Pencarian

Pemberontakan Ki Reksogeni 1

Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni Bagian 1


PEMBERONTAKAN KI REKSOGENI Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Pemberontakan Ki Reksogeni
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Di sebelah timur tampak Gunung Merapi
menjulang tinggi. Asap putih yang menggantung di
atas puncaknya bagai mahkota. Dari kejauhan
tampak kaki gunung memanjang ke arah barat
bertemu dengan kaki Gunung Merbabu pada sebuah lembah yang sangat luas. Di
tengah lembah yang hijau dan subur itulah berdiri ratusan rumah
penduduk. Suatu tempat pemukiman yang terlihat
aneh. Di tengah-tengah desa berdiri sebuah bangunan besar dan megah mirip istana
kerajaan. Juga terdapat pasar yang menjadi pusat perdagangan
masyarakat lembah itu.
Orang luar mengenal wilayah tersebut sebagai desa kerajaan. Namun umumnya mereka
sering menyebutkan Kerajaan Lembah Merapi Merbabu. Letaknya memang persis di
antara kedua gunung yang saling berdekatan itu. Tapi, sebenarnya
wilayah tersebut masih dalam kekuasaan Kerajaan
Bumi Segara. Dengan adanya seorang pemimpin yang
oleh warga lembah dianggap sebagai raja serta diterapkannya hukum dan peraturan
adat sebagaimana layaknya suatu pemerintahan negara, telah
memantapkan sebutan kerajaan bagi wilayah itu.
Seluruh penduduk di Lembah Merapi Merbabu mendapat hak dan kewajiban yang sama.
Mereka yang sudah dewasa menjadi bala tentara
kerajaan. Tenaga mereka harus selalu siap siaga
setiap saat dibutuhkan.
Ki Reksogeni begitulah nama penguasa tertinggi di lembah itu. Seorang lelaki
enam puluhan tahun yang tubuhnya masih gagah perkasa. Kewibawaannya sangat disegani oleh
semua warga lembah. Dia bertahta di istana kerajaan dengan
didampingi seorang patih dan empat senapati kepercayaan yang memimpin tak kurang
dari seratus prajurit. Seperti biasanya, pagi itu suasana di sekitar
istana tampak ramai. Letak pasar yang merupakan
pusat perdagangan di lembah itu memang tidak
berapa jauh dari istana. Sementara di dalam istana tengah berlangsung suatu
pertemuan para pembesar kerajaan.
Di sebuah ruangan besar duduk di atas
kursi berukir seorang lelaki tua bertubuh tinggi
gagah. Wajahnya yang dingin terhias cambang tipis, hampir merata di pipi. Rambutnya
yang sebagian telah memutih dibiarkan terurai sampai ke
bahu. Sepuluh orang pembesar istana yang menghadiri pertemuan itu duduk bersila
di hadapan sang raja. "Jadi benar kabar yang sampai kepada kami?" tanya lelaki setengah baya yang
duduk di samping kanan Ki Reksogeni kepada prajurit di
depannya. "Bagaimana dengan ketiga kawanmu
yang lain...?"
"Benar, Paman Patih," jawab prajurit itu pada orang nomor dua di Kerajaan Lembah
Merapi Merbabu. "Hanya kami berdua yang menyampaikan kabar ini ke istana. Gardawaka,
Sembada, dan Kakang Gantar masih terus menunggu. Barangkali
terjadi perkembangan lebih lanjut. Yang jelas, Raja
Galih Kertarejasa telah meninggal lima hari yang
lalu. Kalau tidak ada aral melintang, kemarin Raden Danuwirya telah
melangsungkan pernikahan
dengan Putri Sekar Arum di Istana Kerajaan Bumi
Segara...."
"Hmm.... Bukankah rencana pernikahan
mereka akan diadakan dua purnama mendatang?"
Kali ini bertanya Ki Reksogeni. Lelaki tua berjubah
merah itu mengernyitkan kening. Ada sesuatu
yang kurang berkenan di hatinya.
Prajurit itu menganggukkan kepala. "Setelah kejadian mengenaskan itu para
sesepuh dan pembesar kerajaan memutuskan untuk segera
menikahkan mereka. Tampaknya, pihak kerajaan
akan menobatkan Raden Danuwirya sebagai pengganti Raja Galih Kertarejasa...,"
ujarnya menjelaskan apa yang didapatkan selama menjadi tamu
di Kerajaan Bumi Segara.
Semua yang hadir pada pertemuan itu
membisu. Ki Reksogeni yang duduk di kursi jati
menggangguk-angguk dengan mata memandang
ke luar ruangan.
"Hmm.... Apa kalian juga tahu tentang Pendekar Gila dan kekasihnya yang rupanya
mendapat sial di sana...?" tanya Ki Reksogeni.
Prajurit itu segera menceritakan kabar yang
dibawanya dari Kerajaan Bumi Segara. Kerajaan
yang terletak di antara Gunung Merapi dan Merbabu itu baru saja mengalami
peristiwa menggemparkan. Sehari setelah upacara pertunangan anta-
ra Putri Sekar Arum dengan Pangeran Danuwirya
dari Kerajaan Tanjung Anom, Putri Sekar Arum diculik seseorang yang mirip sekali
dengan Pendekar
Gila. Dalam peristiwa yang menggemparkan para
tokoh persilatan itu Raja Galih Kertarejasa tewas
terbunuh. Pendekar Gila samaran itu akhirnya dapat dibinasakan Singo Edan.
Setelah banyak menelan korban.
Sena Manggala tak mampu menghadapinya.
Bahkan, kabar yang tersiar di kalangan rimba persilatan mengatakan kalau
Pendekar Gila diduga telah tewas. Penculik putri raja yang menyamar sebagai
Pendekar Gila memiliki ilmu mirip dengan
yang dipunyai Sena Manggala. Bahkan lebih dahsyat dan tinggi tingkatannya.
(Untuk lebih jelasnya
baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Petaka
Seorang Pendekar).
Tak heran kalau selama beberapa hari terakhir ini dunia persilatan gempar. Di
mana-mana para tokoh persilatan membicarakan tentang nasib
Pendekar Gila. Mungkinkah Pendekar Gila telah
tewas" "Hal itulah yang belum dapat kami yakini
kebenarannya, Ki...," ujar prajurit itu mengakhiri
ceritanya. Ki Reksogeni yang dipanggil dengan sebutan
Ki hanya tersenyum sambil menganggukanggukkan kepala. Ia tidak merasa risih
dengan panggilan itu. Di lingkungan istana meskipun dirinya dianggap sebagai raja, Ki
Reksogeni lebih suka dipanggil dengan sebutan seperti itu.
"Kalau begitu, memang sudah saatnya kita
mengirimkan pasukan. Ini kesempatan baik, Paman Senapati. Jangan buang-buang
waktu. Kerahkan semua bala tentara. Aku tak ingin perkembangan selanjutnya akan
menutup jalan kita."
Semua yang berada di ruangan tak ada
yang menyahut kecuali mengangguk-anggukkan
kepala menyetujui.
"Paman Sentanu, kumpulkan semua bala
tentara. Kita akan berangkat malam ini juga. Agar
kita dapat tiba di sana tengah hari besok!" perintah Ki Reksogeni kemudian
kepada Senapati Sentanu.
"Kalau boleh aku mengusulkan...," ujar Patih Girindratama tiba-tiba. "Sebaiknya
kita menunggu kabar selanjutnya dari Kerajaan Bumi Segara. Bukan aku
menyangsikan kabar yang dibawa Prajurit Banu. Kita perlu perhitungan yang matang
dan harus berhati-hati untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi."
Ki Reksogeni mengangguk-angguk menyetujui usul patihnya. "Bagaimana pendapatmu,
Paman Senapati?" tanyanya kepada Senapati Sentanu.
Senapati Sentanu ternyata menyetujui usul
itu. Ki Reksogeni mengurungkan niatnya untuk
mengirim bala tentara ke Kerajaan Bumi Segara.
Suatu rencana besar memang memerlukan perhitungan yang matang. Sebab, kalau
sampai gagal bukan hanya nyawa taruhannya. Juga keselamatan semua warga dan anak buahnya yang
telah setia mendukung dirinya.
Menyadari hal itu, Ki Reksogeni segera
membubarkan pertemuan dan meminta kepada
semua orang kepercayaannya agar selalu siap siaga.
2 Sebuah gubuk kecil terbuat dari bambu hitam berdiri terpencil di kaki bukit. Di
depannya terbentang halaman yang merupakan tonjolan batu cadas dari tebing terjal. Di
tengah-tengah halaman gubuk yang hanya ditumbuhi lumut duduk
seorang pemuda bertubuh tegap dengan kedua telapak tangan dirapatkan di depan
dada. Tubuhnya yang bersih dan kuning langsat basah oleh keringat dan air hujan yang sejak tadi
mengguyur tempat itu. Tak dipedulikannya angin dan terpaan air
hujan. Pemuda itu duduk bersila menghadap ke
barat, seolah ingin melihat matahari yang tersaput
mendung. Sesekali pemuda itu menghela napas dalam-dalam. Lalu, dihembuskannya perlahan
dengan tubuh tak bergeming sedikit pun. Pemuda berambut tidak terlalu panjang
itu tampaknya baru
saja melakukan latihan silat. Kini ia tengah melatih mengatur pernapasannya di
bawah hujan gerimis.
"Pramudya...!"
Baru saja pemuda itu menghembuskan napas perlahan entah yang keberapa kalinya,
tibatiba terdengar suara serak dan lirih memanggilnya.
