Pencarian

Neraka Lembah Halilintar 2

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar Bagian 2


sudah keriputan itu mendadak berubah
bengis. Si Kembar yang tiada mengenal rasa takut, dengan tenang menyahut: "Kalau
itu memang sudah merupakan keputusanmu,
kami sudah siap...!" jawab si Kembar Muka Pucat serentak.
"Hahaha... wee, enak saja! Kalian fikir aku akan membunuh kalian begitu saja"
Dengan jujur kalian harus menjawab pertanyaanku dulu...!" kata si kakek, kemudian masih dengan tertawa-tawa dia
menyambung kembali: "Selama malang melintang dalam dunia persilatan, sudah
berapa banyak dosa yang telah kalian
perbuat, berapa banyak orang yang kalian
bunuh...?" tanya si kakek yang sudah barang tentu membuat heran kedua orang ini.
"Apakah maksudmu orang tua...?" tanya si Kembar Muka Pucat tak mengerti. Ditanya
malah balik bertanya, membuat si kakek
nampak semakin kesal. Dengan membentak:
"Orang-orang goblok... kalian dengar baik-baik! Yang menentukan hidup matinya
kalian hanyalah hasil perbuatan kalian sendiri,
kalau selama hidup kalian banyak melakukan kejahatan,
maka hari ini kalian harus menggorok leher kalian sendiri! Sekarang
jawab pertanyaanku tadi, ingat jangan coba-coba berbohong. Aku tahu perjalanan
masa lalu siapa pun...!" si kakek berkata tegas.
Sesungguhnya si Kembar begitu mendengar
pertanyaan si Kakek Rombeng yang bertele-
tele itu sudah merasa kesal. Kalau mau
bunuh, bunuh saja. Bukankah mereka sudah
menyerah kalah. Begitu mereka berfikir.
Bagaimana pun kesalnya hati mereka tak
urung mereka juga menjawab: "Orang tua rombeng... meskipun kami golongan hitam,
rasa-rasanya selama ini kami tak pernah
membunuh orang tanpa alasan tertentu,
akan tetapi kalau mencuri itu sering, bahkan sudah tak terhitung lagi...!" si
Kembar muka pucat mengakui. Mendengar jawaban si
Kembar dari Bukit Sumplung yang terdengar
begitu polos, si kakek nampak angguk-
anggukkan kepalanya.
"Ohhh... jadi kalian ini sebangsanya
maling. Kalau dosa maling aku masih bisa
mempertimbangkan...!"
"Orang tua, setelah kami mengakui apa adanya!
Masihkah kau berniat untuk membunuh kami" Kalau bisa jangan orang
tua, istriku di rumah sedang bunting besar, bukan aku takut mati, tapi aku
kasihan pada istriku...!" ujar salah seorang si Kembar memohon. Bersamaan dengan
itu si Kembar lainnya pun menyahut: "Aku mohon kau pun jangan membunuhku orang tua, anakku
lima belas orang dan masih kecil-kecil, kalau aku mati s iapa yang akan memberi makan
mereka...!" si Kembar ini pun menghiba. Untuk yang kesekian kalinya si kakek ini
kembali tertawa.
"Hohoho... hohoho, rupanya beban kalian berat juga, hee...?" tanya si Kakek
Rombeng. "Benar, Orang tua...!"
Si Kembar cepat menyahut. Laki-lagi si
Kakek Rombeng manggut-manggut. Lalu
katanya lagi: "Apakah dengan penjelasan kalian, lalu kalian berfikir bahwa aku
akan mengampuni kalian...?" tanya s i kakek sambil tersenyum-senyum. Si Kembar
dari Bukit Sumplung ini yang sudah begitu
jengkel dan sangat putus asa segera men-
jawab: "Kami sudah katakan semua orang tua! Kini tinggal pengertianmu saja...!"
Mendengar ucapan s i Kembar, beberapa
saat lamanya si Kakek Rombeng terdiam,
lalu. "Hemmm....
Nasib kalian tinggal tergantung pada dua pertanyaanku lagi.
Kalau kalian dapat menjawab seperti yang
kuinginkan berarti kalian akan selamat dan tentu saja masih dapat bertemu dengan
anak bini, tapi kalau tidak jangan kalian harap dapat ke luar dari daerah
ini dengan selamat...!" ancam si kakek.
"Apakah dua persyaratan itu, Orang
tua...?" Si Kakek Rombeng terbatuk beberapa
kali, kemudian di pandanginya si Kembar
muka pucat dari Bukit Sumplung ini dalam-
dalam. Tak lama kemudian seperti berkata
pada diri sendiri:
"Masih adakah keinginan untuk sampai
ke Lembah Halilintar?" ujar si kakek.
Dengan serentak si Kembar menjawab
pasti: "Kami lebih baik pulang daripada harus pergi ke neraka mempertaruhkan
nyawa...!"
Jawaban si Kembar tentu saja mengejutkan
hati si Kakek Rombeng, akan tetapi ia
berusaha menutupinya di depan orang dari
Bukit Sumplung ini.
"Dari manakah kalian tahu, tentang
semua itu...!" tanya si kakek penuh selidik.
"Kami sudah menyelidikinya di sekitar lembah! Sangat menakutkan, ribuan burung
hantu terdapat di sana! Ketika kami datang mereka menyerang...!" ujar si Kembar
masih diliputi rasa ngeri.
"Apakah kau sangka mereka itu burung
sungguhan...?" tanya si kakek.
"Mengenai itu kami tidak tahu, Orang
tua...!" jawab si Kembar polos.
Saat itu si kakek nampak tertunduk,
mendadak wajahnya berubah sedih dan
putus asa, saat-saat seperti itu hilanglah keangkeran si kakek. Tak lama
kemudian dia mulai berkata lirih: "Mereka itu dulunya manusia pemburu harta,
kian tahun jumlah
mereka kian bertambah banyak. Aku sebagai
juru kunci di lembah itu tidak mampu
berbuat banyak. Karena tempat itu sekarang telah dikuasai oleh seorang ahli
sihir yang bernama, Nukman Jaya Tiga Momba. Orang-orang itu di sihirnya, sedang
harta yang terpendam dikuasai nya. Kalau kalian tidak keberatan, kalian bergabunglah
denganku untuk mencari kekuatan agar aku dapat
memusnahkan Lembah Halilintar yang kini
telah berubah jadi neraka buat orang-orang yang telah berubah menjadi ribuan
burung hantu itu. Kita bisa menunggu saat-saat baik untuk memusnahkan ahli sihir itu,
agar burung-burung jadi-jadian itu bisa kembali ke asalnya...!"
Mendengar penjelasan si kakek mengerti
lah si Kembar dari Bukit Sumplung ini,
kemudian dengan senang hati mereka berkata: "Orang tua, kalau kau memang memerlukan tenaga kami dengan sukarela
kami akan membantu!" kata si Kembar.
Mendengar keputusan si Kembar tentu saja
si Kakek Rombeng sangat gembira. Untuk itu si kakek mengajak si Kembar
berkunjung ke pondoknya yang terletak di pucuk kayu.
* * * * * 6 Hari itu merupakan saat pertama kali
pemuda berpakaian merah-merah itu menginjakkan kakinya di kota kecil Mentoak.
Keadaan kota yang sunyi sepi membuat
setengah bertanya-tanya dalam hati. Apa
yang telah terjadi di kota ini" Tanda tanya itulah
yang mengawali langkahnya. Begitupun pemuda yang selalu membawa
sebuah periuk besar ke mana-mana ini,
tanpa ada perasaan ragu tetap melangkahkan kakinya, mencari sebuah kedai demi menambah perbekalannya yang
sudah hampir habis. Sepanjang jalanan yang sepi matanya yang setajam mata elang
itu terus memperhatikan ke sekelilingnya. Pintu-pintu rumah penduduk tak satu pun
yang terbuka. Begitu pun dengan kedai-kedai yang ada. Semuanya nampak tutup. Hal ini
tentu saja semakin membuat tanda tanya besar di
dalam hati Pendekar Hina Kelana. Agaknya di Mentoak yang kecil ini sedang
terjadi sesuatu yang
sangat misterius hingga para penduduknya pindah ke tempat yang lebih
aman, atau bahkan.... Buang Sengketa tidak punya keberanian untuk mereka-reka
lebih lanjut. Dari lorong ke lorong pemuda itu
keluar masuk, namun sejauh itu, dia belum
mendapatkan apa yang diharapkannya. Ketika dia sudah mulai bosan berkeliling,
tidak begitu jauh di sudut jalan, pemuda itu melihat berkelebatnya tiga sosok
bayangan di hadapannya. Dengan penasaran pemuda
itu memburunya, begitu dia sampai di
tempat itu barulah dia dapat bernafas lega.
