Pencarian

Misteri Sepasang Pedang Setan 2

Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan Bagian 2


kiraannya pastilah dilalui kedua orang itu.
Perkiraan pemuda itu tak salah. Meski
saat itu suasana terasa gelap, namun dia da-
pat melihat seseorang berlari dengan kecepa-
tan penuh ke tempatnya berada. Begitu orang
tersebut hampir mencapai tempatnya ber-
sembunyi, dengan gerakan ringan Buang
Sengketa melayang turun.
"Berhenti, sobat!" katanya dengan suara yang agak keras. Orang itu terkejut
seten- gah mati dan hentikan langkah. Untuk sesaat
dia palingkan wajah ke belakang. Tak terlihat
pengejarnya tadi. Buang Sengketa dapat me-
lihat jelas pada jarak tiga tombak ini, bahwa orang ini adalah seorang pemuda
yang berusia sekitar duapuluh tahun. Wajahnya tak
terlalu tampan. Tubuhnya pun kelihatan agak
kurus dan mengesankan seorang yang lemah.
"Ada urusan apa engkau mengintai di
rumah Nyai Larasati?"
"Apakah engkau tamunya itu yang ber-
gelar Pendekar Hina Kelana?"
"Dari mana engkau mengetahuinya?"
tanya Buang Sengketa heran.
"Aku mencuri dengar pembicaraan ka-
lian agak lama. Syukurlah orang tua itu tak
mampu mengejarku sampai ke sini...."
"Hei, jangan coba-coba mengalihkan
perhatianku. Seseorang yang mengintai di
rumah orang, pastilah bermaksud buruk. Apa
yang engkau inginkan di rumah itu"!" bentak Buang Sengketa kesal.
"Apakah engkau juga menuduhku
bermaksud buruk" Sobat ketahuilah, bahwa
mereka bermaksud memasang jeratnya pa-
damu." "Jerat" Jerat apa"!"
"Bukankah mereka membujukmu un-
tuk menetap di rumahnya?"
"Ya."
"Sesungguhnya mereka coba membu-
jukmu untuk berpihak pada mereka. Akhir-
akhir ini rahasia mereka terbongkar. Pedang
Setan yang sedang dicari-cari oleh orang-
orang persilatan dari berbagai penjuru salah
satunya berada di tangan Nyai Larasati. Ka-
rena mengetahui bahwa engkau berilmu ting-
gi, mereka coba menahanmu untuk tetap
tinggal di situ. Baru saja tadi aku mencuri
dengar bahwa seorang murid akan memba-
wakan arak yang telah dicampur obat pem-
bius. Semua itu tak lain dari suruhan orang
tua itu sendiri."
"Bagaimana mungkin aku bisa percaya
pada kata-katamu?" tanya Buang Sengketa
curiga. "Sebaiknya tidak kita bicarakan di sini tapi di tempat lain. Kalau
engkau curiga padaku, biarlah aku berjalan lebih dulu, dan
engkau mengikuti dari belakang," sahut orang itu. Mulanya Buang Sengketa enggan
juga. Tapi karena hatinya mulai tergelitik oleh ceri-ta orang itu, maka diikutinya
juga tanpa mengurangi kewaspadaan. Kalaupun ada hal
lain yang membuatnya mau ikut, paling-
paling karena dia mulai jengah melihat sikap
keluarga Nyai Larasati yang terlalu berlebih-
lebihan. Dengan adanya urusan ini, bukan-
kah peluang baik baginya untuk menghindar
dari mereka"
Berpikir begitu, pemuda dari Negri Bu-
nian itu cepat genjot tubuh menyusul pemuda
yang baru dikenalnya itu yang telah melesat
lebih dulu. 7 Buang Sengketa anggukan kepala saat
orang tua berusia lanjut itu selesai mene-
rangkan segala sesuatunya. Tadinya dia agak
ragu dan mulai curiga saat pemuda ini men-
gajaknya ke suatu tempat yang sangat ter-
sembunyi di sebuah lereng gunung. Apalagi
ketika melihat sebuah pondok di dalamnya.
Namun setelah bertemu dengan guru pemuda
itu dan orang tua itu menjelaskan segala se-
suatunya, barulah dia sedikit lega. Kelegaan-
nya bisa jadi karena berpendapat, seorang ah-
li ibadah seperti Resi Abirawa ini, mana
mungkin berkata dusta. Pula wajahnya san-
gat mengesankan bahwa dia seorang yang arif
bijaksana serta luas pandangannya. Sungguh
beruntung pemuda yang bernama Tuta Rimba
ini berguru padanya. Namun manakala pe-
muda itu menceritakan riwayat hidupnya,
Buang Sengketa seolah merasakan kepedihan
yang dirasakannya.
"Masih untung pada saat itu Eyang
menyelamatkanku. Kalau tidak, aku tak tahu
apa jadinya...."
"Jadi kedua orang tuamu tewas saat
itu?" "Aku tak pasti. Menurut Eyang, bapakku masih hidup dan ditawan oleh mereka
di ruang bawah tanah. Itulah sebabnya aku te-
rus mengintai tempat kediaman mereka."
"Engkau bermaksud membebaskan ba-
pakmu?" "Itu salah satu tugasku selain men-
gambil kembali Pedang Setan di tangan mere-
ka dan menyerahkannya pada yang berhak.
Karena jejak pemiliknya sampai saat ini tak
tentu rimbanya, maka Eyang bermaksud me-
nyimpan pedang itu dan mencari si Malaikat
Pedang Bertangan Seribu sampai ketemu."
"Ya. Aku merasa bertanggung jawab
untuk mengembalikannya pada pemiliknya
yang sah. Setelah kakak seperguruanku, yai-
tu Ki Wicaksana atau lebih dikenal sebagai
Pendekar Hati Suci, yang dititipi kedua pe-
dang itu tewas di tangan muridnya, mau tak
mau aku merasa bertanggung jawab," kata
Resi Abirawa menimpali. "Buang Sengketa, namamu sangat terkenal di segala
penjuru mata angin sebagai pendekar muda yang be-
rilmu tinggi tiada bandingan. Gurumu pun
sangat terkenal sebagai tokoh pembela kebe-
naran yang tiada tandingan. Maukah engkau
menolong kami untuk mendapatkan pedang
itu kembali?"
"Selama itu untuk kebaikan, aku akan
selalu bersedia melakukannya sekuat daya
kemampuanku," sahut murid si Bangkotan
Koreng Seribu. "Tapi, maaf, Ki. Dengan ilmu yang engkau miliki sekarang ini,
engkau tentu dengan gampang mendapatkan kedua senjata
itu?" Orang tua itu tersenyum kecil. "Siapa bilang aku mempunyai ilmu yang
tinggi" Yang
kupunyai hanya ilmu agama. Kalaupun ada,
sangat tak berarti dibanding dengan yang
engkau miliki."
"Ah, Ki Birawa terlalu memuji. Aku
cuma manusia biasa saja. Begitu pula dengan
guruku." "Dan engkau pun ternyata pandai se-
kali merendahkan diri..." timpal Tuta Rimba tertawa kecil. "Aku sudah lihat
sendiri, Eyang.
Ilmu larinya hebat luar biasa!"
"Sudahlah, Tuta! Lama kelamaan aku
jengah juga mendengar pujian-pujian itu. Se-
baiknya kita kembali pada persoalan semula,"
sahut Buang Sengketa. "Maaf, Ki. Ada sesuatu yang barangkali kurang jelas
buatku. Dari mana engkau mengetahui bahwa salah satu
Pedang Setan itu berada di tangan Nyai Lara-
sati" Dan kalau benar, kenapa dia tak memi-
liki kedua pedang itu?"
"Hal inilah barangkali yang tak ku
mengerti," jawab orang tua itu sambil ke-rutkan dahi. "Empu Pupulaka tewas di
tangan anaknya sendiri yaitu Cakrangga, yang merupakan ayah kandung Tuta Rimba.
Sebenarnya dia orang baik. Punya istri yang cantik dan
seorang anak yang lucu. Tapi karena Nyai La-
rasati seorang yang tamak, dia menyuruh
anak gadisnya yaitu Banonwati untuk meng-
goda, guna mendapatkan Sepasang Pedang
Setan itu. Cakrangga akhirnya mabuk ke-
payang oleh rayuan Banonwati. Hingga bagai
kerbau dicocok hidungnya, dia menurut saja
saat perempuan itu menyuruhnya untuk
mengambil pedang tersebut. Tapi Cakrangga
hanya menemukan sebuah saja. Dia mencari-
cari yang sebuah lagi, namun tak ketemu.
Empu Pupulaka sendiri mana mau memberi
tahu. Dengan kalap akhirnya dia membunuh
orang tua yang tak berdaya itu. Namun ketika
tiba di rumahnya ternyata mereka telah
membunuh istrinya. Bukan main kalapnya
dia. Tapi tak berdaya menghadapi dua orang
yang berilmu tinggi itu. Aku sebenarnya tak
pasti, apakah Cakrangga masih hidup atau
tidak. Cerita ini, hanya kudengar dari para te-tangganya pada saat aku
menyelamatkan Tu-
ta Rimba yang berada dalam puing-puing ru-
mah yang akan menimpanya akibat perbua-
tan Nyai Larasati itu"
"Jadi Endang Purwasih itu masih ter-
masuk saudara tiri Tuta Rimba?"
"Bukan! Menurut apa yang kudengar,
Banonwati telah bersuami saat dia merayu
Cakrangga. Tapi suaminya kemudian diketa-
hui tewas. Banyak orang yang mengatakan
bahwa suaminya itu pun bermaksud menda-
patkan Pedang Setan yang saat itu sedang di-
incar Nyai Larasati. Tentu saja perempuan
tua itu tak suka dan barangkali dialah yang
membunuhnya," jelas Resi Abirawa.