Pemuda berwajah tampan itu menoleh ke bela-
kang. Terlihat seorang kakek berjubah putih mengangguk-angguk seraya tersenyum.
"Istirahatlah!" Suara lelaki berusia sekitar
tujuh puluh lima tahun itu kembali terdengar. Kali
ini sambil mengelus jenggotnya yang tebal dan putih. Rambutnya yang panjang dan
juga berwarna putih tergelung di atas kepala.
"Eyang Guru.. ," sambut Pramudya dengan
kening berkerut, heran dengan tindakan gurunya.
Dia tahu benar gurunya tak pernah berbuat seperti itu. Tak pernah sekalipun
sebenarnya Pramudya
mendapat teguran untuk berhenti jika sedang berlatih. Apalagi, ini merupakan
latihan wajib yang
harus dikerjakannya setiap sore.
"Aneh, senyum Eyang tidak seperti biasanya. Ada apa gerangan Guru menghentikan
latihanku?" batin Pramudya. Kakinya segera melangkah menghampiri gurunya yang
berdiri di ambang pintu gubuk.
Setelah membersihkan tubuh dan mengganti pakaian, Pramudya mendekati gurunya
yang telah duduk bersila di balai-balai bambu dengan beralaskan tikar. Pemuda
itu melipat kakinya duduk
bersila di depan gurunya. Hatinya bertanya-tanya
melihat wajah sang guru yang dirasakan tidak seperti biasanya. Hal itu dirasakan
benar oleh Pramudya. Namun, ia tidak berani bertanya.
"Ada berita duka yang harus kusampaikan
kepadamu, Pramudya...," ujar kakek itu dengan lirih dan bernada dingin. Seolah
ia ingin membendung perasaan yang tengah berkecamuk di dalam
hatinya. "Kuminta kesabaran dan ketabahan ha-
timu mendengar berita ini. Dua puluh tahun sudah lamanya kau kudidik di gubuk
ini. Ilmu silat
dan olah kanuragan yang kumiliki telah kutumpahkan semua kepadamu. Beberapa
pengetahuanku tentang ilmu kemasyarakatan dan kenegaraan
pun telah pula kau dapatkan. Kuharap kelak jika
kau kembali ke istana dapat mengamalkan semuanya dengan baik. Itu pesan Kanjeng
Gusti Galih Kertarejasa ketika memberi kepercayaan kepadaku
untuk mendidikmu...."
Kakek berjubah putih itu menatap dengan
sinar mata penuh kewibawaan. Sementara Pramudya tertunduk menekuri balai-balai
yang didudukinya. Ada gemuruh di dalam hatinya karena
rasa penasaran ingin segera mendengar kabar
yang ingin disampaikan gurunya.
"Kanjeng Gusti Galih Kertarejasa telah
mangkat...," lanjut kakek itu dengan suara tertahan. Ia merasa bimbang harus
mengucapkan katakata itu.
Dengan wajah tetap tertunduk, Pramudya
terbelalak kaget. Bagai disambar petir, sekujur tubuhnya seketika menegang.
Ketika dia mengangkat wajah, gurunya telah menyambung ucapannya.
"Dua orang prajurit kerajaan tadi pagi datang kemari. Mereka mengabarkan telah
terjadi kerusuhan hebat di kerajaan. Seorang pemuda yang
mengaku sebagai Pendekar Gila menculik Kanjeng
Putri Sekar Arum, sehari setelah upacara pertunangannya dengan Pangeran
Danuwirya...."
"Kurang ajar...! Lalu, bagaimana pendekar
bejat itu sampai membunuh ayahanda, Eyang?"
Sebagai seorang pemuda yang telah lama mempelajari ilmu silat kepada tokoh tua
itu, tentu saja
Pramudya banyak tahu tentang nama Pendekar
Gila. Seorang pendekar yang sulit ditandingi di kalangan rimba persilatan.
"Dalam persoalan seperti ini kita harus hatihati menghadapinya, Pramudya. Orang
yang mengaku sebagai Pendekar Gila itu ternyata bukanlah
Sena Manggala murid Singo Edan. Dia tetap seorang pendekar sejati yang berbudi
luhur. Bahkan kudengar kabar Pendekar Gila telah tewas setelah
menghadapi si durjana yang membinasakan Kanjeng Gusti. Paling tidak, menurut
kedua prajurit itu, Sena Manggala menderita luka dalam yang
sangat parah. Untung dia segera ditolong oleh Kakang Singo Edan. Setelah saling
mengadu ilmu tingkat tinggi, murid Kakang Singo Edan itu terjungkal tak berdaya. Namun ada
kesimpangsiuran
kabar di sini. Inilah yang membuat aku yakin kalau Pendekar Gila tidak tewas.
Yang ditolong oleh


Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakang Singo Edan adalah seorang pemuda berpakaian putih. Menurut dugaanku,
pemuda itulah Pendekar Gila sejati. Sedangkan pemuda berpakaian rompi kulit ular yang kemudian
tewas dengan sekujur tubuh terbakar, si Pendekar Gila palsu." Kakek itu berhenti
sejenak menghela napasnya dalam-dalam. "Aku yakin ini merupakan siasat
Kakang Singo Edan untuk menumpas si durjana
itu." "Eyang, menurut Eyang apakah ada hubungannya kejadian ini dengan peristiwa dua
puluh tahun silam?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar
dari mulut Pramudya.
Kakek itu mengangguk-anggukkan kepala
dan menggumam tak jelas. Diam-diam hatinya
mengagumi dugaan yang disampaikan murid
tunggalnya. Ternyata pemuda itu mampu berpikir
jernih, menghubungkan dengan kejadian masa silam yang telah membuatnya harus
rela meninggalkan istana. Menjalani hidup sebagai seorang
rakyat biasa. Jauh dari kehidupan mewah istana
dan berpisah dari ayahanda yang dicintainya.
Kekaguman sang guru ternyata bukan tanpa alasan. Ia juga mempunyai dugaan kuat,
kalau peristiwa menyedihkan ini memang ada kaitannya
dengan kejadian dua puluh tahun silam. Ketika itu
ia masih menjabat sebagai penasihat kepercayaan
raja. Suatu pemberontakan dengan kekuatan ratusan orang yang dipimpin seseorang yang
memiliki pengaruh besar di istana berhasil merongrong
kewibawaan raja. Tokoh berilmu tinggi itu bernama Ki Reksogeni. Dia pernah
menjuluki dirinya
sebagai Naga Merah Dari Merapi. Julukan itu ternyata bukan hanya isapan jempol.
Dia seorang tokoh tingkat tinggi yang sulit dicarikan tandingannya waktu itu.
Meskipun sikapnya dingin dan menunjukkan kewibawaan tinggi sebagai seorang
pemimpin, Ki Reksogeni ternyata bisa bertindak keji dan bengis terhadap lawan yang tak
disukainya. Dia dan
pasukannya berhasil membantai puluhan tentara
kerajaan. Bahkan, dua orang senapati gugur di
medan laga ketika menghadapi pemberontakan
itu. Karena siasat perang yang diberikan oleh
para penasihat kerajaan, akhirnya pemberontakan
berhasil dipadamkan. Puluhan orang pemberontak
tertangkap dan diadili. Sayang, pemimpin utama
dan dalang pemberontakan itu lolos dari pengejaran tentara Kerajaan Bumi Segara.
Ki Reksogeni yang lebih tersohor dengan julukan Naga Merah Dari Merapi kabur
entah ke mana. Dia meninggalkan jabatannya sebagai salah
seorang panglima perang kerajaan.
Namun, beberapa tahun kemudian terdengar kabar ada seorang tokoh yang memimpin
masyarakat Lembah Merapi Merbabu. Sekelompok
masyarakat yang mendiami lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Mereka
membentuk suatu kehidupan desa yang dipimpin oleh Ki Reksogeni. Desa itu masih termasuk ke
dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Bumi Segara yang terletak di
Pegunungan Menoreh. Namun, warganya yang rata-rata mantan pemberontak bersepakat
membentuk dan menjalankan pemerintahan sendiri. Lepas
dari kerajaan pusat yang berada di selatan.
Meskipun selama hampir dua puluh tahun
terakhir ini keadaan kerajaan aman dan damai,
Pramudya tetap selalu waspada. Pelajaran yang
didapat selama menuntut ilmu kepada gurunya telah membuat jiwa Pramudya matang.
Wawasannya bertambah luas. Baik tentang hidup bermasyarakat dan bernegara maupun ilmu jiwa.
Ilmu silat yang didapatnya pun bukan ilmu
sembarangan. Gurunya merupakan tokoh tua
yang pernah menduduki tempat atas di kalangan
orang-orang persilatan.
"Hmm...." Kakek itu kembali menggumam.
"Itulah sebabnya tak henti-hentinya aku mengatakan kepadamu bahwa sebaik-baiknya
pemimpin adalah yang berbakti kepada orang yang dipimpinnya. Rela berkorban demi rakyat
dan negara. Itu
pun selalu saja ada pihak-pihak tertentu yang tak
suka dan memusuhinya. Pramudya, kaulah pangeran putra mahkota yang berhak atas
kerajaan menggantikan Kanjeng Gusti."
Terkejut Pramudya mendengar kata-kata
gurunya. Setahunya, Putri Sekar Arum yang berhak atas tahta menggantikan
ayahnya. "Eyang...."
"Ya, kini saatnya aku menjelaskan siapa dirimu sebenarnya. Kaulah sebenarnya
pangeran dari Kerajaan Bumi Segara. Kau putra Kanjeng
Gusti dari permaisuri..."
