Pencarian

Murka Sang Iblis 2

Pendekar Gila 19 Murka Sang Iblis Bagian 2


kami mendengamya?"
Pendekar Gila tertawa sambil menggaruk-
garuk kepala mendengar ucapan Senapati Braja.
Lalu kaki nya melangkah menuju akar pohon yang
menonjol tempat duduknya tadi. Diambilnya Suling
Naga Sakti, lalu kembali ditiupnya, mengalunkan
irama merdu mendayu-dayu.
Senapati Braja dan keempat prajuritnya
mengangguk-anggukkan kepala menikmati irama
merdu yang ditiupkan Pendekar Gila. Mereka
bagaikan diajak untuk menghayati indahnya alam,
sampai-sampai ini mereka lupa akan tujuan yang
sebenarnya. Sukma mereka bagai hanyut, bersama
alunan irama suling Pendekar Gila.
"Aha, kiranya Tuan Senapati ada kepentingan.
Mengapa harus bersantai-santai di sini?" tanya Sena
mencoba mengingatkan Senapati Braja.
"O, benar. Aha, mendengar irama sulingmu,
membuatku terhanyut dan lupa akan tugas yang
tengah kuemban," gumam Senapati Braja sambil
tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng. Kalau
saja Pendekar Gila tidak segera menyadarkan,
sudah pasti dirinya dan keempat prajurit lain akan
tetap berada di tepi telaga itu.
"Hi hi hi...! Tuan Senapati, kalau boleh aku
tahu, hendak ke mana tujuan Tuan?" tanya Sena,
tanpa mengurangi rasa hormatnya.
"Aku hendak mengunjungi Desa Pakis,
terutama ke rumah Ki Lurah Padri. Ini merupakan
tugas semenjak istri Senapati Kandanu melahirkan,"
jawab Senapati Braja.
"Aha, jadi Kanjeng Senapati Kandanu telah
dikaruniai putra...?" tanya Sena, agak terkejut.
"Begitulah, Tuan Pendekar."
"O..., aku turut bersuka cita kalau begitu.
Kuharap putranya kelak akan jadi anak yang baik.
Anak yang menuruni sifat ksatria ayahnya," ujar
Sena setengah bergumam.
"Terima kasih, semoga begitulah anak itu
kelak!" sahut Senapati Braja. "Apakah Tuan
Pendekar berkenan berangkat ke sana bersama
kami?" Sena masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Matanya memandang ke langit yang
bening, biru menghampar luas.
"Ah ah ah, terima kasih! Gampang, nanti aku
menyusul," jawab Sena, menolak secara halus.
"Baiklah kalau begitu, kami berangkat
sekarang! Semoga Hyang Widhi mempertemukan
kita kembali," kata Senapati Braja sambil menjura
hormat, diikuti keempat prajurit lainnya. Lalu
setelah Pendekar Gila membalas menjura, kelima
prajurit Kerajaan Mandra Kulawa itu melangkah
menuju ke kuda mereka yang sedang merumput di
tepi telaga. Pendekar Gila berdiri mematung, memandangi
kelima prajurit itu. Tangannya menggaruk-garuk
kepala, dengan mulut cengengesan. Suling Naga
Saktinya dimasukkan ke ikat pinggangnya kembali.
"Hati-hati, Senapati!" seru Sena mengingatkan.
"Terima kasih!" sahut Senapati Braja sambil
naik ke kudanya. Kemudian dengan melambaikan
tangan, kelima prajurit itu menggebah kuda mereka
meninggalkan tepi telaga, menuju ke barat.
Pendekar Gila tersenyum sambil mengangguk-
anggukkan kepala melepas kepergian kelima prajurit
Kerajaan Mandra Kulawa.
Pendekar Gila kembali duduk sambil
memandang ke telaga. Sesaat dirinya termenung.
Ingatannya melayang pada Mei Lie, gadis Cina yang
sangat dicintainya, tapi kini jauh di mata.
"Ah, Mei Lie.... Mungkinkah kau rindu
padaku?" gumam Sena dengan masih termenung,
membayangkan saat-saat indah bersama gadis Cina
itu. Entah mengapa kini tiba-tiba ingatannya pada
Mei Lie meng- gugah persaannya, membangkitkan
kerinduan yang sangat dalam.
Belum lenyap ketermenungan Pendekar Gila,
tiba-tiba telinganya mendengar derap langkah kaki
kuda dari arah barat. Sena tersentak, ketika
melihat seorang prajurit datang dengan wajah
diliputi rasa takut
"Aha, ada apa, Kisanak" Di mana Senapati
Braja ?" tanya Pendekar Gila dengan kening
berkerut, merasa rasa heran karena kedatangan
prajurit yang tidak bersama temannya.
"Tuan Pendekar, tolong! Tolong..., Senapati
Braja ..."
"Aha, kau begitu gugup. Ada apa...?"
Prajurit berusia sekitar empat puluh tahun
itu menghela napas dalam-dalam, berusaha
menenangkan perasaannya. Beberapa kali hal itu
dilakukan, tapi jantungnya tetap berdegup keras
dengan napas tersengal-sengaL
"Kami dihadang seorang lelaki tua yang
mengaku bemama Iblis Berkedok Dewa. Dia..., dia
menyerang kami. Kini, dia masih bertarung dengan
Senapati Braja dan teman-taman," tutur prajurit itu
dengan suara terbata-bata, dan napas tersengal-
sengal. "Aha, yang menurut cerita Senapati Kandanu,
si lintah sawah itu" Hi hi hi...!" Sena tertawa
cekikikan sambil menutupi mulutnya.
"Lintah darat, Tuan Pendekar!" sahut prajurit
itu, akan-akan ingin membenarkan ucapan Pendekar
Cilia "Aha, benar! Lintah darat. Ah ah ah! Rupanya
dia masih suka menghisap darah. Hi hi hi...!" kembali
IVndekar Gila tertawa cekikikan sambil menutupi
mulut dengan telapak tangannya.
"Cepatlah, Tuan Pendekar! Aku khawatir
teman- teman dan Panglima tak mampu
menghadapinya!" desak prajurit itu tak sabar.
Wajahnya tampak semakin tcgang mencemaskan
keempat kawannya.
"Aha, ayolah!"
"Naik kudaku, Tuan!"
"Aha, terima kasih."
Pendekar Gila langsung melompat. Dan
setelah bersalto beberapa kali, dengan ringan
hinggap di punggung kuda yang tinggi besar warna
coklat tua itu.
"Hap!"
Trep! "Heaaa...!"
Kuda itu melesat, membawa Pendekar Gila
dan prajurit kerajaan, menuju ke tempat Senapati
Braja dan ketiga prajuritnya sedang bertarung
melawan Iblis Berkedok Dewa.
"Hea...! Cepat lari, Puyuh! Hea...!" prajurit itu
terus menggebah kudanya, dengan harapan segera
sampai di tempat tujuan.
"Hua ha ha...! Mana bisa kuda ini lari kencang,
Prajurit" Dia keberatan," ujar Sena. "Kasihan dia!
Dia pun punya perasaan."
'Tapi kita harus segera sampai, Tuan
Pendekar."
"Aha, terserah kau saja, Prajurit."
"Hayo, Puyuh. Cepat sedikit! Hea he...!"
Kuda bernama Puyuh itu bagaikan memahami
perintah tuannya. Seketika larinya bertambah
kencang, terus melesat ke arah barat.
Sementara itu di tengah Hutan Randu
Kembar nampak sebuah pertarungan sengit tengah
berlangsung seru. Seorang lelaki tua berjubah
merah tengah menghadapi empat orang prajurit
Kerajaan Mandra
Kulawa. "Kalian harus mampus, Cecunguk!" bentak Ki
Angkara sambil bergerak mencakar Senapati Braja.
Wrt! "Hits!"
Senapati Braja segera menarik tubuh ke
belakang, lalu dengan cepat kerisnya dibabatkan,
untuk memapak tangan lawan yang berkelebat di
depan wajah. Lalu diteruskan dengan tusukan ke
dada lawan. "Heaaa...!"
Wrt! "Eits! Kuhancurkan kepalamu, Senapati
Keparat! Hih...!"
Iblis Berkedok Dewa kembali bergerak
menghindar, sambil melancarkan tendangan keras
ke depan. Kemudian dengan cepat, disambung
sebuah hantaman tangan kanan ke dada Senapati
Braja. "Celaka!" pekik Senapati Braja, karena
tersentak kaget mendapatkan serangan yang begitu
cepat Dia berusaha mengelakkan serangan dengan
membabatkan kerisnya. Namun serangan lawan
datang terlalu cepat untuk dielakkan.
