Pencarian

Neraka Karang Hantu 2

Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu Bagian 2


guncangkan jiwanya.
Diburunya tubuh Luki Denta yang terkapar tiada
daya. Namun begitu dia mengguncangkan tubuh kawannya itu, Luki Denta sudah tiada
berkutik. Nyawanya telah melayang sesaat setelah si Katai Losi mendaratkan pukulan Mulih
Pati. Mendadak Arya Pasangran palingkan muka, lalu memandang pada kedua manusia
katai itu silih berganti. Sorot matanya memancarkan api dendam, kedua bibir
terkatup rapat.
Setindak demi setindak dia melangkah menghampiri
si Katai Losi yang nampak menyeringai penuh kemenangan. Kira-kira setengah tombak di depan dia
hentikan langkah.
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Ketua
Perkumpulan Partai Pengemis Tenggara itu pun membentak:
"Anjing cebol! Manusia biadab berhati iblis...
kalian harus membayar lunas hutang nyawa
kawanku...!" Tukas Arya Pasangran dengan wajah kelam membesi. Baik si Katai Losi
maupun si Katai Jola nampak tergelak-gelak begitu mendengar kata-kata Arya
Pasangran yang nampak sangat marah. Tak lama kemudian si Katai Jola menyela:
"Gembel pengemis, nyawamu sendiri sebentar lagi segera berangkat ke akhirat bagaimana mungkin engkau dapat menagih hutang nyawa...?"
Semakin bertambah mendidihlah darah Arya Pasangran. Tanpa banyak cingcong lagi ketua perkumpulan
kaum pengemis ini langsung kirimkan serangan ganas.
"Manusia terkutuk! Mampuslah...!" pekik Arya
Pasangran sangat cepatnya membabat dengan pedangnya. Tercekatlah hati si Katai Losi, karena tau-tau pedang di
tangan Arya Pasangran sudah
menyambar dadanya. Jubah Harimau terobek sejengkal. sehingga nampaklah bukit kembarnya yang sudah keriput dan
mengalirkan darah. Si katai Losi menjadi berang, perempuan kerdil itu meraung
bagai harimau tua kelaparan.
Serta merta dia menunjuk cepat-cepat ke arah Arya Pasangran.
"Bangsat rendah hidung belang! Kau harus membayar mahal atas segala ulahmu
ini...!" Bentak si Katai Losi sambil berusaha menutupi sebagian jubahnya yang terobek.
Arya Pasangran meskipun hatinya sangat dongkol, tapi masih juga tertawa
tergelak-gelak.
"Katai jelek, aku bukanlah laki-laki yang suka iseng! Jangan kau kira aku
tertarik dengan apa yang kulihat. Sudah keriputan begitu siapa sudi! Jangan kan
aku, kucing kurap sekali pun akan lari terbirit-birit demi melihat kebagusan
dadamu yang aduhai itu...!" Kata Arya Pasangran mencemooh. Demi mendengar kata-
kata Arya Pasangran yang tak lebih mengejek dirinya semakin bertambah geramlah si Katai
Losi di buatnya. Amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun, penghinaan itu benar-benar
sangat keterlaluan sekali. Agaknya si Katai Jola pun sudah tak sabar melihat
saudara seperguruannya mendapat malu sedemikian rupa. Kini tanpa meminta
persetujuan kakak
seperguruannya,
dia sudah melompat menghampiri Arya Pasangran.
"Kakang Mbok! Mari kita satai saja ketua gembel ini ramai-ramai...!"
"Mungkin inilah yang dia kehendaki adik Jola!"
Arya Pasangran tertawa berderai, kemudian memandang pada kedua manusia katai itu
silih berganti,
"Mengapa tidak sedari tadi kau turun tangan katai
sial!" Maki Arya Pasangaran. Kedua perempuan Katai
itu menyeringai: "Mulutmu
terlalu sombong gembel cacingan!"
Sebelum Arya Pasangran membuka mulut,
dia merasa akan angin pukulan menyambar
kebagian tubuhnya. Laki-laki itu menoleh, tahulah
dia bahwa yang melakukan pukulan curian tadi kiranya si Katai Jola adanya. Tapi
dia sudah tak dapat berfikir panjang karena dua orang kerdil itu kini telah
menggempurnya secara berbareng.
Dalam gebrakan pertama saja kedua orang
ini langsung kirimkan pukulan-pukulan
yang sangat ganas. Arya Pasangran segera memutar pedangnya membentuk tameng
pelindungan diri.
Sinar pedangnya berkelebat kesegala arah, meskipun begitu nampaknya kedua orang ini tak gentar menghadapi babatan pedang
yang nampak sebat dan ganas. Mereka terus berangsak sambil mengirimkan
pukulan-pukulan
jarak jauhnya. Meskipun Arya Pasangran memiliki ilmu pedang yang tinggi, akan tetapi mendapat
keroyokan sedemikian rupa dari dua orang tokoh kelas satu, tak urung tiga puluh
jurus kemudian dia sudah kena didesak oleh kedua orang lawannya. Bahkan beberapa
saat kemudian mulai jatuh di bawah angin.
Walaupun begitu, Arya Pasangran tak mudah menyerah
begitu saja. Dia seorang ketua perkumpulan yang memiliki watak dan pendirian yang keras. Tanpa memperdulikan
keselamatan dirinya dia terus merangsak lebih nekad lagi.
Meskipun Ketua Perkumpulan Pengemis Tenggara telah
mengarahkan segenap kemampuannya, masih saja dia terdesak hebat. Bahkan lama-kelamaan mulai jatuh di bawah angin.
Kini semakin sibuklah Arya Pasangran, sebentar saja keringat nampak berciciran
membasahi sekujur tubuhnya. Muka Ketua Pengemis Partai Tenggara nampak pucat
pasi, mendadak si Katai Jola berteriak lantang, tubuhnya berkelebat lenyap,
begitu pun halnya dengan si Katai Losi. Dengan pukulan-pukulannya yang terkenal
ganas dia menyerang Arya Pasangran pada bagian kaki.
Nyatalah bahwa kerja sama yang dibina oleh kedua manusia kerdil ini memang
terbilang dengan baik. Menghadapi serangan yang sedemikian gencarnya,
Arya Pasangran untuk seketika lamanya nampak terkesima, begitu dia menyadari apa sesungguhnya yang akan
dilakukan oleh pihak lawan. Tahu-tahu tangan kanan si Katai Jola menyambar
kebagian dadanya. Ketua Pengemis Partai Tenggara itu menjerit tertahan begitu
merasakan ada sesuatu yang membentur dadanya dan menimbulkan hawa panas yang
luar biasa. Arya Pasangran terhuyung-huyung
beberapa tindak, dengan cepat dia raba dadanya, begitu dia
melirik ke arah dada yang berbulu lebat, dia melihat lima jemari tangan membekas
dan dengan cepat
berubah menghitam. Sadarlah Ketua Perkumpulan Kaum Pengemis ini bahwa pihak lawan telah lancarkan pukulan beracun
yang sangat ganas. Walaupun pukulan itu tak separah Ajian Mulih Pati. Akan
tetapi akibatnya tetap sama saja. Reaksi racun di dada Arya Pasangran dengan
cepat menjalar kemana-mana. Arya Pasangran merasakan dingin yang luar biasa.
Dalam pada itu kedua
perempuan kerdil itu telah hentikan serangannya. Mereka merasa begitu yakin bahwa sebentar
lagi Arya Pasangran akan segera menemui ajalnya. Dengan sesungging senyum kemenangan kedua orang ini memandangi
Arya Pasangran yang sudah mulai nampak kepayahan.
Kedua bola mata Ketua Pertai Pengemis nampak terbeliak lebar, pedang di
tangannya bergetar hebat. Laki-laki itu merasakan batang lehernya dicekik setan
yang menjijikkan. Kedua bibirnya nampak terbuka, namun tiada satu pun kata yang
terucap. Beberapa saat kemudian tubuh Arya Pasangran limbung lalu tersungkur di
atas tanah untuk selama-lamanya. Kedua manusia katai itu tersenyum puas.
"Bangsat ini sampai akhir hayatnya tetap tak mau buka mulut! Kata si Katai Jola
pada kakak seperguruannya.
"Ada baiknya kalau kita kembali ke Rawa Kematian...!" Ujar si Latai Losi
mengusulkan. Tanpa membantah si katai Jola segera mengikuti langkah kakak seperguruannya.
* * * 8 Satu ekor daging menjangan dipanggang
sedemikian rupa membuat jakun si Maling Bosa turun naik menahan selera. Bau
aroma yang merangsang penciuman serta rasa lapar yang sejak tadi ditahan-
tahannya. Itulah yang menjadi ciri khusus dalam hidup Maling Bosa selama puluhan
tahun. Memang benar dia merupakan seorang maling yang lihai. Akan tetapi dalam
kehidupannya tidak
secuil pun barang hasil
curiannya dia manfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau pun dia mencuri, hal
itu semata-mata dia lakukan karena merasa tak tahan melihat kehidupan orang
melarat. Dan hampir semua hasil curiannya dia bagi-bagikan pada rakyat jelata.
Bagi mereka kehadiran Maling Bosa tak ubahnya sebagai
dewa penyelamat terhadap musim paceklik yang panjang.
Maling Bosa bukanlah seorang yang kaya
karena harta curiannya. Bahkan kehidupannya boleh dikata sangat melarat. Tidak
punya sanak keluarga apalagi istri, bahkan seekor kucing pun
dia tidak punya. Rumahnya di tengah Rawa
Kematian, merupakan sebuah rumah gubuk bertonggak, dinding terbuat dari rumput ilalang beratapkan ilalang pula. Di
dalam gubuk itu hanya terdapat sebuah balai kecil yang terbuat dari anyaman
kulit rotan. Di atas balai itulah seorang gadis yang sangat cantik terbaring.
