Pencarian

Rahasia Dedengkot Iblis 2

Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis Bagian 2


Dedengkot Iblis berteriak keras-keras lepaskan
murkanya. Bum! berguncang hebat, pohon-pohon
tumbang bagai dilanda kiamat, langit terang menjadi
mendung seketika, seakan matahari tak diizinkan ber-
sinar lagi. Tanah bergerak makin kuat dan mengalami
keretakan di beberapa tempat, membentuk celah da-
lam yang mengepulkan asap dan memancarkan ca-
haya bara api dari kedalaman bumi.
Krak, krak, wuuurs...! Blaaar...! Blegaaar...!
Bruuuk...! Bumi menjadi gaduh oleh teriakan maut si De-
dengkot Iblis yang berlari mengejar Pendekar Kembar.
Kecepatan geraknya menyamai kecepatan jurus 'Jalur
Badai'-nya Soka Pura, sehingga dalam beberapa waktu
saja, jarak mereka mulai dekat. Soka Pura sengaja
menggunakan batang-batang pohon bambu untuk
menjejakkan kakinya. Dengan begitu ia tetap dapat
melihat sampai di mana pengejaran Dedengkot Iblis,
sebab kakinya tak menyentuh tanah.
"Kembalikaaaaann...! Kembalikaaaaann...!"
Setiap teriakan Dedengkot Iblis mengandung
getaran maut yang mematahkan pohon-pohon bambu
wulung dan bahkan menjebolkan serumpun bambu hi-
jau di sekitar mereka. Soka Pura tetap melarikan diri sambil memanggul Raka. Ia
butuh tempat aman untuk
sembuhkan kakaknya lebih dulu, setelah itu dapat
berhadapan dengan lawannya lagi. Sebab menurutnya,
Raka Pura dalam ancaman luka maut yang dapat me-
renggut nyawa jika tidak segera diobati. Tubuh si Pendekar sulung sudah sedingin
es balok, itu menanda-
kan ajalnya hampir tiba.
Tetapi Dedengkot Iblis kini lakukan pengejaran
sambil melepaskan pukulan-pukulan maut bersinar
biru. Sinar-sinar itu sempat menghantam sebongkah
batu yang ada di depan Soka Pura. Batu tersebut pe-
cah menjadi debu dalam sekejap dengan timbulkan
suara menggelegar memekakkan telinga. Soka Pura
terpaksa bergerak zig-zig dalam pelariannya agar tak
terkena sinar-sinar birunya Dedengkot iblis.
WUUZ, WUUZ, WUUZ, WUUZ,..!
Clap, clap, clap, clap, clap...!
Pendekar Kembar bungsu sempat terperanjat
dan merasa heran ketika ekor matanya menangkap ge-
rakan sinar lain yang datang dari arah timur. Sinar-
sinar birunya si Dedengkot Iblis ternyata dihantam
dengan sinar-sinar kuning emas patah-patah yang
muncul dari sisi timur.
Duaar, blaar, blegaar, blaar, jegaar...!
Gunung Mercapada bagaikan mau meletus dari
pertengahan lerengnya. Guncangan hebat terjadi, sea-
kan gunung itu akan tenggelam ke dasar bumi. Tentu
saja alam sekitarnya menjadi rusak, pohon-pohon se-
makin banyak yang tumbang dan tanah retak terjadi di
mana-mana. Ledakan-ledakan dahsyat itu pun sempat
membuat langit bagai dilapisi cahaya merah secara be-
runtun, yang tentu saja dapat dirasakan oleh pendu-
duk di sekitar kaki Gunung Mercapada itu.
Soka Pura tetap berlari terus tanpa menginjak
tanah, hanya sesekali ia berpijak pada tanah jika tak mendapat tempat pijakan
lainnya. Sedangkan Dedengkot Iblis tetap mengejarnya dengan gerakan dan seran-
gan membabi buta. Suara teriakan liarnya menggema
panjang karena saling menyusul. Alam benar-benar
menjadi gaduh dan mengerikan bagi orang awam.
Tiba-tiba Soka Pura terpaksa hentikan lang-
kahnya karena ia merasa dihadang oleh seseorang
yang berdiri di atas pucuk ilalang. Orang itu sempat
melepaskan pukulan bersinar kuning emas dari kedua
jari tangan kirinya yang mengeras itu. Rupanya dialah yang memiliki pukulan
bersinar emas dan menghancurkan sinar-sinar birunya Dedengkot Iblis. Orang itu
adalah seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun dengan wajah separo
bayanya yang masih
cantik memukau.
"Larilah ke barat, akan ku tahan dia di sini!"
ujar perempuan berjubah ungu sutera itu kepada Soka
Pura. Pendekar Kembar bungsu tertegun sekejap, lalu
segera sadar bahwa perempuan itu berbicara padanya.
Maka dengan cepat ia melesat ke arah barat sesuai an-
juran perempuan yang belum dikenal itu. Wuuuz...!
Blaar, blaar...! Duubs...! Perempuan berjubah
ungu sutera itu berhasil lepaskan pukulan ke arah
Dedengkot Iblis dengan tenang, tanpa kesan marah
dan bermusuhan. Tentu saja dapat melihat sosok si
Dedengkot Iblis karena ia berdiri di atas pucuk ilalang, bukan menapakkan
kakinya ke tanah. Sementara itu,
Soka Pura sempat menengok sebentar ke belakang dan
melihat Dedengkot Iblis terlempar ke belakang dengan
hempasan sangat kuat.
"Siapa perempuan itu"! Rupanya dia tahu ba-
gaimana caranya menghadapi Dedengkot Iblis"!" pikir Soka sambil lanjutkan
pelariannya. Ternyata arah yang ditunjukkan oleh perem-
puan cantik berjubah ungu itu memang mempunyai
makna besar bagi Pendekar Kembar. Soka temukan
sebuah gua bercelah sempit. Ia segera bawa masuk
kakaknya ke gua tersebut, lalu cepat-cepat lakukan
penyembuhan menggunakan jurus 'Sambung Nyawa',
karena keadaan Raka Pura sudah sangat parah dan
tak bisa lakukan penyembuhan sendiri.
Dalam waktu beberapa saat saja, rona pucat di
wajah Raka Pura sudah mulai pudar dan menjadi se-
gar kembali. Namun rasa lemas masih diderita oleh
Pendekar Kembar sulung itu. Sang adik merasa lega
hingga hembuskan napas panjang-panjang.
Sambil meletakkan pedang milik kakaknya
yang tadi sempat disambar dengan tangan kiri, dijadi-
kan satu dengan pedangnya, Soka Pura pun berkata
kepada sang kakak yang sudah bisa melihat dengan
normal. "Jangan ke mana-mana dulu. Tetaplah di sini,
aku akan bantu perempuan itu lumpuhkan si Dedeng-
kot Iblis!"
Raka Pura menerima pedangnya di atas dada
dan digenggam ala kadarnya. Jari tangan belum bisa
menggenggam pedang terlalu kuat. Bahkan suaranya
masih terdengar lemah dan pelan.
"Perempuan yang mana maksudmu?"
"Entah. Kurasa kita memang belum mengenal-
nya." "Bambu itu bagaimana"'
Soka Pura tidak menjawab, hanya tersenyum
sambil perlihatkan bambu kuning yang diselipkan pa-
da ikat pinggangnya itu.
"Oh, ternyata kau berhasil, Soka!" Raka tersenyum tipis.
"ini pekerjaan ringan, pasti berhasil." ujar Soka sedikit sombongkan diri dalam
canda. "Hati-hati dengan bambu itu! Jangan sampai di
sambar orang lain!"
"Tenang sajalah kau!"
Setelah memaksakan diri agar tampak sedikit
sombong di depan kakaknya, Soka Pura pun berkele-
bat keluar gua untuk membantu pertarungan perem-
puan berjubah ungu melawan Dedengkot Iblis. Ketika
Soka tiba di tempat pertarungan itu, ternyata perem-
puan berjubah ungu sudah terkapar dengan mulut
berbusa merah. Busa merah itu adalah darah yang ke-
luar akibat pukulan maut si Dedengkot Iblis. Tentu sa-ja saat itu si perempuan
tidak melihat apa yang akan
dilakukan oleh Dedengkot iblis.
Tapi Soka Pura melihatnya karena ia hentikan
langkah di atas sebatang pohon jati kering yang sudah lama tumbang. Soka Pura
melihat si Dedengkot Iblis
mengangkat sebongkah batu berukuran sebesar anak
sapi. Batu itu ingin dihantamkan ke tubuh si perem-
puan yang terkapar kesakitan.
"Gawat...!!" Soka Pura terkejut, lalu segera berkelebat menyambar Dedengkot
Iblis dalam gerakan
meluncur lurus dengan pedang kristalnya mengarah
ke depan. Wuuuzz...!
Hembusan angin aneh dirasakan oleh Dedeng-
kot iblis, sehingga ia segera berpaling dan melihat datangnya bahaya. Serta-
merta batu yang sudah diang-
katnya itu dilemparkan ke arah Soka Pura. Wuuut...!
Tapi pedang kristal yang tampaknya mudah pecah itu
bergerak cepat menebas beberapa kali. Angin tebasan-
nya membuat batu itu terbelah menjadi beberapa ba-
gian dan saling berjatuhan sebelum menyentuh ujung
pedang. Slaaap...! Soka Pura menerjang Dedengkot Iblis yang terperangah heran
itu. Ujung pedangnya menghujam dada si Dedengkot iblis. Tapi pedang itu bagai
menembus bayangan, dan tubuh Soka Pura sendiri
bagaikan menerjang gumpalan asap. Rupanya si Pen-
dekar Kembar bungsu masih belum bisa membuang
kemarahannya dan rasa permusuhan masih ada da-
lam hatinya, sehingga ia belum bisa menyentuh atau
melukai si Dedengkot iblis. Sementara itu, Dedengkot
iblis dapat dengan mudah melukai lengan Soka dengan
kibasan tangannya. Kuku-kuku tajam itu merobek ku-
lit dan daging lengan Soka Pura, timbulkan empat luka yang segera menghitam dan
berasap serta berbusa busuk. Cras...!
"Aoow...!" Soka Pura memekik. Ia segera jatuh terhempas di semak-semak. Namun
segera bangkit dan ingat tentang rahasia kelemahan lawannya yang
ditulis Mulut Guntur pada secarik kain putih tadi.
