Pencarian

Pedang Ular Emas 1

Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas Bagian 1


PEDANG ULAR EMAS Oleh Buce L. Hadi
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza Lt. II 852/69
Jl. Samanhudi No. 14-16, Jakarta-Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 "Terkutuk! Orang-orang aliran lurus hendaknya mampus disambar geledek! Biar
semua jadi arang ge-londang!" Sumpah serapah Nenek berbaju serba merah yang
larinya cepat bagai angin. Rambut putihnya ter-gerai sebatas pinggang tergerak-
gerak setiap kakinya melangkah. Ia yang tidak lain Nenek keriput Nilasari Grewek
terus berlari menerobos hutan belukar nan lebat.
Sebilah pedang berkilau keemasan tergenggam
erat di tangan kanannya. Pedang itu dibabatkan ke
depan berkali-kali, menebas ranting-ranting pohon
yang menghalangi langkahnya.
Pandangannya lurus nyalang mengandung
murka. Selama ia berlari gerutunya tidak pernah putus.
"Srikaton Munggel juga sialan! Berani-
beraninya ia dihadapan ku berpihak pada orang-orang aliran lurus. Mudah-mudahan
ia mampus ditelan bu-mi!" Saat itu Nilasari Grewek sudah menembus hutan belukar.
Dihadapannya membentang sebuah perkampungan terpencil yang sunyi. Namun begitu
para penduduknya banyak berkeliaran mengisi kesibukan se-
hari-hari. Tidak segan pula Nilasari Grewek menginjakkan
kaki ke desa terpencil tersebut. Kehadirannya sangat mengejutkan penduduk
kampung. Mereka betul-betul
keheranan menatap seorang nenek keriput yang terus menggerutu dan langsung duduk
pada sebuah balai di depan sebuah gubuk.
"Aku yang telah banyak malang melintang da-
lam dunia persilatan, sama sekali tidak diberi muka.
Tidak ingat selama tiga puluh tahun hidup aku yang
mengurusi. Dasar murid tidak tabu diri. Sebaiknya cepat-cepat mampus saja kalian
semua!" Mendengar sumpah serapah itu beberapa pen-
duduk yang kebetulan mendengar jadi ingin tertawa.
Mereka menganggap telah kehadiran seorang nenek
pikun. Tak urung juga penduduk yang lain berdatangan ikut menertawai.
Nilasari Grewek tidak perduli dikerubungi oleh
para penduduk yang berbagai usia maupun jenis. Ta-
hu-tahu saja tempat itu telah penuh dengan orang-
orang yang mengerubunginya.
"Adisena, siapa nenek ini sebenarnya?" bisik salah seorang penduduk. Adisena
yang juga berada di si-tu mengangkat bahu.
"Mana aku tabu. Coba saja kau tanyakan, siapa tahu dia nenek moyangmu." jawab
Adisena bergurau.
"Monyong. Nenek moyangku tidak ada yang se-
jelek ini!" Gerutu sahabatnya. Ia menepuk punggung Adisena lalu tertawa nyengir.
Tapi lama kelamaan Nilasari Grewek menyadari
juga kalau dirinya menjadi tontonan orang banyak.
Maka ia menghardik kuat-kuat.
"Kalian semua mau apa, hah! Ayo pergi!" bentaknya, seraya bangkit menggertak.
Tapi mana mau mereka menyingkir. Meskipun ne-
nek keriput itu menghunuskan pedang.
"Nenek sinting, sebaiknya kau yang mesti pergi dari sini. Desa ini bukan
tempatmu!" jawab mereka.
Nilasari menggeram demi mendengar kata-kata itu.
Maka murka sekali ia melemparkan pedangnya ke ha-
dapan orang yang berbicara tadi
Cepat pula orang itu beringsut mundur. Se-
hingga luput dari lemparan pedang. Namun pedang itu tepat menancap tegak di atas
permukaan tanah.
Melihat kemarahan itu para penduduk mundur
beberapa langkah. Mata mereka semua menatap ke
arah pedang yang menancap tegak. Sedangkan Nilasari Grewek tetap duduk kembali
mengangkat sebelah kakinya di atas balai.
"Wuaaah... Tidak salahkah penglihatan ku"
Coba kau lihat pedang itu, Adisena. Bukankah itu pedang emas?" kata mereka.
Nilasari Grewek mencibir.
"Astaga.... Itu emas murni!" Mata Adisena terbelalak. Yang lain juga menatap
kagum ke arah pedang tersebut.
"Tidak terpikirkan olehmu, seandainya pedang emas itu menjadi milik kita?" kata
mereka. "Kita bisa menjualnya dan dapat membangun
desa ini." jawab Adisena mantap. "Bayangkan saja berapa banyak uang yang akan
kita terima nanti." sam-bung Adisena.
"Kalau begitu kenapa tidak kita ambil saja. Toh, nenek pikun itu tidak ada
artinya bagi kita." Salah seorang diantara mereka melangkah maju ke arah pedang
yang tertancap di tanah.
Meski acuh, Nilasari Grewek dapat melirik. Ma-
ka saat orang itu hendak menarik Pedang emas, Nenek Keriput yang duduk tenang
ini tidak segan-segan lepaskan sebuah hantaman.
"Buuug...! Arrrrrght...!" Celaka bagi orang itu.
Tubuhnya langsung ambruk di tanah. Mulutnya me-
nyembur darah dengan tulang iga yang remuk. Hingga tewas seketika. Kejadian
tersebut membuat orang-orang yang berada di situ jadi berbalik ngeri. Tapi tidak
membuat gentar beberapa orang lelaki yang masih
berdiri menghadapi Nilasari Grewek.
"Nenek Keriput! Kau telah membunuh seorang
sahabat kami. Sungguh berani bertindak sembaran-
gan." Mereka mengepung. Di antaranya ada yang mencabut golok.
"Jangan ada yang coba-coba menyentuh Pe-
dang Ular Emasku! Kalian akan celaka semua!" bentak Nilasari Grewek.
"Percuma kau bicara begitu. Kau telah mene-
waskan satu penduduk desa ini. Kamilah yang akan
menghukum mu nenek busuk!" Mereka menerjang serempak. Menghadapi serangan-
serangan itu Nilasari
Grewek tidak perlu bangkit. Kedua tangannya cepat
memutar menyambut mereka. Setiap telapak tangan-
nya memapaki serangan mereka.
"Splaaak....! Splaaak...! Splaaak...!"
Mereka bergelimpang terhuyung. Sambutan itu
cukup membuat para penduduk semakin murka. Me-
reka bangkit lagi. Dan kali ini serangan mereka lebih gencar. Menghadapi
serangan dari enam orang, nenek berbaju merah itu tidak bisa terus menerus
sambil duduk. Sekali ia hentakkan kedua kakinya. Nilasari Grewek melesat
menjauh. Hantaman golok serta pukulan
mereka luput. Hanya balai yang berderak hancur.
Cepat mereka berbalik menatap ke arah Nilasa-
ri Grewek yang sudah berdiri di hadapan Pedang Ular Emas. Keenam orang lawannya
garang menerjang. Cepat pula Nilasari Grewek mencabut pedang yang ter-
tancap itu. Lalu ia membabat ke depan.
Membersitlah sinar keemasan bagai setengah
lingkaran. Dibarengi pula dengan jeritan yang me-
nyayat. Tiga orang ambruk dengan perut mengham-
burkan darah. Adisena membelalakkan mata. Ia segan untuk
maju menyerang lagi. Dua orang temannya bergidik
menatap tiga orang tewas mengerikan. Sedangkan Ni-
lasari Grewek telah siap menghadapi mereka. Jurus
pedangnya ngawur nampak begitu menakutkan.
Seluruh orang-orang kampung menyingkir
mundur. Mereka tidak berani mendekat. Apalagi kaum
perempuannya. Hampir rata-rata tidak berani menatap ke arah pertempuran.
"Penduduk sialan! Kedatanganku ke sini sama
sekali tidak menyulitkan kalian, tapi justru kalian yang mencari kesulitan
sendiri. Nah, majulah bila ingin mengambil pedang dari tanganku! Hayo...!"
tantang Nilasari Grewek. Mata tuanya menatap jalang.
Adisena yang memimpin gerakan itu jadi gela-
gapan. Dua orang temannya sudah tidak sabaran me-
lihat sikap nenek berbaju merah.
"Tunggu apa lagi, Adisena. Pedang di tangannya jauh lebih mahal dari pada jiwa
keriput ini!" bentaknya. Nilasari Grewek hanya menyeringai. Sigap ia menyambut
serangan dari ketiga lawannya. Pedangnya
membersit kembali memutuskan senjata-senjata me-
reka. Namun demi mendapatkan pedang yang terbuat
dari emas murni, mereka tidak gentar sedikitpun. Tidak berpikir kalau nenek
keriput yang tengah mereka hadapi adalah seorang renta yang sangat berilmu
tinggi. Tidak menyangka pula kalau kepala kedua penye-
rangnya tiba-tiba putus menggelinding.
Melihat itupun Adisena berjingkat mundur. Ia
tidak berani lagi menyerang. Orang-orang kampung
terpencil itu serempak menjerit ngeri. Mereka berlarian bersembunyi.
Tapi mendadak pula Nilasari Grewek bergetar.
