Pencarian

Pedang Ular Emas 2

Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas Bagian 2


menghalangi dengan sambaran pedangnya. Meskipun
pedang miliknya itu tinggal separuh.
Tindakan Arso Lumbing ini sangat ceroboh. Ia
tidak memperhitungkan akan kehebatan tokoh sesat
penguasa Gunung Tunggul. Apalagi sosok Nilasari
Grewek menggunakan Pedang Ular Emas. Setiap sam-
baran pedangnya menyebarkan tenaga dalam yang te-
ramat dahsyat. Selama ia menghindari serangan-
serangan itu Arso Lumbing harus mundur-mundur
terhuyung. Kesempatan itu digunakan Nilasari Grewek untuk melepaskan pukulan
Tombak Gunung. "Des....!"
Pukulan tersebut tanpa bisa dihindari, Arso
Lumbing terjungkal hebat. Tubuhnya hampir saja ma-
suk ke dalam kobaran api. Manakala api semakin
membesar merambat membakari setiap gubuk. Semua
pengawalnya sudah tidak nampak. Begitu juga dengan Kumbayana. Ia ikut lenyap
bersama orang-orang itu.
Sementara penduduk desa tersebut berlari me-
nyingkir dari sengatan api yang membakar tubuh. Mereka tidak memiliki harapan
lagi. Semua gubuk sudah terbakar habis. Api meletup-letup bagai neraka jahanam.
Di tengah-tengah, Arso Lumbing setengah mati bergulingan menghindari sambaran
pedang. Nenek Penguasa Gunung Tunggul mendesaknya ke arah ko-
baran api. Dan Arso Lumbing benar-benar telah masuk dalam perangkapnya. Tidak
mungkin ia harus masuk
ke dalam api tersebut. Serta merta ia nekat bangkit menyambut serangan Nilasari
Grewek. Anak muda macam Arso Lumbing ini memang
bukan lawan sembarangan. Kepandaiannya jauh satu
tingkat dari Tala Metu. Itulah sebabnya ia sanggup mengimbangi serta menahan
hantaman Tombak Gunung yang dimiliki Nilasari Grewek, tapi menghadapi Pedang
Ular Emas, Arso Lumbing harus kelabakan.
Tanpa di duga-duga....
"Sreeet...! Sreeeet....!"
Sekujur tubuh Arso Lumbing yang melompat-
lompat bagai seekor kijang terasa nyeri. Tahu-tahu pakaiannya sudah terkoyak
sampai menembus kulit tu-
buhnya. * * * 7 Sambaran pedang Nilasari Grewek tidak ber-
henti sampai di situ. Melihat Arso Lumbing kepayahan dengan luka-lukanya, Nenek
Penguasa Gunung Tunggul mengarahkan babatan pedang ke bagian leher. Te-riakannya
lantang disertai dengan tenaga yang sangat keras. "Hreaaaaa......!"
Leretan sinar keemasan membersit, namun si-
nar keemasan itu mendadak terputus.... Karena...
"Zplaaaak!"
Lengan Nilasari Grewek seperti bergetar. Seseo-
rang telah menggagalkan niatnya. Arso Lumbing tetap berdiri dipinggiran kobaran
api. Baik Nilasari Grewek maupun Arso Lumbing membelalakan mata. Karena di
saat itu mereka melihat sosok pendekar mengenakan
pakaian bulu binatang berdiri di antara mereka.
"Sobat Wintara, syukurlah kau datang tepat
pada waktunya!" ujar Arso Lumbing. Wintara menjawab tersenyum...
"Aku curiga dengan kebakaran yang sangat be-
sar ini, sobat Arso Lumbing. Maka aku datang sendiri kemari."
"Bangsat! Kiranya anjing buduk macam Pende-
kar Kelana Sakti telah berani pula mengusik! Baiklah, malam ini kalian akan
mampus bersama putra Resi
Wesakih!" bentak Nilasari Grewek.
"Aku tidak pernah pusing dengan segala sepak
terjangmu, Nenek keriput. Tapi karena kau merebut
Pedang Ular Emas dari tangan Umbayani, aku harus
terpaksa campur tangan!" jawab Wintara. Nilasari Grewek menatap geram...
"Anjing penjilat! Kau boleh rasakan ini!
Hraaaaa....!"
Nilasari Grewek lepaskan hantaman Tombak
Gunungnya. Tapi Wintara yang selalu berhati-hati itu cepat bertindak memapak
dengan hantaman Tinju
Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaaar....!" Hantaman mereka beradu. Keduanya terdorong mundur beberapa
langkah. Wintara
cepat menyusun kekuatan lagi. Nenek Penguasa Gu-
nung Tunggul nampaknya sudah menyerang. Kali ini
ia melancarkan dua serangan sekaligus. Jurus Tombak Gunung digabungkan dengan
babatan Pedang Ular
Emas. Akibatnya sangat dahsyat sekali.
Wintara yang menyambutnya dengan hanta-
man Tinju Bayu Delapan Penjuru itu nyaris ambruk ke tanah. Hantaman Tombak
Gunung melenceng ke
samping. Babatan Pedang Ular Emas membuat Winta-
ra terkesiap menghadapinya. Untunglah ia cepat me-runduk.
"Kau boleh selalu unggul dalam menghadapi
aku, Pendekar ingusan! Tapi sekarang jangan coba-
coba lagi bertingkah! Heaaaaa.....!" Sekali lagi Nilasari Grewek membersitkan
Pedang Ular Emas. Wintara melompat mundur ke belakang sambil lepaskan jurus
Menyibak Tirai Bayu....
"Aiiiiik......!" Nilasari Grewek memekik hebat.
Hantaman itu rupanya mengena tepat di tubuh Nilasa-ri Grewek. Tubuhnya mundur
terhuyung. Melihat itupun Wintara terus melompat ke depan. Dua hanta-
mannya siap di lancarkan lagi. Tapi Wintara cepat
mengurungkan niatnya. Karena Nilasari Grewek cepat menghindar berlari ke arah
kerumunan para penduduk desa yang ketakutan.
"Kalian ingin cepat-cepat mampus rupanya!
Kenapa hanya diam menonton" Hayo bantu aku
menghabiskan dua orang keparat itu!" bentak Nilasari Grewek pada orang-orang
desa. Wintara dapat melihat betapa para penduduk
desa merasa seperti tertekan. Dan nampak pula mere-ka sangat ketakutan terhadap
Nilasari Grewek.
"Tunggu apalagi! Hayo gempur mereka!" perintah Penguasa Gunung Tunggul, maka
dengan sangat terpaksa mereka semua berlari menghambur mengu-
rung Wintara dan Arso Lumbing. Serangan-serangan
mereka ragu-ragu dan ngawur. Dua pendekar ini dapat dengan mudah menangkis atau
menghindar. Selama
menghadapi para penduduk desa keduanya tidak per-
nah melakukan serangan balasan. Karena mereka ta-
hu, tindakan orang-orang itu hanya dikarenakan an-
caman Nilasari Grewek.
Namun begitu, kedua pendekar ini cukup dire-
potkan. Serangan-serangan penduduk desa makin
gencar. Perempuan, laki-laki, tua, muda, semua ikut menggempur. Di tengah-tengah
kobaran api yang meletup-letup kian riuh oleh suara-suara teriakan mereka.
"Hentikan serangan.....! Hentikan serangan....!"
Di antara suara-suara teriakan itu, terdengar suara yang lebih lantang. Kiranya
seorang lelaki yang cukup berani. Ia menghalangi tiap-tiap serangan penduduk
desa. "Kalian telah bertindak salah! Jangan menyerang lagi...!" Laki-laki ini
berdiri melindungi Wintara dan Arso Lumbing.
"kataku hentikan....!" Ia berteriak lebih keras.
"Adisena, kita harus menuruti perintah nenek
itu, kalau tidak kita akan celaka!" jawab mereka. Ternyata laki-laki pemberani
itu Adisena adanya.
"Sekarang tidak perlu lagi menuruti perintah-
nya! Kalian lihat di sana. Tua bangka itu sudah pergi!
Dia sengaja menggunakan kita untuk jalan melarikan diri!" teriak Adisena. Demi
mendengar itu semuanya serentak menoleh ke belakang. Tidak ada lagi sosok
Nilasari Grewek di sana. Yang ada hanya kobaran api
menjilat habis gubuk-gubuk. Lalu mereka seperti menyesal telah bertindak
ceroboh. "Nenek keriput itu adalah seorang tokoh sesat.
Gara-gara kalian, kami telah gagal melumpuhkannya."
ujar Arso Lumbing.
"Maafkan kami, pendekar-pendekar gagah. Ne-
nek itu telah menguasai kami. Kami tidak dapat berbuat apa-apa di bawah
ancamannya yang tidak pernah main-main." jawab Adisena.
"Syukurlah kalau sekarang kalian telah menya-
darinya. Sekarang apa tindakan kalian?" kata Wintara.
