Pencarian

Penghianatan Joko Galing 1

Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko Galing Bagian 1


PENGHIANTAN JOKO GALING Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Penghianatan Joko Galing
128 hal; 12 x 18 cm
1 Pagi yang cerah, langit tampak bersih tanpa
mega. Angin pegunungan berhembus sejuk. Di dalam
sebuah rumah bilik yang berada di lereng Pegunungan
Panalu, pagi itu nampak seorang lelaki tua berusia tu-juh puluh tahun dengan
pakaian serba merah duduk
di atas sebuah batu persegi. Di hadapan lelaki tua itu, seorang pemuda berusia
sekitar dua puluh tahun duduk bersila.
"Segala ilmu yang aku miliki telah kuturunkan
pada dirimu, Joko," lelaki berjenggot serta berambut putih terurai itu berkata
kepada muridnya. "Kini wak-tumu untuk mengamalkan segala ilmu yang kau mili-
ki." Lelaki muda yang dipanggil Joko Galing hanya
diam saja, menundukkan kepala mendengarkan penuh
perhatian ucapan sang Guru. Lima tahun sudah Joko
Galing menjadi murid Ki Mandra. Selama itu pula dia
dididik dan digembleng dalam asuhan orang tua sakti
itu, hingga kini menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu dan kemampuan tinggi.
Ki Mandra memandangi Joko Galing, lalu ber-
kata, "Berjalanlah sesuai dengan apa yang selama ini aku ajarkan pada dirimu!"
Joko Galing menengadahkan kepala sambil
berkata, "Baik, Guru. Akan kulaksanakan semua yang
Guru petuahkan dan ajarkan kepadaku."
Ki Mandra mengangguk-anggukkan kepala,
dengan bibir menyunggingkan senyum. Tampaknya le-
laki tua berambut putih itu mengerti apa yang di-
ucapkan sang Murid.
"Guru.... Kalau boleh aku ingin bertanya," ujar Joko Galing kemudian.
"Tentang apa, Joko?"
Joko Galing terdiam sesaat, lalu menarik napas
dalam-dalam. "Guru, apakah benar orangtua ku mati dibu-
nuh Panca Iblis?"
Ki Mandra tak menyahuti, tapi dari anggukan
kepalanya bisa diartikan kalau sang Guru menjawab
pertanyaan sang Murid. Kemudian ditatapnya wajah
Joko Galing. "Bolehkan aku menuntut balas, Guru?"
Ki Mandra tersenyum, menggelengkan kepala.
"Sebagai seorang pendekar, kau tak boleh me-
nyimpan dendam, sekecil apa pun, Joko. Melangkah-
lah di jalan lurus. Kalau ingin menumpas Panca Iblis, kau harus mendasarkan
tindakanmu pada kepentin-gan umum, dengan tujuan menegakkan kebenaran
dan keadilan. Bukan karena dendam kesumatmu.
Memang kebiadaban Panca Iblis telah banyak merugi-
kan orang. Tumpaslah keangka-ramurkaan yang me-
reka lakukan. Itulah sebenarnya jalan yang lurus bagi seorang pendekar. Kau
mengerti, Joko?"
Joko Galing tidak segera menjawab. Ditariknya
napas panjang, lalu menganggukkan kepala perlahan.
"Bagus."
Ki Mandra bangkit dari duduknya, lalu melang-
kah meninggalkan sang Murid seorang diri, menuju
kamarnya. Tak lama kemudian lelaki tua itu kembali
keluar dan mendekati Joko Galing. Tangannya meng-
genggam sebilah pedang. Ditatapnya wajah Joko Gal-
ing yang duduk bersila di hadapannya.
"Joko, pedang pusaka ini sengaja kusimpan
baik-baik," ujar Ki Mandra setelah menatap wajah muridnya. "Dulu Pedang
Lembayung Merah ini sempat
menggegerkan dunia persilatan. Barang siapa mem-
pergunakan pedang ini, dan memiliki ilmu pukulan
'Lembayung Merah', dia akan menjadi pendekar yang
sulit dikalahkan. Kau memang tak memiliki pukulan
'Lembayung Merah' tapi kau menguasai ilmu 'Serat
Kendali', yang berguna sebagai pengendali nafsu ang-
kara murka. Pakailah pedang ini untuk kebaikan. Jan-
gan kau gunakan dalam tindak kejahatan," saran Ki Mandra.
Joko Galing terdiam menundukkan kepala, be-
rusaha meresapi apa yang dikatakan gurunya.
Hatinya merasa bangga, karena yakin kalau
pedang sakti ini akan menjadi miliknya. Dan setelah
memiliki Pedang Lembayung Merah, dia akan menjadi
pendekar yang sakti.
"Terimalah pedang ini, Joko."
Ki Mandra mengulurkan tangannya, menyerah-
kan Pedang Lembayung Merah pada Joko Galing. Pe-
muda itu segera menyambut dengan mengulurkan ke-
dua telapak tangannya ke atas. Setelah sampai di tangan, segera diciumnya pedang
pusaka itu. Kemudian
dililitkan tali pedang ke tubuhnya, hingga senjata itu tersandang di punggung
Joko Galing. "Ingat, Joko! Pedang itu hanya untuk membela
kebenaran dan keadilan. Jangan kau gunakan dalam
tindak kejahatan! Jika kau lakukan hal itu, celakalah dirimu. Kau akan menerima
siksa dari pedang itu," tutur Ki Mandra memperingatkan Joko Galing yang telah
menyandang senjata pusaka itu.
"Baik, Guru! Selalu kuingat segala pesanmu,"
sahut Joko Galing sambil menundukkan kepala.
"Joko, jika kau sudah turun gunung, carilah
seorang pendekar yang bisa membantumu. Mintalah
petunjuk, dan bila perlu mengabdilah padanya!" saran Ki Mandra lagi.
"Siapakah dia, Guru?" tanya Joko Galing ingin tahu. "Aku sendiri kurang tahu
namanya. Tapi di kalangan dunia persilatan dia dikenal dengan julukan
Pendekar Gila. Tingkah lakunya memang seperti orang
gila," jawab Ki Mandra.
Sesaat Joko Galing terdiam, dengan kening
mengerut. Hatinya bertanya-tanya siapa sebenarnya
Pendekar Gila. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan-
akan berusaha menenangkan perasaannya. Ingin seka-
li dia seperti Pendekar Gila, yang sangat kesohor dan disegani di kalangan dunia
persilatan. "Siapakah Pendekar Gila itu, Guru" Dan men-
gapa dia disegani tokoh-tokoh persilatan?" dengan agak ragu, akhirnya Joko
Galing bertanya.
"Hm..., dia seorang pendekar berbudi luhur. Il-
munya sangat tinggi, tetapi tidak sombong dan merasa besar. Bahkan, sering
merendahkan diri," jawab Ki Mandra.
Joko Galing terdiam. Kepalanya mengangguk-
angguk, seakan mengerti. Namun perasaan hatinya
yang iri pada Pendekar Gila, tak dapat ditepiskan. Dia ingin seperti pendekar
itu yang tersohor bahkan sangat ditakuti.
"Ada apa lagi, Joko" Tampaknya kau bimbang,"
tukas Ki Mandra dengan mata menatap tajam ke wajah
Joko Galing. Tatapan lelaki tua itu seperti tengah menyelidik apa yang
dipikirkan sang Murid.
"Ah! Tidak, Guru! Aku mengerti."
"Bagus kalau begitu."
Ki Mandra sesaat menghela napas pelan. Ma-
tanya masih menatap wajah sang Murid. Kepala lelaki
tua itu mengangguk-angguk. Tangan kirinya membe-
lai-belai jenggotnya yang panjang dan putih.
"Berangkatlah! Amalkan semua ilmu yang telah
kau peroleh, untuk membela kebenaran dan keadilan!"
perintah Ki Mandra, setelah sesaat terdiam menatapi
wajah muridnya.
"Baik, Guru! Aku mohon pamit," pinta Joko
Galing sambil menyembah. Kemudian dengan diikuti
tatapan mata sang Guru, Joko Galing melangkah me-
ninggalkan rumah gurunya.
Lima tahun terasa begitu cepat berlalu. Joko
Galing tak pernah lupa pada peristiwa mengenaskan,
yang menimpa keluarganya. Kedua orang tuanya di-
bantai Panca Iblis.
Joko Galing menengadahkan wajah meman-
dang ke langit biru. Dihelanya napas panjang-panjang, menghirup udara pagi yang
sejuk. Hm, kini aku telah punya kemampuan. Akan
kubalas kematian keluargaku. Tunggulah pembala-
sanku, Panca Iblis! Hutang nyawa harus dibayar nya-
wa pula, batin Joko Galing penuh dendam. Tangannya
memegang gagang Pedang Lembayung Merah yang ter-
sampir di punggung.
Srt! Dicabutnya Pedang Lembayung Merah dari wa-
rangka. Seketika tubuhnya tergetar hebat. Seakan pe-
dang itu mengandung kekuatan sangat dahsyat yang
disertai keluarnya cahaya merah menyilaukan mata.
"Ukh! Akh...!"
Joko Galing mendesah. Tubuhnya mengucur-
kan keringat dingin, ketika mengerahkan tenaga dalam untuk dapat menguasai
kekuatan pedang itu.
"Ukh! Akh...! Pedang ini seperti menyedot selu-
ruh kekuatanku," keluh Joko Galing merasakan getaran yang teramat kuat. Sehingga
dirasakan tenaganya
terkuras habis.
Pedang itu terus tergetar dengan hebat. Sema-
kin keras getaran yang ditimbulkan, semakin terang
sinar merah yang keluar.
"Ukh! Akh...!"
Joko Galing terus melenguh. Tenaganya sema-
kin lama terkuras. Wajahnya memucat, bagaikan tak
berdarah. Rasa gentar seketika menjalar di hatinya,
menyaksikan kedahsyatan Pedang Lembayung Merah
di tangannya. Dia menyangka, kalau kekuatan pedang
itu hebat sekali.
"Oh, tenagaku hampir habis!" keluh Joko Galing dengan wajah kian memucat dan
tegang, merasa-
kan getaran pedang masih tetap kuat.
"Joko, Anakku. Kau tak akan mampu mengen-
dalikan kekuatan pedang itu, jika batinmu belum te-
nang. Hatimu diliputi rasa dendam. Dendam adalah
setan. Gunakanlah ilmu 'Serat Kendali' yang kau mili-ki. Dengan ilmu itu kau
akan mampu memegang Pe-
dang Lembayung Merah'," terdengar suara gurunya memberi tahu.
"O, ampunkanlah aku, Guru. Aku telah terlena
melupakan petuahmu," keluh Joko Galing.
