Pencarian

Satria Pedang Asmara 2

Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara Bagian 2


Selanjutnya tubuh Bergawa Hitam nampak tergetar
hebat, keringat dingin mengalir membasahi tubuh
yang hanya tinggal kulit pembalut tulang. Melihat apa
yang dilakukan oleh Bergawa Hitam, Andika kembali
tertawa dingin. Pandangan matanya yang berkilat-kilat
redup, menatap kosong pada Bergawa Hitam yang se-
dang berusaha mengerahkan segenap kemampuannya.
"Huaaaa.... haa... haa....! Orang-orang sengsara
seperti diriku. Kau pasti akan merasa kecewa dengan
apa yang kau lakukan....! Pekerjaan yang sia-sia ada-
lah Menanti Kekasih Yang Tak Kunjung Datang....
huaaat....!" teriak Andika sambil hantamkan pedangnya ke arah lawannya. Pada
saat yang sama Bergawa
Hitam pun hantamkan pukulannya ke arah Andika.
Tak dapat dicegah lagi, serangkum gelombang sinar
berwarna kelabu nampak melesat sedemikian cepat
menyongsong musuhnya. Tapi di luar dugaan Bergawa
Hitam, begitu Pedang Asmara di tangan Andika diputar
sedemikian cepat, pukulan itu menjadi tertahan, bah-
kan mulai terasa membalik. Pemuda wajah totol-totol
melipat gandakan tenaga dalamnya. Sedikit demi sedi-
kit tubuh Bergawa Hitam nampak mulai terdorong ke
belakang. Melihat kenyataan ini, Bergawa Hitam terus
mengerahkan segenap kemampuannya. Wajahnya
yang kurus cekung itu semakin lama semakin bertam-
bah pucat bagai kehilangan darah. Kini sadarlah dia
bahwa kesaktian yang dimiliki oleh lawannya ternyata
berada jauh di atas tingkatannya. Sedetik laki-laki kurus itu berpikir, namun
detik-detik yang sangat ber-
harga itu dipergunakan oleh lawannya untuk melepas
satu pukulan yang diberi nama 'Penantian Sia-Sia'......
"Weeert.... Seeb.....!"
Kepulan asap berwarna biru mengawali melesat-
nya serangkum gelombang pukulan berhawa aneh. Be-
gitu pukulan yang dilepaskan oleh Andika sampai pa-
da sasarannya, tak dapat dihindari lagi. Tubuh kurus
kering itu pun terpelanting tujuh tombak. Bagian pa-
hanya menghantam batu cadas sebesar kambing. Batu
itu hancur berantakan. Dapat dibayangkan sebenar-
nya Bergawa Hitam merupakan seorang tokoh yang ju-
ga memiliki ilmu sangat tinggi. Namun pada kenya-
taannya ilmu yang dimiliki oleh Andika melebihi ting-
kat kepandaian yang dimiliki oleh Bergawa Hitam. Be-
gitupun laki-laki itu cepat-cepat bangkit kembali, na-
mun dalam saat yang sama dengan sekali lompat pe-
dang di tangan Andika yang terus menggeletar mencari
sasaran datang menyambut. Satu inci ujung pedang
itu mencapai bagian dada Bergawa Hitam. Laki-laki
kurus itu hanya mampu membelalakkan matanya,
tanpa sempat lagi mengelak dan menangkis.
"Jraaaakgh....!"
Tiada keluhan maupun rintihan yang terdengar.
Pedang di tangan pemuda wajah totol-totol itu telah
merenggut nyawa si kurus. Kali ini luka yang ditim-
bulkan akibat sambaran Pedang Asmara juga tidak
meninggalkan darah. Semakin bertambah dingin tata-
pan mata si pemuda, pada saat itu terdengar suara te-
riakan perempuan yang berada di dalam tenda.
"Kakang Andika....!" panggil Indah Dewi dengan kegembiraan yang meluap-luap
pengantin baru itu
berlari-lari menghampiri.
Tapi pemuda itu mendengus dan bersikap seolah-
olah tiada mengenali Indah Dewi.
"Kakang... kau sekarang telah menjadi seorang
pemuda yang sangat sakti! Tahukah kau selama ini
aku sangat merindukan kehadiranmu....?" ucapnya
dengan mata berbinar-binar menahan keharuan. Tapi
di luar dugaannya, laki-laki berwajah totol-totol itu pa-
lingkan mukanya ke arah jurusan lain. Lalu nada sua-
ra tanpa perasaan pun terdengar: "Maaf nona! Aku tak pernah mengenalmu! Mungkin
kau salah alamat....!"
Indah Dewi terbelalak matanya, sama sekali dia tiada
menyangka bahwa Andika yang dulu sangat mencintai
dirinya kini telah berubah sama sekali. Hatinya pun
menjerit, jiwanya protes.
"Kakang, apakah kau masih marah atas kekasa-
ranku dulu padamu....?" tanya gadis itu dengan wajah tertunduk sedih.
"Aku tak mengenal wanita manapun! Aku tak ju-
ga mengerti apa yang nona ucapkan!" kata si pemuda tiada bergeming.
"Kau keterlaluan kakang, kau tidak dapat mem-
bohongiku, kau pasti kakang Andika!" jerit gadis itu dengan berurai air mata.
"Andika yang dulu telah mati tercabik-cabik bela-
ti asmara! Andika yang melarat yang dulu dicemooh-
kan oleh banyak orang itu telah bunuh diri di Lembah
Patah Hati. Dia telah pergi jauh karena merasa tak
mampu mengatasi getirnya cinta. Dia memang layak
mati, karena hidup tak pernah berpihak kepa-
danya....!" ucapnya bertambah dingin.
"Kakang Andika....!" teriak Indah Dewi histeris.
"Mengapa kau berkata seperti itu?" jeritnya lagi.
"Sudah kukatakan aku bukan Andika....! Pergilah
aku telah menolongmu dari cengkeraman tangan me-
reka....!"
"Kakang, sia-sialah penantianku selama ini....!"
"Tiada penantian yang sia-sia! Bahkan nona telah
hidup bahagia dengan pemuda pilihan orang tua yang
kaya raya. Bukankah benar kata orang tua nona, ke-
bahagiaan itu terletak pada harta benda. Bukan seper-
ti kata-kata almarhum Andika, bahwa kebahagiaan bi-
sa terwujud dengan adanya kasih sayang, kasih men-
gasihi, dan rasa pengertian yang mendalam." sindir pemuda berwajah totol-totol
itu. "Ucapan almarhum Andika itu tak usah nona percaya, kata-kata itu hanyalah
sebait syair tembang pengantar tidur orang-
orang melarat....!"
Semakin bertambah perih hati Indah Dewi begitu
mendengar kata-kata si pemuda. Sama sekali dia tiada
menyangka, bahwa pemuda yang telah begitu mencin-
tainya itu kini telah berubah banyak. Salahkah pemu-
da itu" Seharusnya dia menyalahkan dirinya sendiri.
Dulu dia telah menelantarkan harapan si pemuda, ha-
tinya terlalu angkuh, justru karena dia merasa terlalu diperhatikan. Kini saat-
saat hati dan jiwanya membutuhkan orang yang benar-benar dikasihinya itu. Tapi
rasa-rasanya harapan yang terpendam selama ini pu-
pus. Melihat wajah dan cara pemuda itu memandang,
Indah Dewi cukup mengetahui bahwa Andika memen-
dam kekecewaan yang mendalam.
"Kakang....!" jerit Indah Dewi. Namun begitu dia menoleh, pemuda berwajah totol-
totol itu sudah tak
ada di tempatnya. Pengantin baru itu sambil menangis
terus berusaha mengejar pemuda yang menjadi tum-
puan harapannya itu, tapi dia merasa kehilangan je-
jak, justru karena dia tak tahu ke arah mana pemuda
itu berkelebat pergi.
*** 6 Sejak menginjakkan kakinya di daerah Sungai
Bilah Hulu, membunuh kawanan bajak sungai kemu-
dian melakukan pengejaran atas diri seseorang yang
belum dikenalnya. Buang Sengketa di pertengahan ja-
lan merasa kehilangan jejak. Mulai saat itu pemuda
berwajah sangat tampan itu telah memutuskan untuk
melanjutkan perjalanannya ke arah utara. Sepanjang
pengembaraan dalam mencari tempat tapa ayahan-
danya itu, berbagai hambatan datang silih berganti.