Mata gadis itu nampak begitu liar memandang seisi gubuk. Dalam hati dia
bertanya-tanya, mengapa kehidupan seorang maling yang sangat
lihai demikian memperihatinkan. Bahkan berkesan lebih sengsara bila dibandingkan dengan hidup
seorang gembel.
Mungkin ada benarnya dengan apa yang pernah didengar dari cerita orang. Bahwa
sesungguhnya si Maling Bosa bukanlah orang yang begitu kemaruk dengan dunia dan
seisinya. Rupanya dalam hidup yang serba singkat ini, laki-laki berkumis sekepel
itu ingin berbuat kebajikan sesama umat. Tidak perduli apakah barang yang dia
sumbangkan ketengah-tengah orang banyak itu merupakan barang yang sah atau tidak
sah. Sejauh itukah Maling Bosa bertindak" Semua itu karena masa lalu hidupnya
yang suram dan gelap. Andai saja hidup boleh memilih, bagi si Maling Bosa lebih
baik tak usah di lahirkan ke alam dunia yang penuh
dengan keserakahan dan hura-hura. Mengapa"
Dulu ayahnya merupakan seorang tokoh sesat yang banyak menyebar keonaran di
mana-mana. Sedangkan emaknya merupakan nenek moyangnya tokoh sesat yang tewas karena
memperebutkan harta warisan. Karena demikian kecewanya dalam hidup ini, akhirnya
Maling Bosa mengasingkan diri di Rawa Kematian.
Dalam pada itu si Maling Bosa telah selesai dengan kesibukannya, beberapa saat
kemudian laki-laki itu telah mencicipi daging manjangan yang masih mengepulkan
uap panas. Sedang enak-enaknya menggerogoti daging tersebut. Tiba-tiba dia
teringat pada gadis yang berada di dalam gubuk. Kemudian berseru ramah.


Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona galak! Kalau kau merasa lapar
keluarlah...!" Dewi Sekar Tanjung sesungguhnya sudah mengetahui sejak tadi bahwa
si Maling Bosa sedang
enak-enakkan membakar daging manjangan. Akan tetapi untuk ke luar dan minta bagian dia malu, Sebab dia telah
berlaku kasar pada si Maling Arif, lebih dari itu dia telah menuduh yang bukan-
bukan. Kini rasa lapar semakin bertambah-tambah sejak terciumnya bau daging
panggang yang sedap.
"Bocah galak. Kalau engkau terus ngadat, jangan salahkan aku bila daging yang
enak ini kuhabiskan sendiri...!" Kembali si Maling Bosa mengingatkan.
Akhirnya dengan malu-malu Dewi Sekar
Tanjung keluar dari gubuk itu. Dia terus melangkah menuruni anak tangga kayu. Begitu kedua kakinya menyentuh permukaan
tanah. Tanah itu terasa bergoyang-goyang menahan berat tubuhnya. Dewi Sekar Tanjung
tergagap, lalu cepat-cepat memandang pada si Maling Bosa yang nampak tergelak-
gelak. "Terus saja ke sini! Kata si Maling Bosa sembari menggerogoti daging manjangan
dengan lahap. Dewi Sekar Tanjung tertegun di tempatnya.
Tanpa menoleh laki-laki ber-kumis lebat itu menyela:
"Kalau kau masih tetap di situ aku akan menuntunmu kemari...!" Lalu tanpa
menunggu jawaban si gadis, si Maling Bosa bergerak ringan menghampiri dirinya.
Dewi Sekar Tanjung bengong dibuatnya. Nyata-lah baginya, kalau Si Maling Bosa
mempunyai niat buruk terhadap dirinya, sudah barang tentu hal itu sangat mudah
dia lakukan. Terbukti selama dua hari di dalam gubuk milik si
Maling Bosa, tak secuil pun laki-laki berkumis tebal itu mengganggunya.
Dalam beberapa saat si Maling Bosa telah
menyambar pergelangan tangan Dewi
Sekar Tanjung. Sebentar kemudian Dewi Sekar Tanjung telah sampai di tempat Maling Bosa
membakar manjangan. Cepat-cepat murid dari perguruan Nganti Mulih itu menjura
hormat. Orang tua dihadapanya
tergelak-gelak lalu menggerogoti
sepotong daging bakar berikutnya. Setelah menyeka mulutnya yang berselemotan daging panggang, maka si Maling Bosa berkata:
"Untuk apa engkau menjura-jura bagai orang di dalam Kuil! Aku tidak suruh, aku
hanya menyuruhmu makan daging ini...!" Bentak Si Maling Bosa. Dewi Sekar Tanjung
jadi tersipu malu. Kedua pipinya yang putih bersih seketika berubah kemerah-
merahan. "Maafkan aku paman! Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan...!" Kata Dewi Sekar
Tanjung merasa bersalah.
"Setiap orang punya kesalahan. Engkau tidak jadi membunuhku saja aku sudah
merasa beruntung...!" Ujar Maling Bosa sambil terus tertawa-tawa.
"Ah... paman menyindirku! Mana mungkin aku yang tolol ini mampu membunuhmu."
"Walau engkau tak jadi membunuhku! Apa pun kejadiannya kau tetap merupakan murid
sahabat baikku...!"
"Terima kasih paman...!" Si Maling Bosa anggukkan kepala, kemudian dia berkata
lagi. "Duduk sini, daging manjangan muda ini rasanya enak... enak...."
"Krauk... Krauuk...!" Begitu nikmatnya si Maling Bosa melahap daging manjangan
itu, sehingga ketika Dewi Sekar Tanjung menikmati daging
tersebut hanya tinggal bersisa setengahnya. Dengan sikap malu-malu Dewi Sekar Tanjung menerima daging panggang
pemberian Maling Bosa. Tak lama sesudahnya gadis berwajah rupawan itu menyela.
"Paman Bosa! Tempat macam apakah .
tempat tinggalmu ini!" Mendengar pertanyaan seperti itu, Maling Bosa tertawa
ringan. Sekejap dia memandang berkeliling. Kemudian dengan suara datar "Orang
bilang tempat ini bernama Rawa
Kematian... tetapi aku sendiri sudah menetap di sini selama bertahun-tahun tak pernah mati...!"
Dewi Sekar Tanjung melonjak kaget begitu
si Maling Bosa menyebut nama tempat itu. Kiranya tempat tinggal si Maling Bosa
hanya merupakan sebuah daerah berawa-rawa. Pantasan ketika tadi dia menginjakkan
kakinya di bawah gubuk, tanah itu bagai menari-nari. Guman si gadis terbengong-
bengong. "Mengapa paman memilih tinggal di tempat ini...?"
"Hohoho... hohoho...! Terang saja, tempat ini aman dari gangguan kejahatan lebih
dari itu aku punya banyak kawan yang tak pernah
menyakiti hatiku...!"
Kata si Maling Bosa seenaknya. "Kawan" Tapi aku tak melihat siapa pun di sini...!" Dewi Sekar Tanjung
keheranan, lalu timbul pula anggapan di dalam hatinya. Bahwa di
samping laki-laki itu terkenal sebagai orang yang aneh rupanya juga punya
gangguan jiwa. Si Maling Bosa kembali tergelak-gelak, tiba-tiba dia hentikan
tawanya, lalu berseru lantang: "Hei makhluk yang berada di bawah sana! Ada sobat
kita yang ingin melihat
kehadiran kalian! Datanglah ke gubukku...!" Beberapa saat kemudian gubuk di tengah-tengah
rawa itu terguncang-guncang.
Tanah di sekitarnya bergerak hebat diiringi bunyi mendesis yang bersumber dari
ribuan makhluk-makhluk berbisa. Pada saat itu si Maling Bosa berkata pelan.
"Lihatlah di bawah sana, kawan-kawanku sudah datang...!" Dengan rasa penasaran
Dewi Sekar Tanjung melongokkan kepalanya ke bawah gubuk. Terperangahlah gadis
ini begitu melihat kehadiran ribuan binatang berbisa dari berbagai jenis nampak
berbaur menjadi satu. Sebuah pemandangan yang seumur hidup belum pernah dia
saksikan sebelumnya. Yang anehnya walau pun binatang-binatang menjijikkan itu
terdiri dari berbagai jenis, mereka tidak saling berbaku hantam sesamanya. Dewi
Sekar Tanjung cepat-cepat kembali ke tempatnya semula.
"Paman Bosa! Makhluk-makhluk itukah yang kau bilang sebagai sahabatmu...?" Tanya
Dewi Sekar Tanjung masih dihantui bayang-bayang ketakutan. Si Maling Bosa
mengangguk pelan, kedua matanya tiba-tiba terpejam. Dia merasakan adanya
kehadiran orang yang tidak diundang di pinggiran Rawa tempat tinggalnya. Bahkan
melalui ilmu menyusupkan suara dia dapat mendengar ada satu dua orang panggil-
panggil namanya dengan
penuh ancaman. Tak lama kemudian kedua mata si Maling Bosa kembali terbuka, Dewi
Sekar Tanjung yang sejak tadi merasa keheranan, langsung menyela:
"Paman ada apakah gerangan...?" Laki-laki berkumis tebal itu palingkan wajah.
"Engkau diamlah di sini! Kunyuk-kunyuk edan itu pasti menuduhku sebagai pencuri
pusaka bapak moyangnya." Kertak si Maling Bosa marah sekali.
"Tidak paman! Aku harus ikut, kalau perlu aku yang akan menjelaskan pada
mereka...!" Si Maling Bosa gelengkan kepala, "Kedua Katai itu merupakan manusia
dajal, mana mungkin mereka bisa percaya dengan omonganmu..,!"