Wrt! "Heaaa...!"
Tangan Ki Angkara hampir saja mencengkeram dada Senapati Braja. Namun dengan
cepat para prajuritnya yang telah terluka dalam
akibat hantaman Iblis Berkedok Dewa bangkit dan
dengan tombak menyerang lelaki tua beijubah
merah itu. "Heaaa...!"
Wrt! "Haps! Kurang ajar! Rupanya kalian cari
mampus! Hih...!" Karena serangannya pada Senapati Braja
gagal, Iblis Berkedok Dewa langsung menghantamkan pukul-an jarak jauh kepada tiga
prajurit Kerajaan Mandra Kulawa.
Srtt Bruk! "Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Ketiga prajurit itu terpekik keras, ketika
tubuh mereka hangus terhantam pukulan jarak jauh
Iblis Berkedok Dewa. Kenyataan itu membuat
Senapati Braja bertambah marah. Matanya
membelalak penuh
amarah, dengan napas
mendengus. "Bedebah! Kupertaruhkan nyawaku untuk
membunuhmu, Iblis! Heaaa...!"
Dengan amarah yang meluap-luap, Senapati
Braja kembali melesat menyerang. Keris di
tangannya ditusukkan ke dada lawan, kemudian
disabetkan ke samping kiri dan kanan. Hal itu
membuat Ki Angkara harus melompat ke sana
kemari, guna mengelitkan serangan cepat itu.
Senapati Braja terus mencecar lawan dengan
tusukan dan sabetan keris. Namun kemarahan yang
tak terkendali, membuat serangan-serangannya tak
tera- rah. Sabetan dan tusukan keras senjatanya
tak menemukan sasaran. Bahkan Ki Angkara kini
tampak semakin berada di atas angin karena mampu
membaca serangan lawan.
"Heaaa...!"
Wut..! Senapati Braja benar-benar tak mampu
menguasai keadaan. Dia terus menyerang dengan
membabi-buta, bagaikan tak memperhitungkan
tenaganya. Walau uslanya masih lebih muda
dibandingkan dengan Kl Angkara, ilmu silat dan
tenaga dalam yang dimiliki belumlah sebanding
dengan Iblis Berkedok Dewa. Hal ini nampaknya tak
diperhatikan, sehingga Senapati Braja semakin
ganas melakukan serangan dengan mengerahkan
tenaga dalam. Melihat kemampuan lawan yang semakin-
goyah, Iblis Berkedok Dewa tampak begitu mudah
bergerak kesana - kemari mengelakkan serangan.
Selain itu, dalam beberapa kesempatan lelaki tua
itu mampu melancarkan serangan balasan dengan
jurus 'Pukulan Cakar Iblis'.
"Heaaa...!"
Wret! Alts!"
Senapati Braja berusaha mengelitkan serangan
lawan. Kakinya melompat ke samping kanan, lalu
dengan repat tangan kin memapaki cakaran tangan
lawan Wrt! Trak! Akh...!"

Pendekar Gila 19 Murka Sang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senapati Braja menjerit, ketika pergelangan
tangan klrlnya terasa patah akibat berbenturan
dengan tangan lawan. Senapati Braja melompat ke
belakang dengan mata mendelik kaget. Seakan-akan
dirinya tak percaya, tangannya yang kokoh dan
besar dapat patah akibat henturan dengan lelaki
tua itu. "Klnl saatnya kau mampus, Senapati Busuk!"
dengus Iblis Berkedok Dewa sambil melesat, siap
melakukan serangan pamungkas untuk mengakhiri
pertarungan itu. "Heaaa ..!"
Tubuh Iblis Berkedok Dewa berkelebat, lalu
dengan cepat melakukan serangan dahsyat ke
tubuh Senapati Braja. Jurus 'Pukulan Arang
Neraka' yang dikerahkan Ki Angkara mampu
membuat tangan lelaki tua itu tampak hitam
bagaikan arang. Lalu tiba-tiba dari telapak
tangannya keluar asap seperti bekas pembakaran.
"Heaaa...!"
Wrt! "Celaka! mati aku...!" pekik Senapati Braja
dengan mata terbelalak nanar, menyaksikan lawan
telah dekat dengan tubuhnya. Kerongkongannya
bagaikan kering, tak setetes ludah pun yang
membasahi. "Heaaa...! Mampuslah kau, Senapati Keparat!
Hih!" Degk! "Aaakh...!" Senapati Braja menjerit keras.
Tubuhnya terpental deras ke belakang, melayang
bagaikan terbang. Saat itu pula, sesosok bayangan
berkelebat menangkap tubuh Senapati Braja.
Trep! "Pendekar Gila! Kubunuh kau! Hih...!"
Iblis Berkedok Dewa melihat Pendekar Gila
yang menolong Senapati Braja, segera mengirimkan
pukulan jarak jauhnya yang bernama 'Kelabang
Iblis'. Wrets! "Haits! Hi hi hi...!"
Sambil memondong tubuh Senapati Braja,
Pendekar Gila beijumpalitan mengelakkan serangan
yang dilancarkan Iblis Berkedok Dewa. Sehingga
pukulan jarak jauh itu melesat lewat bawah kakinya.
Dan.... Brak! Suara berderak keras terdengar ketika
pukulan itu menghantam sebatang pohon.
Belum sempat mendaratkan kakinya di tanah,
Pendekar Gila sempat melancarkan sebuah
serangan dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'.
Wret! "Celaka! Aku harus pergi! Hih..!"
Ki Angkara melesat ke samping, mengelakkan
hantaman angin yang dilancarkan Pendekar Gila.
Kemudian balas menyerang sambil melompat mening
galkan tempat itu.
"Hih!"
"Aha, mau lari ke mana kau, Lintah Sawah! Hi
hi hi...!"
Pendekar Gila beijumpalitan, kemudian
dengan cepat mengelakkan serangan lawan. Sinar
biru melesat beberapa jengkal di bawahnya. Dan ...
Glarrr...! Suara menggelegar keras terdengar, ketika
sinar biru dari tangan Iblis Berkedok Dewa
menghantam sebatang pohon randu besar hingga
tumbang. Pendekar Gila terus melesat berusaha
mengejar, tapi lelaki tua beijubah merah itu telah
menghilang dari Hutan Ran?du Kembar.
"Bukan main! Cepat sekali lintah itu pergi!"
maki Sena sambil melangkah ke tempat semula.
"Aha, kenapa kau diam saja, Prajurit" Turunlah dari
kuda- mu!"
Prajurit itu pun menurut turun, lalu
membantu Sena mengurusi Senapati Braja yang
terluka parah. Pendekar Gila segera membuka
pakaian Senapati Kerajaan Mandra Kulawa itu,
setelah memeriksa detak jantungnya, ternyata
masih ada. "Aha, pukulan iblis!" gumam Sena setelah
melihat bekas pukulan yang membekas di dada
Senapati Braja. Sebuah gambar telapak tangan
berwarna hitam legam bagaikan terbakar.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Sedangkan prajurit itu tampak masih
cemas. Matanya menatap ke sekeliling Hutan
Randu Kembar. Seakan-akan merasa takut kalau-
kalau Iblis Berkedok Dewa akan muncul lagi dan
menyerang mereka.
"Aha, kenapa kau masih bengong, Prajurit"
Cepat carikan daun randu kuning. Hanya dengan
daun itu nyawa Senapati Braja dapat diselamatkan,"
kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Prajurit itu masih bingung dan takut, sehingga
hanya bisa diam dan bengong. Di wajahnya tergurat
kecemasan dan rasa takut kalau-kalau Iblis
Berkedok Dewa akan muncul dan menyerang.
"Aha, mengapa kau seperti kerbau dungu,
Prajurit! Cepatlah kau cari daun randu itu. Atau
kau jagalah Senapati, blar aku yang mencarinya,"
ujar Sena agak jengkel, melihat prajurit itu hanya
diam. "Ba..., baik! Aku akan mencarinya," sahut
prajurit itu menggeragap. Kemudian segera
melangkah meninggalkan Pendekar Gila dan
Senapati Braja untuk mencari daun randu kuning.
*** 5 Pendekar Gila menoleh ke sana kemari sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, karena
prajurit yang disuruh mencari daun randu kuning
belum juga datang.
"Ah, ke mana prajurit itu?" gumam Sena
merasa heran dengan prajurit yang disuruh mencari
daun randu kuning. Padahal keadaan Senapati
Braja sudah sangat mengkhawatirkan Lelaki berusia
hampir setengah baya itu hanya mampu merintih
lirih, merasakan sakit hebat. Tubuhnya pun sangat
panas, bagaikan dipanggang di atas perapian.
