Pencarian

Neraka Lembah Halilintar 1

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar Bagian 1


MISTERI NERAKA LEMBAH
HALILINTAR Oleh D. Affandy
Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis Dari Penerbit
Hak Cipta Ada Pada Penerbit Mutiara Jakarta D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 002:
Misteri Neraka Lembah Halilintar
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Beno Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Temaram mentari senja yang berwarna
kuning kemerah-merahan mulai membayangi
di ufuk Barat. Udara kemarau yang terasa
kering, berhembus enggan melintasi sebuah
kota kecil Mentoak yang kian hari kian sepi.
Mentoak yang kecil dan gersang itu kini
tak ubahnya bagai sebuah kota yang mati.
Hanya kadang-kadang saja kelihatan beberapa gelintir manusia melintasi kota
yang selalu memberi kesan angker. Semua
dari mereka menuju ke satu arah, namun
seperti para pendahulunya mereka ini pun
tak pernah kembali, hilang raib tak tentu
rimbanya. Sore itu serombongan pejalan kaki kembali hadir di Mentoak. Mereka terdiri dari lima laki-laki dan dua orang
perempuan yang masih sangat muda belia. Melihat kondisi
fisik mereka, agaknya rombongan ini yang
terdiri dari tujuh orang baru saja melakukan perjalanan
yang sangat jauh. Dari penampilan mereka sudah dapat di-duga
kalau mereka ini bukanlah orang-orang
sembarangan. Setidak-tidaknya mereka ini
adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang tinggi. Atau mungkin juga
mereka berasal dari beberapa perguruan yang ingin menuju ke suatu
tempat. Demikianlah begitu mereka berada di
tengah-tengah kota kecil Mentoak, hati
mereka diliputi tanda tanya. Mengapa kota
kecil itu terasa sepi, ke manakah perginya penduduk setempat" Mereka dengan hati
masih diliputi tanda tanya segera mencari
kedai penjual makanan dan juga mencari
sekedar keterangan yang mereka butuhkan.
Setelah berputar melalui beberapa lorong
akhirnya mereka menemukan sebuah kedai
penjual makanan seperti yang mereka inginkan. Tanpa mengenal rasa ragu
mereka segera memasuki kedai itu. Begitu sampai di dalamnya mereka segera mengambil
tempat di pojok ruangan, lalu segera duduk. Mereka nampak saling diam, namun dua orang
di antaranya yang mungkin juga merupakan
pemimpin rombongan. Segera saja mengedarkan pandangan ke segenap penjuru ruangan. Di salah
satu sudut ruangan pimpinan rombongan itu melihat
ada seorang kakek berpakaian rombeng,
rambutnya yang putih kecoklat-coklatan
serta kerut merut di wajahnya menandakan
bahwa kakek ini selain sudah sangat tua tapi juga sedang menderita beban batin
yang sangat berat. Begitu ketua rombongan ini
mengitarkan pandangannya lagi, di sudut
yang lain dia melihat dua orang laki-laki
berwajah angker nampak dengan sikap yang
acuh sedang melahap makanan pesanannya
dengan sangat rakus sekali. Mungkin juga
dua orang laki-laki ini mempunyai maksud
yang sama dengan rombongan itu. Menuju
ke suatu tempat. Laki-laki yang menjadi
ketua rombongan itu tidak tahu.
Kini laki-laki yang menjadi kepala rombongan itu kembali pada si kakek tua
yang sedang duduk menekuri meja, apa
yang menarik dari kakek tua itu adalah alat musik yang berupa kecapi yang
diletakkan di atas meja. Sesekali tangannya yang sudah
keriputan itu nampak gemetaran menyentuh
senar-senar kecapi yang sudah tua pula.
Sama seperti dua orang berwajah angker
yang berada di sebuah sudut yang lainnya, si kakek tua berpakaian rombeng ini
pun nampak acuh dengan kehadiran mereka.
Pada saat pimpinan rombongan itu sedang
berpikir tentang kakek tua ini, tiba-tiba saja pemilik kedai makanan itu
menghampiri mereka. Pimpinan rombongan itu agak terkejut begitu dilihatnya bahwa pemilik
warung itu adalah seorang gadis jelita
berkulit kuning langsat dengan wajah bulat telur. Gadis itu tersenyum ramah pada
mereka. "Bapak-bapak dan Nona-nona ini mau
pesan apa?" tanyanya masih dengan senyumnya yang ramah.
"Eee... tolong sediakan kami makanan
berikut beberapa guci nira...!"
Si pemimpin mengemukakan keinginan
mereka. Si gadis manggut-manggut.
Kemudian sambil melangkah pergi: "Tunggulah sebentar! Pesanan akan kami siapkan!" Gadis itu kemudian menghilang
di balik pintu dapur. Seperginya gadis itu salah seorang dari anggota rombongan
berbisik pada sesamanya:
"Tempat ini begini sunyi! Mungkin kita bisa
dapatkan keterangan dari pemilik warung ini, sekalian mencari tahu di mana
sebenarnya letak lembah itu adanya...!" ujar salah seorang yang berbaju biru
terung. "Tapi, kita juga butuh istirahat dan juga butuh penginapan...." sela salah
seorang gadis yang ikut dalam rombongan itu.
'Itu gampang! Nanti juga kita bisa
tanyakan pada orang itu...!" ujar yang jadi pimpinan menengahi. Sedang mereka
saling berbisik seperti itu, pemilik kedai kembali dengan membawakan pesanan mereka.
Lalu seolah mengerti dengan apa yang barusan
dibicarakan rombongan itu. Sambil meletakkan pesanan mereka, gadis jelita
berpakaian abu-abu itu menyela: "Daerah itu memang menyeramkan, Tuan dan Nona!
Penduduk banyak bepergian memburu yang
berlimpah ruah! Kalau Tuan-tuan butuh
penginapan, Tuan dan Nona bisa bermalam
di penginapan milik kami yang berada di
sebelah kedai ini! Dan kalau Tuan dan Nona bermaksud ambil bagian dalam
memperoleh harta karun itu, Tuan dapat pergi ke arah
matahari terbit! Jaraknya pun tidak jauh lagi dari Mentoak ini!"
Kata-kata si gadis walau hanya diucapkan dengan suara lirih saja, akan
tetapi cukup membuat rombongan ini sangat
terkejut. Mereka berfikir dari mana gadis
jelita ini bisa tahu maksud dan tujuan
mereka" Bukankah tadi mereka bicara berbisik-bisik, bahkan suara mereka lebih
lirih dari ucapan gadis barusan, dan lagipula mereka tidak pernah menyinggung
tentang keinginan dan tujuan mereka. Dengan hati
masih bertanya-tanya seperti itu tiba-tiba gadis itu bagai mengerti apa yang
sedang mereka fikirkan, menyela kembali:
"Tuan-tuan dan Nona-nona tentu heran
mengapa saya bisa berkata begitu!" ujarnya.
Kemudian tanpa peduli dengan rombongan
itu dia menyambung kembali.
"Biasanya orang yang melewati Mentoak ini, hanya mempunyai satu tujuan! Yaitu
ingin mengeruk emas permata yang tersimpan di dasar lembah itu." ujarnya masih dengan suara lirih.
Mendengar penjelasan gadis itu, tiba-tiba
saja yang jadi pimpinan rombongan menyela: "Kami hanya ingin tahu saja!
Bukan kemaruk untuk memiliki harta itu!"
bantah laki-laki yang jadi pimpinan rombongan. Gadis itu lagi-lagi tersenyum.
Sebuah senyum ramah yang masih penuh
dengan tanda tanya.
"Setiap orang yang singgah di kedai ini selalu berkata begitu! Tapi maaf hal itu
memang hak semua orang, dan saya cuma
berharap semoga anda sekalian bisa cepat
berhasil...!"
Setelah berkata begitu, gadis berpakaian


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

abu-abu itu berlalu meninggalkan mereka.
