Pencarian

Racun Puri Iblis 2

Pendekar Cambuk Naga 1 Racun Puri Iblis Bagian 2


Kepatihan Anjar Puspa. Jelas hal itu dianugrahkan atas dasar jasa dan
dharma bhaktinya kepada tugas dan atasannya. Namun dalam keadaan seperti ini,
penghargaan yang dapat diberikan kepada Ludiro hanyalah perawatan yang baik.
Sekar Pamikat merawat Ludiro dari hari ke hari, sehingga pada
saatnya tiba, Ludiro sudah mencapai kondisi kesehatan yang normal kembali.
Sampai tiba pada suatu saat,
ketika mereka telah meninggalkan
penginapan dan berpisah dengan Eyang Gati, Ludiro datang dengan tergopoh-gopoh.
Sekar Pamikat mulai tertarik dengan awal berita yang disampaikan Ludiro:
"Saya membawa kabar yang
menggembirakan, Putri Ayu."
"Langsung saja katakan!"
"Nawang Puri...!" ucap Ludiro.
"Nawang Puri" Sungguh" Kau tidak salah lihat?"
"Tidak, Putri Ayu. Hampir saja tadi saya salah langkah, karena saya kira dia
adalah Putri Ayu
Sekar Pamikat. Dandanan, lagak
lagunya, bahkan cambuk di punggungnya, sama persis dengan Putri Ayu."
Debar-debar jantung Sekar Pamikat bertambah cepat. Ia terbungkam
beberapa saat, matanya menerawang jauh. Kembali terngiang di telinganya kata-
kata Eyang Gati yang terakhir, sebelum mereka berpisah karena tujuan yang
berbeda. "Dewi Cambuk Naga...." kata Pendekar Burung Bangkai. "Aku harus mencari kembali
Gelang Pangasih
warisan leluhurku. Aku harus memburu-nya ke arah mana pun. Dan kali ini, aku
telah mendapat keterangan bahwa Gelang Pangasih ada di tangan seorang Pendeta
Sarak, yang menjadi ketua partai di perguruan Lumbung Darah. Aku sudah tahu
letak tempatnya, dan aku harus ke Sana. Jadi pesanku, berjalan-lah kau ke arah
tenggelamnya sang surya. Di sana ada sebuah wilayah yang bernama Kadipaten
Nilakencana. Cobalah datang ke sana. Sebab kudengar, dulu
Raden Praja sedang dalam perjalanan ke Kadipaten Nilakencana untuk menemui calon
istrinya. Memang dari Kadipaten Jangga, jika ingin menuju Kadipaten Nilakencana,
harus melalui Kabupaten Abangan ini. Tapi kurasa itu bukan berarti calon istri
Raden Praja berada di Kabupaten Abangan ini,..."
Dan sekarang Sekar Pamikat memang sudah berada di perbatasan Kadipaten
Nilakencana. Bukan hal yang mustahil bila Ludiro menyatakan telah bertemu dengan
Nawang Puri yang
masih mengenakan raga Sekar Pamikat. Tapi dapatkah ia dan Ludiro bebas bertindak di
Kadipaten Nilakencana" Sebab
setahunya, Kadipaten ini adalah sebuah Kadipaten yang senantiasa menjaga
kerukunan dan kedamaian rakyatnya.
Apakah dengan memaksa Nawang Puri agar mau menyerahkan kembali raga Sekar
Pamikat, tidak akan dianggap suatu tindakan yang mengacaukan kedamaian di
Kadipaten itu"
"Putri Ayu...." tegur Ludiro setelah mereka saling termenung dan membisu
beberapa saat lamanya. "Saya rasa ini kesempatan baik untuk menemui Nawang Puri.
Dengan mendekat kan diri kepada orang Kadipaten, mungkin kita bisa meminta
bantuannya untuk
menangkap Nawang Puri tanpa
kegaduhan."
"Mendekatkan diri, itu tidak
mudah. Kecurigaan dapat memancing kita ke dalam lobang jebakan yang ada, Paman."
Ludiro tersenyum. Saya baru ingat kalau Kadipaten
ini adalah dalam
kekuasaan Adipati Reksoguno. Kalau tidak salah ingatan saya, Reksoguno itu masih
ada hubungan saudara dengan Resi Garba, guru saya itu. Dengan memperkenalkan
diri sebagai murid Resi Garba, barangkali saya dapat menjalin hubungan dengan
beliau, dan rencana kita dapat dilaksanakan. Bahkan bila mungkin kita akan
mendapat bantuan dari pihak Adipati Reksoguno."
Sekar Pamikat manggut-manggut.
Sebenarnya hatinya sudah tak sabar lagi, ingin segera bertemu dengan Nawang Puri
dan merebut kembali
raganya. Tetapi tiba-tiba terselip sesuatu yang mengganjal di hati.
"Rencana memang bagus. Tapi
apakah Adipati Reksoguno itu masih menaruh hormat kepada Resi Garba"!
"Saya yakin, pasti Reksoguno
masih memandang Resi Garba sebagai kakak misannya. Ah, sebaiknya kita
mencobanya. Jika gagal, pasti ada cara lain yang saat ini memang belum kita
temukan, Putri Ayu."
Ludiro selalu memberi semangat
dan gairah kepada Sekar Pamikat.
Akhirnya gadis itu pun nekad masuk ke wilayah Kadipaten Nilakencana. Untuk
mencapai Dalem Kadipaten, mereka harus melalui beberapa desa dan pademangan.
Geram dan dendam di hati Sekar Pamikat hanya membuat keresahan yang menyolok.
Ludiro selalu mengingatkan agar Sekar Pamikat harus bisa menahan emosi dan
memperkaya kesabaran.
"Biasanya kesabaran itulah yang akan menghasilkan buah yang manis, Putri Ayu."
Sekar Pamikat hanya menggumam. Ia tetap melangkah dengan tegap dan
tegas. Matanya bergerak-gerak lincah, memasang kewaspadaan di sekelilingnya.
Ketika mereka hendak memasuki
pusat keramaian Kadipaten, mendadak langkah Sekar Pamikat terhenti,
tangannya menarik tangan Ludiro seraya ia berbisik," Paman... berlindunglah."
Dengan keadaan bingung, Ludiro
berlindung di balik pohon, menyatu dengan Sekar Pamikat.
"Ada apa, Putri?" Ludiro balas berbisik.
"Lihat penunggang kuda yang
menuju regol Kadipaten itu" Bukankah dia Raden Panewu, kakak Raden Praja itu?"
"Ya, Panewu..." ucap Ludiro dalam desah keheranan.
Lelaki bertubuh sedang dan
mengenakan baju kebangsawanan warna putih berhias benang emas di setiap
tepiannya itu, sempat berhenti sejenak
di regol Kadipaten. Matanya memandang penuh curiga ke sekeliling. Setelah merasa
aman, ia pun masuk ke pintu gerbang Kadipaten Nilakencana yang dijaga oleh dua
orang prajurit bersenjata tombak dan perisai perak.
"Rupanya ia memang sering datang kemari, Putri. Lihat saja, sewaktu dia masuk,
kedua pengawal pintu regol hanya membungkuk, menghormat, kemudian membukakan
pintu tanpa melalui beberapa pertanyaan seperti umumnya orang mau masuk Dalem Kadipaten."
Sekar Pamikat hanya menggumam.
Setelah kuda yang ditunggangi Raden Panewu menghilang, dan pintu regol ditutup
kembali, Sekar Pamikat
menghempaskan nafas panjang. Ada rona keheranan yang berbaur dengan perasaan
resah. "Sudahlah," Ludiro menghibur.
"Mungkin itu hanya suatu kunjungan biasa."
"Kunjungan tanpa pengawalan" Dari Kadipaten Jangga ia berani datang sendirian
kemari tanpa pengawalan?"
Sekar Pamikat berkerut dahi. "Aneh.
Caranya masuk pun sangat mencuri-
gakan." Di seberang Dalem Kadipaten, ada
sebuah kedai bagi para penarik
gerobak. Memang sedikit agak jauh dari pintu regol, tapi dari kedai itu orang
dapat melihat jelas keadaan di pintu
regol tersebut. Tak ada tempat lain yang strategis bagi Ludiro dan Sekar Pamikat
selain ikut duduk di kedai itu, membaur dengan para penarik
gerobak sayuran dan padi, sambil
menyusun rencana dan mempelajari
situasi yang ada.
"Saya jadi penasaran," ujar Ludiro. "Ada apa sebenarnya di balik tembok Dalem
Kadipaten itu?"
"Hei, lihat...!" Sekar Pamikat nyaris terpekik kaget. Tangannya
menuding ke arah pintu regol Dalam Kadipaten. Rupanya bukan hanya
sepasang mata sayu bercodet saja yang membelalak lebar, melainkan sepasang mata
Ludiro yang belo itu pun ikut membelalak lebar.
"Itu dia!" seru Ludiro bertahan, takut menjadi pusat perhatian orang-orang di
sekitar situ. "Itu Nawang Puri!"
Seorang perempuan berbaju warna
ungu, tipis dan amat menarik, sedang berjalan menuju pintu gerbang Dalem
Kadipaten. Perempuan itu amat cantik.
Tubuhnya langsing, namun bukan ceking.
Padat, berisi, dan sangat menggairahkan setiap lelaki yang memandangnya.
Terbukti dari celoteh para pembeli kedai memuji-muji kecantikan gadis itu.
Seseorang berpakaian hitam yang
duduk di seberang meja berkata kepada
temannya: "Cantik sekali gadis Itu. Serupa betul dengan bidadari dalam impianku."
Yang lain menyahut, "Edan! Kenapa sejak lahir baru sekarang kuketahui ada gadis
secantik dia. Putri
Anggraini, anak kanjeng Adipati itu, tak ada sekuku hitamnya kecantikan yang ia
miliki dibanding gadis itu.
Wah, wah,wah...."
Salah seorang berkata, "Dia bukan orang Kadipaten Nilakencana. Dia cuma seorang
tamu." "Tamu?"
Pemilik kedai menyahut, 'Ya, tamu istimewa Kanjeng Adipati. Dia itulah yang
bernama Putri Ayu Sekar Pamikat.
Ia bergelar Cambuk Naga. Lihatlah cambuk bergagang perak yang terselip di
pinggangnya, membuktikan bahwa dia benar-benar seorang dewi, yang selain cantik,
menggairahkan, juga berilmu tinggi."
"Tapi mengapa ada dua pengawal yang menyertainya" Kalau sakti, punya ilmu
kanuragan yang tinggi, tentunya ia tak perlu pengawalan," bantah yang lain.
"Hei, Sobri... Kamu kira kedua pengawal itu benar-benar bertugas mengawal Putri
Ayu Sekar Pamikat?"
kata pemilik kedai yang perempuan.
