Pencarian

Perjalanan Ke Akhirat 2

Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat Bagian 2


"Benar, Ki?" sahut Saraswati
"Ah, urungkanlah niat kalian! Sia-sia saja kalian ke tempat itu," ujar Ki Wadul,
petani yang lebih muda.
"Terima kasih atas nasihat kalian! Tapi kami tetap hendak ke tempat itu. Kalau
kalian tahu jalannya, sudilah kiranya kalian memberitahukan pada kami,"
pinta Sarawendo.
Kedua petani itu kembali saling berpandangan
dengan kening berkerut. Mereka tidak menyangka, kalau kedua pasangan muda ini
akan nekat ke tempat itu.
"Apakah telah kalian pikirkan semuanya?" tanya Ki Maeskarya.
"Sudah, Ki," jawab Dewa Dewi Paras Elok
bersamaan. Ki Maeskarya dan Ki Wadul menghela napas berat.
Sepertinya kedua orang petani itu merasa sayang jika kedua pasangan berwajah
elok itu harus menemui ajal sia-sia di tempat itu. Namun apa hendak dikata,
rupanya kedua sejoli itu telah membulatkan tekad untuk datang ke tempat yang
sangat keramat dan paling ditakuti penduduk di sana. Bahkan mungkin para dewa
pun akan segan ke tempat itu.
Meski mereka tidak pernah tahu siapa sebenarnya penghuni Pulau Karang Api yang
ada di tengah-tengah Danau Sambak Neraka, selama turun-temurun mereka tak pernah
berani menjarah tempat tersebut.
"Baiklah, kalau memang itu yang kalian kehendaki.
Berjalanlah ke selatan. Di sana, sekitar setengah hari perjalanan, kalian akan
mendapatkan lembah yang dikelilingi hutan bakau. Itulah Lembah Akherat.
Kemudian sekitar seratus tombak dari Lembah Akhirat itu, kalian akan melihat
Danau Sambak Neraka. Hati-hatilah!" kata Ki Maeskarya mengingatkan.
"Terima kasih atas petunjukmu, Ki," kata
Sarawendo. Kemudian setelah menjura kepada kedua petani yang telah memberi petunjuk dan
peringatan, Dewa Dewi Paras Elok segera melesat cepat menuju ke Lembah Akherat
tempat Danau Sambak Neraka berada.
"Hah"!" Ki Maeskarya terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala melihat gerakan
mereka. "Dilihat dari gerakan, pakaian dan senjata yang disandang mereka, tampaknya
kedua orang itu pendekar, Ki," gumam Ki Wadul seraya menggeleng-gelengkan
kepala. "Ya!" desah Ki Maeskarya. "Tapi aku belum yakin, apakah mereka akan selamat di
Danau Sambak Neraka."
Sesaat keduanya terdiam. Mata keduanya mata memperhatikan kedua sejoli yang
berlari begitu cepat menuju ke arah Lembah Akherat yang bagi mereka sangat
mengerikan. Nampaknya kedua pendekar itu menggunakan ilmu peringan tubuh yang
cukup tinggi, sehingga dalam sekejap saja keduanya telah berada jauh sekali.
Bahkan sesaat kemudian telah sampai di Lembah Akherat. Keduanya segera mencabut
pedang dari warangka masing-masing.
Sret! Sret! "Kita telah sampai, Dinda. Mungkin inilah yang dinamakan Danau Sambak Neraka.
Dan pulau yang menyala itu, tentu Pulau Karang Api. Kabarnya pulau itu dihuni
bocah sakti itu," ujar Sarawendo.
"Ya! Kita harus hati-hati, Kakang," sahut Saraswati.
Dewa-Dewi Paras Elok kini melangkah perlahan.
Setapak demi setapak kaki mereka melangkah, meyusuri Lembah Akherat yang sepi
dan mencekam. Meski lembah itu terang karena tak ada pepohonan, namun jika ingat akan kematian
mengerikan sepuluh resi dari Kuil Merak, mau tak mau Dewa-Dewi Paras elok harus
waspada. Baru beberapa langkah kaki mereka maju, tiba-tiba angin bertiup dengan kencang
laksana membadai. Angin itu menuju ke arah mereka, berusaha
menerbangkan tubuh keduanya.
"Awas, Dinda! Ini serangan pertama..!" seru Sarawendo mengingatkan Istrinya.
"Kita satukan pedang kita dengan aji 'Sirep Buana'. Heaaa...!"
"Mari Kakang! Heaaa...!
Trang! Dengan menyilangkan kedua pedang, keduanya berusaha menahan serangan dahsyat
berupa angin yang tiba-tiba berhembus kencang itu. Dari kedua pedang yang
menyilang, keluar sinar pelangi bergulung-gulung dan membesar. Sinar pelangi itu
seketika mendesak angin yang membadai dahsyat itu.
"Heaaa...!"
Wusss! Angin yang membadai seketika lenyap dengan sendirinya. Sedangkan sinar pelangi
itu tampak masih bergulung-gulung di udara tak tentu arah.
"Arahkan ke Pulau Karang Api itu, Kakang!" ajak Saraswati.
"Bagaimana kalau sinar itu membunuh bocah yang kita cari?" tanya Sarawendo.
Saraswati terdiam. Apa yang dikatakan suaminya memang beralasan. Mereka datang
ke tempat itu semata-mata untuk membuktikan kebenaran ucapan para tokoh
persilatan, juga berita sayembara Sumantri.
Setelah mendapatkan serangan pertama, mereka merasa yakin kalau apa yang
diceritakan Sumantri tentu ada benarnya.
"Kita tarik saja dulu, Dinda."
"Baiklah," sahut Saraswati.
Baru saja keduanya hendak menarik mundur
serangannya, tiba-tiba serangkum sinar melesat
cepat ke arah mereka. Secepat itu pula, mereka merasa hembusan hawa panas
membakar tubuh.
Mereka berusaha sekuat tenaga mempertahankan diri, tapi tiba-tiba serangkum
sinar itu bergerak menyambar ke dada mereka dengan cepat.
Slats...! Cras! Cras! "Aaa...!"
Tubuh Dewa-Dewi Paras Elok terjungkal dengan dada tergores penuh luka. Puluhan
jarum beracun menancap di dada mereka. Tanpa ampun, mereka langsung meregang
nyawa dan mati!
Lembah Akherat kembali sepi. Hanya serangkum sinar membara yang bergerak seperti
cambuk itu yang masih melesat cepat ke arah Pulau Karang Api, kemudian
menghilang di sana.
*** 4 Siang itu udara terasa sangat panas. Langit bersih tanpa awan. Terik matahari
terasa menyengat.
Beruntung sesekali angin bertiup semilir, membuat suasana agak terasa sejuk.
Apalagi jika berada di bawah pohon yang rindang. Mata akan terasa ngantuk.
Hutan Kawi-kawi yang berada di sebelah barat Pegunungan Punakawan juga tertimpa
teriknya mentari siang itu. Sebatang pohon beringin yang sangat rindang, tumbuh
di tepi Hutan Kawi-kawi. Di bawah pohon beringin itu, duduk seorang pemuda
tampan, berpakaian rompi kulit ular.
Pemuda tampan yang tidak lain Pendekar Gila, siang itu tampaknya tengah
menikmati semilirnya angin yang sejuk sambil menyuarakan tiupan merdu Suling
Naga Sakti. Mendendangkan lagu-lagu pujaan pada alam yang ada di sekitarnya.
Semilir angin terus mengimbangi suasana teriknya mentari yang semakin
menggarang. Sementara itu dari dalam hutan, tampak berkelebat sesosok bayangan
merah berlari dengan cepat. Bayangan merah itu melintas sekitar dua batang
tombak jauhnya di sebelah kiri Sena. Seketika sosok bayangan merah itu berhenti
ketika matanya melihat Sena tengah duduk sambil meniup sulingnya.
Bayangan merah itu tak lain Serigala Merah. Lelaki berbadan tinggi tegap dengan
senjata sepasang golok besar itu mengerutkan kening dan menghampiri
Pendekar Gila. "O, rupanya kita bertemu lagi, Sena. Apa kabar?"
sapanya ramah sambil melangkah mendekat. Setelah dekat, Serigala Merah menjura
hormat. Sena yang tengah meniup sulingnya, segera menghentikan tiupannya, ketika melihat
Serigala Merah menjura. Dia segera bangun dari duduknya, kemudian balas menjura
pada Serigala Merah.
