Pencarian

Utusan Dari Negeri Leluhur 2

Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur Bagian 2


biru itu menghan-
tam sebatang pohon sebesar sepelukan orang de-
wasa. Pohon itu memperdengarkan suara berde-
rak ketika pukulan itu menghancurkan batang
bagian bawahnya.
Krotaak... bruaak...! Pohon itu roboh berde-
bum. Untung saja si pemuda cepat-cepat meng-
hindar, jika tidak tubuhnya pasti tertindih rubuhan pohon itu.
"Pembokong gelap. Cepat-cepatlah tunjukkan diri. Jika tidak aku akan
menghantammu dengan
cara yang sama...!" geram Buang Sengketa merasa tidak sabaran lagi. Namun
setelah beberapa
saat menunggu, tidak ada reaksi dari orang yang telah menyerangnya tadi.
Sebaliknya sebagai jawaban, tiga pukulan susulan dengan kekuatan
berlipat ganda kembali menderu cepat ke arah
Pendekar Hina Kelana. Pada pukulan pertama
yang berhasil dielakkan si pemuda tadi saja ia
sudah dapat merasakan kehebatannya. Sekarang
sadarlah pemuda itu, apapun alasan pembokong
gelap itu yang jelas orang itu, pastilah menghendaki jiwanya.
Kini tanpa merasa sungkan-sungkan lagi.
Buang Sengketa langsung merangkapkan kedua
tangannya. Setelah mengerahkan setengah dari
tenaga dalam yang dimilikinya. Maka tak ayal lagi pemuda itu langsung melepaskan
pukulan 'Empat Anasir Kehidupan'. Pada detik itu juga melesatlah serangkum gelombang berwarna
Ultra Violet yang
menimbulkan rebawa panas bukan alang kepa-
lang. Dua lesatan sinar yang berintikan tenaga
sakti itu saling menderu dengan kecepatan yang
sangat sulit diikuti oleh kasat mata.
Blaam... dummm...!
Terdengar dua kali suara ledakan keras ma-
nakala dua pukulan yang dilepas oleh si pemuda
dan si pembokong itu bertemu di udara. Tanah di sekitar tempat itu bergetar hebat. Tubuh Buang
Sengketa tergetar hebat. Bahkan kakinya terbe-
nam ke tanah sampai sedalam mata kaki. Dengan
cepat pemuda itu mengurut jalan darah dan ba-
gian dadanya yang terasa sesak dan berdenyut-
denyut sakit. Sebaliknya dari semak-semak itu
terdengar keluhan pendek yang diakhiri dengan
suara tawa berkepanjangan.
"Ternyata gelar Pendekar Hina Kelana bukanlah sekedar nama kosong. Tapi jangan
bangga du- lu, karena aku memiliki seribu satu cara untuk
menjemput rohmu!"
"Ki sanak! Siapakah engkau yang sebenar-
nya" Sedangkan aku merasa sekalipun kita be-
lum pernah bertemu dalam waktu-waktu sebe-
lumnya...!"
"Aku..." Hik... hik... hik...! Aku hanyalah seorang abdi yang di utus oleh
seseorang untuk
membawamu ke sebuah tempat yang tidak kau
mengerti, sekarang juga...!"
Buang Sengketa kontan terperangah kaget,
begitu mendengar penjelasan orang yang bersem-
bunyi di balik semak-semak belukar itu. Dalam
hati ia berpikir, mungkin inikah orangnya yang
dikatakan oleh roh gurunya itu" Kalaulah benar
apa yang menjadi dugaannya. Sudah sangat jelas
baginya, bahwa sekaranglah saat-saat yang men-
debarkan itu harus terjadi. Tapi walau bagaima-
napun Pendekar Hina Kelana adalah seorang pe-
muda yang sangat cerdik. Dia tidak ingin bertindak gegabah dalam melakukan
penilaian. "Kau ingin membawaku ke sebuah tempat"
Apakah tempat yang kau maksudkan itu merupa-
kan sebuah Negeri kegelapan... Negeri Bunian...?"
pancing pemuda itu dengan keadaan bersiaga pe-
nuh. Sebagai jawaban kembali terdengar suara ta-
wa yang serasa membuat ciut pembuluh darah
dan mengguncang seisi dada. Andai saja pemuda
ini tidak melindungi dirinya dengan tenaga dalam yang dimilikinya. Pada saat itu
pastilah ia telah terjungkal roboh akibat pengaruh suara tawa
yang di sertai dengan pengerahan tenaga dalam
yang tidak terhingga itu. Orang ini benar-benar memiliki ilmu bagaikan iblis
dari neraka. Suara tawanya juga kupikir dapat menggugurkan orok
di dalam kandungan. Hemm... suara tawa itu ti-
dak ubahnya bagai lengkingan ilmu Pemenggal
Roh. Benar-benar sangat mirip sekali. Hem, aku
mencium adanya bau siluman di tempat ini. Aku
merasa yakin kalaupun ia bukan orang yang di-
maksud oleh kakek guru, yang pasti mungkin sa-
ja ia merupakan seorang pesuruh Panglima pe-
rang Negeri lelembut yang bernama Dasamuka
itu, batin si pemuda.
Dalam kesempatan itu mendadak suara tawa
terhenti. "Kau tidak perlu banyak tanya, Pangeran,..!
Gurumu yang setengah Dewa itu telah mencerita-
kan segala sesuatunya tentang kami. Kuperintah-
kan padamu, lebih baik kau menyerah secara su-
karela daripada aku harus memaksamu, titisan
Raja Piton Utara...!"
Setiap kata-kata yang terucap dari mulut pe-
suruh dari alam lelembut itu tidak ubahnya bagai serentetan suara petir yang
menggelegar di siang hari. Hingga memaksa Buang Sengketa secara terus menerus
harus mengerahkan tenaga dalam-
nya untuk melindungi diri. Pendekar Hina Kelana terdiam sesaat lamanya.
Pikirannya berjalan cepat mencari jalan keluar yang akan di tempuh-
nya. Namun manakala ia teringat tentang wabah
penyakit dan sekian banyak orang yang telah
menjadi korban utusan dari Negeri Bunian itu
hanya karena demi memancing kehadirannya.
Maka kemarahan pun sudah tidak mampu di
bendungnya lagi. Sambil memandang geram ke
arah semak-semak itu pemuda berpakaian merah
dengan rambut di kuncir ini berucap, "Ternyata bangsa kalian lebih keji bila
dibandingkan dengan bangsa manusia. Kalian sebarkan teror di mana-mana hanya
karena menghendaki jiwaku. Kalian
lebih tamak dari manusia. Dan lebih celaka lagi kalian menganggapku sebagai
musuh utama dalam kerajaan yang telah dikuasai oleh golongan
sesat sebangsanya iblis. Padahal sedikit pun aku tidak pernah mengetahui tentang
Negeri lelembut yang bernama Bunian itu. Aku hanyalah seorang
titisan dan terlahir sebagai manusia biasa. Tapi Raja-Raja kalian yang sedang
berkuasa sekarang
ini malah menganggapku sebagai musuh besar
dan memerintahkan Panglimanya untuk membu-
ruku. Huh... seandainya saja bangsa manusia
banyak tahu tentang cara-cara yang kalian tem-
puh. Tidak dapat kubayangkan betapa mereka
akan mentertawai ketololan kalian itu. Satu hal yang tidak dapat kumaafkan,
kalian telah membuat sekian banyak manusia menderita karena
diperbudak nafsu terkutuk dan terperangkap da-
lam jebakan yang telah kalian buat." geram Buang Sengketa secara panjang lebar.
"Aku hanya menjalankan perintah. Apapun
tanggapanmu tentang apa yang harus kukerjakan
itu. Yang terpenting bagiku adalah menangkap-
mu...!" "Bagaimana kalau aku menolak perintahmu
itu...?" pancing si pemuda dengan nada berapi-api. "Kalau kau tidak mau menurut.
Dengan membunuhmu, juga merupakan sebuah kehor-
matan yang sangat tinggi dari Raja kami untuk-
ku...!" jawab suara itu dingin.
"Keparat. Kalau kau merupakan seorang pe-
suruh yang berjiwa ksatria. Tunjukkanlah tam-
pangmu. Mari kita bertarung hingga salah seo-
rang diantara kita ada yang terbujur menjadi
mayat...!"
"Kau tidak akan sanggup melihat ujudku,
Pangeran. Kalau kau tetap tidak percaya, nah sekarang lihatlah...!" begitu
selesai dengan ucapannya. Maka sekarang persis di hadapan si pemuda
telah berdiri sesosok ujud yang sangat mengeri-
kan. Orang itu memiliki satu badan tiga kepala.
Satu kepala berujud bermulut lebar memiliki se-
belah mata. Sedangkan mata lainnya hanya
membentuk sebuah rongga yang menjorok ke da-
lam serta berwarna merah darah. Sedangkan ke-
pala lainnya berbentuk kepala harimau bertaring panjang dengan mata memancarkan
sinar aneh yang sangat berpengaruh. Kepala ketiga berujud
kepala seekor naga yang memiliki sepasang mata
mencorong sedangkan dari mulutnya selalu me-
nyemburkan lidah api. Tepatnya dari bagian dada ke bawah memiliki tubuh tidak
ubahnya bagai manusia biasa. Namun dari bagian dada ke atas
berkepala tiga dengan ujud yang berbeda-beda.