Dunia persilatan bukanlah sebuah kalangan yang di-
penuhi keramah tamahan. Itu cukup dia sadari, hanya
karena berkat bekal ilmu kepandaian yang cukup.
Yang diwariskan oleh almarhum gurunya, yaitu kakek
Bangkotan Koreng Seribu. Hingga sampai saat kini
pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara dari negeri
Bunian (gaib) itu masih bertahan hidup. Begitu-pun
terkadang terlintas dalam pikirannya, haruskah sepan-
jang sisa-sisa hidupnya dia terus melakukan pengem-
baraan itu" Kenyataannya tempat tapa ayahandanya
sangat sulit ditemukan. Sepanjang pesisir pantai telah dia telusuri. Bahkan
sekali waktu dia pun tanpa segan-segan menyelami dasar lautan. Tak terdapat see-
kor ular piton raksasa bertapa di sana. Ular-ular yang dijumpainya hanyalah ular
kecil, pendek, bahkan tiada
berbuntut. Ular biasa itu bukanlah ayahandanya.
"Beet.....!"
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh,
pemuda berkuncir itupun melesat ke atas dahan salah
sebuah cabang pohon yang berukuran besar. Detik se-
lanjutnya pemuda itu telah pula menyandarkan tu-
buhnya di cabang pohon tadi. Mulutnya menguap be-
berapa kali. Iseng dibukanya periuk besar yang meng-
gelantung di bagian pinggangnya. Sekejap, pemuda itu
telah mencomot beberapa potong dendeng ikan lumba-
lumba yang dibuatnya sendiri. Sepotong demi sepo-
tong, dendeng ikan yang sangat lejat itu telah pula
memasuki tenggorokannya
"Uaoooo....! Kalau sudah kenyang begini, rasanya
aku ingin tidur saja. Hidup kalau dipikir-pikir mana
ada habisnya. Yang susah ingin hidup senang. Yang
kaya ingin bertambah kaya, bandot tua sudah punya
bini satu, juga ingin nambah satu, dua tiga sampai se-
puluh." Berkata begitu, tiba-tiba pemuda berwajah tampan itu tersenyum-senyum
kayak orang senewen.
"He... he... he....! Aku sendiri juga belum kawin" Punya pacar pada mati semua.
Tapi....!" kata Buang Sengketa, seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Gadis
itu begitu cerdik, wajahnya juga cantik. Gadis yang
penuh pengertian! Aku yakin setiap pemuda pasti suka
padanya. Sifatnya juga keibuan. Sangat jarang di ja-
man ini gadis bersipat seperti dia, kebanyakan baru
pacaran saja sudah berani membentak-bentak.... he...
he... he....! Mungkin Wanti Sarati sudah berjodoh den-
gan orang lain. Sungguh pun aku selalu merindukan
kehadirannya, tapi biarlah. Aku selalu berdoa untuk
kebahagiaan-nya....!" gumam pemuda itu sendu.
Ketika Pendekar Hina Kelana sedang melamun
seorang diri di atas pohon itu. Tiba-tiba pendengaran-
nya yang tajam mendengar suara isak tangis. Sayup-
sayup kedengarannya. Pemuda itu nampak menyapu
pandang ke arah sekelilingnya. Tapi dia belum melihat
adanya orang lain di sekitar tempat itu. Namun ketika
Buang Sengketa menoleh ke arah lain, maka terlihat-
lah sesosok tubuh berjalan tersaruk-saruk dengan
wajah tertunduk, sekali dua perempuan itu menyeka
air matanya yang bergulir di pipi. Melihat keadaan pe-
rempuan itu, Buang dapat memastikan pastilah dia
seorang anak orang berada. Tapi yang membuat si pe-
muda merasa keheranan mengapa perempuan itu,
berkeliaran di tempat yang sunyi seorang diri" Padahal selain binatang buas.
Bukan tak mungkin sewaktu-waktu orang jahat berkeliaran pula di tempat itu. Se-
jauh itu, sungguh pun hatinya diliputi oleh rasa kein-
gintahuan, namun dia masih tetap berada di tempat-
nya. Hingga pada akhirnya terdengar juga suara si wa-
nita: "Kakang Andika....! Begitu tega kau meninggalkan diriku, aku menyadari
sikapku yang dulu padamu. Ta-pi mengapa kini kau malah pergi begitu saja...?"
rintih si gadis, dengan dada terasa menyesak.
"Kalau begini rasanya aku ingin mati saja, ka-
kang Andika...!" ucap si gadis. Tiada diduga-duga gadis itu mencabut sebilah
keris berlekuk tiga dengan uku-rannya yang sangat pendek. Dengan kedua
tangannya, digenggamnya senjata berwarna hitam itu erat-erat.
Secara perlahan senjata itupun mulai terangkat tinggi-
tinggi. Buang Sengketa nampak membelalakkan ma-
tanya, ketika senjata itu terayun ke bawah. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, tubuh Buang Sengketa
melesat sedemikian cepat dari tempat persembunyian-
nya. "Selamat tinggal, kakang Andika...?" Senjata itu terayun deras. Dengan
ujung tangannya, si pemuda
menyentil ujung tangan si wanita.
"Wuus....!"
"Tuuuk....!"
Satu totokan yang begitu telak, tepat mengenai
sasarannya. Wanita yang bernama Indah Dewi itupun
mengeluh. Tangannya kaku dalam keadaan tertotok.
Menyadari keadaan dirinya sendiri, dan melihat apa
yang baru saja akan dilakukan oleh si wanita, diam-
diam Buang Sengketa merasa geli sendiri.
"Dunia tidak selebar daun kelor, nona...! Kema-
tian yang paling sia-sia adalah kematian dengan cara
menganiaya diri sendiri....!" kata si pemuda sambil tersenyum-senyum. Sebaliknya
begitu usahanya ada
yang menggagalkan perempuan yang bernama Indah
Dewi itu nampak sangat marah sekali.
"Pemuda gemblung...! Berani sekali kau men-
campuri urusanku...!" sengatnya dengan mata melotot.
"Mati dengan cara bunuh diri adalah cara yang
sangat keji. Dewata pasti akan mengutuk setiap tinda-
kan seperti itu....!" jawab si pemuda begitu tenang.
"Huh... apa pun yang kulakukan itu hakku! Tak
pantas kau mencampuri urusan orang lain....!" bentak Indah Dewi. Sementara kedua
tangannya yang tertotok
masih tetap dengan posisinya.
"Apa yang kau katakan itu memang benar! Sela-
manya aku tak pernah mencampuri segala macam
urusan orang lain. Tapi karena kejadian ini di depan
mataku, masa aku harus tinggal diam menyaksikan
kematian yang menyesatkan itu....!" Semakin meme-
rahlah paras Indah Dewi mendengar kata-kata si pe-
muda. Kemudian dengan kemarahan yang meluap-
luap, pengantin baru ini bermaksud menyerang si pe-
muda dengan mempergunakan kerisnya. Namun begi-
tu sadar tangannya tidak dapat dia gerakkan, perem-
puan itupun merasa putus asa. Sambil menghentak-
hentakkan kakinya, Indah Dewi keluarkan kata-kata
kasar.

Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gembel keparat. Bebaskan totokan ini, aku pasti
akan membunuhmu.... cepat bebaskan....!" jeritnya tertahan-tahan.
"Tak perlu kau meronta-ronta seperti itu, nona....
Aku pasti akan membebaskan dirimu. Tapi sebelum-
nya, cobalah sadari apa yang baru saja hampir kau
perbuat." ujar si pemuda setengah menggurui.
"Kau jangan coba-coba mengajariku. Aku merasa
hidup lebih lama lagi bagiku merupakan sebuah sik-
saan yang terlalu menyakitkan.
"Kau merasakannya begitu, aku pun yakin bahwa
orang yang kau sebut-sebut itu mengalaminya lebih
dari sekedar yang kau rasakan....!" kata Buang Sengketa. Selanjutnya dia
menambahkan lagi: "Nona. Sudahlah, jangan kau ingat-ingat tentang sesuatu yang
menyakitkan. Pulanglah kepada orang tuamu, jalan
hidupmu masih terlalu panjang...!" kata si pemuda menasehati. Indah Dewi nampak
terdiam dengan wajah menunduk. Apa yang baru saja dikatakan oleh si
pemuda memang masuk di akalnya. Tetapi bila dia te-
ringat pada kedua orang tuanya. Tiba-tiba jiwanya
menjadi berontak. Tanpa sadar Indah Dewi geleng-
gelengkan kepalanya.
