Pencarian

Peti Mati Pendekar Gila 1

Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila Bagian 1


PETI MATI UNTUK PENDEKAR GILA
Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Peti Mati Untuk Pendekar Gila
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Pagi nampak cerah dengan langit biru ben-
ing tanpa setitik mega. Angin berhembus perlahan, membawa kesejukan yang alami.
Suasana Desa Singo Prajan yang terletak di
pesisir Pantai Laut Selatan tampak begitu damai.
Ombak beriak-riak di lautan menambah peman-
dangan desa itu.
Dari kejauhan nampak serombangan orang
tengah melangkah perlahan pada jalan setapak di sisi gunung. Sebelah kanan yang
mereka lewati terbentang jurang menganga lebar. Sedangkan di
sebelah kiri, bukit-bukit batu cadas menjulang
dengan angkuhnya. Dilihat dari pakaian yang di-
kenakan, jelas mereka adalah orang-orang kadipa-ten. Paling depan berjalan
seorang lelaki tinggi besar dengan cambang bawuk yang menutupi wajah.
Di sisinya berjalan dua orang lelaki lain. Seperti orang yang di tengah, dua
lelaki yang berjalan di kanan kiri orang tersebut juga mempunyai wajah
beringas dengan kumis melintang.
Sedang di belakang mereka tampak berjalan
beriringan empat lelaki kekar bertelanjang dada.
Mereka memanggul sebuah tandu dengan bangu-
nan berbentuk rumah. Di belakang mereka ada li-
ma puluh orang lelaki lain berpakaian prajurit ber-senjata tombak dan pedang.
Ketika mereka melewati jalan agak menu-
run, tiba-tiba orang yang berjalan paling depan berseru, "Para prajurit! Kalian
bersiaplah! Sebentar
lagi kita akan memasuki perbatasan Ragajampi!"
"Hm, Kakang. Ada apa kiranya di perbata-
san Ragajampi?" tanya seorang prajurit kepada kawannya.
"Apakah kau belum tahu, Prakaspati?" prajurit bernama Haryo Sasongko balik
bertanya. "Sungguh aku belum tahu, Kakang Haryo
Sasongko...," jawab Prakaspati dengan mata me-nyipit. Haryo Sasongko sesaat
terdiam, matanya
memandang lurus ke depan. Lalu dengan setengah
berbisik Haryo Sasongko berkata, "Di perbatasan Ragajampi, banyak sekali
perampok yang ganas
dan liar. Para prajurit tampak diam, hanya mata me-
reka yang menatap tajam ke sekeliling tempat itu.
"Apakah mereka umumnya memiliki ilmu
yang tinggi, Kakang?"
"Biasanya mereka berilmu tinggi," jawab Haryo Sasongko. "Kabarnya, mereka orang-
orang bekas prajurit Candra Mulia. Wajar kalau mereka mahir dalam segala siasat
perang." Perlahan-lahan mereka melangkah sambil
bersikap waspada. Wajah para prajurit seketika tegang, bagaikan melihat hantu di
siang bolong. "Apakah kalian telah siap"!"
Kembali terdengar seruan Haryo Sasongko
memberi perintah.
"Siap...!" jawab seluruh prajurit.
"Ada apa, Haryo Sasongko...?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita. Suara
itu berasal da-ri dalam tandu yang berada di alas pundak keem-
pat orang yang bertelanjang dada.
"Ampun, Tuan Putri! Hamba hanya mempe-
ringatkan pada para prajurit agar bersiap-siap,"
jawab Haryo Sasongko sambil menyatukan tan-
gannya ke dada, dan membungkukkan tubuhnya.
"Kenapa mesti begitu?"
"Sekadar untuk berjaga-jaga...."
"Ya, sudahlah. Kita berdoa saja agar semu-
anya selamat. Usahakan agar jangan mencari-cari perselisihan dahulu. Kalau kita
diserang, apa boleh buat. Sudahlah, kita lanjutkan!"
"Ayo, jalan...!"
Mendengar seruan Haryo Sasongko, lima
puluh prajurit itu segera melanjutkan perjalanan.
Langkah demi langkah mereka berjalan, tak ada
gangguan. Mereka merasa tenang ketika telah
memasuki Alas Mentaok. Namun mereka tetap te-
rus siap siaga untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun ketika para
prajurit me- langkah di tengah hutan, tiba-tiba terdengar suara raungan keras dan rintihan
menyayat. Membuat
bulu kuduk para prajurit berdiri. Haryo Sasongko dan dua orang wakilnya nampak
siap, menghunus
pedang yang tersampir di pundak.
Srt! Srt! "Siaplah kalian, nampaknya mereka mulai
datang!" seru Haryo Sasongko memperingatkan semua prajurit. "Adi Prakaspati,
rupanya kita akan menghadapi para perampok itu. Bersiaplah...!"
"Aku telah siap, walaupun nyawaku untuk
taruhannya," jawab Prakaspati dengan penuh kewaspadaan. "Percuma aku menjadi
murid Kali- wangsa, kalau harus takut menghadapi bekas kro-
co-kroco Candra Mulia."
"Aku mengerti," gumam Haryo Sasongko da-tar. "Bagaimana denganmu, Adi
Bratamurti?"
"He he he... dengan pedang pusaka Naga
Krida, pantang bagiku takut pada siapa pun. Apalah artinya kroco-kroco tentara
Candra Mulia," jawab Bratamurti dengan angkuhnya. Pendekar dari
Kerajaan Kawilangit itu seakan menyepelekan ke-
mampuan bekas prajurit-prajurit Candra Mulia.
"Aku percaya pada kalian. Aku yakin, ba-
ginda raja mengambil kalian sebagai pengawal
khusus tentu ada sebabnya. Bukan begitu Adi
Prakaspati, Bratamurti?"
Prakaspati dan Bratamurti tersenyum lalu
mengangguk. Kedua pengawal itu diutus raja mereka, Ba-
lawisesa, untuk mengiringi keberangkatan pu-
trinya, Palupi, menemui seorang raja di wilayah Candra Mulia. Raja muda yang
bergelar Raden Sasakajiwo, adalah orang yang menjadi sahabat Pa-
lupi. Persahabatan mereka telah terjalin sejak Raden Sasakajiwo bertandang ke
Negeri Kawilangit
tiga tahun yang lalu.
Sejak pertemuan itu Palupi seakan tak da-
pat melupakan Raden Sasakajiwo yang rupawan.
Minum terasa api, makan terasa sekam, jika perasaan rindu menyergap hatinya.
Hanya bayangan wajah raja muda itu yang selalu melekat di kelopak matanya. Perasaan rindu
seperti itulah yang menjadikan Raja Balawisesa akhirnya memutusan
ke Kerajaan Candra Mulia, khususnya pada Raden
Sasakajiwo sebagai rajanya.
Dahulu sebelum menduduki tahta kerajaan,
Raden Sasakajiwo menjadi buronan di Kerajaan
Candra Mulia yang dipimpin Raja Rakai Pikatan.
Dan ketika sang Raja mangkat, maka Raden Sasa-
kajiwo yang segera menduduki singgasana kera-
jaan. Dia menobatkan dirinya sebagai penguasa
Kerajaan Candra Mulia.
Ternyata utusan yang dikirim Balawisesa
mendapat tanggapan baik dari Raden Sasakajiwo.
Waktu itu Raden Sasakajiwo memang mengha-
rapkan bantuan dari Kerajaan Kawilangit dalam
usahanya meraih kedudukan sebagai penguasa
kerajaan. Ketika mendengar laporan dari para utusan bahwa Raden Sasakajiwo
menerima pinan-
gannya. Raja Balawisesa merasa gembira. Dia se-
gera mengutus putrinya dengan dikawal lima pu-
luh orang prajurit pilihan dan tiga orang pendekar menuju ke pulau itu.
Para prajurit pengawal putri Palupi terus
melangkah setapak demi setapak. Walau nampak
tenang, di hati mereka terbersit rasa was-was. Tidak seperti dua orang pimpinan
mereka yang som-
bong, mereka telah mendengar persis siapa-siapa adanya prajurit-prajurit Candra
Mulia yang terkenal ganas dan beringas tak pernah kenal pera-
saan takut mati.
