Pencarian

Nenek Bongkok 2

Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok Bagian 2


lemah. "Baik, Nyi. Kami mohon diri.... Jaga anak
itu baik-baik, Nyi. Dan jangan keluar rumah ka-
lau malam hari!" kata Sena dengan penuh hormat. Lalu menoleh ke arah seorang
lelaki keper- cayaan Ki Sapto yang bernama Maruto. Lelaki se-
tengah baya yang masih nampak segar. "Ki Maruto, mohon selalu waspada, perketat
penjagaan...,"
pesannya pada Ki Maruto.
"Baik, Den...," jawab Ki Maruto.
Selesai bicara begitu, Sena segera melesat
diikuti oleh Dogol. Sekali melesat Pendekar Gila telah berada jauh meninggalkan
Dogol yang berlari sebisa-bisanya. Si Gendut berkepala botak itu tampak lucu
sekali. Perutnya bergoyang-goyang
karena guncangan. Pendekar Gila yang tak sabar
lagi menunggu segera menyambar tubuh Dogol
yang gendut dan dibawanya lari. Dengan meng-
gunakan ilmu 'Sapta Bayu' pemuda berompi kulit
ular itu terus melesat bagaikan terbang sambil
memanggul tubuh Dogol yang gendut.
5 Suasana Kadipaten Balasutra nampak se-
perti biasanya. Tak terlalu sibuk atau ramai. Senapati Pranggana telah memasuki
batas kota ka- dipaten. Nampaknya memang tak terjadi keganji-
lan di sana. Hati Senapati Pranggana agak lega.
Dipacu kudanya lebih cepat agar segera sampai di tempat tujuan. Di sebelahnya
ada Rah Jati dan
kelima prajurit yang masih tersisa.
"Hm..."! Mengapa penjaga tidak ada..."!"
pikir Senapati Pranggana sambil menoleh ke ka-
nan dan kiri mencari penjaga pintu gerbang ka-
dipaten. Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dari da-
lam. Ternyata ada dua orang penjaga yang mem-
bukanya dari dalam.
"Kenapa kalian tidak berjaga di luar" Ada
apa sebenarnya...?" tanya Senapati Pranggana pada kedua penjaga itu.
Penjaga tidak menjawab, hanya menun-
dukkan kepala. Senapati Pranggana mulai merasa
curiga. Diam-diam diamatinya gerak-gerik kedua
penjaga itu. Keduanya terus menundukkan kepa-
la, tak berani mendongak sedikit pun.
"Aneh...! Kenapa orang-orang ini,.."!" tanya
Senapati Pranggana lirih pada dirinya sendiri,
"Rah Jati, selidiki di dalam! Biar aku langsung menghadap Kanjeng Adipati
Parisuta...," kata Senapati Pranggana pada Rah Jati.
"Baik," jawab Rah Jati, lalu melarikan kudanya ke belakang kadipaten. Sedangkan
kelima prajurit anak buahnya langsung turun dari kuda
masing-masing "Jika ada apa-apa, dan melihat sesuatu
yang tidak beres, cepat teriak. Beritahu aku!
Mengerti..."!" kata Senopati Pranggana pada kelima prajurit itu,
Lalu kelima prajurit itu mulai berpencar,
Mereka berjalan dengan penuh kewaspadaan. Se-
napati Pranggana segera melangkah hendak me-
masuki kadipaten, namun tiba-tiba.....
Zing! Zing! Beberapa buah benda tajam segi tiga me-
luncur deras ke arah Senapati Pranggana yang
langsung menoleh dengan mata terbelalak kaget.
Tubuhnya segera berjungkir balik, mengelakkan
serangan gelap itu. Sehingga dirinya lolos dari
maut. Dengan cepat dia mencabut pedangnya.
Namun ketika baru saja Senapati Pranggana ber-
diri, terdengar kembali luncuran dari arah yang
sama. Dengan tangkas tubuhnya melompat men-
gelak sambil membabatkan pedang memapas se-
rangan itu. Tring! Tring! Tring...!
Benda-benda itu berpentalan dan hancur
tersambar pedang Senapati Pranggana. Baru saja
Senapati Pranggana menarik napas lega, menda-
dak tampak berlompatan sosok bayangan merah.
Setelah bersalto beberapa kali di udara dua sosok berkedok merah itu sama-sama
menyerang Senapati Pranggana.
Dengan hati diliputi amarah, Senapati
Pranggana memapakinya dengan membabatkan
pedang ke arah lawan. Sehingga terjadilah saling pukul dan tangkis. "Bangsat!
Siapa kalian sebenarnya. Buka kedok kalian....!" bentak Senapati Pranggani geram
sambil menuding kedua sosok
itu dengan tangan kiri.
"Hi hi hi....'" terdengar suara tawa mengikik dari arah kanan Senapati
Pranggana. Senapati
Pranggana menoleh sambil terus siap menghadapi
segala kemungkinan.
Ternyata seorang nenek bertubuh bongkok
dengan pakaian kotor dan kumal. Tangan kirinya
memegang sebuah tongkat berkepala tengkorak.
Nenek Bongkok itu terus terkekeh-kekeh, menge-
jek Senapati Pranggana.
"Kau manusia bodoh! Senapati Bodoh. Hi
hi hi.... Kau kemari hanya untuk mengantar nya-
wa saja. Hi hi hi...!" ejek nenek berambut kumal itu sambil melangkah dengan
tongkatnya. "Kurang ajar...! Rupanya kau dalang semua
peristiwa itu, Nenek Busuk! Serahkan istriku!
Atau kubinasakan kau sekarang juga...!" seru Senapati Pranggana dengan geram.
Dia lalu mem- buka jurus mautnya, ilmu 'Pedang Sambar Nya-
wa'. Tiba-tiba dari pedang Senapati Pranggana ke-
luar sinar merah, menyilaukan mata.
Namun sosok bongkok itu malah tertawa-
tawa dan memerintahkan kedua sosok berkedok
itu minggir. Dan secepat itu pula Nenek Bongkok
mengibaskan pakaiannya. Seketika berhembus
hawa panas dan busuk menerpa Senapati Prang-
gana. Senapati itu kaget, tapi dengan cepat me-
lenting ke udara. Setelah bersalto beberapa kali.
Senapati Pranggana hinggap di atap pendopo ka-
dipaten. Nenek Bongkok mengejarnya. Kini kedu-
anya bertarung di atas atap. Nenek Bongkok yang
memiliki ilmu cukup tinggi mencecar Senapati
Pranggana dengan tongkatnya.
"Hi hi hi.... Kau sebentar lagi akan mam-
pus. Akan kukirim nyawamu ke akherat, Orang
Bodoh... hi hi hi...!" seru Nenek Bongkok sambil terus melancarkan serangan
cepat. Tongkat berkepala tengkorak itu diputarnya, hingga seperti
baling-baling. Ketika merasa terus terdesak, Senapati
Pranggana terpaksa melompat turun dari atap.
Namun Nenek Bongkok terus mengejar dengan
meluncur bagai burung elang menyambar mang-
sa. Senapati Pranggana kaget ketika Nenek
Bongkok menghantamkan tongkat ke arah kepa-
lanya. Namun Senapati itu masih dapat menang-
kis dengan pedangnya. Ternyata serangan lawan
tak sampai di situ. Dengan serangan susulan
yang cepat dan sukar diatasi, Nenek Bongkok te-
rus memburu Senapati Pranggana.
"Heaaat..!"
Bukkk! "Aaa...!" Senapati Pranggana memekik keras. Tubuhnya melintir, karena tongkat
Nenek Bongkok lepat mengenai dadanya. Seketika Sena-
pati Pranggana muntah darah. Lalu tubuhnya
tersungkur ke tanah.
Nenek Bongkok tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan itu. Segera kembali dia mendekati Se-
napati Pranggana yang sudah tak berdaya.
"Hi hi hi.... Rupanya hanya seperti itu ke-
mampuan, Senapati Bodoh...! Sekarang terimalah
kematianmu...!" selesai berucap begitu, Nenek Bongkok segera memutar tongkataya.
"Heiaaa...!"
Bug, bug...! "Ekgh...!"
Nenek Bongkok itu tiba-tiba memekik ter-
tahan. Tongkatnya terpental, ketika tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat sambil
melancarkan tendangan keras.
"Bangsat...! Siapa yang berani berbuat ini
padaku...!" maki Nenek Bongkok dengan mata
merah karena marah.
Tongkat berkepala tengkorak yang masih
melayang di udara, meluncur kembali ke arah
pemiliknya setelah perempuan berwajah menye-
ramkan itu menghentakkan tangan kiri. Tongkat
itu kini sudah berada kembali di tangan kiri Ne-
nek Bongkok. Nenek Bongkok menyipitkan mata ketika di
depannya berdiri seorang pemuda berambut gon-
drong dengan pakaian rompi kulit ular. Pemuda
itu tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Nampak santai dan tak acuh dengan mu-
ka nenek yang seram itu. Kemudian mulutnya
cengar-cengir sambil menggeleng-geleng kepala.