Pendekar Gila benar-benar merasa gelisah, me-
nyaksikan keadaan Senapati Braja. Keringat terus
membanjir, membasahi keningnya.
Hal itu menandakan betapa panas tubuh Senapati Braja.
Namun prajurit yang mencari daun randu kuning
belum juga muncul. Padahal sudah lama Pendekar
Gila menunggunya.
"Aha, ke mana dia pergi...?" gumam Sena
sambil menggaruk-garuk kepala. Sesekali dilihatnya
Senapati Braja yang masih mengerang-erang
kesakitan. Untung Pendekar Gila telah menotok
tubuh senapati itu. Sehingga rasa sakit pun agak
berkurang. Kalau saja tubuh Senapati Brzga masih
dalam keadaan terbebas, tak akan mampu menahan
rasa sakit yang tiada taranya itu.
Sena kembali mengawasi ke sekelilingnya,
berusaha mencari prajurit itu. Namun belum ada
tanda- tanda akan muncul. Hal itu membuatnya
semakin kebingungan, merasa heran dengan apa
yang terjadi. Kalau tetjadi sesuatu, prajurit itu
tentu menjerit, meminta tolong. Namun dari tadi
tidak didengamya suara apa pun. Lagi pula menurut
dugaannya Iblis Berkedok Dewa pasti telah
meninggalkan Hutan Randu Kembar itu.
"Serahkan senapati itu pada kami!"
Pendekar Gila tersentak kaget, ketika tiba-
tiba terdengar suara seseorang membentak dari
belakangnya. Dengan cepat, sambil menggendong
tubuh Senapati Braja, tubuhnya cepat dibalikkan
ke belakang. Matanya membelalak kaget ketika
melihat dua orang berkepala botak dengan tubuh
gemuk dan bersenjatakan kapak besar telah
menyandera sang Prajurit
"Hua ha ha.... Rupanya ada dua ekor babi yang
datang tanpa diundang," seru Sena sambil tertawa
terbahak-bahak. Hal itu tentu saja membuat mata
kedua lelaki berkepala botak itu mendadak marah.
Dua lelaki berusia empat puluh lima tahunan
itu mendengus geram. Mata mereka melotot penuh
kemarahan. Sambil menekan gigi karena geram,
hingga terdengar suara bergemeretuk keras.
"Kurang ajar! Jangan main-main dengan
Sepasang Jalak Neraka, Bocah Edan!" bentak Jalak
Kuning, yang di lehernya terikat kain kuning
keemasan. Matanya semakin melotot lebar, dengan
tangan kanan memegang senjata kapak besar. Hal
itu membuat prajurit yang ditahannya semakin
ketakutan. Mendengar bentakan itu, Pendekar Gila
justru tertawa kian keras. Masih memondong
tubuh Senapati Braja, Sena menggaruk-garu kepala
denga tangan kiri dan mulutnya cengengesa
"Aha rupanya aku sedang berhadapan dengan
dua jalak botak! Hi hi hi...!"
"Kurang ajar!" dengus Jalak Biru geram.
"Rupanya kau ngin kami menggorok leher prajurit
ini, Bocah!"
"Wawww, jangan ..! Lebih baik, kalian gorok
leher kalian sendiri. Hi hi hi...!" Sea kembali tertawa
meledek. Tentu saja Sepasang Jalak Neraka
bertambah marah.
"Kurang ajar! Kau berani menghina Sepasang
Jalak Neraka, Bocah Edan! Apa kau sudah memiliki
nyawa rangkap, heh"!" bentak Jalak Kuning dengan
napas mendengus keras. Gigi-giginya saling beradu,
menimbulkan suara bergemerutuk keras. Tangan
kirinya yang menjepit leher prajurit, semakin
ditekankan. "Aduh sakit! Oh, Tuan Pendekar. Tolonglah
saya!" ratap prajurit itu, dengan wajah pucat
ketakutan. "Kau dengar, Bocah Edan! Temanmu ini
meminta tolong padamu! Cepat, serahkan senapati
itu pada kami. Atau nyawa prajurit ini akan
melayang!" bentak Jalak Biru mengancam. Mata
kapak besar yang tajam itu ditempelkan ke leher
sang Prajurit yang semakin ketakutan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-gelengkan kepala, melihat ketakutan
sang Prajurit. Seakan tak peduli dengan perasaan
yang dialami prajurit itu.
"Aha, silakan kalian berbuat sesuka hati
terhadap prajurit itu Hi hi hi...! Bukankah memang
prajurit itu tak ada artinya?" tanya Sena yang
membuat prajurit llu bertambah membelalakkan
matanya. Wajahnya memucat bagaikan tak
berdarah, mendengar ucapan Pendekar Gila.
Sepasang Jalak Neraka tersentak kaget,
merasa telah dipecundangi pemuda gila di hadapan
mereka. Memang benar, prajurit itu tak berarti
sama sekali bagi mrreka.
"Pintar juga bocah edan ini!" gumam Jalak
Kuning dalam hati. Bukankah Senapati Braja yang
dibutuhkan mereka" Untuk apa seorang prajurit
yang tak ada artinya. Namun Sepasang Jalak
Neraka tak mau kalah gertak. Mereka menatap
tajam wajah Pendekar Gila yang masih tertawa
cengengesan sambil menggaruk garuk kepala dengan
tangan kirinya.
"Hua ha ha...! Ambillah nyawanya untuk
kalian!" seru Sena sambil masih tertawa terbahak-
bahak, kemudian memonyongkan mulutnya ke
depan. Brut! Pendekar GBa kembali tertawa keras. Melihat
ledekan itu, Sepasang Jalak Neraka bertambah
marah. Gigi-glgi mereka beradu, mengeluarkan suara
gemenitukan menahan geram.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!"
dengus Jalak Biru seraya maju menyerang. Kapak
besar yang bergagang panjang dibabatkan ke tubuh
Pendekar Gila. Wrets...! "Aha, aku bukan pohon, Jalak Botak! Hi hi
hi...!" sambil menggoda, Pendekar Gila melompat ke
atas dengan tetap memondong tubuh Senapati
Braja. "Eittss..."
Jalak biru yang sudah marah segera memburu
ke mana Pendekar Gila melesat. Kemudian kembali
kapak besarnya dibabatkan menyerang Pendekar
Gila. Wret! "Putus lehermu, Bocah Edan!"
"Eits! Aha, tak segampang itu, Jalak Botak! Hi
hi hi...!"
Pendekar Gila kembali melompat ke atas,
sehingga kapak besar itu menderu di bawahnya.
Tubuhnya lalu hinggap pada sebuah cabang pohon
randu. Mulutnya tetap tertawa-tawa sambil


Pendekar Gila 19 Murka Sang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggoda dengan menjulur-julurkan lidah.
"Setan!"
Melihat Pendekar Gila berada di atas, Jalak
Kuning mendorong tubuh prajurit ke depan sampai
tersuru'k dan jatuh mencium tanah. Lalu dengan
penuh amarah, lelaki berpakaian kuning itu
melompat ke atas.
"Heaaa! Kucincang tubuhmu, Bocah Edan!"
Tubuh Jalak Kuning melesat ke atas, tetapi
dengan cepat Sena melompat ke cabang pohon
randu yang lain sambil menunggingkan pantatnya,
disertal suara kentut yang keluar dari mulutnya.
Lalu kembali tertawa terbahak-bahak, yang
membuat Sepasang Jalak Neraka semakin marah.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Jalak Kuning kembali melesat sambil
mengayungkan kapak besarnya, membabat tubuh
Pendekar Gila. Namun lagi-lagi dengan cepat
Pendekar Gila telah melesat pergi dari cabang
pohon itu. Sehingga yang menjadi sasaran kapak
Jalak Kuning cabang pohon itu.
Wrt! Crak! "Akh...!"
Jalak Kuning terpekik, karena keseimbangan
tubuhnya seketika hilang Tubuhnya meluncur
dengan kepala di bawah. Hal itu membuat Pendekar
Gila tertawa terbahak-bahak, menyaksikan kejadian
lucu itu. Beruntung Jalak Kuning segera dapat
menguasai diri. Tubuhnya bersalto tiga kali di
udara, lalu dengan ringan menapakkan kedua
kakinya di atas tanah.
Jleg! "Hua ha ha...! Makanya, punya badan jangan
seperti kerbau...!" ujar Sena berolok-olok.
"Cuih! Kurang ajar! Turun kau, Bocah Edan!"
dengUus Jalak Biru sengit.
"Aha, naiklah! Bukankah kalian tak bisa naik"
Hi hi hi...! Tubuh kalian yang gembrot itu, tak akan
dapat naik," goda Sena sambil tertawa terbahak-
bahak. Kemudian mulutnya dimonyongkan, sedangkan ta?ngan kirinya melambai-lambai "Wek...!"