Kemudian dengan memejamkan mata, Joko
Galing mengerahkan ilmu 'Serat Kendali'. Dibuangnya
perasaan marah. Dan segera disatukan segenap rasa
dan indra pada ketenangan jiwanya. Saat itu pula, Pedang Lembayung Merah mulai
melemah. Getaran dan
sinar merah yang menyilaukan mata tampak mereda.
Napas Joko Galing tersengal-sengal, seperti ha-
bis berlari kencang ribuan tombak. Keringat masih
mengucur, membasahi sekujur tubuhnya. Perlahan-
lahan ditariknya napas panjang mencoba mengatur pe-
rasaan. "O, betapa hebat pedang ini!" gumam Joko Galing lirih.
"Hati-hatilah, Anakku. Berangkatlah dengan
ketenangan jiwamu! Jiwa seorang pendekar," suara Ki
Mandra gurunya kembali terdengar.
"Baik, Guru. Terima kasih atas jasamu selama
ini!" sahut Joko Galing.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh, pemuda itu melesat meninggalkan tempat itu.
Tubuhnya dalam sekejap saja sudah menghilang di ba-
lik pepohonan hutan yang dilaluinya.
Kini tujuan Joko Galing hanya satu, mencari
Panca Iblis yang telah membantai keluarganya. Juga
telah membuat kesengsaraan penduduk Desa Kalasan.
Kemudian yang kedua, mencari Pendekar Gila seperti
yang disarankan sang Guru.
"Hea! Heaaa...!"
Tubuh Joko Galing terus melesat menggunakan
ilmu lari yang bernama 'Gerak Sewu". Sebuah ilmu lari yang mengandalkan
kecepatan gerakan kaki. Sehingga
kaki Joko Galing seperti ada seribu, karena begitu cepat gerakannya. Dalam
sekejap saja pemuda itu telah
sampai di bawah Gunung Panalu.
"Hih...!"
Joko Galing menghela napas. Matanya meman-
dang lepas ke atas, seolah-olah hendak melihat sang
Guru yang berada di lereng gunung itu. Teringat kem-
bali lima tahun yang lalu dia ditolong lelaki tua itu dari kematian yang telah
merenggut keluarganya.
"Guru, sungguh besar jasamu padaku," desah Joko Galing ketika teringat kebaikan
Ki Mandra yang telah mengasuhnya selama ini. Tanpa adanya lelaki
tua itu, mungkin dia sudah mati pula di tangan Panca Iblis. Baiklah, untuk
mengetahui siapa sebenarnya
Joko Galing kita kembali ke lima tahun yang silam. Ki-ta akan mengikuti sejenak
bagaimana sampai Joko
Galing menjadi murid Ki Mandra.
*** Lima tahun yang lalu, Desa Kalasan yang di-
pimpin oleh Ki Santanu diserang lima orang yang me-
namakan dirinya Panca Iblis dari Suwelang. Dengan
menunggang kuda mereka menuju Desa Kalasan. Pan-
ca Iblis membunuh setiap orang yang di-jumpai di ja-
lan. "Ha ha ha...! Katakan pada Ki Santanu, setiap
bulan purnama warga Desa Kalasan harus menyetor-
kan upeti pada kami!" seru lelaki bertubuh besar berpakaian ungu. Kumis panjang


Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko Galing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melintang dan cambang
bauk menghiasi wajahnya. Dialah Gaja Polo, pemimpin
Panca Iblis. "Ya! Jangan sesekali berani melawan! Kami tak
segan-segan membunuh kalian!" sambung lelaki berusia sekitar empat puluh tahun,
yang berbadan gemuk
dan pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan cambang
bauk. Lelaki berpakaian kuning gading itu bernama
Barda, orang kelima dari Panca Iblis.
Warga Desa Kalasan yang ketakutan melihat
sepak terjang Panca Iblis tak satu pun yang berani melawan. Semua diam membisu,
meski dari pancaran
mata mereka tergambar kebencian yang mendalam.
"Katakan pada Ki Santanu, agar disiapkan pes-
ta meriah! Kami akan datang ke rumahnya!" seru Gaja Polo. "Hai, jawab...! Kalian
seperti orang bisu!" bentak Ranguwalang, lelaki bertubuh tinggi dan kurus,
mengenakan pakaian biru kehitaman. Lelaki berambut
kaku dan hidung pesek itu, orang ketiga dari Panca Iblis. Namun para warga desa
yang ketakutan itu tak
mampu menjawab bentakan keras itu.
"Kurang ajar! Kalian rupanya mencari mam-
pus!" maki Sartakulir, orang kedua dari Panca Iblis.
Rambutnya yang panjang terurai, dengan ikat kepala
kain coklat. Crang! Sartakulir mencabut pedangnya. Kemudian di-
jalankan kudanya mendekat ke kerumunan penduduk
yang tak berani pergi dari tempat itu. Karena jika pergi, melayanglah nyawa
mereka. "Ayo, jawab! Apa kalian ingin pedang ini yang
bicara"!" bentak Sartakulir sambil mengancung-
acungkan pedang di depan warga desa yang semakin
ketakutan. Namun tiba-tiba...
"Pengecut! Kalian hanya berani dengan orang-
orang lemah!" terdengar bentakan keras dari belakang.
Ketika Sartakulir menolehkan kepala, dilihat-
nya dua orang berbadan tegap dengan muka tak kalah
garang, telah berdiri sekitar sepuluh tombak di belakangnya. Kedua lelaki
berpakaian sama hitam dengan
loreng-loreng merah itu, tak lain tangan kanan Ki Santanu. "Heh...! Siapa
kalian"!" bentak Gaja Polo. "Berani benar menantang Panca Iblis!"
"Hm, apa yang mesti kami takutkan"! Sepasang
Clurit dari Simolawang, tak pernah gentar!" sahut Kerto Badru. Lelaki berbadan
tinggi tegap dengan kumis
melintang tebal.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari mampus,
Centeng Tolol!" bentak Gaja Polo. Matanya membelalak lebar diliputi amarah.
"Hm, kuharap kalian jangan sesekali berani
menginjakkan kaki di desa ini!" kata Kerto Wala. Wajahnya pun menunjukkan
keangkeran, seolah ingin
menunjukkan pada kelima Panca Iblis kalau mereka
bukan orang-orang sembarangan.
"Kurang ajar! Singkirkan mereka!" perintah Ga-ja Polo pada keempat rekannya.
"Biar aku saja yang menyingkirkan centeng to-
lol itu!" sahut Barda sambil melompat dari punggung kudanya. Dengan langkah
tegap sambil membusung-kan dada, Barda berjalan perlahan mendekati kedua
tangan kanan Ki Santanu. Tangannya memegang golok
besar yang tersandang di punggungnya.
Kedua tangan kanan Ki Santanu segera menca-
but senjata masing-masing yang berbentuk clurit. Ma-
ta keduanya menatap tajam lelaki berpakaian kuning
gading yang melangkah semakin dekat.
"Bersiaplah kalian untuk mampus!" dengus
Barda sambil menarik goloknya dari warangka.
Srt! "Hea!"
"Yea!"
Barda segera merangsek dengan kibasan golok
besarnya. Kerto Badru dan Kerto Wala seketika ber-
lompatan mundur mengelakkan babatan golok lawan.
Kemudian dengan cepat keduanya balas menyerang
dengan sambaran cluritnya.
"Hea!"
"Yea!"
Wuttt! Dalam sekejap, pertarungan telah berjalan den-
gan seru. Namun tampaknya kemampuan Kerto Badru
dan Kerto Wala berada setingkat di bawah lawannya.
Dalam beberapa gebrakan saja, Barda mampu mengu-
asai keadaan. Golok besarnya terus berkelebat cepat
memburu kedua lawannya.
"Mampuslah kalian!" bentak Badra.
Wrt! Golok besar itu berkelebat cepat
Jreb! Jreb! "Wuaaa...!"
Kedua lawan Badra menjerit kesakitan ketika
golok besarnya membabat tubuh Kerto Badru dan Ker-
to Wala. Kedua ambruk dengan mata terbelalak. Se-
saat keduanya mengejang kesakitan, kemudian tewas.
Badra tersenyum mencibirkan bibirnya. Kemu-
dian dengan angkuh didepaknya kedua tubuh tangan
kanan Ki Santanu yang sudah menjadi mayat.
"Lihat! Apakah kalian ingin seperti mereka"!"
seru Badra pada warga Desa Kalasan yang semakin ke-
takutan setelah menyaksikan kedua tangan kanan Ki
Santanu dalam beberapa gebrakan saja telah tewas.
"Cepat katakan pada Ki Santanu, siapkan pe-
nyambutan kami!" perintah Gaja Polo.
Warga desa yang sudah ketakutan itu pun me-
nurut. Mereka segera meninggalkan tempat itu, untuk
memberi tahu Ki Santanu tentang kedatangan Panca
Iblis. Ki Santanu yang tak suka kalau orang-orang
jahat menginjakkan kaki di desanya, dengan tegas me-
nolak kedatangan Panca Iblis. Mendengar penolakan
kepala desa itu. Panca Iblis itu mengamuk, mereka
membakari rumah-rumah penduduk dan membantai
orang-orang Desa Kalasan. Bahkan keluarga Ki Santa-
nu dibantai habis. Namun tanpa diduga, ketika pem-
bantaian keji itu tengah berlangsung, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat cepat
dan merenggut tubuh Joko
Galing dari amukan Panca Iblis.
Sosok itu ternyata Ki Mandra. Sejak saat itu,
Joko Galing diangkat sebagai murid orang tua sakti
itu. Joko Galing menarik napas panjang-panjang,
setelah membayangkan kembali kejadian yang menge-
naskan lima tahun silam. Entah bagaimana keadaan-
nya Desa Kalasan saat ini, pikir pemuda itu.
"Hm," Joko Galing menggumam tak jelas, ke-
mudian melesat menuruni lereng gunung. Tujuannya
hanya satu, ke Desa Kalasan.
*** 2 Desa Kalasan kini benar-benar bagaikan desa
mati! Sepi, seperti tak berpenghuni. Sore hari pintu-pintu rumah telah tertutup,
pagi dan siang tiada seorang anak pun yang tampak bermain-main di luar ru-
mah. Kehidupan bagai tercekam rasa takut. Apalagi sejak Ki Santanu sebagai
Kepala desa Kalasan mati di-
bunuh Panca Iblis,
Segala sesuatu yang diperintahkan Panca Iblis
harus dilaksanakan. Selama lima tahun Desa Kalasan
di bawah kekuasaan orang-orang durjana.
