Pencarian

Dendam Asmara Liar 1

Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar Bagian 1


DENDAM ASMARA LIAR Hak Cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Pendekar Kembar
Dalam Episode 001 :
Dendam Asmara Liar
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 HEMBUSAN angin dari pegunungan terasa semakin menderu. Suaranya mirip erangan
raksasa kelaparan. Gumpalan awan di langit bergerak cepat, seolah-olah digusur
tanpa pesangon.
Hutan menjadi gusar, pohon-
pohonnya gelisah, karena hembusan angin terasa ingin mendongkel akar pohon
secara paksa. Anak-anak pohon terpental tunggang langgang
tanpa bisa berteriak karena
memang tak punya mulut.
Semakin lama angin pun mengubah
dirinya menjadi badai. Kata orang, badai lebih Jahat dari angin, karena badai
dapat menggulingkan batu besar dari atas gunung atau menerbangkan rumah-rumah
penduduk tanpa pandang mau kenal siapa pemilik rumah itu. Bahkan bendungan dan
waduk pun dapat dijungkir balikkan jika sang badai sedang mengamuk.
Begitulah perangai si badai. Jahat dan sadis. Karenanya, para sesepuh desa di
kaki Gunung Merana berpendapat, lebih baik masuk angin daripada masuk badai.
"Ah, kalau menurutku daripada masuk angin lebih baik masuk kedai, bisa makan
minum dan ngobrol!" ujar seorang penduduk desa yang sedang berteduh di dalam
kedai. Hari itu badai datang bukan sendirian, tap! ditumpangi oleh hujan yang
kadangkala sering ngelunjak, menurut pendapat teman orang yang bicara tadi.
"Bagaimana tidak ngelunjak" Ketika ia datang rintik-rintik kita menyukainya,
karena sawah ladang kita tidak dilanda kekeringan. Tapi setelah kita
menyenanginya, eeh... dia datang bersama rombongan hujan lainnya. Akibatnya desa
kita kebanjiran. Itu kan namanya
ngelunjak"!"
Deru hujan bercampur badai sempat
menyiram bagian dalam kedai tersebut.
Maklum, kedai itu mempunyai dinding hanya separuh bagian. SI pemilik kedai yang
berkumis abu-abu dan berbadan kurus itu menggerutu keras-keras.
"Sial! Kalau begini caranya kerak nasiku tak bisa kering-kering!"
"Nasinya dibikin lem sandal saja, Ki!"
celetuk pengunjung kedai yang lain. Si pemilik kedai jadi dongkol.
"Mulutmu itu yang dilem pakai kerak nasi."
Orang yang dicela itu tertawa. Si
pemilik kedai berkata lagi, entah
ditujukan kepada siapa.
"Kurasa ini ulah si Pawang Badai dari puncak gunung! Pasti dia sedang bercanda
dengan badai dan hujan seperti ini!"
"Lho, apakah si Pawang Badai masih bersemayam di puncak gunung, Ki" Bukannya
tempo hari ada kabar si Pawang Badai telah ditangkap oleh Ratu Cumbu Laras"!"
"Mana kutahu"! Aku tidak ikut menangkapnya!" jawab si pemilik kedai agak ketus
karena masih dongkol memikirkan kerak nasinya yang sudah tiga hari tak kering-
kering itu. "Sejak kapan Ratu Cumbu Laras menangkap si Pawang Badai"! Apa benar si Pawang
Badai telah berhasil ditangkap oleh Ratu Cumbu Laras"!"
Pertanyaan seperti itu sering terucap dari mulut ke mulut. Kadang ada yang hanya
membatin pertanyaan seperti itu. Agaknya nama Pawang Badai sudah dikenal di
daerah sekitar Gunung Merana. Juga, nama Ratu Cumbu Laras banyak dikenal oleh
para penduduk desa, padahal wilayah kekuasaan Ratu Cumbu Laras ada di pesisir
kulon. Hampir semua orang tahu, bahwa di
pesisir kulon atau di pantai sebelah barat, terdapat sebuah bangunan megah yang
sering disebut-sebut sebagai istana.
Bangunan megah itu mempunyai benteng batu kokoh yang luasnya sama dengan tiga
kali luas pedesaan. Di sanalah seorang
perempuan cantik bermata sayu memegang tampuk pimpinan dan menobatkan diri
sebagai Ratu yang kemudian dikenal dengan nama Ratu Cumbu Laras.
Perempuan cantik itu mempunyai bentuk tubuh yang elok sekali. Pinggangnya
ramping, pinggulnya bikin pusing.
Pakaiannya seronok, dadanya montok.
Bibirnya ranum, hobinya mesum.
Ia bukan saja seorang ratu cantik yang gemar
digelitik, tapi
juga seorang perempuan yang berilmu tinggi.
Persekutuannya dengan Iblis membuat sang Ratu sukar dltumbangkan oleh lawan-
lawannya. Selama menjadi pengabdi iblis, ia akan tetap awet muda dan
kecantikannya tak pernah luntur. Pancaran daya pikatnya begitu tinggi, sehingga
setiap lelaki mampu ditundukkan olehnya, baik
ditundukkan dengan
ilmu kanuragannya
maupun dengan aji kemesraannya.
Seorang pemuda desa yang pernah
berhadapan dengan Ratu Cumbu Laras menuturkan kisahnya kepada para pengunjung
kedai yang sedang diterpa badai dan hujan itu.
"Jika la sedang membisikkan rayuan, suaranya ssssst... nyaris tak terdengar,
Tarlkannya, wuus, wuus. wuus.... Heh, heh, heh!"
"Apa maksudnya"!"
"Tahu-tahu kita dibuat tak berpakaian lagi," bisik pemuda itu.
"Gila!" mereka yang mendengarkan berdecak kagum.
"Dan kalau sedang melawan tokoh mana pun, la tak pernah menggunakan waktu lama-
lama, la sangat irit waktu. Sekali pukul, lawan ngejoprak, Kadang-kadang sekali
sentak, nyawa orang bisa melayang. Itu namanya sudah irit semakin irit. Cring,
cring, cring...!"
"Bunyi apa itu?"
"Perhiasannya kalau berjalan
gemerincing!" bisik si pemuda dengan nada suara ditekan untuk meyakinkan
ceritanya. "Ssst, dengar-dengar Raden Panji juga sedang tergila-gila sama Ratu Cumbu Laras.
Apa benar?" bisik seorang lelakl berpakaian serba hitam.
"Maksudmu, Raden Panji Pura, putranya Ki Demang kita itu"!"
"Raden Panji mana lagi kalau bukan putra Ki Demang."
"Apa iya"! Aku kok baru dengar
sekarang kalau Raden Panji ada main sama Ratu Cumbu Laras?"
"Bukankah dia sudah punya istri?"
timpal pemuda berikat kepala hijau.
"Bahkan kudengar istri Raden Panji sedang hamil tua?"
"Memang iya! Kemarin saja kulihat
Muninggar sudah bolak-balik ke rumah Mak Jawil, si dukun bayi Itu. Mungkin sudah
mau melahirkan."
"Muninggar siapa?"
"Ya istrinya Raden Panji Itu, Tolol!"
"Oo... jadi istrinya Raden Panji itu sekarang tolol, ya"!"
"Kau yang tolol!" bentak pemuda berbaju merah yang mengenal Muninggar, istri
Panji Pura. Gosip itu sebenarnya sudah lama
menyebar dan menjadi buah bibir para penduduk Pademangan. Tetapi tidak setiap
orang berani bicara di sembarang tempat dengan sembarang suara. Umumnya mereka
hanya berani berkasak-kusuk dl pojokan rumah atau di sudut kedai. Sebab,
bagaimanapun mereka masih merasa takut dan sungkan terhadap Ki Demang Yasaguna
yang menjadi penguasa di wiiayah Pademangan tersebut yang membawahi beberapa
kelurahan. Sebenarnya Ki Demang sendiri sudah mengetahui skandal putranya dengan Ratu Cumbu
Laras. Namun ia menutup mata dan telinga demi menjaga gengsi di depan para
kerabatnya. Tentunya Ki Demang Yasaguna sangat malu mendengar putranya yang
sudah beristri terlihat hubungan gelap dengan seorang perempuan dari tokoh silat
aliran hitam itu. Sebagai ketuarga darah
bangsawan, Ki Demang sangat tidak setuju terhadap hubungan gelap itu. ia sendiri
sudah menegur putranya berkali-kali, tapi teguran tersebut tak digubris oleh
sang putra. "Kasihan Muninggar kalau setiap malam kau tinggal pergi ke Pesisir Kulon hanya
untuk menyambangi perempuan itu!" ujar Ki Demang pada suatu siang.
Panji Pura hanya menjawab, "Justru karena aku kasihan kepada Muninggar, istriku
itu, maka setiap malam ia
kutinggalkan, Ayah. Sebab jika aku selalu ada di sisinya, kasihan bayi dalam
kandungannya. Tertekan setiap malam bisa bikin cacat sang jabang bayi, bukan?"
Panji Pura memang seorang suami yang bandel dan masih suka ugal-ugalan. Usianya
yang sudah mencapai dua puluh delapan tahun itu, masih belum mampu mengendalikan
dirinya untuk bersikap bagai seorang
lelaki yang dewasa, apalagi seorang ayah.
Muninggar, yang hanya anak seorang petani biasa itu, tak menyadari bahwa la
telah dinikahi oleh seorang lelaki yang belum mampu berpikiran dewasa. Muninggar
hanya menuruti perasaan cintanya terhadap pemuda tampan berdarah biru itu,
sehingga ia mau menjadi seorang istri yang tulus dan setia terhadap suaminya. ia
tak berani mengeluh di depan Panji Pura, karena rasa takutnya terhadap sang
suami. Tetapi beberapa tetangga mereka
mempunyai penilaian sendiri tentang perkawinan putra Ki Demang itu. Penilaian
tersebut sering dilontarkan secara kasak-kusuk dari mulut ke kuping, dari kuping
ke dinding. "Kasihan ya si Muninggar itu" Baru berumah tangga setahun kurang sudah sering
ditinggal pergi suaminya."
"Mungkin karena Raden Panji adalah orang yang dipercaya di perguruannya,
sehingga ia terlalu sibuk mengurus perguruannya."
"Perguruan apa"!" ujar seorang Istri tetangga sambil bersungut-sungut. "Dia
memang termasuk orang penting di Perguruan Eiang Bumi, tapi setiap ia pergi
meninggaikan Muninggar bukan mengurus perguruannya, tapi mengurus 'elang'-nya
sendiri." "Ah, apa iya... Hi, hi, hi, hi...!