"Jadi...," sela Pramudya. Tapi, gurunya segera melanjutkan.
"Kanjeng Putri Sekar Arum memang kakakmu. Dia lebih tua darimu. Tapi dia bukan
anak permaisuri. Kanjeng Putri Sekar Arum anak dari
selir kedua Kanjeng Gusti Galih. Kanjeng Pangeran...," Tiba-tiba kakek itu
menyebut Pramudya
dengan sebutan kehormatan. Serta-merta dia melangkah turun dari balai-balai dan
menggamit pundak Pramudya. Ia menyuruh pemuda itu
bangkit dari duduknya.
Masih dengan wajah menyiratkan ketidakpercayaan, Pramudya turun dari balai-
balai. Tiba- tiba kakek yang selama ini menjadi guru dan mengasuhnya itu membungkuk memberi
hormat. Tentu saja Pramudya merasa tidak enak melihat perubahan sikap gurunya.
"Eyang, aku tidak mengerti. Apa maksudnya
ini?" "Kanjeng Pangeran memang akan sulit untuk menerima kenyataan ini...."
Pemuda yang ternyata seorang pangeran itu
menatap jauh ke depan melalui pintu gubuk yang
terbuka lebar. Hujan gerimis masih menyiram
tempat itu. Sementara senja telah tiba.
Pramudya membisu mendengar riwayat hidupnya. Ia memang dititipkan ayahandanya
kepada orang tua yang kini menjadi gurunya ini untuk
menuntut ilmu. Tapi, sungguh baru kali ini Pramudya mendengar bahwa dirinya
putra mahkota, pewaris utama tahta Kerajaan Bumi Segara.
"Sudah saatnya Kanjeng Pangeran kembali
ke istana."
"Eyang, mengapa kau memanggilku dengan
sebutan seperti itu...?" Pramudya menatap wajah
gurunya dengan mata berkaca-kaca. Ada perasaan
sedih, haru, dan gembira dalam relung hatinya.
"Aku tetap muridmu. Dan, kaulah satu-satunya
orang yang telah membentuk jiwaku. Terlalu berlebihan kalau kau bersikap seperti
itu padaku, Eyang." "Ini adalah adat yang berlaku bagi seorang
hamba sepertiku terhadap junjungannya. Engkau
tetap putra mahkota kerajaan yang harus dihormati dan dijunjung tinggi."
"Sudahlah, Eyang...!" sambut Pramudya. Ia
berusaha tersenyum meski tampak hambar dan
kering. "Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat. Aku ingin Eyang ikut ke
istana menyertaiku.
Kuharap Eyang tidak keberatan..."
Kakek itu hanya mengangguk-angguk setuju tanpa berkata sepatah pun.
3 Empat lelaki bertubuh gagah menggebah
kuda tunggangannya. Kelihatannya mereka ingin
segera sampai di tempat tujuan. Mereka tak ingin
dikalahkan oleh matahari yang hampir tenggelam
di ufuk barat. Padahal, jalanan yang mereka lewati
sangat terjal dan berbatu-batu. Pakaian dan rambut mereka yang dibiarkan
tergerai sampai ke
pundak basah oleh air hujan. Tanah merah yang
licin dan becek tak dihiraukan sama sekali. Kudakuda itu pun seakan mengerti
dengan keinginan
tuannya. Mereka terus berlari menembus gerimis
yang sejak tadi menyiram sekitar Pegunungan Menoreh sebelah selatan.
Keempat sosok lelaki berpakaian serba hitam itu jelas menuju kaki Gunung
Srandil. Salah satu gunung yang berada di dalam rangkaian Pegunungan Menoreh. Sudah dapat
dipastikan mereka menuju kediaman Ki Ranujelaga, seorang tokoh tua di kalangan
persilatan yang telah dua puluh tahun mengundurkan diri dari dunia ramai.
Apa tujuan keempat penunggang kuda ini men-
gunjungi tokoh putih yang masa mudanya sangat
dikenal bijaksana dan berwibawa itu"
Di kalangan orang-orang persilatan, Ki Ranujelaga yang pernah menjadi penasihat
raja di Istana Kerajaan Bumi Segara dikenal sebagai seorang resi yang bijaksana.
Selain memiliki ilmu kedigdayaan tinggi, ia juga menguasai berbagai ilmu
pengetahuan tentang kemasyarakatan dan kenegaraan. Tidak aneh kalau Raja Galih
Kertarejasa mengangkatnya sebagai penasihat raja.
Namun, tak seorang pun mengetahui mengapa tokoh tua yang pernah dianggap penting
di kalangan persilatan itu selama dua puluh tahun
terakhir ini tak pernah muncul. Beberapa tokoh
dan pendekar seangkatannya menyayangkan kemunduran Resi Ranujelaga dari dunia
ramai. Sementara mereka tak tahu di mana kediamannya.
Hanya beberapa teman dekat resi itu yang mengetahui dan menyimpan rahasia tempat
tinggal Ki Ranujelaga. Hujan gerimis masih mewarnai senja di Pegunungan Menoreh. Keempat penunggang
kuda kini telah sampai di tepi sebuah tebing. Mereka
menghentikan lari kuda dan menambatkannya di
pohon. Keempat lelaki berwajah bengis dan menyeramkan itu memandang jauh ke
lembah di depan mereka.
"Hm. Tampaknya kita harus melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki," ujar lelaki yang
memiliki kumis tebal. Sebagian rambut di kepalanya telah memutih. Sebuah gelang
akar bahar besar berwarna hitam melingkar di pergelangan
tangannya yang ditumbuhi bulu lebat.
"Aku tak melihat rumah atau gubuk di bawah sana, Turangga Geni...," ujar
kawannya, lelaki
yang dadanya penuh ditumbuhi bulu-bulu hitam.
Dia terus mengedarkan pandangan mencari-cari.
Lelaki berkumis tebal yang mengenakan gelang akar bahar tidak memberi tanggapan.
Mata lelaki yang dipanggil Turangga Geni ini tetap mengawasi sekitar lembah. Ia ingin
meyakinkan hatinya kalau di lembah itulah tempat tinggal orang
yang dicarinya.
"Hmm.... Jangan banyak mulut! Percuma
jauh-jauh kita datang kemari kalau tidak mendapatkan yang kita cari. Ayo...!"
Turangga Geni memberi isyarat kepada ketiga kawannya agar segera menuruni tebing terjal itu.
Tanpa menjawab, ketiga kawannya segera
melangkah mengikuti Turangga Geni. Keempatnya
menuruni jalan setapak berbatu-batu. Di kanan
kiri jalanan sempit itu bersembulan batu-batu sebesar kerbau yang menempel pada
dinding tebing.
Rerumputan serta pepohonan merambat menjalar
hampir menutupi jalan. Namun mereka tak peduli.
Sementara suasana telah mulai gelap. Selain sinar
matahari terhalang mendung, kabut tebal pun mulai menuruni kaki Gunung Srandil.
Keempat lelaki berpakaian serba hitam terus melangkah di dalam keremangan dan
hawa dingin yang menggigit kulit. Tiba-tiba mereka melihat setitik cahaya di
kejauhan. "Ha ha ha.... Aku yakin itu api dari rumah si
tua bangka itu!" seru Turangga Geni memandangi
titik cahaya yang berasal dari tebing di seberang
lembah. "Hei, Gendon, kenapa tak kau gunakan
matamu yang awas itu" Ayo, kerahkan kemampuan mu melihat jarak jauh!"
Lelaki yang dipanggil Gendon terkekeh dan
mengangguk-anggukkan kepala. "He he he.... Akhirnya kita berhasil juga menemukan
persembunyian Ki Ranujelaga. Ayo, kita satroni tua bangka
itu!" Keempat lelaki berwajah bengis segera melompat dari batu cadas tempat mereka
berdiri. Dengan langkah-langkah penuh keyakinan mereka
menyusuri jalan setapak dalam keremangan senja.
Tanpa sepengetahuan keempat lelaki berwajah bengis, sesosok bayangan berkelebat
dua puluh tombak di belakang mereka. Dari gerakannya
yang tidak diketahui keempat lelaki di depannya,
agaknya sosok itu memiliki ilmu tinggi, setidaknya
dalam ilmu meringankan tubuh.
Dengan sekali hentak saja tubuhnya melesat dan mendarat di batu cadas tempat
keempat lelaki berpakaian serba hitam tadi mengawasi rumah Ki Ranujelaga.
Sosok itu ternyata seorang pemuda bertubuh tegap dan gagah. Rambutnya yang
gondrong dan ikal terikat tali dari kulit ular. Sama dengan
baju rompi yang membungkus tubuhnya. Pemuda
itu cengar-cengir sendirian mengawasi keempat lelaki berpakaian serba hitam yang
kini melintasi lembah. Sesekali ia menggaruk-garuk rambutnya
yang basah oleh air hujan. Pemuda itu lalu duduk
menyelonjorkan kaki di atas batu cadas selebar
dua tombak. "Hi hi hi.... Lucu para begundal itu. Jangan
harap kalian akan berhasil membuat ulah terhadap Ki Jelaga...," gumam pemuda itu
sambil tertawa sendirian. Tangannya mencari-cari sesuatu dari balik ikat
pinggangnya. Ternyata dia mengambil
sehelai bulu ayam. Lalu, digunakannya untuk
mengilik-ilik telinganya. Sebentar kemudian mulutnya kembali cengar-cengir
dengan mata terpejam sebelah. "Hiii.... Lumayan untuk mengusir
dingin...."