"Kurang ajar! Kuhancurkan kepalamu, Bocah
Edan! Heaaa...!"
Jalak Biru meiesat ke atas, memburu
Pendekar Gila. Kapak besar di tangannya, menderu
membabat ke tubuh Pendekar Gila.
Wrt! "Eits!"
Pendekar Gila melompat meninggalkan cabang
pohon itu dan betjumpalitan sambil memanggul
tubuh Senapati Braja. Tangannya memberi isyarat
pada prajurit agar segera berlalu pergi.
"Mau lari ke mana, Prajurit Tolol! Hih...!"
bentak Jalak Kuning sambil mencengkeram leher
prajurit itu. Lalu...
Tuk! Tuk! Tuk! Tiga kali jari telunjuk Jalak Kuning menoto'k
punggung sang Prajurit. Seketika membuat tubuh
prajurit Itu tak mampu bergerak. Pendekar Gila kini
merasa harus berjuang untuk dapat membebaskan
prajurit itu dari totokan.
"Hm, sulit juga. Prajurit itu tertotok.
Sedangkan Senapati Braja dalam keadaan luka,"
gumam Pendekar Gila dalam hati sambil terus
mengawasi kedua lawannya yang semakin bernafsu
ingin cepat membunuhnya. Tak ada jalan lain, aku
harus menggunakan barang ini.
Srt! Pendekar Gila segera meloloskan Suling Naga
Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian dilemparkan
ke bawah, dekat Sepasang Jalak Neraka.
Glarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar,
disertai asap kuning tebal. Sekelika Sepasang Jalak
Neraka melangkah mundur. Dari gumpalan asap
kuning Itu, samar-samar tampak sesosok ular besar
berwarna kuning keemasan.
"Szzz...!"
"Wuaaa! Tolooong...!"
Sepasang Jalak Neraka serta-merta lari
terbirit- birit, ketika tiba-tiba di hadapan mereka
telah muncul seekor ular naga besar berwarna
kuning keemasan yang mulutnya membuka lebar
seakan hendak mene lan keduanya.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak,
kemudian dengan tenaga dalam tangannya menarik
Suling Naga Sakti yang berubah kembali menjadi
suling. Setelah itu sambil tertawa, Pendekar Gila
melayang turun.
Tuk! Tuk! Tuk! Tiga kali Pendekar Gila membuka totokan di
tubuh sang Prajurit, sehingga prajurit itu bisa
bergerak seperti sedia kala. Tetapi baru saja sadar,
prajurit itu terkulai kembali, pingsan dengan wajah
pucat. Rupanya kehadiran Naga Sakti, menjadikan
jiwanya terguncang.
Pendekar Gila hanya menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian direnggutnya tubuh sang Prajurit
dan dibawanya pergi meninggalkan Hutan Randu
Kembar yang rusak akibat pertarungan tadi.
*** Sena terus berlari membawa dua sosok tubuh
di pundaknya. Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta
Bayu', dalam sekejap saja dia telah berada jauh. Kini
dia telah sampai di depan pintu gerbang Kerajaan
Mandra Kulawa. "Berhenti! Siapa kau" Dan ada keperluan apa
kau ke istana?" tanya prajurit jaga sambil
menyilangkan tombaknya, menghalangi langkah
Sena. "Hi hi hi...! Aha, apakah kalian tak melihat
kedua teman kalian dalam keadaan luka dalam?"
tanya Sena sambil cengengesan.
Keempat prajurit jaga pintu gerbang
mengerutkan kening, lalu memeriksa dua tubuh
yang berada di atas pundak Sena.
"Senapati Braja dan Tamtama Galatra...!"
pekik keempat prajurit jaga dengan mata
membelalak kaget.
"Apa yang terjadi pada mereka" Di mana yang
lainnya?" tanya prajurit yang bertubuh gemuk dan
berwajah bulat.
"Aaakh...! Aduh, panaaas...!"
"Aaakh...!" Senapati Braja menjerit, ketika
daun randu kuning dioleskan di lukanya. Asap
mengepul, keluar dari luka di dada sebelah kiri itu
Tubuh Senapati Braja menggeliat-geliat kesakitan.
Namun Pendekar Gila tak menghiraukannya. Kini
telapak tangannya disatukan di dada Senapati Braja
yang terluka. Getaran kuat terjadi, ketika Pendekar Gila
menarik racun yang melekat di luka itu Sedangkan
Senapati Braja menjerit melengking dan keras,
bagaikan tengah meregang nyawa. Tubuhnya
menggeliat-geliat liar. Keringat sebesar biji biji
jagung, deras keluar dari seluruh pori-pori
tubuhnya. "Hm... ng.... Hops...!"
Pendekar Gila terus mengerahkan tenaga
dalam nya, untuk menarik racun yang melekat di
tubuh Senapati Braja. Tangannya yang disaluri
tenaga dalam, tergetar dengan hebat. Dari
kepalanya, keluar asap ungu bergulung-gulung.
Lama sekali Pendekar Gila melakukan hal itu,
sampai akhirnya tubuh Senapati Braja turut
membara dan terkulai pingsan, ketika kedua
tangannya dilepas dari dada senapati itu.
"Bukan manusia sembarangan," gumam
Senapati Kandanu, menyaksikan apa yang diperbuat
Pendekar Gila. Dia tahu sangat berat untuk
melakukan pekerjaan yang seperti itu. Namun
Pendekar Gila tak kelihatan letih sedikit pun. Lebih
mengejutkan, ketika asap ungu keluar dari ubun-
ubunnya yang tidak lain Racun Kabut Ungu.
Sebuah racun dahsyat, tapi Pendekar Gila dapat
menguasai dan menjinakkannya. Padahal, selama
seratus tahun, tak seorang pun yang tahan
terhadap Racun Kabut Ungu.
Pendekar Gila tampak masih duduk bersila
sambil mengatur pernapasan yang sudah tersengal-
sengal, setelah melakukan pekerjaan yang sangat
melelahkan itu. Kini dengan sikap duduk seperti
bersemadi Pendekar Gila mengheningkan cipta.
Senapati Kandanu kembali membelalakkan
mata, ketika melihat tubuh Pendekar Gila membara
merah bagaikan diselimuti api. Ruangan di sekitar
tempat itu, seketika bertambah terang oleh cahaya
merah yang keluar dari tubuh Pendekar Gila.
"Hei, apa lagi yang dilakukannya?" gumam
Senapati Kandanu dalam hati dengan kedua mata
terbelalak kaget, hampir tak percaya dengan apa
yang kini dilihatnya.
Setelah kejadian itu berlangsung agak lama,
Pendekar Gila akhimya membuka mata perlahan.
Dihelanya napas panjang, berusaha menghirup
udara sebanyak-banyaknya guna menggantikan yang
di paru- parunya. Dan sesaat kembali mulutnya
cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Sena, Baginda telah menunggu," ujar
Senapati Kandanu.
"Aha, ayolah!" ajak Sena seraya bangkit dari
duduknya. Lalu bersama Senapati Kandanu
melangkah meninggalkan barak menuju bangunan
utama istana. Keduanya langsung menyembah, ketika sampai
di hadapan Prabu Galih Waskita
"Silakan duduk, Pendekar Gila!"
"Terima kasih, Baginda!" Sena pun.duduk
bersila di hadapan Prabu Galih Waskita. Kepalanya
ditundukkan, berusaha bertingkah laku sopan.
"Ada apa gerangan Baginda mengundangku?"
*** Malam kembali bergayut menyelimuti bumi.
Desa Ngadireja pun sepi, bagaikan desa yang mati.
Warga Desa Ngadireja tengah dilanda perasaan
berkabung, duka yang dalam. Selama tiga pumama
belakangan ini, desa mereka dijarah gerombolan
pengacau yang mengaku diperintah Pendekar Gila.
Sementara itu, Pendekar Gila nampak sedang
terbaring di atas dipan. Matanya belum t"rpejam.
Sejak kemarin dirinya berada di Desa Ngadireja,
menginap di kedai Ki Lampit. Malam kemarin dilalui
dengan tenang, tak ada tanda-tanda kemunculan
gerombolan yang mengaku anak buahnya. Seakan
mereka tahu, kalau Pendekar Gila berada di desa
itu. Di samping Pendekar Gila di sebuah dipan lain
tampak Ki Lampit tengah berbaring pula. Orang tua
ltu pun belum tidur. Malam itu Ki Lampit masih
bertanya tanya dalam hati. Siapa sebenarnya
pemuda bertingkah laku gila yang kerjanya cepat
dan tengah membantunya dalam pekeijaan di
kedainya. Semua pekerjaan diambil alih pemuda
bertingkah laku gila itu.