Sepeninggalan si gadis, mereka nampak
saling berpandangan. Akan tetapi tiada satu pun kata yang terucap. Dengan masih
diliputi penasaran
tak lama kemudian mereka segera melahap makanan yang tersedia.
Baru saja mereka sedang enak-enaknya
menikmati hidangan, tiba-tiba terdengar
petikan suara kecapi yang disertai syair-syair lagu:
Dunia sudah semakin tua
Bayi-bayi tercecer dan dibuang
bagaikan sampah
Ada bapak memakan anaknya
Orang tua terlunta-lunta merana
Nyawa tiada harga
Oh... nasib Apa yang kau cari di atas dunia
Harta benda yang tertinggal
Hanya membuat malapetaka
Hei, mahluk yang disebut Manusia
Kehadiranmu di atas dunia pana
Membuat malapetaka di mana-mana
Dan aku si tua papa
Tiada harga Penjaga harta tiada guna
Orang menjerit dalam penyesalan
Akan tetapi....
Aku hanya diam Tiada daya Demikianlah seiring dengan berakhirnya
bait-bait syair lagunya, si kakek tua itu
menghentikan petikan-petikan
kecapinya. Akan tetapi sungguh membuat heran orang-
orang yang berada di dalam kedai itu, sebab tak
lama kemudian si kakek pakaian rombeng nampak menangis bagai anak kecil.
Bahkan suara tangisnya semakin lama semakin keras. Agaknya si kakek bukanlah
orang sembarangan sebab begitu suara
tangis itu meninggi, semua orang yang hadir di situ merasakan adanya satu tenaga
gaib yang terasa menggetarkan jantung dan
pembuluh darah mereka. Dengan segera
rombongan yang terdiri dari tujuh orang itu yang ternyata juga memiliki
kepandaian sangat tinggi mengerahkan kemampuan mereka intuk melindungi diri. Pada saat itu pula terdengar suara bentakan
menggelegar di ruangan jitu. Begitu rombongan itu
menoleh tahulah mereka bahwa bentakan
tadi berasal dari dua orang berwajah angker berpakaian hitam-hitam. Sambil
membentak dua berwajah pucat itu menghampiri si
kakek. Kemudian setelah benar-benar berada di hadapan s i kakek, lagi-lagi salah
seorang berwajah pucat ini membentak: "Kakek tua berpakaian rombeng tiada guna!
Kami Si Kembar Dari Bukit Sumplung, selamanya
tidak pernah usil dengan orang lain. Akan
tetapi selalu muntah melihat ilmu picisan di pamerkan di hadapan kami?" tukas
salah seorang dari si Kembar sambil bertolak
pinggang. Tanpa menghiraukan ocehan si
Kembar sebaliknya si kakek berpakaian rom-
beng malah terkekeh.
"Huahaha...!
Sungguh kalian pintar menebak namaku. Aku memang Si Tua
Rombeng Tiada Guna. Tapi apa pedulimu aku
mau tertawa, menyanyi, menangis atau
bahkan merobek mulut kalian...!"
"Orang tua sombong! Sungguh lancang
sekali mulutmu...." Sambil berkata begitu si Kembar Dari Bukit Sumplung itu
kirimkan satu jotosan mengarah ke wajah Si Kakek
Rombeng. Serangan kilat itu demikian cepatnya hingga orang-orang dapat memastikan jotosan yang dilakukan oleh Si
Kembar Muka Pucat pasti tepat pada sasarannya. Lalu dengan sekali, "Prook!"
Remuklah batok kepala Si Tua Rombeng ini.
Akan tetapi di luar dugaan Si Kakek Rombeng dengan cepat berkelit. Jotosan Si
Kembar Muka Pucat menemui tempat yang
kosong, sebaliknya si kakek tanpa terduga-
duga mengirimkan satu serangan balasan.
Dengan ujung-ujung jemarinya yang bergemetaran dia menotok si Kembar dari
Bukit Sumplung ini. Pada saat itu juga tubuh orang berwajah angker ini menjadi
kaku bagaikan arca. Gerakan kakek yang begitu
cepat ini sudah barang tentu mengejutkan
rombongan yang turut menyaksikan kejadian
itu. Lain lagi halnya dengan si Kembar yang satunya lagi. Begitu mengetahui
saudara Kembarnya kena dikerjai oleh si kakek
berpakaian rombeng ini dia menjadi marah
luar biasa. Wajahnya yang pucat itu tiba-tiba saja berubah kelam membesi.
Sebaliknya Si Kakek Rombeng begitu mengetahui kemarahan si Kembar yang satunya ia malah
tertawa terkekeh: "Huahaha-ha... hahaha...
kau mau apa bocah! Ingin membela Kembaranmu?"
ucapnya sambil mempermainkan senar kecapi. Lalu si kakek
menyambung lagi, "Kepandaianmu
baru seusia jagung! Sudah berani berlagak di
depan Juru Kunci Lembah Halilintar...!"
Ucapan si kakek barusan sudah barang tentu sangat mengejutkan rombongan itu.
Sebab seperti yang mereka rencanakan. Sesungguhnya mereka sedang melakukan
perjalanan menuju Lembah Halilintar. Dan
kalau kini mereka ber-temu dengan juru
kuncinya bukankah merupakan satu kesempatan yang sangat baik. Untuk itu
mereka tidak akan turut campur pada urusan dua orang pucat dari Bukit Sumplung
ini. Sementara itu Si Kembar Muka Pucat
yang satunya karena dalam keadaan marah,
mana mau perduli dengan apa yang baru
saja diucapkan oleh Si Kakek Rombeng.
Sebaliknya dia malah balas membentak:
"Selamanya kami Si Kembar Dari Bukit
Sumplung tidak pernah usil dengan urusan
orang, tapi karena kau telah memulainya,
sekarang aku akan meremukkan batok kepala mu...!"
Kembali s i kakek terkekeh.
"Orang goblok... perjalananmu ke Lembah Halilintar saja nantinya akan membuat urusan yang berbuntut panjang
denganku... kau masih mau berdalih pada
juru kuncinya...?" s i kakek membentak.
* * * * * 2 Semakin bertambah merahlah wajah Si
Kembar Dari Bukit Sumplung ini. Dengan
gertakkan rahang: "Kalaupun kau seorang juru kuncinya setan iblis sekalipun,
jangan dikira aku jadi gentar...!" Seusai berkata begitu dia kirimkan satu
serangan kilat yang lebih
hebat dari serangan si Kembar pertama. Si kakek kembali terkekeh dan
hanya dengan bergeser sekali saja, lagi-lagi serangan si Kembar
kedua pun luput. Dengan gerakan yang sangat sulit untuk
dilihat kasat mata. Kembali si kakek melakukan tindakan yang sama. Si Kembar
kedua ini pun mengalami nasib seperti
saudaranya. Kemudian tanpa peduli si kakek angkat kecapinya, tak lama kemudian
dia melangkah pergi. Akan tetapi begitu dia
sampai di depan pintu kedai sejenak dia
hentikan langkah. Lalu tanpa berpaling si
kakek rombeng bergumam: "Manusia semakin lupa segala! Harta dunia malah
dipuja-puja." Lalu lanjutnya: "Kalau air nira berubah menjadi darah! Itu adalah
sebuah alamat celaka...!" Usai berkata begitu tanpa menoleh-noleh lagi si kakek
berkelebat pergi.
Suasana yang menjadi malam membuat
tubuhnya lenyap ditelan kegelapan. Sepeninggalannya
s i kakek nampak rombongan itu saling berpandangan

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesamanya. Mereka menduga ucapan si
kakek barusan mungkin saja dialamatkan
kepada rombongan itu. Begitulah ketika
pimpinan rombongan itu bermaksud menenggak habis nira yang tersisa di dalam bumbung, alangkah terperanjatnya
orang yang bernama Sudiro ini, melalui cahaya
lampu minyak dengan jelas dia dapat melihat bahwa air nira di dalam bumbung itu
benar-benar telah berubah menjadi darah. Begitu
anggota yang lainnya memperhatikan bumbung-nya masing-masing. Mereka ini
pun tak kalah kagetnya dengan Sudiro
"Kakang... nira di dalam bumbungku pun telah menjadi darah...!"