Mbakyu ini kok ada-ada saja kalau ngomong lho!"
Maklum, kali ini yang berkasak kusuk adalah para istri, tak heran kalau nada
kasak-kusuk mereka agak ngeres. Namun kasak-kusuk mereka segera buyar ketika
seorang perempuan berusia empat puluh tahun datang dengan wajah tegang seperti
habis ditampar setan.
"Eh, eh.... Mak Jawil ke mana, ya"!
Kemana si dukun bayi itu"!"
"Ada apa mencari Mak Jawil" Situ mau melahirkan lagi" Baru dua bulan yang lalu
melahirkan kok sekarang mau melahirkan lagi"!"
"Bukan aku yang mau melahirkan! Itu lho... si Muninggar! Muninggar sudah
meraung-raung, perutnya sakit. Pasti sudah mau melahirkan!"
"Aduh, kasihan! Cepat panggil Mak Jawil!"
"Lha, iya... makanya aku tadi menanyakan Mak Jawii! Kau pikir mau apa kalau
tidak mau memanggilkan Mak Jawil untuk si Muninggar"!" bentak orang itu.
Kebetulan, di ambang sore yang
berkabut mendung itu, Mak Jawil tidak berada di rumahnya. Beberapa orang sibuk
mencari Mak Jawil, tapi tidak satu pun yang menemukan si dukun bayi Itu. Mereka
tak tahu bahwa Mak Jawil sedang mendapat undangan resmi menghadiri pertemuan
para dukun bayi di kadipaten untuk ditatar.
Padahal waktu itu Muninggar sudah
mengerang-erang, air ketuban sudah keluar dari rahimnya pertanda sang jabang
bayi sebentar lagi akan keluar juga. Repotnya, di seluruh Pademangan itu,
ternyata hanya ada satu dukun bayi yang paten, yaitu Mak Jawil. Sebagai menantu
keluarga bangsawan, Muninggar tidak diizinkan melahirkan tanpa bantuan seorang
dukun bayi yang memang sudah diakui keahliannya oleh para warga.
Karena itu, tak ada orang lain yang berani menangani
persalinan tersebut, kecuali
hanya membantu mempersiapkan beberapa keperluannya.
Angin sore berhembus agak kencang.
Hembusan angin itu seolah-olah
menerbangkan sesosok tubuh kurus berkebaya coklat tua dengan kain batiknya yang
lusuh. Seorang perempuan berambut abu-abu karena bercambur uban, kebetulan
melewati tempat kerumunan para istri yang
kebingungan mencari Mak Jawil. Salah seorang dari mereka yang kebingungan sempat
berseru dan menjadi pusat perhatian bagi yang lain.
"Eh, itu ada Nyi
Padmi...! Minta
tolong kepada Nyi Padmi saja!"
"Ah, Nyi Padmi kan juru kunci kuburan!"
"lya, tapi sebelum ia menjadi juru kunci kuburan, ia pernah menjadi juru
kelahiran!"
"O, ya... benar! Aku ingat, dulu Nyi Padmi memang pernah menjadi dukun bayi!"
timpal yang lain.
Nyi Padmi, si perempuan kurus berusia sekitar lima puluh tahun lebih itu
mendengar namanya disebut-sebut, sehingga ia hampiri para istri yang sedang
kebingungan itu.
"Aku mencium bau darah bayi. Rupanya di sini ada yang mau melahirkan bayinya?"
"Betul, Nyi! Itu lho... si Muninggar!"
"Muninggar..."! Apakah yang kalian maksud
Muninggar menantunya Ki Demang
Yasaguna"!"
"Betul, Nyi! Betul sekali!" sambil orang Itu menepuk-nepuk punggung Nyi Padmi
dengan keras karena girangnya. Nyi Padmi tersentak-sentak dan sempat menjadi
terbatuk-batuk karena isi dadanya terasa mau rontok. Maka bergegaslah mereka
membawa Nyi Padmi ke rumah Ki Demang Yasaguna, karena Muninggar ada di rumah
sang mertua. "Kebetulan aku sebenarnya mau menemui Ki Demang, karena ada mimpi aneh yang
harus kusa-paikan."
"Mimpi aneh apa itu, Nyi?" desak salah seorang yang ikut mengantar Nyi Padmi ke
rumah Ki Demang Yasaguna.
"Mimpi melihat rumahnya yang berkabut tebal."
"Aneh juga mimpimu itu, Nyi," ujar perempuan berkebaya biru.
"Kabut itu berwarna hitam dan bergulung-gulung. Seperti ada kebakaran, tapi tak
ada apinya."
"Lho, kok bisa tak ada apinya?"
"Yah, namanya saja mimpi! Ah, kau ini begitu saja ditanyakan!"
Nyi Padmi hanya tersenyum ramah, lalu teruskan ucapannya sambil melangkah.
"Lalu, aku melihat sepasang burung merpati keluar dari gumpalan kabut hitam itu.
Sepasang burung merpati itu segera terbang mengelilingi desa ini dulu, kemudian
lenyap entah ke mana."
"Jangan-jangan burungnya anakku yang terlepas dari kandangnya kemarin sore?"
gumam seorang perempuan yang berjalan dl belakang Nyi Padmi.
"Ini mimpi!" tegas temannya.
"O. iya... mimpi! Kusangka benar-benar terjadi," perempuan itu cengar-cengir
malu. Tapi beberapa orang yang mengantar Nyi Padmi sempat saling merenungi mimpi
tersebut. Hati kecil mereka tiba-tiba merasa cemas, sepertinya ada sesuatu yang
misterius di dalam mimpi tersebut.
Hembusan angin bertambah kencang.
Mendung di langit kian bergulung-gulung.
Semua orang tahu, bahwa sebentar lagi akan turun hujan lebat, karena tampaknya
mendung tidak hanya di atas wiiayah Pademangan saja, melainkan menyeluruh dan
rata sampai ke ujung barat dan timur. Sang matahari sudah tak teriihat lagi,


Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena tertutup mendung, padahal semestinya matahari masih punya jatah nongol
sebagian karena belum waktunya tenggelam.
Tepat ketika Nyi Padmi masuk ke
pendopo dan diterima oleh keluarga Ki Demang, hujan pun segera turun. Mula-mula
tak deras, tapi lama-lama ngelunjak, menjadi deras. Nyi Padmi sendiri bergegas
masuk ke kamar Muninggar.
Kilatan cahaya petir menyambar-
nyambar, seakan apa saja yang ada akan disambarnya, termasuk jemuran juga.
Gelegar suaranya sering membuat para istri yang ikut membantu kelahiran bayi
pertama Muninggar itu menjerit kaget, bahkan ada yang latah menyebutkan kata-
kata jorok yang tak patut ditulis di dinding mana pun.
Blegaaaar...! Kali ini suara iedakan sangat keras bersama kerlapan cahayanya yang mirip jurus
pembelah langit. Suara Iedakan petir yang amat keras itu seolah-olah
dikeluarkan dari rombongan para petir yang menyambut kelahiran bayi pertamanya
Muninggar. Karena begitu
ledakan itu terdengar, suara tangis bayi pun terdengar nyaring dan keras sekali.
"Oooaaa...! Ooooaaa...!"
Orang-orang terharu, bahkan Nyi Padmi sendiri merasa iba melihat Muninggar
melahirkan bayi tanpa ditunggui suamlnya.
Ketika Nyi Padmi menanyakan di mana Raden Panji Pura, beberapa orang yang
membantunya berlagak tidak tahu. Namun salah seorang ada yang berbisik lirih
sekali. "Sedang pergi ke tempat gundiknya...."
"Ya, ampuuuun..."!" Nyi Padmi kaget dan segera berlagak tenang, karena agaknya
ada sesuatu yang harus ditanganinya lagi.
Jlegaaar...! Suara rombongan petir lakukan aksi unjuk rasa lagi. Bersamaan dengan itu,
terdengar kembali suara tangis bayi yang nyaring dan keras.
"Oooaa...! Oooaaa...! Oooaaa...!"
"Hahh..."! Kembar..."! Bayinya kembar"!" seru seorang yang membantu persalinan
itu. "Apa..."! Dukun bayinya kembar"!"
"Bayinya yang kembar, budek!" seru orang itu.
Maka hampir semua mulut menyerukan kata 'kembar' dengan perasaan bangga dan
gembira. Ki Demang sekeluarga pun
menitikkan air mata menyambut kelahiran bayi kembar itu dengan rasa haru antara
duka dan bahagia.
Hanya Nyi Padmi yang tetap diam tanpa senyum dan kata. Wajah Nyi Padmi tampak
tegang dan berkeringat. Ada kegelisahan yang mencekam hatinya pada saat selesai
membantu kelahiran si bayi kembar itu.
"Tolong, bantu aku menyadarkan Muninggar," pintanya kepada beberapa orang yang
ada dl sekitarnya.
"Maksudmu... maksudmu si Muninggar pingsan"!"
"Ya. Ia kehabisan tenaga dan
kekurangan darah banyak sekali setelah melahirkan bayinya yang kedua tadi!"
"Ya, Tuhan...!" sentak mereka.
"Muninggar...! Muninggar, jangan pingsan dulu, Nak! Ayo, sadar...! Sadar,
Muninggar...!"
"Mari kita sadar bersama Muninggar...!
Mun... Muninggar..."!"
Nyi Demang, ibu mertua Muninggar,
segera berseru memanggil suaminya.
"Kangmas..."! Datanglah kemari, Muninggar pingsan dan... dan badannya dingin
sekaii, Kangmas...!"
"Muninggar..."!" Ki Demang pun tampak kaget dan sangat tegang, sementara Nyi
Padmi berusaha memberi kehangatan dengan membalurkan rempah-rempah, termasuk
minyak-minyakan yang mendatangkan hawa hangat. Kaki Muninggar digosoknya dengan
minyak sereh dan minyak lainnya, kecuali minyak ikan. Tapi agaknya Muninggar
masih belum sadarkan diri juga.
Ketika senja menghilang, petang pun tiba, keluarga Ki Demang Yasaguna diliputi
kedukaan begitu dalam. Suara tangis memenuhi rumah Ki Demang Yasaguna.
Muninggar akhirnya tak tertolong lagi.