Sebuah kedai makanan dengan bau masakan
yang sedap menyengat, membuat
rasa laparnya semakin menjadi-jadi. Lalu tanpa
canggung-canggung lagi pemuda itu masuk
ke dalam kedai, lalu segera duduk di tengah-tengah ruangan. Sekilas matanya
menyapu ke segenap ruangan. Kecuali tiga orang yang tadi sempat dilihatnya. Tak ada lagi
orang lain di tempat itu. Kelihatannya ketiga orang ini pun sangat acuh dengan
kehadiran Buang Sengketa.
Begitu pemuda ini sedang menekuri
meja, seorang gadis berwajah sangat jelita menghampirinya.
Diiringi senyum yang ramah, si gadis ini langsung menegurnya:
"Tuan muda mau pesan apa...!" tanya si gadis sambil mengagumi keta-panan pemuda
itu. Buang Sengketa melirik sekilas, lalu
dengan tersenyum pula dia mengatakan
keinginannya. "Tolong bawakan aku sop manjangan
juga beberapa bendul tuak...!" kata Buang Sengketa antusias.
"Tuan yang tampan... kalau tuak tidak ada! Akan tetapi kalau nira kelapa ada.
Apakah kau mau...?" tanya si gadis menawarkan. "Aku sedang lapar, apa pun yang kau
bawa pasti kumakan! Dan yang penting
enak!" kata Buang Sengketa polos.
Kembali si gadis tersenyum, kemudian
tambahnya: "Jangan takut, Tuan. Makanan yang kami sediakan selalu yang enak-
enak...!" ujar si gadis setengah bangga.
"Cepatlah sediakan... tok aku tak kan kenyang kalau cuma mendengar saja...!"
tukas Pendekar Hina Kelana tak sabaran.
Setelah membungkuk sopan gadis itu berlalu meninggalkan si pemuda. Lagi-lagi
Buang melirik ke tempat tiga orang tadi. Melihat penampilan mereka ini, tentu bukanlah
orang sembarangan. Terlebih-lebih si kakek tua
yang berpakaian rombeng dengan sebuah
kecapi selalu berada di pundaknya. Pastilah seorang


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tokoh persilatan yang berilmu sangat tinggi. Begitu pun dengan dua orang bermuka pucat yang duduk di samping
si kakek, meskipun ilmu kepandaiannya masih
di bawah si kakek akan tetapi Buang
Sengketa merasa sangat yakin bahwa orang
itu berilmu tinggi juga. Pemuda itu juga tahu meskipun sikap mereka selalu acuh
akan tetapi sesungguhnya sejak tadi mereka
mengawasi tingkah pemuda itu. Apa pun
yang akan dilakukan orang itu, Pendekar
Hina Kelana tidak perduli. Begitu tak lama kemudian menghidangkan pesanan Buang
di atas meja, tanpa ragu pemuda itu segera
melahapnya. Sigadis jelita yang sejak tadi memperhatikan tingkah si pemuda
kembali tersenyum-senyum.
Tanpa dipers ilahkan gadis itu duduk di hadapan Buang. Sebagaimana kebiasaannya, gadis itu bertanya lirih pada Pendekar Hina Kelana.
"Agaknya tuan muda baru melakukan
perjalanan yang sangat jauh...!"
Tanpa menjawab, sekilas Buang memperhatikan gadis itu, gadis ini begitu
cantik akan tetapi Buang merasakan adanya
sesuatu yang tak baik tersimpan di mata
gadis itu. Bahkan nalurinya mengatakan
bahwa ada hawa siluman terpancar dari
tubuh gadis itu. Diam-diam Buang mulai
menaruh rasa curiga. Agaknya gadis itu
mengerti apa yang sedang difikirkan oleh
pemuda itu, beberapa saat kemudian kembali dia berkata lirih: "Tuan tak perlu menaruh rasa curiga...! Bahkan kalau
tuan mau saya dapat membantu tuan untuk
menemukan tempat yang bernama Lembah
Halilintar itu."
Mendengar keterusterangan si gadis,
bukan main terkejutnya hati pemuda itu.
Sebab seingatnya dia tak pernah membicarakan maksud dan tujuannya pada
siapa pun. Tapi mengapa gadis itu bisa
mengetahuinya"
Melihat kenyataan ini semakin bertambah besarlah rasa curiga di
hati Buang Sengketa.
"Mengapa tempat ini begini sepi..."!"
tanya Buang dengan pandangan menyelidik.
"Mengapa tuan bertanya seperti itu...?"
si gadis malah balik bertanya.
Buang Sengketa tersenyum getir. "Aku
hanya ingin tahu saja...!" kilah pemuda itu.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba si kakek yang berada di sudut ruangan
nampak terbatuk beberapa kali. Dengan sekali lirik saja tahulah pendekar dari negeri
Bunian ini bahwa batuk kakek itu hanya dibuat-buat.
Beberapa saat berikutnya terdengar denting-denting kecapi, si Kakek Rombeng
kembali alun-kan bait-bait syair lagunya:
Hidup di dunia sengsara
Setan-setan pergi berburu harta
Meninggalkan sarangnya
Kemudian hilang entah ke mana
Kalau demikian adanya
Benar kata emak
Hantu yang paling menakutkan
Adanya di dalam diri
Peperangan yang tiada berkesudahan
Adalah melawan hawa nafsu
Angin, api, air dan tanah adalah kehidupan Untuk apa menyesal dan bertanya-tanya
Kalau nanti terjawab juga
Hidup sebuah teka-teki
Untuk apa sedih
Bila esok kita berpulang jua
Oh.... Aku cuma juru kunci
Yang tiada guna
Tak berdaya....
Begitu syair-syair yang dinyanyikan si
Kakek Rombeng usai, wajahnya yang keriput
itu tertunduk sedih. Ada sebersit sesal
membayang di pelupuk matanya. Tingkah si
kakek sudah barang tentu sangat menarik
perhatian si pemuda. Tanpa tertahankan lagi akhirnya dia bertanya pada si gadis.
"Siapakah kakek itu...?"
Si gadis melirik sebentar pada si kakek,
kemudian kembali lagi pada Buang Sengketa. "Dia orang sinting! Jangan tuan layani...!" jawab si gadis.
"Tapi nampaknya dari syair-syair lagunya
rasa-rasanya ada sesuatu yang tersembunyi...!"
Gadis itu lagi-lagi tersenyum, sebuah
senyum yang membuat kecurigaan si pemuda semakin bertambah-tambah. Saat-
saat begitu, tiba-tiba saja si gadis mengalihkan pembicaraan.
"Apakah tuan butuh penginapan...?"
tanya si gadis menawarkan.
"Hemm, cara gadis ini berbicara sangat menarik
sekali, agaknya aku perlu menyelidiki gadis ini dulu." batin pemuda itu.
"Tentu aku sangat membutuhkannya...!"
jawab si pemuda dengan wajah berseri-seri.
Kemudian dia menyambung lagi: "Apakah penginapan masih jauh lagi dari kedai
ini...!" "Di sini tidak ada penginapan, Tuan....
kalau pun ada sudah sangat lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Biasa mereka merasa lebih beruntung berburu harta
dari pada mengharapkan hasil dari penginapannya...!"
Pendekar Hina Kelana manggut- manggut. "Kalau begitu malam ini aku
kembali tidur di kolong rumah...!" ujar Buang Sengketa berpura-pura menyesalkan.