Adisena menatap keheranan. Ia tidak berani melang-
kah. Di luar dugaan Nilasari Grewek memuntahkan
darah. Keringat mengucur di sekujur tubuhnya. Mu-
lutnya menghambur darah kehitaman.
"Anak muda.... Aku tidak segan-segan mengha-
biskan seluruh penduduk desa ini. Kelima orang te-
manmu itu sebagai peringatan. Dan sekarang kalian
semua harus patuh," Suara Nilasari Grewek parau.
Kedua matanya mengembang air karena menahan rasa
sakit yang meluap dari dalam dadanya.
"Aku sekarang yang menguasai desa ini. Kalian harus melayani aku seperti seorang
raja. Mengerti...!"
Adisena mengangguk perlahan. Takut kalau-
kalau Pedang Ular Emas itu membersit ke arah tenggorokannya. Dia hanya berani
berdiri jauh. Menatap Nilasari Grewek menyeka lumuran darah di sekitar mu-
lut. "Sekarang suruh penduduk desa ini keluar se-
mua, mereka tidak perlu takut lagi. Cepat!" Perintah nenek berambut putih. Ia
kembali duduk bersila di
atas balai. Sedangkan Adisena yang masih ketakutan langsung menyuruh para
penduduk desa agar keluar.
Maka dalam sekejap saja mereka keluar dari
gubuknya masing-masing. Dengan langkah ngeri, me-
reka semua berjalan mendekat ke arah Nilasari Gre-
wek. Para perempuan mendekapi anak-anak mereka.
Memandang itu Nilasari Grewek menyeringai
seram. Sepertinya ia tengah menghitung jumlah pen-
duduk yang sangat sedikit. Tapi ia cukup puas dengan adanya orang-orang itu.
Serta merta ia bangkit berdiri.
"Mulai sekarang akulah pemimpin kalian. Aku
yang akan memerintahkan kalian. Bila ada yang coba-coba membangkang, Pedang Ular
Emas akan bicara.
Mengerti!"
Tidak ada yang berani menjawab. Mereka diam
dengan kepala tertunduk. "Bagus. Itu tandanya kalian penduduk yang patuh."
Nilasari Grewek terbatuk-batuk. Mulutnya
menghamburkan lendir-lendir darah kehitaman. Lalu...
"Aku perlu satu gubuk yang cukup bagus. Aku
minta kalian membuatnya sekarang. Juga mayat-
mayat ini perlu kalian urusi, kalau perlu buang saja ke hutan biar dimakan
binatang buas." perintah Nilasari Grewek.
"Dan kau anak muda..." kata Nilasari Grewek dengan mata yang tertuju pada
Adisena. "Tolong carikan aku seorang tabib. Atau apa sa-ja yang dapat menyembuhkan luka-
lukaku ini. Ingat, jangan coba-coba membantah bila tidak segera mampus!"
Nilasari Grewek memang tengah terluka.
Mungkin para pembaca sekalian masih ingat pada ba-
gian akhir kisah Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul.
Sewaktu ia bertempur menghadapi para pendekar ali-
ran lurus, seorang pendekar maha sakti bernama Pendekar Kelana Sakti ikut
menggempur tokoh hebat penguasa Gunung Tunggul ini. Sehingga ia harus terkena
hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru dari si Pendekar Kelana Sakti. Sekarang ia
sengaja meninggalkan Gunung Tunggul demi menghindari serbuan-serbuan
para pendekar tersebut.
"Kenapa masih diam saja! Cepat lakukan apa
yang aku perintahkan tadi!" bentak nenek keriput bringas.
* * * 2 Dengan langkah yang terburu-buru, Adisena
menelusuri tepian hutan. Ia sudah meninggalkan jauh desanya. Langkahnya cepat
tanpa pernah berhenti.
Tapi sesekali ia menoleh ke belakang.
Ia tidak mengira sama sekali kalau nenek keri-
put yang diduganya pikun ternyata jauh sangat hebat.
Belum pernah ia menemukan orang setangguh dalam
usia Nilasari Grewek. Dan sungguh terpaksa pula se-
karang ia menjadi budaknya. Bukan hanya dirinya
yang tunduk terhadap nenek penguasa Gunung Tung-
gul, Tetapi juga seluruh penduduk desa terpencil itu.
Sebenarnya satu kesempatan bagi Adisena un-
tuk melarikan diri. Namun ia bukanlah seorang pengecut meskipun dalam keadaan
ketakutan. Tujuannya benar-benar ingin menemui seorang
dukun ahli pengobatan. Dimana sang dukun sakti itu tinggal diantara lebatnya
hutan. Adisena tahu benar letaknya. Maka ia pantang ragu-ragu melangkahkan ka-
kinya. Sebentar saja ia sudah dapat melihat sebuah gubuk. Tidak besar namun
cukup bersih dan terawat.
Di situlah tinggal seorang dukun bernama Kumbaya-
na. Sudah sering Adisena datang ke sana untuk me-
minta pertolongan. Dan kehadirannya sekarang sudah dapat di ketahui. Kumbayana
yang berada di depan
gubuknya menanti kedatangan Adisena.
Kumbayana seorang laki-laki setengah tua ber-
wajah buruk. Kedua matanya yang besar serta hi-
dungnya yang pesek, tidak lebih bagaikan wajah seorang Buto Ijo. Kalau saja baru
pertama kali melihat pasti akan merasa ketakutan.
"Ada apa, Adisena" Kehadiranmu hari ini lain
sekali." sambut Kumbayana ketika Adisena datang te-rengah-engah.
"Sebenarnya tidak ada satupun penduduk yang
butuh pengobatan, Paman. Tapi hari ini kami benar-
benar butuh pertolongan. Seorang tua berilmu tinggi tahu-tahu datang mengamuk."
Jelas Adisena. Kumbayana mengernyit tak mengerti.
"Astaga... Sampai sejauh itukah tindakannya?"
"Paman pasti tidak akan mengira kalau dari
penduduk desa sudah lima orang yang tewas. Untuk
itulah aku datang ke sini memohon pertolongan." ujar
Adisena.

Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang harus aku lakukan?"
"Nenek berilmu tinggi itu rupanya tengah terlu-ka. Ia memaksa kami mencari
pengobatan, kalau sam-
pai gagal habislah semua penduduk kampung." kata Adisena. Dukun berwajah
menyeramkan itu diam seje-nak. Bagaimana ia bisa membunuh lima orang sekali-
gus kalau dalam keadaan terluka, Kumbayana tak ha-
bis pikir. "Luka apa yang dideritanya itu, Adisena?" tanya Kumbayana.
"Entahlah. Kelihatannya ia mengeluarkan da-
rah hitam dari mulutnya, sebaiknya paman segera ke sana sekarang demi
keselamatan penduduk desa." ujar Adisena tidak sabaran.
"Tunggu dulu, bagaimana mungkin orang yang
telah berbuat jahat itu harus ditolong"
Sebaiknya kita balas saja atas kejahatannya
itu." jawab Kumbayana.
"Tidak bisa, Paman. Nenek tua itu sangat sakti.
Salah-salah kita yang bakal celaka."
"Kalau begitu pergilah kau dulu. Sebentar aku menyusul." jawab Kumbayana. Ia
sendiri tidak perduli dengan Adisena. Kumbayana memasuki gubuknya.
Sementara itu Adisena malas melangkah kembali ke
desanya. Ia sengaja menunggu Dukun berwajah me-
nyeramkan keluar. Dan bermaksud pergi bersama-
sama. "Sebaiknya kita berangkat bersama, Paman.
Aku khawatir iblis itu tidak mempercayai ku." kata Adisena setelah melihat
Kumbayana keluar membawa
perlengkapan. Lelaki setengah tua itu tidak menjawab.
Langkahnya sigap mendahului langkah Adisena yang
berjalan di belakang mengikuti.
*** Kembalinya Srikaton Munggel dalam keluarga
Pedang Ular, ada kalanya membuat Umbayani gembira
bercampur sedih. Srikaton Munggel ternyata, benar
kakaknya. Dia tidak lain Umbamayu. Kakak perem-
puan yang telah hilang selama dua puluh tahun. Su-
dah pasti pertunangan Umbayani gagal total dengan
Arso Lumbing. Apalagi Arso Lumbing telah membeberkan apa
yang telah dialami bersama Umbamayu. Keterusteran-
gan Arso Lumbing itu memupuskan harapan Umbaya-
ni. Tapi untunglah Umbayani cukup mengalah dan
mengerti. Yang ia pikirkan sekarang adalah keselamatan kakaknya dan Pedang Ular
Emas yang kini berada di tangan Nilasari Grewek.
Sampai saat ini Umbamayu belum juga sadar
dari pingsannya. Kian lama tubuhnya kian pucat
membiru. Terlentang di atas tempat tidur empuk. Di sampingnya Arso Lumbing setia
menunggu. Umbayani
dan Resi Wesakih menatap seakan menunggu kesada-
ran Umbamayu. Sementara itu di luar pekarangan Perguruan
Pedang Ular tetap tidak berubah. Para penjaga yang terdiri dari para murid
Pedang Ular terus berjaga. Mereka mengetahui apa yang telah melanda perguruan-
nya. Itulah sebabnya mereka memperketat penjagaan.
Di dalam sebuah ruangan, Umbamayu tetap di-
am tidak sadarkan diri. Arso Lumbing hampir cemas
memikirkannya. Karena ia betul-betul menyintainya.