Laki-laki yang berpakaian biru terung ini
pun tersentak kaget.
"Punyaku juga... Kakang...?" sentak dua gadis yang menyertai rombongan itu
secara berbareng. Pimpinan rombongan yang bernama Sudiro ini pun kerutkan kening. Dia merasa sangat heran dengan kejadian
itu. Kalau ucapan si kakek rombeng itu saja
merupakan suatu kenyataan. Apakah nasib
celaka itu bakal menimpa diri mereka"
Membayangkan ucapan si kakek, tiba-tiba
saja bulu roma Sudiro meremang berdiri.
Bahkan perasaan ngeri menyelimuti hati
anggota rombongan yang lainnya. Akan
tetapi bagi Sudiro untuk bersurut langkah, paling
pantang baginya. Mereka sudah melakukan perjalanan yang teramat jauh,
hanya demi ingin membuktikan kebenaran
kabar burung tentang harta terpendam yang
tidak akan habis dimakan selama lima puluh turunan itu. Pada saat-saat hatinya
diliputi kebimbangan seperti itulah tiba-tiba saja si pemilik kedai datang
menghampiri mereka.
Akan tetapi begitu si gadis jelita ini melewati si Kembar dari Bukit Sumplung
ini. Anggota rombongan itu sempat melihat tangan si
gadis menyenggol tubuh si Kembar, dan
sangat mengherankan tiba-tiba saja si Kembar dari Bukit Sumplung itu segera
terbebas dari pengaruh totokan yang telah
dilakukan oleh si kakek rombeng. Merasa diri mereka telah ditolong, si Kembar
menjura hormat. Kemudian setelah membayar pesanannya, dua orang Kembar ini saling
berpandangan. "Bagaimana, Kakang...!" tanya salah seorang di antaranya.
Si Kembar satunya ditanya begitu gertakkan rahang.
"Kita harus kejar si kakek gombal amoh itu! Kemudian kita balas sakit hati ini!"
"Baik, aku setuju! Nanti tubuhnya kita cincang sampai rombeng! Biar mayatnya
berganti nama si Rombeng-Rombeng...!"
Berkata begitu tanpa menoleh-noleh lagi
mereka segera melesat pergi. Begitu kedua
orang Kembar itu berlalu, si gadis jelita
seperti bergumam pada
dirinya sendiri
nyeletuk: "Jangankan
untuk mencincang
tubuhnya! Kalau niatnya mau mencari si juru kunci seratus tahun lagi pun tidak
akan berjumpa...!" Berkata begitu si gadis terus melangkah
ke arah rombongan itu. Menyaksikan cara si gadis membebaskan
totokan saja mereka ini sudah tahu kalau
gadis cantik jelita pemilik warung itu berilmu tinggi. Itulah makanya begitu
gadis itu benar-benar sampai di depan mereka. Rombongan itu mulai bersikap sangat hati-
hati. Sejenak gadis jelita itu memperhatikan
anggota rombongan satu persatu. Kemudian
seolah mengerti apa yang sedang mereka
fikirkan, si gadis ini pun berkata,.masih
dengan suara yang lirih: "Kalian jangan percaya dengan omongan si kakek rombeng
itu! Dia memang orang yang kuras waras!
Minuman yang ada di dalam bumbung tuan
itu sesungguhnya tetap merupakan air nira
akan tetapi karena pengaruh ilmu s ihir-nya, dia dapat saja membuktikan bahwa
yang dia katakan itu benar adanya! Sekarang lihatlah bahwa minuman itu benar-benar tak
berubah sama sekali...!"
ucap si gadis sambil tersenyum-senyum.
Begitu mendengar ucapan si gadis jelita, sudah barang tentu orang-orang
ini segera memperhatikan bumbung yang berada di hadapan mereka.
Dan benar saja, ternyata air nira yang
berada di dalam bumbung itu tidak pernah
berubah. Kembali mereka dibuat kaget.
Dalam keadaan begitu, tiba-tiba saja Sudiro menyela: "Ma... maaf, Nona. Benarkah
si kakek rombeng tadi merupakan juru kunci
dari Lembah Halilintar...?"
"Namaku Jelita... panggil saja begitu...!"
jelasnya memperkenalkan diri. Tak lama
kemudian dia menyambung. "Apa yang
dikatakannya itu tidak benar! Tapi mungkin juga dia merupakan
Juru Kunci Setan Kuburan...!"
ucap gadis itu tampak memendam sesuatu.
"Kalau begitu walau sesungguhnya kurang waras, tetapi kakek itu seorang ahli sihir yang sangat handal...!" sela
laki-laki berpakaian biru terung yang bernama Soma.
"Huh... ilmu sihir picisan mengapa terlalu Tuan pikirkan! Aku tahu Tuan
mempunyai tujuan. Tempat itu tiada bertuan! Siapa pun punya kesempatan yang sama untuk
dapat memiliki harta itu...!" tukas si gadis seolah menuduh.
'Tapi kami tak bermaksud untuk mem...!" Belum lagi kata-kata Sudiro selesai sudah dipotong oleh si gadis.
'Tuan tidak usah berbohong, aku tahu
apa yang terkandung dalam niat anda
semuanya...!"
Mendengar pernyataan gadis yang bernama Jelita ini memerahlah wajah Sudiro, akan tetapi untuk marah itu jelas
tidak mungkin. Sebab apa yang dikatakan oleh si
gadis sesungguhnya benar adanya. Sudiro
dan yang lain-lainnya terdiam tanpa mampu
membantah. Tuan dan Nona! Hari sudah larut malam,
kalau anda semua bermaksud menginap di
tempat ini, mari aku tunjukkan kamar-
kamarnya...!"
Lagi lagi rombongan itu bagai kerbau
dicucuk hidung hanya mampu menurut.
Setelah menunjukkan kamar-kamar untuk bermalam para tamunya, gadis itu
segera meninggalkan mereka menuju sebuah
lorong kecil. Kemudian menghilang di sebuah pintu lainnya.
Malam terasa semakin larut, rombongan
itu pun sudah berada di kamarnya masing-
masing. Seiring dengan perjalanan waktu di sebuah
kamar yang misterius dan menyeramkan, tubuh gadis cantik pemilik
kedai makanan dan rumah penginapan itu
secara perlahan namun cukup pasti mulai
berubah menjadi sosok burung Hantu. Burung hantu itu mengepak-ngepakkan
sayapnya. Begitu matanya yang liar memandang ke
arah jendela seberkas cahaya aneh memancar dari sepasang matanya yang liar.
Tak lama kemudian jendela itu pun terbuka.
"Aku harus segera melaporkan kejadian ini secepatnya pada Sang Guru!" batin
Burung hantu jelmaan Jelita dalam hati. Beberapa
saat kemudian dengan sekali kepak burung
jelmaan itu telah meluncur ke arah jendela, kemudian setelah berputar-putar di
atas penginapan, secepat kilat burung itu meluncur menuju Lembah Halilintar.
Sementara itu di dalam penginapan,
tujuh orang anggota rombongan yang tengah
terbaring di kamarnya mas ing-masing kelihatan sangat gelisah. Penginapan yang
mereka tempati itu tak ubahnya bagai
sebuah rumah hantu, dengan kamar di sana
sini yang senantiasa terasa menyebarkan
bau tak sedap. Dalam hati mereka pun
bertanya-tanya,
mengapa penginapan sebesar itu tak memiliki seorang pelayan
pun" Pada malam hari itu mereka baru
menyadari, bahwa Mentoak yang kecil tak
berpenghuni kiranya lebih menakutkan lagi
bila dibandingkan pada saat siangnya. Demikianlah dalam keadaan resah seperti itu tiba-tiba saja terdengar sayup-sayup
Burung Hantu dari

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejauhan. Orang-orang ini menajamkan pendengarannya.