"Makhluk siluman. Barangkali engkaulah
makhluk neraka yang diutus oleh Rajamu untuk
menangkap seorang titisan Raja alam kegelapan
yang tidak tahu menahu dengan persoalan yang
kalian hadapi...!" karena perasaan ngerinya melihat penampilan utusan Panglima
Dasamuka itu, tanpa sadar Buang Sengketa melangkah mundur
sebanyak empat langkah.
"Grrr... auuum...! Hieeekk... ha... ha... ha...!"
terdengar suara bergemuruh tidak ubahnya bagai
suara rentetan halilintar ketika secara serentak satu badan tiga kepala yang
berlainan bentuk itu mengeluarkan suara tawa. Pendekar Hina Kelana
kembali menutup indera pendengarannya dan se-
gera melindungi diri dengan pengerahan tenaga
dalam yang tinggi.
"Tiada keselamatan bagimu, titisan Raja Piton Utara...! Kami akan selalu
memburumu selama
kau tidak mau menyerah secara sukarela...!"
"Meskipun ujudmu seperti iblis. Aku tetap tidak akan pernah menyerah kepada
utusan Raja yang telah tersesat dari Negeri lelembut (Alam
Gaib) dan asal kau tahu saja. Tindakan kalian
yang telah menimbulkan banyak korban tidak
akan pernah mendapat pengampunan dariku...!"
tukas Pendekar Hina Kelana dengan semangat
membara. "Dalam alam nyata, aku memang harus men-
gakui kehebatan yang kau miliki, Pangeran! Tapi aku bukanlah manusia seperti
lawan-lawanmu terdahulu. Kau pasti tidak dapat menghindar dari
kematian...!"
Setelah berkata begitu bagian kepala yang be-
rujud Naga itupun melancarkan serangan dengan
semburan-semburan lidah api dari mulutnya.
Bahkan pada saat itu juga tubuhnya bergerak ce-
pat. Kedua tangannya yang berkuku runcing ba-
gai kuku harimau menyambar ke arah bagian da-
da Buang Sengketa. Menghadapi serangan men-
dadak yang datangnya secara bersamaan itu,
Buang Sengketa nampak kalang kabut. Bahkan
dalam gebrakan-gebrakan pertama saja ia sudah
kelihatan terdesak hebat. Dapat dibayangkan be-
tapa tingginya kepandaian yang dimiliki oleh utusan Panglima perang alam gaib
itu. Tetapi Pendekar Hina Kelana bukanlah seorang lawan yang
dengan mudah dapat dijatuhkan begitu saja. Ia
adalah merupakan murid tunggal seorang tokoh
setengah Dewa yang namanya saja melegenda di
dalam rimba persilatan. Dalam menghadapi teka-
nan-tekanan lawan yang semakin lama semakin
bertambah menghebat itu, si pemuda tidak men-
jadi gugup. Mengandalkan ilmu meringankan tu-
buh yang sudah sangat sempurna serta di du-
kung oleh gerak cepat ajian Sepi Angin. Sejauh itu ia masih dapat menghindari
setiap serangan-serangan ganas yang datang.
"Graaaung...!"
Manusia atau lebih tepatnya makhluk beru-
jud mengerikan itu menggeram hebat. Sementara
bagian kepala yang berujud naga tiada henti-
hentinya menyemburkan lidah api. Sedangkan
tangan yang berbentuk bagian kaki depan hari-
mau itu tiada henti-hentinya melakukan sabetan
dan pukulan yang membuat daerah di sekitar
tempat pertempuran menjadi porak poranda.
Buang Sengketa tidak hanya sekedar menghindar
dan menangkis setiap serangan yang datang.
Dengan mempergunakan jurus si Gila Mengamuk
dan jurus si Jadah Terbuang secara silih berganti, Buang Sengketa mulai
melepaskan pukulan 'Si
Hina Kelana Merana'. Agaknya pemuda itu cukup
menyadari betapa lawan yang dihadapinya kali ini benar-benar merupakan seorang
lawan yang sangat tangguh. Sehingga ia merasa percuma jika ia harus
mempergunakan pukulan 'Empat Anasir
Kehidupan', yaitu pukulan sakti yang kehebatan-
nya setingkat di bawah pukulan si Hina Kelana
Merana. Manakala pemuda berkuncir berpakaian me-
rah dan telah basah oleh keringat melambaikan
tangannya. Maka serangkum gelombang sinar
merah menyala dan menimbulkan rebawa panas
luar biasa menderu dahsyat memapaki datangnya
sinar merah kebiru-biruan yang datang akibat
pukulan yang dilepas oleh lawannya maupun
yang tersembur lewat mulut kepala naga itu.
Bledemm... Blaamm...!
Daerah di sekitar tempat terjadinya pertem-
puran itu benar-benar porak poranda. Bumi ber-
getar bagai hendak kiamat saja layaknya. Debu
dan pasir mengepul ke udara. Sementara itu tu-
buh Buang Sengketa terpelanting sejauh lima
tombak. Pemuda itu jatuh terhempas. Beberapa


Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kali ia terbatuk. Tidak ayal lagi darah menyembur
keluar lewat celah-celah bibirnya. Wajah pemuda itu berubah pucat pasi. Dada
dirasakannya sesak dan sulit bernafas. Namun nampaknya ia tidak
mempunyai banyak kesempatan untuk berleha-
leha. Dengan cepat ia segera menghimpun hawa
murni untuk menyembuhkan luka dalam yang di
deritanya. Selanjutnya dengan sigap pula ia telah bangkit berdiri. Pada saat itu
ia melihat lawan telah mulai menyerangnya kembali. Yang membuat
pemuda itu keheranan adalah, dari benturan pu-
kulan sakti itu tidak membuat lawannya terluka
sama sekali. Pemuda itu tidak dapat membayang-
kan betapa tingginya ilmu yang dimiliki oleh lawannya.
"Kau tidak akan pernah terhindar dari kematian, Pangeran. Percayalah...!"
Utusan dari Negeri Bunian itu kembali meng-
geram. Pada saat itu ia telah menyerang kembali dengan mempergunakan jurus-jurus
tangan kosong 'Dalam Kegelapan Menguak Tabir'. Saat itu
juga permainan silat benar-benar berubah total.
Tubuhnya menerjang kian kemari. Sepasang tan-
gannya yang berkuku panjang dan tajam menga-
rah pada bagian dada si pemuda. Sementara kaki
kanan utusan itu melancarkan tendangan kilat
mengarah pada bagian bawah perut Buang Seng-
keta. Pendekar Hina Kelana juga tidak tinggal di-am. Ia segera menggabungkan
jurus Memben- dung Gelombang Menimba Samudra dengan jurus
si Gila Mengamuk. Maka tak ayal lagi tubuhnya
pun meliuk-liuk bagai seorang pemabukan. Se-
mentara kedua tangannya yang telah teraliri te-
naga dalam itu diputarnya sedemikian rupa se-
hingga membentuk sebuah perisai diri yang ko-
koh. Melihat apa yang dilakukan oleh pemuda itu, lawannya memperdengarkan suara
ribut. Kemudian dengan cepat tubuhnya bergerak, lalu meng-
hantamkan satu pukulan dan satu tendangan se-
cara berturut-turut. Buang Sengketa bergerak
menangkis. Plaak! Dueees...!
"Aiihh... benar-benar iblis...!" Buang Sengketa memekik tertahan, tubuhnya
nampak limbung. Ia
merasakan bagian tubuhnya terasa sakit luar bi-
asa. Akibat membentur kaki dan tangan lawan
yang berusaha menerobos pertahanannya. Selagi
tubuh pemuda itu masih dalam keadaan ter-
huyung-huyung. Lawan kembali lancarkan ten-
dangan dua kali berturut-turut. Buang yang sem-
pat merasakan betapa tingginya tenaga dalam la-
wannya, berusaha mengelakkan serangan itu se-
dapat-dapatnya. Namun tetap saja salah satu dari serangan itu menghantam bagian
punggungnya. Duuuk...! "Akhg... hoeekk...!" Pendekar Hina Kelana kembali memuntahkan darah kental.
Wajahnya yang pucat semakin bertambah pucat. Sementara
itu demi melihat lawannya jatuh terduduk dan
nampak berusaha menyalurkan hawa murninya.
Makhluk suruhan Panglima Dasamuka itu telah
bersiap-siap untuk menyudahi pertempuran. Itu-
lah sebabnya tanpa membuang-buang waktu lagi
ia memburu Buang Sengketa sambil melancarkan
jurus pamungkasnya.
"Haaarkgh... Uaam...!" tubuh lawan yang melesat cepat itu dengan tangan dan
kuku-kuku terkembang bermaksud mengarah pada bagian
tengkuk Buang Sengketa yang masih dalam kea-
daan dan posisi terduduk. Tentu saja gerakan
yang sangat cepat itu sudah tidak dapat dihindari oleh si pemuda, karena pada
saat itu ia sedang
mengobati luka dalam dengan pengerahan hawa
murni. Dalam keadaan yang sangat gawat itu di
luar dugaan Buang Sengketa memilih alternatip
lain. Secara replek ia menggerakkan tangannya
dengan sikap bagai orang yang pasrah menerima
nasib. Beet! Creep... creep...!