"Hei! Rupanya kau murid Singo Edan! Hi hi
hi.... Kau mau menantangku..."!" seru Nenek Bongkok dengan suara lantang walau
sedikit serak. "Hi hi hi...!" pemuda tampan yang tak lain Pendekar Gila itu
tertawa cekikikan meniru suara tawa si Nenek Bongkok. "Dengar, Nenek Buruk!
Aku menentang siapa saja yang berlaku durjana
dan biadab, sepertimu...!" ujar Sena, lalu cengar cengir sambil menggaruk-garuk
kepala. Sementara itu Dogol membawa pergi Sena-
pati Pranggana, keluar dari tempat itu.
"Kurang ajar! Mulutmu perlu kusumbat
dengan ini! Heaaa...!"
Nenek Bongkok dengan cepat melancarkan
serangan jarak jauh. Dari telapak tangannya ke-
luar beberapa buah senjata rahasia berbentuk
bintang. Zing, zing, zing...!
Namun dengan cepat Pendekar Gila me-
lenting ke udara. Sehingga serangan yang gagal
dari Nenek Bongkok menghantam dinding pendo-
po kadipaten hingga jebol.
"Ha ha ha.... Nenek Busuk. Ayo, kenapa di-
am" Keluarkan seluruh kebolehanmu. Atau ilmu
setanmu...!" ejek Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan,
untuk mem- bakar kemarahan Nenek Bongkok.
Dengan penuh kemarahan Nenek Bongkok
menerjang Pendekar Gila yang terus melompat
menghindar. Kini keduanya telah berada di luar
pendopo kadipaten. Tepatnya di halaman samping
tempat para prajurit latihan perang. Di situ ada tonggak-tonggak untuk latihan
prajurit. Nenek
Bongkok yang murka dengan ejekan Pendekar Gi-
la, tiba-tiba melenting sambil melepas kain ikat pinggangnya. Dengan gerakan
yang sangat cepat
disabetkan kainnya pada sebuah tonggak, hingga
melilit kemudian dengan keras disentakkan.
Tonggak kayu itu tercabut dan meluncur deras ke
arah Pendekar Gila. Tanpa menemui kesulitan,
Pendekar Gila menyambut tonggak itu dalam be-
berapa tangkisan hingga patah jadi dua.
Melihat serangannya begitu mudah dipa-
tahkan lawan, Nenek Bongkok kian murka dan
merasa geram. "Hm...! Kali ini kau tak akan bisa lolos,
Pemuda Gendeng...!" sungut Nenek Bongkok,
Dengan gerakan cepat diputar tongkatnya, hingga
menimbulkan angin yang sangat kencang bagai
topan. Melihat lawan mengerahkan jurus andalan,
dengan cepat Pendekar Gila mengeluarkan tenaga
dalamnya untuk membendung angin topan itu,
Anehnya angin itu berputar seperti pusaran
hanya di sekeliling Pendekar Gila. Tak sampai di
situ perempuan tua itu melompat melakukan se-
rangan maut ketika melihat lawan telah terku-
rung angin ciptaannya.
Namun, rupanya Pendekar Gila sengaja
berpura-pura seakan tak mampu berbuat sesua-
tu, Dan pada saat Nenek Bongkok hendak meng-
hujamkan tongkat maut berkepala tengkorak, ti-
ba-tiba Pendekar Gila berteriak keras menggele-
gar. Bersamaan dengan suara yang bagai hendak
memecah bumi itu, Pendekar Gila mengeluarkan
ajian 'Tamparan Sukma' sebuah ilmu yang mam-
pu menghancurkan segala ilmu setan dan silu-
man. Jlegarrr...!
Ledakan dahsyat terdengar, disusul lolon-
gan Nenek Bongkok yang kesakitan. Tubuhnya
terbakar, lalu kabur dan menghilang...
Pendekar Gila mengejarnya. Namun pe-
rempuan tua berilmu sesat itu telah hilang. Dan
pada saat itu pula dari dalam bangunan kadipa-
ten terdengar jeritan seorang wanita. "Tolooong...!"
"Surti..."!" gumam Sena kaget sambil menoleh ke arah suara itu.
Sesaat kemudian suara itu hilang. Sena
melompat ke dalam kadipaten. Senapati Prangga-
na yang sudah segar, memburu Sena sambil ber-
seru. "Tuan Pendekar...! Biarlah aku yang mem-bebaskan Surti.... Aku sudah
bersumpah untuk
berkorban demi istriku...."
"Baiklah, cepat..!" sahut Sena dengan sedi-
kit ragu.

Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segera Senapati Pranggana melesat masuk.
Dan pada saat itu pula kembali terdengar jeritan minta tolong
"Perasaanku tidak enak. Dogol, kau jaga di
sini! Kalau ada apa-apa teriak. Hati-hati...!" kata Sena pada Dogol. Lalu
melesat masuk menyusul
Senapati Pranggono
"Surti,... Surti! Di mana kau, Diajeng..."!"
teriak Senopati Pranggana dengan menggenggam
pedang di tangan kanannya. Kakinya melangkah
memasuki lorong menuju kamar tahanan.
Sampai di situ tak ada jawaban. Namun
ketika melewati kamar Adipati Parisuta, Senapati Pranggana terkejut bukan main.
Dilihatnya sang
Adipati sudah terkapar di lantai bersama permai-
surinya Nyi Lenggis. Keduanya tewas secara men-
gerikan. Tampak leher Adipati Parisuta terkoyak hampir putus. Begitu pula leher
permaisurinya. Tubuh keduanya tampak pucat, seperti telah ke-
habisan darah. "Ya Jagad Dewa Batara...!" keluh Senapati Pranggana dengan mata terbelalak.
Hatinya berdebar tak karuan. Ada perasaan cemas, bimbang,
dan ketakutan yang hebat melihat kejadian men-
genaskan itu. "Tolong... jangan...! Tolooong...!"
Tiba-tiba terdengar lagi suara Surti minta
tolong. Senapati Pranggana cepat keluar dari ka-
mar Adipati Parisuta. Setiap lorong dan ruangan
diselidiki, tapi tak juga menemukan istrinya.
Sementara itu Pendekar Gila pun telah be-
rada di dalam rumah kadipaten, Pendekar Gila
dengan menggunakan ilmu cecak, merayap di
dinding dan langit-langit rumah yang tinggi untuk memudahkan melihat keadaan.
Kembali pada Senapati Pranggana yang
semakin tegang. Tubuhnya telah basah oleh ke-
ringat karena menahan cemas.
"Surti... ke mana kau" Di mana kau, Di-
ajeng. Kenapa semua petaka ini menimpaku"
Hyang Widhi, temukan aku dengan istriku, Surti!"
Senapati Pranggana terus melangkah. Keti-
ka sampai di sebuah ruangan penyimpanan sen-
jata, Senapati Pranggana melihat sobekan kain
Surti. Lalu matanya menatap tajam ke arah pintu
yang tampak terbuka sebagian.
"Apakah Surti ada di dalam ruangan ini...?"
tanya Senapati Pranggana dalam hati.
Dengan perlahan Senapati Pranggana me-
langkah ke arah pintu ruangan senjata. Dido-
rongnya daun pintu dengan ujung pedangnya.
Kretekkk..! Suara pintu membuat jantung Senapati
Pranggana tambah berdebar. Sekali lagi dido-
rongnya daun pintu itu dengan ujung pedangnya,
hingga terbuka lebar. Kemudian dengan gerakan
cepat Senapati Pranggana berpindah ke sebelah
kiri pintu. Ketika dengan hati-hati, dia melongok ke dalam, ternyata ruangan
sangat gelap. Pada saat itu Sena sudah berada tak jauh
dari Senapati Pranggana. Dia bergantung di atap
rumah, mengamati ruangan di bawahnya. Pende-
kar Gila terus mengawasi Senapati Pranggana
yang tidak melihatnya.
"Surti..., Diajeng Surti...?" suara Senapati Pranggana memanggil-manggil
istrinya dengan
perlahan. Namun baru selangkah Senapati Prangga-
na memasuki ruangan. Tiba-tiba....
Buk! Buk! "Aaa...!" Senapati Pranggana menjerit. Sebuah tendangan keras mendarat di wajah
dan dadanya. Pada saat itu pula Pendekar Gila me-
luncur turun ke arah pintu. Dan dengan pandan-
gannya yang mampu menembus kegelapan, dia
melihat sesosok manusia yang hendak kabur.
Dengan gerakan cepat Pendekar Gila melancar-
kan tendangan dan pukulan maut ke arah orang
itu. Wuttt! "Hiet...!"
"Mampus kau, Pemuda Edan!"
Terdengar suara serak dan besar dalam ke-
gelapan di ruangan itu. Sementara Senapati
Pranggana sudah terkapar di lantai menahan sa-
kit di wajahnya.
"Kurang ajar...!" bentak Sena.
Sekejap ruangan yang gelap itu menjadi te-
rang, karena jendela ruangan terbuka lebar. Ca-
haya matahari sore menembus ke dalam.
"Sial! Begitu cepat iblis itu lari...!" dengus Sena kesal.