"Aha, ada apa gerangan sampai kau berlari-lari seperti itu, Serigala Merah?"
tanya Sena sambil menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya.
Serigala Merah tidak segera menjawab. Keningnya berkerut dan matanya menatap
heran pada Pendekar Gila.
"Apakah kau belum mendengar tentang
sayembara berhadiah besar, Sena?"
"Ah ah ah...! Rupanya ada sayembara lagi," gumam Sena sambil nyengir dan
menggaruk-garuk kepala.
"Benar. Kali ini hadiahnya sangat menarik, Sena."
"Benarkah?"
"Ya!" sahut Serigala Merah.
"Aha, kalau boleh aku tahu, hadiah macam apakah yang dijanjikan" Dan sayembara
macam apa yang tengah dilaksanakan itu?" tanya Sena sambil cengengesan.
Pandangannya menyapu ke sekeliling pinggiran hutan. Sebentar kemudian mendongak
ke langit, yang nampak biru dan bersih tak bernoda.
Dari arah utara, nampak sekawanan burung
pemakan bangkai berkaok keras membelah angkasa bim. Burung-burung itu terbang
mengepakkan sayapnya ke selatan, sepertinya di sana ada makanan yang sangat
memuaskan. "Kau tertarik, Sena?" Serigala Merah balik tanya.
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian dengan cengengesan kepalanya
mengangguk, walau sebenarnya bukan karena hadiah yang inginkan. Dia hanya ingin
tahu sayembara macam apa yang diceritakan Serigala Merah.
"Ah, dari tadi tidak kulihat Bidadari Pencabut Nyawa. Ke manakah...?" tanya
Serigala Merah.
Matanya mencari-cari ke sekeliling tempat itu, tapi dia tidak juga menemukan Mei
Lie. "Bukankah Bidadari Pencabut Nyawa selalu bersamamu, Pendekar Gila?"
Sena tertawa terbahak-bahak. Tingkah laku yang seperti kera kembali muncul.
Berjingkrak sambil menggaruk kepala dan menepuk-nepuk pantat
"Aha, rupanya pandanganmu cermat sekali, Srigala Merah!" ujarnya bergumam. "Dia
memang tidak ikut"
"Hm, kenapa" Apakah dia sakit?" tanya Serigala Merah.
"Ah, tidak. Aku ingin berjalan seorang diri sepertimu. Oh, mengapa pembicaraan
kita jadi melantur, Serigala Merah?" sahut Sena.
"Ah, benar. Apa yang tadi kau tanyakan padaku...?"
tanya Serigala Merah.
"Mengenai sayembara dan hadiahnya," jawab Pendekar Gila. "Ah, mengapa kau jadi
pikun begitu Serigala Merah" Hi hi hi...! Lucu, kau lebih tepat menjadi Serigala
Pikun dan Tua."
Serigala Merah yang sudah tahu tabiat dan watak Pendekar Gila malah tertawa
mendengar ejekan Pendekar Gila barusan.
"Ya ya, kau benar, Sena. Memang lebih pantas kalau julukanku Serigala Tua Pikun.
Ha ha ha...!"
Seketika tepian Hutan Kawi-kawi yang semula sepi menjadi riuh oleh suara gelak
tawa dari keduanya.
Sampai-sampai burung yang sedang bertengger di ranting-ranting pohon
beterbangan, karena kaget.
"Ah, jangan terlalu bertele-tele, Serigala Tua! Hi hi hi...! Ayo, katakanlah
sayembara macam apa dan apa hadiahnya?" tanya Pendekar Gila setelah tawanya
berhenti. Serigala Merah tersenyum. Kemudian segera menceritakan semua yang didengar dan
dibacanya pada selebaran yang dipasang di beberapa tempat.
Selebaran yang dikeluarkan oleh Saudagar Sumantri itu berisikan tentang
sayembara besar dengan hadiah yang sangat menggiurkan.
"Saudagar Sumantri menawarkan pada semua
pendekar baik dari aliran putih maupun hitam hadiah yang cukup besar. Dia
memberikan separo harta kekayaannya jika ada yang bisa mendapatkan bocah sakti
yang ada di Pulau Karang Api," tutur Serigala Merah mengakhiri ceritanya.
"Aha, sebuah berita yang menarik!" seru Sena.
"Kau tertarik, Sena?"
"Tertarik! Ah... ya ya! Aku tertarik. Tapi aku tidak suka dengan hadiahnya. Aku
hanya tertarik ingin tahu kebenaran berita tentang bocah sakti itu," jawab Sena.
"Bagaimana kalau kita ke sana?" ajak Serigala Merah.
Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti
merasakan sesuatu.
"Ah, kurasa aku belum ingin ke sana, Serigala Merah. Kalau kau ingin ke sana,
berangkatlah! Nanti jika aku telah berpikir ke sana, aku akan segera menyusulmu.
Di mana kau berada nanti?" tanya Sena
"Entah. Tapi mungkin aku akan berada di daerah terdekat dengan tempat bocah
sakti itu berada."
Setelah saling menjura, Serigala Merah segera meninggalkan tepian Hutan Kawi-
kawi, berlari ke arah
tenggara menuju tempat yang tadi dikatakannya.
Pendekar Gila nampak masih berdiri di bawah pohon beringin yang rindang.
Wajahnya nampak nyengir, memandang ke angkasa. Matahari bersinar dengan
teriknya, seperti hendak memanggang bumi.
"Aha, mengapa aku diam di sini?" gumam Sena mengalihkan pandangannya ke selatan.
Di sana tampak Gunung Petruk menjulang tinggi. Sena masih pikir-pikir, hendak ke
arah manakah kakinya berjalan.
Apakah hendak berjalan ke arah tenggara menyusul Serigala Merah" Atau hendak ke
selatan, ke Gunung Petruk"
Belum juga Sena sempat menentukan tujuan
nampak dari arah barat tiga orang lelaki berjalan menuju arahnya. Tiga lelaki
berpakaian kuning itu tampak berjalan tergesa-gesa. Sepertinya ada sesuatu yang
mendorong mereka mempercepat langkah.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, melihat ketiga lelaki berpakaian kuning
itu. Apalagi ketika tahu kalau ketiga lelaki itu berasal dari perkumpulan orang-
orang sesat. "Hm, ada apa kiranya" Nampaknya Tri Pakit Palimping juga hendak menuju ke arah
yang tadi dituju Serigala Merah," gumam Sena.
Apa yang diduganya benar juga. Tri Pakit
Palimpingkini dengan terburu-buru dan mempercepat langkah kaki mereka setelah
melihat Pendekar Gila berjalan menuju arah tenggara. Ketiga lelaki berpakaian
kuning itu tampak segan jika bertemu dengan Pendekear Gila. Itu sebabnya mereka
bergegas meninggalkan tempat itu dengan setengah berlari.
Sena tertawa-tawa menyaksikan ketiganya yang
tampak segan padanya. Kepalanya digeleng-
gelengkan dengan bibir masih tersenyum-senyum.
"Sebaiknya aku ke sana, agar bisa melihat apa yang terjadi...," kata Sena.
Kemudian dia pun melangkah meninggalkan tempat itu, menuju arah tenggara
menyusul Serigala Merah dan Tri Pakit Palimping.
Angin siang berhembus perlahan, menambah rasa kantuk semakin menyekat. Gemerisik
daun kering terdengar, ketika angin bertiup. Daun-daun kering itu beterbangan,
dihembus angin yang cukup kencang.
Kegagalan Dewa-Dewi Paras Elok akhirnya
terdengar. Keduanya dikabarkan telah binasa di Lembah Akherat. Hal itu cukup
mengejutkan para pendekar yang hendak menuju ke lembah tersebut.
Mereka kini berpikir lagi. Sepertinya mereka tidak ingin mengalami nasib yang
dialami Dewa-Dewi Paras Elok.
Di sebuah kedai yang terletak di sebelah barat Desa Kalimas, nampak berkumpul
para pendekar, baik dari aliran lurus maupun sesat. Kedai itu cukup besar,
sekitar sepuluh tombak di samping kedai itu, ada sebuah penginapan yang cukup
luas. Sehingga bagi mereka yang hendak menginap, tinggal berjalan beberapa
langkah saja. Beberapa orang pendekar pun telah berada di penginapan itu.