"Aku harus hilangkan rasa marah ku dan ke-
bencian ku. Aku harus menganggapnya sebagai saha-
bat yang sedang berlatih ilmu kanuragan dengan ku!"
pikir Soka Pura sambil melompat ke atas pohon agar
kakinya tak menyentuh tanah. Wuuz...! Jleeg...!
"Geeerrhh...!" Dedengkot iblis mengerang sadis.
Ia juga berada di atas pohon seberang. Wajahnya yang
tadi terluka akibat pertarungan di hutan bam-
bu, kini kian tampak memborok, membuat wajahnya
bertambah menyeramkan. Rambutnya yang putih me-
riap acak-acakan itu dibiarkan tertipu angin, sebagian menutupi wajah kirinya.
Kukunya yang hitam runcing
masih memancarkan sinar biru berkelok-kelok yang
saling berlompatan dari jari yang satu ke jari yang lain.
"Kembalikan bambu itu!" geramnya dengan ma-
ta kecil yang tajam tertuju pada sepotong bambu kun-
ing di pinggang Soka.
Pendekar Kembar bungsu sengaja tersenyum.
"Kau bercanda, Kawan. Kalau mau bikin sate,
jangan pakai bambu ini! Pakailah bambu yang lain!"
"Jahanam kau! Sekali lagi ku ingatkan, kemba-
likan bambu itu padaku, atau kuhabisi nyawamu se-
perti yang lain"!"
"Nyawaku tak akan habis, Kawan! Aku punya
persediaan lima nyawa. Yang satu nyawa kucing. He,
he, he, he...!"
Soka Pura sengaja bercanda konyol. Bukan un-
tuk memancing kemarahan Dedengkot iblis, namun
untuk menghibur hatinya agar tidak merasakan kema-
rahannya dan untuk membuang niatnya yang ingin
membalas kekalahan Raka Pura, sang kakak. Dengan
bicara konyol begitu, Soka menjadi geli sendiri dan tidak merasa sedang
berhadapan dengan lawan berba-
haya. "Sekarang juga, habislah riwayatmu, Bocah Keparat! Heeeeaa...."
"Hei, tunggu dulu!" sergah Soka Pura. "Aku akan kembalikan bambu ini padamu
dengan satu sya-
rat!" Kata-kata yang meluncur cepat dari mulut So-ka berhasil hentikan gerakan
kedua tangan Dedengkot
Iblis yang sudah terangkat ke atas dan ingin mele-
paskan pukulan jarak tujuh langkah itu. Dedengkot
Iblis hanya menggeram panjang sambil menunggu
ucapan Soka selanjutnya. Rupanya ia juga ingin tahu
syarat yang dimaksud lawannya.
"Bambu Gading Mandul ini akan kuserahkan
padamu, jika kau sebutkan siapa perempuan tercantik
di muka bumi ini?"
"Persetan dengan pertanyaanmu! Heaaah...!"
Dua sinar biru lurus melesat dari telapak tan-
gan Dedengkot iblis. Soka Pura menghindarinya den-
gan melompat ke dahan lain.
"Hyaaaah...!" Soka melompat dengan berteriak dengan nada canda. Dua sinar biru
itu menghantam dahan pohon dan dahan pohon itu lenyap tak berbe-
kas. Bahkan serbuknya pun tak tersisa. Namun hal itu
tidak dipedulikan oleh Pendekar Kembar bungsu. Ia
lebih memperhatikan lawannya yang segera menerjang
ke arahnya ketika ia sudah berdiri kokoh di dahan
yang baru. "Heaaaahhh...!"
Dedengkot Iblis bermaksud menerjang Soka
Pura dengan cakar siap merobek leher. Tetapi si Pen-
dekar Kembar bungsu itu segera tebaskan pedangnya
pada saat tubuh Dedengkot Iblis melayang di udara
dalam jarak tiga langkah darinya. "Eiit... mau ke mana, Kek?" Wess, wess...!
Dua angin tebasan mempunyai ketajaman me-
lebihi pedang mana pun. Salah satu angin tebasan
yang dilakukan dengan bercanda itu berhasil kenal tu-
buh lawan yang sulit ditumbangkan itu. Crass...!
"Ahhk...!" Dedengkot iblis memekik tertahan dengan
mata mendelik, karena ia tak sangka kalau anak muda
itu bisa melukai tubuhnya. Dada kanannya robek
sampai ke perut kiri. Ia pun jatuh ke bumi dengan
timbulkan suara berdebam seperti nangka jatuh dari
pohon bersama pencurinya.
Bluuuk...! "Ahaaa..., rupanya kau sudah tidak dalam ben-
tuk bayangan lagi, Kakek Pikun!" seru Soka Pura sambil tertawa girang. Ia pun
meluncur turun dengan te-


Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

riakan seperti anak kecil main terjun-terjunan.
"Yihuuuii...! Awas dewa tampan turun ke bu-
mi!" Jleeg...! Soka Pura daratkan kaki ke tanah, tapi
ia masih tetap bisa melihat sosok Dedengkot Iblis yang sedang bergegas bangkit.
Berarti sang lawan kini bisa dilihat dengan mata telanjang walau kaki menyentuh
tanah. Rupanya kesaktian Dedengkot iblis ada yang
sirna akibat terkena tebasan Pedang Tangan Malaikat
itu. Kesaktian yang sirna itu tak lain adalah ilmu 'Iblis Bayangan' yang
biasanya hanya dapat dilihat jika
orang itu tidak menapakkan kakinya ke tanah.
Tentu saja hal itu membuat Dedengkot iblis se-
dikit gentar. Bahkan ketika Soka Pura menggodanya
dengan bentakan keras dan berlagak ingin maju me-
nyerang bersama pedangnya, Dedengkot Iblis cepat
lompat mundur dan menggeragap tegang.
"Hiaaah...! Heh, heh, heh, heh...! Takut, ya"!"
ledek Soka sambil cengar-cengir, menjaga rasa hatinya agar tetap ceria dan tak
merasa marah. Sementara itu, perempuan berjubah ungu yang
terluka parah itu berusaha bangkit, namun ia tak
mampu. Tubuhnya jatuh terkulai kembali, namun kali
ini posisinya seperti duduk bersandar di bawah seba-
tang pohon. Matanya memperhatikan Soka dan De-
dengkot Iblis dari jarak lima langkah di sebelah kanan
Pendekar Kembar bungsu.
Dedengkot iblis sengaja tidak lakukan seran-
gan, karena ia masih harus kerahkan tenaga gaibnya
untuk mengobati luka koyak di dada sampai perut itu.
Dengan menahan nafasnya, luka tersebut bergerak
mengatup sendiri dan akhirnya menjadi rapat kembali
seperti tak pernah terkena sabetan pedang siapa pun.
Hanya saja, kain jubah dan pakaian dalamnya yang
berwarna merah tua itu tetap robek membekas sabetan
pedang. Sebenarnya hati Soka merasa kagum melihat
luka itu terkatup rapat dalam waktu singkat. Namun
rasa kagumnya tak ditonjolkan, bahkan dijadikan ba-
han bercandaan baginya.
"Hebat lho... luka selebar itu bisa rapat kemba-
li. Siapa yang menjahitnya, Kawan"!"
"Bangkai busuk! Terimalah Jurus Getar Ku-
bur'-ku ini. Heeeaa...."
"Ee, eh, eh... tunggu dulu!" sergah Soka dengan canda. "Kau belum jawab
pertanyaanku tadi: siapa perempuan tercantik di muka bumi ini"!"
Dedengkot Iblis tak jadi lepaskan jurus 'Getar
Kubur'-nya, walau tangan kiri sudah diangkat ke atas
dan tangan kanannya menyilang di dada. Ia hanya
menggeram penuh murka mendengar pertanyaan yang
di anggapnya konyol sekali itu.
"Kalau kau bisa menjawab, kuserahkan sepo-
tong bambu sakti ini!" sambil Soka Pura sengaja pamerkan dua jengkal bambu
kuning yang ujungnya
runcing seperti kuku berjari lentik itu. Dedengkot Iblis mulai pertimbangkan
tindakannya. "Ayo, sebutkan...! Siapa menurutmu perem-
puan tercantik di dunia"!" desak Soka Pura sambil ia sendiri berpikir, siapa
nama yang akan disebutkan sebagai jawabannya nanti. "Kirana" Bulan Berkabut"
Purbawenih" Ah... percuma, dia tidak kenal dengan
gadis-gadis itu, mana mungkin dia percaya kalau ja-
wabanku nanti benar?" pikir Soka Pura dalam selintas.
Lalu ia mendengar Dedengkot Iblis berseru
dengan suara geram, "Kau benar-benar keparat, Bocah Tengik!! Hhhhrrmmm...!"
"Boleh saja kau bilang aku keparat, tapi lebih
keparat lagi manusia yang tidak tahu siapa perempuan
tercantik dl dunia ini! Alangkah malang nasibnya jika sampai tak tahu," pancing
Soka sambil tetap menjaga hatinya agar selalu riang.
"Tidak ada perempuan tercantik dl muka bumi
ini, Jahanam!" bentak Dedengkot iblis.
"Ada saja!" Jawab Soka dengan lagak bercanda.
"Kalau begitu kau tak boleh meminta kembali bambu ini!"
"Hhhhrrmm...! Persetan dengan pendapatmu
tentang perempuan tercantik di dunia! Aku tidak bu-
tuh perempuan! Aku butuh bambu itu harus kau se-
rahkan padaku!"
"Eh, eh... tunggu sebentar!" sergah Soka Pura melihat Dedengkot Iblis ingin
lepaskan serangannya.
Pada saat itu tiba-tiba ia teringat semua nama yang ingin di pakai bahan candaan
di depan lawannya itu.
"Kau boleh menyerangku dan merebut bambu
ini, tapi kau harus tahu, bahwa perempuan tercantik
di dunia ini adalah Nyai Prabawinih!"
"Hahhh..."!" Dedengkot Iblis terkejut, matanya terbelalak seketika begitu
mendengar nama bekas istrinya disebutkan oleh Pendekar Kembar bungsu. Ke-
dua tangan yang mengeras menjadi kendur, kakinya
yang sedikit merenggang dan merendah menjadi tegak.