Kedua tangan berkuku runcing yang tidak
jauh bedanya dengan kuku-kuku harimau itu
gagal mencapai sasarannya. Sebaliknya sekarang
tangan si pemuda dengan tangan lawannya saling
melekat erat. Makhluk utusan Panglima perang
Negeri Bunian itu merasakan adanya sesuatu
yang mengalir deras lewat kedua belah tangan-
nya, ia meronta dan terus berusaha membe-
baskan tangannya yang melekat erat pada tangan
lawannya. Tetapi semakin besar ia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk membebaskan diri dari
pengaruh daya hisap lawannya, ia merasakan
tangannya melekat bertambah erat.
"Wuaaarrrk...!" makhluk satu badan tiga kepala itu menggerung hebat. Ia
merasakan tena-
ganya semakin berkurang dan tubuhnya lemas
bagai tidak bertulang. Rupanya dalam keadaan
kepepet seperti itu, Buang Sengketa sempat
mempergunakan jurus Koreng Seribu. Sehingga
secara tidak langsung ia dapat terhindar dari bahaya maut yang mengancamnya.
Sementara itu setelah sekian lama Buang
Sengketa berhasil menyedot tenaga dalam lawan-
nya. Dengan gerakan yang tiada disangka-sangka, ia menyentakkan kedua tangannya
dengan mempergunakan tenaga yang tersisa.
"Heaaa...!"
"Haarkgh...!" begitu tangan si pemuda bergerak menyamping. Maka tubuh sang
utusan itu langsung melayang di udara. Kemudian jatuh ter-
banting dengan posisi terduduk. Namun makhluk
berkepala tiga itu nampaknya masih belum juga
jera. Meskipun ia merasakan tubuhnya sudah ti-
dak bertenaga, kenyataannya ia masih nekad
hendak melakukan penyerangan kembali. Buang
Sengketa yang sudah berdiri dan dalam keadaan
terhuyung-huyung segera mencabut senjatanya
yang berupa pusaka Golok Buntung.
Saat itu juga kilatan sinar merah menyala
nampak berpendar-pendar manakala senjata an-
dalan itu tergenggam di tangan si pemuda.
Udara di sekitarnya mendadak berubah men-
jadi dingin luar biasa. Sementara wajah si pemu-da secara drastis berubah kelam
membesi. Unsur siluman saat itu benar-benar telah menguasai jiwanya. Utusan Panglima perang
Dasamuka tentu saja merasa terkejut bukan alang kepalang. Ia
paham betul akan keampuhan senjata yang bera-
da dalam genggaman pemuda itu. Bagaimanapun
bila dibandingkan dengan Panglima Dasamuka ia
bukanlah memiliki arti apa-apa. Ilmu kepandaian yang dimiliki oleh utusan itu
masih jauh di bawah Panglima Dasamuka. Kalau Panglima Dasamuka
mungkin saja dapat menandingi pusaka yang be-
rada di dalam genggaman si pemuda. Namun ti-
dak demikian halnya dengan dirinya. Pusaka itu
sewaktu-waktu dapat menghancur leburkan ba-
dan halusnya. Sadar dan memikir sampai ke situ.
Dengan cepat ia segera mengambil keputusan.
"Dengan Pusaka Golok Buntung. Kau bisa sa-
ja membuat aku kalah, Pangeran. Tetapi atasan-
ku, tidak mungkin dapat kau kalahkan. Tunggu-
lah Pangeran. Saat kematian akan segera datang
padamu. Tunggu...!" berkata begitu, badan kasar utusan Panglima perang itu
lenyap begitu saja.
Buang Sengketa berdiri termangu.
Dengan lesu ia kembali menyarungkan pusa-
ka Golok Buntung pada tempatnya. Tapi pemuda
itu tiba-tiba saja merasakan kepalanya berde-
nyut-denyut sakit. Pandangan matanya menga-
bur. "Ah... apa yang telah terjadi pada diriku. Up...
apakah karena aku telah begitu banyak menyedot
tenaga dalam manusia siluman itu. Eeh... menga-
pa reaksinya malah jadi begini... pandanganku...
aakh...!" Pendekar Hina Kelana tiba-tiba saja jatuh ter-
sungkur. Tubuhnya terasa panas tidak tertahan-
kan. Bersamaan dengan keluhan tertahan, saat-
saat selanjutnya ia tidak dapat mengingat apa-
apa lagi. Pada saat si pemuda tidak sadarkan diri itu dari arah lainnya muncul
seorang laki-laki
bertubuh pendek berkepala botak. Laki-laki ku-
rus berpakaian lusuh dengan celana sebatas
dengkul itu menggenggam sebuah tasbih serta
sebuah kendi kecil berisi batu kali. Begitu sampai di depan si pemuda yang dalam
keadaan tergeletak, ia geleng-gelengkan kepalanya. Dengan cepat ia memeriksa
keadaan si pemuda. Dan betapa
terperanjatnya kakek botak itu demi melihat wa-
jah orang yang akan ditolongnya.
"Titisan Raja Piton Utara... ah... ah... tentu dia baru saja habis bertarung
mati-matian. Keadaan di sekitar tempat ini porak poranda. Bocah malang pembela
kebenaran. Kini keselamatanmu
terancam pula. Aku yang tua koplok ini akan me-
nyelamatkanmu, demi keselamatan yang lain-
nya...!" tanpa membuang-buang waktu lagi kakek tua itu segera memanggul tubuh
Buang Sengketa yang tidak sadarkan diri. Kemudian berlari cepat ke arah Timur.
7 Di dalam sebuah ruangan gua batu pualam
putih. Nampak seorang laki-laki berusia tiga puluhan tergeletak tidak berdaya.
Tubuhnya dalam keadaan tertotok kaku. Siapakah laki-laki berkumis serta jambang lebat ini"
Orang itu tidak lain Gantara Sona ketua perguruan Tombak Merah
yang terjebak dalam perangkap seorang wanita
cantik yang berdiam di sekitar hutan di pinggiran danau Sengguling. Mengapa
ketua perguruan
Tombak Merah itu sampai tertawan"
Ketika murid-muridnya tewas di tangan
orang-orang penunggang kuda yang menyerang
mereka secara mendadak. Gantara Sona bersama
dengan kakeknya Singa Muka Merah yang semula
berniat membatalkan perjalanannya dalam usaha
menemukan tempat persembunyian orang yang
menamakan dirinya utusan dari alam kegelapan.
Akhirnya demi melihat kematian murid-muridnya
segera meneruskan perjalanan mereka. Namun
setelah sampai di daerah kekuasaan utusan Ne-
geri Bunian itu mereka menjadi terpisah antara
satu dengan lainnya setelah mendengar adanya
suara jeritan menyayat dari dua arah yang berbe-da. Karena cenderung didorong
oleh perasaan kemanusiaan mereka itulah maka bermaksud
melakukan pertolongan. Gantara Sona berlari ke
arah Timur. Sedangkan Singa Muka Merah, ka-
keknya menuju ke arah Utara. Kiranya di luar ke-sadaran mereka semua itu
hanyalah berupa jeba-
kan semata yang memang telah diatur oleh Da-
samuka. Ketika Gantara Sona telah sampai di tempat
kejadian ia melihat seorang gadis cantik sedang di perkosa oleh seorang laki-
laki bertampang kasar.
Yang sebenarnya apa yang di lihat Gantara Sona
hanyalah berupa tipuan mata belaka. Pada saat ia hendak melakukan pertolongan
itulah, tanpa disadarinya dari arah belakangnya berkelebat
bayangan ungu ke arahnya. Gantara Sona sebe-
narnya sempat merasakan adanya sambaran an-
gin dingin di belakangnya. Tetapi ketika ia menoleh segala-galanya menjadi
terlambat. Bayangan
ungu itu dengan tepat telah menotok urat gerak-
nya. Sehingga ketua perguruan Tombak Merah itu
tidak dapat berbuat banyak meskipun ia telah
mempergunakan seluruh kekuatannya untuk
membebaskan totokan gadis jelita berpakaian
serba ungu itu. Yang membuat heran Gantara
Sona adalah karena begitu ia melihat gadis yang akan di tolongnya itu sudah
tidak berada di tempat. Barulah ia sadar bahwa dirinya telah ditipu mentah-
mentah. Tanpa berkata apa-apa, gadis berpakaian ser-
ba ungu itu kemudian membawa Gantara Sona
memasuki sebuah goa. Sebelum mereka mema-
suki pintu gua yang sangat menyeramkan itu, di
sepanjang jalan yang dilalui gadis berpakaian
serba ungu itu, Gantara Sona sempat melihat be-
gitu banyak bekas tengkorak manusia berserakan
tak karuan ujudnya. Bahkan berulang kali ia ha-
rus menahan nafas ketika penciumannya yang ta-
jam itu mengendus bau busuk yang menyengat.
Sejauh itu pun Gantara Sona tidak dapat berkata apa-apa, karena urat bicaranya
pun dalam keadaan tertotok.
Di sebuah ruangan yang sangat indah Ganta-
ra Sona dibaringkan. Ruangan itu tidak ubahnya
bagai sebuah peraduan putri Raja. Bau wangi
semerbak membuat dadanya yang tadinya terasa
sesak kini telah berubah lapang. Gadis berpa-
kaian ungu yang telah membawanya ke dalam
gua itu, untuk beberapa saat menghilang dari
pandangan Gantara Sona. Lelaki ketua perguruan
Tombak Merah itu merasa cemas sekali demi
memikirkan nasib buruk yang mungkin saja akan
menimpanya. Apalagi bila mengingat nasib para
pendahulunya. Meskipun sebagai ketua pergu-
ruan ia tidak dapat menyembunyikan perasaan
kecutnya. Detik-detik menegangkan dalam sejarah hi-
dup Gantara Sona, saat itu semakin lama sema-
kin memuncak. Apalagi pabila mengingat malam
semakin bertambah larut. Gantara Sona yang
menyadari kehebatan gadis berpakaian serba un-
gu yang memiliki kecantikan bagai bidadari itu, merasa itulah detik-detik


Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terakhir kehidupannya di dunia ini. Begitupun ia masih berharap, semo-ga
kakeknya Singa Muka Merah luput dari pe-
rangkap dan segera datang memberikan pertolon-
gan untuk dirinya.