"Kedua orang itu hanya sekedar pesuruh yang sewaktu-waktu siap melayani Sang
Pendekar Cambuk Naga!"
"Ooo... kalau begitu ia sudah nyaris menjadi seorang putri Adipati, ya?"
"Lha, memang kok. Memang Pendekar Cambuk Naga itu saudara angkat Putri
Anggraini, dan sudah disyahkan menjadi anggota keluarga Adipati Reksoguno.."
"Berarti punya hak penuh sebagai wakil keluarga Kadipaten Nilakencana, ya" Wah,
benar-benar ia menduduki jabatan yang enak dan menyenangkan hati...."
Ludiro membisu. Matanya melirik
putri momongannya. Ada selaput merah membungkus wajah sayu Sekar Pamikat.
Ada genangan air bening di sudut mata bercodet dan berbulu mata tipis itu.
Ada suara gemeretaknya gigi geraham.
Ada hembusan-hembusan nafas tak
teratur, dan semua itu jelas serangkaian emosi yang ditahan kuat-kuat oleh Sekar
Pamikat. "Putri Ayu..." bisik Ludiro hati-hati sekali.
Suara sumbang dan datar terdengar dari mulut Sekar Pamikat, "Jahanam itu telah
berhasil bermegah sanjungan dan pujian. Orang-orang itu... oh, mereka tak tahu
kalau itu, yang mereka
pandang itu adalah jasadku, Paman."
"Sssttt... jangan keras-keras,"
bisik Ludiro cemas.
"Sudan saatnya kita harus bertin-
dak, Paman. Aku tak tahan menerima siksaan batin seperti ini. Aku tak tahan!"
Suara Sekar Pamikat semakin ditekan, diendapnya agar tak menimbulkan kecurigaan
bagi orang lain.
"Jangan, jangan...!" Ludiro yang bertubuh kekar dan mengenakan baju tanpa lengan
itu sangat mengkhawatirkan ledakan emosi yang bisa terjadi pada diri Sekar
Pamikat. "Menahan emosi adalah belajar memahami pribadi setiap manusia, Putri Ayu. Jangan
gegabah." "Tapi... tapi dapatkah aku
bertahan seperti ini, sementara aku melihat ragaku yang banyak dikagumi orang
itu berjalan masuk ke Dalem Kadipaten" Dapatkah aku menahan diri, sementara aku
melihat bayangan
pribadiku melintas di depan mataku, Paman?"
"Harus bisa. Memang sulit, tapi segala yang sulit akan menelorkan sesuatu yang
membahagiakan, Putri.
Percayalah, ini bukan saatnya untuk bertindak. Jangan mau gagal karena
diperbudak oleh emosi.
Tapi bersabarlah untuk menggunakan
perhitungan otak yang sehat."
Sekar Pamikat menggigit bibirnya
sendiri. Memang sosok Nawang Puri yang mengenakan raganya itu telah masuk ke
Dalem Kadipaten, tapi rasa-rasanya Sekar Pamikat bagai masih melihat
bekas bayangan sosok tubuhnya di depan regol. Tiba-tiba pemilik kedai berseru
kepada orang-orang:
"Nah, yang itu kabarnya calon suami Pendekar Cambuk Naga..."
Ludiro serta Sekar Pamikat
terbelalak tegang.
* * * 5 GEMETAR rasanya tulang-tulang dan persendian Sekar Pamikat ketika
matanya tertuju pada seorang pemuda yang sedang berbicara dengan kedua pengawal
regol. Pemuda itu pernah dilihatnya beberapa waktu yang lalu.
Badannya tinggi, tegap, mengenakan rompi dari kulit beruang, demikian juga
celana pangsi ketat dari kulit beruang juga. Pemuda itu berambut panjang, rapi.
Diikat dengan ikat kepala dari kulit macan tutul.
Sedangkan ikat pinggangnya jelas
terbuat dari kulit buaya, lebar dan tebal. Sekar Pamikat memperhatikan sebilah
pedang yang bertengger di pundak pemuda itu. Pedang berkepala kobra
yang terbuat dari semacam
gading. Mungkin gading gajah Uar.
Sekar Pamikat juga ingat, pemuda
itu pernah mengalami sedikit bentrokan
dengan Pendekar Burung Bangkai, atau yang dipanggilnya Eyang Gati. Semua
gerakan, sikapnya, ketangguhannya menghadapi ilmu Eyang Gati, masih terbayang
dalam ingatan Sekar Pamikat.
Bahkan saat pertama matanya bertatapan sekilas oleh sorot mata pemuda itu, Sekar
Pamikat masih ingat betapa waktu itu sebenarnya hatinya berdebar tak tentu rasa.
Namun ketika itu ia mampu segera menghilangkan kekacauan hatinya karena sikap
Eyang Gati yang membuat suasana menjadi tegang. Dalam jarak yang bisa dibilang
jauh untuk jarak pandang itu, Sekar Pamikat dapat
memperhatikan dengan jelas otot-otot dan kegempalan badan pemuda itu.
Kekar. Kencang. Bagai menggoda suatu kehangatan yang menggelitik hatinya.
Wajahnya bersih, tanpa kumis atau pun cambang. Entah memang dirawat
sedemikian rupa, atau memang tak ada selembar kumis pun yang dapat tumbuh di
wajah kesatriaannya, yang jelas dengan keadaan wajah bersih itu, ia tampak
seperti seorang pangeran yang baru pulang dari berburu rusa di
hutan. Seorang perempuan muda, anak
pemilik kedai, sempat memperhatikan ke arah pintu regol Dalem Kadipaten. Ia tak
sadar kalau mulutnya sejak tadi melongo, memperlihatkan kekagumannya kepada
pemuda berpedang kobra.
"Katmi...." tegur ibunya. "Apa-apaan kamu memandang lelaki kok sampai
terbengong-bengong begitu?"
Tawa beberapa orang terdengar.


Pendekar Cambuk Naga 1 Racun Puri Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis yang dipanggil Katmi itu
tersipu-sipu. Namun Sekar Pamikat bagai kaku dan tak mampu berekspresi lain
kecuali sendu. Namun telinganya masih sempat mendengar suara Katmi yang bertanya
kepada ibunya: "Dia itu siapa sih, Mak?"
"Kata Mbok Jirah, abdi Dalem
Kepatihan itu, dia.. dia calon suami Pendekar Cambuk Naga."
"Wah, cocok. Pendekar Cambuk Naga ayu, calon suaminya gantengnya bukan main.
Cocok sekali ya, Mak" O, lalu...
namanya siapa, Mak?"
Ayah Katmi menyahut, "Namanya ash" tidak ada yang tahu. Tapi dia punya gelar:
Pendekar Pusar Bumi."
Tanpa disadari Sekar Pamikat
menggumam lirih:
"Pendekar Pusar Bumi..."
"Putri...." sapa Ludiro. "Ada apa?" Ludiro memancing.
Sekar Pamikat menghela nafas.
"Tidak apa-apa..." suaranya begitu parau, dan Ludiro tahu apa yang sedang
bergejolak di hati Sekar Pamikat.
Sangat pribadi. Karenanya ia tak perlu mendesak dengan pertanyaan lain. Namun
secara tidak sengaja, telinga mereka sama-sama menunggu suara dari orang-
orang itu yang diharapkan membicarakan tentang Pendekar Pusar Bumi. Ternyata
harapannya terpenuhi. Ada seseorang yang bertanya kepada pemilik kedai.
"Dia orang mana, Pak?"
"Kabarnya sih. dari Pesanggrahan Cendana Manik. Itu kalau aku tidak salah dengar
lho. Sebab sebelum dia masuk pertama kali ke Dalem Kadipaten, ia menyempatkan
minum tuak dulu di sini sambil bertanya tentang ini-itu sama aku."
"Ooo... jadi dia memang sudah lama tinggal di wilayah kita?"
"Lama sih tidak. Mungkin sudah ada dua bulan, cuma tidak menetap di sini. Ia
sering pergi entah ke mana, dan tahu-tahu muncul lagi."
Sebenarnya pemuda yang konon
bergelar Pendekar Pusar Bumi itu telah lama masuk Dalem Kadipaten, namun mereka
masih saja membicarakan. Tanpa disadari, sesekali hati Sekar Pamikat merasa
berbunga-bunga, karena seakan dirinya itulah yang sedang dibicara-kan. Jika ada
yang mengatakan:
"Alangkah bahagianya Pendekar Cambuk Naga bisa berdampingan dengan Pendekar
Pusar Bumi yang tampan itu...."
Sekar merasa seakan orang itu
sedang menyindirnya dalam canda.
Malahan ia sempat tersenyum ketika Katmi, anak pemilik kedai itu
berkelakar dengan salah seorang lelaki
yang sedang menikmati makanannya di situ:
"Hei, Kang... kalau kau seumpama menjadi Pendekar Pusar Bumi, apa yang akan
kaulakukan pada malam pertama"
Kau ingin mencium Pendekar Cambuk Naga?"
Orang itu menjawab, "Untuk apa kucium" Aku tahu pasti kalau Pendekar Cambuk Naga
akan menciumku sendiri, seandainya aku Pendekar Pusar Bumi.
Sayang... nyatanya aku toh cuma tukang ramban, cari rumput! Paling-paling yang
cium aku kuda...!"
Gelak tawa itu membuat Sekar
Pamikat menjadi tersipu sendiri. Ia benar-benar seakan mereka sedang
membicarakan percintaannya dengan Pendekar Puser Bumi. Wajah Sekar
Pemikat saat itu menjadi merah dadu.
Ia menunduk. Tersenyum-senyum sehingga Ludiro memandangnya dalam keheranan.
Tak sengaja Ludiro bertanya sendiri:
"Ada apa kok
jadi tersenyum-
senyum begitu?" Sekar Pamikat buru-buru menarik nafas panjang. Ia kembali dalam
kesadarannya dan mengetahui bahwa orang-orang itu tidak sedang membicarakan
dirinya. Pendekar Cambuk Naga
yang mereka maksud, adalah
Pendekar Cambuk Naga yang saat ini berada di dalam Dalem Kadipaten. Bukan yang
berada di kedai itu. Yang berada di kedai, sama sekali tak dikenal oleh
mereka, dan sama sekali tak mendapat perhatian karena tidak memiliki
kecantikan seperti Pendekar Cambuk Naga yang ada di dalam Dalem Kadipaten itu.
Hati Sekar Pamikat bagai menerima irisan-irisan yang memedihkan begitu ia
menyadari hal itu.
Secara lahiriah, ia memang
tertarik melihat ketampanan, kegagahan dan ketegaran Pendekar Pusar Bumi.
Tapi toh ia belum tahu isi hatinya. Ia belum mengenai watak dan pribadi
pemuda itu. Karenanya, Sekar Pamikat buru-buru membuang perasaan simpati-nya,
mengacau balaukan hati yang
sedang berbunga-bunga. Ia tak mau tersiksa sendiri.
