Pencarian

Pusaka Penebus Dendam 1

Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam Bagian 1


PUSAKA PENEBUS DENDAM Oleh D. Affandi
Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh : Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit D. Affandi
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 006 :
Pusaka Penebus Dendam
ABU KEISEL http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Tubuh tumpang tindih berlumuran
darah, kaki, tangan, kepala terputus dari badannya. Usus terburai, tua muda,
laki-laki perempuan bahkan
sampai pada anak-anak yang tiada
memiliki dosa apa-apa, semuanya tewas terbantai. Mayat-mayat bergeletakan di
mana-mana, bau kotoran dan amis darah, semuanya berbaur menjadi satu.
Pemandangan di daerah itu benar-benar sangat mengerikan sekali bahkan
terlalu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Hujan yang turun begitu
lebatnya sejak awal terjadinya
peristiwa pembantaian itu bahkan
hingga peristiwa pambantaian itu
berakhir, masih belum juga reda. Akan tetapi guyuran hujan yang begitu
lebatnya tak mampu memadamkan kobaran api yang membakar seluruh rumah yang ada
di desa itu. Bau daging terbakar ke mana-mana. Sesungguhnya memang begitu! Di
antara korban-korban itu memang ada yang tidak sempat keluar dari rumahnya.
Mereka ini langsung dibunuh di tempat oleh serombongan
orang-orang berkuda yang jumlahnya tidak lebih dari empat puluh orang!
Tidak begitu jauh dari tempat
malapetaka itu terjadi, tampak seorang pemuda berlari cepat menuju daerah yang
kini sedang dilanda lautan api.
Gerakannya sangat ringan, tubuhnya berkelebat di sela-sela pohon rumbia.
Dalam waktu sekejap sampailah dia ditempat kejadian! Wajah pemuda ini mendadak
berubah pucat, jantung
berdetak cepat! Apa yang dia lihat hanyalah tumpukan mayat di sana sini.
Mayat dari orang-orang yang sangat dikenalnya bahkan mungkin orang-orang yang
sangat dicintainya. Pemuda ini kemudian melangkah cepat pada bekas sebuah rumah
yang selama ini dia
tinggalkan, bahkan hampir empat tahun lebih. Begitu sampai di depan rumah yang
kini hanya tinggal puing dan bara menyala, sepasang matanya yang selalu menatap
hampa itu nampak liar
memandang ke sekelilingnya. Di halaman samping, dia melihat sosok tubuh
bermandikan darah nampak tergeletak tanpa daya. Dengan sekali lompat, sampailah
pemuda ini pada mayat seorang perempuan tua yang tak lain merupakan ibu
kandungnya sendiri.
Pemuda itu segera membalikkan tubuh yang sudah dingin dan kaku ini. Begitu tubuh
itu terlentang dia berseru tanda kaget luar biasa. Selain isi perutnya yang
terburai, wanita malang itu juga mengalami luka pada bagian dada, dan juga
pangkal tenggorokan yang hampir terputus. Lebih dari itu, pada bagian kepala
nampak cengkah bekas di pukul benda tumpul sehingga otaknya yang berwarna putih
kecoklat-coklatan itu berhamburan ke mana-mana. Pemuda ini meraung setinggi
langit! Suaranya menyayat memilukan hati! Sambil
menangis itu dipelukinya tubuh ibunya yang malang. Pemuda itu terus menangis dan
tiada henti-hentinya dia meratap, bahkan menyesali dirinya sendiri.
Tangis yangberkepanjangan dan tiada henti, dalam waktu sekejap saja telah
membuat kedua mata pemuda itu menjadi merah dan membengkak. Akhirnya dia pun
sadar, meskipun tetesan air mata darah sekalipun yang ke luar, hal itu tak kan
mungkin menghidupkan orang yang sudah mati. Tiba-tiba dia seka kedua kelopak
matanya yang agak le-bar itu, kedua bola matanya menatap hampa pada orang yang
paling sangat dikasihaninya. Seorang ibu yang selama
hampir sembilan belas tahun telah mengasuhnya dengan pengorbanan yang tiada
sedikit. Lebih dari itu, siapakah yang
telah begitu tega membunuh ibunya yang dikenal orang sebagai orang yang
sangat baik dan penyantun pada sesama mahluk hidup. Sepanjang
yang dia ingat, ibunya yang bernama Pujita Sari itu tidak mempunyai seorang musuh pun.
Terlepas dari semua itu, dia merupakan seorang tokoh silat yang memiliki
kepandaian sangat tinggi. Kalau hanya mendapat keroyokan tiga sampai sepuluh
orang belum tentu dia akan kalah, lebih dari itu mengapa sampai desa itu dibakar
bahkan tak seorangpun dari penduduknya yang dibiarkan hidup"
Perbuatan biadap sia- sehingga berani turun tangan sampai sekeji itu"
Memandangi mayat ibunya! Lama-lama pemuda itu berkata seorang diri.
"Aduh emak! Kalau aku tau akan begini jadinya, tidak aku turuti
perintahmu untuk berguru pada eyang Siku Panulu! Empat tahun adalah waktu yang
sangat lama! Engkau kutinggalkan seorang disini, semua itu hanya karena aku
ingin disebut sebagai seorang anak yang berbakti! Akan tetapi...!" Belum
lagi pemuda bertangan buntung itu sempat melanjutkan kata-katanya,
mendadak tiga butir air matanya
menggelinding jatuh, dia teramat
sedih, hatinya benar-benar sangat terpukul. Dengan masih tersendat dia
menyambung kembali," Emak! Belum lagi aku dapat membalas semua kebaikanmu, tiba-
tiba engkau pergi dengan keadaan yang sangat menyedihkan sekali! Oh!
Pada siapa kuharus bertanya tentang semua ini...!" ujar si pemuda dengan wajah
semakin kuyu. Lagi-lagi dia memandang pada
sekelilingnya, mayat-mayat
bergelimpangan, darah berceceran!
Secara tiba-tiba pemandangan seperti itu membangkitkan amarahnya. Kedua matanya
mendadak bernbah liar dan beringas, tubuh menegang, sementara kedua bibirnya
terkatup rapat-rapat.
"Mayat-mayat tak berdosa!
Pembunuh-pembunuh bangsat...! Iblis-iblis berhati
laknat...! Tak kan
kubiarkan semua ini berlalu begitu saja. Kalian telah membunuh penduduk desa
yang tiada berdosa. Kalian telah membunuh emaaaakkuuuu...!" Bagai orang yang
sedang kerasukan setan pemuda ini berteriak-teriak memecah keheningan.
Si pemuda yang sedang mengalami
guncangan batin yang sangat hebat ini tiba-tiba berubah bagai orang
linglung, sebentar dia menangis bagai anak kecil di lain saat dia tertawa
tergelak-gelak sambil mengumbar
pukulan-pukulan yang sangat dahsyat, di sekitar tempat itu menjadi porak
peranda. Tubuh-tubuh yang sudah tiada bernyawa itu berpelantingan tak tentu
ujudnya. Agaknya dia sudah berubah menjadi edan, karena tidak mampu
menahan guncangan batin yang maha hebat. Sambil memanggul tubuh ibunya yang
sudah kaku dia berjingkrak-jingkrak kesana ke mari.
Pada saat yang bersamaan tiba-
tiba terdengar gelak tawa yang sangat memekakkan gendang-gendang telinga.
Begitu suara tawa menggelegar itu terhenti, mendadak terdengar pula ucapan
mengejek dan mencaci maki:
"Budak tolol yang bernama Awang Taruna! Kunyuk hina yang mengaku
sebagai anak cecurut golongan berhati lurus! Bagimu
kematian mungkin
sesuatu yang sangat mengerikan! He.., he... he...!" kata suara itu sambil
terkekeh kembali. Akan tetapi
sesungguhnya kematian itu walau
bagaimana ujudnya merupakan sesuatu yang pasti dan tak bisa ditawar-tawar lagi.
Mengapa harus menyesal, mengapa engkau harus marah" Semua penduduk di desa ini
memang sudah selayaknya
mampus. Pula kematian ibumu yang
berkedok sebagai kaum yang lurus!
Membabat rumput memang harus tuntas sampai ke akar-akarnya agar kelak tak
menjadi biang penyakit. Karena mereka memang masih kurang begitu becus
membongkar akar! Maka kami akan
melanjutkan pekerjaan mereka yang belum selesai...!" kata suara itu dengan nada
penuh ancaman. Awang Taruna yang mulai detik itu fikirannya memang sudah tak dapat berjalan
normal, malah nampak tertawa panjang-panjang. Meskipun begitu, keberingasan
tetap terpancar dari tatapan matanya yang memerah.
"Kematian... menyesal...
marah...! Agaknya engkau setan neraka yang telah membunuhi mereka...!"
bentak Awang Taruna yang memang sudah berubah setengah gila.
"Kalau memang benar engkau setan neraka! Tunjukanlah mukamu...!" kata Awang
Taruna menyambung. Terdengar
kembali gelak tawa dari rerumpunan pohon rumbia.
"Rupanya kematian ibumu benar-benar telah membuatmu menjadi setengah gila
Bagus... membunuh orang gila memang sama mudahnya dengan membunuh seekor anjing
kesurupan...!" Bersamaan dengan ucapannya itu, tahu-tahu di depan Awang Taruna
telah berdiri dua orang kakek bungkuk berkepala botak berjanggut putih. Tubuh
mereka setengah telanjang dengan bercawatkan kulit kambing. Mulut kedua orang ini tak
henti-hentinya berkomat-kamit.
Sedangkan hampir keseluruhan badan mereka dipenuhi dengan gambar tatto perempuan
telanjang dengan berbagai posisi. Orang-orang persilatan
mengenal mereka sebagai Dua Bangkotan Pelalap Daun Muda berasal dari Pulau
Putri. Selama malang melintang dalam rimba persilatan mereka ini terkenal dengan
segala kejahatannya dalam
menculik dan melarikan anak bini
orang. Ilmu kepandaian mereka,
golongan manapun belum ada yang mampu menandinginya, telengas dan merupakan dua
orang pembunuh berdarah dingin. Di kolong langit ini hanya ada seorang tokoh
yang membuat mereka jeri. Yaitu
dedengkot persilatan golohgan putih yang telah hampir dua puluh tahun
mengasingkan diri di dasar air terjun Sampuran Harimau. Siapa lagi kalau bukan
Eyang Wiku Panulu yang juga masih merupakan guru Awang Taruna yang sudah berubah
setengah gila. Kini ketiga orang itu sudah
saling berhadap-hadapan, kedua kakek botak yang memiliki nama asal Datuk Kwalat
dan Datuk Kwali ini memandang sinis pada Awang Taruna setengah gila.
Sesungging senyum sinis membangkitkan dendam masa lalu mereka pada Pujita Sari,
yaitu ibu kandung Awang Taruna.
Tiba-tiba Datuk Kwalat menghardik:
"Hemmm! Engkau titisannya Bayu Siliwara yang telah merampas Pujita Sari dari
genggaman kami! Wajahmu benar-benar sangat mirip dengan Bayu Siliwara yang telah
mampus delapan belas tahun yang lalu di tangan kami.