"Aku tak mau pulang! Orang tuaku selain akan
menghukumku, aku juga tak sudi bertemu dengan la-
ki-laki yang bernama Lesmana itu...!" sungut si gadis, dengan sepasang mata
memancarkan rasa kebencian.
"Apakah kau sudah bersuami...?" tanya Buang
Sengketa konyol. Sesaat wajah Indah Dewi berona me-
rah: "Aku memang sudah bersuami, bahkan dia anak-
nya Tumenggung Jayeng Rono... tapi aku tak pernah
mencintainya. Dan ternyata dia pun tak pernah men-
cintaiku....!" ujar si gadis. Alis si pemuda nampak mengerenyit, seperti yang
dia dengar Tumenggung
Jayeng Rono adalah orang yang berkuasa atas daerah
tertentu. Semuanya atas titah sang Raja. Berdasarkan
atas sebuah kepercayaan yang penuh. Kalau gadis itu
sampai mendapat kehormatan menjadi istri putra seo-
rang Tumenggung. Sudah dapat dipastikan bahwa
orang tua si gadis tentu merupakan orang yang ter-
pandang di tengah-tengah masyarakatnya.
"Siapakah orang tuamu...?" Indah Dewi merasa heran dengan pertanyaan yang
diucapkan oleh si pemuda, sekejap pandangan matanya nampak meneliti
pada Buang, Tapi akhirnya dia menjawab juga. "Orang tuaku bernama saudagar
Legawa....!"
"Saudagar Legawa! Hmm. Rasa-rasanya aku per-
nah mendengar nama itu...!" ujar si pemuda, teringat tentang pembicaraan para
bajak sungai beberapa hari
yang lalu. "Apakah kau kabur dari rumah, untuk menghin-
dari suami yang tidak kau cintai?"
"Beberapa orang tak kukenal telah menculikku
seusai pesta perkawinanku!" jawab Indah Dewi tanpa malu-malu.
"Tapi kini kau bebas berkeliaran sampai ke si-
ni....!" gumam si pemuda seperti tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh
Indah Dewi. Tiba-tiba perempuan itu kembali menangis, suaranya pun menjadi se-
rak. Mungkin sepanjang perjalanan yang dilaluinya dia
terlalu banyak mencucurkan air mata sehingga kini
akibatnya mulai terasa.
"Maafkan aku! Sungguh aku tak bermaksud me-
nyinggung perasaanmu..."!" kata si pemuda dengan
perasaan menyesal.
"Tidak. Aku hanya merasa sangat kecewa dengan
sikap orang yang sangat kukasihi itu. Padahal dialah
yang telah membebaskan aku dari tangan orang-orang
yang menculikku....!"
"Apakah dia meninggalkan dirimu....?" tanya
Buang Sengketa dengan penasaran sekali.
"Dia bukan saja hanya meninggalkan aku begitu
saja, tapi dia juga bahkan mengaku tak mengenal diri-
ku....!" jerit Indah Dewi pilu.
"Mungkin orang yang kau cintai itu pernah mera-
sa sangat kecewa. Sehingga dia bersikap seperti
itu...."!" Sela Pendekar Hina Kelana bagai seorang ahli nujum. Indah Dewi hanya
menganggukkan kepalanya
pelan, dia memang tidak menyangkal kebenaran kata-
kata yang baru saja diucapkan oleh si pemuda. Selan-
jutnya tanpa sungkan-sungkan lagi Nyonya muda itu
menceritakan segala sesuatunya pada si pemuda yang
baru saja dikenalnya. Setelah Buang Sengketa menger-
ti duduk persoalan yang sebenarnya. Tak lama kemu-
dian dia pun mengajukan satu pertanyaan.
"Nampaknya sampai saat ini kau begitu mencin-
tainya, sedangkan seperti apa yang kau katakan pe-
muda itu tidak mencintaimu lagi. Mungkin juga sakit
hati. Tapi apakah kau tidak ada niat untuk berusaha
mencintainya....?" tanya Buang Sengketa. Sepasang mata Indah Dewi nampak
membelalak lebar, sebuah
kebencian yang begitu mendalam nampak menggurat
di wajah yang kemerah-merahan itu.
"Siapa sudi! Daripada aku harus bertemu dengan
laki-laki kasar seperti Lesmana itu, lebih baik aku
mampus....!" teriak Indah Dewi, lalu meronta-ronta.
"Lepaskan totokan terkutuk ini... cepat lepaskan....!"
"Totokan sebentar lagi akan dilepas...! Tapi harap kau bersikap tenang....!
"Sedari tadi kau mengatakan mau membebaskan
totokan terkutuk sial ini. Tapi mana pelaksanaan-
nya.... jangan-jangan kau merupakan begundalnya
Lesmana!" "Jangan gegabah, aku bukan suruhannya siapa-
pun... percayalah. Aku hanya seorang pendatang di si-
ni....!" "Kalau begitu cepat bebaskan totokan ini....?" perintah Indah Dewi.
"Apakah kau masih ingin membunuh diri....?"
tanya si pemuda merasa sangsi.
"Pemuda ceriwis! Cepat kau bebaskan... aku se-
gera pergi dari daerah ini....!" Tanpa berkata-kata lagi, Buang Sengketa
langsung membebaskan totokan yang
terletak di bagian pergelangan tangan Indah Dewi. Se-
telah merasa terbebas dari totokan itu, selanjutnya
tanpa berkata apa-apa lagi perempuan itupun berlalu
begitu saja. Dari tempatnya berdiri, si pemuda terus
mengawasi langkah perempuan itu, hingga sampai pa-
da akhirnya Indah Dewi pun lenyap dari pandangan
matanya. "Karena patah hati, perempuan nekad bunuh di-
ri.... ! Tapi ada baiknya kalau kubayangi perempuan
itu dari jarak jauh. Aku merasa begitu yakin sesuatu
pasti bakal terjadi atas dirinya....! gumam Pendekar
Hina Kelana. Akhirnya dengan gerakan yang sangat
ringan, pemuda itupun berkelebat pergi.
*** 7 Udara berkabut mengiringi perjalanan berkuda
yang dilakukan oleh saudagar Legawa dan tujuh orang
pembantu utama. Perjalanan berulang itu dilakukan-
nya sudah hampir tiga minggu lebih. Sejauh itu usa-
hanya untuk mencari putrinya yang dianggapnya telah
dilarikan oleh Andika, masih kelihatan belum ada tan-
da-tanda mendatangkan hasil. Sementara perjanjian
penyitaan harta kekayaan yang akan dilakukan oleh
pihak Katemenggungan hanya tinggal seminggu lagi.
Dapat dibayangkan betapa ruwetnya masalah yang se-
dang dihadapi oleh saudagar Legawa saat itu. Dia su-
dah berpikir andai dalam waktu satu minggu ini sau-
dagar itu tak dapat menemukan Indah Dewi maupun
Andika, sudah pasti semua harta kekayaan yang dimi-
likinya menjadi milik Lesmana. Dalam menghadapi
masalah rumit seperti itu, satu yang tak pernah terpi-
kirkan oleh Legawa, adalah mengenai benar tidaknya
apa yang dikatakan oleh anak Tumenggung Jayeng
Rono. Yang mengatakan bahwa pada saat malam per-
tama istrinya sudah tak memiliki kehormatan lagi. Hal
ini oleh pihak keluarga Tumenggung Jayeng Rono di-
anggap merupakan satu penipuan keji yang tak pantas
dilakukan oleh keluarga kalangan terhormat.
Satu sisi dan merupakan kunci dari maksud-
maksud keji demi untuk mengangkangi harta benda
saudagar itu, telah dilakukan oleh Lesmana. Tapi sia-
pakah yang dapat mengungkap tabir kebusukan yang
sedang dilakukan oleh Lesmana, selain Indah Dewi
sendiri" Hal inilah yang tak pernah disadari oleh sau-
dagar Legawa. Apa yang ada dalam pikiran saudagar
itu adalah bagaimana caranya agar harta bendanya
dapat terhindar dari penyitaan yang akan dilakukan
oleh pihak Katemenggungan" Bagaimanapun caranya
dalam waktu yang hanya tinggal enam hari itu, seda-
pat mungkin dia harus bekerja keras untuk menemu-
kan Indah Dewi, kalaupun nantinya dia berjumpa juga
dengan Andika. Maka dia telah memutuskan untuk
membunuh pemuda itu, bahkan untuk, lebih puasnya
dia akan cincang pemuda itu.