Dia menggoyang-goyangkan kepala merasa
nikmat ketika bulu ayam berputar di telinganya.
Sementara itu, keempat lelaki berwajah
bengis telah sampai di kaki bukit Mereka berhenti
sekitar sepuluh tombak di depan sebuah gubuk
bambu. Ternyata benar. Cahaya yang terlihat dari
seberang lembah berasal dari dalam gubuk.
"Hai.... Ranujelaga pengecut, keluar atau


Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuhanguskan bersama gubukmu...!"
Suara keras terdengar memecah keheningan senja di kaki Gunung Srandil. Pemilik
suara itu tak lain Turangga Geni. Sementara ketiga kawannya dengan penuh waspada
mengawasi pintu
gubuk milik Ki Ranujelaga.
"Siapa gerangan berada di luar...?" terdengar sahutan dari dalam gubuk. Suara
itu tidak terlalu keras tapi terdengar jelas, seolah begitu dekat
dengan telinga keempat lelaki bengis.
"Ha ha ha...! Atas nama Naga Merah Dari
Merapi, kami Empat Iblis Merbabu menuntut kematian kau dan murid tunggalmu,
Ranujelaga...!"
Sambil berteriak begitu, lelaki berperut gendut yang bernama Gendon langsung
melompat. Sekali hentak saja tubuhnya telah melesat melontarkan pukulan jarak jauh.
Seketika serangkum
angin melesat dari kedua tangannya dan menghantam pintu gubuk.
Wusss! Brakk! Bersamaan dengan terdengarnya ledakan
keras yang. menghancurkan gubuk bambu, melesat ke udara sesosok bayangan putih.
Sosok kakek berjubah putih melayang cepat dan mendarat dengan ringan beberapa tombak di
samping kanan gubuk. Sekejap saja ia terlambat menghindar, tubuhnya akan remuk bersama
gubuknya yang kini
hancur berkeping-keping. Pukulan Gendon mengandung hawa panas dan menyambar
laksana petir. "He he he.... Rupanya kau masih punya kebolehan, Ranu! Tak kusangka dua puluh
tahun lamanya kau mengasingkan diri, ternyata kemampuanmu kian bertambah. Tapi, jangan
harap dapat lolos dari tangan Empat Iblis Merbabu, Tua
Bangka!" Gendon terkekeh menatap wajah Ki Ranujelaga dengan mata menyipit.
Agaknya, dia ingin mengukur kemampuan
calon lawannya yang mantan penasihat kerajaan
itu. "Kalau kau sayang nyawamu serahkan
Pramudya Wisnutama ke tangan kami...!" Kali ini
yang berbicara Turangga Geni. Tangan kanannya
telah menggenggam sebuah senjata berbentuk sa-
pu yang terbentuk dari bulu kuda coklat. Senjata
inilah andalan tokoh berusia enam puluhan yang
julukannya memiliki arti kuda api itu.
Rupanya, keempat utusan Ki Reksogeni tidak tahu kalau Pangeran Pramudya sudah
tidak ada di tempat kediaman Ki Ranujelaga. Hanya beberapa saat sebelum kedatangan
Turangga Geni dan ketiga kawannya, empat orang prajurit kerajaan telah menjemput Pramudya.
Mereka mengabarkan kalau istana mengharapkan segera kedatangan pangeran untuk
menggantikan kedudukan
ayahandanya. "Iblis-iblis Merbabu, di pihak mana sebenarnya kalian bekerja...?" tanya Ki
Ranujelaga dingin. Matanya yang tajam dan beralis putih menatap wajah Turangga
Geni. Tiba-tiba saja tersirat di
hatinya perasaan penuh curiga. Ternyata ada banyak pihak yang kini saling
memperebutkan pangeran, pikirnya.
Rasa was-was dan khawatir pun menyeruak
di hati Ki Ranujelaga. Jangan-jangan empat orang
prajurit yang belum lama berangkat membawa
Pangeran Pramudya Wisnutama juga bermaksud
tidak baik. Ia menyesal mengapa tidak turut menyertai muridnya berangkat ke
istana. Mengapa
begitu percaya kepada keempat prajurit yang menjemput Pramudya....
"Pertanyaanmu sulit untuk dijawab, Jelaga."
"Aku tahu kalian masih punya hutang kepada Ki Reksogeni atas kegagalan menculik
Pangeran Pramudya Wisnutama dua puluh tahun silam.
Sampai kini kalian masih terus memburunya sete-
lah berhasil membunuh Kanjeng Gusti Galih Kertarejasa. Jangan harap kalian akan
berhasil selama aku masih bernapas, Begundal Keparat Busuk!"
Mata Ki Ranujelaga menyipit. Wajahnya
yang putih bersih dan memancarkan kewibawaan
tampak berubah. Ada bara api tersimpan di matanya.
"Bedebah. Heaaattt...!"
Turangga Geni melompat seraya mengebutkan sapu ekor kudanya. Seketika angin
kencang yang diikuti lesatan beberapa larik api meluncur deras. Api itu memburu
ke arah Ki Ranujelaga yang dengan gerakan tak kalah cepatnya telah
lebih dulu melompat menghindar.
Api menghantam bongkahan batu cadas
beberapa tombak di belakang Ki Ranujelaga. Suara
ledakan keras menggelegar memecah kesunyian
lembah. Beberapa saat gema suara ledakan terus
berkumandang. Sementara batu cadas itu hancur
berkeping-keping.
Kegagalan itu menambah murka Turangga
Geni. Namun ketika tangannya hendak mengebutkan lagi senjata andalannya, Ki
Ranujelaga telah bergerak cepat melontarkan serangan jarak
jauh dalam kedudukan masih berada di udara.
Pukulan itu tak terlihat oleh mata lawan. Tapi, tiba-tiba Turangga Geni terpekik
keras dengan tubuh terdorong beberapa langkah ke belakang.
Melihat keadaan itu, Gendon, Gagak Ireng,
dan Luwing Sewu menjadi marah. Ketiganya segera merangsek menyerbu Ki
Ranujelaga. Dengan
senjata andalan, mereka memburu kakek berjubah
putih yang terus menghindar sambil melancarkan
serangan jarak jauh.
Pada jurus-jurus awal Ki Ranujelaga masih
mampu mempertahankan diri dari gempuran dahsyat lawan-lawannya. Namun, usia
ternyata cukup berpengaruh terhadap kegesitan dan kekuatan tenaganya. Perlahan tapi pasti kakek
itu terus terdesak hebat. Sementara keempat lawannya seperti
tak ingin memberi kesempatan pada Ki Ranujelaga
untuk melancarkan serangan balasan.
Satu ketika sabetan sapu ekor kuda Turangga Geni tak mampu dihindarkannya. Kakek
berjubah putih itu mengerang kesakitan. Tangan
kanannya panas bagai terbakar. Saat tubuhnya
limbung, Gendon dan Gagak Ireng menyerbu bersamaan.
Namun, dalam keadaan yang sangat gawat
itu tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan memasuki kancah pertarungan. Secepat
kilat sosok berpakaian rompi kulit ular itu melontarkan tendangan dengan kedua
kakinya. Tendangan keras itu
mendarat telak di dada dan kepala kedua lawan Ki
Ranujelaga. Gendon dan Gagak Ireng terpekik kaget.
Tubuh mereka terhuyung-huyung beberapa langkah.
"Pendekar Gila...!" Ki Ranujelaga pun terkejut melihat kedatangan pemuda
berpakaian rompi
kulit ular. Sebagai tokoh tua yang lama mengasingkan diri, dia belum pernah
berjumpa dengan
pendekar muda ini. Namun, ia mengenali ciri-ciri
yang terdapat pada tubuh Pendekar Gila.
"Ha ha ha...! Tentu begundal-begundal ini
terkejut melihatmu, Eyang Jelaga," ujar pemuda
berompi kulit ular yang memang Pendekar Gila.
Mulutnya cengengesan dan tangannya menggarukgaruk kepala.
"Hei, Bocah Edan! Jangan coba-coba mencampuri urusan kami kalau kau tak ingin
mati untuk kedua kalinya!" dengus Turangga Geni.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau ini. Mana ada
orang mati hidup kembali dan mati lagi?" sahut
Sena Manggala cekikikan. Bibirnya dimonyongkan
mengejek Turangga Geni yang tampak kian geram.
Mendengar ejekan Pendekar Gila, Gendon
yang punya watak tak sabaran segera melompat
dan membabatkan senjatanya.
"Heit...! He he he.... Tidak kena, Gendut
Hih..,!" Sena yang telah waspada sejak tadi dengan
mudah mengelakkan serangan itu. Kemudian, melancarkan serangan balasan dengan
telapak tangan terbuka.
Plakkk! Gendon terpekik kaget ketika pukulan telapak tangan Pendekar Gila yang kelihatan
lamban dan tak bertenaga mendarat di dadanya. Tubuhnya langsung terpental ke belakang.
Turangga Geni pun kaget bukan main melihat liukan tubuh Sena yang bagaikan orang
menari. Dengan gerakan selamban itu tangan Pendekar
Gila mampu mendarat di dada Gendon. Mata Turangga Geni kian terbelalak ketika
dilihatnya Gen-
don memuntahkan darah segar. Lelaki berperut
gendut itu akhirnya tewas setelah meregang nyawa
sesaat. "Kurang ajar! Serang!" Turangga Geni memberi perintah kepada kedua kawannya.
Melihat ketiga Iblis Merbabu dengan ganas
melancarkan serangan, Ki Ranujelaga tidak tinggal
diam. Tubuhnya segera melompat menghadang.