"Guk... guk-guk... guk!"
Demikian suara burung itu saling bersahutan, makin lama makin bertambah
ramai. Hingga pada akhirnya burung-burung
yang sama berdatangan mengitari penginapan itu. Suara-suara yang sama pun
terdengar di mana-mana. Perasaan gentar
mulai menyelimuti hati para rombongan.
Tujuh orang yang tinggal di penginapan itu menjadi
resah. Lalu secara hampir bersamaan membuka dan keluar dari kamarnya mas ing-masing. Dengan langkah
terburu-buru mereka menghampiri kamar
pimpinan mereka. Setelah mengetuk tiga
kali, pintu kamar itu pun terbuka. Begitu
mereka berada di dalam ruangan untuk
beberapa saat lamanya mereka saling berpandangan. "Kakang... apakah kakang mendengar
suara-suara itu...?" tanya salah seorang di antara mereka yang bernama Sekar
Sari. "Burung-burung keparat itu bikin kita susah tidur, kakang...!" sela yang lainnya
pula. Sudiro mengerutkan kening. Dalam hati
dia bertanya-tanya mengapa burung-burung
itu jumlahnya bisa mencapai ratusan ekor,
mungkinkah telah terjadi sesuatu yang tidak beres di kota kecil yang serasa
bagai kota mati itu" Dalam hati laki-laki itu mulai
merasa curiga dan was-was. Akan tetapi
demi membesarkan hati kawan-kawannya,
Sudiro segera saja berkata:
"Apa yang kalian takutkan! Burung-
burung sialan itu toh tidak mengganggu
kita...!" "Tapi kakang, mengapa jumlahnya bisa
mencapai ratusan ekor seperti itu...?" ujar yang berpakaian Biru Terong yang
bernama Permana itu curiga. Lalu tanpa menunggu
jawaban Sudiro, Permana segera membuka
jendela yang menghadap ke arah halaman
penginapan. Begitu pintu jendela itu terbuka, Permana terbelalak bagai melihat
setan sadis. Tubuhnya kelihatan menggigil. Tentu saja hal ini membuat heran yang lain-
lainnya. Tanpa bertanya lagi mereka pun
segera memburu ke arah Permana. Seperti
apa yang terjadi pada diri Permana, orang-
orang ini pun bukan main kagetnya, tidak
terkecuali Sudiro.
Tidak begitu jauh jaraknya dari penginapan itu, di beberapa batang pohon
dalam kegelapan malam mereka melihat
sinar kebiru-biruan dari beratus-ratus pasang mata
Burung Hantu, berkedap-kedip memandang kepada mereka. Sepintas lalu
ratusan pasang mata yang berkedap kedip
bagai kunang-kunang itu, bagai pelita milik seorang dewa. Akan tetapi ada satu
hal yang membuat jantung mereka semakin berdetak
keras adalah karena ratusan pasang mata
burung itu memancarkan sinar aneh yang
mengisyaratkan sebuah kepedihan hati dan
rasa putus asa. Tentu saja hanya Sudiro
yang berilmu kebatinan sangat tinggi yang
mengetahui pesan lewat tatapan mata burung-burung itu. Dengan cepat laki-laki
berperawakan tinggi itu menutup jendela
kembali. Begitu jendela itu tertutup burung-burung malam itu menimbulkan suara
riuh. Seakan-akan ingin memprotes. Suara-suara
itu terasa semakin menyeramkan.
Akan tetapi Sudiro tanpa memperdulikan
suara-suara burung yang menggidikkan bulu
roma segera berkata pada kawan-kawannya
yang lain. "Semua ini merupakan teka-teki! Akan
tetapi peduli apa" Besok kita sudah harus
melanjutkan perjalanan...."
"Kakang...! Tentu malam ini kami tidak bisa tidur! Penginapan ini bagai rumah
hantu...!" sela Sekar Sari.
"Sudahlah lupakan masalah yang hanya
setahi kuku ini! Yang menjadi tujuan kita
adalah bahwa usaha ini harus berhasil!
Walau nyawa sekalipun sebagai taruhannya...!" kata Sudiro tegas.
"Kalau memang sudah begitu menjadi
kehendak Kakang, tentu kami tidak bisa
membantah...." kata Permana pula.
Demikianlah tekad dan keputusan sang
ketua. Tak berapa lama kemudian suasana
menjadi sunyi sepi. Suara-suara burung
hantu sudah tak terdengar sejak beberapa
saat yang lalu. Malam itu mereka melewatkan malam dengan tidur berdesakan
dalam satu kamar.
* * * * * 3 Rambutnya yang selalu dikuncir dan
tergerai sebatas bahu itu berkibar-kibar
ditiup angin. Dengan pakaian merah-merah
disertai sebuah periuk besar yang selalu
tergantung di pun daknya. Keanehan tingkah lakunya sedikit pun tidak berpengaruh
pada ketampanan wajahnya. Siapa lagi pemuda
berperangai aneh itu, kalau bukan Buang
Sengketa Si Pendekar Hina Kelana.
Siang itu Buang Sengketa yang berjuluk
Pendekar Hina Kelana, nampak menginjakkan kakinya di seberang tanah
Jawa. Memang demikianlah adanya, sesuai
janji yang pernah dia ucapkan pada gurunya, si Bangkotan Koreng Seribu. Pemuda
itu telah bertekad untuk menimba pengalaman
di dunia ramai, sambil berpetualang dia ingin mencoba
mencari tahu di manakah sebenarnya ayahandanya mengas ingkan diri.
Walau pun dia sadari bahwa ujud ayahnya
bukanlah seperti manusia biasa, tetapi dia telah bertekad untuk mencari jejak
ayahnya walau berada di ujung dunia sekalipun. Dia berfikir, meski pun
ayahandanya si Piton
Utara berujud seekor ular raksasa. Setidak-tidaknya karena ayahnya itulah maka
dia terlahir di atas dunia pana ini. Buang
Sengketa menyadari walau pun kelahirannya
di atas dunia ini telah ditandai dengan
berbagai peristiwa mengerikan, termasuk
juga hujan petir yang meluluh lantakkan
desanya. Tak terkecuali dengan usaha penduduk untuk membunuhnya. Karena memang menurut ramalan banyak orang
kelak di kemudian hari kehadirannya hanya
akan menimbulkan malapetaka di mana-
mana. Akan tetapi untuk membuktikan
bahwa cerita itu sesungguhnya tidak benar.
Dia telah bertekad untuk berbuat kebajikan di mana pun dia berada. Apa lagi
apabila Buang teringat bahwa ibunya binasa di
tangan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Hanya demi membela keselamatan
dirinya. Tentu begitu masgul hati pemuda ini.
Buang Sengketa sesuai dengan namanya
adalah orang yang dibuang hanya demi
menegakkan sebuah kasih sayang dan kebenaran. Di hatinya memang tiada dendam, karena memang sifat-sifat seperti
itu tiada terwaris dari orang tuanya. Akan tetapi demi sebuah kebenaran dia
sangat berani mempertaruhkan nyawanya.
Demikianlah, siang itu di tempat yang
baginya masih sangat asing, pemuda itu
nampak sedang berjalan melenggang. Kadang-kadang tangannya merogoh bekal
makanan apa saja yang diletakkannya di
dalam periuk besar berjelaga itu dan di saat yang lain sambil terus berjalan
pemuda itu terlihat sedang berdecak-decak mengunyah
makanan. Sepintas lalu pendekar ini walau
berwajah tampan akan tetapi sepertinya
tidak dapat merawat diri, ini terbukti dari caranya berpakaian dan juga wajahnya
yang selalu nampak kumal bagai tak pernah
mandi. Mungkin semua ini ada kaitannya
dengan watak yang dimilikinya, selalu acuh walau pada dirinya sendiri.