Dewi Sekar Tanjung kerutkan wajah. Kalau
orang itu sudah demikian susahnya untuk diberi pengertian, alamatlah bagi si
Maling Bosa untuk mengadu jiwa. Tidak! Hal itu tidak boleh terjadi, si Maling
Bosa terlalu baik. Bagaimana pun dia harus membelanya! Batin Dewi Sekar Tanjung
di dalam hati. "Kalau begitu mereka pasti bermaksud mencelakakan paman...!"
"Bila memang hal itu sudah merupakan nasibku, siapa yang kuasa menolak...."
Jawab si Maling Bosa pasrah. Dewi Sekar Tanjung cepat-cepat gelengkan kepala.
"Tidak bisa! Apa pun yang akan terjadi aku harus ikut, paman Bosa pantas untuk
dibela...."
Dewi Sekar Tanjung bersikeras. Mendengar ucapan Dewi Sekar Tanjung, si Maling
Bosa tertawa getir.
"Aku ini hanya seorang maling yang menjijikkan! Sudah selayaknya semua keburukan itu kupikul di pundakku!"
"Maling tidak maling, buruk tidak buruk! Apa pun yang akan terjadi aku tetap
berada di pihakmu...!" Mendadak wajah si Maling Bosa berubah merah padam,
baginya terlalu sulit untuk memberi pengertian pada gadis bandel ini. Dengan
nada penuh amarah dia berkata tegas: "Bocah!
Kuminta jangan fikirkan aku, masa depanmu masih terlalu panjang jangan campuri
urusanku. Kalau aku mampus di tangan mereka, aku cuma barang rongsokan yang tiada guna.
Dan aku sendiri akan menerima kematian itu dengan senang hati...!"
"Maaf paman barangkali aku harus memaksamu terlebih dulu, baru kemudian engkau
mengijinkan aku untuk turut serta bersamamu...!"
Dewi Sekar Tanjung menyela dan langsung
melolos pedangnya. Si Maling Bosa yang punya watak angin-anginan itu mendengus
dan langsung berkelebat pergi.
"Aku tak punya waktu untuk bermain-main denganmu...!" Tukas si Maling Bosa
seiring dengan lenyapnya bayangan laki-laki itu dari pandangan mata Dewi Sekar
Tanjung. Gadis itu bermaksud menyusulnya, akan tetapi baru saja tubuhnya
melompat dari dalam gubuk. Kedua kakinya
langsung terjeblos ke dalam tanah yang di bawahnya merupakan sebuah genangan air
yang dalam. Gadis itu memaki-maki ketakutan, ketika ada makhluk air yang terasa
merambati bagian kaki
dan selangkangannya.
Meskipun tidak menggigit tak urung rasa geli membuat wajahnya merah padam. Dengan sekali lompat
tubuhnya yang terbenam sebatas pinggang melesat keatas dan langsung jatuh di
pintu pondok. * * * 9 Tubuh Maling Bosa nampak berkelebat
ringan di atas tanah rawa yang dalam airnya.
Dalam waktu sekejap saja dia sudah sampai pada pinggiran
rawa. Kedua perempuan katai menyambut kehadirannya dengan tawa rawan.
"Bagus sekali! Setelah kau ngumpet seperti seekor tikus selama beberapa hari,
akhirnya engkau muncul juga...!" Kata si Katai Losi sinis.
"Inikah bangsat yang kita cari-cari itu Kakang Mbok?" Si Katai Jola menyela,
Katai yang satunya manggut-manggut bagai burung pelatuk.
Kedua perempuan katai itu memandang dingin pada si Maling Bosa yang berdiri di
depannya. Lalu mereka tertawa melengking-lengking.
"Maling Bosa keparat! Aku akan sudahi urusan ini sampai di sini saja, asalkan
engkau cepat-cepat kembalikan senjata Pusaka Belibis Sakti milik perguruan kami
yang telah kau curi beberapa purnama yang lalu!" Bentak si Katai Losi.
Dituduh seperti itu si Maling Bosa tersenyum getir.
"Hmm... mengherankan! Akhir-akhir ini berpuluh-puluh perguruan telah kehilangan pusaka kebesarannya! Tetapi anehnya
mereka beramai-ramai menuduhku sebagai biang kerok pencurian itu. Seperti yang
lain-lainnya kiranya matamu yang picak itu berpandangan picak pula...!" Kata
Maling Bosa mencemooh. Di hina sedemikian rupa oleh seorang maling pula,
mendidih darah kedua perempuan katai ini sampai ke ubun-ubun.
"Bedebah! Aku tak suruh kau menjawab yang bukan-bukan. Yang kuinginkan cuma
pusaka milik perguruan kami"!" Bentak Si katai Jola.
"Kunyuk tolol! Aku tak tau menahu segala senjata pusaka setan belang. Aku
sendiri dibuat repot oleh ulah pencuri sialan itu...!" Si Maling Bosa balas
membentak tak kalah gusarnya.
"Bangsat. Kau malingnya, mengapa masih berteriak maling...!"
"Memang benar aku seorang maling! Tapi belum pernah aku mencuri segala jenis
pusaka karatan!" Semakin bertambah gusarlah kedua perempuan katai itu dibuatnya.
"Lekas serahkan pedang pusaka Belibis Sakti milik perguruan kami!" Hardik si
Katai Jola. "Orang-orang gila!
Apanya yang harus kuserahkan:..!" Si Maling Bosa yang tak tahu menahu tentang senjata pusaka itu
mendengus! Si Katai Losi yang sudah merasa kesal itu garuk-garuk jidatnya yang
mirip penggorengan.
"Keparat betul! Engkau mau kembalikan apa tidak?" Si Maling Bosa mencaci maki
habis-habisan di dalam hati.
"Aku tidak ambil segala senjata pusaka milik setan! Kalau pun aku mencurinya
barangkali cuma untuk keperluan menggali kakus...!" Tukas Maling Bosa saking
geramnya. Melihat si Maling Bosa masih tetap tak mengakui perbuatannya, si Katai
Jola sudah tak sabar lagi.
"Kakang mbok! Mengapa harus bertele-tele, kalau dia tidak mau mengaku. Baiknya
kita copot saja
kepalanya"!"
Si Katai Losi tanpa memperdulikan ucapan adik seperguruannya terus saja mendesak si Maling Bosa.
"Maling terkutuk! Agaknya aku harus membelah kepalamu...!" Ancam si Katai Losi kertakkan rahang. Sesungging senyum


Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maut membuat si Maling Bosa bersiap-siap menjaga setiap kemungkinan.
"Kalian penggal pun kepalaku tak ada gunanya... aku memang tak mencuri pusaka
perguruan iblis...!"
Si Katai Losi merah mukanya, panas pula
hatinya. Kemudian dia membentak gusar: "Aku mau lihat apakah memang benar kepala
atos bagai batu...!" Seusai berkata begitu, sekali dia gerakkan tangan kanannya
lima jemarinya terpentang bagai cakar
burning. Cepat-cepat si Maling Bosa menyingkir kesamping kiri, mengelakkan totokan yang dilancarkan oleh si Katai
Losi. Dalam mengelak begitu Maling Bosa tendangkan kakinya mengarah ke bagian
selangkangan si Katai Losi.
Wanita katai itu yang sebelumnya tiada menduga bahwa si Maling Bosa bisa secepat
itu gerakkan kaki kanannya, dia sudah tak dapat berkelit lagi.
"Duk!" Katai Losi menjerit bercampur malu, karena selangkangannya kena ditendang
oleh si Maling Bosa. Dia memaki habis-habisan.
"Jahanam bangsat cabul! Kau benar-benar akan menyesal sampai ke liang kubur
karena perbuatan busukmu itu...!"
"Pada kunyuk-kunyuk sesaat tak perlu memakai segala peradatan!" Maling Bosa balas memaki.
"Heiit...! Heep...!"
"Jhee... cuma segitu doang...!" Lagi-lagi si Maling Bosa mencibir. Si Katai Losi
nampak sangat penasaran begitu serangan yang dilancarkan berikutnya mengalami
kegagalan. Dengan satu jeritan keras dia menyerang lagi! Maka terjadilah
pertarungan yang dahsyat, dalam waktu sekejap puluhan jurus sudah terlewati. Di
lain pihak si Katai Jola yang sudah tidak sabaran melihat pertarungan itu ikut
maju mengeroyok si Maling Bosa. Dengan memandang enteng dia langsung kirimkan
serangan-serangan dahsyat. Si Katai ini berkeyakinan dengan cara mengeroyok
seperti itu sudah barang tentu sebentar lagi si Maling Bosa sudah kena di
ringkus. Akan tetapi beberapa saat kemudian dia dibuat terbelalak tak percaya,
karena terkaman yang mengarah pada bagian kaki pihak lawannya ternyata masih
mampu dielakkan oleh si Maling Bosa dengan baik sekali. Bahkan si Maling Bosa
masih sempat tersenyum mengejek:
"Aha, jurus Kura-Kura Mencatok Ikan seperti itu
hanya pantas kau pergunakan untuk menangkap tikus cecurut...!" Memerahlah wajah si Katai Jola demi mendengar
lawannya dapat menggenali jurus-jurus yang dia mainkan. Meskipun begitu sambil menyerang lawannya dia membentak.
"Maling busuk! Sudah mau mampus banyak tingkah...!" Kali ini kedua manusia
kerdil itu rubah jurus-jurus silatnya. Gerakan silatnya sedemikian cepat,
sebentar saja Maling Bosa sudah terkurung dari
dua jurusan. Meskipun begitu laki-laki berkumis tebal itu masih nampak tenang-tenang saja.
Gerakan kedua orang katai itu cepat sekali, tubuh mereka hanya tinggal bayangan,
tahu-tahu secara serentak mereka kirimkan empat totokan mengarah pada bagian-
bagian paling mematikan.