Denyut nadinya hilang, detak jantungnya tak ada, maka praktis dlkatakan bahwa
Muninggar telah meninggal dunia. Bukan hanya dunia saja yang ditinggalkan
Muninggar, tetapi bayi kembarnya pun ditinggalkan dengan tangis dan lambaian
tangan yang tak terlihat oleh mata manusia biasa. Kedua bayi kembar itu pun
menangis tiada hentinya, seakan mereka tak ingin ditinggalkan oleh sang Ibu.
"Oooaaa...! Oooaaa...! Oooaaa...!"
"Oooaaa...! Oooaaa...! Oooaaa...!"
Suara tangis bayi kembar pun terdengar nyaring melengking, mengalahkan gemuruh
hujan dan gelegar kilatan cahaya petir.
* * * 2 SEBELUM hujan turun dan matahari masih mencoba menerobos kabut mendung, ternyata
Ratu Cumbu Laras kedatangan seorang tamu tak ramah yang mempunyai wajah angker.
Tamu itu datang dari Tebing Naga yang dikenal dengan nama si Wajah Keranda.
Sesuai dengan namanya, tamu
berperawakan tinggi besar itu tidak pernah tersenyum sedikit pun. Entah karena
ia sedang sakit gigi atau memang tak tahu bagaimana caranya tersenyum, yang
jeias sikapnya nyata-nyata bermusuhan terhadap sang Ratu yang berparas cantik
itu. Sikapnya semakin tak ramah lagi jika dllihat dari sebilah kapak dua mata yang
bergagang panjang dan kala itu sudah dalam genggamannya. Wajah Keranda yang
berkumis lebat dan beralis tebal itu pandangi Ratu Cumbu Laras dengan tajam.
Sang Ratu tampak tenang-tenang saja menghadapi tamu berwajah kuburan itu.
Angin sore dibiarkan melambai-lambaikan jubah suteranya yang berwarna merah
jambu itu. Jubah yang menyingkap melambai-lambai itu membuat sosok tubuh
berkulit halus mulus dapat dilihat dengan jelas. Apalagi ia hanya mengenakan
penutup dada dari kain tipis warna hijau muda dan kain penutup bagian bawahnya
yang sangat mini berwarna hijau muda juga, sungguh merupakan pemandangan yang
tak patut dipakai untuk berkedip bagi seorang lelaki. Kemontokan dada sang Ratu
nyaris seperti tak tertutup lagi karena tipisnya kain hijau itu. Dan
'mahkota' kebanggaannya juga nyaris ikut tersapu angin karena kecilnya kain yang
menutup bagian tersebut.
Mata si Wajah Keranda memang tidak berkedip, tapi bukan lantaran pemandangan
mahal yang jarang ditemuinya pada
perempuan lain itu, melainkan karena ia ingin tunjukkan bahwa kedatangannya
bukan untuk menikmati keelokan tubuh sang Ratu, namun untuk mencabut nyawa
perempuan itu. "Sudah tiba waktuku untuk menuntut balas padamu, Cumbu Laras!" ujar si Wajah
Keranda dengan suara menggeram angker. Ia tak peduli dengan para pengikut sang
Ratu yang mengepungnya dari berbagai arah.
"Apa yang ingin kau tuntut dariku, Wajah Keranda"!"
"Nyawamu!" bentak si Wajah Keranda, membuat para pengepung kaget dan
menggeragap sambil acungkan senjata.
"Nyawamu harus kucabut sebagai balasan kekejianmu yang telah membunuh adik
perempuanku si Wajah Sutera!"
"O, ya..."!" Ratu Cumbu Laras sunggingkan senyum lebar tapi berkesan sinis,
sangat menjengkelkan. "Kau tahu mengapa adikmu si Wajah Sutera kubunuh"
Itu lantaran adikmu sudah tiga kali berusaha membunuhku!"
"Jeias la akan selalu berusaha membunuhmu, karena suaminya, si Palgunara, kau
bunuh di depan matanya setelah kau peras keringatnya untuk melayanimu selama
tujuh malam! Kau memang layak untuk dimusnahkan, Perempuan Liar!" si Wajah
Keranda semakin pertinggi suaranya dan genggaman pada gagang kapaknya bertambah
kuat. Sang Ratu masih tanggapi dengan kalem.
"Lalu, sekarang kau datang untuk meminta tolong diantarkan ke neraka menyusul
adikmu" Begitu maksudmu, Wajah Keranda"!"
Lelaki berwajah kuburan itu menggeram makin keras.
"Bangsat tengik kau, Cumbu Laras!
Heeeah...!"
"Tahaaan...!" tiba-tiba ada suara berseru dari belakang Ratu Cumbu Laras.
Suara itu membuat paras Wajah Keranda tak jadi lakukan lompatan ke arah
perempuan cantik itu.
"Panji..."! sang Ratu terkejut melihat lelaki berperawakan tegap,
kekar dan gagah. Panji Pura sengaja tampil dengan kalem dan arah pandangan matanya tertuju
kepada Wajah Keranda, tapi langkah kakinya tampak jeias mendekati Ratu Cumbu
Laras. "Panji, sudah kubilang kau di kamar saja, tak perlu ikut campur urusan ini!
Aku bisa menyelesaikannya sendiri, Sayang, ini urusan kecil!" kata sang Ratu
sambil tangannya mengusap rambut Panji Pura dengan lembut, seakan memamerkan
kemesraan nya di depan si Wajah Keranda.
"Ratu, tanganmu tak boleh menyentuh kotoran sebesar itu. Biarkan aku saja yang
menyingkirkannya."
"Kau memang bandel, Panji! Terserahlah sana, singkirkan kotoran itu jauh-jauh.
Kalau perlu kirim ke neraka secepatnya!"
lalu sang Ratu tarik diri, mundur ke arah serambi bertangga lima baris itu.
Wajah Keranda merasa semakin dibakar hatinya mendengar ucapan Panji Pura.
Dengan kapaknya ia menuding putra Demang Yasaguna itu.
"Kau orang Perguruan Elang Bumi!"
"Ya, memang aku orang Perguruan Elang Bumi!" tegas Panji Pura. "Tapi aku berada
di depanmu bukan mewakili perguruanku, melainkan mewakili Ratu Cumbu Laras! Kau
tak perlu membawa-bawa perguruanku, Orang Tebing Naga!"
"Kuingatkan, segeralah menyingkir sebelum kapakku membelah kepalamu menjadi
tujuh potong!"
"Kepalaku bukan semangka, Kawan!" ujar Panji Pura. "Sebaiknya kapakmu untuk
membelah semangka saja. Karena senjata seperti itu tak akan mampu melukai kulit
Panji Pura!"
"Jahanam busuk! Ingin kubuktikan kata-katamu! Heeaaah...!"
Wuuut...! Wajah Keranda menerjang Panji Pura dengan kapak berkelebat menghantam dari kanan
ke kiri. Wees...! Panji Pura miringkan kepaia, dan kapak itu lewat satu jengkal di atas kepalanya.
Tapi tangannya harus segera menyentak ke samping, karena kaki Wajah Keranda
segera menjejak ke arah pundak kirinya.
Plaaak...! Panji Pura pun memutar tubuh dengan cepat dan kakinya melayang ke pipi si Wajah
Keranda. Wuuut, ploook...!
Tendangan itu bagaikan hantaman
sebatang kayu mahoni utuh. Pipi si Wajah Keranda menjadi memar seketika.
Warnanya biru kehitam-hitaman. Jika bukan karena tenaga dalam tersalur penuh ke
dalam kaki, tak mungkin Panji Pura dapat membuat memar pipi si Wajah Keranda.
"Bangsat kau!" geram Wajah Keranda segera tegak kembaii setelah tadi
terpeianting nyaris jatuh.
Panji Pura melirik Ratu Cumbu Laras.
Sang Ratu tersenyum bangga dan
mengacungkan jempolnya, sehingga Panji Pura semakin bersemangat melepaskan
jurus-jurusnya untuk segera tumbangkan si Wajah Keranda.
Tetapi Wajah Keranda tak bisa menerima kenyataan itu. Murkanya semakin bertambah
besar. Maka ia pun segera berkelebat bagaikan kilat menerjang Panji Pura bersama
kapaknya. Wuuut...! Crass...! "Oukh...!" Panji Pura terpekik, rupanya saat itu ia menghindari terjangan Wajah
Keranda agak terlambat sedikit.
Lengannya menjadi sasaran kapak dua mata itu. Lengan itu pun koyak lebar dan
mengerikan. Darah mengalir membasahi sekujur lengan kiri Panji Pura.
"Heeeah...!" Wajah Keranda begitu daratkan kakinya ke tanah langsung menyentak
dan tubuhnya melambung ke atas.
Tanah itu bagaikan terbuat dari karet yang bisa memantul balikkan tubuhnya.
Tubuh itu bersalto cepat dan dalam gerakan cepat kaki si Wajah Keranda berhasil
menjejak tengkuk kepaia Panji Pura.
Praaak...! "Aaakh...!" Panji Pura tersentak ke depan dan berjungkir balik di tanah.
Kepalanya bagai dihantam balok kayu yang diayunkan sekeras-kerasnya. Darah pun
mengalir dari telinga dan hidung Panji Pura.
Tapi lelaki muda itu merasa malu
dipandangi oleh Ratu Cumbu Laras yang menampakkan kecemasannya.
Ia segera bangkit berlutut, lalu tangan kirinya menyentak ke depan kuat-kuat dalam keadaan
telapak tangan terbuka.
Claaap...! Selarik sinar hijau dilepaskan Panji Pura. Wajah Keranda buru-buru menangkisnya
dengan kapaknya. Kapak itu menyala merah bagai terpanggang api. Ketika sinar
hijau itu menghantam mata kapak yang kiri, terjadilah ledakan yang cukup dahsyat
dan mengguncangkan tanah sekitar mereka.
Blegaaar...! Wajah Keranda terlempar ke belakang bagai tong sampah disapu badai.
Wuuus...! Brruk...! Sementara itu, Panji Pura hanya
tersentak mundur nyaris jatuh. Untung tangan Ratu Cumbu Laras segera
menangkapnya dan memeluknya dengan wajah cemas.
"Lukamu makin melebar, Panji! Ooh...!
Kapak itu pasti beracun ganas!"
"Aku masih bisa menahannya, Nyai Ratu!"tegas Panji Pura bagai orang tak kenal
menyerah. Ia segera lepaskan diri dari pelukan Ratu Cumbu Laras. Luka lebamya sama sekali
tak dihiraukan karena pada saat itu ia melihat Wajah Keranda telah bangkit
dengan menggeram, seluruh tubuhnya mengeras, otot-ototnya mulai bertonjolan.