Kreseek...! Begitu Gantara Sona menoleh, tiba-tiba di
ruangan gua yang telah ditata bagai sebuah peraduan putri Raja itu telah berdiri
seorang gadis yang telah membawa Gantara Sona ke tempat itu
dengan pakaiannya yang sangat tipis dan tembus
pandang. Dengan bibir menyunggingkan seulas
senyum manis. Gadis itu berjalan menghampiri
Gantara Sona yang dalam keadaan terbaring ka-
ku di atas ranjang. Sekarang sadarlah Gantara
Sona apa yang dilakukan oleh gadis itu terhadapnya. Gadis itu selanjutnya
berdiri di depan ran-
jang, dengan sikap menantang ia pun berkata,
"Kau bersama dengan kakekmu telah begitu berani memasuki daerah kekuasaanku,
anak ma- nusia... hi... hi... hi...! Kau harus menjadi seorang budak yang paling setia
dan mau menuruti segala perintahku...!" sambil berkata begitu gadis berpa-ras
jelita, dengan lekuk-lekuk tubuhnya yang
sangat menggiurkan itu melambaikan tangannya,
sehingga Gantara Sona merasa terbebas dari pen-
garuh totokan. Begitu terbebas ia bermaksud me-
nerjang gadis itu. Namun ketika gadis berpakaian tembus pandang itu kembali
melambaikan tangannya. Maka ia merasakan tubuhnya menjadi
sulit untuk di gerakkan. Secara praktis Gantara Sona kembali jatuh terduduk.
"Kurang ajar, siapakah kau bocah...!" bentak ketua perguruan Tombak Merah itu
merasa di permainkan. Yang dibentak malah tertawa terkekeh-kekeh.
Sementara di depan Gantara Sona ia sengaja
menggerak-gerakkan tubuhnya yang berpakaian
minim itu. Gantara Sona sudah barang tentu ce-
pat-cepat memalingkan wajahnya ke arah lain.
Sebagai seorang lelaki yang telah memiliki tenaga dalam taraf lumayan. Ia segera
mengosongkan pikirannya untuk menghindari jebakan selanjutnya
yang sengaja dipamerkan oleh gadis berkulit ha-
lus mulus itu. Tapi bukanlah utusan dari Negeri alam gaib jika gadis itu tidak
mampu memancing
perhatian lawannya.
"Kau bertanya siapa aku" Apakah tentang as-al usul itu perlu.,,?"
"Sangat perlu sekali, karena aku akan men-gadakan perhitungan dengan orang yang
telah menyebarkan bibit malapetaka...!"
"Lebih baik kau lupakan saja orang yang sudah mati. Ah... apakah kau tidak ingin
merasakan betapa indahnya sorga dunia itu...!" pancing gadis itu sambil mengelus
bagian wajah Gantara Sona
secara lembut. Gantara Sona sebenarnya merasa
sangat marah sekali mendapat perlakuan tidak
senonoh seperti itu. Tetapi ia merasa tidak mempunyai kekuatan untuk menghajar
gadis itu, ka- rena seluruh persendian tubuhnya terasa kaku.
Tidak dapat yang dilakukannya terkecuali mema-
ki gadis itu dengan kata-kata kasar.
"Bangsat pengecut. Cepat lepaskan aku lalu kita bertarung sampai seribu
jurus...!" sentak Gantara Sona dengan wajah merah padam. Sebaliknya gadis
berpakaian merangsang itu malah
tertawa terkekeh-kekeh.
"Jangan berkata sembarangan, tuan! Kema-
tian bukanlah jalan penyelesaian yang terbaik.
Apalagi mengingat sampai saat ini tuan belum
pernah kawin... tentu saja jika tuan sampai bina-sa, tuan akan merasa menyesal
sekali. Karena tuan belum pernah merasakan betapa hebatnya
sorga dunia ini...!"
"Keparat! Perempuan berengsek... sampai kapan pun aku tidak akan pernah termakan
oleh rayuanmu...!"
"Begitukah..." Hik... hi... hi... jangan terlalu percaya diri, tuan. Karena tuan
belum pernah merasakan bagaimana hebatnya aku...!" belum
lagi selesai dengan kata-katanya. Gadis itu sengaja menggerakkan tangannya
menyentuh bagian
samping perut Gantara Sona. Mendadak laki-laki
itu menggeliat-geliat bagai orang yang sedang dilanda birahi. Pandangan mata
ketua perguruan
Tombak Merah itu nampak berbinar-binar ketika
melihat gadis berpakaian transparan yang berdiri tegak dengan sikap menantang
tidak jauh di depannya.
"Hemm... sudah kukatakan. Siapapun yang
telah memasuki daerah kekuasaanku, semuanya
tidak pernah terlepas dari kenikmatan dan kema-
tian. Tetapi sebelum kematian itu tiba. Kau me-
mang harus menikmati bagaimana indahnya sor-
ga...!" kata gadis itu penuh kelicikan. Sementara Gantara Sona yang sudah
terpengaruh gairah
akibat syaraf birahinya dibangkitkan oleh si gadis terlihat berubah bagai tidak
ubahnya dengan orang yang kesetanan.
"Sekarang... semua orang di atas permukaan bumi ini harus tunduk terhadap segala
keingi-nanku...!"
Setelah berkata begitu, gadis berkulit putih
mulus berambut panjang dan memiliki bentuk
tubuh menggiurkan itu nampak menghampiri
ranjang yang di duduki oleh Gantara Sona. Ketua perguruan Tombak Merah yang
sudah berada dalam pengaruhnya nampak sudah tidak sabar lagi
melihat si gadis yang sedang sibuk melepas pa-
kaian tipisnya satu demi satu. Begitu melihat gadis berkulit putih mulus itu
sudah tidak menge-
nakan selembar benangpun, sehingga menam-
pakkan seluruh lekuk liku tubuhnya yang meng-
gairahkan. Maka Gantara Sona pun segera mele-
pas pakaian yang melekat di tubuhnya. Selesai
dengan pekerjaannya, Gantara Sona dengan tu-
buh gemetaran segera merangkak mendekati tu-
buh si gadis yang dalam keadaan terlentang den-
gan sikap pasrah.
Sebentar saja Gantara Sona sudah menindih
tubuh si gadis. Kedua insan berlainan jenis itu kini saling berpelukan dengan
erat. Lampu di dalam ruangan mendadak berobah padam. Semen-
tara tubuh Gantara Sona terus bergerak cepat,
bahkan semakin lama semakin menggila. Se-
dangkan tubuh yang berada di bawahnya ikut
mengimbangi dengan tidak kalah hebatnya. Di
dalam gua semakin bertambah gelap gulita. Yang
terdengar hanyalah erangan dan rintihan-rintihan kecil. Di luar gua terdengar
suara lolongan seriga-la hutan saling bersahut-sahutan.
Dalam pada itu dari dalam ruangan gua itu
mendadak terdengar suara jerit kesakitan. Di susul dengan menyalanya lampu yang
terdapat di seluruh tempat itu. Di dalam ruangan yang tidak ubahnya bagai sebuah tempat
peraduan puteri
Raja. Gantara Sona nampak menjerit-jerit. Ham-
pir di sekujur tubuhnya terdapat benjolan-
benjolan sebesar jari kelingking. Sementara kedua tangannya menggaruk-garuk ke
seluruh permukaan kulit tubuhnya. Yang lebih mengerikan lagi.
Dari bagian selangkangan ketua perguruan Tom-
bak Merah bercampur dengan anak-anak ular
berwarna kuning keemasan yang jumlahnya san-
gat banyak sekali.
"Arggkh... wuaagkh... sakiiiit... tobaaat...!" teriak Gantara Sona. Sementara
pada saat itu dari bagian mulut, hidung serta telinga laki-laki itu darah nampak
menggelogok ke luar di sertai dengan ular-ular berwarna kuning yang jumlahnya
tidak terhitung. Gadis cantik yang tadi sempat
bercinta dengan Gantara Sona langsung tergelak-
gelak. Nampaknya ia begitu puas dengan hasil
pekerjaannya yang gemilang itu. Bahkan sesaat
setelah itu dengan sengaja ia menunjukkan wajah aslinya yang tidak lain dan
tidak bukan Dasamuka adanya. Panglima perang dari Negeri Bunian
yang dapat merubah ujudnya menjadi seribu satu
wajah. "Kau... kau... orang yang telah menyebar malapetaka itu...?" dalam keadaan
kelojotan seperti itu, Gantara Sona masih sempat mengenali orang
yang dapat berubah-ubah itu.
"Betul... akulah Panglima perang dari Negeri kegelapan yang segera membuatmu
mampus. Hiiih...!" dengan sekali cengkeram tubuh telan-jang Gantara Sona telah terangkat
tinggi-tinggi. Dengan kekuatan yang sangat besar, ia melem-
parkan tubuh ketua perguruan Tombak Merah
hingga akhirnya remuk dan tidak berkutik lagi setelah membentur batu pualam yang
sangat keras luar biasa. Sambil tertawa mengekeh, Dasamuka
beranjak menuju ke arah ruangan lainnya.