Meskipun demikian, si Maling Bosa bukanlah orang yang bodoh, ilmu silatnya yang
ditempa oleh pengalamannya sendiri selama puluhan tahun ditambah lagi dengan
kecerdikan akal yang dimilikinya, membuat dia masih nampak tenang dalam situasi
yang sesungguhnya sudah sangat terjepit. Begitu jemari tangan lawan-lawannya
hampir mencakar pada bagian leher dan mentotok pada bagian punggung. Maling Bosa
segera jatuhkan badan dan berguling-guling. Gulingan tubuhnya sesungguhnya merupakan
sebuah jurus yang
ampuh dan chberi nama Ular Putih menggulung mangsa. Tubuh yang terguling-guling bergerak
sedemkian cepatnya dan langsung menyapu ke arah bagian kaki lawan-lawannya.
Kedua perempuan katai yang tiada menyangka akan serangan kaki yang sedemikian
cepatnya nampak kalang kabut. Bagai dua ekor monyet yang mabuk tahi ayam mereka
ini berlompatan kian ke mari. Si katai Losi mencaci maki habis-habisan, kemudian
kirimkan satu pukulan jarak jauh. Maling Bosa cepat-cepat menghindar, begitu
merasakan hawa panas menyambar tubuhnya.
Pukulan itu langsung menerpa ruang yang kosong dan
menimbulkan suara yang memekakkan gendang-gendang
telinganya. Mengetahui serangan ganas yang dilontarkan oleh si Katai Losi dapat di-elakkan oleh si
Maling Bosa dengan baik.
Si Katai Jola yang memang sudah sangat geram langsung kirimkan pukulan yang
sama. Pada saat itu dengan nekad si Maling Bosa memapaki.
Benturan dua tenaga sakti tak dapat dihindari lagi:
"Bumm!" Tubuh si Katai Jola terlempar bebarapa tombak, darah mengucur dari
hidung dan celah-celah bibirnya. Sedangkan si Maling Bosa cuma tergetar beberapa
saat lamanya. Nyatalah bagi mereka bahwa tenaga dalam si
Maling Bosa ternyata dua tingkat di atas si Katai Jola. Demi melihat kejadian
ini, si Katai Losi gusarnya bukan, alang kepalang. Beberapa saat berikutnya dia
segera merapal ajian Mulih Pati yang terkenal dahsyat. Mengetahui hal itu Maling
Bosa bergumam: "Hmm, Ajian Mulih Pati! Aku jadi ingin melihat kehebatannya...!"
"Kau tak akan sempat melihat maling
keparat, karena sebentar lagi engkau segera berangkat keliang kubur...!" Bentak
si Katai Jola, tahu-tahu sudah menyerangnya kembali dengan jarak yang begitu
dekat. Serangan yang mendadak itu bagi si Maling Bosa sudah tak mungkin untuk
dikelit. Dengan sangat penasaran, maling Bosa hantamkan kedua tangannya atas dan
bawah. Kedua tangan itu pun beradu! Si Katai Jola berteriak
kesakitan, dia menyurut sampai beberapa tombak, mukanya nampak pucat pasi, Sadarlah
dia tak mungkin bakal unggul menghadapi si Maling Bosa. Sementara itu si Katai Losi sudah siap-siap dengan
ajian Mulih Pati.
Kedua belah tangannya telah mengepulkan uap kebiru-biruan, lama-kelamaan kabut
biru itu mulai membungkus tubuh si Katai Losi. Hingga kini
tubuh itu tak ubahnya bagai bayang-bayang berkabut. Sesungguhnya satu kesalahan
telah dilakukan oleh si Maling Bosa. Andai saja tadi dia tidak terpancing oleh
serangan Katai Jola. Akan tetapi sebaliknya malah menyerang si Katai Losi yang
sedang berkosentrasi merapal mantra. Sudah barang tentu manusia kerdil ini tidak
sempat mempergunakan Ajian Mulih Pati. Setidak-tidaknya dia masih punya banyak
kemungkinan untuk
merobohkan kedua orang ini. Akan tetapi kini keadaannya sudah sangat kasib. Dan
Maling Bosa pun sudah menyadari akan makna ilmu iblis yang benar-benar sangat
berbahaya itu. Dia sudah tidak mempunyai peluang untuk bertarung dalam jarak
rapat. Bahkan tersentuh pun kalau masih mungkin harus dihindari. Tiada pilihan
lain bagi si Maling Bosa. Cepat-cepat dia lolos sebilah keris dari pinggangnya.
Begitu si katai Losi memburu ke arahnya,
dengan cepat Maling Bosa kiblatkan keris di tangannya, senjata di tangannya
menghembuskan bau
yang menyesakkan pernafasan lawan- lawannya. Sebentar saja keris berlekuk tujuh itu sudah
menggulung si Maling Bosa, dan membentuk satu pertahanan yang sangat sulit
untuk dicari titik kelemahannya. Kedua Katai itu memaki panjang pendek. Si Katai
Losi segera maklum, kalau usaha mereka bakal sia-sia dalam menembus
benteng pertahanan lawan yang demikian ketat dalam melindungi diri. Di benaknya cuma ada satu jalan untuk
merobohkan lawan dalam waktu secepat mungkin. Cara licik! Cuma itulah yang ada
dalam pikiran si kerdil bangsat itu!
Si Katai Losi segera member! isyarat pada adik seperguruannya.
Agaknya si Katai Jola .sudah mengetahui
makna isyarat tersebut. Maka dengan cepat dia kembali
lancarkan serangan-serangan
ganas. Sementara itu si Katai Losi nampak memberi kelonggaran pada lawannya.
Keris lekuk tujuh di tangan si Maling Bosa laksana seekor ular cobra yang
meliuk-liuk sangat cepat
dan begerak kian kemari. Terkadang bergerak sebat menusuk pada bagian lambung, terkadang menderu menusuk ke pangkal
leher! Semua itu terjadi berturut-turut cepat bagaikan kilat. Betapapun si Katai Jola
percepat garakan-gerakan silatnya, namun tetap saja si Katai Jola dibikin
terdesak dan tak sanggup menembus pertahanan lawannya. Kini si Katai Jola segera
rubah permainan silatnya, dia kembali lancarkan serangan-serangan yang lebih
dahsyat dan gencar.
Bahkan dia telah kerahkan segenap kemampuanya. Semua itu dia lakukan adalah dengan maksud untuk memberi peluang
pada si Katai Losi lancarkan pukulannya di tubuh lawannya. Menghadapi serangan yang datangnya bertubi-tubi, mau tidak mau Maling
Bosa curahkan segenap perhatiannya pada si Katai Jola. Tanpa dia sadari telah
bersiap-siap pula si Katai Losi dengan pukulan mautnya.
* * * 10 Si Maling Bosa semakin terseret dalam
pertarungan jarak dekat dengan si Katai Jola. Pada saat dia lengah seperti
itulah si Katai Losi memukul dari bagian belakang. Tak terelakkan lagi:
"Buk!" Pukulan yang begitu telak dialiri tenaga
dalam yang sempurna dengan berlambarkan Ajian Mulih Pati. Membuat tubuh si Maling Bosa tersungkur ke depan.
Tiada keluhan yang terdengar dari mulut si Maling Bosa yang menyemburkan darah
segar. Napasnya nampak tersendat-sendat, sementara kedua bola matanya memandang
pada kedua orang perempuan katai yang kini nampak tergelak-gelak. Begitu pun
tiada dendam yang terpancar dari kedua bola matanya yang kian meredup. Di lain
pihak agaknya si Katai Losi merasa kurang puas dengan apa yang telah dialami
oleh lawannya. Sesaat kemudian dengan lengkingan dahsyat dia bermaksud
mengakhiri hidup musuhnya yang sudah nampak sekarat.
Pada saat-saat yang sangat keritis itu, mendadak sebuah bayangan merah
berkelebat. "Plak! Plak!" Si Katai Losi terlempar beberapa tombak dengan dada bagai terinjak ribuan gajah. Begitu dia menoleh
tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pemuda yang sangat tampan., Si
pemuda memandang padanya dengan sinar mata penuh kebencian. Tanpa
menghiraukan kedua orang katai itu, si pemuda segera melangkah menghamphri si
Maling Bosa yang sudah nampak sekarat. Si pemuda yang tak lain adalah Buang
Sengketa adanya segera berjongkok. Lalu diperiksanya urat darah yang berada di pergelangan si Maling
Bosa. Lemah! Agaknya sudah tiada harapan untuk hidup bagi si Maling Bosa. Mata si Maling Bosa
yang sudah meredup
itu nampak sedikit terbuka dan memandang sayu pada Pendekar Hina Kelana.


Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan bersusah payah dia berkata pelan sekali:
"0... rang muda yang baik! Agaknya hidupku sudah tidak lama lagi, di tengah
rawa-rawa itu ada seorang gadis murid sahabatku... Selamatkan lah dia! Dan cari
tau siapa sesungguhnya yang telah mencuri senjata pusaka milik berbagai
perguruan itu...!" ucapnya. hampir-hampir tak terdengar.
Pendekar Hina Kelana menjadi sangat iba, lalu cepat-cepat dia bertanya:
"Orang tua! Engkaukah yang bergelar si Maling Bosa?" tanya Pendekar Hina Kelana
sangat gugupnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, tanpa menjawab dia menggangguk.
"Aku sudah menemukan...!" Buang Sengketa sudah tak
sempat meneruskan kata-katanya
karena sesaat kemudian kepala si Maling Bosa sudah terkulai, nyawanya melayang
saat itu juga. Bukan main menyesalnya Pendekar Hina Kelana.
Dia memaki diri sendiri! Mengapa tidak sejak tadi dia turun tangan membantu
laki-laki arif itu"
Bahkan dia tak menyangka kalau kedua katai itu memiliki ilmu setan yang sangat
ganas. Kini tanpa sadar
dia beranjak berdiri, kemudian dipandanginya wajah kedua perempuan katai itu silih berganti. Kedua matanya
nampak memerah saga.