"Mengapa harus di kolong..." Kalau tuan mau, di sebelah kedai ini sesungguhnya
ada penginapan yang masih milikku! Kalau tuan
mau tuan boleh melewatkan malam di
situ...!" ujar si gadis.
"Kalau begitu aku merasa sangat beruntung sekali...!" sela Buang Sengketa.
Pada saat mereka terlibat pembicaraan
seperti itu, mendadak ketiga orang itu
beranjak meninggalkan tempat duduknya.
Kemudian sebelum melangkah pergi mereka
menghampiri meja Buang Sengketa, lalu
seolah-olah tanpa sengaja salah seorang
muka pucat menjegal kaki si Kakek Rombeng. Kakek itu terjerembab persis di
pangkuan Pendekar Hina Kelana. Kejadian
yang hanya beberapa detik itu dengan tanpa sepengetahuan
siapa pun, si kakek memasukkan sesuatu ke dalam saku Buang
Sengketa. Buang Sengketa yang mengetahui
kejadian ini, walaupun sesungguhnya dia
masih merasa heran tapi dia berpura-pura
membentak: "Kakek goblok... kau telah menumpahkan
makananku! Aku tak terima...!"
Si kakek yang memang sudah merasa
bersalah, segera, menjura hormat: "Maafkan aku yang lamur dan tiada guna ini.
Aku akan mengganti makananmu yang tertumpah...!"
ujar si kakek sambil merogoh sakunya.
Namun tiba-tiba saja
Buang Sengketa menampik: "Eee... sudahlah jangan...!" sergah Buang Sengketa.
"Kalau begitu terima kasih atas segala kemurahan hatimu...!" kata si kakek
sambil membungkuk hormat. Setelah berkata begitu
tanpa menoleh lagi ketiga orang itu serentak melangkah
pergi. Buang memperhatikan ketiga orang aneh itu sampai kemudian
menghilang dari pandangan matanya.
Seperginya orang-orang tadi, Buang kembali memperhatikan gadis jelita yang kini masih tetap duduk di hadapannya.
Kemudian seperti berkata pada dirinya sendiri: "Orang-orang


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aneh, sebuah tempat yang menyeramkan...! Aku tak tahu apa yang
akan terjadi di depan
sana...!" desah pemuda itu dengan suara pelan. Namun tiba-
tiba saja si gadis jelita itu menimpali.
"Maaf, Tuan yang tampan! Jangan hiraukan dia. Dia itu memang orang sinting bertabiat aneh dan suka meratap
sendirian."
kilah si gadis diiringi seulas senyum yang mendebarkan.
"Tapi benarkah si kakek tua itu merupakan juru kunci Lembah Halilintar
seperti yang dia katakan...?" tukas pemuda itu dengan pandangan penuh selidik.
"'Hihihik.... Mengapa tuan harus percaya pada orang tua edan!" kata si gadis di
ringi tawa. "Gadis itu meskipun punya wajah secantik bidadari, agaknya mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Baiknya aku
akan mencobanya."
batin si pemuda. Bersamaan dengan itu secepat kilat Pendekar Hina Kelana gerakan tangannya
mengarah ke dada si gadis. Namun begitu tangan itu
hampir mencapai sasarannya tiba-tiba si
gadis menangkis.
"Thaak... plaak... plaaak!" Buang Sengketa berseru kaget. Benar seperti apa
yang dia duga bahwa memang ternyata
gadis jelita ini berilmu sangat tinggi. Sementara itu masih dengan senyumnya
yang ramah si gadis ini menegur: "Ihh...
ternyata tuan muda orang yang genit dan
nakal...!"
Buang Sengketa nampak tersipu malu,
akan tetapi katanya kemudian: "Maafkan aku, Nona...!"
* * * * * 7 "Nona Jelita." kata si gadis menyambung. "Hemm, Nona Jelita, namamu secantik wajahmu! Oh, ya maafkan aku, kau
membuatku geregetan saja...!" ujar Buang Sengketa berpura-pura.
"Aku pun suka pada orang setampan
tuan...!" kata gadis itu mengakui.
Tanpa menanggapi ucapan si gadis,
pendekar dari negeri Bunian ini mengalihkan pembicaraan.
"Oh ya, bagaimana dengan kakek tua
tadi...?" tanya Buang Sengketa kembali pada persoalan semula.
"Maksud tuan...! Apakah
orang tua gendeng itu merupakan juru kunci Lembah
Halilintar, begitu...?"
Tanpa menjawab, Buang Sengketa mengangguk. Lagi-lagi gadis yang bernama Jelita ini
tersenyum manis.
"Kalau pun orang sinting itu seorang juru kunci, paling tidak merupakan juru
kuncinya kuburan setan...!" ujar gadis itu. Dengan cermat Buang memperhatikan
wajah si Jelita, dari beradunya pandangan
mata mereka yang sesaat itu, Buang Sengketa
dapat mengetahui bahwa sesungguhnya bahwa si gadis ada menyimpan rasa tak
senang pada si kakek. Apa pula ini! Hal ini harus dia selidiki. Batinnya lagi.
Mungkin juga telah terjadi sesuatu antara si Kakek Rombeng dengan si Jelita. Hal
ini sangat mungkin saja terjadi. Ketika Buang Sengketa sedang berfikir seperti itu, tiba-
tiba si gadis kembali
berkata: "Apakah tuan jadi menginap di tempatku...?" Pertanyaan yang mendadak ini sudah barang tentu
membuat Pendekar Hina Kelana jadi gelagapan. Akan
tetapi ia segera menjawab.
"Ee... ten... tentu saja!" kata Buang Sengketa terbata.
"Sebaiknya
memang begitu, Tuan. Banyak orang yang akan meneruskan perjalanan selalu menginap di sini...!"
"Maksudmu...?" tanya pemuda itu tak mengerti.
"Maksudku, mereka yang datang dari
tempat yang jauh, untuk memburu harta
yang menghebohkan itu! Biasanya sebelum
melanjutkan perjalanan mereka akan menginap di sini...!" jelas si gadis.
Buang Sengketa menjadi semakin tertarik. "Benarkah Lembah Halilintar merupakan sebuah gudang penyimpanan harta karun?"
pancing Pendekar Hina Kelana.
Gadis yang bernama Jelita itu tersenyum
penuh arti. "Apakah tuan juga bermaksud untuk
mengadu untung di Lembah Halilintar...?"
tanya Jelita. Mendengar pertanyaan si gadis, Buang
Sengketa tersenyum getir.
"Mungkin juga aku akan ke sana! Siapa tahu aku termasuk orang yang beruntung
untuk mendapatkan harta itu...!" pancing Buang Sengketa.
Begitu mendengar kata-kata Buang Sengketa, wajah si gadis nampak berubah
cerah lalu dengan sesungging senyum yang
sangat menawan gadis itu menyambung:
"Saya berharap tuan bisa cepat berhasil...!"
Mendengar ucapan si gadis, Buang
Sengketa nampak terdiam beberapa saat
lamanya. Akan tetapi begitu dia teringat
sesuatu, dia menoleh pada si gadis, kemudian bertanya: "Tapi bukankah untuk dapat masuk ke sana aku harus menemui
juru kuncinya...?"
"Hihihi... hihihi...!" gadis itu kembali tertawa, sederetan giginya yang putih
bersih tersembul di antara kedua bibirnya yang
nampak malu-malu.
"Barangkali tuan terpengaruh ucapan si kakek edan itu! Ketahuilah, Tuan. Bahwa
Lembah Halilintar itu merupakan sebuah
daerah bebas, tidak memakai juru kunci
sebagaimana layaknya sebuah kuburan. Tuan dapat ke sana kapan saja tuan mau."
"Oh... begitu!" gumam si pemuda ketololan. Demikianlah mereka nampak terlibat
pembicaraan sampai larut malam, ketika
pendekar ini ingin melepaskan lelah. Si gadis segera mengantarkannya ke arah
kamar yang sudah tersedia. Setelah berbasa basi, tak begitu lama kemudian gadis itu
segera bergegas ke beiakang. Kemudian memasuki
sebuah kamar yang sangat menyeramkan.