Di ruangan itu ternyata tak ada Surti. Pen-
dekar Gila segera keluar dan cepat membopong
Senapati Pranggana yang terluka di bagian wajah
dan dada. Darah terus keluar dari wajah Senapati Pranggana yang mulai lemas dan
pucat. Dogol yang tadi berjaga-jaga kaget begitu
melihat Sena memanggul Senapati Pranggana.
"Gol...! Cepat, bantu Senapati Pranggana.
Jaga. Aku akan mencari Surti...," perintah Sena lalu segera melesat kembali
mencari Surti. Baru saja Sena memasuki ruangan pendo-
po kadipaten, tiba-tiba terdengar teriakan Surti.
Kemudian istri Senapati Pranggana itu muncul
sambil minta tolong dan menutupi pakaian ba-
gian atas yang tampak sudah tercabik. Kainnya
pun sebagian sobek, sebagian tubuhnya ada yang
memar. Sena langsung menyambarnya, ketika Surti
hendak lari ke arah lain.
"Jangan, jangan! Lepaskan aku... jangan
sentuh aku... tolooong...!" teriak Surti sambil me-ronta-ronta.
"Surti...! Ini aku Sena...! Surti.... Diam...!"
seru Sena sambil terus memeluk erat-erat tubuh
Surti. Tapi aneh. Begitu kuat tenaga Surti, dirasakan oleh Sena. "Edan!
Tenaganya begitu kuat.
Kemasukan setan apa ini!" pikir Sena yang merasa keheranan.
Akhirnya Pendekar Gila terpaksa menotok
bagian-bagian tubuh Surti, hingga seketika lemas dan diam.
Pendekar Gila lalu membopong Surti dan
membawanya pergi dari kadipaten. Sena dengan
cepat melesat keluar. Di luar tampak Dogol masih menjaga Senapati Pranggana yang
terluka akibat dihantam seseorang di dalam ruangan gelap.
Di halaman samping Rah Jati dan kelima
prajurit pilihan tengah menghadapi orang-orang
berkedok. Setelah menaruh Surti di dekat sua-
minya, Pendekar Gila langsung melesat untuk
membantu Rah Jati dan kawan-kawannya.
Sena yang sudah ingin cepat menyelesai-
kan pertarungan, segera menghajar habis orang-
orang berkedok merah itu. Hanya dalam beberapa
gebrakan sepuluh orang berpakaian merah telah
berjatuhan tewas di tangan Pendekar Gila dan
Rah Jati. Sementara di pihak kadipaten, dua
orang prajurit mati.
Sementara itu di kejauhan tampak belasan
warga Kadipaten Balasutra berlarian menuju ha-
laman kadipaten. Mereka dipimpin seorang lelaki
berbadan besar dan tegap menghampiri tempat
Senapati Pranggana dan istrinya. Tampaknya ke-
datangan para warga itu ingin membantu, ketika
mendengar ada pertarungan di kadipaten. Namun
mereka semua tampak terkejut ketika melihat
Senapati Pranggana yang mereka kenal sebagai
seorang senapati bijaksana tergeletak berlumur
darah. "Bagaimana senapati bisa mengalami
ini...?" tanya lelaki bertubuh gagah yang memim-pin rakyat itu.
"Panjang ceritanya," jawab Sena. "Tapi aku ingin bertanya, kenapa kalian semua
diam saja, tahu keadaan kadipaten dikuasai orang-orang se-
sat itu...?" Sena balik bertanya dengan tegas dan berwibawa.
"Kami.... Kami semua mula-mula tak tahu,
Tuan Pendekar. Tapi setelah mendengar ada per-
tempuran di kadipaten, baru kami mengumpul-
kan orang-orang untuk kemari dan ingin menye-
lidiki apa sebenarnya yang terjadi...?" jawab orang berbadan tegap yang
dibenarkan dengan anggu-kan kepala kawan-kawannya.
"Apakah kalian tidak merasakan ada kea-
nehan di kadipaten selama beberapa hari ini...?"
tanya Sena menyelidiki.
"Tidak, Tuan Pendekar...," jawab lelaki berbadan tegap sambil menggeleng.
"Paman Sumo.... Cepat keluarkan mayat
Kanjeng Adipati dan permaisuri dari kamarnya...!"
tiba-tiba Senapati Pranggana berkata pada lelaki berbadan tegap itu, dengan
suara terputus-putus, lemah.
"Hah..."! Adipati Parisuta meninggal..,?" Ki Sumo sangat terkejut mendengar
berita kematian
Adipati Parisuta. Hal itu wajar karena walaupun
Ki Sumo rakyat biasa, tapi pernah dekat dengan
Kanjeng Adipati Parisuta. Selama ini dirinya ber-bakti menjadi mata-mata bagi
Kadipaten Balasu-
tra. Bahkan dahulu, sebelum mengundurkan diri,
Ki Sumo merupakan salah seorang pengawal adi-
pati. Namun karena ia ingin dapat hidup tenang,
akhirnya Ki Sumo lebih suka memilih menjadi ra-
kyat biasa. "Dogol.... Bantu Paman Sumo untuk men-
geluarkan mayat Kanjeng Adipati Parisuta...!" perintah Sena pada Dogol,
"Baik, Kakang Sena. Mari Ki Sumo...!" Ki Sumo, Dogol, dan beberapa lelaki segera
memasuki pendopo kadipaten untuk mengeluarkan
mayat Adipati Parisuta dan istirinya.
6 Malam itu angin bertiup kencang. Debu-
debu berterbangan seiring dengan suara ranting
dan daun pepohonan yang bergoyang. Suasana
sunyi dan sepi. Hanya deru angin yang terdengar.
Daun-daun kering yang tersapu angin gugur dari
tangkainya jatuh ke tanah.
Sementara itu di tengah malam, di antara
dedaunan kering yang berterbangan tampak
langkah kaki yang tersaruk-saruk pelan. Langkah
sepasang kaki keriput yang mengesankan kekala-
han dan kegagalan. Sampai akhirnya langkah
yang tersaruk-saruk itu terhenti, ketika mulai
menginjak puing-puing pecahan genting dan tem-
bok tua. Angin masih sesekali bertiup kencang,
menghempaskan debu dan dedaunan kering, me-
nerpa kaki itu.
"Hmh...!"
Terdengar erangan lemah dari mulutnya.
Ternyata dia Nenek Bongkok. Wajahnya nampak
berkerut tajam, hingga semakin seram dan mena-
kutkan. Wajahnya yang keriput, memiliki hidung
panjang melengkung ke bawah. Matanya besar
selalu merah. Dan bentuk mulutnya seperti teng-
korak. Menyeringai. Napasnya terengah-engah,
seperti merasakan kepedihan yang dalam. Terlin-
tas kembali kekalahannya terhadap Pendekar Gi-
la. Cahaya bulan yang lembut menyinari seki-
tar hutan di Lembah Seribu Iblis itu. Nenek
Bongkok sejenak tercenung, lalu duduk di atas
gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan.
Dia bersemadi, dengan tongkatnya ditaruh di de-
pan, dipegang dengan kedua tangannya.
Setelah beberapa lama bersemadi, menda-
dak Nenek Bongkok bangkit. Seolah-olah tiba-tiba tergerak kembali hatinya.
Dengan galak matanya
melirik ke kanan dan kiri. Lalu melesat pergi, menuju tempat persembunyiannya.
Ternyata di situ sudah menunggu Warkasa
Pati. Wajahnya nampak murung pula, karena
gagal membawa Surti.
"Kau murid yang bodoh Kenapa kau biar-
kan Surti begitu saja dibawa Pendekar Gila...!"
bentak Nenek Bongkok setelah melihat Warkasa
Pati memegangi lengan kirinya yang terluka oleh
sabetan pedang Senapati Pranggana. Lukanya te-
lah membiru. Rupanya racun pedang Senapati
Pranggana mulai bekerja.
Walaupun hatinya diliputi kemarahan, ke-
tika melihat luka di lengan kiri Warkasa Pati,
dengan bergegas Nenek Bongkok menempelkan
telapak tangan kanannya. Diusapnya luka War-
kasa Pati tiga kali. Seketika luka itu hilang. Wajah Warkasa Pati pun nampak
kembali segar, tidak
pucat lagi. Lalu mantan senapati itu menghela
napas panjang, untuk mengembalikan tenaga da-
lamnya. "Terima kasih. Guru. Ampuni aku yang bo-
doh ini...!" kata Warkasa Pati.
"Warkasa Pati...! Kau belum sembuh betul,
racun pedang Senapati Pranggana sangat berba-
haya. Cepat kau ikut aku! Ayo...!" seru Nenek Bongkok yang segera melangkah
menuju tempat persembunyiannya.
Namun tiba-tiba Nenek Bongkok menghen-
tikan langkahnya. Warkasa Pati kaget. Dengan
gerakan cepat tongkatnya dihentakkan ke satu
arah. Tongkat itu melayang lalu menancap ke su-
atu benda yang ada di antara kayu-kayu dan de-
daunan kering. Kemudian dengan gerakan cepat
pula Nenek Bongkok menarik tangan kanannya.
Seketika tongkat itu kembali melayang ke arah-


Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. Namun kini di ujung tongkat itu ada sebuah
tengkorak manusia yang masih memiliki sedikit
rambut. Tampaknya tengkorak orang perempuan.