"Lalu kira-kira ke mana Pedang Setan
yang satu lagi, Ki?"
"Entahlah. Menurut penyelidikan yang
dilakukan Tuta Rimba, bisa jadi Suryudana
atau lebih dikenal sebagai Raja Tengkorak
Bermuka Masam, yang menjadi ketua Pergu-
ruan Tengkorak Hitam, menyimpan yang satu
lagi." "Ya," sahut pemuda itu. "Kalau tak ada api, mana mungkin ada asap. Dari
mana Suryudana mengetahui bahwa Nyai Larasati
memiliki pedang itu. Dan karena keampuhan
Pedang Setan harus berpasangan, bisa jadi
dia pun bernafsu untuk mendapatkan pedang
itu." "Ada satu hal lagi yang ingin kuketa-hui, Ki," kata Buang Sengketa setelah
dia anggukkan kepala mendengar penjelasan Tu-ta Rimba. "Apa kehebatan Sepasang
Pedang Setan itu hingga banyak diperebutkan orang?"
"Menurut apa yang kudengar, pedang
itu mampu mempengaruhi pemiliknya untuk
bertindak kejam dan melipat gandakan tenaga
dalam si pemegangnya. Kalau seseorang tak
mempunyai tenaga batin yang kuat, dia pasti
akan terpengaruh oleh daya sihir pedang itu.
Dan di samping itu, ada sesuatu yang amat
didambakan oleh orang-orang persilatan. Pa-
da kedua gagang itu, terdapat pelajaran ilmu
silat kelas tinggi yang bernama jurus-jurus
Pedang Setan. Tapi tak sembarangan orang
bisa menafsirkan karena terdapat banyak
sandi-sandi yang agak membingungkan."
Pemuda dari Negri Bunian itu angguk-
anggukkan kepala mendengar penjelasan itu.
"Pedang itu benar-benar membuat banyak
malapetaka..." kata pemuda itu bergumam.
"Ya, akan banyak lagi darah yang tum-
pah kalau tak cepat diselesaikan. Maukah
engkau membantu kami, Kelana?"
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, Ki,"
sahut Buang Sengketa.
Karena hari telah larut malam dan se-
saat lagi fajar menyingsing, akhirnya mereka
kembali bercakap-cakap mengenai pengala-
man masing-masing. Tak lupa orang tua itu
memberi petuah-petuah yang sangat berguna
bagi murid si Bangkotan Koreng Seribu. Ke-
mudian saat pagi tiba, Buang Sengketa dan
Tuta Rimba telah meninggalkan tempat itu
untuk mencari jejak Sepasang Pedang Setan
tersebut. 8 Kedua perempuan itu berlari-lari kecil
meninggalkan Lembah Batu Ampar. Yang seo-
rang berusia sekitar empat puluh tahun, na-
mun wajahnya masih sangat cantik dan ja-
rang terlihat kerut merut. Seorang lagi gadis belia berusia sekitar tujuh belas
tahun berpa-ras sangat jelita. Keduanya membawa-bawa
sebilah pedang di punggung masing-masing.
Dari situ saja bisa membuktikan bahwa me-
reka bukan perempuan sembarangan. Paling
tidak mereka memiliki ilmu silat yang cukup
lumayan meski rimba persilatan belum men-
genal mereka. Tapi yang dilakukan kedua pe-


Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rempuan itu sangat mencurigakan. Seperti
banyak diketahui orang, lembah tersebut ada-
lah tempat kediaman seorang pandai besi
yang sering membuat pesanan senjata-
senjata. Baik dari pihak kerajaan maupun
dan mereka orang-orang persilatan. Seorang
tua renta bernama Empu Pupulaka. Siapakah
kedua perempuan itu sebenarnya" Mereka
tak lain dari Roro Ningrum dan anak angkat-
nya Dewi Ambarwati. Setelah mereka turun
gunung guna mencari Sepasang Pedang Se-
tan, jejak pertama yang mereka cari adalah
tempat kediaman pandai besi tersebut. Na-
mun di situ mereka tak menemukan siapa-
pun. Meski tempat itu merupakan sebuah
lembah, namun di situ juga terdapat perkam-
pungan penduduk. Dari beberapa orang yang
mereka tanya, didapatlah keterangan, bahwa
orang tua itu telah tewas di tangan anaknya
sendiri yang bernama Cakrangga. Setelah
mendapat kabar itu, mereka segera mencari
jejak Cakrangga yang menurut beberapa
orang itu mungkin berada di kediaman Nyai
Larasati atau Peri Kuning Tongkat Maut.
"Ibu, siapakah orang itu sebenarnya?"
tanya Dewi Ambarwati. "Kenapa si Cakrangga itu bisa terlibat dengan anak
perempuannya"
Bukankah orang itu sudah punya istri dan
anak?" "Itulah kehidupan di dunia ramai, De-wi. Terkadang godaan terlalu banyak
datang hingga melemahkan iman mereka yang tak
kuat. Hanya karena kecantikan dan bujuk
rayu, seseorang tega meninggalkan istri dan
anaknya, bahkan membunuh orang tua sen-
diri," sahut Roro Ningrum.
"Apakah ibu bermaksud mendatangi
tempat mereka?"
"Tentu saja!"
"Menurut orang-orang itu, Nyai Larasa-
ti adalah tokoh sesat yang sangat kejam...."
"Apakah engkau takut?"
"Tidak. Aku hanya tak ingin kehilangan
ibu, setelah ayah tewas, aku hanya memiliki
satu orang tua. Dan aku tak mau ibu tewas
pula...." "Dewi, umur seseorang itu bukan di-
tentukan oleh orang lain, melainkan oleh
Yang Maha Kuasa. Lagipula kalau kita tewas
dalam menegakkan keadilan, akan sangat
mulia di mata siapapun ketimbang kita mati
secara tak berguna. Semua orang kelak akan
mati juga. Hanya tinggal menunggu waktu sa-
ja, dan waktu itu sangat singkat. Kita harus
mempergunakannya sebaik mungkin," jelas
Roro Ningrum. "Tapi kenapa orang-orang yang sering
berbuat kebaikan harus lebih cepat mati ke-
timbang mereka yang berbuat jahat. Apakah
ini adil, bu" Bukankah seharusnya orang
yang berbuat baik diberi ganjaran yang baik
pula?" "Kita tak bisa menentukan ukuran adil, Dewi. Adil buat kita, belum tentu
adil menurut orang lain. Begitu juga di mata Yang Maha Kuasa. Kita tiada
mengetahui, apa yang di-rencanakannya. Tapi yang pasti, bukanlah
sesuatu yang buruk," jelas Roro Ningrum
kembali. Sepanjang perjalanan, memang tak
henti-hentinya perempuan itu memberi penje-
lasan-penjelasan tentang kehidupan pada
anak angkat yang sangat disayanginya itu.
Bukan hanya saat ini saja, namun sejak gadis
itu bisa bicara pun dia telah banyak membe-
rikan gambaran-gambaran kehidupan dunia
ramai padanya. Hal inilah yang membuat ga-
dis itu cepat matang dari usia yang sebenar-
nya. Dia tumbuh menjadi seorang gadis yang
cerdas, santun, dan luas pandangan hidup-
nya. Sementara itu dengan menggunakan
ilmu lari cepatnya, sebentar saja mereka telah tiba di kediaman Nyai Larasati.
"Maaf, katakan kalian punya tujuan,
baru bisa kutentukan apakah guru berhak
menemui kalian atau tidak," sahut seorang murid ketika dua orang itu menanyakan
tentang Nyai Larasati.
"Nisanak, apakah engkau punya kuasa
berkata begitu" Engkau pasti dihukum berat
karena berlaku begitu pada sahabat gurumu!"
bentak Roro Ningrum kesal sambil menjalan-
kan muslihatnya. Gadis penjaga gerbang itu
terpaku sesaat. Dipandanginya kedua orang
itu dengan seksama.
"Siapa nama kalian?"
"Untuk apa engkau tanya-tanya" Ayo,
lekas katakan pada Nyai Larasati bahwa ka-
wan lamanya akan berkunjung!"
Dibentak begitu, si gadis agak gugup.
"Ba... baiklah....!" katanya sambil berlalu ke dalam. Saat itu juga Roro Ningrum
dan Dewi Ambarwati mengikuti dari belakang. Mereka
menunggu di beranda depan. Tak lama ke-
mudian Nyai Larasati atau Peri Kuning Tong-
kat Maut keluar bersama Banonwati dan be-
berapa orang muridnya. Mereka berbasa basi
sesaat, setelah itu barulah Roro Ningrum
mengemukakan maksudnya dengan baik-
baik. Sepasang alis perempuan itu berkerut.
"Maaf, nisanak. Aku sama sekali tak
pernah mendengar nama pedang yang kalian
sebutkan itu?"
"Nyai Larasati, pedang itu adalah wari-
san perguruan kami, jadi kami harus men-
gambilnya kembali. Kalaupun pada akhirnya
kami ke sini, tiada lain karena petunjuk beberapa orang yang mengatakan bahwa
engkau memiliki salah satu Pedang Setan itu. Kalau
satu atau dua orang yang berkata begitu,
mungkin aku bisa ragu. Tapi semua orang
merasa yakin bahwa engkau memiliki salah
satunya!" sahut Roro Ningrum dengan suara pelan namun mengandung nada dakwaan.
