Pencarian

Perjalanan Ke Akhirat 1

Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat Bagian 1


1 Angin pagi berhembus tidak seperti biasanya. Pagi ini, di sekitar Danau Sambak
Neraka angin bertiup sangat keras. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi.
Angin tiba-tiba bagaikan mengamuk, menerbangkan debu dan dedaunan kering.
Danau Sambak Neraka yang terletak di sebelah selatan Desa Krasak, pagi itu masih
tertutup kabut tebal yang dingin. Namun, tidak seperti biasanya angin bertiup
sangat kencang seperti ini. Biasanya angin bertiup tenang, menghembuskan hawa
pagi yang sejuk dan segar, yang akan menambah
kenyamanan suasana pagi.
Pagi yang biasanya cerah tiba-tiba berubah menjadi suasana yang mencekam dan
menakutkan. Suasana aneh yang rasanya laksana berada di dalam kematian alam akherat.
Sementara itu, dari arah timur nampak sesosok tubuh wanita membopong seorang
bayi yang masih merah. Wanita yang nampaknya habis melahirkan itu berlari-lari
seperti ada sesuatu yang dicarinya.
Wajahnya nampak pucat. Seperti memendam
ketakutan. Sesekali menoleh ke belakang, memandang ke arah timur. Seakan ada
sesuatu yang dikhawatirkannya.
Air mata wanita yang mengenakan pakaian hijau lumut berparas cantik dengan
rambut diikat ekor kuda itu, meleleh di kedua pipinya.
"Kakang Anjasmara, bagaimana nasibmu,
Kakang?" keluh wanita cantik yang bernama Sambi,
sambil terus berlari dengan tangan masih menggendong bayi. Sementara bayi di
gendongannya terdengar menjerit-jerit tiada henti.
"Oaaa...! Oaaa...!"
"Cup, Sayang...! Cup...!" Sambi berusaha me-nenangkan bayinya yang terus
menangis. Bayi itu seperti mengerti kalau ayah dan ibunya dalam keadaan
menderita. Sesaat tangisnya berhenti.
Namun kemudian terdengar kembali menjerit-jerit, seperti ikut merasakan cekaman
rasa takut ibunya.
Sementara itu pula, dari kejauhan nampak seorang lelaki bertubuh tinggi tegap
dengan rambut terurai panjang, tengah menghadapi sepuluh orang berpakaian kembar
warna ungu yang mengeroyoknya dengan senjata berupa toya.
Lelaki tinggi tegap berwajah tampan itu tiada lain Anjasmara. Sedangkan
kesepuluh lelaki dengan pakaian ungu dan berkepala botak itu, ternyata Dasa Toya
Kuil Merak. Mereka merupakan para resi dari Kuil Merak.
"Menyerahlah, Anjasmara! Kau harus memper-tanggungjawabkan tindakanmu!" seru
resi pertama, bernama Kopayana. Orang itu bertubuh tinggi kurus dan agak
bungkuk. Matanya tajam, berhidung mancung seperti paruh betet, dan berjanggut
panjang. "Ya! Kau harus bertanggung jawab pada Ki
Badawi, karena kau telah melarikan anaknya!"
sambut Resi Udayana, lelaki bertubuh pendek dengan perut gendut. Wajahnya
panjang seperti ular, dengan alis mata tebal. Hidungnya tidak terlalu mancung
seperti resi pertama.
"Itu bukan urusan kalian!" sahut Anjasmara. "Aku bukan menculik Sambi. Kami
saling mencintai!"
"Tak peduli! Yang jelas kau telah merebut Sambi dari calon suaminya! Kau harus
bertanggung jawab atas perbuatanmu!" bantah Resi Sadayana, lelaki berbadan besar
dengan wajah garang ditumbuhi kumis tebal melintang.
"Cuh! Enak saja kalian bicara! Sumantri-lah yang telah merebut Sambi dari
tanganku!" sentak Anjasmara sengit, dituduh kalau dirinya merebut Sambi dari
Sumantri. Padahal antara dirinya dan Sambi telah terjalin ikatan cinta semenjak
sama-sama di Perguruan Pedang Darah.
Pertarungan Anjasmara melawan kesepuluh resi yang bergelar Dasa Toya Kuil Merak
nampak seru. Meski menghadapi sepuluh orang yang berilmu lumayan, Anjasmara yang merupakan
murid kedua dari Perguruan Pedang Darah nampak tak mengalami desakan yang
berarti. Bahkan serangan-serangan yang dilancarkannya cukup mengejutkan
kesepuluh resi berbaju ungu itu.
Baiklah, untuk mengetahui siapa sebenarnya Anjasmara, Sumantri, dan Sambi, mari
kita kembali pada kejadian sepuluh tahun yang silam! Ketika itu ketiganya masih
menjadi satu dalam didikan seorang tokoh rimba persilatan yang bernama Ki Badawi
atau Dewa Pedang.
Sumantri, Anjasmara, dan Sambi merupakan
kakak beradik pada Perguruan Pedang Darah.
Ketiganya dididik dan digembleng oleh guru sekaligus orangtua angkat mereka yang
bernama Ki Badawi.
Ki Badawi merupakan orang tua yang paling sayang terhadap anak-anak telantar. Ki
Badawi menemukan Sumantri dan Anjasmara ketika tengah berlanglang buana. Dua
bocah kecil tampan yang entah anak siapa, berada di tengah hutan. Karena
kasihan, dibawanya pulang. Kemudian dirawat.
Selang beberapa hari kemudian, ketika Ki Badawi kembali dari bepergian, dia
menemukan seorang bocah perempuan kecil tengah menangis di tengah-tengah amukan
api. Ki Badawi yang melihat bocah kecil menangis di antara gelimpangan mayat warga
Desa Pasuruhan, segera mengambil anak itu. Kemudian membawanya pula ke perguruan
yang berada di Bukit Cagar Buana.
Dididik dan diasuhnya ketiga anak itu dengan penuh kasih sayang. Sehingga
tumbuhlah ketiganya menjadi dewasa. Mereka menjadi pemuda-pemudi yang tampan dan
cantik jelita. Yang lelaki diberi nama Sumantri dan Anjasmara. Sedang yang
perempuan bernama Sambi.
Semenjak kecil, di antara mereka memang
senantiasa terjadi perselisihan. Dari dulu, Sumantri yang memiliki watak ingin
menang sendiri, selalu berusaha mengalahkan Anjasmara. Namun
Anjasmara tidak bisa dikalahkan begitu saja.
Sikap ingin menang sendiri selalu ditunjukkan Sumantri, baik di setiap latihan,
maupun ketika melakukan kegiatan sehari-hari. Mulanya Ki Badawi menganggap
persaingan itu hal yang biasa saja, karena mereka masih anak-anak. Biasanya
anak-anak kecil memiliki sikap ingin menunjukkan keunggulan dirinya.
Persaingan antara Sumantri dan Anjasmara berlangsung terus-menerus tiada henti.
Sampai mereka sama-sama tumbuh menjadi pemuda. Pemuda
dewasa yang gagah dan tampan, persaingan terus terjadi.
Pada masa ini, kedua pemuda tampan itu tidak lagi bersaing untuk membuktikan
ketinggian ilmu
mereka. Sumantri menyadari kalau ilmu yang dikuasainya tidak sehebat milik
saudara angkatnya itu. Karena Sumantri memang tidak setekun Anjasmara. Dirinya
sering kurang giat dalam berlatih.
Di samping sering merasa manja dan besar kepala karena Ki Badawi memang lebih
menyayangi dirinya ketimbang terhadap Anjasmara maupun Sambi.
Kini Sumantri berusaha hendak mendapatkan adik angkatnya yang cantik jelita itu.
Beberapa kali Sumantri berusaha mendekati Sambi, tapi gadis cantik yang juga
memiliki ilmu pedang itu terus berusaha menolaknya.
Sampai pada suatu hari, ketika Sambi tengah mandi di sebuah pancuran, diam-diam
Sumantri mengikutinya.
Sambi yang tidak menduga kalau Sumantri
mengikutinya, tanpa segan-segan membuka
pakaiannya. Kemudian dengan bernyanyi-nyanyi tubuhnya dicemlungkan ke kubangan
air pancuran. Menyaksikan pemandangan yang menggiurkan, darah lelaki bertubuh tinggi tegap
dengan kumis menghias di atas bibirnya itu seketika bergolak laksana air
pancuran. Lelaki muda berpakaian abu-abu tanpa lengan dan berambut panjang
dengan ikat kepala kulit macan tutul itu, merasakan getaran yang dahsyat dalam
jiwanya. Hampir saja dia melakukan sesuatu yang tercela.
