Pencarian

Rahasia Golok Cindar Buana 2

Pendekar Gagak Rimang 4 Rahasia Golok Cindar Buana Bagian 2


membantu para penduduk yang lain, bila mereka memang benar tengah diteror oleh
orang-orang sialan itu?" berseru salah seorang.
"Benar, Ki Lurah!" lanjut salah seorang. "Kita tidak akan membiarkan mereka pun
berbuat sewenang-wenang mereka saja terhadap sesama. Apakah lalu kita akan diam
saja bila kita tahu kalau orang-orang itu tengah menyebarkan teror-nya?"
Sahutan-sahutan ramai pun terdengar.
Ki Lurah Perkoso hanya mendesah.
Sementara Pandu, murid dari Eyang Ringkih Ireng yang bermukim di Gunung Kidul
hanya mencoba untuk menjadi pendengar yang setia.
Dilihatnya ki lurah seperti hendak berkata. Dan di dengarkannya dengan sek-sama
apa yang dikatakan ki lurah itu.
"Yah... tentunya kita tidak akan berbuat seperti itu. Namun yang perlu di-
tanyakan, apakah kita tahu di mana dan desa mana yang tengah diserang oleh
gerombolan liar itu" Dan bila kita tahu, apakah kita harus segera ke sana,
sementara desa kita sepi tanpa warganya"
Yah... aku pun masih punya rasa perikemanusiaan sebenarnya. Namun bagiku, desa
dan wargaku inilah yang teramat penting nasib dan kehidupannya.
Sekali lagi kukatakan, aku bukannya hendak mengalihkan atau tidak mengindahkan
apa yang tengah dialami oleh warga desa lainnya. Namun nasib kita di sinilah
yang harus kita jaga. Karena aku tidak mau bila suatu saat kita meninjau ke desa
yang tengah di landa kesengsaraan, desa kita kosong melompong. Dan orang-orang
liar itu mendadak saja mengalihkan penye-rangan ke desa kita.
Bukankah itu amat menakutkan seka-
li" Jadi... kupikir, lebih baik kita tetap saja berjaga-jaga dan menunggu kedatangan
mereka di sini!"
Orang-orang itu terdiam. Mereka pun akhirnya memaklumi apa yang dikatakan Ki
Lurah Perkoso. Dan ini bukanlah demi ke-pentingan mereka sendiri. Namun yang
mereka takutkan, bila nyatanya yang dikatakan ki lurah benar.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Ki Lurah?" bertanya salah seorang. Dia
sebenarnya seusia dengan ki lurah. Namun hanya bedanya dia nampak lebih tua dari
ki lurah. "Apakah kita akan membiarkan saja sementara beberapa orang anak gadis
kita dibawa mereka. Dan aku tidak yakin mereka akan mendapatkan satu kebahagiaan
di sana. Tentunya... oh, mereka akan dijadikan pelampiasan nafsu orang-orang be-
jat itu!" Kali ini ki lurah mendesah panjang.
Dia sebenarnya pun memikirkan hal itu. Namun ke mana mereka akan bisa mencari
jejak orang-orang jahat yang tak berperikemanusiaan itu"
Anginnya saja pun tidak tahu ke ma-na anak-anak gadis mereka di bawa.
"Pak Martono... yah, mungkin sebenarnya inilah yang menyusahkan hatiku.
Aku pun teramat was-was memikirkan nasib mereka. Tapi apa yang bisa kita
perbuat, sementara hatiku sendiri begitu cemas?"
Orang-orang pun terdiam. Ki lurah mendesah masygul. Yah, dia pun tidak tahu apa
yang hendak diperbuatnya.
Tiba-tiba terdengar suara pelan namun berwibawa, semuanya menoleh pada Pandu,
pemuda gagah yang mengenakan caping.
"Maafkan kelancanganku bicara sebelumnya," desis Pandu.
Ki lurah tersenyum. Sikap pemuda ini meskipun sudah di terima sepenuhnya oleh
mereka, tetap saja memperlihatkan sikap yang santun.
"Silahkan Pandu... katakanlah apa yang ingin kau katakan...." kata Ki Lurah
Perkoso. Pandu membuka capingnya. Dan melihat orang-orang yang duduk di lantai itu
memperhatikannya. Angin berhembus sejuk dari luar dan masuk melalui celah-celah
pagar yang dijadikan dinding balai desa itu.
"Bila ternyata kita semua mengua-tirkan nasib para anak gadis kita, ada baiknya
bila salah seorang atau beberapa orang dari kita untuk mencari jejak mereka.
Kupikir, kita memang tak perlu lagi membuang waktu sia-sia menunggu kedatangan
mereka. Yah, kita harus segera mengambil satu keputusan yang tepat. Bila kita
membuat waktu lebih lama lagi, kupikir nasib para gadis yang dibawa oleh
orang-orang jahat itu akan sukar untuk dilindungi...."
Pandu mengedarkan tatapannya pada orang-orang yang masih memperhatikannya.
"Yah, untuk tugas penyelidikan ini... aku bersedia untuk melakukannya...."
Dari keheningan karena mendengar kata-kata Pandu itu, berubah menjadi suara
riuh. Ki lurah menenangkan warganya.
"Pandu... bila benar kau menginginkan hal itu dan bersedia melakukannya, kami
mengucapkan banyak terima kasih. Tetapi bila kau memerlukan bantuan beberapa
orang pemuda warga desa ini, kami pun bersedia membantu."
Pandu tersenyum.
"Tidak perlu, Ki. Maaf... bukannya aku tidak memerlukan bantuan kalian dan tidak
mengindahkan rasa berterima kasih, tetapi aku lebih suka melakukannya sendiri."
"Yah... bila itu maumu, silahkan-lah, Pandu...." kata Ki Lurah Perkoso.
Dan berita Pandu hendak mencari kediaman orang-orang kejam itu sampai di telinga
Lastri. Hati gadis itu menjadi gundah dan gelisah. Dia dapat merasakan kekejaman dari
orang-orang Gerombolan Telapak Bara itu. Dan dia tidak menghendaki Pandu men-
jadi korban dari kekejaman mereka.
Maka ketika pemuda itu muncul di rumahnya, dia langsung bertanya, "Kakang
Pandu... benarkah kau hendak mencari markas orang-orang kejam itu?"
Pandu yang telah mengikat kudanya membuka capingnya. Dia tersenyum yang membuat
Lastri jadi gelagapan tersipu.
Dan tanpa sadar dia menunduk dengan wajah merona merah.
Ih, dia jadi benci sendiri pada dirinya.
Mengapa dia begitu gelisah sekali"
Mengapa dia cemas" Ah, tidak tahukah Pandu, kalau aku menyukaimu?"
"Rayi Lastri...." kata Pandu masih tetap tersenyum. "Memang itulah adanya, aku
memang hendak mencari mereka. Karena di samping itu, aku juga amat gelisah
dengan gadis-gadis yang mereka culik."
Mendengar kalimat itu wajah Lastri menegak. Cemas akan gadis-gadis" Oh, sudah
kenalkah Pandu dengan mereka" Mengapa pemuda ini begitu cemas" Ataukah dia
secara diam-diam telah mengenal salah seorang dari mereka" Dan maksud
kedatangan-nya yang sebenarnya adalah untuk menjum-pai gadis itu"
Bermacam pikiran jelek singgah di benak Lastri. Dia begitu kuatir sekali
nampaknya. Melihat gadis itu terdiam, Pandu
berkata, "Mengapa, Rayi" Mengapa kau terdiam" Adakah kata-kataku yang
menyinggung perasaanmu?"
Gadis itu tanpa sadar menggelengkan kepalanya. Terlalu cepat dilakukannya, desis
Pandu dalam hati.
"Adakah kata-kataku yang menyinggung perasaanmu, Rayi?" ulang Pandu.
"Oh, tidak, Kakang... tidak... tidak ada apa-apa...."
"Lalu mengapa kau terdiam, Rayi?"
"Ah, sungguh tidak ada apa-apa, Kakang..." "Benar kah?" "Iya, Kakang...."
Sebenarnya Pandu sudah tahu apa yang membuat gadis ini terdiam. Tentunya gadis
ini cemburu kala dia berkata mencemaskan gadis-gadis yang diculik oleh
gerombolan Telapak Bara yang kejam itu..
Namun bagi Pandu itu bukanlah satu hal yang bagus. Bukan-kah memang patut dia
mencemaskan keselamatan para gadis yang entah bagaimana nasibnya hingga saat
ini" Dan kemudian gadis itu yang kedua, tentunya dia cemas dengan perginya Pandu
untuk mencari orang-orang kejam itu. Karena itu sama saja dengan mengantarkan
nyawa percuma. Tetapi bagi Pandu yang yakin mengapa gadis itu menjadi cemas, tentunya karena
gadis itu menyayanginya menjadi serba salah mengikuti sikap dan tingkah gadis
itu. Dari sikap yang diperlihatkan gadis itu sehari-hari selama dia berada di rumah
itu, begitu besar sekali. Dari makan hingga tidurnya pun diperhatikan.
