Pencarian

Geger Pantai Rangsang 2

Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang Bagian 2


mukaan air laut. Cahaya merah lembayung itu me-
mantul dan membuat permukaan air laut bagai seperti
segara api. Sayangnya keindahan alam seperti itu tak
bisa dinikmati oleh orang-orang pesanggrahan Pantai
Rangsang, karena di ujung pagi itu, peristiwa menye-
dihkan terulang kembali.
Tujuh orang pengawal Ratu Sedap Malam dite-
mukan sudah tak bernyawa di sepanjang pantai sebe-
lah timur. Kepala mereka ditancapkan pada batang-
batang bambu yang berdiri tegak di permukaan pasir
pantai. Dua orang petugas pantai yang akan menggan-
tikan tugas temannya menemukan ketujuh kepala itu,
termasuk kepala teman yang mau digantikan tugas-
nya. Dua orang tersebut berlari temui Bintari yang ber-tugas menampung kabar apa
pun selama sang Ratu
sedang tidur atau sibuk lakukan sesuatu.
Kabar itu cepat menyebar dan jerit tangis ke-
dukaan terdengar oleh para tamu sang Ratu. Bintari
yang semula tak ingin bangunkan sang Ratu, akhirnya
ikut bingung sendiri setelah sang Ratu ternyata ter-
bangun karena suara tangis para sahabat korban. Pe-
sanggrahan itu pun menjadi gempar, kepanikan dan
ketegangan menyelimuti alam pagi di Pantai Rangsang.
"Pemenggalan itu terjadi lagi, Paman," ujar Soka Pura kepada si Lahar Jalanan
yang baru bangun dari tidur-nya. Lahar Jalanan menggeram penuh murka yang ter-
tahan. "Keparat! Rupanya dugaan Sangkal Putung
memang benar. Amuk Jagal ingin membuat panik dan
menggegerkan Pantai Rangsang sebelum penyeran-
gannya tiba!"
"Pelakunya bukan Amuk Jagal sendiri, Paman."
"Lalu siapa menurutmu?"
"Utusan Raja Amuk Jagal yang mungkin me-
mang ditugaskan untuk lebih dulu membuat geger
Panti Rangsang ini dengan pemenggalan tersebut.
Orang itu adalah si Dewa Pancung!"
"Dari mana kau tahu"!"
"Semalam aku bicara dengan si Mata Bidadari.
Ada beberapa hal yang tak diceritakan kepada gurunya
karena dianggap tak terlalu penting. Hal yang tak dibicarakan itu antara lain
tentang si Dewa Pancung yang
diutus Raja Amuk Jagal untuk mempersiapkan segala
sesuatunya sebelum penyerangan tiba. Persiapan ter-
sebut, menurut pendapatku, adalah mengacaukan su-
asana di sini dengan tindakan pemenggalan kepala
tersebut, Paman!"
"Kalau begitu, kita cari sekarang Juga si Dewa
Pancung itu!"
Saat berkata demikian, Lahar Jalanan segera
berpaling ke samping kanannya, ternyata Nyai Sangkal
Putung dan si Mata Bidadari sudah tiba di dekatnya.
Nyai Sangkal Putung mendengar nama Dewa Pancung
disebutkan, sehingga ia ajukan tanya kepada Lahar
Jalanan. Soka Pura yang menjelaskan tentang Dewa
Pancung kepada Nyai Sangkal Putung.
"Benarkah apa yang dikatakannya, Mata Bida-
dari"!" "Benar, Guru...!" Mata Bidadari pun kembali jelaskan perihal si Dewa
Pancung, seperti yang dikata-
kannya kepada Soka semalaman.
Nyai Sangkal Putung berujar kepada Lahar Ja-
lanan. "Bukan kau yang harus mencari Dewa Pan-
cung, Sela Giri! Kurasa cukup Soka Pura dan muridku;
si Mata Bidadari ini!"
"Lalu apa yang harus kita lakukan jika tidak
mencari Dewa Pancung"!"
Nyai Sangkal Putung menjawab, "Seperti kepu-
tusan yang kita bicarakan dengan Wulandani tadi ma-
lam, kita cari mata-mata yang bersembunyi di antara
orang-orang pesanggrahan ini! Sementara itu, Dewa
Pancung biar ditangani muridku, dibantu oleh Soka
Pura." "Hmmm...," Lahar Jalanan menggumam pendek. Setelah diam dua kejap, ia
segera berkata kepada
Soka Pura. "Bantu si Mata Bidadari untuk mencari Dewa
Pancung. Seret dia kemari dalam keadaan hidup atau
mati!" "Dengan senang hati akan kukerjakan, Paman!"
Pendekar Kembar bungsu segera pergi bersama Mata
Bidadari. Pada saat itu, sikap si Mata Bidadari sudah
tak seketus tadi malam. Obrolan panjang lebar tadi
malam telah membuat Mata Bidadari mulai mengenal
pribadi Soka Pura, dan keakraban mereka pun kian
bertambah. Namun sikap tegas si Mata Bidadari tetap
terjaga, karena ia tak ingin disepelekan oleh pemuda
mana pun. Secara diam-diam, Soka ingin mencoba keting-
gian ilmu si Mata Bidadari melalui kecepatan gerak-
nya. Pendekar Kembar bungsu menggunakan jurus
'Jalur Badai' yang mampu berlari cepat secepat hem-
busan badai yang paling cepat. Ia ingin tahu, apakah si Mata Bidadari mampu
imbangi kecepatan gerak tersebut. WUUUZ, WUUUZ, WUUUZ...!
Ternyata si gadis tertinggal sejauh sepuluh
tombak di belakang Soka Pura. Gadis itu sudah kerah-
kan tenaganya untuk menyusul Soka, namun tetap tak
berhasil. Akhirnya si Mata Bidadari berseru dengan
dongkol. "Hei, kau mau mencari seseorang atau mau adu
cepat denganku"!"
Soka Pura pun kurangi kecepatannya sambil
cengar-cengir dan membatin dalam hatinya,
"Ternyata hanya segitu dia. Tapi sudah cukup
cepat untuk sebuah gerakan lari. Untuk ukuran ma-
nusia biasa, ia dapat disangka menghilang jika berpin-
dah tempat dengan pergunakan kecepatan gerak se-
perti itu"
Kini gerakan mereka sejajar. Mata Bidadari
menggerutu dengan wajah kesal. Soka hanya tertawa-
tawa kecil. Sampai di sebuah bukit yang sebenarnya
hanya gugusan tanah meninggi itu, Soka Pura sengaja
hentikan langkah tanpa ada penyebab apa pun. Mata
Bidadari juga ikut hentikan langkahnya. Nafasnya ter-
pacu cepat, namun ia bisa menguasai pernapasan
dengan baik hingga dalam waktu singkat dapat tenang
kembali. "Mengapa berhenti di sini?" tanya si Mata Bidadari. "Kita seperti berlari tanpa
tujuan. Siapa tahu orang yang kita cari ada di sebelah timur, bukan ke
arah barat ini"!"
"Yang jelas dia ada di sekitar Pantai Rangsang.
Kita jelajahi saja seluruh wilayah Pantai Rangsang.
Pasti akan menemukan dia!"
"Apakah kau pernah melihat wajah si Dewa
Pancung"!"
"Pernah! Sebelum aku lolos, aku sempat diberi
tahu oleh sahabatku yang dijadikan budak di Pulau
Kucil itu tentang si Dewa Pancung. Tapi Dewa Pancung
tak melihatku, karena aku masih berada di atas loteng, di tempat persembunyian
ku. Malamnya baru aku loloskan diri. Siang sebelumnya, kudengar Raja Amuk
Jagal perintahkan si Dewa Pancung untuk berangkat
ke Pantai Rangsang secepatnya. Berarti setelah dia be-
rangkat ke Pantai Rangsang pada siang hari, aku pun
lolos pada malam harinya."
"Hmmm...," Soka Pura manggut-manggut.
"Pada waktu itu, kulihat ia mengenakan pa-
kaian serba merah, bertubuh kekar, berambut panjang
dikuncir ke belakang. Ia masih semuda kita. Tapi kata
temanku, ilmu pedangnya cukup tinggi."
Soka menggumam pelan, mencatat penjelasan
itu dalam benaknya.
"Lalu, bagaimana dengan musuh yang kau keji
itu"!" "Aku sudah berhasil membunuhnya sebelum akhirnya aku tertangkap oleh
orang-orangnya Raja
Amuk Jagal!" sambil si Mata Bidadari sedikit men-
gangkat pedang yang ada di pinggangnya. Soka men-
gerti maksudnya, bahwa Mata Bidadari berhasil bunuh
lawannya dengan pedang itu. Soka Pura kembali
manggut-manggut, kemudian segera lemparkan pan-
dangan mata ke sekeliling tempat itu.
"Kita cari lagi dia di sepanjang hutan barat ini!"
"Baik. Tapi jangan jauh-jauh dari pantai. Siapa tahu kita bisa memergoki dia
sedang memajang kepala korbannya lagi di sekitar pantai!"
Sebelum mereka bergerak, tiba-tiba mereka
mendengar suara pekikan seorang wanita yang seper-
tinya menderita pukulan berat. Suara itu membuat
Mata Bidadari dan Pendekar Kembar bungsu terperan-
jat dan saling pandang.
"Suara itu dari pantai!" ucap Mata Bidadari, tanpa tunggu tanggapan Soka, Mata
Bidadari melesat
ke arah pantai lebih dulu. Soka Pura pun segera me-
nyusulnya. Wuuuzz...!
Mereka tiba di pantai bersamaan. Pandangan
mata mereka segera tertuju ke arah seorang gadis yang
sedang diserang oleh seorang pemuda berpakaian ser-
ba merah. Soka Pura mengenali gadis yang berpakaian
putih dengan jubah kuning kunyit itu. Mata Bidadari
pun tentunya kenali gadis tersebut yang tak lain ada-
lah Bintari, pengawal Ratu Sedap Malam.
Melihat Bintari terpental dan baru saja bangkit
sudah diserang lagi oleh pemuda berpakaian serba me-
rah terang itu, maka Soka Pura pun segera berkelebat
menerjang pemuda tersebut. Wuuut, bruuuss...!