Mereka semua diam. Tidak satupun yang berani men-
jawab. "Tidak ada jalan lain. Kami semua tidak berani menghadapi nenek berilmu
tinggi itu. Sekarang kami berharap akan berlindung terhadap pendekar-pendekar
yang gagah ini. Sebab kami yakin tua bangka itu pasti akan membantai kami satu
demi satu seperti apa yang pernah ia lakukan terhadap teman-teman di kampung
ini." jawab Adisena. Wintara dan Arso Lumbing berpikir sebentar. Apa yang mereka
khawatirkan benar adanya. Nilasari Grewek memang selalu bertindak telengas. Hal
ini perlu di pikirkan.
"Baiklah untuk sementara kalian boleh berga-
bung dengan kami. Kita berkumpul saja di gubuk
Kumbayana." jawab Arso Lumbing. Mendengar kepu-tusan itu para penduduk ini amat
gembira. "Bukankah Kumbayana telah pergi bersama pa-
ra pengawal tadi?" ujar Adisena.
"Hm.... Kalian tidak perlu cemas. Ia bersama
orang-orang kami. Di sana ia akan aman." tukas Arso Lumbing.
"Sekarang kalian padamkan saja kobaran api
ini. Setelah itu kita berangkat ke Belantara Sawungan." kata Wintara. Mendengar
perintah itu, Adisena memimpin para penduduk bekerja keras memadamkan
api. Dua pendekar ini tidak hanya berpangku tangan.
Mereka ikut pula bahu membahu. Apalagi mereka be-
rilmu tinggi. Dengan ilmu peringan tubuh kedua pendekar ini menyambar cepat
ember-ember berisi air.
*** Kicau burung saling cicit memamerkan sua-
ranya yang merdu. Saat itu sang mentari menyinari
permukaan Belantara Sawungan. Dan udara masih
sangat dingin menyengat kulit.
Di sekitar gubuk Kumbayana banyak orang du-
duk menahan rasa ngantuk. Mereka tidak lain para
penduduk desa terpencil yang mengungsi. Semalaman
suntuk mereka tidak tidur. Karena harus bekerja keras menanggulangi kebakaran
yang membakar hangus
gubuk-gubuk mereka.
Para murid Perguruan Pedang Ular melayani
mereka. Membantu membuat dapur-dapur umum. Di
kejauhan sana masih mengepul asap kehitaman mem-
bumbung tinggi ke langit. Orang-orang itu masih memikirkan nasib gubuknya yang
kini menjadi arang.
Sementara itu di dalam gubuk, nampak bebe-
rapa orang tengah duduk mengelilingi Kumbayana.
Keadaannya jauh lebih parah. Racun yang diberikan
oleh Nilasari Grewek telah menjalar. Seluruh tubuhnya pucat. Bibirnya tidak lagi
merah. Kini berubah hampir biru pucat, serta kedua kelopak matanya yang lebar
menyeramkan nampak kuyu. Detak jantungnya sangat
keras. Sukar sekali bagi Kumbayana untuk bernafas.
Sudah sejak tadi Wintara maupun Resi Wesakih men-
gadakan pertolongan Mereka menyalurkan tenaga inti ke tubuh Kumbayana. Namun
usaha mereka nampaknya hanya sia-sia. Hampir satu jam lebih mereka lakukan
pertolongan, tapi tidak ada tanda-tanda perubahan pada diri Kumbayana.
"Hanya membuang-buang tenaga saja. Kalau
begini terus, kita tidak dapat mengobati Umbamayu.
Gadis itu jauh lebih parah dan mesti ditolong." ujar Kumbayana. Ia seperti
hendak bangkit. Wintara berusaha menahan.
"Bagaimana kau bisa mengobatinya kalau kau
sendiri tengah keracunan begini." kata Wintara. Kumbayana tersenyum pahit.
"Tak apa, Pendekar muda. Keselamatan Um-
bamayu lebih kita utamakan. Umurku masih ada satu
hari lagi, masih sempat membuat penawar racun ter-
sebut." jawab Kumbayana. Tubuhnya memang agak lemah. Waktu berdiri, Arso Lumbing
dan Umbayani membantunya. Begitu juga saat ia melangkah berjalan.
Dua muda mudi ini harus menuntunnya.
"Tolong ambilkan peralatan ku di atas meja."
kata Kumbayana pada Wintara yang berdiri memper-
hatikan. Kumbayana melangkah ke arah sebuah ka-
mar. Hati-hati sekali Arso Lumbing dan Umbayani menuntun. Di kamar itu terbaring
sosok Umbamayu den-
gan tubuh yang dingin.
"Cah Ayu, malang benar nasibmu. Sudah se-
kian lama terpisah dengan keluarga, harus pula terkena hantaman Tombak Gunung.
Aku pun masih mera-
gukan. Apakah masih bisa mengobatinya?" ujar Kumbayana setelah melihat sosok
Umbamayu. "Sungguh kami merasa kurang enak meminta
pertolongan kepadamu, Kumbayana. Kalau memang
merasa lelah jangan dipaksakan." kata Arso Lumbing.
Umbayani memijit-mijit tubuh Umbamayu. Ia membe-
tulkan letak selimut tebal.
"Sudah menjadi kewajiban menolong orang
yang terluka. Itu memang tugasku." jawab Kumbayana.
Wintara masuk membawa peralatan dukun
sakti Kumbayana. Sebuah bungkusan kecil diserahkan pada dukun sakti itu. Resi
Wesakih ikut masuk mengikuti Wintara.
Setelah menerima bungkusan itu, Kumbayana
langsung membukanya. Kiranya bungkusan itu berisi
belasan pedang kecil. Pedang-pedang kecil itu berukuran sebesar mata jarum,
Terbuat dari emas murni. Suatu buatan yang sangat sempurna.
Kumbayana duduk di samping Umbamayu
yang terbaring. Arso Lumbing membantu membuka se-
limut tebal yang menyelubungi tubuh Umbamayu.
"Hal ini mengingatkan aku pada peristiwa dua
puluh tahun yang lalu. Sayang waktu itu aku belum
sanggup mengobati akibat hantaman Tombak Gunung,
sehingga majikan Perguruan Pedang Ular tidak bisa di selamatkan. Hari ini pun
aku khawatir akan gagal."
"Kita tidak akan penasaran bila sudah melaku-
kan usaha, Kumbayana." tukas Arso Lumbing.
* * * 8 Terlebih dahulu Kumbayana merendam pe-
dang-pedang kecil ke dalam air panas. Umbayani
membuka seluruh pakaian yang melekat ditubuh Um-
bamayu. Pendekar-pendekar lelaki sudah tidak berada dalam ruangan itu. Saat
Kumbayana mulai mengobati
Umbamayu mereka sudah berada di luar gubuk.
Mereka melihat para penduduk desa yang men-
gungsi tengah menikmati teh hangat. Ada pula yang


Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rebahan melepaskan rasa ngantuk. Para murid Pergu-
ruan Pedang Ular nampak sedang memberi makan ku-
da. Asap hitam yang mengepul di ujung sana mulai
menipis. Resi Wesakih duduk di depan gubuk. Wintara berdiri memandang ke langit.
Hanya Arso Lumbing
yang nampak cemas. Ia takut akan kehilangan Umba-
mayu. "Nilasari Grewek memang sangat licik. Dari du-lu orang-orang persilatan
selalu terkecoh. Entah sudah berapa banyak nyawa yang melayang di tangannya."
ujar Resi Wesakih mengawali pembicaraan.
"Dia memang berilmu setinggi langit, dan lagi selalu mendapat kesempatan
melarikan diri." jawab Wintara.
"Tapi yang kudengar dari Kumbayana, bahwa
Nilasari Grewek juga tengah terluka. Dia berusaha ma-ti-matian menahan
Kumbayana, bahkan sampai mera-
cuninya." "Sungguh biadab! Ingin meminta pertolongan
tapi malah meracuninya." gerutu Wintara.
"Bukan Nilasari Grewek kalau ia bersikap baik-baik. Kalau ada kesempatan, biar
kepalanya kuhan-
curkan." tukas Arso Lumbing. Pemuda tampan ini sangat dendam terhadap Penguasa
Gunung Tunggul.
Pakaiannya tetap terkoyak. Tapi luka-luka babatan
pedang sudah dibalut.
"Jangan khawatir, Nilasari Grewek pasti tidak pergi terlalu jauh dari sini. Ia
masih membutuhkan
pertolongan Kumbayana. Kita masih punya harapan
untuk merebut kembali Pedang Ular Emas." kata Resi Wesakih.
Di dalam ruangan khusus, Umbayani menatap
keheranan melihat cara-cara pengobatan yang dilakukan Kumbayana. Tubuh Umbamayu
yang telanjang tanpa selembar benang itu mendapat cara pengobatan yang sangat mengerikan. Tiap-
tiap persendiannya telah menancap sebatang pedang kecil.
Setiap kali Kumbayana menancapkan pedang
itu, Umbayani hampir tidak tahan melihat. Ia sudah membayangkan betapa sakitnya.