Demikianlah siang itu mereka telah sampai di se-
buah lereng gunung. Udara di daerah itu terasa dingin
menusuk. Namun rombongan Legawa yang sudah dili-
puti perasaan tegang nampak sudah tak menghirau-
kan keadaan seperti itu. Sejenak rombongan berkuda
yang dipimpin langsung oleh Legawa nampak meng-
hentikan laju kuda tunggangan. Berpasang-pasang
mata terus memperhatikan daerah sekitarnya. Tiada
tanda-tanda sesuatu apa pun yang mencurigakan. Me-
reka sudah hampir meneruskan perjalanannya kemba-
li, saat mana saudagar melihat adanya bayangan dua
buah titik dari arah berlawanan menuju ke arah mere-
ka. Legawa menyipitkan sebelah matanya untuk me-
mastikan secara lebih jelas, siapakah adanya dua
orang itu. Karena jarak mereka masih terlalu jauh,
maka Legawa tidak dapat mengenali dengan jelas dua
orang pejalan kaki ini. Selanjutnya sambil memberi
isyarat pada para pembantunya, Legawa memutuskan
untuk menunggu orang-orang itu sampai mendekat
pada posisi mereka.
Setelah berlompatan dari atas punggung kudanya
masing-masing, rombongan berkuda itupun bersem-
bunyi di satu tempat yang agak terlindung. Setelah
menunggu dengan waktu yang agak lama, dua orang
pejalan kaki itu pun sudah dapat dilihat dengan jelas.
Yang seorang merupakan pemuda tampan dengan pa-
kaiannya berwarna merah, sedangkan yang seorang
lagi merupakan seorang perempuan berusia muda
yang pasti sudah sangat dikenal oleh Legawa. Dengan
hati berdebar bercampur rasa amarah, saudagar kaya
raya itu menanti kedatangan mereka.
"Tuan.... orang itu telah sampai! Salah seorang di antaranya ternyata merupakan
putri tuan...!" lapor salah seorang yang berada begitu dekat dengan saudagar
Legawa. "Aku telah melihatnya! Kita dapat memulainya
sekarang....!" kata laki-laki setengah umur ini. Lalu dengan sekali lompat, maka
tubuh Legawa dan tujuh
orang lainnya telah mengurung dua orang itu. Orang
yang paling pertama merasa terkejut atas pengepun-
gan itu adalah Indah Dewi. Bahkan di luar kesadaran-
nya dia keluarkan seruan tertahan: "Ayah....!"
"Herrgk....! Anak kurang ajar, bikin sengsara
orang tua...!" sentaknya marah. Lalu dengan sekali berkelebat. Maka tangan Indah
Dewi pun telah berhasil dia raih. Pengantin baru itupun meronta, hal ini
hanya membuat Legawa menjadi marah sekali.
"Anak kampret tak tahu diuntung, bisanya hanya
bikin malu orang tua saja....!"
"Tuan..... maafkan aku! Sebenarnya aku bukan
bermaksud mengguruimu, tapi kalau menurut apa
yang dikatakan oleh putrimu. Sebenarnya tuan selama
ini telah keliru dalam memandang sebuah masa de-
pan. Tahukah tuan siapa pemuda yang bernama Les-
mana itu?"
"Kurang ajar! Siapakah engkau ini budak hina..."
Mulutmu yang lancang itu begitu beraninya menggurui
manusia terhormat sepertiku...?" Bentak Legawa dengan pandangan liar penuh
amarah. "Aku hanya seorang pengembara biasa, tuan!
Hanya secara kebetulan saja aku menemukan putrimu
yang hampir mengakhiri hidupnya secara menyedih-
kan....!" kata Buang Sengketa tanpa bermaksud melebih-lebihkan. Mendengar
keterangan si pemuda, sau-
dagar Legawa terbelalak bagai tak percaya. Bagaimana
mungkin" Selama ini dia cukup mengenal bagaimana
perangai anak satu-satunya yang selalu menurut apa
yang diperintahkan oleh orang tuanya. Apa yang dika-
takan oleh pemuda berpakaian kumuh itu sebagai satu
hal yang tak dapat diterima oleh akal sehatnya. Bukan
tidak mustahil pemuda berperiuk itu hanya mengada-
ada. "Mulutmu tak bisa kupercaya, bocah! Bahkan
aku mulai merasa yakin kaulah yang telah membawa
lari putriku...!"
Buang Sengketa gelengkan kepalanya berulang-
ulang, ketika dia baru akan mengatakan sesuatu, In-
dah Dewi mendahului: "Ayah! Tuduhan ayah tidak be-ralasan sama sekali. Yang
menculikku adalah belasan
orang yang tidak kukenal... tapi kini orang-orang itu
telah tewas di tangan 'Satria Pedang Asmara'......!"
"Satria Pedang Asmara" Siapakah dia....?"
tanya Legawa acuh. Mendengar pertanyaan orang tua-
nya, sudah barang tentu Indah Dewi merasa terpojok.
Masih untung Buang Sengketa tahu membaca gelagat.
Maka tanpa merasa ragu lagi pemuda itupun me-
nyambung: "Satria Pedang Asmara adalah seorang sa-habatku dari Lembah Patah
Hati....!" saudagar Legawa terdiam, sebentar-sebentar memandang tajam
pada si pemuda, namun di saat lain beralih pula pada
putri tunggalnya. Dalam hati mungkin laki-laki seten-
gah baya ini dapat menerima semua penjelasan pemu-
da maupun putrinya sendiri. Tapi manakala dia terin-
gat tentang ancaman Tumenggung Jayeng Rono dan
keselamatan harta bendanya. Maka rasa percaya itu-
pun lenyap begitu saja. Kini dengan pandangan tajam,


Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditatapnya wajah putrinya. Lalu sebuah pertanyaan
yang tiada terduga-duga oleh Indah Dewi pun me-
nyambutnya bagai sebuah tamparan yang sangat ke-
ras: "Menurut Lesmana! Kau... kau telah kehilangan kehormatanmu saat malam
pertama?" tanya saudagar
Legawa dengan suara bergetar karena menahan berba-
gai goncang-an jiwa yang begitu hebat. Bukan saja In-
dah Dewi yang berubah parasnya demi mendengar
ucapan itu, namun juga si pemuda merasa tak enak
hatinya. "Dusta. Anjing Lesmana merupakan laki-laki bi-
adab, iblis berkedok manusia yang pantas untuk di-
cincang....!" teriak Indah Dewi histeris. "Dia bukan la-ki-laki baik. Bahkan
lebih pantas kalau disebut seba-
gai seorang pemerkosa. Aku diperlakukannya tak lebih
dari pada seekor hewan. Tapi tak mengapa agar ayah
dan ibu menjadi puas. Tapi ayah! Aku juga bukan pe-
rempuan bodoh, aku tahu dengan segala rencana li-
ciknya. Dia bermaksud untuk mengangkangi semua
harta kekayaanmu, bahkan bajingan anak tumeng-
gung terhormat itu kuketahui telah bekerja sama den-
gan puluhan tokoh golongan hitam. Manusia terhor-
mat seperti itukah yang kau inginkan menjadi mantu-
mu ayah?" tukas Indah Dewi hampir putus asa.
"Dewi! Mulutmu terlalu berlebihan....! Dapatkah
kau pertanggungjawabkan apa yang kau katakan
itu...?" "Huh....! Semua yang telah kukatakan itu sudah
pasti dapat kupertanggungjawabkan. Lesmana bilang
pada ayah, pada saat itu aku sudah tiada memiliki ke-
hormatan lagi, sebagai bukti atas kelicikannya akan
kujawab dengan ini...!" Berkata begitu Indah Dewi mengeluarkan sesuatu dari
balik pakaiannya. Benda
yang dikeluarkan oleh Indah Dewi kiranya hanya me-
rupakan sobekan kain berwarna putih bersih, tapi pa-
da kain itu terdapat sebuah noda merah bekas sisa-
sisa darah yang telah mengering. Semua orang yang
berada di tempat itu pasti mengetahui makna yang
terkandung dalam kata-kata putri saudagar Legawa.