Kedua mata angker itu menyala merah, pertanda ia sedang kerahkan tenaga dalam
untuk lepaskan jurus berbahaya.
Panji Pura buru-buru menerjangnya
sebelum jurus berbahaya itu dilepaskan lawannya. Dengan satu lompatan bersalto
cepat seperti kipas angin, Panji Pura menerjang Wajah Keranda yang sedang
menyeringai menyeramkan.
Weers...! Blaaar...! Kedua telapak kaki Panji Pura tepat kenai muka si Wajah Keranda. Cahaya merah
membias lebar dalam sekejap. Lalu cahaya itu padam. Dan kulit wajah yang terkena
tendangan 'Pasak Jagat' itu hangus seketika. Rambut si Wajah Keranda pun
terbakar kepulkan asap yang baunya tak sedap. Beberapa kejap kemudian, si Wajah
Keranda pun tumbang tanpa bernyawa lagi.
Brruuk...! "Horeeee...!"
Para pengepung bersorak menyambut
kemenangan Panji Pura. Ratu Cumbu Laras tampakkan senyum kegembiraannya. ia
segera menyuruh beberapa anak buahnya untuk membuang mayat si Wajah Keranda.
Sementara itu, Panji Pura segera dibantu melangkah masuk ke kamar.
"Lukamu harus segera kusembuhkan sebelum racun itu makin merobek sekujur
lenganmu, Panji!" ujar sang Ratu masih menyimpan kecemasan. Pada saat itulah,
badai pun datang bersama kiiatan cahaya petir, kemudian hujan turun dengan deras
dan matahari sirna dari peredarannya.
Ratu Cumbu Laras punya kekuatan
penyembuh pada air liurnya. Air liur itu bukan saja cepat mengeringkan luka,
namun juga membuat luka menjadi rapat dan beberapa saat kemudian luka itu lenyap
tanpa meninggalkan bekas.
Biasanya jika para pengikutnya
terluka, cukup diludahi oleh sang Ratu, maka luka itu akan sembuh dan hilang
sendiri dalam waktu tak sampai seratus helaan napas. Karenanya, para pengikut
Ratu Cumbu Laras bertubuh mulus semua, baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Karena setiap mereka terluka, lukanya tak pernah meninggalkan bekas.
Tetapi yang dilakukan sang Ratu


Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadap Panji Pura saat itu bukan dengan cara meludahi luka tersebut. Setelah
darah yang berlumuran di lengan Panji Pura dibersihkan dengan air hangat, tubuh
Panji Pura dibaringkan di atas ranjang. Hanya sang Ratu dan pasangan kencannya
yang berani masuk di kamar itu dan berbaring di ranjang tersebut.
Panji Pura dibaringkan daiam keadaan tanpa baju dan hanya mengenakan selimut
pada bagian perut ke bawah. Baju dan celananya yang terkena ceceran darah dicuci
oleh sang pelayan agar esok bisa dikenakan kembali.
"Kalau begini
caranya, malam ini
berarti aku tak bisa pulang karena pakaianku dicuci," ujar Panji Pura sambil
berbaring. "Mengapa harus pulang" Apakah kau merasa rugi jika bermalam di sini lagi?"
"Tentu saja tidak, Nyai Ratu," jawab Panji Pura sambil tersenyum kepada
perempuan cantik yang duduk di sampingnya.
"Yang paling utama sekarang adalah melenyapkan lukamu dulu," ujar Sang Ratu.
Ia meludahi tangannya sendiri, lalu air ludah itu dibalurkan ke luka Panji Pura.
Dengan cara begitu, luka itu cepat menjadi kering dan mulai mengecil.
"Aku tak tega melihatmu terluka begini. Miringkan tubuhmu, biar kusapu lukamu
dengan lidahku."
Panji Pura menurut, ia memiringkan badannya sehingga luka di lengannya dapat
dijangkau dengan mudah oleh Ratu Cumbu Laras. Luka itu sudah mengering dan
nyaris merapat. Rupanya sang Ratu ingin
mempercepat proses lenyapnya luka. Maka ia pun menjilati luka tersebut tanpa ada
rasa jijik, sebab memang keadaan luka sudah tidak menjijikkan.
Dengan gerakan pelan, lidah itu
menyapu lengan Panji Pura yang terluka.
Sapuan lidah itu dilakukan berulang-ulang, sehingga luka cepat menghilang.
"Oooh... nikmat sekali sapuan lidahmu, Nyai...," bisik Panji Pura sambil
mendesah dan matanya set-ngah terpejam.
"Kau suka, Panji?"
"Suka sekali, Nyai...."
Nyai Ratu Cumbu Laras mengulangi
sapuan lidahnya. Pada saat itu tangan Panji Pura berada di pangkuan sang Ratu.
Jubah yang tersingkap membuat tangan itu dapat mengusap paha sang Ratu dengan
leluasa. Rupanya usapan tangan Panji Pura
menghadirkan debar-debar keindahan bagi sang Ratu, karenanya ia tak melarang
tangan itu merayap kemana-mana. Bahkan sang Ratu semakin memperlebar arena
usapan tangan Panji Pura itu. Dengan begitu, tangan tersebut semakin nakal dan
menelusup di balik kain kecil penutup
'mahkota' kehangatan.
"Uuuhh...! Teruskan, Panji... oooh...
indah sekali," desah sang Ratu sambil matanya terpejam sesaat, meresapi sentuhan
nikmat yang makin membuat hatinya berdesir indah itu.
Sang Ratu akhirnya turun dari ranjang.
Ia berdiri di lantai, sementara Panji Pura masih tetap dalam posisi miring
menghadap ke arah sang Ratu.
Jubah sang Ratu dilepaskan. Bahkan penutup lainnya pun dilepaskan oleh perempuan
itu sendiri. Rambutnya yang meriap digulung asal jadi, lalu ia pun mendekatkan
pahanya ke tepian ranjang. Dengan begitu bukan saja tangan Panji Pura yang dapat
menjangkau paha itu, melainkan mulut Panji Pura pun sangat mudah
menjangkaunya. "Lakukanlah seperti tadi, Panji...,"
bisik Ratu Cumbu Laras sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Panji Pura. Mulut
itu segera menjulurkan lidah dan lidah itu mulai menyapu daun telinga Panji
Pura. Sapuan lidah itu hadirkan rasa geli-geli nikmat yang tak bisa ditolak oleh Panji
Pura. Sang Ratu masih tetap berdiri dan
membungkuk menyapu belakang telinga Panji Pura dengan lidahnya. Bahkan sapuan
itu menjalar ke leher dan beberapa kali memagut leher tersebut. Panji Pura
bagaikan dilambungkan ke angkasa menerima kehangatan seperti itu.
Sedangkan sang Ratu sendiri juga
merasakan keindahan yang cukup dalam, karena pahanya dipagut-pagut oleh Panji
Pura. Sesekaii lidah Panji Pura merayapi paha itu, namun sesekaii pula menggigit
kecil menimbulkan keindahan yang membuat sang Ratu terpekik lirih.
"Oouh... terus, Panji. Terus naik...,"
bisiknya dalam desah.
"Dekatkan, Nyai... dekatkan biar mulutku sampai...."
Ratu Cumbu Laras akhirnya mendekatkan diri, sehingga sesuatu yang diharapkan
dapat sentuhan dari lidah Panji Pura itu kini menjadi kenyataan.
"Aaoow...!" Ratu Cumbu Laras memekik bukan karena sakit namun karena tak mampu
menahan tikaman kenikmatan. Tanpa sadar pinggulnya menggelinjang, meliuk-liuk
menyelaraskan sentuhan nikmat lidah Panji Pura.
"Aaaoow...! Oooh...! Aduuuh, aku tak tahan, Panji. Tak tahan.... Aku... aku....
Aaaaaa...!"
Ratu Cumbu Laras menegakkan badannya.
Badan itu mengeras kencang. Kedua
tangannya meremas dada sendiri sambil memejamkan mata kuat-kuat karena kecupan
Panji Pura mengantarkan jiwanya mencapai puncak keindahan yang luar biasa
indahnya. Bahkan akhirnya ia menduduki mulut Panji Pura sambil menghabiskan sisa keindahan
yang masih menjalar di sekujur tubuhnya.
Sebab pada saat itu, lidah Panji Pura masih tetap nakal dan membandel, tak mau
disuruh berhenti.
"Cukup, Panji... cukup.... Ooh, Panji kau nakal sekali, Panji.... Aaaaa...!
Panjiiii...!" sang Ratu merengek seperti anak kecil dengan remasan kedua
tangannya semakin kuat.
Tubuh itu tak mampu tegak lagi. la jatuh merangkak, wajahnya tepat di atas paha
Panji Pura. Sedangkan pada saat itu
'Panji kecil' menampakkan keberaniannya.
Ia kelihatan tegar dan gagah, seakan menantang kemampuan sang Ratu. Maka tak ada
luapah rasa bahagia lainnya bagi sang Ratu kecuali segera menerkam dan melahap
si 'Panji kecii' dengan liar dan buas.
"Hhhhmrnrnr...! Hrnrnrrr...!" sang Ratu masih saja menggeram gemas sambil
mulutnya penuh dengan kehangatan yang menyentak-nyentak.
Pada saat itulah sebenarnya Muninggar melepaskan sukmanya karena kehabisan
tenaga dan darah dalam melahirkan. Panji Pura hanya sempat mendengar suara lirih
yang memanggiinya.
"Kangmas... aku pamit...."
Panji Pura sempat tersentak kaget
dalam hatinya. "Aku seperti mendengar suara Muninggar, istriku..." Ah, bukan!
Itu bukan suara Muninggar!"
Tapi Panji Pura berusaha menghilangkan bisikan batinnya itu. Perhatiannya
dipusatkan kembali ke mulut Ratu Cumbu Laras yang semakin buas dan liar melahap
mangsanya. Sementara itu, lidah Panji Pura pun mengganas dan menjadi liar
kembali di gerbang kehangatan perempuan itu, membuat pinggul si perempuan mulai
menggeliat kembali.
Malam pun dibiarkan lewat bersama
sejuta rasa nikmat, sedangkan di rumah Ki Demang Yasaguna, malam dibiarkan lewat
dengan sejuta duka atas kematian
Muninggar. Sang bayi kembar masih saja menangis dengan suara nyaring, seakan
memanggil-manggil ayahnya
agar lekas pulang menemui jenazah sang ibu.