Sepeninggalnya gadis pemilik kedai dan
juga penginapan itu. Buang Sengketa yang
memang sudah merasa sangat lelah segera
membaringkan tubuhnya di sebuah balai
bambu yang tersedia di kamar itu. Tubuhnya terlentang, matanya memandang ke
langit-langit kamar. Akan tetapi begitu dia teringat pada si kakek, teringat
pula dia akan sesuatu yang dimasukkan si Kakek Rombeng ke
dalam saku celananya, tangannya segera
bergerak merogoh, sejenak Pendekar Hina
Kelana ini memperhatikan sebuah benda
berlipat yang berasal dari kulit kayu. Dengan hati berdebar dia membuka kulit
kayu yang terlipat rapi itu. Isinya sangat mengejutkan hati pemuda ini, hanya tiga baris
kalimat. Akan tetapi isinya sangat mendebarkan
hatinya. "KI SANAK! AKU TAHU KAU MEMPUNYAI
KEPANDAIAN YANG SANGAT TINGGI. AKU
BUTUH BANTUANMU. BERHATI-HATILAH DE-
NGAN PEREMPUAN ITU. SEWAKTU-WAKTU
DIA DAPAT MENGGOROK LEHERMU. TERIMA
KASIH, TERTANDA: JURU KUNCI LEMBAH
HALILINTAR."
Usai membaca surat yang diberikan oleh
si Kakek Rombeng, pemuda itu nampaknya
tercenung, tak begitu lama kemudian dia
sudah bangkit dari pcmbaringan dan lagi-lagi ia merenung. Lalu dia mulai
membanding-bandingkan isi surat dengan apa yang
dikatakan oleh si Jelita. Mungkin dua orang ini merupakan musuh bebuyutan" Akan
tetapi mengapa si kakek begitu bebasnya
keluar masuk di kedai milik s i gadis. Kalau begitu aku harus menyelidiki gadis
itu. Batin si pemuda, kemudian dengan sangat berhati-hati pemuda itu menyelinap
pergi. Sementara itu, di kamar si gadis yang
berkesan menyeramkan nampak gadis Jelita
itu sedang duduk bersila di atas sebuah
meja, sedangkan wajahnya menghadap ke
arah sebuah jendela yang sudah terbuka.
Pada saat yang bersamaan kiranya Buang
Sengketa sudah berada di depan pintu,
dengan penasaran dia mencari-cari lubang
untuk mengintip, akan tetapi setelah bergerak kian ke mari dia tak menemukan
apa

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dicari-carinya.
Akhirnya dia mengambil keputusan untuk melubangi salah
satu sisi dinding yang terbuat dari papan
kayu. Tanpa menimbulkan suara dan dengan
sedikit mengerahkan tenaga dalam dinding
papan itu pun berlubang. Pendekar Hina
Kelana ini segera melakukan pengintaian.
Pada saat itu di dalam kamar yang menyeramkan. Gadis yang bernama Jelita itu nampak
begitu khusuknya sedang membacakan mantera-mantera.
Kedua tangannya nampak disilangkan ke depan
dada. Tak lama kemudian dari tubuh gadis
itu memancarkan seberkas cahaya aneh lalu
secara perlahan namun cukup pasti tubuh si Jelita tiba-tiba saja lenyap hanya
beberapa saat saja tubuh gadis cantik itu telah
berubah menjadi seekor burung hantu. Burung hantu celingak-celinguk
ke sekelilingnya, seolah mengetahui kehadiran Buang Sengketa namun membiarkannya.
Kembali perhatian burung itu tertuju pada
jendela yang sudah terbuka lebar. Setelah
mengeluarkan suara aneh dengan sekali
mengepakkan sayapnya, burung itu melesat
menembus kepekatan malam.
Sementara itu Buang Sengketa yang
sejak tadi memperhatikan peristiwa yang
mendebarkan itu, kini nampak bersandar
pada dinding kamar. Kejadian itu benar-
benar sangat sulit untuk dipercaya. Siapa
sangka gadis cantik jelita itu sesungguhnya seekor siluman yang sewaktu-waktu
dapat berubah. Kalau begitu benar apa yang
dituliskan si kakek dalam suratnya, bahwa
dia harus bersikap hati-hati terhadap perempuan itu. Kalau gadis itu dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginannya,
sudah barang pasti mungkin ada sesuatu
yang ingin ditujunya. Diam-diam Buang
Sengketa mulai menghubung-hubungkan
kejadian itu dengan keadaan di Lembah
Halilintar. Sungguh menyedihkan nasib pemburu harta itu, entah apa sesungguhnya
yang telah terjadi di sana. Tanpa terasa bulu kuduk
Pendekar Hina Kelana ini pun merinding. Suasana sepi telah menyelimuti kota
mati Mentoak, saat itu Buang Sengketa
sudah berada kembali di kamarnya. Berbagai kemelut berkecamuk di dalam benaknya.
Hingga tak lama kemudian matanya mulai
terasa ngantuk. Buang kembali merebahkan
tubuhnya di atas dipan. Namun ketika
matanya hampir terpejam, pada saat angannya mulai melayang jauh. Sayup-
sayup dari kejauhan dia mendengar suara
burung hantu. Semakin lama semakin banyak, lalu terdengar semakin dekat. Hingga akhirnya benar-benar seperti berada di sekeliling penginapan. Buang
Sengketa segera terjaga, lalu mengusap-usap matanya. Begitu suara-suara burung malam
itu semakin bertambah ramai terdengar,
dengan hati diliputi tanda tanya pemuda itu segera
membuka daun jendela. Begitu matanya yang setajam mata elang itu
memandang ke arah kegelapan malam,
tubuh pemuda itu bagai tersengat ribuan
kalajengking tersentak kaget. Kedua bola
matanya terbelalak tak percaya. Sebab sama seperti apa yang dilihat oleh orang-
orang yang menempati kamar-kamar itu sebelumnya. Pendekar Hina Kelana ini juga
melihat, di beberapa pohon yang terdapat di sekeliling penginapan, nampak ribuan
pasang mata, dari sosok hewan yang sangat dia
kenal memandang padanya dengan tatapan
menghiba. Burung itu mengeluarkan suara
dan saling bersahutan sesamanya. Seumur
hidup belum pernah pendekar dari negeri
Bunian ini melihat burung hantu sampai
sebanyak itu. Ketika pemuda itu ingin
mengetahui lebih lanjut apa sesungguhnya
yang sedang terjadi. Dengan cepat pemuda
ini mengerahkan segenap perhatiannya pada
burung-burung yang beterbangan ke mana-
mana ini. Tak berapa lama kemudian setelah segala kekuatannya terfokus menjadi
satu, maka tahulah pendekar bernaluri tajam ini, bahwa sesungguhnya burung-burung
itu adalah jelmaan manusia biasa. Mungkin saja burung-burung itu adalah para pencari
harta yang dikutuk oleh pemiliknya. Kalaulah benar memang demikian adanya, tentu
penghuni Lembah Halilintar adalah seorang tokoh sakti yang memiliki berbagai ilmu
kepandaian yang tidak sembarangan dan tidak bisa
dianggap enteng. Demikianlah tak lama
setelah itu Buang Sengketa kembali menutup jendela kamarnya. Begitu jendela
tertutup bunyi burung hantu itu kembali memecah
keheningan. Buang Sengketa sudah tak mau
ambil perduli. Dengan menutup kedua telinganya pendekar dari negeri Bunian itu pun akhirnya tertidur.
* * * * * Sementara itu pada saat yang sama,
burung hantu jelmaan Jelita sudah sampai di Lembah Halilintar, tempat di mana
harta yang sangat menghebohkan itu tersimpan.
Burung hantu jelmaan Jelita nampak hinggap di atas permukaan tanah, sementara di
sekelilingnya burung-burung yang sama kelihatan bersuara riuh menyambut kehadirannya. Mungkin juga burung-burung
ini merupakan jelmaan tokoh-tokoh persilatan tingkat atas yang sengaja dijadikan pengawal untuk menjaga Lembah
Halilintar oleh ahli sihir Nukman Jaya Tiga Momba.
