Pencarian

Tantangan Mesra 1

Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra Bagian 1


1 TERHITUNG cukup lama kedua pemuda kem-
bar yang dikenal sebagai Pendekar Kembar dari Gu-
nung Merana itu saling berpisah. Sejak selesaikan pertarungan di Bukit Maut
melawan si pengisap darah pe-
rawan; Darah Kula, Raka dan Soka saling berpisah.
Raka Pura menuju ke Perguruan Tapak Syiwa
untuk temui Kirana. Hatinya sempat berbunga-bunga
indah terhadap gadis berlesung pipit dan bergigi gingsul itu. Raka Pura ingin
menyajikan hati yang berbun-
ga-bunga itu kepada Kirana, sebab itulah ia tinggalkan adik kembarnya di Bukit
Maut, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis").
Soka Pura sendiri tak merasa sepi walau tanpa
kakaknya, karena ia didampingi oleh Bulan Berkabut,
murid Resi Bayakumba. Gadis itu benar-benar mem-
buat hati Soka Pura bergetar, bahkan merasa ingin se-
lalu berada di samping Bulan Berkabut. Oleh kare-
nanya, setelah selesai tumbangkan si Darah Kula, So-
ka pun pergi ke Lembah Semangit bersama Bulan Ber-
kabut. Ia tinggal di pondok Resi Bayakumba menikma-
ti kedamaian hatinya bersama Bulan Berkabut selama
delapan hari. Rasa rindu kepada sang kakak kembar mem-
buat Soka Pura terpaksa pamit kepada Resi Bayakum-
ba untuk pergi ke kaki Gunung Mercapada.
"Aku harus menjemput Raka ke sana, Eyang
Resi. Aku takut Raka lupa daratan kalau sudah dibuai
mesra oleh Kirana."
Resi Bayakumba tertawa pendek dan pelan.
"Semenarik itukah Kirana, murid sahabatku
itu, bagi Raka Pura?"
"Entahlah, Eyang. Setahuku Raka tak pernah
jatuh cinta. Apakah kali ini ia akan jatuh cinta atau jatuh dari pohon kelapa,
itu aku tak dapat memastikan,
Eyang." "Jika memang itu hal yang baik menurutmu, susullah kakakmu dan sampaikan
salamku kepada si
Mulut Guntur."
"Baik, Eyang Resi."
"Sebaiknya jangan lupa pamitlah kepada Bulan
Berkabut. Jangan sampai ia menjadi sedih karena ke-
pergianmu. Berilah pengertian sebaik mungkin."
"Baik, Eyang. Jika begitu, sekarang pun akan
kutemui Bulan Berkabut dan...."
"Jangan sekarang!" sergah sang Resi.
"Mengapa tidak boleh sekarang, Eyang?"
"Anak itu sedang mandi. Kalau kau temui seka-
rang, bisa kacau nanti...," sambil sang Resi tersenyum lebar, dan Soka Pura
tersipu-sipu. Ketika matahari mulai merayapi langit menuju
ke pertengahannya, pemuda tampan dan bertubuh ke-
kar serta selalu tampak gagah itu akhirnya meninggal-
kan Lembah Semangit. Tentu saja hal itu dilakukan
setelah ia pamit kepada Bulan Berkabut. Pada mu-
lanya memang Bulan Berkabut merasa keberatan,
bahkan ia ingin ikut ke padepokannya si Mulut Gun-
tur. Tetapi mengingat perjalanan itu cukup jauh, Soka Pura tak bersedia membawa
Bulan Berkabut ke sana.
"Perjalanan ini hanya akan melelahkan bagimu,
Bulan!" "Selama bersamamu, ke ujung dunia pun aku
tak merasa lelah, Soka," ujar Bulan Berkabut sambil merapikan pakaian Soka yang
terdiri dari baju buntung warna putih, celana warna putih, dan ikat ping-
gang dari kain merah. Kain merah itu dipakai untuk
menyelipkan sebilah pedang kristal yang bernama Pe-
dang Tangan Malaikat.
"Itu hanya sebuah kiasan hati, Bulan! Pada ke-
nyataannya walau kau bersamaku, kalau harus berja-
lan sampai ke ujung dunia tetap akan gempor. Aku
pun juga akan gempor!" sambil Soka Pura tertawa, dan si gadis lepaskan tawa
kecil yang menyejukkan hati
Soka. "Mengapa kau keberatan jika aku ikut denganmu, Soka?"
"Karena aku tak ingin kau capek, Bulan. Jika
kau capek, lalu kau sakit, maka aku akan sedih. Jadi
sebaiknya biarlah aku yang menjemput Raka. Ia akan
kubawa kemari dan kita akan bersama-sama menik-
mati ulang tahun mu nanti, Bulan."
"Hah..." Ulang tahun ku" Oh, aku tak pernah
berulang tahun, Soka. Sebab aku tak tahu kapan aku
lahir." "O, kalau begitu... kalau begitu... ulang tahun ku saja yang akan kita
nikmati bersama-sama," ujar Soka Pura mengalihkan rasa malunya akibat kecele. Ia
jadi tertawa geli sendiri. Tawa itu menghibur hati Bulan Berkabut, sehingga si
gadis akhirnya mengizinkan
Soka pergi menjemput kakaknya.
"Baiklah. Pergi dan jemputlah kakakmu. Tapi
jangan lama-lama, Soka. Aku akan menderita jika kau
pergi terlalu lama."
"Tidak, Bulan! Aku pergi tak sampai sebulan,"
kata Soka masih dengan nada-nada kelakar. Senyum-
nya mengembang lepas bersama tawa yang mirip gu-
mam itu. Soka Pura akhirnya menempelkan bibirnya ke
kening Bulan Berkabut, setelah si gadis sedikit men-
dongak dan memejamkan matanya. Kecupan lembut
itu terasa menghangat sampai di dasar hati Bulan
Berkabut. Ia mulai merapatkan tubuh.
Soka Pura segera memeluk, kemudian kecu-
pannya merayap hingga mencapai bibir si gadis. Bibir
itu dikecupnya pelan-pelan, seakan benar-benar dire-
sapi setiap sentuhannya. Tapi si gadis membalas den-
gan lumatan yang sedikit nakal namun menghadirkan
sejuta keindahan bagi Soka Pura.
"Ingat, Jangan berpindah ke lain hati," ujar Bulan Berkabut sambil menjentikkan
jarinya ke bibir So-
ka dengan lembut. "Bibir ini jangan berikan kepada gadis mana pun!"
"Tidak, Bulan. Kau tak perlu khawatir, aku ti-
dak akan berikan bibir ini kepada gadis mana pun, ke-
cuali kepepet...."
"Iiih...!" Bulan Berkabut cemberut, dan Soka Pura tertawa lepas. Lalu
direngkuhnya gadis itu dalam pelukan yang mendalam.
"Aku hanya bercanda, Bulan. Aku senang jika
melihat kau cemberut begitu. ini akan membuatku se-
lalu merindukan dirimu dan tak akan betah mening-
galkan mu terlalu lama."
Si gadis akhirnya tertawa di sela cemberutnya.
Cubitan mesra diberikan oleh Bulan Berkabut di dada
Soka Pura yang bidang itu.
Seiring dengan lambaian tangan seperti dalam
dongeng klasik, Soka Pura pun melangkah tinggalkan
pondok sang Resi, sementara Bulan Berkabut meman-
danginya dari depan pondok dengan kedua mata ber-
kaca-kaca. Hati keduanya saling terharu, lambaian
tangan pun menjadi lama. Karena lamanya melambai-
kan tangan sambil melangkah, akhirnya Soka Pura ja-
tuh terjerembab karena kakinya menyandung batu.
Brrruk...! "Soka...!" pekik Bulan Berkabut sepintas, setelah itu ia justru menertawakan
pemuda tampan yang
juga tertawa geli sendiri sambil teruskan langkah.
Wuuuz...! Akhirnya Soka pun gunakan jurus 'Jalur
Badai'-nya untuk percepat langkah menuju kaki Gu-
nung Mercapada.
Bayang-bayang wajah Bulan Berkabut yang be-
rambut cepak seperti potongan rambut lelaki itu beru-
saha dihapus dari pelupuk mata Soka Pura. Ternyata
bayang-bayang itu tak bisa hilang begitu saja. Akhir-
nya Soka hanya bisa menyimpan bayang-bayang wajah
Bulan Berkabut di dasar ingatannya. Sewaktu-waktu
ia akan mengenangnya sebagai obat kerinduan jika
sampai sang kerinduan itu datang menghampirinya.
Sepanjang perjalanan itu, Soka Pura alias si
Pendekar Kembar bungsu, diliputi pertanyaan batin
yang belum pernah ada jawaban pastinya. Pertanyaan
batin selalu ditujukan pada dirinya sendiri, sehingga Soka sering merasa dibuat
bingung oleh sang diri sendiri itu. "Benarkah aku mencintai Bulan Berkabut"! Ra-
sa ingin selalu berdekatan dengannya memang selalu
menggebu-gebu dalam hatiku, tapi apakah itu na-
manya jatuh cinta?"
Soka pun berpikir, "Alangkah hebatnya gadis
itu jika benar-benar bisa membuatku jatuh cinta pa-
danya. Selama ini aku tak pernah merasakan jatuh
cinta yang benar-benar tulus kepada siapa pun. Aku
hanya merasa senang dan bahagia jika bisa bersama
seorang gadis dalam kemesraan. Tapi Bulan Berkabut
itu... oh, dia sepertinya membuatku senang bukan
hanya karena kemesraan saja, melainkan seperti me-
rupakan suatu kebutuhan bagi jiwaku untuk selalu
ada di sampingnya. Apakah benar jiwaku menuntut
hal demikian"!"
Soka Pura merasa aneh dengan jiwanya sendiri.
Sebab ia memang belum pernah mempunyai rasa se-
perti itu, ia pun menjadi sangsi pada tuntutan batinnya.
"Jangan-jangan hanya semusim saja?" pikirnya di sela keraguan hati.
Langkah dan lamunan itu terhenti seketika, ka-
rena tiba-tiba Soka Pura mendengar suara ledakan di
sebelah kirinya. Suara ledakan itu datang dari balik
gugusan tanah cadas yang membukit. Soka merasa
yakin bahwa ledakan itu timbul karena suatu perta-
rungan. Khawatir kalau yang bertarung adalah kakak-
nya, maka Soka pun segera mengintip pertarungan
tersebut dari celah-celah pepohonan hutan rindang.