Mendengar jawaban tamunya yang di-
rasanya sedikit memaksa, Nyai Larasati me-
rasa kurang senang. Dengan tegas dia kemba-
li berkata, "Nisanak, aku telah berkata yang sebenarnya. Urusan kalian mau
percaya atau tidak, itu terserah kalian! Dan lagipula den-
gan niat kalian yang berpura-pura itu, mana
bisa kupercaya bahwa kalian bermaksud
baik-baik!"
"Nisanak, bagaimanapun kami telah
menunjukkan itikad baik. Bagaimana mung-
kin engkau menuduh kami sedemikian rupa?"
"Dengan cara kalian membohongi mu-
ridku untuk bisa bertemu denganku, apakah
itu maksud yang baik"!"
"Kalau kami tak membohongi murid-
mu, bagaimana mungkin engkau mau berte-
mu dengan kami secara baik-baik" Belum
apa-apa muridmu telah menaruh curiga. Se-
seorang yang berbuat salah pasti selalu was-
was dan berjaga-jaga akan segala kemungki-
nan yang terjadi. Kalau memang kalian tiada
menyimpan pedang yang kini direbutkan
orang itu, mana mungkin engkau menyuruh
setiap muridmu untuk waspada!" sahut Roro Ningrum dengan kata-kata yang mulai
sinis. Mendengar itu amarah Nyai Larasati tak ter-
bendung lagi. Perempuan itu segera bangkit
dari kursinya dengan wajah dingin.
"Sebaiknya kalian berdua cepat ting-
galkan tempat ini sebelum kemarahanku
memuncak!"
"Terbukti bahwa salah satu pedang itu
berada di tanganmu. Kalau tidak, tak mung-
kin engkau bersikap begini rupa!"
"Nisanak, rupanya engkau ingin diper-
lakukan kasar. Karena engkau berani menya-
troni tempatku, pastilah engkau punya sedikit nyali dan kepintaran. Ingin
kulihat, sampai di mana kemampuanmu itu!" sahut Nyai Larasati sambil melompat ke
halaman depan. Tu-
buhnya melayang dengan ringan. Roro Nin-
grum sudah menganggap bahwa itu tantan-
gan. Maka tanpa pikir panjang lagi, tubuhnya
pun ikut melesat mengikuti perempuan tua
itu dan jejakkan kaki pada jarak tiga tombak
di hadapannya. Dewi Ambarwati menyusul di-
ikuti oleh semua murid yang dengan cepat
mengurung tempat itu.
"Nisanak, aku tak pernah membiarkan
musuhku keluar hidup-hidup dari tempatku
ini. Bersiaplah engkau!" kata Nyai Larasati dingin sambil gedor ujung tongkatnya
ke tanah sekali. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba
saja tubuhnya yang agak gemuk itu melesat
sambil kirim satu serangan kilat. Roro Nin-
grum pun tak kalah sigap. Sekali tangan ka-
nannya terayun, sebilah pedang telah berkib-
lat di tangannya memapaki serangan tongkat
lawan. "Trang!"
"Wuuuk!"
Nyai Larasati sedikit terkejut. Bukan
saja tangannya yang agak kesemutan saat
senjata mereka beradu, namun dia tak me-
nyangka bahwa lawan mampu bergerak cepat.
Nyaris tenggorokannya terkena ujung pedang
lawan yang berkelebat bagai kilat.
Sambil kertakkan rahang menahan ge-
ram, dia keluarkan jurus handalnya yang di-
beri nama Serangga Malam Menipu Pandang.
Agaknya perempuan tua yang punya gelar Pe-
ri Kuning Tongkat Maut, ingin secepatnya
menyudahi pertarungan. Dalam gebrakan tadi
siapa pun dapat melihat bahwa dia agak kete-
ter. Sudah barang tentu hal ini membuatnya
merasa malu di hadapan murid-muridnya
sendiri. Untuk itulah dia ingin menunjukkan
pada mereka, juga pada lawannya, bahwa dia
masih patut diperhitungkan dan tak bisa di-
pandang enteng.
Roro Ningrum bukannya tak merasa-
kan serangan lawan yang mulai mendesaknya
dengan hebat, tapi perempuan tua itu juga
menggunakan serangan-serangan yang keji.
Tongkat di tangan yang pangkalnya terdapat
patung ular naga sebesar kepala manusia de-
wasa itu, berputar-putar bagai baling-baling
dan tiba-tiba mengeluarkan asap yang ber-
warna kekuning-kuningan. Belum lagi ujung-
nya yang runcing me-nyambar-nyambar ba-
gian tenggorokan, jantung, dan di bawah pe-
rut. Roro Ningrum yang pandangannya agak
samar karena terhalang asap kuning itu, mu-
lai kepayahan. Bukan hanya itu saja, namun
agaknya asap kuning itu mengandung obat
pembius yang bisa melumpuhkan urat syaraf.
Meski dia telah mainkan jurus terhebatnya
yang diberi nama Kilat Pedang Membelah
Angkara, namun kelebatan pedangnya yang
sangat menyilaukan mata siapapun yang me-
lihat, tak mampu menyentuh tubuh lawan.
"Dewi, cepat engkau lari dari sini! Ayo, cepaaaat...!" teriak perempuan itu
memberi isyarat pada anak angkatnya itu ketika melihat keadaannya yang tak
menguntungkan. Tubuhnya mulai kelihatan agak limbung dan
terhuyung-huyung sambil terbatuk-batuk.
Pandangannya pun mulai samar dan berku-
nang-kunang. "Tidaaaak! Manusia-manusia curang
ini harus diberi pelajaran!" sahut gadis itu tak perduli dan mulai ayunkan
pedang untuk membantu Roro Ningrum. Namun bersamaan
dengan itu, sebelas murid Nyai Larasati telah mengurungnya dengan ketat dan
kirim serangan secara tiba-tiba. Mau tak mau Dewi Am-
barwati terpaksa membereskan mereka terle-
bih dahulu. Namun itu bukanlah pekerjaan
mudah. Kesebelas murid-murid Nyai Larasati
bukanlah orang sembarangan. Masing-masing
mereka memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi pa-
da saat ini mereka menyerang dengan seren-
tak. Tapi tak percuma Dewi Ambarwati seba-
gai murid Malaikat Pedang Bertangan Seribu
kalau musti keder menghadapi keroyokan.
Dengan semangat yang berapi-api dia me-
layani mereka sambil putar pedang dan
mainkan jurus Kilat Pedang Membelah Ang-
kara. Jurus pedang itu sebenarnya sangat
handal. Selain mengandung serangan yang
cepat dan kuat, dia juga memiliki jurus-jurus tipuan yang mampu mengecoh lawan.
Kalau saja asap kuning yang disebar Nyai Larasati
tak mempengaruhi Roro Ningrum, rasanya
perempuan tua itu tak mungkin sanggup
menghadapinya. Kehebatan jurus itu terlihat saat Dewi
Ambarwati berhasil mematahkan senjata


Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tongkat pada dua orang lawan, dan membuat
luka yang cukup parah pada keduanya. Tapi
karena gadis itu kurang pengalaman dalam
menghadapi pertarungan, dan lagipula lawan
yang dihadapinya bukan orang sembarangan,
sebentar saja dia kembali didesak oleh lawan-
lawannya. "Dewi, cepat lari dari sini! Ayo, cepat...!"
teriak Roro Ningrum kembali memperingati.
Tubuhnya melesat mendekati tempat perta-
rungan gadis itu dan menghajar dua orang
lawan yang mendesak putri angkatnya itu
dengan hebat. "Trang! Trang!"
"Craaas!"
Perempuan separuh baya murid si Ma-
laikat Pedang Bertangan Seribu itu mengeluh
pendek saat lengan kirinya berhasil disabet
ujung tongkat Nyai Larasati yang tak mem-
biarkannya kabur begitu saja. Darah mulai
mengucur dari tempat itu. Kepalanya lebih te-
rasa nyeri, dan pandangannya semakin men-
gabur. Agaknya ujung tongkat lawan itu men-
gandung racun yang hebat. Meski begitu dia
masih sempat berteriak pada anak angkatnya
itu untuk menyelamatkan diri.
Dewi Ambarwati bingung setengah ma-
ti. Batinnya tak tega untuk menuruti perintah ibunya itu. Apalagi saat ini dia
sedang terluka. Namun akal sehatnya cepat bekerja. Ka-
lau mereka berdua tertangkap atau tewas,
siapa yang akan memberitahukan hal ini pa-
da guru" Maka setelah ibu angkatnya itu ber-
teriak sekali lagi sebelum tubuhnya ambruk,
gadis itu kertakkan rahang menahan geram.
Pedangnya berkiblat. Dengan suara melengk-
ing nyaring, tubuhnya melesat ke atas sambil
membuat putaran beberapa kali. Tiga orang
murid Nyai Larasati cepat mengejar sambil
putar tongkat bagai baling-baling dan siap
menggebuk tubuh lawan. Tapi tentu saja De-
wi Ambarwati telah memperhitungkan hal itu
sebelumnya. "Trang! Trang! Trang!"
"Tras! Tras! Crab!"
