Pencarian

Penghuni Goa Kramat 1

Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat Bagian 1


P PENGHUNI GOA KERAMAT Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D.Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Penghuni Goa Keramat
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Hari mulai beranjak malam ketika pemuda
berwajah sangat tampan dan berpakaian merah
dengan rambut di kuncir ini melewati jalan setapak di pinggiran lereng Merbabu.
Langkahnya begitu ringan, seolah tiada beban apapun di benaknya. Sesekali bibirnya
menyunggingkan senyum, kemudian terdengar pula syair-syair lagu
yang tiada berketentuan. Terkadang suaranya
merdu sehingga membuat terlena bagi pendengarnya, namun di lain waktu suaranya
telah berobah tidak beraturan, sember bagai kaleng rombeng sehingga membuat berbagai jenis
binatang yang berada di lereng Merbabu lari tunggang langgang dilanda ketakutan.
Melihat kejadian itu pemuda
berpakaian merah itu kembali tersenyum-senyum.
Siapakah pemuda berpakaian serba meraih itu"
Tak salah lagi rimba persilatan mengenalnya dengan julukan Pendekar Hina Kelana,
murid tunggal almarhum si Bangkotan Koreng Seribu. Seorang
manusia setengah dewa yang pernah mengguncangkan delapan penjuru mata angin
karena kesaktian yang dimilikinya.
Pada saat itu di jalan yang sama, tidak jauh
di depan sana dua orang laki-laki berusia tiga puluh sedang melakukan perjalanan
dalam keadaan tergesa-gesa. Melihat penampilan mereka tak dapat disangkal bahwa mereka
sebenarnya merupakan dua orang murid dari sebuah perguruan. Dalam keadaan
berjalan cepat seperti itu sesekali ter-
dengar pula suara mereka memecah keheningan.
Namun suara mereka segera saja terhenti ketika
mendengar suara lolongan serigala. Nampaknya
mereka begitu ketakutan dengan hadirnya suara
lolongan tadi. Terlebih-lebih salah seorang dari
mereka yang memiliki jiwa penakut.
"Suara apa itu, Saim...!" tanya salah seorang diantaranya sambil mempercepat
langkahnya. Tiba-tiba suara lolongan serigala itu kembali
terdengar, hanya saja kali ini jaraknya semakin
bertambah dekat dengan mereka sehingga kedua
laki-laki berusia tiga puluhan itu menggigil ketakutan.
"Akh... toloong... argkh...!"
Laki-laki yang berada di bagian paling depan merasa terkejut bukan main ketika
mendengar suara teriakan kawannya yang berjalan di belakang.
"Samm...!"
Laki-laki yang berada di depan menghentikan langkahnya, kemudian berteriak
histeris, ketika melihat seekor serigala nampak sedang mencabik-cabik tubuh
kawannya. Dengan cepat ia berusaha memberikan pertolongan pada kawannya
yang sedang bergumul melawan keganasan serigala itu. Dengan cepat ia segera
mencabut golok besar yang menggelantung di bagian pinggang kanannya. Namun pada
saat itu serigala itu bagai
mengerti saja segera beralih dari tubuh kawannya
dan bergerak cepat menerkam orang itu. Sementara jeritan kawannya yang telah
terluka parah itu
terus terdengar dari keras sampai melemah. Hingga akhirnya tidak terdengar sama
sekali. "Grrr! Graauuk!"
"Aark...!" lolongan maut kembali terdengar.
Tubuh orang yang satunya lagi menggeletak di
atas tanah dengan menderita luka-luka mengerikan di sekujur tubuhnya. Sementara
itu makhluk yang berujud seekor serigala itu sesaat memandang tajam pada korban-
korbannya. Kemudian segera melesat pergi meninggalkan tempat
itu. Sementara itu pemuda berpakaian merah
dengan rambut di kuncir yang mendengar suara
jeritan secara lamat-lamat. Tanpa membuangbuang waktu lagi segera mengerahkan
ilmu lari cepatnya yang sangat terkenal dengan nama Ajian
Sepi Angin. Hanya dalam waktu yang sangat singkat tubuhnya telah berkelebat
lenyap laksana terbang. Tidak lama kemudian si pemuda berkuncir
yang tidak lain Buang Sengketa itu telah sampai di
tempat kejadian. Pemuda berwajah tampan ini
langsung terperangah begitu melihat adanya dua
mayat laki-laki tidak dikenal yang terkapar dalam
keadaan tubuh yang tercabik-cabik mengerikan.
"Sayang sekali aku terlambat datang. Melihat keadaannya pastilah luka-luka yang
mereka alami akibat dicabik-cabik binatang buas. Tapi...!"
mendadak Buang Sengketa mengerutkan keningnya. Nampaknya ia merasa ada sesuatu
yang terasa agak janggal terdapat pada mayat-mayat itu.
Kemudian pemuda itu segera berlutut di samping
si mayat. Setelah memeriksa bekas-bekas luka
yang diderita mayat itu.
"Kalau memang benar mereka di serang binatang buas, mengapa tubuh mereka hanya
di perlakukan sedemikian rupa" Mestinya binatang
itu memangsa mereka karena lapar sehingga memakan dagingnya. Namun lain lagi
halnya yang terjadi dengan orang-orang ini. Benar-benar aneh."
gumam Pendekar Hina Kelana pada dirinya sendiri. Kemudian pemuda tampan ini
mengitarkan padangan matanya ke sekeliling daerah itu. Ia merasa tidak ada
tanda-tanda mencurigakan. Hanya
kebisuan malam dan desir halus angin dingin dan
tetes-tetes embun yang mulai membasahi dedaunan.
"Siapapun mereka ini tidak ada salahnya
kalau aku membuat kuburan untuk mereka."
ucapnya lagi sambil melangkah ke sebuah tempat
yang luas. Dengan mempergunakan patahan kayu, Buang Sengketa segera memulai
pekerjaannya. Karena dalam melakukan pekerjaannya itu si
pemuda mengerahkan tenaga dalamnya, maka dalam waktu sekejap saja pekerjaan
menggali dua buah lubang kubur itu telah di selesaikannya.
Satu demi satu si pemuda memasukkan jasad rusak yang sudah membeku ke dalam
lubang yang telah di galinya. Ketika pekerjaan menguburkan mayat itu usai. Untuk yang
terakhir kalinya dipandanginya dua buah gundukan tanah
merah yang berada tidak begitu jauh di depannya.
Lalu terdengar pula suaranya yang agak parau.
"Hanya itu yang dapat kulakukan, sobat!
Kalaupun ingin kusampaikan kabar duka ini ke-
pada orangtua kalian, aku tidak tahu di mana rumahnya. Pada pacar kalian" Maaf
aku tidak punya
keberanian. Aku takut mereka malah bunuh diri
begitu mendengar kematian kalian."
Setelah berkata begitu Pendekar Hina Kelana segera berlalu dari tempat itu.
Sementara di langit sana bulan tidak menampakkan cahayanya.
Langit berubah mendung disertai hembusan angin
ribut. Sepanjang bukit Jajaran yang kering dan
tandus berbatu kapur. Tempat itu merupakan sebuah daerah sepi yang sangat jarang
dilalui oleh pejalan kaki maupun orang-orang penunggang
kuda. Daerah itu dikenal sebagai daerah angker,
selain itu banyak perampok dan begal berkeliaran
di sana. Hanya orang-orang yang selalu percaya diri dan memiliki kepandaian
tinggi saja yang berani
melewati tempat itu. Sedangkan andai mereka merupakan orang-orang yang tidak
mempunyai kepandaian apa-apa. Pasti akan berpikir sepuluh kali
untuk melakukan perjalanan melintasi bukit Jajaran.
Pada kenyataannya bukit Jajaran merupakan batas pemisah antara dusun Kemuning
dan dusun Meranti. Pada kedua dusun itu berdiri dua
perguruan silat yang cukup besar. Perguruan itu
masing-masing bernama Naga Putih sedangkan
yang satunya lagi bernama perguruan Dewa Suci.
Adapun pemimpin dari masing-masing perguruan
ini masih mempunyai hubungan yang sangat dekat. Karena ketua perguruan Naga
Putih yang bernama Gupak Salaksa atau yang lebih di kenal
dengan julukan si Kapak Maut masih merupakan
kakak kandung ketua perguruan Dewa Suci yaitu
Prameswara. Siang itu matahari bersinar cerah, langit resik tiada berawan. Sepanjang bukit
Jajaran memang merupakan daerah tandus dan sangat jarang sekali pohon-pohon
tumbuh di sana. Tidak
salah kalau udara di sekitar tempat itu terasa lebih
panas bila dibandingkan dengan daerah-daerah
lainnya. Pada saat-saat seperti itu seorang laki-laki
berpakaian serba putih, berwajah tirus dengan
kumis tipis bertengger di atas bibirnya, nampak
sedang berjalan dalam keadaan tergesa-gesa melintasi daerah sepanjang perbukitan
itu. Melihat arah langkahnya, tidak salah lagi kalau laki-laki
itu sedang menuju dusun Kemuning. Dari penampilannya saja orang-orang segera
tahu kalau lakilaki berusia empat puluhan itu, merupakan seorang tokoh
persilatan yang memiliki kepandaian
cukup tinggi. Demikianlah tanpa menghiraukan panas
yang menyengat, laki-laki berpakaian serba putih
ini terus mengayunkan langkahnya hingga sampai
di sebuah tempat yang cukup teduh, ia memperlambat langkahnya.
"Aku telah memasuki dusun Kemuning.
Mudah-mudahan kakang Gupak Salaksa berada di
tempat saat ini. Tetapi aku tidak tahu apakah kedua muridku memang berkunjung ke
sana. Tapi seingatku...!" tiba-tiba laki-laki berpakaian serba
putih ini mengerutkan keningnya.