Pemuda berpakaian merah terpental karena
terjangan kaki Soka. Tendangan kaki Soka yang me-
layang bagaikan terbang itu tepat kenai kepala pemu-
da tersebut. Tendangan bertenaga dalam itu membuat
pemuda berpakaian merah terlempar sejauh delapan
langkah dan jatuh terbanting di perairan pantai. Je-
buuur...! "Cabut pedangmu dan penggal kepalaku kalau
memang kau jago penggal, Dewa Pancung!" seru Soka Pura dengan berang. "Rupanya
kaulah orangnya yang selama ini tega lakukan kekejaman terhadap diri para
gadis di Pantai Rangsang!"
Pemuda berusia sedikit lebih muda dari Soka
itu segera bangkit berdiri, namun ia segera sempoyon-
gan karena kepalanya terasa sangat sakit dan pandan-
gan matanya masih gelap akibat terjangan Soka tadi.
Soka Pura segera mencabut pedang kristalnya yang
ada di pinggang kanan dengan tangan kirinya, karena
ia memang bertangan kidal. Tapi sebelum pedang pu-
saka yang bernama Pedang Tangan Malaikat itu dica-
but, si Mata Bidadari berkelebat menghadang di depan
Soka Pura. Wuuut, jleeg...!
"Hentikan, Tolol!" bentak Mata Bidadari. Soka Pura terkesip melihat sikap Mata
Bidadari yang terang-terangan membela pemuda berpakaian merah itu. Se-
dangkan Bintari yang ada di belakang Soka saat itu
sedang merintih sambil sesekali terbatuk-batuk. Da-
rahnya keluar dari mulut dan hidung. Rupanya ia ter-
kena pukulan berbahaya dan melukai bagian dalam-
nya. "Apa maksudmu memihak si Dewa Pancung itu,
Mata Bidadari"!" hardik Pendekar Kembar bungsu.
"Dia bukan Dewa Pancung!" bentak si Mata Bi-
dadari. Soka Pura berkerut dahi dan mulai slap-slap
kendurkan ketegangannya. Murid cantik Nyai Sangkal
Putung itu berseru lagi dengan nada marahnya.
"Dasar bodoh! Dia adalah adikku yang bernama
Prapanca!"
"Adikmu..."!" Soka Pura jadi bingung dan salah tingkah. Ketegangannya berubah
menjadi rasa malu
yang tidak karuan.
Mata Bidadari segera membantu pemuda tam-
pan berambut ikal sepanjang bahu itu. Soka perhati-
kan ketampanan pemuda itu, ternyata memang punya
kemiripan dengan si Mata Bidadari. Hidungnya man-
cung, matanya indah, tanpa kumis dan jenggot sedikit
pun. Usianya sekitar dua puluh satu tahun. Memang
tampak lebih muda dari si Mata Bidadari.
Soka Pura alihkan rasa malu dan tak enak hati
dengan memperhatikan Bintari. Gadis itu berwajah
pucat. Agaknya luka dalamnya cukup parah. Soka Pu-
ra membawanya ke tempat teduh.
"Benarkah pemuda itu bernama Prapanca"!" bi-
sik Soka Pura. "Iy... iya...! Dia memm... memang si bangsat
Prapanca...!"
"Ada persoalan apa kau sampai bentrok den-
gannya"!"
"Uuhk...!" Bintari tersentak dengan mulut ternganga dan darahnya keluar kembali
dari mulut itu.
Soka Pura terpaksa lakukan pengobatan terha-
dap luka dalam yang diderita Bintari. Jurus 'Sambung
Nyawa' yang membuat tubuh Bintari memancarkan bi-
as cahaya ungu seperti fosfor itu membuat si Mata Bi-
dadari tertegun kagum, sedangkan Bintari sendiri
tampak tegang dan kebingungan melihat tubuhnya
seolah-olah menjadi ungu seperti kristal.
"Maaf, aku tak menyangka sama sekali kalau
dia adikmu. Sebaiknya kulakukan pengobatan juga
kepada adikmu itu!" ujar Soka Pura membuat si Mata Bidadari hanya mendengus
kesal, tapi ia biarkan Prapanca di sembuhkan oleh Soka Pura. Tubuh pemuda
itu segera pancarkan cahaya ungu setelah Soka Pura
tempelkan telapak tangannya ke lengan Prapanca sete-
lah telapak tangan itu keluarkan bias cahaya ungu.
Pengobatan yang baru kali ini dilihat oleh si
Mata Bidadari itu ternyata mampu sembuhkan kedua
orang tersebut dalam waktu singkat. Baik pihak Binta-
ri maupun Prapanca segera merasa segar, tak ada rasa
sakit sedikit pun pada tubuh mereka.
"Prapanca, mengapa kau lakukan hal ini terha-
dap diri Bintari"!" tanya si Mata Bidadari dengan suara jelas, Soka dan Bintari
pun mendengarnya. Tapi Prapanca justru memandang ke arah Bintari yang berwa-


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jah oval cantik dalam usia sekitar dua puluh empat
tahun itu. "Haruskah kukatakan kepada kakakku, Binta-
ri"!"
"Persetan dengan dirimu, Prapanca! Cuih...!"
Bintari meludah dengan mata menyipit benci, setelah
itu ia berkelebat lari tinggalkan mereka ke arah pe-
sanggrahan. "Hei, berhenti! Kau menghina adikku, Bintari!"
si Mata Bidadari tersinggung mendengar ucapan dan
sikap Bintari terhadap adiknya. Ia ingin mengejar, na-
mun tangannya segera dicekal oleh Prapanca.
"Tak perlu dikejar, Kak! ini urusan antara pri-
badiku dengan pribadinya. Kau tak perlu ikut cam-
pur!" "Urusan pribadi bagaimana"! Kau dihina sebe-
gitu rendahnya, aku tersinggung sekali, Prapanca!"
"Kalem saja, Kak. Kalem...!" bujuk Prapanca
yang tampak cukup akrab dengan kakak perempuan-
nya itu. "Tolong jelaskan supaya aku dan kakakmu tidak penasaran!" ujar Soka
Pura. Prapanca diam, memandang Soka dengan pan-
dangan merasa asing. Kemudian ia menarik kakaknya
agar sedikit lebih jauh dari Soka Pura. Prapanca bicara pelan dalam bisikan.
Rupanya penjelasan itu tak ingin
didengar oleh Soka Pura, sehingga Soka pun akhirnya
menjauh dengan hati dongkol.
Sesaat kemudian, kasak-kusuk mereka pun se-
lesai. Soka Pura hanya pandangi mereka dari kejau-
han. Mata Bidadari dekati Soka Pura setelah adiknya
berkelebat pergi tinggalkan tempat itu ke arah berla-
wanan dengan kepergian Bintari.
"Maaf, adikku tak bisa bicara di depanmu ten-
tang urusannya dengan Bintari."
"Tak apa. Aku memaklumi," ujar Soka bernada
datar. Mata Bidadari jadi tak enak, akhirnya jelaskan
dengan suara pelan.
"Prapanca dipaksa untuk layani gairah Bintari.
Rupanya sudah lama mereka saling jumpa dan Bintari
naksir sekali kepada Prapanca. Tapi adikku sudah
punya kekasih sendiri dan tak mau layani Bintari. Ak-
hirnya, tadi mereka bertemu dan Bintari ingin paksa
adikku dengan kekerasan agar mau layani gairahnya.
Adik ku melawan, dan... terjadilah seperti apa yang ki-ta lihat tadi!"
"Hmmm!" Soka hanya menggumam dan mang-
gut-manggut kecil, ia melangkah pelan didampingi si
Mata Bidadari. "Dia malu untuk pamit padamu. Aku disuruh
mewakilinya."
"Ke mana dia pergi?"
"Ke rumah paman. Dia murid paman ku, dan
sekaligus menjadi anak kesayangan paman ku, karena
paman dan bibiku tidak punya keturunan. Tadi dia ba-
ru saja pulang dari rumah kekasihnya yang tak jauh
dari wilayah Pantai Rangsang itu. Aku kenal dengan
kekasihnya yang bernama Merak Jelita. Aku per-
nah...." "Merak Jelita"!" Soka terkejut. "Aku pernah mendengar nama Merak
Jelita. Apakah dia murid dari
Nyai Rempah Arum"!"
"Benar sekali! Kau mengenalnya?"
"Aku pernah membebaskan si Merak Jelita ke-
tika ia ingin menjadi korbannya Darah Kula," ujar So-ka sambil mengenang
peristiwa di Bukit Maut, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis").
"Aku dan Guru juga kenal baik dengan pihak
Nyai Rempah Arum," ujar Mata Bidadari sambil tetap melangkah pelan di samping
Soka Pura. Mereka lanjutkan perjalanan dengan menyisir pantai arah barat.
"Tunggu sebentar," cegah Soka seraya hentikan langkah, sepertinya ada sesuatu
yang baru saja di in-gatnya dan harus dibicarakan dengan si Mata Bidada-
ri. "Adikmu dari rumah kekasihnya, menuju ke
rumah pamanmu dengan melewati Pantai Rang-
sang...." "Dia potong kompas biar dekat! Ada apa" Kau
kelihatannya menaruh curiga pada adikku"!"
"Bukan adikmu yang membuatku agak curiga,
tapi keberadaan Bintari di sini! Mengapa dia ada di si-ni" Bukankah seharusnya
dia berada di pesanggrahan,
menghibur sang Ratu yang sedang berkabung itu?"
"Mungkin dia hanya ingin menemui Prapanca."
"Apakah dia tahu kalau Prapanca akan lewat
sini"!" Mata Bidadari diam sejenak, kemudian menjawab pelan, "Mestinya dia tidak
tahu kalau Prapanca akan lewat sini."
"Jangan-jangan adikmu dan Bintari memang
punya kencan untuk saling bertemu di sini" Lalu, ka-
rena suatu masalah pribadi, maka mereka akhirnya
bentrok seperti tadi."
Mata Bidadari tertegun beberapa saat. Hatinya
sempat dongkol jika sampai Prapanca sengaja bikin
janji bertemu Bintari di tempat itu.
"Mungkinkah adikku berkata bohong padaku?"
gumam si Mata Bidadari seperti bicara pada diri sendi-
ri. "Setahuku, Prapanca tak pernah berani berbohong kepadaku. Selama ini...."
Kata-kata itu terputus tiba-tiba. Mata Bidadari
melihat sekelebat sinar merah berekor yang meluncur
cepat ingin menghantam punggung Soka. Sinar merah
itu datang dari kedalaman hutan pantai.