Dengan menggunakan jurus Kilat Pe-
dang Membelah Angkara pada tingkatan ter-
tinggi, pedang di tangannya memapas ketiga
tongkat lawan dan cepat kirim dua sabetan
dan satu tusukan. Ketiga murid Nyai Larasati
atau Peri Kuning Tongkat Maut keluarkan je-
rit kesakitan. Dua orang memegang bagian
pinggang yang robek sepanjang satu jengkal,
dan seorang lagi mendekap dada kanan yang
terus mengucurkan darah. Secepat itu pula
Nyai Larasati menggeram hebat dan kirim sa-
tu pukulan jarak jauh yang mengeluarkan se-
larik sinar kuning. Namun tubuh Dewi Am-
barwati telah melesat bagai seekor walet ter-
bang dan secepatnya meninggalkan tempat
itu. Pukulan orang tua itu hanya mengenai
tempat kosong saja. Sambil menyumpah-
nyumpah, dia memerintahkan murid-
muridnya mengejar lawan yang telah kabur
itu. 9 Tubuh gadis itu terus berkelebat den-
gan cepat. Sesekali dia menoleh ke belakang
manakala melihat beberapa orang pengejar-
nya masih tertinggal pada jarak duapuluh
tombak. Dengan mengerahkan seluruh ke-
mampuan ilmu lari cepatnya, tubuhnya mele-
sat meninggalkan para pengejarnya hingga
tak terjangkau lagi jarak-nya. Gadis yang
bernama Dewi Ambarwati itu agak bernafas
lega saat melihat kenyataan itu. Perlahan dia hentikan langkah dan mengatur
nafasnya yang semakin memburu sambil bersandar
pada sebuah batang pohon. Wajahnya men-
dongak ke atas dengan pandangan sayu. Se-
sekali dia memicingkan mata menahan kepi-
luan, namun kali lain wajahnya terlihat ge-
ram. "Ibu, tak kusangka apa yang ku ce-maskan ternyata kini terbukti. Entah
bagai- mana nasibmu kini..." keluhnya lirih. "Mudah-mudahan engkau bisa selamat. Aku
pasti akan datang kembali dan mengadukan hal ini
pada Eyang. Bisa berbuat apa mereka terha-
dap beliau...."
Tiba-tiba gadis itu dikejutkan oleh sua-
ra tawa panjang yang mengejeknya. Dengan
cepat .dia bersiaga dan putar pandang ke se-
keliling tempat. Namun alangkah kagetnya
dia manakala melihat bahwa tempat itu telah
dikepung rapat oleh orang-orang yang berwa-
jah seram dengan gambar tengkorak di pung-
gung baju mereka. Reflek gadis itu mencabut
pedang dan bersiap mempertahankan diri.
"Sungguh kebetulan sekali ada seorang
gadis cantik berkeliaran di tempat ini. Bisa
menjadi hiburan buat kita semua!" kata seorang laki-laki berusia sekitar
limapuluh ta- hun. Wajahnya bengis. Meski pun dia ketawa,
namun tak terlihat keramahan. Sebaliknya
menyiratkan hawa kesadisan dan kekejaman.
Perlahan-lahan dia mendekati gadis itu.
"Siapa kalian"!" bentak gadis itu sambil mundur dua langkah.
"Siapa kami, engkau tak perlu tahu,
tapi keheradaanmu di tempat ini justru san-
gat membahagiakan kami, dan itu engkau
perlu tahu!" sahut laki-laki itu sambil menye-ringai buas. Dewi Ambarwati
bergidik ngeri melihat senyum bengis laki-laki itu.
"Jangan coba-coba mendekat kalau tak
ingin merasakan ujung pedangku!" ancam-
nya. "Ha... ha... ha... ha....!" Seumur hidup baru kali ini si Suryudana diancam
orang, bahkan oleh seorang gadis cantik pula!"
Orang itu bergelak agak keras sambil putar
pandang pada orang-orang di sekeliling tem-
pat itu yang ikut-ikutan tergelak-gelak seolah menimpalinya.
"Manis..." lanjutnya dengan suara yang direndah-rendahkan, "Seharusnya engkau
berterima kasih padaku bahwa orang-orang
yang mengejarmu itu kini sedang diringkus
oleh sebagian anak buahku."
"Siapa sudi menerima kebaikanmu!
Tanpa campur tanganmu pun aku mampu
menghajar mereka!"
"Ha... ha... ha... ha....! Engkau sungguh membuatku senang dan bersemangat. Nah,
lebih baik menurut baik-baik. Setelah uru-
sanku selesai, engkau tentu akan kubawa ke
tempatku dan kujadikan istriku yang tercin-
ta!" "Maaf, kisanak. Agaknya kalau tak
sinting, pastilah engkau seorang penghayal.
Aku bukan benda mati yang dengan gampang
engkau bawa dan perlakukan sesukamu.
Maafkan, aku tak bisa memenuhi keinginan-
mu itu. Lagipula saat ini aku ada urusan
yang harus diselesaikan," sahut Dewi Ambarwati dan coba berlalu dari tempat itu.
Tapi baru saja dia berjalan tiga langkah, dua orang diantara pengepungnya telah
loloskan pedang
dan membuat gerakan menyilang yang meng-
halangi langkahnya. Terpaksa gadis itu henti-
kan langkah dan berpaling dengan wajah kes-
al pada orang yang bernama Suryudana itu.
"Kisanak, jangan paksa aku untuk me-
lakukan kekerasan pada kalian dengan cara-
mu ini!" katanya dengan suara mengancam.
Sebaliknya Suryudana hanya tergelak-gelak
kecil mendengar kata-kata si gadis.
"Kalau engkau enggan dengan cara ke-
kerasan sebaiknya aku setuju sekali dengan
cara baik-baik. Ikutlah denganku, maka eng-
kau akan memperoleh perlakuan yang baik
pula." Mendengar jawaban itu, mengertilah si gadis bahwa tak ada jalan lain
untuk keluar dari kepungan ini selain mengadakan perla-
wanan. Sesungguhnya dia tak mengetahui
bahwa orang-orang ini adalah murid-murid
Perguruan Tengkorak Hitam. Niat mereka
yang sesungguhnya adalah memancing bebe-
rapa orang murid-murid Nyai Larasati untuk
keluar dari tempatnya dan menyerang dengan
tiba-tiba. Namun baru saja mereka memikir-
kan cara itu, kebetulan sekali beberapa orang diantaranya keluar untuk mengejar
gadis yang kini mereka kepung. Maka Suryudana
yang turun langsung dalam penyerbuan ke
tempat kediaman Nyai Larasati itu, memecah
rombongan menjadi dua bagian. Sebagian
yang dipimpin oleh tangan kanannya, yaitu
pemuda yang bernama Danu Umbara untuk
menyergap beberapa orang murid Nyai Lara-
sati, dan dia sendiri mengepung gadis yang
dikejar-kejar itu. Adapun niat Suryudana
atau lebih dikenal sebagai Raja Tengkorak
Bermuka Masam berbuat begitu adalah untuk
mematahkan perlawanan Nyai Larasati pada
saat penyerbuan yang akan mereka lakukan
nanti. Karena walau bagaimanapun dia tak
mau anggap remeh kemampuan perempuan
tua itu beserta murid-muridnya.
Sementara itu Dewi Ambarwati telah
keluarkan suara bentakan nyaring sambil pu-
tar pedang dan coba menembus barisan per-
tahanan para pengepungnya itu. Namun
alangkah kecewanya dia manakala menemu-
kan kenyataan bahwa gerakan-gerakan yang
dilakukan lawan lawannya ternyata sangat
kompak dan teratur sekali. Berkali-kali mere-
ka berhasil menghindar dari sabetan pedang-
nya dan dengan tiba-tiba balas menyerang
dengan tiba-tiba. Sudah barang tentu hal ini
membuat gadis itu gusar bukan main.
"Ciaaaat....!"
Dengan berteriak nyaring, tubuhnya
mencelat ke atas sambil membuat beberapa
kali putaran, kemudian dengan tiba-tiba me-
nukik tajam dengan pedang di tangan bergu-
lung-gulung hingga tiada terlihat lagi bentuknya. "Cras! Cras!"
Dua orang pengeroyoknya memekik
nyaring manakala ujung pedang gadis itu me-
robek dadanya. Gadis itu terus mengamuk,
tiada henti bagai serigala betina yang terluka.
Beberapa orang lagi terkena sabetan pedang-
nya. Dengan menggunakan jurus andalannya
yaitu, Kilat Pedang Membelah Angkara, la-
wan-lawan itu bukanlah tandingannya. Meski
mereka mampu berkelit, namun ujung pe-
dang gadis itu terus mengejar bagai memiliki
mata. Melihat keadaan itu, tentu saja Suryu-
dana geram bukan main. Dengan satu benta-
kan keras, para pengeroyok itu yang tak lain
dari anak buahnya sendiri, segera hentikan
penyerangan. Sepasang matanya menyipit
dan menyiratkan amarah luar biasa terhadap
gadis itu. Perlahan-lahan dia melangkah
mendekati si gadis yang telah bersiap-siap ji-ka orang itu tiba-tiba
menyerangnya. "Ilmu silatmu boleh juga, anak manis.
Tapi jangan dulu berbangga diri. Kalau dalam
lima jurus di muka engkau bisa bertahan dari
serangan ku, bolehlah berarti engkau menang
dan kuijinkan pergi sesukamu. Tapi kalau ti-
dak, maka engkau tak akan pergi ke mana-
mana!" kata Suryudana dingin. Sekali tangannya bergerak, tiba-tiba sebatang
pedang telah tergenggam. Tanpa banyak membuang
waktu lagi, laki-laki bertampang bengis ini telah kiblatkan pedang. Lalu dengan
satu ben- takan nyaring, tubuhnya yang sedikit ramp-
ing, telah melesat ke arah gadis itu sambil kirim satu serangan yang bertenaga
sangat kuat. Suryudana atau Raja Tengkorak Ber-
muka Masam mengetahui bahwa gadis itu
mempunyai ilmu yang cukup lumayan, tak
mau menganggap enteng. Itulah sebabnya
pada awal serangan ini dia telah keluarkan
jurus-jurus dahsyatnya yang diberi nama
Tengkorak Menakuti Angin Ribut.
