setan.
Mendengar berita itu, aku berniat merampas
kembali dari tangannya. Namun belum sam-
pai niat itu kulaksanakan, kembali kudengar
berita bahwa si Pedang Setan berhasil dika-
lahkan dan tewas di tangan prang yang me-
namakan diri sebagai Raja Pedang Utara.
Orang itu adalah seorang pendekar asing dari
negri seberang. Entah bagaimana caranya,
saat kerajaan Puring Kencana menyerang ne-
gri itu, salah seorang tumenggung Kerajaan
bernama Gandasena berhasil membawanya
pulang. Orang itu berhati lurus dan cepat
mengetahui bahwa pedang itu selalu menun-
tut si pemegang untuk membunuh orang ser-
ta menghirup darahnya. Karena batinnya be-
lum kuat, akhirnya dia menitipkan pedang itu
pada kawan dekatnya, seorang pembuat sen-
jata-senjata tajam bernama Empu Pupulaka.
Namun sayang, orang tua itu akhirnya tewas
di tangan anaknya sendiri yang ingin mengu-
asai kedua pedang itu. Sampai saat itu, Sepa-
sang Pedang Setan itu raib entah ke mana.
Dan kini nampaknya mulai hangat kembali
beritanya. Untuk itulah kalian kutugaskan
merebutnya kembali!"
"Baiklah, Eyang. Aku mengerti seka-
rang kenapa Eyang selalu ingin menyendiri di
tempat ini. Pedang Setan itu telah membawa
bencana yang amat besar dan Eyang merasa
bersalah, bukan?"
"Itulah sebagian yang membuat hatiku
merasa tersiksa. Selama pedang itu berada di
tangan orang sesat, maka selama itu pula ke-
kacauan akan kembali timbul. Pedang itu se-
lalu berpasangan. Bila salah satu dimiliki,
cukup sudah membuat si pemiliknya menjadi
kejam dan hatinya penuh dengan niat-niat
jahat. Kalau batinnya tak kuat, maka dia
akan dikuasai pedang itu. Lalu bayangkan
pula bagaimana seandainya sepasang pedang
itu berada di tangan orang yang batinnya tak
kuat" Tentulah dunia ini akan kacau dibuat-
nya. Lebih-lebih bila orang itu sakti dan be-
rilmu tinggi."
"Lalu bagaimana kami bisa memba-
wanya jika pedang itu telah kami peroleh"
Bukankah nantinya pedang itu akan merasu-
ki batin kita yang belum kuat?" tanya Roro Ningrum.
"Roro, kekuatan batinmu untuk saat
ini rasanya cukup. Tapi aku perlu menggo-
dokmu lebih lanjut. Untuk itulah selama se-
minggu ini kau dan Dewi Ambarwati akan
kuberikan pelajaran untuk menguatkan tena-
ga batin yang kalian miliki," sahut orang tua itu. "Terima kasih, Eyang. Kami
akan berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh pe-
dang itu kembali," sahut Roro Ningrum dan Dewi Ambarwati hampir berbarengan.
Setelah menjura hormat, mereka mulai memper-
siapkan segala sesuatunya yang diperlukan
untuk latihan yang dimulai nanti malam.
Orang tua itu kembali menghela nafas agak
panjang. Di batinnya bergelora keyakinan
bahwa kedua cicitnya itu pasti mampu men-
gemban tugas yang diberikannya.
4 Seorang pemuda berbaju merah terli-
hat asyik duduk di bawah sebuah pohon be-
sar sambil menyandarkan diri dan menikmati
dendeng ikan lumba-lumba dengan lahap,
yang selalu disimpannya dalam periuk besar
yang dibawanya ke mana saja. Pakaiannya
terlihat dekil dan kumal, namun begitu wa-
jahnya sungguh sangat tampan, meski sedikit
agak lucu sebab dengan rambut yang dikun-
cir dan periuk besar yang selalu menyertainya dia nampak aneh. Siapa lagi pemuda
itu kalau bukan Buang Sengketa, atau si Pendekar
Hina Kelana. Sambil mengunyah makanannya den-
gan lahap, sesekali pemuda itu termenung
sambil memandang jauh ke depan pada ham-
paran rumput luas membentang. Pemandan-
gan ini sama sekali tak mirip dengan tempat
di mana dulu dia dibesarkan oleh orang tua
super sakti bergelar Bangkotan Koreng Seri-
bu. Orang tua yang telah membesarkan dan
mendidiknya, dan telah dianggapnya sebagai
orang tua sendiri. Ada kenang-kenangan in-
dah yang tiada terlupakan tentang ombak-
ombak dan debur laut serta burung-burung
camar di Pantai Karang Tanjung Api.