8 Dengan wajah tertunduk pembantu utama
Panglima perang dari Negeri Bunian itu melapor-
kan segala sesuatunya yang terjadi. Panglima Dasamuka nampak mendengarkan
penjelasan ba- wahannya itu dengan sikap serius. Namun di lain saat Dasamuka nampak gusar
sekali. Ujud tubuhnya yang dapat berubah-ubah itu nampak
menegang. Dan ketika pembantu utamanya itu
selesai menjelaskan segala sesuatunya orang ini pun langsung berucap, "Jadi kau
tidak dapat mengalahkannya, Amarta Rupa" Lalu bagaimana
kau bisa menghindari pusaka Golok Buntung
itu...?" Pembantu setia yang bernama Amarta Rupa
itu menjura beberapa kali. Tubuhnya yang memi-
liki tiga kepala itu mengangguk lesu.
"Benar sekali yang mulia Panglima. Hamba
sadar daya tahan badan halus hamba tidak
mungkin sanggup menerima ketajaman senjata
milik Baginda Raja Piton Utara yang telah menga-singkan diri itu. Sungguh pun
senjata itu tidak sepenuhnya utuh. Tapi dari rebawanya saja hamba sudah tidak
sanggup menghadapinya. Tetapi
hamba yakin, gusti Panglima pasti mampu men-
galahkan pemuda itu. Karena hamba melihat gus-
ti memiliki segala-galanya...!"
"Bueeh... kau masih terlalu mengagung-
agungkan Raja Piton Utara yang telah menyingkir di laut merah itu. Apakah kau
tidak melihat beta-
pa hebatnya 'Cambuk Wisang Geni' milikku" Pula
betapapun hebatnya titisan Piton Utara itu, aku dengan mudah dapat mempelajari
kehebatan jurus-jurus yang dimilikinya hanya dalam waktu
sekedipan mata. Apakah kau mau mengingkari
betapapun hebatnya anak manusia, namun ia te-
tap tidak akan mampu menandingi kehebatan pa-
ra siluman sesat. Kau harus selalu ingat akan ke-lebihan itu...?" bentak
Dasamuka dengan kemarahan yang tidak dapat ditahannya lagi.
"Hamba mengerti, Panglima...! Maafkanlah
ketololan hamba yang memiliki ilmu rendah
ini...!" "Kau memang tolol... ilmumu memang ren-
dah. Hemm... apakah kau telah bosan menjadi si-
luman yang harus selalu siap mengabdi kepada
junjungan kita,..!" Panglima perang dari alam kegelapan itu semakin bertambah
marah. Sepasang
matanya yang senantiasa memerah itu berobah
menyala bagai bara api. Bagi Amarta Rupa ia cu-
kup menyadari arti dari setiap perobahan mata
sang pimpinannya. Tidak ayal lagi dengan tubuh
menggigil ia langsung menyembah beberapa kali.
"Ampuni hamba, Panglima. Sampai dunia ini
kiamat, hamba tidak pernah merasa bosan men-
jadi makhluk siluman. Gusti Panglima harus per-
caya dengan perkataan hamba ini...!" sedu Amarta Rupa dengan suara memelas
sekali. "Wuark... hak... hak... hak...! Rupanya engkau tahu juga bahwa aku akan segera
menjatuh- kan hukuman padamu. Tapi tahukah kau men-
gapa hukuman itu harus kau jalankan?"
"Ampun Panglima. Hamba tahu, karena ham-
ba telah gagal menjalankan titah yang Panglima
berikan kepada hamba...!"
"Bagus...! Kalau kau sudah memahaminya,
berarti aku tidak perlu bersusah payah menje-
laskannya padamu. Ingat aku juga hanya menja-
lankan perintah, Amarta Rupa. Aku tidak dapat
menolongmu. Karena seandainya pun aku gagal
menangkap pemuda titisan Raja Piton Utara, aku
sendiri juga tidak dapat menyelamatkan diri. Raja Sangka Negara pernah berkata
padaku. Jika aku
sampai gagal melakukan tugasku kali ini. Aku tidak akan pernah kembali ke Negeri
Bunian. Aku akan dikutuk menjadi tumbuhan yang terus
mengapung mengikuti arus air sungai sampai
dunia ini kiamat...!"
"Oh...! Hamba tidak sanggup membayang-
kannya, Gusti... mungkin sudah nasib kita seba-
gai siluman harus begitu...!" kata Amarta Rupa merasa prihatin.
"Sudahlah, jangan kau bicarakan tentang perjalanan sebuah nasib di depan
Panglima perang
Negeri lelembut. Sekarang bersiap-siaplah engkau menjalani hukuman kekal yang
akan segera ku-laksanakan...!"
"Kalau semua itu memang sudah merupakan
titah yang tidak dapat kita bantah dengan segala kemurahan hamba telah siap
menerimanya, gusti...!" kata Amarta Rupa.
Lalu dengan sikapnya yang pasrah, ia pun
menjatuhkan diri dengan posisi berlutut. Kemu-
dian terdengar suara menguik dari kepalanya
yang berujud kepala seekor naga. Selanjutnya
terdengar pula suara auman dari bagian kepala
yang berujud harimau. Terakhir kali terdengar
nada kata-kata yang bersikap pasrah, serentak
kembali membungkuk hormat sebanyak tiga kali.
Panglima perang Dasamuka segera mengang-
kat kedua belah tangannya tinggi-tinggi. Tangantangan itu selanjutnya tergetar,
tubuh yang berujud seekor ular naga itu pun nampak menggigil,
sementara bagian tangannya yang telah terang-


Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kap menjadi satu sekarang berselimut kabut tebal berwarna kebiru-biruan.
"Bersiap-siaplah, Amarta Rupa abdiku...!"
"Hamba telah siap sejak tadi, gusti Pangli-ma...!" dengan kepala tetap menunduk
Amarta Rupa menyahuti.
"Hooosss... zeeeess... weeeer...!"
Blaaaam...! "Arrrggk...!"
Dengan sekali mendorongkan tangannya ke
depan. Serangkum gelombang berhawa panas
luar biasa menderu dan langsung menghantam
badan halus Amarta Rupa. Makhluk gaib itupun
memperdengarkan pekikan tertahan. Hingga ak-
hirnya sirna tanpa bekas sedikitpun juga.
"Hemm... demi menjalankan perintah aku te-
lah kehilangan seorang pembantu yang sangat
baik. Pendekar Hina Kelana... kali ini berhadapan denganku, kau benar-benar akan
menjadi mayat Hina. Dan aku harus membawa rohmu ke dalam
Negeri leluhurmu. Untuk menerima hukuman da-
ri yang mulia Raja Sangka Negara... hi... hi...!" be-
gitu tertawa, ujud Dasamuka yang memiliki wajah mengerikan dan bertubuh naga itu
telah kembali berubah menjadi seorang gadis cantik yang san-
gat menggiurkan.
9 Setelah gagal mencari cucunya yang telah ter-
jebak oleh teriakan-teriakan orang yang meminta tolong. Singa Muka Merah merasa
putus asa. Sebagai tokoh yang telah kenyang makan asam ga-
ram persilatan. Sekali ini ia benar-benar merasa tertipu mentah-mentah. Oleh
sosok yang menye-but-nyebut dirinya sebagai utusan dari Negeri
Bunian itu. Semuanya sudah kepalang tanggung,
saat itu pun ia sudah merasa bahwa cucunya ti-
dak mungkin dapat diselamatkan lagi. Dari arah Timur, kemudian ia berbalik ke
arah Utara guna
menemui sahabat baiknya, si Peramal Sinting
yang pada perjumpaan sebelumnya telah berjanji
untuk menyusul dirinya di daerah hutan rimba
danau Sengguling.
Demikianlah ketika Singa Muka Merah se-
dang melakukan perjalanan cepat dengan hati di
liputi perasaan was-was. Mendadak ia melihat
berkelebatnya sesosok bayangan putih tidak jauh di depannya. Dengan perasaan
curiga ia pun segera melakukan pengejaran. Tapi yang membuat-
nya heran, justru karena bayangan serba putih
itu lenyap begitu saja bagai di telan bumi, padahal ia telah mengerahkan
kecepatan ilmu larinya
secara maksimal.
"Dasar setan... gerakannya sangat cepat luar biasa. Padahal tadi aku sempat
melihat dia membawa beban di punggungnya. Melihat kecepatan
dan gerak tubuhnya yang cepat, kurasa tidak sa-
lah penglihatanku. Bahwa itulah orangnya si Pe-
ramal Sinting. Tapi mengapa ia malah melarikan
diri ketika aku mengejarnya...?" batin Singa Muka Merah dengan perasaan tidak
mengerti. "Sebaiknya akan kucari di sekitar tempat ini.
Aku yakin Peramal Sinting pastilah belum jauh
dari tempat ini...!"
Belum lagi Singo Inggil alias Singa Muka Me-
rah bergerak dari tempatnya berdiri, tiba-tiba dari berbagai arah berlompatan
beberapa sosok tubuh
dengan senjata terhunus mengepung laki-laki be-
rusia tujuh puluh lima tahun itu. Sedikit banyaknya tentu saja Singo Inggil
menjadi terkejut. Namun beberapa saat kemudian setelah meneliti
keadaan dan penampilan para pengepungnya.