Kakek itu bertarung melawan Gagak Ireng. Sementara Pendekar Gila menghadapi
Luwing Sewu dan
Turangga Geni. Dengan gerakan-gerakan konyol dan aneh
pemuda berpakaian rompi kulit ular itu terus
mengejek kedua lawannya.
"Huekkk...! Ayo, keluarkan buntut kudamu.
He he he! Jangan sampai kucabut kumismu yang
tebal itu...," ejek Sena sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan
lawan yang semakin ganas dan membahayakan. Sesekali kedua telapak tangannya
berkelebat menepuk ke arah dada
lawan. Gerakannya terlihat lamban dan seperti
tanpa tenaga. Namun....
Plakkk! Luwing Sewu terpekik keras. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.
Kedua tangan lelaki beralis tebal itu mendekap dadanya yang
dirasakan remuk setelah terpukul telapak tangan
Pendekar Gila. "Hi hi hi... Ternyata jurus 'Menepuk Lalat'ku masih berguna," Sena tertawa
menyaksikan lawanya terjatuh dan muntah darah. Luwing Sewu
pun menyusul kawannya, Gendon yang telah te-
was lebih dulu.
Namun, belum juga tawanya berhenti, Turangga Geni telah menyerangnya dari
samping. Diiringi teriakan keras penuh kegeraman lelaki berwajah bengis ini
membabatkan sapu ekor kudanya.
Wrttt! Pratts! Cepat Sena melesat seraya mengibaskan
Suling Naga Sakti yang diambil dari selipan di
pinggangnya untuk memapaki serangan lawan.
Benturan kedua senjata itu menimbulkan suara
keras diselingi jeritan kaget Turangga Geni yang
terdorong limbung. Pendekar Gila pun sempat tergetar ketika mendarat di batu
cadas yang agak licin.
Gelap telah turun mengiringi datangnya malam. Hujan gerimis pun belum reda.
Pertarungan itu terus berjalan semakin seru. Ki Ranujelaga
yang menghadapi Gagak Ireng, meskipun tadi tangannya telah terluka, tetap mampu
memberi perlawanan. Kakek berjubah putih itu menunjukkan
kebolehannya. Beberapa kali lawannya sempoyongan menghindari jurus-jurus Ki
Ranujelaga. Namun, satu ketika Gagak Ireng yang terkenal licik mengambil sesuatu dari balik
bajunya. Dengan cepat sekali tangannya yang tergenggam
dikibaskan. Srrats! Meskipun tahu gelagat lawan tak menguntungkan, Ki Ranujelaga tidak sempat
mengelak. Senjata rahasia yang berupa serbuk hitam pun
menerpa wajahnya, kakek itu mengerang dengan
mendekap kedua matanya. Dalam keadaan seperti
itu, Gagak Ireng dengan liciknya menerjang Ki Ranujelaga. Kedua tangannya yang
membentuk cakar merejam wajah lawan.
Darah segar mengucur dari wajah kakek
berjubah putih itu. Wajahnya tercabik Jurus
'Cakar Menyambar Nyawa' milik Gagak Ireng. Ki
Ranujelaga hanya mampu merintih menahan sakit. Tubuhnya terguling di atas cadas
berlumut. Pendekar Gila terkejut mendengar rintihan
lirih itu. Ketika menoleh dilihatnya Ki Ranujelaga
telah terkapar berlumuran darah. Jubahnya basah
oleh air hujan bercampur darah. Pemuda berpakaian rompi kulit ular ini segera
melenting ke udara ketika Gagak Ireng yang baru saja merobohkan
Ki Ranujelaga tiba-tiba melompat. Dia membantu
kawannya menghadapi Pendekar Gila.
Tanpa membuang-buang waktu, Sena segera mengerahkan jurus andalan. Dalam keadaan
masih berada di udara dia menyatukan kedua tangannya di atas kepala. Dan, begitu
mendarat kedua tangannya dihentakkan sambil mengeluarkan
teriakan keras. Seketika sebentuk bola api melesat
cepat memburu kedua lawannya.
Wusss! Pekikan keras menyayat hati memecah kesunyian malam. Kedua lelaki berpakaian
serba hitam terpental jauh dengan tubuh terbakar. Keduanya langsung tewas
setelah membentur dinding
batu cadas di belakang mereka.
Pendekar Gila berlari menghampiri Ki Ranu-
jelaga yang terkapar tak berdaya.
"Kek...." Sena berjongkok dan mengangkat
kepala Ki Ranujelaga. Mulutnya meringis tak tega
melihat luka parah di wajah kakek itu.
"Pendekar Gila, tolong selamatkan Pangeran
Wisnutama. Dialah pewaris tahta kerajaan. Dia
harus sampai ke istana. Saat ini dua musuh besar
kerajaan tengah saling berebut tahta...," ujar Ki
Ranujelaga lirih.
"Siapa kedua musuh besar itu, Kek?" tanya
Sena ingin tahu.
Namun sayang, belum sempat didengarnya
jawaban itu, Ki Ranujelaga telah menghembuskan
napas terakhir.
Gerimis telah reda. Bulan setengah lingkaran menggantung di langit yang kelabu.
Setelah mengubur mayat Ki Ranujelaga dan keempat Iblis
Merbabu, Pendekar Gila melesat meninggalkan
kaki Gunung Srandil.
4 Embun pagi menguap di atas persawahan


Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hijau yang terbentang luas. Cahaya kemerahan
membias di ufuk timur meskipun sang surya belum menampakkan diri. Dari mulut
sebuah desa tampak dua orang penunggang kuda berlari ke
arah barat. Mereka tak menghiraukan hawa dingin
yang masih menyelimuti bumi. Kedua lelaki berseragam prajurit kerajaan itu
menggebah kudanya
menembus kabut.
Namun, baru tiga puluh tombak meninggalkan mulut desa tiba-tiba mereka menarik
tali kekang kuda hingga berhenti. Dengan perasaan kaget dan tak percaya kedua
prajurit itu melompat
turun dari punggung kuda.
"Pendekar Gila...!" gumam salah satu dari
kedua prajurit itu. Matanya dibuka lebar-lebar. Ia
ingin meyakinkan dirinya kalau sosok yang berdiri
di depannya memang Pendekar Gila.
"Aha...! Kalian jangan bingung," ujar pemuda berpakaian rompi kulit ular yang
berdiri menghadang kuda kedua prajurit itu. "Kalian tentu tak
percaya aku berada di sini," lanjutnya sambil cengengesan.
"Aduh. Maafkan kami, Tuan Pendekar!" Kedua prajurit itu membungkukkan badan.
Lalu, melangkah mendekati Pendekar Gila.
"Aku maklum," sahut Sena, ia mengetahui
beberapa hari terakhir ini terdengar kabar santer
kalau Pendekar Gila telah tewas. "Hendak ke mana
kalian pagi-pagi seperti ini?"
"Aduh, Tuan Pendekar. Kekacauan telah
terjadi dalam istana," ujar prajurit yang bertubuh
tinggi. "Setelah kejadian yang mencelakakan Tuan
Pendekar dan meninggalnya Kanjeng Gusti Galih
Kertarejasa keadaan di istana semakin mengkhawatirkan."
"Hmm,... Aku telah mendengar sedikit tentang itu dari percakapan orang di dalam
kedai kemarin siang. Keserakahan rupanya telah melanda
pihak-pihak yang ingin memanfaatkan keadaan di
istana. Lalu, bagaimana kabar terakhir tentang
penguasa tahta kerajaan...?" tanya Sena dengan
wajah bersungguh-sungguh.
"Itulah sebabnya pagi ini kami ditugaskan
untuk menjemput Gusti Pangeran Pramudya Wisnutama di Gunung Srandil. Yang
mengkhawatirkan di Istana saat ini telah terbentuk dua kubu
yang saling bermusuhan. Pertama pihak Patih Abiyasa yang mendukung kehendak
permaisuri untuk mengangkat Raden Danuwirya sebagai pengganti Raja Galih
Kertarejasa. Sementara pihak
yang mendukung Kanjeng Senapati Saka Bawana
menolak. Mereka bersikukuh untuk menunggu
kedatangan Pangeran Pramudya...."
"Hm...." Sena menggumam tak jelas. Keningnya berkerut merasa ada sesuatu yang
ganjil. "Lalu, bagaimana sekarang...?"
"Di dalam istana tengah terjadi kekosongan
kekuasaan. Inilah yang paling mengkhawatirkan.
Siapa yang berhak memerintah kerajaan" Sementara banyak pihak tidak percaya lagi
kepada Patih Abiyasa sebagai orang kedua di istana."
"Bukankah Putri Sekar Arum juga berhak
atas tahta kerajaan?" tanya Sena.
"Tidak. Selama masih ada Pangeran Pramudya, Putri Sekar Arum tidak punya hak
atas tahta raja. Selain dia bukan putri mahkota, adat
yang berlaku di kalangan istana mengutamakan
seorang putra untuk duduk di singgasana. Memang kalau dilihat dari usia Putri
Sekar Arum lebih tua dari Pangeran Pramudya. Tapi, dia bukan
anak dari permaisuri. Kalangan kerajaan tahu
Permaisuri Ayu Mustika dulunya seorang selir. Se-
dangkan permaisuri yang pertama adalah ibunda
Pangeran Pramudya yang meninggal ketika terjadi
pemberontakan dua puluh tahun silam."
Sena Manggala manggut-manggut mendengar cerita prajurit itu. Baru diketahuinya
kini kalau Putri Sekar Arum ternyata anak selir. Jelaslah
baginya persoalan yang kini tengah melanda Istana Kerajaan Bumi Segara.