Dan manakala dia teringat tentang
orang tua kandungnya yang tiada pernah di-
jumpai, hatinya seolah terluka. Entah kenapa
hidup seperti ini harus menimpanya. Sejak
bayi tak mengetahui, siapa ayah ibunya, dan
setelah dewasa, barulah tahu bahwa ayahnya
adalah raja di Negri Bunian yang saat ini se-
dang menjalani hukuman karena menikahi
ibunya yang merupakan manusia biasa. Un-
tuk bertemu pun tak mudah. Ayahnya yang
sedang bertapa dalam ujud seekor Ular Piton
raksasa, entah di dasar laut mana bisa dite-
muinya. "Ah, sungguh malang benar nasibku
lahir di dunia ini..." desah pemuda itu tanpa sadar. "Sejak kecil tak berayah
dan beribu. Kini guruku pun entah bagaimana nasib-
nya...." Agak lama dia termenung begitu sampai telinganya yang sangat terlatih
mendengar derap langkah kuda yang sangat cepat mendekat ke arahnya. Cepat-cepat
pemuda itu bersembunyi di atas cabang sebuah pohon
dan mengintai para pendatang itu. Apa yang
didengarnya ternyata tak salah. Serombongan
orang berkuda memacu kudanya dengan ce-
pat. Diantara mereka terdengar jeritan-jeritan seorang gadis yang terus mencaci-
maki. Pemuda itu tak cepat turun tangan. Dia ingin
mengetahui lebih dulu, apa persoalan yang
sebenarnya. "Keparat! Lepaskan aku! Le-
paskaaaan...!" teriak gadis itu. "Kalau bapakku sampai tahu, kalian bisa berbuat
apa pa- danya. Dia pasti membantai kalian semua!"
"Siapa yang perduli pada bapakmu
itu!" Dia boleh datang ke sini kalau punya
keberanian," salah seorang yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Paras
wajahnya gagah dan tampan.
"Cuih! Orang-orang seperti kalian tiada
harganya di mata bapakku!" Maki si gadis yang sedang dalam keadaan tertotok dan
ikut di atas kuda pemuda itu.
"Nona, orang-orang Tengkorak Hitam
pantang dihina. Tapi karena urusanmu me-
nyangkut perintah ketua, aku masih berbaik
hati tak turun tangan kasar padamu. Tapi ka-
lau engkau terus memaki-maki, maka terpak-
sa aku harus menyumpal mulutmu itu!" kata si pemuda dengan nada mengancam.
"Kau kira bisa berbuat apa padaku"!
Ayo, lepaskan totokan ini dan kita bertarung
sampai seribu jurus!" tantang si gadis. "Kalau aku kalah, kau boleh pentang
bacot sesukamu!" "He... he... he....! Kalau engkau bisa mengalahkanku, tak
mungkin tadi engkau bi-sa kena totok."
"Kalau kau tak main keroyokan, mana
mungkin kau bisa mengalahkan aku!"
"Nona, engkau memang pandai bersilat
lidah. Tapi hari ini aku sedang tak berseman-
gat untuk meladenimu. Biarlah nanti bagai-
mana ketua yang akan menentukan. Apakah
engkau pantas dihukum, ataukah engkau
perlu diberi pelajaran karena mulutmu yang
terus memaki-maki itu!"
"Puih! Kau pikir aku takut!?"
"Tentu saja tidak. Tapi kalau engkau
kutelanjangi dan kusekap tiap hari di kamar-
ku, apakah engkau berani?"
Mendengar itu si gadis langsung ter-
diam dan bergidik ngeri. Dia bisa mem-
bayangkan apa yang akan dilakukan pemuda
ini nantinya. Apalagi karena dia tahu bahwa
orang-orang Tengkorak Hitam terkenal kejam-
kejam dan suka bertindak semaunya.
"Nah, bagaimana, nona" Apakah eng-
kau masih berani juga?" Ledek pemuda itu sambil cengengesan.
"Sebenarnya untuk apa kalian mencu-
likku?" tanya si gadis mengalihkan perhatian dengan suara yang lebih lunak.
Pemuda itu terkekeh pelan dan bukannya tak mengerti
maksud si gadis yang mulai ketakutan den-
gan ancamannya tadi. Tapi melihat parasnya
yang jelita dan kulitnya yang halus mulus,
serta tubuhnya yang montok, diam-diam pe-
muda ini suka pula padanya. Maka dengan
nada yang ramah pula dia menyahut.
"Apakah engkau mau membantu kalau
kuberitahu?"
"Kenapa tidak?"
"Baiklah. Sekarang atau nanti, toh sa-
ma saja. Ketuaku ingin tahu apakah keluar-
gamu masih menyimpan Pedang Setan..."
"Pedang Setan....?" Suara gadis itu terdengar bingung dan tak mengerti. "Pedang
apa itu" Rasanya baru sekarang aku mendengar namanya!"