"Paman, sebaiknya..."
Kata-kata itu terputus. Sekar
Pamikat memandang sekeliling. Oh, kedai itu telah sepi. Ludiro tidak ada di
sampingnya. Hanya tinggal dua orang yang tengah menikmati makanannya.
Dan... astaga, ia terlalu panjang melamun. Ia tak sempat menyadari kalau hari
telah merayap menjadi petang.
Ouw... luar biasa. Barangkali Ludiro maupun orang lain telah menegurnya
berulangkali, namun agaknya ia telah terseret ke dalam lamunan yang dalam.
Lamunan tentang Pendekar Pusar Bumi"
Lamunan tentang kecantikan diri yang sebenarnya" Lamunan tentang bunga asmara
yang berusaha ditekan dan
dimatikan di dalam hati"
Ah, entahlah. Ia sendiri tak tahu mengapa ia menjadi linglung seperti itu. Waktu
ia menanyakan kepada Katmi.
"Apakah kau melihat temanku yang tadi makan bersama aku?"
Katmi hanya menjawab, "Dia pergi.
Dia sudah berpesan kepadamu agar
jangan kemana-mana
sebelum ia kembali." "O, dia bicara kepadaku?"
"Juga kepadaku, aku disuruh
menjagamu. Tapi... itu tak mungkin kulakukan. Tugasku banyak. Sebentar lagi akan
banyak orang yang datang untuk bersantap malam di sini."
Jawaban-jawaban itu, perkataan-
perkataan itu, sungguh bersifat
menyepelekan diri Sekar Pamikat.
Mungkin karena wajahnya tak secantik Katmi, dan sosok tubuhnya tak
menggairahkan seperti Katmi, sehingga seorang perempuan pun enggan
bersahabat dengannya. Memang, dengan gigi depan yang sedikit menjorok ke luar
itu, ia benar-benar tak enak dipandang. Tapi, mengapa mereka harus bersikap
demikian jika wajah yang dipakai ukuran"
Tidak. Sekar Pamikat tidak mau
berpikir hal itu. Terlalu ringan dan sia-sia. Ada persoalan lain yang lebih
penting, lebih membutuhkan pikirannya.
"Nawang Puri!"
Ketika Sekar Pamikat mencoba
berdiri di halaman depan kedai itu, ia melihat seseorang keluar dari pintu regol
Kadipaten. Orang itu, menurutnya adalah dirinya sendiri. Tapi
sebenarnya ia adalah Nawang Puri.
Sekar Pamikat sempat gugup
sebentar karena ia kebingungan, antara mencari dan menunggu Ludiro di kedai,
atau berjalan mengikuti kepergian Nawang Puri. Apalagi kini dibelakang Nawang
Puri berjalan seorang pemuda berambut panjang, rapi dan bersih.
Dialah Pendekar Pusar Bumi. Oh, begitu gundahnya hati Sekar Pamikat saat ini.
Mereka hanya berdua. Memang
benar-benar hanya berdua. Mereka
melangkah perlahan, bagai sedang
menyusuri cahaya purnama yang malam itu begitu in dan, memancarkan warn a perak
mendamaikan hati. Begitu
romantis mereka melangkah seiring.
Entah apa yang mereka bisikkan dari hati ke hati, namun hati Sekar Pamikat kian
terpecah menjadi dua bagian.
Salah satu hatinya merasa masygul, berdebar-debar, karena ia bagai sedang
melihat dirinya berjalan rapat dengan pemuda segagah itu. Namun sebagian hatinya
terbersit dendam kepada Nawang Puri. Gara-gara kelicikan Nawang Puri, saat itu
ia hanya dapat menjadi
penonton setia terhadap kemesraan yang ada di depan matanya itu.
"Setan! Memang setan keparat dia!
Malam ini juga aku harus menunjukkan siapa sebenarnya dirinya dan siapa
sebenarnya Pendekar Cambuk Naga!"
geram Sekar Pamikat sambil melangkah di keremangan cahaya purnama, mengikuti ke
mana arah kepergian sepasang remaja dalam kemesraan itu.
Malam terus merayap. Ada hembusan udara yang membawa angin dingin.
Rambut Nawang Puri yang tersanggul rapi itu bagai bertiras. Tepiannya beriap-
riap bagai tarian serabut
benang sutra. Sementara itu, baju longgar bergaya jubah warna ungu
menari-nari karena hempasan angin.
Baju itu tampak lebih lembut dan menakjubkan ketika terkena cahaya bulan
purnama. Langkahnya maju setapak demi setapak, seakan sengaja menggoda hati
Sekar Pamikat, yang berada dalam raga Nawang Puri sebenarnya.
"Kalau sukmaku telah menjadi satu dengan ragaku, barangkali perasaanku saat itu
sama dengan apa yang kurasa saat ini!" kata Sekar Pamikat sendirian. Suaranya
sedikit bergetar karena menahan kepedihan.
Dalam jarak tertentu, Sekar
Pamikat ikut melangkah, mengawasi sepasang muda-mudi itu. Dalam jarak
pandangnya, ia dapat melihat betapa indahnya ikat kepala Pendekar Pusar Bumi di
sela taburan cahaya rembulan.
Ikat kepala dari bahan kulit macan tutul, kelihatan seperti sehelai kain emas
bertaburkan manik-manik hitam yang indah. Pedang bergagang gading bentuk kobra
itu, terasa begitu
menggugah gairah. Pedang yang tersan-dang di pundaknya itu bagai mempunyai daya
magnetisme tersendiri bagi Sekar Pamikat. Ia tak dapat membohongi
dirinya sendiri, bahwa pemuda dan pedang itu telah memancing khayalannya untuk
saling berdekap erat. Sayang...
hanya segelintir khayalan.
Debur ombak pantai terdengar. O,
rupanya Pendekar Pusar Bumi membawa gadisnya ke pantai yang sepi dan
memang sangat romantis. Sekar Pamikat masih mengikutinya terus dalam jarak yang
diatur sedemikian rupa sehingga sukar diketahui oleh mangsanya. Debar-debar
jantungnya sesekali bagai ingin meledak, manakala ia memperhatikan tangan Nawang
Puri diremas oleh jemari tangan Pendekar Pusar Bumi. Tanpa sadar tangan Sekar
Pamikat bergerak-gerak meremas udara hampa. Ia
merasakan bagai sedang bergandengan tangan dengan Pendekar muda itu. Oh,
alangkah melenakan jika ia dapat
merasakannya langsung.
"Aku harus bergerak. Bergerak sekarang," pikir Sekar Pamikat. "Tapi, oh...
jangan. Jangan sekarang. Biar dulu ingin kutahu sehangat apa
kemesraan itu berlangsung...."
Sekar Pamikat menggelinjang
kegelian ketika Pendekar Pusar Bumi menggelitik pinggang Nawang Puri. Ia bagai
merasa sedang bercanda dengan pemuda itu. Ia nyaris terpekik
kegelian. Buru-buru ia segera menutup mulutnya dan mengendap dalam semak tanaman
perdu. Ombak pantai semakin jelas.
Pendekar Pusar Bumi berdiri dengan kaki terentang tegak. Kedua tangannya
bersedekap. Sementara cahaya bulan memancar dari arah depannya. Sekar Pamikat
yang berada dalam persembunyian semak, mengeluh dan berdecak kagum berulangkali.
Cuma dalam hati.
Ia memandang tubuh yang tegar dan tegap itu membentuk dalam bayangan yang
menampakkan kejantanannya. Pemuda itu bagai sedang menantikan kapal musuh dan
siap menghancurkannya.
Sekar Pamikat semakin merayap
mendekat. Ketika itu Nawang Puri
sedang memeluk pundak Pendekar Pusar Bumi, bahkan kini bergelayutan dengan
manja. Tawa dan kata terdengar samar-samar, angin berhembus membawa kikik tawa
mereka. Dan ketika tangan kekar nan tegap itu merangkul pundak Nawang Puri, tak
sadar mulut Sekar Pamikat melontarkan keluh yang romantis.
"Ooh..." dan ia pun menggelinjang, bagai ingin merapatkan badan ke
tubuh kekar yang menghangat itu. Tak tahan rasanya hati untuk mengeluh dan
mengeluh terus. Sekar Pamikat merayap lebih mendekat, namun masih dalam rimbunan
semak dan rimbunan pohon nipah. Matanya menatap tajam tak
berkedip, memandang kemesraan Nawang Puri dengan Pendekar Pusar Bumi.
Suara-suara mereka mulai terde-
ngar sayup, namun Sekar Pamikat segera menggunakan aji Gineng
memusatkan pikiran pada segala macam suara, lalu memilih suara mana yang perlu daya tangkap
khusus. Sebab itu,
Sekar Pamikat dapat mendengar Pendekar Pusar Bumi berkata:
"Rasa-rasanya aku tak sabar untuk menunggu terlalu lama, Dewi."
Terdengar pula Nawang Puri yang
dipanggil Dewi itu menjawab lirih,
"Ya, aku pun juga tak tahan, Kakang."
"Dewi..." Pemuda itu mendesah punya makna tersendiri. Diam-diam hati Sekar
Pamikat semakin berdebar-debar dan penuh desah juga.
"Sayang kita harus menunggu ayah sembuh. Jika tidak, mungkin malam ini juga kita
telah resmi menjadi suami-istri dan dapat... dapat...."
"Dapat apa?" goda Nawang Puri dengan tawa kecilnya.
"Kau bisa menebaknya, bukan?"
"Aku sudah tahu jawabannya. Dan... dan aku sudah siap menjawab tanpa kata,
Kakang." Angin berhembus tak begitu
kencang, cukup dipakai buat pelena suasana mesra itu. Sekar Pamikat
menggigit bibirnya sendiri pada saat Pendekar Pusar Bumi memeluk tubuh Nawang
Puri, yang sebenarnya tubuh Sekar Pamikat sendiri. Bahkan ketika Pendekar
Pusar Bumi memeluk lalu
menciumnya pelan-pelan, Sekar Pamikat merintih pelan. Pelan sekali. Bahkan ia
sempat mengerang dalam nada
rengekan. Ia tak tahan. Sangat tak tahan. Ia ingin segera muncul dan menampakkan
diri, lalu adu kadigdayan dengan Nawang
Puri. Tapi, hati kecilnya mengatakan, jangan! Masih ada sesuatu yang harus ditunggu. Entah apa
dan kapan. "Kau tidak kecewa karena gagal bersuami Raden Praja?" tanya Pendekar Pusar Bumi.
Tampak dari semak-semak, Nawang Puri menggeleng. Lalu perempuan itu berkata:
"Dia sudah tiada, yang sudah tiada tak perlu dibuat menjadi ada.
