Pencarian

Penghianat Budiman 1

Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman Bagian 1


1 SUARA kokok ayam dari desa nelayan terden-
gar sampai di pesanggrahan Pantai Rangsang. Kokok
ayam itu bukan sekadar ayam iseng berkokok, tapi ka-
rena sang ayam ingin menyapa salam kepada muncul-
nya mentari di awal fajar.
Penguasa Pantai Rangsang yang dikenal dengan
nama Ratu Sedap Malam, terbangun di awal fajar, ka-
rena suara gaduh yang terjadi di pesanggrahannya.
Pesanggrahan itu bagaikan sebuah istana kecil yang
mempunyai bangunan-bangunan bagai suatu perkam-
pungan. Ruang lingkupnya yang sempit, membuat ke-
gaduhan mudah terdengar sampai ke dalam ruang ti-
dur sang Ratu. Seorang pengawal dipanggil agar mendekati
sang Ratu yang menongolkan kepala dari balik pintu.
Tentu saja si gadis yang bertugas sebagai pengawal
pribadi Ratu Sedap Malam itu segera bergegas mene-
mui atasannya. "Muryana, kegaduhan apa yang terjadi sepagi
ini"!" Muryana, si pengawal pribadi, menjawab dengan suara tegas.
"Bintari bunuh diri, Gusti!" "Bintari..."!" sang Ratu terperanjat.
"Benar. Dia bunuh diri di dalam kamar tempat
ia di penjara, Gusti Ratu!"
Sang Ratu yang cantik dan bertubuh seksi ber-
gegas kenakan jubah jingganya, kemudian memeriksa
ke kamar tempat Bintari dipenjara. Ternyata apa yang
di katakan Muryana memang benar. Bintari bunuh diri
dengan membenturkan kepalanya sekeras-kerasnya
pada dinding kamar. Tak perlu diceritakan bagaimana
bentuk kepala yang remuk itu, jelasnya, Bintari akhir-
nya tewas sebelum sempat sampaikan sesuatu kepada
sang Ratu. "Guss... ti... ad... ada...," lalu nyawanya pun amblas tak berbekas.
Bintari adalah seorang mata-mata yang bekerja
untuk Raja Amuk Jagal. Tokoh aliran hitam yang ter-
singkir ke Pulau Kucil itu bermaksud menyingkirkan
Ratu Sedap Malam untuk kuasai wilayah Pantai Rang-
sang. Bintari tertangkap dan diketahui sebagai mata-
mata Raja Amuk Jagal ketika utusan Raja Amuk Jagal
yang bertugas membuat kacau suasana Pantai Rang-
sang itu tertangkap. Si Dewa Pancung, yang telah ber-
hasil memenggal beberapa kepala anak buah Ratu Se-
dap Malam, dan kepala mereka dipajang di sepanjang
Pantai Rangsang, telah memberi tahukan secara tak
langsung bahwa Bintari adalah mata-mata untuk pi-
hak Raja Amuk Jagal. Akhirnya, Bintari ditangkap un-
tuk dipidana alias dihukum, namun bukan hukuman
mati. Sedangkan si Dewa Pancung sendiri tewas di
tangan kepala Suku Ampar, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Geger Pantai Rangsang").
Tetapi sebelum sang Ratu memutuskan masa
hukuman bagi Bintari, rupanya gadis itu tak mau di-
korek keterangannya tentang kekuatan pihak Raja
Amuk Jagal, atau karena alasan tak kuat menahan ra-
sa malu terhadap pihak Ratu Sedap Malam, maka ia
lakukan mati cepat alias bunuh diri. Dengan begitu,
pihak Ratu Sedap Malam tak bisa mendapatkan kete-
rangan yang di butuhkan tentang Raja Amuk Jagal.
Pada saat Itu, para tamu sang Ratu masih be-
rada di pesanggrahan. Para tamu itu antara lain: Nyai
Sangkal Putung, Si Lahar Jalanan alias Ki Sela Giri,
juga seorang gadis murid si Mulut Guntur yang ber-
nama Kirana, dan Pendekar Kembar sulung yang di-
kenal dengan nama Raka Pura. Para tamu itu juga ter-
kejut mendengar kabar Bintari lakukan bunuh diri.
Tetapi ketika Raka Pura memeriksa keadaan
mayat Bintari, ia menjadi tertegun dan mempunyai re-
nungan sendiri. Batinnya berkecamuk dalam kebisuan
mulutnya. Pemuda tampan itu segera menyendiri, wa-
lau bukan berarti jauh dari mereka yang berkumpul di
bangsal paseban. Sesekali memang si pemuda tampan
itu menanggapi pembicaraan siapa saja, termasuk un-
gkapan rasa penyesalan Kirana terhadap tindakan
yang dilakukan oleh Bintari. Tapi pemuda berbaju
buntung warna putih seperti warna celananya itu un-
gkapan rasa sendiri yang belum berani dibeberkan di
depan siapa saja.
"Mengapa kau tampak murung sekali, Raka"
Kau merasa kehilangan pujaan hati?" pancing Kirana yang sebenarnya sudah tahu,
tak mungkin Raka Pura
merasa kehilangan seorang kekasih atas kematian Bin-
tari. Gadis itu tahu, bahwa hati Raka Pura lebih terpikat padanya ketimbang
kepada Bintari. Sebab hubun-
gannya selama ini berjalan dengan baik-baik saja.
Bahkan Raka sesekali menampakkan kemesraannya
yang melambungkan jiwa Kirana.
"Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku setelah
kulihat mayat Bintari."
Kirana berkerut dahi. "Apa maksudmu?"
"Ada yang janggal dari kematian itu."
"Maksudmu, kepala Bintari hancur adalah sua-
tu kejanggalan" Ah, kau ini terlalu berlebihan jika
memikirkan sesuatu, Raka. Bintari tak punya cara lain
untuk bunuh diri kecuali dengan cara membenturkan
kepalanya ke dinding."
"Kurasa dia bukan bunuh diri. Tapi ada seseo-
rang yang membunuhnya."
Kirana terkesip. Bicaranya semakin pelan, ta-
kut didengar orang lain.
"Hati-hati bicaramu. Khayalan mu bisa mem-
buat Nyai Ratu menjadi lebih tegang lagi," bisik Kirana.
"Ini bukan khayalan, tapi dugaan yang punya
alasan, Kirana."
"Apa alasanmu menduga begitu?"
"Rahang mayat Bintari tampak membiru, seper-
ti bekas pukulan atau tendangan," bisik Raka Pura makin pelan, membuat Kirana
semakin tegang.
"Coba perhatikan lagi mayat itu. Perhatikan pa-
da rahangnya, Kirana!"
"Aku... aku tadi tak sempat memperhatikan ra-
hangnya." "Kurasa ada seseorang yang sengaja membu-
nuhnya! Entah siapa orangnya."
"Kalau begitu perlu dibicarakan dengan Nyai
Ratu!" bisikan Kirana tetap bernada tegang.
"Aku tak berani bicara, karena takut membuat
suasana menjadi keruh kembali."
"Aku yang akan bicara pada Nyai Ratu!" tegas Kirana, si gadis berlesung pipit
dan bergigi gingsul itu.
Kirana pun akhirnya bicara kepada Ratu Sedap
Malam. Pembicaraan itu semula ingin dilakukan seca-
ra empat mata, tapi Kirana takut menyinggung tamu-
tamu lainnya. Akhirnya para tamu dan beberapa pen-
gawal Ratu Sedap Malam pun mendengar apa yang di-
katakan Kirana.
"Aku juga melihat luka memar di rahang mayat
Bintari," sahut si Lahar Jalanan yang berusia sekitar tujuh puluh tahun itu.
"Aku sependapat dengan Raka Pura, bahwa ada seseorang yang sengaja membunuh
Bintari." "Apa maksud orang itu membunuh Bintari?" uji Nyai Sangkal Putung yang agak
sangsi dengan pendapat tersebut.
"Mungkin orang itu tak ingin Bintari membe-
berkan beberapa rahasia di depan kita. Terutama ra-
hasia tentang kekuatan Raja Amuk Jagal!"
"Tepat sekali, Paman!" sahut Raka Pura. "Aku pun mempunyai pendapat seperti itu.
Bintari tertangkap atau tidak tertangkap, Raja Amuk Jagal tetap
akan menyerang Pantai Rangsang. Tentu saja ia mem-
punyai beberapa rahasia, termasuk rahasia kekuatan
handalnya atau rahasia siasatnya! Orang yang mem-
bunuh Bintari tak ingin rahasia itu kita dengar pada
saat Bintari diadili. Maka satu-satunya jalan untuk
menjaga agar rahasia itu tidak bocor, Bintari harus dibunuh!"
"Kalau begitu di sini masih ada mata-matanya
si Amuk Jagal"!" ujar Nyai Sangkal Putung menyim-
pulkan kata-kata Pendekar Kembar sulung.
"Kurasa memang begitu, Nyai," jawab Raka Pu-
ra tanpa ragu-ragu lagi. Ratu Sedap Malam tertegun
mendengar percakapan tersebut. Hatinya berdebar-
debar dalam kesedihan.
"Tak kusangka pengikut ku banyak yang men-
jadi seorang pengkhianat. Apa salahku sehingga mere-
ka tega mengkhianatiku?" ujar sang Ratu seperti bicara pada diri sendiri. Nada
duka yang terucap dari mu-
lut sang Ratu membuat para tamu yang mendengarnya
menjadi terharu sekali. Mereka memendam keharuan
itu dengan mulut terbungkam dan membiarkan sang
Ratu mencurahkan keluhan hati.
"Kurasa selama ini aku selalu bersikap baik ke-
pada mereka. Mereka bukan kuanggap sebagai pega-
wai ku, tapi kuanggap sebagai muridku sendiri, bah-
kan lebih dari itu, kadang aku merasa mereka itu sau-
daraku, mengingat aku hidup tanpa seorang saudara
pun...." Wajah cantik Ratu Sedap Malam diselimuti mendung kedukaan yang kian
menebal. Pada saat-saat
seperti itu, Ratu Sedap Malam yang bernama asli Wu-
landani mulai teringat akan nasibnya yang hidup tan-
pa sanak saudara.
Wulandani dilahirkan dalam istana sebuah ke-
rajaan yang bernama Purwanagari. Tetapi sejak bayi ia
dibuang oleh ayahnya, karena dianggap anak haram,
hasil hubungan gelap sang permaisuri dengan pemuda
lain, ia dibuang di Pantai Rangsang yang masih men-
jadi wilayah kekuasaan Kerajaan Purwanagari. Ia di-
asuh oleh seorang inang yang amat setia kepadanya,
sampai akhirnya sang inang pun meninggal ketika Wu-
landani berusia empat belas tahun.