"Ah, sudahlah, nona. Ternyata engkau
sama sekali tak bisa membantu. Tapi tentu
saja kami tak bisa melepaskan engkau begitu
saja." Mendengar jawaban itu, lunglailah si gadis Rasanya tiada harapan lagi


Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya untuk lepas dari cengkraman mereka. Lebih-
lebih saat pemuda itu memerintahkan kawan-
kawannya untuk memacu kuda lebih kencang
lagi. Namun pada itu tiba-tiba berkelebat satu bayangan yang membuat kuda
tunggangan mereka meringkik panjang sambil berjingkat
tinggi. Beberapa orang malah terpelanting da-
ri kudanya. Masih untung pemuda itu bisa
menguasai kuda dan merangkul gadis itu
dengan cepat. Dengan mengerahkan sedikit
tenaga dalamnya, dia mampu menjinakkan
kudanya yang tiba-tiba menjadi liar. Sepasang matanya menyipit dan menyorot
tajam manakala melihat seorang pemuda berbaju merah
kumal di depan mereka pada jarak dua tom-
bak. Pemuda yang rambutnya dikuncir itu
membawa-bawa periuk besar yang membuat
penampilannya terasa aneh di mata orang.
"Kisanak, siapakah engkau" Kenapa ti-
ba-tiba menghalangi perjalanan kami?" Tanya pemuda itu dengan nada pelan namun
menusuk dan mengandung ancaman. Beberapa
orang kawannya nampak bergemeletukkan
rahangnya menahan amarah. Tapi karena
pemuda itu yang saat ini memegang koman-
do, mereka cuma bisa menunggu perintah sa-
ja. Padahal pada pemimpin-pemimpin rom-
bongan lain tak ada yang selemah pemuda ini
dalam bertindak pada orang yang menghalan-
gi niat mereka dalam bentuk apapun.
"Tentang aku, barangkali tak ada gu-
nanya diketahui," jawab pemuda berpakaian kumal yang tak lain dari Buang
Sengketa. "Aku cuma seorang pengembara hina dina
dan tak berarti apa-apa. Tapi aku sama sekali tak suka melihat orang berlaku
seenaknya pada kaum yang lemah. Dan apa yang kalian
lakukan terhadap gadis itu adalah salah satu
contoh yang kukatakan itu."
"Sobat, maaf!" sahut pemuda penung-
gang kuda yang bernama Danu Umbara,
"Meski aku mengerti apa yang engkau katakan, tapi aku tak bisa menuruti
kesukaanmu. Aku hanya melaksanakan tugas dari ketua-
ku." "Kalau engkau punya otak, tentulah bi-sa engkau pakai dan dapat menilai,
tugas mana yang baik yang harus dikerjakan dan
mana yang buruk yang harus kau tinggalkan.
Dan apakah menurutmu menculik gadis itu
merupakan tugas yang baik?"
"Sobat, aku tak perduli apakah tugas
itu baik atau tidak, yang jelas aku hanya
menjalankan perintah. Dan engkau sebagai
orang luar, harap jangan turut campur uru-
san kami!"
"Umbara, kenapa engkau malah ba-
nyak omong segala!" teriak seseorang yang sudah tak sabaran dan mencabut
pedangnya. "Sudah tahu bahwa dia menghalangi kita,
buat apa diperdebatkan segala"! Sudah, ayo
cincang saja orang gila ini!"
Beberapa orang kawannya segera cabut
pedang dan turun dari kudanya masing-
masing. Dan Umbara panas bukan main me-
lihat itu. Dengan garang dia membentak, "Birawa! Apakah engkau pikir engkau yang
me- mimpin rombongan ini!?"
Orang yang dipanggil Birawa itu tak
kalah garang menjawab, "Danu Umbara, engkau terlalu lemah dalam bertindak, dan
sama sekali tak pantas memimpin rombongan!"
"Kurang ajar! Setelah urusan ini sele-
sai, engkau akan mempertanggung jawabkan
hal ini di depan ketua!"
"Apa engkau pikir aku takut?"
"Diam kau jangan banyak bacot!" bentak Danu Umbara dengan suara menggelegar
yang aliri tenaga dalam tinggi. Beberapa orang anak buahnya yang lain termasuk
Birawa, tersentak kaget. Sesungguhnya mereka tahu,
meski Danu Umbara berusia sangat muda di-
banding mereka, namun ilmu silatnya hampir
menyamai ketua. Dan dia sangat dipercaya
sebagai tangan kanan ketua mereka yang
memimpin rombongan untuk menghadapi tu-
gas-tugas sulit dan berbahaya. Tapi melihat
sikapnya yang agak lemah dan terlalu menga-
sihani lawan, sama sekali bertentangan den-
gan mereka yang biasa kasar dan bertindak
semaunya. Setelah melihat bahwa semua anak
buahnya tundukkan kepala, Danu Umbara
palingkan wajah dan pada pemuda di hada-
pannya itu. "Nah, sobat. Maafkan. Engkau
sudah tahu bagaimana jawabanku, maka bi-
arkan kami pergi tanpa menimbulkan perseli-
sihan denganmu," katanya.
"Mungkin saja engkau tak apa-apakan
gadis itu, tapi tetap saja jiwanya terancam berada di lingkungan orang-orang
seperti ka- wan-kawanmu itu."