Untunglah Umbamayu dalam keadaan tidak sadar. Kurang lebih pe-
dang-pedang kecil itu telah digunakan sebanyak dua belas batang. Dari telapak
kaki, lutut, pinggang, pangkal lengan bahkan sampai tulang dahi. Selama mela-
kukan itu Kumbayana menguras habis tenaganya. Ke-
ringat telah mengucur membasahi tubuhnya. Selama
itu pula Umbayani membantu menyeka keringat Kum-
bayana. Pengobatan macam itu dilakukan kurang lebih hampir dua jam penuh.
Kumbayana menghela nafas
ketika ia selesai menancapkan pedang kecil terakhir.
Lalu mencuci kedua tangannya dengan air hangat
yang tersedia di sampingnya.
Umbayani menutup kembali tubuh Umbamayu
dengan selimut tebal. Membiarkan pedang-pedang ke-
cil yang menancap di seluruh persendian Umbamayu
ikut tertutup. "Cuma ini yang bisa aku lakukan, Umbayani.
Kita lihat saja hasilnya nanti." ujar Kumbayana seraya bangkit dari tempat
pembaringan. "Mudah-mudahan saja berhasil, biar aku yang
menjaganya di sini." kata Umbayani. Gadis ini menuntun Kumbayana keluar dari
ruangan itu. "Umbamayu memang harus dirawat dan dijaga.
Sebab pedang-pedang kecil itu tidak selamanya me-
nancap terus menerus." tukas Kumbayana. Mereka sudah berada di luar ruangan. Dan
menemui para pendekar lain yang berada di depan gubuk.
Di luar nampak ramai sekali, para penduduk
yang tengah mengungsi nampak sedang beristirahat.
Para Pendekar ini menyambut kehadiran Kumbayana.
"Bagaimana, Kumbayana. Nampaknya kau le-
lah sekali." ujar Resi Wesakih. Laki-laki berambut putih ini memberikan tempat
duduk. Umbayani hati-hati sekali mendudukan Kumbayana.
"Belum bisa dipastikan. Kalian sudah terlambat membawanya kemari. Keadaannya
lebih parah dari
ayahnya dulu." Mendengar ucapan Kumbayana Arso Lumbing nampak gelisah sekali.
"Sekarang tinggal memikirkan bagaimana me-
nawarkan racun yang mengeram di tubuhmu, Kum-
bayana. Apakah ada jalan lain yang dapat kami ban-
tu?" tukas Wintara.
"Aku memang seorang dukun sekaligus ahli da-
lam pengobatan. Tapi menghadapi racun ini, aku be-
nar-benar tidak berdaya." jelas Kumbayana. Wajahnya sangat pucat, sepertinya
peredaran jalan darah ter-sumbat. Wajah 'Buto Ijo' nya nampak memelas. Phi-
syiknya pun sangat lemah.
"Satu-satunya jalan, harus menemui Nilasari
Grewek untuk meminta penawarnya. Ku pikir cuma
itu!" ujar Arso Lumbing.
"Enak saja kalau ngomong! Kemana kita harus
mencari nenek keriput itu?" tukas Resi Wesakih, ayahnya. Kembali semuanya diam.
Tidak ada sepatah katapun yang dapat memecahkan persoalan itu.
Umbayani berjalan masuk kembali ke dalam
gubuk. Langsung ditemui kakaknya yang terbaring pe-
nuh dengan pedang-pedang kecil. Ia menatap iba wa-
jah cantik Umbamayu. Sosok yang tidak berdaya. Tan-pa bersuara ia duduk di
sebelah sosok terbaring itu.
Udara sejuk dapat masuk melalui jendela yang
terbuka. Juga sinar matahari menerobos menghangati mereka. Tapi mendadak saja
kedua mata Umbayani
membelalak. Pedang yang menancap di tulang dahi
Umbamayu mengeluarkan darah hitam kental. Melihat
itupun, Umbayani jadi sangat takut.
"Kumbayana....! Kumbayana....!" Spontan ia berteriak-teriak. Mendengar teriakan
Umbayani dari dalam ruangan di mana Umbamayu terbaring, para
pendekar di luar gubuk ini berlarian masuk ke dalam.
Wintara cepat menuntun masuk Kumbayana. Mereka
berkumpul semua dalam ruangan itu. Semuanya me-
natap darah kehitaman meleleh di sekitar tulang dahi Umbamayu.
"Tenanglah.... Tenanglah. Darah hitam ini adalah darah mati akibat hantaman
Tombak Gunung. Syukurlah bisa keluar secepatnya." ujar Kumbayana.
Perlahan lelaki pucat pasi ini mencabut pedang pendek dari tulang dahi.
"Harapannya sangat tipis. Masih ada sebelas
mata pedang lagi di tubuhnya." kata Kumbayana lagi.
Melihat itupun Arso Lumbing menyeka darah hitam
yang meleleh. "Selama darah hitam itu masih keluar, bersih-
kan terus." perintah Kumbayana.
"Apakah pedang-pedang kecil ini akan menye-
dot keluar darah mati yang mengeram di tubuh Um-
bamayu?" tanya Umbayani.
"Hm.... Seperti yang sudah-sudah, pedang-
pedang kecil ini mesti dicabut setelah mengeluarkan darah mati. Biasanya satu
hari sekali pedang ini mesti dicabut, berarti sebelas hari lagi kita mesti
menja- ganya." jawab Kumbayana.
"Kejadian in tidak apa-apa, tidak perlu gelisah, Arso Lumbing." kata Kumbayana
lagi, Putra tunggal Resi Wesakih ini memang nampak cemas dengan keadaan
Umbamayu. "Biarkan saja Umbamayu beristirahat tenang di sini. Harap dijaga saja." ujar
Kumbayana. Ia bangkit dari tempat pembaringan. Wintara bantu Kumbayana
melangkah keluar. Resi Wesakih mengikutinya. Arso
Lumbing bersama Umbayani menjaga Umbamayu.
"Rasanya aku hampir tidak tahan dengan hidup
begini. Aku yakin beberapa saat lagi akan tewas keracunan." kata Kumbayana
ketika berada di luar gubuk.
"Jangan putus asa, Kumbayana. Kalau masih
punya semangat hidup, kau akan selamat." jawab Resi Wesakih.
"Seperti yang dikatakan Arso Lumbing. Aku ha-
rus menemui Nilasari Grewek. Cuma itu jalan satu-
satunya." kata Kumbayana.
"Tindakan itu akan membahayakan diri mu, ki-
ta tahu siapa Nilasari Grewek."
"Tidak mungkin dia akan bersikap buruk ter-
hadapku. Karena Nilasari Grewek masih membutuh-
kan pertolongan. Akulah orang yang dapat menyem-
buhkan luka-lukanya." jawab Kumbayana.
"Kalau begitu, aku akan mengawal selama
mencari tokoh sesat itu." Usul Wintara.
"Aku rasa tidak perlu. Bukannya aku mengang-
gap remeh, tapi kalau dalam hal ini ada campur tangan orang-orang persilatan
malah akan menjadi ru-
suh." Kumbayana tersenyum getir.
"Lalu anda akan pergi sendiri dalam keadaan
seperti ini?"
"Tentu saja tidak. Aku akan pergi bersama Adisena. Aku kira dia dapat membantu.
Dan juga tidak mengundang curiga bagi Nilasari Grewek." jawab Kumbayana.
Saat itu kebetulan Adisena mendatangi mereka
sambil membawa sebuah nampan besar berisi maka-
nan. Pemuda ini meletakkan nampan itu di atas balai di depan gubuk.
"Adisena, harap kau ikut aku menelusuri Be-
lantara Sawungan. Kita harus cari kembali Nilasari Grewek." ujar Kumbayana.
"Aku...." Kenapa mesti aku?" Adisena gelagapan. "Jangan khawatir Adisena, aku
berani jamin kau tidak akan apa-apa."
Adisena gelagapan. Ia tidak bisa mengelak. Ke-
pergian merekapun tidak bisa dihalangi. Para pendekar ini hanya memberikan restu
agar mereka berhasil menemui Nilasari Grewek. Tapi akankah Penguasa Gu-
nung Tunggul itu mau memberikan penawar racun
tersebut" Bagaimana nanti kalau sikap Nilasari Grewek malah mencelakakan mereka"
Kumbayana yang dalam keadaan parah itu tidak mungkin dapat menga-
tasi. Apalagi Adisena tidak berkemampuan apa-apa.
Dengan menggunakan kereta kuda, Adisena
membawa Kumbayana menerobos belantara Sawun-
gan. Roda kereta berderak-derak menggilas dataran
berumput. Selama dalam perjalanannya Adisena selalu menoleh kanan dan kiri,
dirinya merasa was-was.
Kumbayana yang berada dalam kereta kuda
duduk bersila. Kedua matanya dapat melihat keluar melalui jendela kereta. Ia
benar-benar berharap akan menemui Nilasari Grewek. Saat itu mereka sudah jauh
meninggalkan gubuknya.
Sekarang harus dilalui bekas-bekas puing ter-
bakar. Tidak ada yang nampak gubuk utuh. Rata-rata telah hangus rata dengan
tanah. Sementara asap kehi-
taman mulai pupus terbawa angin. Mereka berhenti di tempat itu. Mereka mengira
Nilasari Grewek dapat di temuinya.