Sudah banyak contoh yang menguatkan.
Banyak prajurit Kerajaan Marta Pura yang binasa ketika hendak melakukan
penyerangan ke Pulau
Jawa. Mereka juga mengenal nama-nama yang
sering menjadi momok dan merupakan tokoh-
tokoh pemberontak di Kerajaan Candra Mulia.
Sebenarnya, Raden Sasakajiwo telah bebe-
rapa kali memperingatkan pada rekan-rekannya
yang tergabung dalam Panca Leluhur Sakti untuk
menghentikan sepak terjang mereka, dan meminta
mereka agar terus membantu kedudukannya se-
bagai raja. Namun mereka seperti tak menggubrisnya, bahkan dengan berani para
mantan prajurit
itu menentang. Hanya karena memandang Eyang
Seta Kumikis, mereka enggan untuk memusuhi
Raden Sasakajiwo. Ditambah lagi karena mereka
telah terikat janji untuk tidak saling menjatuhkan.
*** Para prajurit tengah melangkah di tengah
Alas Mentaok ketika dari balik semak-semak dan
dari atas pohon berloncatan orang-orang bertopeng menghadang langkah mereka.
Seketika mereka
tersentak mundur, mata mereka segera mengawasi
gerak-gerik gerombolan bertopeng merah itu.
"Siapa kalian!" bentak Haryo Sasongko.
"Huh. Rupanya monyet-monyet macam ini
yang sering membuat kerusuhan," dengus Bratamurti seraya menghunuskan pedangnya.
"Mau apa kalian, hah"!"
"Ha ha ha...! Kaliankah yang hendak meng-
hadap Raja Raden Sasakajiwo?" tanya seorang berkedok yang berdiri paling depan.
Tampaknya dialah pimpinan gerombolan itu. "Serahkan pada kami apa yang kalian bawa! Dan
minggatlah kalian dari sini! Biar kami yang akan menyampaikan pa-
da Baginda Sasakajiwo!"
Terbelalak mata Haryo Sasongko, Prakaspa-
ti, juga yang lainnya, mendengar permintaan ketua gerombolan berkedok itu.
Apalagi Putri Palupi yang berada di dalam tandu, hatinya seketika dag dig dug
tak karuan. Gadis itu nampak gelisah, takut kalau-kalau para prajuritnya akan
mengalami kekalahan.
"Oh, Hyang Widi! Apakah para prajuritku
akan dapat mengatasi semua ini?" desis Palupi cemas. "Bagaimana kalau para
prajuritku mengalami kekalahan" Bagaimana dengan nasibku...?"
"Apakah kalian tak tahu aturan! Atau ba-
rangkali kalian memang sengaja mencari gara-
gara, hah!" bentak Haryo Sasongko.
Bentakan Haryo tidak menjadikan ketua
orang-orang berkedok itu takut. Bahkan setelah
saling pandang dengan anak buahnya ia tertawa
keras dan terbahak-bahak.
"Kalianlah yang tak tahu sopan santun! Ka-
lian datang dari jauh, namun tak menghiraukan
kami yang menguasai daerah ini. Perlu kalian ketahui, siapa saja yang memasuki
daerahku harus meninggalkan apa saja yang dibawa, termasuk
nyawa! Tapi kali ini kuberi keringanan, kalian cukup meninggalkan apa saja yang
kalian bawa. Ka-
mi memberikan kebebasan pada kalian untuk hi-
dup?" "Bedebah! Kalian sangat meremehkan ka-mi!" bentak Haryo marah, karena
merasa diremehkan. Haryo yang telah kondang namanya di Negeri Kawilangit, seakan
tak dapat membendung ama-
rahnya. "Dengar oleh kalian. Lebih baik kami meninggalkan nyawa daripada harus
menyerahkan permintaan kalian...."
"Ha ha ha...! Kalian orang-orang Kawilangit berani lancang di daerah kekuasaan
kami. Hm, jangan harap kalian akan mampu mempertahan-
kan segalanya. Kami telah memberikan keringa-
nan, namun kalian menolak. Jangan harap kalian
akan kami ampuni lagi!"
"Sudahlah, Kakang! Percuma kita berbantah
dengan orang yang tak mempunyai pengetahuan.
Mereka orang-orang dungu, yang biasa hidup di
hutan," kata Bratamurti.
"Setan! Rupanya anjing-anjing Kawilangit
memang banyak bacot!" bentak ketua gerombolan berkedok marah, mendengar ucapan
Bratamurti yang menghinanya. "Anak-anak, serbu dan habisi mereka...!"
Seketika kedua puluh orang berkedok itu
serentak berlompatan mengepung para prajurit.
Senjata golok dan tombak siap di tangan masing-
masing. Para prajurit Kawilangit pun tak tinggal diam. Serentak mereka mencabut
senjata masing-masing.
"Bagaimana" Apakah kalian masih bersite-
gang mempertahankan apa yang kalian bawa?"
"Hm, sudah aku katakan, lebih baik kami
meninggalkan nyawa daripada kami harus membe-
rikan apa yang kalian minta!" bentak Haryo marah. "Bagus kalau itu yang kalian
ingini! Serang...!"
Serentak gerombolan berkedok merangsek
menyerang para prajurit Kawilangit. Serta-merta Haryo pun segera berseru.
"Prajurit, seraaang...!"
Pertarungan antara dua kelompok itu pun
tak dapat dihindari. Kedua kelompok itu, bagaikan singa-singa kelaparan
menyerang membabi buta.


Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jumlah prajurit Kerajaan Kawilangit lebih banyak ketimbang penyamun. Namun
karena di hati mereka tertekan keragu-raguan para prajurit bertempur dengan
beban. Serangan-serangan mereka
tampak kurang mantap dan sering meleset. Bah-
kan para begal itu makin mengganas. Melihat mu-
suh ketakutan, para begal makin meningkatkan
serangan. Keempat orang yang memandu Putri Palupi
segera membawanya pergi menyelamatkan diri.
Mereka merasa khawatir kalau-kalau sang Putri
akan mengalami cedera. Keempat prajurit peman-
du itu, merupakan prajurit-prajurit yang setia pa-da Putri Palupi, yang sengaja
dibawa untuk me-
nemaninya. Melihat keempat pengusung itu melarikan
diri dengan tandunya serta-merta ketua penyamun berkedok berkelebat mengejar.
Namun belum juga
lelaki bertubuh kekar itu jauh Haryo telah pula mengejarnya. Dengan menggunakan
ilmu meringankan tubuh Haryo secepat kilat berlari. Sehingga tahu-tahu telah
menghadang pimpinan gerombolan berkedok.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mati!" bentak pimpinan begal itu merasa jengkel
karena niatnya terhalang. Haryo tersenyum.
"Aku tak mencari mati, karena aku ingin hidup. Kaulah yang mencari mati. Apa
perlumu menghadang kami" Apakah kau tak takut bila
perbuatanmu diketahui Baginda Sasakajiwo?"
dengus Haryo. Pimpinan gerombolan berkedok tersenyum
sinis mendengar Haryo menyebut nama Sasakaji-
wo. Sepertinya nama Raden Sasakajiwo bagi lelaki berkedok itu tak ada artinya.
Lalu dengan suara lantang dia kembali berkata setengah membentak.
"Kalau kau memang ingin memanggil Raden
Sasakajiwo. Pergilah! Aku tak akan mundur
menghadapinya. Hua ha ha...! Sasakajiwo tak lebih dari aku, si Ronggo Dewa...!
Kalau Sasakajiwo melihat hal ini, pasti dia akan membantuku."
"Sombong!" dengus Haryo Sasongko.
"Hua ha ha...! Kau tak percaya?" lelaki yang mengaku bernama Ronggo Dewa
tersenyum mengejek. "Kalau kau mendengar siapa kami, niscaya kau dan para
prajuritmu akan lari terkencing-kencing."
"Hm, mungkin hanya orang-orang bodoh
yang mau digertak berandal macammu. Tapi aku
tidak!" jawab Haryo sengit. "Aku tak akan peduli siapa pun kalian, karena aku
merasa benar. Kebe-naran selalu dalam lindungan Hyang Jagad Beta-
ra...!" "Bedebah, jangan menyesal nantinya," gertak Ronggo Dewa, marah. "Jangan
lengah, hiat...!"