Kembali pada burung hantu jelmaan si
Jelita yang saat itu telah kembali ke ujud semula. Setelah kembali dalam keadaan
yang sesungguhnya, gadis ini segera menghampiri sebuah bangunan tua yang
sangat mirip dengan sebuah istana tak
begitu jauh di depannya. Bangunan tua itu
meskipun tampak megah akan tetapi terasa
sangat angker. Di samping hanya terlihat
secara samar, tidak mengherankan karena
bangunan itu selalu diselimuti kabut tebal yang abadi. Dengan di jaga dengan
ribuan burung hantu, bangunan itu sepintas lalu
mempunyai kesan tak jauh beda dengan
istana hantu. Gadis itu terus melangkah
dengan mantap, sementara ratusan pasang
mata yang berujud burung hantu nampak
memandang kepadanya dengan tatapan penuh takluk. Kini gadis itu telah tiba di depan
sebuah pintu yang hampir keseluruhannya terbuat dari emas permata.
Beberapa saat mulut si gadis nampak
berkomat-kamit. Begitu dia selesai dengan
mantera-manteranya dari dalam istana itu
terdengar suara lirih namun terasa berat.
"Anakku... mengapa hanya berdiri saja di situ" Masuklah...!" perintah si suara
begitu berwibawa.
"Terima kasih, Ayahanda! Nanda segera menghadap...!"
Bersamaan dengan itu, pintu yang berlapis emas itu pun terbuka, dengan
segera si gadis jelita melangkah masuk, dia terus melangkah ke arah sebuah
ruangan yang berlantai marmer biru yang sangat
luas sekali. Di tengah-tengah ruangan
itulah seorang laki-laki bertampang bengis dengan segala kemegahan nampak duduk
di sebuah singgasana yang hampir keseluruhannya terbuat dari emas. Gadis itu segera bersimpuh di hadapan laki-
laki itu, untuk
kemudian menghaturkan sembah

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa kali. Melihat bakti si gadis, laki-laki yang bernama Nukman Jaya Tiga
Momba itu pun berseru. "Sudahlah,
Nanda. Dengan ayah kandungmu sendiri mengapa memakai segala peradatan! Toh di sini cuma kita
berdua...!" tegurnya.
"Terima kas ih, Ayanda...." ujar si gadis takjub.
* * * * * 8 Berbeda dengan anaknya yang kerap kali
tersenyum, laki-laki bertampang bengis menyeramkan ini sepanjang hidupnya tak
pernah tersenyum. Hal ini mungkin erat
kaitannya dengan ilmu sihir yang sangat
diyakininya. Begitu pun saat dia sedang
bertemu dengan anak kandungnya. Sekali
pun keramahan tidak terlihat dari wajah laki-laki
yang menjadi penguasa Lembah Halilintar itu. Akan tetapi sebagai orang tua tentu dia sangat sayang pada
putrinya yang cuma satu-satunya ini. Tak begitu lama
kemudian dia berkata: "Anakku... tentu kedatanganmu ke mari ini bukanlah hanya
sekedar melihat ayahmu saja bukan" Nah
sekarang coba katakan padaku berita apa
yang kau bawa!"
"Ayanda, sebelum nanda memberi kabar
lebih lanjut, nanda ingin tahu dan ayanda
apakah tujuh orang rombongan yang datang
ke mari beberapa hari yang lalu itu..."!"
tanya si Jelita sambil membungkuk hormat.
Ditanya seperti itu oleh anak kandungnya, ahli sihir Nukman Jaya Tiga
Momba nampak terdiam beberapa saat
lamanya. Wajahnya yang bengis itu nampak
mengkerut, tak berapa
lama kemudian ditatapnya wajah si gadis, kemudian dengan suara petan dia berkata:
"Sesungguhnya apa yang kau maui dari orang-orang yang tiada
berguna itu...?"
"Ayahanda,
kalau nanda boleh memohon, ananda ingin agar orang itu
jangan disihir menjadi burung hantu...." ujar si gadis takut-takut.
"Maksudmu...?" tanya laki-laki itu tak mengerti.
"Maksud nanda, supaya orang-orang itu disihir
menjadi kuda tunggangan saja. Lagipula bukankah orang-orang sakti yang
ayanda sihir menjadi burung-burung yang
sedemikian banyak itu telah cukup untuk
menjadi pengawal di Lembah Halilintar ini...!"
Mendengar kata-kata anaknya tiba-tiba
saja laki-laki bertampang bengis itu menyela.
"Kau ingin ayandamu ini menyihir mereka menjadi beberapa ekor kuda tunggangan"
Hemmm... tidak bisa! Ayandamu ini tak ingin kau nantinya mendapat kesulitan. Untuk itu aku telah
menyihir mereka menjadi tujuh burung
hantu raksasa!"
"Bukankah orang-orang yang kau sihir
menjadi burung hantu jumlahnya telah
mencapai ratusan bahkan ribuan...?" protes anaknya.
"Orang-orang tiada guna itu walaupun
jumlahnya mencapai ribuan, tapi apa gunanya. Mereka tidak memiliki kepandaian
apa-apa! Mereka hanya sampah yang memuakkan...." ujar laki-laki itu geram.
"Kalau begitu mengapa ayahanda tidak
membebaskan mereka saja...?" tanya si gadis.
"Apa" Membebaskan
mereka" Huh... selamanya itu tak akan aku lakukan, lebih
baik mereka itu menjadi burung hantu
sampai beranak pinak...!" kata laki-laki itu tegas. Dan sudah barang tentu
membuat si anak terkejut luar biasa. Namun begitu pun si gadis tidak berani memprotes
keputusan orang tuanya ini. Sebab biar bagaimana pun dia cukup tahu bagaimana tabiat orang
tuanya. "Kalau hal itu memang sudah menjadi
keputusan ayanda tentu ananda hanya menurut saja...!" ujar si anak pasrah.
"Hemm... bagus! Kau benar-benar seorang anak yang sangat berbakti pada
orang tua. Mudah-mudahan saja kau dapat
mewarisi segala kesaktian yang kumiliki!"
ujar si orang tua. Dan kemudian dia
menyambung lagi: "Sekarang ayahanda ingin tahu berita apa yang sesungguhnya
nanda bawa...!" Ditanya seperti itu, Jelita nampak tercenung, dia berfikir. Haruskah dia memberi tahu tentang kedatangan seorang
pemuda tampan yang nantinya akan segera
sampai di lembah itu. Ayahandanya terlalu
kejam, bagaimana pula jika nanti pemuda
yang telah meluluhkan hatinya itu mengalami nasib seperti yang lainnya. Dis ihir menjadi
burung hantu. Oh, sungguh menyakitkan sekali, dia telah jatuh cinta
pada pemuda yang sangat tampan itu.
Haruskah dia mencegah atau bahkan melindungi pemuda yang sangat dicintainya
itu. Bagaimana pula kalau ayahnya nanti
menjadi murka. Dalam kebimbangan itu,
tiba-tiba saja laki-laki bertampang bengis itu menegurnya.
"Anakku, mengapa kau diam! Adakah
sesuatu yang mengganjal hatimu...?"
Ditanya seperti itu oleh orang tuanya,
gadis jelita itu nampak gugup.
"Mengapa nanda menjadi segugup itu...?" tanya si orang tua nampak tak sabar.
"Tidak biasanya kau seperti ini. Katakanlah siapa tahu aku bisa membantumu!" sambungnya lagi.
"Ayahanda... sesungguhnya nanda ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi nanda
takut nanti ayanda akan menjadikan dia
seekor burung hantu di Lembah Halilintar
ini...!" jawab Jelita pelan. mendengar jawaban anaknya sudah barang tentu si
orang tua ini merasa sangat heran. Sebab
tak biasanya putri satu-satunya ini menyampaikan sesuatu dalam keadaan ragu-
ragu. Meskipun laki-laki ini merupakan seorang tukang sihir yang sangat kejam,
akan tetapi terhadap anaknya sendiri sudah barang tentu dia sangat
menyayanginya. "Apakah si tua Rombeng tiada guna itu yang telah membuat hatimu sedih...?"