Ternyata pertarungan itu dilakukan oleh seo-
rang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun yang
melawan seorang lelaki berusia sekitar empat puluh
tahun. Si gadis mengenakan jubah biru tipis tanpa
lengan, pakaian dalamnya berwarna kuning gading. Ia
menyandang sebilah pedang di punggungnya. Gadis
itu berambut pendek setengkuk, lurus, dan lembut,
dengan bagian depan diponi rata menutupi keningnya.
Sementara lawannya yang berkumis lebat itu
mengenakan pakaian serba coklat dengan kalung tali
hitam berbandul kayu putih berbentuk tengkorak.
Orang itu tampak ganas, karena wajahnya pun seang-
ker kuburan keramat. Alisnya tebal, matanya lebar.
Tubuhnya besar dan gempal, tampak berotot. Ia men-
genakan sabuk hitam yang dipakai untuk selipkan go-
lok besar. Gerakannya sangat cepat, berkesan ganas dan
membabi buta. Tampaknya pertarungan itu benar-benar mem-
pertaruhkan nyawa. Sang gadis tak segan-segan men-
cabut pedangnya setelah gagal menghantam lawannya
dengan pukulan jarak jauh maupun jarak pendek. Le-
laki yang berambut botak tengah itu juga segera men-
cabut goloknya. Ia bagai tak mau dilukai lebih dulu.
Dengan langkah menyamping pelan-pelan, mereka sal-
ing bergerak memutar, memandang sama tajamnya,
seakan mencari kelengahan lawan.
Dalam sekejap tertentu, mereka sama-sama
hentikan langkah dan saling pasang jurus siap serang.
Terdengar si lelaki berseru dengan suaranya yang be-
sar. "Kali ini kau akan mati di tanganku, Nilawesti!
Cukup lama aku mengharapkan ajalmu tiba secepat
mungkin." "Aku pun sudah sediakan liang kubur untuk-
mu, Jurik Tunggon! Bersiaplah menuju ke tempatmu
yang baru!"
Soka Pura membatin dari persembunyiannya,
"O, rupanya gadis itu bernama Nilawesti dan lawannya adalah si Jurik Tunggon.
Agaknya mereka sudah cukup lama saling memendam permusuhan, sehingga
pertarungan kali ini diharapkan menjadi pertarungan
terakhir."
Memang begitulah harapan Jurik Tunggon dan
Nilawesti. Mereka inginkan salah satu ada yang mati
dalam pertarungan tersebut, karena mereka sama-
sama telah merasa bosan saling bermusuhan. Dua ta-
hun lamanya mereka saling bermusuhan karena den-
dam leluhur mereka, tapi tak satu pun ada yang tum-
bang dalam setiap pertemuan. Padahal setiap mereka
bertemu selalu saja terjadi pertarungan.
Agaknya kali ini Nilawesti benar-benar kerah-
kan segenap ilmunya untuk tumbangkan si Jurik
Tunggon. Gadis itu menebas-nebaskan pedangnya
dengan kecepatan tinggi pada saat Jurik Tunggon me-
nyerang dengan satu terjangan melayang. Wuuus...!
Golok pun membabat leher Nilawesti dengan cepat.
Namun tertangkis oleh tebasan pedang yang tak kalah
cepatnya itu. Trang, trang...!
Jurik Tunggon sentakkan kakinya ketika pe-
dang Nilawesti menahan sabetan goloknya. Wees...!
Tapi tangan kiri Nilawesti menyentak ke samping dan
kenai mata kaki Jurik Tunggon. Dees...! Kruuk...!
"AOOW...!" Jurik Tunggon memekik kesakitan.
Tulang mata kakinya bagaikan pecah. Sodokan tangan
kiri si gadis ternyata mengandung kekuatan tenaga da-
lam cukup besar. Pangkal telapak tangan itu bagaikan
berubah menjadi besi baja yang dihantamkan ke tu-
lang mata kaki.
Jurik Tunggon terhempas dan jatuh terduduk.
Nilawesti sabetkan pedangnya dari atas ke bawah,
arahnya ke kepala Jurik Tunggon. Tapi golok lelaki itu segera melintang di atas
kepala. Pedang Nilawesti beradu dengan golok lebar lagi. Traaang...!
Saat pedang beradu, golok diputar satu kali
dengan sentakan kuat. Akibatnya pedang Nilawesti ter-
lempar ke bagian belakang Jurik Tunggon. Sraaang...
weesss...! Melihat gadis itu tak berpedang lagi, Jurik


Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tunggon segera membabat kaki si gadis dari kanan ke
kiri. Wes, wuuut...! Si gadis lompat ke atas tinggi-
tinggi, sehingga tebasan golok itu luput dari kakinya.
Tapi ketika Nilawesti melambung di udara, Ju-
rik Tunggon cepat-cepat sentakkan tangan kirinya da-
lam posisi setengah terbaring. Wuuut...! Claaap...! Sinar merah lurus sebesar
tongkat melesat dari telapak
tangannya dan mengenai bawah leher si gadis.
Zuuubs...! "Aaah...!" Nilawesti terpekik dengan kepala ter-dongak mata terpejam dan mulut
menyeringai kesaki-
tan. Tubuhnya terlempar dan melayang-layang hingga
jatuh terbanting sejauh enam langkah dari tempat se-
mula. Bruuukk...!
Di Sana Nilawesti mengerang sesaat sambil be-
rusaha bangkit, namun terjatuh kembali. Bagian ba-
wah leher menjadi hitam hangus dan berasap tipis.
Jurik Tunggon merasa dapat angin begitu meli-
hat lawannya terluka. Walau kaki masih sakit, ia pak-
sakan untuk bangkit dan kerahkan tenaga untuk la-
kukan lompatan melayang. Goloknya siap ditebaskan
ke arah kepala Nilawesti.
"Modar kau sekarang! Heeeeaaahhh...!"
"Aku menyerah...!" seru Nilawesti, tapi seruan itu tak dihiraukan oleh Jurik
Tunggon. Melihat keadaan seperti itu, Soka Pura segera lepaskan jurus
'Tangan Batu'-nya beberapa kali. Kedua tangannya
menggenggam dan disodokkan ke depan beberapa kali.
Maka tenaga dalam yang keluar dari kedua genggaman
tangan itu melesat dan menghantam tubuh si Jurik
Tunggon. Buuhk, buuuhk, buuhk...!
"Aaaaa...!!"
Jurik Tunggon meraung panjang sambil tubuh-
nya melayang ke belakang cukup jauh. Akhirnya tu-
buh itu membentur pohon. Bruuuss...! Ia jatuh terku-
lai dengan napas tersentak-sentak dalam jarak lebih
dari sepuluh langkah dari tempatnya melompat tadi.
"Sudah menyerah masih mau diserang terus"!"
gerutu hati Soka ketika itu.
Nilawesti sadar, ada orang yang membantunya.
Tapi ia tak bisa berpaling ke belakang, tak bisa menca-ri di mana orang yang
membantunya, karena luka ba-
kar di bawah lehernya kian melebar. Nilawesti menjadi semakin lemah, nafasnya
pun tersengal-sengal dengan
tubuh menyentak-nyentak kecil.
"Gawat! Gadis itu mulai sekarat!" pikir Soka, maka ia segera berkelebat cepat
bagaikan badai lewat.
Wuuzz...! Jurus 'Jalur Badai' dipakai untuk
menyambar tubuh Nilawesti dan dibawa lari dari tem-
pat tersebut. Wuuut. WUUZ...!
* * * 2 SEBUAH gubuk kosong dan reot ditemukan di
hutan pantai. Debur ombak terdengar dari gubuk ko-
song itu. Bahkan gulungan ombak tampak samar-
samar dari depan gubuk reot tersebut.
Soka Pura membawa Nilawesti ke gubuk itu.
Setelah meletakkan tubuh Nilawesti ke lantai gubuk
yang ditumbuhi rumput pendek itu, Soka memeriksa
keadaan sekeliling dengan teliti. Ternyata tempat itu cukup aman, sepi dan tak
ada hal-hal yang mencuri-gakan. Rupanya gubuk itu bekas persinggahan seseo-
rang, mungkin seorang kelana, yang sudah cukup la-
ma di tinggalkan.
Keadaan Nilawesti yang sekarat itu segera di-
tangani oleh Pendekar Kembar bungsu. Jurus pengo-
batan 'Sambung Nyawa' digunakan. Dengan menem-
pelkan telapak tangan ke perut Nilawesti yang tersingkap dari kain penutupnya,
tubuh Nilawesti segera
memancarkan cahaya ungu, seperti besi membara,
hanya bedanya warna cahayanya bukan merah me-
lainkan ungu. Hawa murni dan tenaga inti gaib yang disalur-
kan ke dalam tubuh Nilawesti membuat luka di bawah
leher yang menghitam itu mulai berwarna suram. Ma-
kin lama warna suram itu menjadi terang dan akhirnya
berubah seperti warna kulit aslinya. Bagian bawah
leher itu seperti tak pernah terkena luka bakar sedikit pun. Kepucatan wajah
Nilawesti pun mulai pudar.
Ketika cahaya ungu itu redup, wajah Nilawesti kembali tampak segar. Rasa sakit
yang dideritanya sirna sama
sekali. Nafasnya kembali lancar, dan Nilawesti peroleh kesadarannya kembali.
Ia terkejut menyadari keadaan dirinya sudah
tergeletak di dalam rumah gubuk kotor itu. Lebih ter-
kejut lagi setelah ia melihat seraut wajah tampan be-
rambut sepundak tanpa ikat kepala. Ia merasa asing
dengan wajah tampan berdada bidang itu. Ia buru-
buru bangkit, dan semakin heran lagi setelah rasakan
tubuhnya menjadi segar, lebih segar dari sebelumnya.
Soka Pura sengaja diam di luar gubuk. Ia berdi-
ri bersandar pada pohon memperhatikan ke arah Nila-
westi dengan senyum lembut mempesona hati setiap
gadis. "Kaukah yang telah menyelamatkan nyawaku"!"
"Mungkin," jawab Soka Pura dengan pundak
tersentak pelan, tangan yang bersidekap dilepaskan,
lalu ia melangkah ke satu sisi dan memandang ke arah
pantai. Sok jual mahal.
Nilawesti mendekat, pandangi Soka dengan da-
hi sedikit berkerut.