Sekejap tongkat itu sudah berada di tangan
kirinya. Nenek Bongkok kemudian dengan cepat
menyodorkan ujung tongkat pada Warkasa Pati
seraya berucap dengan suara parau, "Warkasa, cepat ambil tengkorak ini! Aku
punya rencana. Hi
hi hi...!"
Lalu segera Nenek Bongkok meneruskan
langkahnya, diikuti Warkasa Pati.
* * * Di dalam tempat persembunyiannya, yang
mirip goa, Nenek Bongkok tampak duduk bersila.
Warkasa Pati juga duduk bersila dengan jarak ti-
ga depa di depan gurunya. Tubuh Nenek Bongkok
tiba-tiba berasap. Matanya berubah semakin me-
rah membara bagai api. Lalu memerintahkan
Warkasa Pati agar meletakkan tengkorak tadi di
depannya, Tengkorak itu kini terletak di antara
Nenek Bongkok dan Warkasa Pati.
"Syahanatabah.... Syiyahhh...!" seru Nenek Bongkok dengan suara yang aneh bagai
suara gaib, mengerikan. Dan mendadak halilintar di
luar menyambar dari langit. Kilatannya menghu-
jam ke tanah dan menyambar tempat persembu-
nyiannya. Bahkan melalui pintu yang mirip goa,
kilat menghantam tengkorak itu.
Warkasa Pati tersentak kaget bukan main.
Hatinya keheranan dan merasa aneh. Tiba-tiba
tengkorak itu bergerak-gerak. Nenek Bongkok
tampak bergegas meraup darah yang ada dalam
cawan besar di sebelah kanannya. Lalu mene-
teskannya ke tengkorak kepala manusia itu.
Mendadak, terbentuklah kerangka tubuh manu-
sia dari kepala tengkorak itu.
"Darah... darah...! Darah kebangkitan roh...
ayo bangkit... Syahanatabah... Syiyahhh....! Da-
rah segar untukmu, untuk kehidupan...!"
Nenek Bongkok terus mengucapkan kata-
kata aneh. Suaranya semakin lama semakin ber-
gema, memenuhi ruangan sempit berdinding batu
cadas dan berlumut itu.
Nenek Bongkok mengambil seonggok daun
cemara yang sudah diikat sedemikian rupa. Ke-
mudian daun cemara itu dicelupkannya ke cawan
berisi darah. Diciprat-cipratkan darah dengan
daun cemara ke arah kerangka yang ada di de-
pannya. Warkasa Pati menyaksikan tanpa berkedip,
Namun dadanya naik turun dengan cepat, mena-
han ketegangan dan perasaan takjub menyaksi-
kan kejadian aneh itu.
Maka sesaat kemudian terjadi keanehan,
Tulang-tulang yang telah dibasahi darah itu sedikit demi sedikit mulai ditumbuhi
daging. Timbul-
nya daging pada bagian wajah tengkorak itu
berkesan mengerikan. Matanya yang tadinya ber-
lubang mulai berisi mata. Hidung yang semula
berlubang kembali berbentuk. Demikian juga gi-
ginya yang meringis, mulai terbungkus daging gu-
si. Begitu seterusnya, hingga membentuk sesosok
tubuh perempuan muda dan cantik. Terbujur ka-
ku dan pucat di atas lantai batu yang lembab.
"Hah..."!" Warkasa Pati terbelalak kaget, seakan tak percaya menyaksikan
kenyataan itu. Sosok tubuh wanita jelmaan itu mirip Surti!
"Hi hi hi! Kini tinggal kusempurnakan. Hi
hi hi...!" gumam Nenek Bongkok itu sambil meng-gerak-gerakan kedua tangan
berputaran di atas
kepala, lalu ke sekujur tubuh sosok itu.
Telapak tangan Nenek Bongkok itu me-
mancarkan sinar kehijauan. Seketika tubuh polos
mirip Surti itu mulai bergerak-gerak. Sementara
mulut Nenek Bongkok terus berkomat-kamit
membaca mantera yang aneh bunyinya. Tubuh-
nya bergetar kuat, begitu juga kedua tangannya.
Lalu Nenek Bongkok itu memekik panjang. Dan
bersamaan dengan itu selarik sinar kuning me-
nyambar sosok mirip Surti yang masih polos tan-
pa pakaian itu.
Plarrr! "Aaakh...!" sosok itu mendadak memekik panjang. Lalu bergerak bangun perlahan
dan duduk. Bersamaan dengan itu sinar hilang. Nenek
Bongkok pun tampak tersenyum puas, karena
usahanya berhasil.
"Hi hi hi...! Warkasa Pati akan terkabul ci-ta-citamu untuk mendapatkan Surti
yang asli.... Hi hi hi...! Tapi aku perlu mengobati dulu dan
memberimu bekal untuk melawan Pendekar Gila
yang sakti itu," ujar Nenek Bongkok dengan suara serak dan bergema.
Sementara sosok manusia ciptaan Nenek
Bongkok itu masih tetap diam seperti patung.
Menatap kosong ke depan.
Nenek Bongkok mengusap-usap seluruh
tubuh sosok manusia ciptaannya itu berulang
kali dengan kedua telapak tangan. Kemudian di-
totoknya beberapa bagian tubuh wanita mirip
Surti itu sambil membaca mantera iblisnya. Dan
seketika wanita itu kini mulai bergerak lagi. Kini gerakannya lebih kuat dan
normal seperti layaknya manusia.
"Ohhh.... Tubuhku... tubuhku indah seka-
li...! Aku, aku di mana. Nek...?"
Wanita mirip Surti itu mulai berbicara
sambil memandangi dan mengusap-usap tubuh-
nya sendiri yang masih polos.
Warkasa Pati tersenyum. Hatinya ingin
mendekap wanita yang masih polos atau telan-
jang bulat di hadapannya itu. Namun tak berani
melakukannya. Maka diredamnya niat itu dengan
menelan ludah. "Kau berada di rumahku, Cah Ayu. Kau te-
lah kuhidupkan kembali dengan wajah dan tu-
buhmu yang baru. Dan kini kau harus menurut
semua perintahku. Namamu sekarang Surti...,"
tutur Nenek Bongkok dengan suara serak dan
mengandung gaib.
Surti palsu itu mengangguk sambil terse-
nyum manis. Lalu menoleh ke arah Warkasa Pati
yang memandang tak berkedip menyaksikan
keindahan tubuhnya.
Nenek Bongkok mengerti. Maka dia biarkan
saja ketika Surti ciptaan melangkah mendekati
Warkasa Pati dan langsung merayu muridnya
yang memang sejak tadi menahan rasa birahinya.
Namun Warkasa Pati tak berani berbuat apa-apa,
takut pada sang Guru.
"Warkasa Pati... Untuk kali ini kau kuizin-
kan menggauli wanita ciptaanku itu. Tapi untuk
selanjutnya jangan kau coba melakukannya lagi.
Aku akan mengirimmu ke neraka. Mengerti..."!"
ujar Nenek Bongkok dengan suara masih serak
dan bergema. Warkasa Pati hanya mengangguk sambil
menjura. Wajahnya jadi ceria. Pada saat itu juga Nenek Bongkok menghilang.
Dan mulailah Warkasa Pati dengan buas
melampiaskan nafsu birahinya dengan wanita
ciptaan gurunya. Tubuh Surti yang mulus dan
sintal semakin membuat Warkasa Pati tergiur dan
terus memacu kuda betina itu dengan kencang.
Napasnya memburu dan keringat telah memba-
sahi sekujur tubuh yang kini sudah polos. Kedu-
anya bergulingan di atas lantai tanah yang lem-
bab itu. Sampai akhirnya keduanya memekik, pe-
kikan puncak kenikmatan.
* * * Senapati Pranggana sudah mulai sembuh.
Dia ditemani Sena, Dogol, dan Ki Sumo. Sedang-
kan yang lain berjaga-jaga di luar kadipaten.
Surti yang sejak kejadian itu nampak pen-
diam, keluar membawa anaknya. Lalu diberikan
pada Senapati Pranggana, Surti sendiri lalu du-
duk di sisi suaminya yang kini menggendong sang
Bayi. "Kalau saja tidak ada Tuan Pendekar,
mungkin kita sudah tak tahu bagaimana jadinya,
Diajeng...," kata Senapati Pranggana dengan lemah. "Ya. Kami sangat berhutang
budi dan nyawa pada Tuan Pendekar...," tambah Surti lembut, diiringi senyuman.
"Ah, kalian jangan berkata begitu. Semua
ini karena Hyang Widhi masih memberikan kese-
lamatan pada kalian. Hingga bisa lolos dari orang-orang sesat itu...," sahut
Sena merendah. Lalu menggaruk-garuk kepala.
Sesaat suasana jadi hening. Semuanya ha-
nyut dalam perasaan dan pikiran masing-masing.
"Kami sangat heran. Bagaimana Kanjeng
Adipati yang memiliki ilmu cukup tinggi, bisa
mudah dibunuh Nenek Bongkok dan Warkasa Pa-
ti..."!" ujar Ki Sumo memecah keheningan.