Namun tempat itu sangat sunyi. Tiada satu so-
sokpun yang nampak. Apalagi sosok Nilasari Grewek.
Yang ada hanya hembusan debu menyiram muka.
"Nilasari Grewek....! Di mana kau! Keluarlah.
Aku membawa Kumbayana!" teriak Adisena sambil menutup wajahnya dari hembusan
debu hitam bercampur asap. Suara Adisena menggema. Tapi mereka
tidak mendengar adanya jawaban.
"Jalan terus, Adisena! Cari ke tempat lain!" Perintah Kumbayana. Roda keretapun
berderak lagi bersama helaan Adisena mencambuk kuda penarik.
* * * 9 Kereta itu terus melaju semakin menembus be-
lantara Sawungan. Seharian penuh telah mereka lewa-ti. Namun belum juga
ditemukan sosok Nilasari Gre-
wek. Adisena yang mengendalikan kereta kuda nam-
pak sudah sangat lelah. Begitu juga Kumbayana yang berada di dalam kereta itu.
Manakala hari mulai gelap.
Kumbayana memerintahkan beristirahat di tempat itu.
Kumbayana tidak perlu merasa takut dalam be-
lantara tersebut. Sebagai orang yang telah hidup puluhan tahun dalam hutan itu,
ia tabu benar akan kea-
daan hutan Sawungan. Tidak ada satu ekor binatang
buaspun yang berkeliaran di situ. Kecuali burung-
burung dan binatang jinak lainnya.
Tapi bagi Adisena, ia takut sekali. Karena ia ha-
rus berjaga sendirian di luar kereta. Suara binatang malam dan udara dingin amat
menakutkan. Sementara itu suasana malam menyelubungi
gubuk Kumbayana. Para penduduk yang mengungsi
sudah tertidur lelap di sembarang tempat. Maka pelataran gubuk yang bersih itu
nampak dipenuhi orang.
Udara yang dingin tidak mereka perdulikan.
Para murid Perguruan Pedang Ular berjaga-jaga
bergantian. Wintara duduk sendiri di teras gubuk ber-lantai kayu. Letupan api
unggun sayup-sayup terdengar di sampingnya.
Di dalam sebuah ruangan, Umbayani sudah
tertidur lelap juga. Seharian penuh ia menjaga Umbamayu. Kini Arso Lumbing yang
menjaganya. Di sudut
ruangan itu Resi Wesakih duduk merenung. Ruangan
itu di terangi dua buah lampu pelita. Arso Lumbing dapat melihat wajah cantik
Umbamayu terlentang belum sadarkan diri.
Tiba-tiba saja angin bertiup kencang menerpa
daun jendela. Suara itu sampai berderak keras. Membangunkan Umbayani yang sudah
terlelap tidur. Angin menerobos ke dalam ruangan kamar. Menyibak selimut penutup
tubuh Umbamayu. Cepat-cepat Arso
Lumbing membetulkan letak selimut, tapi baru saja ia hendak menutupinya. Ia
terkejut setengah mati.
Mata ngantuk Umbayani juga jadi terbelalak.
Melihat itupun Resi Wesakih bangkit dari duduknya.
Mereka melihat dua pedang kecil yang menancap pada telapak kaki Umbamayu
mengeluarkan darah hitam.
Seperti apa yang diperintahkan Kumbayana,
Resi Wesakih perlahan-lahan mencabut kedua pedang
tersebut. Umbayani mempersiapkan air hangat. Arso
Lumbing membersihkan kedua telapak kaki Umba-
mayu yang meleleh darah mati.
"Dua pedang dicabut sekaligus. Apakah itu di-
benarkan, Paman?" tanya Umbayani. "Bukankah ia memerintahkan satu hari satu
pedang yang mesti dicabut?" "Itu kalau satu pedang yang telah mengeluarkan darah
mati." jawab Resi Wesakih.
"Ayah, dari telapak kaki ini terlalu banyak darah keluar." ujar Arso Lumbing
khawatir. "Bersihkan saja terus. Usahakan sampai keluar semua." tukas Resi Wesakih. Arso
Lumbing menurut.
Ia membersihkan darah-darah hitam di kaki Umba-
mayu dengan air hangat. Umbayani bangkit menutup
jendela. "Daya tahan tubuh Umbamayu sangat kuat.
Masih ada harapan bisa sembuh." tutur Resi Wesakih.
Memang betul. Andaikata orang lain yang ter-


Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kena hantaman Tombak Gunung pasti sudah binasa.
Tapi untuk Umbamayu tidak. Mungkin dikarenakan
perempuan ini bekas murid Nilasari Grewek. Sedikit banyaknya ia telah memiliki
dasar-dasar jurus Tombak Gunung.
Kekhawatiran mereka agak berkurang ketika
suatu hari tubuh Umbamayu berangsur-angsur han-
gat. Tubuhnya tidak lagi pucat seperti sebelumnya. Bibirnya yang mungil nampak
merah, terkadang pula
nampak bergetar.
Apalagi ketika dua buah pedang kecil di bagian
lututnya mencairkan darah kehitaman. Arso Lumbing
makin bersemangat membersihkannya. Itu berarti su-
dah lima batang pedang kecil keluar dari tubuh Um-
bamayu. Dalam waktu dua hari saja, lima pedang kecil sudah dikeluarkan. Betul-
betul luar biasa. Berarti masih ada tujuh batang lagi di tubuh Umbamayu.
Meskipun begitu Umbamayu nampak sudah
berusaha membuka kedua matanya. Hal itu membuat
Arso Lumbing dan yang lainnya sangat senang. Melihat
itu Umbayani mengeluarkan air mata. Ia tidak dapat menahan rasa gembiranya.
Sementara itu Umbamayu membuka matanya.
Pandangannya masih samar, dan dirasakan kedua bo-
la matanya perih. Namun ia masih dapat melihat tiga orang berdiri di samping
pembaringan. "Umbamayu... Umbamayu... Kau tidak apa-
apa...?" Bibir Umbamayu bergetar. Ia mendengar suara itu. Seketika kepalanya
jadi pening. Ia seperti pernah mendengar nama itu. Entah kapan, entah siapa
Umbamayu. Nama Umbamayu itu membuat ingatan mun-
dur. Kenangan pahit selama itu tergambar di luar ke-sadarannya. Ia pernah
menggendong seorang gadis kecil sambil berteriak-teriak.... Umbamayu.... Umba-
mayu... Ia masih ingat betul akan nama gadis kecil yang menjadi sebagian
hidupnya. Umbayani! Yah Umbayani. Ia pernah mempunyai seorang adik bernama
Umbayani. Tapi satu perpisahan yang telah terlupakan se-
karang tergambar kembali dalam benaknya. Suatu pertempuran telah terjadi di
wilayah Perguruan Pedang Ular. Seorang nenek berbaju merah telah memisahkan
dirinya dari Umbayani. Hidup sekian lama bersama
nenek Penguasa Gunung Tunggul dalam kekerasan,
yang membuat dirinya menjadi Srikaton Munggel. (Ba-ca: Alap-Alap Liang Kubur dan
Dewi Jalang Dari Gu-
nung Tunggul). Entah berapa banyak orang-orang persilatan
yang tewas di tangannya selama menjadi murid Nilasa-ri Grewek. Gambaran itu
jelas sekali diingat. Teriak ke-sakitan. Darah menyembur kemana-mana. Kejam
serta sadis. Semua itu didikan Nilasari Grewek. Nenek itu berusaha menempa Umbamayu
menjadi seorang tokoh
sesat yang tak kenal ampun.
Berangsur-angsur penglihatannya pulih. Tiga
orang jelas berdiri di sampingnya. Saat itu Wintara masuk menemui mereka.
Melihat pendekar Kelana
Sakti ini. Umbamayu amat terkejut. Bagaimana pun ia masih mengenalinya. Pendekar
inilah yang selalu
membuat Umbamayu bersama gurunya lari terbirit-
birit.... "Umbamayu, kau nampak hampir sehat. Bagaimana perasaanmu?" tanya Resi
Wesakih. Air mata Umbayani berderai. Kedua belah pipinya telah basah.
Ia berdiri paling dekat dengan Umbamayu.
"Bu-bu-bukan-kah k-kk-kau gadis yang per-
pernah k-kk-ku-lu-kai duu-lu?" ujar Umbamayu terputus-putus. Ia berpegangan
dengan lengan Arso Lumb-
ing. Pemuda tampan ini hampir meremasnya.
"Perbuatanmu tidak bisa disalahkan, kakak....
Aku.... Aku Umbayani." jawab gadis itu. Tangisnya berderai. Resi Wesakih
mengelus-elus rambut Umbayani. "K-kk-kau Um-umm-Umbayani?" Sambil meng-hapus air
matanya Umbayani mengangguk. Mata Um-
bamayu pun berkaca-kaca. Ia tidak percaya dengan
pengakuan itu. "Benar Umbamayu, gadis ini adalah adik mu.