Itu hanya menjadikan diri kita mayat tertunda."
Pendekar Pusar Bumi tersenyum
dalam tawa kecilnya. Cahaya bulan menerangi tawa kecil dan senyuman itu.
Lalu mulut Sekar Pamikat semakin
terperangah. Ia, pemuda itu, semakin memikat saja dengan tawa tipisnya itu.
Apalagi saat ini ia mengusap lembut pipi Nawang Puri, merapikan anak
rambut yang meriap di kening Nawang Puri, oh... Sekar Pamikat terpaksa
memejamkan mata untuk meresapinya.
"Kakang Seta..." bisik Nawang Puri dalam desah yang telah memabokkan itu.
"Kurasa tak ada salahnya jika kita berbulan madu lebih dulu sekarang ini.
Aku..aku takut kehilangan kau, Kakang Seta."
Terperanjat hati Sekar Pamikat.
Ia buru-buru melepaskan diri dari penghayatannya. Ia mendengar pemuda yang
dipanggil kakang Seta itu tertawa kecil, bercampur desah nafas yang memburu.
"Apakah kau rela memberikannya malam ini?"
"Ya. Aku rela. Aku rela, Kakang.


Pendekar Cambuk Naga 1 Racun Puri Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Inilah bukti bahwa cintaku bukan mekar di tepian bibir saja, namun di
ujungsukmapun cinta itu masih mewangi, Kakang."
Tidak! Sekar Pamikat berteriak
dalam hati. Ia tidak mau ternoda. Ia ingin mendapatkan jasadnya kembali dalam
keadaan masih suci. Masih
perawan! Sama persis seperti ketika raga itu dipakai sukma Nawang Puri.
Namun agaknya sepasang kasih itu
semakin hangat dan semakin merayap.
Sekar Pamikat dalam kebimbangan.
haruskah ia menampakkan diri saat ini"
Tapi bagaimana dengan gejolak kewanitaannya yang telah tertawan kemesraan
Pendekar Pusar Bumi dengan Nawang Puri itu"
"Kakang..." desah Nawang Puri semakin tipis. Gaun jubah berwarna ungu nan halus
dan lembut itu sudah tidak lagi hanya dipermainkan oleh angin saja, tetapi jari-
jemari tangan Nawang Puri sendiri sudah lebih berani mempermainkannya, bagai
memberi kesempatan kepada Seta untuk
menghangatkan hembusan angin pantai itu. Debur ombak pun semakin deras, seakan
merupakan irama yang terselip di sela ketegangan Sekar Pamikat.
"Ini harus dihentikan!" ucap Sekar Pamit dalam hati. Tetapi sebelum ia berdiri
dari jongkoknya yang telah lama itu, tiba-tiba ia merasakan ada benda dingin
yang menempel di tengkuk kepalanya. Menempelnya benda dingin yang mendirikan
bulu kuduknya itu diiringi dengan suara bisikan lembut, yang terlontar dengan
sangat hati-hati sekali.
"Jangan bertindak bodoh. Ikuti aku, lekas!"
Suara itu, jelas suara Panewu.
Sekar Pamikat hafal dengan suara yang sedikit serak, bagai orang kebanyakan
madat, Benda dingin. yang menempel di tengkuk kepalanya jelas sebilah keris.
Baunya yang khas sempat ter-hirup
hidung, dan keruncingannya sempat membuat perih di kulit Sekar Pamikat.
Di luar dugaan Panewu, Sekar
Pamikat menggulingkan tubuhnya ke kiri bagai seekor kucing tersengat api
Bersamaan dengan itu kakinya yang kecil dan keras menghantam pergelangan tangan
Raden Panewu. Keris hampir saja terlepas. Untung hanya terhempas ke belakang
dengan gagang masih kukuh terpegang tangan.
"Jahanaaamm...!" Raden Panewu berteriak keras. Ia berusaha
mengayunkan kerisnya ke arah pinggang Sekar Pamikat, tapi perempuan kurus itu
lebih dulu melentik ke udara bagai anak belalang keluar dari persembunyian. Ia
sempat melayang dan
membuat gerakan salto di udara. Sarung pedangnya yang terbuat dari perak tembaga
memantulkan cahaya bulan.
Berkilat dan melesat, seperti seekor kunang-kunang menari di udara. Dengan
sigap, tanpa goyah sedikit pun, Sekar Pamikat telah menampakkan kedua
kakinya dengan sempurna di tanah
berpasir lembut. Dan hal ini sangat mengejutkan Pendekar Pusar Bumi dan Nawang
Puri. Terlebih Nawang Puri ia nyaris menjerit kaget sewaktu ia
merasa melihat dirinya berada di
depannya sendiri. Untung ia segera sadar bahwa saat ini ia masih
mengenakan raga Sekar Pamikat,
sehingga tubuh yang dulu pernah
dimiliki sukmanya itu kini justru dipandanginya dengan sinis.
"Nawang Puri..."!" geram Sekar Pamikat. Pendekar Pusar Bumi sempat terperangah
dan heran beberapa detik.
"Nawang Puri, kembalikan ragaku itu!"
Sekar Pamikat sengaja bicara
terang-terangan di
depan Pendekar Pusar Bumi. Nyatanya pemuda itu
semakin terheran-heran setelah Sekar Pamikat berkata lagi:
"Belum puaskah rohmu memakai ragaku, Nawang Puri" Belum puaskah kau meninggalkan
ragamu ini yang sekarang dipakai sukmaku" Belum puaskah kau, Setan!" bentak
Sekar Pamikat. "Siapa dia?" tanya Pendekar Pusar Bumi. "Entah, rasanya aku belum pernah
berkenalan dengannya, juga bertemu pun baru kali ini," Nawang Puri berlagak
bego. Panewu yang sejak tadi telah
geram-geram sambil memegangi keris pusakanya, kali ini menjadi bersuara lantang.
"Hai, kamu... Perempuan jalang!
Masihkah kau akan mengaku sebagai Cambuk Naga" Pendekar Cambuk Naga"
Nah, sekarang kau berhadapan sendiri dengan tokoh sakti di kalangan
persilatan di sini! Ayo, kalau berani mengaku, silakan!"
"Aku tidak bicara soal berani
mengaku atau tidak berani mengaku,"
kata Sekar Pamikat yang mulai
menguasai ketenangan. "Aku hanya ingin berkata kepadamu, bahwa yang
ia kenakan itu ragaku, Dan kenyataan dirinya, diri Nawang Puri ini, ada di depan
Anda sendiri Tuan Pendekar yang agung...."
"Bohong! Kau memang pengacau!"
bentak Nawang Puri. "Dari dulu kerjamu selalu mengacaukan hubungan cintaku
dengan lelaki mana pun! Bah! Apa maumu sekarang, bah?"
"Kembalikan ragaku. Titik". Sekar Pamikat menjawab tegas.
"Perempuan mabok...! Terimalah jawabanku ini, hiaat...!" Nawang Puri menyerang
dengan suatu jurus tendangan pembuka. Tubuhnya melayang dengan gesit dan luwes.
Jubah ungunya bagai lautan berombak di tengah malam.
Berkilauan dihempas angin, dan
berayun-ayun begitu indah, Namun
sayang tendangan pembuka itu tidak mengenai sasaran. Lengan gaun yang panjang
berkelebat ke arah depan mata Sekar Pamikat. Dengan satu kali
tangkisan cepat, pukulan itu meleset.
Kini bahkan Nawang Puri meringis
kesakitan, karena tulang hastanya bagai terasa mau patah ketika beradu dengan
tulang lengan Sekar Pamikat.
"Enyah kau dari sini, Iblis!"
bentak Nawang Puri yang benar-benar
marah sekali. Bau harum dari tubuh Nawang Puri sangat menyegarkan,
sebenarnya. Sayang sekali Pendekar Pusar Bumi tak mau banyak bergerak.
Hanya sepasang mata yang bening itulah yang mengikuti gerakan Sekar Pamikat
sejak tadi. Kelenturan tubuh Sekar Pamikat, kepandaiannya membuang serangan dan
pukulan Nawang Puri itu
membuat Pendekar Pusar Bumi terlolong-lolong melongo. Namun demikian ia masih
kelihatan tenang dan menganggap ini hal yang sepele.
Panewu menerjang dengan menghu-
jamkan keris ke tubuh Sekar Pamikat.
Tetapi usaha itu bagai sia-sia belaka.
Gesit dan lincah Sekar Pamikat meliuk, melayang dan menerjang Nawang Puri yang
dibantu oleh Raden Panewu.
Panewu mencoba melakukan serangan beruntun ke arah Sekar Pamikat. Tetapi sekali
lagi Sekar Pamikat meloncat bagai kupu-kupu melebarkan sayap, kemudian
menghantam kuat kepala
Panewu. Lelaki bertubuh sedang itu berputar-putar keliyengan. Sementara itu
Nawang Puri hendak menyerangnya.
Tetapi dicegah oleh Pendekar Pusar Bumi.
"Tunggu! Jangan teruskan dulu!"
"Apa maksudmu, Kakang Seta?"
"Dewi... pulanglah bersama Kakang Panewu. Biar aku saja yang menghadapi
perempuan ini. Pulanglah segera...!
Jantung Sekar Pamikat berdebar-
debar, ia harus berhadapan dengan pemuda itu, uuuh... celaka!
"Aku tidak ada urusan dengan kamu, Bung!"
"O, ya?" Pemuda itu tersenyum.
"Tapi aku masih merasa kagum atas permainanmu ketika aku berhadapan dengan
Pesiul Iblis yang bergelar Pendekar Burung Bangkai itu. Aku ingin berkenalan
denganmu. Barangkali kau sudi mengajarku untuk bisa mengen-dalikan gelombang
suara siulan itu."
Sekar Pamikat kebingungan. Semen-
tara itu ia melihat Nawang Puri sedang berbicara dengan Raden Panewu. Segera ia
tidak menghiraukan pemuda itu, ia meloncat menerjang Panewu dengan satu jurus
penghentak. "Hiaaat...!"
Panewu sigap. Ia melompat mundur
bagai menghindari lemparan api rokok.
Pada kesempatan itu, Nawang Puri
mengibaskan sapuan tangannya ke arah pelipis Sekar Pamikat. Gaun jubah berwarna
ungu dan mengabarkan bau harum itu bagai percikan air panas.
Rupanya Nawang Puri tidak hanya
sekedar mengibaskan tangannya, melainkan diiringi hembusan hawa panas dari dalam
tubuhnya. Sayangnya, Sekar
Pamikat sudah mempunyai daya refleks untuk melapisi tubuhnya dengan hawa dingin,
sehingga penyaluran tenaga dalam Nawang Puri tidak membuatnya
menggelinjang atau sempoyongan sedikit pun.