Meskipun si Bangsat itu telah mampus, akan tetapi dendam kami tetap setinggi
langit! Pujita Sari yang kami cinta telah berangkat pula ke akherat oleh tangan-
tangan si Kumbang Kencana. Kami tak hendak bermusuhan mereka, karena
sesungguhnya Kumbang Kencana juga terlibat hubungan cinta dengan emakmu
yang dulu sangat cantik menggiurkan setiap laki-laki...!"
"Kupu-kupu malang itu kini telah mampus! Sebagai keturunannya engkau pun harus
mampus pula...!" sambung Datuk Kwali.
Sementara itu, Awang Taruna yang
kesadarannya sudah mulai hilang timbul nampak terlongong-longong. Meskipun
begitu dia mempunyai anggapan bahwa pastilah orang yang sedang berhadapan dengan
dirinya itu merupakan orang yang menyebab malapetaka di desanya.
"Bangsat betul! Emakku yang sudah tua engkau bilang kupu-kupu! Jadi kalianlah
monyetnya yang telah
membunuh orang-orang di sini...!"
bentak Awang Taruna tertawa sambil marah. Baik Datuk Kwalat maupun Datuk Kwali,
nampak saling pandang
sesamanya, mereka geleng-gelengkan kepala. Karena pada kenyataannya si pemuda
keturunan Bayu Siliwara itu benar-benar sudah setengah gila.
"Bocah edan! Bukan kami yang bunuh emakmu... tapi komplotan Kumbang Kencanalah
yang telah melakukannya!
Biarpun begitu, karena engkau monyet keturunannya Bayu Siliwara, maka kami pun
akan membunuhmu...!" bentak Datuk
Kwali sangat marah. Awang Taruna
tergelak-gelak, digoyang-goyangkan mayat ibunya yang menggelantung di bahu
kirinya. Sisa-sisa darah nampak menetes lalu membasahi bajunya yang berwarna
kuning gading. "Bagus... bagus...! Kalian memang benar-behar seorang ksatria... sudah membunuh
orang banyak mau pula
mengakui perbuatannya. Cepat-cepatlah kalian membunuh diri di depan mataku, biar
tak usah bersusah payah aku
mengotori tanganku dengan darah...!"
Demi mendengar jawaban si pemuda, mendadak wajah Dua Bangkotan Pelalap Daun Muda
berubah menjadi kelam
membesi. Mereka memaki panjang pendek!
Cara berfikirnya Awang Taruna yang sudah salah kaprah itu membuat kedua orang
ini menjadi sangat kesal
setengah mati. "Kunyuk sinting! Kiranya kematian emakmu, benar-benar telah membuatmu jadi
gila...!" bentak Datuk Kwalat sangat murka sekali.
"Kalau begitu cepat kita gebuk saja bocah gendeng ini kakang...!"
Datuk Kwali sudah tak sabaran lagi.
Dalam pada itu tanpa menghiraukan ucapan kedua Bangkotan Pelalap Daun
Muda, Awang Taruna malah balas
membentak: "Tua bangka muka tuyul...! Sedari tadi kalian cuma ngoceh tak karuan!
Katanya mau bunuh diri, mana...! Cepat lakukan...!"
"Kakang, bocah gemblung ini
mulutnya semakin kurang ajar saja...!"
ujar Datuk Kwali sambil perotkan
mulutnya. "Engkaupun tolol! Sudah ketahuan orang gila, masih juga kau ajak
ngomong! Tunggu apa lagi! Mari kita gebuk beramai-ramai...!" Tanpa berkata-kata
lagi, kedua Datuk dari Pulau Putri inipun langsung menyerang Awang Taruna.
Biarpun sudah setengah gila, agaknya naluri kependekarannya masih menyadari
adanya bahaya yang sedang
mengancamnya, dengan sangat
mudah dia berkelit kemudian mundur sepuluh langkah.
* * * 2 Dengan masih memanggul mayat ibu-
nya, pemuda linglung inipun membentak
marah pada kedua datuk ini: "Kurang ajar! Kalian telah mengingkari janji kalian
sendiri! Kalian benar-benar setan berkedok tuyul...! Setan tuyul harus mampus!
"Malang sekali nasibmu bocah!
Sudah gila harus mampus pula...!"
berkata begitu Datuk Kwalat langsung menerjang dengan serangan-serangan ganas,
Datuk Kwalipun tidak tinggal diam, dengan jurus Menyibak Kuntum Menghisap Madu,
laki-laki berkepala botak ini kirimkan pukulan-pukulan yang sama hebatnya pada
Awang Taruna. Tangan dan kaki mereka berkelebat sangat cepat, mencecar bagian tubuh Awang
Taruna yang nampak lemah dan rawan. Inilah sifat dari jurus Dewa Timbulkan
Bencana yang pernah
diturunkan oleh gurunya Eyang Wiku Panulu. Memancing lawan untuk memukul atau
lancarkan serangan pada bagian yang sengaja dibiarkan terbuka setelah lawan
terpancing dan lancarkan
serangan maka dengan cepat kirimkan pukulan yang mematikan.
Ternyata pancingan yang
dilancarkan oleh Awang Taruna yang setengah edan itu nampaknya


Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendatangkan hasil. Karena begitu
melihat pertahanan lawan nampak
terbuka di beberapa bagian, bagai anjing yang hendak berebut tulang.
Kedua datuk bersaudara inipun langsung kirimkan satu pukulan yang ganas
mengarah pada bagian perut, dada serta leher lawannya. Pukulan ganas itupun
menderu dan timbulkan suara
menggemuruh bagaikan hujan lebat.
Hanya tinggal berjarak satu inci saja pukulan itu mencapai sasarannya. Dalam
hati merekapun berharap, dengan satu kali pukulan yang berisi tenaga dalam itu
segera meremukkan dada dan perut lawannya. Akan tetapi sungguh di luar dugaan
kedua orang ini, secepat kilat tubuh Awang Taruna melesat cepat ke udara sambil
hadiahkan dua pukulan hebat yang oleh Eyang Wiku Panulu diberi nama Menembus
Kabut Memukul Hantu pada kedua orang datuk ini. Baik Datuk Kwalat maupun Datuk
Kwali yang tiada menyangka bahwa pukulan mereka dapat dielakkan oleh lawannya
yang sudah setengah gila, nampak menjerit keras. Kepala mereka yang botak
pelontos nampak memar membiru, terasa sangat panas dan pusing luar biasa.
Lebih dari itu di samping pihak lawan yang dapat mengkelit pukulan mereka,
bahkan hadiahkan dua pukulan
sekaligus. Celakanya pukulan mereka malah saling bertubrukan sesamanya.
Kedua tangan yang saling berbenturan sesamanya ini nampak membengkak dan berubah
kehitam-hitaman, berdenyut
sakit luar biasa. Kedua datuk ini nampak menyurut beberapa langkah, wajah mereka
pucat pasi. Nafas ngos-ngosan bagai habis diburu setan kubur.
Cepat-cepat mereka telan dua butir pil penawar racun milik pukulan mereka
sendiri. Beberapa saat kemudian,
tangan yang menghitam itu sudah
berubah menjadi sediakala. Akan tetapi hal itu tidak mengurangi kejut di hati
mereka begitu kedua Datuk ini saling memandang sesamanya. Datuk Kwalat dapat
melihat betapa akibat pukulan yang
dilepaskan oleh si pemuda
setengah gila telah membuat kepala kembratnya nampak benjol sebesar telur angsa,
begitupun kala dia meraba
kepalanya sendiri, keadaannya tidak lebih baik dari kembratnya. Bukan alang
kepalang datuk ini malu
bercampur murka. Sepanjang sejarahnya selama malang melintang dalam rimba
persilatan, belum pernah mereka
dipermalukan seperti ini! Kalaupun
mereka mendapat lawan tangguh ataupun setingkat biasanya hanya dengan waktu lima
belas jurus saja mereka sudah dapat merobohkannya atau bahkan
membunuhnya sekaligus. Tetapi kini seorang pemuda yang masih ingusan bahkan
terganggu pula jiwanya, mampu
mengelakkan pukulan-pukulan mereka yang diberi nama Menyibak Pelangi Merampas
Bidadari, lebih dari itu pemuda kurang waras inipun sempat menghadiahkan dua
pukulan yang mampu membuat kepala mereka mendapat benjol sebesar telur angsa.
Hal ini sungguh keterlaluan dan bahkan sangat
memalukan. Benar-benar gila!
Kedua datuk itu kemudian saling
pandang sesamanya, tak lama kemudian dengan diawali jerit tinggi
melengking. Kedua orang ini langsung saja kirimkan pukulan-pukulan jarak jauh
yang lebih hebat dari sebelumnya.
Awang Taruna nampaknya malah lebih gila lagi dalam bergebrak, dengan
mengandalkan pukulan Membalik Air Terjun Menendang Bayang-Bayang, dengan sangat
cepat dia memapaki pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh lawan-lawannya. Pemuda
gila ini mana perduli lagi dengan keselamatan diri sendiri.
Masih merupakan keuntungan bagi
dirinya meskipun kesadarannya selalu hilang timbul, akan tetapi gerakan-gerakan
silatnya yang sudah sangat terlatih membuat tangan dan kaki
selalu melakukan gerakan-gerakan
reflek yang tiada dapat diduga-duga, oleh lawannya. Satu saat datuk-datuk dari
pulau Putri ini lakukan pukulan yang diberi nama Kumbang Jantan
Menendang Kuncup. Pukulan yang
terkenal ganas ini merupakan puncak dari ilmu sesat yang mereka miliki.
Tangan-tangan mereka nampak terpentang ke atas, beberapa saat kemudian tubuh
datuk-datuk ini tergetar dan tampak menegang untuk beberapa saat lamanya.
Sampai kemudian dengan diawali jerit melengking secara ber-samaan mereka
pukulkan kedua tangannya mengarah pada si pemuda. Gelombang pukulan berwarana
merah menyala menderu dan timbulkan suara bercuitan. Awang Taruna nampak
berjingkrak kaget begitu merasakan hawa pukulan yang dilepaskan oleh kedua orang
Datuk dari Pulau Putri ini. Secara refleks dia cabut pedang yang terselip di
bagian pinggangnya.
Cepat-cepat dia putar pedang untuk melindungi diri. Tanpa ampun gelombang
pukulan yang dilancarkan oleh kedua datuk inipun melabrak benteng
pertahanan Awang Taruna yang berupa gulungan sinar pedang pemberian Eyang Wiku
Panulu itu. Dan pada saat itu juga.
"Trang! Trang!"
Benturan yang sangat keras itupun terjadi! Yang anehnya begitu pukulan yang
dilancarkan oleh Datuk Kwalat maupun Datuk Kwali membentur gulungan sinar pedang
milik Awang Taruna,
nampak membalik dan menyerang tuannya sendiri. Kalau saja kedua datuk dari Pulau
Putri ini tidak cepat-cepat mengelak maka alamat binasalah kedua orang ini.
Dengan sangat cepatnya pukulan Kumbang Jantan Menendang
Kuncup ini melesat dan melabrak
sebatang pohon di belakang mereka.
Pohon itu ambruk dan timbulkan suara bergemuruh.
"Tobat!" rutuk Datuk Kwali panjang pendek.