"Aku merasa kurang yakin mereka berani
berkunjung ke perguruan Naga Putih tanpa seijinku. Meskipun ketua perguruan Naga
Putih masih kakang kandungku sendiri. Waktu itu Mat Moyong
dan Penjol muridku mengatakan ingin menyambangi keluarganya di dusun seberang.
Hemm, pikiranku jadi tidak enak. Jangan-jangan telah terjadi...!" Prameswara
tidak berani membayangkan lebih jauh lagi. Walau bagaimanapun ia merasa
sayang pada kedua muridnya yang masih baru itu.
Selain mereka merupakan orang-orang yang sangat penurut, juga termasuk murid
yang mempunyai watak lucu. Kehadiran Mat Moyong dan Penjol di padepokan membuat
suasana di tempat itu
menjadi ramai dan bersemangat. Bahkan keduanya merupakan orang yang sangat
disenangi oleh sesama saudara seperguruan. Tidak terkecuali
dengan Prameswara sendiri.
Sementara itu kakinya terus melangkah, secara mendadak dia dikejutkan oleh suara
lolongan serigala yang berasal dari jalan yang telah dilaluinya tadi. Reflek Prameswara
segera memutar tubuhnya dan memandang lurus pada jalan yang
telah dilaluinya. Maka terlihatlah olehnya dalam
jarak yang tidak begitu jauh, sesosok tubuh nampak berguling-guling di atas
permukaan jalan. Melihat pemandangan seperti ini tentu saja laki-laki
berpakaian serba putih ini menjadi terheranheran.
"Mengapa tiba-tiba saja ia berada di situ"
Padahal tadi aku tidak melihat siapa-siapa. Melihat keadaannya sepertinya ia
membutuhkan pertolongan. Tapi mengapa ia menggerang bagai seri-
gala. Ataukah suara serigala tadi berasal dari tempat lain" Ah persetan! Siapa
tahu ia sedang dalam
kesulitan!" berpikir sampai di situ Prameswara segera berlari-lari menghampiri
orang yang sedang
bergulingan itu.
Setelah sampai di tempat. Prameswara semakin bertambah heran lagi. Ia melihat
orang yang dalam keadaan menelungkup itu mengeluarkan
suara erangan bagai serigala. Sedangkan kedua
tangannya mendekap erat ke bagian muka. Tanpa
menunggu lebih lama lagi Prameswara segera menjamah tubuh orang itu. Badannya
terasa dingin tidak ubahnya bagai es, di luar dugaan begitu tubuhnya disentuh
oleh Prameswara, orang itu
membuka matanya. Mulutnya menyeringai sehingga membuat bergidik bagi siapa saja
yang melihatnya. Bagai terbang semangat Prameswara begitu
melihat rupa orang yang sedang terguling-guling
itu. "Heh... kau bukan manusia?" tanya Prameswara sambil cepat beringsut menjauh.
Sebagai jawaban orang itu mengerang, semakin lama suaranya berubah menjadi
sebuah lolongan yang membuat nyali siapapun menjadi ciut.
Prameswara tersentak kaget, kemudian melompat
jauh dari orang itu. Tiba-tiba sepasang matanya
membelalak lebar begitu melihat perubahan yang
terjadi pada diri orang ini. Mula-mula wajah orang
itu berubah ujud menjadi kepala serigala. Mulutnya menyeringai memperlihatkan
taring-taring yang tajam. Sedangkan sepasang matanya yang telah berubah ujud itu nampak merah
menyala, li- dahnya terus menjulur meneteskan air liur yang
menebarkan bau tidak sedap.
Ketika Prameswara memperhatikan bagian
tubuh lainnya, maka terlihatlah olehnya betapa
tangan laki-laki itu telah ditumbuhi bulu-bulu kasar yang tidak jauh bedanya
dengan bulu-bulu serigala. Bahkan jemari tangan yang telah dipenuhi
dengan bulu-bulu kasar itu pun pada bagian kukunya telah berubah memanjang dan
berwarna hitam. Sekilas saja Prameswara dapat melihat betapa kuku-kuku itu
sangat tajam. "Makhluk ini ternyata sangat beringas. Heh,
ia benar-benar telah menjebakku."
Tak lama kemudian laki-laki berpakaian
serba putih ini meraba gagang pedangnya. Dan ia


Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpaksa melompat mundur ketika melihat makhluk jejadian ini menerkam ke arahnya
sambil memperdengarkan suara lolongan panjang. Di luar
dugaan makhluk jejadian ini ternyata sangat gesit
sekali. Prameswara yang semula hanya mengandalkan jurus-jurus tangan kosong yang
dikenal dengan nama 'Menembus Awan Menggapai Bulan',
merasa tidak berdaya mengembangkan jurus-jurus
ini. Padahal selama puluhan tahun tidak sembarang orang mampu menahan pukulan-
pukulan tangan kosongnya. Perlu diketahui Prameswara
merupakan ketua perguruan yang disegani karena
ketinggian ilmunya. Apalagi dalam hal memainkan
ilmu pedangnya. Gerakannya menjadi sangat cepat
bahkan sulit diikuti kasat mata. Itulah sebabnya
dalam kalangan persilatan ia di juluki sebagai si
Pedang Bayangan, justru karena kecepatannya da-
lam mempergunakan senjata pedang. Tetapi kali
ini dengan mempergunakan tangan kosong dalam
pertarungan melewati lima belas jurus ia nampak
mulai terdesak menghadapi serangan ganas yang
dilakukan oleh manusia berkepala serigala itu. Beberapa kali tubuhnya nyaris
tersambar kuku-kuku
tajam yang tidak menutup kemungkinan bahwa
kuku-kuku itu mengandung racun yang ganas. Si
Pedang Bayangan nampaknya tidak punya pilihan
lain lagi ketika melihat makhluk jejadian itu benarbenar menghendaki nyawanya.
Akhirnya tanpa berpikir panjang ia pun segera mencabut pedangnya. Tak pelak lagi Prameswara
mulai mengerahkan jurus-jurus andalannya. Diantaranya adalah
jurus pedang 'Menggulung Ombak Menerjang Badai dan jurus pedang Dewa
Halilintar'. Dengan
mempergunakan jurus-jurus pamungkas ini, senjata di tangan Prameswara berputar
sedemikian sebat, sehingga berubah menjadi segulungan sinar
putih membentuk sebuah perisai diri yang kokoh.
Di samping itu, dalam keadaan menyerang dan
mempertahankan diri, ketua padepokan Dewa Suci
ini kiranya telah mengerahkan tenaga dalam yang
dimilikinya. Ia menyadari lawannya kali ini selain
sangat membahayakan, juga tidak mempan dengan tebasan maupun bacokan senjata
tajam. Bahkan ketika ia berhasil menyarangkan tendangannya ke bagian dada
lawannya. Tidak sedikitpun
lawan merasakan akibatnya, makhluk jejadian itu
hanya terhuyung-huyung saja. Jangankan muntah
darah, robohpun tidak. Padahal pendekar golongan lurus ini telah mengerahkan
tiga perempat te-
naga dalam yang dimilikinya.
Di lain pihak menyadari lawannya masih
dapat menghindari sergapan kuku-kuku maupun
taringnya yang runcing. Makhluk jejadian itu
nampaknya menjadi sangat murka sekali. Kembali
terdengar suara lolongannya yang menggidikkan.
Sepasang matanya bertambah memerah. Bagian
lidahnya bahkan menjulur panjang di sela-sela
dengus nafasnya. Satu kesalahan besar di lakukan
oleh ketua padepokan Dewa Suci itu justru pada
saat itu ia terseret arus emosi. Mungkin saja karena merasa kesal melihat
lawannya kebal senjata.
Hingga pada satu kesempatan ia melihat pertahanan bagian bawah siluman itu
nampak lemah. Sekali lagi dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan,
Prameswara langsung melakukan tendangan
menggeledek. Siluman berujud mengerikan itu
hanya mendengus, di luar dugaan ia menyambut
tendangan itu dengan tangannya yang berkuku
runcing. Prameswara yang sama sekali tidak menyangka datangnya gerakan lawan
yang tiba-tiba merasa terkejut bukan main. Laki-laki berusia
empat puluhan itu mencoba menarik balik serangannya, tapi gerakannya kalah cepat
bila di bandingkan dengan gerakan lawannya.
Tep! Creep! Tahu-tahu kaki Prameswara telah kena di
tangkap oleh makhluk mengerikan itu. Secepat ia
menangkap kaki si Pedang Bayangan, maka secepat itu pula siluman serigala
membantingkan tubuh lawannya, hingga menimbulkan suara berde-
bum. Dalam keadaan panik si Pedang Bayangan
membabatkan pedangnya berulang kali. Sebagaimana yang pernah ia lakukan tadi.
Kali ini tubuh manusia siluman itupun tidak dapat ditembus
oleh ketajaman pedangnya. Sesaat kemudian terdengar daging tubuh yang tercabik-
cabik kuku dan taring manusia siluman itu. Terdengar suara
lolongan yang menyayat dari mulut Prameswara
yang terluka parah. Mengira mangsanya telah tewas karena kehabisan darah. Dengan
cepat siluman itu meninggalkan korbannya. Pada saat seperti itulah sesosok
bayangan merah berkelebat
menghampiri tubuh yang sudah sekarat itu.
"Paman! Apa yang telah terjadi denganmu?"
tanya pemuda yang sudah tidak asing lagi bagi kita ini dengan suara tergetar.
Tak terlukiskan betapa terenyuh hatinya ketika melihat keadaan tubuh
laki-laki berpakaian putih yang telah tercabikcabik bergelimang darah itu.
Tadinya Buang Sengketa sedang melakukan perjalanan ke arah Utara.