Hal itu cukup mengherankan
Pendekar Pusar Bumi. Sebenarnya ia masih ingin menonton pertarungan itu beberapa
jurus lagi. Namun, dalam hati Pendekar Pusar Bumi tidak rela jika calon istrinya
harus memeras tenaga untuk mengalahkan perempuan yang belum dikenalnya itu.
Dengan satu gerakan yang tak terlihat oleh mata, kaki Pendekar Pusar Bumi
menebarkan pasir ke arah kaki Sekar Pamikat.
Seketika itu pula Sekar Pamikat
menjerit kesakitan Tulang-tulangnya menjadi linu, terutama tulang kakinya.
Ia tak tahan untuk berdiri. Ia
meringis kesakitan. Ia sempat
mendengar Pendekar Pusar Bumi
memerintahkan Nawang Puri untuk segera pulang. Dan perempuan itu pun pergi
bersama Panewu. Kemarahan Sekar
Pamikat meluap-luap. Ia ingin berjalan mengejarnya, namun kedua kakinya bagai
sedang dijepit oleh suatu alat yang amat kuat. Ia nyaris tak tahan dicekam rasa
sakit tersebut.
* * * 6 DEBURAN ombak mengganas. Sesekali memercik ke tubuh Sekar Pamikat, bagai usapan
selaksa jarum. Kakinya yang sakit bukan kepalang itu berusaha untuk digerak-
gerakkan. Oh, semakin bertambah sakit saja rasanya. Sekar Pamikat meringis,
menegang nafas, namun tetap tak berhasil mengatasi rasa ngilu pada tulang
kakinya. Sekar Pamikat merasa heran mendapat serangan ilmu semacam itu. Ia telah
mengerahkan tenaga intinya, menyalurkan tenaga murni pada kaki, tapi tetap tidak
berhasil. "Setan! Jahanam!" teriak Sekar Pamikat sendirian.
Orang yang dicaci, diam dengan
tenang di depannya, kira-kira hanya berjarak 4 meter, darinya. Orang itu berdiri
tegap, kedua kakinya terentang dengan jarak tiga jengkal. Kedua
tangannya saling lipat di dada. Dan sepasang matanya yang bening namun tajam itu
masih memandang lurus pada Sekar Pamikat. Dalam serangan
kesakitan yang mengganas itu, Sekar Pamikat masih sempat menangkap
senyuman tipis Pendekar Pusar Bumi.
Seakan pendekar gagah perkasa itu sedang menertawakan kebodohan Sekar Pamikat.
Kemarahan dan dendam membakar
hati Sekar Pamikat. Kian lama kian tak
dapat terkendalikan.
Akhirnya ia mencabut senjata andalannya: Cambuk Naga. Cambuk itu bergagang hitam, talinya
bukan terbuat dari serat yang kuat, melainkan hanya dari rajutan benang sutera.
Namun kekuatan lecutnya sangat menghebohkan dunia persilatan.
Dan kali ini Sekar Pamikat melecutkan Cambuk Naga ke arah Pendekar Pusar Bumi
dalam posisi tak dapat berdiri.
"Kau memang pantas dihancurkan, Jahanam!"
"Tar... tar... tar...!"
Air laut bagai bergolak mendengar 1ecutan Cambuk Naga. Ombaknya mengamuk
bersamaan dengan deru angin yang bagai ingin membalikkan seisi lautan.
Pendekar Pusar Bumi meletik ke
belakang dengan gerakan saltonya yang sempurna. Sambil menahan sakit pada kedua
tulang kaki, Sekar Pamikat
melancarkan serangan Cambuk Naga
berulang-ulang, bagai tidak memberikan kesempatan pada lawannya untuk berhenti
bergerak. Semakin jauh Pendekar Pusar Bumi menghindar, semakin keras suara
lecutan Cambuk Naga dan getaran yang
ditimbulkan begitu kuatnya,
sehingga mampu menaburkan berjuta-juta pasir pantai.
Suara pekikan Sekar Pamikat
bersahut-sahutan dengan letusan ujung cambuknya. Semakin jauh Pendekar Pusar
Bumi menghindar semakin hebat daya
lecut Cambuk Naga. Ia sempat kewalahan sejenak menghadapi kekuatan yang
menghantam bagai tak memberi peluang sedikit pun untuk mengadakan balasan.
Pasir yang beterbangan bertambah
banyak, seperti telah terjadi pusaran topan yang hebat di depan mata Sekar
Pamikat. Karena banyaknya pasir yang meluap-luap, maka pemandangan
pun menjadi kabur. Pendekar Pusar Bumi tak terlihat sedikit pun batang hidungnya.
Untuk mengetahui keadaan pendekar muda itu, Sekar Pamikat menghentikan lecutan
Cambuk Naga. Jutaan pasir beterbangan ke arah di mana angin berhembus. Kemudian
hilang. Mata Sekar Pamikat menyipit, memandang keadaan di depan dan di
sekelilingnya. Ternyata Pendekar Pusar Bumi sudah tak tampak lagi. Entah lari ke
mana, yang jelas Sekar Pamikat bagai ditinggalkan
begitu saja dalam keadaan lumpuh.
Suara debur ombak mereda, dan
Sekar Pamikat memasang telinga,
mempertajam pendengaran dengan aji Ginengnya. Ternyata ia tidak menangkap suara
langkah kaki yang melarikan diri. Cahaya bulan yang berwarna perak itu pun tidak
menampakkan adanya
bayangan berkelebat. Sepi. Hanya Sekar Pamikat dan ombak yang ada di pantai itu.
Sayang kedua kaki masih terasa bagai diremukkan tulang-tulangnya, sehingga Sekar
Pamikat tak dapat
mencari ke mana arah larinya Pendekar Pusar Bumi.
Nafas dihempaskan lepas. Ia masih menyeringai menahan sakit. Keringat bercampur
dengan butiran air laut yang membasahi sekujur tubuhnya yang kurus kering itu.
Tetapi tiba-tiba Sekar terhentak
kaget. pasir di depan hidungnya
bergerak-gerak, dan seketika itu
muncullah tubuh Pendekar Pusar Bumi dari dalam tanah.
"Heaaaat..." Tubuh tegap berotot gempal itu meluncur ke atas, melayang sejenak
dan, jatuh ke tanah dengan sikap berdiri yang tegap. Kokoh dan kekar.
Kalau saja Sekar Pamikat masih
mampu menggerakkan kakinya, maka saat itu ia pasti akan lari atau terlonjak
kaget. Namun karena kedua kaki itu menjadi lumpuh dan terasa sakit yang luar
biasa, maka Sekar Pamikat hanya dapat berteriak dalam satu kejutan.
Cambuk naga dihentakkan ke arah
Pendekar Pusar Bumi yang membuat
pendekar itu berjumpalitan ke udara kian ke mari.
"Bangsaaaattt...!!" kemarahan itu meluap, sama seperti meluapnya air laut yang
menimbulkan deburan ombak mengganas. Pasir-pasir beterbangan mendengar letusan
ujung Cambuk Naga.
Pendekar Pusar Bumi masih sibuk
menghindari kekuatan hantam cambuk itu. Dan sebelum pasir beterbangan bagai
disedot topan gila, Pendekar Pusar Bumi mencabut pedang kobranya
"Sreet...!"
Lalu terdengar suara halus yang
kian lama kian tinggi. Suara denging yang timbul sejak pedang berujung kepala
kobra itu dicabut dari


Pendekar Cambuk Naga 1 Racun Puri Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sarungnya. Sekar Pamikat semakin
menyeringai menahan sakit di kaki dan di telinga akibat denging yang keluar dari
pedang itu. Namun amukan
cambuknya masih terus melecut-lecut memburu sasaran. Bunyi denging yang bagai
menembus gendang telinga itu beradu sendiri dengan letupan yang keluar dari
hantaman Cambuk Naga.
Pendekar Pusar Bumi mengibas-
ngibaskan pedangnya sambil memekik berulang-ulang. Dan Sekar Pamikat pun
melecutkan cambuknya seraya berteriak-teriak tiada henti. Sudah tentu
gerakan-gerakan mereka tidak sekedar gerakan kosong, namun penuh getaran tenaga
dalam yang hanya dimiliki oleh orang berilmu tinggi. Hal itu membuat air laut
mengamuk. Gelombang laut bergulung, melonjak-lonjak setinggi rumah. Dan tanah
pesisir itu tergoncang, miring ke kiri kekanan, seakan terjadi gempa setempat yang dapat
menjadi hebat. Angin pun
berhembus dengan kecepatan tinggi,
memutar-mutar kuat seakan hendak
menelan seisi bumi.
Pada detik berikutnya, semuanya
menjadi hening. Diam dan sepi. Nafas terengah dari kedua belah pihak. Dan Sekar
Pamikat tercengang melihat ujung Cambuk Naga membelit pedang kobra yang dipegang
erat-erat oleh Pendekar Pusar Bumi. Mereka sama-sama saling tatap dalam
kebisuan. Sekar Pamikat mencoba menarik Cambuk Naga, namun tak
berhasil. Dan baru sekarang ia melihat sebuah benda yang mampu menahan
kedahsyatan Cambuk Naganya. Umumnya benda yang tersentuh Cambuk Naga akan
hancur, namun kali ini tidak.
Kesaktian yang luar biasa.
Keduanya berpikir demikian. Sebab Pendekar Pusar Bumi juga sebenarnya merasa
heran. Biasanya dengan angin kibasan pedangnya saja benda apa pun bisa hancur,
namun kali ini seutas cambuk terbuat dari serat sutera tipis bahkan membelit di
batang pedangnya, tak mau putus atau pun rantas sedikit pun. Diam-diam ia pun
mengakui kehebatan cambuk tersebut. ".
"Sudah berakhir riwayatmu, Perempuan malang!" geram Pendekar Pusar Bumi.
"Kau pun akan hancur juga,
laknat!" balas
Sekar Pamikat menggeram. Tanpa disengaja, tangan kiri
Sekar Pamikat merentang dan gemetar.
Demikian juga tangan kiri Pendekar Pusar Bumi merentang dan gemetar.
Keduanya bergerak lamban, searah dan seirama. Pemusatan tenaga pada telapak
tangan masing-masing, sedangkan tangan sebelahnya memegang senjata masing-masing
pula. Pedang teracungkan ke atas, kokoh. Cambuk Naga terentang membelit pedang,
kokoh. Gerakan telapak tangan Sekar
Pamikat semakin bergetar, kemudian ia menghentakkan tangan itu ke depan, tepat
pada saat Pendekar Pusar Bumi juga menghentakkan tangannya ke depan.
Mereka sama-sama berteriak tanpa
disengaja: "Wiwahaaaaa!!!!"
Mereka mengucap kata yang sama.
Kemudian sinar hijau bening meluncur dari telapak tangan Sekar Pamikat, juga
dari telapak tangan Pendekar Pusar Bumi. Sinar hijau bening itu beradu di
pertengahan jarak mereka.