Jelita menggeleng pelan.
"Lalu apa...?" tanya si orang tua semakin tak sabaran.
"Maukah ayanda berjanji untuk tidak
menyihir dan menyakiti orang itu...!"
Mendengar permohonan anaknya si ahli
sihir ini semakin bertambah heran.
"Maksudmu...?"
"Begini ayanda! Mungkin tak lama lagi ada seorang pemuda yang sangat tampan
datang ke tempat kita ini. Mungkin juga dia bermaksud
ingin menggali harta yang tersimpan di Lembah Halilintar. Kalau hal itu benar terjadi, nanda ingin agar
ayanda bermurah hati untuk mengampuninya...!"
ujar si gadis malu-malu. mendengar keterangan anaknya, maka tahulah orang
tua itu bahwa sesungguhnya putrinya yang
cuma satu-satunya itu sedang jatuh cinta.
Kemudian dengan suara lunak, laki-laki
bertampang bengis itu berkata: "Kalau orang itu mampu mengalahkan aku. Baru aku
akan

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengampuninya, akan tetapi jika tidak, aku akan
menyihirnya menjadi sosok yang sangat mengerikan...!"
Terkesiaplah gadis jelita itu begitu mendengar keputusan orang tuanya, kemudian dengan perasaan kecewa, dia
bergumam seperti pada diri sendiri.
"Kalau dia mati di tangan ayanda! Di
depan ayanda pula nanda akan bunuh
diri...!" tukas gadis itu memutuskan.
Keputusan yang baru saja diucapkan
oleh si gadis tentu saja sangat mengejutkan orang tuanya.
"Anakku, mengapa kau berkata seperti
itu...!" serunya dengan kemarahan yang tertahan.
"Untuk apa hidup lebih lama, kalau
permintaan nanda tak satu pun yang pernah
ayanda turuti...!" ujar si gadis. Mendengar kata-kata anaknya, laki-laki itu
kembali terdiam. Tiba-tiba saja dia kembali teringat pada almarhum istrinya. Betapa pada
saat melahirkan yang akhirnya mempertaruhkan
nyawa, istrinya sempat berpesan agar dia
dapat menjaga dan merawat anaknya dengan baik. Istrinya juga menginginkan
agar anaknya yang cuma satu-satunya itu
dapat hidup bahagia kelak di kemudian hari.
Kenyataannya selama ini dia hanya memperalat anaknya sendiri hanya demi
kepentingannya pula. Teringat akan hal itu, tiba-tiba saja ia berkata dengan
suara lunak. "Baiklah.. baiklah aku akan memenuhi
keinginamu. Akan tetapi dengan syarat
bahwa laki-laki yang kau cintai itu, harus bersedia membantuku...!"
Mendengar keputusan ayahnya, tentu si
gadis sangat gembira sekali, bahkan beberapa kali dia membungkuk hormat pada
orang tuanya. Walau sesungguhnya dia
sendiri belum merasa yakin apakah pemuda
yang menginap di rumahnya itu menaruh
hati padanya atau tidak, akan tetapi tanpa berfikir panjang dia menyanggupi
syarat yang diajukan oleh orang tuanya. Beberapa
saat kemudian laki-laki bertampang beringas itu kembali berpesan pada anaknya.
"Aku berharap kau tidak mengecewakan
harapan orang tuamu yang sudah tua ini,
akan tetapi walau aku memberi sebuah
kepercayaan padamu! Kau selalu berhati-
hatilah pada setiap orang...!"
"Terima kasih, Ayanda...!" jawab Jelita tersenyum.
"Kukira hanya itu kan yang perlu kau
sampaikan padaku...?"
tanya ahli s ihir Nukman Jaya Tiga Momba pada si gadis.
"Benar, Ayanda...."
"Nah kalau begitu kembalilah ke kedaimu, jangan lupa beri laporan padaku
setiap ada orang yang mempunyai maksud
untuk datang ke sini...!" pesan laki-laki itu.
Si Jelita hanya mengangguk-kan kepala.
Setelah memberi hormat pada ayahnya,
gadis yang sangat menawan itu melangkah
pergi. Sesampainya di halaman bangunan
yang megah itu, si gadis nampak berdiri
mematung. Sementara mulutnya nampak
berkomat-kamit membaca mantera, tak lama
kemudian dari tubuh si gadis
kembali mengepulkan asap tipis, asap itu bergulunggulung menyelimuti tubuh si gadis.
Beberapa saat berikutnya tubuh si gadis sudah berubah menjadi seekor burung hatu kembali. Setelah mengeluarkan suara aneh
beberapa kali. Dengan hanya sekali kepak saja burung
hantu jelmaan si gadis sudah melesat
menembus kegelapan malam.
* * * * * Pagi-pagi sekali Pendekar dari Negeri
Bunian itu telah terjaga dari tidurnya yang menggelisahkan.
Dengan terburu-buru pemuda itu segera memeriksa kamar si gadis jelita yang terletak di sebuah lorong
kecil di ujung bangunan penginapan. Melalui lubang
yang dibuatnya tadi malam. Pendekar Hina
Kelana mengintai ke dalam kamar. Dia
melihat gadis itu tengah tertidur pulas. Saat itu
tiada niat si pemuda untuk membangunkan si gadis. Baginya sebuah
pertanyaan sudah tidak memerlukan jawaban lagi. Dia sudah bertekad untuk
menembus rahasia Lembah Halilintar, walau
apa pun yang akan terjadi. Dia berpikir
kalaulah memang gadis yang sangat cantik
itu mempunyai hubungan dengan penghuni
Lembah Halilintar, toh pada akhirnya akan
ketahuan juga. Kalau hal itu nantinya
memang benar-benar terbukti, maka pemuda ini sudah
berniat untuk tidak pandang bulu dalam menumpas mereka.
Didasari dengan alasan-alasan itu dengan
cepat pula Buang Sengketa segera meninggalkan kamar si gadis sekaligus merupakan tempat dia menginap. Dengan
mempergunakan ajian Sapu Angin sebentar
saja Pendekar Hina Kelana mi sudah berada
jauh meninggalkan kota kecil Mentoak.
Begitu menjelang matahari terbit pemuda itu sudah
sampai di tengah-tengah rimba belantara. Kini pemuda itu sudah kembali
berjalan seperti biasa. Buang terus melangkah dan melangkah, hingga beberapa
saat kemudian nalurinya mengatakan bahwa
ada sesuatu yang sedang mengintainya.
Ternyata benar dugaannya karena tak begitu lama puluhan batu kerikil menderu dan
melesat ke arahnya, dalam keadaan seperti
itu tiada pilihan lain bagi Buang Sengketa tiada memiliki kesempatan yang
terkecuali memapasinya. Begitu tangannya terputar
dan bergerak ke atas maka benturan dua
tenaga besar tidak dapat dihindari lagi.
"Blaamm...!"
Senjata rahasia berupa kerikil-kerikil tadi terpental ke mana-mana. Baru saja
pemuda itu akan berkata, tiba-tiba saja kembali
senjata rahasia yang berupa tusuk kayu
Nibung yang ujung-ujung-nya
runcing bagaikan sembilu kembali meluruk ke arah
dirinya. Sumpah serapah berhamburan dari
mulut Pendekar dari Negeri Bunian. Dengan
mempergunakan jurus si Hina Mengusir
Lalat. Tangannya diputar
bagai sebuah baling-baling. Begitu senjata-senjata beracun itu melabrak tubuhnya.
"Praat.... plaar...!"
Kembali senjata-senjata itu berpentalan
ke mana-mana, bahkan dua di antaranya
berbalik dan menyerang pemiliknya. Bersamaan dengan desah tertahan orang-
orang yang menyerang Buang Sengketa
dengan senjata rahasia itu melompat ke luar dari
tempat persembunyiannya.