"Bocah gila itu kiranya punya senjata dan pukulan yang membuat dunia persilatan
mentertawai kita...!" umpat si Datuk Kwalat sambil terus berkomat kamit.
Mendadak Datuk Kwali yang sejak tadi memperhatikan senjata yang
tergenggam di tangan lawannya, berseru tertahan! Kedua matanya nampak melotot
bagai hendak meloncat ke luar.
"Kakang! Lihatlah bocah edan itu menggenggam
pedang milik Bangkotan
Wiku Panulu! Kita tak bakalan unggul menghadapi bangsat ini kakang...!"
seru Datuk Kwali ciut nyalinya. Pada saat itu Datuk Kwalat pun tak kalah
terperanjatnya. Mendadak wajahnya berubah memucat. Kemudian dengan
terheran-heran dia bertanya pada
kambratnya. "Dari mana dia peroleh pedang yang hampir membuat kita celaka
beberapa tahun yang lalu itu ya
adik...?" "Mungkin dia merupakan murid dari si tua bangsat itu kakang...! Lihatlah tadi
juga dia memainkan jurus-jurus yang pernah dimiliki oleh Wiku celaka itu...!"
ujar Datuk Kwali mereka-reka.
"Hhh! Benar juga katamu! Lalu bagai-mana ini..."!" tanya Datuk Kwalat bagai
orang linglung.
"Tunggu apa lagi! Kalau kita tak ingin mampus lebih baik kabur
saja...!" "Kalau begitu kita hubungi kawan-kawan kita!" Tanpa berfikir panjang
kedua orang inipun sebentar saja telah berkelebat pergi dari tempat itu.
"Tuyul-tuyul bangsat! Mau kabur ke mana... tinggalkan dulu kedua
gundulmu!" Celakanya begitu hendak kiblatkan kedua tangannya, mendadak sakit
gilanya kumat. Beberapa saat kemudian Awang Taruna nampak
kebingungan. Dasar orang gila! Musuh minggat ke Barat, eeh! Dia malah merat ke
Timur! * * * Langit hitam, cakrawala hitam!
Senja terus bergulir tiada henti.
Sekejap pemuda berkuncir dengan sebuah periuk besar yang tiada pernah
bergoyang walau dibawa berlari-lari secepat apapun memandang ke angkasa kelam!
Dalam hati dia menggerutu
sendirian! Hujan. Panas. Semuanya datang silih berganti. Tiada henti tiada pula
berkesudahan. Sebentar lagi hujan lebat sudah akan mengguyur alam sekitarnya.
Kalau dugaannya ternyata benar, sudah dapat dipastikan pula tubuhnya menjadi
basah kuyup. Lebih celaka lagi kalau di kota yang dia tuju itu tak terdapat
sebuah penginapan! Pendekar Hina Kelana belum lagi usai dengan kata-katanya ketika
secara tiba-tiba hujan deras turun bagai tercurah dari atas langit sana.
Dengan mempergunakan ajian Sapu Angin begitu cepat tubuh pemuda itu
berkelebat. Dalam waktu sekejap saja dia sudah sampai di jalan besar yang
menghubungkan tempat keramaian di kota itu! Pemuda itu nampak celingukkan begitu
menginjakkan kakinya di tengah-tengah kota itu. Begitu dia melihat adanya sebuah
warung yang merangkap sebagai tempat penginapan langsung saja dia mengayunkan
langkahnya ke sana! Tubuhnya yang kekar berotot nampak menggigil kedinginan
begitu dia sampai di depan warung itu. Seorang pelayan laki-laki dengan
tergopoh-gopoh tampak menghampiri si pemuda.
"Kisanak mencari siapa...?" tanya pelayan tadi berlagak pilon. Ditanya seperti
itu, sudah barang tentu pemuda ini nampak keheran-heranan.
"Bapak! Bukankah tempat ini
merupakan sebuah warung penjual
makanan?" tanyanya dengan pandangan menyelidik. Laki-laki pelayan itu kelihatan
tergagap dan menoleh kenan kiri bagai orang yang ketakutan.
"Tu... tuan! Tempat ini memang sebuah warung. Akan tetapi dalam
keadaan hujan begini kami tidak terima tamu! Dan lagi makanan memang sudah habis
sejak sore tadi...!"
Buang Sengketa tersenyum getir
begitu mendengar jawaban laki-laki itu. Pelayan ini benar-benar mau
mengelabuhinya. Padahal tadi dia
sempat melihat makanan yang dipajang di atas almari kaca. Kemudian dia teringat
pada dirinya sendiri yang berpenampilan mirip seorang gembel!
"Bapak! Apakah engkau takut kalau aku tak mampu membayar makanan?" tanya si
pemuda agak tersinggung. Sekejap dia merogoh sakunya, lalu keluarkan beberapa
keping uang perak. Nampaknya pelayan ini semakin ketakutan saja.
"Bukan... bukan begitu maksudku Tuan! Makanan yang ada sudah di borong semua
oleh orang...!"
Biarpun Buang Sengketa sudah
mendongkol dalam hati, tapi dicobanya juga untuk bersabar.
"Kalau engkau tak dapat
menyediakan makanan untukku! Apakah engkau bersedia menunjukkan kamar sebagai
tempat aku menginap malam ini...!" tanya pendekar Hina Kelana
sambil melirik pada laki-laki itu.
Paras pelayan itu semakin bertambah memucat.
"Maaf Tuan! Di sini tidak ada penginapan, silakan Tuan cari di
tempat lain saja...!" jawab laki-laki itu pula. Dalam pada itu, tiba-tiba
terdengar suara teguran dari dalam Kedai:
"Pelayan! Pekerjaanmu saja masih belum beres, mengapa kau layani segala macam
kucing kurap" Cepat engkau usir dia sebelum selera makanku benar-benar
terganggu"
Buang Sengketa meskipun sudah
sangat kesal, tadi dia sudah berniat meninggalkan tempat itu untuk segera
mencari penginapan yang lainnya. Akan tetapi mendengar sindiran dan bentakan
seperti itu, tentu saja dia tak mau terima dan balik langkah kembali.
"Setan alas! Kiranya engkau telah membohongiku pelayan! Kucing kurap tidak
engkau layani! Tapi Anjing buduk malah engkau biarkan melahap seisi
warungmu...!" Buang Sengketa balas menyindir. Sesungguhnya dia ingin lihat macam
apa tampangnya monyet yang tak memiliki peradatan itu. Laki-laki pelayan ini
begitu mengetahui gelagat
yang tak baik, segera melangkah ke dalam. Sesampainya di dalam dia lebih
terperanjat lagi, karena dilihatnya laki-laki yang telah memberi perintah itu
sudah sangat marah. Sekali
cengkeram tubuh yang kurus itupun sudah terangkat tinggi-tinggi. Pelayan ini
menggigil ketakutan.
"Maa... maafkan saya Tuan! Orang itu benar-benar tidak mau tahu! Pula aku sudah
mencoba menasehatinya...!"
"Pelayan dungu! Pelayan goblok tiada guna. Pergi sana...!" Laki-laki berbadan
ge-muk tinggi itu sekali saja mengayunkan tangannya, tubuh pelayan krempeng itu
langsung melayang dan menabrak dinding warung hingga bobol berantakan.
* * * 3 Tubuh pelayan itu tersungkur ke
luar dinding tembok dengan tulang kepala remuk dan nyawa melayang
seketika itu juga. Mendidihlah darah Pendekar Hina Kelana demi menyaksikan
kekejaman terjadi di depan matanya.
Begitu laki-laki berbadan tinggi ini nampakkan wajah, pemuda ini untuk sesaat
lamanya dia mengawasi laki-laki berkulit hitam macam arang ini dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki.
Laki-laki berkumis melintang ini
nampak mengenakan pakaian hitam pula, dengan simbol berbentuk seekor Kumbang
Kencana berwarna putih dan terletak di bagian dada sebelah kiri. Di
pinggangnya yang gembrot kedodoran tergantung pula sebuah golok besar yang
hampir-hampir terjuntai sampai ke lantai. Di belakang laki-laki itu berdiri pula
beberapa orang berpakaian sama. Menilik wajah mereka yang nampak kemerah-
merahan, Buang Sengketa dapat menduga bahwa orang-orang itu sedang dalam ke
adaan mabuk. "Iblis Hitam! Kejam sekali
pebuatanmu, benar-benar manusia
dajal...!" Mengetahui keadaan si pemuda laki-laki kumis melintang ini nampak
mencemooh. Dengan suaranya yang berat dan parau dia balas menghardik.
"Gembel hina! Lancang sekali mulutmu, tidakkah engkau tahu dengan siapa kau
berhadapan...!" geram lali-laki itu melotot.
"Huh! Yang kutahu aku sedang berhadapan dengan manusia iblis pantat kuali...!"
Di ejek seperti itu, gusarnya bukan main wakil ketua
Kumbang Kencana ini dibuatnya.
"Jahanam! Kau benar-benar ingin cari perkara dengan kami...!" kata laki-laki
wakil ketua Kumbang Merah dengan kemarahan yang alang kepalang.
Wajahnya yang hitam macam pantat
periuk itu nampak menegang, sebentar kemudian telah berubah kelam membesi.
"Ha... ha... ha...! Sifatmu yang serakah dan telengas saja sudah
terlalu sulit bagiku untuk
mengampunimu! Engkau jangan pura-pura tak punya dosa...!" kata Buang Sengketa
sambil tertawa mengekeh.
"Cuih! Bangsat... gembel! Besar juga nyalimu, berani turut campur segala urusan
Kumbang Kencana. Sebut dulu namamu agar kami tak susah
menulis namamu di atas kuburanmu
nanti...!"
"Hak... hak... hak...! Sekali engkau jual lagak di depan hidungku!
Tidak nantinya aku mengampuni jiwa anjingmu...!"
"Kakang Projo! Lancang sekali mulut bocah ini, sebainya kita gebuk
saja beramai-ramai...!" kata laki-laki yang berdiri di samping si kumis
melintang nampak tak sabaran lagi.
"Benar sekali ucapanmu itu
Pariluwing! Kucing kurapan ini memang pantas mendapat hukuman yang
setimpal...!"
"Tunggu apa lagi...! Anak-anak sikat dia...!" perintah laki-laki muka pantat
kuali memberi komando. Buang Sengketa tergelak-gelak kembali.
"Mengapa harus kepalang tanggung, maju saja kalian semua...!"
"Sombong sekali mulutmu bocah!
Menghadapi anak buahku saja belum tentu umurmu dapat bertahan sampai lima jurus
di depan...!" ucap laki-laki kumis melintang memandang rendah pada Pendekar Hina
Kelana. Serentak dengan usainya ucapan Projo sepuluh orang anak buah sudah
bergerak dan mengepung Pendekar Hina Kelana. Pemuda ini tersenyum getir. Dengan
ucapan seolah-olah ditujukan pada dirinya sendiri dia berkata:
"Beratus-ratus orang telah mampus karena kejahatannya! Mungkin kalian juga orang
berikutnya yang mempunyai nasib tak lebih dari sekawanan domba liar yang selalu
diburu untuk kemudian
tersungkur dalam
kematian yang menyakitkan...!" tukas Pendekar Hina Kelana dengan pandangan berapi-api.