Menimbulkan sebuah ledakan yang
dahsyat: "blaaarr...!"
Detik berikutnya bumi berguncang
dan mereka sama-sama terpental ke belakang. Sekar Pamikat telentang nyaris
mendekati seonggok karang
pantai. badannya lemas dan nafasnya terengah-engah.
Cambuk Naga masih
tergenggam di tangan kanannya. Ia membiarkan dirinya terbaring lunglai.
Ia tak tahu bahwa Pendekar Pusar Bumi pun terbaring lemas dengan pedang masih
tergenggam di tangan kanannya.
Hening dan sepi dibiarkan
berlalu. Debur ombak menipis. Angin tidak lagi seperti puting beliung yang
mengamuk. Guncangan tanah diam
kembali. Sepi, dan memang dibiarkan bumi menjadi sunyi dalam sorot cahaya
purnama. Entah sudah berapa kali angin
bertiup berganti arah. Yang nyata adalah desah. Ya, desah yang terdengar
mendekat di telinga Sekar Pamikat.
Desah seorang lelaki yang merayap dengan merangkak mendekatinya. Sekar Pamikat
melupakan rasa sakit pada kedua tulang kakinya. Ia menyempatkan memandang wajah
lelaki itu, yang
begitu mempesona dalam sorotan cahaya rembulan. Ikat kepala dari kulit macan
tutul bagai sebuah tan da pengenal yang sengaja ditunjukkan kepada Sekar
Pamikat. "Oh... kau.." desah Sekar Pamikat sangat pelan. Ia membiarkan Pendekar Pusar
Bumi berbaring di sampingnya dalam keadaan loyo, seakan habis
terkuras tenaganya. Mereka sama-sama membiarkan kebisuan sejenak, sama-sama
menatap langit berbintang dan bercahaya bulan. Kemudian di sela nyanyian ombak yang samar-samar
terdengar suara Pendekar Pusar Bumi
bertanya: "Siapa kau sebenarnya...?"
Sekar Pamikat menyeringai menahan sakit di kakinya. Namun ia pun
berkata, "Kau bertanya pada dirimu sendiri. Dan kau pula yang akan
menjawabnya. Karena aku sukar memberi jawaban kepada lelaki yang tidak
kukenal...."
Pendekar muda itu menghela nafas
beberapa kali, sengaja membiarkan keheningan sejurus. Setelah itu
barulah ia berkata lirih:
"Namaku... Lanangseta...."
Sekar Pamikat mendesah antara
sakit dan lega. Ia mengucap lirih,
"Apa hubungannya dengan Eyang guruku yang bernama Purbaseta?"
"Itu Eyang gurumu"!" Lanangseta terkejut, mengangkat kepalanya
seketika dan memandang Sekar Pamikat dengan mata terbelalak. Sekar Pamikat tidak
menjawab, ia hanya mengerang lirih seraya memegangi pahanya yang sakit.
"Pantas kau menguasai jurus
Wiwaha Moksa...." kata Lanangseta dalam keluh.
"Eyang guru berpesan untuk tidak mengumbar kekuatan Wiwaha Moksa. Tapi, aku tadi
benar-benar terpepet.."
"Aku juga..." sahut Lanangseta.
"Jadi kau telah mempelajarinya dari Eyang guruku juga?"
Lanangseta menggeleng. "Kakekku yang mengajarkan dan menurunkan ilmu Wiwaha
Moksa. Aku anak Gagakseta.
Ayahku mempunyai seorang kakak yang bernama Purbaseta, kawin dengan perempuan
luhur yang bernama Sukmalaras.
Kau pasti mengenalnya, bukan?"
"Ooh... pantas."
"Pantas kalau kita sama-sama memiliki ilmu itu, bukan?"
"Pantas kalau kau tega membiarkan kakiku remuk sampai saat ini," sindir Sekar
Pamikat dengan perasaan dongkol.
Pendekar Pusar Bumi tertawa
lirih. Kemudian ia bangkit, menyarungkan pedangnya dan duduk di samping kaki
Sekar Pamikat. Ia bagai bicara pada diri sendiri, "Kalau tahu kita satu aliran,
mungkin tak kan kugunakan jurus Tebar Besiku tadi...."
"Apakah kau tak sanggup memulihkan keadaan kakiku?"
"Kau, sendiri" Kurasa kau bisa menggunakan ilmu Sembur Sawan untuk mengobati
kakimu ini...."
"Sudah kucoba, tapi tak berhasil.
Tebar Besi adalah ilmu leluhurmu yang cukup dahsyat dan hanya diajarkan kepada
darah keturunan leluhurmu.
Kepadaku tidak. Uuhh..." Sekar Pamikat mengerang kesakitan. Hening sejurus, dan
kemudian terdengar lagi suara Lanangseta bagai bicara dalam keraguan.
"Kalau begitu... mungkin hanya akulah yang bisa memulihkan kakimu.
Tapi... tapi..."
"Tapi apa" Tapi kau menunggu saatmu puas menyiksaku?"
"Aku belum tahu siapa namamu
sebenarnya, dan paman Purbaseta tidak pernah menceritakan dirimu. Ia hanya
pernah menceritakan seorang muridnya yang bernama...."
"Sekar Pamikat!" sahut Sekar Pamikat Sendiri.
"O, kau mengenal dia, rupanya?"
"Sangat mengenal, dan bahkan lebih dari kenal."
"Maksudmu?"
"Akulah... akulah Sekar Pamikat."
"Kau..."!"
Lanangseta mengernyitkan kening
dan membelalakkan matanya. "Kau Sekar Pamikat" Ah, kau becanda, ya?"
"Kau lihat permainan Cambuk
Nagaku?" Lanangseta mengangguk. "Luar biasa. Konon, kata Eyang guruku, hanya seutas
Cambuk Naga yang tak dapat terpotong oleh pedangku Wisa Kobra ini. Dan... dan
cambukmu tadi..."
Lanangseta memperhatikan Cambuk Naga yang masih di tangan Sekar Pamikat.
"Semua benda, bahkan gunung pun akan sanggup kupotong dengan pedang Wisa Kobra,
tapi cambuk ini...."
"Karena akulah Pendekar Cambuk
Naga yang sebenarnya," tukas Sekar Pamikat dengan suara parau. "Akulah Sekar
Pamikat yang asli."
"Yang asli" Lantas itu tadi..."
Yang... yang...."
Sekar Pamikat buru-buru menyahut:
"Yang hendak kau kawini itu; Nawang Puri! Murid dari bibimu,
Sukmalaras."
Lanangseta dalam wajah
kebingungan. Sepertinya ingin
mengatakan sesuatu, namun tak tahu harus berkata apa. Sekar Pamikat
memanfaatkan masa cengangnya dengan berkata:
"Nawang Puri telah menguasai ilmu Giring Sukma, dan berhasil memindahkan rohku
ke dalam raganya, dan rohnya sendiri masuk di dalam ragaku. Jadi yang kau dekap
tadi, sesungguhnya ragaku sendiri. Yang kau... kau cium tadi, adalah pipiku
sendiri. Sayang, aku tak merasakannya. Nawang, Puri yang merasakan, betapa
hangatnya saat kau mencium-nya tadi..:."
"Nawang Puri...?" Lanangseta bicara dalam keraguan.
"Pergilah temui dia. Ambil cambuk di pinggang Nawang Puri dan potonglah.
Jika memang dapat terpotong oleh
pedang Wisa Kobramu, berarti itu bukan Cambuk Naga! Dan aku yakin, pasti akan
terpotong oleh pedangmu."
"Murtad...!" geram Lanangseta.
"Harus kubunuh dia! Memalukan aliran kita!"
"Jangan...!" Sekar Pamikat mencegah dengan menarik tangan Lanangseta sewaktu
pendekar muda itu hendak
bangkit. "Jangan kau lukai dia,"
pintanya. "Dia harus dihukum menurut ajaran keruhun Karangseta".
"Tapi... tapi yang ada padanya adalah ragaku. Kalau ia sampai
terluka, terpotong, itu sama saja kau melukai atau memotong anggota tubuhku.
Tidak. Dia tidak boleh terluka. Aku masih menyayangi ragaku itu."
"Kalau begitu akan kudesak ia untuk mengembalikan ragamu..."
Lanangseta bergegas bangun, tapi
sekali lagi tangannya ditahan Sekar Pamikat.
"Bagaimana dengan kakiku?"
Lanangseta menghempaskan nafas,
menahan rasa geli. Lalu ia menundukkan kepala, memperhatikan sepasang kaki yang
kurus kering bagai tanpa darah.
Kaki itu membiru. Legam. Lanangseta berkata lirih, "Seharusnya jurus ini tidak
untuk disembuhkan. Setiap orang yang telah menerima seranganku, tak pernah ada
yang dapat pulih kembali."
"Terima kasih, kau pasti akan memulihkannya, bukan?"
Lanangseta mendengus. "Maaf...
jangan salah duga dengan cara
penyembuhanku ini."
Sekar Pamikat sama sekali tidak
menduga kalau penyembuhan itu sangat unik. Lanangseta merentangkan kedua
tangannya, mengejang kuat-kuat, meng-hirup nafas banyak-banyak, kemudian
bertahan beberapa saat, lalu melemas kembali. Itu tidak heran. Yang
mengherankan adalah, gerakan berikutnya. Lanangseta menunduk, mendekatkan wajah
ke kaki Sekar Pamikat, lalu menjilati kaki yang biru legam itu ke segala tempat.
"Lanang..."!" Sekar Pamikat sempat terperanjat kaget. Ia hampir saja menampar
wajah Lanangseta, namun segera menyadari bahwa sebelumnya lelaki itu sudah
meminta maaf untuk cara penyembuhannya.
Kedua kaki yang bagai remuk
tulangnya itu menimbulkan bekas
membiru sampai ke atas lutut. Dan Lanangseta terpaksa menjilat-nya
semua. Sekar Pamikat resah, berdebar-debar hatinya. Lidah Lanangseta
menghangat, menjalar dari telapak kaki terus merayap naik ke atas, ke tulang
kering, ke lutut, dan Sekar Pamikat mendesah. Bukan sakit, namun menahan geli
dan rasa syur yang membuat
hatinya gemetar. Ia bagai sedang
dipancing gairah
kewanitaannya. Ia
jadi berkeringat dingin dan
menggelinjang dalam desah.
Setelah beberapa saat Lanangseta
mengobatinya, kaki itu terasa ringan.
Rasa nyeri hilang, bahkan sudah. dapat digerak-gerakkan. Tetapi sebelumnya Sekar
Pamikat terhempas lemas dengan keringat dingin bercucuran begitu Lanangseta
selesai mengobati kakinya.
Ia nyaris tak dapat bicara ketika Lanangseta berkata:
"Bagaimana, masih terasa
sakit...?"