Ia pun berpindah asuhan ke tangan Resi Bala-
suma dan menjadi murid sang Resi. Sedangkan kera-
jaan milik ayahnya itu kini telah dihancurkan oleh pi-
hak musuh dan dikuasainya. Seluruh keluarga istana
tewas dalam pertempuran tersebut. Resi Balasuma
sendiri kini telah tewas. Praktis hidup Wulandani men-
jadi sebatang kara. Satu-satunya guru yang masih ser-
ing mendengar keluh kesahnya adalah Nyai Sangkal
Putung. Sekalipun Ratu Sedap Malam hanya perdalam
ilmu pengobatan kepada Nyai Sangkal Putung dalam
waktu beberapa bulan saja, namun hubungan Itu sela-
lu dijaganya agar tetap baik, mengingat ia butuh seo-
rang yang dapat dijadikan pengganti guru sekaligus
orang tuanya. Dalam usia tiga puluh lima tahun, Wulandani
sudah berhasil mendirikan sebuah pesanggrahan yang
menyerupai istana kecil itu. Ia menobatkan dirinya se-
bagai Ratu di Pantai Rangsang, karena merasa Pantai
Rangsang adalah wilayah kekuasaan ayahnya; Raja
Purwanagari. Dengan menobatkan diri sebagai Ratu,
pihak musuh lama Kerajaan Purwanagari tidak bisa
semena-mena menguasai wilayah Pantai Rangsang.
Selama ini Ratu Sedap Malam selalu menjalin
hubungan baik dengan tokoh-tokoh persilatan, seperti
Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan dan yang lainnya.
Bahkan ia juga bersahabat baik dengan Nyai Rempah
Arum serta si Mulut Guntur, gurunya Kirana. Hubun-
gan baik itu membuat mereka tak rela jika ketenangan
pesanggrahan Pantai Rangsang diusik oleh pihak lain,
sehingga Nyai Sangkal Putung dan muridnya; si Mata
Bidadari, juga Lahar Jalanan yang kebetulan waktu itu
berkenalan dengan Pendekar Kembar, merasa perlu
mendampingi Ratu Sedap Malam untuk beberapa saat,
karena ada kabar dari si Mata Bidadari bahwa pe-
sanggrahan Pantai Rangsang akan diserang oleh Raja
Amuk Jagal. Tentu saja jiwa Ratu Sedap Malam terpukul se-
kali atas munculnya mata-mata di antara para murid
dan pengawalnya. Sekalipun demikian, Ratu Sedap
Malam tidak bermaksud menjatuhkan hukuman mati
untuk Bintari. Sebenarnya ia hanya ingin membuat
Bintari sadar dan melepaskan 'obyek sampingannya'
sebagai mata-mata Raja Amuk Jagal. Tapi ternyata ga-
dis itu telah tewas dengan kesan bunuh diri.
Setelah mendengar penuturan Raka Pura dan
Kirana, sang Ratu pun ingat saat Bintari belum meng-
hembuskan napas terakhirnya. Mata-mata cantik itu
ingin sampaikan sesuatu padanya, namun sang nyawa
keburu pergi tinggalkan raga selama-lamanya.
"Gus... ti... ad... ada...," itulah kalimat yang terngiang di telinga Ratu Sedap
Malam ketika memeriksa keadaan Bintari. Kalimat itu pun ditirukan kem-
bali di depan para tamunya, sehingga Raka Pura, si
Pendekar Kembar sulung, segera angkat bicara me-
nyimpulkannya. "Barangkali maksud Bintari saat itu ingin men-
gatakan: 'Gusti, ada mata-mata lain yang perlu segera
di cari dan ditangkap'. Kira-kira begitulah yang ingin di sampaikan oleh
Bintari, Nyai Ratu!"
Ratu Sedap Malam diam sesaat, hatinya mem-
benarkan kesimpulan Pendekar Kembar sulung. Tapi
ia pun tak tahu, siapa mata-mata lain yang ada di da-
lam pesanggrahannya itu. Hanya saja, setelah ia diam
beberapa saat, ia bangkit dari tempat duduknya dan
melangkah dengan mata menerawang.
"Lebih dari setahun yang lalu Bintari kutemu-
kan terdampar di pantai sebelah barat. Ia mengaku se-
bagai penumpang kapal dari Selat Seberang yang ter-
kena musibah. Kapal itu dirampas oleh para peram-
pok, penumpangnya dibantai. Hanya dia dan Trimira
yang selamat. Kemudian kami menolong mereka, dan
selanjutnya kuanggap sebagai orangku sendiri. Selama
ini Bintari dan Trimira selalu menunjukkan sikap baik


Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padaku, patuh dan penuh pengabdian, sehingga aku
sering terkesan oleh sikap mereka itu."
Lahar Jalanan segera menyahut, "Sebagai apa
Trimira di sini?"
"Karena ternyata Trimira mempunyai ilmu lebih
tinggi dari Bintari, maka ia ku tempatkan sebagai pen-
gawal depan. Ia selalu berhasil menyingkirkan para
tamu yang bermaksud tidak baik pada kami, Paman."
"Apakah kau pernah melihat gelagat yang tak
beres pada diri Trimira?" tanya Nyai Sangka! Putung.
"Tidak, Nyai Guru! Seperti kataku tadi, Trimira
dan Bintari selalu tunjukkan sikap baik di depanku,
dan aku tak pernah mendapat pengaduan dari rekan-
rekannya tentang hal-hal yang tidak beres dari mereka.
Jadi aku sama sekali tak menduga kalau Bintari ter-
nyata mata-matanya Raja Amuk Jagal."
"Dari mana dia bisa berhubungan dengan pihak
Pulau Kucil itu"!" tanya Lahar Jalanan, yang sepertinya juga ditujukan untuk
dirinya sendiri.
"Barangkali ketika dia dan beberapa orang kuu-
tus untuk mengejar si pencuri pusaka dari pulau ke
pulau itulah ia sempat bertemu dengan Raja Amuk
Jagal. Karena menurut pengakuan Bintari, mereka ju-
ga sempat singgah ke Pulau Kucil mencari si pencuri
pusakaku itu."
"Apakah pencuri pusaka itu sudah tertangkap?"
sela Pendekar Kembar sulung.
"Ya. Kami sudah berhasil dapatkan pusaka itu
kembali. Ternyata pencurinya orang Tanah Keramat
yang bernama Panji Doyok."
Hati si pemuda tampan itu sedikit tersentak
kaget, karena ia juga mengenal nama Panji Doyok. Ia
jadi tak enak hati, walau tak mengatakan bahwa ia
kenal dengan keluarga Panji Doyok, termasuk Nyai
Gantari dan si Bunga Dewi; nenek dan adik Panji
Doyok itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Korban Kitab Leluhur).
"Peristiwa itu terjadi sekitar empat bulan yang
lalu," tambah Ratu Sedap Malam.
Nyai Sangkal Putung segera berkata, "Supaya
tak menjadi berlarut-larut, sebaiknya periksalah se-
mua orang-orang tanpa kecuali, termasuk si juru ma-
sak itu." Kirana menimpali, "Kurasa itu langkah yang
terbaik, Nyai Ratu! Aku sependapat dengan Nyai Sang-
kal Putung! Periksa semua orang pesanggrahan seka-
rang juga, sebelum mata-mata itu akhirnya melarikan
diri atau memakan korban lain."
Ratu Sedap Malam menatap Raka Pura. Pemu-
da itu manggut-manggut kecil, pertanda mendukung
pendapat Kirana. Kemudian mata sang Ratu pun meli-
rik ke arah Lahar Jalanan. Pak Tua berbaju hijau cela-
na coklat yang tak pernah lepas dari tudung kepalanya
itu segera mengendurkan tali tudung, karena tudung
itu dalam keadaan digantungkan ke punggung.
"Lakukan saja saran itu. Tak ada salahnya kita
mencegah bahaya sedini mungkin," ujar si Lahar Jalanan. Ratu Sedap Malam segera
keluarkan perintah
kepada Muryana yang sejak tadi berdiri jauh di bela-
kang sang Ratu, menjaga keamanan ratu cantik itu.
"Kumpulkan semua orang di halaman samp-
ing!" "Baik, Gusti." Muryana pun bergegas pergi, sementara yang tinggal di
paseban sebagai pengawal pri-
badi sang Ratu adalah gadis bertubuh sintal dengan
mengenakan baju buntung warna coklat tanah dan ce-
lana ketatnya yang juga berwarna coklat tanah. Ia ada-
lah wakil Muryana yang bertugas menyelamatkan
nyawa Ratu jika sewaktu-waktu terjadi bahaya.
Gadis itu bernama Umbari. Pendekar Kembar
sulung dan para tamu lainnya mengetahui nama itu
lantaran si gadis segera menghadap sang Ratu dan
namanya disebutkan oleh sang Ratu.
"Ada apa, Umbari"!" sambil sang Ratu kerutkan dahinya pertanda heran melihat
Umbari tahu-tahu
menghadap dan memberi hormat. Badannya sedikit
dibungkukkan, kepala ditundukkan, kedua tangan sal-
ing genggam menjadi satu di dada.
"Gusti Ratu, saya mohon ampun, Gusti Ratu!"
"Kenapa kau mohon ampun"! Apa maksudmu,
Umbari!" "Kematian Bintari memang bukan karena bu-
nuh diri! Sayalah yang membunuhnya, Gusti Ratu!"
Bagai petir menyambar tengkuk, Raka Pura ter-
sentak kaget bersama para tamu lainnya, termasuk
sang Ratu sendiri. Pengakuan tegas itu dilontarkan
oleh Umbari dengan suara jelas, seakan menendang
jantung siapa pun yang mendengarnya. Kirana pun
segera bergegas ke belakang Umbari dengan wajah pe-
nuh curiga. Umbari justru jatuh berlutut dan semakin tun-
dukkan kepala. "Umbari, apakah kau sadar dengan bicaramu"!"
ujar sang Ratu seperti tak percaya dengan pendenga-
rannya. "Saya sadar, Gusti Ratu! Memang saya yang membunuh Bintari. Kebetulan
semalam saya meng-gantikan tugas Wujati menjaga kamar tahanan Bintari.
Saya masuk dan menghantamnya dua kali hingga ke-
pala Bintari membentur dinding."
"Edan!" gumam Nyai Sangkal Putung yang tam-
pak mulai gusar.
Pengakuan itu dilontarkan dengan polos, dan
sepertinya Umbari siap hadapi hukuman apa pun yang
bakal dijatuhkan oleh sang Ratu. Raka Pura meman-
dang gadis itu tak berkedip, karena merasa salut meli-
hat keberanian Umbari yang melontarkan pengakuan-
nya di depan Ratu dan para tamunya.
"Jika benar kau yang membunuh Bintari, men-
gapa hal itu kau lakukan, Umbari"!" tanya sang Ratu, dan para tamu pun menunggu
jawaban dari Umbari
dengan hati berdebar-debar. Bahkan Kirana tampak
mulai tegang, sepertinya memendam kegeraman dan
memendam hasrat untuk menghajar Umbari.