Sebenarnya Pandu risih dengan sikap yang diperlihatkan oleh Lastri. Karena dia
tahu semua itu dilakukan atas dasar cinta. Sedangkan dia" Ah, cinta... apakah
dia cinta sama Lastri" Pandu tidak tahu dan tidak pernah mengerti. Dia memang
su-ka bila berdekatan dan berduaan dengan Lastri. Tetapi tidak bermaksud untuk
men-gakrabkan hubungan itu dengan satu tali percintaan yang bisa mengikat.
Pandu tidak ingin seperti itu.
Cinta baginya hanyalah cinta sebagai seorang kakak dan adik. Atau cinta anak
pada orang tua. Bukannya cinta seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Terlalu berat, terlalu berat resiko yang tentu akan ditanggungnya nanti. Tak
mungkin dalam pengembaraannya ini dia membawa seorang istri. Tak akan mungkin.
Bagaimana pula dia bisa bebas mengembara, bila di benaknya dipenuhi oleh nasib
anak dan istrinya nanti" Pandu menghela nafas panjang.
"Ah, Lastri... maafkan aku...." desisnya dalam hati.
Lalu ditatapnya gadis itu yang masih menundukkan kepalanya. Dan perlahan-lahan
serta hati-hati pula dia memegang
dagu gadis itu yang langsung tersentak kaget dan tanpa sadar mengangkat
kepalanya. Pandu dapat melihat kerjapan malu dan senang pada sepasang mata yang bening dan
cerah itu. Dan secepat dia mengangkat wajahnya, secepat itu pula dia menurunkan wajahnya.
Gelagapan tersipu. Dengan satu gerakan lembut yang sopan dan mampu membuat hati
Lastri bergetar, Pandu menaik-kan wajahnya.
Hingga mau tidak mau gadis itu terpaksa menatapnya. Sepasang mata itu semakin
tersipu. Ah, rasanya tak kuasa Lastri menolaknya bila Pandu mengecupnya atau
menarik tubuhnya ke dalam rangkulannya.
Dan dia memang mengharapkan pemuda itu melakukannya.
Namun pemuda itu masih tegak menatapnya. Tidak melakukan apa-apa biarpun
tangannya masih memegang dagunya. Hal itu membuat Lastri semakin kagum karena
pemuda itu tidak ceriwis dan tidak menggunakan kesempatan yang ada.
Jarang dia menemui pemuda seperti Pandu. Justru dari sikap Pandu itulah yang
membuat Lastri semakin menjadi penasaran untuk dipeluk dan di rangkul.
Ataupun... ih, dikecup!
Tetapi pemuda itu tidak berbuat apa-apa. Lastri mendengar pemuda itu ber-
kata, "Rayi... mengapa kau nampaknya cemas padaku" Mengapa kau nampaknya tidak
rela bila aku mencari orang-orang kejam itu" Bukankah kau tahu, bila orang-orang
itu dibiarkan terus berkeliaran, maka nasib orang banyak akan jadi malapetaka
yang luar biasa. Kau sudah menyaksikan bagaimana kekejaman mereka bukan, Rayi"
Dan kau tentunya dapat merasakan kepedi-han bagaimana yang dialami orang-orang
yang terkena gangguan mereka" Pilu dan luka, Rayi. Apalagi dengan nasib para
gadis yang mereka culik" Mungkin sudah ra-tusan jumlahnya gadis-gadis yang
mereka culik dari berbagai desa itu tanpa seorang pun yang tahu bagaimana nasib
mereka. Ini amat memprihatinkan, bukan?"
"Tapi, Kakang...." suara gadis itu bergetar. "Aku kuatir denganmu...."
"Mengapa kau kuatir, Rayi" Mengapa?"
Ditembak dengan pertanyaan yang langsung pada sasaran dan tatapan mata yang
menikam, membuat Lastri menunduk.
Dan tiba-tiba saja dia berlari masuk ke dalam tersipu dan berujar, "Karena...
aku sayang padamu, Kakang...."
"Benar dugaanku," desah Pandu dalam hati. "Yah, memang sudah kuduga hal itu
sebenarnya. Namun aku tidak mau terlibat percintaan seperti itu. Maafkan aku,
Rayi Lastri."
Lalu dia menaiki kudanya dan menggebrak larinya dengan cepat. Dari balik gorden
Lastri mengintip dengan hati pilu.
"Mengapa Pandu tidak pamit lagi padaku?"
Desisnya di hati.
Sementara pemuda itu terus memacu kudanya dengan cepat. Baginya dia merasa tidak
perlu memikirkan Lastri. Biarlah gadis itu akan menyadari sendiri, bahwa aku
tidak pantas untuknya.
Tidak mungkin gadis lembut seperti dia bisa kuajak mengembara, dan kalau pun
bisa mungkinkah aku akan tega melakukannya.
Mengajaknya bertualang" Ah, bukankah dalam pengembaraanku ini akan banyak
kujumpai kendala dan halangan yang amat susah" Bisakah kulakukan bersama Lastri"
Bisakah" Pandu mendesah panjang dan melarikan kudanya kencang-kencang. Dia tidak mau lagi
mengingat gadis itu. Biarlah gadis itu, biarlah dia tenggelam dalam angannya.
Dan aku tak mau menambah angan itu semakin dalam.
Kala siang hari saat matahari sudah merambah dunia dengan kegarangan sinarnya,
Pandu menghentikan kudanya di suatu tempat yang cukup sepi. Pohon-pohon besar
dan tinggi cukup menghalangi sinar matahari yang datang menyengat.
Setelah menambatkan kudanya, Pandu
lalu merebahkan tubuhnya di rerumputan, namun setelah beberapa saat berlalu, ti-
ba-tiba di dengarnya derap langkah kuda yang bergegas ke arahnya dengan bergemu-
ruh dan cepat. Menimbulkan tanda tanya.
Pandu pun segera bangkit untuk melihat siapa yang datang. Dan batinnya
berbicara, bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menggembirakan.
* ** 6 Semula Pandu tidak melihat dengan jelas siapa orang-orang yang menunggangi kuda-
kuda itu. Namun ketika tinggal beberapa tindak lagi, barulah dia mengenali dua
orang penunggang kuda itu yang pernah mau merebut Golok Cindarbuana yang ter-
sampir di punggungnya.
Dan dia memang benar, orang-orang itu adakah Wayaluta, Jimbun dan Rimbin.
Yang setelah mendapat tugas dari Ki Pancang Jalak atau Hantu Bertangan Bara
untuk membunuh Pandu dan merebut Golok Cindarbuana dari tangannya, telah tiba di
sini. Mereka hampir seminggu lamanya memacu kuda-kuda mereka dengan rasa penasa-
ran dan tidak sabar untuk bertemu dengan pemuda yang mereka cari!
Dan sudah tentu mereka gembira kala secara tidak sengaja bertemu dengan pemuda
itu di sini! Bukankah ini merupakan satu keberuntungan sehingga mereka tidak
perlu bersusah payah lagi"!
Serentak ketiganya memperlambat la-ri kuda mereka. Dan betapa geramnya Jimbun
dan Rimbin begitu melihat siapa pemuda yang tengah beristirahat dengan santai
dan wajah yang sebagian tertutup caping yang dikenakannya. Namun kali ini sudah
berdiri dengan gagah.
"Bangsat! Rupanya kau berada di si-ni, pemuda busuk!" membentak Jimbun dengan
marahnya. Wajahnya seketika beringas.
Dan nafasnya mendengus-dengus. Dendamnya semakin menjadi-jadi dengan besar
sekali. Pandu hanya tersenyum. Hingga sekarang ini dia masih tetap heran bagaimana kedua
manusia jelek ini bisa terlepas da-ri totokannya.
"Hmmm... rupanya Tiga Malaikat Tali Pencabut Nyawa yang ada di hadapanku
sekarang ini! Tetapi kini tinggal Dua Malaikat Tali Pencabut Nyawa dan seorang
ki sanak yang tak kukenal. Hmm... ada apakah gerangan hingga kalian tidak segera
me-lanjutkan perjalanan"!"
Lalu mengapa kalian menuduh aku yang membunuh" Rupanya kalian berdua ini
orang-orang yang pelupa sekali. Adik seperguruan kalian mati oleh tangan kalian
sendiri"!"
Merah padam wajah Rimbin. Memang, mereka juga kaget ketika menyadari senjata
tali berujungkan besi lancip yang menjadi senjata andalan mereka menancap di
tubuh Tambon. Namun semua itu semua itu karena si pemuda setan ini!!
"Perduli setan! Semuanya kaulah yang menjadi gara-gara!"
"Aku" Hahaha... sejak semula sudah ku katakan, kita tidak punya saling sengketa.
Namun kalian yang datang ingin membunuhku dan merebut Golok Cindarbuana milikku
ini! Nah, bagaimana aku bisa menyerahkan nyawa dan golokku ini begitu saja pada
kalian" Mustahil bukan! Tapi... aku kagum dengan kalian berdua, rupanya kalian
bisa membebaskan diri juga, bukan"
Tapi... tidak mungkin rasanya bila tidak ada yang menolong. Dan dugaanku, kaulah
ki sanak yang telah menolong mereka...."