Sekar Pamikat hanya mampu
menggeleng, nafasnya terengah-engah dan keringat dingin
membasahi tubuhnya. Apa yang mau dikatakan dalam keadaan seperti itu" Tak ada kata lain
kecuali, "kelak, jika aku sudah kembali di dalam tubuhku, lukailah lagi kakiku,
dan sembuhkan lagi dengan caramu...."
Lanangseta tertawa, bagai tawa
yang menggoda. Sekar Pamikat hanya dapat tersenyum malu, namun terselip suatu
kebahagiaan yang membuat hatinya berbunga-bunga. Lanangseta menolong bangkit
Sekar Pamikat dengan
mengangkat kepala gadis itu. Kemudian wajah mereka berhadapan dalam jarak dekat.
Namun Lanangseta hanya berkata,
"Cepat, temui mereka sebelum temanmu, Ludiro mati teraniaya oleh murid
murtad itu."
"Hah..."!" Sekar Pamikat terbelalak. "Paman Ludiro ditawan
mereka?" "Ya, tadi sore ia tertangkap saat mencoba menerobos masuk Dalem
Kadipaten. Mungkin ia akan menyelidiki keadaan di dalam Kadipaten. Kemudian ia
tertangkap, dan Panewu merencanakan untuk menyiksanya sampai mati, Waktu itu,
aku tak mau tahu urusan tersebut, dan kutinggalkan kemari bersama...."


Pendekar Cambuk Naga 1 Racun Puri Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Calon istrimu, bukan?" sahut
Sekar Pamikat. "Ahh jangan bermain sindiran
begitu. Sekarang aku tahu segalanya, dan tunggulah pada saatnya nanti, kau pasti
akan kembali memperoleh ragamu."
"Kau bersungguh sungguh,
Lanangseta?"
"Kau harus membuktikan kata-
kataku. Ayo, sebelum segalanya
terlambat...!"
Pantai yang hening, pantai yang
hanya menyanyikan irama ombak dan riak-riak pantai, segera ditinggalkan dengan
suatu semangat baru. Sekar Pamikat tak mau berjarak jauh dari Lanangseta.
Langkah mereka cepat, namun bukan lari. Langkah Sekar
Pamikat bagai seorang prajurit yang bergairah untuk bertempur. Hatinya masih
berbunga-bunga manakala ia
menyadari bahwa pemuda tegar yang berjalan di sampingnya itu sejak tadi masih
menggenggam tangannya erat-erat.
Oh, semilir angin pun bagai tak mampu
menembus genggaman tangan mereka.
Di sela perjalanan cepatnya,
Sekar Pamikat sempat menyinggung
kemunculan Lanangseta ketika ada di Kabupaten Abangan.
"Jadi untuk apa kau datang ke sana dan mencari arah Kadipaten
Jangga" Apakah benar kau teman Raden Praja?".
"Tidak. Justru aku ingin datang ke Kadipaten Jangga untuk membunuh Raden Praja,
tapi... ternyata ia telah tewas di tangan
seorang pembunuh
gelap." "Membunuh" Ada urusan apa kau membunuh dia?"
"Sekedar mas kawin bagi Sekar Pamikat, maksudku... Nawang Puri. Atas persetujuan
kakaknya, Panewu, ia boleh menikah denganku jika aku bisa
membunuh Raden Praja."
Sekar Pamikat berhenti melangkah.
"Jadi, Panewu itu adalah kakak Nawang Puri" Raden Bukankah Panewu mempunyai adik
Raden Praja" Bukan Panewu anak dari Adipati Jangga?"
Lanangseta tersenyum tipis,
kemudian melangkah pelan.
"Belakangan ini baru kuketahui, bahwa Panewu adalah anak angkat
Adipati Jangga. Setelah Sang Adipati mengangkat anak Panewu, barulah
istrinya bisa hamil dan melahirkan Raden Praja. Tetapi, Panewu agaknya
khawatir akan dirinya yang bisa
disingkirkan dari keluarga Kadipaten Jangga. Dengan membunuh Raden Praja, maka
mutlak seluruh warisan akan jatuh ke tangannya, dan dialah yang berhak
menggantikan Adipati Jangga yang saat ini dalam keadaan sakit berat."
"Jadi... Panewu itulah yang
membunuh Raden Praja?"
"Bukan."
"Lalu, siapa..."
"Nawang Puri sendiri."
Kening Sekar Pamikat berkerut
tajam. "Nawang Puri
sendiri yang membunuhnya" Dengan alasan apa?"
"Dia tak mau melibatkan aku dalam kasus perebutan tahta kadipaten
Jangga. Ia tak mau aku punya andil dalam alih kuasa yang, akan dipegang oleh
kakaknya. Dengan ia bunuh sendiri Raden Praja, maka aku tak punya jasa apa-apa
dan tak berhak menuntut
imbalan warisan yang akan diperoleh Panewu. Sementara itu, ia sendiri berusaha
keras untuk dapat menjadi bagian dari keluarga Kadipaten
Nilakencana ini. Itu menurut
penafsiran ku."
Sekar Pamikat manggut-manggut.
"Semakin jelas kebusukannya. Kurasa ia memerlukan pasukan yang kuat Untuk
merebut tahta Kadipaten Nilakencana, sehingga ia berusaha menguasai dirimu
dengan menjalin perkawinan kalian."
"Menurut dugaanku juga begitu.
Baru kusadari tadi, setelah ia berkata padaku, bahwa kelak akan ada seorang
Adipati perempuan yang berkuasa di Kadipaten Nilakencana ini.
Tanpa kutanya siapa orangnya, aku sudah menduga bahwa dialah calon
adipati perempuan itu. Dan..."
"Dan pasti putri Sang Adipati sendiri akan dibunuhnya. Sama persis dengan
rencana Panewu terhadap Raden Praja."
"Ya. Aku sependapat dengan jalan pikiranmu. Dan aku yakin, bahwa hatimu saat ini
juga setuju jika kita
melenyapkan orang-orang rakus, yang tamak dan gila jabatan itu."
Sekar Pamikat menggenggam erat.
Lebih erat lagi, dan Lanangseta pun membalasnya. Barangkali itulah
persepakatan mesra yang penuh arti bagi hidup mereka.
Untuk menghindari keributan di
dalam Kadipaten, Lanangseta mempunyai siasat sendiri. Lanangseta memancing Raden
Panewu dan Nawang Puri untuk keluar dari Dalem Kadipaten.
"Kita bertiga harus menghadang orang-orang dap Kabupaten Abangan,"
ujar Lanangseta kepada Panewu dan Nawang Puri.
"Ada apa dengan orang-orang
Kabupaten Abangan" Selama ini hubungan kami baik-baik saja."
"Memang. Tapi perempuan jalang yang telah bertanding denganku di pantai tadi,
sedang menuju Kabupaten Abangan. Ia meminta bala bantuan dari sana. Konon, ia
mempunyai pengaruh yang dapat membuat Bupati Abangan membelanya. Benar dari
tidaknya omongan dia, aku tidak perduli. Yang kukhawatirkan kalau sampai terjadi
keributan di dalam Kadipaten
Nilakencana ini, kita sendiri akan menderita malu."
Panewu geram, giginya mengge-
letuk. "Mari kita hadang mereka.
Tunjukkan kepada Kanjeng Adipati
Nilakencana, bahwa kita mampu menjadi benteng kadipaten."
"Kita cukup bertiga. Tak perlu banyak orang!" usul Nawang Puri.
"Baik. Tapi kuminta kau jangan jauh-jauh dariku, Dewi," kata Lanangseta, seakan
masih mencintai
Nawang Puri. , Dalam naungan cahaya bulan perak, ketiga sosok berjalan tegap menuju suatu
perbukitan yang menjadi batas penghubung Kadipaten Nilakencana
dengan Kabupaten Abangan. Di lereng perbukitan itu, ternyata seorang
perempuan bertubuh ceking, sayu, telah menunggu kehadiran mereka. Panewu dan
Nawang Puri tercengang. Segera mereka berdua menyadari bahwa mereka telah masuk
dalam jebakan. "Kita terjebak, Kakang," ujar Nawang Puri kepada Panewu.
Sekar Pamikat tersenyum sinis,
berdiri tegap di depan Panewu. "Siapa memasang jerat akan terperangkap
sendiri." Nawang Puri berpaling memandang
Lanangseta yang ada di belakangnya.
Dengan geram ia berkata, "Penghianat!"
Kemudian meluncurlah sebuah pukulan keras ke arah Lanangseta. Pukulan itu
dibiarkan mengenai dada. Lanangseta hanya tertawa pelan. Sementara itu, dengan
garang Panewu melesat cepat menerjang Sekar Pamikat.
"Bersiaplah bertarung untuk yang terakhir kalinya...!" Serangan itu berhasil
ditangkis dengan gerakan tangan Sekar yang tangkas. Tubuhnya yang kecil
kerempeng seakan sebuah tugu kokoh yang sulit ditumbangkan.
Panewu membuka jurus yang belum
pernah dipakai melawan Sekar Pamikat.
Gerakannya mirip tingkah laku seekor kera. Gerakannya begitu cepat,
meloncat ke sana, ke mari, dengan pukulan-pukulan yang menyerupai cakar monyet.
Mulutnya sendiri bergerak-gerak, mengerang-erang mirip suara monyet. Berguling
kesana, melompat ke sini, menendang sambil berjumpalitan, sedangkan Sekar
Pamikat masih mampu mengatasi jurus tersebut. Sesekali ia memang terkena kibasan
cakar monyet dari Panewu, tapi tak sempat membuat kefatalan.
"Tak kusangka kau berani
berkhianat padaku, Seta!" seru Nawang Puri seraya menerjang dengan pukulan
berantainya. Oleh Lanangseta pukulan itu masih dibiarkan mengenai dada, punggung
dan anggota tubuh lainnya.
Panewu sendiri tak sempat mengontrol pertarungan Nawang Puri, tetapi ia tahu
bahwa perlawanan Lanangseta belum kelihatan nyata. Ia masih perlu
mengkonsentrasikan dalam pertarungannya sendiri melawan Sekar Pamikat yang
terasa alot dan susah ditembus.
Cahaya bulan bagai kian terang.
Bayangan mereka berloncatan terpantul pada dinding batu cadas yang ada di kaki
bukit. Terlihat gerakan Nawang Puri begitu cepat sehingga tahu-tahu ia telah
berada di belakang
Lanangseta, melancarkan pukulannya yang mengandung tenaga dalam. Hal itu membuat
Lanangseta bergegas bangun, dan siap menghadapi serangan berikutnya. Agaknya
Nawang Puri sudah kelewat jengkel kepada musuhnya, ia berputar.