"Semua bisa terjadi. Semua bisa mungkin
di dunia ini...," sahut Sena dengan kalem, lalu menggaruk-garuk kepala.
"Mereka bertindak begitu cepat dan rapi.
Sehingga para pengawal dan senapati lain yang
berjaga di kadipaten tak mengetahui...," celetuk Rah Jati kemudian.
"Kau salah, Rah Jati. Mereka itu bukan
manusia biasa seperti kau, aku, dan lainnya. Me-
reka, terutama Nenek Bongkok itu manusia se-
tengah iblis. Yang bisa berbuat apa saja yang dia inginkan. Bisa saja dia
menggunakan ilmu hitam
atau yang lain, hingga Adipati Parisuta dan para
pengawal, serta senapati-senapati lain seperti Sa-tika, dan Randa tak sadarkan
diri. Karena penga-
ruh ilmu sihir Nenek Bongkok...," tutur Senapati Pranggana dengan suara agak
serak dan lemah.
"Kau benar, Pranggana. Hingga para praju-
rit kadipaten dan pengawal yang telah kena ilmu
sihirnya menuruti kehendak Nenek Bongkok itu.
Mereka disuruh menyamar dengan kedok untuk
menyerang kita. Dan mungkin penculik Surti itu
satu dari dua senapati yang kau sebut tadi. Yang akhirnya mati di tangan Warkasa
Pati atau Nenek
Bongkok sendiri, setelah berhasil menculik Sur-
ti...," sahut Sena kalem.
"Benar, Tuan Pendekar. Santikalah yang
menculik Surti, Surti tadi yang menceritakan pa-
daku...," jawab Senapati Pranggana sambil menoleh ke arah Sena
"Lantas bagaimana rencana kita selanjut-
nya...?" tanya Ki Sumo kemudian.
Senapati Pranggana tak berani memberi
jawaban. Dia malah menoleh ke arah Sena, lalu
berkata lemah, "Bagaimana rencana kita selanjutnya, Tuan Pendekar...?"
"Ah, ah, ah! Terlalu cepat untuk berencana, Senapati.... Tenanglah, aku pun
sedang memikir-kannya. Kita harus berupaya agar kali ini tidak
gagal," kata Sena kalem sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Sehingga
orang-orang di situ merasa heran melihat ketenangan Pende-
kar Gila, yang seakan tak begitu cemas. Namun
semua yang ada di situ sudah mengerti akan ke-
mampuan pendekar muda itu. Lalu Sena membi-
sikkan sesuatu pada Senapati Pranggana. Sena-
pati Pranggana mengerutkan kening, kaget. Na-
mun akhirnya menganggukkan kepala. Walaupun
di wajah senapati itu tersirat kecemasan yang dalam. "Itulah yang menjadi
kekhawatiranku. Namun dengan apa yang kukatakan padamu tadi,
semoga rencana kita berjalan baik," kata Sena.
Rah Jati dan Ki Sumo hanya diam, tak be-
rani bertanya apa rencana Sena. Mereka hanya
menunggu perintah.
"Rah Jati, kirim prajurit untuk menjaga
Desa Kawulan. Dan kau tolong bawa Nyi Kuntari
kemari. Hati-hati! Sebelum gelap kau harus su-
dah kembali...," kata Senapati Pranggana memberi perintah pada Rah Jati.
"Baik... Kalau begitu saya segera pergi...,"
jawab Rah Jati, lalu menjura.
Rah Jati diikuti beberapa orang berangkat
menuju Desa Kawulan.
Di luar dan di semua sudut kadipaten dija-
ga ketat oleh para prajurit dan rakyat yang setia pada Senapati Pranggana dan
Adipati Parisuta.
Mereka ingin menuntut balas dan ikut memper-
tahankan Kadipaten Balasutra.
"Sekarang Paman Sumo, siagakan orang-
orangmu, tolong awasi mereka!" kata Senapati Pranggana pada Ki Sumo.
"Akan saya laksanakan...," jawab Ki Sumo sambil menjura.
Setelah Ki Sumo dan dua orangnya pergi.
Sena mendekati Senapati Pranggana.
"Bawa istrimu ke dalam, istirahatlah! Biar
aku dan Dogol yang mengurus semuanya. Tenan-
glah, percayalah padaku! Mudah-mudahan kali
ini kita berhasil menjebak mereka...," kata Sena lirih. Senapati Pranggana
menganggukkan kepala, lalu mengajak Surti memasuki ruangan dalam.
Untuk sementara Senapati Pranggana me-
megang pemerintahan Kadipaten Balasutra, sete-
lah Adipati Parisuta dan istrinya yang belum me-
miliki keturunan mati oleh Nenek Bongkok dan
Warkasa Pati. "Dogol. Seharusnya kau berlatih silat sejak dulu. Apakah kau tidak ingin membela
orang yang dalam kesusahan. Yang membutuhkan per-
tolongan dan perlindungan...?" kata Sena pada Dogol sambil melangkah keluar
menuju halaman

Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kadipaten. "He he he.... Kalau Kakang Sena bersedia
menjadi guruku, aku senang. Karena aku tak
mau orang lain," jawab Dogol polos sambil menggaruk-garuk perutnya yang buncit.
Lalu nyengir kuda. "Ada-ada saja kau ini. Apa aku pantas menjadi guru" Semestinya orang yang
sudah tua dan penuh pengalaman yang pantas menjadi gu-
rumu...," kata Sena coba memancing kepolosan apa yang diucapkan Dogol tadi.
"Tidak juga. Menurutku, tidak semua orang
yang sudah tua dan berilmu tinggi pantas jadi
guru. Orang muda seperti Kakang Sena sangat
pantas menjadi guruku, atau guru siapa saja. Ka-
lau Kakang Sena memang mau memberikan sedi-
kit ilmu padaku, atau pada mereka...," jawab Dogol dengan tegas dan ngotot,
hingga mulutnya
monyong-monyong. Bibirnya yang tebal jadi nam-
pak lucu, seperti bibir Bagong. Membuat Sena geli melihatnya. Namun Sena
mendengar jawaban
Dogol yang polos.
"Kau ini memang pintar. Tapi sayang, ter-
kadang pengecut! Harus kau hilangkan sifat pe-
nakutmu itu!" kata Sena.
Tak terasa hari mulai menjelang sore, Sua-
sana kadipaten nampak tenang, Sepertinya tak
akan terjadi petaka lagi. Langit pun cerah. Secerah wajah Dogol dan Sena.
"Bagaimana, Kakang Sena" Apakah per-
mintaanku dikabulkan...?" tanya Dogol dengan penuh semangat.
"Aku belum bisa memutuskan. Tapi kalau
memang kau benar-benar, harus menanggung se-
gala resiko. Karena, ujiannya sangat berat...," ka-ta Sena sambil terus
melangkah. Kini mereka be-
rada di halaman yang biasa digunakan sebagai
tempat berlatih para prajurit. Tiba-tiba....
"Hop!"
Kaki Sena menendang sebuah golok yang
tergeletak di tanah ke arah Dogol. Si Gendut itu tersentak kaget, menyadari
dirinya dalam bahaya.
Kemudian sambil teriak, Dogol melompat dengan
cepat mengelak dari golok yang meluncur ke
arahnya. Tubuhnya bergulingan di tanah. Dia se-
lamat. Dadanya naik turun dengan napas ngos-
ngosan, karena masih merasa ketakutan. Dia ter-
tawa-tawa lebar, tapi suaranya tak keluar. Sena
menghampirinya sambil tersenyum-senyum.
"Itu latihan awal. Boleh juga kau, Gol. Tapi harus banyak berlari-lari pagi,
agar napas dan jantungmu kuat,..," kata Sena sambil menjewer pipi Dogol, lalu pergi.
Dogol yang mendapat sedikit pujian tam-
pak tersenyum bangga. Lalu cepat bangkit dan
segera memperagakan jurus-jurus seperti biasa,
dengan gerakan yang lucu. Terkadang karena ter-
lalu tinggi mengangkat sebelah kakinya, atau ka-
rena keseimbangan badan tidak benar, Dogol ter-
jatuh. Sena tertawa-tawa melihatnya.
7 Rah Jati bersama lima orang prajurit sete-
lah sampai di Desa Kawulan segera cepat kembali
ke kadipaten, membawa Nyi Kuntari dengan ber-
kuda. Derap kaki-kaki kuda mereka menelusuri
jalanan di bukit dan menyeberangi sungai. Nyi
Kuntari, janda Ki Lurah Kuntolo itu duduk di be-
lakang Rah Jati. Dia memegang erat pinggang
Rah Jati yang memacu kudanya dengan kencang.
Sebab, sebelum gelap dia harus sudah sampai di
kadipaten, sesuai pesan Senapati Pranggana.
Namun baru setengah perjalanan yang di-
lalui, tiba-tiba mereka dihadang tiga orang tak di-kenal. Tanpa basa-basi ketiga
orang itu menye-
rang mereka. Ketiga penyerang itu bermuka pucat
tanpa memakai pakaian. Hanya selembar kain
yang sudah usang menutup tubuh bagian bawah!
Semuanya berambut keriting panjang, dengan
wajah penuh luka.