Namun akhir-akhir ini warga bertambah resah
dengan kedatangan seorang wanita muda dan cantik
yang telah mampu mengalahkan Panca Iblis. Wanita
itu menghendaki agar para pemuda tampan harus me-
relakan dirinya sebagai kekasihnya. Mereka dijadikan pemuas nafsu wanita cantik
itu. "Kabarkan kepada semua penduduk, agar se-
tiap malam menyerahkan anak lelaki mereka kepada-
ku. Kalian mengerti..."!"
"Daulat, Nyi Mas," jawab kelima orang yang menamakan dirinya Panca Iblis yang
telah takluk pada wanita cantik itu.
"Bila ada warga atau pemuda yang membantah,
tumpas! Jangan beri ampun!" kembali wanita cantik berpakaian merah jambu itu
berkata. "Daulat, Nyi Mas!" jawab orang-orang Panca Iblis serempak.
"Barda, coba kau cari anak Ki Santanu!"
Barda mengerutkan kening mendengar perintah
wanita yang dipanggil Nyi Mas itu.
"Untuk apa, Nyi Mas" Bukankah anak itu nanti
akan merepotkan kita"!"
"Jangan membantah, Barda!" bentak wanita
cantik itu yang ternyata Nyi Mas Lindri.
Barda terdiam. Segala perintah pimpinannya
memang harus dilaksanakan dan tak seorang pun
yang berani membantah.
"Daulat, Nyi Mas. Saya akan mencarinya," jawab Barda setelah terdiam beberapa
saat. "Namun, apabila kelak anak itu membahayakan kita, Nyi Mas
jangan menyesali dan menyalahkanku!"
"Semua tanggung jawabku, Barda!" suara Nyi Mas Lindri meninggi, pertanda marah.
Kelima lelaki yang duduk di hadapannya menundukkan kepala, tak
berani bertatap pandang.
Nyi Mas Lindri memang seorang wanita cantik,
tapi ilmunya di atas kelima Panca Iblis.
Barda yang tahu gelagat, segera minta pamit.
Lelaki berpakaian kuning gading itu beranjak pergi untuk mencari Joko Galing.
Walau tak tahu apa sebenar-
nya maksud sang Ketua, Barda tak berani membantah
apalagi menentangnya. Dengan perasaan kurang enak,
Barda melangkah pergi.
"Aneh! Bukankah dulu dia yang menyuruh agar
dibunuh semua keturunan Ki Santanu"! Kenapa seka-
rang malah menyuruhku mencari anaknya yang hi-
lang?" Barda bertanya-tanya sendiri. "Hm.... Untuk apa anak itu" Ah, memang
susah bekerja sama dengan
wanita!" Barda telah melangkah jauh meninggalkan Hu-
tan Gendis tempat Panca Iblis berada. Namun pikiran-
nya masih bingung harus menuju arah mana untuk
mencari anak Ki Santanu, yang entah berada di mana.
Tapi ketika Barda tengah berjalan memasuki sebuah
hutan, tiba-tiba....
"Manusia keparat..! Tungguuu...!"
Barda tersentak, lalu memalingkan wajah ke
arah suara itu. Dilihatnya segerombolan orang berla-
rian mengejar Barda. Dua puluh lima orang yang men-
genakan ikat kepala bergambar tanduk merah itu ter-
nyata anak buah Begal Setan Tanduk Merah. Sebuah
perkumpulan begal yang akhirnya terdesak kedudu-
kannya di Hutan Gendis setelah kedatangan Panca Ib-
lis, apalagi semenjak Panca Iblis dipimpin Nyi Mas Lindri.
Siapa mereka..." Tanya Barda dalam hati. Apa
urusan mereka denganku"
Barda yang belum yakin apa maksud gerombo-
lan itu nampak terdiam menunggu kedatangan mere-
ka. Namun Barda tersentak kaget, ketika melihat tan-
gan orang-orang itu menggenggam senjata terhunus,
seperti tengah memburu musuh.
"Siapa kalian?" tanya Barda belum mengerti.
Ketua Begal Setan Tanduk Merah tersenyum
sinis mendengar pertanyaan Barda. Bagi dia ucapan
Barda adalah ucapan seorang pengecut. Pertanyaan
seseorang yang tengah ketakutan.
"Ha ha ha...! Kenapa harus berpura-pura, Bar-
da" Apa kau tak ingat dengan kami yang telah kau hi-
na dulu" Setahun yang lalu. Kau dan teman-temanmu
telah memaksa kami harus menyingkir dari Hutan
Gendis," ujar Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah yang bernama Mangala.
Barda kembali mengerutkan kening. Dia benar-
benar tak mengerti siapa sebenarnya mereka. Bertemu
saja baru kali ini.
"Kedatangan Panca Iblis, telah menyebabkan
kami sengsara. Kekuasaan kami di wilayah Desa Kala-
san lenyap. Maka itu, kami akan menuntut balas! Nah, kini kematianmu menandai
awal perjuangan kami!
Anak buah, seraaang...!" perintah Mangala.
Mendengar perintah pimpinannya, seketika ke-
dua puluh orang anggota Begal Setan Tanduk Merah
segera mengepung Barda yang masih berusaha tenang.
Semua anggota Begal Setan Tanduk Merah te-
lah siaga tanpa menyerang, semua menunggu perintah
dari pimpinan mereka. Mata mereka terus menatap ta-
jam pada wajah Barda.
Barda menyunggingkan senyum.
Kesempatan, akan aku dului mereka, gumam
Barda membatin.
Srt! "Yeaaa...!"
Secepat kilat Barda mencabut golok besarnya,
lalu secepat kilat dibabatkan ke tubuh musuh-musuh
yang merangsek dirinya.
"Awaaas...!" pekik Mangala mengingatkan pada anak buahnya. Namun serangan Barda
ternyata datang begitu cepat. Sehingga....
Bret! Bret! Bret...!
"Aaakh...!"
"Wuaaa...!"
Tiga orang anak buah Begal Setan Tanduk Me-
rah terpekik, ketika perut mereka terbabat golok besar Barda. Mereka tak dapat
berbuat apa-apa kecuali
mengerang kesakitan. Sesaat ketiganya kelojotan lalu akhirnya roboh dengan tubuh
berlumuran darah.
"Bangsat! Kau telah membunuh anak buahku.
Kau harus mampus di tangan kami. Seraaang...!" perintah Pimpinan Begal Setan
Tanduk Merah. Gerombolan itu langsung menyerang dengan
senjata mereka.
Wrt!

Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko Galing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yeaaa...!"
Pedang dan golok di tangan anggota Begal Se-
tan Tanduk Merah berkelebat memburu tubuh Barda.
Dengan cepat Barda mengelak sambil memapakai se-
rangan dengan kibasan golok besarnya.
Wrt! Trang! Trang...!
Prak! Terdengar beberapa kali benturan keras. Pe-
dang dan golok kedua lawan yang menyerang patah.
Kedua anak buah Begal Setan Tanduk Merah tersentak
dan melompat mundur menghindari babatan golok
Barda. Wrt! "Hap...!"
Dua orang yang lain merangsek maju.
"Hiyaaat...!"
"Heaaa...!"
Teriakan-teriakan keras mengiringi serangan
yang dilakukan anak buah Mangala.
Wrt! Srap! Pedang dan tombak berkelebat mengarah ke
tubuh Barda. Segera Barda kembali mengibaskan go-
loknya. "Heaaa...!"
Wuttt! "Mampus kau Barda...!" pekik orang memegang tombak seraya menyodokkan ujung
tombak yang runc-ing dan beracun ke tubuh Barda.
"Uts!" Barda tersentak, lalu melompat mundur mengelakkan serangan lawan.
Wrt! "Ihhh...!"
Tombak lawan terus mencecar tubuh Barda.
Namun dengan cepat Barda bergerak ke samping dan
melompat mundur mengelakkan serangan itu.
Aku harus menghalau serangannya, pikir Bar-
da. Golok besar itu dikibaskan ketika tombak lawan
kembali melesat ke perutnya.
Wrt! Trang! Dentangan keras pun terdengar ketika golok
besar di tangan Barda berhasil membabat tombak la-
wan. Prak! "Hah..."!"
Terbelalak mata orang yang menyerang Barda,
ketika ujung tombaknya patah tersambar golok besar
Barda. Belum sempat hilang rasa kagetnya, Barda te-
lah kembali merangsek sambil membabatkan golok.
Wrt! "Ahhh...! Bangsat!"
Orang itu tersentak kaget karena merasa mati
langkah. Golok di tangan Barda berkelebat cepat ke
tubuhnya. Hampir saja nyawanya melayang, kalau ka-
wan yang lain tak segera membantu.
"Minggir...! Heaaa...!"
Wuttt! Serangan cepat pedang lawan sempat membuat
tersentak Barda. Namun kemudian-dengan cepat pula
golok besarnya dikibaskan. Dan....
Trang! "Mampus kau!" bentak Badra. Golok besarnya terus berkelebat memapak dan
melancarkan serangan
ke tubuh lawan. Namun belum sempat golok itu men-
genai sasaran, tiga orang melesat cepat memapak se-
rangan Barda dengan trisula. Mereka dikenal dengan
julukan Trisula Setan.
"Hea!"
"Yea!"
Teriakan-teriakan terdengar, mengiringi seran-
gan ganas mereka.
Trang, trang! Badra tersentak kaget lalu segera menarik se-
rangan ke belakang dengan mata terbelalak kaget. Se-
dangkan tiga orang bersenjata trisula itu tersenyum, mengejek Barda yang sejenak
tampak kewalahan.
Ketiga Trisula Setan itu, merupakan penjajak-
kan terakhir bagi Gerombolan Begal Setan Tanduk Me-
rah. Jika ketiganya terdesak, maka Gerombolan Begal
Setan Tanduk Merah akan menyerang secara serentak.
"Kami lawanmu, Barda," ujar lelaki berkepala botak dan bertubuh besar. Matanya
menatap tajam wajah Barda. "Nah, kini hadapilah Trisula Setan!"
"Hea...!"
"Yea...!"
"Hea...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Barda. Trisula
Setan segera menggebrak dengan serangan. Trisula di
tangan mereka langsung mencecar secara bergantian
ke tubuh Barda dengan jurus 'Kembang Mayang Kara'.
Melihat serangan beruntun yang dilakukan ke-
tiga lawannya. Barda segera melompat menghindar
sambil membabatkan golok besarnya untuk menangkis
serangan. Wuttt! Srt! "Hah...!"
Barda tersentak kaget, ketika goloknya terjepit
di ujung trisula lawan. Tangan Barda menarik dengan
kuat, berusaha melepaskan golok besar itu. Namun
trisula yang lain langsung merangsek dan ikut menje-
pit senjata Barda.