Melihat musuhnya melakukan serangan,
dengan cepat Haryo pun tak mau tinggal diam. Seketika mulutnya menggerang
bagaikan seekor ha-
rimau, lalu melompat untuk memapaki serangan.
Tak pelak lagi pertarungan kedua pimpinan itu
pun seketika berlangsung seru. Keduanya nampak
penuh semangat untuk saling menjatuhkan. Se-
hingga tanpa segan-segan kedua pimpinan itu se-
gera mengeluarkan jurus-jurus yang sangat dian-
dalkan. Jurus demi jurus berlalu, kedua pimpinan
seperti tak mengenal lelah. Dari jurus yang ringan, sampai jurus-jurus berat,
yang menentukan mati
hidupnya mereka. Namun begitu keduanya sama-
sama tangguh. Di pihak lain para prajurit Kerajaan Kawi-
langit yang kini dipimpin oleh dua tokoh utama
yaitu Prakaspati dan Bratamurti masih terus berusaha membendung serangan-
serangan gerombolan
berkedok yang nampak semakin mengganas. Se-
pertinya para begal itu tak kenal takut, walau
menghadapi dua tokoh yang sudah terkenal di Ke-
rajaan Kawilangit.
Perampok berkedok merah makin lama ma-
kin mengganas sehingga para prajurit Kawilangit tampak mulai terdesak. Meskipun
jumlah prajurit lebih banyak, kenekatan gerombolan itu ternyata mampu mendesak
pertahanan lawan.
Korban berjatuhan dari pihak prajurit Kawi-
langit. Semangat para prajurit lain kian bertambah susut. Tanpa ampun lagi,
mereka menjadi bulan-bulanan para begal. Maka dalam waktu singkat
mayat bergelimpangan dari pihak prajurit. Seba-
liknya dari para begal, makin merajalela dan
membabi buta. Mereka bagaikan makhluk haus
darah membantai lawan tanpa rasa kasihan.
Di pihak lainnya pertarungan antara dua
orang pimpinan itu masih berjalan. Keduanya kini benar-benar menguras segala
ilmu yang mereka
miliki. Namun demikian, pertarungan itu seper-
tinya tak akan terhenti. Kelebatan-kelebatan tubuh keduanya begitu cepat,
menjadikan tubuh
mereka bagaikan menghilang tertutup oleh warna-
warni pakaian yang mereka kenakan.
Namun seperti pepatah, siapa yang lengah
dialah yang akan binasa. Rupanya pepatah itu pu-la yang telah menentukan
pertarungan mereka.
Manakala Haryo lengah, dengan cepat Ronggo De-
wa mengerahkan ajiannya.
Tak ampun lagi, Haryo menjerit keras ketika
ajian lawan menghantam telak tubuhnya. Sekujur
tubuhnya langsung membiru dan kaku. Seketika
tubuh pimpinan prajurit itu membeku bagai te-
rendam salju. Ya, Haryo memang mati beku, ter-
hantam ajian 'Topan Salju' yang dilontarkan Rong-go Dewa.
Melihat musuhnya mati, Ronggo Dewa ber-
kelebat pergi setelah terlebih dahulu menendang tubuh Haryo hingga melayang
bagaikan terbang
dan jatuh ke dasar jurang.
Dengan meninggalkan gelak tawa, pimpinan
begal itu melesat untuk mengejar keempat prajurit Kawilangit yang membawa lari
Putri Palupi. 2 Keempat prajurit yang menandu Putri Palu-
pi nampak masih berlari dengan terengah-engah.
Wajah mereka nampak begitu tegang, ada pera-
saan takut dan cemas menggayuti hati keempat-
nya. Mereka memang ketakutan setengah mati.
Bukannya takut mati, namun lebih dari itu yang
mereka takuti. Ketakutan mereka karena yang me-
reka pertahankan kali ini adalah putri raja.
"Kenapa kalian tidak menuju ke kerajaan?"
tanya Palupi pada keempat pengusungnya.
"Ke manakah arah tujuan yang harus kita
tempuh, Tuan Putri?" tanya seorang pemandu di depan. "Teruslah ke selatan, di
sanalah Kerajaan Candra Mulia!"
"Ah, tidak mungkin, Tuan Putri," keluh mereka serentak, menjadikan Palupi
seketika mem- buka tirai penutup tandunya. Mata Palupi yang
lentik memandang lepas ke muka. Yang tampak
hamparan rumput-rumput ilalang menghijau. Me-
lihat hal itu, seketika hatinya bergumam.
"Memang patut keempat pengawalku takut.
Mereka rupanya sungkan menerobos ilalang yang
tinggi. Mereka mungkin menduga-duga kalau ila-
lang itu juga akan ada bahaya."
"Tak ada jalan lain..!?" tanya Putri Palupi seperti pada diri sendiri, sementara
matanya masih terus memandang ke muka.
"Tak ada, Tuan Putri," jawab penandu di
muka sebelah kanan.
"Kami rasa, memang tak ada," tambah yang sebelah kiri. "Jalan lain satu-satunya,
sekarang telah dijadikan pertempuran antara para prajurit
dengan gerombolan begal itu."
"Jadi tak ada jalan lain?"
"Benar, Tuan Putri," sahutnya.
"Kalau begitu, tak apalah menempuh jalan
lewat ilalang itu."
"Ah...," kembali keempat orang itu mende-sah. "Kenapa" Apakah kalian takut...?"
"Bukannya kami takut mati, Tuan Putri,"
jawab orang yang di depan sebelah kiri. "Bagi ka-mi, keselamatan Tuan Putri
lebih utama daripada nyawa kami yang tiada guna."
Semuanya salahnya sendiri, mengapa ingin
menemui Raden Sasakajiwo yang harus menem-
puh berbagai rintangan" Bila ingat itu semua, seketika hati Palupi kesal, marah
pada Raden Sasakajiwo. Bagaimana mungkin tidak marah, mereka
datang jauh-jauh tapi nyatanya dari pihak Kera-
jaan Candra Mulia tak ada seorang pun yang men-
jemput mereka. Seakan-akan segala kejadian itu
memang disengaja.
"Ah, Raden Sasakajiwo.... Kenapa ia tidak
menjemput kedatanganku?" keluh hati Palupi.
"Apakah memang sengaja dia hendak mencelakai diriku?"
Tengah Putri Palupi melamun, tiba-tiba pe-
mandu yang ada di belakang berteriak.
"Awas! Orang berkedok itu mengejar kita!
Ayo, lari...!"
Dengan cepat mereka pun berlari. Mereka
tak menghiraukan lagi ilalang yang terhampar
tinggi di depannya. Dengan segala kenekatan me-
reka menerobos rumput ilalang. Namun mereka
tersentak kaget, ketika tiba-tiba seseorang berkelebat menerobos masuk ke tandu.
Belum juga keempat pemandu itu hilang dari rasa kagetnya,
orang itu telah kembali berkelebat keluar dengan membopong tubuh Putri Palupi
yang terkulai. Rupanya Putri Palupi telah tertotok. Empat orang penandu itu
bermaksud mengejar, ketika tiba-tiba
orang berkedok itu mengibaskan tangannya. Dari
kibasan tangan berhamburan ratusan jarum men-
desing-desing mengarah ke tubuh mereka.
"Awas...!" pekik dari salah seorang di antara mereka.
Seketika mereka berhamburan, bersalto be-
rusaha mengelakkan serangan jarum-jarum bera-
cun itu. Namun tak urung salah seorang dari me-
reka terkena. Orang itu menjerit. Tubuhnya berguling-
guling di tengah ilalang dan akhirnya terkulai.
Ketiga prajurit itu tersentak, melihat apa
yang dialami rekannya. Tubuh temannya membi-
ru, lalu bekas tusukan jarum-jarum itu makin la-ma makin membesar.
Dari sebesar jagung, membentuk sebesar
kepalan tangan. Setelah benjolan-benjolan itu sebesar kepalan tangan, akhirnya
pecah. Kembali ketiga orang prajurit terbelalak ka-
get, ketika dilihatnya apa yang keluar dari pecahan
benjolan tersebut. Ketiganya kembali kaget, bahkan melompat bagaikan terpental.