Di kedai itu, nampak Serigala Merah, Tujuh Iblis dari Sarang Hantu, Nyi Rawit
Abang dan Ki Braga Kumba, Tri Pakit Palimping, serta pendekar-pendekar lainnya.
"Kurasa pekerjaan ini tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri," kata Serigala
Merah. "Memang benar," sahut Nyi Rawit Abang. "Kurasa kita harus bersatu untuk
mendapatkan Bocah Sakti
itu." "Tidak bisa!" bantah lelaki berbadan besar dengan kepala botak di atasnya. Dia
salah seorang dari Tiga Pakit Palimping. "Kami bertiga, mengapa harus takut
menghadapi Penghuni Pulau Karang Api?"
"Aha, benar juga katamu, Kisanak. Kami bertujuh mengapa mesti takut pada
penghuni Pulau Karang Api?" timpal lelaki tinggi tegap berpakaian merah. Dia
adalah salah satu anggota Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. Ketujuh tokoh sesat itu


Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang memakai pakaian berbeda.
Orang pertama yang tadi berbicara bernama Sadra. Berbadan tegap dengan wajah
bengis dihiasi cambang bauk lebat. Rambutnya ikal, tapi tidak terlalu panjang.
Hidungnya besar dengan mata lebar.
Orang kedua yang memakai pakaian merah muda bernama Saka Gulu. Tubuhnya tinggi,
gagah, dan tegap, hidungnya kecil, namun tidak mancung.
Rambutnya lurus dengan ikat kepala merah muda.
Begitu juga dengan yang lainnya, memiliki ciri tersendiri dengan keadaan yang
lain. Namun watak mereka sesuai dengan julukan itu, seperti iblis yang datang
dari sarang hantu.
Serigala Merah mendengus, begitu juga dengan Ki Rawit Abang serta Ki Braga
Kumba. Kemudian setelah membayar semua yang dia pesan, Serigala Merah pun
meninggalkan kedai untuk meneruskan perjalanannya menuju Lembah Akherat yang
sudah tak begitu jauh dari Desa Kalimas.
Panas matahari memanggang bumi, namun
Serigala Merah bagaikan tidak menghiraukannya.
Kakinya terus melangkah di jalan berdebu yang menghubungkan Desa Kalimas dengan
Lembah Akherat. "Huh! Jauh juga jarak Desa Kalimas dengan Lembah Akherat," dengus Serigala Merah
sambil menyeka keringat yang bercucuran karena terik matahari yang menyengat.
Serigala Merah sesaat menghentikan langkahnya.
Matanya menatap ke sekelilingnya yang sepi. Hanya hamparan tanah kering berpasir
yang tampak sesekali terhembus angin, hingga debu pun mengepul ke udara.
"Hm, mengapa aku harus lewat dari arah sini?"
keluh Serigala Merah, merasa bahwa jalan yang dilaluinya ternyata salah. Kini
dia harus mengarungi hamparan pasir yang sangat panas, apalagi dengan teriknya
matahari siang.
Beberapa kali disekanya keringat yang terus mengalir di dahi, leher dan
wajahnya, sambil terus melanjutkan langkahnya. Serigala Merah tak ingin putus
asa dengan apa yang sedang dilakukannya. Dia harus mendapatkan kemenangan dalam
sayembara itu. Terbayang dalam angannya, dia menjadi orang kaya.
"Seandainya aku dapat memenangkan sayembara itu, aku akan menjadi orang kaya.
Hhh..., akan kubangun rumah yang megah untuk hidupku yang telah lelah ini. Akan
kucari istri yang cantik lalu aku dapat hidup tenang...," ujar Serigala Merah
saja terus membayangkan dirinya menjadi orang kaya setelah memenangkan
sayembara. Serigala Merah memang telah merasa jenuh hidup mengembara menjadi pendekar. Tak
pernah ada urusan duniawi yang dipikirkannya. Kini dia berhasrat sekali dapat
menikmati sisa hidupnya dalam ketenangan jiwa. Dia ingin hidup berkeluarga,
dapat bersanding bersama istri yang cantik, dengan rumah
yang megah dan mewah.
"Persetan dengan apa yang akan dikatakan
pendekar lain dan orang-orang rimba persilatan,"
gumam Serigala Merah yang merasa selama ini pengembaraannya tak ada artinya.
Pertarungan demi pertarungan telah dialami. Itu pula yang menyebab-kan dirinya
merasa jemu dengan pengembaraan. Dia ingin menikmati sisa hidupnya dengan tenang
dan berkecukupan. Dan itu pula yang menjadikan dia selama ini senantiasa
berusaha mencari sayembara (Mengenai Serigala Merah, silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode "Tengkorak Darah").
Bayangan dapat hidup tenang sebagai orang kaya itulah yang seketika memacu
semangatnya. Semula hatinya mulai lemah dan hampir putus asa akibat rasa panas
yang menyengat. Kini kembali bergairah.
Langkah-langkahnya yang tadi pendek, kini panjang-panjang dan lebih cepat.
Hatinya berharap segera sampai di tempat tujuan, agar bisa mendapatkan apa yang
dibayangkan. "Ha ha ha! Serigala Merah akan menjadi orang kaya...!" seru Serigala Merah
sambil tertawa-tawa.
Kakinya terus melangkah penuh semangat,
menyelusuri jalanan berpasir yang panasnya terasa sangat menyengat. Namun
Serigala Merah tidak peduli, terus melangkah tanpa mengenal lelah.
Ketika matahari agak condong ke arah barat, Serigala Merah sampai di tempat yang
dituju. Lembah Akherat yang membentang luas telah ada di hadapannya.
"Ah, akhirnya aku sampai juga ke tempat yang kutuju. Hm, tentunya danau itulah
yang dimaksud Danau Sambak Neraka...," gumam Serigala Merah berbicara pada diri
sendiri. Serigala Merah kembali melangkah dengan penuh semangat, berusaha mencapai Danau
Sambak Neraka. Namun tiba-tiba matanya terbelalak ketika melihat dua ekor naga berwarna
merah. Naga itu secara tiba-tiba muncul di permukaan danau. Tampak matanya merah
laksana api yang membara.
"Ghrrrmh...! Ghrrrmh...!"
Suara menggelegar terdengar dari mulut kedua naga berwarna merah itu.
"Hah"! Tidak salahkah penglihatanku"!" tanya Serigala Merah dengan mata
membelalak, menyaksikan pemandangan yang sangat mengejutkan. Dua ekor naga
berwarna merah membara laksana
diselimuti api. Kini naga itu memandang ke arahnya dengan tajam.
"Ghrrrrrh...! Ghrrrrrrh...!''
Kedua naga itu menggeliat-geliat seperti
menampakkan kemarahan. Kepalanya bergerak ke sana ke mari seperti berusaha
mengusir Serigala Merah dari tempat itu. Dari mulutnya menyembur api yang terasa
sangat panas. "Ghrrrmh...!"
Slarts...! "Hah"! Ular setan...!" maki Serigala Merah sambil melompat mengelakkan hantaman
sinar yang keluar dari kedua naga itu.
Blarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar seketika terdengar, ketika sinar merah yang keluar
dari mulut kedua naga itu menghantam tanah berpasir. Seketika pasir berhamburan,
membubung tinggi sampai sekitar lima puluh tombak tingginya.
"Astaga...! Sinar itu bukan sembarangan!" gumam Serigala Merah dengan mata
membelalak. Tangannya
yang semula bersidekap segera menarik sepasang golok, kemudian dengan cepat
disilangkan di depan dada ketika sinar merah kembali melesat dari mulut kedua
naga itu. "Ghrrrmh...!"
Slarts! Slarts!
Dua larik sinar merah menyembur dari mulut naga yang tampak murka itu.
"Heaaa...!"
Wut! Trang...! Terdengar suara benturan yang sangat keras, diikuti oleh pekikan kaget Serigala
Merah. Sinar merah yang meluncur cepat ke arahnya membentur goloknya.
"Akh...!"
Serigala Merah segera melepas goloknya yang membara merah bagai terbakar api.