"Kisanak..." sahut Danu Umbara den-
gan suara tegas, "Jangan paksa aku berlaku kasar padamu. Sesungguhnya aku sudah
terlalu bersikap lunak. Tapi kalau engkau terus
memaksakan keinginan dan terlalu ikut cam-
pur dalam urusan kami, aku tak bisa menja-
min anak buahku akan bersabar terus."
Mendengar itu Buang Sengketa ketawa
kecil. "Bajingan-bajingan seperti kalian memang pandai sekali bersandiwara,"
kata pemuda itu. "Segala apa yang kalian katakan dan perbuat pun penuh dengan
tipu muslihat. Aku sudah muak sekali melihat orang-
orang seperti kalian. Lepaskan gadis itu atau aku musti mengambilnya dengan
kekerasan!?" "Huh, agaknya engkau pun berminat pada pedang itu, atau barangkali
engkau ini sebangsa laki-laki hidung belang! Tapi selagi aku masih bernafas, jangan coba-
coba mengambilnya dari tanganku," sahut Danu Umba-ra mulai marah. Dengan satu
isyarat, dia te-
lah perintahkan anak buahnya untuk mengu-
rung pemuda itu. Mereka yang sejak tadi tan-
gannya sudah gatal melihat kelakuan pemuda
berpakaian seperti gembel itu, dengan cepat
mengurung dan kirim satu serangan kilat
yang cepat dan kuat serta mematikan.
"Cecunguk-cecunguk busuk ingin
mampus, terimalah ini!" Dengus Buang Sengketa sambil berkelit cepat dan mainkan
jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra
sambil balas menyerang.
"Ciaaat!"
Tubuh pemuda berkuncir itu melentik
ke udara dan menukik sambil kibaskan sebe-
lah tangan ke batok kepala pengeroyoknya
yang terdekat. Keruan saja, orang itu ayun-
kan pedang. Buang Sengketa tarik mundur
tangannya dan kirim satu tendangan kilat ke
dagu lawan. "Takk!"
Orang itu tersungkur setelah ter-
huyung-huyung beberapa tombak. Beberapa
buah giginya tanggal. Buang Sengketa tak
membuang-buang kesempatan. Tubuhnya
berputar cepat dan kibaskan tangan kiri
menghantam dada lawan yang terdekat den-
gannya. Tapi orang itupun ternyata telah ber-
siap dengan ayunan pedangnya. Seperti tadi,
kembali pemuda berkuncir itu tarik pulang
tangannya dan sorongkan kaki kiri ke ulu ha-
ti lawan. "Bukk!"
Orang itu menjerit kesakitan sambil
mendekap ulu hatinya yang terasa pecah ke-
na tendangan pemuda itu. Dua orang kawan-
nya kalap bukan main dan ayunkan pedang
menebas pinggang murid si Bangkotan Ko-
reng Seribu itu, tapi Buang Sengketa bersalto dua putaran ke atas sambil ayunkan
kedua tangannya ke batok kepala lawan.
"Plak! Plak!"
"Wuaaayyaaa....!"
Meski kelihatannya lemah, namun pu-
kulan itu mengandung tenaga dalam yang
cukup membuat pandangan kedua lawannya
berkunang-kunang dan berdiri sempoyongan.
"Bangsaaat! Gembel keparat! Kau ha-
dapi aku. Ciaaaat!" maki Birawa dengan amarah yang meluap. Pedang di tangannya
berke- lebat ke sana sini menimbulkan suara bercui-
tan. Buang Sengketa merasakan bahwa lawan
yang seorang ini memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dari kawan-kawannya yang
tadi. Tapi dalam tiga jurus berselang, dia mulai dapat
membaca gerakan lawan dan berbalik mende-
sak dengan hebat. Meskipun Birawa menye-
rang dengan menggunakan jurus andalannya,
tetap saja dia tak mampu bertahan lebih lama
menghadapi pemuda yang melawannya den-
gan tangan kosong itu.
"Hiaaaaat....!"
"Plak! Plak!"
"Wuaaaaa....!"
Dengan satu teriakan nyaring, dia kib-
latkan pedang dengan ayunkan pedang den-
gan cepat ketika pemuda itu melesat ke arah-
nya. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba pe-
dang di tangannya terpental dan dua pukulan
lawan menghantam dada dan pergelangan la-
wan. Tak pelak lagi. Tubuhnya yang tinggi be-
sar itu terpental sejauh dua tombak sambil
muntahkan darah segar.
"Cukup...!" teriak Danu Umbara meng-hentikan beberapa anak buahnya yang pena-
saran dan kembali menyerang pemuda itu
dengan kalap. "Kisanak, siapakah engkau ini sebe-
narnya" Ilmu silatmu sangat tinggi dan lihai sekali. Pastilah engkau bukan orang
sembarangan. Sudilah engkau memberitahu diri-
mu," lanjut Danu Umbara dengan sikap sebagai seorang sahabat. Mendengar itu
Buang Sengketa tersenyum kecil sambil berkata.