Mata Bidadari tak sempat memberi tahu Soka
Pura. Pemuda itu segera disingkirkan dengan sapuan
tangannya. Wuus...! Bruuk...! Soka Pura yang bertu-
buh kekar bagaikan dibanting tenaga raksasa. Ru-
panya saat menyingkirkan Soka, tenaga gadis itu ke-
luar secara refleks, karena kejap berikutnya telapak
tangan kanannya disentakkan ke arah depan. Dari te-
lapak tangan itu melesat sinar hijau lurus tanpa pu-
tus. Claap...! Sinar hijau lurus itu menghantam sinar merah
berekor panjang yang sebenarnya ditujukan pada
punggung Pendekar Kembar bungsu.
Blaaam, blegaaarrr...!
Dentuman dahsyat terjadi dan mengguncang-
kan alam sekitar tempat itu. Mata Bidadari terpental
ke belakang karena hentakan gelombang ledak tadi.
Soka Pura semakin rapatkan tubuh ke tanah begitu
menyadari ada bahaya datang. Namun kejap berikut-
nya ia gulingkan badan ke kiri dan tubuhnya menyen-
tak bangkit seketika itu juga. Wut, jleeg...!
Mata Pendekar Kembar bungsu pun meman-
dang liar ke arah datangnya sinar merah tadi. Sekele-
bat bayangan terlihat melesat tinggalkan tempat per-
sembunyian. Soka Pura pun berseru sambil mengejar
bayangan yang melarikan diri itu.
"Berhenti...!!"
Wuuuz...! Soka Pura pergunakan jurus Jalur
Badai-nya untuk mengejar bayangan yang melarikan
diri itu Si Mata Bidadari mengerang kecil, lalu segera bangkit dengan tarikan
napas panjang. Melihat Soka
Pura mengejar seseorang, Mata Bidadari pun bergegas
menyusulnya. Wees...!
* * * 6 ORANG yang dikejar Soka dan Mata Bidadari
itu mempunyai kecepatan gerak yang hampir sama
dengan jurus 'Jalur Badai'-nya Pendekar Kembar. Na-
mun kecepatan jurus 'Jalur Badai' masih unggul, se-
hingga orang tersebut dalam waktu singkat sudah be-
rada dalam jangkauan pandang Soka Pura.
Mata Bidadari tertinggal di belakang Soka, da-
lam jarak sekitar sepuluh tombak. Ia berusaha kerah-
kan tenaga untuk bisa susul Soka Pura. Pengejaran itu
di lakukan tanpa suara apa pun, walau sebenarnya ia
tahu arah pelarian tersebut sudah melewati batas uta-
ra wilayah Pantai Rangsang.
Tiba-tiba orang tersebut seperti membuang se-
suatu ke belakang sambil tetap berlari. Wes, wes,
wes... Sesuatu yang dibuangnya itu jatuh ke tanah
dan meletup dengan suara kecil. Bluub...! Wuuus...!
Asap kebiru-biruan mengepul dari sesuatu yang mele-
tup itu. Tiga letupan menghasilkan asap tebal yang
membuat pandangan mata menjadi kabur.
Tapi Soka Pura maupun Mata Bidadari tetap
lakukan pengejaran dengan menembus asap yang kian
menebal itu. Hanya saja, beberapa saat setelah mereka
keluar dari gumpalan asap kebiruan itu napas Soka
Pura menjadi sesak. Makin lama makin terasa
menyakitkan dada. Otot pun terasa mengendur, gera-
kan tak bisa lincah dan cepat lagi. Kepala Soka terasa pening dengan mata pedas
dan sulit memandang dengan bebas.
"Uhuk, uhuk, uhuk...!" Soka Pura terbatuk-
batuk, ia hentikan langkahnya. Keadaan tubuhnya te-
rasa semakin lemah. Jalan pernapasan bagai tersum-
bat oleh sesuatu.
"Celaka! Dia melemparkan asap beracun!" ge-
ram hati Soka Pura sambil berusaha untuk menarik
napas. Namun darah terasa menggumpal dan me-
nyumbat pernafasannya. Ia ingin memberi tahu Mata
Bidadari agar jangan lewati asap kebiruan itu. Tapi gadis tersebut sudah
terlanjur menerabas gumpalan
asap karena takut tertinggal jauh oleh Soka. Ia lebih
takut lagi kalau sampai kehilangan jejak Soka dan
orang yang dikejarnya.
Akibatnya, Mata Bidadari pun mengalami nasib
seperti Soka Pura. Suara batuk si gadis terdengar sa-
mar-samar dari tempat Soka yang akhirnya jatuh ber-
sandar pada sebatang pohon itu.
Bahkan Soka masih sempat melihat secara sa-
mar-samar pada saat Mata Bidadari jatuh tersungkur
di depannya. Gadis itu keluarkan suara erangan dan
tarikan nafasnya terdengar melebihi orang punya pe-
nyakit bengek atau asma. Tapi Soka Pura tak bisa la-
kukan apa-apa, karena seluruh tulangnya bagai dilolos
dan urat-uratnya terasa putus semua.
"Soo.... Sookaa...! Soookaa...!" panggil si Mata Bidadari dengan suara makin
lama makin melemah.
Soka Pura tak bisa menjawab walau telinganya masih
bisa mendengar suara itu. Kerongkongan Pendekar
Kembar bungsu bagaikan kering kerontang dan tak bi-
sa keluarkan suara apa pun.
Angin berhembus ke arah pantai. Asap tadi se-
gera buyar terbawa angin. Maka tampak jelas dua so-
sok anak manusia tergeletak di atas rerumputan hutan
tepi pantai itu dengan wajah pucat membiru melebihi
mayat. Entah berapa lama mereka sama-sama tak sa-
darkan diri. Ketika mereka sadar, mereka sudah bera-
da di sebuah gua tebing karang, tepat pinggir laut. Sebagian air laut ada yang
masuk ke gua tersebut. Bau
air laut pun tercium kuat di dalam gua karang itu.
Soka Pura siuman lebih dulu, selang beberapa
saat kemudian baru si Mata Bidadari siuman juga. Me-
reka sama-sama bingung pandangi gua yang cukup le-
bar dan mempunyai lorong ke dalam. Tapi lorong ter-
sebut dalam keadaan gelap, tak terjangkau bias sinar
matahari dari mulut gua. Dinding gua yang jelas-jelas
terbuat dari karang putih membuat mereka tak mau
mendekatinya karena dinding karang itu mempunyai
ketajaman yang bisa mengoyakkan tubuh mereka.
"Siapa yang membawa kita kemari, Soka"!" "Entahlah.
Yang jelas, orang yang membawa kita kemari adalah
orang yang telah selamatkan nyawa kita dari asap be-
racun tadi!" jawab Soka Pura sambil masih memeriksa keadaan dalam gua tersebut.
"Hai, ada orang di sini"!" seru Soka Pura. Tak ada jawaban apa pun kecuali
suaranya sendiri yang
menggema. Ternyata gua itu memang kosong, tak ada
penghuninya. Bahkan tak ada tanda-tanda bahwa gua
itu pernah dipakai oleh si penolong.
"Kurasa orang yang selamatkan kita dari asap
beracun itu tidak tinggal di gua ini. Mungkin tinggal di tempat lain. Tapi dia
tahu ada gua di sini. Maka ia pun membawa kita kemari," tutur Soka Pura sambil
berada di tepian mulut gua.
Lantai mulut gua berpasir putih dan basah oleh
riak ombak yang sesekali menyapu sampai kedalaman
gua. Barangkali jika air laut dalam keadaan pasang,
gua tersebut akan terendam sepenuhnya.
Soka dan Mata Bidadari memeriksa keadaan
sekitar mulut gua. Ternyata tak ada jalan yang bisa di-lalui untuk menuju ke
daratan. Gua itu selain berha-
dapan langsung dengan permukaan air laut, juga ber-
tebing karang tinggi. Mereka seperti berada di bawah
tebing karang yang sukar dijangkau oleh orang berilmu
rendah. "Jangan-jangan yang menolong kita adalah
orang gila!" ujar si Mata Bidadari dengan sedikit dongkol. "Ia dapat selamatkan
kita dari asap beracun itu. Ia dapat membuat tubuh kita segar kembali. Tapi ia
tem-patkan kita dl tempat separah ini! Kita sama saja dikurung olehnya, Soka!"
"Tenang dulu. Jangan buru-buru marah.
Mungkin orang itu punya sisi baik tersendiri dari niatnya menaruh kita di dalam
gua ini," ujar Soka Pura mencoba menenangkan hati si mata Bidadari yang gusar
itu. Rupanya mereka pingsan cukup lama. Terbukti
saat mereka sadar sudah berada di gua karang itu,
matahari sudah tenggelam di cakrawala seperempat
bagian. Cahayanya sudah mulai redup, tidak seterang
saat mereka mengejar orang berpakaian merah tadi.
"Orang itu berpakaian merah," ujar Soka. "Kurasa dialah si Dewa Pancung!"
"Agaknya memang begitu. Aku juga sempat me-
lihat rambutnya yang diikat ke belakang seperti pe-
rempuan. Tapi aku tak sempat lihat wajahnya. Sean-
dainya aku sempat melihat wajahnya, pasti aku dapat
lebih yakin lagi bahwa dia adalah si Dewa Pancung."
Soka Pura dekati si Mata Bidadari yang duduk
di atas batu karang tumpul sebesar dua kali kepala
kerbau. Batu itu bisa dipakai duduk bertiga dengan


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketinggian sebatas paha orang dewasa. Soka Pura ma-
sih tak mau duduk di samping gadis itu. Ia hanya ber-
diri dan bicara dengan memandang si gadis.
"Ada sesuatu yang terasa janggal bagiku sehu-
bungan dengan orang yang kita kejar tadi. Tahukah
kau di mana letak kejanggalan yang ku maksud tad!"!"
Mata Bidadari diam sebentar, menatap Soka, lalu alih-
kan pandang ke arah mulut gua.
"Mungkin maksudmu senjata orang yang kita
kejar itu terasa aneh bagimu. Senjata itu seperti tongkat yang ujungnya seperti
paruh seekor burung ban-
gau. Hmmm...! Kurasa kau baru melihat senjata seper-
ti itu," si gadis tersenyum kecil berkesan meremehkan Soka. Ia menatap Soka dan
berkata lagi, "Itu yang namanya senjata pemancung! Alias Senjata El Maut,
karena hanya Malaikat El Maut yang memiliki senjata
pemenggal kepala seperti itu!"