"Lukanya teramat parah. Mirip seperti apa yang pernah dialami ayahmu dua puluh
tahun yang lalu. Pastilah Umbamayu terkena hantaman Tombak Gunung yang
sangat dahsyat itu." ujar Resi Wesakih. Ia seperti putus asa melihat keadaan
Umbamayu. "Kita harus dapat menolongnya, Paman. Kalau
tidak, aku akan kehilangan Umbamayu lagi." kata Umbayani sedih. Ia menyelimuti
tubuh Umbamayu dengan kain tebal. Tubuh Umbamayu tidak bergeming
sedikitpun. "Kita harus berusaha demi keselamatan kakakmu ini, Umbayani. Aku
pernah tahu ada seorang dukun sakti bernama Kumbayana. Dan kau Arso
Lumbing, tiada gunanya hanya duduk menunggu tan-
pa upaya." ujar Resi Wesakih. Lalu ia keluar dari ruangan itu. Umbayani
mengikutinya. "Kemana harus kita cari dukun sakti itu, Pa-
man?" "Beberapa mil dari perguruan ini." jawab Resi Wesakih. Mereka memasuki
ruangan lain. Di ruangan
itu duduk seorang anak muda berpakaian baju bulu
binatang. Pemuda ini langsung bangkit ketika melihat kedatangan mereka.
"Keadaan Umbamayu amat parah, Wintara. Ka-
lau kita tidak segera mengobatinya, Umbamayu akan celaka." kata Resi Wesakih.
"Jadi apa yang harus kita perbuat?" sahut Wintara. "Kita harus membawanya ke
Belantara Sawungan. Mudah-mudahan Kumbayana dapat menghilang-
kan pengaruh hantaman Tombak Gunung. Cuma
Kumbayana satu-satunya orang yang mengerti segala
macam obat." jawab Resi Wesakih. Umbayani hanya berdiri di samping laki-laki
bungkuk berambut putih itu.
"Kumbayana?" ulang Wintara.
"Ya, dia orang persilatan juga. Tapi ia tidak berpihak pada aliran manapun.
Semoga saja ia masih tetap tinggal di Belantara Sawungan."
Ketiganya berhenti bicara, karena saat itu Arso
Lumbing muncul keluar dari kamar sambil memapah
tubuh Umbamayu yang berselimut kain tebal. Wintara dapat melihat wajah Umbamayu
pucat pasi. Arso
Lumbing langsung mendekati mereka.
"Ayah, biarlah aku yang akan ke Belantara Sa-
wungan. Keadaan Umbamayu amat serius." ujarnya terhadap Resi Wesakih.
"Mana bisa begitu. Kau sendiri belum tentu bi-sa melindungi Umbamayu.
Bagaimanapun kita semua
harus ikut." tukas Resi Wesakih.
"Apa yang dikatakan Resi Wesakih benar, sobat Arso Lumbing. Semestinya kita
harus berangkat bersama-sama. Mengingat situasi sekarang tengah gent-
ing." ujar Wintara.
"Keselamatan Umbamayu amatlah penting. Ka-
rena hanya dia yang tahu di mana Nilasari Grewek berada. Bagaimanapun Pusaka
Pedang Ular Emas harus
kembali ke tangan kita." kata Umbayani.
"Hm, untuk menuju ke Belantara Sawungan ki-
ta memerlukan sebuah kereta kuda."
"Jangan khawatir, Paman. Di sini masih ada sa-tu kereta kuda yang masih bagus."
ujar Umbayani seraya ia melangkah keluar dari ruangan itu. Beberapa penjaga
langsung diperintahkan agar menyiapkan kereta tersebut.
Orang-orang itu langsung menariknya keluar
kandang. Beberapa ekor kuda juga di tarik keluar. Mereka mulai memasang tali-
tali yang menghubungkan
ke kereta. Sebentar saja kereta itu sudah siap dengan dua ekor kuda.
Saat itu Arso Lumbing sudah berdiri di depan
pintu gedung. Ia memapah tubuh Umbamayu. Me-
nunggu kereta kuda yang berjalan ke arahnya. Tanpa diperintah, Arso Lumbing
langsung menaiki kereta tersebut. Resi Wesakih yang tahu jalan arah Belantara
Sawungan sengaja mengendalikan di depan. Umbayani
ikut mendampingi Arso Lumbing menjaga Umbamayu.
Sedangkan Wintara mengawal dengan kuda tersendiri.
Beberapa murid Perguruan Pedang Ular ikut
pula mengawal. Tanpa menunggu-nunggu waktu lagi
kereta kuda itu langsung berangkat. Yang lain mengikuti di belakang. Hingga
merupakan sebuah iring-
iringan pendek.
Belasan murid yang menjaga perguruan cepat
menutup pintu gerbang saat rombongan itu sudah
meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menyangka kalau Umbamayu masih dapat
ditemukan. Padahal sela-
ma dua puluh tahun ini mereka sudah betul-betul melupakan akan peristiwa itu.
Bahkan sama sekali, ada yang tidak mengetahuinya.
Di dalam sebuah kereta yang tengah berjalan
itu, sosok Umbamayu tetap diam dalam penjagaan Ar-
so Lumbing dan Umbayani. Di depan kereta Resi We-
sakih memecuti cemeti menghela kuda-kuda yang me-
narik kereta. Wintara mengiringi di samping. Sedangkan di belakang kereta
berderet belasan murid-murid perguruan Pedang Ular. Mereka rata-rata menunggangi
kuda. Meskipun begitu langkah-langkah mereka tetap perlahan mengikuti arus
perjalanan laju kereta. Namun tak urung iring-iringan itu semakin lama semakin
jauh meninggalkan perguruan.
Tujuan mereka adalah Belantara Sawungan. Di
mana seorang dukun sakti bernama Kumbayana ting-
gal. Resi Wesakih kenal baik terhadap Kumbayana.
Dua puluh tahun yang lalu Kumbayana pernah hampir
berhasil menyelamatkan ayah Umbayani dari luka pu-
kulan Tombak Gunung. Hanya saja saat itu keadaan
majikan pedang Ular teramat parah. Makanya seka-
rang Resi Wesakih bertekad untuk menemui Kum-
bayana, berupaya untuk mengobati luka Umbamayu.
Dengan harapan bisa disembuhkan.
Sebab keselamatan Umbamayu adalah suatu
kunci untuk mendapatkan kembali Pusaka Pedang
Ular. Bagaimanapun Umbamayu harus diselamatkan.
Dia harus tetap hidup meneruskan dalam memimpin
Perguruan Pedang Ular. Sebagai anak tertua, Umba-
mayu pantas mewarisi Pedang Ular Emas. Umbayani
cukup mengakui. Sebagai seorang adik ia harus men-
gerti dengan keadaan yang sekarang.
* * * 3 Hampir seharian penuh, para penduduk desa
terpencil telah menyelesaikan sebuah gubuk. Para lelaki bergotong royong
membangun gubuk tersebut di
tengah-tengah gubuk lain. Desa terpencil itu letaknya di sekitar tepian
belantara Sawungan.
Sedari tadi Nilasari Grewek petantang-
petenteng tidak sabaran. Ia ingin cepat-cepat beristirahat. Seharian penuh
kerjanya menggerutu terus, bahkan tidak segan-segan ia memukul bila melihat
salah seorang dari mereka bermalas-malasan.
Sekarang gubuk itu sudah rapi betul. Mereka
tinggal membersihkan bagian luarnya saja. Melihat
itupun langkahnya cepat memasuki gubuk barunya,
tapi sebelum ia memasuki gubuk itu. Nilasari Grewek menarik salah seorang yang
tengah membersihkan ha-laman gubuk.
"Mana si keparat Adisena itu, hah! Kenapa
sampai matahari gelap ini ia belum juga muncul" Ma-na dia?" bentaknya. Karuan
saja orang itu jadi ketaku-
tan setengah mati. Karena ia tahu meskipun ia seorang nenek keriput, namun
hantamannya dapat membuat
orang menyemburkan darah.
"Sabar, Nek.... Sabaaar... Letak Belantara Sawungan cukup jauh dari sini. Sabar
saja, Adisena pasti kemari bersama Kumbayana." jawabnya ketakutan.
Orang itu merungkut dalam cengkraman Nilasari Gre-
wek. "Ingat! Kalau sampai malam ini Adisena tidak kembali, kalian semua bakal
celaka. Mayat-mayat kalian akan menjadi jembatan pintu gubuk ini!" kata-kata
Nenek berbaju merah ini mengerikan. Dengan kasar ia melepaskan cengkeramannya.
Lalu ia sendiri
memasuki gubuknya. Suasana menjadi hening. Ba-
nyak para penduduk yang menatap ngeri. Dan mere-
kapun mulai meninggalkan tempat itu untuk kembali
ke gubuknya masing-masing.
Namun baru saja mereka bubar terdengar lagi
sebuah teriakan parau Nilasari Grewek. Dia berdiri angker di tengah-tengah pintu
gubuk. "Woooy... Penduduk-penduduk tolol. Jangan
enak-enakan kalian pergi dari sini. Cepat sediakan makanan yang enak buatku. Aku
lapar sekali! Awas
kalau tidak. Mendengar itupun penduduk desa itu saling
pandang. Bagaimana mereka harus menyediakan ma-
kanan yang enak-enak. Desa terpencil itu tidak mempunyai apa-apa. Kalau soal
beras mereka memang ti-
dak pernah kehabisan. Dan setiap hari pula mereka
kebanyakan makan nasi campur garam. Sekarang me-
reka dituntut untuk mengeluarkan makanan yang le-
zat. Satu-satunya jalan mereka harus mengorbankan
binatang peliharaan mereka secara bergantian.