Ia pun mundur dua langkah dengan wajah semakin te-
gang. Soka Pura sendiri sebenarnya tak menyangka
kalau nama yang disebutkan dapat membuat Dedeng-
kot Iblis menjadi seperti ketakutan begitu. Namun rasa herannya itu tetap
tersimpan dalam hati, dan Soka Pu-ra sengaja sunggingkan senyum angkuh dengan
sikap sengaja dibuat sombong.
"Kenapa kau kaget, hah"! Apakah karena nama
Nyai Prabawinih adalah bekas istrimu, lalu kau kaget"
Terkenang masa lalu" Menjadi terharu"! Uuh... kuno
itu!" "Siapa kau sebenarnya"!" suara Dedengkot Iblis menjadi bergetar, nafasnya
terdengar dihela dengan
berat, matanya masih terbelalak tegang.
"Katakan, siapa kau sebenarnya hingga men-
genal nama bekas istriku tercinta itu"!"
"Aku keturunan Nyai Prabawinih," Jawab Soka sambil memancing reaksi lawan.
Ternyata lawan semakin terkejut dan menegang.
"Kau..."! Kau dan saudara kembar mu tadi ke-
turunan Prabawinih"!" gumam Dedengkot iblis kian jelas bergetar suaranya.
"Ya, kami keturunan Nyai Prabawinih, tapi en-
tah keturunan ke berapa dan entah bagaimana jalur
silsilahnya. Kau tak perlu bertanya, karena aku akan
bingung menjawab. Hanya saja, setahuku, perempuan
tercantik itu adalah Nyai Prabawinih!"
Hati Soka bertanya, "Benar apa tidak, ya" Jan-
gan-jangan Nyai Prabawinih sama buruknya dengan
wajah si Dedengkot Iblis itu"!"
Soka pun terkesiap melihat ketegangan De-
dengkot Iblis menjadi mengendur semua. Bahkan pan-
dangan mata si pengikut Raja Iblis itu tertuju ke arah lain, bagai sedang
menerawang masa lalunya. Di wajah
sangar itu, kini tampak segumpal penyesalan dan ke-
haruan bermukim di sana. Rupanya rasa cintanya ke-
pada Nyai Prabawinih telah membuat hati Dedengkot
Iblis menjadi luluh dan rasa manusiawinya timbul
kembali. Dan Soka Pura sengaja membiarkan orang itu
hanyut dalam kenangan masa lalunya.
"Praba.... Prabawinih...," ucapnya datar dan pelan. Ia segera menyingkapkan
rambutnya yang meriap
di wajah sambil menarik nafas dalam-dalam. Soka Pu-
ra perdengarkan suaranya dengan hati-hati.
"Apakah kau masih inginkan bambu ini, dan
ingin membunuhku"!"
Seet...! Wajah si Dedengkot iblis berpaling cepat
dan menyentak kuat ke arah Soka Pura. Hati pemuda
itu sempat tersentak kaget dan sedikit grogi, namun
dapat segera diatasi. Sepasang mata kecil si Dedengkot Iblis menatap tajam
sekali membuat Soka Pura sempat
salah tingkah dan menggenggam pedang kuat-kuat,
bersiap hadapi serangan sewaktu-waktu. Dada si De-
dengkot Iblis tampak bergerak naik turun, menanda-
kan nafasnya mulai memburu karena suatu rasa yang
terpendam dalam hatinya.
Tiba-tiba kedua tangan Dedengkot Iblis meng-
genggam kuat-kuat, kepalanya mendongak dan berse-
ru keras sekali.
"Prabaaaaaaaaaa...!!"
Soka Pura mundur beberapa langkah dengan
mendekap telinganya. Suara berseru itu mendatang-
kan angin badai yang bergemuruh memekakkan telin-
ga. Pepohonan menjadi bergetar dan daun-daun ber-
guguran. Badal yang datang bagai memutar-mutar di
sekeliling tempat itu, membuat dahan-dahan pohon
patah dan tumbang berserakan.
Pendekar Kembar bungsu yang berpaling me-
munggungi lawannya segera menahan diri terhadap
hembusan angin kencang yang memutar, seperti put-
ing beliung. Kedua kakinya merendah menjaga ke-
seimbangan tubuh. Salah satu kakinya menghentak-
hentak ke bumi dengan pelan. Dug, dug, dug...! Dan
angin badai itu pun menjadi reda secara sedikit demi
sedikit. Rupanya Pendekar Kembar mempunyai satu
ilmu aneh yang dapat dipakai untuk meredakan badai
sekencang apa pun. Ilmu itu dinamakan jurus 'Gugah
Jinak', yaitu dengan menghentakkan kaki ke bumi be-
berapa kali, maka badai pun akan jinak dan menjadi
reda secepatnya.
Pada saat badai mereda, Soka Pura menjadi
terperanjat kaget, karena Dedengkot iblis telah lenyap dari pandangan mata. Ia
tak melihat saat Dedengkot
Iblis pergi dengan kecepatan tinggi bertepatan dengan datangnya angin badai yang
bergerak memutar seperti
puting beliung itu. Tapi si perempuan berjubah ungu
sutera itu melihat ke mana arah kepergian Dedengkot
iblis. Hanya saja ia tak dapat bertindak apa-apa.
Rupanya Dedengkot iblis diliputi duka yang
mengharu ketika mengenang bekas istrinya itu. Rasa
penyesalan atas perpisahan dengan Nyai Prabawinih
membuatnya tak tahan berhadapan dengan pemuda
yang mengaku keturunan Prabawinih. Ia pun akhirnya
tak mau peduli lagi dengan sepotong Bambu Gading
Mandul yang ada pada diri Pendekar Kembar. Ia berlari membuang dukanya,
menyelinap di kerimbunan hutan
untuk atasi rasa sesalnya.
Sementara itu, Soka Pura mulai dapat bernapas
lebih lega lagi, karena merasa yakin bahwa lawannya
yang sulit ditumbangkan itu telah pergi dan tak akan
merebut sepotong bambu di pinggangnya itu. Sean-
dainya Dedengkot Iblis muncul lagi dengan persoalan
yang sama, maka Soka sudah menemukan kunci ke-
lemahan lawannya yang paling utama, yaitu dengan
menyebut nama Nyai Prabawinih.
Kini pandangan mata Soka Pura tertuju pada
perempuan berjubah ungu sutera yang terdengar me-
rintih dan batuk-batuk kecil. Sebelum ia mendekat,
hatinya bertanya-tanya lebih dulu pada diri sendiri.
"Siapa perempuan itu sebenarnya"! Mengapa ia
membantuku menyerang Dedengkot iblis"! Kurasa ia
punya maksud tertentu, sehingga ia berani pertaruh-
kan nyawanya dalam menghadapi Dedengkot iblis. Oh.
agaknya lukanya sangat parah. Kasihan, kalau tak se-
gera terobati ia bisa kehilangan nyawanya."
Soka Pura pun segera hampiri perempuan ber-
tubuh sintal dan berdada sekal. Rambutnya yang di
konde dengan sisa rambut berjuntai ke belakang se-
perti ekor kuda itu membuat wajah separo bayanya
tampak cantik menawan. Tahi lalat di sudut dagu ka-
nan juga membuat daya tarik tersendiri bagi lawan je-
nisnya. Sayang usianya jauh lebih tua dari Soka Pura, sehingga Soka sempat
canggung dalam berhadapan
dengannya. Ketika Soka sudah ada di dekat perem-
puan itu, bau cendana tercium tajam dan menciptakan
debar-debar nakal dalam dada Soka. Bau wangi cen-
dana itu timbul dari senjata kipasnya yang diberi war-na emas. Senjata kipas itu
masih tergenggam di tangan kanan dalam keadaan terkatup. Rupanya ia tadi
menggunakan senjata itu untuk melawan Dedengkot
Iblis, namun tak berhasil membentengi dirinya hingga
terkena serangan berbahaya dari lawan yang memang
tangguh dan berilmu tinggi itu.
"Boleh aku menolongmu, Bibi?" ujar Soka Pura sambil merendahkan badan di samping
perempuan itu. Tapi perempuan itu justru meredupkan matanya
dengan napas tersentak pelan. Mulutnya ternganga
bagai ingin hembuskan nafas terakhir. Soka Pura te-
gang dan buru-buru mengguncang tubuh berkulit
kuning langsat itu.
"Bibi, ehh.... Nyai... eh, anu... Jangan mati du-
lu! Bertahanlah, Jangan mati dulu. Aku belum tahu
siapa kau sebenarnya, Bi... eh, Nyai... eh... anu...." So-ka Pura geragapan
sendiri. Mata perempuan itu makin redup, tubuhnya
terasa semakin dingin dan wajahnya kian pucat seperti mayat. Bibirnya yang
sensual itu membiru dengan bercak-bercak darah di sekitarnya.
"Aku harus segera salurkan hawa murni dan
tenaga inti gaib ke dalam tubuhnya. Tapi... dapatkah
Jurus 'Sambung Nyawa'-ku menolong jiwa yang sudah
kehabisan nyawa ini"!' pikir Soka Pura dengan cemas
dan panik. * * * 5 PEREMPUAN berjubah ungu sutera itu nasib-
nya sedang mujur. Penyembuhan yang dilakukan Soka
Pura belum terlambat. Ternyata jurus 'Sambung Nya-
wa' si Pendekar Kembar bungsu itu masih bisa atasi
luka parah yang menghanguskan separo jantung si pe-
rempuan. Dalam keadaan antara sadar dan tidak, perem-
puan jubah ungu sutera itu rasakan hawa hangat me-
nempel di dadanya. Hawa hangat itu bermula dari sen-
tuhan telapak tangan Soka yang memancarkan cahaya
pijar ungu. Walaupun sebenarnya sentuhan tangan
Soka itu berbau sedikit nakal, karena yang digenggam
adalah gumpalan bukit kiri si perempuan yang menu-
rut Soka, masih tergolong kencang dan berisi itu, tapi tindakan tersebut tak


Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa disalahkan.