Hati si gadis pun membatin, "Satria dari mana
dia" Begitu gagah dan tampan, sampai hatiku deg-
degan memandanginya. Rasa-rasanya aku seperti
mimpi masuk ke negeri dongeng bertemu dengan pe-
muda setampan ini. Seingatku aku tadi terluka oleh
pukulan si Jurik Tunggon, dan aku tahu pukulan itu
adalah jurus mautnya si Jurik Tunggon yang selama
ini berhasil ku hindari, tapi tadi sempat kenai dadaku.
hanya saja, mengapa luka ini bisa hilang sama sekali, bahkan tak tersisa seujung
jarum pun" Apakah dia
yang mengobatinya"! Sesakti itukah dia" Ah, rasa-
rasanya tak mungkin. Barangkali guru si pemuda ini
yang mengobati ku."
Maka Nilawesti pun mengungkapkan rasa ingin
tahunya dengan sebuah pertanyaan bersuara pelan,
bernada ragu-ragu.
"Kau yang mengobati lukaku ini?"
Soka Pura hanya melirik masih sok angkuh.
Senyumnya tipis sekali, seperti senyum seorang pange-
ran yang tak mau diobral di depan sembarang orang.
"Kalau memang aku yang sembuhkan lukamu,
kenapa" Kau tak percaya?"
"Hmm, eeh... percaya saja," jawab Nilawesti agak gugup. "Aku hanya ingin
mengucapkan terima
kasih dan....' "Dan kasih mu kuterima," Jawab Soka Pura
memotong cepat. Gadis itu menjadi geragapan sekejap,
karena jawaban Soka tak ada hubungannya dengan
apa yang diucapkan tadi. Ia ingin membantah tapi me-
rasa kikuk dan canggung.
"Mengapa kau menyelamatkan nyawaku dari
pertarungan?" tanya si gadis menutupi rasa gelisah-nya. "Kudengar tadi kau sudah
menyerah, tapi si Jurik Tunggon tetap menyerangnya. itu tidak adil.
Maka ku singkirkan dia dan kuselamatkan dirimu. Ke-
lak kau bisa bertarung lagi dengannya, membalas ke-
kalahanmu tadi. itu pun kalau si Jurik Tunggon masih
hidup." "Apakah kau punya dugaan kalau dia tewas?"
"Bisa saja. Walau aku hanya menyingkirkannya
dengan jurus tak mematikan, tapi jika ia jatuh tertancap tonggak bambu, tentu
saja dia bisa tewas."
Nilawesti diam merenung, tapi kecamuk batin-
nya tidak bicara tentang ucapan Soka tadi. Kecamuk
batinnya bicara tentang gaya bicara Soka yang see-
naknya. Ia merasa suka dengan gaya bicara seenaknya
yang sedikit konyol itu.
"Kau kenal dengan Jurik Tunggon?" tanya si
gadis memecah kebisuan mereka.
"Aku hanya tahu namanya pada saat kau bica-
ra dengannya tadi. Aku juga tahu namamu: Nilawesti,
dari suara si Jurik Tunggon saat mengancam mu. Ja-
di, sebenarnya aku tak kenal dia dan mengenalmu.
Maka sebaiknya sekarang perkenalkan dirimu. Siapa
namamu, Nilawesti"!"
Gadis itu sunggingkan senyum kecil berkesan
geli. "Kau sudah tahu namaku, tapi aku belum tahu namamu."
Kini Soka perlebar senyum dengan posisi berdi-
ri menghadap total ke arah gadis cantik berbibir meng-gemaskan itu.
"Namaku.... Soka Pura. Pernah dengar nama
itu?" Nilawesti gelengkan kepala.
"Kalau begitu sekarang dengarlah baik-baik,
mumpung tak ada orang di sini." Soka agak mendekat dan berbisik, "Namaku....
Soka Pura!"
"Iya, aku dengar!" sentak si gadis dengan cemberut, namun mengulum senyum. Hal
itu membuat mereka menjadi bertambah akrab lagi.
Soka Pura sengaja melangkah ke pantai. Ia in-
gin menikmati pemandangan pantai lebih luas, semen-
tara si gadis mengikutinya dari samping, karena Soka
ajukan beberapa pertanyaan sehubungan dengan se-
suatu yang ditemukan di pinggang belakang si gadis.
Pada saat Soka membawa gadis itu dalam keadaan ter-
luka, ia sempat memegang pinggang belakang. Terasa
ada sesuatu yang mengganjal di pinggang belakang Ni-
lawesti. Soka sempat memeriksanya sebentar, ternyata
sebuah kitab kecil yang diselipkan di pinggang bela-
kang di balik jubah birunya.
"Kau membawa sebuah kitab pusaka, Nilawes-
ti?" "Hmm, ya...!" jawab Nilawesti sambil memeriksa kitab itu dengan memegangnya. Ia
merasa lega karena
kitab itu masih mengganjal di pinggang belakang.
"Apakah kitab itu yang diinginkan oleh si Jurik
Tunggon?" "Bukan. Jurik Tunggon adalah musuh bebuyu-
tan ku. Leluhur ku bermusuhan dengan leluhurnya,
sampai pada keturunan kami ini. Dulu kakekku ber-
hasil membunuh kakeknya, tapi ayahku berhasil di-
bunuh oleh pamannya. Begitu seterusnya, dan kini ia
keturunan terakhir dari leluhurnya yang berusaha un-
tuk membantai habis keturunan leluhur ku."
"Ooo... jadi dendam leluhur mengalir dalam da-
rah daging kalian"!"
"Setiap kali aku bertemu dengannya selalu la-
kukan pertarungan."
"Kalian tak merasa jemu bertarung terus?"
Nilawesti hanya tersenyum tipis. Soka pun me-
rasa tak membutuhkan jawaban, karenanya ia segera
menggumam dan geleng-geleng kepala. Langkah pun
berhenti ketika kaki mereka menginjak pasir pantai.
"Ada yang ingin kau tanyakan lagi tentang diri-
ku?" ujar si gadis. Soka. Pura berpaling memandangnya dengan senyum menawan.
Kecantikan si gadis
yang berdada sekal diperhatikan baik-baik.
"Jika tak ada yang kutanyakan lagi, bagaima-
na?" "Aku akan lanjutkan perjalananku mengantar kitab pusaka ini!"
"Ke mana kau akan pergi?"
"Menemui paman ku di Sungai Berang."
Soka Pura berkerut dahi. "Jauhkah Sungai Be-
rang itu"!"
"Lumayan," jawab Nilawesti. "Arahnya ke tenggara." "O, kalau begitu sama dengan
arah yang ku tu-ju. Aku juga ke arah tenggara. Sebenarnya dari tempat tadi aku
harus ke selatan agak serong ke tenggara agar cepat mencapai Gunung Mercapada,
tapi...." "Kau ingin ke Gunung Mercapada"!"
"Hmmm..., ya. Di kaki gunung itu ada padepo-
kan, dan aku akan menuju ke sana. Kalau begitu kita
bersama-sama saja menuju ke tenggara. Akan kuantar
kau sampai di Sungai Berang. Kau keberatan?"
"Kurasa tidak," jawab si gadis sambil tersenyum ceria. "Paman ku pasti akan
senang jika berkenalan denganmu, terlebih jika kuceritakan kau telah menjadi
penyelamat ku."
"Benarkah begitu"!" Soka tersenyum bangga.
"Tapi sebelumnya aku harus kembali ke tem-
patku bertarung tadi."
"Mengapa harus ke sana?"
"Pedangku jatuh di sana! Aku harus menemu-
kannya kembali, karena pedang itu warisan dari men-
diang ibuku!"
Soka Pura merasa tak keberatan, dan mereka
melangkah kembali ke arah pertarungan tadi.
"Ibumu sudah tiada, Nilawesti?"
"Ya. Semua keluargaku telah tiada. Aku hanya
tinggal mempunyai seorang paman dan seorang Guru
yang kuanggap orangtua ku sendiri."
"Siapa gurumu?"
"Nini Lebak Gintur."
Soka Pura berkerut dahi, merasa belum pernah
mendengar nama itu. Namun ia segera tak hiraukan
nama itu, karena tak punya urusan dengan Nini Lebak
Gintur. Ia hanya mencatat nama itu dalam ingatannya.
"Sedangkan pamanmu sendiri siapa?"
"Damangsara, alias si Uban Karang," Jawab Nilawesti dengan tegas. "Kau mengenai
nama itu, Soka?"
Pendekar Kembar bungsu gelengkan kepala
sambil nyengir. "Aku orang baru di persilatan."
"Ooo...." Nilawesti menggumam dan manggut-
manggut. "Aku masih hijau untuk mengenal tokoh-tokoh
sakti di rimba persilatan. Karenanya, aku sangat se-


Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nang jika bisa berkenalan dengan para tokoh termasuk
pamanmu; si Uban Karang itu."
Soka Pura sengaja merendah, karena ia sendiri
merasa malu dan agak kesal, sebab namanya juga ti-
dak dikenal oleh Nilawesti. Gadis itu tak tahu bahwa
Soka Pura adalah nama salah satu dari Pendekar
Kembar yang sebenarnya sering dibicarakan oleh
orang-orang perguruannya.
Bagi Nilawesti, nama Soka Pura memang masih
asing. Tapi nama Pendekar Kembar sudah tidak asing
lagi di telinganya. Sang Guru maupun para murid per-
guruannya sering membicarakan nama Pendekar
Kembar yang dikagumi ketinggian ilmunya dan ketam-
panannya. Soka tak mau perkenalkan dirinya sebagai
Pendekar Kembar, karena ia menduga nama itu justru
akan membuat Nilawesti semakin merasa asing lagi.
Bagi Soka, dikenali sebagai Pendekar Kembar
atau tidak, bukan masalah. Saat itu yang sedang jadi
buah pikirannya adalah siapa sebenarnya Nilawesti
itu. Karena setiap gadis itu tersenyum, Soka merasa-
kan ada getaran aneh dalam hati yang menenteramkan
Jiwanya. Padahal kalau dipikir-pikir, senyum itu wajar-wajar saja. Tak terlalu
istimewa. Tanpa lesung pipit, tanpa gigi gingsul seperti Kirana, dan tanpa kesan
menggoda. Namun getaran yang hadir di hatinya sejak
tadi Jelas-jelas dirasakan akibatnya. Jiwa menjadi tenteram, selalu merasa
riang, dan sering membuat Soka
merasa hanyut dalam keindahan yang tak jelas mak-
nanya. Bahkan ketika mereka tiba di tempat pertarun-
gan Nilawesti dengan Jurik Tunggon tadi, hati Soka
Pura masih diliputi perasaan senang yang sukar dije-
laskan alasannya. Terlebih setelah Nilawesti menemu-
kan pedangnya kembali dan tersenyum memandangi
pedang itu, Soka Pura yang menatapnya ikut merasa
gembira, seperti mendapat sesuatu yang berharga se-
kali bagi hidupnya. Padahal ia tidak mendapatkan apa-
apa baik dari Nilawesti maupun dari alam sekitarnya.