* * * 2 RUPANYA Umbari mendengar percakapan sang
Ratu dan para tamunya sejak tadi. Apa yang di den-
garnya secara samar-samar itu mendorong hatinya un-
tuk mengakui perbuatannya. Tentu saja Umbari mem-
punyai alasan tersendiri dan sudah siap hadapi risiko
apa pun. Gadis berambut pirang yang panjangnya seba-
hu dan menyandang pedang di punggung itu tetap
tundukkan kepala dl depan ratunya. Sesekali ia men-
gangkat kepala jika sedang menjawab pertanyaan sang
Ratu. Wajah cantiknya yang berhidung bangir dengan
bibir mungil itu tidak menampakkan rasa takut sedikit
pun. Bahkan ia kelihatan tenang saat menjelaskan
alasannya kepada sang Ratu.
"Bintari mata-mata Raja Amuk Jagal, jadi harus
dibunuh! Ia tak layak untuk hidup di dalam pe-
sanggrahan ini, Gusti Ratu!"
"Tapi itu wewenangku, Umbari! Menjatuhkan
hukuman mati atau tidak, itu bukan wewenang mu!"
"Ampun, Gusti! Jika Bintari tidak dibunuh, se-
kalipun sudah mendapat pengampunan, maka ia akan
kembali berpihak kepada Raja Amuk Jagal, Gusti!"
"Dari mana kau tahu"!"
"Saya adalah orang paling dekat dengannya!"
"Itu bukan alasan, Umbari! Kurasa kau hanya
takut kalau Bintari beberkan rahasia yang dimilikinya, terutama rahasia yang ada
pada Raja Amuk Jagal!"
pancing sang Ratu dengan tuduhan langsung. "Kau
pasti mata-mata mereka, Umbari! Akuilah itu!"
"Benar, Gusti!"
Para tamu tersentak bersama. Pengakuan itu
terucap dengan jelas dan tegas, dengan wajah terang-
kat menatap sang Ratu. Pengakuan itu justru mem-
buat Ratu Sedap Malam mundur selangkah. Kirana
tampak semakin menggeram, kedua tangannya sudah
menggenggam kuat-kuat. Tapi ketika ia melirik Raka
Pura, si Pendekar Kembar sulung memberi isyarat
dengan kedipan mata dan gerakan tangan halus agar
Kirana jangan bertindak apa pun. Akhirnya Kirana
hanya tarik napas dalam-dalam.
"Tak kusangka kau tega mengkhianatiku, Um-
bari!" ujar sang Ratu bernada sedih.
"Gusti Ratu, Bintari dan saya menjadi mata-
mata pihak Pulau Kucil sejak tiga bulan yang lalu, se-
pulangnya Bintari dari mengejar pencuri pusaka itu.
Tetapi saya belum pernah lakukan sesuatu yang bersi-
fat mengkhianati pesanggrahan," ujar Umbari dengan tegas. "Jelaskan maksudmu,
Umbari!" "Bintari berkenalan dengan seorang pemuda
dari Pulau Kucil yang bernama Laksamada! Tujuh hari
setelah Bintari pulang dari mengejar pencuri pusaka
itu. Laksamada datang ke Pantai Rangsang bersa-
ma sahabatnya yang bernama Runggana. Kebetulan
pada waktu itu, Bintari mengajak saya untuk berjalan-
jalan dl pantai, ternyata ia bermaksud perkenalkan si
Laksamada dan Runggana kepada saya."
Sampai di situ, Umbari hentikan ucapannya
sebentar. Ia melirik ke arah Raka Pura. Entah apa
maksudnya, tapi setelah itu ia berkata lagi dengan na-
da ragu-ragu. "Runggana mempunyai wajah dan potongan tu-
buh seperti Raka Pura. Ia tampan dan menarik hari."
"Kalau begitu, Raka Pura juga tampan dan me-
narik hati"!" sela Nyai Sangkal Putung. Umbari tundukkan kepala, menggigit
bibirnya, tak berani menja-
wab pertanyaan itu. Sementara Kirana menjadi berang,
namun keberangannya tetap hanya bisa ditahan dalam
hati. Raka Pura sunggingkan senyum dikulum sambil
buang muka sebentar.
"Lanjutkan penjelasan mu tadi, Umbari!" perin-
tah sang Ratu. "Terus terang, saya sempat terpikat dengan
Runggana yang bertutur kata lembut dan mengesan-
kan itu. Sedangkan Bintari terpikat kepada Laksama-
da. Kami berdua sering lakukan pertemuan secara
sembunyi-sembunyi dengan kedua pemuda tersebut.
Bintari melangkah terlalu jauh, sementara saya masih
jaga jarak dengan Runggana."
Ratu Sedap Malam manggut-manggut sambil
tetap pandangi wajah Umbari. Yang lain pun menatap
Umbari dengan mulut terbungkam. Seakan mereka
menyimak betul apa yang dituturkan oleh Umbari.
"Kedua pemuda itulah yang membujuk kami
untuk memihak Raja Amuk Jagal. Mereka mengha-
rapkan agar kami mau menjadi mata-mata Raja Amuk
Jagal untuk yang selalu memberi kabar tentang kele-
mahan-kelemahan Gusti Ratu dan orang-orang pe-
sanggrahan ini. Secara empat mata dengan Bintari,
saya menolak tawaran itu. Tapi Bintari mendesak saya
terus agar mau sepakat dengannya."
"Mengapa akhirnya Bintari mau menjadi mata-
mata?" "Karena Bintari selalu ingin mendapatkan kepuasan dari Laksamada, yang
menurutnya pandai
memuaskan gairahnya. Padahal Bintari sendiri juga
naksir Prapanca...."
"Adiknya muridku itu"!" sahut Nyai Sangkal
Putung. "Benar, Nyai!" jawab Umbari. "Tapi Prapanca tak pernah mau memberikan
kepuasan kepada Bintari!
Akhirnya Bintari nekat menjadi mata-mata pihak Pu-
lau Kucil agar selalu dapatkan kepuasan dari Laksa-
mada." "Mengapa kau tidak katakan hal itu padaku?"
tanya sang Ratu.
"Tentunya Bintari akan menyuruh Laksamada
dan Runggana untuk membunuh saya jika sampai hal
itu saya sampaikan kepada Ratu. Sejujurnya saja, se-
jak saat itu saya jadi tidak tertarik lagi dengan Runggana. Tapi saya harus
berlagak tetap tertarik, dan
bahkan saya berpura-pura mendukung tindakan Bin-
tari, menjadi mata-matanya pihak mereka. Dengan be-
gitu, seluruh rencana dan rahasia yang dimiliki Raja
Amuk Jagal dapat saya ketahui juga."
Lahar Jalanan manggut-manggut, pertanda
memahami apa yang dituturkan oleh Umbari. Nyai
Sangkal Putung pun tampak menyimak baik-baik tiap
ucapan gadis itu. Raka Pura diam-diam bergeser hing-
ga ia berada di dekat Kirana.
"Tapi saya tak menyangka kalau Raja Amuk
Jagal kirimkan si Dewa Pancung untuk lakukan keke-
jaman seperti yang sudah kita lihat itu. Saya pun ma-
sih sering melihat Laksamada berkeliaran di sekitar
pesanggrahan kita, menjaga keselamatan Bintari dan
saya. Sebab dalam perjanjian itu, Bintari minta perlindungan sepenuhnya oleh
Laksamada, dan Laksamada
menyanggupinya. Runggana sendiri menyanggupi akan
selamatkan nyawa saya jika sewaktu-waktu saya te-
rancam. Tapi kesanggupan itu tidak saya hiraukan."
"Lalu, mengapa kau bunuh Bintari?"
"Bagaimanapun juga, ia tetap akan menjadi du-
ri dalam tubuh kita, Gusti Ratu! Selama ia masih in-
ginkan kehangatan asmara Laksamada, maka ia tetap
akan berbakti kepada Laksamada. Apa yang diperin-
tahkan pemuda itu akan dituruti oleh Bintari. Hanya
satu yang tidak berani dilakukan oleh Bintari, yaitu
membunuh Gusti Ratu sendiri! Namun sekalipun de-
mikian, saya selalu waspada terhadap segala gerak-


Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerik Bintari. Jika sampai ia mulai punya keberanian
untuk membunuh Gusti Ratu, maka sayalah orang
pertama yang akan tewas dibunuhnya!"
Hati sang Ratu tersiram keharuan mendengar
pengakuan itu. Namun keharuan itu tetap saja dipen-
dam dalam hatinya dan dijaga agar tak terlihat oleh
Umbari. "Untuk menghilangkan duri dalam tubuh kita,
Bintari harus dibunuh! Dengan begitu, tak ada lagi
mata-mata di pihak kita yang selalu membocorkan be-
berapa rahasia penting kepada pihak Raja Amuk Jagal.
Dengan terbunuhnya Bintari, saya bebas bicarakan
beberapa rahasia pihak lawan. Ke mana pun saya per-
gi, saya tidak akan merasa terancam oleh orang-orang
Pulau Kucil yang sering kunjungi Pantai Rangsang
dengan berbagai macam penyamaran."
"Apakah kau yakin kalau kematian Bintari ti-
dak tercium oleh Laksamada?"
"Laksamada sudah tahu bahwa yang membuat
Bintari diketahui sebagai mata-mata adalah Dewa
Pancung." "Kapan dia mengetahuinya?"
"Pada saat orang-orang Suku Ampar melabrak
kita, lalu kepala sukunya memenggal Dewa Pancung,
saya melihat Laksamada bersembunyi di atas pohon.
Dengan begitu dia tahu, Bintari tertangkap bukan ka-
rena saya, tapi karena Dewa Pancung."
"Hmmm...," Nyai Sangkal Putung perdengarkan
gumamnya sambil angguk-anggukkan kepala. "Kalau
begitu, sekarang Laksamada masih ada di sekitar si-
ni?" "Dia memang mempunyai tempat di sekitar
Pantai Rangsang, Nyai! Enam bulan yang lalu dia iba-
rat ditanam oleh Raja Amuk Jagal dl salah satu tempat
sekitar Pantai Rangsang."
"Kau tahu tempatnya?" tanya Raka Pura.
"Ya, aku tahu!" jawab Umbari sambil sedikit
menengok ke belakang, karena Raka Pura ada di bela-
kangnya. "Kau bisa tunjukkan padaku di mana tempat
tinggal si Laksamada itu?"
"Bisa!" jawab Umbari tegas menyatakan ke-
sanggupannya. "Tunggu dulu," sergah si Lahar Jalanan. "Umbari, kesimpulanku mengatakan bahwa
kau sebenar- nya masih setia pada ratumu ini! Justru kau menjadi
mata-matanya pihak pesanggrahan ini! Tentunya kau
banyak mengetahui rahasia di pihak lawan. Apakah
kau bisa jelaskan rahasia apa yang kau ketahui ten-
tang rencana penyerangan si Raja Amuk Jagal itu?"
"Berdirilah, bicara dengan bebas!" sela sang Ra-tu yang merasa kasihan melihat
Umbari berlutut terus.
Maka Umbari pun berdiri dengan sikapnya yang tetap
menghormat. "Laksamada dan Runggana yakin, pesanggra-
han Pantai Rangsang akan berhasil direbut oleh Raja
Amuk Jagal. Sudah lama Raja Amuk Jagal mengincar
tempat ini. Karena menurutnya, tempat ini menyimpan
sesuatu yang amat berharga."