Hawa kesadisan sebentar
saja sudah menyatu dalam jiwanya yang agak terguncang.
"Bangsat rendah pengecut! Tiada sedikit pun perasaan iba di dalam hatimu...!"
geram Buang Sengketa memendam amarah yang dalam.
Si Katai Losi menyadari kalau pemuda ini
memiliki tenaga dalam tidak jauh terpaut darinya,
bahkan dalam adu tenaga dalam yang tanpa
disengaja tadi dia sempat merasakan tangannya bagai membentur dinding baja.
Tangan bagai kesemutan. Lebih dari itu tubuhnya terlempar beberapa tombak dan
muntahkan darah segar.
Maklum akan kehebatan pihak lawan, akhirnya dia berkata lirih.
"Bocah! Ada sangkut paut apakah engkau dengan si Maling Bosa, sehingga berani
sekali engkau mencampuri urusan kami?"
"Kerdil celaka! Tindakanmu yang sangat telenggas
saja sudah membuat aku harus menghapus nama Perguruan Sangga Langit hari ini juga! Masihkah kau pura-pura tak
tahu...?" Bentaknya marah.
"Budak hina! Si Maling Bosa telah mencuri senjata pusaka milik perguruan kami,
haruskan kami tinggal diam!" Si Katai Jola menimpali.
Semakin bertambah gusarlah Pendekar
Hina Kelana di buatnya.
"Manusia sial mata picak! Sebaiknya ku
korek biji matamu yang tinggal satu itu biar kau rasakan betapa gelapnya dunia
ini...!" Si Katai Losi tertawa ngakak, cepat-cepat dia menyela: "Bocah edan
kiranya engkau belum tahu siapa kami...!"
"Jahanam! Kalau begitu harus memenggal kepala kalian saat ini juga!" Tiba-tiba
Buang Sengketa menyurut satu langkah, kemudian sekali tangannya berkiblat
selarik gelombang berhawa panas luar biasa menderu mengarah pada kedua manusia
katai itu. Cepat-cepat kedua perempuan katai itu mengelak kesamping kiri dan
kanan. Si Katai Losi terkejut sekali begitu hawa pukulan yang teramat panas
menyambar bagian kakinya.
Belum lagi hilang keterkejutan perempuan kerdil itu lenyap. Kembali gelombang
Sinar Ultra Violet menderu dan melabrak ke arah mereka. Kedua perempuan katai
itu di buat kalang kabut, bahkan tak
diberi kesempatan sama sekali untuk membalas. Karena datangannya serangan itu bertubi-tubi bagai gelombang samudra.
Mau tak mau demi menyelamatkan nyawanya, kedua orang ini memapaki serangan
lawannya. Dengan nekad kedua perempuan katai ini lancarkan satu pukulan jarak
jauh. Seberkas cahaya berwarna
biru keungu-unguan melesat cepat dari telapak tangan kedua lawannya. Satu benturan
yang sangat keras sudah tidak dapat dihindari lagi ketika kekuatan sakti itu
saling berbenturan.
"Blam! Blam!" Tubuh si Katai Jola terlempar sepuluh tombak dan langsung muntah
darah, sedangkan Katai Losi nampak terjengkang tujuh tombak dengan posisi tubuh
tunggang langgang.
Akan tetapi dia cepat-cepat bangkit kembali, wajahnya pucat pasi. Nyalinya
bahkan semakin ciut begitu melihat lawannya masih tetap tegar berdiri
tanpa kekurangan suatu apapun. Perempuan katai itu kemudian mengerung bagai harimau tua terluka:
"Kunyuk hijau keparat! Sebentar lagi engkau akan merasakan bagaimana hebat ajian
Mulih Pati yang telah merenggut nyawa si Maling Bosa! Dan kaupun
akan mendapat giliran berikutnya. Mendengar ucapan si Katai Losi, Pendekar Hina Kelana tertawa rawan.
"Menyesal sekali bangsat kerdil! Sebelum niatmu
itu kesampaian kepalamu sudah menggelinding terlebih dulu!" Ejek pendekar Hina Kelana.
"Cunguk sombong! Mulutmu kelewat takabur...!" Si Katai Losi membentak.
"Kita lihatlah nanti:..!" Serentak dengan itu perempuan katai sudah alirkan
sebagian tenaga dalamnya ke ujung jemari tangannya. Tangan itu
tergenggam dengan erat, sementara mulutnya nampak berkemik-kemik membacakan
mantra, Ajian Mulih Pati.
Buang Sengketa tidak memberi kesempatan
pada si Katai Losi untuk bertindak lebih jauh.
Didahului oleh satu bentakan nyaring, Pendekar Hina Kelana pukulkan tangan
kirinya ke arah si Katai Losi, sementara tangan kanannya begitu cepat menyambar
senjata pusaka yang terselip di pinggangnya. Kedua perempuan katai itu nampak
terkejut sekali, begitu mereka melihat sebuah golok
Buntung di tangan Buang Sengketa memancarkan sinar kemerah-merahan. Tiba-tiba mereka merasakan hawa dingin yang
luar biasa. Sementara mulut Pendekar Hina Kelana telah keluarkan
bunyi mendesis-desis bagai suara seekor Ular Piton yang sedang marah. Belum lagi hilang
kejut mereka, pemuda itu telah menyerangnya dengan ganas sekali. Pedang di tangannya
berkelebat cepat, membentuk gelombang sinar merah menyala yang tiada henti.
Tubuh kedua katai itu nampak menggigil merasakan hawa dingin yang keluar dari senjata di tangan lawannya. Cepat-cepat
kedua orang ini membentangi
diri dengan jurus Kuakkan Tempurung Mencatok Cacing. Kedua orang ini bergerak cepat berusaha menghindari
babatan senjata pusaka lawannya. Namun secepat apa pun gerakan si katai ini,
golok di tangan Pendekar Hina Kelana bergerak lebih cepat lagi.
Satu sat si katai Losi bermaksud menyarangkan Ajian Mulih Pati itu mengarah pada bagian dada si pemuda. Kiranya
hal itu tidak luput dari perhatian Buang Sengketa yang memang sedari
tadi lebih cenderung memperhatikan gerakan si Katai Losi yang di kenalnya sebagai sangat berbahaya. Begitu tangan
si katai meluncur deras
dan hampir-hampir sampai pada sasarannya, secepat kilat golok di tangan Buang Sengketa berkelebat. katai Losi
yang tidak mengira bahwa gerakan golok di tangan lawan bisa
berkiblat secepat itu, sudah tak dapat menarik tangannya lagi. Tak aval!
"Cras!" si Katai Losi melolong setinggi langit.
Tangan kirinya terbabat sebatas siku, kutungan tangan mencelat jauh sampai tiga
tombak. Darah memancar deras dari luka yang mengerikan.
Cepat-cepat dia menotok urat darah untuk mencegah keluarnya darah lebih banyak lagi.
Sementara itu si Katai Jola mengetahui kakak
seperguruannya kena dilukai oleh lawannya. Lumerlah nyalinya. Meskipun dia masih menyerang si pemuda akan tetapi hanya
setengah hati. Sebab apa
yang ada di dalam benaknya adalah bagaimana caranya untuk bisa kabur secepatnya.
Dalam pada itu si Katai Losi yang memang sudah sangat nekad, kembali kirimkan
pukulan-pukulan dahsyat dengan sebelah tangannya. Pendekar Hina Kelana putarkan
badan, kemudian diiringi dengan bunyi mendesis yang berkepanjangan, tubuhnya
berkelebat sedemikian cepatnya, hingga tinggal merupakan bayang-bayang merah
saja. Si Katai Losi maupun si Katai Jola benar-benar dibuat kelabakan. Satu saat
tubuh Pendekar Hina Kelana melesat ke udara, kemudian dengan disertai jerit
melengking tubuhnya lebih cepat lagi menungkik.
Satu babatan yang cukup telak dia lancarkan mengarah pada bagian kepala si Katai
Losi. Perempuan kerdil itu agaknya tidak menyadari apa yang bakal menimpa dirinya.
Namun begitu dia merasakan ada angin yang menyambar mengarah dirinya, cepat-
cepat dia coba menghindar. Akan tetapi golok di tangan Buang Sengketa malah dua
kali lebih cepat.
"Prook!" Kepala si Katai Losi terbelah dua, darah dan otak berhamburan ke mana-
mana. Hanya bola matanya saja yang nampak melotot bagai mau meloncat keluar.
Sesaat lamanya si Katai Jola terkesima,
seolah dia tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Buang Sengketa yang sudah
kalap itu sudah tidak memberinya kesempatan lagi. Kembali Pendekar Hina Kelana
babatkan golok Buntungnya.
Si Katai Jola buang tubuhnya ke samping begitu merasakan ada angin dingin
menyambar pada bagian tubuhnya. Belum lagi dia sempat bangkit, lagi-lagi golok
di tangan Pendekar Hina Kelana menderu dahsyat mengarah pada bagian leher.
Dalam keadaan terjepit seperti itu, si Katai Jola sangat gugup dan tangkis
sambaran golok dengan kedua tangannya.
"Cras! Cras!" Tangan si Katai Jola terkutung menjadi beberapa bagian, perempuan
itu menjerit-jerit bagai orang gila karena menahan rasa sakit yang teramat
sangat. Wajahnya nampak pucat pasi, tubuh menggigil ketakutan. Pendekar Hina
Kelana yang sudah gelap mata, tiada sedikit pun memberinya ampun. Diburunya si
Katai Jola dengan senjata menderu-deru! Kemudian diawali
dengan teriakan menggelepar senjata di tangan Pendekar Hina Kelana berkelebat
kembali! "Cras!" Kepala si Katai Jola menggelinding ke atas tanah, bagai mata air, darah
memancar dari leher si Katai Jola yang terkutung. Beberapa saat tubuh yang sudah
tiada berkepala itu nampak menegang, kemudian terhuyung-huyung ke depan.