Tidak begitu jauh dari laki-laki yang sedang tertimpa malapetaka itu ia
menghentikan langkahnya
ketika mendengar suara jeritan menyayat. Setengah berlari ia ingin mengetahui
apa yang sedang
terjadi. Tapi bukan main terperanjatnya hati Pendekar Hina Kelana, ketika sampai
di tempat kejadian ia melihat seorang laki-laki telah terkapar
dengan tubuh tercabik-cabik bagai habis di serang
binatang buas. Yang membuat pemuda ini keheranan justru kejadian itu berlangsung
siang hari, bahkan tidak jauh dari sebuah desa pula. Dalam
keadaan termangu seperti itu, tiba-tiba Buang
Sengketa mendengar erangan lemah. Menyadari
keadaan laki-laki itu sudah tidak mungkin di tolong karena lukanya yang teramat
parah. Pemuda itupun cepat-cepat berlutut di samping tubuh
Prameswara. Kali ini terdengar suaranya yang lirih
sambil memandang pada Buang Sengketa penuh
harap. "Tolong... tolong sampaikan pada ketua perguruan Naga Putih bahwa aku memerlukan
bantuannya...!"
Belum lagi Prameswara sempat melanjutkan
ucapannya, Pendekar Hina Kelana telah memotong.
"Siapakah yang telah menyerangmu, paman" Lagi pula siapa ketua perguruan Naga
Putih" Masalah pertolongan jika aku mampu pasti
akan kulakukan." ucap pemuda itu menyanggupi.
Tubuh yang sangat lemah itu bergerak-gerak sesaat. Dengan bersusah payah ia
kembali melanjutkan.
"Aku telah diserang oleh siluman serigala.
Padahal aku baru saja ingin mencari dua orang
muridku yang belum kembali. Tol... tolong beritahukan pada ketua perguruan Naga
Putih bahwa mungkin saja rimba persilatan akan dilanda teror
besar-besaran. Bawalah... sert..." kata-kata Prameswara terputus bersamaan
dengan hembusan
nafasnya yang terakhir.
Buang Sengketa menjadi tertegun begitu
mendengar penuturan laki-laki yang sekarang telah terbujur kaku ini. Seakan ia
tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagai-
mana mungkin ada siluman yang berani beraksi di
siang hari" Selama ini belum pernah ia mendengar
apalagi melihat ada makhluk siluman melakukan
teror siang-siang begini. Apalagi mengingat kejadian itu tidak begitu jauh dan
sebuah dusun. Namun apabila ia melihat luka yang dialami oleh laki-laki yang
tidak dikenalnya itu. Buang Sengketa
merasa yakin bahwa orang yang telah menjadi
mayat itu pastilah tidak berbohong. Apalagi bila ia
teringat kejadian beberapa malam yang lalu. Mereka juga tewas dalam keadaan yang
sama tragisnya.
Atau mungkin mereka itulah yang disebut-sebut
sebagai murid yang hilang" Dalam hati ia telah
bertekad siapapun siluman serigala itu, ia merasa
punya tanggung jawab untuk membasminya.
Dengan perasaan serba tidak menentu, akhirnya Pendekar Hina Kelana segera
memanggul mayat itu. Yang menjadi tujuannya adalah desa
yang terletak tidak begitu jauh lagi jaraknya dari
tempat ia berada saat itu.
2 Laki-laki berumur enam puluhan itu nampak duduk merenung di atas ranting
sebatang pohon. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Tatapannya kosong
menerawang jauh pada hamparan
hutan rotan yang terletak tidak begitu jauh dari
tempat ia berada. Sesekali kelopak matanya yang
cekung dikerjab-kerjabkannya beberapa kali. Tibatiba laki-laki tua berpakaian
merah dan berjanggut
putih ini membantingkan kakinya pada ranting
yang diinjaknya beberapa kali.
Kraak! Buuk! Ranting sebesar betis orang dewasa itupun
patah dan menimbulkan suara berkrotakan dan
jatuh berdebum. Laki-laki itu terpana, ia merasakan bagai baru terjaga dari
sebuah mimpi buruk.
Kiranya dalam kekalutan yang membelenggu jiwanya tadi, tanpa sadar ia
menghentakkan kakinya dengan mempergunakan tenaga dalam, sehingga menyebabkan
ranting yang diinjaknya patah berderak. Hanya sebentar saja ia memperhatikan
akibat yang ditimbulkan di luar kesadarannya. Sesaat kemudian ia telah kembali
pada keadaan semula. Wajahnya yang penuh keriput
nampak diliputi rasa duka yang mendalam. Dengan penuh penyesalan diri ia pun
berkata. "Ketika dulu aku masih muda, aku selalu
mendambakan bagaimana rasanya bila orangorang menyanjung diriku karena kesaktian
yang kumiliki. Aku ingin menjadi tokoh dalam dunia
persilatan, sehingga dapat menolong kaum yang
lemah dari segala macam yang berbau kekerasan
dan penindasan." sesaat laki-laki berpakaian merah ini menghentikan ucapannya.
Bibirnya tersenyum tipis. Dirasakannya perasaan menyesak di
rongga dadanya sedikit demi sedikit mulai berkurang. Kemudian ia kembali
berkata-kata seorang
diri. "Berpuluh-puluh tahun aku berusaha mewujudkan impianku. Tidak ku hitung sudah
berapa banyak orang-orang berkepandaian tinggi telah
menjadi guruku. Tetapi mengapa waktu itu aku tidak pernah merasa puas" Kurasakan
kala itu kepandaian yang kumiliki belum seberapa." sekali lagi ia kembali
menghentikan ucapannya. Sekarang
di pandanginya seluruh tubuhnya seakan penuh
benci. Lalu ia meraba pada bagian wajahnya yang
berkeriput. Betapa ia ingin menghancurkan wajahnya sendiri. Dan apabila ia
memperhatikan kedua tangannya sendiri. Ingin rasanya ia membuntungi kedua
tangannya itu. Bahkan ia merasa semakin jijik melihat tangannya. Mendadak ia
menangkupkan kedua belah tangannya pada bagian
wajah. Hatinya terasa pedih bagai teriris sembilu.
Tubuhnya terguncang-guncang menahankan rasa
bersalah yang mendalam. Masih dalam keadaan
seperti itu ia kembali berucap, keras dan membahana. Sehingga membuat binatang-
binatang hutan lari tunggang langgang.
"Bukit Siluman...! Kau telah membuat Sapta
Dewa sakti tiada tanding. Tapi kau juga telah
membuat seorang Sapta Dewa tersiksa lahir batin
sepanjang sisa-sisa usianya yang renta. Mengapa
kau membiarkan diriku berubah menjadi makhluk
menjijikkan tanpa perasaan" Mengapa kau juga tidak mau mencegah tangan-tangan
celaka ini mencabik-cabik tubuh mereka yang tiada berdosa" Padahal siapapun
tidak pernah menyangka, kalau
aku tidak pernah menghendakinya...!" teriaknya
dengan suara semakin serak dan tubuh bergetar
hebat. Nampak sekali penderitaan batin yang sedemikian besar sedang melanda diri
kakek tua itu. Tetapi apapun yang terjadi atas dirinya, ia selalu
tidak mempunyai kemampuan untuk mencegahnya.
Perubahan tubuhnya yang sewaktu-waktu
tidak terduga terasa benar bertentangan dengan
keinginan hati nurani.
"Berapa banyak lagi korban yang berjatuhan akibat ilmu terkutuk ini" Aku
merasakan hidupku semakin sia-sia. Harapanku untuk menjadi
tokoh golongan putih menjadi sirna. Keparaat...!"
berkata begitu tubuhnya langsung melesat meninggalkan ketinggian pohon yang di-
diaminya selama beberapa hari ini. Tubuhnya terus berkelebat
menjauh memasuki daerah hutan Goa Keramat
yang berada tidak jauh dari tempat itu. Dengan caranya itu hanya satu yang
diharapkannya agar ia
dapat menghindari jatuhnya korban yang tiada
berdosa lebih banyak lagi. Namun berhasilkah apa
yang dikehendakinya itu"
Kehadiran Buang Sengketa dengan mayat
seorang laki-laki di pundaknya, membuat gempar
seluruh keluarga perguruan Naga Putih. Sungguhpun tubuh mayat yang sekarang
telah diturunkan
oleh pemuda itu dalam keadaan sangat mengerikan dan bahkan bagian wajahnya sudah
sangat sulit sekali untuk dikenali. Gupak Salaksa atau
yang lebih di kenal dengan julukan si Kapak Maut
yang menjadi ketua perguruan Naga Putih, begitu
melihat pakaian si mayat langsung mengenali
bahwa tubuh yang dalam keadaan tercabik-cabik
dan berlumuran darah itu tak lain merupakan
adik kandungnya sendiri.
Tiada di sangka-sangka oleh Pendekar Hina
Kelana, ketua perguruan Naga Putih memeluk
mayat tersebut. Hati laki-laki berpakaian kelabu
ini begitu pilu demi melihat keadaan adiknya yang
telah membujur kaku dengan luka sedemikian rupa. Tiba-tiba Gupak Salaksa
menggeram marah.
Tangannya terkepal, dan otot-otot di bagian tubuhnya bertonjolan. Sebentar


Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diperhatikannya
Buang Sengketa. Tapi mungkinkah pemuda berwajah tampan yang tidak dikenalnya ini
yang telah membunuh ketua perguruan Dewa Suci" Rasanya
kurang masuk di akal. Dalam kesempatan itu murid-murid perguruan Naga Putih
telah mengelilingi
Buang Sengketa dengan perasaan curiga. Pendekar Hina Kelana yang menyadari
adanya gelagat yang tidak baik hanya tersenyum tipis. Ia tahu mereka hanya salah paham, karena
pada dasarnya ia
belum menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi
pada laki-laki malang itu. Semua keinginannya
terpaksa ditunda karena ketua perguruan Naga
Putih kelihatannya merasa terpukul menerima kenyataan yang tiada di sangka-
sangka ini. Kini Gupak Salaksa bangkit berdiri. Secara
perlahan sekarang seluruh perhatiannya langsung
tertuju pada Buang Sengketa. Sepasang matanya
yang diliputi kesedihan dan kemarahan itu nampak merah sekali.