Ia hanya mengetahui bahwa Jurik Tunggon sudah ti-
dak ada di tempat itu. Berarti Jurik Tunggon tidak tewas, melainkan pergi dengan
membawa luka. Perjalanan menuju Sungai Berang dilanjutkan.
Nilawesti jelaskan tentang kitab pusaka yang harus di-jaganya dengan bertaruh
nyawa itu. "Kitab ini adalah kitab kuno yang ditemukan
oleh paman Uban Karang di sebuah gua. Tulisannya
tak bisa dibaca. Namun guruku bisa membaca tulisan
kuno itu, sehingga paman meminta bantuan Guru un-
tuk menerjemahkannya."
"Mengapa harus kau jaga dengan pertaruhkan
nyawa segala?"
"Karena menurut Guru, kitab kuno ini mempu-
nyai kesaktian yang cukup dahsyat. Keanehannya, jika
kitab kuno ini dipelajari isinya, maka orang tersebut akan mati dalam waktu
empat puluh hari setelah ta-mat pelajari isinya. Tapi jika yang mempelajari
isinya adalah si penemu kitab itu sendiri, maka orang tersebut akan selamat dan
terhindar dari kutukan maut
yang akan datang empat puluh hari setelah usai dipe-
lajari itu."
"Aneh sekali. Baru sekarang kudengar ada ki-
tab seaneh itu."
"Guruku sendiri tak berani pelajari Jurus-jurus
dan ilmu kutukan di dalam kitab ini. Menurut Guru, di halaman depan kitab ini
sudah tertulis peringatan tersebut, sehingga Guru tak berani mempelajarinya, se-
lain hanya menerjemahkan ke dalam bahasa sekarang.
Kata Guru, kitab kuno ini milik seorang Raja Siluman
yang pernah hidup seratus tahun yang lalu. Kitab ini
bernama...."
Nilawesti hentikan ucapannya. Soka Pura me-
mandang dengan heran sambil tetap melangkah. Nila-
westi salah tingkah dan tampak gelisah.
"Mengapa kau berhenti bicara?" "Hampir saja ku lupa pesan Guru." "Pesan apa?"
"Aku tak boleh sebutkan nama kitab ini kepada
orang lain. Dikhawatirkan akan menjadi bahan rebu-
tan. Jadi, sebaiknya aku tak perlu sebutkan nama ki-
tab ini. Apakah kau kecewa?"
Soka Pura tertawa seperti gumam pendek dan
pelan. "Aku tak perlu merasa kecewa. Suatu saat mungkin aku akan tahu sendiri
nama kitab itu jika pi-hakmu sudah tidak menaruh curiga padaku dan tahu
persis bahwa aku bukan orang yang gila kitab pusaka!"
"Kuharap kau jangan tersinggung, Soka!"
"Aku tak pernah merasa tersinggung, karena
aku memang pemuda muka tembok!" Jawab Soka Pura
bernada canda untuk hilangkan kecanggungan di an-
tara mereka. Tiba-tiba langkah mereka terhenti saat mereka
mau menuruni tanggul sungai besar. Padahal menurut
Nilawesti, tempat kediaman pamannya ada di seberang
sungai tersebut. Tinggal menyeberangi sungai, dan
berjalan beberapa saat lagi, mereka akan tiba di tem-
pat yang dituju.
Tapi langkah itu terhenti akibat munculnya tiga
batang tombak yang melesat dari balik kerimbunan
pohon. Werrs...! Tiga batang tombak itu mengarah ke-
pada Nilawesti. Ekor mata Soka Pura melihat muncul
nya bahaya tersebut. Maka, tubuh Nilawesti se-
gera ditarik dari kanan ke samping kirinya. Wuuut...!
Dan tiga tombak yang meluncur cepat itu segera dipa-
tahkan dengan satu tendangan berputar cepat dalam
satu lompatan. Wuut, praaaak...!
Tiga batang tombak yang patah menjadi dua
bagian tiap satu tombaknya, kini berserakan di tanah
depan mereka. * * * 3 DARI arah barat muncul tiga orang bersenjata
parang. Dari arah timur juga muncul tiga orang ber-
senjata parang, satu di antaranya masih memegang go-
lok yang siap dilemparkan.
Soka Pura pandangi mereka dengan menyim-
pan rasa heran dalam hatinya, karena enam orang le-
laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu ternyata se-muanya bertelinga lebar
dan tinggi. Mirip telinga kelelawar. Pakaian mereka serba hitam, dengan baju
long- gar berlengan panjang, sehingga ketika mereka me-
lompat muncul dari semak-semak tampak seperti kele-
lawar terbang. Mereka Juga mempunyai mata sembu-
rat merah dan bentuknya sedikit naik. Alis mereka
tebal dengan bentuk naik ke atas. Kulit mereka ber-
warna gelap, namun bukan berarti hitam keling.
"Siapa mereka ini, Nila?" bisik Soka Pura. "Manusia Kelelawar!" Jawab Nilawesti
dalam bisikan. "Mereka orang-orang Suku Ampar."
"O, pantas mulut mereka rata-rata monyong ke
depan," ujar Soka dalam hati sambil melirik keenam lawan yang mengepungnya.
Nilawesti pun segera mencabut pedang dan lebih merapatkan diri kepada Soka
Pura, sesekali mereka beradu punggung penuh waspa-
da. Tiba-tiba salah seorang yang ada di timur, yang
berambut panjang sebahu, berseru memberikan perin-
tah, "Seraaang...!"
Weers, weers...!
Tiga orang yang ada di barat melayang seperti
tiga ekor kelelawar terbang hendak menerjang lawan.
Dua orang yang ada di timur juga lakukan lompatan
seperti kelelawar terbang. Soka Pura hadapi tiga orang yang segera menebaskan
parang kepadanya. Nilawesti
hadapi dua orang yang salah satunya masih mengan-
dalkan tombak untuk dihujamkan ke dada Nilawesti.
Pedang Nilawesti segera beraksi dengan cepat.
Trang, trang, traak...! Dua kali menangkis tebasan parang lawan, satu kali
menangkis datangnya tombak
yang nyaris kenal bagian bawah pundaknya. Tangki-
san pedang Nilawesti disusul dengan tubuh yang me-
mutar dan kaki menendang cepat. Satu tendangan ke-
nai perut lawan, buuhk...! Orang itu pun jatuh terpental. Satu orang yang masih
memegang tombak disabet
dengan pedang kembali. Cras...!
"Aaaaaa...!" orang itu memekik keras-keras karena pergelangan tangannya putus
seketika sehingga
tombaknya pun jatuh bersama potongan tangan ka-
nannya itu. Di sisi lain, Soka Pura sempat lepaskan jurus
'Tangan Batu'-nya, sehingga dua orang lawannya ter-
hempas ke belakang dengan mata mendelik dan sukar
bernafas. Satu orang lagi masih selamat dan men-
gayunkan parangnya secara membabi buta ke tubuh
Soka. Tetapi Soka dapat menghindari serangan parang
tajam itu dengan meliuk-liukkan badan, lalu ia jatuh-
kan diri ke tanah dan berguling maju satu kali. Tahu-
tahu kakinya menyodok kuat ke atas dan tepat kenai
'jimat lanang'-nya si lawan. Ploook...!
"Aaaow...!!" orang itu tersentak mundur dengan tangan pegangi bagian yang terasa
pecah seketika akibat sodokan kaki Soka Pura itu.
"Bangsat keparat! Telurku pecah, Saudara-
saudara! Aaaaa...!" orang yang terkena sodokan kaki Soka itu akhirnya tumbang
dan meraung-raung dan
berguling-guling di tanah. Dua temannya yang sempat
kesulitan bernafas itu mencoba bangkit dan menye-
rang kembali saat Soka Pura belum berdiri kembali.
"Heaaaat...!!" teriakan mereka yang bersama-sama itu menimbulkan kesan liar dan
ganas, penuh nafsu membunuh.
Tapi Pendekar Kembar bungsu segera sentak-
kan kedua tangan ke tanah, maka tubuh pun melam-
bung ke atas dengan cepat. Wuuut...! Satu kali gera-
kan bersalto membuat tebasan parang kedua lawannya
luput dari dirinya. Wes, wees...!
Namun ketika tubuh Pendekar Kembar bungsu
melayang turun, kedua kakinya cepat-cepat menyen-
tak ke kedua arah. Sentakan kaki itu kenal kepala
masing-masing lawannya. Krak, krak...!
"Aaaaa...!" kedua lawan sama-sama menjerit
karena darah mereka kontan mengucur keluar dari lu-
bang telinga, hidung, dan mulut semburkan darah se-
gar. Mereka sempoyongan sesaat, lalu jatuh sambil pe-
gangi kepala yang terasa retak itu.
Soka Pura berdiri tegak pandangi lawannya se-
saat, kemudian menatap pertarungan Nilawesti dengan
satu orang yang tadi terkena tendangan kaki pada
lambungnya. Orang itu masih bersenjata dan mempu-
nyai kecepatan jurus memainkan parang dengan cu-
kup baik. Pedang Nilawesti berkali-kali gagal melukai lawan karena selalu dapat
ditangkis dengan parang,
sementara si pemegang parang pun sukar menembus
jurus pedang Nilawesti.
Salah seorang yang tadi berseru keluarkan pe-
rintah serang masih berdiri di belakang temannya yang sedang hadapi Nilawesti,
sementara orang yang terpo-tong tangan kanannya itu dalam keadaan terkulai le-
mas karena banyak kehilangan darah. Suaranya yang
merintih hampir tak terdengar lagi.
Tiba-tiba orang berambut sebahu dan berka-
lung taring babi hutan itu lepaskan pukulan bersinar
dari telapak tangannya. Claaap...! Sinar kuning ber-
bentuk seperti bintang itu melesat ke arah pinggang
Nilawesti yang sibuk beradu senjata itu. Melihat sinar kuning ingin celakai
Nilawesti, Soka Pura segera pergunakan jurus 'Cakar Matahari'-nya, berupa sinar
pu- tih berbentuk pisau runcing yang keluar dari tangan
yang disodokkan membentuk cakar tengkurap.
Claap...! Sinar putih itu menghantam sinar kuning se-
belum sinar kuning dekati pertengahan jarak antara
Nilawesti dan si pemilik sinar tersebut.