Singa Muka Merah pun tergelak-gelak.
"Kau... kau... dan kau...! Kalau tidak salah beginilah tampangnya orang-orang
yang telah menjadi korban siluman iblis itu. Aku tahu tu-
juan kalian mengepungku pastilah menginginkan
darahku...!" ejek Singa Muka Merah.
"Betul... kami memang membutuhkan darah
tuamu untuk menyembuhkan penyakit terkutuk
ini...!" jawab salah seorang dari enam orang laki-laki berpakaian serba hitam
itu berterus terang.
"Darah tuaku sudah pasti tidak enak untuk
kalian jadikan obat. Pula mana mungkin cukup
untuk kalian bagi enam. Bagaimana kalau ku tu-
kar dengan darah gajah atau babi hutan saja..."
"Keparat, kau tua bangka. Kami membutuh-
kan kesembuhan. Dan kami tidak perduli apakah
darahmu cukup untuk dibagi berenam atau tidak.
Yang penting kau harus menyerahkan darah-
mu...!" "Kalau kalian memang menghendakinya, si-
lahkan kalian ambil sendiri, jika memang memili-ki kemampuan...!" kata Singa
Muka Merah dengan sikap tenang.
Mendapat tantangan sedemikian rupa sudah
barang pasti keenam laki-laki bertampang kasar
itu menjadi sangat murka sekali. Itulah sebabnya dengan mempergunakan senjatanya
yang berupa golok dan pedang. Mereka segera menyerang Sin-
ga Muka Merah tanpa berkata apa-apa lagi.
Tetapi Singa Muka Merah malah menyambut-
nya dengan tawa mengekeh. Hanya dalam waktu
sekejap hujan senjata pun sudah tidak dapat te-
relakkan lagi. Menghadapi manusia-manusia
haus darah, Singa Muka Merah sudah barang
tentu tidak mau bertindak ayal-ayalan lagi. Dengan gerakan gesit ia pun mulai
melepaskan puku-
lan-pukulan andalannya. Namun keenam orang
lawannya kiranya tidak berilmu rendah.
Dengan sigap mereka masih dapat menghin-
dari setiap serangan yang datang, dengan cara
memutar senjata mereka sehingga membentuk
perisai diri. "Caaiiit...!" tiga orang di antara keenam orang itu melakukan penyerangan secara
berbareng. Senjata di tangan mereka menderu keras men-
gancam bagian tubuh Singa Muka Merah. Se-
dangkan tiga orang lainnya juga berusaha mende-
sak laki-laki tua itu dari bagian belakang. Mendapat serangan hebat dari
berbagai jurusan itu.
Tentu tokoh dari bagian Tenggara Gunung Sina-
bung ini tidak menghendaki dirinya mati konyol.
Dengan sigap ia melentikkan tubuhnya ke udara.
Selanjutnya, masih dengan posisi seperti itu ia telah bersiap-siap pula
melepaskan pukulan anda-
lannya yang sudah tidak asing lagi. Yaitu
'Menguak Kabut Kegelapan'
"Haiiit...!" sambil berteriak nyaring, Singa Muka Merah masih dalam keadaan
berjumpalitan di udara nampak mendorongkan tangannya ke
arah mereka yang berada di bawahnya.
Wuuss... weeerr,..!
Bledarr...! Wuaarhhk...! Ekghh...!"
Tiga orang pengeroyoknya langsung terjeng-
kang roboh dengan tubuh hangus. Hanya sekejap
saja tubuh orang-orang berpakaian serba hitam
itu berkelojotan. Selanjutnya terdiam untuk sela-ma-lamanya. Kenyataan ini tentu
saja membuat tiga orang lainnya yang memiliki kepandaian lebih tinggi menjadi terkejut
sekali. Mulanya mereka tidak menyangka bahwa lawannya yang sudah
sangat tua itu memiliki kepandaian sedemikian
hebatnya. Tapi sungguhpun sekarang mereka te-
lah mengetahui kehebatan lawan. Nampaknya
mereka tetap tidak ingin mengurungkan maksud
mereka semula. Apalagi bila mengingat bahwa la-
wan telah membunuh tiga orang kawan mereka.
Maka dengan bentakan-bentakan gusar. Salah
seorang dari mereka yang memiliki badan lebih
tinggi dan bertampang angker langsung memben-
tak. "Kau benar-benar manusia keparat, orangtua!
Tindakanmu sangat telenggas. Tapi kau jangan
bangga dulu. Karena kami enam iblis dari gunung Slamet akan mengirimmu ke
neraka...!"
"Enam Iblis dari gunung Slamet. Hemm...!"
Singa Muka Merah berkata seperti orang yang se-
dang menggumam. "Semestinya kalian memang
berenam... tetapi sekarang hanya tinggal tiga
orang saja. Tiga orang yang sudah pada mampus
itu malah sudah bertukar nama menjadi tiga iblis dari gunung tidak slamet...
ha... ha... ha...!"
Apa yang baru saja dikatakan oleh Singa Mu-
ka Merah tentu saja tidak ubahnya bagai sebuah
tamparan keras bagi tiga orang laki-laki bertampang kasar ini.
"Sial dangkalan. Tua renta ini memang menghendaki agar kita cepat-cepat mencabut
nya- wanya...!" tukas lainnya. Saat itu mereka telah bersiap-siap untuk menyerang
Singa Muka Merah
yang sedang dalam keadaan posisi terkurung.
"Bunuuuh...!" teriak laki-laki berbadan tinggi semampcd itu sambil mengayunkan
senjatanya mengarah batok kepala Singa Muka Merah. Un-
tuk yang kesekian kalinya. Laki-laki tua itu kembali melentikkan tubuhnya ke
udara. Selanjutnya dengan gerakan-gerakan yang sangat ringan sekali ia melayani
permainan pedang dan golok di tan-
gan lawannya. Tiba-tiba laki-laki berbadan tinggi semampai
itu melakukan satu lompatan yang di susul den-
gan ayunan pedang mengarah pada bagian dada
Singa Muka Merah. Jarak ayunan senjata lawan
itu berada sangat dekat sekali dengan posisi si kakek tua. Nampaknya ia merasa
tidak punya pilihan lain, karena pada saat lainnya dari bagian belakangnya juga
menderu hawa dingin yang berasal dari sambaran pedang lainnya. Dengan ce-
pat Singa Muka Merah menggeser langkahnya ke
samping kiri. Tubuh ia bungkukkan serendah
mungkin. Serangan pertama yang dilakukan oleh
si tinggi semampai luput, dan berlalu setengah
jengkal di atas kepala kakek tua itu. Begitu dilihatnya penyerang yang berada di
bagian bela- kangnya, maka dengan gerakan kilat, Singa Muka
Merah langsung menjatuhkan diri. Begitu tubuh-
nya telah berada di atas tanah. Dengan bertumpu pada kedua tangannya, bagian
kaki kanannya melakukan dua tendangan berturut-turut.
Duuk! Duuk...! Tidak dapat dicegah lagi tubuh kedua orang
itu jatuh berdebum. Dengan sebat Singa Muka
Merah melompat berdiri. Dari arah samping sen-
jata si tinggi semampai melesat dengan satu teba-san mengarah pada bagian
pelipisnya. "Uts... hampir saja...!" seru laki-laki tua itu sambil menggeser tubuhnya ke
samping kiri dua
langkah. Satu sodokan keras segera dilakukan
oleh Singa Muka Merah, dengan telak.
Duuuk... gusraaak!
"Argkh...!" pimpinan Enam Iblis dari gunung Slamet itu keluarkan jeritan
tertahan. Bagian tulang rusuknya nampak patah. Sementara ia beru-
saha bangkit berdiri, dua orang lainnya telah menyerang Singa Muka Merah dengan
kemarahan yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi.
"Pergunakan jurus 'Iblis Gunung Membasmi
Keledai Dungu'...!" teriak si Tinggi semampai kepada kawan-kawannya.
"Bagus... pergunakanlah jurus para iblis
penghantar kidung kematian yang kalian mili-
ki!..!" geram Singa Muka Merah.
Pada saat itu juga tanpa menyia-nyiakan ke-
sempatan lagi laki-laki tua ini segera menge-
trapkan pukulan andalannya, 'Menguak Kabut
Kegelapan' yang sangat dahsyat itu.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat, tu-
buh Singa Muka Merah nampak menggeletar he-
bat. Seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat, sementara dari kedua tangannya
yang nampak merapat itu nampak mengepul uap putih mene-
barkan bau sangit. Iblis dari gunung Slamet
nampak terkesima melihat kehebatan orangtua
itu. Namun mereka yang terserang penyakit ter-
kutuk itu rasanya sudah tidak punya pilihan lain lagi. Dengan cepat mereka
segera memutar senjatanya.
Werrt...! Singa Muka Merah segera mendorongkan tan-
gannya ke arah depan.
Wuuuk! Wuuuk...!
Tak ayal lagi selarik sinar berwarna seputih
kapas melesat sedemikian cepatnya ke arah ke-
dua lawannya. Tidak dapat di cegah lagi.
Bledar... bledarrr...!
"Argk... ngeek...!" senjata di tangan kedua lawannya hancur berkeping-keping.
Sementara tu- buh mereka terpelanting roboh dengan menyem-
burkan darah kental berwarna kehitam-hitaman.