"Orang muda! Di manakah kau temukan
adikku ini?" tanyanya dengan suara tergetar. Dengan sikap tenang Buang Sengketa
menjawab. "Saya menemukan dirinya tidak jauh dari
desa ini. Saat itu ia masih dapat mengatakan bahwa yang menyerangnya adalah
siluman serigala."
jawabnya tenang.
Semua yang hadir di tempat itu nampak begitu terkejut sekali mendengar jawaban
si pemuda. Tidak terkecuali si Kapak Maut. Berbagai dugaan
bermunculan di dalam kepala mereka.
Ketika Buang Sengketa menoleh pada ketua
perguruan Naga Putih. Ia melihat laki-laki itu
mengerutkan alisnya.
"Siang-siang begini siluman serigala berkeliaran" Rasanya hal seperti itu belum
pernah terjadi sebelumnya. Tapi bila melihat mayat adikku,
rasanya keterangannya dapat dipercaya. Tapi siapakah pemuda tampan yang telah
membawakan mayat adiknya itu" Belum pernah ia melihat pada
waktu-waktu sebelumnya. Sungguhpun begitu ia
merasa yakin tidak mungkin pemuda itu membohonginya. Wajahnya yang membayangkan
kepolosan, serta sorot matanya yang penuh wibawa.
Nampaknya dia bukan pemuda sembarangan, batin Gupak Salaksa. Setelah
memperhatikan pemuda itu sejenak, laki-laki berkumis tebal ini melanjutkan.
"Siapakah engkau ini" Rasanya aku belum
pernah melihatmu sebelumnya?" tanya Gupak Salaksa dengan pandangan sedikit
curiga. Sebenarnya terasa berat bagi Buang Sengketa untuk menerangkan siapa dirinya.
Tetapi jauh di lubuk hatinya, ia juga tidak ingin laki-laki
itu berprasangka buruk pada dirinya. Dengan sikap merendah, pemuda ini tanpa
ragu-ragu segera
menjawab. "Namaku Buang Sengketa...!"
"Buang Sengketa" Teringat akan keanehan
namamu, aku jadi teringat tentang seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Hina
Kelana... apakah
betul anda yang berjuluk pendekar yang membuat
geger rimba persilatan itu?" tanya si Kapak Maut
seolah ingin mencari kepastian.
"Bagaimana paman bisa berkata begitu?"
pancing Pendekar Hina Kelana.
"Aku hanya menduga-duga saja. Terlebihlebih setelah melihat penampilanmu rasanya
persis seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang
yang pernah melihat sepak terjangmu...!"
Pendekar Hina Kelana terdiam sejenak. Kemudian tanpa bermaksud menyombongkan
diri, ia berkata, "Aku memang Pendekar Hina Kelana, paman. Tapi akh, sudahlah paman.
Apalah artinya semua itu, sekarang ini kita perlu menguburkan
jenazah ini."
"Ya... kita memang merasa perlu untuk
menguburkan jenazahnya. Tapi selain itu kami
merasa sangat bersyukur sekali karena hari ini
kami dapat bertemu dengan seorang pendekar
yang sangat tangguh...!"
"Sudahlah paman! Tiada gunanya paman
memujiku setinggi langit. Lagi pula di depan sang
Hyang Widi semua manusia sama...!" sergah si
pemuda dengan perasaan semakin tidak enak.
"Ah... aku tidak menyangka Pendekar Hina
Kelana memiliki jiwa yang rendah hati, sungguh
mulia hatimu."
"Sudah saya katakan, janganlah paman terlalu memakai segala peradatan sehingga
membuat hatiku menjadi tidak enak. Panggil saja aku,
Buang...!" kata si pemuda dengan wajah bersemu
merah. "Baiklah... baiklah Buang. Emm..." Gupak
Salaksa nampak seperti baru teringat sesuatu.
Kemudian ia segera memerintahkan murid-murid
perguruan yang dipimpinnya.
"Jubir, Soma dan Darmadi, tolong kalian
angkat mayat paman gurumu. Hari sudah sore,
mungkin besok kita baru dapat menguburkannya..."
Murid-murid yang disebut namanya itu segera mengerjakan apa yang diperintahkan
oleh guru mereka. Sementara wajah-wajah mereka masih kelihatan menyimpan duka yang
mendalam. Bagaimanapun Prameswara sungguhpun bukan
guru mereka secara langsung, namun laki-laki ini
begitu baik pada mereka. Dengan berhati-hati mereka menggotong mayat ketua
perguruan Dewa Suci ini menuju ke dalam rumah.
Malam harinya suasana berkabung terasa
menyelimuti perguruan Naga Putih. Beberapa
orang murid nampak siap berjaga-jaga demi
menghindari sesuatu kejadian yang tidak diingini.
Sementara di dalam sebuah ruangan nampak
Buang Sengketa sedang bicara dengan ketua perguruan itu. Sebuah lampu minyak
menjadi penerangan satu-satunya di dalam ruangan berukuran
lumayan besar. "Apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah siluman itu menjatuhkan korban lebih
banyak lagi, Buang...?" tanya Gupak Salaksa, suaranya
memecah keheningan.
Buang Sengketa menarik nafas pendek. Sebentar ia membuang pandangan matanya ke
arah lain. Ketika perhatiannya kembali tertuju pada
Gupak Salaksa. Maka dengan suara berwibawa ia
kembali berkata.
"Saya tidak tahu apa yang akan paman lakukan. Namun menurut hemat saya ada
baiknya paman menghubungi kaum persilatan golongan
lurus, agar dapat bersikap lebih waspada. Bahkan
kalau mungkin harus bersatu dalam membasmi
manusia jejadian itu. Saya dapat membayangkan
betapa manusia iblis itu sangat berbahaya sekali!"
"Jadi apakah kau tidak ada minat untuk
bergabung dengan para sahabat segolongan, pendekar...?" tanya Gupak Salaksa
bagai tidak percaya. Yang ditanya berubah memerah parasnya.
"Maaf, paman. Sudah tentu saya juga punya
keinginan yang besar untuk bergabung dengan
orang-orang segolongan sendiri. Namun saya telah
memutuskan untuk mencari siluman itu dengan
cara saya sendiri. Maaf, paman jangan merasa tersinggung. Sebab selain itu saya
masih punya sedikit urusan yang perlu segera saya selesaikan...!"
ujar Buang Sengketa beralasan.
Kelihatannya Gupak Salaksa dapat memaklumi alasan yang dikemukakan oleh Pendekar
Hina Kelana. Laki-laki itupun kemudian menganggukkan kepalanya tanda setuju.
"Aku memang tidak dapat memaksamu,
Buang Sengketa. Tapi aku dapat menerima alasan
yang kau berikan padaku. Mudah-mudahan Sang
Hyang Widi melindungi kita semua, sehingga kita
dapat bertemu lagi tanpa kekurangan suatu apapun." ucap Gupak Salaksa dengan
suara tawar. Walau bagaimanapun pembicaraan itu kurang serius. Sebab ketua perguruan Naga
Putih sedang dalam keadaan berkabung. Apalagi yang
menjadi korban keganasan manusia siluman itu
kali ini adalah adik kandungnya sendiri.
"Baiklah, paman. Rasanya malam sudah larut sekali, kalau sudah tidak ada lagi
yang perlu paman tanyakan. Apakah boleh saya beristirahat?"
"Oh... ehh...!" Gupak Salaksa tergagap.
"Tentu... tentu saja kau boleh beristirahat. Kami
telah menyediakan kamar untukmu." laki-laki itu
kemudian mengantarkan Buang Sengketa ke kamar yang telah tersedia. Setelah Buang
memasuki kamarnya, Gupak Salaksa kemudian meninggalkan ruangan itu, lalu melangkahkan
kakinya menuju ruangan tengah.
*** Sepak terjang siluman serigala kian hari
bertambah merajalela. Korban demi korban berjatuhan. Siluman serigala itu
nampaknya dalam
mengambil korbannya tidak memandang bulu. Tidak perduli apakah petani biasa,
kalangan persilatan. Bahkan tidak jarang diantaranya adalah pendekar-pendekar
yang telah memiliki kepandaian silat tinggi. Kenyataan ini membuat kaum
persilatan golongan lurus bahkan beberapa di antaranya merupakan golongan hitam menjadi
sangat marah sekali. Apalagi setelah melihat para korban yang
telah dibantai oleh siluman itu. Dalam waktu yang
singkat mereka sepakat untuk melakukan pencarian besar-besaran. Bahkan beberapa
perguruan yang berhasil dihubungi oleh ketua perguruan Naga Putih merasa sangat perlu
untuk menghentikan
sepak terjang manusia siluman itu dalam waktu
secepatnya. Karena teror yang dilakukan oleh manusia siluman itu terjadi di
sembarang daerah
bahkan meluas sampai ke daerah-daerah yang
jauh. Tak ayal lagi semakin banyaklah berbagai
perguruan pada masa itu yang terpaksa turun
tangan secara langsung. Begitupun tidak semudah
yang mereka duga dalam mendapatkan siluman
serigala itu. Selain kemunculannya yang secara tiba-tiba, juga mereka tidak tahu
di mana tempat persembunyian siluman itu. Keadaan seperti ini
terasa sangat merugikan bagi sukarelawan itu. Sejak pencarian besar-besaran itu
dilakukan, tidak
sedikit korban yang berjatuhan. Antara lain adalah
pendekar Seruling Perak, Kutamaya atau yang lebih dikenal dengan julukan si
Kipas Besi. Dasamuka atau yang lebih terkenal dengan julukan si
Golok Emas. Mereka ini masih terhitung sahabat
baik si Kapak Maut, ketua perguruan Naga Putih.