"Apa yang dimaksud sesuatu yang amat ber-
harga itu"!"
"Laksamada tidak katakan. Tapi Runggana
pernah ceritakan pada saya, bahwa beberapa tahun
yang silam, ketika pantai ini belum ditempati dan ma-
sih perawan, sebuah kapal bajak laut singgah kemari
dan menanam harta karun di sini! Ketua bajak laut itu
berjuluk si Naga Barong!"
"Hmmm... cerita itu adalah sebuah dongeng.
Ayah ku pernah ceritakan hal itu ketika aku masih be-
rusia empat-lima tahun," ujar Nyai Sangkal Putung.
Umbari berkata lagi, "Naga Barong adalah ka-
kek buyutnya Raja Amuk Jagal. Menurutnya, harta
karun itu sampai sekarang masih terpendam di salah
satu tempat di wilayah Pantai Rangsang. Tapi entah di
sebelah mana. Raja Amuk Jagal ingin mencari harta
karun itu. Tentunya jika Pantai Rangsang masih diku-
asai oleh Gusti Ratu, maka ia tak akan bebas mencari
harta karun tersebut. Karenanya, ia perlu menyingkir-
kan Gusti Ratu dan mengambil alih kekuasaan di Pan-
tai Rangsang ini!"
Semua orang saling beradu pandang ketika
Umbari diam sesaat, suasana hening sebentar. Raka
Pura pun menatap Kirana, dan Kirana balas meman-
dang sambil perdengarkan bisikannya kepada Raka.
"Percayakah kau pada kisah itu?"
Raka Pura sentakkan kedua pundak. "Kita lihat
saja kelanjutannya!"
Nyai Sangkal Putung berkata kepada Lahar Ja-
lanan. "Cerita itu hanya isapan jempol yang dipercaya oleh si Amuk Jagal!"
"Belum tentu!" ujar Lahar Jalanan. "Bagi kita mungkin cerita tersebut memang
layak dianggap sebagai isapan jempol. Tapi bagi keturunan si Naga Barong,
mungkin bukan sebagai isapan jempol, melainkan sebagai kenyataan!"
"Maksud Paman...," ujar sang Ratu. "Amuk Jagal mendapatkan keterangan yang
sangat bisa dipercaya, sehingga ia nekat ingin memburu harta karun
itu?" "Kira-kira begitulah yang dialami si Raja Amuk Jagal! Sebab kalau tidak,
mengapa ia harus repot-repot merebut wilayah mu ini, Nyai Ratu" Mengapa ia tidak
merebut wilayah Lembah Gerhana yang dulu adalah
wilayahnya sendiri" Memang Lembah Gerhana sudah
dikuasai oleh pihak Ratu Rias Rindu. Tapi bukankah
sekarang Ratu Rias Rindu sudah dikabarkan tewas di
tangan Dewa Perintang"! Tentunya si Raja Amuk Jagal
punya kesempatan untuk kuasai Lembah Gerhana
kembali"!"
"Raja Amuk Jagal bukan orang tuli, Sela Giri!"
ujar Nyai Sangkal Putung. "Tentunya Raja Amuk Jagal tahu bahwa saat sebelum Ratu
Rias Rindu mengejar
pusakanya yang bernama Pedang Bulan Madu dan ak-
hirnya tewas di tangan Dewa Perintang, ia sudah me-
nebarkan racun di seluruh Lembah Gerhana. Racun
itu menyatu dengan tanah dan menyebarkan asap be-
racun, sehingga wilayah itu tak bisa ditempati lagi..
Mana mungkin Raja Amuk Jagal mau kuasai Lembah
Gerhana lagi"!"
Raka Pura diam-diam membatin, "Oooh, jadi
Ratu Rias Rindu akhirnya tewas di tangan Eyang Dewa
Perintang"! Kurasa Soka pun belum tahu hal itu. Ka-
rena terakhir aku dan Soka berhadapan dengan Ratu
Rias Rindu, perempuan itu masih bisa larikan diri wa-
lau sudah terluka dan tetap dikejar oleh Eyang Dewa
Perintang," sambil Raka mengenang peristiwa itu, (Ba-ca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Pemburu Mahkota Dara").
Sang Ratu berkata lagi kepada Umbari, "Jika
benar di sini ada harta karun terpendam, perkiraan
mereka ada di sebelah mana harta karun tersebut"
Apakah kau mendapatkan keterangan itu juga, Umba-
ri?" "Tidak, Ratu! Seperti yang saya katakan tadi.
Raja Amuk Jagal belum tahu di mana persisnya harta
karun itu dipendam. Tapi menurut Runggana, harta
karun itu bernilai tinggi, dapat dipakai membangun
sebuah istana megah dan tak habis dimakan tujuh tu-
runan!" Sang Ratu angguk-anggukkan kepala kembali.
"Laksamada dan Runggana termasuk ditu-
gaskan mencari perkiraan letak harta karun itu, Gus-
ti!" tambah Umbari.
"Baiklah, itu urusan mereka. Aku belum bisa
percaya apa yang dikatakan Runggana kepadamu,
Umbari. Tapi kau tadi menyebutkan bahwa Raja Amuk
Jagal yakin bahwa ia dapat kuasai Pantai Rangsang
ini. Apakah dia mempunyai kekuatan yang melebihi
kekuatan kita?"
"Menurut pengakuan Laksamada terhadap Bin-
tari, dan Bintari ceritakan kepada saya, kekuatan itu
terletak pada diri Raja Amuk Jagal sendiri, Gusti Ratu.
Karena sekarang Raja Amuk Jagal telah perdalam il-
munya dan mempunyai satu senjata pusaka yang da-
pat untuk meleburkan seluruh penghuni pesanggra-
han ini!" "Pusaka apa itu"!" sergah Raka Pura dengan
bernafsu ingin segera mengetahuinya.
"Ia memiliki Sabuk Biang Neraka!"
"Hhah..."!" Lahar Jalanan dan Nyai Sangkal Putung sama-sama tersentak kaget
dengan wajah terpe-
rangah tegang. Rupanya kedua tokoh tua itu tahu per-
sis tentang kehebatan Sabuk Biang Neraka.
"Itu tak mungkin!" bantah Nyai Sangkal Pu-
tung. "Sabuk Biang Neraka adalah milik tokoh dalam dongeng masa lalu, yaitu si
Naga Barong! Aku yakin
semua ini hanya bualan si Amuk Jagal sendiri!"
Lahar Jalanan menyahut, "Jika Amuk Jagal
mengaku sebagai cucu buyut dari si Naga Barong, ma-
ka tentu saja dia memiliki pusaka warisan buyutnya
yang bernama Sabuk Blang Neraka itu! Atau jika me-
mang ia benar-benar memiliki Sabuk Biang Neraka,
maka ia memang benar-benar buyutnya si Naga Ba-
rong!" "Celaka! Tempat ini bisa rata dengan tanah jika benar ia memiliki pusaka
itu!" ujar Nyai Sangkal Pu-
tung sambil menggeram dengan tegang.
* * * 3 BUNGA-BUNGA karang yang tumbuh di sekitar
Pantai Rangsang mempunyai bentuk keindahan ter-
sendiri. Dilihat sepintas, pantai itu memang tampak
cantik dan menarik. Bentuk bebatuan karang yang
bertebaran di sana-sini menyerupai taman laut yang
jarang dimiliki pantai lain. Oleh sebab itulah, pantai tersebut dinamakan Pantai
Rangsang, karena merang-sang seseorang untuk mengagumi keindahan alamnya.
Pantai tersebut juga mempunyai hutan yang
berbukit-bukit. Bahkan bukit karang dengan tebingnya
yang curam pun mempunyai keindahan yang bercam-
pur hanya bisa dipandang dari jarak jauh.
Di sela-sela tebing curam itu, terdapat sebuah
gua tempat Pendekar Kembar bungsu dan si Mata Bi-
dadari diselamatkan oleh Dedengkot Iblis dari anca-
man maut asap beracun milik almarhum Dewa Pan-
cung, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Geger Pantai Rangsang"). Gua itu berhadapan langsung dengan permukaan air laut.
Tidak setiap orang
bisa mencapai gua tersebut, karena kemiringan te-
bingnya dan ketinggiannya dapat mendatangkan ke-
matian bagi orang yang coba-coba mendaki atau me-
nuruni tebing tersebut. Gua
tersebut dapat dicapai dari daratan di atasnya
dengan cara menggunakan jurus peringan tubuh yang
cukup tinggi, demikian pula jika ingin mendaki tebing
tersebut. Karena dinding karang tebing itu mempunyai
ketajaman yang bisa merobek kulit buaya, apalagi kulit manusia.
Namun berkat jurus 'Badai Terbang', Soka Pura
alias si Pendekar Kembar bungsu berhasil membawa
gadis cantik bermata sangat indah itu mendaki tebing
curam yang mengerikan itu. Si Mata Bidadari berterus
terang bahwa ia tak sanggup mendaki medan yang
sangat berbahaya itu. Karena sedikit saja kaki tergelin-cir maka ia akan jatuh
dan menjadi sate di atas beba-
tuan karang runcing.
Tetapi Soka Pura melakukan pendakian itu
dengan menotok si Mata Bidadari lebih dulu. Gadis itu
terkulai lemas karena jalan darahnya terhenti. Kemu-
dian Soka Pura memanggul tubuh si gadis tinggi sekal
itu di pundak kirinya. Wuuuz...! Dengan pergunakan
jurus 'Badai Terbang' yang menyerupai roket melun-
cur, Soka Pura berhasil hinggap di salah satu batu ka-
rang runcing di pertengahan tebing. Sekalipun batu
karang itu seruncing ujung tombak, namun kaki Soka
Pura tidak tertembus keruncingan tersebut, karena il-
mu peringan tubuhnya membuat badannya seringan
kapas. Huup, tab, tab, tab...!
Kejap kemudian si Pendekar Kembar bungsu
berhasil mencapai daratan di atas tebing karang terse-
but. Gadis cantik berbaju buntung warna merah tua
segera direbahkan di atas rerumputan. Soka Pura le-
paskan totokan si Mata Bidadari dengan menyodok
bagian bawah ketiak gadis itu memakai dua jari, seper-
ti paruh seekor burung yang mematuknya. Dees...!
"Setan urap! Lain kali kalau mau menotok ku
bilang-bilang dulu! Jangan main totok seenaknya!"
sentak gadis itu dengan berang, karena Soka tidak
meminta izin lebih dulu ketika ingin menotok dan
membawa si gadis tinggalkan gua tersebut.
"Maaf, aku lupa caranya meminta izin! Kuharap
kau jangan marah, Bidadari ku," sambil senyum Soka yang menawan itu dipamerkan.
Kemarahan gadis itu
pun reda jika melihat senyum si Pendekar Kembar
bungsu. Sekalipun wajah masih cemberut, tapi hati ti-
dak lagi merengut.