Jurus 'Sambung Nyawa' hanya bisa dilakukan
jika telapak tangan Pendekar Kembar menempel pada
kulit tubuh si pasien tanpa penghalang kain selembar
benang pun. Sebenarnya bisa saja dilakukan pada
pergelangan tangan atau telapak tangan si perempuan
jubah ungu itu. Tapi karena Pendekar Kembar bungsu
itu memang nakal dan usil, maka ia sengaja tempelkan
telapak tangannya pada gumpalan daging sekal di ba-
gian dada kiri si perempuan jubah ungu. Perempuan
itu memang merasakan sentuhan tangan tersebut,
namun karena keadaannya sangat lemah, bagai kehi-
langan seluruh tenaganya, maka ia hanya bisa mem-
biarkan hal itu terjadi.
Walaupun kini perempuan itu telah sadar dan
menjadi sehat seperti sediakala, bahkan tubuhnya te-
rasa lebih segar dari sebelumnya, namun ia tetap tak
bisa menuntut tindakan nakal tangan pemuda tampan
berhidung mancung itu. Toh karena sentuhan tangan
itulah yang membuat nyawanya tidak jadi bablas ke
neraka. Si perempuan berpendapat, "Mungkin memang begitulah cara penyembuhannya;
harus melalui payu-dara!" Maka ia pun segera lupakan persoalan itu dan
menganggap tak ada niat nakal di hati si pemuda gagah tersebut.
"Kalau saja kau tak kembali lagi, kurasa seka-
rang aku sudah mati dibunuh Dedengkot Iblis," ujar perempuan itu sambil
merapikan pakaiannya.
Pendekar Kembar bungsu nyengir, merasa risi
mendengar sanjungan yang diungkapkan secara tak
langsung itu. "Bagaimana aku harus memanggilmu" Bibi
atau Nona?" tanya Soka Pura seakan ingin mengalihkan pembicaraan agar si
perempuan tidak lanjutkan
sanjungannya tadi.
"Kurasa kau memang belum mengenaliku. Tapi
para tokoh di rimba persilatan mengenaliku sebagai
Nyai Rempah Arum. Karena aku adalah guru merang-
kap ketua di Perguruan Sayap Camar."
"Nyai Rempah Arum...?" gumam hati Soka. "Sepertinya nama itu pernah kudengar
dari mulut Kirana.
Kalau tak salah Nyai Rempah Arum adalah musuh be-
buyutannya si gajah bengkak; Kecubung Manis"!
Hmm... sebaiknya ku tanyakan kebenaran dugaan ku
ini!" Nyai Rempah Arum membenarkan dugaan So-
ka. Matanya yang masih tampak bening dan sedikit
berkesan jalang itu menatap Soka tak berkedip. Tata-
pan mata itu menimbulkan getaran aneh di hati Pen-
dekar Kembar bungsu, walau mulut si perempuan
yang telah dibersihkan dari darah itu berkata tak se-
suai dengan tatapan matanya.
"Memang benar apa yang dikatakan sahabatmu
bernama Kirana itu. Kecubung Manis adalah musuh-
ku, karena memang ia selalu memusuhi perguruanku.
Kecubung Manis selalu mengincar murid-murid pria
ku, dan akulah penghalang utama yang selalu meng-
gagalkan niatnya, memikat murid pria ku dengan pak-
sa untuk melayani asmaranya."
"Ooo, Jadi persoalannya itu"!" "Salah satu muridnya ada yang terkena kutukan ku:
badannya bersi-
sik seperti ular. Tak heran jika ia selalu berusaha
mendesak gurunya Kirana; si Mulut Guntur, untuk
mendapatkan rahasia kelemahan si Dedengkot iblis,
karena Kecubung Manis ingin mendapatkan Bambu
Gading Mandul itu untuk memudarkan pengaruh ku-
tukanku terhadap muridnya."
"Rupanya kau juga kenal dengan Eyang Mulut
Guntur, Nyai"!"
"Tentu saja aku mengenalnya," ujar perempuan itu sambil lepaskan pandangan ke
arah lain. "Mulut Guntur mempunyai kakak bernama
Eyang Tayangon. Aku adalah muridnya Eyang Tayan-
gon yang selalu bersaing dengan cucunya; si Kecubung
Manis." "Ooo... jadi kau muridnya mendiang Eyang Tayangon"!" gumam Soka sambil
manggut-manggut.
"Aku mengetahui kelemahan si Dedengkot iblis
setelah belum lama ini kutemukan kitab kuno milik
mendiang guruku. Di dalam kitab kuno itu kutemukan
tulisan tangan Eyang Tayangon yang berisi tentang ra-
hasia kelemahan Dedengkot Iblis."
"Pantas kau tahu bagaimana cara menyerang-
nya dan melihat wujudnya."
"Kalau saja kitab kuno itu kutemukan sejak
dulu, tentu sudah sejak dulu pula aku datang kemari
untuk melawan Dedengkot Iblis. Sayang sekali kitab
kuno itu kutemukan di gua bekas tempat bertapa
mendiang guruku, sehingga baru sekarang aku bisa
datang ke tanah Kubangan Berdarah tadi."
"Apakah maksud kedatanganmu juga ingin
mendapatkan Bambu Gading Mandul?"
"Benar!" Jawab Nyai Rempah Arum dengan te-
gas, matanya menatap Soka kembali dengan tajam,
namun punya kelembutan tersendiri yang hanya bisa
dirasakan oleh hati Soka Pura.
"Ada dua kepentingan dalam upaya ku menda-
patkan bambu itu. Pertama, aku harus melenyapkan
Bambu Gading Mandul agar tak menjadi lawan ilmu
kutukanku. Dengan lenyapnya Bambu Gading Mandul,
maka siapa pun tak akan bisa lepas dari ilmu kutukan
ku. Hanya aku yang bisa melepaskannya."
"Rupanya ilmu itu menjadi andalanmu. Menga-
pa tak kau lakukan kepada Dedengkot iblis saat kau
melawannya tadi?"
"Ilmu itu tak mempan untuknya. Ia mempunyai
lapisan tenaga gaib cukup tinggi, hingga ilmu 'Sabda
Kutuk' tak bisa mengenainya. Karena aku sibuk meng-
gunakan jurus 'Sabda Kutuk' akibatnya aku terkena
tendangan kakinya yang menghanguskan bagian da-
lam tubuhku tadi."
Soka Pura tertawa kecil. Gagang pedang yang
sudah disarungkan dan kini terselip di pinggang ka-
nan, dipakai sandaran lengan kanannya. Sementara
itu, dua jengkal bambu kuning berujung runcing itu
terselip di pinggang kiri. Tangan kiri Soka selalu siap menahan bambu itu jika
Nyai Rempah Arum ingin me-nyerobotnya.
"Karena itu," ujar sang Nyai Cantik. "Dengan rendah hati dan memohon kerelaanmu,
kuminta serahkan-lah bambu di pinggangmu itu kepadaku. Aku
tak ingin bambu itu menjadi penghalang ilmu kutukan
ku. Lebih tak rela lagi jika bambu itu jatuh ke tangan si Kecubung Manis!"
"Nanti dulu," sergah Soka Pura sebelum Nyai Rempah Arum lanjutkan kata.
"Jelaskan dulu kepentingan mu yang kedua. Karena kau tadi bilang, punya
dua kepentingan dalam upayamu mendapatkan Bam-
bu Gading Mandul ini, Nyai."
"Kurasa kau tak perlu tahu kepentinganku
yang kedua itu, karena itu menyangkut urusan priba-
diku dengan seseorang!" tegas sang Nyai. "Sekali lagi ku mohon dengan hormat,
berikan bambu itu padaku.
Aku berjanji akan membalas budi baikmu dengan ke-
baikan yang setimpal jika kau mau memberikan bam-
bu itu padaku."
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara yang
muncul dari belakang Nyai Rempah Arum.
"Jangan berikan bambu itu!"
Sang Nyai cepat-cepat berpaling ke belakang,
tapi Soka Pura hanya tersenyum kalem, karena orang
yang muncul itu adalah kakaknya sendiri.
Raka Pura yang sudah sehat kembali itu me-
langkah dekati adik kembarnya dengan pandangan
mata tetap tertuju pada Nyai Rempah Arum. Pandan-
gan mata itu berkesan sinis, sehingga Nyai Rempah
Arum menjadi dongkol terhadap kemunculan Pendekar
Kembar sulung. Namun dalam hatinya ia tetap mena-
han kedongkolan itu, karena ia mengakui kehebatan
ilmu kedua pemuda kembar tersebut. Jika si Dedeng-
kot Iblis saja bisa dilukai oleh pedang Soka, berarti kedua pemuda kembar itu
mempunyai ilmu yang tidak
bisa di anggap remeh. Ia harus hati-hati berhadapan
dengan Pendekar Kembar.
Raka Pura perdengarkan suaranya lagi bernada
ketus itu. Sementara si bungsu masih tersenyum-
senyum menertawakan keberangan kakaknya dalam
hati. "Kau pikir bambu itu adalah bambu sembarangan"! Seenaknya kau ingin
memintanya dari adikku"
Bambu itu adalah nyawa kami, Nyai! Jika kau ingin
memilikinya, berarti kau harus bertarung melawan
kami!" Nyai Rempah Arum tak mau kalah ketus. Senyumnya pun mengembang dengan
sinis sekali. "Bertarung melawan kalian bukan hal yang su-
lit bagiku! Aku tahu, kalian pasti si Pendekar Kembar yang sedang jadi bahan
pembicaraan para tokoh di
rimba persilatan. Tetapi jika aku ditantang untuk bertarung melawan kalian,
hmmm.... Nyai Rempah Arum
pantang mundur selangkah dalam menghadapi siapa
pun!" Soka Pura menyerobot pembicaraan sebelum
kakaknya berkata lagi.
"Ehmm..., Nyai, perkenalkan ini kakak kembar
ku: Raka Pura, namanya."
Raka melirik adiknya karena kesal tak jadi bi-
cara. Sang adik tetap cengar-cengir dengan konyol,
membuat sang kakak semakin jengkel kepadanya. So-
ka Pura makin merapat pada kakaknya dan berbisik
pelan. "Jangan galak-galak kepada orang yang telah ikut membantu kita dalam
mendapatkan bambu ini!
Kalau tadi tak ada dia, aku tak akan punya kesempa-
tan untuk menyembuhkan lukamu. Kita berdua
mungkin sudah menjadi abu."