Sayangnya orang-orang berkepandaian tinggi seperti mereka ini, setelah berhasil
dihubungi oleh Gupak Salaksa lebih suka bertindak sendirisendiri. Sampai akhirnya mereka
mendapat nasib yang tragis sekali. Melihat kematian orang-orang
yang berkepandaian tinggi sangat menggenaskan,
maka semakin bertambah besarlah amarah kaum
persilatan. Mereka menyadari betapa siluman serigala itu memiliki kepandaian
yang tidak terukur
kehebatannya. Namun beberapa perguruan silat
telah memutuskan untuk bergabung antara perguruan silat yang satu dengan
perguruan lainnya secara kelompok. Dengan demikian mereka berharap
kekuatan yang ada dapat diandalkan. Untuk
menghadapi siluman itu bila sewaktu-waktu mereka bertemu.
Siang itu dua rombongan yang masingmasing terdiri dari sepuluh orang, nampak
menelusuri sebuah hutan kecil yang terdapat di sebuah
hutan pinggiran Goa Keramat. Dua rombongan ini
merupakan gabungan dari dua perguruan. Rombongan pertama berasal dari perguruan
Tangan Baja yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Desta
Ketu. Sedangkan rombongan lainnya berasal dari
perguruan Pisau Terbang, yang juga dipimpin
langsung oleh guru besarnya, Jala Dara.
Sudah sejak pagi mereka melakukan pencarian, namun sampai menjelang tengah hari
kedua perguruan dengan jumlah dua puluh orang ini
masih belum memperoleh hasil apa-apa. Pencarian
yang menegangkan itu benar-benar membuat mereka lelah. Bahkan beberapa orang di
antara mereka mulai merasa putus asa. Namun mereka tidak berani berkata apa-apa,
karena mereka begitu
takut pada gurunya masing-masing. Melihat keadaan murid-muridnya, Desta Ketu dan
Jala Dara memerintahkan murid mereka untuk melepas lelah.
Namun baru saja murid-murid itu menghe-
nyakkan punggung mereka di atas rerumputan.
Secara tiba-tiba mereka melihat seorang laki-laki
berusia lanjut berjenggot putih datang menghampiri. Kini semua perhatian tertuju
sepenuhnya pada laki-laki tua berpakaian merah ini. Kakek murung ini hanya diam
saja, Jala Dara yang merupakan ketua perguruan Pisau Terbang baru saja
hendak mengajukan pertanyaan, ketika melihat
kakek itu mulai menggigil bagai orang yang sedang
terserang demam panas. Semua orang yang berada
di tempat itu kembali terperangah. Dan mereka
menjadi lebih terkejut lagi ketika mendengar suara
lolongan serigala yang keluar dari mulut si kakek
yang sekarang telah berguling-guling di atas permukaan tanah.
"Auuuungg...!"
Suara lolongan panjang kembali terdengar.
Suara lolongan itu terasa sangat berpengaruh,
bahkan terasa menggetarkan gendang-gendang telinga sehingga membuat murid
perguruan Tangan
Baja dan Pisau Terbang terkesima, tangan dan kaki mereka bahkan terasa lumpuh
tidak mampu digerak-gerakkan. Lain lagi halnya dengan Desta Ketu dan Jala Dara.
Kedua orang ini menyadari betapa hebatnya pengaruh lolongan kakek tua tersebut.
Sehingga secara cepat mereka mengerahkan
tenaga dalam guna menghindari kemungkinan


Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tidak diingini.
"Nguuung... gungg... Guuuung...!" kembali
terdengar suara lolongan yang lebih panjang lagi.
Bersamaan dengan terdengarnya suara lolongan
itu, maka kakek itu telah bangkit berdiri. Menge-
jutkan sekali, karena sekarang bagian kepala
maupun kedua tangan laki-laki itu telah berubah
total. Wajah orangtua tadi telah ditumbuhi oleh
bulu-bulu kasar. Sepasang matanya mencorong
merah membara. Sedangkan di sela-sela bibirnya,
sekarang telah tumbuh dua pasang taring yang
sangat runcing. Lidahnya menjulur-julur meneteskan air liur yang menebarkan bau
menyengat. Bahkan kedua belah tangannya telah pula ditumbuhi oleh bulu-bulu dengan kuku-
kuku memanjang berwarna hitam legam.
Menyadari adanya bahaya yang mengancam, maka Jala Dara memberi isyarat kepada
Desta Ketu untuk memberi semangat pada muridmurid mereka yang sedari tadi hanya
duduk terpana akibat pengaruh lolongan manusia serigala
itu. "Hei... kalian semua! Dialah siluman serigala itu. Cepat kalian kepung, sebelum
iblis keparat ini sempat meloloskan diri...!" teriak Desta Ketu
memberi perintah pada murid-muridnya. Bagai
terjaga dari tidur yang panjang. Dua puluh orang
murid dari dua perguruan langsung mencabut
senjata dan bergerak mengurung kakek berpakaian merah yang sekarang telah
berubah menjadi
siluman serigala. Baru saja mereka melakukan gerakan melingkar, dua orang di
antaranya mengeluarkan jeritan menyayat hati. Tubuh mereka terpelanting roboh
dengan muka robek akibat sambaran kuku-kuku siluman itu yang datangnya tiada
disangka-sangka. Dapat dibayangkan betapa ganasnya makhluk siluman ini. Bahkan
Jala Dara sendiri yang melihat kejadian ini nampak terbelalak bagai tak percaya. Tapi
rasanya mereka sudah
tidak dapat berpikir lebih lama lagi, ketika mereka
mendengar jeritan demi jeritan murid kedua belah
pihak, disertai bergelimpangannya tubuh mereka
yang bermandikan darah.
3 "Kalian semua bersiaplah. Biarkan kami
berdua yang akan meringkus siluman iblis ini!" seru Desta Ketu memberi aba-aba
pada murid mereka.
Mendengar ucapan laki-laki berkumis serta
berjenggot meranggas itu, siluman serigala mendengus marah. Jala Dara dan Desta
Ketu sekarang telah terjun ke tengah-tengah gelanggang pertempuran. Tidak jauh di hadapannya,
manusia siluman, itu memandangi mereka dengan tatapan mata berkilat-kilat.
"Grauung...!" sekali saja siluman tersebut
mengempos kakinya. Detik selanjutnya, tubuhnya
sudah melayang dengan tangan-tangan terpentang
menerkam ke arah dua orang musuhnya. Dua
orang ketua perguruan ini adalah kalangan persilatan yang telah memiliki banyak
pengalaman dalam berbagai pertarungan. Bahkan masing-masing
ketua perguruan ini memiliki keahlian yang sangat
khusus. Ketua perguruan Pisau Terbang misalnya,
sangat ahli dalam menyambitkan pisau-pisau yang
melilit di bagian pinggangnya. Dalam sejarahnya
selama malang melintang di dunia persilatan. Pisau-pisau yang disambitkan ke
arah musuh belum
ada yang pernah meleset. Apalagi ia terkenal sangat cepat dalam mempergunakan
senjata andalannya itu. Sedangkan kepandaian yang dimiliki oleh
Desta Ketu lain lagi. Sesuai dengan nama perguruan Tangan Besi. Dia adalah
seorang pendekar
berkepandaian tinggi, yang dalam setiap pertarungan belum pernah mempergunakan
senjata jenis apapun. Tapi dengan mengandalkan ilmu silat
tangan kosong, yang sewaktu-waktu dapat berubah sekeras baja. Ia mampu
merobohkan pohon
yang sangat besar, menghancurkan batu gunung
dan bahkan dapat meremukkan kepala gajah
hanya dalam sekali pukul. Dapat, dibayangkan betapa ketua perguruan Tangan Besi
memiliki tenaga
sedemikian hebat. Selain itu ia juga memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai tarap
sempurna. Sementara itu begitu melihat datangnya serangan dari pihak siluman serigala yang
sedemikian cepatnya. Maka tanpa menunggu lebih lama
lagi, Jala Dara langsung membuang tubuhnya sekaligus lancarkan satu serangan
dengan sebuah tendangan ke bagian kaki lawannya. Sedangkan
Desta Ketu dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya segera melompat ke
udara dengan gerakan Udang Melentik. Selagi masih di udara,
ketua perguruan Tangan Baja yang sangat menyadari betapa berbahayanya siluman
serigala ini, langsung mengerahkan sebagian tenaga dalam ke
arah kedua telapak tangannya yang terkepal. Begi-
tu tubuh itu melesat lagi ke bawah, satu pukulan
tangan kosong yang bernama 'Tangan Putih Baja
Sakti' siap dihajarkan pada bagian kepala lawan
yang berada di bawahnya. Saat itu manusia siluman tersebut sedang mencecar Jala
Dara yang nampak mulai kerepotan karena tidak mempunyai
kesempatan dalam mempergunakan pisau terbangnya. Dari bagian atas menyambar
angin pukulan yang dilepaskan oleh Desta Ketu. Makhluk
mengerikan ini kiranya menyadari datangnya bahaya yang sedang mengancamnya.
Tanpa menoleh ia kibarkan tangannya yang berkuku runcing itu
ke arah datangnya pukulan.
"Uuuuh...!"
Desta Ketu tersentak kaget. Masih untung
pada saat itu kedua kakinya telah menjejak di atas
tanah. Hampir saja ia termakan pukulannya sendiri yang membalik. Sama sekali ia
tiada menyangka, pada saat manusia siluman itu sedang
sibuk mencecar Jala Dara. Masih sempat mengatasi serangan yang dilancarkannya,
bahkan dengan kekuatan berlipat ganda. Menyadari sampai ke
situ, Desta Ketu mulai meningkatkan kewaspadaannya. Lebih dari itu iapun semakin
memperhebat serangan-serangannya. Cepat sekali tubuhnya
berkelebat, tetapi sehebat apapun serangan yang
dilancarkannya, beberapa kali tubuhnya nyaris
termakan kuku-kuku tajam siluman itu. Meskipun
begitu tak jarang ia berhasil memukul tubuh manusia serigala itu dengan telak.