"Ketika itu Pangeran Pramudya Wisnutama
baru berusia lima bulan. Ketika ibundanya meninggal akibat keganasan
pemberontakan, Raja
Galih Kertarejasa secara diam-diam mengirimkan
putranya untuk dididik oleh Ki Ranujelaga. Hal itu
dilakukan tanpa sepengetahuan orang-orang dalam istana. Rupanya, ada suatu
rahasia pribadi
antara Kanjeng Gusti Galih Kertarejasa dan permaisurinya yang baru. Kami sendiri
tidak tahu secara pasti. Keterangan ini baru kami dapat semalam dalam pertemuan
rahasia di kediaman Ki Narotama, bekas senapati yang telah mengundurkan
diri. Pertemuan yang diikuti para pendukung yang
menuntut kembalinya Pangeran Pramudya itu
memutuskan untuk segera menjemput putra
mahkota. Tiga hari yang lalu kami telah mengirim
dua orang prajurit ke Gunung Srandil. Tapi sampai saat ini mereka belum kembali.
Kami tidak tahu mereka sampai atau tidak."
Cerita prajurit berusia lima puluhan itu semakin memperjelas persoalan bagi
Pendekar Gila. "Kedua prajurit itu sampai di tempat kediaman Ki
Ranujelaga," sambung Sena.
"Lho, dari mana Tuan Pendekar tahu?"
"Ki Ranujelaga menyampaikan pesan padaku agar melindungi Pangeran Pramudya.
Kuduga Pangeran Pramudya telah berangkat bersama prajurit-prajurit utusan itu. Sayang
aku terlambat..."
"Apa maksud Tuan Pendekar?" sela prajurit
itu kaget "Ki Ranujelaga telah tewas karena Empat
Iblis Merbabu menginginkan Pangeran Pramudya."
"Hh.... Ternyata benar dugaan kami dalam
pertemuan semalam. Kejadian ini masih berhubungan dengan peristiwa pemberontakan
dua puluh tahun silam," gumam prajurit yang bertubuh
lebih pendek. "Maksudnya, Naga Merah Dari Merapi...,"
duga Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Belum selesai Pendekar Gila mengucapkan
kata-kata itu, kepalanya ditelengkan ke kanan seperti ingin memperjelas
pendengarannya.
"Ada suara kaki kuda, Sobat," gumam Sena.
Kedua prajurit itu saling bertatapan. Mereka
belum mendengar suara yang dikatakan Pendekar
Gila. Tentu saja kemampuan mendengar mereka
tak dapat disamakan dengan murid Singo Edan
itu. Tak berapa lama kemudian barulah mereka
mengangguk-anggukkan kepala membenarkan
ucapan Sena. Ternyata benar. Dari arah barat
tampak dua orang penunggang kuda menuju tempat mereka.
"Heh, Ganjar Seta dan Gamadi...!" ujar kedua prajurit itu hampir bersamaan.
"Bagaimana tugas kalian...?" tanya prajurit
bertubuh tinggi ketika kedua penunggang kuda itu
sampai di depan mereka. "Mana Raden Pramudya?"
Kedua penunggang kuda itu melompat turun lalu memberi hormat kepada prajurit
bertubuh tinggi yang berjalan menghampiri mereka. Rupanya, prajurit ini mempunyai pangkat
lebih tinggi di istana. "Kami telah sampai dengan selamat dan
bertemu dengan Ki Ranujelaga. Tapi, saat itu Pangeran Pramudya sedang tidak ada
di tempat. Mungkin sekarang mereka sedang dalam perjalanan ke istana. Ki Ranujelaga
bersedia menyertai
Raden Pramudya ke istana...," jawab prajurit yang
bernama Ganjar Seta. Mereka adalah utusan yang
bertugas menjemput Pangeran Pramudya Wisnutama.
Pendekar Gila mengernyitkan kening. Sementara kedua prajurit yang tadi
ditemuinya tampak saling berpandangan. Ada rasa penasaran dan
pertanyaan besar di benak mereka.
"Ada yang tidak beres," ucap salah satu dari
mereka. Sempat terlihat oleh Pendekar Gila wajah
kedua prajurit itu memerah. Keduanya tentu saja
bingung. Pertama mendengar kalau, Ki Ranujelaga
telah tewas dan Pangeran Pramudya telah berangkat ke istana. Sementara kabar
dari dua orang utusan itu mengatakan Ki Ranujelaga akan menyertai pangeran ke istana. Tentu
gurunya itu tak
akan tega membiarkan Pangeran Pramudya berangkat sendirian. Lalu, siapa yang
telah menjem- putnya jika dugaan Pendekar Gila benar bahwa
Pangeran Pramudya dijemput prajurit kerajaan"
"Hmm.... Kalau begitu kita harus segera melaporkan hal ini kepada Senapati Saka
Bawana," ujar prajurit bertubuh tinggi. Lalu, menoleh kepada Pendekar Gila. "Kami harap
Tuan Pendekar sudi singgah di kediaman Ki Narotama. Di desa itu
tempat tinggalnya." Prajurit itu menunjuk desa di
sebelah timur mereka.
Tanpa membantah Pendekar Gila mengikuti
ajakan prajurit itu.
*** Istana Kerajaan Bumi Segara yang berdiri
megah tampak seperti biasa. Seolah tak pernah
terjadi kekacauan yang kini tengah mengancam
kelangsungan hidup kerajaan ini.
Di depan pintu gerbang istana empat orang
prajurit bertugas menjaga. Sementara di luar kehidupan kotaraja pun tetap sibuk.
Pasar kota dan kedai-kedai tetap buka menjalankan kegiatannya.
Ternyata kekosongan kekuasaan itu hanya
anggapan pihak-pihak yang mendukung kembalinya Pangeran Pramudya ke istana untuk
memegang tampuk kekuasaan. Nyatanya, meskipun tidak resmi, Raden Danuwirya kini
telah menduduki
singgasana. Bagi kalangan istana dialah raja baru
penguasa Kerajaan Bumi Segara" Permaisuri Ayu
Mustika, ibundanya Putri Sekar Arum, karena dianggap banyak mengetahui tentang
peraturan kerajaan diangkat sebagai penasihat. Sedangkan Pa-
tih Abiyasa yang berusia lima puluhan itu tetap
menjabat sebagai patih.
Namun begitu, pemerintahan tetap belum
dapat berjalan sebagaimana mestinya. Masalah
penarikan upeti dan penanganan pasukan kerajaan belum dapat dijalankan. Banyak
prajurit yang membelot mengikuti gerakan Senapati Saka Bawana. Beberapa menteri mengundurkan
diri dari tugasnya. Bahkan, mereka memberi dukungan
pada Senapati Saka Bawana dan kawankawannya.
Itulah sebabnya warga di luar istana tetap
mengira kerajaan dalam keadaan kosong kekuasaan. Rakyat tetap menaruh harapan
terhadap Pangeran Pramudya sebagai pewaris tahta kerajaan. Meskipun mereka menyadari
sebagai rakyat biasa tidak memiliki hak untuk menentukan jalannya pemerintahan. Namun, rasa
cinta dan pengabdian terhadap Raja Galih Kertarejasa menyebabkan timbulnya rasa
memiliki dan kebersamaan
untuk membina kedamaian negara.
5 "Berhenti...!"
Teriakan keras itu terdengar ketika seorang
prajurit yang tengah menggebah kuda tunggangannya melintasi tapal batas kota.
Seketika prajurit itu menarik tali kekang kudanya dan berhenti.
"Kakang Ganjar Seta," desis prajurit itu menatap lelaki gagah yang tengah
berlari mengham-
pirinya. "Ada yang ingin kutanyakan padamu. Bagaimana keadaan di istana saat ini?" tanya
Panglima Ganjar Seta setelah berdiri dekat prajurit itu.
"Maafkan saya, Kakang Ganjar Seta. Saya
harus segera sampai di Desa Tingal sore ini juga."
"Hm. Ada apa rupanya kau terburu-buru
sekali, Gati?"
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan kepada Lurah Brajanala. Sebuah surat dari
Patih Abiyasa."
"Bolehkan aku tahu isi surat itu?"
"Wah, maafkan. Sekali lagi maaf, Kakang
Ganjar Seta."
"Gati, kalau kau tetap berada di pihak Patih
Abiyasa keparat itu, berarti kau sedang berhadapan dengan musuh!" ujar Panglima
Ganjar Seta dengan nada dingin. Matanya menatap tajam wajah prajurit bawahannya yang bernama
Gati. "Ingat Gati, kebenaran selalu berada di atas kejahatan. Kita punya calon
pengganti raja yang lebih
berhak atas tahta di istana!"
Tergetar juga hati prajurit itu mendengar
ancaman Panglima Ganjar Seta.
"Pangeran Danuwirya telah dinobatkan sebagai raja, Kakang Ganjar. Ini memang
belum diumumkan keluar dari istana. Kabar yang tersebar
di istana, Pangeran Pramudya telah diculik oleh
anak buah Naga Merah Dari Merapi...."
"Bohong! Jangan kau mudah terhasut kabar bohong itu, Gati!" dengus Panglima
Ganjar Seta penuh kegeraman.
"Kalau aku tak bertemu denganmu tentu
aku masih percaya kabar itu, Kakang. Sebenarnya
kami, para prajurit yang masih bertahan di istana,
telah merasakan adanya ketidakberesan ini."
Gati merogoh saku pakaiannya dan mengeluarkan sebuah gulungan dari kulit
binatang. Lalu, diberikannya kepada Panglima Ganjar Seta.