Tak berapa lama setelahnya tubuh si katai itu pun ambruk ke bumi. Sesaat lamanya
Pendekar Hina Kelana memandangi tubuh yang berlumuran darah itu. Begitu dia
teringat pada pesan si Maling Bosa tentang gadis yang berada dalam gubuk
miliknya di tengah rawa, cepat-cepat dia bondong tubuh si Maling Bosa yang sudah
kaku itu. Secepat itu pula tubuhnya
berkelabat ringan menuju Rawa Kematian. * * * 11 Setelah mengurus mayat si Maling Bosa dan selesai menguburkannya, pendekar Hina
Kelana dan

Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Sekar Tanjung segera memberi penghormatan yang terakhir pada si Maling Arif yang tewas di tangan si Katai
Losi yang dengan cara yang sangat menggenaskan itu. Hari telah menjelang senja
ketika mereka meninggalkan Rawa Kematian untuk meneruskan perjalanan menuju
Karang Hantu. Sepanjang perjalanan, Dewi Sekar Tanjung bercerita banyak tentang
kehidupan si Maling Bosa yang terkenal sebagai seorang yang arif. Bahkan gadis
yang sangat cantik itu pun mengaku dengan terus terang bahwa semula dia juga
bermaksud membunuh
laki-laki itu, hingga kemudian dia membatalkannya.
Tanpa terasa belantara Bukit Manoreh telah jauh terlampaui. Setelah melewati
hutan gundul yang cukup luas. Malam sudah menjelang, bulan purnama di atas sana
nampak bersinar cerah.
Nampaknya kedua orang ini akan melewatkan
malam tanpa istirahat. Kedua orang ini terus terlibat percakapan, sesekali
terdengar derai tawa mereka meningkahi sunyinya malam. Dan sesekali pula tanpa
sepengetahuan Pendekar Hina Kelana, Dewi Sekar Tanjung mencuri pandang pada si
pemuda yang berjalan tenang di sisinya. Diam-diam dia mengagumi ketampanan
Pendekar Hina Kelana. Cuma ada sesuatu yang membuat hati si gadis kurang suka
pada pemuda itu. Yaitu periuk besar yang tergantung di bahunya. Periuk itu hanya
mengesankan bahwa si pemuda orang yang sangat
rakus dengan makanan, atau pula merupakan seorang kelana yang takut mati
kelaparan. Lebih dari itu pakaian merah yang dikenakannya dan sangat lusuh pula,
hanya akan memberi
kesan pada setiap mata yang memandangnya bahwa pemuda ini orang yang
jorok bahkan boleh di kata bagai bapak moyangnya gembel! Tiba-tiba Dewi Sekar Tanjung merutuk dirinya habis-habisan.
Guoblook, tolol!
Mengapa pula dia harus memikirkan pemuda
gembel ini" Bukankah dia sudah di jodohkan dengan Baya Swara yang juga masih
merupakan kakang seperguruannya
sendiri. Baya Swara merupakan orang yang sangat baik dan penyabar,
lebih dari itu kesetiaan pemuda itu tidak perlu diragukan lagi! Lagi-lagi Dewi
Sekar Tanjung memakin dirinya sendiri habis-habisan. Dalam pada itu tiba-tiba
Pendekar Hina Kelana bertanya:
"Apakah kita masih jauh untuk sampai ke Karang Hantu..."!" Dewi Sekar Tanjung
agak tergagap, dan seketika itu juga buyar segala lamunannya.
"Apa katamu Pendekar?"
Buang Sengketa tersenyum getir begitu
Dewi Sekar Tanjung menyebut dirinya pendekar.
Buru-buru dia menyela: "Aku bukan pendekar!
Namaku si Hina Kelana, panggil saja begitu...!"
"Baiklah, kalau hal itu memang sudah maumu...! Oh ya, kau tadi bilang apa?"
tanya Dewi Sekar Tanjung bloon. Buang Sengketa tersenyum lagi.
"Itu makanya jangan melamun terus! Kalau kubawa engkau ke jurang di depan sana
apakah bukan kematian bagimu...!"
"Sekarang ini kita sudah sampai di mana...?"
sambungnya lagi. Sesaat lamanya Dewi Sekar Tanjung memandangi kanan kiri, tiba-
tiba dia tersurut mundur, lalu seperti pada dirinya sendiri:
"Celaka! Kita sudah berada di wilayah Sarang Iblis Neraka...!" ucapnya penuh
kejut. "Bukankah tempat ini yang kita tuju...?"
kata Buang Sengketa keheranan.
"Hati-hati Kelana! Malam hari Karang Hantu bisa
berubah menjadi medan yang sangat mengerikan...!"
Dewi Sekar Tanjung coba mengingatkan Pendekar Hina Kelana. Belum lagi Dewi Sekar Tanjung sempat menarik
nafas, pada saat itu juga secara mendadak terdengar bunyi bergemuruh di kanan
kiri bukit-bukit karang. Gadis itu memekik ketakutan. Tak lama kemudian
terdengar pula bunyi bergemerincing yang sangat ramai sekali. Batu-batu
berjatuhan, bersamaan dengan itu pula terdengar langkah-langkah kaki yang begitu
berat bahkan menggetarkan tempat sekitarnya.
"Kelana! Makhluk-makhluk apakah itu...!"
pekik Dewi Sekar Tanjung lalu menunjuk ke arah satu tombak
di depannya. Serentak Buang Sengketa palingkan wajah! Pemuda ini berseru tertahan begitu melihat beberapa
sosok makhluk raksasa telah berdiri mengepung mereka berdua.
Makhluk-makhluk raksasa yang berujud manusia itu memiliki tinggi hampir empat
kali lipat dengan
tinggi badan kedua orang ini. Dada mereka yang tiada mengenakan pakaian nampak
berbulu sangat lebat.
Tampang bengis, wajah berewokan. Sementara jemari tangan mereka berkuku panjang-panjang. Makhluk-makhluk raksasa itu menyeringai
ganas pada kedua orang ini. Tampaklah taring-taring yang cukup panjang dan mengerikan.
"Tempat ini benar-benar merupakan sebuah neraka tempat tinggalnya para
iblis...!" gumam Pendekar Hina Kelana tanpa sadar.
"Siapakah kalian ini! Minggir, kami mau lewat...!" bentak Pendekar Hina Kelana
pada makhluk-makhluk yang sangat mengerikan itu.
Mendengar bentakan si pemuda, makhluk-makhluk raksasa itu saling pandang
sesamanya. Tak berapa lama kemudian dengan lidahnya yang terjulur-julur.
Serentak makhluk-makhluk mengerikan ini tertawa-tawa secara bersamaan. Suara
tawa mereka yang besar dan parau telah meruntuhkan batu-batu besar di tebing
bukit karang itu. Mau tak mau Dewi Sekar Tanjung maupun Pendekar Hina Kelana
demi menghindari
tertimpanya tubuh mereka dari batu-batu yang hampir sebesar
kerbau. Pendekar Hina Kelana memaki habis-habisan.
"Jahanam! Makhluk-makhluk raksasa ini bisa mencelakakan kita...!"
"Sebaiknya kita cari kesempatan untuk melarikan diri...!" Dewi Sekar Tanjung
menimpali. Pendekar dari Negeri Bunian ini gelengkan kepala.
Kemudian dia berkata tegas.
"Apapun kehadiran mereka di tempat ini!
Yang jelas makhluk-makhluk
ini merupakan suruhan seseorang. Dan yang lebih pasti lagi, mereka ini hanyalah makhluk
siluman...!"
"Dari mana engkau tahu...?" tanya Dewi Sekar Tanjung keheranan.
"Bau mereka, itu yang menjadi pedomanku,..!" Dalam pada itu tiba-tiba saja.
"Kelana awas... makhluk-makhluk
itu menyerang kita...!" kata Dewi Sekar Tanjung berseru kaget. Memang benar apa yang
dikatakan si gadis, makhluk-makhluk
mengerikan itu langsung menyerang mereka berdua, meskipun gerakan mereka nampak ringan saja
akan tetapi tubuh mereka enam kali lebih besar bila di bandingkan tubuh pendekar
Hina Kelana, maka serangan
yang nampak asal-asalan itu menimbulkan deru yang sangat memekakkan
telinga. Buang Sengketa berkelit, kemudian secara cepat menyambar tubuh Dewi
Sekar Tanjung sambil berseru lantang.
"Untuk sementara kau tinggallah di dalam periukku!
Makhluk-makhluk
jahanam ini kelihatannya sangat buas sekali...!"
Tanpa menghiraukan ronta dan jerit si gadis, Buang Sengketa segera masukkan tubuh Dewi
Sekar Tanjung ke dalam periuknya. Cepat-cepat pemuda ini tutup kembali
periuknya. Anehnya meskipun tubuh Dewi Sekar Tanjung terbilang cukup besar, akan
tetapi ruangan dalam periuk itu mampu menampung tubuhnya.
Sementara itu makhluk-makhluk raksasa
telah mengeroyok Pendekar Hina Kelana secara beramai-ramai. Dalam waktu hanya
sekejap saja terjadilah pertarungan yang tak seimbang antara makhluk-makhluk
raksasa melawan Buang Sengketa. Bagi makhluk-makhluk yang tak dapat berbicara ini, tubuh Pendekar Hina
Kelana tak ubahnya bagai seekor anak ayam melawan bapak moyangnya musang. Nampak
sangat kecil dan sangat
tidak seimbang. Makhluk-makhluk
ini sambil membungkuk terus mencecar Buang Sengketa. Mereka nampak sangat geram begitu lawannya yang kelihatan sangat
kerdil ini dengan sangat cepatnya berkelit dan bergerak lincah kian ke mari.