Namun tiba-tiba Sumantri ingat akan segala petuah gurunya.
"Jika kau mencintai seseorang, katakanlah dengan kejujuranmu! Aku akan bangga,
memiliki anak yang menjunjung tinggi kehormatan kaum yang lemah."
Sumantri tersentak dan mengurungkan niatnya memperkosa Sambi. Bergegas dia
pulang ke perguruan. Ketika dilihatnya Anjasmara sedang bekerja membelah kayu, Sumantri
tersenyum sinis.
Namun Anjasmara tak menggubrisnya, dia tetap membelahi kayu-kayu yang akan
digunakan untuk memasak. Namun ketika Sumantri masuk ke rumah gubuk tempat
gurunya berada, seketika perasaan lelaki berpakaian rompi dari kulit rusa ini
berubah. Pemuda tampan berhidung mancung dengan
kumis tipis menghias di atas bibirnya, dan bermata tajam laksana mata burung
elang itu menghentikan pekerjaannya. Kening Anjasmara berkerut seperti ada
sesuatu yang tengah dipikirkan. Entah mengapa, seketika dia ingin tahu apa yang
sedang diadukan Sumantri pada Ki Badawi.
Dengan hati-hati, Anjasmara berusaha mendengar aduan yang tengah disampaikan
Sumantri pada guru mereka. Matanya terbelalak, ketika mendengar apa yang tengah
diadukan Sumantri pada Ki Badawi.
"Guru, terus terang aku mencintai Sambi. Kuharap Guru sudi menjodohkan kami,
karena kami sama-sama mencintai," kata Sumantri berdusta.
Anjasmara menarik napas dalam-dalam. Seketika perasaannya bergemuruh riuh tidak
karuan. Benarkah Sambi juga mencintai Sumantri" Tanya Anjasmara dalam hati. Sungguh
wanita murahan jika dia membagi cintanya untuk Sumantri dan diriku.
Anjasmara kembali memusatkan perhatiannya pada pembicaraan gurunya dan Sumantri.
"Apa kau tak salah ngomong, Mantri?" tanya Ki Badawi.
"Tidak, Guru. Aku yakin kalau Sambi mencintaiku."
"Kau sudah mengatakan padanya?"
"Sudah, Guru. Bahkan jika Guru merestui, Sambi bersedia menikah secepatnya,"
jawab Sumantri berbohong, berusaha meyakinkan gurunya.
Dari dalam terdengar helaan napas Ki Badawi.
Sepertinya orang tua berambut digelung seperti para resi dengan pakaian jubah
putih itu dalam keadaan bingung. Bagaimanapun juga, Ki Badawi sering melihat
Sambi bersama Anjasmara ngobrol. Itu yang meyakinkan Ki Badawi kalau Sambi
mencintai Anjasmara, bukan Sumantri! Tapi kini, tiba-tiba Sumantri mengatakan
kalau dirinya dan Sambi telah sepakat untuk menjadi suami istri.
Kurang ajar kau, Sumantri! Dengus Anjasmara dalam hati. Celaka kalau guru sudah
membicara-kannya pada Sambi. Gadis itu tentu akan menurut apa kata Guru!
Karena dihinggapi rasa takut kalau Sambi akan menurut kata-kata guru mereka,
Anjasmara yang tahu bahwa Sambi sedang mandi, segera berlari ke pancuran. Dia
tidak ingin Sambi dimiliki oleh Sumantri. Dari dulu dirinya selalu mengalah
terhadap Sumantri. Haruskah kini dia juga mengalah" Padahal masalah ini sangat
penting, karena menyangkut harga diri. Pikir Anjasmara yang hatinya semakin
kalut. "Kakang, ada apa kau menyusul ke sini?" tanya Sambi ketika melihat Anjasmara
menyusul dirinya saat mandi di pancuran.
"Cepatlah naik, Sambi! Aku ingin bicara denganmu," sahut Anjasmara buru-buru.
"Nampaknya kau tak sabar, Kakang. Kenapa...?"
tanya Sambil masih belum memahami apa yang membuat pemuda tampan kekasihnya itu
tampak tak sabar, tidak seperti biasanya. Biasanya Anjasmara nampak tenang dan
sabar. Dan karena sikapnya yang tenang itu, Sambi memilih Anjasmara menjadi
kekasihnya. "Naiklah, Sambi!" perintah Anjasmara semakin tak tenang.
Dengan wajah diliputi perasaan heran, Sambi pun menurut. Sampai-sampai ia lupa
kalau tubuhnya dalam keadaan telanjang.
"Ada apa, Kakang?" tanya Sambi.
"Pakailah pakaianmu dulu!" sahut Anjasmara setelah terpaku memandangi keadaan
tubuh kekasihnya yang mulus dan kuning langsat.
"Heh...! Oh! I... iya. Aku sampai lupa."
Sambi agak kaget dan malu. Lalu cepat-cepat menutup bagian terlarang di tubuhnya
dengan tangan. Kemudian, kakinya melangkah untuk mengambil pakaiannya yang
tergeletak di atas batu yang permukaannya datar. Dan dengan terburu-buru
pakaiannya segera dikenakan.
"Ada apa?" tanya Sambi setelah mengenakan pakaiannya. Matanya memandang penuh
keheranan pada pujaan hatinya yang kelihatan gelisah. "Kau tampak gelisah,
Kakang. Katakanlah! Apa yang terjadi?"
Anjasmara menghela napas panjang.
"Benarkah kau telah bersepakat akan menikah dengan Sumantri?"
"Hah"! Apa..."!" Sambi terkejut mendengar pertanyaan kekasihnya. Keningnya
berkerut, matanya memandang tak berkedip ke wajah Anjasmara.
"Siapa yang berkata begitu, Kakang?"
"Sumantri. Dia mengadu pada guru dan meng-inginkan agar guru merestui
pernikahannya denganmu," sahut Anjasmara agak marah.
"Oh! Mengapa Kakang Sumantri berbuat itu"
Tidak, Kakang! Cintaku hanya untukmu. Ke mana pun
kau bawa, aku akan menurut. Aku hanya ingin mengabdi padamu," keluh Sambi
berusaha meyakinkan kekasihnya.
"Kalau begitu, sebelum guru dan Sumantri
melakukan semuanya, sebaiknya kita minggat dari sini!" ajak Anjasmara.
Sambi pun setuju dengan tekad itu. Tanpa
sepengetahuan Ki Badawi dan Sumantri keduanya meninggalkan Bukit Cagar Buana
yang berada di sisi Hutan Prajawelerang.
Waktu berlalu. Keduanya menjadi satu dalam hidup. Sampai akhirnya pasangan
Anjasmara dan Sambi dikaruniai seorang bayi laki-laki mungil.
Sementara, kabar tentang Sumantri dan Ki Badawi tak pernah terdengar di telinga
mereka berdua. Sampai pada akhirnya, entah dari mana sumbernya, banyak para tokoh persilatan
mencari Anjasmara dan Sambi. Mereka mengaku diperintah Ki Badawi untuk menangkap
Anjasmara dan Sambi. Hingga Anjasmara dan Sambi yang baru memiliki seorang bayi
kecil itu harus lari untuk menyelamatkan diri, meninggalkan Hutan Semar Kembar
tempat keduanya bersembunyi selama ini.
*** Pertarungan Anjasmara yang bersenjatakan
pedang melawan Dasa Toya Kuil Merak masih berjalan seru. Nampaknya murid dan
anak angkat Ki Badawi bukanlah lawan yang enteng bagi kesepuluh resi dari Kuil
Merak itu. Bahkan beberapa kali Anjasmara mampu membuat kewalahan kesepuluh
lawan-lawannya.
Dengan jurus 'Lingkaran Pedang Sinar' Anjasmara
mampu membuat kesepuluh resi yang berusaha menangkapnya kalang-kabut. Dan mau
tak mau mereka harus melompat ke belakang mengelakkan dan menjauhi serangan
pedangnya. "Heaaa...!"