Seketika tangannya dirasakan begitu panas, bahkan seperti melepuh.
Rasa panas itu juga dirasakan di seluruh tubuhnya.
"Edan! Binatang sinting!" maki Serigala Merah dengan mata melotot garang.
"Kalian harus kuhajar Heaaat...!"
Serigala Merah segera mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi. Kemudian disilangkan di atas kepala dengan telapak
tangan membuka. Setelah itu, kedua tangannya ditarik seraya menyedot napas dalam
dalam. Lalu....
"'Brajamukti'! Heaaa...!"
Dengan mengeluarkan suara keras, Serigala Merah segera menghantamkan pukulan
saktinya yang bernama 'Brajamukti'. Kedua telapak tangannya menghentak keras ke
arah kedua naga yang tampak masih bergerak-gerak di tengah Danau Sambak Neraka.
Wut...! Putaran api yang bergerigi-gerigi melesat dari pukulan dahsyat Serigala Merah.
Putaran api itu melesat ke arah kedua naga merah. Tampaknya kedua naga itu
mengerti. Sebelum kedua gulungan sinar itu mengenai tubuh mereka, seketika kedua
binatang itu menyelam ke dalam air. Hal itu menjadikan sinar merah bergulung
melesat ke Pulau Karang Api, membentur bagian pulau itu.
Glarrr...! Sisi sebelah timur Pulau Karang Api runtuh, terkena hantaman aji 'Brajamukti'
yang dilancarkan Serigala Merah. Hal itu membuat penghuni Pulau Karang Api yang
belum diketahui siapa adanya, marah dan dengan gusar terdengar suaranya
membentak. "Kurang ajar! Ada manusia yang mencari mati rupanya! Terimalah kematianmu...!"
Sesaat setelah ucapan itu selesai, dari Pulau Karang Api berhembus angin
bergulung-gulung ke arah Serigala Merah. Lelaki berpakaian merah itu tersentak
kaget. Baru kali ini dilihatnya sesuatu yang mengerikkan. Angin membadai itu,
tiba-tiba datang dari balik Pulau Karang Api.
'"Inti Bayu'...!" pekik Serigala Merah ketika mengenali ilmu yang kini mengarah
ke arahnya. "Hei"! Bukankah itu ilmu Pendekar Gila?"
Serigala Merah tertegun tak mengerti dengan semua kejadian di tempat itu.
Hatinya benar-benar heran, mengapa ajian 'Inti Bayu' milik Pendekar Gila kini
datang dari Pulau Karang Api.
Wusss...! "Heaaa...!"
Dengan teriakan keras, Serigala Merah bersalto
mengelakkan serangan yang dilancarkan oleh entah siapa berupa angin membadai.
"Tidak mungkin! Ilmu ini milik Pendekar Gila,"
gumamnya terheran-heran.
Merasa serangan pertama gagal, sesuatu yang berada di balik Pulau Karang Api
kembali melakukan serangan dengan ajian lainnya Serigala Merah kembali terkejut.
Ajian yang kini keluar dan menyerangnya merupakan ajian yang dahsyat dan
dikenalnya pula.
"Inti Brahma'..."!" Serigala Merah terpekik kaget, setelah tahu pukulan yang
kini menyerangnya. Tubuhnya dirasa sangat panas bagaikan dipanggang di bara api
yang membara. "Pendekar Gila yang menyerangku?"
Serigala Merah berusaha bertahan dari serangan hawa panas yang menyengat. Hawa
panas itu ditimbulkan oleh pukulan 'Inti Brahma' yang entah siapa pelakunya.
Serigala Merah menyangka kalau Pendekar Gila pelaku semuanya.
"Tobat, Sena! Jangan kau lakukan ini...!" ratap Serigala Merah merasakan siksaan
yang tak ter-bendung. Tubuhnya bagaikan dipanggang di atas bara api yang
membara. Terasa begitu panas, melebihi panas matahari yang siang tadi
memanggangnya. Malah jauh lebih panas. Sampai-sampai tubuhnya terasa mulai
melepuh. Belum juga hawa panas itu menghilang, seketika dari balik Pulau Karang Api
melesat selarik sinar laksana cambuk meluncur ke arah Serigala Merah.
Wuuut...! Clat! "Tobaaat...!" Serigala Merah melolong tinggi.
Tubuhnya sesaat mengejang, kemudian ambruk
dengan tubuh gosong. Di dadanya terdapat luka-luka bagai digores pedang. Puluhan
jarum beracun menancap di wajah dan dadanya. Sungguh tragis kematian Serigala
Merah. Harapannya untuk menjadi orang kaya melayang bersama nyawanya.
Senja yang cerah tampak begitu indah menyelimuti suasana di sekitar Danau Sambak
Neraka. Suasana itu sangat berbeda dengan keadaan nasib yang diterima Serigala
Merah. Baru saja benaknya di-penuhi angan-angan menjadi orang kaya, sorenya
tewas mengenaskan di Lembah Akherat. Matahari seperti tidak menghiraukan
kejadian itu, terus menyusup di dua gumpalan awan putih di sebelah barat. Senja
pun semakin tua mengantar kepergian nyawa Serigala Merah.
*** 5 "Bagaimana kabar para pendekar yang mengikuti sayembaraku...?" tanya Sumantri
pada keempat anak buahnya yang saat itu tengah menghadapnya.
"Nampaknya mereka mengalami kesulitan, Tuan,"
jawab Jalna Kumilang.
"Hm...," gumam Sumantri tak jelas.
Nampaknya lelaki berusia tiga puluh lima tahun ini merasa prihatin mendengar
kegagalan para pendekar yang mengikuti sayembaranya. Pikirannya semakin
bertanya-tanya, siapa sebenarnya bocah bersisik dan penghuni Pulau Karang Api
yang berada di tengah Danau Sambak Neraka.
"Kabar terakhir yang kami dengar, Tri Pakit Palimping juga didapatkan telah
tewas dengan keadaan yang sama dengan korban-korban sebelum-nya," sambung
Sugatra sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Sepertinya, mereka mati oleh cambuk berapi dan puluhan jarum-jarum beracun,"
tambah Sugatri.
Sumantri menghela napas panjang, mendengar penuturan tangan kanannya. Dia
semakin tidak habis pikir, siapa sebenarnya bocah bertubuh penuh sisik dan juga
siapa penghuni Pulau Karang Api yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu"
"Apakah belum ada yang mampu menundukkan
penghuni Pulau Karang Api...?" tanya Sumantri.
"Kami rasa belum, Tuan," jawab Jalna Kumilang.
"Hm...," gumam Sumantri sambil bertopang dagu
dengan jari-jari tangan kanannya. Matanya memandang lepas ke pintu rumahnya. Di
sana empat orang penjaga lengkap dengan senjata tombak berada.
Sumantri berdiri dari duduknya, kemudian
melangkah menuju ke pintu. Dihelanya napas panjang-panjang, kemudian dengan
tubuh mem-belakangi keempat anak buahnya dia mendesah gelisah.
"Selama ini, aku belum juga mengerti. Ke mana hilangnya Anjasmara dan Sambi"
Mereka bagaikan ditelan bumi," gumam Sumantri lirih. Kemudian perlahan
membalikkan tubuh, memandang keempat anak buahnya.
"Apa Tuan yakin mereka masih hidup?" tanya Iblis Selendang Ungu.
"Entahlah. Mungkin mereka masih hidup,"
Sumantri menarik napas dalam-dalam. Sesaat ucapannya berhenti. "Menurut cerita,
siapa pun yang datang ke Lembah Akherat, akan mati. Aneh, kalau mati mengapa tak
ada bangkainya...?"
Keempat anak buah juragan kaya itu terdiam.
Mereka tampaknya turut berpikir mengenai pendapat Sumantri. Memang rasanya aneh
kalau orang mati selama puluhan tahun belum juga ditemukan kerangkanya.
"Apakah tidak mungkin mereka memiliki ilmu menghilang?" tanya Iblis Selendang
Ungu memecah kesunyian.
"Ilmu menghilang" Dari mana mereka mendapatkannya" Guru kami tak pernah
mengajari ilmu itu.