"Kisanak, namaku tiada berguna bagi-
mu. Tapi karena engkau terus mendesak,
baiklah kuberitahu. Aku yang hina ini berna-
ma Buang Sengketa, tapi orang-orang mena-
maiku sebagai si Hina Kelana...."
"Ah, ternyata engkaulah pendekar mu-
da yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia
persilatan di delapan penjuru mata angin.
Sungguh beruntung aku bisa berhadapan
dengan pendekar terkenal sepertimu," kata Danu Umbara kagum. "Ilmu silatmu
dikha-barkan sangat tinggi dan lihai sekali, dan ternyata apa yang kusaksikan
hari ini tidaklah
berlebihan. Engkau memang pantas menyan-
dang gelar itu. Tentulah engkau tak keberatan kalau barang sejurus atau dua
menunjuk-kannya padaku."
Buang Sengketa sungkan sekali dipuji-
puji begitu. Tadinya dia tak mau berlama-
lama dan tak mau meladeni ucapan pemuda
itu yang tak lain ingin menjajalnya. Tapi keti-ka dilihatnya pemuda itu langsung
meloncat dari pelana kuda dan kirim satu serangan ki-
lat ke arahnya, mau tak mau Buang Sengketa
merasa urusan akan lebih panjang. Tanpa
buang waktu lagi, dia me-lompat memapaki
sambil keluarkan lengkingan ilmu Pemenggal
Roh dengan seperempat tenaga dalam yang
dimilikinya. "Heiiiiigggkkk....!"
Meski dikeluarkan dengan seperempat
tenaga dalamnya, tak urung Danu Umbara
tersentak kaget. Terasa lengkingan suara itu
mempengaruhi jalan darahnya untuk bebera-
pa saat. Tapi itu sudah cukup bagi Buang
Sengketa untuk kabur setelah menyambar
tubuh gadis yang masih berada di atas pelana
kuda. Dengan menggunakan ajian Sepi Angin,
tubuhnya melesat cepat meninggalkan mere-
ka. Tinggal Danu Umbara yang geleng-
gelengkan kepala dengan hati mangkel. Bira-
wa malah menyumpah-nyumpah tak karuan
ketika akhirnya mereka meneruskan perjala-
nan sebab tiada gunanya mengejar pemuda
itu yang tak kelihatan lagi bayangannya.
5 Perempuan berusia kira-kira enam pu-
luh tahun itu, marah bukan main saat men-
dengar laporan dari beberapa orang murid pe-
rihal hilangnya cucu kesayangannya diculik
oleh segerombolan orang. Tubuhnya yang
agak gemuk seolah bergetar hebat menahan
geram. Rambutnya yang hampir memutih di-
gulung ke atas dengan beberapa tusuk konde
menghiasinya, ikut bergoyang-goyang mana-
kala dia bangkit dari kursi. Sepasang ma-
tanya yang kecil, membelalak lebar. Di tangan kanannya terdapat sebuah tongkat


Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terbuat dari kayu besi. Pada pangkalnya terda-
pat patung seekor ular naga sebesar kepala
manusia dewasa. Siapakah so benarnya ne-
nek ini" Rimba persilatan mengenalnya seba-
gai Peri Kuning Tongkat Maut. Padahal nama
sebenarnya adalah Nyai Larasati
Perempuan tua ini termasuk tokoh ko-
sen yang jarang ketemu tandingan. Sepak ter-
jangnya di dunia persilatan tak pernah men-
genal kompromi dalam membantai lawan-
lawannya. Tak jarang orang memasukkannya
ke dalam jajaran tokoh-tokoh sesat tingkat
tinggi. Sebenarnya dia tak memiliki perguruan yang tersendiri. Perempuan tua ini
hanya memungut sebelas orang murid yang semua-
nya terdiri dari perempuan, yang saat ini terlihat menundukkan kepala
mendengarkan amarah orang tua itu. Mereka menyadari,
bahwa ini kesalahan mereka sendiri yang tak
waspada hingga cucu kesayangan guru mere-
ka sendiri mampu diculik tanpa mendapat
perlawanan yang berarti.
"Goblok! Tolol! Walau aku tak pernah
menyuruh kalian untuk menjaga Endang
Purwasih secara khusus, tapi setidaknya ka-
lian punya perhatian terhadapnya. Bukankah
kalian mengetahui bahwa belakangan ini ba-
nyak pihak-pihak tertentu yang mengincar
Pedang Setan itu"! Dengan adanya berita
yang menyebar bahwa salah satu pedang itu
berada di tanganku, tentu mereka berusaha
mendapatkannya dengan cara apapun! Salah
satunya adalah Endang Purwasih yang pasti
akan dijadikan sandera!"
"Ampun, guru!" sahut salah seorang
murid tertua bernama Kusumawati. Usianya
sekitar duapuluh tahun. "Kami akan berusa-ha mencari Adik Endang Purwasih sampai
dapat walaupun itu harus dengan tebusan
nyawa kami sendiri."