"Setan!" maki Resi Narayana kaget sambil
melompat mundur, mengelakkan babatan pedang lawan yang cepat, sehingga mampu
membuat gerakan memutar membentuk lingkaran. Namun....
Wuttt! Brettt! "Uts! Setan gundul...!" maki Narayana sengit, ketika pakaian resinya sobek
terkena sabetan pedang Anjasmara. Lelaki botak dengan hidung pesek itu mengumpat
dan mencaci-maki dengan kesal. Kalau saja dia terlambat mengelak, sudah pasti
perutnya yang agak buncit itu terkena sabetan pedang Anjasmara.
"Bedebah! Rupanya tikus ini minta mampus!"
dengus Andayana sengit, menyaksikan kemampuan lawan. Toya di tangannya diputar
cepat dengan jurus
'Toya Dewa Mengundang Bayu'. Dari putaran toyanya, keluar angin kencang yang
dahsyat. Menyaksikan Andayana telah memutar tongkatnya dengan jurus 'Toya Dewa Mengundang
Bayu', kesembilan resi lainnya serentak melakukan hal yang sama.
"Kuremukkan batok kepalamu, Tikus Busuk!"
dengus Resi Dupayana. "Heaaa...!"
Lelaki botak bertubuh kurus dan jangkung dengan mata juling itu menggebrak ke
arah lawan, diikuti oleh rekan-rekannya menyerang Anjasmara dengan jurus
'Toya Dewa Mengundang Bayu'.
"Hiaaat...!"
Wuttt! "Heaaa...!"
Teriakan-teriakan nyaring mengawali serangan Dasa Toya Kuil Merak memburu lawan.
"Yeaaa...!" Anjasmara yang merasakan angin keluar dari toya mereka, dengan cepat
mengubah jurus pedangnya. Kali ini dengan jurus 'Sapuan Angin Menerjang
Belantara', dia menghadang serangan kesepuluh lawannya.


Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siiing...! Siiing...!
Pertempuran kembali berjalan dengan seru.
Dengan jurus andalan, para resi itu berusaha mendesak Anjasmara. Toya di tangan
Dasa Toya Kuil Merak bergerak cepat, hingga menimbulkan angin yang keras dan
menyentak. Wuttt! Wuttt! Wusss...! Dasa Toya Kuil Merak nampaknya tidak mau
mengalami kekacauan serangan mereka seperti tadi.
Kesepuluh resi itu terus bergerak dengan kompak.
Satu menyerang, yang lainnya bergerak melindungi dan ganti menyerang. Gerakan
mereka begitu serasi dan susul menyusul dengan jurus 'Dasa Merak Terbang dan
Hinggap Sambil Mematuk'.
Seorang dari Dasa Toya Kuil Merak menyerang dengan cepat, kemudian dengan cepat
pula tubuhnya merunduk. Dari belakang melesat di atas tubuh rekannya, lalu
menyerang ke tubuh Anjasmara. Begitu seterusnya susul-menyusul. Siapa yang telah
menyerang, segera merundukkan tubuh untuk dilompati rekannya untuk menyerang
lawan. "Hiaaat...!"
Wuttt! Wuttt! Hebat juga jurus 'Dasa Merak Terbang dan
Hinggap Sambil Mematuk'. Dengan jurus itu, kesepuluh resi dari Kuil Merak mampu
mendesak Anjasmara. Sehingga pendekar pedang dari
Perguruan Pedang Darah itu harus menguras tenaga untuk dapat mengelakkan
serangan beruntun dan susul-menyusul yang di lancarkan kesepuluh resi itu.
"Uts! Celaka...! Ilmu apa yang digunakan
kesepuluh resi ini?" tanya Anjasmara setengah mengeluh lirih sambil bergerak
mengelakkan pentungan toya kesepuluh resi berkepala botak itu.
Dia tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang ke arah lawan-
lawannya. Dasa Toya Kuil Merak tak pernah berhenti
menyerang. Satu menyerang, yang lainnya menyusul dengan serangan yang sama dan
cepat. Hal itu cukup merepotkan Anjasmara yang hanya seorang diri.
Terlebih tenaganya terkuras dalam pertarungan yang berjalan lama.
"Menyerahlah, Tikus Busuk!" seru Resi Indrayana sambil menggerakkan toyanya
menyerang. Wuttt! "Benar! Menyerahlah, agar kau tak mati percuma!"
sambung Resi Trijayana seraya melompat meng-gantikan kedudukan Indrayana. Lelaki
berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan kumis tebal melintang, serta badan
gendut itu terus merangsek ke arah Anjasmara.
"Cuh! Kalianlah yang busuk! Kalian telah berlaku tidak selayaknya sebagai para
resi. Hanya karena tergiur hadiah dan imbalan yang diberikan Sumantri keparat
itu, kalian rela melepas kedudukan sebagai resi!" dengus Anjasmara tak mau
kalah. "Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah!"
bentak Resi Warayana. Mata lelaki bertubuh kaku ini
nampak garang. Hidungnya yang besar kembang-kempis, dengan napas mendengus
marah. "Kupecahkan batok kepalamu, Setan!" sambung Resi Ragayana. Bergantian dengan
Resi Warayana, Resi Ragayana menyerang ke arah Anjasmara.
Serangan mereka semakin gencar dan dahsyat, mengarah ke bagian-bagian tubuh yang
mematikan. Ketika petarungan masih berjalan sengit, dan Anjasmara dalam keadaan terdesak,
tiba-tiba angin badai berhembus dahsyat menggulung tempat pertempuran.
Wusss...! "Wuaaa...!"
Kesepuluh resi itu berusaha mengelakkan
terjangan angin yang datangnya sangat kencang, namun gerakan mereka terlambat.
Akibatnya, tubuh berpakaian ungu itu tersapu badai dahsyat. Tubuh mereka
mencelat ke belakang laksana terbang.
Anjasmara tersentak kaget. Matanya terbelalak ketika tiba-tiba di dalam gulungan
angin yang membentuk pusaran itu terlihat sosok wanita yang sudah sangat
dikenalnya. "Sambi...!" seru Anjasmara sambil berlari memburu angin besar yang berpusar dan
bergerak mengelilingi Sambi yang menggendong bayinya.
"Ka..., Kakang...!"
"Sambi...!"
Anjasmara terus berlari dengan wajah cemas, menyaksikan istri dan anaknya dalam
kekuasaan angin besar yang terus menggulung keduanya.
Dengan nekat, Anjasmara segera menerobos masuk ke putaran angin kencang itu.
"Sambi...!"
Seketika tubuh Anjasmara ditelan pusaran angin
besar di mana istri dan bayinya berada. Angin besar bergulung-gulung itu terus
berputar. Tapi anehnya, setelah Anjasmara masuk di dalamnya, tiba-tiba angin itu
bergerak meninggalkan tepian Danau Sambak Neraka. Angin itu terus bergerak ke
arah air danau yang sangat dalam.
Byurrr! Byurrr...!
Tubuh Sambi dan Anjasmara jatuh ke dalam air Danau Sambak Neraka. Bayi dalam
pelukan Sambi pun tetap dibawanya. Tidak terdengar sedikit pun suara tangisnya.
Mereka terus dibawa ke tengah danau yang sangat luas itu. Baik Sambi maupun
Anjasmara, tak mengerti akan dibawa ke mana diri mereka.
Ternyata angin bergulung dan berputar-putar itu terus mengusung mereka ke Pulau
Karang Api yang berada di tengah-tengah Danau Sambak Neraka.
Semakin dekat tampaklah pulau itu menyala merah laksana api. Dan karena itulah
pulau itu dinamakan Pulau Karang Api.
Sementara itu, tubuh Anjasmara dan Sambi yang tercebur ke Danau Sambak Neraka
seketika mengalami perubahan. Tubuh mereka memanjang. Wajah mereka kini pun
berubah, dengan mulut moncong ke depan. Lalu mata mereka menyipit dan kepala
mereka tumbuh tanduk. Tubuh yang memanjang perlahan-lalian ditumbuhi sisik.
Keduanya kini berubah menjadi dua ekor naga berwarna merah dengan mata yang
membara bagaikan mengandung api!
"Ssszzzt...!"
Kedua sosok yang telah berubah menjadi naga itu menggeliat. Matanya tajam
memandang ke daratan.
Kemudian dari mulut dan mata keduanya
menyemburkan api yang membara ke arah sepuluh resi yang tengah berlari ke arah
Danau Sambak Neraka.