Lagi pula, ilmu itu hanya berguna sebentar. Tidak ada orang yang menggunakan
ilmu menghilang sampai puluhan tahun?" tanya Sumantri sambil tersenyum
kecut. Kembali semuanya terdiam, tak ada yang dapat menjawab kemisteriusan semua
perisriwa yang terjadi. Baik penghuni Pulau Karang Api, maupun lenyapnya suami
istri Anjasmara dan Sambi yang belum diketahui bagaimana nasib mereka
sebenarnya. "Coba kalian pikir!" tiba-tiba Sumantri angkat bicara setelah lama terdiam. Hal
itu membuat keempat anak buahnya tersentak. "Aku punya pendapat mungkin bocah
itu anak Anjasmara dan Sambi."
Seketika keempat anak buahnya tersentak kaget.
Mata mereka terbelalak mendengar penuturan Sumantri. Kemudian keempatnya saling
berpandangan. "Bagaimana mungkin, Tuan?" Tanya Jalna
Kumilang merasa heran dan tak mengerti.
"Ya! Bagaimana mungkin manusia bisa punya turunan bocah ular?" sambung Sugatra.
Sumantri tersenyum kecut.
"Aku baru ingat sekarang. Mereka pasti mendapat kutuk penghuni Pulau Karang Api.
Puluhan tahun lamanya, tak seorang manusia pun yang berani ke tempat itu. Tiba-
tiba muncul sepasang suami istri, kedua adik seperguruanku itu," jawab Sumantri,
yang semakin menyentakkan semua anak buahnya. Kini mereka baru tahu, kalau Pulau
Karang Api bukanlah pulau sembarangan.
"Jadi, siapa pun yang ke Lembah Akherat akan mengalami kematian. Begitu...?"
tanya Jalna Kumilang menegaskan maksud Sumantri.
"Benar! Mereka telah menjadi mangsa penunggu danau keramat itu!" sahut Sumantri.
"Lalu mengapa Tuan membuat sayembara?"
"Hua ha ha...! Kau cerdas juga, Jalna. Sebenarnya aku ingin menjadi orang yang
paling sakti dan nomor satu di rimba persilatan. Di samping itu, aku ingin
meyakinkan kalau Anjasmara dan Sambi telah tewas.
Sejak aku pergi ke Lembah Akherat, aku sudah menduga bahwa tak ada seorang pun
yang sanggup datang ke tempat itu...."
"Ada...!"


Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba dari luar terdengar sahutan keras, diikuti oleh tawa menggelegar yang
disertai pengerahan tenaga dalam. Tidak begitu lama kemudian, berkelebat masuk
sesosok tubuh pemuda tampan berambut gondrong dengan ikat kepala terbuat dari
kulit ular. Tingkah laku pemuda itu seperti orang gila, cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Baik Sumantri maupun keempat anak buahnya tersentak
kaget bukan kepalang.
"He he he...! Mengapa mesti berputus asa" Tidak baik manusia cepat putus asa,"
ujar pemuda tampan yang ternyata Pendekar Gila.
Sumantri dan keempat anak buahnya mengerutkan kening, menyaksikan tingkah laku
pemuda yang baru datang itu. Tingkah lakunya persis orang gila.
"Siapakah kau, Kisanak?" tanya Sumantri.
"Aha, lucu sekali. Mengapa mesti bertanya siapa diriku" Yang pasti, aku akan ke
Lembah Akherat yang kau katakan tadi, Ki."
"Jadi kau ingin mengikuti sayembara?" tanya Sumantri.
"Sayembara..." Ha ha ha...! Lucu sekali omonganmu. Kurasa aku tidak ikut
sayembaramu,"
jawab Sena seenaknya, membuat semua orang yang ada di tempat itu semakin
mengerutkan keningnya.
Agak marah juga mereka mendengar perkataan Sena dan tingkah lakunya yang persis
orang gila. "Bocah edan! Kalau tidak ikut sayembara, untuk apa kau datang kemari"!" bentak
Sumantri gusar.
"Aha, mengapa mesti marah" Tidak bolehkah aku ikut ngobrol bersama kalian?"
tanya Sena masih dengan ucapan seenaknya. Kemudian dengan acuh kakinya melangkah
ke kursi yang tadi diduduki Sumantri, dan langsung duduk di sana.
"Bocah edan! Jangan sembarangan kau di sini. Ini bukan tempat nenek moyangmu!
Pergi dari sini!"
dengus Jalna Kumilang seraya menyambarkan tangannya ke kepala Pendekar Gila.
Wut! "Uts! Galak sekali kau, Ki! Eh, meleset! He he...!"
ujar Sena sambil merundukkan kepala sehingga serangan lelaki setengah baya itu
melesat beberapa jari di atas kepalanya.
Merasa serangannya gagal, Jalna Kumilang bertambah marah. Dia hendak kembali
menyerang, tapi....
"Tunggu....!" ujar Sumantri, mencegah tindakan Jalna Kumilang.
"Tuan, biar kuhajar bocah gila ini!" dengus Jalna Kumilang marah dan malu,
karena serangannya yang menjadi andalan jurus silatnya dengan mudah dielakkan
lawan. "Sabar, Ki," kata Sumantri seraya melangkah mendekati Sena. "Anak muda,
katakan... siapa sebenarnya dirimu! Lalu, apa perlumu datang ke tempat ini tanpa
permisi?" "Permisi" Ha ha ha...! Untuk apa permisi" Kalian saja kalau berbuat sesuatu
tanpa permisi. Lucu sekali..."
Semakin bertambah berang saja keempat anak buah Sumantri mendengar ucapan pemuda
yang konyol itu. Mata mereka membelalak penuh amarah.
"Bocah edan ini memang harus dihajar, Tuan!"
kata Sugatra yang nampaknya sudah muak dengan tingkah laku Pendekar Gila yang
konyol. "Sabar, Sugatra!" cegah Sumantri. "Anak muda, apa maksud kata-katamu?" tanyanya
pada Sena. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, masih juga kalian lupa" Kalian telah mengadakan sayembara tanpa mengundang
orang-orang persilatan untuk berembuk. Juga kalian tidak mengundang pihak
Kadipaten Lumajang dan
Kerajaan Pahulu."
Terbelalak mata Sumantri dan keempat anak buahnya. Mereka semakin bertambah
marah dan begitu tersinggung dengan ucapan pemuda yang bertingkah laku gila itu.
"Bocah gila! Apa urusanmu?" bentak Sumantri yang semakin gusar. "Kalau kau mau
ikut sayembaraku, tak perlu banyak tanya. Ikuti saja! Kalau kau menang, dan
dapat mengambil bocah bersisik ular, kau akan kuberi hadiah separo hartaku!"
"Aha, tawaran yang sangat menggiurkan. Hm....
Baiklah. Aku hendak mengikuti sayembaramu. Nah, kini katakan, ke mana aku harus
pergi agar sampai di tempat yang kau maksudkan," kata Sena sambil masih
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Berjalanlah lurus ke arah selatan. Kira-kira setengah hari perjalanan, kau akan
sampai," kata Sumantri menjelaskan, berusaha menahan amarah atas tingkah laku
pemuda yang seperti orang gila itu.
"Aha, terima kasih. Sediakan hadiahnya, aku akan
segera kembali kemari!" ujar Sena seenaknya.
Tentu saja tingkah pemuda itu membuat kaget keempat anak buah Sumantri. Mata
mereka langsung melotot. Namun Sumantri segera mengangkat tangan memerintah agar
mereka tidak keburu nafsu.
Kemudian didekatinya Jalna Kumilang sambil berbisik.
"Biarkan saja pemuda edan ini mati di sana.
Bukankah dengan begitu kita tidak perlu turun tangan?"
Sumantri tertawa terbahak-bahak. Begitu juga Jalna Kumilang dan lainnya setelah
mendengar bisikan Sumantri. Pendekar Gila yang diam-diam mendengar bisikan
Sumantri, turut tertawa tergelak-gelak. Hal itu membuat semuanya tersentak dan
diam. Mereka tidak menyangka kalau Pendekar Gila mendengar bisik-bisik mereka.
Pendengaran Sena yang sudah terlatih tajam dan dengan ilmu 'Penajam Rungu'nya
tentu saja dapat mendengar suara sekecil apa pun jika menggunakan ilmu itu.
"Kenapa diam" Ha ha ha...! Enak sekali tertawa di malam hari begini, Kisanak.