Semula tubuh itu berputar pelan, kian lama kian cepat dan kini bagai sebuah
gangsing. Ada hembusan angin yang keluar
dari tubuh yang berputar secepat itu.
Lanangseta segera melompat, bersalto di udara, menjauhi hembusan angin
tersebut. Sebab ia mulai merasakan adanya kejanggalan pada udara di
sekelilingnya. Lanangseta segera
teringat kepada cerita ayahnya, bahwa bibi Sukmalaras mempunyai jurus yang sukar
ditembus musuh, yaitu jurus Angin Beracun. Rupanya Nawang Puri sudah mewarisi
jurus Angin Beracun yang sangat membahayakan musuhnya itu.
Segera Lanangseta juga menggunakan
jurus pilihannya: yang bernama Lindung Bumi. Tubuhnya yang kekar itu amblas ke
tanah, dan tak kelihatan lagi.
Rupanya jurus ini pula yang dipakai melawan Sekar Pamikat sewaktu di
pantai tadi. Beberapa detik kemudian, tubuh
Nawang Puri yang berputar-putar itu terlempar ke udara dengan teriakan yang
sangat histeris. Pada saat itu, Lanangseta muncul dari dalam tanah dengan
gerakan melempar sesuatu ke atas. Tubuh Nawang Puri bagai
kehilangan keseimbangan, sehingga ia jatuh tersungkur ketanah, dagunya membentur
batu. Dagu itu berdarah dan kecantikan wajahnya mulai berkurang.
Mengetahui keadaan Nawang Puri
demikian, Sekar Pamikat menjadi cemas.
Ia berseru, "Jangan lukai dia. tolol!"
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh
Panewu untuk melancarkan pukulan cakar monyetnya sehingga lengan Sekar
Pamikat pun terluka, berdarah dan ia
terpaksa memekik kesakitan.
Sekar Pamikat melompat mundur
sambil memasang kuda-kuda siap serang.
Ketika Panewu berguling bagai monyet mengkais makanan di tanah, Sekar
Pamikat meloncat cepat. Begitu kakinya menginjakkan tanah, ia melancarkan
pukulannya dengan kedua tangan ke arah kepala Panewu. Lelaki itu berguling
sambil menjerit mirip kera hutan. Pada saat ia bangkit lagi, di tangannya telah
memegang keris pusaka yang
mempunyai kekuatan cukup hebat. Panewu menyerang dengan kerisnya, Sekar
Pamikat berkelit bagai belut lincah.
Ia segera mencabut pedang Jalak Pati.
"Wuss...!" pedang nyaris menyam-bar kepala Panewu. Namun pada saat itu, Panewu
berhasil melompat cepat ke samping kiri, dan "juss...!" keris itu menusuk
pinggang Sekar Pamikat. Sekar Pamikat menjerit dan oleng ke kiri.
Darah mengucur dari luka di pinggang.
Sekar Pamikat bermaksud menyerang dengan pedang Jalak Pati, namun Panewu
melompat ke atas, dan dalam keadaan kepala di bawah ia berhasil
menggoreskan kerisnya pada lengan Sekar Pamikat. Luka semakin bertambah dan
Sekar Pamikat menjerit kesakitan.
Saat itu pedang Jalak Pati terlepas.
Sekar Pamikat berusaha memungutnya, namun pada saat ia merunduk, tangan Panewu
yang mirip cakar monyet itu
dengan cepat menarik Cambuk Naga yang
"terselip di punggung Sekar Pamikat.
Kini, Cambuk Naga itu ada di tangan Panewu. Panewu tertawa keras, bagai suara
kera liar berpesta pora.
Sekar Pamikat tergeragap. Ia
berusaha merebut Cambuk Naga. Namun Panewu menjauh, melompat-lompat seperti kera
melarikan diri. Sekar Pamikat mengejarnya.
"Tarr...!"
Cambuk Naga meluncur, nyaris
mengenai tubuh Sekar Pamikat Ia mulai gugup tanpa cambuk itu. Dan Panewu masih
terus melecutkan cambuk sambil berlari. Buat Sekar Pamikat, tak ada cara lain
untuk merebut kembali Cambuk Naganya, kecuali dengan menggunakan ilmu
peringan tubuh yang dapat
melompat tinggi dan berkecepatan luar biasa. Panewu sempat tergagap sewaktu ia
menemukan Sekar Pamikat tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Ia hendak
melancarkan pukulan Cambuk Naga, namun kedua telapak tangan Sekar Pamikat telah
lebih dulu bergerak maju seraya ia berseru: "Wiwahaaaa...!!"
Ada sebuah ledakan yang mengge-
tarkan perbukitan. Nyala sinar hijau muda bagai membakar tubuh Panewu.
Dengan cepat Sekar Pamikat melayang, merebut cambuknya pada saat nyala sinar
hijau muda itu redup. Kini
Cambuk Naga sudah berada di tangannya
kembali. Panewu masih berdiri tegak. Ia
hanya tersenyum, merasa dirinya tak mampu dirubuhkan oleh ilmu Wiwaha Moksa.
Tetapi pada detik berikutnya, ia tercengang melihat jari jemarinya berjatuhan
satu persatu. Kemudian ia juga merasakan bahwa denyut jantungnya berhenti,
lengannya lepas sendiri, kakinya, telinganya dan semua akhirnya rontok menjadi
suatu onggokan daging yang makin lama semakin menjadi
semacam serpihan, lalu berubah menjadi abu. Sekar Pamikat sempat merinding
sendiri melihat lawannya terkena
serangan ilmu Wiwaha Moksa itu.
Namun perhatiannya segera beralih pada Pendekar Pusar Bumi yang sedang bertarung
melawan Nawang Puri. Tetapi di sana pun agaknya sudah tak ada pertarungan lagi.
Sekar Pamikat segera berlari mendekati Lanangseta, dan ia tercengang melihat
tubuh Nawang Puri yang masih memakai raganya itu
terkapar di tanah. Dagunya berdarah, namun tak ada luka lainnya.
"Kau telah mencelakakan tubuhku, Lanangseta!" geram Sekar Pamikat.
Lanangseta tersenyum tenang.
"Aku hanya menotok jalan
darahnya. Dan sekarang giliran kamu, huuop...!"
Secepat kilat Lanangseta menotok
jalan darah sehingga Sekar Pamikat tak
dapat menghindari lagi. Ia pun jatuh terkapar tak berdaya lagi. Kini,
Lanangseta tertawa sedikit keras dan memperhatikan kedua perempuan itu terkapar.
Malam kian larut dan mulai
merembas ke dini hari. Samar-samar cahaya bulan masih menerangi alam sekitar.
Cahaya warna perak itu masih sempat menerpa sesosok tubuh yang duduk bersila di
depan kedua tubuh perempuan yang berbaring. Beberapa saat kemudian tubuh pemuda
itu bergerak pelan. Tangannya terangkat keduanya, kemudian tangan itu mengeras kuat-


Pendekar Cambuk Naga 1 Racun Puri Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuat, bergetar beberapa lama hingga keringat semakin deras
mengucur. Cahaya bulan menerpa dua sosok
perempuan yang berbaring. Cahaya itu membuat jelas adanya kepulan asap putih
yang keluar dari jasad kedua perempuan tersebut. Masing-masing tubuh
mengeluarkan asap putih, lalu kedua asap itu saling bersilangan, dan masuk ke
tubuh mereka kembali.
Ada suara kokok ayam di kejauhan.
Jauh sekali. Pada saat itu, tubuh perempuan cantik bergerak, menggeliat bagai
seseorang yang sedang tertidur lelap. Tapi tiba-tiba ia bangkit
dengan satu hentakan, kemudian
memegangi luka pada dagunya yang
terasa perih. Namun ketika itu, ia
memandang Lanangseta dengan perasaan bimbang.
"Dewi... kau telah kembali dalam ragamu...."
Sekar Pamikat memandangi tubuhnya sendiri, tangannya, kakinya dan meraba
wajahnya sendiri, kemudian ia berseru:
"Ini tubuhku..."! Oohh... aku telah kembali dalam ragaku sendiri!
Aku telah kembali...!" ia melonjak kegirangan. Ia berlari dalam derasnya derai
tawa keharuan. "Aku telah kembali dalam ragakuuu...!" teriaknya keras-keras.
Lanangseta bergegas menghampiri
nya. Sekar Pamikat tertawa lepas, kemudian berlari memeluk Lanangseta.
Ia memeluk erat-erat bagai merasa tak ingin melepaskannya.
"Aku Pendekar Cambuk Naga....!
Aku yang asli, Lanang!"
"Dan aku menyukai keaslian,
Dewi..,." bisik Lanangseta.
"Oh, terimakasih atas bantuanmu, Lanang. Aku ingin segera memperhhatkan hal ini
kepada paman Ludiro."
"Dia masih dalam tawanan, tapi kita akan bebaskan. Itu pekerjaan yang sangat
mudah...."
"Mendadak, mereka dikejutkan oleh sekelebat bayangan hitam. Bayangan itu
bergerak dengan cepat, kemudian pergi sambil membawa tubuh Nawang Puri yang
belum sadar diri.
"Nawang Puri..." Dia diambil oleh orang itu...! Kejar!"
Lenangseta menarik tangan Sekar
Pamikat. "Ada saatnya untuk mengejar dia, dan ada saatnya sendiri untuk memadu
kasih. Kau dapat membedakannya, bukan?" Sekar Pamikat tersenyum, lalu memeluknya
erat-erat kembali. Meresap ke sanubari.
Ludiro hampir tidak percaya kalau yang ada di hadapannya itu adalah Sekar
Pamikat asli. Begitu ia keluar dari kamar tahanan Kadipaten, ia tak langsung
menegur Sekar Pamikat. Ia bahkan memandang penuh curiga.
Kemudian Pendekar Pusar Bumi
menjelaskan kepada Ludiro peristiwa semalam. Dan, dengan rasa hormat yang penuh
bahagia Ludiro membungkuk di depan Sekar Pamikat, alias Pendekar Cambuk Naga,
yang berparas cantik, tinggi semampai, dengan kepadatan tubuhnya yang begitu
sexy, punya daya tarik yang amat menggairahkan setiap lelaki.
"Lalu kemana Nawang Puri pergi?"
tanya Ludiro. Sekar Pamikat hanya menjawab,
"Kita tunggu saatnya untuk mencari, atau bahkan mungkin ia akan menemuiku
sendiri. Kurasa kisah ragaku hanya cukup sampai di sini, Paman. Dan...
tolong siapkan segalanya untuk
perkawinanku dengan Lanangseta,
Pendekar Pusar Bumi yang menggemaskan itu, ya?"
Ludiro tertawa di sela senyum
Sekar Pamikat yang memang sangat
memikat itu. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pendekar Lembah Naga 4 Kucing Suruhan Karya S B Chandra Sumpit Nyai Loreng 2
^