Begitu tubuh-tubuh yang sudah dalam keadaan
tidak berdaya itu menggelepar beberapa kali. Sesaat kemudian diam membeku. Singa
Muka Me- rah segera berpaling pada ketua iblis dari gunung Slamet. Kemudian kembali
terdengar gelak suara
tawanya. "Hanya tinggal kau seorang...! Sekarang kau harus percaya, iblis dari gunung
Slamet benar-benar telah keliru memberi nama. Dan mau tidak
mau, suka tidak suka sekarang kau harus ber-
ganti nama menjadi Enam Iblis dari gunung cela-
ka...!" kata Singa Muka Merah tanpa kehilangan tawanya.
"Jahanamm... kau telah membunuh semua
saudara-saudaraku. Hadss...!" dengan nekad si tinggi semampai yang sudah terluka
parah itu berusaha merangsak Singa Muka Merah. Namun
sampai sejauh itu, mana lagi kekuatan yang tersi-sa. Menghadapi kakek tua itu
secara berenam sa-
ja mereka tidak dapat mengalahkan kakek tua


Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, jangankan lagi sekarang ia hanya seorang diri dan terluka parah pula.
Tapi si tinggi semampai ini benar-benar ter-
masuk manusia nekad.
"Heaa...!" sambil berteriak begitu tangannya
kembali mengayunkan pedang di tangannya. Na-
mun dengan gerakan yang sangat indah, Singa
Muka Merah berhasil menghindarinya, bahkan.
Buuk...! Dess...! Dess...!
Sebentar saja pimpinan iblis gunung Slamet
itu telah menjadi bulan-bulanan lawannya. Ketika satu tendangan yang berisi
tenaga dalam menghantam tubuh laki-laki berpakaian serba hitam
itu. Tidak ayal lagi tubuhnya terpelanting sejauh tiga tombak. Terdengar suara
tulang berderak patah saat mana tubuh yang malang itu menghan-
tam pohon tidak begitu jauh dari tempat Singa
Muka Merah berdiri.
"Akhirnya kau mampus juga, biang penya-
kit...! Agaknya kematian memang lebih baik
buatmu...! Tapi... akh... aku juga jadi kehilangan jejak sahabatku, si Peramal
Sinting...!"
Singa Muka Merah celingukan memperhati-
kan daerah sekitarnya. Tapi ia tidak melihat tan-da-tanda sahabatnya bersembunyi
di tempat itu. Maka dengan langkah lesu ia kembali berjalan ke arah lain.
10 "Siapakah anda, orang tua...?" tanya Buang Sengketa ketika terjaga dari
pingsannya. Laki-laki berkepala botak memakai celana sebatas lutut.
Dan tidak pernah berhenti berkomat-kamit sambil memutar tasbih serta menguncang-
guncangkan kendi di tangannya hanya melirik ke arah Buang
Sengketa sekilas. Kemudian tanpa menghiraukan
pertanyaan si pemuda ia berkata pelan.
"Aku tahu luka dalammu telah sembuh sama
sekali. Hanya saja aku memang sengaja mem-
buatmu tertidur sampai lama sekali. Supaya ba-
tinmu sedikit tenang. Karena aku tahu jalan hi-
dup dan suratan nasibmu yang tertulis harus kau lalui dengan kekerasan demi
kekerasan...! Engkau titisan Raja Negeri Alam Gaib, bukan...!?"
ujar si Peramal Sinting seolah-olah bertanya.
Tentu saja Buang Sengketa dibuat terperan-
gah. Seingatnya seumur hidup baru sekali ini ia berjumpa dengan orangtua aneh
ini. Tapi yang membuatnya heran, mengapa dan dari mana
orangtua berbadan pendek ini mengetahui asal-
usulnya" "Siapakah namamu, kek. Dan bagaimana an-
da tahu siapa diriku ini...?"
"Siapa namaku, he... he... he...! Aku sendiri pun tidak tahu. Orang-orang hanya
selalu me-nyebutku dengan nama si Peramal Sinting...! Dan mengenai keberadaanmu
tentu saja dengan mudah dapat kuketahui...!"
Semakin bertambah terkejut sajalah hati
Pendekar Hina Kelana, begitu si kakek tua me-
nyebut gelar kebesarannya. Siapa yang tidak
mengenal orangtua berbadan pendek ini" Seorang
tokoh angkatan tua yang jarang berkeliaran di dalam rimba persilatan namun
namanya terkenal di
mana-mana karena ketepatannya dalam hal ram-
al meramal. "Maafkan aku, orangtua! Betapa beruntung-
nya manusia hina sepertiku ini, karena hari ini sang Hyang Widi telah
mempertemukan diriku
dengan tokoh hebat sepertimu...!" kata Buang Sengketa dengan sikap menghormat.
Si Peramal Sinting yang memiliki tabiat aneh
itu kembali tertawa tergelak-gelak.
"Kau terlalu menyanjungku setinggi langit, bocah. Padahal dirimu sendiri
merupakan murid
seorang tokoh setengah Dewa, si Bangkotan Ko-
reng Seribu... masihkah kau mau mungkir...?"
"Ah...!" desah Buang Sengketa. Kemudian setelah memperhatikan laki-laki berwatak
aneh itu untuk sekian saat lamanya, maka Buang Sengketa pun dengan diliputi rasa
keingintahuan segera bertanya.
"Engkaukah yang telah menyelamatkanku da-
ri tangan si keparat, utusan Panglima iblis itu?"
"Nyawa merupakan urusan sang Hyang Widi.
Aku hanya mendapati dirimu dalam keadaan ter-
luka. Sedangkan mengenai hal-hal lainnya mung-
kin saja aku telah mengetahuinya sebelum kau
mengalaminya...!" kata si Peramal Sinting tanpa maksud-maksud tertentu.
"Hemm... aku tahu... karena kau seorang peramal yang hebat...! Tapi bagaimana
pun aku ha- rus berterima kasih kepadamu...!"
"Simpanlah rasa terima kasihmu untuk
menghadapi lawan yang saat ini sedang bertarung dengan sahabatku, Singa Muka
Merah...!" sahut si Peramal Sinting sambil memandang lurus-lurus ke depannya.
"Di mana ada pertarungan, orangtua... aku
tidak melihatnya sama sekali...!"
Tanpa berkata, si Peramal Sinting menunjuk
ke arah depan mereka, Buang mengikuti dengan
lirikan matanya.
"Dia sekarang sedang berhadapan dengan
musuh yang akan membinasakanmu...!" jelas si Peramal Sinting tanpa berpaling
sedikitpun juga
"Kalau begitu kita harus segera menolongnya, orangtua...!" sambut si pemuda.
Namun ia menjadi malu sendiri ketika ia melihat ke arah si Peramal Sinting,
laki-laki berbadan pendek itu sudah tidak berada di tempatnya.
"Ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna sehingga
aku sendiri sampai tidak tahu kalau dia sudah tidak berada di tempat." Tanpa
membuang-buang waktu lagi pemuda inipun segera bergerak menyusul si Peramal
Sinting menuju tempat terjadinya pertem-
puran. Begitu pemuda itu sampai di tempat itu, dili-
hatnya si Peramal Sinting sedang berusaha mati-
matian menolong seorang laki-laki tua berambut
serta berjenggot serba putih. Buang Sengketa
hanya dapat menduga mungkin kakek tua itulah
yang dikatakan oleh Peramal Sinting sebagai sa-
habatnya itu. Melihat cara-cara bertempur kedua tokoh tua itu melawan seorang
laki-laki yang memiliki badan berujud ular naga. Sebenarnya
Buang Sengketa sudah dapat mengetahui bahwa
kedua tokoh tua itu memiliki kepandaian yang
sangat mengagumkan. Terlebih-lebih si Peramal
Sinting. Hanya dengan mempergunakan tasbih
yang terus diputarnya sedemikian rupa sambil
melakukan tangkisan-tangkisan dengan memper-
gunakan kendi di tangannya ia berhasil menghin-
dari pukulan jarak jauh yang dilepaskan oleh lawannya.
"Manusia tua renta. Lebih baik kalian me-
nyingkir, aku Panglima dari Negeri lelembut tidak punya urusan dengan kalian.
Yang kubutuhkan
adalah orang yang berjuluk Pendekar Hina Kela-
na...!" "Berurusan dengan pemuda itu, sama saja ar-tinya berurusan denganku. Karena
pemuda itu masih merupakan sahabatku...!" jawab si Peramal Sinting tanpa sungkan-sungkan.
"Bagus... harrkh... kalau begitu akupun harus membunuhmu...!" berkata begitu
dengan mempergunakan ekornya. Makhluk mengerikan ber-
kepala manusia bertubuh ular naga itu segera
mengibaskan ekornya. Sementara dari tangannya
melesat sinar biru kemerah-merahan.
Mendapat serangan beruntun yang datangnya
tidak ubahnya bagai dari segala penjuru itu. Ten-tu saja Singa Muka Merah maupun
si Peramal Sinting nampak kerepotan juga. Untung pada
saat itu Buang Sengketa yang terus mengikuti jalannya pertarungan sejak dari
tadi, segera melepaskan pukulan si Hina Kelana Merana.
Weert... jdaar... jdaarr...!"
Mengetahui datangnya sinar merah dari arah
lain mengarah bagian tubuhnya. Maka Panglima
perang kerajaan iblis itu mengurungkan niatnya
untuk menyerang si Peramal Sinting. Dengan
mempergunakan ekornya ia memapaki serangan
mendadak yang di lancarkan Buang Sengketa.