Ayo, kita tertawa, ha ha...!" kata Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Bahkan kini berjingkrak-jingkrak tidak ubahnya seperti seekor kera yang
kegirangan. Kelima orang yang ada di tempat itu semakin membelalakkan mata, menyaksikan
tingkah laku Pendekar Gila yang semakin menjadi-jadi kekonyolan-nya.
"Aha, kenapa kalian seperti patung" Hi hi hi...!
Ayolah, kita senang-senang merayakan kemenangan-ku!" katanya dengan tingkah laku
konyol. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak masih seperti seekor monyet
*** Melihat kelima lelaki itu masih terdiam, tawa Pendekar Gila semakin keras dan
tergelak-gelak.
Tingkah lakunya semakin bertambah konyol, dianggapnya ruangan rumah Sumantri
sebagai arena untuk tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak.
"He he he...! Lucu sekali kalian. Jika begitu, kalian mirip dengan patung-patung
bloon. Ha ha ha...!"
"Kurang ajar!" maki Sugatra. "Bocah sinting ini tidak bisa didiamkan, Tuan!"
"Ya! Bisa-bisa kurang ajar!" tambah Sugatri.
"Hm...," Sumantri bergumam lirih. Matanya tak lepas memandangi pemuda bertingkah
gila di hadapannya yang masih berjingkrakan sambil tertawa-tawa.
Hal serupa juga dilakukan Iblis Selendang Ungu.
Gadis cantik yang sifarnya buruk itu, pandangan matanya tak lepas menatap
Pendekar Gila. Keningnya berkerut, rasa kesal dan tertarik pada ketampanan serta
tingkah laku pemuda itu beraduk menjadi satu di dadanya.
Siapakah pemuda gila ini" Tanya Iblis Selendang Ungu dalam hati. Matanya masih
menatap tajam pada Pendekar Gila yang tertawa-tawa sambil berjingkrak-jingkrak.
Tingkah lakunya, mengingatkan aku pada
pendekar yang namanya sedang menjadi bahan pembicaraan orang-orang rimba
persilatan! Gumam Suma dalam hati dengan mata tak lepas merayapi tubuh Pendekar
Gila. Mungkinkah pemuda ini orangnya"
"Hua ha ha...! Kenapa kalian masih diam"
Bukankah kalian tadi mengajakku tertawa" Hi hi
hi...!" masih terus tertawa-tawa sambil berjingkrakan.
kali tangannya menggaruk-garuk kepala, lalu menepuk-nepuk pantat.
"Anak muda, kami rasa tak ada salahnya sebelum kau mengikuti sayembaraku, kita
berkenalan lebih dulu," ujar Sumantri berusaha ramah sambil mengulurkan
tangannya ke arah Pendekar Gila.
Sena malah tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala. Dipandanginya
tangan Sumantri kemudian tatapannya merayap ke wajah saudagar kaya itu. Lalu
dengan mulut masih cengengesan, dijabatnya tangan Sumantri. Namun mendadak
Sumantri terbelalak kaget, karena jabatan tangan Pendekar Gila begitu keras dan
dialiri tenaga dalam yang amat kuat.
"Aku Sena," ujar Pendekar Gila cengengesan melihat Sumantri meringis-ringis
dengan mata membelalak. Hal itu membuat keempat anak
buahnya semakin marah.
"Bocah edan! Rupanya kau ingin menunjukkan kebolehanmu! Hadapi aku Jalna
Kumilang!" bentak Jalna Kumilang sambil bergerak menyerang Pendekar Gila yang
cengengesan. Sementara Sumantri yang meringis-ringis,
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengimbangi tenaga lawan.
"Yeaaa...!"
Dengan jurus 'Landung Sangkul' Jalna Kumila bergerak menusuk ke wajah Pendekar
Gila. "Heits! Galak sekali kau, Ki!"
Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke belakang, Pendekar Gila berhasil mengelakkan
serangan Jalna Kumilang. Kemudian dengan melepaskan tangannya dari genggaman
tangan Sumantri, Pendekar Gila
bergerak dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari, bergerak maju dengan kaki yang
terlihat pelan dan aneh. Namun ternyata mampu mengejar tubuh Jalna Kumilang.
"Heaaa...!"
Tangan Pendekar Gila bergerak menepuk ke dada lawan. Jalna Kumilang tersentak
kaget dengan mata terbelelak. Sungguh tidak disangkanya kalau tangan pemuda itu
bergerak begitu cepat. Padahal gerakan Pendekar Gila tampak pelan dan lemah
sekali. "Celaka! Jurus siluman!" pekik Jalna Kumilang dengan mata tegang, merasa
gerakannya kini mati langkah. Hampir saja tangan Pendekar Gila menghantam dada
Jalna Kumilang, ketika tiba-tiba sebuah pukulan yang keras menghadangnya.
"Heaaa..!"
Sebuah teriakan mengiringi serangan Sugatra.
Dan.... Plak! "Ugkh...!"
Sugatra mengeluh. Dirasakan tangannya kesakitan akibat benturan keras dengan
Pendekar Gila. Dia segera melompat dengan mulut menyeringai
kesakitan, memandang Sena yang tampak tengah cengengesan menggaruk-garuk kepala,
serta menepuk pantat seperti kera.
Melihat tangan kakaknya terluka, Sugatri dengan mendengus langsung merangsek
Pendekar Gila. Tidak tanggung-tanggung lagi, dia segera mencabut senjatanya yang berupa golok
mengeluarkan sinar biru.
"Kuhancurkan kepalamu! Heaaa...!"
Wut! Wut! Golok bersinar biru berkelebat membabat kepala Pendekar Gila. Namun dengan cepat
Sena meng-egoskan tubuh ke samping. Disertai tingkah lakunya yang konyol seperti
seekor kera. Sena bergerak menyerang dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'.
Tubuhnya bergerak seperti melepas lilitan yang mengikatnya, berputar ke kiri.
Hal itu membuat jurus
'Gerak Kala Mengatup' yang dilancarkan Sugatri tak menemui sasaran.
Setiap serangan datang, dengan cepat Pendekar Gila bergerak menghindar. Tubuhnya
berputar, kemudian berbalik menyerang lawan dengan pukulan dan tendangan. Meski
sepinras gerakannya terlihat lamban tapi ternyata elakan dan serangan yang
dilakukannya mampu melebih kecepatan gerakan lawan.
"Hiaaat..!"
Diiringi pekikan keras, Sugatri melompat cepat.
Hatinya semakin bernafsu menyerang Sena, karena merasa serangan andalannya tidak
berhasil. Meskipun Sugatri telah melancarkan serangan dengan cepat. Kini dia
mulai menambah kecepatan ber-geraknya dengan mengubah jurus 'Sengatan Kala Merah
Beracun'. Wut! Wut...! Golok di tangan Sugatri terus bergerak cepat dengan tebasan dan sodokan ke
bagian tubuh yang mematikan lawan. Namun dengan mudah Pendekar Gila mampu
mengelakkan setiap serangan dengan gerakan-gerakan yang tampak lamban.
"Uts! He he he...! Kurang cepat, Ki! Coba kau terima ini!" sambil berkata
begitu, dengan cepat Pendekar Gila melayangkan jotosan ke wajah lawannya.
"Hih...!"
Sugatri tersentak mendapatkan serangan yang kelihatan lambat namun tahu-tahu
berkelebat di depannya. Sugatri berusaha mengelak, tapi rupanya gerakan Pendekar
Gila tak dapat diimbanginya.
Maka.... Bugkh! "Wuaaa...!" pekik Sugatri. Tubuh lelaki berpakaian merah itu terlontar ke
belakang dan terbanting ke meja tempat mereka tadi berkumpul. Tubuh salah
seorang dari Sepasang Kera Bergolok Biru itu melorot keras, kemudian jatuh
menimpa kursi sampai berantakan.
Semakin bertambah marah semuanya melihat
tingkah laku pemuda bertampang gila yang telah mampu mempecundangi Sugatri,
bahkan membuatnya terluka
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar ingin merasakan pukulanku!" dengus Jalna
Kumilang marah. "Tuan, izinkan aku menghajar bocah sombong ini!"
"Sombong..." Hi hi hi...! Kalianlah yang sombong, ada pesta tidak mengundang-
undang aku," sahut Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Huh! Dasar bocah gila! Rupanya kau harus dihajar!" maki Jalna Kumilang.