Blegaaar...! Terjadilah ledakan cukup dahsyat
akibat tabrakan kedua sinar tenaga dalam itu. Leda-
kan tersebut sempat getarkan tanah sekitar mereka
dan pepohonannya. Ledakan itu membuat lawan yang
sedang berhadapan dengan Nilawesti sempat tersentak
kaget dan sedikit oleng karena terkena getaran gelom-
bang ledakan itu. Maka kesempatan tersebut diman-
faatkan oleh Nilawesti untuk segera menghujamkan
pedangnya dengan satu lompatan pendek.
"Hiaaah...!"
Jruus...! "Aaah...!" orang itu terpekik keras karena pedang Nilawesti menusuk dada
kirinya, dekat ketiak.
Tusukan itu tembus ke belakang, dan kaki Nilawesti
segera menendang tubuh orang tersebut, sehingga pe-
dang pun tercabut dan orang itu pun tumbang ke be-
lakang sambil keluarkan suara meraung-raung kelojo-
tan. "Biadab kau, Nilawesti!" teriak orang berkalung taring babi hutan itu. Ia segera
menerjang Nilawesti
dengan lompatan seperti seekor kelelawar terbang.
Weeerss...! Suara getaran pakaian longgarnya terden-
gar mirip kepak sayap kelelawar. Tapi Nilawesti tidak merasa gentar sedikit pun.
Ia segera melompat ke
samping hindari terjangan lawan yang mengandalkan
kedua tangan berkuku tajam itu. Kemudian pedang Ni-
lawesti pun disabetkan ke arah tubuh lawan. Wees...!
Namun meleset dan hanya menyambar kain baju sang
lawan. Sementara itu, lawan sendiri segera menabrak
pohon. Tapi ternyata ia tidak jatuh terpental, melainkan menempel pada pohon
seperti cicak. Pleek...!
"Edan! Bisa menempel di pohon begitu"!" gu-
mam Soka heran. "Benar-benar seperti kelelawar!"
Orang itu sempat berseru, "Nilawesti! Kalau kau
tak mau serahkan kitab di pinggang belakangmu itu,
akan kubunuh kau dengan begundal tengik itu!" sambil matanya melirik Soka
sekejap. "Usahamu akan sia-sia, Bajak Rempo!" seru Nilawesti dengan suara lantang.


Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Soka Pura ingin lepaskan pukulan jarak jauh-
nya ke arah Bajak Rempo, tapi Nilawesti cepat serukan larangan.
"Jangaaan...!!"
Seruan itu membuat Pendekar Kembar bungsu
tak jadi lepaskan pukulan jarak jauhnya, tapi hati So-ka memendam rasa heran
atas larangan yang menyen-
tak itu. Sepertinya Nilawesti takut jika si Bajak Rempo terluka atau tewas di
tangan Soka Pura.
Pada saat itu, Bajak Rempo segera naik ke sa-
lah satu dahan dengan gerakan memanjat seperti ci-
cak. Plek, plek, plek, plek...! Lalu kedua kakinya menggantung pada dahan
tersebut, kepalanya terjungkir ke
bawah. Kedua tangannya bergerak memainkan Jurus
dengan cepat. Tiba-tiba salah satu tangannya berkele-
bat bagai lemparkan sesuatu ke arah Nilawesti. Clap,
clap...! Dua sinar merah berbentuk seperti mata tom-
bak keluar dari kedua tangan itu. Dua sinar merah itu berkelebat sangat cepat,
sehingga hampir saja tak bisa dilihat gerakannya.
"Nila, awaas...!" seru Pendekar Kembar bungsu secara spontan. Nilawesti
kelebatkan pedangnya ke
kanan kiri dan tepat kenai kedua sinar merah terse-
but. Tring, tring...!
Soka Pura sempat heran mendengar tangkisan
pedang dengan sinar merah. Ternyata yang dilempar-
kan dari tangan Bajak Rempo bukan sekadar sinar
merah, melainkan senjata rahasia dari logam putih
yang memancarkan sinar merah seperti besi membara.
Terbukti setelah tangkisan itu dilakukan, kedua sinar merah tersebut melesat ke
kedua arah. Salah satunya
nyaris menyambar kepala Soka. Untung pemuda tam-
pan itu segera tarik kepala ke samping belakang dan
senjata rahasia tersebut menancap dl pohon belakang
Soka. Jruuubs...! Senjata rahasia yang satunya lagi
terpental jatuh ke sungai! Jroooss...! Suaranya seperti besi membara dicelupkan
dalam air. Sedangkan senjata yang menancap di pohon telah membuat pohon itu
menjadi kering dalam waktu dua helaan napas. Daun-
daunnya berguguran menaburi kepala Soka Pura.
"Oh, hebat sekali senjata rahasia itu"! Pohon
itu bisa menjadi kering sebegitu cepatnya"!" gumam hati Soka Pura sambil
membersihkan daun-daun kering yang menaburi kepalanya itu.
"Hiaaat...!!" Nilawesti segera melesat bagai seekor merpati terbang cepat.
Pedangnya yang berujung
runcing itu diarahkan ke dada Bajak Rempo yang ma-
sih bergelantungan di dahan pohon. Namun tiba-tiba
tubuh itu mengayun, dan, wuuuss...! Seperti terbang
bersalto cepat dan hinggap di pohon lain, menempel
seperti cicak. Pleek...! Nilawesti kecele, tak berhasil kenai lawannya.
"Nila, mundurlah... biar ku tangani dia!" seru Soka Pura. Tapi gadis yang sudah
berdiri tegak lagi itu segera berpaling ke arah Soka dan berseru melarang.
"Jangan! Jangan turun tangan, Soka!"
"Tanganku tidak turun, tapi aku hanya...."
"Heeeaaahh...!"
Kata-kata Soka terhenti karena tubuh Bajak
Rempo segera melayang cepat dengan teriakan ganas.
Lawan yang bertolak dari sebatang pohon itu segera
mencabut parangnya dan dikibaskan ke leher Nilawesti
Wees...! Trang, biaarr...!
Terjadi sebuah ledakan cukup keras ketika pe-
dang Nilawesti berhasil menangkis tebasan parang Ba-
jak Rempo. Rupanya parang itu sudah dialiri tenaga
dalam yang membuat benda tersebut berasap tipis.
Melihat parang lawan berasap, Nilawesti pun segera
salurkan tenaga dalamnya ke dalam pedangnya, se-
hingga kedua tenaga dalam itu saling beradu dan tim-
bulkan daya ledak cukup menyentak.
Nilawesti oleng ke kiri karena sentakan gelom-
bang ledak tadi. Bajak Rempo masih kokoh, tak ter-
goyahkan oleh gelombang ledakan tadi. Ia Justru me-
mutar tubuhnya dan sabetkan parangnya ke tubuh Ni-
lawesti. Wuut, cras...!
"Aauh...!!" Nilawesti terpekik dengan suara ter-tahan. Pergelangan tangan
kirinya terkena sabetan pa-
rang, namun tak sampai putus. Hanya robek agak da-
lam dan luka itu nyaris memutari pergelangan tangan.
Namun rupanya parang itu adalah parang be-
racun tinggi. Begitu parang tersebut berhasil lukai tubuh lawan, maka racun yang
ada pada parang tersebut
mulai bekerja dan meracuni darah dalam tubuh lawan.
Nilawesti tampak semakin limbung dengan tan-
gan kiri mulai berasap tipis. Gadis itu sempat berpe-
gangan pada sebatang pohon untuk menahan kedua
kakinya agar tetap berdiri.
Melihat keadaan Nilawesti menjadi lemah, Ba-
jak Rempo segera mencecarkan serangannya agar ber-
hasil lumpuhkan Nilawesti dan menyambar kitab yang
ada di balik jubah si gadis. Namun ketika ia melompat seperti seekor kelelawar
terbang ke arah Nilawesti, ti-ba-tiba, di pertengahan jarak tubuhnya terpental
ke samping dan jatuh terhempas di bawah pohon berakar
seperti batu-batu berserakan. Bruuus, bruuuk...!
"Uuhk...!" Bajak Rempo tersentak dalam pekik kesakitan. Ia sempat perhatikan
pemuda yang mener-jangnya dengan sorot pandangan mata penuh nafsu
untuk membunuh. Tapi si pemuda justru dekati Nila-
westi dengan wajah cemas.
"Nila, lukamu kian melebar..."!"
"Uuhk, Soka.... Oouh... aku terkena racun
'Parang Mayat' ini. Ooouh...!" Nilawesti bukan saja menyeringai kesakitan, namun
juga berusaha menarik
napas dalam-dalam. Tapi sang napas bagai enggan
terhirup oleh si gadis cantik itu.
"Biadab kau, Bocah Laknat! Heaaat...!"
Bajak Rempo menyerang Pendekar Kembar
bungsu dengan parangnya yang sudah memancarkan
cahaya merah seperti besi membara. Soka Pura yang
semula jongkok, akibat membantu Nilawesti berbaring
di bawah pohon, segera mencabut pedangnya dengan
tangan kiri, dalam keadaan terdesak datangnya seran-
gan yang sudah sangat dekat itu. Wess, traang...! Pe-
dang kristal yang tampaknya ringkih dan mudah pe-
cah itu berkelebat menangkis parang. Traak...!
Blaaarr...! Terjadilah ledakan cukup dahsyat. Parang itu
hancur menjadi berkeping-keping. Prraak...! Dada si
Bajak Rempo sendiri terkena angin sabetan Pedang
Tangan Malaikat tersebut. Dada itu robek lebar dari
ulu hati sampai ke pundak kanan.
"Uuuhgkk...!" Bajak Rempo menggeloyor mun-
dur sambil mata terbeliak menahan luka. Sekalipun
demikian, ia masih ingin bangkit dan membalaskan
dada nya yang terluka itu.
Bajak Rempo membuka mulut, dan nafasnya di
sentakkan dari mulut yang ternganga itu.
"Haaaaahh...!!"
Dari dalam mulut itu keluar lidah api yang in-
gin menyambar Pedang Tangan Malaikat. Namun lidah
api itu segera hindari Soka Pura dengan melesat ke
arah lain menggunakan jurus 'Jalur Badai'-nya.
Wuuuzz...! Lidah api itu menyambar sebatang pohon, ma-
ka pohon tersebut langsung terbakar dan cepat menja-
di arang tak berdaun lagi, namun masih berdiri tegak
tanpa guncangan sedikit pun.
Soka Pura buru-buru masukkan pedang ke sa-
rungnya yang diselipkan di pinggang kanan. Karena ia
tak mau melawan musuhnya yang sudah tidak bersen-
jata lagi itu. Bajak Rempo lebih penasaran lagi. Ia berpaling
ke arah Soka dan ingin lepaskan jurus lidah apinya
melalui mulut. Namun baru saja mulut terbuka, Soka
Pura temukan batu dengan kakinya. Batu sebesar se-
tengah genggaman orang dewasa itu segera ditendang-
nya dalam sentakan kecil. Dees, wuuut...! Batu pun
melayang sangat cepat, lalu masuk ke mulut Bajak
Rempo. Srook...!