Kadang kala Ki Lampit ingin tertawa, jika
melihat tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan
lucu. Namun dirinya selalu menahannya, takut
kalau-kalau pemuda bertingkah laku gila itu akan
tersinggung. Jika hal itu terjadi, dia akan kerepotan
seperti kemarin lusa. Padahal semenjak Pendekar
Gila bersamanya, pekerjaan menjadi ringan.
"Dua hari kita bersama, tetapi selama ini aku
belum tahu siapa kau sebenarnya," gumam Ki
Lampit dengan tarikan napasnya yang berat.
"Semenjak kau berada di sini, aku merasa aneh."
"Aha, apa yang kau anggap aneh, Ki?" tanya
Sena seraya bangun dari pembaringan. Mulutnya
cengengesan. Lalu tangannya mengambil bulu
burung di ikat pinggangnya. Kemudian dikorek
telinga kanannya dengan bulu burung itu. Mulut
nyengir merasa kenik- matan.
"Gerombolan itu, biasanya datang tujuh hari
sekali. Tetapi semenjak kau datang, mereka tidak
datang. Sepertinya, kehadiranmu membuat mereka
takut." Pendekar Gila tertawa mendengar penuturan
Ki Lampit, yang dianggapnya terlalu mengada ada.
Bagaimana mungkin orang tahu dirinya di Desa
Ngadireja. Lagi pula, mengapa gerombolan itu harus
takut terhadapnya. Pendekar Gila menggeleng-
gelengkan kepala, dengan tangan kiri menggaruk-
garuk kepala. "Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Bagaimana
mungkin mereka takut pada orang gila sepertiku"
mengatas namakan Pendekar Gila," tutur Ki Lampit


Pendekar Gila 19 Murka Sang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Gila tersentak mendengar cerita Ki
Lampit. Bahwa namanya dijadikan sebagai biang
keladi pembunuhan itu. Kemudian sambil
cengengesan, ditariknya napas dalam dalam. Ada
perasaan marah dan jengkel dalam hatinya.
"Hi hi hi..., lucu sekali! Mengapa orang-orang
semakin suka melakukan hal-hal aneh" Lucu
sekali...!" gumam Pendekar Gila sambil menggeleng
gelengkan kepala. Dirinya merasa tak habis pikir
mengapa penjahat lebih suka menggunakan gelarnya
untuk melakukan aksi kejahatannya.
"Kau tak takut, Pendekar?" tanya Ki Lampit
"Hi hi hi..., takut" Mengapa harus takut" Hyang
Widhi akan senantiasa melindungi orang yang benar,
Ki. Kalau kita tak salah, mengapa harus takut?"
Sena balik bertanya dengan masih cengengesan.
"Ah, kau memang sangat bijaksana, Pendekar.
Sungguh jahat orang-orang yang telah mencemarkan
nama baikmu. Mereka tidak ubahnya iblis!" dengus
Ki Lampit, sepertinya turut jengkel mendengar
berita Pendekar Gila dijadikan kedok kejahatan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala, seakan-akan melihat
kelucuan. Namun dilihat dari sinar matanya, jelas
hatinya benar-benar marah. Merasa telah
dipermainkan seenak nya oleh para durjana.
"Ini tidak bisa didiamkan. Para warok pun
tentu menuduh aku pelakunya," gumam Pendekar
Gila dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, sudahlah, Ki! Malam telah larut.
Tidurlah dahulu, nanti kau sakit!" ujar Sena kepada
Ki Lampit nqar segera tidur. Dirinya tak ingin orang
tua sebatang kara itu akan mengalami sakit.
"Kau...?"
"Hi hi hi..., nanti aku pun tidur," sahut
Pendekar Gila Ki Lampit pun segera merebahkan tubuh.
Perlahan lahan dipejamkan matanya. Dan tidak lama
kemudian, lelaki tua itu telah pulas dalam tempat
tidur. Sedangkan Pendekar Gila nampak masih
duduk sambil menyandarkan tubuh pada dinding.
Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan
menggaruk-garuk
kepala. Benaknya masih memikirkan tentang semua kejadian yang mengaitkan julukannya.
Pendekar Gila menengadahkan wajah ke atas,
seakan hendak mencari sesuatu. Dihelanya napas
dalam- dalam, berusaha menenangkan perasaannya.
"Hyang Jagat Dewa Batara, semoga Engkau
inemberi kekuatan pada hambamu ini!" desahnya
lirih, sambil memejamkan mata perlahan.
Malam semakin larut suasana pun bertambah
sepi. Tiba-tiba dari arah barat terdengar suara
jeritan memecah keheningan malam. D'isusul suara
gelak tawa. "Tolong...! Rampok...!"
"Hua ha ha...! Jangan melawan! Kami anak
buah Pendekar Gila. Percuma kalian melawan...!"
Sena yang mendengar gelarnya disebut,
tersentak kaget. Dengan bibir tersenyum, tubuhnya
melesat cepat meninggalkan kamar bilik di kedai Ki
Lampit. "Hi hi hi...! Pucuk dicinta ulam tiba. Rupanya
apa yang dikatakan Ki Lampit benar. Aha, malam ini
aku lkan berburu kecoa-kecoa busuk!" dengus
Pendekar Gila sambil terus melesat menuju tempat
asal jeritan. Sementara warga desa masih hiruk-pikuk
ketakutan ditingkahi dengan suara jerit kematian,
di tempat yang sepi Caraka Wanda nampak semakin
beringas. Matanya menyala-nyala menatap tubuh
gadis cantik yang kini setengah telanjang.
"Lepaskan aku! Tolooong...!"
"He he he...! Jangan takut, Manis! Kita akan
menikmati indahnya malam ini," ujar Caraka Wanda
sambil berusaha menggeluti tubuh gadis cantik
kembang Desa Ngadireja. Namun tiba-tiba...,
"Hua ha ha...! Begitukah tingkah anak buah
Pendekar Gila" Ah ah ah, lucu sekali. Kecoa-kecoa
busuk mengaku anak buah Pendekar Gila...!" dari
kegelapan, terdengar suara tawa susul-menyusul,
Pendekar Gila. Caraka Wanda dan Jabil tersentak kaget.
Keduanya langsung menoleh ke tempat datangnya
suara pemuda itu. Mata mereka membelalak tegang
Apalagi Caraka Wanda yang telah kenal siapa
pemilik suara itu
"Pendekar Gila..."!" desis Caraka Wanda
dengan mata membelalak tegang.
"Dia ada di sini"!" tanya Jabil tak kalah kaget
dan tegang, setelah tahu siapa yang tertawa itu.
"Aha, apa kabar, Ki Sanak...?" tahu-tahu
Pendekar Gila telah berdiri beijarak satu tombak di
samping mereka. Hal itu semakin membuat
keduanya terlonjak kaget karena tak tahu kapan
dan dari mana datangnya. Gadis yang hendak
diperkosa bangkit dan langsung berlari ke belakang
Pendekar Gila. Tetapi Ayu Wuni pun kelihatannya
masih takut, setelah tahu siapa pemuda bertingkah
laku gila itu. "Kau..." Kau Pendekar Gila..."!" tanyanya
dengan mata terbelalak ketakutan.
"Hua ha ha...! Jangan takut, Ni Sanak! Aku
memang Pendekar Gila, tetapi bukan pimpinan para
kecoa busuk itu! Hi hi hi...! Lucu sekali. Rupanya
kecoa-kecoa busuk kini pada bertingkah," gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
Ditatapnya kedua lelaki bermata jalang itu
dengan tajam. Kemudian dengan cengengesan,
tangannya menggaruk-garuk kepala. Lalu dipandangi
gadis cantik yang berpakaian telah compangakibat reng gutan tangan Caraka Wanda.
"Aha, tak kusangka, kalau anak seorang warok
berbuat sekeji ini. Hi hi hi... lucu sekali. Dunia ini
memang semakin lama semakin bertambah gila,"
gumam Pendekar Gila dengan mulut masih
cengengesan. Sedangkan tangannya tetap menggaruk-garuk kepala. Lalu diambil Suling Naga
Sakti. Ditiupkan dengan merdu, mendendangkan
nyanyian tentang seekor anak domba yang berusaha
menjadi serigala. Anak domba itu terus berusaha
agar bisa jadi serigala. Sampai akhimya, anak si
domba membabi buta.
"Cuih! Lancang sekali kau, Pendekar Gila!"
bentak Cakra Wanda dengan napas mendengus,
"Jangan kira aku tak mengerti nyanyian sulingmu!"