Kini setelah melewati sebuah hutan
cemara sampailah Buang Sengketa di sebuah
dusun yang agak padat dengan rumah-
rumah penduduk. Pemuda itu mulai celingak-
celinguk mencari sebuah kedai makanan
demi untuk menambah perbekalannya yang
sudah semakin menipis. Sangat mengherankan pemuda ini karena hampir
keseluruhan penduduk yang dia lihat, semuanya terdiri dari kaum wanita dan anak-anak. Ke manakah perginya kaum laki-
laki atau bahkan suami mereka" Tak mungkin
perempuan-perempuan itu dapat melahirkan
tanpa adanya kehadiran kaum laki-laki.
Pikirnya diiringi senyum lucu.
Kira-kira langkahnya sudah sampai di
pertengahan dusun, barulah dia melihat
adanya sebuah kedai penjual makanan yang
agak sepi pengunjung. Dengan langkah


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mantap Pendekar Si Hina Kelana memasuki
kedai tersebut. Begitu dia duduk menghadap meja yang terbuat dari anyaman bambu,
seorang laki-laki pemilik kedai datang menghampiri. Laki-laki setengah tua itu
langsung saja bertanya: "Kisanak mau pesan apa...?" ucapnya ramah.
Sejenak Buang Sengketa nampak berpikir. "Bapak tua... tolong sediakan sop daging menjangan, satu kendi arak dan beberapa
bungkus makanan kering...!" kata Buang Sengketa sopan.
Begitu mendengar apa yang dipesan oleh
si Hina Kelana. Laki-laki pemilik warung itu geleng-gelengkan kepala.
"Ada apa pak, Tua! Apakah bapak
mengira bahwa aku tak sanggup bayar...?"
tegur pemuda itu agak tersinggung.
Pemilik kedai itu buru-buru meralat
ucapannya. "Maaf, Ki sanak. Sama sekali aku tak
punya dugaan seperti itu. Maaf saja penyadap tuak langganan kami sudah tak
pernah datang mengantar tuak lagi ke sini!
Sedangkan sop daging manjangan juga tidak
ada. Orang-orang yang biasa berburu ke
hutan kini sudah tidak ada lagi...!" ucap laki-laki pemilik kedai itu dengan
sangat berhati-hati.
"Jadi yang kau jual apa...?" tanya si Hina Kelana kesal.
Dengan gugup dan setengah takut-takut.
"Yang ada cuma sate kucing dan sup daging tikus...!"
Mendengar penjelasan pemilik kedai alangkah terperanjatnya Pendekar dari Negeri Bunian ini.
"Haaaa... apa..,"!" tukas Buang Sengketa tak percaya. Kemudian sambungnya lagi:
"Kucing kau bikin sate dan tikus kau buat sop...! Mengapa tak sekalian kau
potong saja dagingmu untuk kau jadikan dendeng...?"
bentak pendekar ini marah.
Menggigillah tubuh pemilik kedai itu
begitu melihat kemarahan pemuda ini. Kemudian dengan suara terbata-bata, laki-
laki ini mencoba menjelaskan.
"Maafkan aku yang bodoh ini, Kisanak...!
Sesungguhnya sejak dulu aku berjualan
belum pernah walau sekalipun menyembelih
kucing apa-lagi memotong tikus. Akan tetapi karena ini adalah karena perintah
seseorang dan di bawah ancaman pula. Maka demi
keselamatan keluargaku, aku terpaksa melakukannya...!"
Mendengar penjelasan pemilik kedai tentu saja hal ini sangat mengejutkan Buang sekaligus merasa tertarik.
Sesungguhnya tadi dia ingin marah pada laki-laki di
hadapannya itu. Karena dia merasa bahwa
pemilik kedai itu menghina dirinya. Akan
tetapi karena pemilik warung itu segera
memberi penjelasan padanya, akhirnya dia
menjadi sangat maklum. Lalu dengan sangat
penasaran Buang langsung bertanya: "Pak tua... siapakah sesungguhnya orang yang
mengancammu itu! Dan apakah yang sesungguhnya telah terjadi di daerah ini...?"
Mendengar pertanyaan yang tak pernah
terduga seperti ini, mendadak wajah pak tua berubah pucat. Setelah celingak-
celinguk kian ke mari, seolah takut apa yang akan dia katakan
didengar oleh setan kuburan. Dengan suara agak berbisik dia mulai bicara.
"Kisanak... kalau Kisanak ingin selamat, cepat-cepat tinggalkanlah tempat ini.
Sebab sebentar lagi mereka akan segera muncul!
Dan jika mereka sempat melihat kehadiran
Kisanak, saya takut Kisanak akan mengalami nasib seperti penduduk dusun ini...!"
ujar pemilik kedai itu was-was.
"Hemmm... jangankan hanya pada sesama manusia! Terhadap Setan Belang
dari sumur hantu pun aku tak akan gentar...!" kata Buang Sengketa dengan suara keras.
"Kisanak bicara jangan keras-keras! Mereka berilmu sangat tinggi. Pergilah sebelum mereka datang...!" Pemilik kedai nampak semakin khawatir.
"Jadi kau mengusirku...!" sela si Hina Kelana.
"Oh... maaf, sama sekali aku tak mempunyai maksud demikian! Aku hanya
mengkhawatirkan keselamatan Kisanak...!"
Buang Sengketa manggut-manggut.
"Terima kasih atas perhatianmu, Orang tua... tapi aku tak akan pergi. Aku jadi
ingin lihat bagaimana rupanya anjing-anjing yang menakutkan kalian itu!"
"Kisanak tak mengerti apa yang aku
maksudkan! Ketahuilah mengapa perempuan-perempuan itu harus kehilangan
suaminya...!" Agak ragu si laki-laki tua menghentikan kata-katanya.
"Teruskan ucapanmu tadi, Orang tua!
Kalau ada apa-apa aku akan membelamu...!"
kata Buang Sengketa tegas.
"Orang-orang si Tiga Angkara itu datang dan pergi bagaikan hantu menakutkan. Dan
setiap kedatangannya, mereka membawa
semua laki-laki di dusun ini untuk membantu usaha mereka dalam menggali harta
benda yang tak ternilai harganya di sebuah tempat yang bernama Lembah Halilintar. Akan
tetapi setiap mereka membawa laki-laki di dusun
ini sampai kini tak seorang pun ada yang
kembali... itulah sebabnya seperti yang Ki sanak lihat di setiap rumah penduduk
tak seorang laki-laki pun tersisa, kecuali aku!
Itupun atas kehendak mereka...."
"Lembah Halilintar...! Hemmm... sungguh sebuah nama yang sangat menarik.
Pak tua, dapatkah kau sedikit ceritakan
tentang lembah itu...?" tanya Buang Sengketa sedikit memaksa.
Laki-laki pemilik kedai dengan tubuh
semakin gemetaran kembali berkata: "Keadaan yang terjadi sesungguhnya aku belum tahu pasti! Akan tetapi menurut
kabar angin, sesuai dengan namanya lembah itu
merupakan sebuah daerah lintasan petir.
Hanya pohon-pohon tertentu saja yang dapat tumbuh dan hidup dengan baik di sana.
Sudah dua tahun ini daerah itu menjadi
tumpuan bagi mereka yang kemaruk harta.
Sebab daerah itu merupakan sebuah lembah
emas yang jumlahnya tidak ternilai... konon di lembah itu hidup ribuan burung
hantu bahkan setiap tahun-nya terus bertambah.
Dan manusia-manusia yang berjuluk Tiga
Angkara itu kiranya memaksa penduduk
untuk mereka kerahkan ke sana. Kami yang
tersisa ini tidak tahu bagaimana dengan
nasib mereka...." ujar pemilik kedai dan tanpa sadar sempat menitikkan air mata.
"Pak tua... kau tak perlu bersedih! Aku ingin menghentikan sepak terjang
manusia-manusia serakah itu. Setelah itu aku baru
melacak para penduduk yang hilang...!" ujar Pendekar si Hina Kelana tegas.
"Tapi, Kisanak. Jumlah mereka cukup
banyak di samping memiliki ilmu silat yang sangat tinggi pula...!" sela laki-
laki itu ketakutan.