"Setiap ada perempuan cantik tak peduli tua
atau muda, kau selalu melarangku untuk bersikap te-
gas. Apakah kau tak sadar kalau kecantikan itu dapat
membuat dirimu celaka" Dasar buaya sawah!" gerutu Raka Pura sambil bersungut-
sungut. "Pendekar Kembar, kalau aku mau bermaksud
jahat kepada kalian, sudah dari tadi kurampas bambu
itu dengan cara bagaimanapun. Tapi aku tidak ber-
maksud tak balk kepada kalian. Aku memintanya den-
gan penuh kerendahan hati, karena aku sangat mem-
butuhkan bambu itu!" ujar Nyai Rempah Arum. "Kalau aku tidak sangat perlu dengan
benda itu, kurasa lebih baik aku pulang dan tidur nyenyak di rumahku! Tak
perlu aku keluyuran sampai di tempat ini bertaruh
nyawa melawan Dedengkot Iblis. Jika aku tidak sangat
membutuhkan bambu itu, untuk apa ku lindungi ka-
lian saat kalian dikejar-kejar oleh Dedengkot iblis!"
"Benar juga kata-katanya itu, Raka."
"Benar Juga, benar juga...! Sadarkah kau bah-
wa sekarang kita menghadapi lawan yang pandai me-
rayu"!" gertak Raka dalam nada membisik. "Sebaiknya tinggalkan saja perempuan
itu! Lupakan segala bujuk
rayunya! Kau ini memang punya kelas teri, sedikit ke-
na angin surga sudah blingsatan dan rapuh!"
"Kalau hatiku rapuh, sudah sejak tadi ku cium
dia dan kuserahkan bambu ini!" gerutu Soka dengan
sedikit cemberut. Kemudian ia menatap sang Nyai
kembali dengan senyum ramah dipaksakan mekar di
bibirnya. "Nyai Rempah Arum, sepertinya kau benar-
benar membutuhkan bambu ini. Barangkali aku punya
kebijaksanaan lain padamu, jika kau mau jelaskan ke-
pentinganmu yang kedua itu. Tanpa penjelasan yang
sebenarnya, mungkin aku tetap tak akan serahkan
bambu ini, atau tak mau pinjamkan bambu ini pada-
mu." Nyai Rempah Arum tarik napas panjang. Setelah diam sesaat, ia perdengarkan
suaranya yang ber-
nada tegas itu.
"Kubutuhkan bambu itu untuk melawan seseo-
rang secara pribadi, karena utusannya sudah berani
menangkap murid kesayanganku: si Merak Jelita.
Orang itu berilmu tinggi, dan kelemahannya hanya jika dilukai dengan Bambu
Gading Mandul!"
Soka Pura dan kakaknya saling pandang den-
gan curiga. "Siapa orang yang kau maksud itu, Nyai"!"
tanya Soka. "Darah Kula!"
Jawaban tegas sang Nyai membuat Pendekar
kembar terperanjat terang-terangan. Kejap kemudian
Soka Pura sunggingkan senyumnya kembali, Raka Pu-
ra kendurkan ketegangannya, membuang sikap sinis-
nya kepada sang Nyai.
"Maksudmu, Darah Kula si Penguasa Bukit
Maut itu, Nyai?" ujar Raka.
"Benar!" jawab sang Nyai lebih semangat. "Apakah kalian juga mengenainya"!"
"Bukan saja mengenalnya, Nyai," ujar Soka.
"Justru kami berusaha dapatkan Bambu Gading Man-
dul ini hanya semata-mata untuk membunuh si Darah
Kula...." Soka pura segera jelaskan maksudnya dari aw-
al pertemuannya dengan Bunga Dewi, di mana saat itu
Bunga Dewi si gadis pencuri itu, akan dijual kepada
Darah Kula untuk dijadikan santapan si manusia pen-
gisap darah perawan tersebut. Darah Kula adalah anak
Raja Iblis yang mempunyai ilmu 'Pancawarsa', di mana
ia selalu bangkit lagi dari kematiannya setelah melalui masa lima tahun.
Kematian itu dapat abadi, ilmu
'Pancawarsa'-nya dapat lenyap, jika tubuhnya dilukai
dengan Bambu Gading Mandul. Dan Pendekar Kembar
merasa harus segera bertindak tumbangkan si Darah
Kula itu, agar para gadis di muka bumi tidak habis binasa dihirup darahnya oleh
si Penguasa Bukit Maut
itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Pemburu Mahkota Dara").
Setelah tertegun sesaat, Nyai Rempah Arum


Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hembuskan napas panjang, karena hatinya merasakan
kelegaan yang cukup dalam.
"Tak kusangka kita punya tujuan yang sama,
Pendekar Kembar. Seandainya ku tahu tujuan kalian
sebelumnya, kurasa tak mungkin aku harus membu-
juk-bujuk seperti tadi."
"Maafkan atas kekasaran sikapku tadi, Nyai,"
ujar Raka Pura yang mulai tampak bersahabat. Soka
Pura tertawa kecil dan bicara kepada kakaknya.
"Makanya jangan mudah punya praduga buruk
terhadap orang yang belum kita kenal dengan jelas."
Nyai Rempah Arum segera berkata, "Sebaiknya
kita segera menuju ke Bukit Maut, sebelum segala se-
suatunya menjadi terlambat. Aku harus selamatkan
Merak Jelita, sebelum darahnya terhirup habis oleh
kerakusan si Darah Kula itu!"
"Kurasa memang itulah gagasan yang terbaik,
Nyai!" ujar Raka Pura, kemudian ia mengawali me-
langkah tinggalkan tempat itu untuk menuju ke Bukit
Maut. Mereka bukan sekadar melangkah selayaknya
orang pergi ke pasar, namun langkah yang mereka gu-
nakan adalah langkah cepat dengan dibantu ilmu pe-
ringan tubuh yang mereka miliki. Jurus 'Jalur Badai
yang digunakan Pendekar Kembar tak bisa disamai ke-
cepatannya oleh Nyai Rempah Arum. Karenanya, Soka
Pura sedikit kurangi kecepatan jurus tersebut, sehing-ga ia dapat melangkah
berdampingan dengan sang
Nyai cantik itu, sedangkan Raka Pura berkelebat lebih cepat di depan mereka,
seakan menjadi penunjuk jalan
bagi mereka yang dl belakangnya.
"Hoi, tak bisakah kalian lebih cepat lagi?" seru Raka Pura agak jengkel karena
Soka dan Nyai Rempah
Arum seperti orang pacaran. Mereka berdua melang-
kah sambil lakukan obrolan yang sesekali hadirkan
tawa, membuat Raka jadi gemas sendiri.
"Kalau saat itu Kirana ada bersamaku, mung-
kin aku tak merasa jengkel mendengar tawa mereka di
belakang," ujar Raka Pura dalam hatinya. Bayangan wajah Kirana yang cantik
berlesung pipit dan bergigi
gingsul itu mulai menari-nari dalam benak Raka. Rasa
ingin bertemu dengan gadis itu membuat Raka Pura
tak sabar ingin lekas sampai di Bukit Maut dan sele-
saikan persoalan di Sana secepatnya.
Bayangan Kirana itu membuat Raka Pura men-
jadi sedikit lengah. Ia tak melihat ada sepasang mata yang menunggunya dari
balik semak di bawah pohon
besar, depan langkahnya. Sepasang mata itu segera
melepaskan pukulan tanpa sinar ke pinggang Raka
sewaktu Raka melintasi jalanan depan semak bawah
pohon besar tersebut.
Dess...! "Uhk...!" Raka Pura tersentak dengan suara li-
rih. Pinggangnya seperti disodok dengan toya besi. Sesuatu yang terasa
menyodoknya itu ternyata sebuah
jurus totokan dari jarak jauh. Akibatnya, Raka Pura jatuh terjungkal ke semak-
semak di depannya. Si pemi-
lik sepasang mata berbulu lentik itu segera menyam-
bar tubuh Raka dan membawanya ke tempat persem-
bunyian sebelum Soka dan Nyai Rempah Arum tiba di
tempat Itu. Wuut, wees...! Naluri sang adik kembar mulai memberikan fi-
rasat tak enak dalam hatinya. Langkah pun dihentikan
dan membuat Nyai Rempah Arum merasa heran.
"Ada apa, Soka?"
"Ke mana kakakku tadi?"
"Mungkin dia sudah Jauh dari kita. Sebaiknya
kita susul secepatnya!"
"Tidak. Hatiku menjadi tak enak. Pasti ada se-
suatu yang tak beres pada Raka," gumam Soka sambil memandang clingak-clinguk di
tempat hilangnya Raka.
Nyai Rempah Arum berkerut dahi dan tak be-
rani membantah lagi. Ia tahu hubungan batin sepa-
sang anak kembar sangat peka dan cukup kuat. Jika
yang satu mendapat bahaya, maka yang satunya akan
merasa gelisah dan resah.
"Kecepatan gerak Raka tak mungkin melebihi
sejauh pandangan mataku, Nyai! Jika ia masih berge-
rak di depan sana, pasti terjangkau oleh pandangan
mata ku, Nyai!"
"Kalau begitu kita cari saja dia di sekitar tempat sini!" ujar sang Nyai yang
akhirnya mempercayai fira-sat buruk Soka Pura.
Mereka tidak tahu bahwa Raka saat itu sudah
berada di bawah empat pohon rindang yang menaungi
semak-semak ilalang. Di tengah semak ilalang itu ter-
dapat tanah kosong bertanaman rumput pendek. Di si-
tulah Raka Pura dibaringkan oleh seorang perempuan
yang menggeledahnya.
Keadaan Raka yang terkena totokan melum-
puhkan itu membuatnya tak bisa berbuat apa-apa,
namun ia masih sadar atas apa yang terjadi pada di-
rinya. Matanya masih bisa memandang jelas wajah pe-
rempuan yang menggagahinya seperti sedang mencari
sesuatu pada tubuhnya.
"Sial! Aku salah comot! Ternyata pemuda yang
satunya yang menyelipkan bambu kuning tadi!" gerutu perempuan bertubuh besar dan
gemuk yang tak lain
adalah si Kecubung manis itu. Rupanya ia sudah ber-
hasil atasi luka parahnya akibat pertarungannya den-
gan si Mulut Guntur kemarin. Tanpa dibantu ramuan
peninggalan kakeknya, Kecubung Manis tak mungkin
dapat cepat sembuh dengan hanya mengandalkan ha-
wa sakti yang di salurkan ke tengah lukanya.