Soka Pura tersenyum kalem. "Bukan itu ke-
janggalan yang ku maksud."
Si gadis berkerut dahi.
"Jika kita yakin orang tadi adalah Dewa Pan-
cung, maka berarti ia muncul tak jauh dari tempat
pemunculan adikmu: Prapanca. Mengapa ia harus
muncul di situ" Mengapa Prapanca ambil jalan pintas
melewati tempat di mana kita diserang oleh Dewa Pan-
cung tadi" itulah kejanggalan yang ku maksud, Mata
Bidadari."
"O, jadi kau mencurigai adikku"! Kau sangka
adik ku ada bersekongkol dengan si Dewa Pancung"!"
Mata Bidadari mulai gusar, agaknya ia tersinggung
dengan kata-kata Pendekar Kembar bungsu itu.
"Dengar, Soka...!" tegas Mata Bidadari. "Prapanca tidak pernah pergi ke Pulau
Kucil. Dia tidak
pernah jumpa dengan Dewa Pancung, dan dia bukan
pemuda berjiwa pengkhianat! Dia tidak mau berse-
kongkol dengan orang-orang aliran hitam seperti Raja
Amuk Jagal atau Dewa Pancung itu!"
"Maaf, itu hanya kejanggalan yang ku rasakan,"
ujar Soka Pura dengan kikuk. "Bisa saja dugaanku itu salah. Mungkin aku terlalu
mudah menghubung-hubungkan kemunculan mereka yang bisa saja bersi-
fat kebetulan."
Sekalipun Soka Pura sudah menetralisir ang-
gapannya, namun Mata Bidadari masih merasa ter-
singgung. Gadis cantik bertubuh tinggi sekal itu tam-
pakkan wajah cemberutnya. Soka Pura makin tak enak
hati. "Aku dan adikku bukan dari keluarga sesat!
Ayah kami bekas seorang senopati di Kerajaan Purwa-
nagari!" Mata Bidadari terpaksa beberkan masa la-
lunya. Ia bicara seperti orang melamun, tak mau me-
natapi Soka Pura. Dari pancaran matanya tampak se-
genggam kesedihan ditahannya dalam hati.
"Ibu kami sendiri seorang prajurit di kerajaan
tersebut. Kami dilahirkan dari darah orang-orang kesa-
tria, bukan keturunan orang-orang sesat! Sayang da-
lam suatu pertempuran besar, Ayah kami tewas. ibu
menuntut balas, maju ke peperangan. Ternyata ibu
pun tewas. Kami menjadi yatim piatu. Hanya mempu-
nyai seorang paman dan seorang bibi. Mereka juga
orang-orang aliran putih. Bukan orang-orang jahat se-
perti dugaanmu!"
"Mata Bidadari, sekali lagi aku minta maaf. Aku
tidak mengatakan kau dan Prapanca keturunan orang
jahat!" ujar Soka dengan lembut. Ia ikut duduk di samping Mata Bidadari yang
semakin tampak kedu-kaannya.
"Dulu aku memang sering bertengkar dengan
Prapanca. Akhirnya ku pilih untuk berguru kepada
Nyai Sangkal Putung, sahabat bibiku yang beraliran
putih. Walau guruku punya kakak beraliran hitam, ta-
pi beliau tidak ikut aliran Iblis Tambak Getih, men-
diang kakaknya itu. Guru juga mendidik ku agar men-
jadi gadis berjiwa satria. Bahkan berbohong kepada
Guru pun aku tak berani. Demikian pula Prapanca
yang dibesarkan oleh paman dan bibi tidak berani ber-
kata bohong kepada kami. Jika sekarang kau mencuri-
gai adikku, sungguh itu merupakan tamparan yang
menyakitkan bagi hatiku, Soka! Kuanggap itu suatu
penghinaan besar jika kau menganggap Prapanca ber-
sekongkol dengan Dewa Pancung!"
"Sekali lagi aku minta maaf, Mata Bidadari,"
ucap Soka pelan dan hati-hati sekali. "Lupakan kata-kataku tadi. Kejanggalan itu
wajar saja timbul dalam
hatiku dan menumbuhkan seribu macam dugaan. Ba-
rangkali suatu saat kau pun akan mengalami seperti
apa yang ku rasakan saat ini, Mata Bidadari."
Soka Pura sengaja pindah ke depan gadis itu
agar dapat beradu pandang. Dengan sedikit mem-
bungkuk, Soka Pura menatap mata indah si gadis yang
juga memandangnya setelah Soka Pura berkata,
"Tak bisakah kau memaafkan diriku, Bidadari
Cantik?" Bibir ranum yang sensual dan menggemaskan
sekali itu terkatup rapat. Namun pandangan si Mata
Bidadari tertuju lekat-lekat ke wajah Soka Pura.
"Jangan sedih, Bidadariku. Cerialah kembali.
Aku sudah meminta maaf padamu, haruskah aku me-
nebusnya dengan hukuman" Hukumlah jika memang
itu layak kuterima dan dapat membuat hatimu ceria
kembali." "Jangan sekali lagi menghina keluargaku. Aku
mudah tersinggung jika seseorang menghina keluarga
ku." "Baik. Akan kuingat hal itu! Sekarang kau masih marah padaku?" tutur Soka
lebih lembut lagi. Si gadis gelengkan kepala, namun tetap menatap Soka.
"Kau ingin menghukumku?"
Sekali lagi gadis itu gelengkan kepala.
"Tersenyumlah jika kau sudah tak marah pa-
daku. Tersenyumlah, Bidadariku...."
"Bibirku kaku," ucap Mata Bidadari dalam nada berbisik. Soka Pura justru
tersenyum geli sendiri.
"Bibirmu kaku" Oh, apakah aku perlu mele-
maskannya?"
"Dengan apa kau ingin melemaskan bibirku?"
"Hmmm, hhhhmmm... barangkali... barangkali
dengan sebuah kecupan?"
"Apakah kau mampu?" ujar si gadis semakin lirih. Soka Pura berdebar-debar,
merasa tawarannya
disambut dengan tantangan.
Ketika mata mereka saling beradu pandang da-
lam kebisuan, Soka Pura pun akhirnya dekatkan wa-
jahnya ke wajah cantik si Mata Bidadari. Gadis itu mu-
lai pejamkan matanya, bibirnya sedikit merekah, sea-
kan menunggu sambutan dari lawan jenisnya.
Maka, tanpa bisa menahan diri lagi, Soka Pura
pun menempelkan bibirnya ke bibir si Mata Bidadari.
Bibir ranum itu dikecup oleh Soka dengan pelan-pelan
sekali. Kecupan lembut itu membuat hati si gadis ba-
gaikan ditaburi bunga-bunga indah. Maka si gadis pun
tak kuasa untuk diam saja. Kecupan itu dibalas den-
gan lumatan lembut, sampai akhirnya mereka saling
melumat dan berpelukan dengan hangat dan mesra.
Ketika mereka merasa puas sesaat dengan ke-
cupan yang membakar darah kemesraan itu, mereka
pun saling pandang lagi. Kali ini Mata Bidadari bangkit berdiri. Tingginya sama
dengan Soka Pura. Kedua tangan gadis itu masih melingkar di leher Soka, bahkan
sempat memainkan anak rambut yang meriap di dada
Soka Pura. "Indah sekali sambutan bibirmu," ucap Soka
dalam bisikan. Si Mata Bidadari menjadi tersipu malu.
Kemudian ia lepaskan kedua tangannya dan berpaling
muka ke arah lain. Ketika ia ingin melangkah, Soka
menahan pundaknya. Bahkan pemuda tampan itu me-
raih ujung dagunya dan menghadapkan wajah cantik
itu agar beradu pandang kembali.
"Jangan bilang-bilang gurumu kalau kita per-
nah berciuman seperti tadi."
"Mengapa tak boleh bilang?"
"Aku takut gurumu akan marah, karena aku
hanya menciummu saja."
Mata Bidadari akhirnya tersenyum geli men-
dengar kelakar Pendekar Kembar bungsu itu. Senyu-
man itu menambah kecantikan di wajah si Mata Bida-
dari, sampai-sampai Soka Pura terkesima pandangi
kecantikan dalam senyuman itu. Mata Bidadari men-
jadi malu, dan buru-buru menjauh sambil alihkan
pandang. "Bidadari, apakah kau sudah punya kekasih?"
tanya Soka Pura sambil memburu.
"Sebentar lagi gua ini akan gelap! Kita harus
cepat tinggalkan gua ini, Soka!" si Mata Bidadari alihkan pembicaraan, karena ia
tak sanggup hadapi Soka
Pura, jantungnya yang berdetak makin lama makin
kencang itu dapat putus seketika jika terlalu lama ber-tatapan dengan pemuda
tampan tersebut.
Soka Pura tak mau memburu pertanyaan tadi.
Ia sadar, sesuatu yang membuat si gadis tersipu dapat
menjengkelkan hati gadis itu. Jika sudah demikian
maka kemesraan pun akan hilang dan berganti dengan
kesan muak yang menjengkelkan hati si gadis. Soka
harus melayani alih bicara itu agar si gadis tetap me-
nyimpan kesan indah dalam hatinya.
"Kita harus memanjat tebing karang ini jika in-
gin kembali ke pesanggrahan. Tak ada jalan lain kecu-
ali dengan cara memanjat tebing setinggi itu, Bidadari!"
"Apakah kau tak sanggup melakukannya"!"
"Bukan diriku yang ku cemaskan, tapi dirimu.
Kalau kau merasa sanggup memanjat tebing karang di
atas gua ini, apa salahnya jika kita cepat-cepat kemba-li ke pesanggrahan
sekarang juga"!"
Mereka bergegas di depan mulut gua. Kaki me-
reka sesekali basah oleh riak ombak yang menepi. Ma-
ta mereka memandangi tebing karang yang tinggi,
sampai-sampai hijaunya daun-daun pohon di atas sa-
na hanya tampak samar-samar.
Cahaya yang memudar juga menjadi pertim-
bangan mereka. Salah-salah mereka tak bisa melihat
dengan jelas keadaan batuan karang yang dipijak saat
memanjat, akibatnya dapat membuat mereka jatuh
tergelincir dari ketinggian yang membahayakan nyawa.