Buang Sengketa tersenyum maklum.
"Kau tak perlu cemas, Orang tua! Kita lihat saja bagaimana nanti...!"
Demikianlah pada saat mereka sedang
bercakap-cakap seperti itu, tanpa mereka
sadari akan kedatangannya. Tiba-tiba di
halaman kedai terdengar derap dan suara
ringkik kuda. Begitu Buang menoleh, tampaklah olehnya lebih dari tiga belas orang penunggang kuda yang hadir di
depan kedai itu. Agaknya laki-laki pemilik kedai itu hapal benar siapa adanya yang datang.
Dengan langkah tergopoh-gopoh laki-laki tua itu
segera menyongsong kedatangan orang-
orang itu. Tak lama kemudian rombongan
berkuda itu sudah memasuki ruangan kedai.
Lagi-lagi pak tua dengan agak tergesa-gesa segera
bergegas ke belakang untuk menyediakan pesanan mereka.
Seperginya pak tua, rombongan berkuda
yang menamakan dirinya si Tiga Angkara
segera duduk mengelilingi sebuah meja
besar yang terbuat dari anyaman bambu.
Buang Sengketa yang sejak tadi hanya
menghadapi segelas kopi pahit terus memperhatikan tingkah orang ini dengan
sudut matanya. Pada saat seperti itu tiba-
tiba saja salah seorang di antaranya yang
berbibir sumbing membentak pada pemilik
kedai sambil memperhatikan kehadiran Buang Sengketa pula.
"Pak tua... mana sate kucing dan sop
tikus-nya! Kerja mu
sangat lambat sekali
apakah kau ingin segera di kirim ke Lembah Halilintar...?" tukas laki-laki yang
berbibir sumbing ketus.
Terdengar sahutan dari dalam suara
bergemetaran: "Maafkan, Tuan-tuan. Kami sedang mempersiapkannya...!"
"Mana anak gadismu... suruh dia menemani kami!" sela laki-laki yang seorang lagi


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan suara yang sengau dan berhidung besar.
Lagi-lagi suara pak tua dari dalam dapur
menyahut: "Maaf, Tuan... anak saya itu dalam keadaan sakit kini dia tinggal di
rumah neneknya...!
* * * * * 4 Mendengar jawaban pak tua, salah seorang dari Tiga Angkara yang berkepala
botak plontos menyambut dengan rasa tak
senang. "Tua bangka! Kau jangan berbohong
pada kami, tadi aku melihat anakmu berlari ke belakang... masihkah kau bilang
dia sakit...?"
Laki-laki pemilik kedai yang saat itu
sudah melangkah membawakan pesanan
orang-orang berkuda itu, tiba-tiba saja
wajahnya berubah pucat. Dengan langkah
gemetaran pemilik kedai itu terus melangkah ke arah meja rombongan Tiga Angkara.
Dengan gemetaran pula dia meletakkan
makanan itu di hadapan mereka. Belum lagi
laki-laki itu menghidangkan makanan, lagi-
lagi si botak membentak: "Cepat kau suruh anakmu
menemani kami! Kalau tidak kubakar kedaimu ini...!" ancamnya.
"Jangan.... Tuan! Baiklah saya akan
memanggilnya...!"
kata laki-laki itu ketakutan. Kemudian dengan tergopoh- gopoh dia bergegas ke belakang. Tak lama
kemudian seorang gadis yang berparas
lumayan dengan langkah ketakutan nampak
menghampiri mereka.
Demi melihat kehadiran gadis itu, si Tiga
Angkara serentak tertawa tergelak- gelak. "Hahaha...
hahaha... mendekat kemarilah, Cah ayu! Mengapa harus takut!
Kita dapat bersenang-senang di sini...!" kata hidung besar suara sangau di ringi
tawa yang lainnya. Demikianlah, begitu gadis itu hampir di hadapan
mereka segera saja salah
seorang di antara mereka memeluk gadis itu, kemudian menjatuhkan tubuh si gadis
di atas pangkuannya.
Jemari si hidung besar nampak membelai-belai pipi si gadis. Kemudian hidungnya yang besar dan jelek
itu menciumi wajah si gadis. Diperlakukan
seperti itu sudah jelas membuat gadis ini
meronta-ronta dengan
wajah ketakutan. Sementara orang tua si gadis yang merasa
tak mampu berbuat banyak itu hanya
memandang geram pada tingkah orang-
orang Tiga Angkara. Terus di ringi suara tawa yang
lainnya si hidung besar terus bertingkah. Dalam hatinya mungkin dia
sengaja membuat gadis itu menjerit ketakutan, dengan tujuan untuk memancing
pemuda pendatang yang berpenampilan aneh tak jauh dari mereka.
Sementara itu Pendekar Hina Kelana
yang sejak tadi hanya menahan kemarahannya, akhirnya habis juga batas
kesabarannya. Dengan tatapan dingin, dia
memandang penuh kebencian, dia berkata
lirih namun sangat mengejutkan. "Anjing-anjing geladak! Berhentilah
bertingkah... sebelum aku, s i Hina Kelana lupa, bahwa
kalian masih seorang manusia...!"
Tangan si hidung besar suara sengau
yang sejak tadi nampak membelai-belai pipi si gadis mendadak terhenti, begitu
pula pelukannya pada si gadis mengendor. Tanpa
menyia-nyiakan kesempatan si gadis berlari menjauh meninggalkan Tiga Angkara.
Kini perhatian rombongan berkuda itu praktis
tertuju pada si pemuda. Dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki mereka meneliti.
Melihat dari caranya berpakaian dan juga
caranya bicara mereka ini dapat memastikan bahwa pemuda yang berada tak begitu
jauh dari tempat mereka duduk bukanlah penduduk dusun itu, atau pun daerah lain
yang mereka kenal. Akan tetapi siapa pun
pemuda ini, begitu mereka melihat sebuah
periuk besar tergantung di pundak Buang
Sengketa maka meledaklah tawa mereka.
"Huahahaha... hahaha...! Gembel hina
dari mana yang berani mencampuri urusan si Tiga
Angkara...!"
si Bibir Sumbing membentak. "Iblis dari neraka sekalipun, tidak akan kubiarkan hidup! Jika berani bertingkah
di hadapanku...!"
tukas Buang Sengketa menghardik. "Kucing kurap! Haram jadah, mulutmu
yang busuk itu perlu dirobek-robek!" maki si kepaia botak marah
sekali. Bersamaan
dengan itu pula, si kepala botak melompat, kemudian kirim satu serangan gencar,
ke arah Buang Sengketa. Kembrat-kembratnya
yang lain sudah dapat memastikan hanya
satu gebrakan saja, tentu remuklah dada
pemuda ini. Sebab seperti yang mereka
ketahui bahwa kawan mereka ini dalam
menyerang mempergunakan satu jurus yang
sangat mereka andalkan, yaitu jurus "Godam Menggempur Karang"." Jangankan hanya
tubuh manusia, batu gunung sekalipun
menjadi berantakan terpukul jurus ini. Begitulah, mereka begitu
yakin dengan kemampuan yang dimiliki oleh kawan seperguruannya.
Akan tetapi Buang Sengketa meskipun merupakan orang baru
dalam rimba persilatan akan tetapi karena
memang sejak kecil dia sudah mengenal ilmu silat dan berbagai ilmu kanuragan.
Ditambah lagi dalam gemblengan-gemblengan seorang
kakek yang sangat sakti, dan merupakan
seorang tokoh yang namanya saja sangat
melegenda dalam dunia persilatan. Sudah
barang tentu serangan yang dilancarkan oleh si Kepala Botak tidak berarti banyak
untuk dirinya. Dengan sekali berkelit saja, luputlah
serangan yang dilancarkan oleh si Kepala
Botak. Pukulan yang berisi tenaga dalam itu terus meluncur untuk kemudian
langsung menabrak kursi, tempat di mana pemuda itu
duduk. Buang Sengketa kini telah berdiri
sambil berkacak pinggang. Sementara begitu serangannya dapat dielakkan oleh si
pemuda berkuncir,
s i Botak menjadi sangat penasaran sekali. Kini dia meluruk kembali ke arah Buang. Dia melancarkan
serangkaian serangan
yang lebih dahsyat Disertai lengkingan dahsyat si Botak menerjang
kembali. Pendekar Hina Kelana yang sudah
merasa muak melihat orang-orang ini segera saja menadahkan periuknya. Tanpa
dapat dihindari lagi.