Wurrrs...! "Wuaaa...!"
Kesepuluh resi yang tak menyangka akan
mendapat serangan berupa semburan api dari tengah danau itu terkejut bukan main.
Tiada ampun lagi, tubuh mereka terbakar hangus.
Saat itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan bergema di sekitar Danau Sambak
Neraka. Tampaknya suara itu milik seorang lelaki.
"Kalian telah menjadi wargaku! Kalian berdua telah menjadi anak-anakku. Biarlah
anak kalian kudidik! Kelak, dia akan menjadi pemuda perkasa!
Hua ha ha...!"
Kedua naga berwarna merah itu terdiam,
kemudian dengan gerakan yang lamban, mereka menyelam ke kedalaman air Danau
Sambak Neraka. *** Sepuluh tahun sudah peristiwa di Danau Sambak Neraka berlalu. Sumantri masih
berpikir tentang Anjasmara dan Sambi, yang raib entah ke mana. Dia juga masih
berpikir, siapa yang telah menewaskan kesepuluh resi dari Kuil Merak di tepi
Danau Sambak Neraka.
Suasana pagi yang cerah nampak melingkupi di sekitar Danau Sambak Neraka.
Matahari yang baru saja muncul di ufuk timur bersinar merah tembaga.
Nampak seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan kumis tebal
dan jenggot pendek, berpakaian khas saudagar tengah melangkah
menyusuri tepian Danau Sambak Neraka.
Lelaki tampan dengan rambut terurai panjang berbaju jubah abu-abu itu ternyata
Sumantri. Dia tampak tengah mengawasi sekitar Danau Sambak Neraka. Pikirannya
masih belum menerima peristiwa aneh sepuluh tahun silam di tepi danau itu.
"Aneh," gumam Sumantri lirih sambil matanya memandang ke sekeliling Danau Sambak
Neraka. "Bagaimana mungkin Anjasmara dan Sambi
menghilang?"
Selama sepuluh tahun terakhir ini, Sumantri telah beberapa kali membayar orang-
orang rimba persilatan untuk mencari kedua orang yang raib bagai ditelan bumi
itu. Tapi selalu saja mengalami kegagalan. Tak satu pun orang-orang suruhannya
yang menemukan jejak Anjasmara dan Sambi.
"Mungkinkah mereka benar-benar menghilang?"
tanyanya pada diri sendiri. "Ah, tidak mungkin! Guru tak pernah mengajari
Anjasmara dan Sambi ilmu menghilang...."
Sumantri terus berdiri di tepi Danau Sambak Neraka. Tiba-tiba matanya terbelalak
ketika memandang arah Pulau Karang Api di tengah-tengah danau.
"Heh! Apakah aku tak salah lihat"!" gumam Sumantri terkejut, ketika matanya
melihat seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun berbadan penuh sisik tengah
berlari-lari kecil.
Bocah bertubuh penuh sisik itu tampaknya merasa ada yang memperhatikan. Wajahnya
memandang ke arah Sumantri.
"Ah! Bocah atau setan!?"
Kembali Sumantri terkejut, menyaksikan mata bocah itu berwarna merah membara
laksana api, menyorot tajam wajahnya. Bukan hanya itu yang membuat Sumantri tersentak kaget.
Ternyata gigi bocah kecil itu bertaring menyeramkan, ketika menyeringai
memandangnya. "Ghrrr...!
Terdengar suara keras menggelegar, ketika bocah kecil penghuni Pulau Karang Api
itu menyeringai.
Bersamaan dengan itu, seketika hawa panas menyelubungi sekitar danau, membuat
Sumantri tersentak.
"Uh, celaka! Apa yang dilakukan bocah setan itu?"
keluh Sumantri. Tubuhnya kini menggeliat-geliat bagaikan dipanggang di atas bara
api yang sangat panas.
"Wuaaa...! Aaa...!"
Sumantri menjerit-jerit merasakan hawa panas yang tiada terkira menyengat
tubuhnya. Dirasakan tubuhnya seperti dikelilingi api yang membara.
"Aaa...!"
Pekikan keras kembali terdengar dari mulut Sumantri yang terus berusaha
mempertahankan tubuhnya agar tidak mati lemas oleh hawa panas.
Namun, semakin mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh panas yang
menyengat tubuhnya, hawa panas terasa semakin menjadi-jadi.
"Celaka! Aku bisa mati terbakar kalau terus-menerus di sini," keluh Sumantri.
Sumantri berusaha menjauh dari tepi danau.
Nampaknya dia berhasil. Dengan cara beringsut menggunakan lututnya yang
tertekuk, Sumantri berusah menggeser kedudukannya semakin menjauh dari tempat
itu. "Bocah setan! Bagaimana mungkin bocah sekecil itu memiliki kekuatan api yang
kuat, sampai mampu
menyerangku?" umpat Sumantri lirih sambil terus beringsut menjauh.
Wusss...! Angin menderu kencang ke arah tubuh Sumantri.
Seketika itu pula, tubuhnya melayang terbawa angin kencang itu.
"Wuaaa...!"
Sumantri menjerit ketakutan ketika tubuhnya diterbangkan angin dahsyat itu dan
terlempar sekitar seratus tombak jauhnya dari tepian danau.
Brukkk! "Aduh...! Angin setan!" maki Sumantri yang tampak marah.
Wusss...! Tiba-tiba angin dahsyat itu berhembus ke arahnya.
Angin badai itu seakan-akan tahu ucapan Sumantri barusan. Mata lelaki itu
terbelalak kaget dan ketakutan. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya.
"Oh! Tidaaak...! Ampun, jangan....!" pekik Sumantri ketakutan.
Dan anehnya lagi, angin itu bagaikan mengerti apa yang diminta Sumantri.
Seketika angin itu bergulung dan berputar-putar di depan tubuhnya. Seolah-olah
mengatakan sesuatu dan mengancam Sumantri.
Sesaat kemudian angin besar itu bergerak cepat kembali ke Danau Sambak Neraka.
"Aneh!" gumam Sumantri keheranan tak mengerti.
"Bagaimana mungkin angin bisa mengerti ucapan-ku?"
Sumantri masih terduduk terbengong-bengong keheranan terhadap kejadian yang baru
saja dialaminya.
"Aneh! Benar-benar ada yang aneh di Pulau
Karang Api itu. Aku yakin, pulau itu ada penghuninya,"
kata Sumantri sambil berlari meninggalkan tempat yang bernama Lembah Akherat
ini. Bergidik juga hati Sumantri jika teringat kejadian yang baru saja dialaminya.
Rasanya sangat tak masuk akal. Bagaimana mungkin bocah kecil berusia sepuluh
tahun berbadan penuh sisik mampu
mengeluarkan kekuatan sedahsyat itu" Bocah bertubuh penuh sisik dengan mata
merah laksana api itu mampu mengeluarkan hawa panas. Juga mampu mengerahkan
angin aneh. "Bocah itu tentunya bocah sakti. Ah, kalau saja aku bisa mendapatkannya, tentu
aku akan menjadi orang yang tak tertandingi di rimba persilatan. Bocah kecil itu
dapat kumanfaakan. Hua ha ha...! Sumantri akan menjadi orang yang ditakuti! Aku
harus mendapatkan bocah itu...!" gumam Sumantri sambil terus berlari
meninggalkan Lembah Akherat.
*** 2 Setelah menitipkan Mei Lie pada Ki Gede Mantingan, Sena melanjutkan
pengembaraannya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Karena itu merupakan tanggung jawabnya sebagai pendekar. Selain itu, batinnya
tidak suka melihat penderitaan dan kesengsaraan orang lemah ditindas dan disiksa
oleh yang kuat dan durjana.
Setelah menghancurkan Istana Tengkorak Merah, Sena dan Mei Lie diajak Ki Gede
Mantingan singgah di padepokannya yang bernama Padepokan Karang Tinalang. Letak
padepokan itu berada di sebelah selatan Desa Karapan dan Desa Sala Kapitu.
Tepatnya di Bukit Singgala Putri (Mengenai Ki Gede Mantingan, silakan baca
serial Pendekar Gila dalam episode "Tengkorak Darah").