Mereka melihat binatang-binatang yang menjijikkan keluar dari
benjolan-benjolan yang pecah. Binatang-binatang tersebut, tak lain kelabang yang
berwarna merah.
Jelmaan racun kelabang merah.
"Awas...! Kalian jangan mendekatinya!" tiba-tiba terdengar seruan dari kejauhan,
ketika ketiga prajurit tengah dilanda kekagetan. "Kalau kalian mendekat, tubuh
kalian pun akan terkena! Kelabang itu sangat ganas bila mencium bau manu-
sia!" Ketika ketiga orang itu menengok, mereka tersentak kaget. Ternyata orang
yang memperingatkan mereka, tak lain pimpinan perampok yang
tadi mengejar. Wajah ketiga orang itu berubah pucat ketakutan. Mereka kini hanya
pasrah terhadap apa yang akan dilakukan pimpinan begal itu.
"Heh, rupanya kalian," pimpinan begal terbelalak, kaget ketika makin mendekati
ketiganya. "Di mana barang yang kau bawa itu?"
"Kami membawa putri kerajaan yang ingin
menemui Raden Sasakajiwo."
"Di mana sekarang?"
Ketiga orang itu seketika terdiam ditanya
begitu. Mata mereka memandang pada pimpinan
begal dengan pandangan mata tak percaya, lalu
salah seorang dari ketiganya kembali berkata,
"Apakah penculik putri kami bukan anggo-
tamu?" "Hei, kau ngomong apa?" tanya Ronggo De-wa kaget.
"Putri Palupi telah diculik oleh seseorang,"
Jawab orang itu sembari menengok ke belakang.
Namun ternyata orang yang tadi melemparkan ja-
rum-jarum berbisa telah hilang dari pandangan-
nya. "Heh, cepat benar orang itu menghilang."
"Siapa yang kau maksud?" tanya pimpinan begal itu heran.
"Orang yang telah membunuh temanku ini
dengan senjata yang kau sebut racun kelabang
merah," jawab yang ditanya, menjadikan pimpinan begal seketika mengerutkan
kening. Setelah memandang pada ketiga orang itu, Ronggo Dewa se-
gera berkelebat meninggalkan ketiganya yang terbengong-bengong tak mengerti.
*** Pertarungan antara prajurit-prajurit Kera-
jaan Kawilangit yang dipimpin Prakaspati dan Bratamurti masih terus berlanjut,
walau korban telah banyak berjatuhan. Bratamurti dengan Pedang
Naga Krida-nya terus mengamuk. Setiap kelebatan pedang di tangan Bratamurti
selalu membawa korban bagi pihak musuh.
Kini pihak begal yang semula berjumlah
dua puluh tinggal lima orang. Sementara dari pihak prajurit kerajaan tinggal
empat orang ditambah dua pimpinannya.
"Menyerahlah kalian...!" bentak Bratamurti.
Kelima orang begal itu sepertinya tak men-
dengar. Bahkan kelimanya makin nekat melancar-
kan serangan. Hal itu membuat Bratamurti dan
Prakaspati kian marah. Pedang di tangan kedua
pendekar itu terus berkelebat memburu nyawa.
Tak ayal lagi, dalam sekejap saja kelima orang penyamun habis terbabat pedang
mereka. Namun perjuangan mereka tak luput dari pengorbanan
dengan tewasnya para prajurit. Seluruh prajurit binasa tanpa sisa.
Tertegun Bratamurti dan Prakaspati melihat
prajurit-prajuritnya mati. Tak terasa kelopak mata mereka berkaca-kaca. Mereka
terharu menyaksikan para prajurit yang gugur membela kerajaan.
Setelah sesaat hening membisu, kedua pendekar
dari Kerajaan Kawilangit itu pun segera berlalu meninggalkan anak buahnya yang
telah gugur.

Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kita akan kembali ke kerajaan?"
tanya Bratamurti setelah keduanya jauh mening-
galkan medan pertempuran.
"Tidak! Kita harus mencari Tuan Putri du-
lu." "Ke mana...?"
"Bukankah kita punya kaki?" Bratamurti balik bertanya.
Prakaspati terdiam, merasakan ucapan Bra-
tamurti memang ada benarnya. Bukankah kita
punya kaki" Ya, lebih baik berjalan terus mencari tuan putrinya daripada pulang
dengan tangan hampa. Mereka malu pada Raja Balawisesa, yang
telah mempercayai mereka untuk mengawal pu-
trinya. Mau ditaruh di mana muka mereka" Ba-
gaimana harus mempertanggung-jawabkan pada
sang Raja"
"Baiklah, kita mencari tuan putri," jawab
Bratamurti menyetujui apa yang dikatakan Pra-
kaspati. "Oh ya, di manakah Kakang Haryo?"
"Entahlah. Maka itu, marilah kita mencari
semuanya."
Tanpa banyak berkata lagi, dua pendekar
itu pun segera melangkahkan kaki. Tak lama ke-
mudian setelah keduanya berjalan, tiba-tiba mata mereka melihat sosok tubuh
terkapar kaku. Segera kedua pendekar itu berlari menghampiri. Mata keduanya
seketika membeliak.
"Kakang Haryo...!"
Keduanya segera mengangkat tubuh Haryo
yang telah mati. Hati kedua pendekar itu kembali terasa hancur dan sedih.
"Kakang Haryo, kenapa meninggalkan ka-
mi?" suara Bratamurti terdengar parau.
"Siapakah yang telah berbuat semuanya ini, Kakang?" Prakaspati pun ikut bertanya
pada mayat Haryo. "Jawab, Kakang! Biar kami yang akan menuntut balas...!"
Haryo yang telah mati tak dapat menjawab.
Tubuh itu telah kaku beku. Kedua pendekar itu
pun segera menggali liang yang akan dijadikan
tempat terakhir bagi Haryo. Setelah dirasa cukup, kedua pendekar itu segera
menyemayamkan mayat Haryo. Keduanya kembali hening tanpa ka-
ta, menundukkan kepala memberikan penghorma-
tan terakhir pada pimpinan mereka.
"Kita cari orang yang telah membunuhnya,"
ajak Prakaspati setelah sekian lama terdiam dalam hening memberikan penghormatan
terakhir. "Aku rasa, orang tersebut tak lain pimpinan begal kepa-
rat itu." "Memang benar! Ayo, kita cari! Lebih baik
kita mati, daripada hidup terlunta-lunta di daerah orang." "Jangan putus asa,
Saudara Bratamurti! Ki-ta tak boleh berkata begitu, kita harus tegar
menghadapi segala cobaan."
Bratamurti kembali terdiam, kemudian ke-
duanya berkelebat pergi meninggalkan gundukan
tanah merah baru tempat Haryo Sasongko beristi-
rahat untuk yang terakhir.
3 Desa Negodipuro yang letaknya di pesisir
pantai selatan, seperti biasa nampak ramai dengan para nelayan. Mereka tidak
hanya berdatangan da-ri desa-desa sekitar, melainkan juga dari pulau lain yang
ada di seberang lautan.
Perahu nelayan dan perahu penumpang
yang membawa mereka menuju Desa Negodipuro
datang dan pergi setiap hari. Orang-orang lebih suka menggunakan perahu datang
ke desa yang rupanya menjadi pusat perniagaan itu. Padahal
lewat jalan darat dengan berkuda atau berjalan
kaki juga bisa.
Di dalam sebuah perahu yang datang, nam-
pak seorang pemuda tampan berpakaian rompi
kulit ular, dengan rambut gondrong agak ikal. Tubuhnya gagah dan tegap, namun
tingkahnya ko- nyol dan lucu. Berdiri di atas perahu yang mem-
bawanya ke Desa Negodipuro. Tangan kanannya
sebentar-sebentar menggaruk kepala sambil cen-
gar-cengir memandangi luasnya lautan. Angin laut menerpa wajah dan rambutnya
yang gondrong. Di
pinggangnya terselip sebuah suling berkepala na-ga.