Rupanya tanpa di sengaja, Kecubung Manis
yang ingin membalas kekalahannya kepada Mulut
Guntur itu telah mendengar percakapan antara Pen-
dekar Kembar dengan Nyai Rempah Arum. Percakapan
itu membuatnya menunda kepergiannya ke padepokan
Perguruan Tapak Syiwa. Ia melihat bambu kuning ter-
selip di pinggang Soka Pura. Lalu berusaha mengincar
bambu itu dengan menghadang langkah mereka.
Sayang sekali ia salah duga, Raka Pura yang di-
lumpuhkan dengan jurus totokan jarak jauhnya itu di
sangka Soka Pura. Maka ketika ia menggeledah tubuh
Raka, ia merasa kecele karena Bambu Gading Mandul
tidak ditemukan di tubuh Raka.
Perempuan segemuk gajah bengkak itu akhir-
nya duduk melonjor dengan garuk-garuk lengannya. Ia
merasa dongkol sekali atas tindakannya yang salah cu-
lik itu. Matanya memandang sengit kepada Raka Pura
yang tak bisa bicara apapun, selain hanya memandang
lurus ke langit dalam keadaan telentang.
"Setan belang! Gara-gara wajah mereka kem-
bar, aku jadi salah culik begini! Seharusnya tadi ku-
perhatikan dulu pinggang pemuda ini, apakah menye-
lipkan bambu kuning apa tidak," ujar si Kecubung Manis. "Ternyata pemuda yang
menyelipkan bambu
kuning di pinggangnya adalah yang berjalan bersama
si keparat Rempah Arum itu! Sial! Benar-benar sial nasib ku hari ini dan hari
kemarin!" Kecubung Manis diam beberapa saat, berusaha
mengatasi rasa kecewanya yang menjengkelkan hati
itu. Wajah tampan Raka Pura dipandanginya terus,
sampai akhirnya timbul getaran indah di dalam ha-
tinya. "Ganteng sekali anak ini. Bibirnya ranum seperti bibir seorang perawan,"
ucapnya pelan seperti bicara pada diri sendiri. Raka Pura mendengar ucapan
itu, dan ia hanya bisa rasakan kecemasan serta ke-
jengkelan dalam hatinya tanpa bisa lakukan tindakan
apa pun. "Ternyata kau cukup menawan hati ku, Bocah
Bagus. Badanmu kekar sekali...," sambil tangan Kecubung Manis mengusap-usap dada
Raka. Baju yang su-
dah dibuka saat menggeledah mencari bambu kuning
itu semakin dilebarkan. Tangan perempuan gemuk itu
merayapi dada hingga perut Raka Pura dengan senyum
berseri-seri. "Buat tambal kekecewaan ku, apa salahnya jika
kita berbulan madu sebentar" Hik. hik. hik. hik...!"
"Mati aku! Mampuslah aku kalau begini!!" geram Raka Pura dalam hatinya. Ia
berusaha mengge-
rakkan salah satu anggota tubuhnya, tapi tak bisa sa-
ma sekali. Kecubung Manis merangkak di samping Raka
Pura. Senyumnya yang berbibir lebar dipamerkan ba-
gai peragawati unjuk kemesraan. Tapi buat Raka, se-
nyum itu adalah bencana besar yang akan menim-
panya. Lebih-lebih setelah tangan Kecubung Manis
mengusap-ngusap wajah Raka dengan jari menyentuh-
nyentuh bibir. Raka semakin muak dan ingin menjerit kuat-
kuat, sayang tak mampu di lakukan.
"Ooh... Lama-lama kau menggairahkan juga,
Bocah Bagus!" ujar Kecubung Manis dengan suara mendesah, nafasnya mulai
terdengar tak beraturan.
"Oh. Aku tak tahan jika membiarkan bibirmu
terlalu lama kena angin. Takut melempem dan tak se-
gar lagi. Hik hik hik..."
Kecubung Manis pun segera dekatkan wajah.
Dengus nafasnya terasa menyembur panas di wajah
Raka. Maklum, lubang hidungnya termasuk lebar se-
perti knalpot bajaj. Tapi Raka tak bisa berbuat apa-
apa. Ketika bibirnya dikecup oleh Kecubung Manis,
Raka pun hanya bisa merasakan lumatan yang disertai
pagutan-pagutan kencang. Pemuda itu hanya dapat
mengeluh benci dalam hatinya.
Kecubung Manis bertambah gairahnya ketika
dapat melumat bibir pemuda tampan sekehendak ha-
tinya. Tubuhnya segera menelungkup di atas tubuh
Raka Pura. Ciumannya yang mengganas menelusuri
tubuh itu dari mulut sampai ke perut.
"Ooh. Indah sekali bercinta dengan pemuda se-
kekar dirimu. Pasti kau mampu ku ajak berlayar se-
jauh-jauhnya. Pasti kau mampu bertahan untuk tidak
menyerah lebih dulu sebelum aku merasa puas, bu-
kan" Hik, hik, hik..."
Tangan perempuan itu merayap kembali sete-
lah melepaskan ikat pinggang Raka. Tangan itu mene-
lusup ke dalam dan meremas lembut.
"Oh, ya... aku lupa. Tentu saja kau tidak bisa
'berdiri' karena seluruh uratmu ku lumpuhkan. Tapi
jangan kuatir, aku bisa melepaskan totokan ku pada
bagian tertentu agar kita bisa berbulan madu. Hek,
hek, hek, hek..."
Kecubung Manis segera lakukan totokan di ke-
dua pangkal paha Raka dengan dua jarinya yang men-
geras. Des, des...! Maka kaki Raka dapat bergerak se-
dikit. Gerakan lebih banyak berpusat pada bagian lain yang sangat diharapkan
untuk menjadi kokoh oleh Kecubung Manis Maka tangan perempuan itu pun se-
makin nakal, semakin menggoda agar Raka Pura
bangkit dengan kekokohannya.
"Nah, betul kan apa kataku...! Hik, hik, hik..."
Kecubung Manis kegirangan ketika harapannya men-
jadi kenyataan. Ia sengaja memandang dengan mata
terbelalak "Wow...! Hebat sekali kau sebenarnya, Bocah
Bagus! Hmm... aku tak sabar ingin segera merasakan
kehebatanmu ini, Bocah Bagus! Hik, hik, hik, hik...!"
Kecubung Manis segera melepasi pakaiannya
sambil tertawa cekikikan. Gerakannya terburu-buru
pertanda tak sabar lagi; ingin segera dapatkan kehan-
gatan asmaranya.
"Ya, ampun...!" ucap hati Raka Pura ketika matanya melihat sosok gajah bengkak
tanpa selembar be-
nang pun. Nafasnya menjadi sesak sekali melihat kea-
daan lawan jenisnya seperti itu.
"Ini perempuan apa babi kegemukan" Tinggal
di beri kecap, persisi babi panggang kau ini!" ujar Raka namun hanya dalam hati
saja. Kecubung Manis cekikikan terus. Dadanya
yang bukan saja montok namun tergolong bengkak
dengan ujung seperti kelereng kusam itu di sodorkan
ke mulut Raka Pura. Tentu saja mulut itu tak bisa
memagut karena urat pada mulut Raka ikut lumpuh.
"Oh, kau tak bisa memagutnya, Bocah Bagus"
Kalau begitu biar kupagut saja bibirmu sambil kita
nikmati kehangatan ini, Oouhh... hmmm..."
Kecubung Manis melumat bibir Raka kembali.
Nafas Raka menjadi semakin berat, karena tubuh ge-
muk besar itu menindihnya dengan gerakan ganas.
Tangan kiri Kecubung Manis menggapai bawah, beru-
saha memapankan perahunya yang akan meluncur ke
samudera cinta.
Tetapi sebelum segalanya benar-benar mapan,
tiba-tiba tubuh gemuk besar berdada bengkak itu ter-
guling ke samping dengan sentakan keras. Kecubung
Manis rasakan kepalanya seperti di sambar dengan se-
bongkah batu sebesar anak kambing. Praakk...!
"Aaahhh...!!" Ia memekik sambil terguling-
guling. Pandangan matanya menjadi berkunang-
kunang, telinganya mengucurkan darah. Ia segera sa-
dar ada yang menerjangnya dengan tendangan keras
bertenaga dalam. Maka dengan kerahkan tenaga pe-
nahan sakit, ia pun segera bangkit dan hadapi si pe-
nerjang tadi. Ternyata Soka Pura dan Nyai Rempah Arum
sudah ada di samping Raka. Tendangan tadi datang-
nya dari Nyai Rempah Arum, musuh bebuyutannya.
"Perempuan liar!" kecam sang Nyai sambil melompat melintasi tubuh Raka dan
kakinya menjejak
kuat ke dada Kecubung Manis yang baru saja ingin


Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri. Bueehk...!
"Ujjkk...!" Kecubung Manis terlempar ke semak-semak. Mulutnya sampai semburkan
darah ketika me-
nerima jejakkan Nyai Rempah Arum.
Rupanya sang Nyai tidak hanya sekedar me-
nyingkirkan tubuh Kecubung Manis dari atas tubuh
Raka tadi, namun berusaha untuk membuat lawannya
tumbang tak berkutik. Karenanya, Nyai Rempah Arum
mengejar Kecubung Manis ke dalam semak-semak dan
menghajar perempuan gemuk bugil itu di sana.
Gusrak, gusrak, gusrak...!
"Aah...! Aoow...! Bangsat kau.. aaah...!" Soka Pura tertawa kecil mendengar
Kecubung Manis dihajar
oleh Nyai Rempah Arum. Kejap berikutnya ia baru sa-
dar kalau kakaknya perlu segera di pulihkan. Melihat
keadaan Raka yang diam tak berkutik sedikit pun, So-
ka yakin sang kakak terkena totokan yang melumpuh-
kan. Maka dengan satu totokan di bawah ketiak Raka,
Soka Pura berhasil lepaskan totokan pelumpuh tadi.
Dees...! "Oooh...!" Raka Pura langsung hembuskan nafas panjang dan bergegas
rapikan pakaiannya.