Wayaluta yang merasa pandangan mata Pandu tertuju padanya hanya menyeringai.
"Hehehe... memang aku yang telah membebaskan mereka dari totokanmu, Anak muda...
Tapi perduli setan dengan semuanya. Yang kami inginkan sekarang, berikan Golok
Cindarbuana itu pada kami! Dan setelah itu, kau boleh membunuh diri!!"
Pandu tersenyum walau dalam hati
berkata, lagi-lagi golok ini. Ada rahasia apa sebenarnya di batik golok ini"
"Tidak mungkin sepertinya mendapatkan golok ini dari tanganku...."
"Bila benar adanya demikian, maka kau menantang orang-orang Telapak Bara!"
seru Wayaluta dengan suara yang angker.
"Telapak Bara" Apa pula itu?" tanya Pandu tidak mengerti.
Dia memang sungguh-sungguh tidak mengerti. Namun Wayaluta menganggapnya sebagai


Pendekar Gagak Rimang 4 Rahasia Golok Cindar Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu penghinaan dan ejekan. Karena ternyata masih ada orang yang tidak tahu
tentang Gerombolan Telapak Bara.
"Pemuda busuk! Sombong pula kau rupanya! Ketahuilah, Telapak Bara adalah sebuah
gerombolan yang bermukim di Gunung Merapi. Dan dipimpin oleh Ki Pancang Jalak
atau yang bergelar Hantu Bertangan Bara!"
"Apakah dia yang menyuruh kalian untuk merebut Golok Cindarbuana dari tanganku
ini?" "Tanpa diperintah oleh dia pun kami datang memang untuk membunuhmu!!" seru
Jimbun dan tangannya sudah bergerak, memainkan senjata talinya yang ujungnya
terikat sebuah besi tajam.
Desingan senjata itu cukup keras.
Pandu serentak berjumpalitan ke samping.
Dalam hatinya dia menggerutu, "Sialan!
Sebenarnya ada rahasia apa di balik
Golok Cindarbuana ini" Benar-benar aneh!
Aneh sekali!"
Dan melihat Jimbun sudah menyerang, Rimbin pun segera menggerakkan senjata tali
berujungkan besinya. Kini dua senjata itu pun berputar-putar berdesing dengan
hebatnya. Menyambar dengan cepat ke arah Pandu. Sungguh luar biasa cepatnya.
Angin yang ditimbulkan akibat desingan senjata itu cukup keras.
Pandu sendiri sudah menggunakan jurus menghindarnya, Bangau Terbang. Lalu.
Namun kedua senjata itu tetap mengejar dengan hebatnya.
Belum lagi ketika Wayulata sudah membantu dengan jurus Telapak Baranya.
Setiap tangannya bergerak, terasa hawa panas yang cukup menyengat menerpa kulit
Pandu. Hal ini benar-benar membuatnya ke-repotan.
"Celaka! Aku tidak bisa bertahan lama-lama kalau begini! Mereka terus
menyerangku! Enak saja, aku tidak di beri kesempatan untuk menyerang! Baiklah,
kita lihat sekarang!!" desis pemuda berbaju putih itu dalam hati.
Tiba-tiba saja dia berjumpalitan ke belakang dan sebelum hinggap di bumi dia
sudah melepaskan pukulan sinar putihnya.
Selarik sinar putih itu mampu mengurungkan niat Wayaluta untuk menerobos masuk
menyerbu. "Haittt!!" serunya seraya menghindar ke kiri.
"Bangsat!!" geram Jimbun dan segera menyerang lagi dengan senjatanya. Kali ini
Pandu pun kembali mencecarnya dengan Pukulan Sinar Putihnya. Namun Jimbun yang
dalam hal ini ditemani oleh Rimbin, tidak mengenal takut. Keduanya terus
menerobos masuk. Membuat Pandu menjadi kebingungan sendiri. Karena jarak yang
mereka perlihatkan begitu dekat, begitu memudahkan mereka untuk menyerang dengan
lebih leluasa, karena senjata mereka itu bisa digunakan dalam menyerang jarak
panjang maupun jarak pendek.
"Brengsek!!" dengusnya apalagi setelah Wayaluta merangsek masuk. Membuatnya jadi
kewalahan. Tak satu pun dari serangan ketiganya yang berani di tangkis-nya,
hanya dihindarinya saja.
Dan Pandu pun membuka Pukulan Patuk Gagak. Semua pukulan itu mampu mengimbangi
ketiganya dengan kecepatan handal yang diperlihatkan. Gerakannya sungguh-sungguh
amat cepat dan mengagumkan.
Dan kaki tangannya seolah berubah menjadi gerakan Burung Gagak Rimang yang
kadang gemulai dan. kadang keras. Cepat dan hebat. Sejenak Pandu berhasil
menguasai pertarungan. Namun karena dia tak berani bersentuhan tangan dengan
Wayaluta yang telah mengeluarkan pukulan Telapak Baranya sejak tadi, inilah yang
membuatnya menjadi menjaga jarak.
Dan akhirnya dia kembali terdesak.
"Celaka! Mereka benar-benar tangguh! Huh! Mengapa harus ada orang yang bisa
menggunakan Telapak Bara itu" Ilmunya sungguh hebat sekali! Sulit bagiku untuk
melawannya. Hei... apakah mesti kugunakan Ajian Tangan Malaikat ku?"
Sambil memikir-mikirkan hal itu, Pandu masih berusaha untuk mengimbangi
serangan-serangan ketiga lawannya. Dan dia pun tak dapat membendung serangan
ketiga lawannya.
Memang tidak ada jalan lain lagi kalau begini. Terpaksa ilmu andalannya yang
diturunkan oleh gurunya, Mpu Daga, harus digunakannya. Selama ini dia memang
belum pernah menggunakan Ajian Tangan Malaikatnya. Dan kali inilah kesempatan
itu. Tiba-tiba saja Pandu melompat ke kiri, kala tangan Wayaluta sudah hendak
menyambar tubuhnya. Lalu dia berjumpalitan ke belakang ketika dua senjata yang
dilepaskan Jimbun dan Rimbin mencecar ke arahnya.
Dalam hal ini Pandu bisa saja menggunakan Golok Cindarbuana yang ada di
punggungnya. Ilmu golok pun lumayan hebat. Namun karena masih penasaran ada ra-
hasia apa sesungguhnya di balik Golok Cindarbuana itu, membuat Pandu menjadi
enggan untuk menggunakannya.
Memang tidak ada jalan lain untuk menghadapi mereka. Ajian Tangan Malaikatnya
harus segera dia gunakan.
Dan begitu dia berhasil menghindari serangan-serangan itu, Pandu langsung me-
rangkum kedua tangannya di dada. Nampak dia seperti tengah bersemedi. Ketiga
lawannya saling pandang tidak mengerti. Namun kemudian mereka langsung
menyerang. Sungguh luar biasa. Karena tiba-tiba saja tubuh Pandu melenting ke atas.
Dan saat hinggap di tanah kedua tangannya mengepulkan asap berwarna putih.
Ketiga lawannya tahu, kalau pemuda itu tengah mengeluarkan jurus andalannya.
Dan ini membuat mereka semakin berhati-hati menyerang. Namun mereka telah
berjanji, untuk tidak mengecewakan hati Ki Pancang Jalak.
Mereka pun tetap menyerbu dengan maksud merebut Golok Cindarbuana dan membunuh
pemuda itu. "Pemuda edan! Lebih baik serahkan saja golok itu pada kami, bila tidak ingin kau
mati dalam keadaan yang menyakitkan!!" seru Wayaluta sambil menyerbu.
"Hahaha... tak akan pernah kuberi-kan golok ini pada siapa pun yang bermaksud
jahat denganku!" sahut Pandu sambil
menghindari serangan itu dan mencoba mem-balasnya lewat satu jotosan tangan
kanannya. Wayaluta langsung menghindar pula karena dia merasakan hawa yang
sungguh-sungguh panas luar biasa menguar dari tangan itu. Dan ini membuatnya
menjadi pucat. Pandu melihat hal itu, "Hahaha...
rupanya Telapak Baramu tak ada gunanya bukan melawan ilmu Cakar Gagak Rimang
yang kumiliki ini?"
"Bangsat! Apa pula dengan ilmu Cakar Gagak Rimang itu"!" bentak Wayaluta.
"Hahaha... mengapa harus sungkan-sungkan bertanya, hah" Semua ini tak perlu
kujelaskan, karena sebentar lagi kalian akan merasakan ilmu itu. Dan kalian akan
tahu siapa aku... hahaha!!"
"Sombong!!" dengus Jimbun sambil melontarkan lagi senjatanya. Namun sungguh di
luar dugaannya, karena begitu senjata itu dekat dengannya, tiba-tiba saja Pandu
seperti gerakan membelah, tangan kanannya mengibas ke arah besi yang tengah
meluncur itu ke arahnya.
"Trass!!"
Tali itu terputus terpotong. Namun ujung besinya terus meluncur ke arah Pandu.
Dengan satu gerakan yang luar biasa cepat dan sigapnya, tubuh Pandu berputar dua
kali ke belakang menghindari ujung besi itu. Dan.... "Des!!" Tangan kanannya
mengibas, tepat menghantam ujung besi itu
hingga berbalik dengan cepat.