"Soka, mengapa kau tak pamit kepada Dedeng-
kot iblis saat mau meninggalkan gua" Aku takut dia
tersinggung dan marah padamu!"
"Seperti kau dengar sendiri kata-katanya kema-
rin, dia bersedia untuk tidak ikut campur urusan kita, tapi kita diminta tinggal
di gua itu sampai bulan purnama tiba. Mau makan apa kita di gua itu" Bayangkan
saja!" "Mungkin dia punya rencana sendiri untuk ki-ta. Entah rencana apa, yang
jelas bukan rencana ja-
hat!" "Memang. Tapi kita punya urusan akan ter-bengkalai! Bayangkan saja, kalau
kita harus tinggal di dalam gua itu bersamanya sampai malam bulan purnama,
sedangkan malam bulan purnama akan terjadi
sekitar dua belas hari lagi. Lantas berapa korban yang akan berjatuhan dipenggal
oleh si Dewa Pancung, karena orang itu masih bebas berkeliaran memburu
mangsanya!"


Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dedengkot Iblis, tokoh berilmu tinggi yang dulu
menjadi penjaga Bambu Gading Mandul dan pernah
dikalahkan oleh Pendekar Kembar, (Baca serial Pende-
kar Kembar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis"), kini memihak kepada
Pendekar Kembar. Hal itu terjadi
akibat Soka Pura dalam siasatnya ketika bertarung
dengan Dedengkot Iblis mengaku sebagai keturunan
Prabawinih. Sedangkan Prabawinih adalah bekas istri
Dedengkot Iblis yang melarikan diri dan menikah den-
gan orang lain karena Dedengkot Iblis menjadi murid
si Raja iblis. Kala itu Dedengkot Iblis yang mantan ksatria dari sebuah negeri
itu belum menggunakan nama
julukannya itu.
Soka Pura tahu tingkat ketinggian ilmu De-
dengkot Iblis dan cukup paham dengan watak tokoh
sakti itu yang liar dan ganas kepada lawannya. Dikha-
watirkan jika Dedengkot Iblis ikut campur urusan So-
ka, maka akan banyak korban yang menjadi salah sa-
saran dari jurus-jurus mautnya si Dedengkot Iblis.
Oleh karenanya, Soka Pura berusaha membu-
juk Dedengkot Iblis agar tak campuri urusannya. De-
dengkot Iblis mau turuti permintaan Soka, tapi ia min-
ta Soka tinggal di gua tersebut sampai bulan purnama
tiba. Ia tak jelaskan apa alasannya meminta Soka ting-
gal di gua karang tersebut, sehingga Soka memilih un-
tuk pergi secara diam-diam dari gua itu dengan mem-
bawa si Mata Bidadari, karena memang dia dan si Ma-
ta Bidadari ditugaskan oleh Lahar Jalanan untuk
memburu si Dewa Pancung. Soka dan si Mata Bidadari
belum tahu bahwa Dewa Pancung sudah tewas di tan-
gan kepala Suku Ampar.
"Kita pulang dulu ke pesanggrahan saja," usul si Mata Bidadari.
"Tidak lanjutkan mencari Dewa Pancung lagi"!"
"Kita sudah tiga hari tinggal di dalam gua itu.
Guru ku pasti ingin tahu kabar kita. Jangan sampai
kita menjadi bahan kegelisahan mereka."
Soka Pura angkat dua pundaknya pertanda ter-
serah kepada putusan si Mata Bidadari. Gadis cantik
berambut keriting lembut sepanjang bahunya itu lang-
kahkan kaki lebih dulu sebagai bukti ketegasan dalam
bersikap. Soka Pura segera mengikutinya.
"Aku tak menyangka akan jumpa dengan tokoh
seangker Dedengkot Iblis itu," ujar si Mata Bidadari.
"Apakah kau masih takut padanya?"
"Sejak awal melihatnya aku tak punya rasa ta-
kut, hawa waswas saja. Tapi setelah tahu dia baik pa-
da kita, rasa waswas itu hilang."
"Beruntung sekali kita bertemu dia. Selain
nyawa kita tak jadi gentayangan, ilmu kita pun ber-
tambah." "Ya, tapi aku tak tahu apakah ilmu pemberian
si Dedengkot Iblis itu tidak dilarang oleh guruku. Jika memang Guru melarangku
memakai ilmu itu, maka
lebih baik ku buang saja ilmu itu. Aku tak berani
membantah ketentuan Guru!"
"Nanti aku yang akan bicara pada Nyai Sangkal
Putung, gurumu! Aku akan berusaha meyakinkan pa-
da gurumu bahwa ilmu itu bukan ilmu hitam. Hitam
dan putih, tergantung pemiliknya. Jika dipakai untuk
kejahatan, maka ilmu yang putih apa pun akan men-
jadi hitam. Demikian pula sebaliknya, jika kita pakai
untuk kebaikan, maka ilmu itu tetap putih."
"Memang benar apa katamu. Tapi kadang gu-
ruku perasaannya terlalu peka. Beliau bisa saja mera-
sa tersinggung jika aku memiliki ilmu dari orang lain."
"Yah, kita coba saja bicara dengan beliau apa
adanya. Aku pun akan bicara pada ayahku, jika ayah-
ku melarang aku menggunakan jurus tersebut, maka
aku tak akan menggunakannya!" ujar Soka Pura sam-
bil terbayang saat berada di dalam gua bersama De-
dengkot Iblis. "Senang sekali aku melihat kemesraan kalian.
Aku teringat masa-masa indah bersama Prabawinih,"
ujar Dedengkot Iblis kala itu. Suaranya bernada duka,
karena dalam hatinya mengalami penyesalan besar
atas musibah cintanya sampai ia kehilangan Prabawi-
nih. "Kalian adalah pasangan yang kuanggap serasi.
Soka tampan, seperti aku di masa muda, dan Mata Bi-
dadari cantik, seperti Prabawinih. Kau memang punya
kemiripan dengan Prabawinih!" ungkapnya kepada si Mata Bidadari.
"Keindahan matamu, bentuk rambutmu, pera-
wakan mu yang tinggi sekal begitu, membuat aku se-
perti berhadapan dengan Prabawinih."
Dedengkot Iblis tarik napas dalam-dalam. Se-
jengkal duka berusaha disingkirkan dari hatinya. Wa-
lau akhirnya hanya terpendam ke dasar hati.
"Kenyataan ini membuatku ingin menitipkan
ilmu pada kalian berdua."
"Ilmu apa itu?" tanya Soka Pura.
"Ilmu ini bukan milik Raja Iblis, tapi milik gu-
ruku yang pertama, yang kini tentunya sudah dima-
kamkan di Pegunungan Tibet. Ilmu ini dinamakan ilmu
'Sentuhan Dewata'."
"Apa kehebatan ilmu itu?"
"Dengan menguasai ilmu 'Sentuhan Dewata'
kalian bisa menyentuh lawan jenis dengan hanya
membayangkan apa yang ingin kalian sentuh. Kalian
juga bisa memukul dan menendang lawan jenis, sesuai
dengan bagian yang kalian pukul dan kalian tendang
dalam khayalan. Syaratnya, hanya bisa dilakukan ter-
hadap lawan jenis saja, dan lawan jenis itu harus bisa tertangkap oleh pandangan
mata. Sejauh apa pun ia
berada, jika masih bisa tertangkap oleh pandangan
mata, maka kalian bisa pergunakan jurus atau ilmu
'Sentuhan Dewata' itu."
"Hebat juga"!" gumam Soka Pura tak sadar. Si Mata Bidadari segera meliriknya,
seakan ia tahu rencana usil dalam benak Soka. Akibatnya pemuda tam-
pan itu tersipu malu sendiri.
"Jika kalian tak bersedia, aku tidak memaksa,"
ujar Dedengkot Iblis dengan suaranya yang serak na-
mun bernada tegas dan penuh wibawa.
"Aku bersedia!" sahut Soka Pura dengan kesan bersemangat sekali. Si Mata
Bidadari melirik kembali
ke arah Soka Pura. Pandangan mata Soka memberikan
isyarat agar si Mata Bidadari memberi pernyataan se-
pertinya. Maka murid cantik Nyai Sangkal Putung itu
akhirnya anggukkan kepala ketika pandangan mala
cekung Dedengkot Iblis tertuju kepadanya.
"Baik. Aku pun bersedia jika tidak mengandung
akibat buruk bagiku."
"Buruk dan baiknya akibat itu tergantung pada
dirimu sendiri," kata Dedengkot Iblis.
"Sebentar lagi aku pasti akan mati, karena ke-
tuaan usiaku," tambah Dedengkot Iblis. "Banyak ilmu yang bisa kuturunkan, tapi
aku tak akan sempat
mempunyai murid. Beberapa ilmu yang bisa kuturun-
kan akan ku berikan kepadamu Pendekar Kembar,
termasuk ilmu 'Getaran Senyawa'. Khusus untuk ilmu
'Getaran Senyawa' hanya bisa dimiliki oleh dua orang
yang sejenis; pria dengan pria, atau wanita dengan
wanita. Kebetulan kau adalah pemuda kembar. Ilmu
itu cocok untuk kalian. Panggil kakak kembar mu itu
dan akan kuturunkan ilmu 'Getaran Senyawa' kepada
kalian." "Akan kuberi tahu kakakku nanti. Tapi... sebe-lumnya aku ingin tahu apa
kehebatan ilmu atau jurus
'Getaran Senyawa itu?"
"Kalian dapat bicara melalui batin sejauh apa
pun kalian terpisah. Dengan menahan napas dan
membayangkan kakak kembar mu, kau dapat bicara
dengannya dari gua ini."
"Menarik sekali! Kurasa kakakku akan bersedia
menerima ilmu itu!" ujar Soka Pura dengan berseri-seri. "Hanya ilmu-ilmu
pemberian Guru pertama ku
yang ingin kutitipkan kepada kalian. Ilmu yang ku pe-
roleh dari Paduka Raja Iblis, tak baik kuberikan kepa-
da siapa pun!"
Rupanya sejak tugasnya sebagai penjaga
'Bambu Gading Mandul' sudah berakhir, karena bam-
bu itu sudah ditebang oleh Pendekar Kembar, si De-
dengkot Iblis mulai berhasrat untuk kembali pada jati
dirinya yang asli; sebagai seorang ksatria aliran putih.
Ia pun sadar bahwa usianya tak akan lama lagi berak-
hir. Sang maut akan datang dan ia akan menjadi pen-
gikut Raja Iblis yang abadi jika kematian itu sudah ti-ba. Sisa hidupnya itu
ingin dipergunakan untuk mem-
bagi ilmu kesaktiannya kepada orang-orang tertentu,
karena ia merasa tak punya waktu untuk mengangkat
seseorang untuk dijadikan muridnya. Kematian itu bi-
sa datang sewaktu-waktu, sedangkan menurunkan il-
mu membutuhkan waktu tersendiri. Ada yang singkat,
ada yang pendek.
Dedengkot Iblis sengaja memilih gua yang ter-
pencil itu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Gua itu akan dijadikan
tempatnya menurunkan ilmu kepada orang yang berkenan di hatinya.