"Prengg... blaaar...!"
Si Botak terpental beberapa tombak,
tubuhnya menabrak meja yang berada di
ruangan itu. Meja jadi berantakan. Si Botak berusaha bangun dan merintih. Begitu
dia sudah tegak kembali, terbelalaklah mata
kawan-kawannya,
begitu melihat kedua tangan si Botak menjadi patah dan mengucurkan darah segar. Melihat nasib
yang dialami kawannya, yang lainnya menjadi sangat murka.
Kemudian dengan pandangan penuh kebencian si Bibir Sumbing meludah dan
membentak: "Bocah... besar sekali nyalimu!
Telah berani benar melukai kawan kami. Kau harus menebus luka kawanku itu dengan
nyawamu yang tiada harga."
Mendengar kata-kata yang diucapkan
oleh si Bibir Sumbing, pendekar dari negeri Bunian ini terkekeh. "Hua, hahha...
keg... keg...!" Seusai tawanya mendadak wajah pemuda
itu berubah dingin, naluri

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuh mulai menyentak-nyentak
memenuhi rongga dadanya. Kemudian dengan suara lantang: "Hei... sampah-
sampah dunia! Cepat cabutlah senjata kalian, sebelum segalanya terlambat...!"
"Puih...! Kalau cuma menghadapi gembel busuk sepertimu, jangankan cuma satu,
seratus sekali maju pun aku s i Tiga Angkara tak kan gentar...!" Usai berkata
begitu, di ringi suara lengkingan yang tinggi si Bibir Sumbing
dengan masih di tempatnya kirimkan satu pukulan, seberkas cahaya
dengan bau tikus warok, menderu dan
menimbulkan suara bercuitan. Cahaya maut
itu terus meluncur ke arah Buang Sengketa.
Pemuda itu yang memang sudah memperhitungkan
segala sesuatunya nampak berkelebat, kemudian melesat ke
luar halaman kedai. Pukulan yang dilancarkan oleh si Bibir Sumbing segera saja melabrak dinding tepas kedai.
Mengetahui lawannya mencelat ke luar, mereka segera
mem-burunya. Sementara itu pemilik kedai
dan putrinya nampak bersembunyi di balik
pintu dengan tubuh menggigil ketakutan.
Si Tiga Angkara begitu sampai di halaman kedai, nampak terkekeh. Dengan
penuh kesadisan dia membentak Pendekar
Hina Kelana yang saat itu berdiri menanti.
"Bocah hina... katakanlah namamu! Jika tidak, kuburmu tak akan dikenal
orang...!"
Buang Sengketa kembali terkekeh: "Hahaha-ha... hahaha... sebaiknya cepat berangkatlah ke neraka...!" Buang yang
sudah tidak sabaran ini gebrakkan tangan,
begitu pemuda ini mendorong tangannya ke
depan, laksana badai topan yang berhawa
sangat panas angin kencang menderu dan
melabrak mereka. Kecuali Bibir Sumbing,
Hidung Besar dan juga si Kepala Botak.
Kawan-kawan mereka yang lainnya berpelantingan roboh. Tak ayal lagi jerit
kesakitan dan suara lolongan maut bergema
di tempat itu. Mengetahui lebih kurang
sembilan orang kawan-kawannya seketika
dalam keadaan tubuh hangus mengerikan. Si
Tiga Angkara walaupun mulai diliputi perasaan was-was akan tetapi segera membentak. "Bocah... sebelumnya kami tak pernah
berurusan denganmu! Akan tetapi karena
kau telah membunuh kawan-kawan kami!
Hari ini kami si Tiga Angkara tidak akan
mengampuni jiwamu...!"
ujar si Bibir Sumbing sambil mencabut senjatanya yang
berupa sebuah Gada berwarna putih keperak-perakkan. Sekali gada di tangan si Bibir
Sumbing terayun terdengar suara bercuitan. Dengan sebat senjata andalannya melabrak Buang Sengketa tanpa ampun.
Tentu saja pemuda ini tidak tinggal diam, dia segera membentengi diri dengan
jurus "Si Hina Mengusir Lalat." Tubuh Buang Sengketa berkelebat bagai bayang-
bayang. Tangannya
yang berputar tak ubahnya dengan sebuah
baling-baling itu semakin ketat melindungi dirinya.
Si Bibir Sumbing semakin membabi buta,
berkali-kali senjata mautnya itu bergerak
cepat mencari sasaran akan tetapi berkali-
kali pula serangan-serangannya
dapat dikandaskan oleh Pendekar Hina Kelana.
Mengetahui kawannya selalu gagal membangun serangan. Si Hidung Besar dan
si Kepala Botak yang sudah terluka ikut
membantu. Pertempuran sengit pun segera
berlangsung. Dengan masih mempergunakan
jurus Si Hina Mengusir Lalat, Buang Sengketa berseru lantang.
"Bagus... kalian sudah maju semua!
Kalau perlu bapak moyang kalian pun suruh
maju! Biar hari ini aku, si Hina Dina dapat kirim kalian semua ke liang kubur!"
"Gembel sombong! Jangan ngebacot,
sebentar lagi kepalamu akan kubikin remuk!"
Si Tiga Angkara berhidung
besar ikut membentak dan mulai meningkatkan serangannya. Lalu dengan menggerung, dia
lancarkan satu pukulan yang diberi nama
'Hantu Gila Berkabung'. Dengan tangan
terjulur ke depan si Hidung Besar meng-
hantam ke arah bagian dada Buang Sengketa, pemuda itu berkelit. Akan tetapi walaupun serangan yang dilancarkan
oleh si Hidung Besar dapat dielakkannya, tak urung dia berseru kaget.
"Ihh... ilmu iblis!" gumam pemuda itu terus
bergerak cepat. Dan
belum lagi pemuda itu sempat menarik napas, datang
pula serangan dari arah lain. Hanya dengan sekali berpaling tahulah pemuda itu
bahwa si Bibir Sumbing dan si Kepala Botak sedang
berusaha merubuhkannya dari arah belakang. Kalau hanya bertahan seperti itu sudah jelas hanya akan membuang-buang
waktu saja, dia tak ingin pekerjaan yang
bertele-tele. Batin pemuda itu. Kemudian di luar dugaan si Tiga Angkara, dengan
sekali genjot, melesatlah
tubuhnya ke udara.
Begitu tubuhnya menukik ke bawah sebuah
pukulan yang diberi nama 'Empat Anasir
Kehidupan' dia lepaskan. Tak ayal selarik
sinar Ultra Violet melesat ke arah Tiga
Angkara. Mata mereka hanya sempat terbelalak sebentar, sebelum mereka sadar
apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu, sinar tadi telah melabrak tubuh
mereka. Meskipun mereka nampak berusaha memapaki serangan itu, akan tetapi sudah
tak banyak berarti.
"Blaaar...." Tubuh mereka berpentalan ke segala arah. Jerit kematian pun
terdengar kembali. Dari ketiga manusia itu hanya si
Kepala Botak saja yang luput dari kematian, itu pun karena dia sempat ke luar
dari arena pertempuran. Begitu mengetahui kembrat-kembratnya terkapar mati
dengan keadaan yang sangat sulit untuk dilukiskan. Lumerlah nyali si Kepala Botak.