Rah Jati dan kelima prajurit memperta-
hankan diri dengan melawan tiga manusia aneh
itu. Namun betapa terkejutnya Rah Jati dan para
prajurit ketika melihat senjata mereka tak mem-
pan di tubuh ketiga penghadang itu.
"Hiaaa...! Mampus kau manusia-manusia
aneh...!" seru Rah Jati sambil menebaskan kembali pedangnya.
Cras, cras! "Ukh...!" pekik salah seorang manusia pucat itu. Namun tubuhnya yang kena
babatan pe- dang Rah Jati sedikit pun tak terluka. Babatan
pedang itu seperti lewat begitu saja. Padahal Rah Jati melihat jelas bahwa
pedangnya membabat
tubuh manusia pucat seperti mayat itu.
Akhirnya Rah Jati dan kelima prajurit ter-
desak. Nyi Kuntari menjerit-jerit ketika jatuh dari atas kuda. Lalu dia lari,
bermaksud menyelamatkan diri. Namun, begitu dia bersembunyi di
balik pohon besar, tiba-tiba seseorang berkelebat menotoknya. Seketika tubuh
wanita setengah
baya itu terkulai lemas. Orang yang menotoknya
ternyata Nenek Bongkok.
"Hi hi hi...! Kini aku tak akan gagal lagi, Pendekar Gila. Hi hi hi...!" ucap
Nenek Bongkok sambil terkekeh-kekeh. Kemudian, dengan il-munya dia memasuki
tubuh Nyi Kuntari yang su-
dah tak berdaya itu. Sesaat kemudian Nyi Kuntari siuman, setelah tubuhnya
dimasuki Nenek Bongkok. Nyi Kuntari tertawa-tawa. Namun suaranya
sudah berubah menjadi suara Nenek Bongkok.
"Hi hi hi...! Aku akan membuat sejarah ba-
ru! Aku akan menghabisi murid Singo Edan itu!
Aku akan berkuasa. Hi hi hi...!" seru Nyi Kuntari yang sudah dirasuki Nenek
Bongkok. Namun wajah dan tubuhnya tetap tak berubah.
Sementara Rah Jati yang masih bertarung
melawan ketiga manusia pucat tampak semakin
terdesak. Begitu juga prajurit anak buahnya kini tinggal satu orang. Yang empat
sudah terbunuh.
Rah Jati akhirnya dapat dilumpuhkan. Ke-
tika ketiga manusia pucat itu hendak memakan
daging Rah Jati yang sudah tak berdaya dan pe-
nuh luka, muncul Warkasa Pati dan Nyi Kuntari.
Rah Jati yang berusaha menahan sakit,
kaget melihat Nyi Kuntari bersama Warkasa Pati.
"Nyi,.."!" gumam Rah Jati pendek. Namun setelah itu dia pingsan. Pada saat
itulah Nyi Kuntari menyuruh Warkasa Pati agar memasuki tu-
buh Rah Jati. Seketika Rah Jati kembali segar,
begitu Warkasa Pati merasuk ke raganya. Sua-
ranya pun berubah.
"Rencana kita berhasil. Guru...," ujar War-
kasa Pati yang sudah memasuki tubuh Rah Jati.
"Hi hi hi...! Ya. Tapi ingat, jangan ceroboh!"
ujar Nyi Kuntari dengan suara Nenek Bongkok
yang serak. "Sekarang kita harus pintar bersan-diwara untuk menghadapi Pendekar
Gila dan Se- napati Pranggana. Jangan sampai mereka mencu-
rigai kita...!"
"Ya. Tapi aku ragu akan Pendekar Gila. Dia
pendekar yang berilmu tinggi. Aku khawatir dia
akan mencium kejanggalan kita. Guru...," kata Rah Jati palsu.
"Maka itu kuminta kau jangan ceroboh!
Bersiaplah seperti Rah Jati sesungguhnya. Tidak
banyak bicara. Ayo, berangkat! Sebelum gelap ki-
ta harus sudah sampai di kadipaten. Kalau tidak
Senapati Pranggana dan Pendekar Gila akan curi-
ga," ujar Nyi Kuntari palsu.
"Bagaimana dengan prajurit yang masih
hidup itu?" tanya Rah Jati.
"Heh..."! Hampir aku lupa...," jawab Nyi Kuntari dengan suara Nenek Bongkok.
Lalu Nenek Bongkok menyemburkan ludah
ke arah prajurit yang terluka lengan kirinya. Seketika prajurit itu seperti
orang kaget. Lalu menjura pada Nyi Kuntari penuh hormat
"Hei, kau harus turuti perintahku! Kau ha-
rus membenarkan semua ceritaku nanti kepada
Senapati Pranggana atau Pendekar Gila. Menger-
ti..."!" "Mengerti, Nyi...," jawab prajurit yang telah disembur tadi. Mendadak
dia seperti orang lin-
glung. Lalu segeralah Nyi Kuntari, Rah Jati, dan prajurit itu berangkat menuju
kadipaten. Sementara ketiga manusia aneh berwajah
pucat tadi kembali masuk ke dalam tanah dengan
mudahnya. Ternyata mereka makhluk-makhluk
gaib yang dibangkitkan oleh Nenek Bongkok.
* * * Hari telah senja. Langit yang tadi membiru
kini tampak kemerahan. Sang Surya mulai teng-
gelam. Namun sampai saat itu Rah Jati dan Nyi
Kuntari belum muncul juga.
Hal ini membuat Senapati Pranggana dan
Surti merasa gelisah. Keduanya nampak tak te-
nang. Senapati Pranggana mondar-mandir di
ruangan pendopo, dengan kedua tangan di bela-
kang. Kepalanya menunduk, menekuri lantai
pendopo kadipaten.
Sedangkan Surti duduk di sebuah kursi
berukir, sambil menggendong anaknya. Wajahnya
yang cantik nampak murung dan cemas.
Apa yang telah terjadi dengan Rah Jati dan
para prajurit" Begitu mungkin pikiran Senapati
Pranggana yang semakin cemas dan tak tenang.
"Tak usah cemas, mungkin mereka dalam
perjalanan kemari...," terdengar suara Sena mencoba menenangkan hati Senapati
Pranggana. Suasana lalu sepi, hening sekali. Tidak ada
kata apa-apa lagi.
"Tuan Senapati...! Mereka sudah tiba,
Tuan...!" Tiba-tiba terdengar seruan Ki Sumo dari arah pintu gerbang. Dan seruan
itu semakin jelas kedengarannya. Ki Sumo dengan wajah gembira
kini telah memasuki pendopo tempat Senapati
Pranggana, Surti, dan Pendekar Gila berada. Do-
gol membuntuti di belakang Ki Sumo!
"Ohhh... terima kasih, Hyang Widhi! Kau
telah menyelamatkan dan melindungi mereka...,"
gumam Senapati Pranggana dengan wajah ceria.
Begitu juga dengan Surti, dia melonjak dari
duduknya, karena begitu gembira. Dia langsung
mendekati suaminya.
"Aku sangat gembira dan bersyukur pada
Hyang Widhi...," ucap Surti penuh ceria dan gembira. Lalu mereka melangkah ke
pintu ingin me-
nyambut kedatangan Rah Jati dan Nyi Kuntari.
Sementara itu Sena nampak tenang-tenang saja.
Dengan gaya yang khas, menggaruk-garuk kepala
dan cengengesan, tetap berdiri di tempatnya. Na-
mun matanya memandang tajam ke pintu masuk
pendopo. Begitu mereka bertemu, Surti menghambur
memeluk ibunya, melepas rindu. Keduanya saling
berpelukan. Sementara itu Rah Jati menjura pada
Senapati Pranggana sambil memegangi lengan ki-
rinya yang terluka.
"Kenapa kau Rah Jati...?" tanya Senapati Pranggana kaget begitu melihat lengan
kiri Rah Jati terluka. "Maaf..., kami sempat diserang sege-
rombolan perampok. Untung kami bisa lolos. Na-
mun keempat Prajurit mati...," kata Rah Jati.
Senapati Pranggana tidak merasakan ke-
janggalan gerak-gerik Rah Jati, karena tengah
diselimuti rasa kesal dan cemas.
Namun Pendekar Gila yang masih berdiri di
tempatnya semula, merasakan keanehan, ketika
samar-samar mendengar keterangan Rah Jati.
Segera Sena melangkah mendekati mereka.
Pada saat itu, Nyi Kuntari, ibunya Surti
membenarkan keterangan Rah Jati dengan wajah
sedih. Bahkan dengan linangan air mata.
"Benar, Pranggana. Kami hampir saja men-
jadi mangsa perampok-perampok buas itu. Coba
lihat luka memar di pipi dan lengan Ibu ini! Sungguh pengalaman yang sangat
pahit dan tak bisa
dilupakan...."
Surti sebenarnya agak kaget melihat ting-
kah ibunya yang agak lain dari biasanya. Namun
dia pikir, ibunya yang selama ini lemah lembut,
jadi agak sedikit berubah, karena keadaan yang
kini mereka alami. Karena itu Surti tidak terlalu memikirkan lebih lanjut.