"Tidak ada makan yang enak, kalian akan ku
bantai satu persatu! Mengerti?" bentaknya parau. Ia
kembali masuk ke dalam gubuk. Untuk kemudian ia
tidak muncul-muncul. Para penduduk desa terpencil
itu merasa tertekan. Selama ini mereka amat rajin dan menyayangi semua
peliharaannya. Untuk menyembe-lihnya saja kalau ada keperluan tertentu. Tapi
bagaimana mereka sanggup menolak permintaan si Pengua-
sa Baru itu" Tindakannya yang kejam dan sadis mem-
buat mereka tidak berkutik,
Demi menjaga nyawa keluarga serta menyela-
matkan malapetaka yang terjadi di desa itu, terpaksa pula mereka menuruti
keinginan-keinginan Nilasari
Grewek. Meskipun dalam hati mereka berontak.
Mereka juga akan tetap khawatir. Karena Adi-
sena sampai saat ini belum juga kembali. Ia takut kalau-kalau Adisena lari tidak
memenuhi perintah nenek keriput itu. Jelas mereka akan celaka semua. Mereka bisa
melihat ketika nenek itu membantai lima orang penduduk kampung sekaligus.
Keluarga dari para kor-ban itu saja tidak ada yang berani menangisi atas ke-
matian mereka. Sebab mereka amat takut sekali akan tindakannya yang gampang
mencabut nyawa orang.
Apalagi setiap ucapannya tidak pernah main-main.
Tapi kekhawatiran itu segera lenyap ketika
penduduk desa melihat sosok Adisena datang bersama Kumbayana. Hampir semuanya
meluruk menyambut
kedatangan mereka.
"Untung saja kau cepat datang, Adisena. Kalau tidak kami semua akan celaka di
sini." kata mereka.
Mereka juga langsung mengantarkan Kumbayana ke
arah gubuk yang ditinggali Nilasari Grewek.
"Kami semua betul-betul terancam. Tadi siang
sudah lima orang yang tewas. Dua orang luka-luka.
Kami tidak bisa berbuat apa-apa."
"Tolonglah kami, Paman. Bagaimana caranya
bisa mengusir nenek keparat itu."
Mendengar suara ribut-ribut, Nilasari Grewek
langsung keluar dari gubuk. Dari depan pintu ia sudah melihat kerumunan orang.
Kemunculan Nilasari Grewek membuat suasana malam itu hening kembali. Ti-
dak ada satupun yang berani mengeluarkan suara.
"Kalian aku perintahkan untuk menyiapkan makanan!
Mana makanan itu! Mana!" bentaknya sambil menyeringai. "Soal makanan harap nenek
berilmu tinggi ber-sabar sebentar. Kedatangan kami ini kiranya..." Mereka tidak
meneruskan kata-katanya. Karena saat itu
nenek berbaju serba merah mengangkat sebelah telapak tangannya ke atas. Ia sudah
melihat Adisena berada diantara kerumunan itu. Juga seorang tua berwajah sangat
mirip dengan Buto Ijo.


Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, kiranya dukun hebat itu tidak lain sobat Kumbayana. Tidak kusangka wajah
jelek mu itu tidak pernah berubah." sapa Nilasari Grewek. Terhadap Kumbayana,
penguasa Gunung Tunggul ini cukup
mengenalinya. "Tak kusangka pula kalau yang hendak memin-
ta pertolongan padaku seorang tokoh Penguasa Gu-
nung Tunggul adanya." jawab Kumbayana, sorot matanya tajam menatap nenek
berambut putih.
"Sudah tahu begitu, kau jangan macam-macam
Kumbayana. Aku memang tengah terluka dan membu-
tuhkan pertolongan dari orang macam kau. Masuk-
lah." Nilasari Grewek memberi jalan. Kumbayana tidak langsung masuk ke dalam
gubuk. Ia menatap orang-orang kampung terlebih dahulu.
"Hati-hati, Paman.... Nenek itu terlalu berbahaya. Kita tidak bisa salah
sedikit." pesan Adisena.
Kumbayana mendengus, lalu ia membalikkan tubuh
dan segera melangkah ke arah pintu gubuk.
Nilasari Grewek sudah menunggu dalam ruan-
gan. Ia duduk bersila. Tangannya menggenggam sebi-
lah pedang berkilau keemasan. Melihat itu Kumbayana kernyitkan alis, namun
karena matanya terlalu besar tetap saja seperti biasa. Betapa terkejut ia
melihat Pedang Ular Emas berada dalam tangan Nilasari Grewek.
Bagaimana mungkin sampai terjadi" Kumbayana tak
habis pikir. Kumbayana berjalan ke arah di mana Nilasari duduk bersila, tapi...
"Jangan terlalu mendekat, Kumbayana. Duduk-
lah di situ!" Nilasari Grewek tudingkan pedangnya ke dada Kumbayana. Laki-laki
Buto Ijo ini tidak mengelak. Terpaksa ia duduk bersila pula.
"Kau tidak nampak sakit, Nilasari Grewek." ujar Kumbayana.
"Jangan menghibur diriku. Kelihatannya me-
mang tidak. Tapi jelasnya aku tengah terluka."
"Bagaimana aku bisa memastikan bahwa kau
tengah terluka kalau aku tidak dapat memeriksanya"
Aku bukan seorang dukun sakti seperti yang kau
bayangkan." jawab Kumbayana. Nilasari Grewek menatap liar. Serta merta ia
bangkit berdiri dan membuka pakaian bagian atasnya.
"Nah, kau lihat!" Nilasari memperlihatkan bagian tubuhnya. Memang nampak bekas-
bekas telapak tangan yang memar menghitam. Demi melihat itu
Kumbayana sangat tersentak.
"Kau telah terkena pukulan dari orang yang
berilmu tinggi, rupanya. Setahuku, tiada orang yang sanggup menghadapimu.
Siapakah dia gerangan."
tanya Kumbayana keheranan. Ia bergerak bangkit agar lebih jelas dapat melihat
bekas-bekas luka itu.
Tapi Nilasari Grewek kembali menudingkan Pe-
dang Ular Emasnya lagi. Kumbayana menghela nafas.
"Dua puluh tahun yang lalu memang tiada
orang yang sanggup mengalahkan aku, tapi nyatanya
sekarang aku harus dipecundangi dengan seorang bo-
cah yang bau kencur. Apalagi dia berani mengaku dirinya sebagai Pendekar Kelana
Sakti." tutur Nilasari Grewek.
"Pendekar Kelana Sakti" Selama hidupku baru
pernah kudengar nama pendekar itu. Dari mana ia
mendapatkan ilmu yang setinggi langit itu" Paling tidak kita harus mengenali
siapa gurunya. Masakah ki-ta-kita yang tua ini tidak mengenalinya?"
"Jangan banyak komentar, Kumbayana. Sang-
gupkah kau menyembuhkan luka-luka ini?" tukas Nilasari Grewek. Kumbayana tidak
segera menjawab. Ta-pi sebentar kemudian...
"Melihat dari bekas-bekas luka itu pasti lah teramat parah. Bagaimana seandainya
aku tidak sang-
gup mengobatimu, Nilasari Grewek?" jawab Kumbayana. "Gampang saja. Kau beserta
penduduk desa ini akan bergelimpangan tanpa nyawa."
"Kau pikir mudah mengobati orang dengan ja-
rak yang terpisah seperti ini?" ujar Kumbayana. Ia menatap Nilasari Grewek
merogoh sesuatu dari balik ikat pinggangnya. Ternyata ia mengeluarkan beberapa
butir pil berwarna hitam.
"Aku curiga kaupun akan merebut pedang ini
dari tanganku. Karena sebelumnya kita memang per-
nah bentrok dalam urusan Pedang Ular Emas. Aku
khawatir pula kalau kau akan meracuni aku nanti."
Nilasari Grewek menyerahkan butir-butir pil hitam itu.
Kumbayana menerima dengan begitu saja.
"Racun itu amat mematikan. Sebagai jaminan,
kau harus menelannya. Dan kau tidak perlu takut.
Aku punya penawarnya. Telanlah. Lalu kau boleh mu-
lai mengobatiku. Tapi ingat jangan coba-coba menyentuh pedang ini." kata
Nilasari Grewek sambil hati-hati meletakkan Pedang Ular Emas di sudut ruangan.
Tanpa ragu-ragu Kumbayana langsung mene-
lan butir-butir pil racun tersebut. Ia tidak memikirkan akan bahayanya.
Tindakannya semata-mata untuk
menyelamatkan penduduk desa terpencil. Sebab ia ta-hu benar watak jahat yang ada
pada diri Nilasari Grewek. Yang ia tidak habis pikir adalah Pedang Ular
Emas. Bagaimana pedang itu bisa berada di tangan-
nya." Sekarang harus pula ia mengobati luka-luka
penguasa Gunung Tunggul.
Bisa atau tidak itu tergantung nanti. Yang jelas
sekarang ia harus berusaha menyenangkan Nilasari
Grewek. Atau paling tidak mengurangi rasa sakitnya.
Selama itu pula Kumbayana hati-hati sekali dalam
mengobati luka-luka bekas pukulan di tubuh Nilasari Grewek.