Dewi Ambarwati mulai merasakan
permainan pedang lawan sungguh hebat se-
kali. Meski dia telah keluarkan seluruh ke-
mampuannya dan balas menyerang dengan
menggunakan jurus Kilat Pedang Membelah
Angkara, namun lawan tak sedikit pun terde-
sak, bahkan mampu berkelit dengan sangat
lincahnya. Sudah barang tentu hal ini mem-
buatnya sangat putus asa. Segala daya upaya


Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah dikerahkannya, namun lawan seolah tak
memberikan ruang gerak padanya untuk ber-
buat sesuatu. Walhasil gadis itu hanya bisa
pasrah dan bertahan sebisanya. Kalau benar
apa yang dikatakan lawan bahwa bila dia da-
pat bertahan lima jurus dari serangannya,
maka dia akan membebaskannya. Semoga sa-
ja janjinya itu bisa dipegang. Namun ternyata gadis itu tak banyak berharap.
Meski pertarungan itu telah memasuki jurus ketujuh dan
dia hanya menunggu waktu saja untuk dija-
tuhkan, tapi lawan tak bermaksud menyuda-
hi. Malah semakin bernafsu untuk mengalah-
kannya secara terang-terangan.
Sebenarnya kalau saja diperhatikan se-
cara sungguh-sungguh, ilmu pedang yang
dimainkan gadis itu tak bisa dianggap ringan, dan tidak juga berada di bawah
permainan lawan. Hanya saja gadis itu memang kalah
dalam hal tenaga dalam dan pengalaman ber-
tanding. Barangkali hanya kegesitan saja
yang membuatnya mampu bertahan sampai
tujuh jurus. Sementara itu melihat lawan semakin
terdesak, Suryudana seolah telah melupakan
kata-katanya. Dia terus ayunkan pedang dan
menghantam manakala gadis itu sudah terde-
sak hebat. Mau tak mau Dewi Ambarwati ha-
rus mempertahankan diri dan kiblatkan pe-
dang untuk memapaki serangan lawan.
"Tang!"
Pedang di tangan gadis itu mental lima
tombak. Ujung pedang Suryudana telah ter-
hunus di tenggorokannya. Laki-laki itu terse-
nyum sambil perlihatkan seringai yang berke-
san sadis. Dewi Ambarwati bergidik ngeri me-
lihat wajah itu. Masih untung pada saat itu
tiba-tiba muncul beberapa orang kawan me-
reka yang lain. Seorang pemuda berusia seki-
tar duapuluh tahun bersama beberapa orang
anak buahnya yang masih terhitung murid-
murid Perguruan Tengkorak Hitam. Bersama
mereka nampak beberapa orang gadis dalam
keadaan tertotok dan dibopong oleh beberapa
orang diantara murid murid Tengkorak Hitam
itu. "Guru, tugas telah kami jalankan dengan baik!" kata si pemuda yang agaknya
memimpin rombongan itu. Suryudana anggukan
kepala puas. "Engkau lihat hasil tangkapan kami
ini?" Pemuda itu melirik sekilas. Hatinya terpana saat melihat wajah Dewi
Ambarwati yang cantik jelita. Untuk sesaat dia terpaku di tempatnya.
"Danu Umbara, kalau engkau suka,
engkau akan mendapat giliran setelah aku
nanti. Tapi sekarang ini lebih baik kita urus dulu perempuan tua bangka itu!"
kata Suryudana seolah mengerti apa yang sedang dipi-
kirkan pemuda itu. Tiba-tiba tangan kiri ke-
tua Perguruan Tengkorak Hitam itu bergerak
ke tubuh si gadis. Sebentar saja Dewi Ambar-
wati merasa tubuhnya kaku akibat totokan
lawan. Dia menyumpah habis-habisan. Su-
ryudana hanya tergelak-gelak saja. Tapi seca-
ra tak terduga, saat itu juga terdengar tawa
panjang yang mengiringi suaranya tanpa me-
nampakkan ujud.
"Ha... ha.., ha....! Tua bangka keparat!
Engkau masih suka juga pada daun muda.
Apakah engkau tak merasa malu"!"
"Siapa engkau"!"
"Engkau tiada punya derajat mengeta-
huiku!" "Huh, sungguh sombong sekali engkau
ini!" dengus Suryudana sambil mengamati
tempat itu dengan tajam. Tiba-tiba dilihatnya ada sesuatu yang bergerak pelan
dari cabang sebuah pohon bagai ditiup angin. Dengan ce-
pat tubuhnya melesat ke arah itu sambil ki-
rim satu serangan.
"Krosak! Pras! Pras!"
Pedangnya terayun dengan cepat. Tapi
alangkah kecewanya laki-laki itu menemukan
kenyataan bahwa dia terkecoh. Di situ tiada
siapa-siapa. Jelas tadi bukan akibat angin
daun-daun itu bergerak. Saat itu angin ber-
tiup dari arah kanan ke kiri, tapi daun-daun
di cabang itu bergoyang tak beraturan meski-
pun hanya pelan saja. Sudah barang tentu
dalam pikirannya, orang yang mengeluarkan
suara tawa tadi bersembunyi di tempat itu.
Semua murid-muridnya yang melihat keja-
dian itu bertambah heran saja. Bagaimana
mungkin guru mereka yang berilmu tinggi itu
dapat terkecoh oleh lawan. Lalu siapakah
orang tadi sebenarnya" Mungkinkah seorang
tokoh berilmu tinggi yang hanya ingin meng-
goda mereka saja"
Tapi Suryudana segera mendapat ja-
waban manakala dia kembali turun dan meli-
hat gadis yang dikalahkannya tadi telah le-
nyap entah ke mana. Empat orang muridnya
yang berada di dekat gadis itu roboh dalam
keadaan tertotok. Dia menyumpah-nyumpah
tak karuan melihat keadaan itu sambil berpi-
kir keras, siapa orang yang mampu berbuat
begitu hebat pastilah ilmunya sangat tinggi.
Bisa jadi guru si gadis itu, pikirnya. Kalau sa-ja dia tadi turun tangan, belum
tentu mereka semua bisa selamat. Masih untung dia tak
mempersoalkannya. Berpikir begitu, cepat-
cepat Suryudana memerintahkan anak buah-
nya untuk lanjutkan perjalanan menuju tem-
pat kediaman Nyai Larasati.
10 Dewi Ambarwati tersentak kaget meli-
hat seorang pemuda berwajah tampan dengan
pakaian kumal berwarna merah. Belum lagi
dia sempat berpikir melihat cara berdandan
pemuda itu yang rambutnya dikuncir dan
membawa-bawa periuk besar, tiba-tiba saja
tubuhnya telah berada dalam bopongannya
dan bersamaan dengan itu empat orang mu-
rid Tengkorak Hidup ambruk tak berdaya
tanpa menimbulkan suara. Pemuda itu terus
berlari dengan sangat cepat sambil membo-
pongnya. Dia sama sekali tak merasa seperti
membawa beban. Dari situ saja si gadis su-
dah dapat menduga bahwa pemuda ini bu-
kanlah orang sembarangan. Setidaknya dari
cara dia merobohkan empat orang tadi dan
kini membawanya berlari dengan kecepatan
tinggi. Tapi bukan berarti dia tak curiga. Dia sama sekali tak mengenal siapa
pemuda ini sebenarnya, dan punya maksud apa meno-
longnva. Lebih-lebih tak lama kemudian seo-
rang pemuda yang sebaya dengannya, berlari
dengan kecepatan tinggi mendekati. Dan ak-
hirnya mereka berdampingan sambil tertawa-
tawa kecil. Sudah barang tentu hal ini mem-
buatnya bertambah curiga saja.
"Kisanak, siapakah kalian ini sebenar-
nya" Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya gadis itu was-was.
"Tenanglah, nona. Kami tak bermaksud
jahat padamu," sahut pemuda berkuncir yang tak lain dari Buang Sengketa, atau si
Pendekar Hina Kelana.
"Kalau kalian tak bermaksud jahat, to-
long lepaskan totokanku ini dan biarkan aku
pergi dari sini."
"Ah, betul! Hampir saja aku lupa!" Pemuda itu tepuk jidat dan hentikan larinya.
Begitu juga dengan pemuda yang berada di
sampingnya. "Nah, nona engkau sekarang bebas!"
lanjut Buang Sengketa setelah melepas toto-
kan gadis itu. Sebaliknya Dewi Ambarwati
bingung sendiri. Kedua pemuda ini sama se-
kali tak mengesankan sebagai seorang yang
berwatak jahat. Lagi pula mereka tak menun-
tut imbalan apa-apa setelah menolongnya.
Sudah barang tentu hal ini membuatnya malu
hati dan merasa tak enak telah punya pera-
saan curiga sebelumnya. Sebagai seorang ga-
dis yang tahu sopan santun, dia tak malu un-
tuk meminta maaf.
"Maafkanlah aku, kisanak. Tadi aku te-
lah berperasangka buruk pada kalian berdua.
Kusangka kalian adalah sebangsa laki-laki
hidung belang yang punya niat sama seperti
mereka. Aku mengucapkan banyak terima
kasih atas pertolongan kalian. Kalau boleh
kutahu, siapakah kalian ini sebenarnya?"
"Ah, tak perlu merasa begitu, nona.
Menolong sesama manusia adalah sudah
menjadi kewajiban kita bersama. Aku berna-
ma Buang Sengketa dan kawanku ini berna-
ma Tuta Rimba," jawab Buang Sengketa. Gadis itu anggukkan kepala mendengar itu.
Meskipun Buang Sengketa menerangkan ju-
lukannya, barangkali pun gadis itu tak mera-
sa terkejut, karena sebagai gadis yang baru
turun gunung, dia sama sekali tak pernah
mengenalnya. "Nona, siapakah engkau sebenarnya,
dan kenapa bisa berurusan dengan orang-
orang Tengkorak Hitam?" tanya Tuta Rimba.