Umbayani. Aku rasa kaupun masih mengenaliku. Aku-
lah Resi Wesakih yang pernah mengabdi di dalam Perguruan Pedang Ular terhadap
Ayahmu. Arso Lumbing
adalah anakku. Teman mainmu dulu."
"Be-be-benarkah....?" Umbamayu bermaksud bangkit. Tapi sekujur tubuhnya terasa.
sakit sekali. Ia pun dapat melihat sebagian tubuhnya telah menancap batang-
batang pedang kecil sebanyak tujuh batang.
"Jangan bergerak dulu, Umbamayu. Kau ten-
gah terluka parah, kau terkena hantaman Tombak
Gunung. Di sini kami tengah merawatmu." Resi Wesa-
kih merebahkan kembali tubuh Umbamayu. Perem-
puan ini menatap ke arah langit-langit kamar.
Hantaman Tombak Gunung. Cuma Nilasari
Grewek yang memilikinya. Ia pernah lihat keampuhan jurus tersebut. Kalau
sekarang ia terbaring sedemikian rupa, ia memang telah terkena hantaman Tombak
Gunung. Dikarenakan ia memisahkan diri dari Nilasari Grewek. Nenek Penguasa
Gunung Tunggul itu amat
murka setelah diketahui Umbamayu hidup bersama
Arso Lumbing. Sudah ada tanda-tanda kesembuhan pada diri
Umbamayu. Tapi ada lagi masalah baru yang mesti
mereka pikirkan. Mengenai diri Kumbayana. Ia telah pergi selama dua hari bersama
Adisena. Sampai saat ini tidak ada kabar beritanya. Keadaan mereka perlu
diketahui. Untuk itu Wintara memutuskan diri mencari mereka.
Mereka tahu pasti kalau Kumbayana tengah
keracunan. Dalam waktu yang sangat singkat Kum-
bayana akan binasa. Kalau Kumbayana tewas dalam
perjalanan pastilah Adisena sudah memberi kabar. Sebagai satu-satunya orang yang
dapat mengimbangi kepandaian Nilasari Grewek, Wintara harus mencari mereka. Atas
persetujuan Resi Wesakih, Wintara berangkat hari itu juga.
Dan pada malam harinya. Suasana malam ini
agak lain. Tidak seperti biasanya angin berhembus
demikian kencang. Berkali-kali orang-orang yang berada di pelataran gubuk
Kumbayana harus menyalakan
kembali api unggun. Pada malam itu, mereka tidak
cukup hanya membuat satu api unggun. Pelataran gu-
buk sangat diterangi oleh empat tumpukan kayu ba-
kar. Meskipun udara sangat dingin, sudah banyak
orang-orang berbaring tertidur. Begitu juga dengan Re-
si Wesakih. Kepalanya sudah terkantuk-kantuk dalam sebuah ruangan. Kedua matanya
terasa berat dan tidak kuasa menahan ngantuk.
Sedari tadi Umbayani yang tengah menjaga
Umbamayu bersama Arso Lumbing sudah menguap
berkali-kali. Sampai akhirnya pada tengah malam, keduanya betul-betul terlena
dalam tidurnya. Keduanya sama-sama rebah di samping kanan kiri pembaringan.
Umbamayu tetap terbaring di atas pembaringan itu.
Berselimut kain tebal.
Sementara di luar, suara binatang malam
mengkerik berselubung hawa dingin. Baik para pen-
gungsi maupun murid-murid perguruan Pedang Ular,
semua sudah tertidur lelap. Mereka dapat melepaskan lelah di sekitar tempat api
unggun yang menghangati tubuh. Tak ada seorangpun yang menyadari kalau ada sosok
tubuh melesat keluar dari dalam gubuk. Dalam suasana gelap itu sukar untuk
dipastikan sosok siapa gerangan. Yang jelas saat sosok itu pergi menjauh di
telan kegelapan malam, tidak terjadi apa-apa.
Ketenangan itu berakhir sampai esok pagi, ke-
tika langit mulai merah menampakkan sinar matahari, Umbayani bangun terlebih
dahulu. Dan ia terkejut setengah mati ketika dilihatnya tempat pembaringan
kosong. "Arso Lumbing, bangun....! Arso Lumbing....!"
Umbayani membangunkan Arso Lumbing. Pemuda ini
menggeliat. Resi Wesakih yang tidur di ruangan lain terbangun mendengar suara
Umbayani. Ia langsung
masuk ke dalam ruangan itu. Arso Lumbing nampak
gelagapan terbangun.
"Tidakkah paman melihat kemana Umba-
mayu?" tanya Umbayani.
"Umbamayu...?" Resi Wesakih keheranan. Ia
melihat pembaringannya kosong. Jendela kamarpun
terbuka lebar. Pada lantai ruangan yang terbuat dari kayu papan banyak membercak
tetes-tetes darah hitam. Bercak-bercak itu menuju ke arah jendela..
"Astaga.... Umbamayu melarikan diri. Cepat ki-ta ikuti jejaknya."
* * * 10 Roda kereta terus berderak membawa kereta itu
semakin masuk ke Belantara Sawungan. Adisena yang
mengendarai kuda dimuka kereta sudah bosan berte-
riak-teriak memanggil-manggil nama Nilasari Grewek.
Tokoh sesat Penguasa Gunung Tunggul itu tidak juga menampakkan diri.
Adisena sendiri sebenarnya sudah merasa curi-
ga terhadap Kumbayana yang berada di dalam kereta.
Sejak dua hari ini dukun sakti itu tidak mengeluarkan suara. Mengingat Kumbayana
tengah keracunan, Adisena khawatir akan Kumbayana yang bakal tewas da-
lam perjalanan.
Untuk menghilangkan rasa khawatirnya itu,
Adisena sengaja berteriak-teriak terus....
"Nilasari Grewek! Tunjukanlah dirimu! Kum-
bayana ada disini...!" Suara Adisena menggema menye-ruak lebatnya hutan.
"Keluarlah Nilasari Grewek...!"
Dalam pada itu terdengar suara gemereseknya dedau-
nan pohon. Disertai dengan suara angin yang berge-
muruh. Cepat Adisena menoleh. Nampak sosok berba-
ju merah meluncur deras ke arahnya sambil menu-
dingkan pedang. Melihat itupun Adisena cepat melom-
pat dari atas kereta. Sampai jatuh bergulingan.
Sosok berbaju merah itu terus meluncur den-
gan babatan pedangnya. Pedang bersinar keemasan
membersit berkali-kali menghantam kereta kuda itu.
Terjangan gesit bagai angin berpindah-pindah meng-
hancurkan dinding-dinding kereta.
Sosok berbaju merah itu tidak lain Nilasari
Grewek adanya. Ia menyeringai sadis menatap kereta kuda yang hancur berantakan.
Dua ekor kuda penarik meringkik-ringkik ketakutan. Saat itu Kumbayana
nampak duduk tenang bersila. Tubuhnya sangat pucat bagai pelepah daun pisang.
Wajah Buto Ijo-nya nampak kuyu.
"Kumbayana sialan! Rupanya sengaja kau
membiarkan aku mati! Jangan mimpi yang muluk-
muluk! Tidak kau sadarikah kalau dirimu itu tengah keracunan juga?" ujar
Nilasari Grewek. Kumbayana tetap diam.
"Percuma saja kedatanganmu ini. Luka-luka di
tubuhku sudah terlanjur mengeram. Dan kaupun ti-
dak mungkin akan mendapatkan penawar racun!
Mampus saja sekalian." gerutu Nilasari Grewek.
"Tidak! Kedatangan Kumbayana mencari kau
tidak lebih untuk mengobatimu! Kau tidak boleh membiarkan Kumbayana binasa
begitu saja!" sergah Adisena melindungi Kumbayana. Terasa sekali tubuh Kum-
bayana sangat dingin.
"Pemuda tolol! Bisa apa kau mati-matian me-
lindungi keparat itu" Rupanya ingin pula mampus bersamanya!" Nilasari Grewek
murka. Lengannya siap membersitkan Pedang Ular Emas. Adisena memang tidak becus
apa-apa, tapi ia lebih baik mati dari pada harus terlunta-lunta dalam Belantara
Sawungan sendirian. Maka ia tidak bereaksi saat Nilasari Grewek mulai menerjang.
"Tahaaaan...!" Tiba-tiba saja Kumbayana berteriak. Nilasari Grewek ngurungkan
niatnya. Ia berbalik memandang Kumbayana yang pucat pias.
"Dari pada kau membunuhnya, lebih baik kau
membunuhku saja! Adisena bukanlah lawanmu! Aku
puas binasa di tanganmu. Sebab aku yakin beberapa
saat lagi pun kau akan binasa. Jangan selalu kau
sembunyikan rasa sakitmu itu, Nilasari Grewek! Jangan kira aku tidak tahu kalau
kau tengah terluka parah. Aku bisa mengukur masa hidupmu itu tinggal beberapa
hari lagi. Besok. Lusa atau nanti, kau akan binasa dengan sendirinya." tutur
Kumbayana. Mendadak Nilasari Grewek jadi kecut.