Cara pengobatan Kumbayana lain dari pada
yang lain. Jarang dilakukan oleh tabib macam mana-
pun. Kumbayana tanpa menggunakan ramuan obat
ataupun apa. Kecuali seperangkat pedang-pedang kecil yang berukuran dua kali
dari batang jarum. Alat-alat pengobatan tersebut terbuat dari emas murni.
Lima batang pedang kecil sengaja ditusukkan
di sekitar luka memar. Tubuh Nilasari Grewek terlentang tanpa merasakan sakit
akibat dari tusukan-
tusukan pedang-pedang kecil. Kumbayana memang
ahli dalam bidang itu. Ia dapat mencari dan menan-
capkan pedang-pedang emas di setiap jalan darah. Sebentar saja bekas-bekas hitam
memar segera berubah.
Menjadi merah seperti dialiri darah. Ternyata luka-luka itu tidak hanya satu.
Masih ada tiga bekas pukulan lagi. Sementara itu keringat Kumbayana sendiri
telah mengucur membasahi sekujur tubuhnya.
* * * 4 Rupanya pengaruh racun yang diberikan Nila-
sari Grewek mulai bereaksi. Wajah Kumbayana beru-
bah pucat. Membuat wajah Buto Ijonya makin nampak
menyeramkan. Meskipun ia menyadari akan hal itu,
Kumbayana tetap melakukan pengobatan terhadap Ni-
lasari Grewek. Ia paksakan dirinya sampai tuntas.
Hingga dalam waktu yang sangat singkat Kum-
bayana berhasil menghilangkan bekas-bekas memar
hitam di tubuh Nilasari Grewek.
"Untuk malam ini cukup sekian dulu. Luka-
lukamu amat parah. Akan kita teruskan besok." ujar Kumbayana menyeka keringat
yang membasahi sekujur wajah pucatnya.
"Heh, tidak bisakah kau menyembuhkannya
sekarang" Kau jangan mempermainkan aku, Kum-
bayana!" bentak nenek keriput terlentang.
"Aku sudah mengerahkan seluruh kemampua-
nku. Masakah kau masih kurang percaya" Malah se-
karang aku yang telah keracunan. Berikan sekarang
penawarnya." kata Kumbayana.
"Enak saja! Sebelum aku sembuh betul, tidak
bakal aku berikan penawarnya. Juga jangan khawatir.
Kau tidak akan mati secepat ini. Racun itu akan bekerja setelah tiga hari
suntuk." jawab Nilasari Grewek.
Kumbayana betul-betul merasa dipermainkan. Namun
demi menjaga tidak terjadinya keributan laki-laki ahli pengobatan ini menahan
emosi. "Asalkan kau berjanji tidak menyakiti para
penduduk, aku bersedia memenuhi permintaanmu."
ujar Kumbayana.
"Itu soal nanti. Pokoknya siapapun yang ber-
maksud membangkang atau berniat menyentuh Pe-
dang Ular Emas akan celaka. Termasuk juga kau." ka-ta Nilasari Grewek seraya
bangkit. Ia mengenakan
kembali pakaiannya. Setelah itu ia mengambil juga pedang yang di letakkan di
sudut ruangan. Ia kembali duduk berhadapan dengan Kumbayana yang nampak
memberesi peralatannya.
"Umurmu masih ada dua hari lagi, Kumbayana.
Aku pasti memberikan penawarnya." kata nenek berambut putih ini acuh. Keadaannya
dirasakan jauh lebih baik.
"Kau harus ingat janjimu itu, Nilasari. Selama ini kita tidak pernah bermusuhan.
Aku tidak pernah pusing dengan sepak terjang mu dalam dunia persilatan. Juga
dengan Pedang Ular Emas, sama sekali aku tidak tertarik."! kata Kumbayana
sungguh-sungguh.
Tiba-tiba percakapan mereka terhenti karena
mendengar suara pintu gubuk di ketuk orang. Nilasari Grewek langsung menoleh ke
arah itu. Kiranya beberapa penduduk yang mengantarkan makanan. Tercium
bau aroma ayam bakar.
"Bagus, kalian harus terus patuh padaku. Le-
takkan saja makanan itu di situ, lalu kalian boleh keluar." perintah Nilasari
Grewek. Orang-orang itu segera keluar setelah meletakkan hidangan di atas balai
kayu. Kembali dalam ruangan itu Nilasari Grewek mengha-
dapi Kumbayana.
"Atas pertolonganmu, kita boleh makan bersa-
ma. Silahkan."
Belantara Sawungan memang sebuah hutan
yang sunyi. Tidak ada tanda-tanda binatang buas berkeliaran di sana. Yang ada
hanyalah burung-burung
dan kijang saling berlarian. Apalagi di sekitar itu ter-dapat sebuah telaga
dengan airnya yang hening. Membuat belantara Sawungan nampak seperti sebuah ta-
man. Kalau hutan itu nampak rapi terurus, sebenar-
nya Kumbayana yang berdiam di situ kerap kali mene-bangi pohon-pohon kasar
maupun rumput-rumput
liar. Sehingga kelihatan dataran itu ditumbuhi dengan rumput-rumput yang halus.
Pemandangan macam itu dapat terlihat meski-
pun dalam keadaan malam. Karena bulan yang men-
gambang di atas sana bersinar penuh membiaskan si-
narnya menerobos belantara Sawungan.
Saat itu sebuah iring-iringan mengawal sebuah
kereta kuda menelusuri jalan berumput. Roda kereta berderak-derak melindas
rumput lunak. Resi Wesakih tenang mengendalikan kereta tersebut. Ia membawanya
ke arah sebuah gubuk yang dari kejauhan
nampak gelap. Tanpa ragu Resi Wesakih membawa ke-
retanya menuju ke sana. Di belakang nya belasan pengawal berkuda terus
mengikuti. Wintara tenang me-
nunggangi kudanya di samping kereta.
Setelah tiba di muka gubuk gelap itu. Iring-
iringan pengawal kereta berhenti. Resi Wesakih turun.
Ia langsung memeriksa sekitar gubuk..
"Kita sudah sampai di tempat Kumbayana. Tapi
kenapa gubuknya nampak gelap" Apakah ia sudah ti-
dak tinggal disini lagi." ujar Resi Wesakih. Ia berdiri dihadapan pintu yang
tertutup rapat. Arso Lumbing
yang sedari tadi berada di dalam kereta menjaga Umbamayu bersama Umbayani
langsung keluar dari kere-
ta. "Betulkah ini tempat kediaman Kumbayana"
Jangan-jangan kita salah alamat." kata Arso Lumbing.
"Tidak mungkin. Aku masih ingat betul. Tempat inipun nampaknya belum banyak
berubah." jawab Resi Wesakih, lalu...
"Kumbayana...! Kumbayana....!" Teriak Resi Wesakih seraya ia mengetuk-ngetuk
pintu gubuk, na-
mun tetap tiada jawaban, karena gubuk itu memang
kosong. "Nyalakan api. Dan periksa tempat ini." ujar Wintara yang mulai turun
dari kudanya. Belasan pengawal berkuda itu segera turun, di
antaranya mulai membuat obor.
Sebentar saja empat batang obor telah menyala
menerangi tempat itu. Resi Wesakih diberinya satu. Ia menerangi tiap-tiap sudut.
Bahkan pandangannya co-ba-coba menerobos masuk ke dalam gubuk.
"Ia tidak ada di dalam, rupanya ia tengah be-
pergian." ujar Resi Wesakih. Dalam keadaan terang itu ia dapat melihat sebuah
pelita besar tergantung di depan pintu, maka dengan obornya ia menyalakan pelita
itu. "Kita masuk saja. Tidak baik udara di luar buat Umbamayu. Ah, Kumbayana lupa
mengunci pintu.
Syukurlah." Resi Wesakih masuk paling dulu. Diikuti oleh Arso Lumbing dan
Umbayani. Di dalam ruangan
gubuk mereka cukup diterangi dengan lampu obor.
Tapi Resi Wesakih ternyata masih menemukan sebuah
pelita lagi. Ruangan itu nampak rapi dan bersih. Dari
ruang tamu sampai kamar tidur di tata sedemikian indah. "Ia belum lama pergi,
lihat saja asap api masih menyala dalam tungku. Letakkan saja Umbamayu dalam
kamar itu. Kita tunggu Kumbayana datang." kata Resi Wesakih. Arso
Lumbing menuruti perintah ayahnya. Hati-hati
sekali ia merebahkan tubuh perempuan yang sangat di cintainya. Umbayani
menyelimuti dengan kain tebal.
"Apakah tindakan kita ini tidak terlalu cero-
boh?" ujar Wintara. "Bagaimana kalau Kumbayana kurang senang atas kelancangan
kita ini?"
"Terpaksa, Wintara. Aku pikir ia akan menger-
ti." jawab Resi Wesakih. Sementara itu belasan orang pengawal hanya menunggu di
luar gubuk. Untunglah
mereka membawa perlengkapan perjalanan. Sehingga
mereka tidak perlu repot-repot mengatasi udara dingin malam itu. Namun mereka
harus pula membuat api
unggun. *** Di lain tempat, tepatnya di sebuah desa terpen-
cil, nampak sunyi di bawah sinar rembulan. Kerik binatang malam mengiringi
suasana malam yang sudah
menjadi kodratnya. Musik alam itu tidak pernah berubah dari zaman ke zaman.