Si gadis yang merasa percaya bahwa kedua
pemuda itu orang baik-baik, segera menceri-
takan pengalaman yang dialaminya tadi.
Bahkan diapun menceritakan segala sesua-
tunya sejak mereka turun gunung guna men-
cari Sepasang Pedang Setan yang dipesan gu-
runya. Gadis itu sedemikian polosnya hingga
tak sedikitpun dia punya perasaan curiga ter-
hadap kedua pemuda itu. Sebaliknya Tuta
Rimba terperanjat kaget mengetahui, siapa
guru gadis itu sebenarnya.
"Astaga! Ternyata kita adalah orang
sendiri. Nona, guruku mengutusku untuk
mencari Pedang Setan itu guna mengembali-
kannya pada orang yang berhak, yaitu guru-
mu. Beliau adalah adik seperguruan Ki Wi-
caksana, sahabat gurumu yang diamanatkan
untuk menyimpan sepasang pedang itu."
"Oh, benarkah itu"!"
Tuta Rimba mengangguk pasti. Buang
Sengketa pun membenarkan hal itu.
"Sebaiknya engkau tak perlu kembali
menemui gurumu. Kalau engkau bersedia
ikut, kami bermaksud menemui Nyai Larasati
dan meminta pedang itu secara baik-baik" ka-ta Buang Sengketa.
"Perempuan itu sangat licik. Kalian ha-
rus berhati-hati padanya!" kata Dewi Ambarwati memperingatkan.
"Dengan cara apapun kami akan beru-
saha mengambilnya dan sekaligus membe-
baskan gurumu."
"Baiklah. Kalau begitu aku akan ikut
dengan kalian!"
Tak lama kemudian ketiganya segera
melesat dari tempat itu menuju kediaman
Nyai Larasati atau Peri Kuning Tongkat Maut.
Sebenarnya apa yang mereka lakukan
hingga dengan gampang bisa membawa gadis
itu dari kepungan orang-orang Tengkorak Hi-
tam" Mulanya mereka melihat keadaan gadis
itu yang terdesak hebat dan kena dijatuhkan
oleh Suryudana. Tuta Rimba ingin turun tan-
gan untuk membantu. Tapi Buang Sengketa
mempunyai rencana yang lebih baik. Menu-
rutnya kalau mereka turun tangan secara
langsung, tentu akan memakan waktu lama.
Maka dia menyuruh Tuta Rimba untuk men-
gecoh lawan pada posisi tertentu untuk me-
mancing perhatian mereka. Dengan menggu-
nakan pukulan jarak jauh, pemuda itu meng-
hantam cabang pohon yang berdaun lebat
dan agak tertutup, lalu secepatnya kabur dari tempat itu. Pada waktu yang
bersamaan, Buang Sengketa bergerak menolong gadis itu
karena semuanya sedang memusatkan perha-
tian ke arah ketua mereka yang menerjang ke
arah dedaunan yang bergoyang-goyang akibat
dihantam pukulan Tuta Rimba tadi. Tanpa
banyak mengalami kesulitan, dia menotok
keempat orang murid Tengkorak Hitam dan
dengan cepat menyambar gadis itu dan mem-
bawanya kabur sambil mengerahkan ajian
Sepi Angin. 11 Nyai Larasati atau si Peri Kuning Tong-
kat Maut sungguh tak menyangka bahwa ke-
datangan tokoh-tokoh sakti ke tempatnya ka-
rena mendapat kabar bahwa dia memiliki sa-
lah satu Pedang Setan, sungguh cepat bere-
dar. Kini mereka telah berkumpul. Ada yang


Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meminta secara baik-baik dengan alasan ter-
tentu, namun ada juga yang memaksa hingga
menimbulkan perkelahian yang tak dapat di-
elakkan lagi. Kedudukan mereka memang
sangat tidak menguntungkan. Lima orang
murid-muridnya yang mengejar gadis yang lo-
los dari tempat mereka, belum juga kembali.
Jumlah tokoh-tokoh yang hadir di situ bah-
kan melebihi jumlah mereka sendiri. Dia sen-
diri tak yakin, apakah mampu mengalahkan
mereka secara jujur. Maka dengan akal bu-
lusnya dia menantang mereka beramai-ramai
dan menjanjikan akan memberikan pedang
itu bagi siapa yang bisa mengalahkannya.
Tentu saja hal ini menarik perhatian mereka
yang akalnya pendek. Namun bagi tokoh-
tokoh tertentu yang mengetahui bahwa pe-
rempuan tua itu banyak memiliki akal bulus,
tak cepat percaya. Mereka berdiam diri dan
menunggu saat yang tepat. Dugaan itu ter-
nyata tak salah. Dua orang tokoh persilatan
yang bernama Dandaka Pura dan Permana,
serta lima orang yang lebih dikenal sebagai
Lima Iblis Lembah Duka, kena diperdaya oleh
orang tua itu dan tergeletak pingsan saat Nyai Larasati putarkan tongkat yang
mengeluarkan asap kuning yang merupakan obat pembius.
"Siapa lagi yang coba-coba mengingin-
kan pedang itu, boleh berhadapan denganku!"
kata orang tua itu dengan wajah garang. Ma-
tanya menyapu pandang pada tiga orang yang
masih tegak sambil senyum mencibir. Yang
satu seorang perempuan berusia enam puluh
tahun. Wajahnya lebar dan rambutnya yang
panjang telah memutih semua. Dia mengena-
kan pakaian yang sangat ketat di seluruh tu-
buhnya. Pada kesepuluh jari-jarinya terlihat
kuku-kuku yang sangat tajam dan panjang.
Rimba persilatan mengenalnya sebagai Betina
Penyebar Maut. Nama aslinya adalah Nyai
Tonggeng. Seorang lagi bertubuh pendek dan
gempal. Kepalanya pada bagian ubun-ubun
telah botak. Memakai baju kembang-kembang
merah dan biru dengan dasar putih. Dia di-
kenal sebagai Banteng Liar Peremuk Raga. Di-
juluki demikian karena tenaganya yang besar
dan kuat luar biasa. Namanya adalah Lembu
Sura. Dan yang ketiga bernama Puro Sekati.
Tubuhnya kurus jangkung. Rambutnya yang
telah memutih, digulung ke atas. Usianya se-
kitar tujuh puluh tahun. Meski wajahnya tak
menyeramkan, namun dia adalah tokoh yang
sangat ditakuti karena kekejamannya yang
tak kepalang tanggung. Jarang orang yang
mau berurusan dengan kakek, yang punya
gelar Setan Bertangan Delapan ini.
Sesungguhnya Nyai Larasati lebih
mengkhawatirkan mereka bertiga ini daripada
yang lain. Ilmu mereka tinggi dan sulit dijaja-ki. Lagipula mereka cerdik dan
tak mudah terpancing oleh tipu dayanya.
"Nyai Larasati, sebaiknya engkau jan-
gan banyak pentang bacot. Lebih baik serah-
kan saja Pedang Setan itu padaku, dan kuja-
min aku tak akan mengganggumu!" kata Nyai Tonggeng atau Betina Penyebar Maut
dengan suara dingin mengancam.
"Siapa bilang begitu?" timpal Lembu Sura. "Apa engkau pikir hanya engkau saja
yang ingin memiliki pedang itu?"
"Ya. Engkaupun harus ingat bahwa
aku telah berada di sini," sahut Puro Sekati tersenyum sinis. "Aku tak akan
kembali sebelum apa yang kuinginkan tercapai."
"Kalian sama sekali tak berhak akan
Pedang Setan itu!" sahut satu suara tiba-tiba.
Semua orang menoleh dan terlihat di tempat
itu telah terdapat sekitar tiga puluh orang
murid-murid Perguruan Tengkorak Hitam
yang dipimpin langsung oleh ketuannya, yaitu
Suryudana atau lebih dikenal sebagai Raja
Tengkorak Bermuka Masam. "Pedang itu adalah kepunyaan pamanku yaitu si Pedang
Se- tan. Oleh sebab itu, akulah yang berhak me-
milikinya," lanjut suara itu yang tak lain dari Suryudana.
"Ha... ha... ha... ha....!" Sungguh lucu.
Orang-orang memperebutkan benda yang bu-
kan miliknya dan merasa seolah-olah benda
itu adalah miliknya yang harus didapatkan
dengan cara apapun," timpal satu suara. Semua orang yang berada di situ kembali
dibuat terkejut Tiga orang berusia muda telah muncul
di situ. Dua orang pemuda dan seorang lagi
perempuan jelita berusia sekitar tujuh belas
tahun. Salah seorang pemuda yang mengelu-
arkan ucapan tadi sungguh sangat menarik
perhatian mereka. Meski wajahnya tampan,
namun dia berpakaian kumal. Rambutnya di-
kuncir serta membawa-bawa periuk besar.
Demi melihat kedatangan pemuda itu, En-
dang Purwasih yang berada di situ, dengan ti-
ba-tiba menyerbu ke arahnya dengan wajah
girang. "Kelana...!" panggilnya. Namun langkahnya tiba-tiba berhenti manakala
neneknya hadangkan tongkat. Gadis itu bingung tak
mengerti. Tapi perempuan tua itu seolah tahu
apa yang dipikirkan gadis itu, segera membe-
ritahukan alasannya.
"Tidakkah engkau lihat dia bersama
siapa" Dia bersama gadis yang lolos itu, Pastilah gadis itu telah bercerita
banyak padanya.
Engkau jangan berharap bahwa dia berada di
pihak kita."
"Tapi, nek...."
"Diam kataku dan tetap di tempatmu!"
bentak Nyai Larasati sambil pelototkan mata.