"Heh"! Ramai juga desa ini. Nampaknya
aman dan damai penduduk di sini," gumam pemuda tampan berpakaian rompi kulit
ular itu sambil tersenyum-senyum sendirian.
Begitu perahu yang membawanya merapat
ke darat, pemuda itu segera melompat turun setelah membayar ongkos pada pemilik
perahu. Pemuda tampan dengan ikat kepala kulit
ular itu terus melangkah. Sambil cengengesan matanya memandang ke kiri karena
melihat para ne-
layan yang menjual ikan pada pembeli.
Tiba-tiba langkahnya berhenti ketika ma-
tanya tertuju pada seorang lelaki gendut dengan wajah persegi, berhidung pesek
dan mata besar.
Ikat kepalanya kain berkotak-kotak hitam putih.
Orang itu tampak sedang sibuk menghitung uang.
Di depannya, lelaki tua kurus sedang men-
jura berulang kali seperti memohon belas kasihan.
"Tolonglah, Juragan! Jangan ambil semua
uang itu. Saya sangat memerlukannya. Ambillah
sebagian," pinta lelaki tua dengan suara tersendat-sendat. "Ha ha ha...! Enak
saja kau bicara begitu, Tua Bangka! Hei Rasito, hutangmu sampai sekarang belum
juga lunas! Sudah sana, jangan ba-
nyak bicara...!" hardik lelaki gendut berpakaian
warna hitam. Karena pakaiannya terbuka, maka
perut gendut serta dadanya yang kotor dan berbu-lu tampak menjijikkan. Lelaki
gendut yang disebut juragan itu mendorong tubuh Ki Rasito. Sehingga tubuh kurus
Ki Rasito terjatuh ke belakang.
"Ukh...!" pekik Ki Rasito pendek. Tak bisa bangun lagi karena dirinya saat itu
sedang sakit. Dadanya dirasakan sesak sukar bernapas.
"Ha ha ha...!"
Lelaki gendut tertawa-tawa. Lalu berseru
pada anak buahnya.
"Barkah! Bawa pergi tua bangka ini! Aku
sebal...!" Barkah yang berbadan besar, berwajah ditumbuhi brewok lebat dan kumis
tebal. Dengan seenaknya dia mengangkat tubuh Ki Rasito yang
kurus kering seperti menenteng seekor kucing sa-ja.
Pemuda tampan berpakaian kulit ular yang
sejak tadi memperhatikan, segera melompat ke
arah Barkah dan menghadangnya.
"Tunggu! Kenapa orang tua renta kau perla-
kukan seperti binatang" Mungkin kau ini turunan binatang, ya..."! He he he!"
ejek pemuda berpakaian kulit ular sambil cengengesan dan mengga-
ruk-garuk kepala. Tingkahnya konyol, seperti
orang gila. "Kurang ajar kau! Kupatahkan lehermu!"
bentak Barkah lalu melepas tubuh Ki Rasito hing-ga terjatuh ke tanah. Barkah
langsung menyerang pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
"Heaaat...!"
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tak
lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Hanya
dengan memiringkan tubuh ke samping kiri dan
kanan, dia mampu mengelakkan sabetan golok
Barkah sambil tertawa-tawa mengejek.
"Hi hi hi...! Lucu juga orang turunan binatang ini. Sudah tua masih mau main-
main. He he he...!" ejek Sena Manggala sambil mengelak dari babatan golok lelaki gagah
berkumis melintang itu.
"Pemuda gila! Mampus kau!" teriak Barkah sambil membabat kepala Sena.
Sena cepat menunduk mengelakkan sabe-
tan golok, sambil melancarkan serangan balik
yang tak diduga oleh Barkah. Karena serangan Se-na Manggala begitu cepat, tahu-
tahu sudah men-
darat tepat di ulu hati lawan.
Degh! Degkh! "Huukh...!"
Berkah memekik tertahan. Dadanya seketi-
ka terasa sesak. Goloknya terlepas dari gengga-
man. Tubuhnya terhuyung ke belakang lima tom-
bak dan muntah darah. Wajahnya seketika pucat,
lalu roboh pingsan.
Mata si gendut membelalak.
Demikian pula orang-orang yang ada di
tempat pelelangan ikan itu merasa kagum dengan
Sena. "Edan! Hebat pemuda yang tingkahnya seperti orang gila itu!" kata laki-
laki yang menyaksi-kannya kagum.
"Benar-benar mengagumkan pemuda itu.
Baru kali ini aku melihatnya!" tambah seorang la-ki-laki yang memanggul
keranjang sambil berge-
leng-geleng kepala.
"Padahal di desa ini orang takut dengan si Barkah sombong itu!" kata seorang
lelaki setengah baya. Si gendut mencabut goloknya, lalu membuat jurus pembukaan.
"Kau berani betul mencederai kawanku! Se-
karang rasakan golok ini! Heaaattt...!"
Wutt! Wuttt! "Heat...!"
Pendekar Gila mengelak dari sabetan golok
si gendut dengan melompat ke atas. Tubuhnya
bersalto ke belakang dua kali. Namun lelaki gendut bernama Ki Benen itu terus
menyerang dengan sengitnya. Sabetan dan tusukan goloknya dengan
cepat memburu tubuh Pendekar Gila.
Mau tak mau Sena harus terus bersalto dan
melenting ke atas atau merebahkan tubuhnya ke
belakang. "Aha, boleh juga si gendut jelak dan bau
amis ini!" kata Sena sambil terus mengelakkan serangan Ki Benen, yang memang
memiliki ilmu silat cukup tinggi dan tangguh. Permainan goloknya
sangat cepat dan lincah. Walaupun berbadan gen-
dut, gerakannya sangat ringan ke sana kemari
sambil menyabetkan goloknya memburu Pendekar
Gila. "Mampus kau, Anak Edan!" seru Ki Benen geram. "Heaaatt...!
"Eit...!"
"Kau tak akan bisa lolos, Bocah Edan!" ben-
tak Ki Benen seraya terus menyerang Sena dengan sabetan goloknya yang semakin
mengganas penuh
kemarahan. Karena emosi yang tak terkendalikan, se-
rangannya pun mulai tak terarah. Pendekar Gila
dengan mudah berkelebat menghindari serangan
Ki Benen sambil cengengesan.
"Benar-benar mabok orang ini!" gumam Se-na.
Dan begitu melihat lawannya lengah, sece-
pat kilat Pendekar Gila melancarkan serangan beruntun. Sambil memutar tubuh dia
melompat dan menendang. Degk! Bugh! "Aaaakh...!"
Brukkk! Ki Benen kontan memekik panjang, tubuh-
nya yang gemuk terpental ke belakang dan jatuh
terlentang. Tepat menindih tubuh Barkah yang
masih pingsan. Ki Benen mengerang kesakitan dan menco-
ba bangun, namun tak kuat, badannya kembali
roboh. "Ha ha ha...!" Orang-orang tertawa geli melihat Ki Benen yang biasanya
sok jago dan kejam kini bagai tikus tak bernyali.
"Itu imbalan orang jahat! Lintah darat...!"
umpat salah seorang lelaki, sambil menunjuk-
nunjuk ke arah Ki Benen.
"Waduh! Tapi kita bisa gawat, kalau pemu-
da itu sudah pergi dari sini! Ki Benen akan murka dan kita jadi korban...!" ucap
seorang lelaki seten-
gah tua dengan nada cemas.
Sementara itu sambil cengengesan Pende-
kar Gila mendekati Ki Rasito yang badannya nam-
pak masih lemah. Sena segera merangkul lelaki
tua berambut putih itu.
"Terima kasih, Anak Muda," suaranya serak dan tersendat-sendat.
"Ah, Bapak tak usah berterima kasih," jawab Sena ramah. "Kalau saya boleh tahu,
kenapa kedua orang itu berlaku kasar dan kejam?" tanya Sena sambil menggaruk-
garuk kepala. "Panjang ceritanya, Anak Muda...!" kata Ki Rasito.
*** Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala, menatap Ki Rasito dengan mengerutkan
kening. "Aneh orang tua ini, nampaknya dia tidak merasakan sakit atau terluka.
Aneh"!" batin Sena keheranan.