Lebih cepat dari datangnya dan meluncur ke arah pemiliknya!
Jimbun terkejut.
Sungguh dia amat tidak menyangka kalau senjatanya akan berbalik ke arahnya.
Dan dia pun seolah terpaku oleh senjatanya yang datang kembali ke arahnya. Tanpa
ampun lagi besi itu pun menancap tepat di jantungnya.
Terdengar lolongan keras yang amat menyayat di pagi hari ini.
Melihat kawannya mati, Rimbin menjadi buas dan marah. Dia mencecar Pandu dengan
segala kecepatannya. Ujung talinya yang berbentuk besi itu menyambar-nyambar
dengan cepat. Menimbulkan desingan angin yang kuat, atau pun seperti gemuruh
tawon yang datang beramai-ramai.
"Kau harus membayar nyawa Jimbun, Pemuda sombong!!" serunya kalap dan terus
mencecar. Pandu pun menghindarinya dengan cepat dan sigap. Dan tiba-tiba dia terdiam
ketika ujung besi itu mengarah padanya.
Namun lima senti ujung besi itu tepat menghujam jantungnya, tiba-tiba tubuhnya
bergerak ke atas. Tangan kanannya menyambar ujung besi itu dan dijadikannya
sebagai batu tumpuan untuk mengempos tubuhnya.
Dan tubuhnya itu pun terempos ke atas. Langsung meluncur ke arah Rimbin yang
kini bisa jadi terpaku. Dan tanpa ampun lagi telapak tangan Pandu yang terbuka
itu tepat mengenai dadanya.
Terdengar lolongan bagaikan orang digigit seorang srigala lapar.
Dan tak lama kemudian tubuh Rimbin menggelepar, lalu ambruk terdiam. Dan ti-ba-
tiba saja tubuh itu mengempos-ngempis.
Lalu tiba-tiba meledak!
Pandu terkejut. Ya Tuhan... begitu kejam kah Ajian Cakar Gagak Rimang miliknya.
Benar-benar amat mengerikan. Pantas, gurunya melarangnya menggunakan ilmu itu
sembarangan Karena akibatnya sungguh-sungguh di luar dugaan.
Bau sengit pun menguar karena tubuh itu berubah menjadi hangus.
Wayaluta sendiri pun terkejut. Tadi dia menduga, Ajian Cakar Gagak Rimang yang
dimiliki pemuda itu hanya satu ilmu yang menimbulkan hawa panas. Sama seperti
yang dimilikinya ini. Dan ilmu Tangan Malaikat itu pasti jauh berada di bawah
il-mu si Hantu Bertangan Bara. Namun melihat hasil dari satu pukulan yang
dilepaskan pemuda itu pada Rimbin tadi, sungguh amat mengejutkannya.
Terus terang dia mengakui, ilmu si Hantu Bertangan Bara masih kalah oleh ajian
milik si pemuda ini.
Karena merasa tak sanggup untuk menghadapinya lagi, Wayaluta hanya bisa
mendengus. "Pandu... suatu saat nanti, kita akan berjumpa lagi!"
"Ki Sanak... mengapa kiranya ki sanak bernafsu untuk memiliki Golok Cindarbuana
ini, dan begitu bernafsu ingin membunuhku" Ada apa dengan golok ini" Dan mengapa
nyawaku begitu amat diinginkan oleh ki sanak untuk di cabut?"
Wayaluta mendengus.
"Persetan dengan semua pertanyaanmu! Jawablah sendiri! Karena kau pun sebenarnya
tahu apa jawabannya!"
"Sungguh, ki sanak... aku tidak ta-hu apa jawabannya! Masalah misteri apa yang
terpendam di balik golok ini saja sudah amat membingungkanku!"
"Hmm... kau sungguh hebat berkata...." "Ki Sanak... aku sungguh bingung dengan
semua ini. Belum lagi mengapa kalian begitu bernafsu untuk membunuhku"
Padahal sejak semula aku tidak memiliki silang sengketa dengan kalian" Ini
benar-benar merupakan satu teka-teki yang sulit untuk kujawab!"
"Hmm... bila kau penasaran, baiklah akan kujawab pertanyaanmu itu. Kami memang
menginginkan nyawamu! Karena kami memang menginginkan kau mati! Sedangkan kenapa
kami menginginkan golok itu, kare-
na kau tak pantas memilikinya! Tak pantas golok itu berada di tanganmu,
mengerti"!"
"Belum, Ki Sanak. Aku belum mengerti sepenuhnya. Sebenarnya aku tidak mau
terlibat perkelahian terus menerus denganmu atau dengan siapa saja karena golok
ini. Aku ingin kita hidup berdampingan.
Tidak saling mencari silang sengketa yang berkepanjangan!"
"Selama kau masih memiliki Golok Cindarbuana itu, maka selamanya orang akan
mencarimu! Demikian pula aku, Wayaluta, anggota dari Gerombolan Telapak Ba-ra
yang akan membuatmu musnah dari muka bumi ini!"
Tiba-tiba Pandu terdiam. Telinganya seakan tidak percaya dengan apa yang
didengarnya. Anggota Telapak Bara" Oh, bukankah dia memang sedang mencari orang-
orang itu" Ataukah... ya, ya... tentunya dia memang anggota Telapak Bara
mengingat dari ilmu yang digunakannya tadi.
Untuk meyakinkan Pandu bertanya, separuh geram dan separuh menyelidik.
"Wayaluta... benarkah kau anggota perkumpulan kejam yang menamakan dirinya
Gerombolan Telapak Bara?"
Wayaluta terbahak.
"Hahaha... agaknya kau jeri mendengar nama gerombolanku yang sudah begitu hebat,
hah" Nah, bukankah lebih baik kau segera saja menyembah berlutut kepadaku,
hah" Cepat, sebelum ajalmu datang!"
Pandu mendesah dalam hati.
"Wayaluta... apakah orang-orangmu yang menyerbu dan membumihanguskan Desa Batang
Muara?" "Hahaha... aku sudah tidak ingat lagi nama desa-desa yang kupimpin untuk
kuhancurkan! Batang Muara" Ya, ya... rasanya aku pernah mendengar nama itu.
Tetapi entahlah benar atau tidak... Hahaha... soalnya aku sudah lupa. Karena
terlalu banyak desa-desa yang kami ratakan dengan tanah!" kata Wayaluta
terbahak. Pandu yang tadi semula sudah menahan dirinya lagi, kini kembali menjadi emosi.
Hhh! Kalau tak percuma dia bertemu dengan manusia-manusia kejam ini. Bukankah
ini akan membuatnya mudah melakukan rencananya"
"Wayaluta... ingatkah kau dengan seorang kepala desa yang bernama Ki Lurah
Perkoso?" pancing Pandu untuk meyakinkan bahwa Desa Batang Muara dihancurkan
oleh Wayaluta yang memang orang-orang dari Telapak Bara. "Ingatkah kau akan hal
itu, Wayaluta"!"
Wayaluta terlihat terdiam. Lalu kemudian terdengar tawanya yang keras.
"Hahaha... ya, ya... aku ingat, aku ingat sekarang! Benar, kalau begitu Desa
Batang Muaralah yang kami hancurkan baru-baru ini. Hei, pemuda tengik!
Ketahuilah, bahwa gadis-gadis dari Desa Batang Muara begitu cantik menggairahkan!
Bahkan ketua kami, Ki Pancang Jalak amat menyukai mereka! Hahaha, ya, ya...."
Terbahak Wayaluta namun tiba-tiba tawanya terhenti. Sepasang matanya tajam
menatap Pandu. "Hhh! Lalu kau mau apa sebenarnya"! Apa kau pikir kaulah dewa
penyela-mat bagi setiap manusia yang kami teror hah" Jangan bermimpi pemuda
tengik!!" "Wayaluta... agaknya petualangan kekejaman kau, ketuamu dan gerombolanmu akan
segera berakhir! Selama aku masih ada di bumi ini, tak kubiarkan kalian terus-
menerus menebarkan teror yang kejam!"
"Hahaha! Kau tengah bermimpi di siang belong, Pandu!"
"Katakan pada ketuamu yang bernama Ki Pancang Jalak itu! Bila dia memang jantan
adanya, kutunggu dia di Lembah Maut saat purnama pertama bulan ini! Dan bila dia
menolak tantanganku, maka lebih baik tinggalkan dunia ini dan jangan kembali
lagi!" "Sombong!!" Wayaluta menggeram murka dan tiba-tiba tubuhnya sudah melesat
menerjang dengan ganas. Dia kembali menggunakan Ajian Telapak Baranya. Namun
Pandu yang tengah kesal dan kejam, mengim-banginya dengan Ajian Tangan
Malaikatnya tingkat pertama. Dan gebrakan Wayaluta tak ada gunanya. Dia pun
harus kalah da-
lam gebrakan pertama. Mulutnya mengalirkan darah segar saat dia muntah.
Matanya tajam menatap. Penuh kegeraman yang amat sakit di dada.
Pandu tersenyum.