Tak lain darah yang melekat pada kain berwarna putih
itu adalah darah kehormatan seorang gadis.
"Masihkah ayah tak percaya dengan apa yang te-
lah kuperbuat ini! Lesmana ternyata memang manusia
licik. Tapi hanya ayah dan ibu saja yang kena dilici-
kinya....!"
"Kurang ajar!" geram Legawa dengan rahang ter-tutup rapat. "Aku hampir saja
tertipu mentah-mentah!
Tapi... bagaimana ini" Keluarga Katemenggungan pasti
tak mau terima begitu saja, Tumenggung Jayeng Rono
adalah orang yang paling sayang pada putranya. Su-
dah pasti dia pun tak mungkin mau percaya dengan
bukti-bukti dari pihak keluarga kita?" kata Legawa harap-harap cemas.
"Apakah mereka akan menyita kekayaan milik-
mu, tuan...?" tanya Pendekar Hina Kelana begitu ber-hati-hati.
"Begitulah kenyataan yang akan terjadi...,?" de-sah saudagar gila kehormatan itu
dengan suara ham-
pir-hampir tak terdengar.
"Dan tuan merasa tak kuasa mencegah maksud-
maksud mereka....?" tanyanya lagi secara lebih jauh.
"Aku hanya seorang bekas murid perguruan. Sta-
tus ku yang sekarang cuma seorang saudagar yang
hanya mampu menghitung laba-rugi. Kalau pun aku
membangkang, mereka memiliki sejumlah pengawal
yang rata-rata berkepandaian sangat tinggi. Oh... da-
sar nasib mau bangkrut. Pasti ada-ada saja penyebab-
nya.....!"
"Masih banyak jalan untuk mencegah tindakan
yang sewenang-wenang itu, tuan....!" ujar Buang Sengketa seperti memberi
harapan. Kata-kata pemuda ber-
pakaian kumuh itu, sudah tentu menarik perhatian
saudagar Legawa yang memang tidak menginginkan
hartanya tersita begitu saja.
"Kalau aku sanggup membantu dalam me-
nyelesaikan persoalanmu itu, apakah kau bersedia
memberiku satu imbalan sesuai dengan apa yang
kuinginkan, tuan...?" pancing si pemuda.
"Apakah kau bisa diandalkan dalam me-
nyelesaikan masalah yang sedang kuhadapi sekarang
ini....?" "Mungkin aku mampu.....!" saudagar Legawa tersenyum mencemooh: "Tahukah kau
siapa yang bakal
kuhadapi itu?"
"Aku tahu....!"
"Kalau hanya bersipat untung-untungan, pasti
kau juga sudah mengerti bagaimana akibat yang di-
timbulkannya andai usaha itu sampai gagal....!" ujar laki-laki setengah baya itu
serius. "Tumenggung pasti akan menggantung kita se-
mua....!" saudagar Legawa nampak angguk-anggukkan kepalanya.
"Betul! Tiang gantungan pasti menunggu kita!
Kalau kau sudah mengetahuinya, masih jugakah kau
membantuku?"
"Sudah kukatakan, aku tetap akan mem-
bantumu....!" kata pemuda itu pasti.
"Kalau begitu, coba katakan apa keinginanmu
itu?" "Aku tak bisa mengatakannya sekarang, tapi nanti andai semuanya telah
kukerjakan dengan baik,
aku baru mengatakan keinginanku itu...!" Lagi-lagi, Legawa anggukkan kepala
tanda setuju. Tak berapa
lama setelahnya dia memberi perintah pada pemban-
tunya untuk mengambil kuda yang sengaja mereka
sembunyikan tak begitu jauh dari tempat mereka be-
rada. "Waktu yang tersisa, lebih kurang hanya tinggal enam hari lagi. Kita masih
mempunyai kesempatan
untuk menyusun semua rencana yang cukup penting.
Untuk itu alangkah baiknya kalau sekarang ini kita
berangkat menuju rumah kediamanku...!"
Selanjutnya berangkatlah rombongan berkuda itu
dengan disertai oleh Buang Sengketa dan Indah Dewi
menuju ke tempat tinggal saudagar Legawa yang ja-
raknya kira-kira setengah hari perjalanan berkuda.
*** 8 Dalam gelapnya malam, pemuda berwajah totol-
totol itu nampak berjalan meleng-gang. Tubuhnya yang
bertelanjang dada telah pula basah dengan tetesan-
tetesan embun malam. Sepintas lalu dia seperti tidak
merasakan dinginnya angin malam yang terasa meng-
gigit. Entah apa yang dicarinya di sekitar tempat itu, yang pasti sepasang
matanya yang selalu member-sitkan kehampaan itu memandang nanar pada situasi
di sekelilingnya. Matanya terus mencari-cari dalam ke-
gelapan malam yang tiada berbintang itu. Lalu ketika
sudah sampai di sebatang pohon yang cukup besar,
dengan gerakan seringan kapas.
"Heeuuup! Teep....!"
Sekali berkelebat tubuhnya telah mendarat di
atas ranting pohon yang besarnya tak lebih dari pang-
kal lengannya sendiri. Sama seperti apa yang dilaku-
kannya ketika berada di bawah tadi. Kali inipun dia
memandang ke arah sekitarnya.
"Kalau kuhitung-hitung, berbagai komplotan
yang ada jumlahnya lebih dari tujuh kelompok. Tapi
mereka memiliki satu ketua yang mereka sendiri tak
mengenalnya. Mengherankan" Mungkin orang yang
disebut-sebut sebagai ketua itu adalah orang berselu-
bung topeng yang kukejar-kejar tempo hari. Dan pe-
muda berkuncir itu sekarang ini telah pula bergabung
dengan saudagar Legawa! Aku jadi curiga padanya,
yang ku tahu dia mulai terlibat dalam urusanku. Seka-
li waktu aku ingin menjajal seberapa hebatnya kepan-
daian yang dimilikinya...!" batin Andika tersenyum sinis. "Tapi... hehh....! Ada
baiknya kalau kuselesaikan pekerjaanku yang satu ini! Aku mulai curiga ada
kalangan tertentu yang turut terlibat secara tak langsung dalam berbagai
kejahatan yang terjadi. Orang-orang
katemenggungan, itu mungkin saja!" Pemuda berwajah totol-totol itu nampak
memanjat dahan pohon lebih
tinggi lagi, setelah sampai di ujung dahan yang beru-
kuran sangat kecil dia pun berhenti di situ.
"Heh....!" Sepasang mata si pemuda membelalak dalam keterkejutannya: Pandangan
matanya kemudian
tertumpu pada satu arah.
"Tadi aku tidak melihat adanya cahaya lantera di
sana! Tapi sekarang cahaya itu ada" Aku yakin orang-
orang yang tadi sore itu kutemui di pinggiran hutan ini pastilah ada sangkut
pautnya dengan lentera itu!
Alangkah lebih baik lagi kalau kudekati saja mere-
ka....!" "Heeiiit....!"
Dari atas pohon yang cukup tinggi itu, tubuh An-
dika nampak melayang laksana terbang. Kemudian di
sela-sela ranting pohon lainnya, tubuh pemuda wajah
totol-totol itu berkelebat ringan. Semakin lama jarak
antara lantera dengan dirinya semakin bertambah de-
kat. Sampai pada akhirnya semuanya terlihat dengan
jelas. "Ha...!" Pemuda berwajah totol-totol itu belalakkan matanya. Sekawanan orang-
orang bercadar hitam
nampak mengerumuni sebuah pelita yang berukuran
cukup besar. Dalam kesunyian malam itu, terdengar
pula suara gumaman yang tak begitu jelas. Sepertinya
bagai orang yang sedang memanjatkan doa. Yang
membuat Andika keheranan adalah karena hampir se-
luruh wajah bercadar itu nampak coreng moreng hing-
ga sulit untuk membedakan antara yang satu dengan
yang lainnya. Andika menjadi tertarik untuk menyak-
sikan kejadian selanjutnya.
"Aku harus tahu apa yang sedang mereka laku-
kan di tempat ini!" Batinnya.
Sang waktu berlalu bagaikan roda pedati, semu-
anya terjadi begitu lambat. Orang-orang bercadar den-
gan jubah hitamnya yang menjela sampai menyentuh
tanah. Kiranya terdiri dari kaum laki-laki dan wanita.