Gadis itu terpaksa menurut meski sorot ma-
tanya masih bertanya-tanya sambil melirik ke
arah pemuda berwajah tampan yang memba-
wa-bawa periuk besar itu.
Sementara itu Suryudana mengenali
betul siapa gadis yang bersama kedua pemu-
da itu. Hatinya penuh dengan tanda tanya.
Siapa kedua pemuda itu" Apakah mereka
yang menyelamatkan gadis itu dari tangan-
nya" "Kelana, apa maksud perkataanmu
itu!?" tanya Nyai Larasati dengan wajah sinis.
Pemuda itu tersenyum kecil dan maju dua
langkah. "Nyai Larasati, Pedang Setan adalah
milik si Malaikat Pedang Bertangan Seribu. Di sini ada muridnya yang mewakili
orang tua itu untuk mengambil hak miliknya. Kenapa
malah engkau menyerakahi benda yang bu-
kan milikmu "Siapa bilang pedang itu ada di tan-
ganku"!"
"Nyai Larasati, jangan engkau bersilat
lidah. Aku tahu betul bahwa engkau memiliki
salah satu dari Pedang Setan itu. Kalau tidak, tak mungkin engkau kasak kusuk
untuk mencari pedang yang satunya lagi hingga per-
lu menahan si Cakrangga untuk mengorek
keterangan darinya," sahut Suryudana. "Keadaanmu sungguh sangat terjepit. Kalau
eng- kau mau menyerahkan pedang itu padaku,
sudah barang tentu aku akan bersekutu dan
membelamu terhadap niat-niat jahat mereka."
"Cuih! Suryudana, apa engkau pikir
aku tak mengerti akal bulusmu itu" Untuk
apa engkau sibuk-sibuk menginginkan pe-
dang yang hanya sebuah itu. Pastilah engkau
memiliki yang sebuah lagi. Aku ingat betul
saat engkau mengobrak abrik rumah kedia-
man cucu Tumenggung Gandasena yang ber-
nama Nugraha Wisesa tujuh belas tahun lalu.
Engkau pasti telah mendapatkan pedang itu,
dan kini menginginkan sebuah lagi yang eng-
kau sangka berada di tanganku!" sahut Nyai Larasati sengit.
"Hei! Hei! Kenapa malah kalian saling
menyalahkan" Pasti ini akal bulus lagi agar
kalian tak dicurigai memiliki pedang itu"!"
sentak Tuta Rimba tak sabaran. Kedua orang
itu palingkan wajah dan sipitkan mata mena-
han geram. "Anak muda, punya kebisaan apa eng-
kau berani berkata lancang begitu terha-
dapku?" tegur Nyai Larasati dengan nada
mengancam. "Nenek peot, tak usah banyak bacot!
Serahkan pedang itu pada yang berhak dan
kami tak akan mengganggumu!"
"Bedebah! Kau pikir engkau ini siapa
seenaknya memerintahku?"
Tanpa dikomando lagi, beberapa orang
muridnya telah menyerang pemuda itu den-
gan ganas. Perkelahian pun tak dapat dihin-
dari lagi. Dewi Ambarwati yang sejak tadi ha-
tinya penuh dendam terhadap perempuan tua
itu, tiba-tiba saja telah cabut pedang. Tubuhnya melesat dengan cepat sambil
kirim satu serangan. "Nyai Larasati, apakah engkau benar-
benar tak mau bersekutu padaku"!" teriak Suryudana sambil ketawa mengejek. "Lima
orang muridmu berada dalam tanganku. Asal
engkau berjanji akan menyerahkan pedang
itu padaku, tentu saja aku akan melepaskan
mereka, bahkan anak muridku pun akan
membantumu menyingkirkan mereka."
Perempuan tua itu ternyata tak bodoh.
Melihat posisinya yang sedang tak mengun-
tungkan, dia segera putar otak dan dengan
cepat menyetujui usul Suryudana. Soal nanti
barangkali akan dipikirnya belakangan.
Demi mendengar jawaban itu, dengan
cepat Suryudana memerintahkan murid-
muridnya untuk meringkus tiga orang muda
yang baru datang itu. Dia sendiri telah mele-
sat membantu perempuan tua itu untuk men-
jatuhkan gadis yang menjadi lawan Nyai La-
rasati. Tapi saat itu juga tentu saja Buang
Sengketa tak mau tinggal diam. Tubuhnya se-
gera berkelebat memapaki serangan ketua
Perguruan Tengkorak Hitam.
"Ciaaaat....!"
Suryudana agak terkejut melihat se-
rangan lawan yang cepat itu. Beberapa orang
murid-muridnya yang pernah berhadapan
dengan pemuda itu sempat membisikkan ten-
tang siapa sebenarnya pemuda yang selalu
membawa-bawa periuk besar itu.
"Hemm, jadi engkaulah yang bernama
Pendekar Hina Kelana itu" Sungguh menyesal
bahwa engkau harus mati di tanganku," ejeknya sambil memandang rendah.
"Mati itu bukan urusanmu. Salah-
salah malah engkau sendiri yang akan men-
galaminya nanti," balas Buang Sengketa. Tapi pemuda itu tak bisa berlama-lama
berhadapan dengan lawannya. Puluhan murid-murid
Tengkorak Hitam telah terbagi dua. Sebagian
mengeroyok Tuta Rimba, dan sebagian lagi
membantu Nyai Larasati. Sedangkan tangan
kanan Suryudana yang bernama Danu Umba-
ra, telah melesat membantu gurunya itu. Ten-
tu saja hal itu tak bisa didiamkan saja. Buang Sengketa merasa perlu untuk
menolong kedua sahabatnya itu.
Tapi untuk lolos dari dua lawannya ini
bukanlah soal mudah. Keduanya berilmu
tinggi dan memiliki serangan-serangan yang
mematikan. Karena tak ada jalan lain, terpak-
sa pemuda itu mengeluarkan jurus Si Gila
Mengamuk. Suatu jurus yang tiada beraturan
namun sangat ganas sekali menyerang lawan.
Dalam pada itu dari telapak tangannya mele-
sat selarik sinar ultra violet menghantam para murid-murid Tengkorak Hitam. Maka
tak ayal lagi. Sebentar saja terdengar pekik kematian
akibat pukulan Empat Anasir Kehidupan
yang berhawa panas itu. Beberapa orang mu-
rid Tengkorak Hitam langsung tumbang dan
tewas seketika terkena pukulan itu. Tentu sa-
ja hal ini sangat mengkhawatirkan sekali. Ka-
lau dibiarkan terus, sudah pasti murid-
muridnya akan tewas tiada bersisa. Berpikir
begitu, Suryudana putar otak. Pemuda yang
menjadi lawannya ini berilmu tinggi. Meski
dia telah keluarkan jurus-jurus andalannya
dan mengeroyoknya berdua, belum kelihatan
tanda-tanda dia akan terdesak. Bahkan kalau
dibiarkan terus, salah-salah bisa dia sendiri yang celaka. Tiba-tiba dia
menemukan akal

Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat matanya melihat tiga orang tokoh sesat
yang masih mematung tak ambil bagian da-
lam pertarungan itu
"Hei, kalian bertiga"!" teriaknya memanggil. "Ketahuilah, bahwa pemuda ini yang
bergelar Pendekar Hina Kelana. Kalau dia
berhasil menguasai pedang itu, kalian akan
rugi sendiri. Sedang bila pedang itu kita da-
patkan, bisa dirundingkan baik-baik cara pe-
nyelesaiannya nanti. Kenapa kalian malah di-
am saja"!"
Mendengar nama si pemuda itu, tanpa
pikir panjang lagi, ketiganya segera melesat
dan langsung menyerang Buang Sengketa.
Siapa yang tak mengenal Pendekar Hina Ke-
lana" Nama itu belakangan ini menjadi mo-
mok yang membuat gemas tokoh-tokoh sesat
sehubungan dengan sepak terjangnya yang
sangat memusuhi golongan mereka.
"Ah, engkau rupanya yang punya gelar
Pendekar Hina Kelana itu?" ujar Nyai Tonggeng sinis. "Ingin sekali kulihat
permainan Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto-mu yang sangat menghebohkan
itu." "Kedua senjata itu bukan untuk dipa-
merkan, tapi kalau kalian memaksa, apa bo-
leh buat. Nantipun kalian akan merasakan-
nya juga," sahut pemuda itu merendah. Tapi apa yang dikatakannya sungguh
beralasan. Dikeroyok lima orang yang berilmu tinggi itu, mau tak mau membuat Buang Sengketa
agak repot. Dia tak bisa lagi hantamkan pukulan
Empat Anasir Kehidupan untuk membantu
kedua kawannya karena selalu dihalang-
halangi oleh gerakan-gerakan lawan yang
mengurungnya dengan ketat. Pemuda itu kini
semakin terdesak saja. Hatinya cemas bukan
main memikirkan keadaan kedua sahabatnya
itu. Dikeroyok oleh begitu banyak orang, pas-
tilah mereka tak akan bertahan lama. Sedang
dia sendiri kalau tak cepat bertindak, juga
akan dapat dijatuhkan oleh lawan-lawannya.
"Aaaakh....!"
Buang Sengketa tersentak kaget men-
dengar teriak kesakitan Dewi Ambarwati. Ba-
hu kirinya kena diserempet ujung tongkat la-
wan, dan bersamaan dengan itu ujung pedang
lawan yang lain menggores pahanya. Bebera-
pa saat kemudian, Tuta Rimba mendapat ba-
gian. Kepalanya terkena tendangan lawan
dengan telak, dan pinggangnya dengan cepat
disabet ujung pedang lawan yang lain.
"Wuaaaa....!!"