Lama-kelamaan mereka menjadi jengkel, kaki-kaki
mereka menimbulkan gempa
yang sangat hebat. Batu-batu di atas tebing kembali berjatuhan ke segala arah.
Sedapat-dapatnya Buang Sengketa berusaha mengelakkan benda-benda tersebut.
Biarpun banyak di antara batu-batu yang sangat tajam itu menimpa tubuh
makhluk-makhluk
itu sendiri, akan tetapi sedikitpun tidak berpengaruh pada mereka. Bahkan makhluk-makhluk ini nampak semakin berutal dan genas.
Beberapa saat kemudian Pendekar Hina
Kelana nampak terdesak hebat, jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra yang terkenal sangat sempurna inipun nampak
menjadi tak layak untuk dipergunakan. Tak ayal lagi, si pemuda segera rubah
jurus-jurus silatnya, tubuh pemuda itu berkelebat sedemikian hebatnya. Satu
kesempatan yang sangat baik dia menyurut
beberapa tombak, makhluk-makhluk itu secara beramai-ramai memburunya. Pada saat
itulah Pendekar Hina Kelana melepaskan pukulan Empat
Anasir Kehidupan. Secepat kilat tangannya berkiblat, secepat

Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu pula menderu selarik
gelombang sinar Ultra Violet yang panas luar biasa meluruk ke arah makhluk-
makhluk itu. Akan tetapi lebih cepat lagi. Makhluk-makhluk ini kirimkan satu
pukulan pula. Delapan gelombang sinar biru
menyala melesat pula dari jemari tangan delapan raksasa-raksasa itu. Benturan
tenaga sakti tidak dapat dihindari.
"Blang!"
Tubuh Pendekar Hina Kelana terpelanting delapan tombak, darah meleleh dari celah-celah bibirnya. Si pemuda
segera menyadari, bahwa selain pukulan Empat Anasir Kehidupan tidak berpengaruh
apa-apa bagi makhluk-makhluk itu. Bahkan pukulan yang dilepaskannya membalik dan
hampir makan dirinya sendiri.
"Tobat!" Pemuda berkuncir ini memaki panjang pendek. Belum lagi dia siap dengan
posisinya. Makhluk-makhluk itu tanpa memberi ampun memburunya, kaki-kaki mereka
bergerak cepat dan menimbulkan gempa dan suara bergemerincingan. Karena memang di pergelangan kaki itu terdapat benda-benda
yang menyerupai mainan anak-anak. Pendekar Hina Kelana kembali berkelit
menghindari injakan kaki-kaki mereka,
lagi-lagi dia melepas pukulan-pukulan mautnya.
Akan tetapi seperti yang sudah-sudah, pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh
Pendekar Hina Kelana tidak berpengaruh apa-apa bagi makhluk-makhluk tersebut.
Buang Sengketa yang nampak sudah sangat terdesak, agaknya sudah tidak mempunyai
pilihan lain lagi. Dia cepat raba pinggangnya.
"Makhluk-makhluk terkutuk! Rupanya aku harus mengadu jiwa dengan kalian...!"
Raksasa-raksasa tiada menjawab, hanya terdengar derai tawa mereka saja yang
sangat memekakan
gendang-gendang telinga.
Tak lama kemudian, dengan diiringi jerit
tinggi melengking. Mengaunglah senjata di tangan Pendekar Hina Kelana bagai
suara auman puluhan harimau terluka. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat, senjata
di tangan menderu berkiblat laksana gelegar petir yang sambung menyambung tiada
henti. Secepat gerakannya lebih cepat pula pusaka Golok Buntung memburu mangsa-
mangsanya. Tiga kali senjata di tangannya menderu, tiga kali pula senjata itu mencapai
sasarannya. "Crat! Cras! Cras!" Tiga makhluk raksasa nampak roboh bagai ditebang. Terdengar
bunyi makhluk-makhluk
mengerikan ini nampak berkelojotan untuk kemudian tak berkutik lagi.
Beberapa saat berikutnya terjadi keanehan pula.
Secara mendadak mayat makhluk-makhluk itu raib tak
tentu rimbanya.
Bukan main marahnya
Pendekar Hina Kelana menyaksikan kejadian ini. Di lain
pihak demi mengetahui ketiga orang kawannya dapat dirobohkan oleh si pemuda, Lima raksasa lainnya menjadi sangat
murka. Secara beramai-ramai
mereka menerjang kembali. Pendekar Hina Kelana sudah nampak kalap
keluarkan bunyi mendesis, lalu putar Golok Buntung di tangannya laksana kilat.
Makhluk-makhluk itu agaknya menyadari kalau senjata di tangan lawannya sangat
berbahaya sekali. Untuk itu meskipun serangan-serangan mereka nampak gencar akan
tetapi nampaknya mereka sangat berhati-hati sekali. Pendekar Hina Kelana yang
sudah semakin tak sabar ini langsung kerahkan segenap kemampuannya. Begitu
makhluk-makhluk ini kembali menyerang dirinya dan kirimkan cakaran-cakaran
ganas, dia kembali kiblatkan senjata di tangannya. Tak terelakkan lagi, pusaka
Golok Buntung kembali menderu menyambar
makhluk-makhluk itu.
"Cras!" Makhluk-makhluk itu terhuyung-huyung,
darah bercucuran dari luka yang menganga. Akan tetapi sungguh aneh sekali, begitu makhluk-makhluk ini sapu-sapu
bagian-bagian yang terluka, darah seketika itu juga berhenti sama sekali, bahkan
bekas luka yang diderita oleh merekapun lenyap tanpa bekas.
Beberapa saat kemudian makhluk-makhluk itu menyerang kembali bagai tiada jera-
jeranya. Buang Sengketa kertakkan rahang.
"Benar-benar
bangsat siluman!" Gerutu pendekar Hina Kelana. Tiba-tiba
si pemuda melengking dahsyat, tubuhnya lenyap sama sekali.
"Nguuung!"
"Ctar! Ctar! Ctar!" Cambuk Gelap Sayuto pemberian si Bangkotan Koreng Seribu
ikut berbicara. Seketika itu juga bertiuplah angin topan. Petir menyambar
sambung menyambung, sebentar
saja bulan purnama yang tadinya bersinar cerah tiba-tiba menjadi redup karena tertutup awan hitam pekat. Tak
berapa lama kemudian suasana di sekitarnya menjadi gelap gulita. Tinggallah
cahaya kemerah-merahan yang terpancar dari kharisma pusaka Golok Buntung.
Dalam pada itu agaknya makhluk-makhluk
mengerikan ini sudah mulai kedodoran nyalinya.
Mereka nampak saling pandang sesamanya. Mata mereka saling kedip bagai kunang-
kunang di malam buta.
Buang Sengketa sudah tak perduli akan
semua itu. Golok di kanan cambuk di tangan kiri dan secara bersama-sama terayun
dan berkelebat ke segala penjuru.
"Ctar! Ctar! Ctar!" Makhluk-makhluk raksasa itu terpekik ketakutan, kemudian
berlarian ke segala arah. Sebentar saja makhluk-makhluk ini hilang tak tentu
rimbanya. Buang Sengketa mengerendeng lalu menarik nafas pendek. Cepat-cepat
dia buka tutup periuknya, kemudian mengerluarkan Dewi Sekar Tanjung dari dalamnya.
"Sudah aman!" ucapnya pendek.
"Sialan...! Aku sampai mau mampus kau sekap di dalam periukmu...!" kata Dewi
Sekar Tanjung menggerutu.
"Itu masih lumayan! Toh kulihat dendeng ikan lumba-lumba milikku nampaknya sudah
engkau sikat semuanya...!" sindir Pendekar Hina Kelana.
Dewi Sekar Tanjung tersipu malu. "Periukmu ini benar-benar ajaib! Bisa memuat
manusia sebesar aku!" Dewi Sekar Tanjung memuji, sedangkan pendekar Hina Kelana hanya
diam saja. * * * 12 Baru saja mereka bermaksud meneruskan
perjalanan demi mencari tempat persembunyian Nyaur Pati. Mendadak tanah tempat
mereka berpijak bergetar hebat. Batu-batu besar di kanan kiri tebing kembali
berjatuhan, sedapatnya mereka berlari-lari menghindar sambil melindungi diri
dari reruntuhan batu-baru tersebut. Pada saat itu pula terdengar
gelak tawa sambung-menyambung,
Buang Sengketa hentikan langkah kemudian
memandang berkeliling.
"Hak...! Hak...! Hak...! Akhirnya engkau datang juga di daerah kekuasaanku!
Engkau benar-benar seorang ksatria sejati. Lebih dari itu, sebagai seorang lawan
yang akan kukirim ke neraka rupanya engkau seorang yang baik budi engkau bawakan
aku seorang calon istri yang sangat
cantik sekali. Sungguh aku sangat beruntung malam ini...!"
Pendekar Hina Kelana yang memang sudah
sangat mengenali suara Nyaur Pati lantas menyahut. "Nyaur Pati bangsat terkutuk! Perhatikanlah dirimu, aku paling benci pada
seorang laki-laki yang punya watak pengecut...!" bentak Pendekar dari Negeri
Bunian ini. Kembali Nyaur Pati yang saat itu hanya terdengar suaranya saja
menyahuti. "Aku memang segera hadir di hadapanmu, dengan dua tujuan! Mengambil gadis itu
dan memenggal kepalamu...!"
"Puih! Siapa sudi pada manusia muka
setan...!" Dewi Sekar Tanjung menyela dengan wajah merah padam.
"Manusia buruk rupa, cepat-cepatlah perlihatkan diri! Kalau tidak aku akan hancurkan tempat persembunyianmu itu!"