Wajahnya membara oleh amarah. Namun karena Sumantri nampaknya belum mengizinkan,
Jalna Kumilang masih berusaha menahan kesabaran.
"Sabar, Ki!" kata Sumantri. Didekatinya Jalna Kumilang, kemudian dengan berbisik
Sumantri mengatakan sesuatu pada lelaki setengah baya itu.
"Kalian tak akan mampu menghadapinya, Ki."
"Kenapa?"
"Dia bukan pemuda gila sembarangan. Kurasa dialah Pendekar Gila yang akhir-akhir
ini namanya sedang membubung tinggi," bisik Sumantri menjelaskan.
Terbelalak mata Jalna Kumilang setelah tahu siapa pemuda bertampang dan
bertingkah laku seperti orang gila itu. Matanya memandang tak berkedip pada
Pendekar Gila. Sepertinya Jalna Kumilang baru menyadari siapa sesungguhnya
pemuda tampan itu.
Sumantri dengan bibir masih tersenyum, melangkah mendekati Pendekar Gila.
"Tuan Pendekar, kami harap Tuan sudilah me-maafkan kami!" kata Sumantri berusaha
membujuk Pendekar Gila agar tak meneruskan pertarungan itu.
Sumantri nampaknya menyadari, bagaimanapun dia dan keempat anak buahnya tak
mungkin mampu mengalahkan pemuda yang bertingkah gila itu.
"Aha, kenapa tidak sejak tadi" Lucu sekali kalian,"
sahut Sena dengan tingkah laku yang tak luput dari cengengesan dan berjingkrak-
jingkrak seperti monyet.
"Untuk itulah, kami minta maaf. Dan kalau memang Tuan bermaksud mengikuti
sayembara yang ku adakan, silakan Tuan datang ke Lembah Akherat.
Kalau Tuan mampu menangkap bocah bersisik itu, kami akan memberikan sebagian
harta kami," tutur Sumantri.
"Aha, menyenangkan! Baiklah kalau memang
begitu, aku akan segera ke sana. Permisi...!"
Usai berkata begitu, Pendekar Gila segera melesat meninggalkan Sumantri dan
keempat anak buahnya yang masih menyimpan amarah.
"Jadi dia Pendekar Gila, Tuan?" tanya Iblis Selendang Ungu.
"Ya! Percuma saja kita berurusan dengannya. Yang pasti, kita harus mempersiapkan
penyambutannya.
Cepat atau lambat, tentunya dia akan datang ke tempat ini. Untuk itulah,
kuharapkan kalian mencari teman sebanyak mungkin guna menghadapinya!"
kata Sumantri. "Apakah Tuan tak percaya kemampuan kami?"
tanya Sugatra merasa kurang senang.
"Bukan aku tak percaya pada kalian. Tapi
percayalah, guruku saja mungkin tak akan sanggup menghadapinya. Dan aku sendiri
besok akan memanggil guruku," ujar Sumantri meyakinkan.
Keempat anak uahnya itu akhirnya menerima juga pendapat majikan mereka. "Hei, ke
mana para penjaga"!"
Mereka serentak keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mata mereka membelalak,
ketika menyaksikan delapan penjaga dalam keadaan tertotok.
"Tentunya sebelum masuk Pendekar Gila telah menotok mereka lebih dahulu," gumam
Sumantri. "Pantas dari tadi mereka tak muncul!" sambung Iblis Selendang Ungu.


Pendekar Gila 11 Perjalanan Ke Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka segera bergerak membebaskan totokan di tubuh delapan penjaga keamanan di
rumah saudagar kaya itu.
*** 6 Pagi teramat dingin. Embun pun masih menempel di dedaunan dan membasahi tanah.
Mentari belum juga muncul ke permukaan bumi. Hanya bias merah di ufuk timur yang
terlihat, pertanda kalau sang Raja Siang siap bangkit dari peraduannya. Burung-
burung pun berkicau riang, seakan-akan hendak menikmati indahnya suasana pagi.
Desa Kalimas yang merupakan desa terdekat jaraknya dengan Lembah Akherat, pagi
itu masih sepi.
Belum ada seorang manusia pun yang keluar dari rumahnya. Meskipun mungkin mereka
sudah bangun. Saat itu, tampak dua sosok manusia berjalan menyusuri jalan Desa Kalimas. Mereka
adalah seorang lelaki dan perempuan berusia sekitar lima puluh tahun. Kedua
orang yang berpakaian hijau muda merah itu tampak berjalan begitu intim menembus
suasana pagi yang dingin dan sunyi itu.
Yang wanita berambut diikat ke atas kepala, dengan ujungnya terurai ke bawah.
Bibirnya yang keriput, menyunggingkan senyum. Dialah Nyi Rawi Abang. Tubuhnya
kecil dan tidak begitu tinggi, kelincahannya dalam bergerak sangat mengagum-kan.
Itu sebabnya perempuan tua ini mendapat julukan si Kijang Emas.
Sedang lelaki tua yang berjalan di sampingnya berambut lurus tergerai. Tingginya
lebih sekepala dibandingkan dengan Nyi Rawit Abang. Pembawaan-nya tenang.
Tubuhnya agak bungkuk, dengan jenggot
dan kumis menghias di wajahnya. Hidungnya mancung, dan matanya agak menyipit.
Dialah Ki Braga Kumba.
Keduanya bermaksud berangkat ke Lembah
Akherat, atau tepatnya menuju Danau Sambak Neraka. Keduanya seperti pendekar dan
tokoh persilatan lainnya, yang tertarik dengan kabar mengenai munculnya bocah
bersisik di Pulau Karang Api. Hal pertama yang menjadi tujuan mereka adalah
mendapatkan bocah itu, untuk selanjutnya diserahkan pada Sumantri. Kedua, mereka
juga ingin membuktikan benar tidaknya kabar itu, serta ingin tahu apa yang
sebenarnya terjadi di Pulau Karang Api yang selama ini belum seorang tokoh pun
mampu menjarah tempat itu.
"Masih jauhkah jarak yang harus kita tempuh, Ki?"
tanya Nyi Rawit Abang.
"Kurasa tidak, Nyi. Sebab kalau kita sudah melewati Desa Kalimas, tinggal
seperempat hari dengan berjalan biasa, kita akan segera sampai,"
jawab Ki Braga Kumba berusaha menghibur hati kekasihnya.
"Aku tak mengerti. Bagaimana mereka yang ke Lembah Akherat benar-benar sampai ke
akherat" Mereka tidak pernah pulang," gumam Nyi Rawit Abang.
Ki Braga Kumba tersenyum kecut mendengar kata-kata Nyi Rawit Abang. Keduanya
memang bukan suami istri, hanya merupakan sepasang kekasih.
Entah mengapa dari dulu mereka tidak juga menikah.
Mereka hanya menjalin hubungan kasih, sampai keduanya sama-sama tua.
"Siapa sebenarnya penghuni Lembah Akherat"
Sampai-sampai tempat itu sangat ditakuti?" kembali
Nyi Rawit Abang bertanya, karena penasaran tentang tempat keramat yang kini
hendak mereka tuju.
"Mana aku tahu" Kalau tahu, sudah dari dulu ingin ke tempat itu. Tentu
penghuninya bukan
sembarangan. Buktinya tak seorang pun yang berani datang ke tempat itu," tutur
Ki Braga Kumba.
"Hhh...," Nyi Rawit Abang mendesah manja.
Matanya melotot nakal, menatap kekasihnya yang hanya tersenyum cengengesan.
"Ngambek ya?" tanya Ki Braga Kumba.
"Huh!"
"Lho lho, kok marah?"
"Makanya, jelaskan!" sahut Nyi Rawit Abang dengan suara manja.
Ki Braga Kumba semakin melebarkan senyum,
"Nampaknya kau semakin cantik jika merengut begitu, Nyi."
Kini Nyi Rawit Abang tersipu, mendengar rayuan kekasihnya. Sifatnya yang seperti
gadis belasan tahun jelas masih terlihat, manja dan akan tersipu-sipu genit jika
disanjung sang Kekasih. Tingkah laku keduanya memang sering nampak lucu, tidak
ubahnya sepasang remaja yang dimabuk asmara.