Setelah tiba di Padepokan Karang Tinalang, akhirnya Sena menitipkan Mei Lie pada
orang tua yang baik itu. Mulanya Mei Lie menolak, tetap setelah Ki Gede
Mantingan turut menasihati, akhirnya gadis itu pun menurut. Terlebih Ki Gede
Mantingan telah menganggap Mei Lie sebagai anaknya sendiri, karena orang tua itu
tidak dikarunai anak.
Masih teringat di benak Sena ucapan Mei Lie ketika hendak melepas kepergiannya.
"Kakang, jangan lupakan aku! Aku akan selalu menunggumu. Aku akan tetap menunggu
dan mencintaimu," bisik Mei Lie sambil merebahkan kepalanya di dada Sena.
Rasa haru dan syahdu beraduk menjadi satu dada.
Sena mendengar kata-kata Mei Lie. Dengan lembut tangannya membelai rambut gadis
itu. "Aku akan mengingatmu, Mei Lie."
"Terima kasih, Kakang! Aku akan setia
menunggumu. Menunggu janjimu...."
Sena tersenyum seraya memeluk Mei Lie penuh kasih sayang. Kemudian dengan
perasaan syahdu, kakinya melangkah meninggalkan gadisnya yang nampak melambaikan
tangan dengan mata berkaca-kaca
Bayangan perpisahannya dengan Mei Lie seketika hilang, ketika tiba-tiba
telinganya mendengar jeritan seorang wanita di tengah Hutan Dadap Wangi tempat
dirinya berada kini.
"Tolong...! Tidak...!"
"Hei....! Kudengar ada seorang wanita meminta tolong," gumam Sena dengan kening
berkerut. Kemudian dapasangnya telinga tajam-tajam, berusaha mendengar suara jeritan tadi.
"Tolong...! Lepaskan aku, Biadab!" suara wanita itu kembali terdengar, diikuti
oleh caci-makinya.
"Hm, ada juga manusia durjana yang masih
senang iseng," kata Sena sambil cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian tertawa cekikikan. "Hi hi hi...! Lucu


Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali! Aha, coba kulihat."
Sena segera melompat ke atas cabang sebatang pohon yang tinggi, agar bisa
melihat ke sekeliling tempat di tengah Hutan Dadap Wangi.
"Hop! Ya...!"
Tap! Kedua kakinya hinggap begitu ringan di cabang pohon jati yang banyak tumbuh di
hutan itu. Kemudian dengan cengengesan matanya me-
mandang ke sekeliling tempat itu.
"Tolong! Bajingan, lepaskan...!" suara wanita itu kembali terdengar, tapi belum
nampak di mata Sena.
"Tak akan ada yang menolongmu! Kau harus
menyerahkan tubuhmu pada kami!" kini terdengar suara seorang lelaki mengancam.
Pendekar Gila nyengir sambil pandangannya beredar ke sekeliling tempat itu,
berusaha mencari dari mana asal suara tadi. Dan seketika matanya melihat
serumpun semak belukar bergoyang-goyang.
"Aha, itu dia!" ujar Sena seraya melompat ke semak-semak yang bergoyang. "Hop!
Ya!" Dua orang lelaki berpakaian merah kecoklatan tiba-tiba tersentak kaget begitu di
samping mereka telah berdiri seorang pemuda berpakaian kulit rompi ular yang
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hua ha ha...! Kenapa kalian kaget?" tanya Sena masih bertingkah laku seperti
orang gila. "Ah ah ah...!
Kupanya kalian sedang asyik berpesta! Kenapa tak mengundangku" Hi hi hi...!"
"Siapa kau"!" bentak lelaki berwajah garang dengan rambut kaku seperti landak.
"Ha ha ha...! Aku...?" balik Sena bertanya.
Kemudian mulutnya nyengir kuda. Matanya menatap sosok wanita muda yang
pakaiannya morat-marit tak karuan. "Ah, aku tak ingat namaku. Hi hi hi...! Siapa
kalian berdua?"
Membelalak mata kedua lelaki berwajah garang itu, mendengar kata-kata Sena yang
persis orang gila.
"Pemuda gila dari mana dia?" gumam lelaki berkumis tebal dengan mata lebar.
Rambutnya juga kasar berdiri seperti landak.
"Hei, Bocah Gila! Ketahuilah...," ujar lelaki bertubuh tinggi dan beralis tebal.
"Aku Cakal Genala!"
"Dan aku, Cakil Gering!" sambung rekannya yang bertubuh agak kurus, berkumis
tebal melintang di bibir tebal. "Ha ha ha...! Kami bergelar Dua Landak Hutan
Dadap Wangi. Kamilah penguasa dan penghuni hutan ini!"
"Hua ha ha...! Gila...! Hi hi hi...! Kalianlah yang gila!" balik Pendekar Gila
sambil berjingkrak-jingkrak seperti monyet. Sementara tangan kanannya menggaruk-
garuk kepala dan tangan kiri menepuk-nepuk pantat
"Bocah gendeng! Pergi sana! Jangan ganggu kami!" bentak Cakil Gering dengan mata
melotot. Rambutnya yang berdiri seperti bulu landak, kian meregang kaku.
Dibentak begitu rupa, bukan membuat Sena takut atau lari. Malah dengan sengaja
tingkahnya dibuat konyol. Dengan tenangnya dia melangkah menghampiri gadis
cantik yang gaun kuningnya sudah awut-awutan. Dara cantik itu ketakutan melihat
Sena menghampiri. Kemudian dengan tenang Sena
memegang tangan kiri gadis itu.
"Aha, boleh juga! Bagaimana kalau gadis ini untukku?" tanya Sena pada Dua Landak
Hutan Dadap Wangi, yang semakin bertambah marah melihat kelancangan dan
kekonyolan pemuda itu.
"Kurang ajar! Minggat kau dari sini!" dengus Cakal Genala sambil melepaskan
jotosan ke arah Pendekar Gila dengan jurus 'Serudukan Landak'.
"Eits! Ah, galak amat kau, Ki" Mengapa kau tidak mau membagi aku" Aduh
kepalaku...!" seru Sena sambil bergerak cepat memnduk, mengelakkan serangan
Cakal Genala. Tubuhnya bergerak meliuk ke
bawah dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
"Hi hi hi...! Rupanya kau belum pernah ditampar singa, Ki. Nih...!"
Dengan tangan menepuk ke arah dada lawan, Sena bergerak meliuk. Gerakannya
sangat lambat, membuat lawan menyangka kalau serangan Sena lemah dan tak perlu
ditakuti. Hingga....
Bukkk! "Aaakh...!" Cakal Genala terpekik kesakitan.
Lelaki berhidung bulat itu sungguh tak menduga kalau pukulan lawan yang tampak
pelan itu ternyata begitu keras. Soalnya gerakan Pendekar Gila tampak lamban dan
lemah sekali. Tubuh lelaki berambut kaku itu terlempar deras ke belakang,
bagaikan terdorong kekuatan yang dahsyat. Tubuh Cakal Genala baru berhenti,
ketika membentur pohon dadap berduri.
Brak! Crab! "Wuaaa...!" kembali Cakal Genala memekik
kesakitan. Punggungnya tertancap duri-duri pohon dadap.
"Hi hi hi...! Lucu..! Kenapa kau, Ki" Kalau lari, jangan mundur! Itulah akibat
orang lengah!" kata Sena ambil berjingkrak-jingkrak seperti orang gila.
Mulutnya nyengir.
"Bocah edan! Kuremukkan kepalamu! Heaaa...!"
Cakil Gering yang merasa saudaranya
dipermainkan begitu rupa oleh pemuda tampan berbaju rompi kulit ular, segera
melancarkan serangan dengan pukulan tangan kirinya menggunakan juris 'Landak
Mengais'. "Heaaa!" tangan Cakil Gering melakukan gerakan menyibak cepat, lalu memukul
keras ke perut Pendekar Gila yang masih tampak cengengesan.
Melihat lawan menyerang, dengan cepat Sena menarik kakinya ke belakang.
Diangkatnya kaki agak tinggi, kemudian dengan cepat didengkulnya kepala lawan
yang agak merunduk.
"Hi hi hi...! Kau rupanya mencari sesuatu, Ki. Aha, kuberi sop lututku! Hih...!"
Cakil Gering tersentak melihat gerakan Pendekar Gila. Segera ditariknya kembali
serangan tadi. Tubuhnya didongakkan, lalu bergerak ke samping.