Andika terus menanti dengan sabar namun hati sedikit
tegang. Detik berikutnya, di antara kerumunan orang-
orang bercadar hitam yang mengelilingi lantera itu.
Nampak menyeruak sosok tubuh ramping, sama seper-
ti yang lain-lainnya. Orang itupun pada bagian wajah-
nya coreng moreng dipenuhi angus. Sembari mena-
dahkan kedua tangannya ke atas, lalu terdengarlah
suaranya yang halus dan kecil. Pemuda wajah totol-
totol itu dapat memastikan tubuh ramping yang berdiri
tegak dekat lantera itu pastilah seorang wanita:
Kepada mambang dan peri yang tinggal di atas
batu Kepada iblis yang berkuasa atas pohon-pohon kehidupan
Hadirkan di tengah-tengah kami seorang pemim-
pin Atas jiwa-jiwa yang patah tak bersemangat
Dewa asmara dan dewi surga
Bimbinglah.....
Kami dari kegelisahan yang panjang
Di sini orang-orang tersisih dan disisihkan berada Hadirkan seorang pemimpin
pada jiwa yang sama
Kami mendambakan kehadirannya selalu
Kami yakin atas kedatangannya....
Dia telah begitu dekat
Dan dekat sekali
Pada jiwa yang patah yang hampir putus asa
Kehadirannya membawa sebilah pusaka Pedang
Asmara Dari Lembah Patah Hati dia berasal
Sang pemimpin yang kami damba....
Jurus Pedang Asmara tingkat pembuka
Ditinggal Kekasih awal dari kematian
Menanti Kekasih Tak Kunjung Datang adalah luka
tanpa darah Hidup Hampa kehidupan yang ada musnah tanpa
karena.... Bergidik bulu kuduk Andika demi mendengar ka-
ta-kata yang diucapkan oleh perempuan bercadar yang
diikuti oleh kawan-kawannya yang lain. Saat itu dia
masih menyadari apa yang disebut-sebut oleh mereka
tak lain merupakan dirinya sendiri. Siapa lagi orang
yang berasal dari Lembah Patah Hati dengan memba-
wa Pedang Asmara dan empat jurus Pamungkasnya
terkecuali dirinya sendiri. Andika memang sedang be-
rada di persimpangan jalan kebimbangan saat itu.
Mengikuti suara hati kecilnya dia sudah bertekad, wa-
lau pun dia pernah dilanda sakit hati dan dendam, dia
bertekad untuk tetap berada pada jalan yang lurus.
Namun pada saat yang, sama suara bisikan-bisikan
lain yang begitu berpengaruh terus datang menggoda.
Bahkan semakin lama bisikan-bisikan gaib itu terasa
menguasai jiwanya.
"Kau adalah pemimpin kami Satria Pedang Asma-
ra! Kehadiranmu benar-benar dibutuhkan oleh orang-
orang segolongan dengan dirimu.... Kau adalah pe-
mimpin yang tiada tanding. Jadilah pemimpin kami,
dan kau akan memperoleh segala-galanya. Jadilah...
karena sorga itu ada pada mereka....!" kata suara gaib itu semakin terasa
mengusik hatinya. Bagai dihipnotis, Andika merasa tergetar hatinya. Tanpa
disadarinya, iblis mulai bercokol di dalam hati si pemuda. Sebuah
kebenaran yang berusaha dia pertahankan selama ini
musnah begitu saja. Mulai detik itu, jiwa angkara
murkalah yang memegang kendali di atas hati nurani.
"Sang pemimpin. Mengapa musti sung-kan-
sungkan dan bersembunyi di tempat itu" Kami sejak
lama sering mendambakan kehadiranmu. Setelah kini
kau datang, cepatlah mendekat. Kami segera meng-
hormatimu....!" kata perempuan bercadar dengan wajah coreng moreng ini sambil
melirik ke satu arah di
mana Andika bersembunyi. Sepasang mata Andika


Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang selalu menatap hampa itu nampak berkilat-kilat.
Seluruh pembuluh darahnya menegang. Kata demi ka-
ta yang diucapkan oleh perempuan bercadar dengan
jubah hitamnya yang menjela-jela sampai menyentuh
tanah itu memang benar-benar mengandung kekuatan
gaib yang sangat tinggi. Suara itu memang mampu
mempengaruhi hati siapa saja, tak terkecuali hati An-
dika sendiri. Beberapa detik kemudian tanpa merasa ragu lagi,
pemuda berwajah totol-totol itu menyeruak dari tempat
persembunyiannya. Kemunculan Andika membuat
orang-orang yang sedang berada di tempat itu nampak
menjatuhkan diri. Wajah mereka berada di atas per-
mukaan tanah. Ini adalah satu penghormatan pertama
bagi kelompok pemuja setan buat Andika yang selalu
mereka sebut-sebut sebagai seorang pemimpin. Sema-
kin bertambah dingin saja tatapan mata si pemuda, di
luar dugaan pemuda itu. Perempuan bercadar yang se-
jak tadi memimpin upacara itu dari arah belakang
langsung kirimkan satu pukulan jarak jauh yang begi-
tu dahsyat. "Buuees....!"
Orang-orang yang tadinya menghaturkan sembah
atas kehadiran Andika, sekarang lenyap begitu saja.
Pemuda wajah totol-totol ini sudah barang tentu men-
jadi keheranan. Tapi sebelum rasa keheranannya itu
lenyap. Andika merasakan adanya sambaran angin
yang sangat dingin menyengat bagian punggungnya.
Pemuda itu mengempos tubuhnya, bagai karet yang
sangat lentur. Tubuh pemuda bertelanjang dada itu-
pun melenting ke udara. Pukulan yang dilepas oleh si
jubah hitam bercadar dengan wajah coreng moreng
itupun luput. Tapi pukulan lain yang dilepas oleh si
tubuh ramping menyusul mengikuti bergeraknya tu-
buh si pemuda. Geram bercampur marah, Andika ke-
luarkan tawa berkepanjangan. Pemuda wajah totol-
totol itu hantamkan tangan kirinya dengan gerakan
menepis. Serangkum gelombang yang menimbulkan
rebawa aneh menyambut pukulan yang dilepaskan
oleh perempuan bercadar.
"Duuumm....!"
Satu ledakan yang sangat keras terasa menggun-
cang jagat. Tubuh si wanita terlempar, tapi dengan ge-
rakan yang begitu indah dia bersalto beberapa kali, sehingga dengan mulus pula
perempuan wajah coreng
moreng itu dapat mendaratkan kakinya tanpa terlihat
goyah sedikit pun.
"Hebaat....!" terdengar satu seruan memuji. Namun sebaliknya pemuda wajah totol-
totol itu kelua-
rkan suara mendengus. Menandakan bahwa hatinya
sedang terbakar kemarahan. Detik itu, perempuan
bercadar telah pula membangun sebuah serangan
yang lebih gencar lagi. Agaknya dia ingin menguji sam-
pai di mana kemampuan yang dimiliki oleh si pemuda
yang mereka anggap sebagai pemimpin.
"Ciaaat....!"
Serangkum gelombang pukulan yang menimbul-
kan suara menggemuruh dengan menerbangkan batu
pasir dan kerikil datang menggebu. Andika merasakan
rasa dingin yang sangat luar biasa menyergap tubuh-
nya. "Aha... ha... ha...! Keluarkan segala kemampuan yang kau miliki...!"
Terdengar suara teriakan yang begitu keras. Kemudian disusul dengan lantunan
kata- kata yang tak ubahnya bagai sebuah syair: "Lihatlah betapa sunyi malam yang
datang membelenggu. Di ca-krawala kelam, tiada berbintang. Aku terlunta-lunta
dalam kabut badai asmara. Orang-orang pun mencaci
maki atas kehadiranku. Sosok tubuh muda lemah tan-
pa daya, terseok-seok menjauh membawa sebuah luka.
Duka di atas luka yang menyakitkan: Adalah masa la-
luku yang hitam pekat. Orang-orang terkucil, rintihan
menghiba. Kini tiada lagi! Inilah sosok tegar yang da-
tang bersama Pedang Asmara, tuk mencabik-cabik
kemunafikan tradisi....Haaat.....!"
"Siiiing.....!"