Gubuk-gubuk di terangi
dengan lampu-lampu pelita kecil yang berkelap kelip tertiup angin. Sesekali pula
angin berdesir kencang.
Untuk kemudian lenyap sebagaimana layaknya angin.
Kumbayana belum juga dapat memejamkan
matanya. Dia duduk bersila di sudut ruangan. Nilasari Grewek nampak telah
tertidur mendengkur. Kedua
tangan keriputnya nampak memeluk erat Pedang Ular


Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Emas. Dengkurnya panjang bersahut-sahutan.
Keringat Kumbayana membanjir di sekujur tu-
buhnya. Diam-diam pula ia mengerahkan tenaganya
melawan pengaruh racun yang mengeram di dalam tu-
buh. Namun ternyata racun yang baru saja ditelannya teramat dahsyat. Sampai
sejauh ini ia belum juga dapat mempengaruhi racun tersebut. Hampir putus asa
Kumbayana dengan upayanya. Manakala tubuhnya
semakin pucat pias.
Dalam kesunyian itu ia mendengar suara yang
berderak-derak nyaring. Dibarengi pula dengan suara derap kaki kuda. Juga suara
orang berteriak-teriak menakutkan. Sesaat Kumbayana tersentak kaget.
Mendadak saja ia bangkit dan mengintip dari celah-
celah dinding kayu. "Astaga....! Sekelompok pengacau!"
pekik Kumbayana dalam hati.
Dilihatnya beberapa orang menunggangi kuda
tengah membakari atap jerami gubuk. Belasan orang
lainnya nampak mendobrak pintu. Pemimpinnya yang
bertampang garang berteriak memerintah.
"Porak porandakan tempat ini! Bakar habis!
Ambil semua barang-barangnya....! Huaha-ha-ha-
ha.....!" Seketika api membesar meletup-letup. Orang-orang kampung berlarian
keluar dari gubuk. Mereka lari pontang panting sambil menjerit-jerit. Namun para
pengacau itu tidak membiarkan begitu saja. Senjata-senjata mereka yang tajam
berkilat berkelebat me-
nyambari tiap-tiap penduduk desa.
"Tolol! Jangan main bunuh saja! Ambil perem-
puan-perempuan cantiknya!" teriak pemimpin rombongan itu. Ia tetap duduk di atas
kudanya yang meringkik-ringkik. Ia menatap semua anak buahnya mu-
lai menggondol barang-barang juga mereka tidak se-
gan-segan lepaskan hantaman kepada siapa saja yang berusaha menahannya. Beberapa
orang sudah mendapatkan gadis-gadis cantik desa itu. Di bawah dekapan mereka
gadis-gadis itu menjerit meronta-ronta.
Suasana malam yang tadi sunyi sepi berubah
hingar bingar. Letupan gubuk yang terbakar berderak nyaring. Tergerak dalam hati
Kumbayana untuk menolong mereka. Maka tanpa menunggu waktu lagi ia te-
rus melesat mendobrak pintu gubuk yang baru saja
tadi siang selesai dibangun. Pintu itu berderak hancur bersama melesatnya keluar
tubuh Kumbayana.
Rupanya pula suara derak pintu dan ribut-
ribut di luar mengejutkan nyenyaknya Nilasari Grewek.
Serta merta ia bangkit seperti orang tersiram air pa-
nas. Ia langsung berjingkat melangkah keluar. Dilihatnya Kumbayana tengah
menghadapi beberapa
orang. Kumbayana sendiri tidak perduli dengan
keadaannya yang tengah keracunan. Tapi nampaknya
kemampuannya itu dapat menggulingkan beberapa
orang dengan sekali hantam.
Dengan adanya Kumbayana, para perampok
agak sulit melakukan niatnya. Karena berkali-kali
Kumbayana dapat menghalangi mereka. Bahkan gadis-
gadis yang telah mereka kumpulkan itu dapat terlepas semua. Kumbayana mati-
matian menghadapi serangan senjata mereka.
Dari pedang sampai golok berkelebat menyam-
bar di tubuhnya, namun tidak satu pun yang menge-
na. Gerakan Kumbayana sangat licin dan sukar untuk dilukai. Nilasari Grewek yang
memandang dari kejauhan cukup kagum, tapi bagi pemimpin pengacau itu.
Tidak! "Dasar dungu semua! Menghadapi seekor tikus jelek saja kalian tidak
becus! Minggir....! Aku Tala Metu akan mengadu jiwa dengannya!" Sambil berteriak
begitu pemimpin yang bernama Tala Metu langsung me-
lompat dari kudanya lancarkan serangan.
Mendapat serangan mendadak, Kumbayana
agak gelagapan. Tak di sangka pula Tala Metu memiliki kepandaian yang berimbang.
Setiap hantamannya berderak saling bentur.
* * * 5 Dan nyatanya kemarahan Tala Metu benar-
benar telah meluap. Hantaman-hantamannya itu
membuat Kumbayana bergerak-gerak mundur meng-
hindar. Namun di karenakan kepandaian mereka be-
rimbang, Kumbayana selalu dapat memapaki seran-
gan-serangan itu. Teriakan serta benturan-benturan hantaman mereka berderak
menggelegar. "Rampok busuk! Percuma saja usaha kalian,
desa ini tidak memiliki apa pun! Kau akan pulang dengan tangan kosong!" bentak
Kumbayana. Seraya ia berusaha membalas serangan. Tala Metu cepat menang-
kis. "Itu karena adanya dirimu disini, Buto Ijo! Kalau tidak kami sudah dapat membawa
gadis-gadis desa ini!" jawab Tala Metu. Serangannya datang lebih gencar lagi.
"Sayang, aku tidak akan membiarkannya!
Haait!" Sebelah lengannya memutar ke samping menyambut serangan Tala Metu.
"Ha-ha-ha-ha...! Kau pikir aku takut" Jangan
menyesal kalau kepalamu menggelinding di sini!" Tala Metu memberi aba-aba. Maka
seluruh anak buahnya
segera mengurung Kumbayana. Senjata-senjata mere-
ka siap merencah. Serempak pula mereka menerjang.
Babatan-babatan senjata mengarah maut pada Kum-
bayana. "Sreeet....!' Dalam kesigapan itu, tiba-tiba saja beberapa anak buah
Tala Metu menjerit di sertai dengan ambruknya tubuh mereka. Seleret sinar
keemasan membersit menjatuhkan dua orang lagi.
Tala Metu membelalakan mata. Ia tidak percaya
melihat seorang nenek berbaju merah tiba-tiba saja muncul menjatuhkan beberapa
anak buahnya. Matanya lebih melotot lagi. Saat ia melihat Nilasari Grewek
menggunakan Pedang Ular Emas di tangannya.
Manakala pedang itu terus berputar merobohkan
orang-orang Tala Metu.
"Siapa pun yang berniat mengacau desa ini
takkan ku beri ampun, karena mulai sekarang akulah ketua mereka!" bentak
Nilasari Grewek. Ia menghentikan babatan pedangnya karena anak buah Tala Metu
beringsut mundur semua.
"Tolol! Kenapa mundur! Hayo gempur lagi!" perintah Tala Metu. Kontan mereka maju
lagi. "Takut apa dengan segala nenek keriput begitu!
Rencaaah! Bikin mampus kedua-duanya!"
Saat itu Kumbayana tidak perlu gentar. Dengan
adanya Nilasari Grewek ia akan sanggup mengusir pa-ra perampok itu. Apalagi
sekarang anak buah Tala Me-tu sudah berkurang.
Babatan-babatan senjata mereka disambut
dengan sambaran pedang. Kumbayana melepaskan
hantaman yang bergulung-gulung ke depan. Hanta-
man tangan kosongnya dapat menjatuhkan dua orang
sekaligus. Lain Nilasari Grewek, sekali sambar, Pedang Ularnya merenggut empat
nyawa. Melihat itu pun Tala Metu bergidik ngeri. Sambaran pedang Nilasari Grewek
bagaikan seleret sinar keemasan. Anak buahnya kurang lebih tinggal enam orang.
Ia harus terpaksa turun tangan. "Selama lima belas tahun jadi perampok, ternyata
hanya mengandalkan cecoro-cecoro ini! Hayo Ta-la Metu! Kita boleh bertarung di
sini." tantang Nilasari Grewek, ia sempat melirik Kumbayana menghadapi
beberapa anak buah Tala Metu. Melihat itu Nilasari Grewek melesat ke arah
Kumbayana. Lalu ia mendorong kuat-kuat tubuh Kumbayana ke belakang. Nilasa-ri
Grewek menggantikan posisinya, lalu secepat kilat pedangnya berkelebat menyambar
senjata-senjata mereka... "Traaaang!"
Senjata mereka sapat semua. "Sungguh tolol
kau, Kumbayana. Tidak sadarkah kalau dirimu itu
tengah keracunan" Makin banyak bergerak makin ce-
pat pula kau bakal mampus!" ujar Nilasari Grewek.
"Untuk itulah, kau mesti memberikan pena-
warnya!" jawab Kumbayana.
"Tidak. diam saja kau di situ! Biar aku yang
menghadapi manusia-manusia jahanam ini!" Nilasari Grewek tidak putus-putusnya
memutar pedang. Leretan-leretan sinar keemasan berkelebat kesana kemari.