Begitu melihat siapa adanya orang yang menyerang
dirinya, dengan dingin pemuda itu menegur.
"Kakek tua! Kau telah membuatku repot, apakah
arti perbuatanmu
ini...?" tanya
Pendekar Hina Kelana heran.
Ditanya seperti itu, bukannya menjawab,
si kakek malah terkekeh.
"Hahaha... hehehe... huhuhu...!"
"Orang tua, aku tak butuh tawamu yang jelek
itu. Katakan sebelum habis kesabaranku...." bentak Buang Sengketa merasa muak melihat tawa si kakek. Namun
di luar dugaannya s i kakek malam membentak. "Apa pedulimu! Aku mau tertawa, menangis atau bahkan kencing di mukamu...?"
Melihat si kakek malah menghina dirinya,
mendadak telinganya jadi gatal-gatal panas.
"Hanya Orang gila saja yang bertingkah seperti itu! Atau barangkali kau memang


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang tidak waras" Minggirlah sebelum kau kubuat lebih gila lagi...!"
Diejek seperti itu si kakek menjadi
sangat marah: "Bocah sombong! Lancang sekali mulutmu terhadap si tua Juru Kunci
Lembah Halilintar...!"
Kemarahan si Kakek Rombeng sebaliknya malah membuat Pendekar dari
Negeri Bunian ini malah balik tertawa.
"Sekali pun kau merupakan juru kuncinya bapak moyangmu lembah iblis
sekali pun siapa takut...!" tukas si pemuda di ringi senyum getir.
Melihat si kakek tua yang sangat dihormati itu dihina sedemikian rupa sudah barang tentu si Kembar dari Bukit
Sumplung ini menjadi naik darah.
"Kakek! Potes saja kepalanya. Bukankah bocah edan ini juga bermaksud menuju
Lembah Halilintar...?" sela salah seorang di antaranya.
"Benar, Kek. Remukkan
saja batok kepalanya, supaya jangan bertingkah lagi di depan kita...!" kata yang satunya
pula. Si kakek tersenyum penuh maksud.
"Sabar dulu! Aku jadi ingin tahu apakah nyawanya cukup berharga untuk ditukar
dengan harta yang sangat menghebohkan
itu...!" Mendengar ocehan si kakek tentu saja
membuat pemuda ini, menjadi berubah sinis.
"Orang-orang sinting! Kalian kira aku sangat tergiur dengan kilauan permata"
Jangan menyangka bahwa aku ingin ikut
berburu harta itu...!"
"Jadi apa tujuanmu pergi ke Lembah
Halilintar kalau tidak ingin mengangkangi
harta itu...!" pancing si Kakek Rombeng.
Tiba-tiba Buang Sengketa mendengus,
kedua matanya berubah bagai mata seekor
ular Piton yang sedang marah.
"Puih.... Kakek Rombeng, dan kalian
orang Kembar kurang darah. Catat dalam
otak kalian bahwa kedatanganku ke mari
hanyalah ingin mengetahui mengapa orang-
orang dusun yang gila harta itu tak pernah kembali ke kampung halamannya. Aku
ingin mengetahui bagaimana nasib mereka. Seandainya mereka mengalami nasib seperti
yang tak kuingini. Maka Lembah Halilintar
yang menghebohkan
itu akan kuobrak-
abrik...!" tukas pemuda itu sangat marah.
Mendengar kata-kata Buang Sengketa,
seketika itu juga ketiga orang itu tergelak-gelak.
"Huahahaha... hahaha....! Bocah pentil, besar sekali nyalimu untuk dapat sampai
ke sana, dengan keinginan yang besar pula. Kau tak tahu betapa tingginya sebuah
gunung. Apakah yang kau andalkan?" ejek si kakek.
"Untuk memberantas kejahatan, sebuah
keyakinan dan dua tanganku ini sudah cukup untuk melakukannya...!"
"Hemmmm... hebat! Sungguh hebat...!"
si kakek mencemooh.
Melihat tingkah si kakek Buang Sengketa
semakin bertambah jengkel.
"Kalian bertiga... aku tak punya urusan dengan kalian! Minggiriah...!"
bentaknya. "Wee... enak saja! Begitu mudahnya kau mau berlalu dari hadapan kami...!" kata
si Kembar Muka Pucat menghadang.
"Heemmm... agaknya kalian merupakan
kaki tangan penghuni Lembah Halilintar,
kepalang basah. Menebang pohon harus
sampai ke akar-akarnya supaya tidak jadi
bumerang di kemudian hari!" gumam Pendekar Hina Kelana.
"Hahaha... bagus! Aku orang tua, betapa ingin mengetahui kehebatan di balik
nyalimu yang besar itu...." Setelah berkata begitu, Kakek Rombeng segera memberi
isyarat pada si Kembar dari Bukit Sumplung ini.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, dua
orang Kembar ini pun serentak maju dan
mulai melakukan serangan-serangan gencar.
Demikianlah pertarungan sengit pun tak
dapat dihindari lagi si Kembar Muka Pucat ini melakukan serangan dari dua arah,
pukulan-pukulan mematikan pun mencecar ke arah
bagian-bagian yang mematikan. Sementara
itu Buang Sengketa yang digempur dari dua
arah masih kelihatan tenang-tenang saja.
Setiap pukulan yang dilancarkan oleh si
Kembar selalu dapat dia elakkan dengan
mudah. Hal ini sudah barang tentu membuat
dua orang Kembar ini semakin bertambah
penasaran. Lalu keduanya pun segera meningkatkan serangannya. Tenaga dalam
mereka lipat gandakan. Setelah setiap serangan-serangan dapat dikandaskan oleh
Pendekar Hina Kelana. Keduanya pun bersurut beberapa langkah. Mereka saling
pandang sesamanya. Kemudian salah seorang di antaranya berseru lantang: "Adi...! Sebaiknya kita pukul remuk batok kepala bocah hina ini...!"
"Kalau begitu, kita pergunakan jurus
Sepasang Dewa Kembar Menangis...!" sela yang
seorang lagi sambil melompat mendekat ke arah saudaranya. Lalu dengan
cepat tangan kanan mereka saling bertautan dan bersatu. Hanya beberapa saat
berselang kedua tangan yang saling
melekat itu mengepulkan uap panas berwarna kuning
kebiru-biruan. Mengetahui lawannya ber-
maksud mengadu jiwa dengannya, maka
dengan cepat pula dia mengerahkan seperempat tenaganya ke seluruh dua tangannya. Di ringi dengan sebuah lengkingan menggelegar secara berbareng kedua Kembar ini melancarkan serangan. Tangan
keduanya terus meluncur ke arah Buang
Sengketa. Namun begitu tangan-tangan beracun itu hanya tinggal beberapa senti
saja sampai pada sasarannya. Pemuda itu
tanpa mengelak segera menyambut.
"Thaatk.... Thaatk...!"
Ditambah dengan satu pukulan susulan.
Tubuh kedua orang Kembar itu terlempar
beberapa tombak. Darah segar meleleh dari
celah hidung dan bibir keduanya. Kenyataan ini tentu saja membuat si kakek yang
sejak tadi mengawasi jalannya pertarungan menjadi terbelalak tak percaya. Melihat
kemampuan pemuda ini tahulah si Kakek
Rombeng bahwa pemuda berperiuk ini mempunyai kepandaian di atas si Kembar,
Apa-lagi tadi dia sempat melihat kedua
kawannya itu bagai memukul gunung batu,
ditambah dengan begitu cepatnya pemuda
itu menyerang. Hal ini semakin membuat si
Kakek Rombeng menjadi penasaran sekali.
Di lain pihak, si Kembar yang sempat
dibuat tunggang langgang oleh si pemuda
nampak sangat marah dan berubah menjadi
beringas. Kini keduanya telah bersiap-siap membangun serangan kembali. Hal ini
sudah barang tentu tak lepas dari perhatian si
kakek yang punya penilaian, kalau si Kembar kembali melakukan serangan dalam dua
gebrakan di depan sudah barang tentu akan
berakibat fatal buat kawannya ini. Begitu si Kembar Muka Pucat ini kembali
menerjang, si kakek mencegah.