Kemudian dengan cepat bersalto ke samping, ketika melihat tangan Pendekar Gila
kembali menepuk.
"Uts! Ilmu edan!" makinya yang telah tahu bagaimana hasil tepukan tangan Sena.
Meski kelihatannya lamban dan lemah, ternyata tepukan itu begitu dahsyat
dirasakan. Dengan tepukan itu, Pendekar Gila telah mampu mendorong tubuh Cakal
Genala begitu keras. Sehingga tubuh lelaki itu terkulai pingsan setelah
menerjang pohon berduri.
Mata Cakil Gering terbelalak, setelah merasakan angin keras dari tepukan tangan
Pendekar Gila. "Edan! Jurus apa yang digunakannya?" gumam Cakil Gering masih tak mengerti dan
heran. "Padahal gerakannya sangat lamban dan lemah. Tapi dari anginnya saja,
mampu menyentakkan tubuhku."
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tingkah lakunya persis seekor monyet. Hal
itu semakin membuat Cakil Gering mengerutkan kening, berusaha mereka-reka siapa
sebenarnya pemuda yang bertingkah seperti orang gila itu.
"Mungkinkah dia yang berjuluk Pendekar Gila" Ah, dilihat dari tingkah lakunya,
semua persis dengan ciri-ciri pendekar muda itu. Mungkin dia orangnya,"
gumam Cakil Gering.
"Hi hi hi...! Kenapa melongo, Ki" Nanti kau kerasukan setan," ujar Sena sambil
cengengesan. "Pergilah! Jangan sampai aku memberimu hadiah!"
Cakil Gering yang merasa tidak unggulan menghadapi pemuda itu segera mundur. Dia
semakin yakin dengan dugaannya kalau pemuda di hadapannya pastilah Pendekar
Gila. "Ayo pergi! Jangan ganggu aku bermesraan
dengan gadis ini! Ayo pergi!" bentak Sena dengan garang.
"Baik...! Baik, aku akan pergi," sahut Cakil Gering ketakutan.
"Hua ha ha...! Bawa sekalian tikus itu!"
Cakil Gering merangkak mendekati saudaranya yang masih terkulai pingsan.
Kemudian dengan mata menatap tegang pada Pendekar Gila, Cakil Gering segera
memondong tubuh saudaranya. Kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dengan
cepat tempat itu ditinggalkannya.
Sepeninggal Cakil Gering dan saudaranya, Sena kembali tertawa bergelak. Tingkah
lakunya yang seperti orang gila, membuat gadis cantik itu ketakutan bukan
kepalang. Gadis berkulit kuning langsat itu mundur beringsut dengan tangan kanan
masih memegangi pakaiannya yang terbuka. Matanya menatap ketakutan pada Pendekar
Gila yang menggaruk-garuk kepala.
"Jangan! Jangan lakukan itu...!" ratap gadis itu mengiba.
"Aha, jangan takut, Nisanak! Aku bukanlah manusia seperti kedua cecurut itu."
Gadis yang bernama Saka Wuri itu memperhatikan Pendekar Gila penuh seksama.
Sepertinya berusaha meyakinkan dirinya kalau pemuda tampan bertingkah
seperti orang gila itu benar-benar hendak menolongnya.
Benarkah omongannya" Tanya Saka Wuri dalam hati. Tingkah lakunya seperti orang
gila. Tapi, pakaiannya bagus mirip seorang pendekar.
Mungkinkah dia pendekar yang sering disebut-sebut sebagai Pendeka Gila"
"Aha, mengapa diam saja" Ayo, biar kuantar sampai ke rumahmu!" ujar Sena
menawarkan jasa.
Pendekar Gila tidak ingin gadis itu kembali mengalami musibah, diseret dan
hendak diperkosa seperti yang baru saja dialami gadis itu. Kalau saja dirinya
tidak segera datang, entah bagaimana nasib gadis itu
"Tuankah yang sering disebut Pendekar Gila?"
tanya Saka Wuri.
"Aha, terlalu tinggi julukan itu, Nisanak. Sudahlah yang jelas kau harus pulang!
Apakah kau ingin kedua cecurut tadi datang lagi dan memperkosamu?"
Saka Wuri segera bangun dari duduknya,
kemudian dengan malu-malu melangkah diiringi Pendeka Gila. Mereka menuju ke Desa
Kalasan, tempat Saka Wuri tinggal.
Setelah sampai di rumah, Saka Wuri pun menceritakan pada Pendekar Gila dan
ayahnya mengapa dirinya sampai hendak diperkosa Dua Landak Hutan Dadap Wangi.
Saka Wuri pagi itu hendak mandi di pancuran seperti biasanya. Tiba-tiba dari
belakang orang menyekap mulutnya. Dia hendak berteriak, namun kedua orang itu
telah membawanya pergi sebelum terlebih dahulu menotoknya.
Sesampainya di Hutan Dadap Wangi, keduanya lalu membuka totokan di tubuh Saka
Wuri dan berusaha menggagahi dirinya. Beruntung sebelum
perkosaan terjadi, Pendekar Gila telah datang.
Setelah mendengar penuturan Saka Wuri,
Pendekar Gila pun bermaksud pamit untuk
meneruskan pengembaraannya.
"Mengapa tidak menginap dulu di sini, Tuan?" kata Saka Wuri berusaha mencegah
Pendekar Gila agar tidak segera meninggalkan rumahnya. Dia ingin bisa ngobrol
lama dengan pemuda tampan bertingkah laku seperti orang gila itu.
"Benar, Tuan. Kenapa tidak menginap barang satu malam. Kami ingin mengenalmu
lebih dekat,"
sambung Ki Kalaban. Lelaki tua berpakaian adat Jawa Timur itu tampak senang atas
telah kembalinya anak gadisnya. Dia merasa hutang budi pada pemuda tampan yang
telah diketahuinya sebagai Pendekar Gila.
"Ah ah ah.... Terima kasih, Ki! Sebenarnya aku pun ingin menginap di sini. Desa
Kalasan sangat damai dan nyaman. Tapi, kurasa masih banyak lagi yang memerlukan
pertolongan dariku...," ujar Sena menolak dengan halus.
"Hendak ke manakah tujuan Tuan?" tanya Ki Kalaban. Kepala Desa Kalasan yang
sangat berterima kasih pada Pendekar Gila, berusaha membalas jasa kebaikan
Pendekar Gila. "Ah! Entahlah, Ki. Kurasa langkah kaki tergantung hasrat hati melangkah. Di mana
kemauan berkata, di sana aku melangkah," jawab Pendekar Gila.
Ki Kalaban terdiam. Sulit baginya untuk berusaha membalas jasa atas kebaikan
pendekar muda itu.
Sementara Saka Wuri masih memperhatikan pemuda tampan yang telah menolongnya.
Tak jemu-jemunya gadis cantik bergaun kuning dengan rambut diikat ekor kuda itu
memandangi wajah Pendekar Gila. Ada
perasaan aneh yang terselip di relung hatinya.
Perasaan yang selama ini belum pernah muncul dalam hati.
"Tuan! Kalau boleh, izinkanlah aku berbakti padamu!" ujar Saka Wuri memohon.
Pendekar Gila tertawa bergelak sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian pemuda
tampan itu nyengir sambil menggeleng-geleng kepala.
"Ah! Tak usah berlaku begitu, Dik Wuri! Kini, aku mohon pamit," kata Sena.
Kemudian setelah menjura, Pendekar Gila segera meninggalkan rumah Kepala Desa
Kalasan untuk meneruskan pengembaraannya. Menegakkan
kebenaran dan keadilan di atas muka bumi ini.
*** 3 Desa Pasut Piring yang terletak di sebelah selatan Bukit Selaparang, nampak
tenang malam itu. Sebuah bangunan rumah yang cukup besar untuk ukuran rumah
biasa, berdiri megah di bagian timur desa.
Rumah besar dan megah yang semuanya diukir indah itu milik Sumantri. Dia dikenal
sebagai juragan yang paling kaya di desa itu.
Saat itu, malam yang sunyi menyelimuti bumi. Di ruang tengah rumah yang dijaga
ketat empat orang bersenjatakan tombak, tengah duduk seorang lelaki berusia
sekitar tiga puluh lima tahun. Lelaki yang tak lain Sumantri, malam itu masih
merenungkan apa yang kemarin dialaminya.