Krek! Trang! Mata Barda membeliak kaget. Keringat dingin
mengucur deras dari tubuhnya. Seluruh tenaga dalam
yang ada telah dikerahkan untuk membebaskan go-
loknya dari jepitan trisula lawan
"Matilah kau, Barda...!" satu lagi Trisula Setan melesat, tapi tak seperti kedua
rekannya. Lawan yang ketiga kini mengarahkan trisulanya ke mata Barda.
Srt! "Ahhh...!" sentak Barda sambil mengerakkan kepala, mengelakkan serangan yang
hampir menusuk matanya. Lalu dengan cepat Barda bergerak melompat
ke belakang dan melepaskan goloknya. Nyawanya ter-
lepas dari maut, namun senjata andalannya kini ber-
pindah ke tangan lawan.
"Hah...!"
Mata Barda membelalak. Tubuhnya semakin
terdesak serangan lawan yang terus memburu. Dengan
hati diliputi rasa cemas. Barda terus melompat ke sana kemari, mengelakkan
serangan lawan. Dia tak mau
mati begitu saja di tangan anak buah Begal Setan Tanduk Merah.
Sementara trisula di tangan lelaki bertubuh ku-
rus terus memburu Barda.
"Ha ha ha...! Kini mampuslah kau, Barda!" seru Mangala, pimpinan Begal Setan
Tanduk Merah sambil
tertawa terbahak-bahak. "Kau harus memberitahukan di mana kelemahan Panca Iblis
pada kami!"
"Bedebah! Sampai mati pun tak akan kuberita-
hu, Kunyuk!" dengus Barda sengit.
Mangala mencibirkan bibir mengejek Barda. La-
lu sambil mengibaskan tangan sebagai isyarat kepada
Trisula Setan agar segera membereskan lawannya,
pimpinan Begal Setan Tanduk Merah melangkah mun-
dur dengan masih tertawa terbahak-bahak.
"Selamat berpisah, Barda! Hua ha ha...! Mam-
puslah kau...!"
Tanpa senjata Barda terpaksa harus mengha-
dapi Trisula Setan yang terus menyerang dengan ga-
nas. Meskipun gerakannya untuk mengelak terus di-
percepat. Namun Barda tetap semakin terdesak dan
tampak kewalahan. Dia tak mampu lagi melakukan se-
rangan, kecuali hanya bergerak menjauh dari ketiga
lawan tangguhnya itu.
"Hea...!"
"Yea...!"
Teriakan-teriakan keras terus terdengar, mengi-
ringi serangan yang kian ganas dari Trisula Setan.
Wrt! Srt! Ketiga trisula itu terus membabat dan menusuk
ke tubuh Barda yang kian mengendur pertahanannya.
Hingga.... Wuttt! Bret! "Aaakh...!"
Barda terpekik ketika perutnya tersambar trisu-
la di tangan salah seorang lawan.
Trisula Setan terus mengejar tubuh Barda yang
kian melemah tubuhnya. Namun tiba-tiba sesosok tu-
buh berkelebat cepat Dan....
Wrt! Trang, trang, trang...!
"Aaa...!"
Ketiga Trisula Setan itu terpekik. Ketiganya me-
rasakan ada hawa panas menjalar lewat tangannya,
ketika senjata mereka berbenturan keras dengan se-
buah suling yang tiba-tiba memapaki serangan ke tu-
buh Barda. "Aha...! Rasanya tak adil, Kisanak! Satu orang
harus menghadapi keroyokan...," ujar pemuda berompi
kulit ular yang telah menangkis serangan Trisula Se-
tan. Mulutnya cengengesan sambil menyelipkan suling
ke pinggang. "Setan...! Berani benar kau ikut campur"!" maki Mangala. Matanya seketika
menatap seorang pemuda
bertingkah laku seperti orang gila yang berdiri di
samping Barda. "Bedebah! Kau rupanya mencari
mampus, Anak Muda! Kau berani menolong penjahat!"
Pemuda yang tak lain Sena atau yang berjuluk
Pendekar Gila itu tertawa terbahak-bahak mendengar
ucapan pimpinan Begal Setan Tanduk Merah.
"Apakah kalian bukan penjahat" Hi hi hi...!"
"Bangsat! Siapa kau, Bocah Gila!" dengus Mangala marah. "Katakan, sebelum anak
buahku ini men-cincang tubuhmu!"
"Hi hi hi.... Lucu! Aku katakan juga percuma,
Kisanak! Nah, kalau kalian manusia, hendaknya me-
melihara rasa kemanusiaan. Mengapa kalian mau
membunuh orang yang sudah tak berdaya" Hi hi hi..!"
sahut Sena. "Bocah edan! Jangan menggurui kami! Anak
buah, serang keduanya jangan beri ampun...!"
"Hiaaat..!"
Gerombolan Begal Setan Tanduk Merah segera
melaksanakan perintah pimpinannya. Mereka serentak
mengepung dan menyerang Pendekar Gila yang beru-
saha melindungi Barda.
"Sobat, apa kau bisa menjaga diri?" tanya Sena sambil cengengesan, tangannya
menggaruk-garuk kepala. Padahal lawan-lawannya siap untuk melakukan
serangan. Hal itu membuat Barda terheran-heran me-
lihat tingkah laku pemuda yang menolongnya. Seakan
pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu, belum siap untuk melakukan
pertarungan. "Aku akan berusaha," sahut Barda.
"Aha, bagus! Kita akan main-main dengan me-
reka, Kisanak!" ujar Sena sambil cengengesan.
"Bocah edan! Rupanya kau mencari mampus!"
dengus lelaki berkepala botak, salah seorang dari Trisula Setan.
"Hi hi hi...! Mampus..." Aha, rupanya kau su-
dah tak betah hidup, Botak..!" ujar Sena, semakin membuat orang-orang Begal
Setan Tanduk Merah bertambah marah.
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu...!" dengus Mangala.
"Hiaaa...!"
"Heit! He he he...!"
Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' Pen-
dekar Gila bergerak mengelakkan serangan lawan, se-
kaligus melindungi Barda.
"Hea...!"
"Yea...!"
Menyaksikan jurus yang dilancarkan Pendekar
Gila, anak buah Begal Setan Tanduk Merah bertambah
marah dan beringas. Jurus yang sepintas kelihatan
lemah dan pelan itu, mengundang mereka untuk terus
melakukan serangan-serangan gencar. Mereka men-
ganggap pemuda bertingkah laku gila itu tak memiliki kemampuan ilmu silat.
"Kucincang tubuhmu, Bocah Edan!" maki Man-
gala seraya mengayunkan pedang membabat Pendekar
Gila. Namun, dengan jurus 'Gila Menari Menepuk La-
lat', tubuh Sena meliuk. Kemudian sambil cengenge-
san, tangannya bergerak menepuk ke dada lawan.
"Hi hi hi...! Kurang tepat, Kisanak! Hih...!"
Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah tersentak
kaget, ketika tangan Pendekar Gila tiba-tiba hampir
menghantam dadanya. Padahal gerakan Pendekar Gila
tampak pelan dan lemah.
"Edan! Jurus edan...!" maki Mangala sambil melompat mundur, mengelakkan serangan
yang dilancarkan Pendekar Gila. Matanya terbelalak, seperti tak percaya dengan
apa yang terjadi. Tubuhnya hampir sa-ja terhantam telapak tangan Pendekar Gila,
kalau saja tak segera mencelat ke belakang.
"Hi hi hi...!"
Dengan cengengesan, Pendekar Gila kembali
bergerak. Tubuhnya diputar ke arah kiri. Kemudian
dengan tangan diangkat ke atas, tubuhnya mengitari
Barda. Sedangkan tangannya yang telah memegang
Suling Naga Sakti, kini bergerak memukul lawan-
lawannya yang hendak menyerang.
"Tenang, Kisanak! Kau harus memusatkan ji-
wamu agar tidak pusing," saran Sena, mengingatkan pada Barda agar tidak
terpengaruh gerakan dari jurus
'Gila Melepas Lilitan Benang'. Sebuah jurus yang
membuat lawan terbelalak keheranan.
"Jurus edan!" maki Mangala, pimpinan Begal Setan Tanduk Merah, merasa sangat
sulit baginya dan
anak buahnya untuk dapat menembus pertahanan


Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko Galing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Gila. "Cuih! Anak-anak, pergi...!"
Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah segera
menggerakkan tangan kanan, memerintah anak buah-
nya agar cepat meninggalkan tempat itu. Seketika itu pula, anak buah Begal Setan
Tanduk Merah berlarian
meninggalkan Hutan Galadema, tempat pertarungan
mereka berada. *** 3 "Hai, jangan lari...!" teriak Barda sambil berusaha mengejar Gerombolan Begal
Setan Tanduk Me-
rah. Namun, Pendekar Gila segera mencegahnya.
"Aha, biarkan saja gerombolan itu pergi, Kisa-
nak! Tak usah kau kejar. Sia-sia saja kau mengejar
mereka," ujar Pendekar Gila sambil melangkah mendekati Barda yang segera
menghentikan langkahnya.
"Tapi mereka sangat berbahaya, Kisanak," ujar Barda cemas.
"Hi hi hi...! Kecemasan hanya ada di hati orang yang berbuat dosa dan salah...,"
tutur Pendekar Gila dengan cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.
Seakan-akan berbicara pada diri sendiri.
Mendengar ucapan Pendekar Gila, Barda ter-
sentak. Dia tidak menyangka, kalau pemuda tampan
yang bertingkah laku seperti orang gila itu mampu
berbicara seperti layaknya seorang guru besar.
Pendekar Gila melangkah sambil menengadah-
kan wajah ke langit. Dilihatnya mendung berarak-arak berkumpul jadi satu.
Seakan-akan mendung itu memberi suatu petunjuk kepada dirinya.
"Ah, mendung berkumpul. Langit tampak se-
makin gelap. Mungkin akan turun hujan," gumam Se-na.
Barda turut mendongak ke atas, memandang
mendung yang kian menebal itu. Hatinya tersentuh ju-
ga mendengar penuturan Pendekar Gila. Dia turut
membenarkan ucapan pemuda aneh di hadapannya.
Dihelanya napas dalam-dalam, seolah ingin mene-
nangkan perasaan hatinya.
"Kisanak, tutur ucapanmu sangat menyentuh
hatiku. Kalau boleh ku tahu, siapakah Kisanak sebe-
narnya?" tanya Barda dengan bola mata menatap tajam wajah Pendekar Gila yang
masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat
Barda bertambah mengerutkan kening. Mata Barda
semakin tak berkedip menatap pemuda itu.
"Ha ha ha, siapa pun diriku, kurasa tak pent-
ing. Aku manusia biasa sepertimu. Hanya saja, mung-
kin keadaan kita yang berbeda," tutur Sena dengan cengengesan persis orang
tolol. Barda menghela napas panjang-panjang. Entah
mengapa, kini dia merasakan kebenaran ucapan pe-
muda di hadapannya. Dan tanpa sadar, hatinya yang
selama ini gelap, tiba-tiba bagaikan diterangi cahaya.