"Barangkali karena alasan itulah maka aku dan
si Mata Bidadari tak diizinkan memasuki lorong gua
yang lebih dalam lagi. Mungkin di sana ia menyimpan
setumpuk pusaka yang akan diwariskan kepada orang
yang terpilih oleh hatinya," ujar Soka Pura dalam hati, sebelum menerima ilmu
'Sentuhan Dewata' itu.
Akhirnya ilmu tersebut diterima oleh Soka Pura
dan si Mata Bidadari hari berikutnya mereka berada di
dalam gua tersebut. Peresapan ilmu itu membutuhkan
tenaga besar, hingga Soka dan si Mata Bidadari seperti terkuras tenaganya dan
menjadi lemah, letih, lesu, dan lelah. Mereka nyaris tak bisa berdiri selama
seharian penuh. Ketika kekuatan mereka sudah pulih kembali
pada esok harinya, tanpa setahu Dedengkot Iblis, me-
reka mencoba ilmu 'Sentuhan Dewata' itu. Diawali oleh
kenakalan Soka Pura yang memperhatikan si Mata Bi-
dadari secara diam-diam. Waktu itu, si Mata Bidadari
sedang pandangi ombak di tengah lautan jauh yang
bergulung-gulung. Tiba-tiba dalam benak Soka mem-
bayangkan sedang mencium tengkuk kepala si Mata
Bidadari, karena rambut gadis itu tersingkap oleh
hembusan angin. Cup...!
Tiba-tiba si Mata Bidadari terkejut dan cepat
berpaling sambil mengusap tengkuknya. Ia merasa se-
perti sedang dikecup oleh sepasang bibir hangat yang
nakal. Ketika ia tahu Soka Pura berada di belakangnya
sedang menatap dengan tersenyum-senyum, si Mata
Bidadari pun segera ingat tentang ilmu 'Sentuhan De-
wata'. Hatinya segera membatin sendiri.
"Hmmm, dia mulai nakal! Mungkin mencoba
ilmu itu. Bagaimana kalau sekarang kubayangkan se-
dang mencium bibirnya?"
Soka Pura terkejut, bibirnya merasa seperti di-
lumat dengan nakal oleh sepasang bibir hangat. Luma-
tan itu sangat jelas dirasakan, sampai timbulkan de-
bar-debar keindahan dalam hatinya.
Dengan mata menjadi sayu, Soka Pura berk-
hayal membalas lumatan bibir tersebut. Ternyata si
gadis semakin menggeliat. Kedua tangannya dibayang-
kan sedang merangkul tubuh Soka Pura yang berjarak
enam langkah darinya itu. Ternyata Soka pun merasa-
kan pelukan itu dengan sangat jelas.
Maka mereka pun akhirnya bercumbu dalam
bayangan, namun terasa dalam kenyataan. Sekujur
tubuh si gadis merasa dijamah dengan mesra oleh tan-
gan Soka Pura. Gairah bercinta pun semakin terbakar.
Si gadis sengaja menikmati jamahan tangan dan sa-
puan lidah hangat yang merayapi sekujur tubuh, hing-
ga menyentuh pusat keindahannya. Si Mata Bidadari
hanya bisa bersandar pada batu tinggi dan mengeluh
mesra dengan keringat dingin mulai bercucuran.
Ia meresapi kemesraan aneh itu dengan meme-
jamkan mata. Jika ia ingin membalas kemesraan itu,
matanya sedikit dipicingkan agar bisa melihat Soka, la-lu bayangan dalam
benaknya membalas kemesraan itu
dengan mencium tubuh Soka dengan usapan tangan
yang juga menjelajahi tubuh kekar itu.
Ternyata kemesraan bayangan itu mampu
membuat si gadis mencapai puncak keindahannya be-
berapa kali. Ia seperti benar-benar sedang berlayar ke lautan cinta dengan Soka
Pura, sehingga pucuk-pucuk
kenikmatannya dapat diraihnya dengan sejuta keinda-
han. Si Mata Bidadari pun terkulai lemas. Nafasnya
terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat. Gera-
kannya yang tidak sadar membuat pakaiannya menja-
di morat-marit sendiri. Ketika ia memandang Soka Pu-
ra di seberang sana, pemuda itu pun mengalami hal
serupa. Mereka akhirnya saling sunggingkan senyum.
Si Mata Bidadari tampak malu namun wajahnya berse-
ri-seri dengan mata indahnya yang sayu karena masih
tersimpan sisa kemesraannya.
"Ternyata... Indah sekali, bukan?" bisik Soka Pura saat mendekati gadis itu yang
buru-buru merapi-kan pakaiannya, takut si Dedengkot Iblis tahu-tahu
pulang dari kepergiannya.
"Mungkin lebih indah jika... jika...."
"Jika terjadi dalam kenyataan?" sahut Soka Pu-ra. Si gadis makin tersipu lagi.
"Ah, entahlah! Kau memang nakal, Soka!"
Beberapa saat setelah itu, Dedengkot Iblis be-
nar-benar pulang dari kepergiannya. Rupanya ia pergi
untuk mencarikan makanan buat kedua anak muda
yang keringatnya masih tampak tersisa di sela-sela tu-
buh mereka. Pandangan mata cekung si tokoh beram-
but putih acak-acakan itu membuat mereka malu dan
salah tingkah. "Rupanya kalian habis mencoba ilmu 'Sentuhan
Dewata' itu!" ujar Dedengkot Iblis.


Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Soka Pura dan si Mata Bidadari hanya terse-
nyum dan berusaha untuk tidak menatap mata si ju-
bah merah yang mempunyai tubuh kurus, jangkung
dengan kuku tajamnya yang berwarna hitam itu. Sorot
pandangan mata Dedengkot Iblis yang tanpa senyum
itu membuat mereka menjadi gelisah, ada perasaan
takut karena telah menggunakan ilmu baru mereka
untuk bercumbu. Sekalipun mereka sudah hindari
pandangan mata, tapi si Dedengkot Iblis tetap menatap
mereka dengan kesan angker. Mereka tak tahu apa
maksud pandangan mata tersebut.
* * * 4 KETIKA Soka Pura membayangkan percum-
buan dengan si Mata Bidadari itu, tiba-tiba terdengar
suara ledakan yang cukup keras dari arah kedalaman
hutan. Duaaar...!
Langkah pun segera dihentikan, demikian pula
langkah si Mata Bidadari. Mereka saling pandang seje-
nak dengan wajah sedikit tegang.
"Suara pertarungan siapa itu?" gumam si Mata Bidadari.
"Mungkin Dewa Pancung melawan orang lain!
Kita lihat saja ke sana!"
Mereka pun bergegas hampiri ke arah datang-
nya ledakan tersebut. Dari balik dua pohon berjajar,
Soka dan si Mata Bidadari memperhatikan sebuah per-
tarungan yang dilakukan oleh seorang pemuda berwa-
jah tampan, berkumis tipis dengan rambut ikalnya
yang sebahu diikat memakai ikat kepala biru tua.
Pemuda berpakaian serba biru itu sedang
menghadapi lawannya yang jauh lebih tua darinya.
Sang lawan berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih,
sedangkan pemuda itu baru berusia sekitar dua puluh
lima tahun. Sekalipun si pemuda bersenjata kapak
dua mata yang masih terselip di sabuk hitamnya itu
mempunyai tubuh gempal dan kekar seperti Soka Pu-
ra, tapi agaknya ia terdesak oleh pukulan jarak jauh si kakek berjubah hijau
lumut yang badannya kurus itu.
Kakek berambut putih pendek dengan ikat kepala hi-
tam itu juga belum mengangkat senjatanya berupa
cambuk hitam yang masih terselip di ikat pinggangnya
yang berwarna merah itu. Namun agaknya pukulan-
pukulan jarak jauhnya sukar ditahan oleh si pemuda.
"Siapa mereka" Kau kenal dengan mereka?" bi-
sik Soka. Mata Bidadari gelengkan kepala, pertanda tak
mengenal keduanya. Soka sendiri masih merasa asing
kepada mereka yang bertarung itu. Karenanya ia ma-
sih belum mau bertindak apa-apa kecuali hanya diam
di tempat dan memperhatikan jurus-jurus si kakek
berjubah hijau lumut itu.
"Agaknya kakek itu dari aliran hitam," bisik si Mata Bidadari.
"Dari mana kau tahu?"
"Wajahnya berkesan angker, menyeramkan.
Matanya yang cekung itu mempunyai ketajaman pan-
dang yang berkesan dingin. Mungkin ia bekas pembu-
nuh berdarah dingin!"
Soka Pura hanya manggut-manggut tipis. Pan-
dangannya berusaha diarahkan ke wajah si kakek
yang berkumis tebal beruban itu. Kedua alisnya yang
juga putih tebal itu membentuk garis naik, sehingga
wajahnya tampak angker. Sementara si pemuda la-
wannya berkesan simpatik, dan tergolong cukup ru-
pawan. Sayang sekali ia tak bisa hindari sodokan dua
jari si kakek dari jarak lima langkah di depannya. So-
dokan dua jari itu keluarkan sinar putih perak yang
berbentuk seperti bintang kecil itu. Claap...!
Pada waktu itu si pemuda sedang bergegas
bangkit dari jatuhnya akibat pukulan tenaga dalam
tanpa sinar yang kenal dadanya tadi. Baru saja ia
mengangkat wajah, sinar putih perak seperti bintang
kecil itu melesat ke arahnya. Wees...! Pemuda itu
menghindar dengan sentakkan wajah ke samping. Tapi
sedikit terlambat, sehingga pipi kanannya terserempet
sinar putih tersebut. Sraaat...!
"Aaaow...!" pemuda itu memekik seketika sam-
bil jatuh terpelanting. Pipinya yang berkulit coklat
koyak dan menjadi hangus, seperti habis disambar be-
si panas. Ia mengerang kesakitan. Sementara sinar pu-
tih yang hanya menyerempet pipinya itu segera meng-
hantam batu di belakangnya. Taarr...! Benturan itu
timbulkan letupan kecil, tapi batu sebesar anak sapi
itu hancur seketika menjadi seperti serpihan kristal.
Pruuul...! "Gila! Sinar putih itu berbahaya sekali"!" gumam hati Soka Pura. "Hampir saja
kepala pemuda itu hancur seperti batu tersebut."
Sebenarnya si pemuda sudah mulai lemah. Ka-
rena luka yang mengoyakkan pipi kanannya hingga
menjadi hitam hangus dan berasap itu membutuhkan
tenaga besar untuk menahan rasa sakitnya. Namun
karena sang kakek berjubah hijau lumut masih le-
paskan serangannya yang serupa tadi, pemuda terse-
but segera cabut senjatanya. Kapak dua mata diha-
dangkan di depan dadanya yang menjadi sasaran sinar
putih perak berbentuk bintang itu. Claaap...! Wuut...!
Sinar putih tersebut akhirnya menghantam mata ka-
pak yang sudah memancarkan cahaya biru bening.