"Baik... baiklah...!" Seusai dengan kata-katanya itu, tahu-tahu Nyaur Pati telah
berdiri di depan mereka berdua. Betapa terkejutnya hati Dewi Sekar Tanjung demi
melihat wajah Nyaur Pati yang sangat rusak itu, bahkan tanpa sadar dia sampai-
sampai menggit bibirnya. Buang Sengketa yang memang sudah mengenali wajah Nyaur
Pati pada waktu-waktu sebelumnya nampak tenang-tenang saja.
"Engkau tak perlu takut padaku nona manis!
Aku calon suami yang dapat membahagiakanmu
dan bahkan selalu dapat membawamu terbang ke Surga...!" kata
Nyaur Pati tersenyum tipis. Meskipun laki-laki itu tersenyum, akan tetapi senyumnya ini malah membuat
wajahnya yang ancur-ancuran itu nampak semakin mengerikan.
"Puh! Setan tua muka rusak! Siapa sudi pada orang sepertimu, sudah wajah tak
karuan. Menjadi maling senjata pusaka milik berbagai perguruan pula...!"
"Jangan kau hinakan calon suamimu sendiri!
Engkau harus percaya bahwa sekarang ini akulah jagoan rimba persilatan...!"
"Setan alas, bangsat rendah! Malam ini juga kami akan membikin hancur badanmu
yang busuk itu...!" bentak Dewi Sekar Tanjung sangat marah sekali. Sebaliknya
Nyaur Pati nampak tergelak-gelak.
"He... he... he......! Aku suka pada gadism yang galak! Engkau pasti sangat luar
biasa...!"
ucap Nyaur Pati dengan maksud-maksud kotor.
"Jahanam bangsat cabul! Malam ini juga aku akan hancurkan semua
kesombonganmu...!" tukas Pendekar Hina Kelana sudah tak dapat
lagi menahan kesabarannya.
Tanpa menghiraukan kata-kata Pendekar
Hina Kelana, sebaliknya dia menyela." Engkau tenang-tenang
sajalah Nona, aku hendak singkirkan penghalang kebahagiaan kita...!"
"Manusia terkutuk muka setan! Mampuslah...!" Tanpa buka-buka jurus, Pendekar Hina Kelana langsung kirimkan
satu pukulan dahsyat. Nyaur Pati terkekeh! Lantas dengan cepat samplokkan tangan
kanannya memapaki serangan Empat Anasir Kehidupan. Bagai menerpa dinding saja
memakan tubuhnya sendiri. Pemuda ini semakin panjang pendek. Lagi-lagi Nyaur
Pati tergelak-gelak.
"Di wilayah kekuasaanku apa yang dapat kau lakukan orang muda...!" kata Nyaur
Pati tertawa mengejek. Sebagai jawabannya, Pendekar Hina Kelana kirimkan pukulan
si Hina Kelana Merana. Seberkas sinar merah menyala menderu dahsyat meluruk
tubuh si Nyaur Pati yang masih memandang
rendah pada pukulan yang dilancarkan oleh pihak lawannya. Begitu gulungan sinar merah itu hampir melabrak
tubuh Nyaur Pati.
Laki-laki berwajah sangat rusak itu menangkis:
"Blaar!" Tubuh Nyaur Pati terbuntang, lalu berserosotan dan terpelanting jauh.
Kini balik Buang Sengketa yang tertawa
mengekeh. Cepat-cepat Nyaur Pati bangkit, kemudian menghapus darah kental yang

Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlelehan dari celah ke dua bibirnya. Kedua bola matanya memandang pada si
pemuda dengan penuh kebencian.
"Bangsat... kiranya engkau berkepandaian juga, budak...!" geramnya. Bersamaan
dengan itu Nyaur Pati langsung menerjang dan kirimkan pukulan-pukulan ganas.
Dalam waktu sekejap saja pertarungan sudah mencapai puluhan jurus. Nyaur Pati
agaknya menyadari bahwa lawannya tidak dapat dianggap sembarangan. Tak ayal
lagi, dia kerahkan
segenap kemampuannya. Satu kesempatan yang baik, dia lancarkan satu pukulan Hantu Karang Menyergap Mangsa.
Satu gelombang angin topan yang berhawa sangat dingin meluruk ke arah Pendekar
Hina Kelana. Pemuda inipun maklum kalau pukulan yang dilancarkan oleh Nyaur Pati
merupakan pukulan yang sangat
dahsyat dan terkenal ganas. Cepat-cepat dia kiblatkan tangannya, satu gelombang
sinar merah menyala melesat dari kedua tangannya. Benturan tenaga sakti dari
kedua pihak yang sama-sama, ingin secepatnya mengakhiri lawan. Terjadi!
"Blar!"
Tubuh Nyaur Pati terhuyung beberapa tindak ke belakang, sementara tubuh Pendekar Hina Kelana terpelanting
roboh. Dada terasa remuk, darah menyembur dari mulut dan hidung Pendekar Hina
kelana. Dewi Sekar Tanjung demi mengetahui kejadian itu terpekik tertahan dan
bermaksud memburu ke arah Nyaur Pati
dengan pedang terhunus. Nyaur Pati terkekeh dan langsung menyela: "Engkau tak
pantas melayaniku dalam
pertarugan ini! Engkau lebih pantas melayaniku di tempat tidur saja...!" kata Nyaur Pati dengan tawa tergelak-gelak.
Dalam pada itu Pendekar Hina Kelana yang
baru saja selesai menghimpun hawa murni, sudah bangkit kembali. Setindak demi setindak dia
melangkah, kemarahannya benar-benar sudah mencapai puncaknya. Sementara kedua
matanya memandang dingin pada Nyaur Pati yang masih terus tergelak-gelak.
Kemudian dengan suara tergetar dia membentak: "Manusia dajal yang berjuluk Nyaur
Pati! Kalau hari ini aku tak dapat memenggal batang lehermu. Lebih baik aku
mengundurkan diri dari dunia persilatan...!" Demi mendengar ucapan Pendekar Hina
Kelana, manusia
buruk rupa ini mendengus dan tersenyum mengejek. "Kalaupun engkau mempunyai nyawa rangkap! Tidak nantinya engkau ungul menghadapi aku...!"
"Engkau terlalu sombong manusia muka ancur-ancuran...!" Bersamaan dengan
ucapannya itu, tubuh Buang Sengketa berkelebat lenyap. Kini hanya
tinggal bayang-bayang merah yang berseliweran kian ke mari. Nyaur Pati tak kalah hebatnya mengimbangi gerakan-
gerakan lawan sambil
lancarkan pukulan-pukulan
mautnya. Pertarungan berlangsung semakin seru. Agaknya Pendekar Hina Kelana sudah semakin
tak sabar lagi menghadapi lawan penyebar malapetaka ini.
Tak lama kemudian pemuda ini sudah menyurut beberapa langkah, Nyaur Pati terus
memburunya. Pendekar Hina kelana yang memang sudah
memperhitungkan
segala-galanya,
nampak kembali berkelebat dengan keluarkan bunyi mendesis bagai seekor Ular Piton yang sedang marah. Tak lama kemudian dengan
diiringi dengan jerit melengking dia sudah cabut senjata Pusaka Golok
Buntung yang sangat terkenal kedahsyatannya. Golok di tangan pemuda itu
langsung berkelebat cepat dan memancarkan sinar merah menyala. Udara di
sekitarnya mendadak berubah dingin. Nyaur Pati terkejut bukan main demi
merasakan pengaruh yang ditimbulkan dari pusaka yang tergenggam di tangan
lawannya. Akan tetapi dia sudah tidak dapat berpikir panjang lagi sebab golok di tangan
Pendekar Hina Kelana dengan sangat cepat telah menyambarnya.
"Cras! Cras! Cras!" Tubuh Nyaur Pati sudah tidak sempat terhuyung atau melolong
lagi, sebab tubuh manusia dajal itu telah terkutung menjadi tiga bagian. Bahkan
diapun tak sempat menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Tanpa ampun
tubuh yang telah terpotong menjadi tiga bagian itu langsung ambruk ke bumi
dengan keadaan yang sangat mengerikan.
Mengetahui kenyataan itu, bukan main
gembiranya hati Dewi Sekar Tanjung. Dia berlari-lari menghampiri Pendekar Hina
Kelana dan langsung memeluknya.
"Engkau hebat sekali Pendekar...!" ucapnya jujur sambil memberi satu ciuman
hangat pada Pendekar Hina Kelana. Si pemuda tersipu malu, wajahnya
berubah kemerah-merahan.
Secara halus dia menolakkan tubuh Dewi Sekar Tanjung.
Dan cepat-cepat dia mengalihkan perhatian.
"Lihatlah senjata-senjata yang berada di dalam bungkusan itu! Aku yakin senjata-
senjata inilah yang menjadi biang keributan selama beberapa purnama ini...!"
ujar Pendekar Hina Kelana sambil memeriksa satu bungkusan besar yang terletak
tak begitu jauh dari mayat si Nyaur Pati. Setelah bungkusan itu dibuka ternyata
memang benar didalamnya terdapat puluhan
senjata pusaka milik berbagai perguruan.
"Ini senjata milik perguruan kami, Kelana.
Sedangkan yang ini milik si Katai telah engkau bunuh itu! Yang ini... yang
itu... aku tak tahu...!"
ujar Dewi Sekar Tanjung kebingungan sendiri.
"Kalau begitu kita punya kewajiban untuk mengembalikannya...!"
"Kau benar! Kita memang wajib mengembalikannya pada yang berhak...!" Kata Dewi Sekar Tanjung tersenyum penuh
arti. Tak lama kemudian setelah membungkus senjata itu kembali, kedua orang ini
pun berlalu dari Neraka Karang Hantu.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Beno Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Manusia Srigala 5 Si Racun Dari Barat See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan Karya Jin Yong Sepasang Garuda Putih 4
^