"Bagaimana jika kita bermalam di gua ini" Esok
setelah matahari bersinar terang, kita lakukan penda-
kian itu," usul Soka Pura. Si gadis masih belum memberikan jawaban apa-apa.
Namun langkah kakinya se-
gera menuju ke dalam gua lagi. Soka Pura mengiku-
tinya. "Kau keberatan dengan usulku, Bidadari?"
Gadis itu berpaling memandang Soka.
"Selama bersamamu, aku tak akan merasa ke-
beratan tinggal di dalam liang kubur sekalipun!"
Soka Pura tertawa pelan. "Kau mulai merayuku
lagi, Bidadari!"
Si gadis tertawa kecil, nyaris tak terdengar.
Kemudian ia duduk di batu yang tadi. Soka Pura du-
duk di sampingnya dengan tangan merangkul dari
samping kanan. "Aku lelah sekali. Semalam kita ngobrol sampai
menjelang fajar. Aku kurang tidur, Soka."
"Kalau begitu, tidurlah di pangkuan ku!" ujar Soka Pura, kemudian ia duduk di
lantai gua, bersandar batu tempat duduk itu. Mata Bidadari juga duduk
di lantai gua berpasir putih. Lalu ia merebah, kepa-
lanya berada di pangkuan Soka Pura. Tangan Soka
mengusap-usap kening si gadis dengan lembut sambil
menyingkapkan anak rambut yang meriap di kening,
terhimpit ikat kepala kuning.
"Rasa-rasanya tidur ku akan nyenyak jika begi-
ni." ujar si gadis sambil pejamkan mata.
"Mengapa kau yakin begitu?" "Aku tak pernah rasakan kedamaian hati seperti saat
ini." "Benarkah kau merasa damai?"
"Entahlah," si gadis buka mata lagi, pandangi Soka. "Yang jelas, kedamaian ini
lain dengan keindahan yang pernah ku rasakan bersama...."
"Bersama siapa?" desak Soka ketika Mata Bidadari hentikan ucapan nya. Gadis itu
tak mau menja- wab, hanya pejamkan mata kembali seperti mau tidur.
"Bersama kekasihmu, begitu?" pancing Soka.
"Kami sudah putus hubungan enam bulan yang
lalu." "O, ya..."! Mengapa sampai putus?" "Ternyata dia seorang pengkhianat! Ku
pergoki saat ia bercinta
dengan sahabatku sendiri. Lalu aku..., Mata Bidadari
berhenti lagi, seperti ragu melanjutkannya.
"Lalu, bagaimana?" desak Soka. "Ah, sudahlah!
Jangan bicara soal itu. Luka di hatiku dapat terbakar
dendam lagi!"
Si gadis membuka matanya, menatap lembut
dan berkata lirih, sedikit parau.
"Aku tak ingin membicarakan hal itu. Aku ingin
menikmati kedamaian yang ku rasakan bersamamu
ini, Soka!"
Soka Pura sunggingkan senyum indah yang
amat menawan. Tangannya mengusap-usap pipi si ga-
dis. Mata si gadis terpejam kembali, bagai sedang me-
resapi trap sentuhan tangan Soka yang makin lama
makin nakal, makin turun ke leher, sampai ke dada,
lalu menelusup di sana. Si gadis diam terpejam, benar-
benar resapi betul tiap kenakalan tangan Soka yang
menghadirkan debar-debar keindahan itu.
Sesekali si Mata Bidadari mendesis atau meng-
gigit bibirnya ketika tangan Soka berada di puncak ke-
nakalannya. Kadang juga keluarkan suara mendesah
dengan mata kian memejam kuat, pertanda menahan
sesuatu yang telah meledak dan tak berani dilontarkan
melalui suara keras-keras. Ia masih malu untuk mele-
paskan kelegaan hasratnya ketika tangan Soka menja-
lar sampai ke bawah. Gadis itu hanya bisa menggigit


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan Soka yang satunya, sebagai tanda bahwa ia te-
lah merasakan puncak keindahan dan kedamaian dari
kenakalan tangan pemuda itu.
Tanpa sadar mereka tertidur dalam gelap. Tak
ada cahaya rembulan yang muncul menyinari bumi.
Seandainya malam itu rembulan menyinarkan ca-
hayanya, maka suasana di dalam gua tidak akan men-
jadi gelap pekat seperti saat itu. Setidaknya permu-
kaan air laut akan memantulkan sinar rembulan hing-
ga bias cahaya itu masuk ke dalam gua.
Kelegaan yang dirasakan si Mata Bidadari
membuat sekujur tubuhnya menjadi letih, akhirnya ia
tertidur dalam pangkuan Pendekar Kembar bungsu.
Soka Pura pun lelah sendiri dengan kenakalannya, ia
pun ikut tertidur dalam keadaan duduk bersandar ba-
tu sambil memangku kepala Mata Bidadari. Kira-kira
pertengahan malam, mereka terbangun secara serem-
pak. Suara gemeritik seperti kayu terbakar itulah yang membuat mereka terbangun
dan segera menggeragap.
Mereka terkejut, karena gua itu menjadi terang. Ada
nyala api dl tumpukan batu karang kecil-kecil yang
tersusun rapi tumpukan batu bara itu. Mereka sama-
sama berpendapat, pasti ada orang yang menyalakan
tumpukan batu itu dengan satu kekuatan ilmu pem-
bakar, sehingga batu-batu itu menjadi pengganti kayu
api unggun. "Terang sekali"!" gumam Soka Pura. "Api dari mana itu, Bidadari"!"
"Entahlah. Pasti ada orang selain kita. Dan,
ooh... di dekat lorong sana pun ada tumpukan batu
mengobarkan api terang, Soka"!" si Mata Bidadari menuding arah menuju lorong
kedalaman gua tersebut.
"Tetaplah di sini, aku akan memeriksa lorong
itu!". "Aku ikut!" sergah si Mata Bidadari setelah mera-pikan pakaiannya yang
tadi sempat morat-marit dalam
kegelapan akibat kenakalan tangan Soka.
Namun sebelum mereka berdua bergegas me-
nuju ke lorong, tiba-tiba dari dalam lorong muncul se-
sosok tubuh kurus berambut putih acak-acakan.
"Hahhh..."!" si Mata Bidadari terpekik, Soka Pura hanya terperanjat dengan
tarikan napas menyentak. Si rambut putih yang panjangnya sepunggung
tanpa ikat kepala itu melangkah mendekati mereka.
Ketika berada tak jauh dari nyala api unggun, lang-
kahnya berhenti. Nyala api memperjelas raut wajahnya
yang keriput, bermata cekung, menyeramkan sekali. Ia
mengenakan jubah dan celana merah kusam. Kuku-
kuku tangannya panjang dan hitam. Ia seperti seorang
kakek berusia sekitar delapan puluh tahun yang ber-
tubuh jangkung dan berkesan angker.
Sreet...! Si Mata Bidadari segera mencabut pe-
dangnya yang saat mau tidur tadi sempat dilepas dari
selipan pinggangnya. Namun tangan Soka Pura segera
menahan tangan si Mata Bidadari agar tak mengguna-
kan pedangnya untuk menyerang sosok angker terse-
but. "Masukkan kembali pedangmu!" perintah Soka Pura. "Tapi dia...."
"Aku mengenalnya! Aku tahu siapa dia! Biar
kuhadapi dia dengan baik-baik. Siapa tahu tak perlu
harus lakukan pertarungan dengannya."
Akhirnya si gadis turuti kata-kata Soka. Pende-
kar Kembar bungsu maju dua langkah, berada di de-
pan si Mata Bidadari, bersikap menjadi pelindung bagi
si gadis. Dengan suara tegas, Soka Pura menyapa si
wajah angker yang sudah dikenainya itu.
"Rupanya kau sekarang tinggal di sini, Dedeng-
kot Iblis"!"
Mata Bidadari menggumam dalam hati, "De-
dengkot Iblis"! Oh, siapa itu si Dedengkot Iblis"! Baru sekarang aku mendengar
nama seangker itu!"
Tentu saja si Mata Bidadari merasa asing den-
gan tokoh angker tersebut selama ini tak berani ting-
galkan tanah Kubangan Berdarah yang ada di kaki
Gunung Mercapada itu. Dedengkot Iblis adalah penja-
ga Bambu Gading Mandul atas perintah Raja iblis.
Sejak ia dikalahkan oleh Soka Pura, dan Pen-
dekar Kembar berhasil memotong Bambu Gading
Mandul untuk membunuh si Darah Kula, Dedengkot
Iblis sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai penjaga
bambu keramat itu. Sebab bambu tersebut telah ter-
bakar habis tak akan tumbuh lagi sejak dipotong
ujungnya oleh Soka Pura, (Baca serial Pendekar Kem-
bar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis").
Pada waktu itu, Dedengkot Iblis segera larikan
diri dari pertarungannya melawan Soka Pura, karena
Soka mengaku keturunan dari Prabawinih. Sedangkan
perempuan yang bernama Nyai Prabawinih itu adalah
mantan istri tercinta dari si Dedengkot Iblis yang me-
ninggalkan lari darinya karena Dedengkot iblis menjadi pengikut aliran sesat si
Raja iblis. Namun rasa cinta
Dedengkot Iblis kepada Nyai Prabawinih masih melekat
dalam hati tuanya, sehingga ia tak berani mengganggu
keturunan Nyai Prabawinih.
Sekalipun Dedengkot iblis pernah dikalahkan
oleh pemuda tampan itu, namun ternyata ia tidak me-
nyimpan dendam. Wajahnya memang angker, tapi si-
kapnya terhadap Soka Pura bukan lagi sikap seorang
musuh yang perlu ditakuti.
"Mendekatlah kemari, Anakku...." Soka Pura
terperanjat dalam hati mendengar ucapan si Dedeng-
kot Iblis yang bersuara serak itu. Melihat pancaran
mata cekungnya yang tajam namun tidak punya kesan
permusuhan itu, Soka Pura pun akhirnya mendekati
nyala api yang menerangi gua tersebut. Si Mata Bida-
dari pun diajak ikut mendekat dengan tangan Soka
memegangi tangan gadis itu dari belakang.
"Senang sekali aku melihat kalian bisa tertidur
nyenyak. Kusangka kekuatanku tadi tak bisa untuk
kalahkan racun yang bersarang dalam tubuh kalian.
Ternyata hasilnya lumayan juga!"