Mendadak pula dadanya terasa sakit. Saat itu
juga ia memuntahkan darah. Memang tidak bisa di
pungkiri. Selama ini Nilasari Grewek terus menerus memuntahkan darah. Sekujur
tubuhnya terasa nyeri.
Tulang-tulangnya pun terasa remuk.
"Jujur saja! Apakah masih memerlukan pengo-
batan dariku" Kalau tidak, lebih baik kau bunuh aku di sini!" ujar Kumbayana.
Bagi Nilasari Grewek tidak ada pilihan. Siapa
manusia yang ingin cepat mati. Lagi pula apa gunanya ia memiliki Pedang Ular
Emas kalau sebentar lagi ia akan binasa"
"Baiklah untuk hari ini aku mengalah.
Kau bersama anak muda itu boleh hidup. Tapi
mulai sekarang kau harus mengobatiku!"
"Kemarilah!" kata Kumbayana sembari merogoh sebuah bungkusan kecil dari ikat
pinggangnya. Seperti yang sudah kita ketahui isi bungkusan itu seperangkat
pedang-pedang kecil.
Melihat itupun Nilasari Grewek tidak ragu-ragu
mendekati Kumbayana.
"Tidak kusangka kau dapat bertahan dari ra-
cun ku itu, Kumbayana. Tadinya aku sudah mengira
bahwa kau sudah mampus!" kata Nilasari Grewek yang langsung duduk bersila
berhadapan dengan Kumbayana. Mereka duduk di atas kereta yang telah hancur.
Adisena tetap tidak menjauh dari Kumbayana.
"Bagian depan tidak perlu lagi, berbaliklah.
Punggungmu harus dirawat agar tidak terlalu banyak mengeluarkan darah."
Kumbayana mempersiapkan
beberapa batang pedang kecil. Nilasari Grewek me-
mang merasakan sakit di sekitar dada, maka ia cepat berbalik duduk bersila
membelakangi Kumbayana.
Nenek berbaju merah ini membuka sebagian bajunya
tanpa diperintah.
Sebagai seorang dukun sakti ia sudah tahu apa
yang mesti di lakukan. Tanpa banyak bicara Kum-
bayana mulai bekerja. Sebatang pedang kecil di tancapkan perlahan-lahan pada
tulang leher. Nilasari
Grewek meringis.
"Kenapa sakit sekali?"
"Karena kau terlalu banyak bergerak. Diamlah, aku akan menancapkan dua batang
pedang sekaligus
di tulang belikat mu." Kumbayana mempersiapkan dua batang pedang kecil. Nilasari
Grewek menahan nafas menanti rasa sakit.
Saat Kumbayana melihat dua tulang belikat di
punggung Nilasari Grewek, Kumbayana membuka ma-
ta lebar-lebar. Serta merta ia menancapkan dua pe-
dang kecil itu kuat-kuat....
"Creeeep!.....Creeeep!......Aaaaaarght!"
Tak urung Nilasari Grewek jadi kelojotan. Tu-
buhnya berguling membuat pedang-pedang kecil me-
nancap semakin dalam.
"Bangsat kau, Kumbayana! Kau ingin membu-


Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nuhku rupanya!" bentak Nilasari Grewek menyemburkan darah lagi.
"Ha-ha-ha-ha-ha.....Aku tidak bodoh, nenek keriput! Siapa sudi mengobati seorang
tokoh sesat macam kau!" teriak Kumbayana, . ia bangkit berdiri di atas kepingan-
kepingan kereta. Kedua lengannya berputar mengembangkan jurus. Seketika itu juga
tubuh pucatnya berangsur hilang. Tubuhnya kembali normal seperti sedia kala.
"Keparat! Diam-diam rupanya kau mengingin-
kan juga Pedang ini. Jangan harap kau bisa menda-
patkannya, Kumbayana!" jawab Nilasari Grewek geram.
Ia bangkit menantang.
"Hua-ha-ha-ha.....! Siapa yang tidak tergiur melihat Pedang Ular Emas itu,
Nilasari Grewek! Aku yang sudah tua ini masih ingin memilikinya!" ujar
Kumbayana. "Tidak! Pusaka ini sudah menjadi milik ku! Lagi pula kau akan mampus
karena racun ku!" Nilasari Grewek melangkah mundur. Kedua tangannya siap
melancarkan serangan.
"Bukanlah Kumbayana si Dukun Sakti kalau
harus binasa oleh karena racun! Mana lagi racun-
racunmu itu. Keluarkan semua! Biar ku telan habis di depan hidungmu!" tantang
Kumbayana. "Bangsaaaat....!" Nilasari menerjang. Babatan pedangnya menjurus ke depan. Di
luar dugaan Kumbayana dapat mengelak dengan melompat salto ke
atas. Adisena menyingkir dari situ.
Nilasari Grewek terus mencecar dengan baba-
tan pedangnya. Sinar-sinar keemasan membersit ke-
sana kemari. Namun dengan lincah Kumbayana selalu
dapat mengelak.
Sebenarnya kepandaian Nilasari Grewek jauh
lebih tinggi dari Kumbayana. Namun di karenakan Nilasari Grewek tengah terluka,
gerakannya nampak
sangat lambat. Selama menghadapi Penguasa Gunung
Tunggul ini pula Kumbayana selalu berhati-hati. Yang amat ditakutinya adalah
Pedang Ular Emas. pedang itu seakan memberi pengaruh kekuatan terhadap Nilasari
Grewek. Sambaran pedangnya selalu cepat bagai kilat
membawa maut. Meskipun serangan Nilasari Grewek
agak ngawur, Kumbayana agak sulit melakukan se-
rangan balasan. Karena Pedang Ular Emas selalu
membersit melindungi Nilasari Grewek.
Saat itu, Wintara yang tengah mencari Kum-
bayana dan Adisena merasa tersesat dalam Belantara Sawungan yang lebat itu. Ia
sama sekali tidak menemui jejak mereka. Yang ia lihat hanyalah semak-semak
merimbun tiada habisnya.
Bagi pendekar Kelana Sakti ini, ia sudah tidak
tahu kemana harus membawa kudanya. Sepanjang
yang ia lihat hanyalah pohon-pohon besar mengelilingi.
Jalan kembali pulang pun sudah tidak tahu lagi. Tapi sebagai seorang pengelana,
ia pantang menyerah dalam menentukan langkahnya.
Dalam ketersesatannya itu, Wintara mendadak
tersentak. Karena dari kejauhan ia dapat melihat sosok tubuh berlari sangat
kencang. Sosok itu nampak jelas seorang perempuan. Mengenakan pakaian yang
sangat ganjil. sosok tubuh mulus yang hanya ditutupi selembaran kain tebal.
Tergerak bagi Wintara untuk mengikuti sosok
itu. Maka setelah sosok perempuan itu agak jauh, Wintara menghela kudanya kuat-
kuat. Menyusul kemana
sosok itu pergi.
*** Sementara itu pula Resi Wesakih tengah me-
mimpin pendekar-pendekar muda mengikuti bercak-
bercak darah hitam. Tetes-tetes darah itu membekas setiap jarak tiga meter. Dan
jelas kelihatan di atas permukaan rerumputan dataran Belantara Sawungan.
"Ayah, mungkinkah Umbamayu dapat berlari
sejauh ini?" ujar Arso Lumbing menyusul langkah Resi Wesakih. Pemuda ini lari
berdampingan dengan Umbayani. "Melihat dari jejak tapak kakinya ia hanya seorang
diri. Tapi langkah-langkahnya sangat luar biasa.
Menandakan ia menggunakan ilmu pelari yang sangat
cepat." jawab Resi Wesakih.
"Aku khawatir ada seseorang yang melarikan
Umbamayu, Paman." kata Umbayani.
"Maksudmu Nilasari Grewek?" tukas Resi Wesakih. Tatapannya terus menyusuri
bercak-bercak darah hitam tanpa menghentikan langkahnya.
"Tidak mungkin, Umbayani. Kalau Nilasari
Grewek yang datang semalam melarikan Umbamayu,
kita-kita sudah tewas semua di saat tertidur pulas. Ja-di menurut ku, ini
tindakan Umbamayu sendiri." kata Resi Wesakih lagi. Dua pendekar muda di
belakangnya dapat menyusul. Sekarang mereka beriringan.
"Kenapa Umbamayu bertindak senekad ini, bu-
kankah ia sedang terluka" Aku khawatir tindakannya itu akan mencelakakan diri
nya sendiri." ujar Umbayani.
"Kita lihat saja nanti, sampai di mana bercak-bercak darah ini berakhir. Mudah-
mudahan Umba- mayu tidak kurang satu apa pun." Resi Wesakih masih memimpin perjalanan.
Mengikuti bercak-bercak darah hitam yang semakin jelas di dataran berumput
Belantara Sawungan.
* * * 11 Pertarungan masih terus berlangsung. Nilasari
Grewek mati-matian mempertahankan Pedang Ular
Emas. Kumbayana berusaha keras merebutnya. Se-
rangan-serangannya selalu pupus disambut dengan
babatan Pedang Ular Emas.
"Kerahkan terus tenagamu, Nilasari Grewek!