"Hampir saja aku dimakan gerhana sinting itu!"
ujar Raka Pura yang membuat Soka tertawa cekikikan.
"Kalau dapat rezeki nomplok, bagi-bagilah pa-
daku, Raka...."
Plaaak...! Raka menampar adiknya yang menge-
jeknya. Sang adik terguling ke samping, lalu berdiri
dengan kedua lutut sambil mengusap-usap pipinya
yang kena tampar, tapi ia tidak marah dan justru ter-
tawa semakin geli.
Brus, brus, brus...!
Terdengar langkah menerjang daun-daun se-
mak yang semakin lama semakin menjauh. Disusul
kemudian suara teriakan si Kecubung Manis dl kejau-
han sana yang melontarkan ancaman bagi Nyai Rem-
pah Arum. "Tunggu pembalasanku, Keparat Rempah
Arum! Akan ku kuliti kau di depan murid-
muridmu...!!"
Mendengar suara si Kecubung Manis, Raka Pu-
ra segera menyambar pedangnya yang belum sempat
diselipkan di pinggang, ia segera berlari mengejar ke arah Kecubung Manis.
"Berhenti kau, Kodok Panggang!" seru Raka
yang ingin mengejarnya. Namun langkahnya segera
terhenti karena dihadang oleh Nyai Rempah Arum.
"Tak perlu kau kejar! Dia sudah cukup terluka
oleh pukulan dan tendangan ku! Tak mungkin ia bisa
sembuh dalam waktu tujuh hari."
"Tap! dia hampir saja memperkosaku, Nyai!"'
"Mahkota mu belum tercaplok olehnya, bukan?"
ujar sang Nyai dengan senyum dikulum. Raka Pura
hanya mendengus kesal.
"Raka," ujar adiknya. "Kita teruskan perjalanan kita ke Bukit Maut. Biarkan si
gajah bengkak itu melarikan diri. Yang penting kau belum sempat dinodai.
Kau masih suci, bukan?"
"Tentu saja aku masih perawan!" jawab Raka
dengan konyol karena menahan kejengkelan dalam ha-
tinya. Soka Pura tertawa sedikit terbahak-bahak. Na-
mun tawanya segera dihentikan, karena Raka Pura
memandangnya dengan berang. Soka takut, dan sege-
ra bersikap biasa-biasa saja.
Pakaian si Kecubung Manis yang tertinggal se-
gera dipungut oleh Raka Pura, kemudian mereka ber-
gegas pergi teruskan langkah. Soka Pura sempat aju-
kan tanya kepada kakak kembarnya.
"Mengapa pakaian permaisuri mu kau bawa"
Mau kau jual kepada Darah Kula"!"
"Mau ku buang biar biang kodok itu dipanah
orang dikira babi hutan!" jawab Raka dengan gemas.
Maka ketika mereka melewati tanggul sungai, pakaian
itu di buang oleh Raka ke sungai tersebut. Tindakan
itu membuat Raka dan Nyai Rempah Arum tertawa ge-
li. "Mengapa kau buang ke sungai itu?" ujar sang Nyai. "Justru pakaian itu akan
sampai padanya, karena perguruan si Kecubung Manis ada di tepi sungai
itu." "Hahhh...?" Raka Pura terkejut dan segera pandangi pakaian yang sudah
mengambang jauh terbawa
arus sungai. * * * 6 PERJALANAN malam dilakukan oleh mereka,
karena Raka Pura ingin segera berhadapan dengan Da-
rah Kula, demikian juga halnya dengan Nyai Rempah
Arum yang ingin segera selamatkan murid kesayan-
gannya. Mau tak mau Soka Pura setujui lakukan per-
jalanan malam, karena tak ada pihak lain yang men-
dukung usulnya untuk beristirahat malam. Mereka
hanya berhenti sebentar di sebuah bukit ketika fajar
menyingsing dan matahari pagi menjadi pusat peman-
dangan yang mempesona.
Rupanya bukan hanya pihak Nyai Rempah
Arum dan Pendekar Kembar yang mengincar kematian
Darah Kula, tapi ada pihak lain yang lebih dulu bergerak ke Bukit Maut. Pihak
yang telah lakukan serangan
ke Istana Merah di puncak Bukit Maut sejak pertenga-
han malam itu adalah Lodayu, dari Perguruan Gagak
Putih. Pendekar Kembar sangat kenal dengan Lodayu,
karena mereka pernah saling jumpa dan menjadi ber-
sahabat setelah mengakui kekalahannya dalam men-
gadu kesaktian dengan Pendekar Kembar, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: "Gadis Penyebar Cinta").
Lodayu dan orang-orang Perguruan Gagak Pu-
tih berhasil membakar Istana Merah pada malam men-
jelang fajar. Pertarungan sengit terjadi antara anak
buah Darah Kula dengan orang-orang Perguruan Ga-
gak Putih. Sekalipun Istana Merah tempat berse-
mayamnya si anak Iblis itu telah terbakar, tapi korban yang bergelimpangan di
sekitar Bukit Maut kebanya-kan adalah dari orangnya Lodayu.
Nyai Rempah Arum yang mengetahui bahwa
para korban itu adalah orang Perguruan Gagak Putih,
karena ia mengenali beberapa wajah mereka. Antara
pihak Perguruan Gagak Putih dan pihak Nyai Rempah
Arum menjalin persahabatan yang baik, sehingga me-
reka saling kenal.
Lodayu ditemukan Pendekar Kembar pada saat
pemuda berambut panjang diikat ke belakang itu ter-
guling-guling jatuh dari puncak bukit yang tak sebera-pa tinggi itu. Keadaan
Lodayu sangat menyedihkan.
Wajahnya hancur bagai tercabik-cabik, dada di bawah
tulang pundaknya belong, tembus ke belakang dalam
keadaan luka hangus selebar tutup botol. Perut Lo-
dayu sendiri telah robek, namun ususnya tak sampai
keluar. Ia masih bisa bernapas dan segera sadar bah-
wa tubuhnya dipapah oleh salah satu dari Pendekar
Kembar, dibawa ke suatu tempat, kemudian diobati
dengan jurus Sambung Nyawa'-nya,
Denting suara senjata beradu masih terdengar
di puncak bukit. Ledakan dan dentuman menggelegar
sesekali, membuat tanah di sekitar bukit bergetar. Nyai Rempah Arum berkelebat
lebih dulu ke atas bukit, se-mentara itu Raka Pura menyusul sang Nyai, sedang-
kan Soka masih mengurus Lodayu. "Kau... oh, kau...."
"Ya, aku Soka Pura. Masih ingat aku, Lodayu"!"
"Yaah, aku ingat sekali denganmu, Soka!" Lodayu terengah-engah setelah tubuhnya
memancarkan cahaya ungu dan cahaya itu kini telah redup. Lukanya
menjadi sembuh dan hilang akibat pengobatan yang
dilakukan Soka tadi.
"Untung kau datang, Soka Pura. Orang-
orangku banyak yang tewas di tangan si Darah Kula."
"Mengapa kau menyerang tempat ini?"
"Salah satu murid perguruanku yang masih ga-
dis; Miranti namanya, diculik oleh orangnya Darah Ku-
la.. Guru perintahkan kami untuk menyerang Istana
Merah dan membebaskan Miranti. Tapi... agaknya ka-
mi tak bisa kalahkan kesaktian si Darah Kula."
"Kalau begitu, tetaplah di sini aku dan kakakku
akan segera hancurkan si Darah Kula!"
Soka Pura segera berkelebat naik ke puncak
bukit. Lodayu menunggu kekuatannya pulih, sesaat
kemudian ia menyusul Soka, ikut naik ke atas bukit di mana bangunan megah itu
masih kepulkan asap dan
api yang berkobar.
Rupanya pihak anak buah Darah Kula banyak
yang tumbang, sehingga Darah Kula akhirnya turun
tangan sendiri menghadapi penyerangnya. Ketika Raka
dan Nyai Rempah Arum tiba di tanah datar depan Is-
tana yang terbakar, Darah Kula baru saja habisi nyawa lawannya dengan
menyodokkan jari tangannya yang
mengeluarkan sinar merah lurus dan menghantam ulu
hati lawan hingga tembus ke belakang. "Hentikan ke-biadapan mu, Darah Kula!"
sentak Nyai Rempah Arum yang membuat Darah Kula berpaling menatapnya dengan
tajam. Sang Nyai segera mencabut kipas emasnya
yang beraroma cendana itu. Ia bersiap hadapi seran-
gan lawan dengan kipas tersebut. Tetapi Raka Pura se-
gera maju dan berkata pelan kepada sang Nyai.
"Biar aku yang menghadapinya, Nyai! Jangan
sampai ada korban lagi setelah kemunculan kita ini!
Kau carilah tahu di mana para gadis itu ditawan, lalu bebaskan mereka!"
Wuuuz...! Jleeg...!
Soka Pura tiba di tempat tersebut. Ia berdiri di
samping kakaknya dengan mata memandang tajam ke
arah seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun
itu. Darah Kula adalah lelaki berambut pendek
yang mempunyai wajah pucat namun termasuk tam-
pan. Hidungnya bangir, alisnya tebal, matanya sedikit merah. Sayang sekali ia
mempunyai taring kecil di mulutnya sehingga jika menyeringai tampak menyeram-
kan. Anak iblis itu bertubuh kurus, tinggi, menge-
nakan jubah hitam tepian merah. Jubahnya mempu-
nyai krah yang tegak melebar menutupi tengkuk dan
lehernya. Ketika salah seorang murid Perguruan Gagak
Putih menyerangnya dengan pukulan bersinar dari
arah samping kiri Darah Kula, jubah itu dikelebatkan
menangkis sinar tersebut. Sinar itu pun padam tanpa
letupan sedikit pun. Rupanya jubah hitam si Darah
Kula adalah perisai yang melindungi dirinya dari se-
rangan para pembokong. Jubah itu bukan saja tak
mempan ditembus senjata tajam, namun juga tak bisa
ditembus sinar tenaga dalam.
"Raka...," bisik Pendekar Kembar bungsu. "Pan-cinglah dia agar sibuk hadapi
seranganmu, aku akan
menancapkan bambu ini ke tubuhnya!"
"Hati-hati, Soka!" jawab Raka sambil melebarkan jarak dari adiknya.