"Huh, apa kalian kira mudah menya-
troni orang-orang dari Perguruan Tengkorak
Hitam"! Tidakkah kalian mengetahui bahwa
mereka terdiri dari orang-orang yang berilmu
tinggi. Apa yang bisa kalian perbuat"!" dengus perempuan tua itu sinis.
"Ibu, bukankah engkau mengenal ke-
tuanya yang bernama Suryudana itu?" tanya seorang perempuan berusia empat puluh
tahun yang duduk di sebelahnya. "Kalau ibu mendatanginya, siapa tahu dia mau
berbaik hati dan melepaskan anakku."
"Jangan berpikiran bodoh, Banonwati!
Apa kau pikir si Suryudana itu menculik
anakmu untuk kesenangannya belaka" Dia
pun termasuk salah seorang diantara mereka
yang mengincar pedang itu. Sudah pasti dia
menggunakan anakmu untuk dijadikan san-
dera karena tak berani terus terang menda-
tangi tempat kita."
"Ibu, kalau dia tak berani berarti dia
takut pada ibu. Kenapa tidak ibu saja yang ke sana?" "Banonwati, ada hal yang
perlu kau ketahui. Bila si Suryudana telah berani mencu-
lik anakmu, berarti dia telah siap menyambut
kedatangan kita. Baik dengan tipu muslihat-
nya, ataupun dengan cara apapun. Dan bila
kita tiba-tiba datang, maka pancingannya
akan mengena. Kita belum lagi mengetahui
apa yang direncanakan orang itu," sahut Nyai Larasati. "Tapi yang jelas sekali,
setiap muridku yang lalai, pasti akan kena hukuman!"
lanjutnya dengan suara tegas berwibawa.
"Guru, aku bersedia menerima huku-
man," sahut salah seorang murid yang bernama Parwati. "Aku yang bersalah tak
mam-pu menahan mereka saat menculik Adik En-
dang Purwasih."
"Bagus! Karena engkau telah mengaku
dan bersedia dihukum, aku akan meringan-
kan hukumanmu. Engkau akan dicambuk se-
ratus kali!"
Mendengar itu, jantung Parwati seolah
berhenti berdenyut. Hukuman cambuk seba-
nyak seratus kali, bukanlah main-main. Dulu
saja ada seorang murid yang melakukan ke-
salahan kecil dan dihukum cambuk sebanyak
duapuluh kali, tubuhnya di bagian punggung
tersayat sayat bagai diiris pisau tajam. Sakit
dan pedihnya bukan main. Sebulan penuh
murid itu tak bisa bangun. Bagaimana mung-
kin dia mampu bertahan dengan hukuman
cambuk sebanyak seratus kali"
"Kau telah siap, Parwati"!"
"Eh..., ng... siap, guru....!"
"Bagus!" sahut Nyai Larasati. Dia memandang pada Kusumawati, dan berkata.
"Siapkan tonggak di depan beserta cambuk!"
Tanpa berani membantah, perempuan
itu menjura hormat dan dengan cepat me-
ninggalkan ruangan.
"Urusan Endang Purwasih, biar nanti
aku yang menyelesaikan dengan caraku sen-
diri. Pertemuan ini selesai dan kalian harus
melihat Parwati dihukum agar menjadi pelaja-
ran untuk kalian semua, bahwa barang siapa
yang lengah, aku tak segan-segan menghu-
kum kalian," kata Nyai Larasati selanjutnya.
Dengan langkah pelan dia beranjak dari
ruangan itu diikuti Banonwati dan murid-
murid yang lain.
Parwati telah siap di halaman depan
itu. Kedua tangannya diikat dan digantung-
kan pada bambu di atasnya. Kedua kakinya
dibuka agak lebar, dan masing-masing diikat
pada tonggak kanan dan kiri. Gadis itu mena-
tap sekilas pada Kusumawati, kemudian per-
lahan-lahan tundukkan kepala dengan wajah
lesu. Nyai Larasati telah siap dengan cam-
buk di tangan. Pandangannya menyapu se-
mua murid yang berada tak jauh dari situ.
Beberapa orang palingkan wajah dan merasa
ngeri membayangkan apa yang bakal menim-
pa Parwati. Selain murid termuda, gadis itu-
pun paling rendah ilmunya diantara mereka
semua. Pastilah dia tak akan sanggup berta-
han sampai sepuluh kali cambukan. Apalagi
seratus kali. Tapi mereka semua tahu, bahwa
guru mereka tak pernah menarik kembali ka-
ta-katanya, dan sepertinya tak punya belas
kasihan barang sedikit pun. Meski nantinya
Parwati telah pingsan pada cambukan kese-
puluh, pasti orang tua itu tak perduli dan terus melecutkan cambuknya hingga
hitungan- nya genap seratus. Entah apa jadinya tubuh
gadis itu nantinya.
Beberapa orang murid yang lain malah
tenang-tenang saja. Seolah kejadian itu bagi
mereka hal yang biasa. Lagipula mereka be-
ranggapan bahwa itu salah gadis itu sendiri.