"Ooohkf...!" mulut Bajak Rempo tersumbat ba-tu. Tapi jurus lidah apinya sudah
telanjur dihentakkan lewat mulut, sehingga jurus itu membalik dan memba-kar
bagian dalam tubuh Bajak Rempo sendiri Bajak
Rempo jatuh berguling-guling dalam keadaan sekarat.
Pada saat itu, Soka Pura melihat beberapa bayangan
berkelebat melintasi sungai sepertinya mereka mena-
pakkan kakinya di permukaan air sungai. Padahal me-
reka menggunakan batu-batu yang tersumbul tipis di
permukaan air tersebut. Tapi gerakan bayangan-
bayangan itu sangat cepat, sehingga dalam waktu
singkat mereka sudah berada di tanah pertarungan
tersebut. Soka Pura segera mengangkat pedangnya dan
slap menghadapi serangan dari berbagai penjuru. Ka-
rena pada saat itu ia melihat ada delapan orang yang
mengurung tempat tersebut. Pada umumnya mereka
bertubuh tegap walau tak sekekar Soka sendiri.
"Tahaaan...!" seru Nilawesti dengan suara berat dan parau sekali. Ia masih
menahan sakit dan sesak
napas. Kerongkongannya pun terasa kering dan panas
akibat racun dari lukanya itu.
Delapan orang yang mengurung tempat terse-
but dengan senjata siap tarung tak ada yang bergerak
menyerang Soka Pura, justru mata mereka meman-
dang ke arah Bajak Rempo yang kelojotan dengan tu-
buh berasap dan kulit badannya menjadi melepuh.
Mereka pun melihat dengan jelas pada saat Bajak
Rempo mengejang satu kali, kemudian hembuskan
napas lewat hidung dengan tubuh melemas. Bajak
Rempo akhirnya tewas dalam akibat terkena jurus
mautnya sendiri.
Nilawesti yang juga melihat dengan mata kepala
sendiri kematian Bajak Rempo, kini hanya bisa menge-
rang lirih dengan luka kian merambat sampai ke si-
kunya. Ia berusaha bangkit dengan susah payah, na-
mun hanya bisa duduk bersandar batang pohon yang
sudah lama tumbang di situ.
"Sokaaa... bawa aku ke seberang sungai!!" pin-tanya dengan wajah memucat.
"Nila... siapa orang-orang yang baru datang
ini?" "Mereka... mereka orang-orangku!"
Salah seorang maju dan berkata kepada Soka
Pura. "Benar. Kami orang Suku Kano, seperti halnya Nilawesti sendiri. Kami akan
memandu mu menyeberang sungai!"
"Suku Kano..."!" gumam Soka Pura dengan pe-
rasaan aneh, karena ia belum pernah mendengar na-
ma Suku Kano. * * * 4 SEBUAH perkampungan yang diberi benteng
tinggi terbuat dari balok-balok kayu jati merupakan
tempat kediaman masyarakat Suku Kano. Mereka
mendiami bagian tepi Sungai Berang yang lebar dan
berair dalam, menyerupai 'anak segara'. Sungai itu
memang bermuara di Laut Kidul.
Nilawesti adalah salah satu gadis Suku Kano
yang pada umumnya mempunyai mata pencarian
mencari ikan dengan perahu panjang tapi kecil. Perahu panjang itu dinamakan
Kano. Maka suku tersebut
bernama Suku Kano.
Delapan orang yang menyeberang sungai itu
ternyata adalah orang-orang Suku Kano yang tergolong
sebagai 'prajurit' suku tersebut. Soka Pura membawa
Nilawesti pulang ke perkampungan itu dengan dipandu
oleh beberapa 'prajurit' penjemput. Sebagian 'prajurit'
lainnya membereskan anak buah Bajak Rempo. Ada
yang tak sempat melarikan diri. Mereka ditangkap dan
digiring ke perkampungan sebagai tawanan Suku Ka-
no. Pendekar Kembar bungsu sempat merasa he-
ran, mengapa para penjemput Nilawesti itu tidak ada
yang berani menyentuh gadis itu. Soka disuruh me-
mapah Nilawesti sendiri sampai di depan sang kepala
suku. Orang yang menjadi kepala suku itu adalah le-
laki berusia sekitar lima puluh tahun, tapi ia mempu-
nyai rambut sudah memutih. Rambutnya yang putih
rata dengan kumis dan jenggot pendeknya yang juga
putih rata itu ternyata agak aneh. Serat-serat rambut lebih tebal daripada
rambut pada umumnya. Berkesan
lengket antara helai rambut yang satu dengan yang
lain. Rupanya orang itulah yang bernama Uban Ka-
rang, paman dari Nilawesti sendiri. Soka Pura tak me-
nyangka bahwa Nilawesti ternyata keponakan dari Ke-
pala Suku Kano yang masih bertubuh tegap dan gagah
itu. Badannya yang belum berkeriput itu dibungkus
dengan baju lengan panjang warna merah bertepian
benang emas, sama dengan warna celananya. Uban
Karang juga mengenakan ikat kepala berbulu merak
tiga helai sebagai tanda bahwa ia adalah kepala suku
tersebut. Kedua bola matanya memancarkan pandangan
yang berkharisma dan berwibawa. Senyumnya jarang
sekali terlihat, namun ia tetap berkesan ramah terha-
dap siapa pun. Dilihat dari caranya memandang, Uban
Karang terlihat sebagai kepala suku yang bersikap te-
gas namun cukup bijaksana.
Ketika ia mengetahui Nilawesti mengalami luka
beracun, wajah itu tampak menyimpan kecemasan.
Bahkan ia terdengar menggumam pelan di depan Soka
Pura. "Racun 'Parang Mayat' adalah racun yang sukar terobati. Bajak Rempo benar-
benar mengarah nyawa
keponakan ku untuk dapatkan kitab kuno ini!"
"Ketua, perintahkan pada kami untuk mencari
'Pasir Jelaga' di puncak Gunung Makar, sebagai satu-
satunya obat penawar racun di tubuh Nilawesti!" ujar salah seorang penjemput
Nilawesti itu.

Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, pilihlah tiga orang untuk men-
dampingimu pergi ke Gunung Makar sekarang juga,
Rurusada!" perintah sang kepala suku.
"Baik. Saya akan berangkat bersama Datuna,
Winggi, dan Tandon."
"Eh, maaf, Paman...," sela Soka Pura. "Benarkah racun itu sulit disembuhkan?"
"Ya. Yang bisa menawarkan racun itu hanyalah
'Pasir Jelaga' dari puncak Gunung Makar. Tanpa pasir
keramat itu, Nilawesti akan kehilangan nyawanya da-
lam waktu tiga hari lagi!"
"Bagaimana jika... jika aku mencoba menyem-
buhkannya, Paman"!"
Uban Karang menatap dengan tetap tenang
tanpa reaksi apa-apa. Tapi dari sorot matanya itu Soka merasa ada keraguan di
dalam hati Uban Karang terhadap kemampuan Soka. Oleh karenanya, Soka berka-
ta lagi dengan nada merendahkan diri.
"Barangkali tak ada jeleknya jika ku coba
menggunakan ilmu pengobatan ku yang pas-pasan ini,
Paman." "Hmmm... baiklah. Memang tak ada buruknya
jika mencoba daripada tidak mencoba sama sekali."
Di depan sang kepala suku dan beberapa
'prajurit' lainnya itu, Pendekar Kembar bungsu laku-
kan pengobatan terhadap diri Nilawesti. Ia mengguna-
kan jurus 'Sambung Nyawa' yang membuat tubuh Ni-
lawesti pancarkan cahaya ungu itu. Sementara si gadis sudah tak bisa bicara lagi
karena kerongkongannya
bagaikan hangus terbakar oleh racun 'Parang Mayat'
itu. Orang-orang Suku Kano tercengang heran me-
lihat tubuh Nilawesti memancarkan cahaya ungu.
Uban Karang hanya diam sambil menahan debar-
debar kecemasan dalam hatinya. Baru sekarang ia me-
lihat cara pengobatan yang dianggap sesakti itu. Da-
lam hati sang paman pun bertanya-tanya, apakah ra-
cun 'Parang Mayat' dapat dilawan dengan cara pengo-
batan seperti itu"
Orang-orang Suku Kano belum tahu siapa Soka
Pura. Bahkan mereka belum sempat menanyakan na-
ma pemuda tampan berpedang kristal itu. Mereka me-
nyangka Soka adalah seorang ksatria dari sebuah ke-
rajaan, sehingga mereka bersikap hormat kepada Pen-
dekar Kembar bungsu itu.
Mereka semakin tercengang heran ketika meli-
hat perubahan pada luka beracun di tangan Nilawesti.
Bertambah kagum hati mereka kepada Soka Pura sete-
lah akhirnya Nilawesti menjadi sehat seperti sediakala dan luka beracunnya itu
lenyap tanpa bekas. Beberapa
orang yang keluar dari tempat kediaman sang kepala
suku segera mengabarkan keajaiban tersebut kepada
seluruh masyarakat perkampungan tersebut, sehingga
mereka berbondong-bondong datang ke rumah kepala
suku hanya untuk melihat seorang pemuda yang dika-
barkan mempunyai kemampuan seperti dewa.
"Luar biasa! Sungguh tinggi kesaktianmu, Anak
Muda!" ujar Uban Karang. "Siapa kau sebenarnya, Anak Muda"!"
Sebelum Soka menjawab, Nilawesti lebih dulu
jelaskan siapa Soka Pura dan apa yang telah dilakukan Soka pada saat
menyelamatkan sang gadis dari ancaman maut si Jurik Tunggon itu. Soka Pura duduk
ber- sila di depan kepala suku dengan wajah sedikit tertunduk karena merasa malu
diperhatikan penuh rasa ka-
gum oleh beberapa orang di sekitarnya.
"Dua kali kau telah selamatkan nyawa gadis
kami, Soka Pura. Lebih-lebih kami melihat sendiri kau telah lakukan pengobatan
sebegitu dahsyatnya. Kami
juga telah melihat kau memapah Nilawesti tanpa
sungkan-sungkan lagi. Maka layaknya kami memberi-
mu hadiah yang tentunya sudah kalian harapkan."