"Maafkan aku, Ki Sanak.... Katakanlah pada ketuamu tentang tantanganku itu!
Dan sebaiknya, kau tak perlu ikut campur dalam masalah ini!!"
"Persetan denganmu!" geram Wayaluta. "Ingat, Pandu... suatu saat nanti, kita
akan bertemu lagi! Dan kau harus menyerahkan nyawamu dan Golok Cindarbuana itu
padaku! Mengerti"!"
"Ki Sanak...."
Namun tubuh Wayaluta telah menghilang dengan membawa dendam dan amarahnya yang
luar biasa. Juga luka dalam yang di deritanya di dada. Bukannya berhasil
mendapatkan apa yang mereka inginkan, malah mengorbankan nyawa Jimbun dan
Rimbin. Bahkan sebenarnya secara diam-diam Wayaluta kagum dengan keberanian dan ketega-
ran pemuda itu.
Dan dia pun mengakui kalau pemuda itu amat tangguh. Apalagi dengan Ajian Cakar
Gagak Rimang. Hmm... jadi dugaan ketua benar, kalau saat ini ada seorang
pendekar kelana yang bergelar Pendekar Gagak Rimang, desisnya dalam hati. Dan
gelar itu bukanlah gelar kosong belaka!
Gelar yang amat menggetarkan bagi
yang mendengarnya! Dan akan membuat orang lari terbirit-birit bila sudah
menyaksikan kehebatan ilmunya!
Sementara Pandu mendesah panjang.
Rupanya secara kebetulan tugasnya mencari orang-orang kejam itu berakhir hingga
di sini, karena dia akan menantang Ki Pancang Jalak untuk bertarung di Lembah
Maut. Dan secara tidak sengaja pula, dia dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang
begitu penasaran untuk merebut Golok Cindarbuana itu.
Kini Tiga Malaikat Tali Pencabut Nyawa telah mampus. Dan dia siap untuk
menghadapi Ki Pancang Jalak atau Hantu Bertangan Bara demi keadilan dan kebena-
ran.

Pendekar Gagak Rimang 4 Rahasia Golok Cindar Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baginya hidupnya tidak akan tenang bila dia tidak menghentikan sepak terjang
orang-orang itu.
Lalu Pandu segera menaiki kudanya dan melarikan lagi kudanya. Kembali ke Desa
Batang Muara. Sesampai di sana, dia segera melaporkan semuanya pada Ki Lurah Perkoso.
"Jadi kau akan datang ke Lembah Maut itu, Pandu?" tanya ki lurah.
"Benar, Ki. Aku akan ke sana. Jangan ada seorang pun yang meninggalkan de-sa.
Karena menurutku, keadaan kini lebih gawat dari sebelumnya. Dugaanku, orang-
orang itu akan segera menyerang ke mari."
"Tapi, Anak muda... tegakah hati kami melepaskan kau pergi seorang diri?"
"Ki lurah... percayalah, aku sudah berjanji akan menolong orang-orang di de-sa
ini dari keangkaramurkaan yang dilakukan orang-orang kejam itu. Nah, aku akan
tunaikan janjiku itu.
Biarlah semuanya aku yang tanggung.
Bila Gusti Batara Agung masih memperbo-lehkan aku hidup, maka aku akan tetap
hidup. Percayalah, Gusti Batara Agung akan menjaga umat-Nya yang berlindung
padaNya. Tak ada yang bersuara.
Dan tentang pertarungan itu pun terdengar oleh Lastri. Gadis itu hanya bisa
menangis berkepanjangan.
Dia amat mencintai pemuda itu.
Amat mencintainya!
* * * 7 Ki Pancang Jalak alias Hantu Bertangan Bara menggebrak meja yang ada di
hadapannya hingga hancur berantakan.
Wayaluta yang duduk di hadapannya tanpa sadar menggigil. Dan tanpa sadar pula
dia langsung menundukkan kepalanya begitu ta-
tapannya berbenturan dengan tatapan mata Ki Pancang Jalak yang bukan main
dinginnya. "Bodoh! Goblok! Menghadapi pemuda itu saja kau gagal, hah"! Bahkan harus
mengorbankan nyawa Jimbun dan Rimbin! Benar-benar tolol! Sungguh tolol!!" seru
Ki Pancang Jalak dengan suara murka.
Wayaluta hanya menunduk. Tadi pun dia ragu sebenarnya untuk mengatakan hal itu.
Namun ketuanya bisa-bisa marah besar bila dia terlambat memberi keterangan yang
sesungguhnya. Hal seperti itu saja, padahal dia tidak terlambat, murkanya sudah
bukan alang kepalang lagi. Ini amat berbahaya.
"Maafkan saya, Ketua... pemuda itu amat tangguh sekali," kata Wayaluta dengan
suara mendesis. Bagaikan desahan belaka. Wajahnya nampak pias dan ketakutan.
"Bodoh! Tolol! Kau benar-benar tidak berguna, Wayaluta! Kau bisa membunuhnya!
Kau hanya omong besar, Wayaluta!!"
"Ketua...." kata Wayaluta sambil menahan rasa takutnya. "Pemuda itu sungguh
tangguh sekali, Ketua. Dia... dia...
memiliki ilmu Tangan Malaikat, Ketua...."
Ki Pancang Jalak yang sedang mondar mandir dengan perasaan kesal seketika
berhenti melangkah. Berbalik menatap Wayaluta dengan tatapan terbelalak.
"Apa katamu"!"
"Dia... dia memiliki ilmu Cakar Gagak Rimang, Ketua...."
"Kau tidak salah, Wayaluta?"
"Ketua.,.. Ketualah yang pernah menceritakan hal itu padaku, kalau ilmu itu
adalah satu ilmu yang amat langka di muka bumi ini. Bahkan dikabarkan ilmu itu
sudah tidak ada sama sekali
Dan aku pun tahu bagaimana ciri-ciri dari ilmu itu. Bukankah ketua sendiri yang
menceritakannya padaku" Dia sungguh-sungguh memiliki ilmu yang amat langka itu,
Ketua! Ilmu Cakar Gagak Rimang.
Ki Pancang Jalak terdiam. Ilmu Cakar Gagak Rimang" Oh, ilmu yang pernah
menggemparkan dunia puluhan tahun yang silam. Lalu mengapa sekarang ada seorang
pemuda yang menguasai ilmu itu" Siapakah pemuda itu sebenarnya"
Apakah selama ini desas-desus yang mengabarkan adanya seorang pemuda kelana yang
tangguh dan bergelar Pendekar Gagak Rimang benar adanya.
Wajah Ki Pancang Jalak semakin merona memerah kala mendengar kata-kata da-ri
Wayaluta selanjutnya.
"Ketua... bahkan pemuda itu menantang ketua untuk bertanding di Lembah Maut kala
purnama pertama di bulan ini."
"Anjing buduk.'!" geram Ki Pancang Jalak hingga berdiri. Wajahnya menampak-kan
kegeraman yang amat luar biasa. Ma-
tanya beringas dengan nafas yang mendengus-dengus menyeramkan.
Wayaluta menjadi ngeri. Dan tanpa sadar dia menundukkan kepalanya. "Benar,
Ketua...."
"Setttan!! Pemuda itu belum tahu siapa aku rupanya, hah"! Baik, aku akan terima
tantangan bertarung di Lembah Maut itu!" desisnya menggeram menakutkan.
"Ketua...." kata Wayaluta sambil perlahan-lahan. "Bukannya saya meremehkan
ketua... saya yakin, ilmu Tangan Bara ketua tidak ada tandingannya. Namun...."
"Hhh! Aku mengerti maksudmu, Wayaluta! Nah, pergilah kau ke Gunung Semeru!
Temui kakak seperguruanku yang sedang bersemedi di sana!"
"Baik, Ketua. Tapi...."
"Apa, Wayaluta?"
"Bagaimana caranya hingga saya mengetahui dia adanya" Bukankah selama ini saya
tidak pernah berjumpa dengannya?"
"Dia bernama Ki Kerto Ijo atau yang berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa! Dia tengah
bersemedi di puncak Gunung Semeru.
Katakanlah padanya, kalau aku amat membu-tuhkan segala bantuannya. Mengerti?"
"Ya, Ketua... tetapi jalan menuju ke Gunung Semeru demikian sulitnya. Dan aku
tidak yakin bila tidak banyak penjeg-al di sana."
"Bawa beberapa anak buahmu! Cepat,
Wayaluta!" Deru Ki Pancang Jalak. "Bunuh siapa saja yang menghalangi langkahmu!
Persetan dengan mereka! Penghinaan ini tidak pernah aku terima!
Cepatlah, Wayaluta! Ilmu Cakar Gagak Rimang yang dimiliki pemuda itu hanya bisa
dilawan oleh ilmu kakak seperguruanku si Malaikat Pencabut Nyawa!"
"Baik, Ketua!" kata Wayaluta hormat. Lalu dia mengumpulkan tiga orang teman atau
anak buahnya. Dan saat itu juga dia berangkat menuju Gunung Semeru.
Ki Pancang Jalak hanya mendesah panjang. Lalu dia memasuki kamar yang ada di
kediamannya itu. Satu sosok tubuh te-lanjang bulat sudah menunggunya dalam
keadaan tidak sadar.