Tanpa menghiraukan ucapan pemuda ini, orang-orang bertampang beringas inipun
menyambut. "Heaaa... Shaaat...!" Langsung kesepuluh orang ini dengan berbagai senjata


Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhunus menyerang dahsyat pada Buang Sengketa. Dalam waktu
sekejap saja di dalam kedai itu
terjadilah pertarungan yang sangat seru. Pedang dan golok di tangan
lawan-lawannya berkelebat ganas.
Membabat, menusuk dan bahkan bagai sebuah rangkaian gelombang datang bertubi-
tubi tiada henti. Dengan jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra pendekar ini
nampak bergerak cepat, tubuhnya dengan gerakan sangat ringan berkelebat-kelebat
sehingga hanya merupakan bayang-bayang saja. Sewaktu-waktu tubuh pemuda ini
bergerak merapat bahkan hanya berjarai satu jengkal saja dengan senjata lawan-lawannya.
Gerakan ini sesungguhnya hanya merupakan sebuah tipuan belaka.
Sebab tak lama kemudian begitu,
pengeroyoknya menyerang dirinya dengan
diiringi teriakan-teriakkan membahana, secepat kilat dia berkelit.
"Hiaaat... Mampuslah...!" teriak beberapa orang lawannya.
"Wuut!" Buang Sengketa berkelit lagi, lalu bermunculanlah kesempatan yang benar-
benar sangat dia nantikan.
Kaki kirinya menendang ke arah
selangkangan orang yang paling dekat dengan dirinya.
"Jrot!" Laki-laki gendut yang menyerangnya dengan sebilah pedang pendek itupun
melolong kesakitan bagai kerbau disembelih,
karena pusaka keramatnya tertabrak kaki lawannya.
Tubuhnya langsung menggelupur dan berguling-guling mirip bayi kehilangan tetek
ibunya. Tanpa menghiraukan laki-laki gendut itu Buang Sengketa terus bertindak.
"Tuk! Tuk! Tuk!" Tiga buah jemarinya dengan gesit telah menotok urat gerak
ketiga orang lawannnya sehingga tubuh mereka menjadi kaku dan sangat sulit untuk
digerakkan. Tak lama setelah itu dengan gerakan lebih cepat lagi, pemuda ini
nampak berjumplitan. Kemudian begitu tubuhnya menukik, satu pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang terkenal sangat dahsyat
itu melesat cepat dari kedua telapak tangannya. Selarik sinar yang hampir tak
terlihat oleh kasat mata itupun menderu. Udara di sekitarnya menjadi sangat
panas luar biasa. Tak ampun lagi pukulan yang terkena dahsyat itupun melabrak
enam orang lainnya.
Tubuh mereka berpelantingan beberapa tombak. Ada yang menabrak dinding hingga
bobol, ada yang menabrak tempat penyimpanan barang pecah belah dan bahkan ada
pula yang menabrak ketuanya sendiri yang bernama Pronjo itu.
Tubuh-tubuh yang tersambar pukulan maut itu nampak tewas seketika itu juga.
Sekujur badan mereka menjadi gosong dan sudah sangat sulit untuk dikenaIi lagi.
Mengetahui anak buahnya berantakan hanya dalam waktu yang sangat singkat, bahkan
beberapa orang di antaranya tewas pula dalam keadaan yang sangat menyedihkan.
Pronjo wakil ketua Kumbang Kencana ini
nampak sangat marah sekali. Di hatinya
sesungguhnya dia keder juga. Sepuluh orang bawahannya itu bukanlah
sembarangan orang, Mereka merupakan orang-orang pilihan yang sudah diuji dan tak
perlu diragukan akan kemampuan mereka. Bahkan selama ini setiap ada
kejadian apapun, wakil ketua Kumbang Kencana ini cukup mempercayakan pada
kesepuluh orang bawahannya ini saja.
Akan tetapi kini menghadapi
pemuda gembel yang menurut dugaannya semula tidak memiliki kepandaian apa-apa,
ternyata hampir kojor semuanya.
Dengan kemarahan yang meluap-luap, orang inipun membentak: "Kunyuk Hina!
Kiranya engkau memiliki kebisaan juga.
Pantas saja engkau berani bertingkah di depan wakil ketua Kumbang
Kencana...!"
"Jangankan hanya terhadap wakil ketua Kumbang Kencana bego! Terhadap segala
wakil setan belang sekalipun kalau jumpa pasti kugebuk...!" kata Pendekar Hina
Kelana dengan tawa
mengekeh. "Wah! Keparat betul! Nih
makanlah...!" Tanpa basa basi lagi Pronjo hantamkan tangan kanannya
mengarah pada bagian kepaIa lawannya.
Selarik sinar hitam datang begitu cepat, bergulung-gulung bagai awan di langit
lepas. Terhadap manusia
telengas seperti manusia muka pantat kuali ini, mana mau Buang Sengketa bertidak
ayal-ayalan. Langsung saja dia menyambuti dengan pukulan "Empat
Anasir Kehidupan." Selarik sinar ultar violet yang hampir-hampir tak terlihat
oleh mata yang kasat, menderu dan timbulkan suara bak auman ratusan ekor
serigala lapar.
"Blam!" Tubuh si kumis melintang terjengkang sepuluh langkah dengan menabrak
beberapa meja yang berada di belakangnya. Meja-meja itu hancur berantakan.
Dengan kepala benjol di sana sini. Laki-laki bongsor muka pantat kuali itupun
kembali bangkit.
Akan tetapi betapa kagetnya hati
Pronjo begitu melihat pemuda tampan berpakaian gembel ini masih tetap berdiri
pada tempatnya tanpa
kekurangan sesuatu apapun. Tiga kali dia meludah ke lantai. Kemudian dia berseru
lantang. "Bangsat tengik! Aku ingin
mengadu jiwa denganmu...!" tukasnya marah bercampur malu. Berulang kali si kumis
melintang ini gelengkan
kepalanya yang masih terasa berdenyut-denyut. Lagi-lagi Pendekar Hina Kelana
tergelak-gelak.
"He... he... he...! Mengapa"
kepalamu puyeng ya...!" ucapnya mencibir.
"Orang muda! Jangan sombong dulu!
Itu masih permulaan...!"
"Pada akhirnya kepalamu pasti
menggeIinding di lantai ini monyet hitam...!" Tanpa menghiraukan ucapan Buang
Sengketa, diawali dengan satu bentak nyaring dia langsung menyerbu ke muka.
Tubuhnya dalam waktu sekejap hanya tinggal merupakan bayang-bayang!
Dua larik sinar Ultra Violet melanda si kumis
melintang. Masing-masing
pukulan Empat Anasir Kehidupan tingkat empat dan tiga. Dua pukulan yang
dilepas oleh pemuda ini menderu dan timbulkan nawa panas yang teramat sangat.
Semua orang yang masih berada di tempat itu merasakan bagaimana panasnya udara
di sekitar itu.
Seketika lamanya laki-laki muka pantat kuali terkesima, akan tetapi begitu
menyadari posisinya, diapun langsung tertawa ganda.
Dua tangan terpentang ke depan,
dua larik sinar hitam laksana kilat datang menggebu. Saat dua pukulan dahsyat
itu saling bertubrukan di udara, Pendekar Hina Kelana meraung, tubuhnya
terpelanting dua tombak, menabrak dinding dapur dan langsung bobol. Dengan cepat
dia segera bangkit, dari sela-sela bibirnya
menetes darah, dada tersa sesak bagai ditimpa palu godam, dengan segera dia
himpun hawa murninya. Sekejap kemudian keadaannya sudah pulih seperti
sediakala. Mengetahui keadaan la-
wannya, si kumis melintang muka pantat kuali tertawa tergelak-gelak.
"Ha... ha... ha...! Ha... hi...
hi..." Hu... hu... hu...!"
"Pukulan berikutnya engkau segera tersungkur ke liang kubur! Budak
Hina...!" kata Pronjo penuh
kemenangan. Buang Sengketa mendengus, matanya nampak memerah dan berubah
beringas. Kedua bibirnya kini sudah keluarkan bunyi mendesis laksana
seekor ular Piton yang sedang marah.
Ketika muka pantat kuali datang lagi dengan pukulan-pukulan menggeledek dengan
disertai pekik tawa kemenangan.
Pendekar dari Negeri Bunian yang sudah dirasuki kemarahan segera menyambutnya
dengan pukulan Si Hina Kelana Merana, kedua tangannya nampak berkelebat lebih
cepat lagi. Laksana kilat dia hantamkan kedua tangannya ke muka, satu gelombang
sinar merah menyala, bergulung-gulung. Laksana Badai topan langsung memapaki
gelombang hitam yang
bersumber dari pukulan manusia muka pantat kuali. Sinar merah menyala yang di
lepaskan oleh si pemuda langsung menyerang si kumis melintang. Andai saja dia
tidak cepat-cepat menghihdar dan kirimkan satu pukulan lagi, sudah dapat
dipastikan nyawanya berangkat ke neraka.
"Blaarr!" Terdengar satu letupan yang sangat luar biasa dahsyatnya, bumi tempat
berpijak seakan runtuh.
Manusia muka pantat kuali terkejut alang kepalang! Dada terasa menyesak, sedang
semua persendiannya bagai mau copot. Dia lebih terkejut lagi begitu memandang ke
depannya. Di tangan
pemuda itu kini telah tergenggam
sebilah senjata yang berupa sebuah golok buntung, yang lebih membuat matanya
terbelalak tak percaya adalah kharisma golok buntung di tangan lawan memancarkan
sinar merah menyala ke segala penjuru. Udara di sekitarnya sontak berubah
dingin, sampai-sam-pai ketiga orang anak buah Pronjo yang masih dalam keadaan
tertotok nampak menggigil kedinginan.
Di lain pihak dia hampir-hampir
tak percaya dengan apa yang terjadi.
Pukulan Kumbang Kencana menyengat yang
dia lepaskan tadi sesungguhnya
merupakan puncak dari segala pukulan yang dimilikinya.
* * * 4 Selama lima belas tahun malang
melintang dalam dunia persilatan, tak satu lawan gagahpun yang sanggup
menghadapinya. Akan tetapi kini
seorang lawan berusia masih sangat muda sekali dengan
senjata Golok Buntung berhasil mengatasi pukulannya bahkan hampir pula membuatnya celaka.
Sementara itu Pendekar Hina Kelana sudah bersiap-siap dengan golok di tangannya,
sesungging seringai maut membias di bibirnya. Kedua bola
matanya yang memerah saga, memandang liar pada muka pantat kuali.
Menggidikkan! "Manusia muka pantat kuali!" ucap pendekar Hina kelana. "Kudengar engkau dan
tiga puluh kawanmu yang lain telah membunuh dan membantai habis penduduk desa
yang tiada berdosa! Karena dosa-
dosamu sudah sangt menumpuk, maka hari ini aku Si Hina Kelana, menagih hutang
nyawa mewakili mereka yang sudah mati!
Untuk itu kuberi kesempatan padamu untuk membela diri. Akan tetapi cuma satu
jurus saja! Kalau kesempatan yang kuberikan tidak engkau pergunakan dengan baik!
Lebih baik engkau minggat saja ke neraka...!" kata Pendekar Hina Kelana masih
dengan seringai mautnya.