* * * 3 ESOKNYA, seorang mata-mata membawa kabar baik bagi Ratu Cumbu Laras. Kabar baik
itu tak bisa disampaikan langsung oleh sang mata-mata, melainkan harus melalui
pengawal setia sang Ratu yang dikenal dengan nama Betina Rimba.
Nama itu cukup dikenal bukan saja di wilayah Pesisir Kulon, namun juga di antara
para tokoh dunia persilatan, nama Betina Rimba bagaikan hantu cantik yang
menakutkan namun juga sering jadi buah khayalan para lelaki. Karena, si Betina
Rimba walau masih berusia sekitar dua puluh tiga tahun, tapi mempunyai
ketangguhan dan kematangan berpikir seperti perempuan yang sudah berusia tiga
puluh tahun. Gadis itu bersosok tinggi, sekali, bahkan berbadan kekar. Rambutnya yang cepak
seperti potongan lelaki itu membuat wajah cantiknya selalu tampak jelas dan
nyata, baik dipandang secara terang-terangan
ataupun secara sembunyi dari
lubang bilik. Ia seorang gadis yang tegas dan penuh keberanian. Pancaran matanya
seialu tajam dan menantang, bahkan cenderung berkesan ganas.
Kecantikan yang berkesan ganas itu mempunyai hidung mancung dan bibir sensual
menggairahkan. Dan yang lebih
menggairahkan lagi bagi pandangan kaum lelaki adalah bulu-bulu lebat yang tumbuh
di lengannya. Gadis yang tak suka
mengenakan baju dan celana panjang kecuali hanya kutang kuning kecil berantai
dan cawat kuning kecil berantai juga itu, memang tergolong seorang gadis yang
kebanyakan hormon, istilah sekarang.
Tubuhnya yang berkulit coklat halus tanpa bekas luka itu banyak dltumbuhi bulu
lembut yang samar-samar dari bagian pahanya sampai betis, dari pahanya sampai ke
pusar, juga dari pergelangan tangan sampai ke batas pundak. Selain itu tengkuk
dan punggungnya yang kekar itu juga penuh bulu halus yang sering membuat seorang
lelaki berkhayal ingin merabanya secara pelan-pelan.
"Apa maksudmu menemuiku di depan kamar se-pagi ini, Betina Rimba"!" tanya Ratu
Cumbu Laras begitu melihat Betina Rimba sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Ada kabar baik bagi kita, Nyai Ratu!"
jawab Betina Rimba yang suaranya agak besar dan sedikit serak karena sering
berteriak itu. "Aku tak peduli
apa apa kecuali
tentang acara malam persembahan! Ingat, Betina Rimba...!" sang Ratu berkata
dengan tegas. "Tiga malam lagi tepat malam bulan pumama. Kita tak boleh gagal!"
"Saya tahu. Nyai Ratu!" sambil kedua tangan Betina Rimba menggenggam pedang di
dada sebagai tanda memberi hormat kepada ratunya.
"Apakah mereka yang ditugaskan mencari korban dari pulau seberang dan pulau-
pulau lainnya sudah mendapat hasil?"
"Belum, Nyai Ratu. Namun, mata-mata kita, Andari, baru saja tiba dan membawa
kabar baik tentang adanya korban tersebut, Nyai Ratu."
"Bagus! Apa kata Andari?"
Betina Rimba sedikit mendekat karena ia berkata pelan.
"Tadi malam seorang perempuan telah melahirkan bayi kembar, Nyai!"
"Hrnmrn...! Bagus sekali. Di mana bayi kembar itu berada?"
"Di kaki Gunung Merana, di wilayah Pademangan."
"Bayi kembar itu anak siapa?"
"Muninggar...," Betina Rlmba makin pelan, membuat sang Ratu berkerut dahi.
"Muninggar istrinya Panji Pura"!"
"Betul, Nyai!"
Sang Ratu pun terkesiap sesaat, lalu merenung beberapa helaan napas. Dalam
hatinya terjadi pergolakan yang membuatnya bimbang dan penuh perhitungan. Tapi
Betina Rimba segera berkata dalam nada pelan.
"Kesempatan emas ini sangat
disayangkan jika kita lewatkan, Nyai!"
"Memang benar, tapi... tapi bagaimana mengatasi Panji" la akan tahu siapa
pelakunya jika anak itu kita culik dan kita jadikan korban persembahan pada
maiam purnama nanti."
"Dapatkah Nyai Ratu membawanya pergi selama dua hari" Barangkaii Nyai perlu
berlibur ke Pulau Semayam bersama Panji Pura. Bukankah Nyai sendiri pernah
bilang bahwa Pulau Semayam sangat cocok untuk berbulan madu" Mengapa Nyai tidak
ke sana, berbulan madu bersama Panji Pura"
Sementara itu, saya akan berusaha menculik bayi kembar itu tanpa setahu Panji
Pura." "Hmmm...," Ratu Cumbu Laras manggut-manggut dan menggumam kecil. Setelah
berpikir sekali lagi, akhirnya sang Ratu memberi keputusan yang sangat tegas dan
sangat kejam. "Habisi mereka, jangan ada yang hidup!
Gunakan topeng agar tak ada yang mengenali wajah kalian!"
"Baik, Nyai! Akan saya kerjakan tugas itu!"
"Kerahkan anak buahmu untuk
mempercepat pekerjaan! Lakukan setelah aku dan Panji Pura pergi ke Pulau
Semayam!" Betina Rimba segera acungkan kedua tangannya yang saling genggam pedang di depan
dada sebagai tanda kepatuhannya. Ia segera kerahkan anak buahnya dan
membagikan kedok penutup wajah kepada mereka. Topeng hitam itu menutupi seluruh
wajah pemakainya, hingga yang terlihat hanya bagian mata dan mulut saja.
"Bayi kembar..." Oh, alangkah beruntungnya nasibku di bulan ini!" ujar sang Ratu
dengan girangnya. "Korban bayi kembar adalah korban emas yang membuatku punya
kesempatan untuk ajukan dua
permintaan baru kepada junjunganku: Dewa Seribu Laknat!"
Wajah perempuan itu memang tampak
berseri-seri dihinggapi kegembiraan yang amat besar. Jika biasanya dalam malam
bulan purnama ia hanya dapat mengorbankan seorang bayi untuk menjaga keutuhan
kesaktiannya, tapi kali ini ia akan dapat mengorbankan sepasang bayi kembar.
Dengan mengorbankan bayi kembar, maka ia akan mempunyai kesempatan untuk
mengajukan dua permintaan baru sekaligus menjaga keutuhan kesaktiannya.
"Permintaan apa saja yang akan kuajukan nanti, ya?" pikirnya sambil memandangi
bayangannya di dalam cermin rias.
"Hmmm... agaknya aku masih harus mempunyai satu lagi ilmu kesaktian yang dapat
untuk mengalahkan jurus andalannya si Pawang Badai itu. Tanpa satu kesaktian
pelebur jurusnya si Pawang Badai, sampai kapan pun aku tak akan bisa kalahkan
Pawang Badai. Hmmm... kurasa itulah salah satu permintaanku nanti. Lalu,
permintaan kedua...?" Ratu Cumbu Laras berpikir lagi.
Namun belum sempat temukan jawabannya, Panji Pura sudah muncul di kamar itu. la
baru saja selesai mandi, tubuhnya menjadi segar dan tampak bersih. Ketampanannya
semakin terlihat jeias.
Panji Pura hanya kenakan kain tebal pembungkus perut ke bawah, sementara bagian
atasnya masih bertelanjang dada, sehingga melalui pantulan cermin rias, dada itu
tampak kekar menantang, seakan siap untuk digigit atau diremas dalam kemesraan
yang hangat. "Ceria sekali wajahmu hari ini, Nyai Ratu."
"O, ya... tentu saja aku ceria, karena semalam kau memberiku keindahan yang
istimewa," ujar sang Ratu menutupi kebahagiaan aslinya. la memutar tubuh dalam
keadaan tetap duduk di bangku rias.
Jubah merah mudanya sudah dikenakan, tapi yang lainnya belum dikenakan. Padahal
jubah itu dalam keadaan tak dikancingkan, sehingga menyingkap lebar-lebar dan
menampakkan gumpalan besar yang kencang tapi lembut di bagian dadanya itu.
"Aku terkesan sekali dengan
keistimewaanmu semalam. Tak biasanya kau sebuas itu, Panji. Aku sangat
menyukainya."
"O, ya..."!" Panji Pura tersenyum bangga. "Akan kuberikan lagi. Tapi sekarang
aku harus pulang dulu, Nyai!"
"Mengapa tergesa-gesa pulang, Sayang?"
ragu sang Ratu sambil meraih tangan Panji Pura.
"Sudah dua malam aku tak di rumah. Aku tak enak kalau sampai ditegur oleh ayahku
sendiri, Nyai."
"Ayahmu tak akan menegur, karena ia tahu siapa perempuan yang bersamamu selama
dua malam ini?" sambii berkata begitu, sang Ratu menarik tangan Panji Pura dan
ditempelkan di dadanya. Panji Pura tahu maksud Ratu Cumbu Laras. Maka dada
perempuan itu pun menjadi ajang kerajinan tangan Panji Pura. Sang Ratu tampak
senang, ia memandang dengan senyum yang menawan. Usianya yang sudah mencapai
delapan puluh tahunan itu masih tetap memancarkan kecantikan berusia dua puluh
lima tahun. Itulah sebabnya Panji Pura sulit menolak tantangan bercumbu dari
sang Ratu. Mereka pun akhirnya berlayar menuju ke Pulau Semayam. Di sana Panji Pura
diperlakukan sebagai budak nafsu bagi sang Ratu. Tetapi laki-laki itu tak sadar
akan perlakuan tersebut. la menuruti saja apa perintah sang Ratu dalam cumbuan
mereka. Bahkan Panji Pura selalu merasa bangga jika dapat menerbangkan Ratu Cumbu Laras
ke puncak-puncak keindahannya.


Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tak tahu bahwa pada malam
berikutnya, Pademangan diserang oleh orang-orang bertopeng. Rumah Ki Demang
Yasaguna menjadi ajang pertumpahan darah.
Ki Demang sendiri terkapar bersimbah darah karena
pedang manusia bertopeng itu
menyabet lehernya dari samping.
Betina Rimba yang menjadi ketua
rombongan manusia bertopeng itu menjadi kebingungan karena bayi kembar itu tak
ada di rumah Ki Demang Yasaguna. Semua penghuni rumah besar itu telah dibantai
habis, tapi bayi kembar itu tak ditemukan oleh Betina Rimba.