"Hi hi hi..! Ah, baguslah kalau kau mengerti.
Rupanya kau anak warok yang pintar. Sayang...,
sayang sekali perbuatanmu tak sesuai dengan
pribadi orang tuamu," ujar Pendekar Gila sambil
tertawa cekikikan dengan kepala menggeleng-
geleng, seakan sangat menyesalkan atas perbuatan
Caraka Wanda. "Cuih!" Caraka Wanda membuang ludah
jengkel. Mata Ayu Wuni terus memperhatikan
pertarungan itu dengan harap-harap cemas. Takut
kalau kalau pemuda tampan bertingkah gila kalah.
"Heaaa...!"
Wret! Wret! Pedang di tangan Caraka Wanda dan Jabil
menderu dengan cepat ke tubuh Pendekar Gila.
Tetapi dengan cepat pula, Pendekar Gila
mundurkan kaki kanan. Kemudian menggeser kaki
kiri agak merentang sambil meliukkan tubuh.
"Celaka...!" pekik kedua lawannya kaget,
karena pedang mereka tetap belum berhasil
bersarang di tubuh lawan. Bahkan pedang itu kini
melesat ke tubuh temannya. Mata keduanya
terbelalak tegang, menyadari gerakan masing-masing
yang kacau. Melihat kedua lawannya dalam keadaan mati
langkah, sambil menggaruk garuk kepala Pendekar
Gila menendangkan kaki kanan ke tubuh Jabil.
Sementara tangan kiri, menghantam tubuh Caiaka
Wanda. "Hi hi hi ..! Hea...!"
Caraka Wanda dan Jabil yang mati langkah,
tersentak kaget. Keduanya kebingungan. Kalau
meneruskan membabatkan pedang dapat membahayakan kawannya. Sedang kalau berhenti
jelas gerakan Pendekar Gila akan lebih leluasa
menyerang. "Hea!"
Dalam kebingungan dan kagetnya, Caraka
Wanda melentingkan tubuh ke belakang untuk
mengelak. Sehingga Jabil yang teriambat, tak ampun
lag! menjadi sasaran tendangan kaki Pendekar Gila.
Begk! "Akh...!" Jabil memekik keras. Tubuhnya
terlontar deras ke belakang, bagaikan didorong
sebuah kekuatan yang dahsyat Tubuh itu baru
berhenti, ketika menghantam pepohonan bambu.
Gosrak! "Akh!"
Tanpa ampun lagi, Jabil terjepit batang
batang bambu. Sesaat Jabil meregang, kemudian
terkulai mati. Menyaksikan temannya tewas, Caraka Wanda
bertambah beringas. Dengan napas mendengus
keras, lelaki muda itu kembali bergerak menyerang.
Jurus, 'Semilir Angin Meniup Daun Kering' segera
dikeluarkan. Nampaknya Caraka Wanda sudah tak
sabar lagi untuk membinasakan Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
Wrt! Wrt...! Pedang di tangan Caraka Wanda bergerak
laksana angin yang bertiup semilir. Kelebatannya
sangat halus dan pelan. Hal itu karena Caraka
Wanda menggunakan tenaga dalam yang cukup
tinggi, juga pengerahan batin yang sempurna.
Kakinya melangkah secara beraturan, seperti
memakai hitungan-hitungan tertentu.
Melihat jurus yang dilakukan Caraka Wanda,
seketika Pendekar Gila mengerutkan kening.
Dengan memandang lewat sudut mata sambil
nyengir, pikirannya berusaha mengingat-ingat
gerakan yang dilakukan Caraka Wanda.
"Hm, bukankah itu gerakan Macan Barong
yang kulihat di Ponorogo?" tanya Pendekar Gila
dalam hati brrusaha mengingat-ingat gerakan-
gerakan yang dilakukan Caraka Wanda. "Aha,
benar! Itu gerakan yang dilakukan Macan Barong
Hm, kalau begitu yang menjadi Maean Barong
tentunya pemuda ini."
"Pendekar Gila, kau harus mampus! Bersiaplah!" dengus Caraka Wanda.
"Bocah Edan! Kubunuh kau! Hea...!" seorang
anak buah Surotama membabatkan golok ke tubuh
lawan yang sedang menungging. Namun dengan
jurus "Gila Mabuk Mencabut Rumput" Pendekar
Gila segera bergerak mengelit. Tubuhnya seperti
orang gila yang sedang mabuk. Jumpalitan ke sana
kemari, dengan tangan bergerak mencengkeram dan
memukul Sedangkan kedua kakinya bergerak
melakukan serangan dengan lutut dan tendangan
"Hi hi hi! Heaaa...!"
Dugk! "Ukh...!" orang yang berada di belakang
terjengkang, karena terkena tendangan kaki kiri
Pendekar Gila. Mulutnya meringis kesakitan dan
tampak darah mengalir dari sela bibir. Tangannya
memegangi dada yang terasa nyeri hebat. Bahkan
dirasakan pukulan keras tadi meremukkan tulang
rusuknya. Pertarungan semakin seru. Gerombolan itu
langsung mengeroyok Pendekar Gila.
"Hea!"
Wuttt! "Uts! He he he...!" Pendekar Gila tertawa
terkekeh sambil terus bergerak dengan jurus 'Gila
Mabuk Mencabut Rumput' digabung dengan jurus


Pendekar Gila 19 Murka Sang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Gila Menari Menepuk Lalat'. Suling Naga Sakti di
tangannya, bergerak dengan cepat menangkis
serangan lawan. Dilanjutkan dengan memukul ke
dada, dan punggung lawan yang terdekat
"Mampus kau, Pendekar Gila! Hea...!" Wuttt!
"Uts! He he he...! Ini bagianmu, Kecoa Tolol!"
Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan dengan
meliuk ke samping. Kemudian bergerak ke belakang
tubuh lawan dengan cepat, sambil memukulkan
Suling Naga Sakti ke punggung lawan.
Begk! "Akh..." pekikan tertahan terdengar ketika
seorang lawan terpukul Suling Naga Sakti. Tulang
punggungnya dirasakan remuk. Mulutnya meringis.
Dari sela bibimya meleleh darah. Kemudian tubuh
orang itu ambruk ke tanah.
Pertarungan semakin seru. Sepertinya gerombolan Caraka Wanda dan Surotama tak takut
sedikit pun. Mereka terus menyerang dengan
sabetan dan tusukan pedang serta gdok,
"Heat"
Wuttt! Wuttt! "Haiiit..!"
Dengan cepat Pendekar Gila mengelit dengan
merundukkan tubuh. Kemudian dengan cepat pula
dipukulkan Suling Naga Saktinya ke tubuh lawan.
Wuttt! "Heh"!" orang itu tersentak kaget dengan
mata membeliak. Dirinya berusaha menghindar
tetapi gerak yang dilancarkan Pendekar Gila sangat
cepat. Sehingga...,
Begk! "Wua...!"
Korban kembali jatuh dengan tulang iga
remuk akibat gebukan Suling Naga Sakti.
Kenyataan itu membuat Caraka Wanda dan
Surotama bertambah marah dan beringas.
"Kubunuh kau, Pendekar Gila...!" Surotama
melompat ke depan. Dengan jurus 'Serimpi Kipasan
Maut' Surotama membabatkan pedangnya ke tubuh
Pendekar Gila. Warga Desa Ngadireja yang semula merasa
takut, akhimya mendatangi tempat pertarungan
menyertai kepala desa. Mereka angsung membantu
Pendekar Gila yang dianggap telah menyelamatkan
desa mereka. Gerombolan penjahat yang menjarah Desa
Ngadireja akhimya terjepit. Bahkan kini, Pendekar
Gila dengan cepat menggebukkan Suling Naga Sakti
ke punggung Surotama.
Bukkk! "Akh...! Ukh...!
Tubuh Surotama menggeliat-geliat karena
punggungnya remuk terhantam Suling Naga Sakti.
Dari mulutnya muncrat darah segar. Selamanya
mulut lelaki muda itu mengerang-erang sebelum
akhirnya mati. Melihat pimpinan mereka mati, keenam
anggota gerombolan yang masih hidup, semakin
panik. Dalam sekejap mata, mereka dapat didesak
para warga Desa Ngadireja.
"Mampuslah kalian! Hea...!"
Jrab! Jrabs! "Akh...!" lengkingan kematian, seketika
terdengar susul-menyusu! Dengan ganas karena
marah para warga Desa Ngadireja membantai habis
anggota gerombolan yang mengatasnamakan
Pendeka Gila sebagai pimpinan.
Ki Lampit tertatih-tatih mendekati Pendekar
Gila. Di bibirnya tersungging senyuman. Orang tua
yang sebenarnya Kepala Desa Ngadireja itu merasa
senang atas kemenangan mereka.