Kesadaran Barda mulai timbul, bahwa segala yang
pernah dilakukan selama ini salah.
"Mungkinkah pemuda ini tokoh yang dijuluki
sebagai Pendekar Gila?" tanya Barda dalam hati, berusaha menduga-duga. "Dilihat
dari tindak tanduk dan ilmunya, jelas merupakan ciri-ciri Pendekar Gila. Hm,
Mungkin dialah orangnya."
"Aha, apa yang kau pikirkan, Kisanak?" tiba-tiba Sena bertanya, menyentakkan
Barda dari lamu-
nannya. "Dan mengapa gerombolan tadi mengatakan kau orang jahat?"
Barda kembali menghela napas. Kini Barda me-
rasa seperti tengah dihadapkan pada dewa yang se-
dang mengadilinya. Tak bisa lagi berdusta di hadapan pemuda bertingkah laku
seperti orang gila itu. Seakan ada sesuatu yang mendorong untuk menceritakan
semua tingkah laku hidupnya selama ini;
"Apa yang mereka katakan memang benar, Ki-
sanak. Aku salah seorang anggota Panca Iblis. Tapi sejak Panca Iblis dikalahkan
Nyi Mas Lindri, hatiku selalu ingin meninggalkan mereka...," desah Barda seakan
berusaha menghilangkan beban yang mengganjal ji-
wanya. "Aha, lalu mengapa kau tak meninggalkan mereka?" tanya Sena.
"Aku tak mampu," sahut Barda setengah men-
geluh, "Nyi Mas Lindri bukan orang sembarangan. Dia memiliki ilmu tinggi, hingga
kami tak mampu mengalahkan. Panca Iblis harus tunduk dan patuh pada se-
tiap perintahnya.."
"Hm...," gumam Sena tak jelas. Mulutnya nyengir, lalu tangannya menggaruk-garuk
kepala. "Tadi pun, aku harus menuruti perintahnya un-
tuk mencari anak Ki Santanu. Nyi Mas Lindri bukan
hanya kejam, dia semakin menambah penderitaan
warga Desa Kalasan...," lanjut Barda menceritakan.
"Maksudmu...?" tanya Sena.
Barda menarik napas dalam-dalam. Ditatapnya
mendung yang semakin menebal di langit.
"Nyi Mas Lindri tak hanya menuntut upeti dari
warga Desa Kalasan. Tapi lebih dari itu, dia juga seorang wanita cabul yang
doyan anak muda. Dengan il-
munya yang tinggi, dia memaksakan kehendak untuk
memuaskan nafsu. Warga yang memiliki anak lelaki
muda diharuskan menyerahkannya pada Nyi Mas Lin-
dri sebagai pemuas nafsu birahinya."
"Ha ha ha, tak boleh dibiarkan!" gumam Sena.
"Apa selama ini tak ada yang menentang?"
"Siapa yang berani Kisanak?" sahut Barda balik bertanya.
Pendekar Gila nyengir sambil menggaruk-garuk
kepala. Tingkah lakunya tetap seperti orang gila. Hal itu membuat Barda
mengerutkan kening keheranan.
"Aha, lalu apa Kisanak tetap mau mencari anak
Ki Santanu itu?" tanya Sena.
"Entahlah. Kejadian ini membuat jalan pikiran-
ku mulai terbuka. Aku ingin kembali hidup di jalan
yang benar, meninggalkan duniaku yang gelap," jawab Barda sepertinya benar-benar
hendak meninggalkan
dunia hitamnya. Dunia yang selalu membuat dirinya
bagai dikejar-kejar rasa takut dan cemas. Perasaan do-sa dan musuh yang banyak.
"Benarkah kau ingin meninggalkan dunia hi-
tammu?" tanya Pendekar Gila berusaha meyakinkan.
"Ya," tegas Barda. "Mulai saat ini aku bertekad untuk kembali ke jalan lurus."
"Aha, bagus! Kurasa memang secepatnya kau
harus menyadari semuanya, Kisanak."
"Terima kasih! Kini bolehkah aku bertanya, sia-
pa kau sebenarnya Anak Muda?"
"Namaku Sena. Tetapi orang biasa memanggil-
ku dengan sebutan Pendekar Gila," jawab Sena yang membuat mata Barda terbelalak
semakin lebar. "Sudah kuduga," desis Barda dalam hati. "Kalau memang Pendekar Gila. Ah,
beruntung sekali aku
bisa bertemu dengannya. Pantas, tutur katanya begitu arif dan bijaksana."
"Aha, kau kembali termenung, Kisanak. Lalu
siapa kau sebenarnya" Aku memang telah mendengar
Panca Iblis. Tapi aku belum pernah bertemu dengan
kalian," ujar Sena.
"Namaku, Barda," sahut Barda memperkenal-
kan diri, "Kalau Kisanak tak keberatan, ingin rasanya aku menyertaimu. Aku ingin
jauh dari mereka."
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak men-
dengar permintaan dan ucapan Barda. Mulutnya cen-
gengesan sambil menggeleng-geleng kepala, seakan-
akan hendak mengatakan sesuatu.
"Ha ha ha, mengapa kau takut, Kisanak! Kebe-
naran akan senantiasa dilindungi Hyang Widhi. Tak
perlu Kisanak takut pada mereka!" ujar Sena. Namun, Barda nampaknya belum yakin
pada dirinya sendiri.
Hatinya masih dilanda rasa takut menghadapi Nyi Mas
Lindri. "Tapi, Nyi Mas Lindri sangat kejam, Kisanak.
Dia tak akan membiarkanku begitu saja," ujar Barda cemas. "Izinkanlah aku
mengikutimu! Bukan hanya Nyi Mas Lindri yang akan menghukumku, tapi mungkin anak
Ki Santanu yang masih hidup. Anak itu pasti akan membalas dendam atas kematian
keluarganya."
Mendengar penuturan Barda, Pendekar Gila
hanya berdiam. Dihelanya napas dalam-dalam. Dia
memahami kekhawatiran yang melanda hati lelaki di
hadapannya. Apalagi setelah mengetahui tekad Barda
untuk meninggalkan dunia hitamnya.
"Aha, baiklah! Kalau begitu kita berangkat ke
tempat tinggal Panca Iblis!" ajak Sena dengan cengengesan.
Terbelalak mata Barda mendengar ajakan Pen-
dekar Gila. Keningnya berkerut merasa heran dan tak
mengerti mengapa Pendekar Gila justru mengajaknya
ke tempat tinggal Panca Iblis.
"Untuk apa...?" tanya Barda.
"Aha, bukankah mereka orang-orang yang ha-
rus ditumpas?" tanya Sena yang membuat Barda semakin tersentak.
"Jadi...?"
Belum sempat Barda selesai berkata, Pendekar
Gila dengan masih cengengesan menyahut cepat.
"Kurasa warga Desa Kalasan harus segera di-
bebaskan dari penderitaan yang mereka timbulkan.
"Kau akan menyerang mereka?"
"Aha, kurasa tidak, selama mereka bersedia se-
cara baik-baik meninggalkan Desa Kalasan," jawab Se-na, sambil menatap wajah
Barda dengan mulut cen-
gengesan. "Kenapa" Bukankah kau sendiri ingin bebas
dari mereka?"
"Benar."
"Aha, kita harus segera ke sana, Barda!" sentak Sena." "Aku tak yakin, apa kita
mampu menghadapi mereka," gumam Barda lirih, tampaknya dia meragu-kan kemampuan
Pendekar Gila yang masih muda itu.
"Aha, apa yang membuatmu ragu, Kisanak?"
tanya Sena sambil menatap wajah Barda. Barda ter-
diam, lalu menghela napas dalam-dalam. Sepertinya
ada sesuatu kebimbangan yang bergayut di hatinya.
"Aku masih ragu, apakah kau mampu menga-
lahkan Nyi Mas Lindri" Karena ilmunya jauh di atas
ilmuku," ujar Barda setengah mendesah lirih.
Pendekar Gila tertawa sambil menggaruk-garuk
kepala. Kemudian dihelanya napas panjang-panjang.
Matanya memandang lepas ke langit yang tertutup
mendung. Barda turut terdiam, dengan perasaan yang
masih diliputi kebimbangan.
Mungkinkah pemuda yang bergelar Pendekar
Gila ini mampu menghadapi Nyi Mas Lindri yang sakti
itu" Tanya Barda dalam hati. Telah banyak tokoh per-
silatan tua dan berpengalaman menghadapi Nyi Mas
Lindri. Namun, belum ada yang mampu mengalahkan-
nya. Barda memperhatikan Pendekar Gila dengan
seksama, seakan masih berusaha meyakinkan dirinya
akan kemampuan pemuda yang bertingkah laku gila
itu. "Aha, keraguan akan membuat langkah ter-
hambat. Mengapa kau masih ragu, Barda" Bukankah
mati untuk membela kebenaran dan keadilan itu tekad
orang ksatria?" tanya Sena, berusaha mendorong semangat Barda yang masih
diliputi rasa takut dan tak
percaya diri. "Baiklah, aku mengikutimu."
"Aha, bagus! Kita harus segera ke sana. Ayo!"
ajak Sena. Keduanya segera melesat meninggalkan Hutan
Galadema. Tak lama kemudian hujah lebat pun meng-
guyur hutan ini.
*** Sementara itu, Joko Galing yang hendak menu-
ju Desa Kalasan, kini telah sampai di Desa Sangga
Lumajang di kaki Gunung Panalu. Ketika kakinya se-
dang menyelusuri Desa Sangga Lumajang tiba-tiba ma-
tanya melihat lelaki tua tengah diseret empat orang lelaki bertampang garang.
"Hm, permainan apa lagi yang hendak dipertun-
jukkan orang-orang itu...?" dengus Joko Galing sambil menghentikan langkah, dan
menatap tajam ke lima lelaki yang menyeret lelaki tua itu.
"Aduh... ampun!" ratap lelaki tua kurus yang bertelanjang dada itu.
"Kalau kau minta ampun, katakan di mana
anak lelakimu kau sembunyikan!" bentak lelaki berwajah garang yang duduk di
punggung kuda. "Sungguh, Tuan! Hamba tak menyembunyikan.
Anak hamba telah pergi sebelum Tuan datang," jawab lelaki tua itu.
"Setan! Kau kira kami bisa dibohongi, heh"!"
bentak lelaki berkuda itu sambil mempercepat langkah kudanya.
Lelaki tua itu menjerit kesakitan. Tubuhnya lu-
ka-luka tergores tanah jalanan.
"Aduh...! Ampuuun...!" teriak lelaki tua itu. Tubuhnya yang terkapar di tanah
kelojotan kesakitan.