Akan halnya Pronjo. Begitu dia
mendengar pemuda ini menyebut-nyebut dirinya sebagai si Hina Kelana, maka
semakin menciutlah nyalinya. Selama ini dia hanya mendengar cerita tentang
kehadiran seorang tokoh yang masih sangat muda yang memiliki kepandaian sangat
tinggi dengan tanda-tanda
tertentu, rambut dikuncir berpakaian merah dengan senjata yang cukup
membuat gempar berbagai golongan kaum persilatan. Sebuah Golok Buntung dan
Cambuk Gelap Sayuto. Tidak dinyana hari ini malah dia langsung berhadapan dengan
pendekar yang sangat
menggemparkan itu. Dalam hati Pronjo mengeluh!
"Hemm! Kiranya engkaulah orangnya yang berjuluk Pendekar Hina Kelana yang bikin
lari tikus-tikus persilatan
itu...!?" Muka pantat kuali membentak dan berusaha menutupi kekalutan
hatinya. Buang Sengketa tersenyum getir:
"Kalau engkau sudah tahu siapa adanya manusia yang berdiri di depanmu ini!
Tunggu apa lagi. Cepat merangkak dan menyalaklah sepuluh kali! Mudah-mudahan aku
hanya membuntungi kaki dan tanganmu saja...!" Seketika itu, berubahlah paras
Pronjo, wajahnya semakin hitam kelam, dia langsung kertakkan rahang dan balik
menghardik! "Budak jadah manusia sombong!
Jangan mengigau di siang bolong! Hari ini gelar Pendekar Golok Buntung akan aku
hapus dari dunia persilatan!"
Bagai macan tua terluka, muka pantat kuali langsung menyerobot ke muka dan
lancarkan serangan-serangan yang
sangat mematikan. Buang Sengketa
menyurut beberapa langkah, dengan suara menggeram dia berteriak:
"Manusia sia! Kuberi kelonggaran padamu! Tak dinyana engkau malah
menghendaki kematian yang menyakitkan!
Jangan salahkan aku...!" Pendekar Hina Kelana tidak tinggal diam, begitu pusaka
Golok Buntung berkiblat dan bergerak sebat, dalam waktu sekejap
saja sudah mengurung lawannya.
Sedangkan dari mulutnya keluar bunyi mendesis bagaikan seekor Piton yang sedang
marah. Dalam keadaan terdesak seperti itu, Pronjo masih sempat
keluarkan ucapan.
"Meskipun engkau penggal kepalaku sekalipun! Tidak nantinya aku bertekuk lutut
di depan kakimu!?"
"Wow! Tobat
pun sudah tidak
kuterima...!" Pendekar Hina Kelana menyela. Golok di tangannya kembali
berkelebat begitu cepatnya.
"Ngung!" Pronjo berkelit ke samping dan cepat-cepat banting
tubuhnya terus berguling-gulingan.
Tetapi Buang Sengketa tidak membiarkan musuhnya lepas begitu saja, pemuda ini
langsung memburu, dan babatkan senjata di tangannya. Manusia muka pantat kuali
terkejut bukan main begitu
merasakan angin sambaran golok masih menderu ke arah lehernya. Dengan lebih
cepat lagi dia kembali berkelit
mengindar. "Bet!" Serangan golok di tangan pemuda kembali luput. Mendidih darah Pendekar
Hina Kelana dibuatnya.
Seumur-umur belum pernah ada lawan
yang dapat mengkelit serangan
goloknya. "Kali ini nyawamu yang benar-benar alot itu tak mungkin lepas lagi!
Bangsaaaat!" Tubuh Pendekar Hina Kelana berkelebat lebih cepat lagi, sambaran
goloknya kembali menderu, hingga membuat muka pantat kuali
menjadi kelabakan.
"Craaas!" Hampir putus senjata di tangan Pendekar Hina Kelana membabat pinggang
Pronjo. Usus terburai
berserakan keluar, darah memancar menganak sungai. Manusia muka pantat kuali itu
melolong setinggi langit.
Dengan pandangan mata melotot laki-laki itu langsung tersungkur ke lantai tanpa
berkutik lagi. "Manusia semacammu memang sudah sepantasnya mampus...!" Setelah itu, kini
Pendekar Hina Kelana segera
menghampiri empat orang sisa anak buah Pronjo. Tubuh mereka nampak menggigil
ketakutan demi menyaksikan wakil ketua mereka.
"Tentu kalian juga ingin menyusul kawanmu yang konyol itu bukan...!"
kata Buang Sengketa dengan tatapan mata dingin. Pucatlah wajah mereka ini demi
mendengar kata-kata si pemuda.
Kemudian dengan terbata-bata salah seorang di antara mereka menyela.
"Tuan janganlah tuan bunuh kami!
Istri saya bunting tua tuan! Kasihani kami tuan...!"
"Saya juga tuan! Kami orang
miskin, anak kami juga banyak! Kalau saya tuan bunuh mereka bisa mati
kelaparan...!" menyela yang lainnya.
"Puih! Kiranya kalian sebangsa anjing penjilat yang takut mampus!
Tapi baiklah kalian akan kubebaskan, dengan syarat kalian harus
meninggalkan pekerjaan sesat setelah sebelumnya memberi tahu bekas ketua kalian
mengenai kejadian ini...!"


Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan main gembira orang-orang itu, setelah menyembah sepuluh kali, dengan
mengangkati mayat kawan-kawannya.
Orang-orang inipun segera bergegas pergi. Setelah membayar segala
kerusakan yang di timbulkan, malam itu pendekar Hina Kelana, atas kebaikan
pemilik warung dan penginapan bermalam di rumah itu.
* * * Kalau dilihat sepintas lalu,
sungguh kasihan sekali keadaan pemuda
yang sedang terganggu jiwanya ini.
Keadaan tubuhnya sudah nampak tak karuan lagi. Sementara di pundaknya
menggelantung mayat ibunya yang sudah tiga hari tak pernah dia turunkan dari
tempatnya. Bau bangkai menyebar ke manapun dia pergi. Sementara lalat-lalat
hijau yang jumlahnya mencapai ribuan ekor itu tiada henti-hentinya terbang dan
hinggap di tubuh wanita malang ini. Tubuh mayat itu, kian detik kian membusuk.
Ulat-ulat kecil terkadang berjatuhan dari bagian dalam tubuh Nyi Pujita Sari.
Akan tetapi Awang Taruna yang ingatannya saja hilang timbul, mana mau mengerti
tentang keadaan ini.
Sambil terus berlari-lari,
terdengar isakan tangisnya yang
menyayat hati, di lain saat terdengar pula suara tawanya yang seram
menggidikkan. Apa yang masih melekat di hatinya hanyalah rasa dendam
bercampur amarah. Celakalah bagi siapa saja yang secara kebetulan berpapasan
dengan pemuda ini. Sebab tak segan-segan dan tanpa mengingat lagi dia langsung
membabatkan pedangnya hingga orang-orang malang itu menemui ajal secara
mengerikan. Demikianlah Awang
Taruna terus berlari-lari tanpa
mengenal lelah (namanya juga orang gila). Hingga sampailah dia di
pinggiran jalan besar. Awang Taruna hentikan langkah, tak lama kemudian dia
sudah duduk ngejeplok di atas rerumputan ilalang. Orang-orang yang lewat di
tempat itu sudah barang tentu merasa sangat keheranan begitu melihat kehadiran
seorang pemuda yang
bertampang awut-awutan yang kini
sedang duduk ngejeplok, sementara sosok mayat yang sudah membusuk tampak
menggelantung di pundak kanan kirinya.
Mungkin banyak di antara orang yang lalu lalang itu bisa memaklumi kalau pemuda
ini merupakan orang yang sedang terganggu jiwanya. Akan tetapi dari mana pula
pemuda gila ini memperoleh dan bahkan membawa-bawa mayat itu ke mana-mana"
Meskipun pada akhirnya mereka terus berlalu sambil tutup hidung rapat-rapat.
Akan tetapi meskipun mereka ini merupakan penduduk desa biasa. Mau tak mau berbagai
pertanyaan timbul dalam benak mereka!
Dasar orang gemblung! Begitulah pada akhirnya mereka berkesimpulan.
Tak lama setelah itu dari
kejauhan nampak pula beberapa orang
penunggang kuda. Mereka ini terdiri dari seorang wanita setengah baya, yang
dalam dunia persilatan golongan hitam dan dikenal sebagai Bidadari Tangan Maut,
bersifat telenggas dan pemburu laki-laki. Biarpun usianya sudah lebih dari
setengah abad akan tetapi masih kelihatan sangat cantik dan muda. Konon semua
itu berkat hasil dari pekerjaan terkutuknya. Dalam menyetubuhi setiap pemuda
yang menjadi korban rayuan mautnya. Wanita ini selain memiliki berbagai senjata
rahasia, dia juga punya kepandaian silat dan ilmu pukulan-pukulan dahsyat yang
membuat iri setiap lawan-lawannya. Dua orang laki-laki berkuda yang berada di
sebelah perempuan itu merupakan dua orang datuk sesat yang memiliki nama julukan
Dua Datuk Merah Dari Lembah Dosa berilmu silat sangat tinggi dan mempunyai
jurus-jurus permainan pedang ganda. Dua orang datuk berjenggot kambing ini
sesungguhnya merupakan gendak-gendak dari Bidadari Tangan Maut.
Kalau hari ini mereka turun ke
dunia ramai, hal ini mereka lakukan semata-mata hanyalah karena sekedar memenuhi
undangan Giri Sora, yaitu
ketua Perkumpulan Kumbang Kencana.
Seperti diketahui, Giri Sora beserta anak buahnya telah berhasil membumi
hanguskan desa tempat tinggal Pujita Sari, yang dulunya merupakan gadis
tercantik yang pernah membuat Giri Sora tergila-gila padanya. Akan tetapi
kiranya perjalanan nasib berkata lain.
Pujita Sari, gadis ayu rupawan itu oleh gurunya, yaitu Eyang Wiku Panulu telah
dijodohkan dengan Bayu Siliwangi yang sesungguhnya masih merupakan anak kandung
gurunya sendiri. Merasa kecewa karena cintanya hanya bertepuk sebelah tangan,
Giri Sora pada satu saat
berusaha menculik Pujita Sari. Akan tetapi kiranya gadis yang memiliki
kecantikan yang sangat luar biasa itu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi
daripadanya. Pergilah Giri Sora dengan membawa luka di hati. Bertahun-tahun dia
mengasingkan diri di sebuah tempat yang bernama Lembah Sakti Hati.
Di tempat itulah selama bertahun-tahun dia dengan sangat tekun mempelajari
berbagai ilmu sesat tingkat tinggi. Di situ bertemu pula dengan Datuk Merah Dari
Lembah Dosa. Setahun setelah kejadian itu bergabung pula Bidadari Tangan Maut.
Secara sepakat dia
mengikat tali persaudaraan dengan ketiga orang ini.
Hampir lima belas tahun Giri Sora mengasingkan diri di tempat yang
sangat terpencil itu. Setelah
segalanya dia rasa cukup, dua tahun kemudian dia sudah membentuk sebuah
perkumpulan yang beranggotakan lebih kurang empat puluh orang. Kiranya Giri Sora
kembali teringat pada penghinaan yang pernah dilakukan oleh Pujita Sari.