Hayo kuras semua! Biar kau cepat-cepat mampus! Ha-
ha-ha-ha-ha.....! ujar Kumbayana. Nilasari Grewek marah semakin hebat.
"Lebih baik kita mati bersama! Biar tidak satupun di antara kita menguasai
pedang ini.... Hraaaa!"
Terjangan nenek berlumuran darah ini sangat dahsyat.
Kumbayana cepat menyingkir. Namun saat tubuhnya
bergerak ke samping Kumbayana sempat melepaskan
sebuah hantaman.
"Deees....!" Nilasari Grewek memekik. Tubuhnya ambruk terbanting di tanah. Darah
segarpun menyembur. Kumbayana memasang jurus lagi. Nilasari Grewek berusaha
bangkit meskipun terhuyung.
"Kalau tahu begini, harusnya kau sudah kubu-
nuh sejak dulu! Rupanya kau lebih licik dari keparat manapun!" gerutu Nenek
sesat ini. Kumbayana hanya tertawa mendengar ucapan itu.
"Melumpuhkan engkau, harus menggunakan
cara halus. Sekarang diri rentamu sudah tidak berarti lagi. Mampuslah!
Hiaaaa....!" Serta merta Kumbayana lepaskan sebuah tendangan geledek.
"Deeeer.....!" Kontan Nilasari Grewek mencelat jauh. Pedang Ular Emas sampai
terlepas dari gengga-mannya. Melihat itupun Kumbayana langsung melom-
pat menyambar pedang tersebut.
Nilasari Grewek betul-betul di buatnya tidak
berkutik. Tatkala ia bangkit. Pedang Ular Emas sudah tidak berada di tangannya
lagi. Pandangannya yang
suram dapat melihat Kumbayana berdiri menghu-
nuskan pedang bersinar keemasan.
Kumbayana mendadak tersentak kaget. Cepat
ia membalikkan tubuhnya ke belakang. Mata tuanya
dapat melihat sosok tubuh perempuan cantik berdiri berselubung selimut tebal.
Saat itu terdengar pula derap kaki kuda melangkah cepat ke arah itu. Kumbaya-na
makin gelagapan. Ia tidak menyangka kalau gadis berselimut yang tidak lain
Umbamayu adanya bisa
sampai ke tempat itu. Begitu juga dengan Wintara.
Pendekar Kelana Sakti ini langsung turun dari ku-
danya berjalan melangkah ke arah Kumbayana.
"Syukurlah kau telah merebut Pedang Ular
Emas dari tangan Nilasari Grewek. Kebetulan pula
Umbamayu berada di sini. Sebaiknya pedang itu dis-
erahkan padanya." ujar Wintara. Jawaban Kumbayana lain. Pedang Ular Emas
ditangannya membersit ke
arah dada Pendekar Kelana Sakti....
"Weees!" Wintara sudah membayangkan dan
berhati-hati. Ia melesat mundur ke belakang.
"Apa yang kau lakukan ini, Kumbayana.
Kau...!" Wintara keheranan. Begitu juga dengan Umbamayu. Perempuan ini cepat
melompat maju, tapi
Kumbayana cepat pula menghunuskan pedangnya ke
arah mereka. "Jangan mimpi orang-orang pedang ular akan
mendapatkan kembali pedang ini. Sekarang urusannya jadi lain. Ingin mendapatkan
pedang ini harus berani menukar dengan kepala kalian." ujar Kumbayana.
"Kau bergurau, Kumbayana?" Wintara ker-
nyitkan alis. Kumbayana tidak menjawab, malah ia lepaskan babatan pedang dengan
keras. Angin berdesing mendorong tubuh Wintara beberapa langkah ke bela-
kang.... "Siuuuuut!" Benar-benar dahsyat! Dan tidak main-main.
"Hua-ha-ha-ha.....! Kau pikir aku ini anak ingusan yang suka bercanda" Jangan
berolok-olok. Terus terang, aku sengaja ingin memiliki pedang ini. Siapapun yang
menghalangi, akan tahu akibatnya." jawab Kumbayana. Wajah Buto Ijo nya
menyeringai. Umbamayu menatap geram. Di tubuhnya masih menancap
tujuh batang pedang kecil. Tapi tidak nampak karena terselubung selimut tebal.
"Kami memang telah salah menilai orang. Wa-
jah buruk memang selalu menunjukkan sifat aslinya
seperti wajah yang kau miliki itu, Kumbayana." kata Wintara. Matanya terus
mengawasi Pedang Ular Emas
di tangan Kumbayana.
"Berani menghina wajahku, itu tandanya kalian harus minggat ke akherat!
Heaaaa.....!" Serta merta Kumbayana maju menyerang. Wintara bergeser ke
samping seraya ia menarik tubuh Umbamayu meng-
hindari sambaran pedang. Tapi mendadak Kumbayana
memekik sambil tubuhnya ambruk berguling. Pedang
Ular Emas terlepas dari tangannya. Pedang itu tergeletak persis di antara
mereka. "Heh, keparat Kumbayana. Ada satu yang tidak
kau ingat." Nilasari Grewek nampak berdiri tegak. Rupanya dialah tadi yang
melepaskan hantaman ke arah Kumbayana. Nenek ini penuh darah di mulutnya.
Kumbayana meringis berusaha bangkit.
"Kau melupakan kalau Nilasari Grewek masih
memiliki pukulan dahsyat bernama Tombak Gunung!
Hik-hik-hik-hik....! Sudah kau rasakan tadi, bukan?"
ujar Nilasari Grewek. Ia langsung menoleh ke arah pedang yang tergeletak di
tanah. Wintara bersama Um-
bamayu bersiap siaga menyambar pedang tersebut.
Suasana jadi nampak tegang.
"Heh, Srikaton Munggel. ternyata kau masih
hidup pula. Kukira kau sudah menjadi makanan cac-
ing." Terhadap Umbamayu, Nilasari Grewek masih me-nyebut Srikaton Munggel.
"Aku akan mengampunimu, asalkan kau jan-
gan turut campur urusanku! Menyingkirlah!" Sambil berkata begitu, Nilasari
Grewek melompat bermaksud menyambar Pedang Ular Emas yang tergeletak di tanah.
Tapi rupanya Umbamayu tidak kalah siap. Pe-
rempuan berselimut kain tebal ini ikut melompat. Juga Kumbayana, meskipun
tubuhnya terasa lemas, ia ikut berlomba merebut Pedang Ular Emas.
Sebagai seorang pendekar tua yang banyak
berpengalaman, Nilasari Grewek tidak langsung me-
nyambar pedang itu. Tapi terlebih dulu ia melepaskan tendangan memutar.
Wintara yang sudah melihat gelagat kurang
baik, cepat melompat menyambar tubuh Umbamayu.
Sehingga tendangan memutar Nilasari Grewek luput
dan hanya mengenai di tubuh Kumbayana.
Usaha yang dilakukan Nilasari Grewek ini san-
gat sempurna. Dengan begitu semua saingannya ter-
singkir, maka dengan leluasa dapat menyambar Pe-
dang Ular Emas. Begitu Pedang Ular Emas berada di
tangannya Nilasari Grewek langsung menyabet ke
samping.... "Craaaas....!" Malang bagi Kumbayana. Ia tidak sempat menghindari sambaran
pedang yang mengarah
ke tenggorokannya. Tidak pula sempat memekik ketika tubuhnya ambruk bersama
dengan kepalanya yang
menggelinding bagai bola ke tanah.
Darah menghambur di sekitar tempat itu. Win-
tara menatap tenang. Umbamayu bersiap-siap meng-
hadapi Nilasari Grewek. Melihat dua orang inipun Nila-
sari Grewek tidak tanggung-tanggung menerjang. Ba-
batan pedangnya membersit menimbulkan suara angin
yang bergemuruh. Mengeluarkan cahaya emas menyi-
laukan. "Mundduuuur.....!" teriak Wintara sambil melesat ke belakang. Umbamayu
ikut berjingkat menghindari sambaran pedang. Selama tubuhnya melesat, pe-
rempuan itu mencabut dua batang pedang pendek
yang menancap di pangkal lengannya. Lalu dengan ref-lek Umbamayu melemparkannya
ke depan.... "Creeep....! Creeeep.....! Wuaaaaa.....!"
Nilasari memekik hebat. Lemparan kedua pe-
dang kecil Umbamayu tepat menembus di kedua biji
mata Nilasari Grewek. Nenek berlumuran darah ini
menggelepar-gelepar memekik. Matanya gelap serta perih.