Namun.... Singng! Singng!
"Awas...!"
Panglima Ganjar Seta berteriak sambil melontarkan tubuhnya ke samping kanan dan
bergulingan di tanah.
Jrebs! Pekikan keras menyayat pun terdengar dari
mulut Gati. Tubuh prajurit muda itu jatuh terjerembab berlumuran darah. Rupanya,
dia tak sempat mengelak ketika serangan gelap meluncur datang. Mungkin karena
hatinya masih diluputi rasa
takut bertemu dengan Panglima Ganjar Seta yang
merupakan atasannya. Prajurit itu tewas seketika
dengan pisau kecil tertancap di dadanya.
Belum sempat Panglima Ganjar Seta berdiri
tegap, tiba-tiba dari balik pepohonan berlompatan
tiga orang berpakaian merah yang langsung menyerangnya


Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu babatan pedang hampir saja menghantam pundaknya kalau Panglima Ganjar Seta
tidak segera melompat ke belakang. Namun, serangan
susulan lawan telah memburu dengan cepat. Kelihatannya mereka tak ingin memberi
kesempatan kepada Panglima Ganjar Seta untuk menghindari
maut. Crasss! "Akh!"
Panglima Ganjar Seta terpekik kesakitan.
Pedang lawan berhasil membabat paha kanannya.
Tubuhnya limbung beberapa langkah dengan paha
mengucurkan darah. Dalam kedudukan yang terdesak, Panglima Ganjar Seta terus
berusaha menyelamatkan selembar nyawanya. Ia menyadari ketiga lelaki yang belum
dikenalnya ini jelas memiliki
kepandaian yang lebih tinggi darinya. Terlebih mereka menyerang secara
bersamaan. Satu-satunya
jalan terbaik baginya adalah mencari kesempatan
untuk kabur jika tak ingin nyawanya melayang
percuma. Sementara itu tanpa diketahui Ganjar Seta
dan ketiga lawannya seorang penduduk desa menyaksikan pertarungan itu. Diam-diam
lelaki tua itu berlari ingin melaporkan kepada prajurit di kotaraja.
Setelah berlari cukup jauh, lelaki tua itu
akhirnya sampai di sebuah kedai makan tak jauh
dari tapal batas kota. Dia langsung menyelonong
masuk. Di dalam kedai ada dua orang prajurit kerajaan yang tengah terlibat
pembicaraan dengan
seorang gadis cantik berpakaian putih. Tanpa basa
basi orang tua itu bergegas menghampiri mereka.
"Ampun, Tuan! Saya melihat Panglima Ganjar Seta telah bertarung dengan tiga
orang berpakaian serba merah...."
Mendengar laporan orang tua itu kedua prajurit kerajaan terkesiap. Mereka
bangkit dari tem-
pat duduknya. Gadis cantik yang di pundaknya
tersampir sebilah pedang itu ikut berdiri.
"Di mana kau melihatnya, Ki?" tanya prajurit itu tak sabar. Sementara temannya
telah melangkah keluar kedai diikuti gadis berambut panjang itu.
"Tak jauh dari luar tapal batas, Tuan," jawab lelaki tua dengan napas terengah-
engah. Mendengar jawaban lelaki tua, prajurit itu
langsung berlari menyusul kawannya yang telah
melompat ke punggung kuda. Kedua prajurit segera menggebah kuda mereka menuju
tapal batas kota. Sedangkan gadis cantik bersenjata pedang
masih berdiri di depan pintu kedai.
Namun kemudian gadis cantik itu melesat
dengan kecepatan mengagumkan. Beberapa pengunjung kedai yang melihat tersentak
kaget. Dalam sekejap tubuh gadis berpakaian putih telah
berada jauh meninggalkan kedai.
*** Sampai di tempat pertempuran gadis itu tidak menemukan Panglima Ganjar Seta
maupun ketiga lawannya. Setelah memeriksa sebentar tempat itu, dia segera melesat
kembali ke arah barat.
Belum berapa jauh meninggalkan tempat
bekas pertarungan gadis itu menghentikan larinya.
Telinganya mendengar suara pertarungan di sebelah selatan. Tanpa membuang waktu
lagi tubuhnya melesat ke sana. Ternyata benar. Panglima
Ganjar Seta yang sudah kepayahan terdesak hebat
menghadapi gempuran ketiga lawannya.
"Hei, Cecunguk-cecunguk Lembah Merapi!"
Teriakan keras dan melengking nyaring itu
mengejutkan ketiga lelaki berpakaian serba merah
yang hampir membabatkan pedang ke tubuh Panglima Ganjar Seta.
"Bedebah! Perempuan sundal mana beraniberaninya mencampuri urusan kami?" dengus
salah seorang lelaki berpakaian merah. Ketiganya
menatap tajam wajah gadis itu. "Hadapi dia, biar
aku habisi pengkhianat ini!" lanjutnya memberi
isyarat kepada kedua kawannya.
Melihat kedua lelaki berpakaian serba merah menerjangnya, gadis berpakaian putih
itu melolos pedang. Dengan gerakan cepat yang sulit diikuti mata biasa,
dibabatnya pedang itu hingga
menimbulkan deman angin keras.
Jrrab! Crass! Pekikan keras terdengar hampir bersamaan.
Tubuh kedua lelaki berpakaian serba merah terbanting keras. Darah berlumuran di
tubuh mereka. Keduanya mengerang kesakitan dengan tubuh
berkelojotan. Kemudian, dia tak bergerak-gerak lagi.
Melihat kedua kawannya tewas, lelaki yang
menghadapi Panglima Ganjar Seta semakin murka. Dengan kemarahan yang meluap dia
menyerang Panglima Ganjar Seta yang keadaan tubuhnya semakin lemah, karena telah
terlalu banyak mengeluarkan darah. Namun ketika lelaki berpakaian merah hendak membabatkan
pedang ke tu- buh Panglima Ganjar Seta, tiba-tiba....
Trangng! Benturan keras terjadi. Tubuh lelaki berpakaian merah terdorong ke belakang lalu
jatuh terduduk. Sekujur tubuhnya dirasakan gemetaran.
Bahkan, tak mampu bangkit berdiri. Benturan
senjatanya dengan pedang milik gadis cantik ternyata sangat keras. Tampaknya
gadis itu tak tanggung-tanggung mengerahkan kemampuan tenaga
dalamnya. "Bangun! Ayo, bangun...!" bentak gadis itu
dengan wajah memerah menahan geram. Kejengkelannya tak mampu dibendung lagi.
"Cecunguk sepertimu harus dimusnahkan dari muka bumi
ini!" Ketika melihat lelaki berpakaian merah
menggertakkan gigi, gadis itu semakin marah. Diangkatnya tinggi-tinggi pedang di
tangan kanannya, siap menghabisi nyawa lawan.
"Mei Lie...!"
Gadis itu tersentak kaget mendengar seseorang meneriakkan namanya. Kepalanya
menoleh ke belakang. "Kakang Sena...!"
"Tahan amarahmu, Mei Lie. Dia tak sanggup lagi melawanmu," ujar pemuda
berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Sena Manggala atau
Pendekar Gila. Pendekar Gila mendekati Mei Lie. Dipeluknya gadis itu. Seakan dengan berbuat
begitu dapat meredakan kemarahan yang berkecamuk di dada
kekasihnya. "Tangkap dia, Senapati!" pinta Mei Lie kepada Senapati Saka Bawana yang datang
bersama Pendekar Gila. Senapati Saka Bawana memandang dua
orang prajurit yang tadi bertemu Mei Lie di kedai
makan. Lelaki tua bertubuh tegap itu hendak
memberi perintah, tapi ia ragu. Senapati Saka Bawana merasa tidak enak karena
kedua prajurit itu
tidak bergabung dalam kelompoknya.
Namun, kedua prajurit itu segera melangkah dan menangkap lelaki berpakaian
merah. "Kami bergabung denganmu, Senapati," ujar
salah seorang prajurit itu setelah menarik tubuh
lelaki berpakaian merah.
"Kuharap yang lain pun begitu...," jawab
Senapati Saka Bawana. Kemudian, melangkah
menghampiri Panglima Ganjar Seta yang terduduk
lemas dengan tubuh berlumur darah.
"Bukalah ini, Kakang Saka!" ujar Panglima
Ganjar Seta memberi gulungan kulit di tangan kanannya. "Dari seorang prajurit
yang ditugaskan
untuk mengantarkan kepada Kepala Desa Tingal."
Senapati Saka Bawana segera membuka tali
pengikat surat. Pendekar Gila dan Mei Lie melangkah mendekati. Dengan suara
perlahan Senapati
Saka Bawana membacanya.
Ayahanda, Lurah Brajanala,
Sampaikan kepada Gardawaka dan kawankawannya agar memberi tahu Ki Reksogeni.
Istana telah mengangkat Pangeran Danuwirya sebagai raja. Maka, kami minta bantuan
kiriman pasukan un-
tuk menjaga kemungkinan yang timbul dari para
pengkhianat. Patih Abiyasa Semua yang berada di tempat itu terdiam
mendengar surat yang dibacakan Senapati Saka
Bawana. Senapati itu menggertakkan gigi menahan amarah. Matanya menatap langit
merah tembaga di sebelah barat.
"Ada hubungan apa lurah itu dengan Patih
Abiyasa, Kanjeng Senapati?" tanya Sena kepada
Senapati Saka Bawana.
"Kau dengar tadi dia menyebut ayah kepada
Ki Lurah Brajanala. Dia mantu kepala desa itu.