* * * Ki Kerto Ijo atau Malaikat Pencabut Nyawa memiliki tubuh tinggi besar. Wajahnya
amat menyeramkan. Di dadanya tersam-pir kalung tengkorak yang menyala berwarna
merah kedua matanya. Di dua pergelangan tangannya terdapat dua belah gelang yang
besar dan tebal. Begitu pula di kedua pergelangan kakinya.
Ki Pancang Jalak menyambut kakak seperguruannya itu dengan tertawa gembira.
Keduanya berpelukan karena sekian la-
ma tidak berjumpa.
Ki Kerto Ijo disuguhi anak perawan yang masih murni, dan anak perawan itu hanya
bisa menangis sedih. Setelah itu, keduanya bercakap-cakap.
Sekali-kali terlihat wajah Ki Kerto Ijo geram bukan main. Dan kala mendengar
kata-kata Ki Pancang Jalak tentang Golok Cindarbuana yang dimiliki pemuda itu
wajahnya menjadi gembira.
Dia terbahak-bahak keras.
"Hahaha... ini berita yang menggembirakan bagiku, Jalak! Bagus, bagus! Ya, ya...
aku sudah tidak sabar rasanya untuk melumat ratakan dengan tanah pemuda busuk
yang bergelar si Tangan Malaikat itu!
Namun yang kutahu, di dunia ini hanya seorang yang memiliki ilmu Cakar Gagak
Rimang. Dia adalah pertapa sakti Eyang Ringkih Ireng atau majikan Gunung Kidul
di Bukit Paringin. Bila dikaitkan dengan pemuda itu, sudah bisa dipastikan kalau
dia adalah murid tunggal Eyang Ringkih Ireng.
Hmm, agaknya memang benar adanya.
Ya, ya... Pukulan Sinar Putihnya pun amat tangguh. Tentunya semua ilmu yang
dimiliki oleh Eyang Ringkih Ireng telah diturunkan kepadanya, mengingat pemuda
itu pun memiliki ilmu yang amat hebat itu!"
"Benar, Kakang Kerto.... Dan aku yakin, ilmu Malaikat Pencabut Nyawa yang
akan bisa menandingi kehebatan ilmu dari Pendekar Gagak Rimang!"
Mendengar pujian itu, Ki Kerto Ijo terbahak lebar. Ternyata saat tertawa pun
tidak mengurangi keseraman wajahnya yang menakutkan itu.
"Hahaha... jangan kuatir soal itu, Adi Jalak! Semuanya akan beres aku tanga-ni!
Hmm, ya, ya... rasanya aku pun sudah tidak sabar menunggu bulan ini!"
"Benar, Kakang!" kata Ki Pancang Jalak yang sebenarnya masih mengira-ngira dan
mengukur kehebatan ilmu Tangan Malaikat yang mampu menggetarkan siapa saja yang
mendengar nama itu.
Namun dia membesarkan dirinya, bahwa ilmu Tangan Baranya akan mampu mem-
bungkamkan sepak terjang Pendekar Gagak Rimang.
"Kurasa... kau sendiri mampu melakukan, Adi Jalak!" kata Ki Kerto Ijo.
"Tetapi bukankah bila ada kau, ke-kuatan ku malah bertambah, Kakang?" kata Ki
Pancang Jalak menyeringai.
Ki Kerto Ijo terbahak keras.
"Lembah Maut akan menjadi saksi kematian dari Pendekar Gagak Rimang, yang
namanya kini telah beranjak naik ke per-mukaan.
Dan nama Ki Kerto Ijo alias Malaikat Pencabut Nyawa akan menggebrak naik menjadi
jago nomor satu di rimba persila-
tan ini... hahaha!!"
Ki Pancang Jalak pun terbahak-
bahak. Rasanya keyakinannya bertambah untuk memiliki Golok Cindarbuana. Namun
sekali waktu dia berpikir, apakah golok sakti itu akan jatuh ke tangannya bila
kakaknya pun ingin memiliki golok itu"
Ki Pancang Jalak hanya mendesah panjang.
* ** 8 Bila mendengar nama Lembah Maut di sebutkan, orang sudah bergetar hatinya.
Bahkan bisa kuncup melempem. Jangankan untuk mendatangi tempat itu, mendengar
namanya saja orang sudah ngeri dan berpikir seribu kali untuk pergi ke sana.
Konon di Lembah Maut pernah terjadi pertarungan yang amat hebat antara dua tokoh
dari Tiongkok. Dan kedua orang sakti itu pun sama-sama tewas setelah ber-tempur
seratus hari seratus malam tanpa beristirahat.
Bahkan ada yang menduga, kalau Lembah Maut itu pun akan menjadi makam abadi bagi
yang mendatanginya.
Namun di kala rembulan tepat berada di atas kepala, sinarnya cemerlang dan
bersinar purnama, nampak dua sosok tubuh berada di lembah itu. Lembah yang
sekelilingnya kosong melompong dan di penuhi oleh batu-batu cadas yang tajam dan
terjal. Bila malam hari angin dingin berhembus menembus hingga ke tulang sumsum.
Namun bila siang hari, panas yang luar biasa akan menyengat menyakitkan.
Tetapi di tengah dinginnya angin yang berhembus dan pekatnya kabut yang cukup
tebal, sekilas nampak dua sosok tubuh yang berdiri tegar. Seakan tidak
menghiraukan hembusan angin itu. Bahkan terlihat keduanya nampak begitu tenang
dan tidak merasa terganggu.
Mata keduanya nampak begitu waspada memperhatikan sekelilingnya.
"Hmm... agaknya manusia itu adalah manusia pengecut, Adi Jalak!" terdengar suara
bernada seram. "Benar, Kakang! Sudah cukup lama kita menunggu di sini, namun manusia itu belum
muncul juga!!" terdengar sahutan yang di tanya tadi,
Keduanya adalah Ki Kerto Ijo dan Ki Pancang Jalak. Purnama telah tiba berarti
tantangan itu pun akan segera terlaksana.
Sudah hampir seperminum teh mereka berada di sana, namun sedikit pun mereka
tidak melihat bayangan Pandu.
Namun tiba-tiba terlihat sekilas cahaya berwarna putih melesat ke angkasa.
Keduanya tersentak.
"Apa itu, Kakang?" tanya Ki Pancang Jalak.
"Entahlah, aku pun baru melihat cahaya putih bersinar seperti itu!"
Selagi keduanya sibuk untuk mengetahui cahaya apa yang baru saja berkele-bat,
mendadak saja satu sosok tubuh melenting ke angkasa dan hinggap di dekat
keduanya. Keduanya cukup terkejut, karena gerakan sosok tubuh itu begitu cepat tanpa
menimbulkan sedikit suara. Yang lebih terkejut lagi, Ki Pancang Jalak ketika
mendengar suara angker bertanya.
"Hmm, kaukah Ki Pancang Jalak alias Hantu Bertangan Bara" Bila memang benar
adanya, apakah kau telah menjadi manusia pengecut hingga menerima tantanganku
dengan membawa teman, hah"!"
Dari rasa keterkejutannya segera beralih pada kegeraman. Seketika Ki Pancang
Jalak segera tahu siapa manusia yang tengah berdiri di hadapannya ini. Meskipun
matanya susah untuk melihat wajah yang bersuara tadi karena tertutup oleh caping
yang dikenakan, namun Ki Pancang Jalak dapat merasakan sorot tajam dari mata
yang hanya terlihat sedikit itu.
"Hhh! Rupanya Pendekar Gagak Rimang telah berdiri di hadapanku!!"
"Memang benar adanya, Ki Pancang
Jalak! Aku tidak mau panjang lebar sebenarnya, hentikan sepak terjangmu
menyebarkan teror di muka bumi ini, niscaya nyawamu akan kuampuni! Namun bila
tidak, kau tak akan pernah lagi melihat dunia yang begitu indah ini, Ki Pancang
Jalak!" Dan satu hal itu, katakan... ada rahasia apa di balik Golok Cindarbuana ini" Dan
mengapa kau begitu bernafsu untuk memilikinya"
"Demikian pula dengan para kerocomu yang nekad membuang nyawa percuma di
tanganku!"
Wajah Ki Pancang Jalak memerah, terlihat jelas karena purnama bersinar terang.
Dan terdengar geraman hebat dari sisinya.
Ki Kerto Ijo menggeram bagaikan de-sisan srigala lapar. Kedua tangannya yang
besar dan kekar mengepal, menandakan dia telah marah.
Pandu hanya tersenyum. Dan dia dapat mengetahui kalau ilmu yang dimiliki laki-
laki menyeramkan ini lebih tinggi dari ilmu kesaktian Ki Pancang Jalak.
"Pandu!" seru Ki Kerto Ijo. "Lebih baik kau segera menyerahkan Golok Cindarbuana
itu padaku, setelah itu kau boleh pergi dengan tenang!
Namun bila kau melanggar perintahku ini, maka nyawa dan jasadmu akan terpisah
selama-lamanya!"
Mendengar ancaman itu Pandu hanya membuang tawa.