Dalam kegelapan malam itu, pukulan 'Kabut Bi-
ru' yang telah dilepaskan oleh si perempuan bercadar,
menjadi buyar seketika itu juga, saat mana Pedang
Asmara di tangan Andika berkelebatan, menggulung
apa saja yang berada di sekelilingnya. Tak terkecuali
pohon-pohon yang berada di sekitar tempat pertarun-
gan. Nampak memperdengarkan suara berderak-derak,
bertumbangan. Nampaknya pedang yang telah tercabut dari sa-
rungnya ini tidak ingin berhenti sampai di situ saja.
Sambil terus memperdengarkan suara mendengung
Pedang Asmara terus memburu ke arah lawannya. Si
perempuan bercadar, wajah coreng moreng merasa
keadaan itu andai terus dibiarkan maka sulit di-
bayangkan akibatnya. Bagaimanapun apa yang dila-
kukannya adalah hanya bersifat menguji kebenaran
wangsit yang telah diterimanya lewat tapa. Dan seka-
rang setelah mengetahui segala-galanya, sudah pasti
dia tidak menginginkan pertarungan itu berlanjut.
"Hiaaat....!"
Dengan gerakan ilmu mengentengi tubuh yang
sudah mencapai taraf sempurna, perempuan wajah co-
reng moreng itu nampak me-lompat ke salah sebatang
pohon. Andika memburunya dengan membabatkan
senjatanya ke batang pohon tersebut. Pohon yang
menjadi tumpuan bagi perempuan bercadar untuk
mencari kesempatan bicara tumbang. Si Tubuh Ramp-
ing Jubah menjela berpindah ke pohon lainnya.
"Satria Pedang Asmara....!" kata si perempuan
wajah coreng moreng dengan mengerahkan segenap
kekuatan batinnya. "Sarungkan kembali Pedang Asma-ra... dia tak akan mau
menghirup darah orang-orang
yang senasib denganmu. Cepatlah sarungkan....!" perintah si cadar Hitam begitu
berpengaruh. Andika se-
pertinya menuruti apa yang diperintahkan oleh si pe-
rempuan wajah coreng moreng. Anehnya Pedang As-
mara yang biasanya sulit dimasukkan ke dalam rang-
kanya sebelum menghisap darah korbannya. Tapi saat
itu dapat dikembalikan ke dalam rangkanya begitu sa-
ja. Setelah memasukkan pedang itu pada wadahnya.
Laki-laki wajah totol-totol itu nampak memandang ta-
jam pada perempuan jubah menjela yang saat itu telah
berdiri tegak di hadapannya.
"Siapakah engkau ini....?" tanya Andika semakin bertambah dingin.
"Aku Peri Lingga yang mewakilimu selama ini....!"
"Wakil...."!" tanya Andika dengan wajah membelalak. "Ya... aku adalah wakilmu di
sini...!" jawab perempuan itu.
"Jadi aku ini apamu....?" tanya Andika dalam ke-bingungannya.
"Kau adalah pemimpin kami! Yang memiliki hak
penuh atas diri perempuan dan laki-laki itu....!" kata Peri Lingga sambil
menunjuk ke satu arah yang membentuk sebuah gua yang memiliki cahaya terang ben-
derang. "Bagaimana mungkin kau secara tiba-tiba me-
nyebutku sebagai pemimpin. Sedangkan aku sendiri
tak mengenal siapakah diri kalian..."' tanyanya lagi
dengan hati diliputi rasa ketidakmengertian.
"Wangsit dalam tapaku menyebutkan ciri-ciri
yang kau miliki. Anda pasti berasal dari Lembah Patah
Hati. Di sana anda mempelajari jurus-jurus pedang
yang tertulis pada dinding gua. Kemudian anda mene-
mukan sebuah kuburan yang sudah sangat tua. Di
atas kuburan itu terdapat sebuah pedang Asmara yang
sekarang ini menggelantung di punggung ketua....!" je-lasnya begitu lancar.
Sudah barang tentu Andika me-
rasa heran dengan apa yang dikatakan oleh si wanita.
Bagi dirinya perempuan wajah coreng moreng itu, tak
ubahnya bagai seorang ahli nujum yang mengetahui
segala perjalanan masa lalunya.
"Apa yang dapat kulakukan buat kalian...?" tanya Andika dalam kepolosannya. Yang
ditanya hanya tersenyum, dan keluarkan suara gumaman yang tidak
begitu jelas. "Pimpinlah kami dalam satu kemenangan. Aku
berkeyakinan anda memiliki kemampuan yang tidak
mungkin dapat dikalahkan oleh orang lain. Kekece-
waan yang ketua alami dan juga seperti apa yang dira-
sakan oleh orang-orang di sini, satu saat kelak pasti
dapat membangkitkan sebuah kemenangan di pihak
kita....?" kata Peri Lingga merasa begitu yakin.
"Ha... ha... ha...! Hidup menjadi orang baik-baik saja orang masih selalu usil.
Martabat begitu rendah
nilainya dari harta yang menyilaukan. Kepalang tang-
gung, kehancuran rasanya masih belum seberapa!
Bersatu dengan orang-orang senasib mungkin bagiku
lebih baik untuk menghilangkan duka lama....!" kata pemuda itu seperti pada
dirinya sendiri.
"Aku merasa kagum dengan semangat ketua.
Kami pasti akan mendukung segala rencana yang tuan
kehendaki....!" Dengan kaku, Andika menganggukkan kepalanya.
"Aku jadi ingin melihat orang-orang yang senasib
denganku ke dalam gua yang kau maksudkan....!"
"Dengan senang hati aku akan mengantarnya....!"
Selanjutnya kedua orang itu berjalan menuju arah pin-
tu gua. Tak sampai sepemakan sirih mereka pun telah
memasuki ruangan gua yang dihias sedemikian rupa.
Begitu Andika menginjakkan kakinya ke dalam ruan-
gan itu. Maka orang-orang yang berada di dalam ruan-
gan itu langsung memberi penghormatan pada Andika
dengan diiringi teriakan: "Selamat datang pemimpin yang baru. Kami orang-orang
yang senasib denganmu....!" kata mereka secara hampir bersamaan.
"Hemmm....!" Andika kembali bergumam dengan
suara hampir-hampir tak terdengar.
"Acara pesta peresmian diangkatnya ketua sejati
sebentar lagi akan kita mulai. Segala sesuatunya telah tersedia di ruangan
tengah. Ketua....!" ujar Peri Lingga memandang genit pada Andika. "Mari kita ke
ruangan sana....!" Tanpa berkata-kata lagi, Andika dan Peri Lingga melangkah ke
ruangan lain. Sementara beberapa orang berjubah hitam bercadar dengan muka co-
reng moreng mengiringi mereka dari belakang. Tak la-
ma kemudian sampailah mereka di ruangan tengah.
Ruangan itu memiliki sebuah meja yang terbuat dari
batu mar-mar putih yang berukuran sangat panjang.
Di atas meja itulah terhidang berbagai macam buah-
buahan segar, dan berbagai jenis daging panggang
yang menyebarkan bau gurih dan menimbulkan selera
untuk dicicipi.
Andika tiada menghiraukan hidangan-hidangan
yang berbagai jenis itu. Sebaliknya dia merasa begitu
tertarik dengan jubah hitam yang terlipat rapi dan terletak di atas sebuah
nampan yang terbuat dari bahan
tembaga. "Ketua harus mengenakan jubah yang sama se-
perti kami....!" kata Peri Lingga seperti dapat menebak apa yang ada dalam
pikiran Andika. Dua orang bercadar hitam tanpa diperintah, langsung melangkah
men- gambil jubah yang terletak di atas nampan itu. Selan-
jutnya kembali lagi dengan membawa jubah itu. Peri
Lingga menerima jubah itu dan langsung mengenakan
jubah kebesaran itu pada Andika. Jubah berwarna hi-
tam dengan sulaman putih bergambar daun Waru
yang ditusuk anak panah. Nampak begitu serasi den-
gan bentuk tubuh Andika yang kekar berotot.
"Bagus! Anda memang pantas menjadi pimpinan
kami..."!" kata Peri Lingga dan lain-lainnya berseru memuji.
"Sekarang saatnya untuk merayakan pengangka-
tan ini dengan pesta yang telah tersedia....!" Setelah berkata begitu, maka
pesta pengangkatan ketua kaum
senasib itupun segera berlangsung dengan sangat me-
riah sekali. Tapi tiada suara tawa dan canda. Karena
sesungguhnya mereka adalah segolongan orang-orang
yang pernah menderita kekecewaan yang sangat berat.