Umbamayu menatap ngeri. Bagaimanapun Ni-
lasari Grewek adalah mantan gurunya. Ia pernah hi-
dup selama tiga puluh tahun bersamanya. Tapi setelah mengingat tindak tanduknya
yang telah memisahkan
kehidupannya dari keluarga, Umbamayu jadi berubah
murka. Ketika ia hendak melepaskan serangan, Winta-ra menahan Umbamayu. Tindakan
Umbamayu itu akan membawa celaka. Sebab, meskipun Nilasari Gre-
wek telah buta parah, ia terus memutar Pedang Ular Emas. Tindakan itu memang
untuk melindungi tubuhnya dari serangan. Apalagi sebelah lengannya terus
melepaskan hantaman Tombak Gunung. Dia lepaskan
hantaman itu kemana suka. Wintara dan Umbamayu
malah berbalik kewalahan menghadapi hantaman-
hantaman tersebut. Hantaman Tombak Gunung yang
selalu nyeplos itu mengenai batang-batang pohon besar. Mengakibatkan batang-
batang pohon itu tumbang berdegum di tanah, bahkan ada yang menimpa tubuh
Kumbayana. Sungguh dahsyat, Nilasari Grewek mengamuk
sejadi-jadinya. Baik Wintara dan Umbamayu tidak ada yang berani mendekat.
Mereka hanya menyambut dengan hantaman-
hantaman jarak jauh.
Umbamayu mencabut sekaligus empat batang
pedang pendek yang masih menancap di tubuhnya.
Satu persatu pedang-pedang itu dilemparkan menga-
rah pada Nilasari Grewek bagai senjata rahasia.
Namun pedang-pedang kecil berpentalan saat
membentur putaran Pedang Ular Emas di tangan Nila-
sari Grewek. Bahkan pedang-pedang kecil itu patah
berkeping-keping.
Melihat itupun Wintara segera lepaskan han-
taman Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Hreaaaa.....!" Kedua telapak Wintara maju ke depan. Hantaman itu membentur
segulungan sinar


Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keemasan. Benturannya terdengar nyaring. Manakala
Nilasari Grewek semakin kuat memutar Pedang Ular
Emas, Wintara pun terus melancarkan hantaman Tin-
ju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaar....! Bledaaar....! Bledaaaaaa-
Selama hantaman itu membentur keduanya
terdorong mundur. Di luar dugaan pula Nilasari Grewek memuntahkan darah. Tanah
dimana ia berpijak
telah penuh dengan lumuran darah.
Wintara sendiri sudah benar-benar kehabisan
tenaganya. Tidak mungkin ia terus menerus lancarkan Tinju Bayu Delapan Penjuru.
Ia hanya membuang tenaganya dengan percuma. Sementara putaran Pedang
Ular Emas mendengung kian kencang.
Umbamayu tidak tahu apa yang mesti ia laku-
kan. Nilasari Grewek memang bukan tandingannya.
Apalagi ia menggunakan Pedang Ular Emas. Dirinya
seakan bukan apa-apa bagi Penguasa Gunung Tunggul
itu. Ia hanya menatap bagaimana Wintara menghadapi serangan-serangan Nilasari
Grewek. Sekarang ia agak terkejut melihat jurus-jurus
baru Wintara. Dirinya yang berdiri begitu dekat dengan Pendekar Kelana Sakti
seperti terasa dingin. Jelas ha-wa dingin itu berasal dari tubuh Wintara.
Hantaman-hantaman Tombak Gunung menye-
bar kemana-mana, Wintara tahu benar akan akibat
hantaman tersebut, maka dengan mengerahkan selu-
ruh tenaga sisanya, ia lepaskan hantaman yang paling dahsyat. Hantaman yang
selama ini menjadi andalan
dan jarang ia gunakan kecuali dalam keadaan terdesak seperti ini.
"Hraaaaaaa.....!" Serta merta Wintara berteriak menghempaskan pukulan andalannya
yang bernama: Selaksa Bayu Penjerat nadi, maka "Bluaaaaaar....!" Seketika Nilasari Grewek
memekik. Mendadak seluruh
tubuhnya kaku. Jalan darahnya seakan terhenti. Lengannya yang menggenggam Pedang
Ular Emas berpu-
tar lemah. Kemudian berhenti. Tubuh renta Nilasari Grewek kaku bagai seonggok
patung. urat-uratnya
menonjol seakan hendak keluar dari kulitnya. Di luar dugaan pula Pedang Ular
Emas jatuh ke tanah. Serta merta Umbamayu melompat menyambar Pedang Ular
Emas itu, kemudian langsung membabat menyilang....
"Craaaas!" Tubuh Nilasari Grewek terpotong menjadi dua. Darah menyembur bagai
air mancur mengotori wajah cantik Umbamayu.
Sementara itu Wintara jatuh terduduk di tanah.
Ia baru saja mengadu nyawa. Untunglah hantaman Se-
laksa Bayu Penjerat Nadi tepat mengenai sasarannya.
Kalau tidak hantaman itu akan berbalik memakan di-
rinya sendiri. Untuk itu, Wintara menarik nafas dalam-dalam.
Dalam hati Pendekar kelana Sakti ini, merasa
bersyukur. Karena telah menunaikan tugasnya dengan jurus maut tersebut.
Umbamayu berdiri terpekur menatap dua po-
tong tubuh Nilasari Grewek. Pedang Ular Emas di tangannya masih membaur darah.
Adisena yang sedari
tadi menyaksikan pertempuran itu merungkut takut.
Ia tidak berani keluar dari balik persembunyiannya.
"Umbamayu... Kau tidak apa-apa?" ujar Wintara yang sudah dapat bangkit berdiri.
Ia paksakan dirinya melangkah ke arah Umbamayu.
"Kau sangat hebat, Pendekar Kelana Sakti.
Tanpa adanya kau, setan tua ini tidak akan binasa.
Aku sangat malu bertemu dengan kau." jawab Umbamayu. "Kenapa harus malu"
Tindakanmu tadi sudah cukup sebagai penebus dosa-dosamu. Ternyata kau
seorang perempuan hebat." tukas Wintara. Lalu ia menoleh ke arah Adisena.
"Keluarlah, Adisena. Untuk apa bersembunyi
terus. Semua iblis telah binasa. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan." Adisena
masih gemetar. Namun ia beranikan diri keluar dari persembunyiannya. Melihat
itupun Wintara hampir tertawa.
"Sebenarnya kaupun cukup berani, Adisena.
Dan lagi..." Ucapan Wintara terputus, karena diden-garnya suara langkah-langkah
orang menuju ke tem-
pat itu. Kiranya mereka adalah rombongan Resi Wesakih. Umbayani langsung berlari
ketika sampai ke tempat itu. Namun setelah melihat wajah Umbamayu ber-
lumur darah, gadis ini tidak berani mendekat. Terlebih-lebih Umbamayu
menggenggam Pedang Ular Emas.
Mereka melihat pula sosok Nilasari Grewek dan
Kumbayana tewas mengerikan. Semuanya saling bisu
menatap Umbamayu yang berdiri menatap Umbayani.
Arso Lumbing melangkah ke samping Umbamayu. Pe-
rempuan ini langsung jatuh ke dalam pelukan Arso Lumbing.
"Benarkah dia Umbayani adikku?" Suara Umbamayu bergetar.
"Benar, Umbamayu. Dan kau bukan Srikaton
Munggel lagi. Kau Umbamayu." jawab Arso Lumbing.
Umbamayu tersenyum getir. Perlahan ia menyerahkan
Pedang Ular Emas pada Umbayani. Gadis ini tidak
perduli dengan pemberian itu, Umbayani malah berlari _ mendekati Umbamayu, dan
ia memeluknya erat-erat.
Umbamayu balas memeluk.
"Maafkan aku, Umbayani. Semua sudah terja-
di." bisik Umbamayu.
"Aku tidak perduli. Asalkan kita berkumpul la-gi, aku akan senang. Dan harus
ingat, kau tengah ha-mil." balas Umbayani menderaikan air mata.
"Ternyata kau seorang yang hebat. Dapat men-
galahkan Nilasari Grewek, musuh kita." ujar Umbayani lagi. "Kau salah Umbayani.
Seharusnya kata-kata itu ditujukan pada sobat Wintara. Tanpa dia, kita semua
bakal binasa. Dan ada satu permintaanku un-
tukmu." bisik Umbamayu.
"katakanlah..." tuntut Umbayani.
"Meski tidak memiliki kepandaian, dia seorang pemberani dan jujur. Bagaimana
kalau kau kujodoh-kan dengannya." Suara Umbamayu agak keras. Semua orang dapat
mendengarnya. "Aah..." Pipi Umbayani memerah.
Adisena salah tingkah. Yang lain tertawa. Suara
tawa mereka berderai memenuhi suasana Belantara
Sawungan. Arso Lumbing langsung memapah tubuh Um-
bamayu dan menaiki ke atas kuda yang sebenarnya
milik Wintara. Pemuda ini hanya menuntun kuda itu
berjalan. Lainnya berjalan mengikuti.
Adisena berjalan paling belakang. Ia agak kikuk
mengikuti mereka. Apalagi setelah mendengar gurauan Umbamayu. Selama melangkah
pikirannya tidak menentu. "Adisena, ayo cepat. Galon pengantin tidak boleh lemas
begitu." teriak Umbayani. Jantung Adisena seperti kena sambar geledek.
Dilihatnya Umbayani
berdiri menunggu. Maka ia berlari sekencang-
kencangnya mendekati gadis itu.
TAMAT E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Jodoh Rajawali 34 Kedele Maut Karya Khu Lung Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 4
^