"Lucu, lucu sekali! Siapakah kau sebenarnya, manusia jelek lagi seram"
Apakah kau merasa yakin bisa merebut Golok Cindarbuana dari tanganku ini, hah?"
Demikian pula dengan kau, Ki Pancang Jalak! Meskipun kau minta bantuan manusia
kerbau seperti dia itu, tak akan mungkin kau bisa mengalahkan aku!!"
"Anjing!" geram Ki Pancang Jalak.
"Katakan... ada rahasia apa di balik Golok Cindarbuana ini"!"
"Persetan dengan permintaanmu itu!
Cepat serahkan golok itu pada kami!"
"Hahaha... agaknya kau pun menjadi pemimpi, Ki Pancang Jalak! Ceritakan rahasia
apa yang terpendam pada golok ini, Ki Pancang Jalak"!"
"Anjing buduk! Lebih baik kau mampus saja!" maki Ki Pancang Jalak dan tubuhnya
pun menderu maju dengan kecepatan laksana angin kencang.
Pandu yang sejak tadi telah bersiap, hanya tersenyum saja. Dan begitu serangan
Ki Pancang Jalak hendak mengenai tubuhnya mendadak saja, Pandu berputar dan
tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke atas hinggap di tanah.
Ki Pancang Jalak menggeram hebat, merasa pendekar itu tengah mempermainkannya
dengan memperlihatkan ilmu peringan
tubuhnya. "Bedebah!" menggeram dia seraya membalikkan tubuhnya. Dan agaknya Ki Pancang
Jalak sudah tidak mau bertindak tanggung lagi. Apalagi di depan kakak
seperguruannya. Ibaratnya dia dipercundan-gi dengan sekali menghindar oleh
pemuda sialan itu!
Lalu dia pun merapal Ajian Tangan Baranya yang amat kejam. Seketika terlihat
dari siku hingga jari jemarinya warna seperti bara.
Dan mengeluarkan hawa panas yang cukup menyengat.
Pandu dapat mengira-ngira kalau il-mu itu amat mengerikan. Tetapi dia hanya
tertawa saja. "Bangsat! Mampuslah kau!" sambil menggeram kembali Ki Pancang Jalak menyerbu.
Pandu pun segera mengeluarkan il-mu menghindarnya. Gagak Rimang Terbang Lalu.
Namun serangan dan ilmu yang diperlihatkan oleh Ki Pancang Jalak sungguh suatu
ilmu yang dahsyat, kejam dan mengerikan. Angin yang timbul setiap kali dia
menggerakkan tangannya, menebarkan hawa panas yang menyengat. Biarpun Pandu
dapat menghindari serangan-serangan itu, namun hawa panas yang timbul amat
mengganggu gerakannya.
Lama kelamaan dia menjadi cukup ke-
panasan. Dan secara tiba-tiba saja kala Ki Pancang Jalak menyerbu, dia pun


Pendekar Gagak Rimang 4 Rahasia Golok Cindar Buana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung melenting ke angkasa. Dan diki-baskannya tangan kanannya. Selarik sinar
putih melesat ke arah Ki Pancang Jalak yang nampaknya hendak menyerang lagi.
Namun laki-laki ketua dari Telapak Bara itu harus mengurungkan niatnya menyerang
bila tidak ingin tubuhnya diterpa dan hangus oleh Pukulan Sinar Putih itu.
"Setttannnn!" dengusnya seraya ber-salto menghindar.
Pandu dapat sejenak bernafas.
Namun hanya beberapa detik saja, karena detik berikutnya Ki Pancang Jalak sudah
menyerbu ke depan dengan pekikan melengking yang menyayat hati.
Pandu pun tidak mau bertindak tanggung pula. Hanya satu yang bisa menghentikan
Ajian Tangan Bara milik Ki Pancang Jalak. Berpikiran demikian, maka dia pun
mengeluarkan Ajian Cakar Gagak Rimang.
Dan langsung memekik pula menyongsong ke depan, ke arah Ki Pancang Jalak yang
juga sedang menyerbu.
Tanpa ampun lagi dua pukulan sakti itu pun bertemu. Menimbulkan suara ledakan
yang cukup keras. Pasir yang ada di sekitar Lembah Maut beterbangan.
Dan dua sosok tubuh terpental ke belakang. Sungguh hebat dan mengerikan dua
ajian sakti itu bila bertemu dalam
satu bentuk permusuhan dan menganggap sebagai lawan belaka.
Bergulingan. Dan berhenti. Kala keduanya bangkit, terlihat keduanya muntah darah. Keadaan Ki Pancang Jalak
lebih parah rupanya, karena dia merasakan sekujur tubuhnya panas menyengat.
Dia menjerit-jerit bergulingan untuk mengusir rasa panas yang menyengat.
Ki Kerto Ijo segera bertindak cepat. Dia pun mengalirkan tenaga dalamnya pada
adik seperguruannya itu dengan maksud untuk mengusir hawa panas dari tubuh Ki
Pancang Jalak. Beberapa saat kemudian terlihat tubuh Ki Pancang Jalak yang bergulingan hebat
itu terdiam. Dan perlahan-lahan matanya yang terpejam ketat untuk menghi-langkan
dan menahan hawa panas itu terbuka.
Dia kini bisa bernafas dengan lega.
Lalu dia bersemedi untuk memulihkan tenaga dan jalan darahnya.
Sementara Ki Kerto Ijo tengah menatap Pandu yang bangkit perlahan-lahan.
Dia masih beruntung karena Ajian Cakar Gagak Rimang berada satu tingkat di atas
Ajian Tangan Bara Ki Pancang Jalak.
"Anak muda... ilmu Cakar Gagak Rimang sungguh luar biasa!" serunya jumawa sambil
berkacak pinggang. Jubah hitamnya
berkibar dihembus angin malam. "Bila aku tidak salah duga, kau tentunya murid
dari Eyang Ringkih
Ireng, pertapa sakti yang kini berdiam di Gunung Kidul, karena sudah merasa tua
dan tidak mampu untuk berada di kera-maian rimba persilatan!
Malam ini... aku hendak mencoba Ajian Tangan Malaikat milik Eyang Ringkih Ireng
yang pernah menggetarkan dunia persilatan puluhan tahun yang silam.
"Karena engkaulah pewaris tunggal dari pertapa sakti itu, maka engkaulah yang
menjadi sasarannya!"
Pandu yang diam-diam terluka dalam, mendesah. Dia memang belum tahu kehebatan Ki
Kerto Ijo atau Malaikat Pencabut Nyawa. Namun biarpun begitu, dia sudah dapat
mengira-ngira tentu amat tinggi kesaktian dari ilmu Ki Kerto Ijo. Dan berarti
ini bukanlah satu hal untuk main-main.
"Ki Kerto Ijo... kau dan adik seperguruan mu itu memusuhiku karena ingin merebut
Golok Cindarbuana, bukan" Namun secara pribadi... aku pun mengatakan bahwa aku
tidak menyukai sepak terjang yang kejam yang telah di lakukan kau Ki Pancang
Jalak dan anggota gerombolan mu yang buas itu!
"Hmm... sesungguhnya ada apakah di balik Golok Cindarbuana ini?"
Ki Kerto Ijo terbahak.
"Hahaha... kau belum tahu rupanya, Pandu" Goblok! Amat tolol kau! Hhh! Cepat kau
berikan golok itu padaku, sebelum nyawamu kucabut dan kau tak pernah akan
mengetahui rahasia apa yang ada di balik golok itu. Cepat!!
Saat ini yang ada di benak Pandu bukanlah untuk mempertahankan diri, me-lainkan
untuk mengetahui rahasia apa yang ada di balik Golok Cindarbuana.
"Kalau begitu... aku harus menyerang, karena diam pun percuma. Malah seakan aku
mengantarkan nyawa belaka!" desisnya dalam hati. "Maafkan aku, Eyang...
dua manusia ini teramat sakti untukku!"
"Kau tidak dengar kata-kataku, hah"!" membentak lagi Ki Kerto Ijo.
"Agaknya kita memang diharuskan untuk bertarung Ki Kerto Ijo. Aku tak akan
mundur selangkah ke belakang pun untuk menghadapimu!"
"Bagus! Nah, kau bersiaplah!" seru Ki Kerto Ijo. Kini sepasang matanya menatap
mengerikan dan siap memuntahkan kema-rahan yang luar biasa dalam dan dahsyat-
nya. Pandu pun bersiap.
Dan kala tubuh Ki Kerto Ijo menerjang ke depan, dia pun segera melesat.
Terjadi lagi pertempuran di tempat itu. Serangan demi serangan keduanya lakukan
dengan cepat. Dahsyat. Dan berbahaya.
Ki Kerto Ijo memang membuktikan ucapannya. Dia memang bukan omong kosong belaka.
Karena serangan-serangan Pukulan Patuk Bangau yang dilakukan Pandu berhasil
dipatahkannya. "Hahaha... lebih baik kau menyerah saja dan menyerahkan Golok Cindarbuana
padaku!" "Bangsat!" memaki Pandu sambil menghindari pukulan Ki Kerto Ijo.