"Ceritakan apa sebenarnya yang terjadi
dengan desa ini" Di sini rasanya tenteram, tapi kenapa ada orang-orang macam
binatang yang tak
berperikemanusiaan!" tanya Sena sambil menuding ke arah Ki Benen yang masih
belum sadarkan diri, tergeletak menindih tubuh Barkah.
"Sudahlah, Anak Muda, tak usah diurus!
Kau telah melakukan hal yang baik," kata Ki Rasito, dengan suara serak. "Kalau
kau tidak keberatan, mari ikut Bapak...!" ajaknya kemudian. Ka-
kinya telah melangkah meninggalkan Pendekar Gi-
la. Sena mengerutkan kening memandangi Ki
Rasito yang aneh. Sementara itu orang-orang terus bergerombol memandangi Ki
Benen dan Barkah
yang masih pingsan karena luka dalam.
Sena masih tak mengerti dan menggaruk-
garuk kepala. "Ada apa dan siapa orang tua itu...?" gumam Sena dalam hati, lalu segera
menyusul Ki Rasito yang sudah agak jauh.
"Kenapa Bapak mengajakku" Apa ada hal
penting?" tanya Sena ketika sudah berjalan di samping Ki Rasito, yang kini
tubuhnya tidak membungkuk lagi, melainkan tegak. Hatinya se-
makin merasa aneh dengan lelaki tua itu.
"Hem...!" Ki Rasito menghentikan langkahnya. Begitu juga Sena. Sambil menggaruk-
garuk

Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala dia menatap Ki Rasito yang tersenyum pa-
danya. "Cepat katakan ada apa sebenarnya,
Pak...?" tanya Sena agak mendesak.
"Anak Muda, sejak tadi aku tahu siapa kau
sebenarnya. Aku sudah lama menunggu kedatan-
ganmu, Sena!" ujar Ki Rasito malah memojokkan Sena. "Hah"! Siapa sebenarnya kau
ini, Pak Tua"!"
tanya Sena heran sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sudahlah, yang jelas aku mengenalmu. Be-
gini, aku utusan dari Kerajaan Kawilangit untuk mencari pendekar yang berilmu
tinggi, guna mencari dan membebaskan putri raja yang diculik
orang-orang jahat," tutur Ki Rasito pada Sena.
"Lho..."! Kenapa mesti aku, Ki" Kan ada Senapati kerajaan"! Aku sendiri banyak
urusan," ka-ta Sena seenaknya sambil cengengesan.
"Raja Balawisesa orang bijaksana dan der-
mawan. Senapatinya tak sanggup menemukan Pu-
tri Palupi.... Saat ini raja menderita sakit, semen-jak putrinya hilang. Apakah
kau sebagai pendekar sejati tak akan menolong orang yang sedang menderita jiwa
dan batin itu"! Apalagi beliau seorang raja, pemimpin rakyat dari Negeri
Kawilangit...!"
Ucapan Ki Rasito menusuk hati Sena. Pe-
muda itu berpikir sejenak, sambil menggaruk-
garuk kepala. "Aku tidak memaksa. Terserah kamu."
Selesai bicara begitu Ki Rasito segera me-
langkah pergi tanpa bicara apa-apa lagi. Sena tersentak cepat memburunya.
"Tunggu, Pak...!" seru Sena sambil mengejar Ki Rasito. "Maaf, kalau begitu
baiklah. Sekarang katakan di mana Kerajaan Kawilangit itu?"
"Hm.... Ikut aku!" jawab Ki Rasito.
Lalu keduanya cepat meninggalkan tempat
itu, menuju arah utara. Ternyata Ki Rasito memiliki ilmu meringankan tubuh yang
cukup tinggi. Se-na menggeleng-gelengkan kepala merasa kagum,
sambil mengikuti lari Ki Rasito.
"Orang tua ini rupanya hebat juga ilmunya.
Edan! Aku harus hati-hati. Siapa tahu dia turunan jin atau setan belang," batin
Sena lalu, tertawa-tawa.
4 Lelaki berkedok yang membopong Putri Pa-
lupi, masih terus berlari diikuti temannya yang ju-ga berkedok. Mereka melompati
tebing dan jurang dengan mudahnya. Hingga dalam waktu singkat
keduanya sudah berada di suatu tempat yang
aman, jauh dari tempat tadi.
"He he he...! Kita akan dapatkan hadiah besar...!" kata lelaki yang memakai baju
dari kulit macan loreng dan celana hitam. Lalu membuka
kedoknya. Kini terlihat burik tutul hitam dikulit wajahnya yang merah. Rambutnya
dibiarkan teru-rai panjang melewati bahu. Dengan ikat kepala kulit macan pula.
"Benar, Kakang Amangjalu! Tapi, apakah
Kakang akan menyerahkan putri ayu ini, sekarang juga pada pemiliknya"!" Toh
Jenar bertanya.
Amangjalu menghentikan larinya dan berpi-
kir sejenak. Toh Jenar pun menghentikan langkahnya.
Kemudian membuka kedoknya. Terlihat kini wa-
jahnya yang lonjong dengan dagu lancip. Hidung-
nya mancung ke bawah pula, persis Jengkis Khan!
Matanya tajam dan serba hitam. Ikat kepalanya
pun hitam. "Kita yang mengadu nyawa kenapa orang
lain yang akan mendapatkan buahnya?" tukas Toh Jenar lagi. "Apalagi tangkapan
kita kali ini bukan gadis sembarangan, Kakang! Putri raja! Kita bisa mendapatkan
keuntungan ganda kalau Kakang
mau!" "Benar. Kau terkadang punya otak encer.
Ha ha ha...!" ujar Amangjalu sambil menepuk-nepuk bahu Toh Jenar dengan tangan
kanannya. Kemudian ditepuknya pantat Putri Palupi yang tak berdaya, karena telah
ditotoknya. Setelah itu segera melesat, diikuti Toh Jenar.
Udara siang yang panas menyengat tak
membuat Amangjalu dan Toh Jenar merasa lelah
atau kepanasan, walaupun keduanya sudah berla-
ri cukup jauh. Suara tawa Amangjalu terus menggema di
antara tebing-tebing yang curam yang mereka le-
wati. Dalam waktu singkat Amangjalu dan Toh
Jenar sudah sampai di markasnya yang terletak di dekat sebuah telaga. Tempat itu
sangat angker. Tak sembarang orang dapat melewati sekitar telaga tersebut. Jika tak memiliki
ilmu tinggi akan teng-gelam, tersedot air telaga yang nampak jernih dan tenang.
Bagaikan terbang, Toh Jenar dan Amangjalu yang membopong tubuh Putri Palupi
melesat di atas air telaga.
Sampai di seberang Amangjalu cepat me-
masuki sebuah goa yang mulutnya ditutupi akar-
akar pohon. Hingga sekilas tak terlihat ada goa di tempat itu.
*** Sementara itu di Kerajaan Kawilangit sua-
sana berkabung masih menyelimuti orang-orang di istana. Tak ada tawa atau suara.
Prakaspati dan Bratamurti nampak murung, sedih menyaksikan
rajanya yang terbaring di atas ranjang dalam keadaan sakit.
Kedua senapati kerajaan itu merasa bersa-
lah karena tak dapat menyelamatkan Putri Palupi.
Bahkan sampai saat ini belum juga dapat mene-
mukan di mana Putri Palupi berada. Apalagi men-
getahui penculiknya.
Di sana nampak pula Raden Sasakajiwo
yang juga nampak cemas dan sedih.
"Bagaimana ini bisa terjadi" Aku menyesal
kenapa tak menjemput kalian, ini semua salahku,"
ujar Raden Sasakajiwo menyalahkan diri sendiri.
"Tidak, kami berdua yang bersalah, Raden.
Maafkan kami! Maka dari itu saya segera memberitahukan Raden karena Paduka Raja
ingin bertemu Raden," sahut Prakaspati lalu menjura.
"Sasaka.... Kemarilah...!" terdengar suara serak Raja Balawisesa memanggil Raden
Sasakajiwo. Segera Raden Sasakajiwo mendekati raja
yang terbaring itu, lalu menjura.
"Kau harus mencari putriku sampai dapat.