Ucapan si kepala suku itu sempat mengundang
pertanyaan dalam hati Soka Pura. "Mengapa ia me-
nyangka aku dan Nila mengharapkan hadiah" Padahal
apa yang kulakukan hanya sebuah pertolongan bi-
asa"!" Soka Pura segera dibawa ke tanah lapang di depan rumah kepala suku.
Ternyata di sana sudah
banyak orang berkumpul, baik yang lelaki maupun
yang perempuan, yang tua maupun yang muda. Pada
umumnya para gadis yang ada di antara mereka me-
mandang Soka Pura dengan mata tak berkedip dan
mulut sedikit terperangah.
Namun anehnya, hati Soka Pura menjadi san-
gat tenteram dan damai jika matanya menatap senyum
para gadis Suku Kano itu, termasuk senyum Nilawesti
yang berada di samping Soka. Gadis itu sering melirik Soka bersama senyum
tipisnya yang menyejukkan ji-wa, seakan Soka berada dalam kebahagiaan yang me-
luap-luap. "O, rupanya para gadis Suku Kano mempunyai
kelainan dalam senyumnya. Atau mungkin orang-
orang Suku Kano mempunyai kehebatan dalam setiap
senyumannya yang mendatangkan kedamaian di hati
lawan jenisnya," pikir Soka.
"Saudaraku, hari Ini kita kedatangan tamu,
seorang satria yang telah menyelamatkan keturunan
leluhur Suku Kano!" ujar Uban Karang di depan mereka yang berkumpul.
"Soka Pura, bukan saja sahabat baru bagi kita,
bukan pula hanya sekadar tamu, namun juga sebagai
dewa penyelamat dan penyandang kehormatan terting-
gi bagi Suku Kano di kemudian hari," lanjut Uban Karang. "Soka Pura sendiri yang
membawa Nilawesti dengan kedua tangannya saat terluka racun 'Parang
Mayat' dari si Bajak Rempo," Uban Karang peragakan cara Soka membawa Nilawesti
dengan kedua tangannya. Soka tak mengerti mengapa hal itu harus ditun-
jukkan kepada masyarakat Suku Kano.
"Seperti kalian ketahui, Bajak Rempo adalah
adik ketua Suku Ampar yang menjadi wakil ketua. Se-
perti pula yang telah kalian ketahui, Bajak Rempo
mempunyai ilmu silat cukup tinggi, namun sekarang ia
tewas di tangan ksatria kita ini saat sang ksatria menyelamatkan nyawa
Nilawesti!"
"Hiduuup, Ksatria...!! Hidup, Sokaaa...!!" seru
mereka serentak membuat Soka tak enak hati, namun
juga menyimpan keheranan yang ingin sekali segera
ditanyakan kepada Nilawesti. Tapi saat mulut Soka in-
gin ucapkan kata, Nilawesti buru-buru memberi isya-
rat dengan telunjuk diletakkan di bibirnya yang ra-
num, pertanda Soka dilarang bicara dulu.
Soka pura akhirnya hanya hembuskan napas
dan tak jadi bicara. Ia tetap berdiri di belakang Uban Karang berdampingan
dengan Nilawesti.
"Maka pada hari ini juga, Saudara-
saudaraku.... Soka Pura berhak mendapatkan hadiah
istimewa dari ku berupa 'Daupan' bersama Nilawesti!"
"Setujuuuu...!!" seru mereka. "Pesta 'Daupan'
akan kita selenggarakan bersama-sama pada malam
purnama yang kurang tiga hari lagi ini. Bersiaplah menyambut 'Daupan' mereka,
Saudara-saudara!'
"Hidup Sokaaa.... Hidup Nilawesti...!!" seru mereka lagi yang membuat Soka Pura
menjadi tambah bingung. "Daupan itu apa"!" tanyanya dalam hati. Ingin sekali hal itu segera ditanyakan
kepada Nilawesti, tapi Uban Karang belum selesai bicara dl depan masyarakat Suku
Kano, sehingga Soka terpaksa masih harus
memendam pertanyaan itu dalam hatinya.
Malamnya, Soka Pura dijamu dengan hidangan
lezat. Mereka mengadakan pesta taman yang cukup
mewah, dimeriahkan oleh beberapa tari-tarian adat
Suku Kano. Soka Pura duduk bersama Uban Karang
dan Nilawesti. Pemuda itu sedikit kikuk karena diper-
lakukan seperti raja. Mengenakan mahkota kehorma-
tan berjubah anyaman bulu merak yang tersusun in-
dah. Sejauh itu, Soka Pura masih belum berani ba-
nyak tanya tentang hal-hal yang mengherankan ha-
tinya. Karena, pada saat itu, Uban Karang berbicara
panjang lebar tentang silsilah leluhur Suku Kano yang selalu bermusuhan dengan
Suku Ampar. "Neneknya buyut kami dulu adalah saudara se-
kandung," ujar si Uban Karang menjelaskan hubungan antara Suku Kano dan Suku
Ampar. Soka Pura me-nyimak baik-baik, menunjukkan sikap sangat meng-
hargai penjelasan tersebut. Senyumnya sesekali mekar
tipis dan membuat wajahnya semakin tampan, sema-
kin banyak dilirik gadis-gadis sebaya Nilawesti.
"Tapi karena tanah kekuasaan, maka Suku Ka-
no dan Suku Ampar saling bermusuhan. Mereka men-
diami sebelah utara Sungai Berang, dan kami men-
diami sebelah selatannya."
"Jurik Tunggon termasuk orang Suku Ampar
juga!" timpal Nilawesti ketika pamannya diam sesaat.
Soka Pura hanya menggumam dan manggut-manggut.
"Benar. Jurik Tunggon adalah orang Suku Am-
par. Leluhurnya itulah yang menjadi cikal bakal per-
musuhan antara suku kami dan sukunya."
"Siapa kepala Suku Ampar, Paman?"
"Kertajala, alias si Macan Seribu!" jawab Uban Karang. "Nilawesti selalu menjadi
bahan incarannya untuk dibunuh."
"Mengapa begitu?"
"Karena Nilawesti adalah keturunan yang tersi-
sa dari Bumitala!"
"Bumitala itu mendiang ayahku," timpal Nilawesti "Ooo...," Soka Pura manggut-
manggut. "Aku adalah adik dari Bumitala. Dan hanya da-
ri keturunan Bumitala saja yang boleh menjabat seba-
gai kepala Suku Kano," tutur Uban Karang.
"Jadi sebenarnya kepala sukunya adalah Nila-
westi sendiri, Paman?"
"Benar, Soka! Tapi karena ia belum menikah,
maka ia tidak boleh menjabat sebagai kepala suku dl
sini. Untuk sementara, akulah yang menjabat Ketua
Suku Kano sampai batas waktu Nilawesti menikah. Ji-
ka sebelum Nilawesti menikah tapi ia sudah tewas,
maka Suku Kano tidak akan mempunyai ketua lagi,
dan suku kami dianggap telah punah. Aku tidak boleh
menjabat kepala suku lagi, karena bukan keturunan
dari mendiang kakakku; si Bumitala itu."
"O, jadi si Macan Seribu selalu berusaha mem-
bunuh Nilawesti karena la punya maksud agar Suku
Kano punah"!"
"Benar!" jawab Uban Karang dengan tegas. "Karenanya, penyerangan si Bajak Rempo
itu selain untuk
dapatkan kitab kuno yang dibawa Nilawesti, ia juga ingin bunuh Nilawesti agar
kami tak akan punya kepala
suku lagi."
"Tapi... tapi dari mana Bajak Rempo tahu kalau
Nilawesti sembunyikan kitab di balik jubahnya?"
"Pandangan mata Manusia Kelelawar, seperti si
Bajak Rempo, dapat menembus lapisan kain, sehingga
ia dapat melihat apa yang ada di balik pakaian kami."
"Ooh..."! Hebat sekali penglihatan mereka?"
ujar Soka Pura. "Apakah orang Suku Kano juga punya mata tembus pandang seperti
itu"!"
"Ya, mata kami semua memang tembus pan-
dang." "Celaka! Jadi apa yang ada di balik celana ku juga dapat dilihat oleh
Nilawesti"!" ujar Soka dalam ha-ti dengan sedikit tegang dan mulai merasa malu,
kare- na Nilawesti segera tundukkan kepala sambil terse-
nyum-senyum. Uban Karang lanjutkan ucapannya, "Tapi hal
itu terjadi jika kami menggunakan ilmu 'Pancar Netra'
yang kami miliki sejak lahir. Jika kami tidak menggu-
nakan ilmu 'Pancar Netra' maka mata kami tak bisa
tembus pandang."
Sambil berbincang-bincang tentang leluhur dan
permusuhan kedua suku tersebut, mereka menikmati
hidangan pesta, termasuk panggang rusa dan minu-
man arak yang terbaik pada masa itu. Soka Pura yang
tak biasa minum arak, mulai terasa pening setelah ma-
lam semakin larut.
"Agaknya kau telah mengantuk, Soka?" tegur
Uban Karang. "Benar, Paman!" jawab Soka karena ingin sege-ra rebahkan badan untuk hilangkan
rasa peningnya.
"Sebaiknya segeralah masuk ke Kamar Pelamin.
Istirahatlah senyaman mungkin."
"Balk, Paman!" Soka tak menolak tawaran itu, karena memang sejak tadi ia Ingin
cepat-cepat tinggalkan pesta tersebut, tapi merasa tak enak hati.
"Nilawesti, antar dia ke Kamar Pelamin!"
"Baik, Paman!" ujar si gadis cantik yang segera membimbing Soka Pura menuju ke
Kamar Pelamin. Soka berjalan agak sempoyongan karena mabuk arak.
Namun ia berusaha untuk tetap tampak gagah dan bi-
sa berjalan lurus agar tak ditertawakan oleh mereka.
Kenyataannya, Soka justru tersandung batu dan ham-
pir jatuh tersungkur. Untung segera dipegangi oleh Nilawesti, sehingga ia tak
sampai jatuh di depan orang
banyak. "Payah kau ini. Baru minum arak beberapa te-guk saja sudah sempoyongan,"
ujar Nilawesti dengan berbisik.
"Aku tak biasa minum arak," ujar Soka Pura.
"Kalau toh minum, tak sampai sebanyak tadi."
Nilawesti membantu membaringkan Soka Pura
di atas dipan berkasur. Dipan itu terbuat dari kayu jati berukir, terletak di
dalam Kamar Pelamin. Soka Pura
sempat perhatikan keadaan di dalam Kamar Pelamin
yang diterangi dengan lampu minyak pada keempat
sudutnya. Kamar tersebut tak terlalu lebar, namun dalam
keadaan bersih dan rapi. Aroma wewangian rempah-
rempah tercium lembut di dalam kamar tersebut. Ke-
remangan cahaya dan aroma rempah-rempah merupa-
kan paduan selaras yang menciptakan suasana di ka-
mar itu menjadi sangat romantis.