Blaaamm...! Satu ledakan dahsyat menggemuruh di ang-
kasa. Singa Muka Merah merasa terkejut sekali,
begitupun halnya dengan si Peramal Sinting. Be-
gitu mereka menoleh, maka hati mereka pun
menjadi lega begitu melihat Pendekar Hina Kelana telah berdiri di tempat itu
dengan tangan menyi-lang di depan dada.
"Kau, Buang Sengketa?" tanya Dasamuka dengan pandangan meremehkan.
"Betul, akulah orang yang kau cari-cari itu...!"
jawab Pendekar Hina Kelana dengan sikap sangat
tenang sekali. "Hemm... bagus...! Kuperintahkan padamu
untuk menyerah, kemudian menjalani hukuman
di Negeri Bunian...!" bentak Dasamuka dengan suaranya yang menggemuruh bagai
petir. "Kau sekarang bukan sedang berada di Nege-
rimu, sehingga dengan sesukamu dapat memerin-
tah orang lain untuk menyerah... pula aku tidak punya urusan dengan Negeri
kalian...!"
"Kau merupakan titisan Raja Piton Utara, sudah selayaknya kau menerima hukuman
dari Ra- ja yang sekarang berkuasa...!"
"Keparaat, kau hendak membantah perintah
seorang Panglima perang" Kuperintahkan sekali
lagi padamu untuk segera menyerah..,!"
"Mengharap aku menyerah" Tidak yang kau
bayangkan...!" dengus si pemuda dengan sikap waspada.
"Kalau begitu kau harus mati...!"
"Kalau tidak ada kemungkinan lainnya. Jalan seperti itu memang lebih baik aku
sukai...!"
"Arrkgh... mampuslah kau...!" setelah usai berkata begitu. Sekarang Dasamuka
dengan segenap perhatiannya segera menyerang Buang
Sengketa dengan pukulan-pukulan yang memati-
kan. Tentu saja Buang Sengketa bermaksud me-
layaninya dengan mempergunakan jurus-jurus si-
lat andalannya. Namun dalam pada itu pendenga-
rannya yang tajam itu mendengar suara bisikan
dari si Peramal Sinting.
"Jangan kau pergunakan jurus-jurus silatmu, karena dengan mudah ia dapat
menirunya. Lebih
baik kau layani dia dengan mempergunakan pu-
kulan andalan yang kau miliki, karena ia benar-
benar menghendaki nyawamu...!"
Buang Sengketa segera mengerti apa yang
dimaksud oleh si Peramal Sinting yang saat itu
malah duduk ongkang-ongkang sambil berusaha
mengobati luka-luka yang diderita oleh Singa Mu-ka Merah. Di luar
sepengetahuannya, kiranya pe-
san yang dikirim oleh si Peramal Sinting lewat il-mu menyusupkan suara tadi
sempat diketahui
oleh Dasamuka. Sehingga dalam keadaan menye-
rang Buang Sengketa, Dasamuka masih sempat
mengirimkan pukulan andalannya ke arah si Pe-
ramal Sinting. Wuusst...! Segelombang hawa panas dan dingin yang
sangat menyengat, menderu ke arah si Peramal
Sinting yang nampak serius mengobati sahabat-
nya. Namun Dasamuka harus terperangah, kare-
na meskipun masih dalam keadaan mengerahkan
tenaga dalamnya si Peramal Sinting masih mam-
pu menghalau pukulan itu dengan hanya memu-
tar tasbih di tangan kirinya.
"Biarkan saja bangsanya memedi itu berta-
rung mati-matian melawan si bocah gembel mu-
ridnya si Bangkotan Koreng Seribu. Aku harus
dapat mengeluarkan racun yang mengeram di da-
lam tubuhmu yang lapuk, Singa Muka Merah...!"
kata si Peramal Sinting dengan sikap konyol.
Sementara itu pertarungan antara dua tokoh
sakti dari alam gaib dan alam nyata itu sedang
berlangsung seru-serunya. Masing-masing lawan-
nya nampaknya telah mengerahkan pukulan-
pukulan amdalannya.
Bahkan Pendekar Hina Kelana yang telah
mengerahkan pukulan Empat Anasir Kehidupan
dan si Hina Kelana Merana secara silih berganti.
Sampai sejauh itu masih belum dapat meng-
goyahkan pertahanan lawannya. Padahal saat itu
ia sendiri sudah mulai terluka akibat benturan-
benturan tenaga dalam yang terjadi. Lebih dari
itu, sebenarnya Buang Sengketa merasa penasa-
ran dengan daya tahan yang dimiliki oleh utusan dari Negeri lelembut itu. Selama
malang melintang di dalam rimba persilatan, belum ada tokoh manapun yang tahan
terhadap pukulan Empat
Anasir Kehidupan, terlebih-lebih pukulan si Hina Kelana Merana. Tetapi sekarang
tokoh dari Negeri Bunian mampu menahannya. Rasanya ia tidak
punya pilihan lain lagi. Apalagi saat dilihatnya
bagian badan lawan yang berbentuk tubuh ular
naga itu kembali bergerak melibasnya. Maka
Buang Sengketa pun segera mencabut senjata
andalannya yang berupa pusaka Golok Buntung.
Guuung...! Terdengar suara mendengung-dengung bagai
raungan puluhan harimau terluka. Senjata di
tangan pemuda itu langsung memancarkan sinar
merah menyala. Sedangkan udara di sekitarnya
sontak berubah menjadi dingin. Baik si Peramal
Sinting maupun Singa Muka Merah sama-sama
terperangah begitu melihat pamor yang keluar da-ri senjata andalan itu. Dasamuka
sendiripun nampak menggigil kedinginan. Namun ketika ia
mengeluarkan cambuk 'Wisang Geni' yang selama
ini merupakan senjata pusaka, satu-satunya mi-
lik Panglima perang itu. Maka pengaruh hawa
dingin itu menjadi sirna seketika. Dengan suara meraung, Dasamuka berkata, "Kita
sama-sama memiliki senjata andalan, bocah. Kalaupun aku
tidak berhasil membawamu ke alamku, biarlah


Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita mati bersama-sama...!"
Sebelum kata-kata Dasamuka berakhir,
Buang Sengketa yang telah menderita luka dalam
dan sedang dilanda kemarahan itu segera men-
dahului melakukan serangan. Senjata di tangan-
nya menderu, tubuhnya berkelebat cepat laksana
tinggal merupakan bayang-bayang merah. Semen-
tara cambuk Wisang Geni di tangan Dasamuka
terus melecut ke segala arah. Dan ketika senjata-senjata pusaka itu saling
berbenturan. Maka terlihat percikan lidah api.
"Hiaat... ciaaat...!"
Setelah sekian lama pemuda itu tidak juga
berhasil melukai lawannya. Maka saat selanjut-
nya ia segera melepas cambuk 'Gelap Sayuto'
yang melilit di bagian pinggangnya. Ketika senjata pasangan Golok Buntung itu
melecut di udara.
Tidak dapat dicegah lagi, langitpun mendadak berobah mendung. Awan hitam pekat
disertai gele- gar suara petir sambung menyambung tiada hen-
ti. Kemudian siang yang panas itupun berubah
menjadi gelap gulita.
Perobahan yang sangat mendadak ini tentu
saja membuat mereka yang berada di sekitar
tempat itu menjadi terkejut sekali. Terlebih-lebih Dasamuka yang menjadi
lawannya. Dengan gerakan cepat lalu ia berusaha memutar cambuk Wi-
sang Geni di tangannya. Dan lagi-lagi terlihat
bunga api berpijar di dalam kegelapan itu saat
mana senjata-senjata sakti itu saling berbenturan dengan senjata lawannya.
"Haat...!"
Kembali Buang Sengketa melecutkan cam-
buknya memapaki datangnya lecutan cambuk
Wisang Geni di tangan Dasamuka.
Breet...! Kedua senjata ampuh itu pun saling melihat
dan melilit. Tarik menarik pun terjadilah. Kesempatan itu tidak di sia-siakan
oleh Buang Sengke-ta. Dengan cepat tubuhnya kembali bergerak.
Senjata di tangan kanannya terayun dengan te-
lak. Blaar...! Terdengar satu letupan yang keras, disertai
suara jeritan membahana. Ujud Dasamuka yang
tersambar ketajaman Golok Buntung itu menjadi
sirna seketika. Buang Sengketa segera mengem-
balikan senjata andalannya ke tempatnya. Secara perlahan angin yang tadinya
bertiup kencang sekarang menjadi reda. Begitupun halnya dengan
gelegar suara petir yang tadinya saling sambung menyambung sekarang lenyap sama
sekali. "Dia tidak akan dapat kembali ke Negerinya, pendekar Golok Buntung...!" kata si
Peramal Sinting sambil menepuk-nepuk bahunya.
"Lawan yang sangat tangguh, orangtua!" ko-mentar si pemuda. "Oh ya, ke mana
perginya kakek Singa Muka Merah?"
"Laki-laki renta itu selamanya paling takut dengan suara halilintar. Dan dia
telah kabur sejak tadi...!"
"Hemm...!" hanya gumaman yang tak terdengar. Sementara matahari di langit sana
semakin condong di ufuk Barat. Desau angin mengibarkan
anak-anak rambut pemuda berwajah tampan dan
juga mengelus bagian kepala si Peramal Sinting yang botak plontos.
TAMAT Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Memanah Burung Rajawali 3 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Kisah Pendekar Bongkok 8
^