Bersamaan dengan itu, anak buah Tala Metu berge-
limpangan satu persatu sambil menjerit menyayat.
"Bangsat!" Tala Metu mengumbar murka. "Kalau kami manusia-manusia jahanam, lalu
kau pikir dirimu apa, keriput Renta" Kau lebih busuk dari jahanam!" Tindakan Tala Metu
tidak kepalang tanggung. Ia nekad maju menyerang meskipun dengan tangan kosong.
"Kau kira dengan menggunakan Pedang Ular Emas dapat menggertak ku" Sambut ini!
Hraaaat...!"
Tala Metu maju melompat. Serangan itu sangat cepat.
Nilasari Grewek tidak menyambut, ia hanya bergerak mundur menghindari pukulan
yang berturut-turut
gencar mengarah.
Menghadapi serangan-serangan Tala Metu, Ni-
lasari Grewek sengaja melayani dengan sebelah lengan.
Ia mencari-cari kesempatan untuk melancarkan han-
taman Tombak Gunung yang sangat ampuh itu. Ma-
nakala Tala Metu menyerang tidak perduli.
"Kau boleh keluarkan jurus Tombak Gunung
mu itu, Nilasari Grewek! Selama lima belas tahun aku sudah dapat memecahkan
jurus itu! Hayo keluarkan!"
teriak Tala Metu yang ternyata sudah dapat membaca maksud Nilasari Grewek, maka
dengan sewot nenek
Penguasa Gunung Tunggul lepaskan kuat-kuat han-
taman Tombak Gunung dengan sebelah tangannya.
"Bledaaaar.....!" Tala Metu memekik.
Tubuhnya terhuyung mundur beberapa meter.
Tapi ia tetap bersikap berdiri menantang.
"Sekarang ini pukulan Tombak Gunung tidak
ada artinya, Nenek peyot! Hayo keluarkan lagi!" ejek Tala Metu. Nilasari Grewek
bukan main marahnya.
Serta merta ia berjingkat mulai melancarkan serangan lagi, tapi Tala Metu yang
sangat cerdik cepat bergeser.
Sehingga hantaman kedua dari Nilasari Grewek nyep-
los mengenai angin.
Anak buah Tala Metu yang tinggal dua orang
itu tidak berani maju. Mereka hanya mengawasi ketuanya tengah menghadapi seorang
nenek berilmu tinggi.
Mereka berdua tidak mungkin dapat mengalahkannya.
Begitu juga terhadap Kumbayana. Mereka sudah dapat mengukur akan kehebatan dukun
sakti itu. Saat itu juga Nilasari Grewek tidak setengah-
setengah. Ia tahu benar akan nama besar perampok
macam Tala Metu. Maka serangannya mulai dengan
menggunakan Pedang Ular Emas. Sebenarnya pula
mereka berada pada pihak yang sama. Baik Nilasari
Grewek maupun Tala Metu dari kesatuan partai aliran sesat. Kalau sekarang mereka
bertempur mati-matian, itu dikarenakan pendirian mereka yang berbeda.
Padahal kalau orang-orang aliran sesat tahu
akan tindakan Nilasari Grewek menghadapi 'orang
sendiri', Partai aliran sesat akan turun tangan menggempur penguasa Gunung
Tunggul itu. Meskipun su-
dah tahu akan akibatnya, Nilasari Grewek bersikap tidak kepalang tanggung.
Sekarang ia sudah memiliki
satu andalan. Sekalipun seluruh orang-orang Partai aliran sesat bakal datang
menggempur, Nilasari akan bertekad menghadapinya dengan pusaka Pedang Ular
Emas. Pedang Ular Emas berkelebat sangat cepat. De-
siran anginnya deras mendorong tubuh Tala Metu.
Bersamaan dengan itu pula....
"Breeeet!"
Tala Metu terkesiap. Tahu-tahu saja dadanya
sudah tergores dan mengeluarkan darah. Lukanya cu-
kup dalam. Tala Metu menggeram menahan sakit. Be-
lum sempat lagi ia membalas serangan. Seleret sinar keemasan membersit menyambar
tenggorokan. Seketika Tala Metu berdiri kaku. Kedua matanya terbeliak lebar.
Dari tenggorokannya menyembur darah bagai air mancur.
Nilasari Grewek maupun Kumbayana hanya
berdiri menatap Tala Metu berdiri kaku. Penduduk de-sa yang tengah bersembunyi
sempat ketakutan me-
nyaksikan pemandangan mengerikan itu. Sementara
kobaran api bergulung-gulung makin besar tanpa bisa di tanggulangi.
"Kau licik. Keriput Renta.... Hhhh.... Tanpa Pedang Ular Emas di tanganmu,
hhh... Kau tidak ada artinya... Hhh..." Suara Tala Metu terputus-putus. Nilasari
Grewek menyeringai. Sebelah lengannya yang
menggenggam pedang bergetar hebat.
"Banyak omong! Cepat pindah ke akherat!"
Kuat-kuat Nilasari Grewek hantamkan pedangnya me-
nyilang.... "Zpraaaaaaas......!"
Orang-orang yang berada di situ memekik ngeri
melihat tubuh Tala Metu terputus menjadi dua. Potongan-potongan tubuh tersebut
ambruk di tanah dengan bersimbah darah. Begitu juga dengan Pedang Ular
Emas di tangan Nilasari Grewek. Bilah pedang yang
meliuk-liuk bagai tubuh ular memerah bercampur da-
rah. Nenek itu tetap menyeringai menatap dua po-
tong tubuh yang menggeletak di tanah. Sementara itu
dua orang anak buah Tala Metu yang masih nampak
lari ketakutan. Melihat itupun beberapa orang kam-
pung terdiri dari laki-laki semua tidak tinggal diam.
Mereka mengejar dua orang itu.
Ketika mereka di dapati, para penduduk desa
habis-habisan mereka mencincang. Nilasari Grewek
cukup puas melihat tindakan seperti itu.
"Yang lain jangan hanya menonton! Cepat pa-
damkan api!" perintah Nilasari Grewek. Para penduduk desa baru menyadari kalau
sedari tadi api meletup-letup membakar habis beberapa gubuk. Lalu mereka
pun berlarian berusaha memadamkan api.
"Padamkan secepatnya! Jangan sampai me-
rambat pada gubuk-gubuk lainnya!" Nenek berbaju merah ini berteriak-teriak
kalang kabut. Setelah itupun ia berjalan mendekati Kumbayana. Laki-laki Buto Ijo
ini nampak pucat sekali. Bibirnya sudah nampak membiru.
"Kau juga sangat bodoh, Kumbayana! Sudah
tahu ada serangan, tidak memberi tahu aku! Akibat-
nya racun yang kuberikan itu malah berjangkit lebih cepat. Aku tidak bisa
mengukur lagi kapan kau akan mampus!" gerutu Nilasari Grewek seraya ia menarik
tubuh Kumbayana memasuki gubuknya.
"Biar saja aku mampus! Untuk apa kalau hidup
tetap keracunan seperti ini" Siapa yang tahan!" jawab Kumbayana.
"Mulutmu benar-benar bau! Kalau kau mam-
pus, siapa yang akan mengobati aku" Enak saja kalau ngomong!"
"Berikan penawar racunmu itu!" Kumbayana mengikuti langkah Nilasari Grewek.
Mereka langsung duduk di dalam ruangan itu. Nampak pula Nilasari
Grewek menggeram.
"Sekali lagi bicara, Pedang Ular Emas akan
menggorok lehermu, tahu!" kata Nilasari Grewek melotot. Kumbayana diam seketika.
Terhadap Nilasari Grewek ia agak gentar, karena Kumbayana tahu Nilasari Grewek
tidak pernah main-main dalam bertindak.
Meskipun keadaan Kumbayana seperti mau mati, tapi
ia tetap menyayangi nyawa nya.
Sementara itu di luar jadi hiruk pikuk. Pendu-
duk desa yang terdiri dari laki-laki maupun perem-


Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puan bekerja keras memadamkan api. Mereka juga be-
rani menerobos untuk menyelamatkan para penduduk
yang terkurung oleh kobaran api.
* * * 6 Belasan murid-murid perguruan Pedang Ular
Emas serentak bangkit berdiri. Mereka menyaksikan
kobaran api. Dari tempat tinggal Kumbayana memang
terlihat dengan jelas kobaran api yang menghanguskan desa terpencil. Karena
jarak desa tersebut hanya beberapa kilo meter dari situ.
Mereka mengira kobaran itu akibat hutan yang
terbakar. Tak urung juga murid-murid perguruan Pe-
dang Ular ini jadi ikut kalang kabut. Keributan itu dapat didengar oleh Wintara
dan Resi Wesakih. Begitu juga Arso Lumbing dan Umbayani yang tengah menjaga
Umbamayu di dalam gubuk. Para pentolan persila-
tan ini segera melangkah keluar untuk melihat kega-duhan di luar.
"Astaga api apa itu?" pekik Resi Wesakih. Ia hampir tidak percaya melihat
kobaran api begitu besar.
"Sepertinya kebakaran hutan." ujar Arso Lumb-
ing. "Bukan. Tidak mungkin di malam sedingin ini
terjadi kebakaran hutan. Pastilah ada sesuatu yang kurang beres di sana." Tukas
Umbayani. Gadis ini memang lebih cerdik. Siapa yang menyangka pula kalau dalam
Belantara Sawungan ada desa terpencil.