Karena dia calon istrimu, Sasaka," pinta Raja Balawisesa lemah.
"Hamba berjanji akan mencari Palupi. Akan
hamba bunuh dan cincang penculik itu!" jawab Raden Sasakajiwo geram.
Raja Balawisesa tersenyum pahit menatap
calon menantunya itu. Sepertinya merasa tak ya-
kin dengan ucapan Raden Sasakajiwo. Entah ke-
napa. "Semoga janjimu itu kau jalani dengan benar," ujar Raja Balawsesa lemah.
Raden Sasakajiwo tersentak ketika menden-
gar ucapan Raja Balawisesa. Wajahnya seketika
berubah dan agak gugup.
"Hamba berjanji...! Sekarang, izinkan ham-
ba kembali ke Candra Mulia...!" pinta Raden Sasakajiwo sambil menjura.
Raja Balawisesa hanya mengangguk. Raden
Sasakajiwo lalu melangkah pergi diikuti oleh Prakaspati.
Pada saat itu muncul Ki Rasito diikuti Sena
yang nampak santai dan cengar-cengir persis
orang gila. Raden Sasakajiwo menghentikan langkah-
nya, sejenak menatap Sena dengan pandangan si-
nis. Sena tak acuh dan menggaruk-garuk kepala.
Raden Sasakajiwo masih memandangi Sena
yang cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepala.
Raja muda itu mengerutkan kening.
Pada saat itu Ki Rasito memberi salam
sambil menjura.
"Apa kabar, Raden...?" sapa Ki Rasito penuh hormat.
"Baik, Ki...," sahut Raden Sasakajiwo terdengar hambar.
Pendekar Gila kemudian menatap Raden
Sasakajiwo sambil cengengesan. Matanya beradu
tatap dengan mata Raden Sasakajiwo. Rupanya
pandangan mata Sena seakan menusuk tajam,
hingga Raden Sasakajiwo cepat berpaling, lalu
kembali melangkah pergi.
"Siapa pemuda itu" Rasanya aku pernah
mengenalnya.... Tingkahnya aneh...."
"Semua tokoh-tokoh rimba persilatan men-
genalnya, Raden...," sahut Prakaspati dengan suara mantap.
"Ya, siapa dia"!" tanya Raden Sasakajiwo mendesak
Belum sempat Prakaspati menjawab, tiba-
tiba terdengar panggilan dari dalam.
"Prakaspati, Raja memanggil."
"Maaf, Raden! Saya hanya bisa mengantar
sampai di sini," kata Prakaspati sambil menjura la-lu segera kembali ke istana.
Raden Sasakajiwo mengerutkan kening, lalu
cepat keluar dari situ.
"Tingkahnya aneh, seperti orang gila! Ya.
Aku ingat, mungkin pemuda itu yang disebut Pen-
dekar Gila...!" gumam Raden Sasakajiwo. "Lantas untuk apa dia datang
kemari..."!" tanyanya dalam hati. Pengawal Raden Sasakajiwo membawa kudanya
mendekati sang Raja Muda yang sudah be-
rada di halaman istana Kerajaan Kawilangit.
Raden Sasakajiwo segera melompat ke atas
kudanya dan memacunya meninggalkan halaman
Kerajaan Kawilangit diikuti lima pengawalnya.
Kembali ke ruangan Raja Balawisesa. Raja
itu masih terbaring di tempat tidurnya. Kini Sena dan Ki Rasito sudah berada di
dekat ranjang raja.
Keduanya duduk bersila ditemani Bratamurti dan
Prakaspati yang baru saja duduk di sisi Pendekar Gila. "Berkat doa Paduka, hamba
dapat bertemu dengan pendekar yang Paduka inginkan. Sena
Manggala atau Pendekar Gila," tutur Ki Rasito penuh hormat lalu menjura.
Raja Balawisesa berusaha bergerak bangun,
lalu bersandar dibantu dua dayang. Matanya me-
natap ke arah Sena sambil tersenyum. Wajahnya
nampak sedikit cerah, tak seperti tadi.
"Aku sangat berterima kasih, kau bersedia
datang. Suatu kehormatan yang besar bagiku, ka-
rena seorang pendekar sejati yang sangat tersohor bersedia menjumpaiku. Raja
yang lemah ini...,"
ujar sang Raja Balawisesa.
"He he he.... Jangan memuji seperti itu.
Saya hanya manusia biasa, sama seperti yang
lain...," sahut Sena polos dan lugu. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. Semua yang berada di situ merasa kagum
dengan keberadaan Pendekar Gila yang apa
adanya, polos dan lugu. Tak tinggi hati.
"Kau benar-benar pendekar sejati. Aku se-
nang dengan jawabanmu yang polos itu." Kembali Raja Balawisesa memuji Sena.
Beberapa saat tak ada kata-kata lagi, hen-
ing. Baru kemudian Raja Balawisesa menjelaskan
maksudnya, bahwa dia mengharapkan Sena mem-
bantu, menyelidiki siapa penculik putrinya. Bahkan kalau dapat membawa kembali
putrinya den- gan selamat. Dan raja berjanji akan memberikan
hadiah yang berharga pada Sena. Namun Sena
menolaknya. "Saya tak mengharapkan hadiah atau apa
saja dari Paduka. Itu tak pernah ada dalam pikiran saya. Kalau memang Raja
menginginkan pertolongan, akan saya laksanakan tanpa pamrih. Hanya
doa restu Raja yang saya harapkan," jawab Sena masih dengan cengengesan.
Raja Balawisesa mengangguk-angguk dan
tersenyum. Dia merasa kagum dengan pribadi
pendekar muda itu.
"Dia benar-benar pendekar berhati mulia
dan bijaksana. Kalau saja aku mempunyai putra
seperti dia. Alangkah bahagianya hidup ini," kata Raja Balawisesa dalam hati.
Matanya terus menatap ke arah Sena.
"Kalau begitu kami secepatnya akan me-
rundingkan rencana penyelidikan dengan Sena,"
ujar Ki Rasito kemudian.
"Baiklah. Kuserahkan semuanya padamu,
Ki," jawab Raja Balawisesa.
"Kami mohon diri," kembali Ki Rasito menjura lalu pergi diikuti Sena,
Prakaspati, dan Bratamurti menuju ruangan lain.
Raja Balawisesa memandang mereka den-
gan hati lega dan yakin akan keberhasilan Sena
untuk menemukan putri tunggalnya yang ingin di-
tunangkan dengan Raden Sasakajiwo itu.
*** Di sebuah ruang tertutup, Ki Rasito, Sena,
Prakaspati, dan Bratamurti membicarakan hilang-
nya Putri Palupi.
"Memang aneh kalau kita terka. Sepertinya
ada sesuatu yang tidak beres!" tutur Ki Rasito.
"Benar. Kami merasa Raden Sasakajiwo se-
pertinya tak begitu terkejut ketika mendengar berita tentang diculiknya Putri
Palupi....' tambah Prakaspati yang duduk di antara Ki Rasito dan Bra-
tamurti. "Anehnya lagi, kenapa Raden Sasakajiwo
yang seharusnya mengirim prajuritnya untuk
mengamankan daerah tidak dilaksanakan. Ini
yang sangat ganjil menurut saya, Ki...," ujar Bratamurti mengungkapkan
pendapatnya. "Sampai ki-ta kehilangan Kakang Haryo Sasongko dalam per-
tempuran itu...!" tambah Bratamurti.
Ki Rasito manggut-manggut sambil menge-
lus-elus janggutnya. Sementara Pendekar Gila
nampak menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-
tiba Sena menukas.
"Apakah Raden Sasakajiwo itu, lelaki yang
tadi ketemu di ruangan raja?" tanya Sena.
"Betul!" jawab Ki Rasito.
"Hi hi hi...! Lucu, dunia ini memang serba aneh, penuh dengan kejadian
menyedihkan dari
orang-orang licik. Benar-benar edan!" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Apa maksud Tuan Pendekar..."!" tanya Prakaspati ingin tahu.
"Apakah kau mencurigai Raden Sasakaji-
wo"!" tanya Ki Rasito tanpa ragu-ragu. Sebab, orang tua itu sebelumnya juga
menaruh curiga terhadap Raden Sasakajiwo yang merencanakan
penculikan atas Putri Palupi.