Kenapa dia sok jago menghadapi keroyokan
orang banyak sewaktu ingin menyelamatkan
Endang Purwasih. Padahal kalau dia berteriak
memanggil, sudah pasti semua murid akan
keluar dan membantunya.
"Ctaaaaaar....!"
Nyai Larasati melecutkan cambuknya
ke udara, seakan memberi isyarat pada Par-
wati untuk bersiap. Gadis itu tarik nafas da-
lam-dalam dan pejamkan mata. Namun baru
saja orang tua itu akan lecutkan cambuk ke
tubuhnya, sekonyong-konyong terdengar satu
jeritan panjang.
"Jangaaaaan....!?"
Seorang gadis berusia tujuh belas ta-
hun tergopoh-gopoh menghampiri tempat itu.
Di belakangnya terlihat seorang pemuda ber-
baju merah dan dekil. Wajahnya sangat tam-
pan. Dengan rambut dikuncir dan periuk be-
sar yang selalu dibawa-bawanya, pemuda itu
nampak aneh sekali. Siapa lagi pemuda itu
kalau bukan Buang Sengketa, atau lebih di-
kenal dengan nama Pendekar Hina Kelana.
"Endang, engkau tak apa-apa, nak"!"
teriak Banonwati sambil mengejar anak itu
dan memeluknya erat-erat. Nyai Larasati ter-
paksa undurkan hukuman itu untuk bebera-
pa saat. "Nenek, sedang ada apakah di sini"
Kenapa kakak Parwati digantung" Apakah
nenek hendak mencambuknya?" tanya En-
dang Purwasih heran setelah melepaskan pe-
lukan dari ibunya.
"Parwati pantas mendapat hukuman
karena lalai menjagamu!"
"Nenek, kakak Parwati membelaku ma-
ti-matian, kenapa malah nenek hendak
menghukumnya" Bukankah itu tidak adil"
Sekarang juga aku mohon nenek, agar mele-
paskannya."
Perempuan tua itu terpaku sejenak
sambil menghela nafas panjang. Lebih-lebih
saat cucunya itu mulai merajuk. Dia memang
teramat menyayangi cucu satu-satunya ini.
Bukankah karena kehilangannya tadi yang
membuatnya marah dan jatuhkan hukuman
pada Parwati" Dan sekarang cucunya telah
kembali dan meminta agar muridnya itu di-
ampuni. "Ayolah, nek. Nenek tentu mau men-
gampuni kakak Parwati, bukan?"
"Baiklah, baiklah..." sahut orang tua itu pelan. Secepat itu pula Endang
Purwasih jejingkrakan dan mencium pipi orang tua itu.
Dia segera menyuruh beberapa orang murid
untuk melepaskan ikatan Parwati. Gadis itu
menatap cucu gurunya untuk beberapa saat
dengan pandangan berterima kasih, sebelum
akhirnya dia masuk untuk melaksanakan tu-
gasnya masing-masing sebagaimana biasa.
"Siapa pemuda itu" Apakah dia salah
satu murid Perguruan Tengkorak hitam?" lanjut Nyai Larasati dengan pandangan
curiga. "Oh, iya sampai lupa!" seru gadis itu.
Dia memberi isyarat pada pemuda itu untuk
mendekat. "Nek, perkenalkanlah. Pemuda itu yang menyelamatkanku dari orang-orang
Tengkorak Hitam. Namanya Buang Sengketa.
Dialah si Pendekar Hina Kelana yang sangat
terkenal itu"
Begitu mendengar ucapan cucunya, pe-
rempuan tua itu agak terkejut. "Oh, engkaukah yang bergelar Pendekar Hina Kelana
itu, anak muda" Sungguh beruntung hari ini aku
dapat berkenalan denganmu. Atas semua ke-
luarga di sini, aku mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu yang telah menyela-
matkan cucuku," kata Nyai Larasati dengan sikap hormat. "Kalau tak keberatan,
sudilah engkau mampir sejenak di gubuk kami, kare-
na kami mengundangmu dengan segala ke-
hormatan."
Melihat sikap yang berlebih-lebihan itu,
Buang Sengketa agak sungkan juga. Dia su-
dah menolak dengan halus dan berbagai ma-
cam alasan, namun mereka nampaknya agak
memaksa. Lebih-lebih Endang Purwasih yang
dengan sikap kekanak-kanakannya, menarik-
narik tangan pemuda itu ke dalam. Mau tak
mau Buang Sengketa tak punya alasan lain
buat menolak. Pemuda itu dijamu sebagai-
mana layaknya tamu terhormat saja. Lebih-
lebih saat keluarga itu memintanya menginap
barang sehari dua. Pemuda itu lebih sungkan
lagi. Selain sejak tadi diperhatikannya penghuni keluarga ini perempuan semua,
dia juga tak betah berlama-lama di satu tempat seperti ini. Namun mereka kembali memaksa.