Sena yang sudah berdiri di sebelah Sena-
pati Pranggana hanya menggaruk-garuk kepala,
dan cengengesan. Seolah-olah dia tak begitu
memperhatikan Rah Jati dan Nyi Kuntari. Namun
Pendekar Gila yang cepat menangkap situasi dan
gerak-gerik dua orang itu telah merasakan sesua-
tu yang kurang beres.
"Gol, ikuti Rah Jati, ke mana saja dia pergi.
Tapi jangan sampai dia mengetahui, kalau kau
mengikutinya. Ingat..!" bisik Sena pada Dogol yang sebelumnya tersenyum-senyum
ikut gembira dengan kedatangan Rah Jati dan Nyi Kuntari.
Namun begitu mendengar bisikan Sena, senyum
lebar dan wajah yang cerah itu mendadak beru-
bah menjadi tegang. Matanya melirik ke arah Se-
na, bibirnya yang agak tebal tampak lucu.
"Aku bersyukur pada Hyang Widhi, karena
telah melindungi Ibu dan Rah Jati...," kata Surti dengan penuh gembira.
"Ya. Aku sangat berhutang budi padamu,
Rah Jati," sambung Senapati Pranggana sambil menepuk-nepuk bahu Rah Jati.
Rah Jati hanya menundukkan kepala dan
senyum-senyum pahit. Sena menatap tajam wa-
jah Rah Jati seakan pandangan matanya bisa


Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menembus sampai ke dalam jiwa Rah Jati. Men-
dadak Sena tersentak, seperti orang kaget. Mem-
buat Senapati Pranggana yang berdiri di dekatnya langsung menegur Sena.
"Ada apa, Tuan Pendekar...?" tanya Senapati Pranggana dengan mengerutkan
keningnya. "Ooo.... Tidak ada apa-apa. Aku hanya ter-
haru mendengar cerita Rah Jati dan Nyi Kuntari.
Aku ikut sedih...," jawab Sena berbohong.
Lalu mereka tertawa-tawa senang. Begitu
juga Sena sambil menggaruk-garuk kepala ikut
tertawa-tawa. "Ibu tentunya lelah. Surti, ajak Ibu ke da-
lam. Biar Ibu istirahat Silakan, Bu...!" ucap Sena-
pati Pranggana menyuruh istrinya.
Nyi Kuntari berlalu sambil menimang-
nimang anak Surti. Mereka nampak penuh tawa
dan bahagia. "Kau juga boleh istirahat Rah Jati.... Aku
bangga padamu...," kata Senapati Pranggana
kembali memuji Rah Jati.
* * * Malam pun tiba. Keadaan di sekitar kadi-
paten nampak sunyi, sepi. Tak seorang pun tam-
pak berada di jalan-jalan. Namun para penjaga tetap di lemparnya masing-masing.
Di setiap sudut
yang dianggap rawan dijaga ketat. Itu semua pe-
rintah Sena tanpa sepengetahuan Senapati
Pranggana. Sebab senapati tampaknya telah me-
rasa aman dan merasa bahwa kini tak akan ada
lagi yang berani mengusiknya. Dia menganggap
bahwa Warkasa Pati tak akan kembali, karena
ada Pendekar Gila. Apalagi Nenek Bongkok itu.
Begitulah pikir Senapati Pranggana saat itu.
Namun dia tak tahu, bahwa di dalam kadi-
paten telah ada orang yang menghendaki kema-
tiannya, serta membawa Surti dari kadipaten. Ke-
dua orang itu tak lain Warkasa Pati dan Nenek
Bongkok yang telah masuk ke dalam jiwa dan tu-
buh Rah Jati dan Nyi Kuntari, ibunya Surti.
"Ke mana Tuan Pendekar, malam ini aku
tak melihatnya...," kata Senapati Pranggana yang ada di ruang pendopo.
"Mungkin sedang istirahat..," jawab Ki Su-mo yang menemaninya.
Pada saat itu. Rah Jati diam-diam menyeli-
nap masuk, tanpa diketahui Senapati Pranggana
dan Ki Sumo. Dogol yang ditugaskan oleh Sena untuk
mengikuti gerak-gerik Rah Jati kehilangan jejak.
Si Gendut itu berada di luar pendopo dengan ke-
pala clingak-clinguk.
"Aneh! Edan...! Ke mana si Semprol itu. Ce-
laka! Aku bisa dimaki oleh Kakang Sena. Ah,
mungkin dia masuk ke pendopo...," gumam Dogol bicara pada dirinya sendiri. Lalu
segera melangkah dengan langkah lebar memasuki pendopo.
Sementara itu Sena dengan ilmu merin-
gankan tubuh, melompat ke atas genteng pendo-
po dan terus menghilang. Tahu-tahu dia sudah
berada di dalam ruang pendopo kadipaten. Sena-
pati Pranggana dan Ki Sumo tampak terkejut me-
lihat kedatangan Sena.
"Ooo..., Tuan Pendekar. Kami sedang me-
nunggu...," kata Senapati Pranggana begitu melihat Sena.
Melihat Sena sudah ada di dalam, Dogol
tak jadi masuk, takut kena marah. Maka si Gen-
dut itu bersembunyi di balik tiang pendopo.
"Apa kau tak melihat seseorang menyelinap
masuk kemari...?"
Pertanyaan Sena mengejutkan Senapati
Pranggana dan Ki Sumo, serta beberapa orang
kepercayaan Senapati Pranggana. Hanya Rah Jati
yang tidak ada.
"Maksud Tuan Pendekar...?" tanya Senapa-ti Pranggana dengan suara bergetar.
Menandakan kecemasannya kembali muncul.
Sena menggaruk-garuk kepala, lalu meno-
leh ke arah lorong menuju ruang dalam. Kemu-
dian dia melesat pergi. Senapati Pranggana dan
yang lain jadi bertambah heran. Dan belum sem-
pat keheranan mereka habis, tiba-tiba terdengar
teriakan Surti dari dalam kamar.
Disusul dengan suara dua orang sedang
bertarung. Senapati Pranggana yang kaget cepat
memerintahkan Ki Sumo dan beberapa orang un-
tuk melihat. Segera Ki Sumo dan tiga orang melompat
masuk ke lorong tempat Sena tadi masuk.
"Heaaa..!"
Tubuh Rah Jati melenting ke atas, menje-
bol atap genteng. Lalu disusul Pendekar Gila. Ki-ni, keduanya siap bertarung di
atas genteng. "Aaa...!" terdengar suara teriakan, membuat Senapati Pranggana bertambah kaget.
Lalu dia sendiri masuk. Dogol muncul bermaksud in-
gin melihat Rupanya terjadi pertarungan seru antara
Pendekar Gila dan Rah Jati.
Sementara itu Nyi Kuntari berpura-pura
ketakutan. Memegangi Surti. Senapati Pranggana
semakin bingung melihat pertarungan Pendekar
Gila dengan Rah Jati, orang kepercayaannya. Dia
hanya bisa memandang seperti terkesima. Begitu
juga Ki Sumo dan ketiga kawannya.
"Heaaa...!"
Tubuh Rah Jati melenting ke atas, menje-
bol atap genteng. Disusul oleh Pendekar Gila. Sehingga terjadi pertarungan di
atas genteng. Keduanya saling pukul dan tendang.
"Ha ha ha...! Pendekar Gila, kau tertipu...!
Ha ha ha...!" seru Rah Jati dengan terus melancarkan serangan gencar pada
Pendekar Gila. Sementara itu Dogol memberitahu pada
Senapati Pranggana dan Ki Sumo bahwa Rah Jati
sudah dirasuki Warkasa Pati. Begitu juga Nyi
Kuntari bukan lagi Nyi Kuntari, melainkan Nenek
Bongkok. Hal itu diketahuinya dari Pendekar Gila, ketika hendak menyuruh Dogol
untuk menguntit
gerak-gerik Rah Jati. Senapati Pranggana dan Ki
Sumo tersentak kaget. Segera dia mencari Nyi
Kuntari yang tiba-tiba menghilang bersama Sur-
ti...! "Surti...! Surti...!" Senapati Pranggana dengan kesal berteriak-teriak
memanggil-manggil is-
trinya, "Bodoh, kenapa aku dapat terpedaya lagi oleh manusia-manusia iblis
itu"!" batin Senapati Pranggana penuh kegeraman
Sementara itu teriakan dan jeritan Surti
terdengar. "Ibu...! Ibu kenapa Ibu lakukan ini. Tolooong...!"
"Aku bukan ibumu... hi hi hi...!"
Nyi Kuntari menyeret Surti. Ketika sampai
di halaman, para prajurit mengepung Nyi Kuntari
dan langsung menyerangnya. Namun dengan se-
kali gebrak lima prajurit itu roboh dan tak berkutik lagi. Lalu Nyi Kuntari
melesat pergi sambil
membawa Surti. Pendekar Gila masih bertarung dengan Rah
Jati. Dan pada kesempatan yang sangat bagus
Pendekar Gila dapat melancarkan tendangan
maut, tepat mengenai iga Rah Jati. Kontan Rah
Jati melayang jatuh ke tanah. Pendekar Gila me-
lompat turun untuk terus menghajar Rah Jati.