"Kau, Ki?" Pendekar Gila terkejut melihat Ki
Lampit yang semula tua renta kini tampak wajah
aslinya, setelah membuka kedok. Ki Lampit ternyata
seorang lelaki bertubuh tegap, berusia sekitar lima
puluh tahun. Wajahnya cukup tampan terhias
jenggot dan kumis tipis.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan
Pendekar!"
"Aku tak mengerti, siapa kau sebenarnya, Ki?"
tanya Pendekar Gila dengan mulut nyengir serta
ta?ngan menggaruk-garuk kepala.
Ki Lampit memegang pundak Pendekar Gila,
lalu sambil melangkah lelaki setengah baya itu
menceritakan siapa dirinya. Diceritakan, mengapa
harus menyamar, karena dirinya takut kepergok
Pendekar Gila yang kabarnya menjadi pimpinan
gerombolan itu. Ki Lampit merasa tak akan mampu
menghadapi Pendekar Gila yang kesohor dengan
kesaktiannya. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi tiba-tiba tawa-
nya terhenti, ketika matanya melihat sesosok
bayangan kuning berkelebat mencurigakan. Mata
yang lain mungkin tak melihat karena suasana gelap.
"Hai, tunggu...!" teriak Pendekar Gila.
Kemudian dengan menggunakan ilmu larinya segera
mengejar sosok bayangan kuning itu. Dalam sekejap
saja Pendekar Gila telah berhasil menghadang
orang itu. "Aha, mau lari ke mana kau" Hi hi hi...!"
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki
muda berpakaian kuning sambil bersujud di depan
Pendekar Gila. "Saya hanya diperintah tiga warok
Ponorogo."
"Kau juga anggota mereka?" tanya Pendekar
Gila. "Be... benar."
"Jadi kalian diperintah tiga warok Ponorogo
untuk membuat keonaran di desa ini?" tanya
Pendekar Gila tegas, walau mulutnya masih
cengengesan. Pendekar Gila melesat cepat. Sehingga ketika
keduanya melihat ke depan lagi, pemuda yang
diikuti telah menghilang entah ke mana.
"Heh"!"
"Lho..."l"
Kastro dan Jawir tersentak kaget. Mata
keduanya terbelalak dengan mulut terlongong
bengong, kehe ranan.
"Dia hilang!" gumam Jawir.
"Mungkin dia dedemit," tukas Kastro.
"Aha, mana ada dedemit pagi-pagi begini?"
ban- tah Jawir tak percaya.
"Buktinya dia hilang," sahut Kastro sambil
mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat
itu. Namun, Pendekar Gila telah benar-benar
hilang. "Kalau dia lari, mana ada yang bisa lari
secepat angin?"
'lya, ya" Kok aneh..."!" kini Jawir mengangguk-
anggukkan kepala dengan mulut masih bengong.
"Vvah, untung dia tak jahat! Coba kalau jahat,
kita sudah dlcekik," ujar Kastro bergidik.
"Hih..., benar! Kalau dia jahat, kita pasti
dicekiknya," sahut Jawir seraya mengedarkan
pandangannya dengan rasa takut
"Ayo, kita pergi! Siapa tahu siluman itu masih
di sini," ajak Kastro.
Keduanya pun segera lari tunggang langgang,
meninggalkan perbatasan Desa Babareja.
*** Warok Gandu Pala tertawa terkekeh-kekeh,
merasa senang setelah mendengar ketiga warok tua
yang juga sesepuh di Desa Ponorogo itu akhirnya
dapat juga diadu domba.
Semua anak buahnya mengerutkan kening, tak
mengerti mengapa Warok Gandu Pala tertawa-
tawa. Padahal banyak anak buahnya yang mati di
tangan Pendekar Gila. Nampaknya para pengikutnya
tidak memahami jalan pikiran yang telah
direncanakan sang Ketua.
"Nanti malam, kita kembali mengadakan
gerakan. Bunuh kedua calon lurah yang masih ada!"
perintah Warok Gandu Pala sambil tertawa
terbahak-bahak. "Kalau mereka sudah lenyap
semua, bukankah aku yang akan menduduki kursi
kepala desa?"
Semua anak buahnya yang tersisa Ema belas o-
rang itu tertawa mengikuti pimpinannya yang juga
tertawa terbahak-bahak
"Benar, Ketua! Kalau Ketua menjadi Kepala
Desa Ponorogo, kita akan enak...," ujar Sumogiri,
"Bukan begitu teman-teman?"
"Benar!" sahut keempat belas rekannya,
termasuk Sekati yang juga berada di tempat itu.
Gadis itu nampak lebih banyak diam, semenjak
hamil. Hal itu mungkin karena hatinya merasa
berdosa, telah membohongi sang Ayah. Juga
terhadap Pendekar Gila yang telah difitnahnya.
Hati nurani Sekati mulai tergugah. Batinnya
yang semula tertutup, kini terbuka. Dirinya merasa,
semua tindakannya selama ini suatu perbuatan yang
salah. Begitu berani menentang sang Ayah. Juga
Paman Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta.
"O, mengapa aku seperti ini" Mengapa harus
menuruti setiap ucapan Paman Warok Gandu Pala?"
keluh Sekati dalam hati, merasakan kesalahannya
selama ini. Kini dirinya bagaikan baru terbuka mata
hatinya yang selama ini tertutup kabut gelap.
Selama ini, Sekati terpengaruh janji-janji muluk dan
rayuan gombal Warok Gandu Pala. Sampai akhimya,
peristiwa itu terjadi. Ketika semua anak buah
tengah menjalankan perintah tinggallah mereka
berdua. Warok Gandu Pala menggagahinya.
Mulanya Sekati berusaha melawan, tetapi ketika
matanya beradu dengan mata Warok Gandu Pala,
tiba-tiba hatinya luluh. Dibiarkan tubuhnya digeluti
orang yang mengaku sebagai pamannya sendiri.
Semenjak itu, Warok Gandu Pala selalu
berusaha mendapatkan kepuasan dari Sekati. Dan
anehnya, gadis itu bagaikan tak mampu melawan.
Sekati pasrah, membiarkan kehormatannya direnggut. Membiarkan tubuhnya dijadikan pelampiasan nafsu lelaki yang dianggap sebagai
paman sendiri, karena sesama warok seperti
ayahnya. Sampai akhirnya, Sekati hamil. Semula hatinya
sangat takut, lalu mengadukan kehamilannya pada
Warok Gandu Pala. Namun tanggapan Warok
Gandu Pala justru membuat hatinya sakit. Warok
Gandu Pala menyuruhnya untuk memfitnah
Pendekar Gila dan mengadukan pada ayahnya, kalau
kehamilan itu perbuatan Pendekar Gila. Bukankah
dengan begitu, ketiga warok tua bangka itu akan
memusuhi bahkan membunuh Pendekar Gila?"
"O, kasihan Pendekar Gila. Dia tak tahu apa-
apa, terlalu polos, dan tak mengerti apa yang
terijadi," keluh Sekati dalam hati. Lamunannya
terus mengalir, teringat akan Pendekar Gila yang
bertingkah laku konyol dan persis orang gila.
"Mengapa harus dia yang menjadi korban fitnah"
Tentunya ayah tak akan membiarkannya begitu saja.
Entah kenapa Sekati mau mengaku Pendekar
Gila yang melakukannya. Perlahan-lahan, bayangan
kejadian kemarin tergambar kembali dalam benak
Warok Singo Lodra.
Dirinya baru saja pulang dari kebun, ketika
langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya
mendengar suara Sekati muntah-muntah. Dengan
kening mengerut, Warok Singo Lodra melangkah
mendekati anaknya yang sedang muntah di samping
rumah. "Sekati, kenapa kau?"
Sekati tersentak kaget. Dengan mata
memandang takut, gadis itu bangun dari
jongkoknya. Lalu kakinya melangkah mundur
dengan wajah pucat karena takut.
"Anakku, kau tak perlu takut pada ayah.
Katakan, apa yang sebenarnya terjadi...?" tanya
Warok Singo Lodra dengan suara pelan, berusaha
menenangkan sang Anak.
Sekati langsung menangis. Dipeluknya erat-
erat tubuh sang Ayah. Hal itu membuat hati Warok
Singo Lodra ierenyuh da luluh. Dengan lembut,
dibelai-be- lainya rambut Sekati.
"Anakku, ceritakanlah apa yang telah terjadi!"
pinta Warok Singo Lodra dengan tangan masih
membelai-belai rambut anaknya.