Di hadapannya duduk empat orang dari rimba persilatan. Tiga lelaki berwajah
garang dan satu lagi seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluh tujuh
tahun. Keempat orang rimba persilatan itu merupakan tangan kanan, sekaligus
pengawal pribadi Sumantri.
Orang yang pertama berusia sekitar lima puluh tahun. Berambut gondrong awut-
awutan dan kepalanya terikat kain warna hijau tua. Matanya tajam dan garang.
Hidungnya besar dan beralis mata lebat.
Kumis tebal yang menghiasi bibirnya semakin menunjukkan kegarangannya. Lelaki
berpakaian hijau tua lengan panjang itu bernama Jalna Kumilang atau Hantu Hijau
dari Gunung Bangau.
Orang kedua memiliki rambut dibuat ekor kuda.
Alis mata tebal dengan hidung pesek menyerupai
kera dengan cambang bauk lebat. Tubuhnya agak gemuk dan pendek. Pakaian yang
dikenakan berwarna merah. Dia bernama Sugatra.
Di sampingnya merupakan adik seperguruan
Sugatra yang bernama Sugatri. Lelaki berusia sebaya dengan Sugatra sekitar tiga
puluh lima tahun itu, memiliki pakaian dan rambut yang sama seperti kakaknya,
pesek hampir menyerupai hidung kera.
Tubuhnya tidak terlalu gemuk seperti Sugatra.
Di punggung kedua lelaki berpakaian merah itu tersampir senjata berupa golok.
Mereka berdua berjuluk Sepasang Kera Bergolok Biru. Hal itu karena golok mereka
dapat mengeluarkan sinar biru.
Sedangkan yang terakhir seorang wanita muda dan cantik. Berusia sekitar dua
puluh tujuh tahun.
Bergaun merah hati dengan rambut dikepang dua.
Dia nampak tidak memegang senjata, karena senjata yang digunakannya berupa
selendang warna ungu yang terikat di pinggangnya. Itu sebabnya dia lebih dikenal
dengan julukan Iblis Selendang Ungu.
"Tuan Sumantri, kami lihat sejak tadi Tuan nampak termenung. Kalau boleh kami
tahu, apa gerangan yang telah membebani pikiran Tuan...?" tanya Jalna Kumilang.
Orang paling tua di antara keempat tangan kanan Sumantri.
"Benar, Tuan. Mengapa Tuan bermuram durja.
Sepertinya, setelah pulang dari Danau Sambak Neraka ada sesuatu yang Tuan
pikirkan. Adakah sesuatu yang mengganjal pikiran dan hati Tuan?"
sambung Sugatra.
Sumantri menarik napas dalam-dalam. Dihempas-kan napasnya panjang-panjang.
Tatapan matanya menerawang ke atas, memandang ke genteng
rumahnya. "Hhh!" desah Sumantri. "Apa yang kalian duga memang benar."
Keempat tangan kanan Sumantri saling pandang.
Namun mereka masih diam, karena memang belum tahu apa yang membuat majikan
mereka kelihatan murung terus. Hanya hati mereka saja yang bertanya-tanya.
Mungkinkah majikan mereka melihat
Anjasmara dan Sambi"
"Tuan, kalau boleh kami tahu. Hal apakah yang membuat Tuan bermuram durja?"
tanya Sugatri memberanikan diri, setelah lama terdiam.
"Apakah Tuan Sumantri melihat Anjasmara dan Sambi?" sambung Iblis Selendang Ungu
dengan senyum menggoda.
"Bukan masalah Anjasmara dan Sambi yang
membuatku gelisah dan terus berpikir," sahut Sumantri seraya bangkit dari
duduknya, berjalan ke pintu rumahnya yang terbuka. Dia berdiri di ambang pintu,


Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang lepas ke luar.
"Lalu apa yang menjadikan Tuan nampak
murung?" tanya Jalna Kumilang seraya menatap majikannya yang masih diam berdiri
di ambang pintu.
Sumantri menghela napas dalam-dalam, berbalik ke arah meja. Keempat tangan
kanannya tampak masih duduk di kursi masing-masing. Sumantri kembali duduk.
"Kemarin aku melihat sesuatu di Pulau Karang Api.
Seorang bocah bertubuh penuh sisik dengan lidah bercabang. Sebelumnya aku
bermimpi, kalau bocah itu merupakan bocah sakti. Siapa pun yang mendapatkan
bocah itu, akan merajai dunia persilatan.
Nah, aku ingin mendapatkan bocah itu. Siapa pun yang mendapatkannya, akan kuberi
separo dari harta kekayaanku. Untuk itu, kuperintahkan kalian
menyebar sayembara!" kata Sumantri menerangkan.
"Kalau memang itu yang Tuan inginkan, kami siap melaksanakannya," sahut Iblis
Selendang Ungu.
"Ya! Malam ini juga, kami laksanakan," sambut Sugatra.
Sumantri tersenyum mendengar kesanggupan
empat anak buahnya, yang menunjukkan kesetiaan mereka terhadapnya. Kepalanya
diangguk-anggukkar dengan bibir masih tersenyum.
"Tidak usah terburu-buru! Kalian bisa melakukannya besok. Malam ini, kalian
tulis isi sayembara itu," perintah Sumantri.
"Apa yang mesti kami tulis?" tanya Jalna Kumilang.
"Barang siapa yang bisa mendapatkan bocah bertubuh penuh sisik, akan diberi
hadiah sebagian dari hartaku," kata Sumantri menjelaskan isi sayembara yang
hendak ditulis anak buahnya itu.
"Baiklah, kami akan segera membuatnya," kata Jalna Kumilang.
Setelah semuanya disepakati, Sumantri dan keempat anak buahnya pun meninggalkan
ruang pertemuan untuk melakukan apa yang hendak mereka lakukan.
Sumantri masuk ke kamarnya. Di dalam kamar itu, seorang gadis cantik berkebaya
merah muda tengah terbaring di tempat tidur. Gadis cantik yang wajahnya nampak
masih menggambarkan kepolosan itu tengah menangis. Seketika dia tersentak bangun
ketika pintu kamar dibuka. Matanya menatap ketakutan, ber-campur rasa benci pada
Sumantri. "Cah ayu, kenapa kau masih bersikap dingin"
Ayolah, malam ini aku ingin sekali menikmati tubuhmu," ujar Sumantri sambil
melangkah mendekat.
Gadis itu pun tampak semakin ketakutan.
"Tidak! Aku tidak mau...!" seru gadis cantik itu dengan wajah ketakutan.
"Bajingan! Kau benar-benar bajingan! Kembalikan aku ke desaku...!"
Sumantri tersenyum sinis sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kakinya melangkah
mendekat ke tempat tidur. Gadis yang mengingatkannya pada Sambi, semakin
bertambah ketakutan. Tubuhnya beringsut ke sudut tempat tidur. Matanya menatap
ketakutan ke wajah Sumantri yang masih tersenyum.
"Tidak mungkin, Cah Ayu. Kau harus menjadi istriku," kata Sumantri. Kemudian
dengan penuh nafsu, Sumantri segera menubruk gadis cantik yang wajahnya memang
mirip dengan Sambi.
"Auw! Tidak...!" teriak gadis cantik berkebaya merah muda yang bernama
Delimasari, berusaha mengelak. Matanya semakin ketakutan. Namun, Sumantri yang
sudah bernafsu sekali tak hanya diam sampai di situ. Bahkan dengan mengelaknya
Delimasari, semakin bertambah nafsu lelaki bertubuh kekar itu.
"Mau lari ke mana, Cah Ayu" He he he...!"
Sumantri yang sudah dibakar nafsu iblis, terus mendekap tubuh Delimasari yang
terus berontak dan meronta-ronta. Namun, semakin keras dia berontak, semakin
bertambah menggelegak nafsu Sumantri.
Bret! "Auw!" Delimasari terpekik, ketika kebaya merah mudanya direnggut hingga sobek.
Tampaklah pundak kuning mulus gadis itu. Mata Sumantri terbelalak penuh nafsu.
Apalagi ketika kebaya gadis itu terlepas karena tetap ditarik tangan Sumantri.
"He he he...!" Sumantri tertawa terkekeh.
Kemudian kembali menubruk tubuh Delimasari.
Gulatan antara keduanya pun terjadi. Akhirnya
Sumantri yang sudah bernafsu, mampu menguasai tubuh Delimasari yang lemah.