Namun ia nampak
terpana karena pukulan yang berhasil menggedor
tubuh lawannya hanya membuat musuh ter-
huyung-huyung saja. Ternyata siluman ini kebal
terhadap pukulanku, batin Desta Ketu, sedikit kecut. Manusia siluman ini
kelihatannya sangat marah sekali, ia kembali memperdengarkan suara
melolong yang begitu panjang, sehingga membuat
sakit gendang-gendang telinga, bahkan terasa
menggetarkan seisi dada. Desta Ketu maupun Jala
Dara terpaksa menutup indera pendengarannya
ketika mulai menyadari akibat pengaruh lolongan
itu. Pada saat itu siluman berujud mengerikan
ini semakin memperhebat serangannya. Setiap
sambaran tangan maupun tendangan kakinya
menebarkan hawa maut menggidikkan. Bahkan
beberapa orang murid kedua perguruan yang sedang bersiap siaga menjaga segala
kemungkinan tak luput dari kemarahannya. Suara pekik dan jerit menyayat kembali merobek
suasana siang yang
semakin bertambah panas. Melihat muridmuridnya yang semakin banyak
bergelimpangan,
maka mendidihlah dada Jala Dara. Tak ayal lagi
senjatanya yang berupa pisau terbang yang sangat
banyak jumlahnya mulai ambil bagian.
"Saudara Desta Ketu. Berhati-hatilah, siluman keparat ini perlu diberi pelajaran
dengan ini...!" berteriak begitu Jala Dara menyambitkan
lima buah pisau yang terselip mengelilingi pinggangnya.
Ziiing! Siiing!
Senjata maut itu melesat melebihi kecepatan anak panah. Siluman serigala nampak
menggerung. Lalu menyampok senjata-senjata maut
yang begitu cepat menuju ke arahnya.
Plak... plaak... pletak...!
Senjata milik Jala Dara berpentalan ke berbagai arah. Dua di antaranya patah
menjadi beberapa bagian. Melihat kenyataan ini Jala Dara tidak
ingin berhenti sampai di situ saja. Laki-laki berpakaian ungu ini kembali
menyambar senjata andalannya dengan jumlah berlipat ganda. Laksana kilat, ia
kembali menyambitkan senjata itu ke arah
lawannya. Manusia siluman memutar tubuhnya,
kedua tangannya melakukan gerakan aneh sambil
memukul menyongsong datangnya senjata lawannya.
Weeer...! Satu sambaran angin keras yang berhawa
sangat dingin melesat dari kedua tangannya. Beberapa orang murid mereka kembali
terpelanting roboh tanpa mampu berkutik lagi. Kembali serangan si Pisau Terbang mental di
tengah jalan. Namun satu diantara sekian banyak pisau-pisau itu
berhasil menerobos pertahanan lawannya.
Craak! Laksana menghantam batu karang saja
layaknya senjata berujung runcing itu jatuh di bawah kaki si manusia siluman.
Manusia menjijikkan itu mendengus, tiada terduga menerkam ke
arah Jala Dara. Si Pisau Terbang yang sempat terkesima melihat lawan kebal
terhadap berbagai
senjata rasanya tidak sempat menghindari serangan yang sangat cepat itu. Masih
untung dari bagian samping kiri Desta Ketu yang mengetahui
kawannya dalam keadaan bahaya cepat menerjang
dengan melakukan sebuah pukulan ke bagian iga.
Buuk! Pukulan Desta Ketu dengan telak menghajar rusuk kiri lawannya, namun tidak
membawa akibat apa-apa bagi lawan terkecuali hanya tergetar saja. Tanpa menoleh siluman
ini mengibaskan
tangannya. Breet... breet!
"Arhhgk!" Desta Ketu menjerit panjang
sambil menekap bagian wajahnya yang hancur
terkena cakaran kuku lawannya. Tubuhnya terhuyung-huyung. Murid-murid perguruan
Tangan Baja dan Pisau Terbang demi melihat keadaan
guru mereka yang nampak mulai terdesak, tidak
dapat tinggal diam lagi. Merekapun mulai ikut menyerang manusia siluman itu.
Keadaan ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh Jala Dara, namun
nampaknya juga ia merasa tidak punya pilihan
lain. Dengan dibantu oleh murid-muridnya, beramai-ramai mereka melakukan
pengeroyokan, Manusia Serigala itu kembali melolong panjang.
Hampir selalu dapat dipastikan, setiap suara lolongan berakhir maka korban-
korbanpun kembali
berjatuhan. Murid perguruan Tangan Besi maupun dari perguruan Pisau Terbang
tidak juga berhasil menjatuhkan siluman itu. Sampai pada akhirnya mereka tidak
bersisa lagi. Sekarang tinggallah Jala Dara dan Desta Ketu yang dalam keadaan
terluka. Mereka tetap melakukan perlawanan sengit. Namun perlawanan merekapun
tidak berlangsung lama. Mula-mula Desta Ketu yang bertindak
nekad melakukan penyerangan dengan jarak de-
kat. Dalam kemarahannya yang sudah tidak terkendalikan lagi, kiranya satu yang
terlupakan oleh
Desta Ketu, bahwa apa yang dilakukan itu sebenarnya malah menguntungkan pihak
lawannya. Manusia siluman itu menyeringai. Membiarkan
tubuhnya dihujani pukulan Desta Ketu yang tidak
begitu keras lagi karena telah kehilangan banyak
darah. Hingga pada satu saat yang tepat.
Breet! Crees...!
"Wuaarkhh...!"
Tubuh Desta Ketu limbung, darah menyembur dari bagian luka akibat cakaran dan
ketajaman taring-taring makhluk serigala ini. Tidak cukup sampai di situ saja,
siluman serigala ini kiranya bertindak lebih jauh lagi dengan merobekrobek tubuh
lawannya hingga tidak berbentuk lagi.
Jala Dara yang menyerang dari bagian belakang
dengan sisa-sisa pisau terbangnya bagai orang gila
saja layaknya demi melihat kematian yang dialami
oleh Desta Ketu. Laki-laki itu menggerung sambil
menghunjamkan pisau di tangannya berkali-kali.
Tetapi sampai di manalah perlawanan si Pisau
Terbang ini, melawan makhluk siluman ini berdua
serta dibantu oleh para muridnya, mereka tak
sanggup menjatuhkannya. Apalagi sekarang ia
seorang diri. Dalam waktu yang singkat, Jala Dara
telah menjadi bulan-bulanan makhluk siluman
itu. Bahkan menjelang pertarungan empat puluh
jurus. Manusia siluman itu berhasil memporak porandakan pertahanan si Pisau
Terbang. Begitu kuku-kuku yang runcing serta mengandung racun
ganas tersebut merobek bagian tubuh Jala Dara.
Tak ayal lagi tubuh laki-laki itu terhempas di atas
rerumputan. Manusia siluman memburunya. Jala
Dara dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya berusaha menghantam wajah lawannya
dengan mempergunakan pisau di tangannya.
Craaak...! Manusia jejadian itu menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang runcing
dan meneteskan darah segar. Lidahnya menjulur-julur menebarkan bau busuk yang
tiada terperikan. Jala
Dara merasa tiada pilihan lain lagi. Ternyata lawannya memiliki kekebalan tubuh
yang sangat luar biasa. Si Pisau Terbang melihat musuh terus
memburunya, ia mencoba beringsut menjauh. Tetapi gerakannya kalah cepat bila
dibandingkan gerakan tangan lawannya yang terus terulur ke
arahnya. Sreet! Sreet...!
Sekali lagi jeritan tinggi menyayat terasa bagai merobek hutan dan seisi lembah
itu. Tubuh Jala Dara hanya berkelejat-kelejat sebentar, lalu
terdiam untuk selama-lamanya.
Mengetahui lawannya sudah tidak bergerakgerak lagi, manusia jejadian itu
mengeluarkan lolongan menyeramkan. Dengan tatapan liar dipandanginya mayat-mayat
yang bergelimpangan di sekitar tempat itu. Sepasang matanya yang nampak
merah membara secara perlahan meredup. Secara


Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlahan pula tubuhnya kembali berproses kembali ke dalam ujudnya yang asli.
Begitu cepat kejadian itu berlangsung, hingga kemudian tubuh manusia siluman itu
telah kembali pada ujud seorang
laki-laki tua. Lama sekali diperhatikannya mayatmayat yang bergelimpangan itu,
batinnya menjerit
sedangkan wajahnya semakin tertunduk. Ia merasa sangat berdosa sekali pada
orang-orang yang telah menjadi korbannya. Seumur hidup kejadian
seperti yang berada di depannya itu tidak pernah
terbayangkan sama sekali. Namun dia merasa tidak mempunyai kekuatan apa-apa
untuk mengatasi kebuasan ilmu yang dimilikinya. Ilmu siluman
yang telah mendarah daging di dalam tubuhnya
itu sudah sangat sulit untuk dikendalikan. Padahal kejadian seperti itu sangat
bertentangan sekali
dengan hati nuraninya. Lebih dari itu, dalam ujud
siluman ia tidak mampu bahkan tidak dapat mengingat apa-apa selain menumpahkan
nafsu membunuh yang berkobar-kobar, buas.
"Ya, Tuhan. Mengapa ilmu yang kuperoleh
dari bukit siluman bertentangan dengan keinginan
hati nuraniku. Padahal aku berusaha mendapatkan semuanya dengan tujuan agar
semua kaum persilatan tidak menganggapku sebagai
orang yang lemah. Aku hanya bercita-cita menjadi
seorang di antara sekian banyak golongan lurus
yang paling sakti tiada duanya. Tetapi mengapa
harus begini" Rasanya tidak seorang pun di kolong
langit ini yang mengetahui kelemahanku. Apakah
sampai menutup mata aku harus pula menjadi
manusia siluman" Aku... aku tak sanggup..." gumam laki-laki tua ini. Gurat-gurat
penyesalan semakin membayang jelas di wajahnya yang telah
keriput di sana-sini. Bahkan tanpa dapat dicegahnya, beberapa butir air mata
sempat menggelind-
ing jatuh menuruni rongga matanya yang cekung.