Blaaarr...! Suara ledakan lebih dahsyat dari yang tadi ter-
dengar menggema memenuhi hutan pantai. Pemuda
itu terlempar ke belakang, terguling-guling sejauh tu-
juh langkah dari tempatnya tadi. Namun ia hanya
mengerang panjang menahan rasa sakit, karena ka-
paknya tadi menghantam dadanya sangat kuat, un-
tung bukan bagian yang tajam. Dada itu terasa mau
jebol, karena gelombang ledakan yang menghantam
tadi cukup besar dan keras.
Si pemuda bergegas bangkit, seakan tak mau
menyerah walau sudah mengalami luka parah pada
dua tempat: pipi dan dada. Kapak dua mata itu seka-
rang dimainkan, menebas ke kanan dan ke kiri.
"Hiah, hiah, hiah, hiah, heeeaah...!"
Pemuda itu lebarkan kaki rendahkan badan.
Kedua tangannya merentang, yang satu mengangkat
kapak di atas kepala, yang satu menggenggam kuat
sedikit ditekuk ke depan. Rupanya ia tunjukkan bah-
wa dirinya masih sanggup melawan si kakek berjubah
hijau. "Sekarang saatnya ku cabut nyawamu untuk menebus kematian cucuku,
Jahanam!" geram si kakek dengan pandangan mata semakin ganas.
"Aku bukan pembunuh cucumu, Bandot Se-
brang! Tapi jika kau mampu cabut nyawaku, aku pun
akan lebih dulu cabut nyawamu!"
"Keparaaaat...!"
Setelah berseru dengan ganas, si kakek yang
rupanya bernama Bandot Sebrang itu layangkan tu-
buhnya dalam gerakan bersalto cepat. Kedua kakinya
merapat, tubuhnya berguling di udara, dan ketika ka-
kinya menapak ke bumi, kaki itu tetap rapat, lalu ber-
jumpalitan kembali di udara. Gerakan tersebut dilaku-
kan dengan cepat dan berulang-ulang, membuat ja-
raknya semakin dekat dengan si pemuda.
Wuk, tap, wuk, tap, wuk, tap, wuk, tap.
Pemuda itu justru menerjang maju dengan
lompatan cepat membuat dirinya seperti bayangan
berkelebat. Weeess...! Siaap...! Soka Pura sempat bin-
gung ikuti gerakan si pemuda dengan pandangan ma-
ta. Tahu-tahu si pemuda sudah bertukar tempat, ia
berada di tempat si kakek berdiri tadi. Sementara si
kakek berada di tempat berdirinya si pemuda tadi.
Mereka beradu punggung sekejap, kemudian
sama-sama berbalik arah hingga berhadapan lagi. Si
Mata Bidadari terbelalak, demikian pula dengan Soka
Pura, karena begitu Bandot Sebrang berbalik arah, me-
reka melihat dada Bandot Sebrang terluka lebar oleh
tebasan kapak pada saat si pemuda menerjangnya.
Luka itu cukup panjang, dari pinggang kanan sampai
ke pundak kiri. Luka itu juga berwarna hitam dan ma-
kin lama bergerak semakin lebar.
Rupanya kapak itu bukan saja beracun ganas,
namun juga mempunyai hawa pembusuk yang cepat
membuat luka menjadi berbelatung.
Bandot Sebrang masih berdiri tegak, seakan tak
bisa ditumbangkan. Luka yang cepat busuk dan berbe-
latung itu segera diusap dengan tangan kanannya. Ke-
tika telapak tangan kanan menempel pada luka, asap
putih segera keluar dari tangan tersebut. Usapan tan-
gan bergerak sepanjang luka yang ada. Dalam sekejap,
luka itu lenyap tak tersisa sedikit pun. Bekas yang ter-
sisa hanya pada baju dalam putih yang masih tetap
robek dari perut sampai pundak.
Tentu saja hal itu membuat pemuda itu tercen-
gang. Bahkan si Pendekar Kembar bungsu dan Mata
Bidadari juga tercengang melihat luka itu lenyap dalam satu kali usapan tangan.
"Hebat juga ilmu si Bandot Sebrang itu!" bisik Soka kepada Mata Bidadari. Tapi
gadis itu tak perdengarkan jawaban atau gumam pendek, ia sibuk perhati-
kan keadaan Bandot Sebrang yang tegar kembali.
Pemuda berpakaian serba biru itu serukan ka-
ta. "Boleh juga ilmumu, Bandot Sebrang. Tapi be-
lum tentu bisa hadapi jurusku ini!"
Si pemuda segera ayunkan kapak dua mata itu
ke arah Bandot Sebrang dalam jarak sekitar enam
langkah, sambil ia serukan kata kembali.
"Rahang Siluman...!!"
Wuuusss...! Begitu kapak diayunkan ke depan, salah satu
mata kapak terlepas dari gagangnya dalam keadaan
bercahaya pijar biru. Mata kapak itu melayang terbang
dengan gerakan memutar dengan cepat bagai piringan.
Arahnya ke leher Bandot Sebrang. "Rahang Silu-
man...!!" Pemuda itu berseru kembali sambil sabetkan
kapaknya. Kini satu mata kapak yang tersisa itu juga
melayang terbang dalam gerakan memutar dengan
memancarkan cahaya biru pijar. Arahnya tetap tertuju
ke leher si Bandot Sebrang. Bedanya, mata kapak yang
kedua bergerak dari kiri, mata kapak pertama bergerak
dari kanan. Wees, wees, wees, wees, wees...!
Rupanya 'Rahang Siluman' adalah nama jurus
yang membuat kedua mata kapak itu memutar cepat
dalam gerak layangnya, hingga menyerupai gumpalan
cahaya biru pijar. Kecepatan geraknya sempat mem-
buat Bandot Sebrang sedikit menggeragap, maka ia se-
gera bersalto mundur dengan lincahnya. Wuk, wuk,
wuk! Jleeg...! Dua mata kapak itu nyaris saling bertabrakan
di depan si Bandot Sebrang. Tapi gerakan melayang
kedua mata kapak itu ternyata berputar arah dan
kembali menuju kepada si Bandot Sebrang.
Dengan cepat Bandot Sebrang mencabut cam-
buknya. Kemudian cambuk itu dilecutkan secara be-
runtun ke kanan kiri, timbulkan letupan dan percik-
kan bunga api yang cukup keras.
Tar, tar, tar, tar, tar, tar!
Gerakan cambuk yang mirip ekor naga itu ak-
hirnya menyabet kedua mata kapak itu secara bertu-
rut-turut. Akibatnya timbul ledakan menggelegar dua
kali yang mengguncangkan tanah sekitarnya dan
menggetarkan pohon-pohon sekeliling mereka.
Blegaaar... blegaar...!
Kedua mata kapak itu padam seketika. War-
nanya menjadi putih mengkilap kembali. Tapi kedua
mata kapak itu tidak hancur atau gompal sedikit pun.
Bahkan retak pun tidak. Dan anehnya, gerakan mata
kapak yang semestinya terpental ke arah yang berla-
wanan, ternyata justru dengan cepat dan kembali ke
arah semula. Pemuda itu masih acungkan gagang kapaknya
ke atas kepala. Maka kedua mata kapak itu pun hing-
gap kembali ke gagangnya seperti semula, seakan ga-
gang kapak itu mempunyai daya magnet tersendiri
yang mampu menyedot kedua mata kapak tersebut.
Trak, trak...! Wuk, wuk, wuk, wuk...!
Pemuda itu mainkan kapaknya kembali dengan
diputar-putar ke samping atau di atas kepala. Ia pun
melangkah ke kiri dengan mata masih memandangi si
Bandot Sebrang. Luka di pipi dan dada tidak dihirau-
kan. Ia masih kuat menahannya.
Bandot Sebrang sendiri semakin geram melihat
lawannya sulit ditumbangkan. Dengan cepat ia melesat
maju sambil lecutkan cambuknya dalam dua kali sen-
takan beruntun. Ctar, tar...!
Di luar dugaan, cambuk tersebut mampu mele-
cut dalam gerakan meliuk dari arah semestinya. Aki-
batnya, kedua lecutan tersebut kenal lengan si pemu-
da dan merobek pergelangan tangannya.
"Aaow...!" pemuda itu terpekik karena luka
cambuk seperti luka bacokan senjata tajam. Kapaknya
jatuh ke tanah, karena pergelangan tangannya yang
robek mengerikan itu. Ia berusaha menyambar kapak-
nya dengan sedikit membungkuk, tapi lecutan cambuk
maut si Bandot Sebrang kembali kenal punggungnya
dengan telak. Ctaaarr...! "Aaaaaahk...!" pemuda itu berteriak keras dengan tubuh mengejang sesaat.
Punggungnya robek ba-
gaikan terkena tebasan pedang. Ia pun segera jatuh


Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersungkur sambil mengerang panjang. Brruuk...!
Bandot Sebrang sudah berdiri tiga langkah di
samping kanan pemuda itu.
"Kini saatnya kepalamu menjadi penebus ke-
matian cucuku, Jahanam! Heaaaah...!"
Bandot Sebrang seperti orang tak kenal ampun
lagi. Cambuknya yang mempunyai ketajaman seperti
pedang itu dilecutkan ke leher pemuda tersebut untuk
memenggal kepala si pemuda. Namun baru saja ia
mengangkat cambuknya, tiba-tiba tubuhnya tersentak
ke belakang secara berkali-kali seperti ada yang me-
nendangnya secara beruntun. Bahkan suara dada di
tendang pun terdengar jelas di telinga Soka Pura.
Druk, druk, druk, druk, druk...!
Ploook...! Suara wajah disambar oleh tendangan
keras juga terdengar jelas di telinga Pendekar Kembar
bungsu. Anak muda berpedang kristal di pinggang ka-
nan itu terbelalak dan terheran-heran melihat Bandot
Sebrang terlempar ke samping sejauh empat langkah.
Tentu saja Bandot Sebrang sendiri kebingungan men-
cari lawan yang menyerangnya secara tiba-tiba itu.
Bahkan ketika ia berusaha untuk bangkit, tiba-
tiba tubuhnya tersentak ke belakang dengan keras
hingga terkapar menyedihkan.
"Aaahk...!" Bandot Sebrang semburkan darah
dari mulutnya. Ia merasa menerima tendangan berte-
naga dalam tinggi di dadanya, sehingga darahnya
muncrat dari mulut.
"Celaka! Ada orang yang membantu si jahanam
itu! Tapi di mana dia"!" pikir Bandot Sebrang. Ia segera bangkit untuk mencari
penyerangnya. Tapi ia tidak
temukan siapa pun. Hanya saja, tiba-tiba perutnya
merasa disodok dengan telapak tangan dari bawah ke
atas. Seakan ada orang di depannya dalam jarak satu
langkah kurang. Paak...! Tubuh kakek berjubah hijau
lumut itu tersentak naik, darah pun muncrat kembali
dari mulutnya. Soka Pura yang tertegun bengong melihat nasib
si Bandot Sebrang segera ingat kekuatan ilmu
'Sentuhan Dewata' yang baru diperolehnya bersama si
Mata Bidadari. Dengan cepat wajah Soka berpaling
menatap Mata Bidadari.