"Geledah semua rumah penduduk!"
perintah Betina Rimba kepada anak buahnya.
Tetapi bayi itu tetap tak berhasil ditemukan.
"Gila! Ke mana bayi kembar itu"!"
geram Betina Rimba. Ia segera mencari Andari dan mengacungkan pedangnya ke leher
Andari yang terdesak di salah satu sudut bangunan rumah papan.
"Kau telah menyebarkan berita bohong tentang bayi kembar itu, Andari!"
"Tid... tidak! Aku berani bersumpah, Muninggar memang melahirkan bayi kembar.
Bayi itu lelaki semua! Muninggar memang tewas setelah persalinan, tapi bayi
kembarnya tidak ikut tewas!"
"Nyatanya bayi itu tidak ada!" bentak Betina Rimba.
"It... Itu... itu di luar tanggung jawabku!" ujar Andari membela diri.
"Mungkin ada pihak
lain yang telah
menculik bayi itu. Mungkin pihak lain itu juga membutuhkan tumbal
bayi kembar atau... ah, yang jelas tak mungkin bayi kembar itu lari sendiri atau bersembunyi
disuatu tempat tanpa ada yang membawanya!"
"Jahanam orang yang mengacaukan rencana kita ini!" geram Betina Rimba di balik
topengnya. Pedang pun diturunkan, karena menurut penilaiannya, Andari memang
tidak berdusta. Betina Rimba hanya merasa panik dan takut misinya gagal.
Tanpa setahu siapa pun, Nyi Padmi
telah mempunyai kecurigaan akan datangnya bencana mengerikan itu. Mimpinya
tentang kabut di rumah Ki Demang dan dua ekor merpati terbang telah membuat Nyi
Padmi mencemaskan bayi tersebut.
Ketika ia pulang dari membantu
melahirkan Muninggar, ia sempatkan diri bicara dengan suaminya tentang kelahiran
bayi kembar tersebut.
"Dua ekor merpati dalam mimpimu itu ternyata adaiah kelahiran si bayi kembar
tersebut," ujar sang suami. "Lalu, kabut tebal yang kau lihat dalam mimpimu itu
adalah kematian bagi si Muninggar sendiri.
Tetapi firasatku mengatakan, bukan hanya kematian Muninggar yang menjadi simboi
dari kabut tebal itu."
"Lalu, menurutmu apa arti kabut tebai itu, Suamiku?"
"Bencana!" hanya itu jawaban sang suami yang membuat Nyi Padmi terperanjat dan
menjadi cemas sekali.
"Malam ini juga aku akan temui Demang Yasaguna dan membicarakannya?"
"Apa rencanamu?"
"Selamatkan bayi kembar itu!"
"Apakah menurutmu bayi itu akan menjadi sumber bencana?"
"Semata-mata bukan karena kelahiran sang bayi, melainkan karena kekejaman
seseorang dapat membuat Pademangan dilanda bencana mengerikan!" jawab sang suami
yang berbadan kurus, walau tak sekurus Nyi Padmi sendiri.
Lelaki beruban tak rata yang gemar mengenakan jubah putih berikat pinggang kain
hitam itu segera temui Ki Demang Yasaguna. Tanpa membawa tongkatnya, suami Nyi
Padmi melesat dengan cepat hingga tiba di depan Ki Demang Yasaguna ketika malam
mulai merayap ke pertengahannya.
KI Demang terkejut ketika suami Nyi Padmi itu utarakan maksudnya.
"Cucumu harus disingkirkan dari sini secepatnya!"
"Mengapa kau setengah memaksaku begitu?"
"Firasatku sangat buruk. Jika benar putramu si Panji Pura punya hubungan gelap
dengan Ratu Cumbu Laras, maka cepat atau lambat kelahiran bayi kembar Itu akan
tercium oleh perempuan itu. Barangkali kau belum tahu, Demang Yasaguna...."
"Apa yang belum kuketahui itu?"
"Ratu Cumbu Laras selalu
mempersembahkan seorang bayi pada malam bulan purnama sebagai tumbal persembahan
bagi Dewa Seribu Laknat."
"Ak... aku baru mendengar nama Dewa Seribu Laknat."
"Itu nama iblis yang mendampingi Ratu Cumbu Laras selama ini. Perempuan tersebut
telah lama bersekutu dengan iblis yang berjuluk Dewa Seribu Laknat. Kekuatan
iblis Dewa Seribu Laknat mengalir dalam diri Ratu Cumbu Laras. Upahnya adalah
darah bayi pada malam bulan purnama.
Tetapi jika Ratu Cumbu Laras dapat
persembahkan bayi kembar untuk makanan si iblis itu, maka ia akan mempunyai hak
untuk ajukan dua permintaan. Jika hanya satu bayi, tak ada permintaan baru,
namun kesaktian dan kecantikannya tetap
terjaga." "Mak.... Maksudmu... Ratu Cumbu Laras ingin merampas cucu kembarku itu" Oh,
sepertinya itu tak mungkin. Panji Pura tak akan tinggal diam jika sang Ratu
punya gagasan keji seperti itu."
"Putramu telah terbius oleh kecantikan Ratu Cumbu Laras, mungkin juga telah
bertekuk lutut di bawah telapak kaki perempuan tersebut. Jika sudah begitu, tak
ada lagi niat bagi Panji Pura untuk memikirkan nasib bayinya! Kehangatan si
Cumbu Laras adaiah kehangatan yang beracun! Membuat setiap lelaki yang bercumbu
dengannya akan selalu ketagihan dan sulit meninggalkannya!"
Ki Demang tertegun beberapa saat
lamanya. Selain malu, juga merasa serba salah dalam bersikap. Di satu sisi ia
masih senang-senangnya menimang cucu, di satu sisi lagi ia perlu selamatkan sang
cucu jika benar Ratu Cumbu Laras
membutuhkan tumbal atau korban persembahan kepada si Iblis Dewa Seribu Laknat
itu. Akhirnya Ki Demang memutuskan,
"Baiklah, kutitipkan cucu kembarku padamu. Tapi jika dalam tujuh hari tak
terjadi apa-apa, kuminta kau kembalikan cucu kembarku itu!"
"Akan kukembalikan dalam keadaan sehat tak kurang satu apa pun, Demang
Yasaguna!"
tegas suami Nyi Padmi. Maka, Ki Demang Yasaguna pun menyerahkan kedua cucu
kembarnya kepada lelaki berjubah putih itu tanpa setahu istrinya atau siapa pun.
Si kembar yang dalam keadaan sedang tertidur itu akhirnya dibawa oleh si jubah
putih meninggalkan rumah kakeknya.
Malam berikutnya, bencana berdarah itu benar-benar terjadi. Oleh sebab itulah,
Betina Rimba tak bisa temukan si bayi kembar tersebut, karena tak ada seorang
pun yang mengetahui bahwa bayi kembar sudah berada di puncak Gunung Merana.
Mereka tinggal bersama Nyi Padmi dan suaminya yang setiap harinya bertugas
menjaga dan merawat sebuah makam keramat.
Makam keramat itu adalah makam seorang tokoh sakti pada masanya yang dikenal
dengan nama Eyang Mangkuranda, alias si Dewa Kencan.
Sejak kematian si Dewa Kencan, Nyi Padmi hidup bersama suaminya sebagai penjaga
dan perawat makam tersebut.
Kehidupan suami-istri itu tidak dikaruniai seorang anak pun. Namun mereka tetap
saling mencintai hingga usia setua itu.
Oleh karenanya, ketika peristiwa berdarah itu terjadi dan si kembar sudah berada
di tangan mereka, hati mereka pun menjadi terharu antara suka dan duka.
Mereka sangat sedih melihat
pembantaian besar-besaran itu, namun mereka juga gembira karena kini mereka
mendapat sepasang anak kembar yang selama ini kehadirannya sangat dirindukan
oleh mereka berdua. Akhirnya si kembar dirawat dan dibesarkan oleh Nyi Padmi dan
suaminya, yang tak lain adalah si Pawang Badai.
Ada pun Panji Pura yang hanya bisa menangis meraung-raung ketika pulang ke
rumahnya dan mendapatkan seiuruh
keluarganya tewas dibantai oleh
serombongan manusia bertopeng. Seorang saksi mata yang saat itu sempat melihat
pembantaian memberikan kesaksian di depan Ketua Perguruan Elang Bumi yang segera
bertindak mewakili pihak Panji Pura.
"Malam itu aku terbangun karena perutku mulas sekaii. Lalu aku lari ke sungai
dan membuang hajat di sana. Ketika kudengar jerit dan tangis mereka, aku tak
berani naik ke tanggul sungai. Aku bersembunyi di celah dua batu besar di tengah
sungai itu. Dan kulihat orang-orang bertopeng mengejar para pelayan Ki Demang
membantainya dengan tak mengenal ampun lagi. Tak satu pun dari orang bertopeng
itu yang kukenal dan kuingat wajahnya...."
Hanya Panji Pura yang lolos dari
pembantaian massal tersebut. Saksi mata pun itu akhirnya mengalami gangguan
kejiwaan, dan Panji Pura lebih parah dari orang itu.
Panji Pura tak bisa diajak bicara oleh siapa pun. Ia bagaikan patung bernyawa
yang tak mengenali lingkungannya lagi, bahkan tak mengenaii siapa dirinya."
Makin hari semakin meningkat kekacauan jiwa Panji Pura, ia menjadi gila, liar
dan sering mengamuk membahayakan siapa saja.
Pihak perguruannya segera memasungnya demi keamanan sesama.
Tapi pada suatu malam Panji Pura
berhasil lolos dari pasungan lalu pergi entah ke mana, tak seorang pun yang tahu
ke mana arah pelariannya.
* * * 4 AKHIRNYA ketika malam purnama tiba, Ratu Cumbu Laras hanya bisa
mempersembahkan seorang bayi tunggal yang dibawa oleh utusannya dari Pulau
Rampala. Bayi itu dirampas dari tangan seorang pelacur yang melahirkan anak haramnya.
Sedangkan Betina Rimba yang telah
melakukan kesalahan besar di mata sang Ratu, dijatuhi hukuman mati sebagai
penebus kesalahannya. Namun sebelum hukuman
mati itu dilaksanakan, Betina
Rimba telah lebih dulu melarikan diri dan tak terkejar oleh pihak Ratu Cumbu
Laras. Pawang Badai tak berani bertindak
tanpa bukti yang kuat, walau ia mempunyai keyakinan bahwa pihak Ratu Cumbu Laras
itulah yang melakukan pembantaian massal yang mengerikan itu. Nyi Padmi hanya
mengingatkan suaminya dengan kata-kata bijak.