* * * * * 5 Setelah memandangi mayat-mayat saudaranya, kini s i Kepala Botak berpaling pada Buang Sengketa dengan perasaan
jera. Namun begitu pun dia berusaha membesarkan hatinya. Melihat keadaan si
Botak, Pendekar Hina Kelana pun tertawa
sinis. "Botak... kini tinggal hanya kau seorang diri,
masihkah ada nyalimu untuk membunuhku?"
kata Buang Sengketa mengejek. "Hari ini aku memang kalah, tapi ingat aku akan membalas sakit hati ini...!"
Selesai berkata begitu, si Kepala Botak bermaksud
meningalkan tempat itu. Akan tetapi tanpa
terduga, Buang kirimkan satu pukulan maut.
Sekali lagi sinar Ultra Violet itu memakan korban, tubuh si Botak bagai
dilemparkan tangan-tangan raksasa tersambar "Empat Anasir Kehidupan". Beberapa saat lamanya
tubuh si Botak berkelojotan untuk kemudian diam selama-lamanya. Tanpa
menghiraukan mayat-mayat itu, Buang Sengketa berkelebat pergi menuju Lembah Halilintar.
Pemilik kedai yang menyaksikan jalannya pertarungan itu, nampak bernafas lega.
Apalagi bila melihat Si Tiga Angkara yang
selama ini bikin sengsara penduduk dusun itu terkapar tanpa nyawa. Dia dan siapa
pun adanya mereka, merasa sangat berterima
kasih pada pendekar yang berilmu sangat
tinggi dan belum sempat mereka kenali
namanya. Demikianlah dengan dibantu oleh
putrinya dan juga penduduk dusun yang
semuanya terdiri dari kaum perempuan sore
itu juga mereka segera menguburkan mayat-
mayat anggota si Tiga Angkara.
* * * * * Siang itu si Kembar Muka Pucat dari
Bukit Sumplung nampak sedang duduk di
bawah sebuah pohon yang sangat rindang.
Wajah

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka membayangkan kelesuan yang teramat sangat. Perasaan kesal masih
menyelimuti hati mereka. Apalagi bila teringat pada si Kakek Rombeng yang
menyebalkan itu. Mereka menjadi geram,
bagaimana tidak, mereka telah gagal membalaskan sakit hati, dan orang tua bau
tanah itu bagai hantu malam lenyap begitu
saja dalam pandangan mereka. Sementara
itu tujuan mereka untuk dapat secepatnya
sampai di Lembah Halilintar sampai saat ini masih menemui jalan buntu.
Sebagai pelampiasan kekesalannya, salah seorang dari Bukit Sumplung itu
menjejakkan kakinya pada batang pohon di
mana tempat mereka berteduh. Tentu saja
tendangan kakinya ini bukan sembarangan
saja. Sebab sebelumnya telah disaluri tenaga dalam. Begitu kakinya menggedor
batang pohon, suara bergemuruh bagai durian hutan runtuh pun terdengar. Beberapa benda
dari pucuk pohon itu pun berjatuhan ke bumi.
Benda-benda yang berjatuhan itu di antaranya menimpa salah seorang dari Bukit Sumplung. Begitu si Kembar Muka Pucat
ini meneliti. Mendadak wajahnya menjadi merah
padam. "Kurang ajar, monyet iblis dari mana
yang berani lancang menghina si Kembar
dari Bukit Sumplung! Tunjukkanlah tampangmu..!" makinya, lalu mendongakkan kepalanya
ke atas. Melihat tingkah saudaranya tentu si Kembar yang lainnya
jadi tertawa. "Hehehe... hehehe...! Ada apa tadi"
Seperti monyet belepotan tahi ayam saja!"
selanya mas ih dengan terkekeh.
Namun tanpa terduga-duga dari atas
pohon benda yang berupa kotoran itu
kembali berjatuhan dan tepat menimpa
kepala si Kembar yang sedang mentertawai
saudaranya. Begitu dia meraba-raba kepalanya. Tangannya tersentuh benda yang
lembek tadi. Tak ayal lagi dia mencium
tangannya, si Kembar ini terbatuk beberapa kali, bau kotoran manusia yang terasa
menyengat memenuhi rongga hidungnya.
Tentu saja tak jauh beda dengan saudaranya, sumpah serapahpun berhamburan dari mulut si Kembar ini.
Sedangkan saudaranya yang
lain, yang tadinya menjadi bahan tertawaan, kini meskipun masih dalam keadaan marah, mau
tak mau jadi ikut tertawa. Si Kembar ini
segera membentak, matanya menatap tajam
ke atas pohon. "Monyet gila yang di atas pohon! Cepat-cepatlah tunjukkan diri! Kalau tidak
jangan salahkan si Kembar dari Bukit Sumplung...!"
Begitu si Kembar Muka Pucat ini selesai
dengan ucapannya, tiba-tiba dari atas pohon terdengar tawa suara serak seorang
laki-laki. "Hehehe... apakah telingaku yang sudah budek ini tidak salah dengar" Bukankah
jauh-jauh kalian dari Bukit Sumplung, hanya ingin memburu harta yang menggiurkan
itu?" kata suara di atas pohon mengejek. Kini
tahulah mereka bahwa orang yang di atas
pohon itu tak lain adalah si Kakek Rombeng yang mereka buru. Dengan geram salah
seorang si Kembar membentak: "Rombeng keparat... kau telah menghina kami di
kedai itu dan kini kau telah menghina lagi dengan memberaki kepala kami, dosamu
sudah bertumpuk. Kau harus membayar dengan
nyawa busukmu!" Lagi-lagi si Kakek Rombeng di atas pohon terkekeh.
"Kakusku ada di mana-mana... siapa
suruh kau duduk di bawah kakusku...?"
Merahlah wajah si Kembar muka pucat ini,
begitu mendengar kata-kata si Kakek. Dengan sekali hentak, tangan si Kembar
secara bersamaan melepaskan sebuah pukulan. "Mampuslah kau monyet busuk...!"
Pukulan yang dilancarkan si Kembar
terus melesat ke atas. Namun bersamaan
dengan itu si Kakek Rombeng juga melepaskan sebuah pukulan pula. Akibatnya,
"Blaaar...!"
Dua tenaga dalam bertemu, seruan
tertahan keluar dari mulut si muka pucat.
Dari beradunya dua tangan itu, sadarlah si Kembar dari Bukit Sumplung ini bahwa
tenaga dalam mereka terpaut jauh di bawah
si Kakek Rombeng. Kini mereka harus
mengakui bahwa mereka berdua tak mungkin unggul melawan si kakek. Untuk itu secara jujur mereka berterus terang.
Namun begitu mereka ingin mengatakan sesuatu, si kakek telah mendahului.
"Hehehe...! Bagaimana, apakah kalian
masih bermaksud untuk membinasakan si
monyet busuk ini...!" kata si kakek sambil tertawa tergelak-gelak. Dengan
menjura hormat ke atas pohon, hampir bersamaan si
Kembar dari Bukit Sumplung ini berkata:
"Orang tua terhormat, maafkan mata kami yang lamur ini. Hingga kami benar-benar
tak mengetahui betapa tingginya gunung di
hadapan kami!"
Si kakek masih tetap di atas pohon
mendengus, "Huh... kau fikir dengan menyanjung diriku seperti itu lantas aku
akan mengampunimu...!"
Mendengar jawaban s i Kakek Rombeng terkesiaplah si
Kembar ini, akan tetapi mereka telah pasrah untuk menerima nasib. Dengan
merendah mereka berkata: "Orang tua, kalau pun kau bermaksud untuk membunuh kami semua,
kami tidak akan melawan...!"
Si kakek masih dengan terkekeh segera
melayang turun, tubuhnya nampak begitu
ringannya mendarat persis di depan si
Kembar. Sementara Si Kembar dari Bukit
Sumplung ini yang sudah merasa takluk di
bawah si kakek sudah siap menanti nasib.
Beberapa saat kemudian si kakek nampak
bergumam. "Apakah kalian sudah siap untuk mati...!"
bentak si Kakek Rombeng, wajahnya yang
Pohon Kramat 1 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pendekar Guntur 19
^