Perlahan-lahan Sekati mendongak. Ditatapnya
dalam-dalam wajah sang Ayah. Tangisnya masih


Pendekar Gila 19 Murka Sang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berderai, bahkan semakin sesenggukan. Hati Warok
Singo Lodra pun luluh-lantak dan merasa kasihan.
Dibimbingnya sang Anak masuk ke rumah.
Kemudian diajaknya duduk.
"Ceritakanlah, Anakku!"
"Apakah Ayah tak akan marah?" tanya Sekati
takut. Warok Singo Lodra berusaha tersenyum.
Digeleng-gelengkan kepalanya, berusaha meyakinkan
sang Anak agar mau menceritakan apa sebenarnya
yang terjadi. "Sekati hamil, Ayah."
"Apa"!" bagaikan disengat kalajengking Warok
Singo Lodra terbelalak kaget. Lelaki tua itu
tersentak bangkit dari duduknya. Dengan napas
tersengal karena perasaan marah dan terkejut mata
Warok Singo Lodra menatap tajam anaknya.
Sementara Sekati hanya mampu menangis dengan
menundukkan kepala dalam-dalam.
"Siapa yang menghamilimu, Sekati" Akan
kulabrak dia!"
."Pendekar Gila, Ayah!"
"Hah"!" semakin membelalak mata Warok Singo
Lodra, mendengar jawaban anaknya. Dihelanya
napas dalam-dalam lalu dihembuskan dengan kuat.
Kedua tangannya mengepal keras sambil menggemeretakkan gigi menahan geram.
Warok Singo Lodra melangkah bimbang
dengan hati dilanda amarah. Tangan kanannya
masih mengepal. Matanya memandang tajam pada
anaknya yang masih menangis sambil menundukkan
kepala. "Kapan hai itu terjadi?" tanya Warok Singo
Lodra. "Tiga bulan yang lalu, Ayah," jawab Sekati
dengan masih menangis sambil menundukkan
kepala. "Kurang ajar! Pendekar Gila keparat!" maki
Warok Singo Lodra geram. Napas tuanya kian
memburu, bagaikan harimau marah. Matanya
semakin memerah karena marah, "Sekati, kau tidak
berbohong"!"
"Sungguh, Ayah. Sekati rela mati, jika
berdusta," jawab gadis cantik berbaju kuning muda
itu sambil terisak-isak.
"Pendekar Gila, telah cukup aku menahan
amarah. Ternyata kau menggunakan nama besarmu
untuk perbuatan terkutuk! Tak akan kubiarkan kau
mempermainkan anakku seakan mengharapkan
kesaksian langit biru pada janji dan tekadnya.
Ketiga warok lainnya terdiam mendengar
ucapan Warok Singo Lodra. Bagaimanapun ilmu
mereka masih di bawah Warok Singo Lodra. Mereka
juga menganggap kalau pimpinan para warok itu
yang harus dituakan karena memang dirinya orang
pertama dan paling tua di kalangan warok
Ponorogo. "Kini tak ada persoalan lagi. Kita harus
menguburkan mayat-mayat itu!" ujar Warok Singo
Lodra. "Kita sebagai orang-orang tua dan dihormati
yang menjadi panutan harus memberi contoh baik.
Ayo bantu warga!"
Tanpa membantah, ketiga warok lain segera
mengikuti Warok Singo Lodra mengurusi mayat-
mayat di rumah Ki Renda Peksa.
6 Semenjak kelahiran putra Senapati Kandanu,
Desa Pakis bertambah ramai. Prajurit kerajaan
bergantian menjaga desa itu, apalagi kini Prabu
Galih Waskita sendiri yang memerintahkan
penjagaan terhadap Desa Pakis. Prabu Galih
Waskita telah tahu kalau Ki Angkara mendendam
pada panglima utama kerajaan, karena cintanya
yang gagal untuk mendapatkan Murti Dewi. Siapa
tahu setelah anak Senapati Kandanu lahir, Ki
Angkara akan membuat kerusuhan lagi. Atau
menculik bayi itu. ltulah yang dikhawatirkan pihak
kerajaan. Malam menyelimuti Desa Pakis, menghamparkan kegelapan yang sepi. Rumah-rumah
penduduk sudah tertutup rapat, hanya di rumah Ki
Lurah Padri yang masih ramai Masih banyak orang
serta beberapa prajurit yang sedang berjaga-jaga.
Malam terus merangkak dengan kegelapan
serta kesepian yang menyelimutinya. Angin yang
berhembus pelan, meniup dedaunan, menimbulkan
suara gemerisik, Hal itu membuat suasana malam
bertambah mencekam.
Malam telah agak larut, ketika dari arah
selatan Desa Pakis nampak berkelebat sesosok
bayangan merah menuju rumah keluarga Ki Lurah
Padri. Bayangan merah itu terus melesat dengan
cepat, lalu menyelinap di balik pepohonan, ketika
nampak dua orang prajurit tengah memeriksa ke
sekeliling rumah Ki Lurah Padri diikuti dua orang
jawara kepala desa itu.
Hmm, semakin banyak juga prajurit kerajaan,"
gumam bayangan merah yang ternyata Ki Angkara.
Matanya mengawasi dua orang prajurit yang masih
berjalan, memeriksa sekeliling. "Aku harus
membungkam mereka."
Empat orang itu terus melangkah, memeriksa
sekelilingnya. Mata mereka dipasang terus dengan
kewaspadaan, seakan tak ingin kecolongan.
"Ini yang terakhir," desis Ki Angkara perlahan.
Kemudian dengan ringan tubuhnya bergerak,
mencengkeram prajurit yang melangkah paling
depan. "Hop!"
Trep! "Hih!"
Prajurit itu berusaha meronta, tetapi dengan
cepat KI Angkara telah mendahului membungkam
mulutnya dengan tiga totokan.
Tuk! Tuk! Tuk! Seketika prajurit itu terkulai. Ki Angkara
segera menyeret ke semak-semak. Kemudian
kembali melesat cepat, memburu ketiga orang yang
masih melangkah.
Srt! "Hai! Siapa itu"!"
Rupanya salah seorang dari mereka melihat
bayangan Ki Angkara berkelebat, sehingga
berteriak membentak. Hal itu membuat kedua
temannya langsung menghentikan langkah. Mereka
langsung mengawasi pepohonan yang tumbuh di
sekitar tempat itu.
"Ada apa, Kapin?"
"Kulihat ada orang mengikuti kita," sahut
lelaki yang disusul dengan jerit kematian.
"Heaaa!"
Crab! "Akh...!"
"Lancang sekali kau, Ki Angkara!" bentak Ki
Purba sengit seraya merentangkan tangannya, meng-
halangl langkah Ki Angkara yang hendak masuk.
Na?mun, lelaki tua berjubah merah itu tak peduli.
Malah dengan enaknya, ditepiskannya tangan Ki
Purba. "Minggir! Jangan halangi aku!"
Hal itu tentu membuat Ki Lurah Padri dan Ki
Purba marah. "Kurang ajar! Lancang sekali kau,
Angkara! Hih.. !"
Lurah Padri bergerak cepat, tangannya
mendorong dada Ki Angkara disertai tenaga dalam
yang cukup kuat, sehingga menyebabkan lelaki tua
berjubah merah itu tersentak Cepat-cepat dia
mundur, mengelakkan dorongan itu.
Wsss! "Ukh! Hebat juga tenaga dalammu, Ki," ejek
Ki Angkara sambil mengelak.
Ki Lurah Padri agak terhuyung ke depan.
Beruntung dengan cepat lelaki tua berbaju coklat
itu segera mampu menguasai diri. Sehingga luput
dari jatuh. "Kurang ajar! Kau benar-benar iblis. Pergi dari
sini, sebelum kupanggilkan para prajurit!" bentak Ki
Lurah Padri sengit
"Panggil prajurit yang sudah pada mampus!"
ejek Ki Angkara, yang seketika membuat kedua
orang tua itu bertambah marah.
Sementara orang-orang yang di dalam kini
keluar, setelah mendengar suara ribut-ribut.
Melihat Ki Angkara ada di tempat itu, lima warga
desa yang masih berada di rumah Ki Lurah Padri
seketika berhamburan menyerang Ki Angkara.
"Tangkap iblis itu...!" perintah Ki Purba seraya
merangsek turut menyerang dengan sengit.
"Jangan biarkan lolos! Jika kalian bisa
menangkap nya, maka kalian akan mendapatkan
pahala dari baginda raja!" seru Ki Lurah Padri
memberi semangat pada kelima warga desanya yang
serentak mencabut golok dan menyerang Iblis
Pendekar Cacad 11 Tamu Dari Gurun Pasir To Liong Keng Hong Karya Opa Pendekar Sakti Suling Pualam 16
^