"Bisa saja kau, Ki."
"Sungguh."
Kembali Nyi Rawit Abang tersipu-sipu malu, semakin bertambah keriput wajahnya.
Tapi itulah yang membuat Ki Braga Kumba semakin bertambah senang. Buktinya
hampir tiga puluh tahun mereka menjalin hubungan, tapi selama itu belum pernah
terjadi perselisihan. Keduanya selalu intim. Di mana ada Braga Kumba, di situ
ada Nyi Rawit Abang.
Saking lengketnya, pasangan campuran dari golongan hitam dan putih itu terkenal
dengan sebutan Pengantin Tua. Nyi Rawit Abang dari aliran hitam, sedangkan Ki Braga
Kumba berasal dari aliran putih. Namun keduanya tak pernah bentrok. Justru satu
sama lain saling membantu.
Langkah mereka semakin mendekati tempat yang dituju. Kini keduanya telah berada
di luar batas Desa Kalimas. Sebentar lagi akan memasuki hutan yang menjadi
pemisah antara Desa Kalimas dengan wilayah Lembah Akherat
Mereka sedang melangkah memasuki Hutan Kawi-kawi ketika tiba-tiba dikejutkan
suara bentakan keras yang disertai munculnya tujuh orang lelaki yang sudah
mereka kenali. "Berhenti...!"
"Tujuh Iblis dari Sarang Hantu! Ada apa kalian menghadang perjalanan kami?"
tanya Ki Braga Kumba dengan mata tajam menatap satu persatu wajah Tujuh Iblis
dari Sarang Hantu yang rata-rata memiliki sifat yang kasar dan bengis.
"Hm.... Apakah kalian lupa dengan kejadian dua hari yang lalu di kedai"!" bentak
Sadra, orang pertama dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
"He he he! Jelas kami ingat," sahut Nyi Rawit Abang. "Ada apa dengan kalian?"
"Jangan berpura-pura tak mengerti, Nyi! Jelas Kami menghendaki nyawa kalian
berdua! Kami tak ingin kalian ikut campur dengan urusan ini!" tukas Saka Gulu,
orang kedua dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
"Kurang ajar!" dengus Ki Braga Kumba. "Kalian kira kami dapat digertak oleh
iblis-iblis cacingan macam kalian, heh"!"
"Bedebah! Lancang mulutmu, Tua Bangka!
Kurobek mulutmu!"
Usai berkata begitu, Sadra menggerakkan tangan
kanannya, sebagai isyarat pada keenam rekannya untuk menyerang.
"Heaaa...!"
Melihat kekasihnya diserang, Nyi Rawit Abang tak tinggal diam. Sambil mendengus
marah, ditariknya Cambuk Rambut Seribu yang menjadi senjatanya.
Kemudian dengan jurus 'Lecutan Kilat Cambuk Seribu' Nyi Rawit Abang menyerang.
"Kalian rupanya mencari mampus! Berani menghadang Pengantin Tua! Heaaa...!"
Ctar! Ctar! Ctar...!
Ribuan rambut di ujung cambuk bergerak
menyerang ke arah tujuh lawannya. Rambut-rambut di ujung cambuk itu laksana
hidup, meliuk-liuk ke sana kemari memburu mangsa.
Mendapatkan serangan seperti itu, Tujuh Iblis Sarang Hantu segera melompat ke
belakang. Kemudian setelah memberi isyarat, mereka segera membentuk sebuah lingkaran
memutari kedua lawannya dengan jurus 'Untaian Rantai Iblis Menjerat'.
Tubuh Tujuh Iblis dari Sarang Hantu bergerak dalam bentuk lingkaran. Tangan
mereka bergerak menyerang ke arah kedua lawannya yang berada di tengah-tengah
lingkaran. Gerakan itu pun membuat Nyi Rawit Abang dan Ki Braga Kumba pening
menghadapinya. "Hhh...! Kita harus bisa menembusnya, Nyi!"
gumam Ki Braga Kumba.
"Ya! Mari kita gunakan jurus 'Badai Menyapu Karang'."
"Mari! Heaaa...!"
"Hiaaa...!"
Kedua tokoh tua itu segera mengeluarkan jurus
'Badai Menyapu Karang'. Gerakan tubuh keduanya
sangat cepat, menimbulkan angin yang keras.
Wusss...! Melihat lawan berusaha mendobrak pertahanan, Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
segera mempercepat gerakannya dengan jurus yang lain. Dengan jurus
'Putaran Kincir Menyapu Badai' mereka bergerak begitu cepat. Tangan dan kaki
mereka tidak tinggal diam, bergerak memukul dan menendang ke arah lawan.
"Heaaat...!"
"Hiaaa...!"
Teriakan-teriakan keras menggelegar mengiringi gerakan mereka menyerang dengan
cepat Wut...! Prak! "Ugkh!"
Nyi Rawit Abang mengeluh, ketika tangannya berbenturan dengan tangan beberapa
orang dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. Hal serupa juga dialami oleh Ki Braga
Kumba. Keduanya meringis merasakan sakit akibat benturan tangan tadi.
Namun bukan hanya kedua orang itu yang
merasakan sakit linu akibat benturan yang terjadi.
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu juga tersentak dengan mata melotot, mendapatkan
serangan mereka berantakan. Tangan mereka dirasakan ngilu.
Mata menatap tajam pada Pengantin Tua yang juga beberapa langkah terhuyung
mundur. Kini keduanya sudah tidak lagi berada dalam kepungan Tujuh Iblis Sarang
Hantu. "Bedebah! Kalian rupanya masih sanggup menghadapi kami!" dengus Saka Gulu.
"Huh! Apa susahnya menghadapi iblis-iblis cacingan macam kalian?" ejek Ki Braga
Kumba seraya mencibir, membuat Tujuh Iblis dari Sarang Hantu bertambah marah.
"Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mampus!"
maki Sadra, marah.
"Kalianlah yang mencari mampus!" bentak Nyi Rawit Abang dengan mata melotot,
merasa tidak senang kekasihnya dibentak begitu rupa. "Kalau kalian tak segera
minggat, tak segan-segan kami membunuh kalian!"
"Ha ha ha...!" Tujuh Iblis dari Sarang Hantu tertawa bergelak-gelak mendengar
ancaman Nyi Rawit Abang.
"Apakah tidak terbalik, Perempuan Lacur! Seharusnya kau minta ampun, karena
telah membela pihak lawan!" bentak lelaki berbadan gendut dengan rambut dikuncir
di atas kepala. Lelaki itu orang ketiga dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
"Cuh!! Apa peduli kalian"!" bentak Nyi Rawit Abang tak mau kalah. "Rupanya
kalian ngiri ya"!"
"Huh! Apa dikira kau wanita yang paling cantik"!"
dengus lelaki berhidung besar dengan kumis menempel di ujung bibir. Dia orang
keempat dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
"Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!"
Nyi Rawit Abang yang marah, kembali bergerak menggempur lawan-lawannya dengan
cambuk. Rambut-rambut di ujung cambuknya bergerak lagi menyapu ke wajah lawan dengan
jurus 'Sapu Buana Mekti'.
"Heaaa!"
Wut! Melihat serangan itu, dengan cepat Tujuh Iblis dari Sarang Hantu tidak tinggal
diam. Mereka segera mencabut senjata yang berupa sabit. Kemudian setelah
mengelakkan serangan lawan, mereka
berbalik menyerang dengan jurus 'Sabit Maut Mencari Jantung'.
Wut! Wut! Wut...!
"Heit..!"
Nyi Rawit Abang bergerak mengelak ke samping, menghindari serangan yang mengarah
ke bagian tubuhnya yang mematikan.
Menyaksikan kekasihnya dalam desakan ketujuh lawan, Ki Braga Kumba segera
mencabut ikat pinggangnya yang bernama Sabuk Sasra Geni.
Kemudian dengan jurus 'Sasra Geni' tingkat ketiga, Ki Braga Kumba merangsek ke
arah lawan. "Heaaa...!"
Ki Braga Kumba dengan cepat terus memutar Sabuk Sasra Geni di tangannya. Dan
seketika sekeliling tempat itu berubah menjadi panas membara. Hal itu membuat
Pendekar Latah 3 Pedang Naga Hitam Lanjutan Dari Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Geger Dunia Persilatan 7
^