Wintara hanya mengamati kobaran api yang
meletup-letup terdengar sayup. Perasaannya agak lain.
Maka... "Umbayani, apakah tidak sebaiknya memerintahkan anak buahmu untuk
menyelidikinya" Kebaka-
ran seperti ini amat membahayakan." ujar Wintara.
"Betul katamu itu, Pendekar Wintara. Kalau di-biarkan hutan ini akan habis
terbakar." sambut Resi Wesakih.
"Biarlah aku bersama orang-orang Pedang Ular
yang akan melihat ke sana." kata, Arso Lumbing. Ia melangkah ke arah di mana
kuda-kuda mereka ditam-batkan. Umbayani memerintahkan beberapa orang un-
tuk ikut bersama Arso Lumbing. Separuh dari mereka langsung menunggangi kuda
menuju di mana kobaran
api berada. Arso Lumbing berjalan paling dulu. di bela-
kangnya mengikuti enam orang berkuda. Mereka me-
macu kudanya kuat-kuat. Memburu waktu, menem-
bus kepekatan malam dalam belantara.
Helaan-helaan mereka menggema di malam se-
sunyi itu. Manakala letup-letup api terdengar semakin dekat. Selama menuju ke
arah itu mereka tidak mendapat halangan apa pun. Jalan-jalan di Belantara
Sawungan sangat mudah ditempuh. Dengan begitu me-
reka lebih cepat sampai pada tujuan.
Kobaran api nampak semakin jelas. Dan mere-
ka sekarang tahu penyebab kebakaran itu. Dugaan
mereka tentang kebakaran hutan ternyata meleset.
Yang mereka lihat adalah kebakaran beberapa gubuk
di desa terpencil.
Mereka langsung memasuki perkampungan ke-
cil tersebut. Di mana para penduduknya sibuk kalang kabut memadamkan api. Tapi
kedatangan rombongan
Arso Lumbing membuat para penduduk desa itu keta-
kutan kembali. Melihat orang-orang berkuda, semua-
nya berlarian menyingkir.
"Mereka datang lagi! Mereka datang lagi!" teriak mereka rata-rata lari ke arah
gubuk Nilasari Grewek.
Arso Lumbing jadi tidak mengerti. Ia bersama enam
orang pengawalnya jadi keheranan. Apalagi ketika melihat semua penduduk desa
berlarian mengurung se-
buah gubuk. "Apa sebenarnya yang terjadi di sini. Mereka
sepertinya tengah meminta pertolongan seseorang."
tanya Arso Lumbing dalam hati.
"Ketua....! Ketua.....! Gerombolan-gerombolan itu datang lagi!" Mereka
berteriak-teriak di depan pintu gubuk. Sudah tentu Nilasari Grewek yang berada
di dalamnya bersama Kumbayana keluar. Serta merta Ni-
lasari Grewek membuka pintu gubuknya kuat-kuat.
Dan ia melihat puluhan orang di depan gubuk.
"Ada apa ribut-ribut lagi! Bukankah kalian ku-perintahkan memadamkan api!"
bentak Nilasari Grewek. Tapi kata-katanya seperti tersendat. Tanpa di sengaja
kedua mata tuanya melihat rombongan Arso
Lumbing. Wajahnya mendadak berubah kecut.
Begitu juga dengan putra tunggal Resi Wesakih.
Ia seperti mati duduk di atas kudanya. Pandangannya tidak percaya saat
dilihatnya Nilasari Grewek berdiri menggenggam Pedang Ular Emas.
"Oww... Rupanya tikus-tikus busuk ini sudah
sampai di Belantara Sawungan. Bagus! Kalian hanya
mengantarkan nyawa dengan percuma!" Nilasari Gre-
wek melangkah. Para penduduk desa memberi jalan.
"Kebetulan pula kita bisa bertemu di sini, Nenek pengecut! Cepat serahkan Pedang
Ular Emas itu padaku! Karena kau bukan haknya!" ujar Arso Lumbing.
"Cuih! Aku tidak akan berbuat setolol itu, Anak muda! Pusaka Pedang Ular Emas
sudah berada di tanganku, mana bisa aku menyerahkannya begitu saja!"
jawab Nilasari Grewek angkuh.
"Kalau begitu aku akan mengambilnya bersama
kepalamu!" Arso Lumbing langsung lompat dari kudanya seraya menarik pedang. Ia
sudah melupakan
soal kebakaran. Di hadapannya ada persoalan baru
yang lebih penting. Arso Lumbing betul-betul tidak menyangka kalau ia bisa
bertemu dengan Nilasari
Grewek di belantara sesunyi ini. Iapun tidak tanggung-tanggung lagi langsung
menudingkan pedangnya. Na-
mun Nilasari Grewek cepat berjingkat menghindar.
Mengetahui apa yang bakal terjadi orang-orang desa itu segera menjauh. Enam
orang pengawal Arso Lumbing serempak turun mencabut senjata.
Mereka berlarian mengepung Nilasari Grewek.
Nenek Penguasa Gunung Tunggul ini gesit menghinda-
ri serangan-serangan mereka. Arso Lumbing menatap
curiga pada laki-laki berwajah 'Buto Ijo' yang berdiri di muka pintu.
"Arso Lumbing, kalau ingin pedang pusaka ini
kau boleh menghadapi aku! Dan kau Kumbayana, te-
tap diamlah di situ kalau tidak ingin racun di tubuhmu segera menjalar lebih
parah!" teriak Nilasari Grewek. Padahal dirinya sudah terkepung.
Mendengar ucapan itupun Arso Lumbing seper-
ti disambar geledek. Laki-laki berwajah 'Buto Ijo' ini ternyata Kumbayana
adanya. Orang yang mereka cari
untuk mengobati Umbamayu. Maka ia cepat-cepat me-
lompat ikut mengurung Nilasari Grewek.
"Saksikan saja bagaimana aku mengirim putra
tunggal Resi Wesakih ke akherat!" kata Nilasari Grewek lantang. Tangan siap
melepaskan babatan pedang.
Kumbayana pun baru tahu kalau pemuda tampan
yang barusan di tatapnya adalah putra tunggal Resi Wesakih. Sekarang ia melihat
bagaimana Arso Lumbing bersama pengawalnya menggempur Nilasari Gre-
wek. "Sekarang kau tidak mungkin dapat melarikan diri lagi, Nenek keparat!"
bentak Arso Lumbing memimpin penyerangan. Babatan pedangnya berkelebat
menyambar kepala. Melihat tindakan itu, enam orang pengawalnya lebih semangat
lepaskan serangan gencar.
Menghadapi serbuan sedemikian rupa, Nilasari
Grewek nampaknya tidak gentar. Dengan pedang an-
dalannya ia hadapi serbuan-serbuan mereka. Malah
serangan balasannya lebih dahsyat. Manakala Pedang Ular Emas ditangannya
bergerak memutar, dua orang
pengawal Arso Lumbing bergelimpangan dengan luka
yang hebat. Kontan dua orang itu kelojotan.
Sudah tentu Arso Lumbing tidak akan mem-
biarkan semua anak buahnya tewas. Ia tahu benar
niat Nilasari Grewek ini. Serangan balasannya sengaja diarahkan pada anak buah
Arso Lumbing dahulu. Sedangkan serangan Arso Lumbing yang sudah terlanjur kalap
itu tidak diperdulikan.
"Kalian menyingkir semua! Nenek keparat ini
bukan tandingan kalian! Menyingkir!" teriak Arso Lumbing mencecar babatan
pedangnya. Seleret sinar
keputihan berkelebat terus-menerus menggagalkan
tiap serangan Nilasari Grewek.
"Kalian bawa pergi laki-laki tua bernama Kum-
bayana itu! Cepat....!" Pedang Arso Lumbing menangkis
serangan Pedang Ular Emas. Ia tidak menyadari kalau pusaka Pedang Ular Emas
tidak bisa di anggap sepele.
Ia baru sadar setelah melihat pedangnya patah dua ketika pedang mereka saling
bentur. Sementara itu empat orang pengawal Arso
Lumbing sudah membantu dua orang temannya yang
terluka. Mereka mendekati pula sosok laki-laki berwajah 'Buto Ijo' yang sedari
tadi berdiri di depan pintu gubuk. "Kaukah yang bernama Kumbayana dukun
yang sangat terkenal itu?" tanya mereka. Kumbayana tidak menjawab. Ia menatap
keheranan pada orang-orang yang mendatanginya.
"Kalian siapa?" Kumbayana balik bertanya.
"Sebaiknya kau ikut kami, Kumbayana. Resi
Wesakih dan orang-orang Pedang Ular tengah me-
nunggu di sana." jelas mereka.
Kumbayana agak gembira mendengar ucapan
mereka. Sebentar ia menatap pertarungan Nilasari
Grewek dengan Arso Lumbing.
"Di mana mereka?" tanya Kumbayana lagi.
"Di gubukmu." jawab mereka hampir serempak.
Kumbayana tidak ragu-ragu lagi. Tanpa sepengeta-
huan Nilasari Grewek diam-diam ia mengikuti para
pengawal itu. Namun akhirnya Nilasari Grewek dapat mengetahuinya pula.
kemarahannya makin melonjak.
Ia bermaksud mengejar, tapi Arso Lumbing tetap
Pedang Sinar Emas 15 Tengkorak Maut Karya Khu Lung Tenda Biru Candi Mendut 2
^