"Hei, kaukah yang melakukannya"!"
Mata Bidadari berhenti, tapi pandangannya
masih tertuju kepada si Bandot Sebrang. Kakek itu ter-
lempar kembali merasa ditendang dengan tenaga besar
hingga tubuhnya terpental membentur pohon besar.
Duuuurr...! Pohon itu bergetar, daunnya berjatuhan.
"Hentikan!" sentak Soka sambil mengguncang
pundak Mata Bidadari. "Hentikan tindakanmu, Tolol!"
Wajah gadis itu dipaksakan berpaling ke arah-
nya. Mata mereka saling bertatap tajam.
"Jangan gunakan ilmu itu untuk campuri uru-
san mereka, Bodoh!" hardik Soka dalam bisikan.
"Dia ingin membunuh pemuda itu!"
"Itu urusan dia!"
"Tapi pemuda itu tidak membunuh cucu si
Bandot Sebrang! Pemuda itu sudah tak berdaya masih
ingin diserang juga!"
"Itu urusan mereka, Bidadari! Kita belum tahu
persis siapa yang bersalah!"
"Tap... tapi aku tak tega melihat pemuda itu
terluka sebegitu parah dan, oh... lihat! Dia sudah mu-
lai sekarat!"
Tubuh pemuda itu memang menyentak-
nyentak dalam keadaan tengkurap. Darah mengalir de-
ras dari punggungnya yang koyak lebar itu. Sedangkan
si Bandot Sebrang sudah tak tampak. Rupanya kakek
itu melarikan diri begitu sadar bahwa ia sekarang ber-
hadapan dengan lawan yang tak bisa dilihat oleh mata
normal. Di samping itu, Bandot Sebrang merasa lu-
kanya cukup parah, sehingga ia butuh tempat dan
waktu untuk sembuhkan luka dalam tersebut. Maka ia
lebih baik tinggalkan tempat daripada mati tanpa me-
lihat rupa lawannya.
Luka yang amat parah membuat pemuda itu
hampir saja kehilangan nyawanya. Beruntung sekali di
situ ada Pendekar Kembar bungsu yang mempunyai
jurus penyembuhan bernama 'Sambung Nyawa' itu.
Maka tangan Soka yang sudah memancarkan cahaya
ungu pijar itu ditempelkan ke tengkuk kepala si pemu-
da malang. Cahaya ungu dari perpaduan antara hawa
murni dengan tenaga inti gaib itu bagaikan meresap ke
dalam tubuh si pemuda. Tubuh tersebut akhirnya juga
memancarkan cahaya ungu pijar bagaikan fosfor. Se-
kalipun telapak tangan Soka sudah tidak menempel di
tengkuk pemuda itu dan cahaya ungunya sudah pa-
dam, namun tubuh tersebut masih memancarkan ca-
haya ungu pijar sebagai proses penyembuhan luka-
lukanya. Mata Bidadari berdiri di bawah pohon tak jauh
dari tempat si pemuda tengkurap di tanah. Wajah ga-
dis itu tampak cemas dan menaruh rasa iba melihat
keadaan si pemuda. Soka dekati Mata Bidadari dan
berkata dengan suara sedikit geram.
"Kau naksir pemuda itu, ya"!"
"Hmmm...!" Mata Bidadari mendengus sambil
melengos. Wajahnya berubah menjadi cemberut.
"Tindakanmu menyerang Bandot Sebrang den-
gan ilmu 'Sentuhan Dewata', seperti orang yang tak re-
la melihat kekasihnya tewas di pertarungan."
"Jangan picik otakmu!" sentak Mata Bidadari
dengan ketus. "Aku hanya tak tega melihat keadaannya yang sudah parah masih mau
diserang juga! Tak
ada maksud apa pun di balik tindakanku tadi!"
Sambil menunggu proses penyembuhan si pe-
muda baju biru itu, Soka Pura sengaja menggoda Mata
Bidadari dengan senyum kecurigaan.
"Kukira kau terpikat padanya dan tak ingin ia
tewas di tangan Bandot Sebrang."
"Kau pikir dia lebih menarik daripada dirimu?"
"Apakah tidak begitu?"
"Tidak!" ketus Mata Bidadari. Soka Pura terta-wa dalam gumam pelan. Si gadis
cepat berpaling me-
natap Soka. "Kuharap jangan punya prasangka seperti itu,
Soka! Kau pikir aku mudah tertarik pada seorang pe-
muda?" "Buktinya kau tertarik padaku."
"Karena kau nakal dan usil!" Mata Bidadari
mengulum senyum sambil buang pandangan ke arah
lain. "Jadi kau...." Soka Pura tak jadi lanjutkan ucapannya, karena ia segera
melihat si pemuda baju biru
itu mulai menggeliat dan mengerang pelan. Erangan
itu bukan erangan kesakitan, namun erangan seperti
orang baru bangun dari tidur nyenyaknya.
Pemuda tersebut terkejut memandang ke arah
Soka Pura dan Mata Bidadari. Lebih terkejut lagi sete-
lah ia sadari bahwa luka-lukanya sudah merapat dan
pulih seperti sediakala, tanpa bekas apa pun kecuali
lumuran darah. Rasa sakit sama sekali tak dirasakan
lagi. Bahkan tubuhnya merasa segar dan kekuatannya
pulih kembali. Ia juga meraba pipinya, ternyata mulus
kembali tanpa luka bakar seujung jarum pun.
"Ajaib sekali"!" gumam hati pemuda itu. "Siapa yang menolongku" Mereka berdua
itukah yang selamatkan nyawaku dan sembuhkan luka secara ajaib
ini?" Pemuda berambut ikal segera bangkit men-
gambil kapaknya. Kemudian la sengaja melangkah te-
mui Soka dan Mata Bidadari di bawah pohon teduh.
"Kaliankah yang mengobati lukaku?" tanyanya
dengan sikap ramah dan bersahabat.
"Ya, kami yang selamatkan nyawamu!" Jawab
Soka Pura. Sementara itu, si Mata Bidadari hanya ber-
sikap tenang, sesekali memandang ke arah lain, sese-
kali tertuju pada pemuda tersebut.
"Jika begitu, kuucapkan terima kasih banyak
kepada kalian atas pertolongan kalian yang telah sela-
matkan nyawaku dari amukan si Bandot Sebrang ta-
di!" "Aku melihat pertarungan mu dengan kakek
tua tadi."
"Bandot Sebrang nama orang Itu!" jelas si pemuda. "Ya, aku tahu namanya Bandot
Sebrang, kare-na kau tadi sempat menyebutkannya. Tapi kami belum
tahu namamu, Sobat!"
"Namaku, hmm.... Surogoto. Hmm, ya.... Suro-
goto itu namaku," Jawab si pemuda agak grogi, karena ekor matanya menangkap
seraut wajah cantik dengan
daya tarik sangat kuat pada mata. Wajah cantik itu
milik si Mata Bidadari yang berdiri di samping Soka
Pura, sedikit ke belakang.
"Namaku sendiri.... Soka Pura, dan ini... pasan-
gan ku: si Mata Bidadari!"
Gadis itu menggerutu lirih, "Pasangan, pasan-
gan...! Apa dikiranya sandal jepit"! Pakai istilah pasangan segala"!".
Soka Pura geli dalam hati, terwujud dalam se-
nyum tipis yang ditahan agar tidak menjadi tawa. Su-
rogoto pun tersenyum walau tak mendengar Jejas ge-
rutuan Mata Bidadari, tapi ia anggukkan kepala sedikit bungkukkan badan sebagai
tanda menghormat dalam
perkenalan tersebut.
"Namaku.... Surogoto, Nona!"
"Masa bodoh!" ucap Mata Bidadari dengan lirih.
hanya Soka yang mendengarnya.
"Kalau boleh ku tahu, kau dari mana dan mau
ke mana, Surogoto"!" tanya Soka Pura alihkan suasa-na menjadi lebih serius
sedikit. "Aku, hmmm... sebenarnya aku tinggal tak jauh
dari sini. Masih termasuk orangnya Ratu Sedap Malam
yang bertugas di tapal batas wilayah utara sana."
"Ooo...!" Soka Pura manggut-manggut.
"Aku baru saja dari pesanggrahan dan ingin
kembali ke tempat jaga ku. Tiba-tiba aku diserang oleh Bandot Sebrang dengan
tuduhan memenggal kepala
cucunya yang bernama: Sindarwati."
"Apakah Sindarwati itu orangnya Ratu Sedap
Malam juga?" tukas Pendekar Kembar bungsu.
"Benar. Sindarwati bergabung dengan pihak
pesanggrahan beberapa bulan yang lalu. Waktu tadi
kutemukan kepala Sindarwati tertancap pada bambu
dan dipajang di pantai. Saat itulah si Bandot Sebrang
muncul dan menyangka diriku yang memenggal kepala
Sindarwati."
"Ooo..."!" Soka manggut-manggut lagi. Tapi
manggut-manggutnya segera dihentikan setelah sadari
apa yang dikatakan Surogoto. Wajah Soka Pura mulai
tegang. "Ja... jadi sekarang ada korban terpenggal la-gi"!" "Benar. Aku tak
sempat memberitahukan kepada Nyai Ratu karena belum-belum sudah diserang
oleh Bandot Sebrang. Jika kau ingin melihatnya, pergi-
lah ke pantai, maka kau akan menemukan kepala Sin-
darwati. Aku harus segera kembali ke tempat penja-
gaanku." "Celaka! Pasti si Dewa Pancung lagi pela-
kunya?" gumam Mata Bidadari dengan tegang. Tanpa
pamit apa pun kepada Surogoto, Mata Bidadari mele-
sat pergi ke arah pantai. Mau tak mau Soka Pura ha-
rus segera menyusulnya, setelah lebih dulu pamit ke-
pada Surogoto dan Surogoto pun bergegas pergi ke
arah lain. Mata Bidadari dan Soka Pura menelusuri pan-
tai. Tapi mereka tidak temukan kepala Sindarwati.
Hanya saja, mereka segera menemukan sebatang
bambu hijau yang bagian atasnya runcing dan masih
berlumur darah. Agaknya bambu itulah yang dipakai
untuk menancapkan kepala Sindarwati.
"Masih basah sekali darahnya. Berarti keja-
diannya belum lama ini, Soka!" ujar Mata Bidadari sambil memeriksa darah yang
melumuri bambu tersebut. "Ya, darah ini memang masih segar. Berarti
Dewa Pancung ada di sekitar tempat ini! Aku akan
mencarinya, Bidadari."
"Tunggu!" sergah Mata Bidadari. "Bagaimana dengan kepalanya Sindarwati itu"
Bukankah kepala
itu tak ada di bambu ini?"
"O, ya. Benar!" ujar Soka terperangah, seperti baru saja teringat sesuatu yang
Anak Pendekar 23 Pendekar Seribu Diri Karya Aone Panji Tengkorak Darah 5
^