"Eyang... ujian ini sungguh berat bagiku," desis Pandu dalam hati.
Dalam serangan-serangan berikutnya terlihat Pandu terdesak hebat. Dia memang
berusaha bertahan, namun berkali-kali pukulan atau pun tendangan yang dilakukan
Ki Kerto Ijo mengenai sasarannya.
"Goblok! Cepat kau keluarkan Ajian Cakar Gagak Rimang, hah" Cepat!"
Memang, mungkin hanya itu yang bisa membuatnya bertahan. Tiba-tiba tubuh Pandu
melenting ke angkasa. Dan kala dia hinggap di bumi, ilmu Cakar Gagak Rimang
telah terangkum di tangannya.
"Hahaha... mengapa tidak sejak ta-di, hah" Nah, kita buktikan... apakah il-mu mu
mampu mengalahkan Ajian Malaikat Pencabut Nyawa milikku!" seru Ki Kerto Ijo.
Beberapa saat kemudian terlihat dia terdiam. Matanya terpejam. Dan mendadak
tangannya berputar bagaikan baling-baling
lalu disusul dengan tubuhnya.
Sungguh dahsyat angin yang ditimbulkan oleh tangan dan tubuh yang berputar itu.
Pandu sedikit jeri melihatnya.
Mampukah ajian Cakar Gagak Rimang menahan serangan yang nampak begitu. hebat dan
mengerikan"
"Bersiaplah untuk mampus, Pandu!"
seru Ki Kerto Ijo dan tubuhnya pun sudah melesat menyerbu. Sungguh hebat sekali,
karena gebrakannya terus berputar. Mampu membuat lawan menjadi kebingungan dan
samar-samar mata yang melihat dan menjadi gelap.
Begitu pula yang dialami Pandu. Namun dia tetap berkonsentrasi penuh.
Tiba-tiba dia pun memekik dan menyongsong serangan itu. "Bantu aku, Eyang...."
Dan tanpa ampun lagi keduanya pun bertemu. Kali ini lebih hebat dan benturan
tenaga sakti Cakar Gagak Rimang dan Tangan Bara milik Ki Pancang Jalak.
"Duuuuaaarrr!!!"
Terdengar ledakan yang amat hebat dan kuat. Bumi seakan bergoncang dan
menimbulkan kepulan debu yang amat tebal.
Dari balik kepulan itu satu sosok tubuh terdorong ke belakang dengan kuat.
Tubuh Pandu, yang kini ambruk dengan dada terasa jebol dan seluruh tubuh yang
ngilu. Dan kala debu yang tebal itu
mulai menipis, terlihatlah sosok Ki Kerto Ijo yang tegar berdiri.
Lalu mengumandanglah tawanya yang keras luar biasa, menebar ke seluruh Lembah
Maut. Pandu dengan susah payah untuk
bangkit. Sakit. Sakit yang amat luar biasa dideritanya. Capingnya terlepas. Dan
terlihat tatapan mata yang mengandung sinar marah dan nyeri.
"Bangsat!" makinya lemah. "Aku akan mengadu jiwa denganmu!"
Dan tangannya pun bergerak, mencabut Golok Cindarbuana dari sarungnya. Ki Kerto
Ijo dan Ki Pancang Jalak mendesis kagum melihat golok yang luar biasa itu dan
mengeluarkan cahaya.
Mata Ki Kerto Ijo makin berkilat-kilat. "Serahkan golok itu padaku!"
"Hmm... rebutlah dari tanganku!"
"Anjing!" maki Ki Kerto Ijo dan kembali menyerbu.
Pandu pun melayaninya dengan ilmu goloknya yang amat hebat. Namun karena
tenaganya sudah melemah dan tubuhnya yang kesakitan, gerakannya menjadi kacau.
Dalam dua gebrakan berikutnya, dia sudah terhuyung dan terpelanting jatuh.
Goloknya terlepas.
Sigap Ki Kerto Ijo menyambarnya.
Dan mengelus-ngelusnya kagum dengan tawa yang menggelegar.
"Hahaha... akhirnya golok ini menjadi milikku! Dan rahasia yang selama ini
terpendam akan menjadi milikku pula! Hhh, Pandu... kini kau akan segera tahu
rahasia apa yang ada di balik Golok Cindarbuana ini.
Ketahuilah, ujung golok ini mengandung sari sakti yang amat hebat. Dua tetes air
yang keluar dari ujung golok ini mengandung ilmu
yang kuat. Bila orang beruntung mendapatkannya, maka dia akan kebal oleh akibat
sari sakti itu. Pukulan dan benda apa pun tak akan mampu mengalahkannya.
"Dan akulah orang yang mampu mengalahkannya!"
Lalu terlihat Ki Kerto Ijo mengosok-gosok ujung golok itu dengan menengadah,
tepat meletakkan ujung golok itu ke rongga mulutnya.
Pandu mendesah panjang. Ini tidak boleh terjadi. Dan dia pun tahu akhirnya
rahasia yang terpendam di balik Golok Cindarbuana itu. Namun dia tidak kuasa
untuk menahannya. Dia hanya bisa memperhatikan dengan hati pedih.
Sari sakti yang ada di ujung Golok Cindarbuana itu akan tertelan oleh Ki Kerto
Ijo. Yang dikuatirkan Pandu, karena Ki Kerto Ijo tentunya akan menggunakan
kesaktiannya untuk berbuat jahat.
"Maafkan aku, Eyang... aku tak kua-
sa untuk mencegahnya," desisnya pilu.
Namun mendadak terdengar jeritan kesakitan dari mulut Ki Kerto Ijo yang
terhempas ke depan. Golok yang dipegang-nya terlepas.
Ki Pancang Jalak berdiri gagah usai menyambar golok yang terlepas itu. Dialah
yang menghantam kakak seperguruannya dari belakang dengan Tangan Baranya. Dia
tidak ingin sari sakti Golok Cindarbuana tertelan oleh kakaknya.
Sejak semula dia memang telah me-rencanakan semua itu. Dia akan menikam dari
belakang kakak seperguruannya.
Ki Kerto Ijo yang merasakan tubuh bagian belakangnya hangus menoleh dengan
geram. "Kau"!" Hanya itu yang bisa di-ucapkannya, karena detik berikutnya
tubuhnya sudah ambruk. Racun Tangan Bara milik Ki Pancang Jalak sudah mengenai
jantungnya. Kini Ki Pancang Jalak terbahak-
bahak. "Hahaha... akulah yang akan memiliki kesaktian ilmu kebal dari sari sakti Golok
Cindarbuana ini!" Lalu dia pun menggosok-gosok ujung golok itu dengan cara yang
sama yang tadi dilakukan oleh kakak seperguruannya.
Manusia ini sungguh licik, desis Pandu yang tidak mengira Ki Pancang Jalak akan
melakukan pembokongan yang mengeri-
kan itu. Dan manusia itu masih tertawa. Tangannya masih menggosok-gosok ujung golok itu.
Namun mendadak saja terdengar lengkingan kesakitannya.
Tubuhnya terhuyung. Jalannya limbung. Pandu melihat enam buah anak panah
menancap di punggung Ki Pancang Jalak.
Lalu nampaklah beberapa orang yang membawa busur ke arahnya. Ki Lurah Perkoso
dan beberapa orang penduduk.
Ki Pancang Jalak masih berusaha untuk bertahan, namun jantungnya telah ter-
tembus anak panah itu. Limbung. Dan terdengar lolongan yang keras saat tubuhnya
ambruk ke tanah.
Darah segar bermuncratan. Nyawanya pun melayang.
Pandu mendesah lega. Kelicikan itu telah terbalas.
Ki Lurah Perkoso bergegas menghampiri.
Hatinya pilu melihat Pandu yang kesakitan dan terluka! "Pandu...."
"Tenanglah, Ki....tolong ambil golok itu."
Ki lurah menyerahkannya. Pandu
menggosok-gosok ujung golok itu. Dan lama kelamaan menetes dua buah air dari
ujungnya, yang langsung ditelannya.
Rahasia Golok Cindarbuana telah terungkap. Dan dia pula yang beruntung men-
dapatkannya. Tubuhnya seketika terasa segar.
Sungguh ajaib sari sakti yang terdapat dari Golok Cindarbuana ini. Rasa sakitnya
pun menghilang. Pandu mengambil capingnya dan memasukkan golok itu ke sarungnya.
Lalu dia berdiri. Ditatapnya ki lurah.
"Ki lurah... kurasa Sudah saatnya kita berpisah. Terima kasih atas pelaya-nan
yang telah diberikan kepadaku."
"Anak muda...."
Tetapi sosok itu telah lenyap. Dan dari kejauhan hanya terdengar ringkik ku-da
saja. Membuat orang-orang menjadi kagum. Walau sesungguhnya mereka masih
bertanya, siapakah sebenarnya pemuda itu!
Dan di rumahnya, Lastri terus menunggu yang berkepanjangan.
SELESAI Ikutilah serial:
Pendekar Gagak Rimang berikutnya, dalam episode:
LAMBANG PENYEBAR KEMATIAN
Ebook by Abu Keisel
Pedang Angin Berbisik 4 Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung Lembah Merpati 1
^