Teringat pada perempuan yang kini sudah hidup menjanda dan
mempunyai seorang anak yang sudah dewasa! Teringat pula akan sebuah Pedang
Pusaka Penebus Dendam di tangan Eyang Wiku Panulu yang terkenal akan
keampuhannya. Dendamnya pada keluarga ini kembali berkobar. Sehingga
seminggu kemudian seperti telah
diketahui terjadilah pertumpahan darah yang sangat mengerikan. Sesungguhnya
tujuan semula dia hanya bermaksud membujuk Pujita Sari yang sudah
berumur empat puluh delapan tahun itu mau menjadi istrinya dan sekaligus meminta
pada perempuan itu untuk
menyerahkan Pedang Penebus Dendam. Tak dinyana kiranya selain menolak lamaran
Giri Sora, kiranya perempuan itu juga
menolak untuk memberi tahu di mana sesungguhnya pedang pusaka yang sangat
menghebohkan itu di sembunyikan.
Dendam lama campur aduk dengan luka baru, tak terelakkan lagi Giri Sora langsung
memerintahkan orang-orangnya untuk membantai dan membakar rumah-rumah penduduk
di sekitarnya. Sedangkan dia sendiri langsung
menyerang Pujita Sari.
Dengan kemenangan itu akhirnya
Giri Sora berencana untuk mengadakan pesta besar-besaran. Di balik pesta yang
akan berlangsung dengan meriah, sesungguhnya manusia yang sangat licik ini
sedang dalam usaha mencari bantuan dari para kembrat-kembratnya untuk mencari
tempat tinggal Eyang Wiku Panulu, dengan maksud merampas pedang pusaka dari
tangan si Bangkotan Sakti itu. Andai saja rencana itu sudah terlaksana, tak ada
salahnya kalau dia menyingkirkan para kembrat-kembratnya ini. Dengan begitu
sudah jelas dia akan menjadi raja dalam dunia
persilatan. * * * 5 Kita kembali pada ketiga orang
yang sedang melakukan perjalanan ini.
Ketika jarak mereka lebih kurang tiga puluh tombak dengan tempat di mana Awang
Taruna berada. Tiba-tiba mereka ini hentikan kudanya, mata mereka memancang liar
pada keadaan di
sekelilingnya. Penciuman mereka
mengendus bau sesuatu yang tak sedap.
Lalu orang-orang ini saling
berpandangan sesamanya. Dengan hati penuh tanda tanya. Lain lagi halnya dengan
Datuk Merah berjenggot kambing yang satunya lagi. Indra penciumannya yang tumpul
dan selalu suka ngawur itu, sedang membaui masakan yang
sangat sedap. Buru-buru dia berkata pada kedua orang lainnya.
"Hmm! Panas-panas begini! Mana bau masakan yang sedap! Bikin perutku berkruyukan
saja...!" Kedua orang lainnya ini pun buru-buru menoleh dan memandang heran pada
kembratnya. Dengan tersenyum geli Bidadari Tangan Maut inipun mencela.
"Hi... hi... hi...! Kakang Senu salah duga... ini bukan bau wangi masakan! Akan
tetapi bau busuk
bangkai...!"
"Yang ada dalam fikiran kakang Senu memang cuma makanan melulu! Masak bau
bangkai dia bilang bau lezatnya makanan..!" Datuk berjenggot yang bernama Dugal
itu pun ikut menimpali.
"Apa kalian kata! Benar-benar guoblok, hidung budek... bau makanan yang enak
begini kok masih kalian bilang bau bangkai...!" kata Datuk Dugal membantah.
Semakin bertambah geli saja mereka ini, demi mengetahui penciuman kembratnya
semakin bertambah rusak saja.
"Engkau salah kakang! Di sekitar tempat ini seperti bau bangkai
manusia!" kata Datuk Senu tetawa mengekeh.
"Kuya! Bukan bau bangkai, tapi bau gulai kambing...!" sela Datuk Senu tak mau
kalah. "Bangkai, kakang...!" Bidadari Tangan Maut ikut menimpali. Datuk Senu pelototkan
matanya, dia nampak sangat tersinggung.
"Ku bilang bau makanan
kesukaanku...!" Datuk Senu membentak.
"Bau bangkai! Kakang...!" Datuk Dugalpun tak mau mengalah.
"Bangsat! Kalian kiranya benar-benar telah menghinaku...!"
"Menghina bagaimana, sudah jelas-jelas bau bangkai...!" bentak Datuk Dugal tak
kalah serunya. "Kalau begitu engkau benar-benar ingin kugebuk adik Dugal...!" tukas Datuk Senu
kertakkan geraham. Wajahnya nampak merah padam dan beberapa saat kemudian telah
bersiap-siap lancarkan satu pukulan pada kembratnya sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
Bidadari Tangan Maut berseru
membentak. "Kakang-kakang semuanya! Kalau kalian tetap melanjutkan pertengkaran, aku akan
tinggalkan kalian di sini!
Biar seorang diri aku berangkat ke tempat kediaman Giri Sora...!" kata Bidadari
Tangan Maut mengancam.
Meskipun kedua datuk sesat ini memiliki peradatan yang keras, akan tetapi begitu
mendapat ancaman dari orang yang sangat mereka cintai, mau tak mau mereka
hentikan pertengkaran.
Kemudian bagai kerbau di cucuk hidung, kedua Datuk Merah ini langsung memacu
kuda-kuda mereka, menyusul Bidadari
Tangan Maut yang sudah terlebih dahulu menggebrak kudanya. Kurang lebih
sepeminum teh, sampailah orang-orang ini di
depan Awang Taruna yang
sedang duduk terlongong-longong.
Alangkah terperanjatnya ketiga orang dari lembah Dosa ini, begitu di
pinggir jalan tempat yang akan mereka lalui seorang pemuda berpenampilan nampak
duduk sorang diri dengan
sesosok mayat yang sudah membusuk menggelantung berjuntai di kedua
pundaknya. Bau bangkai yang sangat menyengat segera memenuhi pori-pori paru
mereka, langsung saja perut
orang-orang ini bagai diaduk-aduk dan terasa mual ingin muntah.
Seketika itu juga, Bidadari
Tangan Maut menoleh pada Datuk Senu, yang tadi sempat bersitegang dengan Datuk
Dugal gara-gara bau yang tak sedap ini.
"Kakang lihatlah!
Bau busuk inikah yang tadi sempat engkau sangka sebagai bau makanan yang enak itu...!"
kata perempuan itu tersenyum dongkol.
Yang ditanya jadi gelagapan bercampur malu.
"Huh! Aku memang salah! Kirain bau makanan yang enak, nggak taunya
bau bangkai yang dibawa oleh si gembel ini. Cuh. Benar-benar hidung celaka tak
tahu adat!" sela Datuk Senu, seraya menampari hidungnya sendiri hingga
mengeluarkan darah. Dengan buru-buru Datuk Dugal mencegah:
"Kakang hidungmu jangan kau
tampari begitu rupa. Kalau engkau tak punya hidung malah lebih celaka
lagi...!" Agaknya Datuk Senu sadar dengan perbuatannya.
"Ehh! Benar juga, kalau tak punya hidung tambah celaka. He... he...
he...!" katanya meniru ucapan si Datuk Dugal.
"Bangsat penyebar bau busuk! Mau engkau buat apakah bangkai yang sudah busuk itu
kau bawa-bawa...?" bentak Datuk Dugal nampak kurang senang. Yang ditanya nampak
diam seribu basa.
"Agaknya orang ini tak mendengar apa yang engkau tanyakan, kakang...
kuatkan sedikit ngomongnya...!"
Bidadari Tangan Maut menimpali.
"Huh! Pakai tanya-tanya segala, tendang saja!" kata Datuk Senu.
"Sabar dulu. Mungkin saja dia perlu bantuan kita untuk mengubur mayat itu
bersama gembel ini...!" Tak lama kemudian Bidadari Tangan Maut
ikut membentak pula: "Kunyuk. Tulikah kupingmu...!" Awang Taruna masih tetap
diam tiada bergeming. Hanya pandangan matanya saja yang menatap hampa pada
orang-orang ini. Saking kesalnya
ketiga orang inipun saling bentak-bentakkan. Mungkin Awang Taruna yang sakit
ingatan ini entah terkejut atau bagaimana. Tiba-tiba tubuhnya
terlonjak. Kemudian kedua matanya yang selalu menatap hampa itupun mendadak
berobah beringas.
"Eeh! Kalian tadi nomong apa"!"
ucapnya pelan. "Sialan! Ditanya malah balik bertanya.!" bentak Datuk Senu, langsung melompat
turun dari atas kudanya. Sejenak Awang Taruna
memandang berkeliling, dia nampak kebingungan. Pada saat itu kiranya
kesadarannya timbul kembali. Diapun memandang heran pada keadaannya
sendiri. Mendadak dia merasa telah mencium bau yang hampir saja
membuatnya mau muntah. Tiba-tiba saja dia meraba ke arah pundaknya.
Dia semakin jadi tak mengerti
begitu dia merasakan ada sesuatu yang membebani
pundaknya. Begitu
dia turunkan beban itu, maka terbelalaklah kedua matanya memandang tak percaya.
"Emak... emakku telah mati!
Mereka membunuhmu, sedang aku tak sempat menguburmu. Keadaanmu sudah begini
rupa! Emakkuuuuuu...!" Tanpa kuasa membendung air matanya, pemuda inipun
menangis melolong-lolong.
Dipelukinya mayat ibunya yang sudah tak karuan itu. Namun tiba-tiba saja
tangisnya terhenti, cepat-cepat
membalikkan badan dan meraba pada bagian pinggangnya. Tatapan matanya seketika
itu juga menjadi beringas dengan kobaran dendam yang meluap-luap. Akhirnya
diapun langsung
menghardik ketiga orang yang sedang berada di depannya.
"Pengecut kalian semua! Kalian telah membunuh emakku yang tiada
berdosaf" kata Awang Taruna sangat marah sekali. Sementara itu tiga orang dari
Lembah Dosa ini yang tidak tahu menahu tentang apa yang baru saja dituduhkan
oleh pemuda itu, tampak sangat tersinggung. Datuk Senu yang gampang naik darah,
nampak maju dua tindak, pada saat yang bersamaan dua orang lainnya sudah
meloncat dari punggung kudanya masing-masing.
"Bocah sialan! Melihat tampangmu saja baru kali ini. Lancang sekali mulutmu
telah menuduh kami yang bukan-bukan!?" bentak Datuk Senu dengan wajah merah
padam. Awang Taruna
tertawa bagai orang menangis.
"Sialan betul! Kalian rupanya
tidak mau bertanggungjawab!" Kemudian orang-orang ini saling berpandangan
sesamanya, tak lama setelah itu dengan ilmu menyusupkan suara mereka saling
berbisik. "Agaknya tengik konyol ini sedang terganggu jiwanya kakang! Lihatlah bukankah
tadi dia tak tau dengan apa yang diperbuat-ya sendiri...!" bisik Bidadari Tangan
Maut pada dua orang Datuk Merah dari Lembah Dosa.
"Benar juga." ujar Datuk Senu lalu menganggukkan kepala.


Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu baiknya kita pergi saja! Melayani orang gila, bukankah kita lebih
gila dari dia sendiri...!"
Datuk Dugal ikut menimpali. Kemudian orang ini pun kembali membentak pada Awang
Taruna. "Kunyuk sakit jiwa, karena kami tidak mempunyai persoalan denganmu, maka baiknya
kami pergi saja...!" ujar salah seorang di antara mereka. Baru
saja mereka hendak melompat ke
punggung kuda, tiba-tiba Awang Taruna lambaikan tangannya. Saat itu juga satu
gelombang pukulan menyambar ke arah tiga orang ini. Dan kalau saja mereka tidak
cepat-cepat mengelak sudah barang tentu tiga orang ini mengalami nasib yang
konyol. Serta merta mereka balikkan, badan, dari paras mereka saja sudah dapat
dipastikan kalau mereka ini sedang marah besar.
"Kurang asem! Orang gila ini kiranya menantang kita kakang...!"
"Meskipun gila kiranya dia punya kepandaian juga
rupanya.:.!" rutuk
Bidadari Tangan Maut geram sekali.
Tanpa menghiraukan ocehan orang-
orang itu, Awang Taruna yang sedang timbul kesadarannya langsung menyela.
"Setelah kalian bantai semua penduduk desa yang tiada berdosa!
Setelah kalian bunuh emakku Pujita Sari, begitu mudahkah kalian berlalu begitu
saja dari hadapanku"!" teriak Awang Taruna marah luar biasa. Kini barulah mereka
mengerti duduk persoalan yang sebenarnya. Kiranya pemuda ini sedang mencari-cari siapa
sesungguhnya yang telah membunuh ibu
kandungnya. Biarpun dalam keadaan yang sesungguhnya mereka memang mengetahui
bahwa Giri Soralah yang telah
membantai penduduk desa sekaligus membunuh ibu pemuda yang punya sakit ingatan
ini. Sudah barang pasti mereka tak akan memberi tahu pada bocah itu.
Giri Sora adalah sahabat baik mereka sejak lama, lebih dari itu mereka masing-
masing punya ambisi yang sama, yaitu ingin memiliki Pedang Pusaka Penebus Dendam
yang sangat menghebohkan itu. Apalagi kini mereka melihat bahwa pedang sakti yang menjadi
incaran banyak tokoh itu nampak berada di tangan pemuda sinting ini, yang
menurut taksiran mereka tidak memiliki kepandaian yang cukup
berarti. Dengan lagak berpura-pura, salah
seorang di antara mereka membuka suara dengan nada penuh keramahan.
"Pemuda gagah! Maafkan kami yang tak mengetahui betapa tingginya gunung yang
berdiri di hadapan kami! Engkau harus percaya pada kami bahwa
sesungguhnya bukan kami yang telah melakukan pembunuhan keji itu! Bahkan kami
ikut perihatin atas musibah itu.
Sekarang kami sedang berusaha mencari
tahu siapakah sebenarnya yang telah bertanggung jawab atas semua kejadian
itu...!" "Bukankah engkau yang bernama Awang Taruna" Anak kandung dari
almarhumah yang mulia pendekar Pujita Sari...!" Bidadari Tangan Maut dengan
merendah menyambung pula.
"Percayalah Awang Taruna. Ayah ibumu merupakan sahabat karib kami, untuk itu
kami akan menuntut balas atas kematiannya...!" Datuk Dugal ikut menambahi pula.
Demi mendengar ucapan tiga orang ini, tiba-tiba pemuda yang baru saja timbul
ingatannya itu tampak menjadi bimbang. Kiranya keadaan itu tidak luput dari
perhatian Datuk Senu yang terkenal sangat pintar dalam membaca situasi lawannya.
Buru-buru dia menambahi.
"Orang muda! Kalau engkau tak percaya pada kami, engkau boleh turut serta
bersama kami dalam usaha mencari pembunuh orang tuamu...!"
"Apalagi dengan pedang sakti di tanganmu, engkau tak perlu ragu! Kita pasti
berada di pihak yang menang...!"
kata Bidadari Tangan Maut pula. Hampir saja pemuda ini termakan dengan segala
macam rayuan tiga orang sesat dari
Lembah Dosa andai saja fikirannya yang hilang timbul itu, tidak teringat pada
pesan-pesan gurunya, Eyang Wiku
Panulu. Seketika itu juga pemuda sakit ingatan ini tergelak-gelak, tubuhnya yang
padat berisi nampak terguncang-guncang. Tiga orang ini memandang dengan berbagai
tanda tanya. * * * 6 Saat kemudian Awang Taruna
mencabut pedangnya, maka bertambah penasaranlah orang dari Lembah Dosa ini
dibuatnya. Pedang di tangan Awang Taruna memancarkan sinar berwarna keperak-
perakan dan sangat menyilaukan mata. Walaupun sesungguhnya ingin secepatnya
mereka ini ingin merampas pedang di tangan pemuda yang sedang terganggu jiwanya
ini, akan tetapi sedapatnya mereka berusaha meredam nafsu serakah yang telah
menyatu dalam diri mereka. Sesungguhnya mereka ini ingin mengetahui apa yang
akan diperbuat oleh pemuda sakit jiwa itu.
"Hi... hi... hi...! Ha... ha...
ha...! Hu... hu..< hu...!" tawa Awang bagai orang yang sedang menangis. Tapi
matanya memandang buas pada Datuk Merah Dari Lembah Dosa ini.
"Manusia berjenggot kambing...!
Kalian kira aku tak tahu kelicikanmu!
Tak perlu berpura-pura, sebab hari ini juga sebagai bandot tua kalian akan aku
sembelih...!" berkata Awang Taruna. Kejut hati ke tiga orang ini bukan alang
kepalang, mereka tak
mengira kalau pemuda sakit ingatan ini tahu akal bulus mereka. Belum lagi
mereka-mereka ini sempat berkata
sesuatu apa, Awang Taruna dengan
diawali satu pekikan aneh telah
melabrak orang-orang dari Lembah Dosa dengan pedang terhunus.
"Adik Dugal... Adi Putri!
Menyingkirlah kalian, aku ingin
menjajal sampai di mana sesungguhnya kehebatan kunyuk gemblung ini...!"
perintah Datuk Senu. Tubuhnya nampak berkelebat ringan, sehingga dalam waktu
sekejap saja telah terjadi
pertarungan yang sengit. Pertarungan menjadi semakin seru, ketika Awang Taruna
sambil membabatkan pedangnya juga melancarkan pukulan-pukulan jarak
jauh. Datuk Senu sampai detik itu masih belum mempergunakan jurus-jurus pedang
kembarnya. Dengan jurus silat tangan kosong dia berusaha mendesak lawannya.
Kedua tangan berkelebat sangat cepat. Kemudian lancarkan totokan ke berbagai
arah. Sementara Awang Taruna dengan ilmu pedangnya yang terkenal ganas, memutar
pedangnya ke berbagai penjuru. Gerakan pedang itu begitu sebat, berkelebat dan
pancarkan cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Satu saat Datuk Senu
melihat salah satu sisi pertahan lawan yang nampak lemah. Dalam hati dia
girangnya bukan main, bahkan dia berharap dengan sekali sentil, tiga buah
jarinya sudah dapat merobohkan lawan tanpa melukai.
Tak lama kemudian Datuk Senu memutar tubuh empat puluh lima derajat, tangan
kanan bergerak cepat mengarah pada bagian punggung. Awang Taruna,
meskipun ingatannya hilang timbul tapi naluri kependekarannya masih bekerja
dengan sangat baik. Begitu dia
merasakan adanya serangan yang
sedemikian cepatnya dia mengkelit dan putar tubuhnya setengah lingkaran.
Tanpa ampun dia putar pedang dan
membabat tangan kiri lawannya yang
hampir saja mencapai sasarannya. Datuk Senu tergagap kemudian cepat-cepat
menarik balik serangannya. Datuk Senu semakin habis-habisan.
Di lain pihak, Awang Taruna bagai tak mendengar
saja malah tertawa
tergelak-gelak. Kemudian sudah
menerjang si Datuk Senu sembari
berkata: "Bandot tua! Mengapa engkau marah-marah, bagusnya engkau menangis
seperti aku...!" Berkata begitu
mendadak dia menghentikan serangannya setengah jalan. Kemudian mengerang dan
menangis menyayat hati. Datuk Senu yang baru saja bermaksud melancarkan pukulan
jarak jauhnya, seketika
urungkan maksud, beberapa saat Datuk berjanggut kambing ini nampak
terlongong-longong memandangi Awang taruna yang secara tiba-tiba kumat penyakit
gilanya. Awang Taruna
tanpa memperdulikan lawannya terus
menangis, "Emak... huuuuu...! Mengapa engkau mati, emak... hiiiii...!" sedu
pemuda malang ini berkelesetan bagai anak kecil.
Dalam pada itu, demi melihat
kembratnya malah berdiam diri. Datuk Dugal dan Bidadari Tangan Maut, secara
hampir bersamaan mereka menyela.
"Kakang, mengapa kakang malah bengong begitu! Penyakit syaraf kunyuk gemblung
itu sedang kumat. Cepat kau pukul dia...!"
"Eeh... ehh iya! Penyakit
gendengnya lagi kumat. Biar kupukul dia...!" Hanya beberapa saat setelahnya,
Datuk Senu telah
mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Melihat posisi anggota tubuhnya saja sudah dapat ditebak kalau datuk ini akan
melepaskan pukulan Banteng Gila Menyeruduk Serigala yang terkenal sangat keji.
Sementara itu, Awang Taruna sudah hentikan tangis maupun tawanya, tiba-tiba dia
menoleh. "Puih! Engkau mau apa-apaan
jenggot kambing" Mau memukulku ya...?"
kata Awang Taruna. Lalu bersamaan dengan kata-katanya itu, dia langsung pukulkan
tangannya ke depan. Pada saat itu pukulan yang dilancarkan oleh Datuk Senu sudah
sampai setengah
jalan. Angin menderu keras bersamaan dengan bergulung-gulung-nya sinar kuning
yang melesat sedemikian
cepatnya dari tangan Datuk Senu. Pada saat yang sama, pukulan yang
dilepaskan oleh Awang Taruna yang diberi nama "Sibakkan Kabut Memukul
Hantu" malah meluruk lebih cepat lagi.
Tak ampun dua pukulan sakti itu saling bertabrakan di udara.
"Brees!" Tubuh Datuk Senu terpelanting dan langsung muntah
darah, wajahnya pucat pasi. Awang Taruna nampak berdiri tegar di
tempatnya. Senyum, tawa dan tangisnya datang silih berganti. Akan tetapi tak
lama kemudian dia sudah berubah
kembali secara total. Agaknya
kesadarannya pulih kembali, dendamnya menggelegak, serta merta dia sambitkan
pedangnya pada Datuk Senu yang belum siap pada posisinya. Karena pemuda sakit
jiwa itu mengerahkan seluruh tenaganya, maka pedang itu melesat sedemikian
cepatnya, bahkan hampir-hampir tak terlihat kasat mata.
Bidadari Tangan Maut demi melihat bahaya mengancam Datuk Senu, yang juga
merupakan gendaknya sendiri, nampak berseru memberi peringatan.