"Jadi kaulah orangnya yang membawa kami ke
dalam gua ini, Dedengkot Iblis"!"
"Yah, memang aku! Kutemukan pemuda tam-
pan keturunan Prabawinih dalam keadaan sekarat.
Kulihat gadis cantik ada di sampingmu. Aku yakin dia
pasti kekasihmu yang ikut terancam bahaya racun.
Maka ku bawa kalian kemari dan ku coba salurkan
kekuatan inti gaib suci ku, ternyata berhasil sela-
matkan jiwa kalian!"
Soka dan gadis cantik itu saling beradu pan-
dang. Ketegangan si Mata Bidadari mulai berkurang
setelah ia mendengar penjelasan dari Dedengkot Iblis.
"Hmm, hmmm... terima kasih atas pertolon-
ganmu, Dedengkot Iblis!"
"Terima kasih mu tak kuperlukan. Yang kuper-
lukan adalah sesuatu yang ingin kuketahui. Siapa
orang yang telah melukaimu, Nak"!"
"Hmm, ehh...," Soka ragu-ragu menjawabnya.
Ia memandang Mata Bidadari dengan maksud mem-
pertimbangan. Si gadis berbisik pelan sekali.
"Katakan saja apa adanya!"
"Hmmm, kalau boleh ku tahu lebih dulu, apa
maksudmu ingin tahu orang yang menyerangku den-
gan asap beracun itu, Dedengkot Iblis"!"
Si wajah angker itu duduk di atas batu karang
depan kobaran api unggunnya. Pantatnya tak merasa
sakit, bahkan ia seperti duduk dl permukaan yang da-
tar. Padahal batu karang itu mempunyai permukaan
runcing-runcing seperti sekelompok paku. Dalam kea-
daan duduk begitu, nyala api semakin menerangi wa-
jah angkernya, membuat wajah itu semakin seperti wa-
jah mayat yang sudah terkubur selama beberapa bu-
lan, Menyeramkan sekali.
"Kau dan saudara kembar mu itu adalah ketu-
runan dari Prabawinih. Siapa pun yang mengusik ke-
damaian keturunan Prabawinih harus berhadapan
denganku! Aku tak rela keturunan Prabawinih digang-
gu oleh siapa pun!"
Suara serak itu menggema, membuat bulu ku-
duk Soka sempat merinding.
"Karena itulah, aku ingin tahu, siapa orang
yang telah berani mencelakaimu dengan racunnya itu,
Kembar"!"
"Hmmm... hmmm... aku tak tahu dengan pasti,
Dedengkot Iblis! Aku hanya menduga, orang itu adalah
Dewa Pancung, yang telah memenggal kepala para
pengawal Ratu Sedap Malam dan...."
"Dan kepala-kepala itu dipamerkan di sepan-
jang pantai ini?" sahut Dedengkot Iblis.
"Benar! Kami berdua sedang mencari Dewa
Pancung. Tapi tiba-tiba seseorang menyerangku, dan
berhasil dipatahkan oleh si Mata Bidadari ini! Lalu
kami mengejarnya dan ia membuang sesuatu, ternyata
asap beracun!"
"Apakah kau ada di pihak si Ratu yang kau se-
but itu?" "Ya, kami ada di pihak Ratu Sedap Malam, pen-
guasa Pantai Rangsang ini!"
"Hmmm...! Kalau begitu, serahkan persoalan ini
padaku! Akan kucari si Dewa Pancung, dan akan ku
pajang serpihan kepalanya di sepanjang pantai ini!"
"Hmmm... kurasa itu tak perlu, Dedengkot Iblis!
Aku bisa mengatasinya sendiri!"
"Tidak bisa! Dia telah mengganggumu, maka
dia harus hancur di tanganku!"
Duuuurrr...! Sentakan kaki Dedengkot Iblis ke
lantai gua membuat dinding dan atap gua bergetar.
Karang-karang kecil berjatuhan. Dinding gua seakan
ingin retak akibat getaran tersebut. Soka buru-buru
memeluk si Mata Bidadari sambil sama-sama runduk-
kan kepala. * * * 7 ORANG yang melemparkan benda berasap ra-
cun itu memang si Dewa Pancung. Ia melarikan diri
lantaran pukulan mautnya yang bersinar merah itu bi-
sa dihancurkan oleh lawan. Karena pukulan bersinar
merah itu adalah jurus 'Pukulan Keramat' yang selama
ini tak pernah meleset, selalu dapat lumpuhkan lawan.
Jurus 'Pukulan Keramat' memang benar-benar
punya kekuatan keramat. Jika 'Pukulan Keramat' itu
gagal lumpuhkan lawan, maka sebagai akibatnya akan
datang musibah kepadanya. Baik dari lawannya sendi-
ri maupun dari keadaan sekitarnya.
Ternyata jurus pemberian almarhum kakeknya
itu dapat dihancurkan oleh kekuatan pukulan si Mata
Bidadari. Kegagalan itu membuat Dewa Pancung me-
rasa akan ditimpa bencana jika tidak segera melarikan
diri. Mudahnya, orang yang bisa patahkan jurus
'Pukulan Keramat' berarti ilmunya lebih tinggi dari
Dewa Pancung sendiri. Karenanya, Dewa Pancung ha-
rus hindari orang tersebut karena ia akan kalah jika
lakukan pertarungan dengan orang itu.
Ia tidak tahu bahwa gelombang ledakan dari ju-
rus 'Pukulan Keramat'-nya itu melukai bagian dalam
dada si Mata Bidadari. Luka itu akan memborok dan
cepat atau lambat si Mata Bidadari akan tewas akibat
luka tersebut. Hanya saja, ketika itu si Mata Bidadari masih
punya sisa tenaga untuk lakukan pengejaran. Secara
kebetulan, Mata Bidadari jatuh terkena racun yang di-
gunakan si Dewa Pancung. Kemudian ditemukan oleh
Dedengkot Iblis, dan diobati bersama-sama Soka. Pen-
gobatan itu bukan saja menyingkirkan racun, namun
juga menyembuhkan luka di dalam dada si Mata Bida-
dari. Dewa Pancung merasa lega, karena ia bisa hin-
dari bencana yang memburunya dengan pergunakan
senjata rahasianya yang bernama 'Telur Kematian', se-
bab senjata rahasia itu berbentuk telur burung yang
diisi dengan gas beracun, terbuat dari kulit telur burung asli yang sudah
dikosongkan. Namun di luar dugaan, dari arah tikungan ja-
lan muncul seorang pemuda tampan berpedang kristal
dengan baju buntung putih dan celana putih. Pemuda
itu bersama seorang gadis berompi ketat warna merah
dan celana ketatnya pun berwarna merah. Dewa Pan-
cung terperanjat sekali dan menjadi agak panik. Kedua
orang yang muncul dari tikungan itu pun terkejut den-
gan wajah tegang dan langkah terhenti.
Dewa Pancung segera ambil posisi kuda-kuda
dengan senjata El Maut-nya siap dibabatkan ke leher
lawan. Dewa Pancung membatin dalam hatinya.
"Edan! Ternyata mereka tidak mempan oleh ra-
cun 'Telur Busuk'-ku?"
Dewa Pancung menyangka pemuda berpedang
kristal itu adalah Soka Pura, orang yang tadi menge-
jarnya. Padahal pemuda itu adalah Raka Pura, si Pen-
dekar Kembar sulung. Sedangkan gadis berompi me-
rah itu disangka si Mata Bidadari, karena pakaiannya
serba merah. Padahal gadis itu adalah Kirana, murid Pergu-
ruan Tapak Syiwa yang sengaja pergi dari padepokan
untuk mencari buah kerinduannya, yaitu Raka Pura,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Tumbal Asmara Buta"). Ia menemukan
Raka saat pemuda itu
pulang dari Bukit Gamping, setelah Raka Pura diberi
tahu oleh Tabib Kubur bahwa Iblis Tambak Getih su-
dah lama tewas di tangannya.
Raka Pura dan Kirana sama-sama tegang dan
siap hadapi Dewa Pancung, karena semula mereka
hanya terkejut. Tapi begitu melihat Dewa Pancung pa-
sang kuda-kuda, mereka pun bersiaga lakukan perta-


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rungan. "Siapa dia, Raka?"
"Entah. Aku tidak kenal!" bisik Raka.
Sebenarnya Raka Pura ingin menyapa Dewa
Pancung secara baik-baik untuk mengetahui siapa
orang yang di depannya itu. Tapi Dewa Pancung sudah
lebih dulu berseru dengan nada bermusuhan.
"Jangan merasa bangga dulu kalau kalian bisa
lolos dari asap beracun ku! Tapi coba hadapi senjata El Maut-ku yang tak pernah
gagal memenggal kepala,
orang! Heeeaah...!"
Dewa Pancung melompat sambil ayunkan tom-
bak bersabit seperti paruh burung bangau itu. Wees...!
Sasarannya diarahkan ke leher Pendekar Kembar su-
lung. Tapi dengan gesit Raka Pura merunduk, lang-
sung berguling maju ke tanah depannya. Wuus...! Ka-
kinya menendang selangkangan Dewa Pancung. Bet,
plook...! "Uhk...!" Dewa Pancung memang berhasil hindari tendangan tersebut,
namun pinggulnya menjadi
sasaran. Padahal tendangan tersebut bertenaga dalam
cukup besar, sehingga Dewa Pancung terlempar mun-
dur dan jatuh terduduk.
"Jahanam kau!" geram pemuda berambut pan-
jang dikuncir ke belakang. Ia cepat bangkit dengan
senjata panjangnya diarahkan ke depan. Kirana ingin
mencabut pedangnya, bermaksud menyerang Dewa
Pancung. Tapi Raka Pura cepat berseru padanya.
"Jangan! Biar kuhadapi sendiri orang ini!" Dewa Pancung tertawa sumbang. "Hah,
hah, hah... kepala gadis itu pun akan ku pajang di depan pesanggrahan Pantai
Rangsang seperti yang lainnya! Kalau perlu kepalamu
akan ku tumpuk menjadi satu dengan kepala gadismu
itu, Keparat!"