"Kamar siapa ini?" tanya Soka Pura pelan.
"Kamar Pelamin!"


Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu, si Pelamin sendiri pergi ke mana?" Nilawesti yang duduk di tepian dipan
mulai sunggingkan
senyum geli mendengar pertanyaan itu. Gadis itu per-
dengarkan tawa renyah yang lirih ketika Soka Pura
ajukan tanya dengan suara sedikit sumbang karena
pengaruh minuman arak tadi.
"Pelamin itu siapa"! Wakil kepala suku?"
"Kamar Pelamin itu adalah kamar untuk calon
pengantin."
"Ooo...," Soka Pura masih tenang. "Lalu, siapa yang mau jadi pengantin?"
"Siapa lagi kalau bukan kita."
"Hahh..."!" Soka Pura terbelalak kaget.
Gadis itu masih sunggingkan senyum yang me-
nebarkan rasa indah dan bahagia di dalam hati Soka
Pura. Tangannya mengusap-usap anak rambut yang
meriap di kening Soka. Usapan itu membuat Soka Pu-
ra semakin rasakan debar-debar keindahan yang
menggoda jiwanya.
"Nila, aku ingin jawaban yang benar dari perta-
nyaanku tadi."
"Aku sudah menjawab dengan benar," ujar Ni-
lawesti. "Apakah kau tak dengar bahwa tiga hari lagi kita akan merayakan pesta
'Daupan', tepat di malam
purnama nanti"!"
"Daupan itu apa"!" Soka kuatkan diri untuk
menahan rasa peningnya.
"Daup adalah kawin. Daupan artinya perkawi-
nan. Jadi pesta 'Daupan' adalah pesta perkawinan.
Dan orang yang akan dinikahkan pada malam
'Daupan' nanti adalah kita berdua!"
"Edan!" Soka Pura tersentak bangun, ia me-
mandang si gadis dalam posisi duduk terbengong.
"Mengapa kau terkejut"! Apakah itu hal yang
buruk bagimu"!" Nilawesti bersuara lembut, tangannya melepaskan pedangnya
sendiri yang ada di punggung.
"Aku... aku tidak bilang itu hal yang buruk. Ta-
pi... tapi aku sama sekali tidak bermaksud menikah
dengan mu, Nila! Aku belum melamar mu dan...
dan...." "Paman ku dan beberapa orang sudah melihat kau menyentuh kulitku saat
kau membawa tubuhku
yang terluka itu."
"Habis, apakah aku harus menyeret tubuhmu!"
"Persoalannya bukan itu, Soka," sambil Nilawesti menggantungkan pedangnya pada
dinding, ke- mudian ia juga melepaskan jubah birunya, hingga kini
hanya kenakan kain penutup dada dan kain pem-
bungkus pinggul.
"Aku adalah calon kepala suku, dan aku masih
perawan. Pemuda mana pun yang berani menyentuh
tubuhku, berarti dia sudah dianggap menodai kesu-
cianku. Itu menurut hukum adat Suku Kano."
"Ah, aku.... aku hanya melakukan sebatas ke-
butuhan saja. Artinya... artinya...."
"Hukum adat tak bisa dibantah, Soka," sambil Nilawesti duduk kembali di tepian
dipan berkasur, dekat sekali dengan Soka Pura.
Lanjutnya, "Hukum adat Suku Kano juga me-
nyebutkan, siapa pun yang menyelamatkan nyawa pu-
tri Ketua Suku Kano, maka ia berhak mendapatkan
hadiah istimewa, yaitu menikah dengan putri tersebut.
Kebetulan, aku bukan saja putri keturunan Ketua Su-
ku Kano, tapi juga calon ketua suku ini. Kebetulan ju-ga, kau telah berhasil
membunuh orang kedua dari
Suku Ampar, yaitu si Bajak Rempo. Dalam kitab hu-
kum adat Suku Kano, siapa pun yang berhasil mem-
bunuh orang pertama, orang kedua atau orang ketiga
dari musuh Suku Kano, maka ia harus menjadi ma-
syarakat Suku Kano dengan melakukan perkawinan
dengan salah satu masyarakat kami."
Soka Pura semakin tertegun. bagai kehilangan
seribu bahasa. Tapi pandangan matanya masih tertuju
pada wajah cantik Nilawesti yang mempunyai senyum
penghibur ketegangan hati itu. Seandainya tanpa se-
nyum itu, Soka Pura pasti akan lebih panik lagi dan
mungkin ia akan membantah keras ketentuan tersebut
"Karenanya ketika kau ingin lepaskan pukulan
maut mu kepada Bajak Rempo, aku melarangmu, se-
bab aku takut kau tak mau menikah denganku! Tapi...
akhirnya Bajak Rempo tewas juga olehmu. Mau tak
mau kita harus menikah karena sudah banyak meme-
nuhi ketentuan hukum adat kami."
"Tapi... kita belum saling mencintai, Nila! Kau
sendiri juga tidak mencintai ku dan...."
"Mencintai atau tidak, aku harus mau dinikah-
kan dengan orang yang telah menyelamatkan nyawaku
dan membunuh orang kedua dari musuh kami. Sean-
dainya wajahmu rusak, tubuhmu pendek, cebol, boro-
kan, tapi jika memenuhi ketentuan hukum adat itu,
aku harus tetap mau dinikahkan denganmu!"
"Bagaimana kalau aku menolak hadiah terse-
but?" "Kami akan merasa tersinggung. Semua masyarakat Suku Kano akan merasa
sakit hati, karena peno-
lakan seperti itu adalah penghinaan bagi kehormatan
Suku Kano. Akhirnya, kita akan menjadi seteru, saling bermusuhan dan... bisa
jadi kau akan dibunuh oleh
pamanku atau para pengawalnya."
"Kenapa jadi begini"!" gumam Soka Pura lirih sekali sambil garuk-garuk kepala.
Rasa pening di kepalanya semakin bertambah, sehingga Pendekar Kembar
bungsu akhirnya hanya bisa tertegun tanpa suara.
Namun telinganya masih bisa mendengar apa yang di-
katakan Nilawesti saat tangan gadis itu mengusap-
usap punggung Soka, sesekali merapikan rambut Soka
ke belakang telinga.
"Sebagai calon mempelai, kita diberi waktu un-
tuk saling memadu rasa di dalam Kamar Pelamin ini.
Maksudnya, agar saling mengenali pribadi masing-
masing dengan kemesraan dan asmara yang diha-
rapkan kian berbunga-bunga. Diharapkan pula pada
waktunya nanti, setelah upacara 'Daupan' dilaksana-
kan, kami sudah saling memahami apa yang dibutuh-
kan oleh masing-masing pihak. Biasanya malam pen-
genalan itu dilakukan selama tujuh hari sebelum upa-
cara 'Daupan' tiba. Begitulah ketentuan hukum adat di Suku Kano!"
"Aku tak tahu harus bicara apa jika sudah be-
gini," gumam Soka lirih. Ia justru terbaring lagi dengan napas terhempas.
"Apakah kau kecewa mendapat istri seperti-
ku"!" tanya Nilawesti sambil sedikit rundukkan kepala agar suaranya yang lirih
didengar oleh Soka. Tapi pemuda tampan itu hanya diam menatap dengan bibir
sedikit merekah karena tak tahu harus menjawab apa.
"Apakah menurutmu aku gadis yang tidak me-
narik?" Ucapan itu menyentuh hati Soka. Rasa iba pun timbul di sela-sela
kebingungannya. Maka tangan Soka
pun mengusap kepala Nilawesti dengan lembut.
Si gadis sengaja geserkan kepala agar usapan
tangan Soka menyentuh wajah. Maka tangan itu pun
mulai mengusap lembut pipi si gadis. Senyum tipis Ni-
lawesti semakin menaburkan bunga indah di hati So-
ka, membuat kebingungan itu lekas reda dengan sen-
dirinya. "Kau sudah punya istri sendiri, Soka?"
Pendekar Kembar bungsu gelengkan kepala.
"Mungkin sudah punya kekasih atau tunan-
gan" Soka bingung memberi reaksi atas pertanyaan
itu. Ia sempat teringat wajah Bulan Berkabut, tapi
bayangan wajah itu cepat sirna ketika Nilawesti beri-
kan senyum tipis kembali.
Senyum itu menggetarkan gairah, membuat
Soka Pura sentuhkan jemarinya di bibir Nilawesti. Si
gadis menggigit jari itu lembut sekali. Detak jantung Soka menjadi cepat karena
hasrat bercumbunya mulai
terpancing. Akhirnya kedua tangan Soka memegangi kepala
Nilawesti dan sedikit menariknya turun. Kepala itu
bergerak lembut mendekati wajah Soka Pura. Mata si
gadis segera terpejam dengan bibir merekah penuh
tantangan. Kedua bibir itu pun akhirnya saling bertemu.
Soka mengecup bibir itu dengan lembut sekali. Nila-
westi membalas kecupan tak kalah lembut dengan
tangan mengusap-usap dada Soka. Usapan itu terasa
menghangat di sekujur tubuh Soka, membuat batin
Soka menuntut untuk meraih keindahan yang lebih
tinggi lagi. Maka tangan pemuda tampan itu pun sege-
ra melepaskan tali pengikat kain penutup dada Nila-
westi. Tees...! Dengan sekali sentak tali pengikat itu terlepas, maka dada si
gadis pun bebas tanpa hamba-
tan. Soka Pura yang sudah lupa dengan sakit kepa-
lanya segera memeluk gadis itu. Ciumannya makin
memburu dan si gadis sengaja memberikan apa yang
diinginkan Soka. ia mengeluh dengan suara lirih, lalu meremas rambut Soka dengan
pelan-pelan ketika Soka
Pura menyambar dada sekal itu dengan mulutnya.
Haap...! "Oh, Sokaaa...," desah si gadis membuat Soka Pura kian bertambah
hanyut. Ia makin lupa dengan
sakit kepalanya, juga lupa dengan kebingungannya da-
lam mengambil sikap atas pertanyaan batinnya: "haruskah aku menikah dengannya"!"
Repotnya lagi, Nilawesti semakin berikan kesan
hangat bagi Soka Pura. Ciuman gadis itu bagaikan ko-
baran api yang dapat melelehkan besi baja. Soka Pura
Raja Naga 7 Bintang 4 Sumpah Palapa Karya S D Djatilaksana Gajahmada 9
^