"Sahabat Kembar hentikanlah! Pemuda
itu bukan tandinganmu...!"
Bagai dihipnotis, dua orang Kembar dari
Bukit Sumplung mendadak hentikan langkah
kemudian berpaling pada si kakek. Dengan
perasaan kurang senang mereka menegur:
"Mengapa engkau melarang kami, Orang
tua...?" Si Kakek Rombeng terkekeh: "Kalau
kalian tidak menuruti perintah! Dua jurus di depan kalian segera mampus...!"
Mendengar peringatan si kakek yang
mereka ketahui sebagai orang tua yang
berilmu sangat tinggi maklumlah kedua
orang ini, dengan perasaan kesal. Mereka
menepi Si kakek maju beberapa tindak
menghadapi pemuda itu. Kemudian setelah
memperhatikan Buang Sengketa dengan
teliti, orang tua itu berkata lirih.
"Orang muda! Kukira aku cukup pantas
menjadi lawanmu...!"
Buang Sengketa mendengus. "Orang tua, masih ada kesempatan bagi kalian untuk
segera minggat dari hadapanku. Aku tak
punya persoalan denganmu...!" kata pemuda itu mengingatkan.
"Kentut busuk! Kalau kau bisa mengalahkan aku. Aku baru bisa mengatakan bahwa kau pantas untuk mengobrak-abrik Lembah Halilintar...!" si kakek rombeng nampak marah sekali.
"Orang tua, Siapakah kau...!" tanya Buang Sengketa penasaran. Belum lagi
pemuda ini menyelesaikan kata-katanya, si
kakek berpakaian compang camping sudah


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerjang. "Mampuslah kau...."
Berkata begitu, si kakek langsung pukulkan senjatanya yang berupa sebuah
kecapi ke arah kepala si pemuda. Buang
Sengketa dengan cepat berkelit. Serangan si kakek menemui sasaran kosong.
Mengetahui serangannya gagal dengan cepat pula dia
babatkan senjatanya ke arah kaki si pemuda.
Senjata di tangan si kakek mengeluarkan
bunyi irama tak karuan. Buang Sengketa
masih dengan mempergunakan si Hina Mengusir Lalat herkelebat kian ke mari. Lagi-lagi senjata yang berupa kecapi itu
mencapai tempat yang kosong pula. Si Kakek Rombeng
itu tercenung beberapa saat lamanya, akan
tetapi tidak berapa lama kemudian laki-laki itu tersenyum Kemudian dia memainkan
alat musik yang berupa kecapi itu, kakek tua
bukannya malah bertempur akan tetapi kini
dia mulai menyanyi-nyanyi sambil menangis.
Buang Sengketa demi melihat ulah si kakek
nampak terdiam, akan tetapi bagai dirasuki kekuatan raksasa, pemuda itu tiba-
tiba saja merasakan kesedihan yang teramat sangat.
Tak pelak lagi kini pemuda itu jadi ikut-
ikutan menyanyi sambil menggerung. Begitu
pun dengan dua orang kawan si kakek.
Mereka jadi ikut-ikutan menyanyi-nyanyi dan di saat yang lain mereka menangis
tersedu-sedu. Nampaknya ilmu kepandaian si kakek
tua itu sedang menguasai jiwa mereka. Kini keadaan mereka bagai orang gila saja
layaknya. Lama-kelamaan Buang menyadari
apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
Dengan sebisa-bisanya ia mencoba memusatkan konsentrasinya. Tidak begitu
lama kemudian pemuda itu mengeluarkan
jeritan melengking yang berkepanjangan.
Daun-daun berguguran, dua orang kawan si
kakek terpental puluhan tombak. Bahkan si
Kakek Rombeng sempat surut beberapa
langkah. Menyaksikan kejadian ini sudah
barang tentu si kakek berseru kaget. Bahkan senjata kecapi yang sangat
diandalkannya pun hancur berkeping-keping. Andai saja
kakek rombeng itu tidak memiliki tenaga
dalam yang sudah sangat sempurna sudah
barang pasti kakek tua itu tewas seketika itu juga. Sebab apa yang baru saja
dilakukan oleh si pemuda tak lain adalah sebuah
kekuatan dahsyat dari sebuah ilmu Pemenggal Roh. Kini sadarlah kakek rombeng bahwa pemuda yang berdiri di
hadapannya itu merupakan
lawan yang sangat tangguh akan tetapi biarpun begitu
dia masih ingin menguji sampai di mana
kekuatan si pemuda. Setelah memandang
beberapa saat lamanya pada pemuda itu, tak begitu lama kemudian dia berkata:
"Bocah, kiranya kau berisi juga! Tapi jangan kau kira aku
telah kalah. Sekarang sebutkan namamu, sebelum segala-galanya terlambat
bagimu...!"
Pendekar dari Negeri Bunian itu mendengus: "Kakek tua... apa artinya sebuah nama! Aku hanyalah manusia Hina
Kelana yang mengembara kemana saja aku
mau! Sekali lagi kuperingatkan padamu,
kalau kau memang bukan merupakan antek-
antek penguasa Lembah Halilintar, minggirlah! Sebab aku tak pernah bertindak setengah-setengah...!"
tukas si pemuda sambil menatap tajam pada si kakek.
Dipandang seperti itu sebaliknya si kakek
malah tertawa "Ohh... rupanya
julukanmu si Hina Kelana... hehehe. . tapi walau kau menyandang gelar dedemit sekalipun jangan
kau kira aku takut...!"
Melihat ulah si kakek ini lama-kelamaan
Buang Sengketa menjadi jengkel. Kemudian
dia Membentak: "Kakek gila! Aku tak punya banyak waktu untuk melayanimu, kalau
kau punya senjata yang kau andalkan cepat
cabutlah...!"
Usai berkata begitu, tanpa memberi
kesempatan pada si kakek untuk berkata-
kata lagi Buang Sengketa langsung menerjang si Kakek Rombeng. Si kakek
berhasil berkelit dan lancarkan serangan
balasan. Pertempuran berlangsung semakin
seru. Apalagi mengingat si Kakek Rombeng
ini juga termasuk salah seorang tokoh kosen di bagian tanah Jawa Wetan. Yang
tentunya sudah banyak makan asam garam dunia
persilatan selama belasan tahun. Tentu dia telah mengenal seluk beluk dan liku-
liku dunia persilatan. Akan halnya Buang Sengketa yang benar-benar masih hijau
dalam sepak terjang dunia persilatan. Menghadapi serangan-serangan gencar yang
dilakukan oleh si kakek tentu dia merasa
agak kerepotan juga. Masih untung dulunya
pemuda ini mendapat gemblengan yang
cukup matang dari gurunya si Bangkotan
Koreng Seribu. Di samping itu dengan
berbekal berbagai ilmu silat yang diciptakan oleh si kakek sakti itu secara
sempurna. Sedikit banyaknya dalam menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan oleh si kakek, pemuda itu tidak menjadi
gugup. Demikianlah pertarungan telah mencapai
puluhan jurus, namun tak satu pun serangan si Kakek Rombeng mengenai sasarannya.
Sementara itu Buang Sengketa untuk melindungi dirinya, kini telah mempergunakan jurus "Si Gila Mengamuk".
Sebuah jurus tingkat kedua yang pernah
diturunkan oleh gurunya. Hal ini saja sudah membuktikan
bahwa kakek perpakaian compang camping itu adalah merupakan
seorang lawan yang sangat tangguh.
Mungkin karena setiap pukulan- pukulan yang dia lancarkan selalu dapat
dipatahkan oleh Buang Sengketa atau karena si kakek sudah merasa sangat jengkel.
Beberapa saat kemudian kakek ini nampak
melompat ke belakang beberapa langkah.
Kemudian dia berseru lantang: "Bocah... kau sungguh luar biasa. Tiga puluh jurus
andalan telah kupergunakan! Selama aku malang
melintang di dunia pers ilatan belum pernah hal itu sampai terjadi. Akan tetapi
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 5 Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Riang 12
^