Sebelum Permaisuri Ayu Mustika dijadikan selir
Kanjeng Gusti Galih, wanita itu telah diperistri
oleh Patih Abiyasa. Orang-orang di lingkungan istana mengetahui hal itu.
Dugaanku, ini merupakan siasat licik Patih Abiyasa dan Ki Lurah Brajanala. Perlu
kau ketahui, Tuan Pendekar, Ki Lurah
Brajanala sedikit banyak memiliki andil ketika terjadi pemberontakan dua puluh
tahun silam...."
Senapati Saka Bawana menghentikan ucapannya
ketika Panglima Ganjar Seta menyela.
"Bahkan aku mempunyai dugaan kuat Putri
Sekar Arum adalah anak Patih Abiyasa...."
Orang-orang terdiam mendengar ucapan
Panglima Ganjar Seta.
"Mungkin benar dugaan Senapati Saka Bawana. Beberapa hari yang lalu, sebelum aku
menguntit ketiga anak buah Ki Reksogeni ini, aku
mendapat keterangan dari seorang dayang di ista-
na," ujar Mei Lie memberi keterangan. "Hubungan
antara Patih Abiyasa dengan Permaisuri Ayu Mustika tetap seperti suami istri.
Apalagi, setelah
mangkatnya Kanjeng Gusti Galih."
"Jadi, siapa Gardawaka yang disebutkan
dalam surat itu, Mei Lie?" tanya Pendekar Gila.
"Kalau aku tak salah dialah yang bernama
Gardawaka!" tuding Mei Lie kepada lelaki berpakaian merah yang terkulai di
tanah. Rupanya, lelaki itu telah ditotok jalan darahnya oleh Senapati
Saka Bawana karena khawatir akan melarikan diri.
Lelaki yang terpekur. Pendekar Gila melangkah mendekati Senapati Saka Bawana dan
membisikkan sesuatu. Senapati Saka Bawana
mengangguk-anggukkan kepala.
"Hei, bangun!" bentak Senapati Saka Bawana setelah menotok tubuh lelaki
berpakaian merah. "Benarkah kau bernama Gardawaka?"
Lelaki berpakaian merah menggeliat bangun. Ia mengangguk mengakui.
"Ampunkan saya, Kanjeng Senapati."
"Hm. Sekarang bawa surat ini. Sampaikan
kepada Ki Reksogeni. Pakailah kuda itu dan cepat
berangkat!" perintah Senapati Saka Bawana penuh
wibawa. Lelaki berpakaian merah yang ternyata bernama Gardawaka melangkah gontai
mendekati kuda salah seorang prajurit. Kuda itu segera berlari meninggalkan mereka dengan
membawa Gardawaka.
6 Dua sosok bayangan berkelebat melintasi
mulut Desa Tingal di bawah cahaya bulan yang
temaram. Setelah melewati jalan utama desa yang
lengang, kedua sosok bayangan itu membelok ke
arah barat. Yang dituju adalah rumah besar yang
terletak di tengah desa. Tampaknya kedua sosok
bayangan itu memiliki ilmu tinggi. Gerakannya begitu ringan dan cepat
Beberapa tombak ke belakang rumah besar
itu terdapat pohon-pohon besar yang dapat digunakan untuk menyelinap. Kedua
sosok itu melentingkan tubuh dan hinggap di atas pohon tanpa
menimbulkan suara sedikit pun.
"Aha, inikah rumah kepala desa itu, Mei
Lie?" Terdengar pertanyaan lirih dari atas pohon.
"Betul, Kakang Sena. Malam ini mereka
akan kedatangan tamu istimewa. Dua puluh orang
narapidana anggota pemberontak yang dua puluh
tahun lalu dijebloskan ke penjara akan dibebaskan. Mereka disembunyikan di rumah
Ki Lurah Brajanala sebelum bergabung dengan pasukan
Lembah Merapi Merbabu." Mei Lie menjelaskan
kepada Pendekar Gila.
"Hebat, hebat! Baru beberapa hari saja kutinggalkan kau dapat mengumpulkan
banyak keterangan penting...," puji Sena cengengesan. "Dari
mana kau dapatkan berita penting ini?"
"Tadi siang, sebelum membekuk tiga orang
begundal Ki Reksogeni, aku sempat berbincang-
bincang dengan dua orang prajurit di sebuah kedai."
"Ssst...!" Sena menutup mulut Mei Lie dengan kedua jarinya. "Kau dengar suara
langkah kaki kuda" Mungkin mereka datang. Mudahmudahan dugaanmu tidak melesat."
Benar. Tak lama kemudian dari arah timur
tampak tiga puluh penunggang kuda menuju rumah besar itu. Gemuruh suara kaki
kuda memecah keheningan malam.
Sampai di depan rumah Ki Lurah Brajanala,
mereka segera turun dan masuk ke rumah. Seorang kakek berusia tujuh puluh
tahunan menyambut kedatangan mereka tanpa mengucapkan
kata-kata apa pun. Tak seorang pun yang mengeluarkan ucapan dalam pertemuan itu.
Semua langsung masuk ke rumah besar.
Pendekar Gila yang menyaksikan kejadian
itu hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil
tersenyum. "Rapi sekali cara kerja mereka. Semua rencana dapat berjalan lancar. Semua
sepakat untuk tidak membuka mulut agar tak seorang pun mendengar rahasia mereka," gumam Mei
Lie seraya memperhatikan ruang depan rumah besar yang diterangi beberapa obor dari bambu.
Pendekar Gila terlihat mengerutkan kening
sambil menelengkan kepala. Dia tengah mengerahkan Ilmu Sapta Pangrungu yang
mampu mendengar suara dari jarak jauh.


Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu di dalam rumah Ki Lurah
Brajanala tengah berlangsung pembicaraan antara
Patih Abiyasa yang menyertai para narapidana
dengan Ki Lurah Brajanala.
"Ayah, siang tadi kami menemukan mayat
Sembada dan Gantar tak jauh dari tapal batas kota. Sampai kini kami belum dapat
menduga siapa pelaku pembunuhan itu. Tapi, surat yang sedianya
kami kirimkan kepada Ayah tidak berada di tangan Prajurit Gati. Herannya, Gati
tewas tertusuk pisau yang kuketahui milik Gardawaka," tutur Patih Abiyasa kepada Ki Lurah
Brajanala. Ki Lurah Brajanala mengangguk-angguk
dengan kening berkerut dalam.
"Kita harus lebih waspada, Abiyasa. Menurut berita yang kudengar, murid Singo
Edan telah berada di wilayah kita. Itu pasti tindakan orangorang Saka Bawana," ujar Ki
Lurah Brajanala.
"Jadi, Pendekar Gila...?" Patih Abiyasa terkejut mendengar Pendekar Gila
ternyata masih hidup.
"Tak seorang pun yang mampu menandingi
kelihaian murid Singo Edan. Entahlah kalau Ki
Reksogeni. Usahaku mencipta Pendekar Gila samaran ternyata gagal. Mungkin kalau
waktu itu Singo Edan tidak turun tangan, pemuda itu akan
kubantu dari jauh. Ilmu-ilmu yang kuberikan padanya semua sama dengan yang
dimiliki Singo Edan...," tutur Ki Lurah Brajanala.
Pendekar Gila yang terus menyadap pembicaraan itu tersentak kaget. Baru sekarang
dia tahu siapa yang berada di balik si durjana yang wajahnya mirip dengannya. Sungguh tak
disangka Ki Lurah Brajanala ternyata teman seperguruan Sin-
go Edan, gurunya. Sena jadi teringat cerita Singo
Edan beberapa hari yang lalu. Bahwa, di daerah
ini ada seorang teman gurunya.
"Apa yang kau dengar, Kakang Sena?"
Tanya Mei Lie ketika dilihatnya Sena menggelenggelengkan kepala.
"Ternyata Pangeran Pramudya Wisnutama
berada di tangan mereka. Kini diamankan di suatu
tempat agar tidak berada di istana sampai peralihan kekuasaan terjadi. Ah ah
ah.... Liciknya manusia itu. Memutarbalikkan keadaan dan membuat bingung orang-
orang...," gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Kita harus menyelamatkan Pangeran Pramudya," sahut Mei Lie. "Kalau dia sampai
tewas di tangan mereka, suasana akan semakin kacau.
Apalagi, jika kekuasaan kerajaan jatuh ke tangan
orang seperti Ki Reksogeni."
"Hi hi hi...! Ternyata kau semakin pandai,
Sayang ku," ujar Sena memuji kekasihnya. "Tak
kusangka wanita secantik dirimu memiliki ketajaman pikiran..."
"Kau selalu memujiku jika sedang kebetulan
seperti ini, Kakang Sena," sahut Mei Lie seraya
mencubit perut Sena. Pemuda berompi kulit ular
itu meringis menahan sakit. Cubitan Mei Lie baru
dilepaskan ketika Sena membalas cubitannya.
"Aahh...!" Gadis cantik itu menjerit lirih karena takut terdengar orang-orang di
dalam rumah Ki Lurah Brajanala.
Sena tertawa geli melihat kekasihnya cemberut. "Ah ah ah..., kau makin manis,
Mei," ujar-
nya seraya menjentikkan ibu jari dan jari telunjuknya di depan hidung Mei Lie.
Sempat-sempatnya kedua muda-mudi itu
bersenda gurau, meskipun tengah melakukan
Karma Manusia Sesat 2 Lauw Pang Vs Hang Ie Kejatuhan Dinasti Cin Dan Kebangkitan Dinasti Han Cinta Bernoda Darah 3
^