Raka Pura jadi tahu, bahwa Dewa Pancung itu-
lah yang memenggal kepala orangnya Ratu Sedap Ma-
lam dan tentu saja Juga kepala si Batara Jabrik serta
si Jurik Tunggon. Hati Pendekar Kembar sulung justru
merasa senang dapat bertemu dengan si pemenggal
kepala yang tanpa dipaksa sudah mengakui sendiri
perbuatannya. Padahal Dewa Pancung lontarkan pengakuan
secara tak langsung karena ia mendengar Soka Pura
lontarkan tantangan ketika berhadapan dengan Pra-
panca. Setahu Dewa Pancung, pemuda itu sudah men-
getahui bahwa Dewa Pancunglah pemenggal kepala
para korban. Maka menurutnya tak perlu lagi ia menu-
tupi tindakannya itu. Justru dengan berterus terang
begitu diharapkan pemuda lawannya akan menjadi
ciut nyali. Ia tak tahu gertakannya itu sangat mengun-
tungkan bagi Raka Pura.
"O, jadi kau yang memenggal kepala mereka"!"
"Iya! Sebentar lagi kepala kalian yang akan
membuat geger Pantai Rangsang!"
"Hmmm...!" Raka Pura bersikap tenang, bahkan sempat manggut-manggut kecil.
Sementara itu, Kirana
tetap siap dengan pedangnya dan berjaga-jaga. Ia akan
bertindak jika Raka dalam keadaan sangat terdesak,
atau tiba-tiba diserang oleh lawannya.
"Mengapa kau penggal mereka dan memajang
kepalanya di Pantai Rangsang"!"
"Hmmmrr! Karena kalian sudah akan mati
menjadi korbanku, maka tak ada buruknya jika ku je-
laskan maksud pemenggalan itu! Ratu Sedap Malam
akan ciut nyalinya jika melihat banyak korban di seki-
tar Pantai Rangsang. Bahkan aku juga memenggal ke-
pala orang yang bukan dari pihaknya, agar pihak
orang-orang yang ku penggal itu akan menuntut balas
kepada Ratu Sedap Malam. Dengan begitu, pesanggra-
han Pantai Rangsang akan diserang oleh beberapa pi-
hak dan menjadi lemah."
"Setelah itu apa yang kau harapkan"!" tanya
Raka kembali, karena ia belum tahu bahwa Dewa Pan-
cung adalah orangnya Raja Amuk Jagal.
"Tugasku hanya membuat geger di Pantai
Rangsang. Dalam keadaan kacau begitu, pihakku akan
lebih mudah hancurkan kekuasaan Ratu Sedap Ma-
lam, dan kami orang-orang Pulau Kucil di bawah pim-
pinan Raja Amuk Jagal akan menguasai Pantai Rang-
sang! Haa, haa, haa, haa!"
"Ooo, begitu"!" gumam hati Raka sambil melirik Kirana. Gadis itu pun menggumam
hal yang sama. Sebab sepanjang perjalanan menuju Pantai Rangsang,
gadis itu sempat merasa heran mendengar cerita dari
Raka tentang kasus tersebut. Tapi sekarang ikut men-
jadi lega karena sudah tahu duduk persoalannya dan
siapa pelaku pemenggalan kepala tersebut.
"Karena kau sudah banyak tahu tentang renca-
na kami, maka sekarang terimalah ajalmu lebih dulu!
Heeah...!"
Dewa Pancung tebaskan senjatanya dengan ce-
pat secara beruntun. Wuung, wuung, wuuung...! Pen-
dekar Kembar sulung berkelit hindari sambaran benda
tajam yang melengkung seperti paruh burung itu. Se-
rangan Dewa Pancung kali ini datang secara bertubi-
tubi, sehingga Raka merasa sulit mencuri kesempatan
untuk membalas serangan tersebut. Ia hanya berjum-
palitan ke sana-sini hindari senjata El Maut yang sela-lu nyaris merobek dada
atau lehernya itu.
"Heeeaaat...!!"
Dewa Pancung melambung ke atas dalam gera-
kan bersalto. Senjatanya berkelebat ingin membelah
kepala Raka dari atas ke bawah. Raka Pura maju se-
langkah dari menyilangkan kedua tangannya di atas
kepala. Plaak...! Kedua tangan yang menyilang itu ber-
hasil menahan gagang senjata El Maut pada saat Dewa
Pancung daratkan kaki ke tanah. Begitu senjata terse-
but tertahan sekejap di atas kepala Raka, kaki si Pen-
dekar Kembar sulung itu segera berkelebat menendang
ke depan. Bet! "Uuhk...!" Tendangan itu tepat kenai ulu hati Dewa Pancung. Rasa mual bercampur
sakit membuat pernafasan Dewa Pancung bagal tersumbat. Matanya
mendelik, mulutnya ternganga.
Dengan cepat, Raka Pura putar tubuhnya dan
tendangannya melayang kembali. Wut, bet... Plook...!
Rahang kanan Dewa Pancung menjadi sasaran telak
tendangan kaki putar itu. Tubuh sama kekarnya den-
gan Pendekar Kembar itu terlempar ke samping, jatuh
terhempas dengan amat menyedihkan. Bruus...! Dewa
Pancung mengerang panjang, karena raganya seperti
pecah seketika itu juga.
Namun agaknya ia masih kuat menahan rasa
sakit itu. Tenaganya yang masih tersisa digunakan un-
tuk sodokkan gagang senjata pedang tersebut. Sodo-
kan itu sangat tak disangka-sangka oleh Raka. Maka
ketika Raka ingin menyerangnya lagi, perutnya terkena
sodokan tersebut dengan telak. Buuhk...!
"Heekkh...!" Raka Pura terdorong mundur dan
terhuyung-huyung dengan menyeringai menahan sakit
di perutnya. Rasa mual pun dialami oleh Raka Pura
dengan napas tersendat-sendat.
Melihat lawannya terhuyung-huyung, Dewa
Pancung segera sambarkan senjata El Maut ke arah
kaki Raka Pura. Wees...! Tapi Kirana yang ada tak jauh dari Raka itu segera
melompat mendorong Raka Pura
hingga jatuh terpental ke samping. Tapi akibat doron-
gan Kirana, maka senjata El Maut gagal membuntungi
kaki Pendekar Kembar sulung.
"Gadis busuk!" maki Dewa Pancung, ia segera
ayunkan senjatanya sekali putar. Ketajaman senjata di
ujung tongkat itu nyaris menyambar perut Kirana jika
gadis itu tidak segera melompat mundur dan menang-
kiskan pedangnya ke depan perut. Traaang...!
Kedua kaki Kirana menyentak dan tubuhnya
pun meluncur ke atas dalam gerakan bersalto maju.
"Hiaaaah...!!"
Kirana tiba di belakang Dewa Pancung yang ba-
ru sempat bangkit berdiri. Kirana yang beradu pung-
gung dengan Dewa Pancung segera membalik arah pe-
dangnya dan menusukkan ke belakang melalui sisi
pinggang kanannya. Wuut, jruuub...!
"Aahk...!" Dewa Pancung terpekik karena ginjal kirinya tertusuk pedang Kirana.
Bahkan gadis lincah
itu segera melompat ke depan, kedua kaki menjejak ke
belakang. Beet...! Buuuhk...!
"Haaaggh...!" Punggung si Dewa Pancung men-
jadi sasaran telak kedua kaki Kirana. Tubuh itu pun
terlempar ke depan, ke tempat Raka Pura sedang ber-
lutut ingin bangkit.
Maka si Pendekar Kembar pun segera menyam-
but kedatangan tubuh sang lawan dengan sentakkan
tangan kiri untuk singkirkan arah senjata El Maut,
dan tangan kanan menyodok dada lawan dengan kuat.
Buuhk...! "Haakhh...!" Darah segar mulai tersembur dari mulut Dewa Pancung. Untung Raka
segera berguling
ke samping, sehingga wajahnya tidak menjadi korban
semburan darah dari mulut Dewa Pancung.
Begitu Dewa Pancung jatuh tengkurap, Raka
Pura yang dalam posisi duduk segera ayunkan kakinya
dari atas ke bawah, tumitnya menghantam kuat teng-
kuk kepala Dewa Pancung. Dees...!|
Bruuk...! Kepala Dewa Pancung yang ingin di-
angkat menjadi tersentak mencium tanah dengan da-
rah keluar dari lubang telinga dan hidungnya. Bekas
tendangan tumit Raka itu mengepulkan asap di teng-
kuk Dewa Pancung. Tentu saja tenaga dalam Raka
yang tersalur pada kaki membuat Dewa Pancung ter-
kulai tak mampu bergerak lagi.
Kirana segera mengayunkan pedangnya untuk
memenggal kepala Dewa Pancung. "Heeaaah...!!"
"Tahan!" seru Raka Pura yang membuat gera-
kan Kirana terhenti seketika dengan napas terengah-
engah diburu kemarahan.
"Jangan bunuh dia! Aku ingin serahkan orang
ini kepada Ratu Sedap Malam atau kepada Paman La-
har Jalanan! Ia harus diserahkan dalam keadaan ma-
sih hidup, sehingga mau akui perbuatannya di depan
sang Ratu dan yang lainnya."
Kirana hembuskan napas penahan kesabaran.
"Kalau begitu, seret dia ke sana! Kita harus se-
gera sampai ke pesanggrahan Pantai Rangsang!"
"Tapi aku tak tahu di mana letak pesanggrahan
itu, Kirana!"
"Aku tahu!" jawab Kirana dengan tegas. "Bukankah tadi di perjalanan sudah
kukatakan, aku per-
nah ke sana bertemu dengan Ratu Sedap Malam bebe-
rapa kali karena diutus oleh Eyang Guru Mulut Gun-
tur"!" "O, ya, ya... aku hampir lupa kata-katamu ta-di," Raka Pura tersenyum
sumbang. Rupanya pihak
Kirana punya hubungan baik dengan pihak Ratu Se-
dap Malam, sehingga bagi Kirana bukan hal yang sulit
untuk menuju ke pesanggrahan Pantai Rangsang itu.