Dengan langkah gontai dia melangkah menuju matahari terbit, meninggalkan mayat-
mayat yang bergelimpangan dengan hati gundah gulana.
4 Keadaan dunia persilatan kian hari kian
bertambah runyam dengan sepak terjang siluman
serigala yang sangat buas itu. Semua orang merasa cemas bahkan ketakutan melanda
hampir seluruh lapisan masyarakat berbagai golongan. Mereka
merasa takut dengan kemunculan manusia siluman yang kedatangannya tidak dapat
diduga-duga dan tidak pula dapat ditentukan tempatnya. Berbagai tokoh selalu menemukan jalan
buntu untuk menumpas siluman yang ternyata kebal terhadap
berbagai senjata tajam itu. Seolah-olah siluman
serigala itu tidak mempunyai kelemahan sama sekali.
Masalah yang sangat besar itu tidak luput
dari perhatian Pendekar Hina Kelana yang pada
hari itu sedang melakukan perjalanan menjelajah
hutan rimba di kaki gunung Panjar. Sudah hampir
dua pekan ia melakukan pencaharian seorang diri
tanpa berkeinginan untuk bergabung dengan perguruan manapun. Yang juga ikut
terlibat dalam memburu manusia siluman itu. Sampai sejauh itu
belum ada tanda-tanda bagi si pemuda untuk dapat bertemu dengan makhluk yang
telah meminta banyak korban tersebut. Apa yang sering dijum-
painya tak lain bekas korban manusia jejadian itu
di sembarang tempat. Apa yang disaksikannya ini
terasa menggugah naluri kependekarannya. Buang
tidak dapat membayangkan bagaimana korban
semakin bertambah banyak lagi jika ia tidak dapat
menemukan manusia siluman itu. Yang membuat
si pemuda merasa heran justru manusia siluman
itu setelah melakukan aksinya raib begitu saja
tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Bahkan tak
seorang pun dari sekian banyak korbannya di beri
kesempatan hidup.
Tanpa menghiraukan rasa lelah yang mendera tubuhnya pemuda itu terus menelusuri
kelebatan hutan rimba. Sampai kemudian ia kembali
menemukan mayat-mayat bergelimpangan dengan
keadaan tumpang tindih. Keadaan mereka sama
mengenaskan dengan keadaan mayat-mayat yang
dijumpainya dalam waktu sebelumnya. Melihat
keadaan mayat-mayat itu tahulah si pemuda, kejadian yang menimpa mereka mungkin
saja berlangsung sekitar empat hari yang lalu. Buang menutup hidungnya demi
menghindari bau busuk
yang menusuk hidung, bahkan membuat mual perutnya.
"Tidak mungkin menguburkan mayat-mayat
yang sudah rusak ini. Selain jumlahnya terlalu
banyak. Hal ini akan menyita waktu dalam usahaku memburu manusia itu." gumamnya
sambil memperhatikan suasana di sekitarnya. "Manusia
iblis mana mungkin tetap berdiam di sekitar sini.
Ada baiknya kalau kucari saja di tempat lain." ujar
Buang Sengketa berniat meninggalkan hutan itu.
Namun niatnya langsung dibatalkan ketika mendengar denting beradunya senjata
tajam dan raungan binatang serigala yang berjalan cukup jauh
dari tempatnya berada.
"Aku merasa yakin suara itu bukanlah bersumber dari serigala biasa. Nampaknya
ini merupakan kesempatan bagiku untuk meringkus manusia siluman itu." katanya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi pemuda
inipun segera meninggalkan tempat itu. Dengan
mempergunakan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
taraf sempurna sekali. Dalam waktu sekejapan saja tubuhnya telah lenyap.
Tubuhnya melesat cepat, terbang
laksana dihembus badai kencang.
Tidak sampai sepemakan sirih. Pemuda ini
telah sampai di dekat daerah pertempuran. Buang
berlindung di balik sebatang pohon besar untuk
memastikan siapakah yang sedang terlibat dalam
pengeroyokan itu. Terlihat olehnya tujuh orang
pengirim barang bersenjata pedang dan tombak
sedang terlibat pertarungan melawan seorang lakilaki berpakaian merah. Buang
Sengketa tidak dapat memastikan dari manakah para pengirim barang ini. Yang
jelas mereka nampaknya memiliki
kepandaian tinggi. Mengherankan tujuh orang
rombongan ekspedisi ini dalam waktu sebentar saja sudah nampak terdesak. Buang
merasa penasaran, sambil tersenyum-senyum yang hanya dia
sendiri yang mengetahui maknanya. Pemuda itupun berkelebat mendekati pohon
lainnya agar lebih jelas dapat melihat siapakah yang menjadi la-
wan rombongan pengirim barang itu. Satu kesempatan yang tiada disengaja, manusia
jejadian membalikkan badan dan menyerang lawan yang
berada di belakangnya.
"Hah!" Buang Sengketa terperangah. Dugaannya tidak melesat. Inilah siluman yang
akhirakhir ini melakukan teror di mana-mana. Dalam
keterkejutannya itu, Buang tidak dapat tinggal diam lebih lama lagi. Terlebih-
lebih dalam waktu
yang sangat singkat manusia siluman itu telah
berhasil merobohkan lima orang rombongan pengirim barang itu. Ketika siluman
iblis itu siap menghabisi sisa-sisa pengirim barang. Pada saat itu tubuh Buang
Sengketa melesat cepat dari tempat
persembunyiannya. Dengan mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang
dimilikinya, si pemuda berusaha menggagalkan pembunuhan keji
yang dilakukan oleh si manusia siluman.
Splaak. Deees...! Manusia siluman itu hanya terhuyunghuyung saja begitu kedua tangan Buang yang
teraliri tenaga dalam membentur pergelangan tangan
lawan yang dipenuhi oleh bulu-bulu lebat. Dua
orang sisa anggota pengirim barang terhindar dari
maut. Mereka merasa berterima kasih sekali dalam
keadaan sangat kritis seorang dewa penolong telah
menyelamatkannya dari kematian.
Sebaliknya si manusia siluman, begitu melihat ada orang lain yang menggagalkan
niatnya nampak menggerung marah. Sepasang matanya
yang merah semakin berkilat-kilat. Mulutnya me-
nyeringai memperlihatkan taring-taring tajam berlumuran darah. Bahkan lidahnya
yang cukup panjang terus menjulur-julur tiada henti.
"Gerr... Auuung...!"
Manusia siluman ini kembali melolong. Suaranya terasa menggetarkan dada si
pemuda. Sementara dua orang yang ditolongnya tadi sudah tidak kelihatan lagi
batang hidungnya. Buang Sengketa menyadari betapa berbahayanya pengaruh
suara yang dikerahkan dengan mempergunakan
tenaga dalam itu, ia segera melindungi diri dengan
cara menutup indra pendengarannya. Lalu sesungging senyum kembali menghias di
bibirnya. Sambil tetap tersenyum-senyum, pemuda ini
membentak marah.
"Telah begitu banyak korban yang berjatuhan akibat ulahmu, manusia siluman!
Tetapi, sampai saat ini saya lihat kau masih tetap haus
darah. Dengan cara apapun saya akan menghentikan ulahmu yang melebihi iblis
itu...!" teriaknya
sambil mempersiapkan diri menjaga segala kemungkinan.
Manusia siluman itu mendengus, namun
entah mengapa ia menyurut langkah. Pandangan
matanya meredup.
Kejadian ini membuat Buang merasa heran sendiri. Tetapi si pemuda sudah tidak sempat memikirkan
mengapa siluman
itu agak merasa jerih berhadapan dengannya.
Mungkinkah manusia siluman ini mengenal dirinya. Persetan. Bagi Buang saat itu
yang paling penting melenyapkan manusia iblis yang telah merenggut banyak korban secepatnya.
"Sekarang bersiap-siaplah kau untuk menerima hukuman dariku...!" berkata begitu
Pendekar Hina Kelana segera menerjang manusia siluman.
Meskipun merasa sungkan. Namun manusia siluman itu mana mungkin mau dibunuh
begitu saja. Dengan sigap ia mengelak. Buang Sengketa langsung memburunya dengan
mempergunakan jurus
silat tangan kosong Membendung Gelombang Menimba Samudra. Begitu Buang Sengketa
melakukan tendangan beruntun dengan mempergunakan
kedua kakinya, sementara kedua tangannya berputar cepat membentuk perisai diri.
Pihak lawannya langsung berbalik dan membalas gempuran
Pendekar Hina Kelana dengan mempergunakan jurus 'Siluman Membongkar Gunung'.
Begitu bergerak kedua tangan manusia siluman itu melakukan
cakaran ke bagian kaki Buang Sengketa. Spontan
si pemuda menarik balik serangannya yang pertama. Dengan mengandalkan ilmu
peringan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna. Pemuda itu
melentikkan tubuhnya ke udara menghindari cakaran lawan yang menimbulkan angin
menderu. Dapat dibayangkan betapa manusia siluman itu
memiliki tenaga dalam yang tinggi. Namun Buang
juga bukanlah pendekar sembarangan. Gurunya
kakek Bangkotan Koreng Seribu adalah tokoh sakti setengah dewa yang mewariskan
berbagai ilmu kepandaian pada pemuda itu.
Tidak dapat disangkal, begitu serangan pertamanya dapat dipatahkan oleh si
manusia siluman. Maka Buang Sengketa mulai bersiap-siap
membangun serangan baru. Namun sebelum niat-
nya itu terlaksana, lawan telah mendahuluinya
dengan melakukan satu lompatan dan menerkam
ke arah Buang Sengketa. Pemuda itu seperti terkejut beberapa saat lamanya.