Pemuda dari negeri Bunian itu tersen-
tak kaget dan menjerit kecil saat kepalan
Lembu Sura yang bertenaga dalam kuat,
menghantam dadanya. Tak ampun lagi, tu-
buhnya mental beberapa tombak sambil mun-
tahkan darah segar. Belum lagi memperbaiki
posisi, satu sambaran kuku-kuku Nyai Tong-
geng, menghajar lehernya.
"Breet!"
Kasihan sekali pemuda itu. Hanya ka-
rena kelengahan akibat memperhatikan kese-
lamatan dua kawannya, akhirnya dia menjadi
bulan-bulanan kelima lawannya itu. Tubuh
Buang Sengketa ngusruk dengan nafas me-
gap-megap. Bukan saja luka dalam yang dipe-
rolehnya akibat pukulan lawan yang terus
menghantam berturut-turut, namun juga lu-
ka-luka akibat cakaran Nyai Tonggeng dan
sabetan pedang Suryudana dan Danu Umba-
ra. Kejadian itu begitu cepat dan singkat se-
kali. Kelimanya memandang pemuda itu sam-
bil tersenyum mengejek.
"Hi... hi... hi... hi....! Hanya sebeginikah kemampuan pendekar yang namanya
meng-getarkan rimba persilatan itu?" ledek Nyai Tonggeng.
"Sebaiknya coba engkau keluarkan saja
Golok Buntung-mu. Siapa tahu kami bermu-
rah hati menyambungnya kembali!" timpal
Suryudana. "Kalian akan menyesal nantinya kalau
golok itu telah tercabut dari tempatnya...!"
sahut Buang Sengketa pelan namun mengan-
dung ancaman. Tiba-tiba saja tanpa mem-
buang waktu lagi, dengan sekali berkelebat,
tangan kanannya telah memegang suatu ben-
da yang berwarna merah menyala. Apalagi ka-
lau bukan Pusaka Golok Buntung! Hawa han-
gat segera mengalir ke tubuhnya akibat pen-
garuh golok pusaka itu, dan segera melancar-
kan jalan darahnya yang kacau. Meski tak se-
luruhnya bisa disembuhkan namun keadaan-
nya agak lebih baik.
"Hi... hi... hi....! Meskipun engkau keluarkan Golok Buntung-mu itu, mana
mungkin engkau bisa bertahan lama. Racun yang be-
rada dalam kuku ini sangat kejam dan tiada
bandingannya," kata Nyai Tonggeng menje-
laskan sambil terkekeh-kekeh. Namun buat
Buang Sengketa hal itu sama sekali tiada di-
rasakannya. Seperti diketahui, pemuda dari
Negri Bunian itu kebal terhadap segala ma-
cam jenis racun.
Nyai Tonggeng atau Betina Penyebar
Maut serta yang lainnya tak sempat lagi pen-
tang bacot manakala tubuh si pemuda pe-
nyandang periuk besar itu telah berkelebat ke arah mereka diiringi sebuah benda
berwarna merah menyala di tangannya dan menimbul-
kan suara bagai puluhan harimau terluka.
Sementara itu dari mulut pemuda itu sendiri,
tak henti-hentinya terdengar suara mendesis
bagai seekor ular Piton yang terluka. Dengan
menggunakan jurus Si Jadah Terbuang, gera-
kan pemuda itu cepat sekali dan sulit diikuti oleh mata. Golok Buntung di
tangannya menyambar-nyambar ke arah lawan.
"Cras! Cras!"
Danu Umbara dan Lembu Sura tak
sempat memekik saat golok di tangan Pende-
kar Hina Kelana menyambar lehernya. Kedua
batok kepala itu menggelinding, sedang tubuh
mereka sendiri terhuyung-huyung sejenak
sambil mengucurkan darah dari pangkal leher
sebelum akhirnya ambruk tak berkutik lagi.
Bukan main marahnya Suryudana melihat
murid kesayangannya tewas. Dari mulutnya
terdengar suitan nyaring. Saat itu juga seba-
gian anak buahnya mengalihkan perhatian-
nya dan ikut mengerubuti Buang Sengketa.
Namun hal itu percuma saja. Sekali pemuda
itu bergerak, tiga orang memekik nyaring
sambil roboh terguling-guling dan nyawanya
lepas saat itu juga terkena sabetan Pusaka
Golok Buntung. Suryudana semakin ketaku-
tan saat serangan pemuda itu lebih ditujukan
padanya. "Cras! Wuuuuut! Craaas!"
Suryudana memekik nyaring saat tan-
gannya kutung disabet golok Buang Sengketa.
Namun ketika itu juga pemuda itu merasakan
satu serangan menyambarnya. Dengan cepat
dia berkelit tanpa menoleh dan sabetkan Go-
lok Buntung. Terdengar pekikan nyaring Nyai
Tonggeng yang seketika roboh dengan ping-
gang hampir putus
Murid si Bangkotan Koreng Seribu itu
ternyata tak kepalang tanggung. Kembali pe-
dang di tangannya berkelebat ke arah Suryu-
dana. Orang itu memekik nyaring saat da-
danya kena disabet golok lawan. Belum lagi
dia sempat kuasai diri, tiba-tiba saja senjata lawan telah menyambar lehernya.
"Cras!"
Tak ampun lagi. Kepala Suryudana
terpisah dan menggelinding ke tanah... Men-
getahui itu, murid-muridnya segera melarikan
diri karena mengadakan perlawanan pun per-
cuma saja. Lagipula toh untuk siapa lagi me-
reka menempur pemuda itu. Melihat sepak
terjang Pendekar Hina Kelana yang sangat
dahsyat, tanpa malu-malu Puro Sekati ikut-
ikutan kabur setelah nyalinya ciut sejak tadi.
Buang Sengketa hanya mendiamkannya saja
dan tubuhnya melesat dengan cepat ke arah
Nyai Larasati yang pada saat itu sedang men-
desak Dewi Ambarwati.
Mengetahui serangan lawan, dengan
cepat dia berbalik dan memapaki dengan
tongkatnya. "Tes! Crak!"
"Wuaaaaa....!"
Perempuan tua itu memekik nyaring.
Tongkat di tangannya putus menjadi dua, dan
golok di tangan Buang Sengketa terus melun-
cur ke arah batok kepalanya. Tak ayal lagi,
batok kepala perempuan tua itu terbelah. Tu-
buhnya terhuyung-huyung untuk beberapa
saat. Namun pada saat itu secara tak terduga, satu sabetan pedang menebas
lehernya. Tak ayal lagi, batok kepala perempuan itu putus
dalam keadaan terbelah dua. Tubuhnya me-
regang sesaat sebelum akhirnya nyawanya le-
pas. Beberapa orang muridnya yang melihat
itu, bergidik ngeri.
Endang Purwasih pingsan seketika me-
lihat keadaan neneknya. Banonwati tak bisa
lagi bisa berbuat apa-apa selain menyerah.
Pada saat itu tiba-tiba Dewi Ambarwati me-
mekik nyaring dengan wajah gembira dan
menubruk sesosok tubuh yang tadi tiba-tiba
muncul. "Ibuuuuu....!"
Orang yang memotes leher Nyai Larasa-
ti tadi tak lain dari Roro Ningrum. Wajahnya
begitu gembira dapat berkumpul dengan anak
angkatnya yang telah dianggapnya sebagai
anak sendiri itu.
"Syukurlah ibu selamat. Aku telah
khawatir sejak tadi. Ibu tak apa-apa, bukan?"
Perempuan separuh baya itu gelengkan
kepala sambil tersenyum kecil. "Tidak, nak..."
sahutnya pelan. "Mereka hanya memenjara-
kan ibu saja di ruang-bawah tanah. Di sana
ibu bertemu dengan Cakrangga, anak Empu
Pupulaka. Setelah ibu menceritakan siapa se-
benarnya ibu, akhirnya dia minta maaf. Dia
menyesal telah membunuh ayahnya sendiri.
Syukurlah pedang yang berada di tangan Nyai
Larasati berhasil ibu peroleh setelah ibu be-
rusaha membebaskan diri. Dan juga menga-
takan bahwa pedang yang satu lagi memang
sengaja disembunyikan di Lembah Batu Am-
par." Mendengar pembicaraan itu, tiba-tiba Tuta Rimba menyela. "Apa" Engkau
katakan ayahku berada di ruang bawah tanah mereka"!" "Apakah engkau putranya
Cakrangga"!" tanya Roro Ningrum. Pemuda itu mengangguk cepat. "Sayang sekali,
keadaan beliau sangat menyedihkan. Dia tewas setelah
memberitahukan di mana pedang satu lagi
yang disembunyikannya..." lanjut perempuan setengah baya itu dengan wajah lesu.
Mendengar jawaban itu, Tuta Rimba terkejut se-
kali. Tanpa membuang-buang waktu dia sege-
ra menerobos ke dalam rumah itu guna men-
cari ayahnya. Sementara itu, Dewi Ambarwati baru
saja akan memperkenalkan pemuda tampan
dengan rambut dikuncir pada ibunya, tapi
pemuda itu telah pergi entah ke mana. Le-
nyap bagai disapu angin. Dia celingukan ke
sana sini mencari-cari, namun tak juga dite-
mui. Sementara itu Buang Sengketa yang me-
rasa bahwa apa yang sedang dicari anak be-
ranak itu telah ditemui, diapun merasa bah-
wa tugasnya membantu mereka telah selesai.
Maka tanpa sepengetahuan mereka, dia sege-
ra menghilang dari tempat itu sambil kerah-
kan ilmu lari cepat, yaitu ajian Sepi Angin.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Duni
a-Abu-Keisel/511652568860978
Naga Dari Selatan 2 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es 6
^