"Kakang! Awas...!" Terlambat Nasi sudah menjadi bubur, pedang itu sudah amblas
pada bagian punggung Datuk Senu, bahkan sampai menembus ke dada.
Salah seorang Datuk Merah Dari Lembah Dosa menjerit bagai setan gila. Tak tahan
merasakan sakit yang teramat
sangat! Hanya beberapa saat
setelahnya, laki-laki yang sepanjang hidupnya dilumuri dengan dosa-dosa ambruk
ke bumi. Awang Taruna yang sudah dirasuki dendam, hanya dengan beberapa kali
lompatan saja telah berada di sisi Datuk Senu yang sudah menjadi mayat. Dia
langsung cabut pedang yang menancap di dada lawannya.
Di lain pihak, baik Datuk Dugal
maupun Bidadari Tangan Maut,
mengetahui kembratnya dapat dirobohkan oleh seorang pemuda yang sedang
mengalami gangguan jiwa bahkan tewas secara mengerikan, nampak sangat
terkejut. Sebab seperti mereka ketahui selama ini Datuk Senu merupakan
seorang tokoh golongan hitam yang memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Selama malang melintang dalam dunia persilatan, belum pernah seorang
lawanpun yang berhasil mengatasi ilmu pedang kembarnya. Akan tetapi kini, dia
malah tewas di tangan pemuda
gemblung yang tidak memiliki nama besar. Lebih dari itu, kembratnya yang satu
itu belum sempat mempergunakan permainan pedang kembarnya. Kemarahan kedua orang
ini sudah mencapai
puncaknya. Dua-duanya langsung
mengurung Awang Taruna, pemuda sinting ini geleng-geleng kepala.
"Kiranya kalian juga ingin
mampus...!" bentak Awang Taruna tersenyum-senyum. Bidadari Tangan Maut menjadi
berang dan langsung membentak garang.
"Monyet gila! Engkau benar-benar menyesal ke liang kubur karena
perbuatanmu sendiri...!" Dasar kurang waras, mana dia perduli dengan
bentakan-bentakan itu. Sebagai jawaban dia langsung babatkan pedang ke muka.
Datuk Dugal berseru kaget, begitu melihat berkelebatnya mata pedang di tangan
lawan. Cepat-cepat dia
berkelit, akan tetapi serangan pedang berikutnya segera menyusul. Lagi-lagi
Datuk Dugal terpekik lalu melompat-lompat bagai seekor monyet pesakitan.
Bidadari Tangan Maut agaknya
mengetahui kalau lawannya sangat sulit untuk dirobohkan begitu saja. Tak ayal
diapun langsung menerjang Awang Taruna, sambil berseru lantang.
"Kakang Dugal! Mari kita satai pemuda edan ini beramai-ramai...!"
Usai berkata begitu, Bidadari Tangan Maut langsung umbar pukulan-pukulan
kejinya. Sementara Datuk Dugal yang
sudah mengetahui kehebatan lawan, langsung saja mencabut pedang kembarnya.
Melabrak dan kirimkan tusukan-tusukan mematikan. Dalam waktu yang singkat
terjadilah pertarungan yang sangat seru. Debu dan pasir
beterbangan dilanda pukulan-pukulan mereka. Hanya dalam waktu sepemakan sirih,
pertarungan sudah mencapai puluhan jurus. Datuk Dugal dengan pedang. kembarnya
mencecar pertahanan Awang Taruna pada bagian belakang, sementara dengan pukulan
mautnya Bidadari Tangan Maut menyerang dari bagian depan. Berulangkali senjata rahasia
milik Bidadari Mata Keranjang berupa jarum beracun nyaris membuat celaka
lawannya yang sakit ingatan ini. Menghadapi kenyataan seperti itu, tubuh Awang
Taruna melesat ke udara.
Akan tetapi dia tetap saja tak bisa luput dari desakan-desakan lawannya.
Di lain kesempatan Datuk Dugal
mendadak merobah jurus-jurus
pedangnya. Dia gerakkan pedang kembar di tangannya dengan kecepatan luar biasa.
Pedang kembar itu, kemudian membentuk rangkaian serangan yang tiada putus-
putusnya. Sementara itu Bidadari Tangan Maut tak mau
ketinggalan dengan apa yang dilakukan oleh kembratnya ini. Dengan
mempergunakan pukulan yang diberi nama Badai Menerpa Gurun, dia kirimkan
pukulan-pukulan yang lebih dahsyat pada Awang Taruna. Anak muda yang sedang
mengalami sakit ingatan itupun dibuat kelabakan, pertarungan sudah mencapai dua
puluh jurus. Sungguhpun Awang Taruna memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, dan
menggenggam pedang pusaka yang banyak diincar oleh
kalangan tokoh-tokoh sesat, akan
tetapi Datuk Dugal dan Bidadari Tangan Maut inipun bukanlah orang
sembarangan. Lima belas tahun yang lalu Bidadari Tangan Maut sempat
merajai rimba persilatan di bagian Selatan. Sedangkan Datuk Dugal dan seorang
kembratnya yang telah kojor, sampai saat kini tetap berkuasa di Lembah Dosa.
Lebih dari itu, mereka ini adalah dedongkot persilatan
golongan hitam yang hingga sampai saat itu tetap disegani oleh pihak kawan
maupun lawan. Kini Awang Taruna sudah semakin
terdesak hebat, Datuk Dugal tertawa mengekeh demi melihat Awang Taruna terus
kepepet dan bermandi peluh. Pada
saat kesempatan yang sangat baik, Datuk Dugal kirimkan satu tusukan mengarah ke
lambung kiri lawannya.
Sedangkan satu tusukan lagi mengarah pada bagian leher. Begitu cepat
datangnya serangan yang dilancarkan oleh Datuk Merah dari Lembah Dosa ini,
sampai-sampai tipis sekali harapan Awang Taruna untuk dapat meloloskan diri dari
ancaman pedang kembar di tangan lawannya. Pada saat yang sama pula Bidadari
Tangan Maut sambil
menyambitkan jarum-jarum beracun, kirimkan pukulan Badai Menerpa Gurun yang
terkenal sangat ganas itu. Mungkin nasib celaka sudah tak dapat
dihindari lagi oleh pemuda sakit


Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingatan ini, kalau saja sepasang mata yang sedari tadi mengawasi pertarungan ini
tidak cepat-cepat bertindak.
Hanya dalam sekedipan mata,
pedang lawan hampir pada tubuh Awang Taruna. Pemuda sakit
ingatan ini cepat-cepat kiblatkan pedangnya.
"Trang! Trang!" Datuk Dugal berseru kaget demi mengetahui bahwa lawannya masih
mampu menangkis
serangan pedang kembarnya mentah-
mentah. Lebih dari itu kedua tangannya terasa sakit dan tergetar. Dalam pada
itu, Awang Taruna tidak menyadari kalau pukulan yang dilancarkan oleh Bidadari
Tangan Maut telah begitu dekat dengannya, begitu pula sambitan jarum-jarum
beracunnya yang datang hampir bersamaan. Dalam saat-saat yang kritris itu, si
pengintai ini pun bertindak.
"Blaar!"
Tubuh Bidadari Tangan Maut
terguling-guling, dengan darah meleleh dari bibirnya. Perempuan sundel ini
terkejut bukan alang kepalang.
Meskipun serangan itu dapat dipatahkan oleh pengintainya, tak urung beberapa
batang jarum beracun sempat amblas ke tubuh Awang Taruna.
* * * 7 Dasar orang gila! Nampaknya dia
tidak menghiraukan keadaan itu. Di samping reaksi jarum beracun itu
memang lambat sekali. Bidadari Tangan Maut cepat-cepat bangkit kembali!
Kemudian begitu dia menoleh, tahu-tahu tidak jauh dari tempat Awang Taruna
berada, di sana telah berdiri pula seorang pemuda berpakaian merah-merah.
Pemuda ini sangat tampan sekali, hingga membuat jakun Bidadari Tangan Maut turun
naik. Dia begitu terpesona
dengan ketampanan yang dimiliki oleh pemuda yang di pundaknya menggelantung
sebuah periuk berjelaga. Dari
kemarahan yang meledak-ledak, kini telah berganti dengan kekaguman dan
sesungging senyum manis. Siapakah pemuda ini" Kalau bukan Pendekar Hina Kelana
adanya. Sementara itu Datuk Dugal yang merasa serangan dahsyat yang dia lakukan
dapat dipatahkan oleh lawannya mentah-mentah tampak sangat marah sekali. Dia
sudah bersiap-siap untuk menyerang Awang Taruna dengan segenap kemampuannya,
akhirnya mengurungkan niatnya. Kehadiran pemuda berpakaian dekil yang agaknya juga
memiliki kepandaian yang sangat
tinggi, telah membuat hatinya menjadi bimbang. Kemudian dia melangkah satu
tindakan menghampiri pemuda itu. Pada saat yang sama pula, Awang Taruna dengan
meringis-ringis telah terlebih dulu membentak Pendekar Hina Kelana:
"Engkau juga kiranya mau
mengeroyokku! Kurang ajar benar engkau
ini... bukan membantuku, tapi malah berkomplot dengan pembunuh keji...!"
Mendengar ucapan seperti itu, pendekar kita ini yang sesungguhnya belum
mengetahui tentang keadaan si Awang Taruna yang sesungguhnya nampak sangat
tersinggung sekali.
"Hmm! Sialan tolol, kau tak bisa membedakan mana kawan mana lawan.
Dibela malah menuduh yang bukan-bukan.
Sungguh nasib ini benar-benar
apek...!" Buang Sengketa menggerutu.
Sebaliknya Awang Taruna tanpa
memperdulikan ucapan Pendekar Hina Kelana, terus nyerocos.
"Hah... bagus! Kalau engkau
benar-benar kawan sejati, tentu kau mau bersamaku membantai iblis-iblis yang
telah membunuh emakku dan orang-orang yang tiada berdosa itu...?" kata Awang
Taruna dengan tatapan mata
hampa. "Wei... mau sekali. Apalagi
kudengar datuk dan betina dari lembah sialan ini hendak merampas pedang milikmu!
Tentu aku sangat berkeinginan sekali untuk menggulung komplotan manusia cecurut
ini...." jawab Pendekar Hina Kelana pasti. Akan
tetapi demi mendengar ucapan Buang
Sengketa, pemuda sakit ingatan ini tiba-tiba berubah parasnya. Dia nampak marah
sekali, agaknya fikiran sehatnya yang selalu timbul tenggelam itu salah tanggap
akan apa yang baru saja diucapkan oleh Pendekar Hina Kelana.
Dengan pedangnya dia menunjuk tepat-tepat di dada pendekar ini:
"Bangsat! Bicaramu ngaco belo, tadi kau mau membantuku... tapi kini engkau malah
berbalik inginkan
pedangku...!" bentak Awang Taruna gusar.
Pendekar Hina Kelana sangat geram sekali, dia benar-benar tidak berdaya memberi
penjelasan pada pemuda sakit ingatan ini. Baru saja dia bermaksud untuk
Patung Emas Kaki Tunggal 11 Tamu Dari Gurun Pasir To Liong Keng Hong Karya Opa Romantika Sebilah Pedang 4
^