Namun pada saat itu Senapati Pranggana mun-
cul. Dengan gerak cepat Rah Jati menerkam Se-
napati Pranggana yang tak menduga sama sekali.
Melihat keadaan yang serba salah Pende-
kar Gila tak dapat bertindak gegabah lagi. Sena-
pati Pranggana telah berada dalam kekuasaan
Rah Jati. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, dia mengerahkan ajian 'Tamparan Sukma'.
Maksudnya ingin membuka kedok Rah Jati.
"Heaaa...!"
Jglarrr! Selarik sinar menghantam tubuh Rah Jati.
Tubuhnya terpental beberapa langkah sambil
menjerit kesakitan. Pada saat itu juga keluarlah Warkasa Pati dari tubuh Rah
Jati. Sedangkan
Rah Jati sendiri roboh tak bernyawa lagi.
Senapati Pranggana merasa tak habis pikir
melihat kejadian itu. Pendekar Gila mengejar
Warkasa Pati yang mencoba melarikan diri. Dan
dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dia berhasil menghadang Warkasa Pati. Tampaknya
Pendekar Gila tak ingin memberi kesempatan kepada lawan.
Maka.... "Inti Brahma'...!"
Pendekar Gila berteriak sambil menghen-
takkan kedua tangan. Dan seketika bola-bola api
meluncur deras ke arah tubuh lawan. Warkasa
Pati mengelak dengan melenting ke atas sambil
bersalto. Namun Pendekar Gila terus mencecar-
nya, hingga salah satu bola api itu menghantam
tubuh Warkasa Pati. Lelaki bertubuh tegap itu
memekik panjang. Meskipun tubuhnya telah ter-
bakar, namun dia masih bisa melesat pergi lalu
menghilang. Pendekar Gila geram.
"Aneh, begitu kuat si Keparat itu..."! Aku
harus cepat kembali ke kadipaten...," gumam Se-na dalam hati. Lalu melesat pergi
dengan pera- saan kecewa, karena kembali gagal meringkus
Warkasa Pati. Sementara itu, Nenek Bongkok keluar dari
tubuh Nyi Kuntari. Seketika tubuh ibunya Surti
roboh ke tanah. Nenek Bongkok dengan terkekeh-
kekeh membopong Surti. Bagai terbang Nenek
Bongkok pergi dari tempat itu.
* * * Sampai di kadipaten Pendekar Gila melihat
Surti sudah ada bersama Senapati Pranggana
yang terluka, akibat cakaran Warkasa Pati. Na-
mun hatinya merasa heran melihat Surti yang
sudah berada bersama mereka. Sena tak berani
menduga-duga, karena merasa kegagalan itu tak
luput karena dirinya juga. Maka Pendekar Gila
hanya diam saja, walaupun sebenarnya ingin
memberitahukan pada Senapati Pranggana.
"Tuan Pendekar, Ibu harus kita temukan
sebelum nenek sihir itu membunuhnya...," kata Surti sambil merengek pada
Pendekar Gila. Sena hanya tersenyum pahit. Lalu sambil
menggaruk-garuk kepala dia pergi tanpa berkata
apa-apa Dogol mengikutinya.
"Kakang Sena, aku ikut...!" seru Dogol
sambil berlari mengejar Pendekar Gila.
"Sebaiknya kita tinggalkan kadipaten ini
untuk sementara, Gol," kata Sena dengan nada datar. "Hah"! Kenapa, Kakang..."!
Apa ada sesuatu...?" tanya Dogol sambil terus berjalan di sisi ki-ri Sena.
"Ya!" jawab Sena pendek. "Sebaiknya kita menyelidiki mencari Nenek Bongkok itu.
Tapi kita mampir dulu ke Desa Kawulan," ucap Sena sambil terus melangkah.
Tak terasa, Sena dan Dogol sudah mening-
galkan kadipaten cukup jauh di dalam kegelapan
malam. "Aku hanya ingin menyadarkan dan mem-
beri pelajaran pada Senapati Pranggana yang ti-
dak tegas dan kurang punya sikap...! Kasihan
orang itu...," kata Sena lagi.
Dogol nampak mulai takut, karena kini
mereka melewati kuburan. Bibirnya bergetar te-
rus, bagai orang kedinginan. Matanya tak henti-
hentinya melirik ke kiri dan kanan.
Malam semakin larut, bulan pun sebagian
tertutup awan. Membuat suasana kian mence-
kam. Namun Sena terus mengayunkan kaki den-
gan cepat. Dogol pun mengikuti dengan langkah
lebar dan napas mulai terengah-engah.
Pada saat itu juga di lain tempat, di pinggi-
ran Lembah Seribu Iblis. Warkasa Pati tengah ter-seok-seok dengan sisa-sisa
tenaganya. Rupanya
mantan senapati itu menderita luka dalam, akibat pukulan 'Inti Brahma' Pendekar
Gila. Setengah tubuh dan wajahnya tampak hitam dan rusak ka-
rena terbakar. Dengan dendam kesumat yang membara
serta kemarahan yang bergejolak, lelaki setengah baya itu terus berusaha
bertahan. Dengan lunglai dan kadang merayap kepayahan dia terus berjalan menuju
tempat persembunyiannya.
Sementara itu, Nenek Bongkok sudah be-
rada di persembunyiannya. Dimasukkannya Surti
ke sebuah kamar yang hanya diterangi api obor,
tergantung di dinding batu cadas. Tak ada dipan
atau balai-balai.
Yang ada hanya alang-alang kering. Di-
hempaskannya Surti ke tumpukan ilalang kering
itu. "Hi hi hi...! Kalau saja aku seorang lelaki, ingin juga mengawinimu, Cah
Ayu.... Hi hi hi...!"
ujar Nenek Bongkok. Lalu mulutnya menyeringai,
menakutkan membuat Surti gemetaran.
"Kalau kau tak menurut di sini. Kau akan
mati dimakan ular-ular itu...!" kata Nenek Bongkok sambil menunjuk ke ruangan
lain di sebelah
kamar Surti berada.
Mata Surti melirik, lalu menjerit sambil-
menutupi kedua matanya. Puluhan bahkan
mungkin ratusan ekor ular beraneka ragam je-
nisnya. Dari yang sebesar ibu jari sampai sebesar paha. Ular-ular itu mendesis-


Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

desis seakan mengerti apa yang diucapkan Nenek Bongkok.
Nenek Bongkok yang baru sadar akan mu-
rid tunggalnya itu, tersentak. Seakan dia merasakan bahwa Warkasa Pati mengalami
petaka. Ne- nek Bongkok segera melesat keluar dari tempat
persembunyiannya. Lalu mencari-cari sang Murid
dalam kegelapan malam yang mencekam itu.
Dengan mengerahkan penglihatannya yang tajam,
meskipun dalam keadaan gelap perempuan tua
itu tak mengalami kesulitan. Matanya mampu
melihat dengan jelas, seperti di siang hari. Karena dirinya memang manusia
setengah setan.
"Ya, Jagad Dewa Batara...! Siapa yang ber-
buat ini" Huh! Ini pasti kerjaan si Bocah Gila itu!"
seru Nenek Bongkok begitu menemukan Warkasa
Pati sudah membusuk, mati. Begitu cepat proses
pembusukan itu.
Nenek Bongkok berusaha untuk menghi-
dupkan kembali Warkasa Pati. Namun usahanya
gagal, karena ketika hendak membaca mantera,
tiba-tiba mayat Warkasa Pati terbakar! Dan
apinya tak dapat dipadamkan! Nenek Bongkok
merasa heran. Dia tak habis pikir. Itulah kehebatan ajian 'Inti Brahma'. Jika
seorang se-bangsa jin atau iblis menyentuh luka bakar korban, maka
api akan menyala, mengamuk kembali!
Tubuh Warkasa Pati akhirnya terbakar ha-
bis. Dan anehnya, tak ada abu atau bekas lain-
nya. Nenek Bongkok semakin yakin bahwa itu
perbuatan Pendekar Gila.
"Kurang ajar...! Tunggu pembalasanku,
Pendekar Gila...! Kau akan menyesal. Akan kuki-
rim kau ke neraka...!"
Nenek Bongkok murka dan bersumpah in-
gin membalas kematian Warkasa Pati pada Pen-
dekar Gila. Nenek Bongkok segera melesat kembali ke
persembunyiannya. Dengan muka semakin me-
nakutkan dia mendekati Surti. Mulutnya menye-
ringai dan berkata dengan suara menakutkan.
"Nasibmu tergantung pada Pendekar Gila.
Jika aku dapat cepat membunuh Pendekar Gila,
kau akan cepat kubebaskan. Tapi jika aku gagal,
kau akan menjadi tumbalku. Atau pengikutku! Hi
hi hi...!" ancam Nenek Bongkok pada Surti. "Kau lihat ular-ular itu, kan" Hi hi
hi... mereka sudah lama tak makan daging manusia. Hi hi hi...!"
tambah si Nenek Bongkok, membuat Surti ber-
tambah ketakutan. Tubuhnya menggigil dengan
bibir terus bergetar. Wajahnya pucat.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5 Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Patung Emas Kaki Tunggal 3
^