Joko Galing yang menyaksikan kejadian itu,
merasa trenyuh. Tubuhnya segera melesat. Kemudian
dengan gerakan yang sangat cepat, Joko Galing men-
cabut pedangnya. Lalu dalam sekejap saja, Pedang
Lembayung Merah di tangannya telah membabat tali
yang mengikat tangan orang tua itu.
Srt! Bret! Tali itu putus. Sementara, kuda penarik lelaki
tua itu tiba-tiba menjadi liar. Tampaknya kuda coklat itu ketakutan, melihat
Pedang Lembayung Merah yang
mengeluarkan sinar merah.
Belum sempat lenyap rasa kaget mereka, Joko
Galing dengan cepat mengelebatkan pedangnya me-
nyerang keempat lelaki yang terperangah menyaksikan
gerakannya. "Kalian harus mampus! Hih...!"
Wrt! Dengan mata terbelalak, keempat lelaki berusia
sekitar tiga puluh tahun itu melompat mundur. Mere-
ka semakin terperanjat menyaksikan gerakan cepat
Joko Galing. Namun....
Wuttt! Jrab! Jrab! Pedang Lembayung Merah di tangan Joko Gal-
ing berhasil membabat lawan.
"Akh...!"


Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko Galing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wua...!"
Dua orang terpekik keras, ketika Pedang Lem-
bayung Merah membabat perut mereka. Mata kedua
orang itu terbelalak tegang. Seketika darah menyem-
bur keluar dari luka yang menganga. Sesaat tubuh ke-
duanya mengejang, kemudian ambruk dan tewas.
"Bangsat! Siapa kau"! Berani sekali melawan
Panca Iblis!"
Lelaki berkuda itu marah ketika menyaksikan
dua orang temannya dalam sekali gebrakan saja telah
tewas di tangan pemuda itu.
"Aku Joko Galing. Aku datang untuk menum-
pas kalian, para begundal yang telah membuat warga menderita. Heaaa...!"
Joko Galing yang diliputi dendam kesumat tan-
pa banyak kata segera mengamuk bagaikan banteng
terluka. Pedang Lembayung Merah di tangannya berge-
rak cepat, menyerang kedua orang lawannya.
Wrt! Cras! "Wua...!"
Kedua orang itu terpekik ketika Pedang Lem-
bayung Merah membabat perut mereka. Sesaat tubuh
keduanya mengejang kemudian ambruk dan tewas.
Terbelalak mata lelaki yang duduk di atas
punggung kuda, menyaksikan kehebatan ilmu pedang
lawan. Hanya dengan dua kali gebrakan saja, keempat
kawannya telah tewas. Merasa dia pun tak bakal sang-
gup menghadapi pemuda itu, lelaki penunggang kuda
yang ternyata anak buah Panca Iblis segera mengge-
bah kudanya. "Mau lari ke mana kau"!" bentak Joko Galing.
Kemudian dengan cepat pemuda itu melesat, membu-
ru lelaki berkuda itu.
Dengan menggunakan ilmu 'Gerak Sewu', da-
lam sekejap saja Joko Galing mampu menghadang le-
laki berkuda itu.
"Ah!"
Lelaki bermuka garang itu tersentak kaget me-
lihat Joko Galing telah berdiri menghadang di hada-
pannya "Mau lari ke mana, Bajingan"!" bentak Joko Galing geram. Matanya melotot,
menatap tajam wajah
lelaki yang masih duduk di punggung kuda itu.
"Minggir! Jangan halangi aku!" sentak lelaki berpakaian biru tua, yang ternyata
bernama Rawanda.
Joko Galing tersenyum sinis. Dengan pedang di
tangan kanannya. Pemuda itu melangkah mendekati
Rawanda yang masih duduk di atas punggung kuda.
Menyaksikan Joko Galing melangkah mende-
kat, Rawanda mengerutkan kening. Perasaan cemas
dan takut seketika menyelimuti jiwanya. Dia tahu ba-
gaimana kehebatan pedang di tangan pemuda itu, ke-
tika membantai keempat kawannya.
"Kau pun harus mampus, Bajingan! Tapi untuk
kali ini, aku mengampunimu. Biar salah satu kuping-
mu kupenggal. Katakan pada Panca Iblis, Joko Galing
anak Ki Santanu akan menuntut balas," suara Joko Galing terasa tenang dan dingin
sekali. Matanya yang membuka lebar, menatap tajam wajah Rawanda yang
kini pucat pasi mendengar ucapan Joko Galing.
"Tidak! Jangaaan...! Ampunilah nyawaku," ratap Rawanda ketakutan.
"Aku tak akan membunuhmu. Aku hanya ingin
minta kenang-kenangan darimu. Setelah itu, cepatlah
minggat dari hadapanku," usai berkata demikian, Joko Galing melompat. Tubuhnya
bersalto beberapa kali di
udara, kemudian dengan cepat membabatkan Pedang
Lembayung Merah ke telinga Rawanda.
"Jangaaan...!" pekik Rawanda ketakutan.
Wrt! "Akh...!"
Lelaki berkuda itu terpekik keras, memegangi
kuping sebelah kirinya yang putus. Darah bercucuran
membasahi pakaiannya. Sementara kuping yang putus
itu telah berada di tangan Joko Galing.
"Enyahlah dari sini! Katakan pada pimpinan-
mu, Joko Galing akan datang! Siapkan nyawa mereka!
Hea...!" Joko Galing memukul pantat kuda itu, yang seketika lari dengan
tunggang-langgang.
Joko Galing tertawa melihat kejadian lucu tadi.
Sebentar kemudian pemuda itu segera melesat, me-
nyusul lari kuda yang ditunggangi Rawanda.
*** 4 Di bawah pimpinan Nyi Mas Lindri, Panca Iblis
semakin menancapkan kuku kekuasaan, mencengke-
ram warga Desa Kalasan dan desa-desa lain di sekitar Hutan Gendis. Selama itu,
belum ada seorang warga
pun yang berani menentang kekuasaan Nyi Mas Lindri
Siang itu, Nyi Mas Lindri dan empat tokoh dari
Panca Iblis berkumpul di sebuah ruang pertemuan
yang juga merupakan kamar khusus Nyi Mas Lindri.
Wanita cantik bertubuh sintal itu berbaring di
dipan dari kayu jati berukir. Di belakangnya, empat
pemuda tampan bertelanjang dada tampak memijati
tubuhnya yang mulus. Sesekali mereka men-ciumi tu-
buh Nyi Mas Lindri yang hanya tertutup pakaian tipis dan tembus pandang berwarna
merah jambu. Matanya
yang lembut tapi tajam menatap keempat lelaki tangan kanannya.
"Barda belum juga pulang. Mungkinkah dia
mendapat kesulitan di jalan...?" gumam Nyi Mas Lindri. Tubuhnya menggeliat
kenikmatan ketika keempat
pemuda tampan itu membelai dan menciumi sekujur
tubuhnya. "Kurasa Barda tak mungkin menemukan anak
Ki Santanu, Nyi Mas. Lagi pula untuk apa bocah itu
dicari" Bukankah hanya akan membuat repot kita?"
tanya Gaja Polo, yang tampaknya tak setuju dengan
rencana Nyi Mas Lindri.
"Huh! Kau tahu apa, Gaja Dungu! Menurut pe-
tunjuk yang kuperoleh, justru anak Ki Santanu yang
bakal membantuku mencapai cita-cita menundukkan
dunia persilatan," tegas Nyi Mas Lindri.
Gaja Polo terdiam. Dia tak berani lagi memban-
tah ucapan sang Pimpinan. Bagaimanapun, kemam-
puannya tak sanggup menghadapi Nyi Mas Lindri yang
berilmu tinggi. Ilmu wanita cantik itu, jauh berada di atasnya.
"Kalian tahu, jika aku bisa menjadikan anak Ki
Santanu sebagai kekasihku, maka cita-citaku menjadi
ratu persilatan akan terlaksana. Itu kata petunjuk
yang kuterima," tutur Nyi Mas Lindri sambil terus me-nikmati rabaan dan ciuman
keempat pemuda tampan
yang telah menjadi budak nafsunya.
"Apakah tak akan sebaliknya, Nyi Mas?" tanya Saratakulir.
"Kalian takut anak itu balas dendam atas ke-
matian kelurganya?"
"Ya," sahut Sartakulir. "Itu yang selalu kuce-maskan."
Nyi Mas Lindri tertawa terkekeh sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Wanita cantik itu bangkit dari pembaringan, lalu duduk di
dipan berukir itu dengan
senyum mengembang di bibirnya. Seakan hendak me-
nunjukkan kecantikannya.
"Selama masih ada aku, tak mungkin dia ber-
buat begitu," katanya sombong, menjadikan keempat lelaki dari Panca Iblis
mengerutkan kening. Mereka seperti belum yakin dengan apa yang diucapkan Nyi Mas
Lindri. "Sungguhkah itu, Nyi Mas?" tanya Gaja Polo in-
gin tahu. Nyi Mas Lindri kembali tersenyum, lalu bangkit
dari duduknya, melangkah mendekati Gaja Polo dan
ketiga kawannya. Matanya yang lentik, menatap tajam
pada keempat tangan kanannya itu.
"Kita buktikan saja nanti! Selama Nyi Mas Lin-
dri ada bersama kalian, tak mungkin dia berkutik,"
ujar Nyi Mas Lindri meyakinkan. Kemudian matanya
memandang lepas keluar, Hutan Gendis tampak ter-
hampar dengan pepohonan besar mengelilingi tempat
tinggal mereka.
Keempat lelaki di hadapannya hanya mampu
diam. Meski mereka belum yakin dengan apa yang di-
katakan sang Pimpinan, mereka tak berani untuk me-
nentang. Mereka tak ingin mati sia-sia di tangan wani-ta cantik berhati iblis
yang sadis itu. Tak peduli siapa pun jika tak disukai, Nyi Mas Lindri akan
membunuh dengan pukulan mautnya yang bernama 'Gelap Ngam-
par'. Ketika mereka tengah membicarakan masalah
Barda yang belum juga datang. Tiba-tiba....
"Nyi Mas Lindri, aku datang...!"
Dari luar terdengar suara teriakan seseorang
yang sangat dikenalnya. Suara Barda yang sepertinya
mengandung permusuhan itu, membuat Nyi Mas Lin-
dri dan keempat Panca Iblis membelalak kaget
"Barda!" seru Nyi Mas Lindri. "Sejak kapan dia berteriak seperti itu"!"
"Nyi Mas Lindri, keluar kau!" kembali terdengar suara Barda berteriak menantang.