Sena hanya cengar-cengir dan bertingkah
seperti orang gila. Membuat ketiga orang yang di situ senyum-senyum dan merasa
aneh melihat

Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tingkah pendekar itu.
"Apa yang kau ucapkan itu sepertinya be-
nar, Ki," jawab Sena, sambil cengar-cengir. "Kalau kita sepakat menduga seperti
itu, aku akan me-nyelidikinya. Aku ingin seorang teman," tambah Sena lalu
menoleh ke arah Prakaspati.
"Saya akan mendampingi Tuan Pendekar!"
sahut Prakaspati dengan penuh semangat.
"Aku pun ikut, jika Tuan Pendekar mengin-
ginkan. Siapa pun penculik dan yang merencana-
kan penculikan itu, aku bersumpah ingin memba-
las kematian Kakang Haryo. Aku rela mati...!" ucap Bratamurti dengan geram.
Pendekar Gila hanya tertawa-tawa dan
menggaruk-garuk kepala menoleh ke Ki Rasito.
"Terserah pada Ki Rasito saja. Aku senang
juga ditemani."
Ki Rasito berpikir sejenak kemudian meno-
leh ke arah Prakaspati dan Bratamurti. Lalu
manggut-manggut.
"Kalau kalian berdua ingin membantu Pen-
dekar Gila, aku tidak keberatan. Tapi ingat, jangan ceroboh! Bisa menggagalkan
semua rencana Sena.
Terutama kau, Bratamurti, jangan turuti amarah-
mu!" saran Ki Rasito penuh wibawa.
"Saya akan patuhi pesan itu, Ki," jawab Bratamurti tegas.
"Baiklah. Kalau begitu pagi-pagi sekali ka-
lian harus berangkat ke Kerajaan Candra Mulia...!"
ucap Ki Rasito kemudian.
5 Pendekar Gila yang ditemani Prakaspati dan
Bratamurti sudah memasuki wilayah Kerajaan
Candra Mulia. Ketiganya menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan pakaian orang-
orang desa. Suasana di sekitar Kerajaan Candra Mulia
nampak biasa-biasa saja. Tak ada kejanggalan,
hanya saja pengamanan terasa lebih ketat. Tak
sembarangan orang masuk. Hampir semua sudut
istana kerajaan dijaga dua atau tiga prajurit, dengan senjata lengkap.
"Nampaknya tak ada keganjilan di Candra
Mulia, Tuan Pendekar," kata Prakaspati lirih pada Sena. Mereka terus melangkah
melewati pintu gerbang kerajaan, di antara orang-orang desa yang
berlalu lalang di situ.
"Hi hi hi...! Kelihatannya memang begitu.
Kita tunggu saja!" ucap Sena seenaknya.
"Aku sudah tak tahan ingin segera menge-
tahui siapa penculik Putri Palupi. Akan kucincang dia!" sahut Bratamurti.
"Sabar, jangan gegabah! Ingat pesan Ki Ra-
sito," tukas Prakaspati.
Mereka berhenti bicara ketika telah berada
di bawah pohon rindang tak jauh dari pintu ger-
bang Istana Kerajaan Candra Mulia.
Dari pintu gerbang keluar dua orang pe-
nunggang kuda berwajah garang. Mereka memacu
kuda dengan kencang melewati tempat Sena, Pra-
kaspati, dan Bratamurti berteduh. Derap kaki ku-da yang kencang itu menimbulkan
debu beterban- gan. Hampir saja seorang wanita dan anaknya ke-
na terjang salah satu kuda yang ditunggangi orang berwajah garang itu. Untung
saja Sena cepat melompat dan menyambar wanita setengah baya dan
anaknya yang masih kecil.
Gerakan Sena yang cepat dan tak diduga
sama sekali oleh Prakaspati dan Bratamurti,
membuat kedua senapati itu ternganga dan ka-
gum. Penunggang kuda tak menghiraukan dan
terus saja memacu kudanya lebih kencang!
"Terima kasih, Anak Muda. Terima kasih...,"
kata wanita setengah baya itu.
"Hati-hati, Ni...!" kata Sena ramah. Wanita itu mengangguk lalu pergi. "Apakah
kalian mengenal siapa penunggang kuda tadi..."! Nampaknya bukan orang sini,"
tanya Sena kepada kedua kawannya.
"Ya. Aku tadi masih sempat melihat jelas.
Bahwa kedua orang penunggang kuda ternyata to-
koh aliran hitam dari Goa Lawa!" jawab Prakaspati.
"Siapa nama mereka"!" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Amangjalu dan Toh Jenar," jawab Prakaspati lagi
"Hah"!" Bratamurti tersentak kaget mendengar nama itu. "Ada apa tokoh-tokoh
sesat itu datang kemari"!"
"Kini dugaan Tuan Pendekar mendekati ke-
benaran. Mungkin Raden Sasakajiwo bersekongkol
dengan kedua tokoh sesat itu untuk menculik Pu-
tri Palupi!" tutur Prakaspati.
"Untuk apa Raden Sasakajiwo berbuat begi-
tu"! Bukankah Putri Palupi calon permaisurinya!"
sahut Bratamurti dengan suara sumbang.
"Aneh memang! Aku rasa Raden Sasakajiwo
punya maksud jahat terhadap Kerajaan Kawilan-
git," tukas Prakaspati menerka-nerka.
Sena hanya cengar-cengir mendengar uca-
pan kedua Senapati Kerajaan Kawilangit itu.
"Kita tak usah menerka-nerka, yang pasti fi-rasatku mengatakan ada
ketidakberesan pada diri Raden Sasakajiwo!" tukas Sena.
"Mungkin! Sekarang apa yang harus kita la-
kukan?" tanya Bratamurti. "Kita berpencar mencari tahu. Bagaimana"!"
"Tunggu!" seru Sena sambil menunjuk ke arah pintu gerbang istana Kerajaan Candra
Mulia, Prakaspati dan Bratamurti menoleh.
Ternyata Raden Sasakajiwo dengan me-
nunggang kuda putih bersama lima orang penga-
walnya keluar dari istana kerajaan. Mereka mema-cu kuda-kuda ke arah yang sama
dengan dua to- koh sesat tadi.
"Mari, kita ikuti!" seru Sena, lalu melesat pergi disusul Prakaspati dan
Bratamurti. Ketiganya menggunakan ilmu meringankan tubuh
yang sempurna. Hingga ketiganya bagai terbang,
terus melesat mengejar rombongan Raden Sasaka-
jiwo. *** Kuda yang ditunggangi Raden Sasakajiwo
berlari kencang diikuti kelima kuda para penga-
walnya. Mereka menyusuri jalan tanah yang ker-
ing. Debu terus beterbangan karena kaki-kaki ku-da itu. Sementara itu Sena dan
kedua Senapati Kawilangit masih terus melesat berlari kencang
menelusuri jalan lain, mereka memotong jalan.
Mereka sampai di suatu tempat yang cukup
terlindung jauh dari kerjaan. Suatu tempat yang dikelilingi batu-batu cadas
pepohonan. Tempatnya di dekat hutan. Kuda Raden Sasakajiwo tiba-tiba berhenti
demikian juga dengan kelima pengawalnya. Tak berapa lama kemudian muncullah dua
orang dari arah hutan menunggang kuda.
"Kenapa kalian berdua datang ke kerajaan"!
Orang-orang pasti curiga. Bagaimana kalau ada
orang dari Kerajaan Kawilangit melihat kalian berdua"!" kata Raden Sasakajiwo
dengan nada kesal.
"Ha ha ha...! Jangan khawatir, kalaupun
ada yang mengetahui hal itu, tak jadi soal. Yang penting putri itu sudah di
tangan kita...!" jawab Amangjalu.
"Diam...! Kau bicara terlalu berani!" sambar Raden Sasakajiwo dengan
mengacungkan tangan
kananya. Sementara itu Sena dan kedua temannya
sudah bersembunyi di balik batu-batu cadas. Me-
reka mendengarkan pembicaraan itu. Bratamurti
Kaki Tiga Menjangan 37 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pendekar Guntur 19
^