Keadaan ini bagi lawan
merupakan sebuah peluang yang tidak di siasiakan lagi. Tapi manalah manusia
siluman itu tahu, bahwa semua itu hanyalah merupakan taktik
Buang Sengketa belaka. Ia memang sengaja hendak memancing kemarahan lawannya.
Begitu kuku-kuku runcing dan mengandung racun itu dua
jengkal lagi mencapai wajahnya. Laksana kilat tubuh Buang Sengketa merunduk
serendahrendahnya. Kemudian lebih cepat lagi ia merangkak ke samping kanan.
Sedangkan dalam posisi
seperti itu, kakinya melakukan satu jegalan ke
arah kaki lawan yang sedang berada dalam posisi
setengah melayang.
Gubraak...! Siluman serigala itu jatuh tersungkur dengan muka mencium tanah. Buang Sengketa
tersenyum sinis. Tangannya menuding ke arah lawan
yang nampak sedang berusaha bangkit dari tempatnya.
"Ha... ha... ha... ha...! Aku di sini siluman
iblis. Yang kau terkam itu bayanganku. Makanya
jangan kelewat nafsu...!" ejek pemuda itu sambil
tersenyum-senyum.
Siluman serigala itu menjadi gusar sekali.
Dalam hati ia mengagumi kecepatan dan kehebatan jurus-jurus yang dimainkan oleh
lawannya. Namun rasa malu ternyata membangkitkan naluri
siluman yang menguasai jiwanya. Maka sambil
memperdengarkan suara lolongan yang begitu
panjang. Kali ini ia siap dengan serangan barunya
dengan mempergunakan jurus 'Angkara Murka'.
Pendekar Hina Kelana segera menyadari apa
yang akan dilakukan oleh lawannya. Dengan sikap
waspada ia segera mempergunakan jurus 'Si Jadah Terbuang" dan jurus 'Si Gila
Mengamuk' yang tidak perlu lagi diragukan kehebatannya. Buang
berharap dengan mempergunakan kedua jurus itu
secara bersamaan itu ia mampu menundukkan
lawannya dengan waktu secepat mungkin. Mungkin hal-hal seperti ini bukanlah
merupakan sebuah pekerjaan yang sangat mudah. Namun bagi
pemuda yang penuh percaya diri ini segala sesuatunya penuh pula dengan
kemungkinan. "Grauuungg...!"
Manusia siluman menggembor. Tubuhnya
berputar-putar, seolah mengerti apa yang diincar
oleh Buang Sengketa.
"Hemm. Kutu kampret itu kiranya tahu kalau aku akan menjadikannya patung hidup
yang tidak lucu...!" batin Pendekar Hina Kelana. "Haiit!
Hiaat...!"
Buang Sengketa cepat sekali merubah jurus-jurus silatnya dengan pukulan-pukulan
andalan yang dimilikinya, dengan mengerahkan sebagian tenaga dalam yang
dimilikinya. Buang Sengketa sekarang telah bersiap-siap dengan pukulan
'Empat Anasir Kehidupan' yang tidak asing lagi.


Pendekar Hina Kelana 35 Penghuni Goa Kramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiaa...!"
Sambil melompat ke udara, Buang Sengketa
hantamkan tangannya ke depan. Serangkum ge-
lombang sinar berwarna Ultra Violet melesat cepat
ke arah manusia siluman itu. Serigala jejadian itu
melihat adanya sambaran hawa panas ke arah dirinya segera pula mendorongkan
kedua tangannya
ke depan. Wuuus! Blaaam...!
Terdengar suara ledakan keras ketika dua
pukulan sakti itu saling bertemu di udara. Tubuh
manusia siluman itu terhuyung-huyung beberapa
tindak, tubuhnya tergetar. Buang Sengketa melihat manusia siluman itu
menggerung, sedangkan
lidahnya yang senantiasa terjulur itu telah dipenuhi dengan darah. Menandakan
bahwa manusia siluman ini menderita luka dalam yang cukup lumayan. Sedangkan Buang Sengketa
sendiri begitu pukulan yang dilepaskannya beradu dengan pukulan lawannya nampak terpental
dengan tubuh menghantam sebatang pohon. Namun sambil menahan rasa sakit dan tiada
menghiraukan keadaannya sendiri. Dengan cepat ia segera bangkit
berdiri. Detik-detik selanjutnya ia telah menyerang
manusia siluman itu untuk kesekian kalinya.
Di luar dugaan manusia siluman serigala ini
merubah jurus-jurus silatnya. Rupanya ia mulai
menyadari bahwa lawan yang dihadapinya kali ini
merupakan seorang lawan yang tangguh. Kejadian
ini sebenarnya di luar perhitungannya. Merasakan
kehebatan Buang Sengketa semakin bertambah
yakinlah ia dengan apa yang menjadi dugaannya.
Namun baginya keadaan telah menjadi kepalang
basah. Dia tidak ingin mundur lagi. Apalagi ia selalu merasa yakin dengan
kemampuan yang dimili-
kinya. Maka dengan diawali satu jeritan menggeledek yang juga tidak ubahnya
bagai suara lolongan
serigala. Tubuh manusia jejadian ini berkelebat lenyap. Hanya sambaran angin
saja yang terasa semakin mempersempit ruang gerak Buang Sengketa. Pemuda ini
tentu saja tidak menginginkan dirinya menjadi bahan permainan lawannya. Apalagi
jika sampai tersambar pukulan maupun cakaran
kuku-kuku lawannya. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh, pemuda ini melentingkan tubuhnya ke udara dengan satu tujuan
ingin melepaskan pukulan 'Si Hina Kelana Merana' yang
sangat dahsyat itu.
"Haiit!"
Wuuus! Wuuuss! Ketika Buang Sengketa menghantamkan
kembali tangannya ke arah lawannya, maka serangkum gelombang sinar merah menyala
yang menimbulkan udara panas luar biasa menghantam pertahanan lawannya yang juga
sedang berusaha mengatasi serangan Buang Sengketa.
Buuum! Bumi terasa bagai hendak kiamat saja
layaknya, ketika dua tenaga dalam yang sangat
besar itu saling bertemu di udara. Tubuh Buang
Sengketa sendiri saat itu terpental jauh dengan
menderita luka dalam serta tidak ingat apa-apa lagi. Sedangkan keadaan yang
dialami oleh manusia
siluman itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
apa yang dialami oleh Buang Sengketa. Hanya saja
meskipun ia terluka dalam cukup parah. Ia terjatuh dalam posisi berdiri. Ketika
dilihatnya lawan
tidak ada lagi di depannya, manusia siluman itu
merasa perlu menyelamatkan diri dan mengobati
luka-luka dalam yang dideritanya. Maka tanpa
memikirkan lawannya lagi ia segera berlari cepat
menuju Goa Keramat. Sementara Buang Sengketa
yang sudah mulai siuman nampak berusaha mengembalikan dan menyembuhkan luka
dalam yang dialaminya dengan pengerahan hawa murni.
5 Bila laki-laki tua berpakaian serba putih
dan bagian dalam berwarna merah ini teringat tentang segala sepak terjang yang
dilakukannya selama ini. Hatinya merasa sangat sedih sekali. Rasanya sampai
akhir hidupnya ia tidak mungkin
mampu menebus segala dosa-dosanya yang begitu
besar. Bahkan ia pun terkadang tanpa sadar sempat menitikkan air mata ketika
mengobati ketua
perguruan Naga Putih dan beberapa orang muridnya yang terluka akibat
perbuatannya sendiri.
Bagi orang yang tidak mengetahui asalusulnya, mungkin mereka beranggapan bahwa
pengobatan yang dilakukan oleh tabib Sapta Dewa
terhadap para korban siluman serigala itu merupakan juru selamat yang tiada
duanya Bahkan berbagai golongan persilatan sendiri
menyadari. Sebelum kemunculan tabib Sapta Dewa beberapa waktu yang lalu. Banyak
para korban manusia siluman serigala ganas itu yang tidak dapat tertolong jiwanya. Tetapi
sekarang mereka ha-
rus berlega hati, walaupun korban-korban terus
berjatuhan, namun setidak-tidaknya banyak diantara mereka yang dapat
diselamatkan. Lain lagi halnya dengan si tabib itu sendiri
yang terus menerus dihantui perasaan berdosa.
Semakin banyak ia berhadapan dengan para korban siluman serigala yang tak lain
merupakan dirinya sendiri. Maka semakin menjeritlah hati sanubarinya. Kini tabib
Sapta Dewa yang tidak diketahui asal usulnya itu, nampak berjalan terseokseok
meninggalkan perguruan Naga Putih. Meninggalkan desa yang berpenduduk padat itu,
untuk selanjutnya menembus kepekatan malam.
Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat
yang dilalui oleh tabib Sapta Dewa, dari arah yang
berlawanan nampak rombongan perguruan Merak
Emas yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Nyai
Surti. Juga sedang melintasi jalan itu bersama beberapa orang muridnya yang
keseluruhannya terdiri dari kaum wanita. Selama beberapa hari ini
mereka memang sengaja merambah hutan rimba
untuk mencari manusia siluman yang telah menewaskan beberapa orang muridnya.
Namun usahanya itu hingga sampai sekarang tidak juga mendatangkan hasil. Bahkan
kemudian diketahuinya
bahwa manusia siluman itu suka berpindahpindah tempat dari suatu daerah ke
daerah lain. Hal inilah yang membuat usaha perguruan Merak
Emas itu selalu mengalami kegagalan dalam usaha
mereka mencari siluman itu. Bahkan malam inipun hal yang sama kembali terulang.
Dengan perasaan kecewa rombongan yang terdiri dari enam
orang inipun terus menelusuri jalan sunyi itu.
Kesatria Baju Putih 2 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Jago Kelana 5
^