"Pada suatu saat, jika waktunya telah tiba, Ratu Cumbu Laras akan tumbang dan
binasa walau bukan dari tanganmu sendiri, Suamiku. Kau tak bisa lemparkan
tuduhan kepada Ratu Cumbu Laras karena kau tidak mempunyai bukti dan saksi mata
yang dapat membuat si Cumbu Laras bisa dibuktikan kesalahannya."
Pawang Badai diam, merenungi kata-kata istrinya yang sedang menimang-nimang
salah satu dari bayi kembar itu. Hanya Nyi Padmi yang mengetahui mana bayi yang
pertama lahir dan yang kedua, karena dialah yang membantu kelahiran itu secara
langsung. Bayi yang lahir kedua itulah yang dianggap anak pertama menurut adat mereka.
Karena bayi yang lahir kedua adalah seorang kakak yang menjaga keselamatan
adiknya dari belakang.
Karenanya, bayi yang lahir kedua
itulah yang dianggap si sulung oleh Nyi Padmi. Atas kesepakatan dengan suaminya,
bayi itu diberi nama: Raka Pura. Sedangkan bayi yang lahir pertama dan dianggap
sebagai sang adik itu diberi nama Soka Pura.
"Bagaimana kau bisa yakin kalau Raka Pura adalah sang kakak?" tanya Pawang
Badai. "Bobotnya sedikit lebih berat dari bayi yang pertama lahir," jawab Nyi Padmi.
Jika bukan bertindak sebagai dukun bayi, Nyi Padmi tak mungkin bisa mengenali
mana bayi yang lahir pertama dan kedua, sebab kedua bayi itu mempunyai wajah
yang serupa dan sulit dibedakan.
Selagi Pawang Badai ingin ucapkan kata kepada istrinya sambil kedua tangannya
menimang Raka Pura, tiba-tiba angin kencang datang bersama kabut putih yang
merayap sebatas mata kaki. Nyi Padmi bergegas ingin menutup pintu rumah gubuknya
itu, tetapi suaminya melarang.
"Biarkan beliau masuk."
Mendengar kata-kata suaminya, maka Nyi Padmi pun segera mengerti apa maksud
ucapan tersebut. ia tak jadi menutup pintu. Lalu, beberapa saat kemudian mereka
sama-sama mendengar suara tanpa rupa.
"Pawang Badai dan Rara Padmi...," sapa sebuah suara yang sudah dikenali oleh
mereka. Suara itu adalah suara roh si Dewa Kencan atau Eyang Mangkuranda yang
makamnya ada di samping pondok mereka itu.
"Bersyukurlah kalian sekarang, karena kini kalian telah dikaruniai sepasang anak
kembar yang akan mengisi hari-hari tua kalian nanti. Aku setuju dengan nama yang
kalian berikan kepada mereka itu. Sepasang nama yang bagus, sesuai ketampanan
bayi itu kelak jika sudah menjadi dewasa."
"Terima kasih, Guru," jawab si Pawang Badai penuh hormat.
Suara bergema lirih itu hiiang sesaat, lalu terdengar kembali di sela-sela
hembusan angin yang menderu. Pawang Badai dan Nyi Padmi masih sama-sama
tundukkan kepala, pandangi bayi yang ada dalam pondongan mereka masing-masing.
Sayang ba-yi pun sama-sama menggeliat walau pejamkan mata, namun itulah pertanda
bahwa sang bayi dalam keadaan tidak tertidur.
"Pawang Badai, pergilah ke Pesisir Kulon dan temuilah si Cumbu Laras!
Hentikan kekejamannya dengan siasat membalik pandangan matanya."
"Aku kurang paham maksudmu, Guru!"
"Ambil sebatang pohon pisang, jelmakan menjadi dirimu. Cumbu Laras masih punya
dendam kesumat padamu, karena kau pernah menolak cinta dan gairahnya semasa
mudamu dulu. Dia tidak akan hentikan kekejamannya sebelum dapat kalahkan dirimu.
Suruh si pohon pisang melayani tantangan Cumbu Laras, dan biarkan Cumbu Laras
membunuhnya agar hatinya menjadi puas dan lega, maka dendamnya pun akan sirna.
Setelah itu, ia akan hentikan kekejamannya. Jika dendamnya dibiarkan berlarut-
larut, maka akan lebih banyak lagi kaum lelaki yang menjadi korbannya, seperti
yang dialami oleh ayah dari bayi kembar itu!"
"Baik, Guru. Aku mengerti maksudmu!"
"Kuharap tanganmu tetap bersih tanpa darah seperti yang sudah kau lakukan selama
ini." "Baik, Guru!"
Hembusan angin lebih cepat iagi,
nyaris menerbangkan pintu pondok tersebut.
Namun secara tiba-tiba hembusan angin itu berhenti seketika.
Wuuut...! Lalu sepi dan hening. Kabut yang
merayap di permukaan tanah setinggi mata kaki itu pun lenyap. Hanya udara dingin
yang terasa menyapu tubuh mereka, membuat pintu pun segera ditutup oleh Pawang
Badai. Karena ia tahu, saat itu roh Eyang Mangkuranda telah pergi.
Pawang Badai adalah murid Eyang
Mangkuranda yang terakhir. Dan hanya tinggai si Pawang Badai yang masih hidup
dari beberapa murid Mangkuranda.
Sebelum tokoh sakti itu hembuskan
napas terakhir, ia telah berpesan kepada Pawang Badai agar jauhi keramaian dunia
persilatan. Pawang Badai tidak diizinkan terjun ke rimba persilatan kembaii
sebelum ada penerus yang akan menggantikannya kelak. Bahkan sang guru melarang
Pawang Badai lakukan pertarungan atau pembunuhan kepada siapa pun, kecuali ia
diserang di tempat pengasingannya.
Bersama sang istri, Pawang Badai
mengasingkan diri ke puncak Gunung Merana, sambil menjaga dan merawat makam sang
guru, itulah sebabnya, Pawang Badai tak berani ikut campur dalam peristiwa
pembantaian tersebut, selain
hanya menyelamatkan si kembar.
Tetapi agaknya sekarang roh sang guru sudah mengizinkan ia terjun kembali ke
dunia persilatan dengan tugas mengakhiri kekejian si Ratu Curnbu Laras itu.
Namun sekaiipun demikian, Pawang Badai tetap tidak
diizinkan lakukan pembunuhan
langsung, melainkan harus menggunakan siasat lain seperti yang diwejangkan oleh


Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang guru tadi.
"Selama aku menjadi istrimu, kau belum pernah menceritakan hubunganmu dengan si
Cumbu Laras," ujar Nyi Padmi setengah memprotes sikap bungkamnya sang suami.
"Kusangka kau hanya mengenali Cumbu Laras sebagaimana kau mengenal tokoh silat
wanita lainnya. Ternyata kau pernah ada hubungan pribadi dengan Cumbu Laras!"
"Masa lalu itu tak pernah kukenang lagi, dan aku pun tak ingin kau
mengenangnya."
"Setidaknya kau dapat ceritakan padaku sebagai bekal pengetahuanku," ujar sang
istri mendesak secara halus.
Pawang Badai tarik napas pelan-pelan terdengarkan suaranya kembali dengan kalem.
Sang istri memandanginya sambil menggoyang pelan gendongannya agar si kecii Raka
Pura itu tertidur nyenyak.
"Cumbu Laras adalah gadis desa yang buruk rupanya dan berpenyakit kulit. Tak ada
lelaki yang sudi menyentuhnya, apalagi memeluknya. Masa puber gadis bernama asli
Untari itu sangat pahit dan menyedihkan.
ia selalu mendapatkan hinaan dari kaum lelaki."
Pawang Badai hentikan ceritanya
sebentar. Soka Pura merengek dalam gendongannya. la terpaksa mengayun ayunkan
gendongan agar bayi itu hentikan
rengekannya. Setelah rengekan sang bayi berhenti, Pawang Badai pun lanjutkan
ceritanya kembali tanpa diminta sang istri.
"Untari akhirnya pergi dari desanya, karena tak ingin menjadi bahan hinaan para
tetangga. Rupanya di tempat lain pun Untari mengalami nasib yang sama, selalu
menjadi bahan hinaan kaum lelaki. Ia putus harapan, akhirnya bunuh diri dengan
terjun ke Jurang Sambar Nyawa. Siapa pun yang jatuh atau sengaja terjun ke
jurang itu pasti mati. Tetapi Untari tidak, karena saat tubuhnya melayang
sepasang tangan menyambarnya. Ia diselamatkan oleh sepasang tangan tanpa rupa."
"Siapa pemilik sepasang tangan itu?"
potong Nyi Padmi yang semakin ingin tahu.
"Sepasang tangan itu milik iblis yang menamakan dirinya Dewa Seribu Laknat! Maka
Untari pun segera bersekutu dengan Dewa Seribu Laknat. Ia menjadi abdi iblis
itu, tapi imbalannya adalah kesaktian dan kecantikan diberikan kepada Untari.
Setiap bulan purnama, Untari harus mengorbankan seorang bayi sebagai santapan
sang iblis Dewa Seribu Laknat itu."
"Lalu bagaimana bisa terlibat hubungan pribadi denganmu?"
"Kala itu aku masih berusia dua puluh empat tahun. Kakak perguruanku, si Tangan
Dingin, teriibat bentrokan dengan Untari yang telah menamakan dirinya Ratu Cumbu
Laras. Guru mengutusku memanggil si Tangan Dingin dan menyuruh Tangan Dingin
tinggalkan Cumbu Laras. Tetapi ia sudah telanjur terbunuh oleh Cumbu Laras. Aku
bermaksud menuntut balas, tetapi sempat terpikat oleu Kecantikan dan kelembutan
tutur rayunya. Rupanya perempuan itu merasa jatuh cinta padaku setelah hubungan
kami makin lama semakin akrab.
Sementara itu, Guru melarangku
menuntut balas atas kematian si Tangan Dingin. Hubunganku dengan Cumbu Laras pun
selalu mendapat teguran dari Guru. Pada dasarnya, Guru mengharapkan agar aku
tinggalkan Untari. Kuturuti perintah Guru itu, kutinggalkan Untari, sampai
perempuan itu mengejar-ngejarku dan tak pernah kulayani lagi cintanya. Akhirnya
ia sangat sakit hati padaku. la mencoba membunuhku beberapa kali, namun tak
berhasil, dan hal itu membuat sakit hatinya semakin
bertambah. Sampai sekarang, ternyata ia masih termakan dendam kesumat padaku dan menurut
kata-kata Guru tadi, sebelum aku mati ia tak akan hentikan kekejamannya terhadap
setiap lelaki. ia selalu ingin
menghancurkan setiap lelaki sebagai balas dendam atas perlakuan kaum lelaki saat
ia dalam keadaan buruk rupa dan berpenyakit kulit."