Baik Nyi Mas Lindri maupun keempat anak buahnya belum percaya teriakan Barda.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutnya!" dengus Nyi Mas Lindri sengit. Kemudian
dengan penuh amarah wanita cantik itu melesat keluar diikuti keem-
pat Panca Iblis.
Seketika mata mereka terbelalak, melihat Barda
yang didampingi pemuda bertingkah laku seperti orang gila, berdiri menantang.
Hal itu membuat Nyi Mas Lindri semakin bertambah marah, merasa telah ditantang
anak buahnya. "Barda keparat! Rupanya kau sudah bosan hi-
dup!" dengus Nyi Mas Lindri geram.
"Hm, hidup matiku bukan di tanganmu, Wanita
Iblis!" balas Barda tak mau kalah, "Aku datang untuk menghentikan sepak
terjangmu yang kelewat biadab!"
"Hi hi hi...! Cantik sekali kau, Nyi. Sayang, di hatimu bersarang iblis...,"
gumam Sena sambil cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Barda keparat! Rupanya Bocah Edan itu yang
membuatmu berani menantangku!" dengus Nyi Mas
Lindri dengan mata melotot garang menatap Pendekar
Gila. "Hua ha ha...! Nyi Mas Lindri, kucari-cari akhirnya kutemui kau di sini,"
gumam Sena dengan cengengesan sambil tangan menggaruk-garuk kepala. "Setelah
gagal menyingkirkan keluarga Baginda Aji War-
dana, tak bosan-bosannya kau berbuat kejahatan,
Nyi!" "Cuih! Rupanya kau memang mencari mampus, Pendekar Gila! Kau selalu saja
mencampuri urusanku!" dengus Nyi Mas Lindri sengit, karena selama ini Pendekar
Gila senantiasa menghalangi maksudnya.
Rencananya menggulingkan Baginda Aji Wardana gag-
al juga karena campur tangan Pendekar Gila (Untuk
mengetahui lebih jelas siapa sebenarnya Nyi Mas Lin-
dri, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Istana Berdarah").
"Aha, kurasa kaulah yang mencari penyakit.
Perempuan Busuk!" balas Sena. "Kucari kau ke mana-
mana untuk mempertanggungjawabkan pemberonta-
kanmu yang gagal. Ternyata kau ada di sini, Nyi!"
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" perintah Nyi Mas Lindri sambil menggerakkan tangan
kanan pada keempat anak buahnya yang sejak tadi hanya mampu
diam. Mereka tak tahu harus berbuat apa.
Mendengar perintah Nyi Mas Lindri, keempat
lelaki yang tergabung dalam Panca Iblis, seketika mencabut senjata mereka dan
langsung menggebrak Pen-
dekar Gila. "Yea...!"
"Hi hi hi...! Mengapa tikus-tikus ini yang kau
ajukan, Nyi...?" ejek Sena sambil tertawa cengengesan dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Pendekar Gila masih tenang. Bahkan tingkah
lakunya semakin gila. Dengan melompat-lompat sam-
bil menggaruk-garuk kepala seperti seekor monyet,
Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan.
"Hea!"
"Heit! Barda, bersiaplah! Kita akan main-main
dengan tikus-tikus ini," ujar Sena sambil bergerak meliuk-liukkan tubuhnya,
mengelakkan serangan-
serangan yang dilancarkan empat orang dari Panca Ib-
lis. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila bergerak
mengelakkan serangan-serangan la-
wan. Barda yang telah bertekad kembali ke jalan lu-
rus, tak mau tinggal diam. Dia segera membantu Pen-
dekar Gila, menghadapi serangan yang dilancarkan
keempat bekas kawannya. Dengan golok besar di tan-
gan, Barda yang semakin yakin pada kebenaran dan
keadilan, bagaikan macan lapar. Tangannya dengan
cepat membabatkan golok besarnya.
"Hiaaa...!"
Wrt! Trang! Benturan keras senjata terdengar memecahkan
suasana sepi Hutan Gendis.
"Yea!"
"Barda! Keparat, kubunuh kau!" geram Gaja Po-lo, melihat temannya kini berpihak
pada Pendekar Gila yang seharusnya dimusuhi. Pedang di tangannya berkelebat
menyerang Barda. Namun, dengan cepat Barda
bergerak mengelak, seraya membabatkan golok besar-
nya. "Yea!"
Wrt! Trang! Gaja Polo semakin marah menyaksikan bekas
kawannya tak gentar sedikit pun menghadapinya.
Dengan jurus 'Kalamandaka' Gaja Polo berusaha me-
nekan pertahanan Barda. Pedangnya menderu deras
menusuk dan membabat ke tubuh Barda.
"Yea!"
"Haits!"
Melihat Gaja Polo menyerang dengan jurus an-
dalannya, Barda pun tak mau tinggal diam. Kakinya
melompat dua tombak ke belakang. Kemudian dengan
jurus 'Genta Caragata', Barda membabatkan golok be-
sarnya. "Hea!"
Wrt!

Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko Galing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angin menderu keras, ketika golok di tangan
Barda membabat ke tubuh Gaja Polo. Golok itu mam-
pu mengeluarkan angin yang sangat keras. Gerakan-
nya sangat cepat, melebihi serangan yang dilancarkan lawan. "Hea!"
Teriakan keras terus terdengar mengiringi se-
rangan yang kian ganas dan cepat.
Wrt! Trang! "Ukh...!" Mata Gaja Polo terbelalak kaget, ketika pedangnya berbenturan dengan
golok besar Barda.
Tangannya dirasakan bergetar dan kesemutan. Namun
kakinya segera melompat ke belakang, berusaha men-
jauhi serangan lawan.
*** Suasana di Hutan Gendis yang semula tenang,
kini terdengar suara teriakan-teriakan pertarungan
mereka. Selain itu beberapa pohon tumbang terbabat
senjata dan terhantam pukulan. Rerumputan morat-
marit terinjak kaki mereka. Bahkan binatang hutan
tampak berlarian ketakutan.
Pendekar Gila yang menghadapi keroyokan tiga
orang lawan, masih tampak tenang. Dengan jurus 'Gila Melempar Batu', Pendekar
Gila berusaha menggempur
pertahanan ketiga lawannya.
"Hea!"
"Hi hi hi...! Kalian benar-benar seperti tikus sawah," ejek Sena sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
Kemudian tangannya kembali bergerak, seperti me-
lemparkan batu menyerang lawan-lawannya. Ketiga
lawannya tersentak kaget, ketika dari gerakan melem-
par yang dilakukan Pendekar Gila melesat gumpalan
angin menderu keras ke tubuh mereka. Angin kencang
itu, seketika menahan serangan ketiga lawannya.
"Ilmu edan!" maki Sartakulir. Dia berusaha me-nerobos serangan yang dilancarkan
Pendekar Gila. Namun, angin yang menderu ke tubuhnya dirasakan
begitu kuat. Sulit bagi Sartakulir untuk menembus
pertahanan Pendekar Gila. "Benar-benar ilmu edan!"
"Hi hi hi...! Kalian persis tikus sawah. Hua ha
ha!" "Bocah edan, kubunuh kau!" maki Wadas Ka-
pul. Lelaki bertubuh gemuk dengan alis tebal dan hi-
dung mancung itu tampak marah karena tak mampu
berkutik, terkurung angin topan dari tangan Pendekar Gila. "Hua ha ha...!" Sena
tertawa terbahak-bahak.
Tubuhnya melompat ke sana kemari seperti monyet,
sambil menggaruk-garuk kepala. "Lucu sekali ..! Kalian seperti tikus sawah
dikejar kucing. Hi hi hi...!"
"Bedebah! Bocah edan itu harus segera kusing-
kirkan!" maki Nyi Mas Lindri, melihat ketiga tangan kanannya terdesak, dan tak
mampu berbuat apa-apa.
Wanita itu segera melesat memburu Pendekar Gila,
Kemudian dengan jurus 'Sapuan Topan'nya, dia meng-
halau pukulan yang dilemparkan Pendekar Gila.
"Hancur tubuhmu, Bocah Edan! Hih...!"
"Aha, kebetulan sekali kau ikut campur, Nyi! Hi hi hi...!" Dengan melompat
seperti monyet, Pendekar Gi-la mengelakkan pukulan yang dilontarkan Nyi Mas
Lindri Wrt! Jlegarrr...! Ledakan dahsyat terdengar, mengakibatkan ta-
nah yang terkena hantaman pukulan Nyi Mas Lindri
hancur dan berhamburan. Hawa panas seketika me-
nyelimuti suasana di hutan ini. Beberapa pohon besar ikut hancur dan tumbang
terkena pukulan dahsyat
itu. "Hi hi hi...! Kurang tepat, Nyi," ejek Sena meng-goda. Hal itu membuat Nyi Mas
Lindri semakin marah.
Mata wanita cantik itu melotot sengit. Nafasnya mengendus lalu kedua telapak
tangannya disatukan di da-
da, sepertinya hendak memusatkan kekuatan tenaga
dalamnya. "Bocah edan! Kini terimalah pukulan 'Gelap
Ngampar'ku! Heaaa...!"
"Aha, ku tahu pukulanmu bernama Gelap Guli-
ta, Nyi. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil melompat ke samping ketika tangan Nyi
Mas Lindri menghantam ke
tubuhnya. Wuttt! Jlegar...! "Hi hi hi...! Masih kurang tepat, Nyi," goda Sena sambil melompat-lompat
kegirangan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Mulutnya yang cengengesan
membuat Nyi Mas Lindri semakin geram dan marah.
"Kurang ajar! Kau benar-benar harus mampus,
Bocah Edan! Yea...!"
Nyi Mas Lindri yang merasa telah dua kali ter-
ganggu rencananya karena campur tangan Pendekar
Gila, semakin geram dan marah. Tangannya yang ber-
kuku panjang, bergerak menyambar dan mencengke-
ram pemuda itu.
Mendapat serangan begitu cepat, tidak mem-
buat Pendekar Gila kalang kabut. Tingkahnya justru
semakin konyol. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk
Lalat', Pendekar Gila balas menyerang. Tubuhnya me-
liuk-liuk laksana menari, sambil sesekali telapak tangannya menepuk ke dada
lawan. "Hi hi hi...! Hiaaa...!"
"Hah...!" Nyi Mas Lindri tersentak kaget melihat serangan lawan, tiba-tiba telah
berada dekat dadanya.
Padahal gerakan Pendekar Gila nampak sangat lambat,
tapi entah bagaimana tiba-tiba telah memburu tubuh-
nya dengan tepukan yang mengeluarkan desiran angin
panas yang keras.
"Hi hi hi...!"