Tiba-tiba sekelebat bayangan datang menerjang
Darah Kula dari belakang. Wuuus...! Tapi Darah Kula
sangat gesit. Ia rasakan ada angin yang bergerak cepat ke arahnya. Maka dengan
berkelit ke samping, seseorang yang berusaha menerjangnya itu tak berhasil
kenal tubuhnya. Justru tangan Darah Kula menyentak
ke atas dan orang yang melayang itu terjungkal dalam
keadaan melambung, kemudian jatuh terbanting tepat
di depan Soka Pura. Brruuuk...!
"Bulan Berkabut..."!!" pekik Soka dengan terkejut begitu melihat orang yang
jatuh adalah gadis cantik berambut pendek seperti potongan lelaki. Gadis itu
adalah murid Resi Bayakumba yang sempat membuat
hati Soka terpikat dan terjerat. Namun kala itu, ia segera dipisahkan dari Bulan
Berkabut oleh sang Resi
sendiri, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Pemburu Mahkota Dara").
Bulan Berkabut cepat bangkit walau harus me-
nahan rasa sakit.
"Terlalu lama aku menunggumu di sekitar bukit
ini, Soka!"
"Menyingkirlah, Bulan! Akan kuhadapi si pen-
gisap darah perawan itu!"
"Bagaimana dengan para gadis yang ditawan-
nya di ruang bawah tanah, di bawah istana itu"!"
"Ooh..."!" Nyai Rempah Arum terkejut mendengar ucapan Bulan Berkabut. Sementara
itu, Raka Pura sudah lakukan serangan, membuat Darah Kula sibuk
menghadapinya, tapi Soka masih bicara dengan Bulan
Berkabut. Nyai Rempah Arum segera dekati Soka.
"Apa benar mereka di bawah istana yang se-
dang terbakar itu"!"
Soka Pura segera memandang Bulan Berkabut,
karena Bulan Berkabut yang mengetahui hal itu, ia tak bisa menjawab pertanyaan
Nyai Rempah Arum. Dan
saat itu Bulan Berkabut langsung menjawab dengan
suara pelan, karena harus menahan rasa sakit akibat
pukulan Darah Kula tadi.
"Aku memata-matai tempat ini, sesuai perintah
Guru. Aku nyaris tertangkap ketika mengetahui bahwa
mereka ditawan di ruang bawah tanah. Untung segera
datang penyerangan di tengah malam, sehingga aku
bisa lolos kembali!"
"Kalau begitu tunjukkan padaku di mana tem-
pat mereka tertawan!" ujar Nyai Rempah Arum.
"Bulan, bantu Nyai Rempah Arum untuk be-
baskan mereka! Aku dan Raka akan hadapi si lintah
darat itu."
"Lintah darat..."!" gumam Bulan Berkabut.
"Si pengisap darah perawan itu maksudku!"
Kedua perempuan beda usia itu segera pergi.
Sementara itu, Darah Kula benar-benar dibuat sibuk
oleh Raka dengan tebasan pedang kristalnya. Sehingga
ia tampak hati-hati sekali menghadapi pedang terse-
but. Kejap berikut, Darah Kula tiba-tiba lenyap dari pandangan mata. Raka
kebingungan, Soka Pura pun


Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari di mana si jubah hitam itu berada. Namun ia
segera terkejut, karena tiba-tiba Raka Pura memekik
sambil terpental.
"Aaahk...!!"
"Rakaa..."!" Soka berseru tegang, karena kakaknya melambung di udara dengan
mengucurkan da-
rah dari hidung dan telinga. Dada sang kakak tampak
berasap, seperti habis terkena tendangan bertenaga
dalam tinggi, Tapi Darah Kula masih belum kelihatan
walau matahari pagi mulai meninggi.
"Aaahk...!" Raka Pura memekik lagi, tubuhnya yang berusaha bangkit itu terlempar
kembali dengan pipi kanan luka cakar cukup lebar.
"Keparat! Rupanya Darah Kula mempunyai il-
mu seperti si Dedengkot Iblis!" geram Soka Pura dalam hatinya. Maka pedang
kristal segera dicabut dan ia
melambung ke atas tanpa tujuan. Wuuut...!
Pada saat ia melambung, ia dapat melihat Da-
rah Kula sedang hampiri Raka Pura yang terkapar di
tanah. "Oh, benar juga dugaanku. Kakiku tak boleh menyentuh tanah jika ingin
melihat di mana dia berada! Hmmmmm... rupanya rahasia Dedengkot Iblis
punya kesamaan dengan rahasia si Darah Kula."
Soka pun segera sentakkan kakinya kembali ke
arah Raka berada. Wuuuzz...! Dalam gerakan bersalto
ia sempat melihat Darah Kula ingin sabetkan tangan-
nya yang berkuku tajam itu ke wajah Raka Pura yang
berusaha bangkit lagi.
Sebelum tangan Darah Kula berkelebat, tubuh
Soka telah meluncur mendekati Darah Kula dan pe-
dangnya disabetkan dalam jarak sekitar dua langkah.
Wess...! Craass...!
"Aaow...! Jahanam kau...!"
"O, maaf. Aku tak sengaja menyabet pundak-
mu, Kawan. Tujuanku menyabet lehermu!" ucap Soka Pura sengaja bercanda agar
hatinya tak menyimpan
kemarahan dan benci. Karena ia khawatir Darah Kula
juga tak bisa dilukai jika hatinya diliputi kemarahan dan kebencian.
Soka Pura yang kini berani menapak di tanah
itu masih tetap bisa melihat Darah Kula sibuk atasi
lukanya. Sabetan Pedang Tangan Malaikat membuat
Darah Kula tak bisa menghilang lagi, seperti yang di-
alami oleh Dedengkot iblis.
Bahkan Darah Kula pun dapat menutup lu-
kanya menjadi seperti semula, persis seperti yang dilakukan oleh Dedengkot
Iblis. Barangkali karena De-
dengkot Iblis adalah muridnya Raja Iblis, ayah Darah
Kula, maka ilmunya tak jauh berbeda dengan si pengi-
sap darah perawan itu.
"Bangkai busuk! Ku hancurkan kau sekarang
juga, heeaaah...!!" Darah Kula berteriak keras memekakkan telinga. Tangannya
mulai memancarkan ca-
haya biru yang ingin dilepaskan ke arah Soka. Tapi
Raka Pura berhasil berlutut, lalu sentakkan tangannya ke depan dan seberkas
sinar putih seperti pisau runcing melesat menghantam punggung Darah Kula.
Duuubs...! Sinar itu redup tanpa ledakan apa
pun kecuali kepulan asap. Tubuh Darah Kula tak ter-
luka, jubahnya berhasil menahan sinar dari jurus
'Cakar Matahari'-nya Raka Pura. Tapi tubuh itu tersentak maju satu langkah,
sehingga Darah Kula sadar ada
yang menyerangnya dari belakang. Ia segera berbalik
dan kibaskan tangannya. Claaap...! Sinar biru melesat menghantam Raka, namun
Pendekar Kembar sulung
itu segera berguling ke samping hingga lolos dari maut di ujung sinar biru
tersebut. Pada saat Darah Kula mengibaskan tangan
dengan tubuh berputar ke arah Raka, Soka pun guna-
kan kesempatan untuk melompat secepatnya.
Wuuuz...! Ia berhasil melayang di atas kepala Darah
Kula. Pedang di tangan kiri segera di pindah ke tangan kanan, lalu tangan kiri
itu mencabut Bambu Gading
Mandul. Bambu itu segera ditancapkan di kepala Da-
rah Kula dalam gerakan bersalto. Jruuubs...!
"Aaaaaaa...!!"
Darah Kula memekik keras-keras. Bambu se-
panjang dua jengkal itu tertancap tepat di ubun-
ubunnya. Bambu itu berasap dan menyemburkan api.
Secara ajaib tubuh Darah Kula segera terbungkus api,
hingga ia berguling-guling sambil meraung histeris. Api itu tak dapat
dipadamkan, sampai akhirnya Darah Ku-la tak bernyawa lagi dan terbujur kaku
menjadi arang hitam. Suara jeritan Darah Kula menjadi pusat perha-
tian orang-orang yang ada di sekitar tempat itu, termasuk anak buahnya sendiri
dan murid-murid Perguruan
Gagak Putih yang belum tewas. Para pengikut Darah
Kula melarikan diri begitu melihat Darah Kula menjadi arang. Mereka dikejar oleh
murid-murid Perguruan
Gagak Putih. Lodayu ikut mengejar, karena ia segera melihat
beberapa gadis keluar dari istana yang terbakar sambil berjeritan. Rupanya Nyai
Rempah Arum dan Bulan
Berkabut berhasil bebaskan mereka. Lodayu menjadi
lega, karena Miranti belum menjadi korban, seperti
halnya si Merak Jelita yang masih belum terjamah oleh tangan Darah Kula.
Matahari makin meninggi. Mereka yang terluka
segera diobati oleh Soka Pura, termasuk kakaknya
sendiri. Tapi Raka segera berlari tinggalkan tempat itu setelah Soka Pura
menggenggam tangan Bulan Berkabut dengan senyum mesra.
"Hei, mau ke mana kau, Raka..."!" seru sang adik. "Selesaikan urusan dengan
Kecubung Manis!"
jawab Raka, tapi sang adik tertawa mencibir.
"Tak mungkin ia ke sana. Pasti mau menemui
Kirana!" "Siapa Kirana itu?" tanya Bulan Berkabut.
"Entahlah, aku tak tahu apakah Raka mau ja-
dikan gadis itu kekasihnya atau sekadar sahabat, yang jelas... dia pernah
menaruh cemburu padaku," jawab Soka Pura, membuat Bulan Berkabut tersenyum. Lalu
keduanya melangkah menemui Nyai Rempah Arum
yang sedang bergabung dengan Merak Jelita, Lodayu,
Miranti, dan gadis-gadis tawanan yang darahnya be-
lum terisap oleh si anak iblis itu.
SELESAI Segera terbit: TANTANGAN MESRA
E-Book by Abu Keisel Terima kasih untuk sobat culan ode
atas bantuannya melengkapi hala-
man yang hilang!!
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Tangan Rembulan 1 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Kaki Tiga Menjangan 12
^