Dia pun akhirnya merasa tak enak untuk meno-
lak. Apalagi alasan mereka sangat tepat, se-
bab sebentar lagi malam akan tiba. Dengan
terpaksa Buang Sengketa menerima permin-
taan mereka untuk menginap di rumah itu.
6 Malam telah semakin larut. Rumah be-
sar itu mulai terlihat sepi. Beberapa buah
kamar terlihat gelap, namun di ruangan uta-
ma Nyai Larasati beserta anaknya, Banonwati
dan cucunya, Endang Purwasih, masih terli-
hat obrolan-obrolan dengan tamu mereka,
yaitu Buang Sengketa. Lama kelamaan pe-
muda itu makin jengah saja berlama-lama di
sini. Sikap mereka terlalu berlebih-lebihan
dan penuh dengan basa basi yang memua-
kkan. Entah beberapa kali dia menguap un-
tuk memberi isyarat pada tuan rumah bahwa
dia agak jemu mendengar ocehan mereka.
Agaknya tak dimengerti oleh mereka. Lebih-
lebih Endang Purwasih yang sejak tadi terus


Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di dekatnya dengan sikap genit dan
kekanak-kanakkan.
"Kalau engkau suka, engkau boleh
tinggal di sini selamanya, Kelana," kata Nyai Larasati. "Kami semua akan
menerimamu dengan lapang dada."
"Betul, Kelana!" sahut Endang Purwasih bersemangat. "Kami akan suka sekali
menerimamu. Bukankah begitu, bu?"
Banonwati tersenyum kecil sambil ang-
gukan kepala. Buang Sengketa jadi risih.
"Ah, kalian terlalu baik padaku..." sahut pemuda itu lirih. "Adalah suatu
kehormatan buatku menerima tawaran kalian ini. Tapi
aku hanyalah seorang pengembara biasa. Aku
telah terbiasa hidup beratapkan langit dan
berselimut angin. Rasanya tak pantas men-
dapat penghormatan ini."
"Engkau terlalu merendah, Kelana.
Dengan ilmu silat yang engkau miliki seperti
saat ini, siapa yang mampu menandingimu"
Engkau bisa hidup lebih layak sebenarnya.
Punya rumah, dan.... keluarga..." kata Ba-
nonwati sambil mengerling putrinya. "Eh, maaf. Barangkali engkau memang telah
ber-keluarga."
"Tidak! Siapa gadis yang sudi dengan
orang gembel sepertiku ini."
"Kenapa musti jauh-jauh" Di sinipun
pasti banyak yang suka padamu. Bukan begi-
tu, Endang?"
"Ah, ibu bisa saja..." sahut gadis itu tersipu malu. "Siapalah pemuda yang suka
pada wajah buruk sepertiku?"
"Siapa bilang engkau punya wajah bu-
ruk?" tanya Buang Sengketa. "Kalau iya, barangkali murid si Tengkorak Hitam itu
tak akan tergila-gila padamu," lanjutnya sambil tersenyum kecil.
"Huh, siapa sudi pada orang seperti
itu!" dengus Endang Purwasih dengan ketus.
Ibu dan neneknya hanya tersenyum menden-
gar ocehannya. Tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh sikap si orang tua yang berubah serius.
"Seseorang sedang mengintai dari atas
genting. Sebaiknya bersikap biasa saja. Ba-
rangkali utusan dari Tengkorak Hitam," kata Nyai Larasati berbisik sambil
bangkit. Tanpa menimbulkan suara, tubuh pe-
rempuan tua itu melayang ke atas rumah
sambil kirim satu serangan kilat. Buang
Sengketa mendesah kagum. Ilmu mengenten-
gi tubuh yang dimiliki orang tua itu sudah
sangat sempurna betul.
"Biarlah aku membantu nenekmu me-
ringkus pengintai itu," kata Buang Sengketa.
Tanpa perduli jawaban kedua perempuan itu,
tubuhnya melesat ke atas wuwungan, persis
di lobang yang dibuat Nyai Larasati. Untuk
sesaat dia celingukan. Namun manakala se-
pasang matanya yang tajam menangkap dua
sosok tubuh di kejauhan, dengan cepat dia
memburu ke arah itu sambil mengerahkan
ajian Sepi Angin.
Tapi alangkah kagetnya pemuda itu
manakala melihat bahwa kedua bayangan itu
melesat dengan cepat. Padahal dia telah ke-
rahkan separuh ilmu lari cepatnya, tapi ke-
dua bayangan itu tak juga terkejar. Dengan
geram dia mengerahkan seluruh kekuatan
untuk mengempos ajian Sepi Angin. Tubuh-
nya melesat cepat bagai sliweran angin yang
berhembus kencang. Dengan mengambil jalan
memutar, dia bermaksud menjebak pengintai
itu. Setelah dirasa bahwa kedua bayangan itu
tertinggal jauh, Buang Sengketa menunggu
dari sebuah cabang pohon yang menurut per-
Anak Pendekar 16 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar 9
^