"Jurus edan!" maki Nyi Mas Lindri sambil me-
lompat mengelakkan serangan. Kalau kurang cepat
melompat mundur, niscaya dadanya terkena pukulan
Pendekar Gila. Setelah mengegoskan kaki ke samping, Nyi Mas
Lindri bergerak mencakarkan tangannya ke muka la-
wan. Namun, dengan cepat pula, Pendekar Gila mena-
rik kepalanya ke belakang mengelakkan cakaran la-
wan. Kemudian dengan kepala menunduk, kembali
menepukkan tangannya ke dada lawan.
"Hiaaa...!"
"Hait! Edan! Jurus edan...!" maki Nyi Mas Lindri sambil melompat ke samping
kiri. Serangan Pendekar
Gila meleset. Sementara itu anak buahnya yang tadi berta-
rung, kini terhenti. Mereka terlongong bengong melihat gerakan-gerakan ilmu
silat yang dilancarkan keduanya. "Ck ck ck..! Pemuda itu ternyata berilmu
tinggi," terdengar decak kagum Gaja Polo, menyaksikan jurus-jurus aneh yang
dilancarkan Pendekar Gila. Baru
kali ini, dia melihat seorang pemuda memiliki ilmu
yang sangat tinggi.
"Untuk itu, kukatakan pada kalian. Kini bukan
saatnya untuk tetap bertahan pada apa yang selama
ini kita lakukan," ujar Barda. "Nyi Mas Lindri saja belum tentu akan mampu
mengalahkan Pendekar Gila."
"Apa"! Diakah yang bernama Pendekar Gila"!"
keempat orang dari Panca Iblis tersentak, setelah mendengar penuturan Barda.
Mata mereka terbelalak
"Ya, dialah Pendekar Gila," sambung Barda me-negaskan.
Semakin bertambah kaget mereka ketika meli-
hat apa yang kini terjadi. Nyi Mas Lindri tampak terdesak dan harus berjuang mati-matian untuk dapat me-
lepaskan diri dari buruan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Bocah ini terlalu berbahaya bagi-
ku," maki Nyi Mas Lindri dalam hati. Tak ada kesempatan bagiku kalau terus
begini. Aku harus pergi dari sini. "Hi hi hi...! Apa yang kau pikirkan, Nyi" Kau
harus segera dikirim ke akherat sana. Hea...!"
Pendekar Gila mempercepat jurusnya. Kali ini
kedua tangannya ditarik ke belakang. Lalu diletakkan di pinggang dengan jari-
jari terbuka. Itulah awal dari jurus yang dahsyat 'Gila Melebur Gunung Karang'.
Belum sempat Pendekar Gila melakukan seran-
gan, Nyi Mas Lindri telah mendahului dengan melem-
parkan suatu benda ke Pendekar Gila.
Jlegar! Asap hitam membubung menutupi pandangan
mata Pendekar Gila dan kelima Panca Iblis. Saat itu
juga, Nyi Mas Lindri melesat meninggalkan tempat itu.
"Kurang ajar! Dia pergi...!" seru Barda sengit
"Aha, Iblis Betina itu benar-benar licik," dengus Sena, "Kini terserah, apakah
kalian masih akan tetap pada pendirian kalian. Aku akan mengejar dia."
"Aku ikut, Sena!" kata Barda.
"Hm, terserahmu."
"Kami ikut!" sambung keempat orang dari Pan-ca Iblis. Keenam lelaki itu segera
melesat memburu ke arah Nyi Mas Lindri pergi.
*** 5 Pagi nampak cerah, dengan langit biru tanpa
awan. Udara semilir menimbulkan hawa sejuk dan ba-
sah. Burung-burung pun berkicau riang menambah
indahnya pagi itu.
Di kejauhan, nampak seorang pemuda berpa-
kaian merah tanpa lengan melangkah. Kepalanya ter-
tutup tudung caping lebar. Pemuda itu tak lain Joko
Galing. Kakinya melangkah menuju Desa Kalasan,
tempat tanah kelahirannya.
Joko Galing terus melangkah, tanpa menengok
ke kanan dan kiri. Dia masih ingat benar jalan-jalan yang menuju desanya.
"Hm, desa ini sekarang sepi sekali," gumam Jo-ko Galing lirih. Matanya memandang
ke sekeliling. Rumah-rumah penduduk tampak tertutup. Sepertinya
penduduk sangat takut menampakkan mukanya.
Joko Galing menarik napas dalam-dalam. Dia
merasa sedih menyaksikan penderitaan warga de-
sanya. Dendam pada Panca Iblis yang dianggap telah
merubah suasana kehidupan desanya, kian membakar
hatinya. "Panca Iblis keparat! Tunggulah pembalasan-
ku!" dengus Joko Galing sengit. Tangannya terkepal seperti menahan kemarahan.
Matanya yang tajam,
memandang ke sekeliling, bagaikan seekor elang yang
mencari mangsa.
Dengan langkah mantap, Joko Galing terus me-
langkah menelusuri jalan Desa Kalasan yang lengang
dan sepi. Di kanan dan kiri jalan memang berdiri ru-
mah-rumah penduduk. Tetapi semua pintu dan jende-
lanya tertutup rapat. Tak seorang pun yang tampak
berada di luar rumah. Sehingga desa itu tampak seper-ti mati dan tak
berpenghuni. "Ke mana mereka semua" Apa mereka telah
pindah, mengungsi ke desa lain?" tanya Joko Galing dengan mata memandangi ke
rumah-rumah penduduk
yang masih sangat dikenalnya dengan baik.
Joko Galing kembali menarik napas, dan mene-
ruskan langkah kakinya. Kini dia hendak sekali meli-
hat keadaan rumahnya. Dibelokkan langkah kakinya
ke barat. Sampai di rumahnya Joko Galing pun hanya
mendapati keadaan sunyi. Rumah kosong tak ber-
penghuni. Dia langsung melangkah menuju belakang
rumah. Dilihatnya tiga buah kuburan berjajar jadi sa-tu. Itulah kuburan ayah,
ibu, dan adiknya.
Dendam kesumat Joko Galing semakin memun-
cak, setelah menyaksikan kuburan keluarganya. Gemuruh halilintar pun bersahut-
sahutan bagai menyambut sumpah Joko Galing.
"Panca Iblis keparat! Akan kuminum darah kalian! Ayah, Ibu, adikku, tenanglah
kalian di alam sana.
Akan kubalaskan sakit hati ini!" sumpahnya tegas.
"Ayah, Ibu, Adikku...! O, sungguh malang nasib
kalian! Aku bersumpah, akan meminum darah mere-
ka!" teriak Joko Galing dengan suara keras menggelegar. Bersamaan dengan itu,
langit yang mendung
menghantarkan gemuruh halilintar bagaikan menyam-
but sumpah Joko Galing. Dewa-dewa yang di kayangan
seolah-olah turut memberi kesaksian.
Dendam kesumat Joko Galing semakin bergelo-
ra. Kesedihan pun kembali terkuak, setelah menyaksi-
kan kuburan keluarganya.
"Panca Iblis keparat! Kuminum darah kalian!
Ayah, Ibu, Adikku, semoga tenang kalian di alam sa-
na!" dengan menundukkan kepala, Joko Galing mencium nisan kedua orangtua dan
adiknya. Kemudian
segera bangkit berdiri. Namun....
"Wua! Hi hi hi...! Ha ha ha...! La la la...!" Joko Galing tersentak kaget,
ketika tiba-tiba seorang lelaki berpakaian compang-camping hendak menyerangnya.
Joko Galing mengelit ke samping, kemudian dengan
cepat tangannya menang-kap kaki lelaki gila berpa-
kaian compang-camping.
Gusrak! Lelaki gila itu langsung terjerembab, karena ke-
dua kakinya tertangkap Joko Galing.
"Hu hu hu...! Jahat! Kau jahat..!" maki lelaki gi-la sambil menangis tersedu-
sedu. Joko Galing mengerutkan kening, memandangi
lelaki gila yang usianya tidak begitu jauh dengannya.
Lelaki itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Namun karena keadaannya, tampak
lebih tua dari usia
sebenarnya. Mata Joko Galing membeliak, ketika mengenali
siapa lelaki gila itu.
"Kang Kasmin..." O, kaukah Kang Kasmin?" desis Joko Galing dengan mata masih
menatap lelaki yang dipanggil Kang Kasmin.
Orang gila itu seketika menghentikan tangis-
nya. Matanya menyipit dengan kening mengerut, me-
natap wajah Joko Galing. Mulutnya komat-kamit, se-
perti hendak mengatakan sesuatu.
"Kang.... Kang Kasmin, apakah kau lupa den-


Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko Galing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ganku," tanya Joko Galing berusaha mengingatkan pada Kasmin, siapa dirinya.
"Hi hi hi.... Siapa kau"!" bentak Kasmin sambil cengengesan. Matanya tajam,
menatap wajah Joko
Galing yang mendekat lalu jongkok di hadapannya.
"Aku Joko, Kang. Aku Joko Galing, yang dulu
kau ajak main-main," ujar Joko Galing berusaha mengingatkan Kasmin.
Kasmin berusaha mengingat-ingat nama Joko
Galing. Seketika tangisnya meraung. Seakan lelaki gila itu telah sembuh dari
ingatannya. "Wua! Joko...! O, dari mana saja, kau Joko. Hu
hu hu...!"
Joko Galing semakin trenyuh mendengar tangi-
san Kasmin, yang kini memeluk tubuhnya. Seketika
dendamnya pada Panca Iblis bertambah membara.
"Kang, apa sebenarnya yang terjadi di desa ini, sejak kematian keluargaku...?"
tanya Joko Galing penasaran.
Dengan masih menangis tersedu-sedu, Kasmin
pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Se-
menjak kematian Ki Santanu, Panca Iblis semakin me-
rajalela. Panca Iblis terus memaksakan kehendak, agar penduduk menyetor hasil
bumi pada mereka.
Merasa tak kuat lagi dalam tekanan Panca Iblis,
secara diam-diam penduduk berusaha pergi dari Desa
Kalasan. Namun, penduduk yang mencoba kabur, di-
bunuh. Hal itu semakin membuat para penduduk ke-
takutan. Akhirnya mereka pun hanya pasrah, meneri-
ma nasibnya. Sampai akhirnya di Istana Telaga Mas terjadi
pemberontakan. Tetapi pemberontakan itu dapat diga-
galkan, atas bantuan seorang pendekar yang sering
disebut Pendekar Gila. Pendekar Gila yang telah menggagalkan pemberontak,
akhirnya datang ke Desa Kala-
san. Kabarnya, tengah mengejar seseorang yang didu-
ga dalang dari pemberontakan di Istana Telaga Mas.
Sejak kedatangan Pendekar Gila ke Desa Kala-
san, perubahan terjadi. Panca Iblis akhirnya bersekutu dengan Pendekar Gila,
Eng Djiauw Ong 26 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Imbauan Pendekar 11
^