Meskipun meronta-ronta sekuat tenaga gadis itu tak kuasa menghadapi nafsu iblis
Sumantri. Delimasari hanya mampu menangis, meratapi nasibnya yang buruk. Kekecewaan,
dendam, dan marah beraduk menjadi satu di hatinya. Keterlaluan sekali kedua
orangtuanya, yang telah menyerahkan dirinya pada lelaki bajingan seperti
Sumantri. Padahal Delimasari telah memiliki pemuda pujaan hatinya yang saling mencintai.
Namun dengan kedatangan Sumantri meminangnya, tak mungkin cinta mereka
dilanjutkan. Itulah yang menjadikan Delimasa merasa nasibnya buruk. Meski
Sumantri gagah, namun Delimasari tidak suka dengan perbuatan lelaki itu yang
selalu ingin menang sendiri.
*** Sayembara yang diadakan Sumantri ternyata
ditanggapi orang-orang dari kalangan persilatan.
Mereka sebagian tertarik dengan hadiah yang ditawarkan Sumantri. Namun ada juga
yang merasa tertarik dengan berita tentang bocah aneh bertubuh penuh sisik dan
memiliki kesaktian. Barang siapa menguasai anak ini akan dapat menjadi orang
sakti! Dua orang muda berparas elok dengan pedang di pundak melangkah menyelusuri jalan
menuju Lembah Neraka. Yang pemuda berwajah tampan dengan rambut terurai panjang.
Sosok tubuhnya tegap dan tinggi. Wajahnya bersih, dengan hidung mancung. Kumis
tipis menghias di atas bibirnya. Dia bernama Sarawendo.
Seorang lagi, wanita muda dan cantik. Rambutnya
berombak dengan hidung mancung dan dagu
berbentuk indah. Dia bernama Saraswati. Keduanya memakai pakaian biru yang
panjangnya sampai ke lutut. Mereka adalah sepasang suami istri yang terkenal
dengan julukan Dewa-Dewi Paras Elok.
Wajah mereka memang tampan dan cantik jelita, mirip dengan dewa dan dewi dari
kahyangan. Bukan hanya kecantikan dan ketampanan mereka saja yang membuat orang
kalangan persilatan merasa kagum.
Ilmu pedang keduanya juga sangat tersohor.
Terutama dengan jurus 'Sepasang Pedang Memburu Hati', yang merupakan jurus
pamungkas bagi mereka.
Sulit bagi lawan-lawan mereka untuk melepaskan diri dari serangan keduanya.
Dewa-Dewi Paras Elok melangkah menuju Lembah Akherat sehubungan dengan
keikutsertaan mereka dalam sayembara yang diadakan Sumantri. Sebenarnya tujuan
mereka bukan mencari kekayaan. Mereka hanya ingin membuktikan kebenaran yang
mereka baca dari pengumuman seyembara itu.
Sebagai pendekar, keduanya memang selalu ingin membuktikan kebenaran suatu
berita. Apalagi berita yang dianggap aneh. Keduanya ingin senantiasa menguji
sampai di mana ilmu mereka. Di samping berusaha menegakkan kebenaran dan
keadilan, keduanya juga ingin menimba pengalaman yang lebih banyak di rimba
persilatan. "Kakang, apa benar jalan yang sedang kita tuju?"
tanya Saraswati.
"Entahlah! Aku juga kurang begitu paham daerah sekitar tempat ini," jawab
Sarawendo sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling daerah itu.
Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hamparan petak-petak sawah.
Saat itu, keduanya tengah memasuki wilayah Desa Tarub, yang sepertiga bagian
wilayahnya merupakan petak-petak sawah. Penduduk Desa Tarub memang sebagian
besar bercocok tanam, karena letak desa mereka tidak memenuhi syarat untuk niaga
atau nelayan. Karena tak ada aliran sungai, maupun tempat berjualan yang ramai.
Hanya ada pasar kecil di Desa Tarub yang ramainya hanya pada waktu-waktu
tertentu. "Bagaimana kita bisa sampai ke Lembah
Akherat?" gumam Saraswati agak cemas. Meski mereka tidak bertujuan mendapatkan
salah satu kemungkinan antara harta dan anak sakti itu, keduanya merasa
penasaran dan ingin melihat seperti apa bocah sakti yang telah mengundang banyak
tokoh rimba persilatan berdatangan untuk mendapatkannya.
Sarawendo menghela napas panjang. Matanya memandang ke sekelilingnya yang masih
merupakan hamparan persawahan. Dia berusaha mencari salah seorang petani yang
dapat memberi petunjuk arah.
"Nah! Itu ada dua orang petani! Bagaimana kalau kita tanyakan pada mereka...?"
ajak Sarawendo.
"Ayolah," jawab Saraswati. Langkah keduanya segera dipercepat untuk dapat
mengejar kedua petani yang berjalan di depan. Sesaat kemudian, keduanya sudah
berada di dekat kedua petani itu.
"Sampurasun...!" sapa sepasang suami istri itu dengan ramah, yang menjadikan
kedua petani itu menghentikan langkahnya. Keduanya membalikkan tubuh memandang
ke arah sepasang pendekar cantik dan tampan.
"Rampes...!" sahut kedua petani itu berusaha ramah.
"Ada apa gerangan kalian berdua mengejar kami?"
tanya lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun dengan wajah tampak sabar.
Kumis yang memutih menghias di atas bibirnya. Matanya menatap tajam sepasang
pendekar itu. "Maaf, Ki!" kata Sarawendo. "Namaku Sarawendo dan ini istriku Saraswati. Kami
ingin bertanya, ke arah mana kami harus melangkah agar sampai ke Lembah
Akherat?" "Benar, Ki. Kami hendak ke sana," Saraswati menimpali sambil tersenyum.
Kedua petani itu seketika mengerutkan kening, mendengar pertanyaan yang
dilontarkan pasangan muda berparas elok itu. Kedua petani itu seperti tak
percaya, kalau pasangan muda berwajah elok itu bertujuan ke tempat yang sangat
dikeramatkan penduduk desa-desa sekitar Danau Sambak Neraka.
Tak seorang pun yang berani pergi ke Danau Sambak. Tapi kini tiba-tiba ada
sepasang pendekar yang bermaksud pergi ke Danau Sambak Neraka.
Meski keduanya tidak menyebutkan nama Danau Sambak Neraka, kedua petani itu
telah maklum kalau sebenarnya yang hendak dituju keduanya tidak lain Danau
Sambak Neraka. Hal itu dapat diketahui karena danau itu berada di wilayah Lembah
Akherat. Seperti apa tempat itu" Siapa pun yang akan datang ke tempat itu niscaya
bagaikan hendak menuju ke akherat saja.
"Ke Lembah Akherat?" tanya petani yang berusia di bawah petani yang satunya.
Petani ini berambut hitam. Wajahnya bersih dari kumis. Hidungnya pesek matanya
lebar. Mulutnya agak lebar dengan bibir tebal.
"Benar. Ada apakah hingga Kisanak nampak
kaget?" tanya Saraswati dengan kening berkerut, menyaksikan tanggapan kedua
petani itu ketika menceritakan tentang tujuannya.
"Aduh, kami harap kalian jangan ke sana! Lebih baik kalian pulang saja!" saran
petani yang lebih tua.
Hal itu membuat Dewa-Dewi Paras Elok semakin mengerutkan keningnya.
"Memangnya kenapa, Ki?" tanya Saraswati ingin tahu.
"Kami mengharap, urungkan saja niat kalian ke Lembah Akherat!" tegas lelaki
berkumis putih itu.
Dewa-Dewi Paras Elok saling pandang dengan kening berkerut. Mereka semakin tidak
memahami apa maksud kedua petani itu melarang mereka.
Belum juga keduanya sempat bertanya, petani yang lebih muda malah menambahkan.
"Kasihan kalau kalian yang tampan dan cantik harus menerima kemalangan!"
"Kemalangan" Maksudmu, Ki?" tanya Sarawendo masih belum memahami kata-kata
petani itu. Matanya menatap tajam petani muda itu.
"Ya! Sangat berbahaya jika kalian ke tempat itu.
selama ini, tak seorang pun yang berani pergi ke Danau Sambak Neraka. Bukankah
kalian hendak ke sana...?" balik tanya petani tua yang bernama Ki Maeskarya.
Seruling Sakti 18 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 21
^