Kirana membawa senjata El Maut-nya si Dewa
Pancung, sedangkan Raka Pura menyeret tubuh Dewa
Pancung dengan menggunakan akar yang mirip tam-
bang itu. Dewa Pancung masih tak sadarkan diri kare-
na luka-luka di dalam tubuhnya sangat parah. Namun
Raka merasa mampu sembuhkan luka itu dengan ju-
rus 'Sambung Nyawa'-nya jika mereka sudah tiba di
depan Ratu Sedap Malam. Dengan begitu, mereka da-
pat mendengar pengakuan Dewa Pancung sebagai pe-
laku pemenggalan kepala yang bikin geger Pantai
Rangsang. Pesanggrahan memang sempat menjadi geger,
karena orang-orang Suku Ampar dari pihak Jurik
Tunggon melabrak Ratu Sedap Malam. Mereka menu-
duh Ratu Sedap Malam telah mengutus orangnya un-
tuk memenggal kepala Jurik Tunggon. Sebab, pada
saat Jurik Tunggon berhadapan dengan Dewa Pan-
cung, ia tidak sendirian. Ia bersama seorang sauda-
ranya yang juga dari perkampungan Suku Ampar. De-
wa Pancung menyerang dengan mengaku sebagai utu-
san Ratu Sedap Malam. Jurik Tunggon hadapi Dewa
Pancung, saudaranya itu melarikan diri memberi tahu
kepada kepala Suku Ampar yang berjuluk si Macan
Seribu. Pesanggrahan dikepung oleh orang-orang Suku
Ampar. Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan dan Nyai
Sangkal Putung tampil hadapi mereka dengan kepala
dingin. Macan Seribu sudah mencabut parangnya, itu
pertanda siap tempur bagi orang-orang Suku Ampar
yang dikenal juga sebagai manusia kelelawar, karena
mereka bertelinga tinggi dan bermulut monyong, men-
genakan pakaian serba hitam.
"Tahan dulu murka mu, Kepala Suku!" ujar La-
har Jalanan. "Ratu Sedap Malam tak pernah mengutus orangnya untuk lakukan
kekejian seperti itu!"
"Omong kosong! Seraaang...!!"
Seruan itu membuat orang-orang Suku Ampar
bergegas menyerang pihak Ratu Sedap Malam. Namun
Lahar Jalanan yang berhadapan dengan si Macan Se-
ribu yang berpakaian loreng hitam itu segera sentak-
kan suara dengan mulut terbuka lebar.
"Tahaaaann...!"
Sentakan suara itu membuat mulut Ki Sela Giri
semburkan api yang menyebar ke mana-mana. Nyaris
membakar tubuh si Macan Seribu jika orang itu tak
segera melompat mundur. Kesaktian Lahar Jalanan
membuat Macan Seribu tercengang dan mulai pikir-
pikir untuk lakukan serangan langsung kepada kakek
itu. Nyai Sangkal Putung kibaskan tongkatnya yang
memutar cepat di atas kepala. Kibasan tongkat itu ha-


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirkan angin kencang yang sukar ditembus lawan.
Tiap tubuh yang mendekat selalu terlempar bagai dis-
apu badai. Hal itu pun diketahui oleh si Macan Seribu, sehingga kepala Suku
Ampar itu berseru kepada
orang-orangnya.
"Hentikaaan...! Hentikan dulu serangan ini!"
Serangan dihentikan. Suasana hening sesaat.
Pada waktu suasana menjadi hening itulah, mereka
mendengar suara teriakan orang yang sedang menuju
ke pesanggrahan.
"Pamaaan...! Aku menangkap orangnyaaaa...!"
"Raka Pura atau Soka Pura itu"!" gumam si Lahar Jalanan. Nyai Sangkal Putung dan
Ratu Sedap Ma- lam sendiri juga sempat merasa heran, karena gadis
yang disangka berjalan dengan Soka Pura itu bukan si
Mata Bidadari. "Kirana..."!" gumam Ratu Sedap Malam dengan
lirih. Kemunculan Raka Pura membuat orang-orang
Suku Ampar terperanjat kaget dan menjadi tegang.
Wajah Raka Pura yang serupa dengan adik kembarnya:
Soka Pura, adalah wajah yang ditakuti oleh Suku Am-
par. Karena Suku Ampar pernah dibuat kalang kabut
oleh amukan Soka Pura ketika mereka menyerang Su-
ku Kano, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Tantangan Mesra").
Karena mereka menyangka Raka adalah Soka
Pura, maka si Macan Seribu memberi isyarat kepada
orang-orangnya untuk lebih mundur lagi. Tentu saja
Raka melangkah dengan cuek kepada orang-orang Su-
ku Ampar, sebab ia memang belum pernah jumpa
dengan orang-orang Suku Ampar itu. Tapi pusat per-
hatian mereka segera tertuju pada tubuh seorang pe-
muda yang diseret oleh Raka Pura dalam keadaan te-
lentang. Mereka merasa asing dengan wajah pemuda
yang diseret tak sadarkan diri itu.
"Paman, orang inilah yang memenggal para
korban. Ternyata ia orangnya Raja Amuk Jagal!" seru Raka Pura sengaja dikeraskan
suaranya agar didengar
oleh orang-orang Suku Ampar itu.
"Kirana," sapa sang Ratu. "Bagaimana kau bisa bersama Soka Pura?"
"Nyai Ratu, dia bukan Soka Pura, tapi kekasih-
ku, Raka Pura!"
"Ooh..."!" Nyai Ratu dan yang lainnya terperangah. Raka segera sembuhkan keadaan
Dewa Pan- cung dengan jurus 'Sambung Nyawa'-nya yang men-
cengangkan orang-orang Suku Ampar dan pihak Ratu
Sedap Malam sendiri itu. Dewa Pancung segera sadar
dan sehat kembali. Namun ia terpaksa tak berkutik
karena menyadari sudah berada di pihak lawannya.
Senjata El Maut masih berada di tangan Kirana yang
jauh dari jangkauan, sehingga tak memungkinkan un-
tuk dirampas kembali.
Sang Ratu berseru kepada Dewa Pancung di
depan Suku Ampar juga, setelah Dewa Pancung me-
nyebutkan namanya.
"Aku akan meringankan hukumanmu jika kau
mau berterus terang apa yang telah kau lakukan di wi-
layah ku ini!"
"Ak... aku...." Dewa Pancung ragu-ragu. Ma-
tanya melirik ke arah orang-orangnya Ratu Sedap Ma-
lam. Ia menemukan wajah Bintari di samping kanan
sang Ratu, bersebelah dengan Nyai Sangkal Putung.
Dewa Pancung segera berkata, "Bintari, cepat
lari dan kabarkan kegagalanku kepada Raja Amuk
Jagal! Heeaaat...!"
Dewa Pancung segera melepaskan pukulan ke
arah Ratu Sedap Malam. Sinar merah berekor yang
merupakan Jurus 'Pukulan Keramat' melesat menga-
rah kepada sang Ratu. Tapi dengan cepat si Lahar Ja-
lanan melepaskan tudungnya dan tudung itu dilem-
parkan hingga menahan sinar merah sebelum sinar itu
kenai dada sang Ratu.
Claap! Wuuut! Blegaar...!
Ledakan itu terjadi ketika sinar merah meng-
hantam tudung si Lahar Jalanan yang sudah dialiri te-
naga dalam. Ledakan itu membuat Ratu Sedap Malam
tersentak mundur, namun segera ditangkap oleh tan-
gan para pengawal lainnya, hingga tak sempat jatuh.
Sedangkan Bintari yang ingin berkelebat pergi dilum-
puhkan oleh Nyai Sangkal Putung dengan sodokan
tongkatnya yang kenai punggung Bintari dengan cepat.
Rupanya Bintari itulah mata-mata Raja Amuk Jagal
yang menelusup pesanggrahan Pantai Rangsang.
Melihat 'Pukulan Keramat'-nya gagal, Dewa
Pancung segera larikan diri. Namun si Macan Seribu
segera menerjangnya dengan penuh dendam.
"Heeeaaat...!"
Crraass...! Parang tajam milik si Macan Seribu menebas
cepat, tak bisa dihindari oleh Dewa Pancung. Akibat-
nya leher Dewa Pancung pun putus seketika, jatuh
menggelinding seakan siap ditancapkan di ujung bam-
bu seperti kepala korbannya.
Dengan tertangkapnya Bintari sebagai mata-
mata pihak Raja Amuk Jagal, dan terpenggalnya kepa-
la Dewa Pancung oleh tangan kepala Suku Ampar,
maka orang-orang Suku Ampar pun segera tinggalkan
Pantai Rangsang. Mereka tak berani menuntut lebih
dari itu, karena mereka tahu, Pendekar Kembar ada di
pihak Ratu Sedap Malam.
Sang Ratu sendiri sudah merasa sedikit lega,
karena si tukang penggal yang menggegerkan Pantai
Rangsang itu sudah binasa. Kini sang Ratu dan orang-
orang yang memihaknya tinggal menunggu kedatangan
si tukang Jagal, alias Raja Amuk Jagal, yang tentunya
berilmu lebih tinggi dari si Dewa Pancung.
"Raja Amuk Jagal pasti akan datang, dan kita
harus siap hadapi kedatangan mereka, Raka Pura,"
ujar Lahar Jalanan. Pendekar Kembar sulung angguk-
kan kepala. "Sekarang yang ku pikirkan bukan kedatangan
Raja Amuk Jagal, Paman. Tapi dl mana adikku: Soka
Pura?" "Soka dan si Mata Bidadari, murid Nyai Sangkal Putung, sedang mencari
Dewa Pancung. Tapi... entah
di mana mereka sekarang berada. Karena terbukti
kaulah yang berhasil menangkap Dewa Pancung itu!"
"Celaka! Jangan-jangan mereka berdua sudah
di penggal oleh si Dewa Pancung"!" ujar Kirana dengan wajah tegang. Mau tak mau
yang lainnya pun ikut tegang, mencemaskan nasib Soka Pura dan si Mata Bi-
dadari. Mereka tak tahu bahwa malam itu, Soka dan si
Mata Bidadari ada di dalam gua tebing karang bersama
Dedengkot Iblis. Soka Pura sedang membujuk Dedeng-
kot Iblis agar tidak mencampuri urusannya karena
amukan Dedengkot Iblis dikhawatirkan akan mema-
kan korban tak bersalah. Karena Soka tahu, Dedeng-
kot Iblis kalau sudah murka menjadi ngawur. Tak per-
nah pedulikan serangannya lukai orang lain atau ti-
dak. Tapi mampukah Soka Pura membujuk Dedengkot
Iblis, jika Dedengkot Iblis merasa tak rela melihat Pendekar Kembar yang
dianggap keturunan dari mantan
istrinya itu dulu dilukai oleh orang lain"
SELESAI Segera terbit!!!
PENGKHIANAT BUDIMAN
E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 3 Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Rahasia Kunci Wasiat 12
^