"Dendam itu membuat asmaranya menjadi liar!" gumam Nyi Padmi dalam keadaan tetap
tenang, tak menyimpan rasa
cemburu sedikit pun, bahkan tak tampak ia
mempunyai kebencian terhadap Ratu Cumbu Laras. Sebab, bagaimanapun juga si Ratu
tak akan berhasil
membunuh suaminya,
karena Nyi Padmi tahu ilmu yang dimiliki suaminya cukup tinggi.
"Jadi kapan
kau akan berangkat
menunaikan tugas Guru?" tanya Nyi Padmi.
"Esok aku akan berangkat ke Pesisir Kulon, melakukati perintah Guru tadi.
Kuharap kau mer-wat si kembar dengan baik-baik, jaga jangan sampai ia sakit.
Carilah madu lebah hutan dalam keadaan mereka tertidur sebagai ganti minumnya,
sebab mereka tak bisa mendapatkan minum darimu, bukan?"
Nyi Padmi tersenyum manis, menurut pandangan Pawang Badai.
"Si kembar memang tak akan mau menyusuku, karena ia takut kena marah darimu."
"Kau pikir aku masih sering seperti dulu?" Pawang Badai sunggingkan senyum
tipis. "Kurasa semakin tua kau semakin rajin menjadi pencuri."
"Pencuri apa?"
"Pencuri susu manakala aku sedang tidur!" Pawang Badai lebarkan senyum, merasa
geli dan malu. "Mengapa kau diam saja jika kau tahu aku menjadi pencuri?"
"Yah, mau bilang apa kalau hal itu adalah keindahan kita sejak dulu,
Pamitran?" ujar Nyi Padmi sambil tersenyum dan menyebut nama asli si Pawang
Badai, seperti kala mereka jumpa pertama dalam usia masing-masing sekitar tiga
puluh tahun. Nyi Padmi seorang istri yang tak
pernah mengeluh. Bahkan kini ia mengasuh dua bayi sendirian pun tak mempunyai
keluhan apa-apa.
Ia melepas kepergian
suaminya dengan senyum manis sebagai
ungkapan cintanya kepada sang suami yang tak pernah padam.
Nyi Padmi adalah anak seorang
tumenggung yang sudah kehilangan seluruh anggota keluarganya karena peperangan
antara negeri. Kini sisa hidupnya hanya bisa digunakan untuk mengabdi kepada
sang suami tercinta, dan mengabdi terhadap sesama.
Ia mempunyai ilmu warisan
orangtuanya dan beberapa jurus ajaran dari suaminya. Tapi ilmu yang dimiiikinya
tak seberapa tinggi dan sebagai pelindung keamanan pribadi.
Seandainya Nyi Padmi terpaksa harus melawan Betina Rimba, ia akan tumbang dalam
sekejap, karena ilmu yang dimiliki Betina Rimba cukup tinggi, di samping memang
keberanian perempuan berbulu halus itu juga tinggi. Bahkan seandainya kala itu
ia harus melawan si Wajah Keranda, ia masih sanggup mencabut nyawa si Wajah
Keranda dalam beberapa jurus saja.
Oleh sebab itu, sekalipun ia minggat dari Ratu Cumbu Laras, ia tak merasa takut
sedikit pun. Orang-orang dari Pesisir Kulon dapat dihancurkan dalam waktu
singkat, karena Betina Rimba adalah pengawal sang Ratu yang tertinggi ilmunya
dari yang lain.
Namun lolosnya Betina Rimba dari
ancaman hukuman mati itu membuat sang Ratu menjadi berang. Meski ia tahu
ketinggian iimu Betina Rimba, ia tetap mengutus beberapa orang pilihannya untuk
mengejar Betina Rimba.
"Jika perlu, bunuh di tempat!"
perintah sang Ratu dengan tegas.
Tak heran jika Betina Rimba akhirnya harus berhadapan dengan teman sendiri yang
mempunyai perawakah sama tinggi, kekar, sekal dan montok. Tetapi ilmunya masih
di bawah ilmu Betina Rimba. Seorang sahabat yang ditugaskan mengejarnya itu
adalah si Walet Perak.
la dijuluki si Walet Perak, karena gerakannya jika melayang seperti seekor
burung walet. Pakaiannya yang gemar mengenakan rompi dan celana putih perak itu
membuatnya pantas memakai nama Walet Perak.
Gadis berpakaian seperti perak itu juga mempunyai kecantikan yang seimbang
dengan si Betina Rimba. Tetapi masing-masing punya kelebihan dari sisi
kecantikannya itu. Walet Perak berhidung bangir dan jika tersenyum giginya
'gingsul' satu. Gigi
yang sedikit bertumpuk itulah yang membuat Walet Perak tampak semakin cantik jika sunggingkan
senyum atau tertawa. Namun jika ia sedang marah, wajah cantiknya itu dapat
membuat lawan ketakutan. Karena ia mempunyai 'Aji
"Burisrawa', yaitu berubah wajahnya menjadi seperti raksasa bertaring tajam jika
sedang marah. Walet Perak sengaja menghadang langkah Betina Rimba ketika gadis yang hanya
mengenakan kutang dan cawat itu berhasil menyeberangi sungai berair deras.
Rupanya Walet Perak sudah melihat gerakan Betina Rimba sejak tadi, dan ia
menghadang di seberang sungai. Begitu si Betina Rimba sampai di atas tanggul
sungai, ia terpaksa hentikan langkahnya karena si Walet Perak sunggingkan senyum
di depannya. "Kau...!" geram Betina Rimba yang langsung mengerti maksud penghadangan si Walet
Perak yang ingin menangkap atau membunuhnya itu. Betina Rimba pun segera siap
siaga untuk lakukan pertarungan
dengan si Walet Perak.
Walet Perak masih tetap kalem,
wajahnya belum berubah menjadi seperti raksasa mengerikan. ia justru sunggingkan
senyum tipis kepada si Betina Rimba.
* * * 5 PANDANGAN mata si Betina Rimba cukup tajam, seakan nilai persahabatannya selama
ini telah hilang dan berganti sikap permusuhan. Dengan menenteng pedangnya yang
masih bersarung di tangan kiri, Betina Rimba melangkah menyamping sambil menjaga
kewaspadaan. Sebab ia tahu, Walet Perak sering lepaskan pukulan jarak jauh
secara mendadak.
"Cukup jauh juga pelarianmu, Betina Rimba," ujar Walet Perak dengan santai.
"Tak perlu berbasa-basi lagi, Walet Perak. Aku tahu tugasmu adalah menangkap
atau membunuhku! Lakukan saja sekarang juga!"
"Kita bersahabat, Betina Rimba.
Mengapa kau memaksaku bertindak seperti itu?"
"Sahabat adalah dulu, tapi sekarang sejak aku menjadi musuh Ratu Cumbu Laras,
maka kau pun pasti ikut memusuhiku."
Senyum si Walet Perak semakin lebar.
ia merapikan rompi cekaknya yang tak pernah dikancingkan
itu, sementara di
batik rompi perak itu ia tidak mengenakan penutup dada selembar tripiek pun.
Polos dan sering mengintip nakal menggoda mata lelaki.
"Aku memang ditugaskan untuk
menangkapmu atau membunuhmu. Tapi apakah tindakan itu patut dilakukan oleh
seorang sahabat, Betina Rimba?"
"Tentu kau akan melakukan dengan bujukan halus, Walet Perak!" tegas Betina Rimba
yang masih tak tergoda oleh
kelembutan seperti itu.
"Rupanya kau sudah tak mau lagi kuajak bersahabat, Betina Rimba."
"Kau bukan mengajakku bersahabat, tapi mencari kelengahanku dan ingin
memperdayaku! Sekarang tentukan saja siapa yang harus mati di antara kita!"
"Baik kalau itu kemauanmu! Bersiaplah untuk menuruti keinginanmu sendiri, Betina
Rimba!" Sreeet...! Walet Perak mencabut pedangnya. Betina Rimba pun segera mencabut pedang dari
sarungnya. Sarung di tangan kiri dan pedang di tangan kanan.
Ketika Walet Perak melesat dengan
cepat bagai seekor burung walet menyambar mangsanya, sarung pedang Betina Rimba
berkelebat ke atas menangkis tebasan pedang si Walet Perak.
Traaang...! Buuugk...! Betina Rimba lupa bahwa dadanya dalam keadaan terbuka, sehingga kaki si Walet
Perak dengan mudahnya menendang dada itu dengan gerakan cepat Betina Rimba
terhempas ke belakang dan nyaris jatuh jika punggungnya tak membentur pohon.
Ouuur...! Benturan itu cukup kuat, sehingga
menggetarkan pohon tersebut dan beberapa daun pohon pun berguguran.
Weeers...! Walet Perak segera memutar tubuh dan pedangnya menyambar kepala si
Betina Rimba. Dengan cepat Betina Rimba menangkis sabetan pedang memakai sarung pedang
dan pedang itu sendiri.
Traang...! Posisinya yang menjadi miring membuat kaki Betina Rimba segera menendang ke
samping. Beeet...! Ploook...! Wajah si Walet Perak terkena tendangan dengan telak, bahkan perempuan itu sempat
terpental dan jatuh dalam hempasan kuat.
Brruk...! Betina Rimba segera menyerang tanpa menunggu Walet Perak bangun. Pedangnya
menebas ke arah kepala dan tubuh si Walet Perak beberapa kali. Tebasan pedang itu dilakukan dengan cepat dan penuh nafsu untuk membunuh.
Wut, wut, wut, wot..
Trang, trang, trang, trang...!
Walet Perak berhasil menangkis tebasan pedang cepatnya si Betina Rimba. Kaki pun
segera menyambar betis si Betina Rimba.
Wuuut, plaaak...
Brrruk...! Betina Rimba jatuh terbanting akibat sambaran kaki Walet Perak. Tapi pada saat
itu pedangnya sempat berkelebat menyabet dada si Walet Perak.
Craaas...! Kitab Serat Biru 3 Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Suramnya Bayang Bayang 37
^