*** 9 Halaman rumah Katemenggungan saat itu dipe-
nuhi dengan prajurit bersenjata lengkap. Kuda-kuda
tunggangan pun telah dipersiapkan sedemikian rupa.
Demikian pula dengan kereta kuda pengangkat harta
sitaan milik saudagar Legawa. Di dalam ruangan yang
sangat besar, Tumenggung Jayeng Rono para pemban-
tu serta pejabat penting lainnya. Nampak sedang ber-
bincang-bincang dengan para pembantu-pembantunya
itu. Tidak terlihat kehadiran Lesmana di sana. Kenya-
taannya memang sudah hampir tiga hari putra tunggal
Tumenggung Jayeng Rono tak kembali dari bepergian
yang tidak diketahui arah dan tujuannya.
"Aku berharap, semuanya dapat diselesaikan
dengan baik. Penyitaan ini adalah untuk yang ketujuh
kalinya buat orang yang telah begitu berani membuat
malu keluargaku. Sayang... Lesmana pada saat hari
penentuan ini tidak kunjung pulang. Entah kemana
saja perginya putraku itu....!"
"Tapi menurut tetua Tumenggung, apakah ren-
cana ini harus diundur menunggu kepulangan den
Lesmana....?" tanya laki-laki berbelangkon dengan sebilah keris terselip di
bagian punggungnya.
"Paman Jelatu..." Tak pernah ada sejarahnya pe-
kerjaan Katemenggungan tertunda hanya karena uru-
san kecil yang begitu sepele.....!"
"Hamba sependapat dengan tetua Tumenggung
Jayeng Rono....!" sahut laki-laki berbadan kecil, berkulit langsat dengan rambut
jarang-jarang itu mendu-
kung. "Tapi bagaimana seandainya nanti, saudagar Legawa menolak keputusan yang
telah berlaku....?" Yang bertanya adalah seorang laki-laki muka lonjong mata
sipit, yang dalam kalangan persilatan lebih dikenal
dengan julukan si Tapak Api. Tumenggung Jayeng Ro-
no nampak tersenyum dikulum. Satu demi satu diper-
hatikannya wajah para pembantunya. Tak ada tanda-
tanda mencurigakan terkecuali sebuah kesetiaan.


Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudagar Legawa tak mungkin punya kekuatan
untuk menolak semua keputusan yang ada. Justru dia
harus menyadari bahwa akan fatal akibatnya bila co-
ba-coba bermain api dengan seorang pembesar....! Nah
sekarang berangkatlah kalian! Semuanya kupercaya-
kan pada Uwa Senggerono, Paman Jelatu dari Paman
Tapak Api....!"
"Titah tetua akan kami laksanakan dengan
baik....!" jawab orang-orang itu hampir berbarengan.
Tak begitu lama kemudian, berangkatlah iring-iringan
kuda itu meninggalkan halaman rumah mewah Kate-
menggungan. Tumenggung Jayeng Rono hanya men-
gantar iring-iringan berkuda itu hanya sampai di se-
rambi depan rumahnya. Setelah iring-iringan berkuda
itu lenyap, Tumenggung Jayeng Rono nampak me-
nyunggingkan seulas senyum yang hanya dia sendiri-
lah yang mengetahui maknanya.
Waktu terus berlalu tanpa terasa, roda kehidu-
pan pun berputar sebagaimana mestinya. Menjelang
tengah hari, sampailah rombongan berkuda itu di ha-
laman rumah saudara Legawa. Namun begitu melihat
orang-orang saudagar Legawa yang bersenjata lengkap,
nampaknya mereka menyadari bahwa saudagar itu ti-
dak mau menerima keputusan yang telah dibicarakan
beberapa minggu yang lalu. Suasana runyam seperti
itu, sudah pasti mengundang ketegangan di kedua be-
lah pihak. Namun ketegangan itu agak mereda ketika
tidak begitu lama kemudian, saudagar Legawa muncul
bersama Buang Sengketa dan Indah Dewi.
"Kami datang menjalankan perintah ketua Tu-
menggung Jayeng Rono....!" kata Senggerono begitu melihat kehadiran Legawa.
"Kedatangan kalian dengan kereta pembawa har-
ta, sudah pasti ingin menyita semua harta benda yang
kami miliki....!" tukas saudagar Legawa langsung pada pokok persoalan.
"Hal itu sudah pernah dibicarakan pada waktu
sebelumnya.....!" Yang menyahut adalah laki-laki berkumis tebal bernama Jelatu.
"Tapi kini segalanya telah berubah. Penyitaan di-
anggap batal, karena Lesmana ternyata telah menye-
barkan berita bohong....!" sengat saudagar Legawa dengan wajah merah padam.
Ucapan Legawa yang begitu keras sudah barang tentu membuat kaget orang-
orang dari Katemenggungan. Mereka beranggapan
saudagar Legawa sengaja memutar balikkan fakta un-
tuk menggagalkan penyitaan yang dilaksanakan pada
hari itu. "Kau hendak menghindari ketentuan yang telah
sama-sama disepakati oleh kedua belah pihak....!" bentak Senggerono dengan
pandangan berapi-api. Sauda-
gar Legawa geleng-gelengkan kepalanya berulang-
ulang. "Sama sekali tidak! Andai kebenaran cerita Les-
mana memang dapat dia pertanggungjawabkan, sudah
pasti aku akan mematuhi segala ketentuan yang ber-
laku. Aku bicara berdasarkan bukti. Dan anakkulah
yang mengatakan tentang kelicikan-kelicikan yang di-
lakukan oleh Lesmana....!" ucap Legawa Sambil me-
nunjuk ke arah putrinya. Sejenak orang-orang utusan
Katemenggungan itu nampak saling pandang sesa-
manya. Kemudian mereka pun tanpa diminta segera
berlompatan dari punggung kuda masing-masing.
"Apa yang akan dikatakan oleh putrimu, sauda-
gar Legawa....?" bentak si Tapak Api yang sejak tadi hanya diam saja melihat
perdebatan itu. Indah Dewi
tanpa diminta, maju dua langkah ke depan. Dari ca-
ranya memandang, jelas dia merasa tak senang dengan
kehadiran orang-orang Katemenggungan ini.
"Lesmana anaknya Tumenggung Jayeng Rono
yang terhormat itu, sebenarnya lebih pantas bila diju-
luki si bajingan pemerkosa. Begitu kasarnya dia me-
lampiaskan nafsu bejatnya pada orang yang telah men-
jadi istrinya. Tiada kemesraan, terkecuali sikap kasar saat dia memaksaku untuk
melayaninya. Dan ketika
segala-galanya telah dia renggutkan. Bajingan itupun
masih begitu tega memutar balikkan fakta! Katemeng-
gungan berisi manusia-manusia keparat yang harus
dibasmi....!" teriak Indah Dewi, sambil menangis dan menjerit-jerit. Gadis itu
berlari-lari meninggalkan
ayahnya. Ucapan Indah Dewi sudah pasti membuat utusan
Tumenggung Jayeng Rono menjadi, ragu-ragu. Sung-
guh pun Tumenggung Jayeng Rono tidak dapat menge-
tahui secara pasti tentang prilaku putranya di luaran
sana. Namun sebagai abdi yang selalu banyak mela-
kukan kesibukan di luaran sana, sudah barang tentu
sedikit banyaknya mereka hapal dengan perangai Les-
mana yang sering bertingkah macam-macam itu. Begi-
tupun demi menjalankan tugas atasan, mereka tetap
tak mau menerima kenyataan yang ada.
"Kiranya selain tidak menepati janji. Engkau pun
coba-coba menyebarkan fitnah!" Bentak Jelatu.
"Tunggu apa lagi! Ringkus mereka....!" perintah Tapak Api. Pada saat yang sangat
menegangkan itu,
tubuh Buang Sengketa telah berkelebat menghadang.
"Berhenti....!" bentak Pendekar Hina Kelana dengan disertai tenaga dalam.
Sehingga membuat mereka
yang hadir di situ menjadi sangat terkejut.
"Eeh... siapa pula kau ini, manusia berpakaian
gembel....!"
"Kuperingatkan pada kalian untuk tidak mengo-
tori tempat ini dengan darah!" kata si pemuda tanpa menghiraukan pertanyaan
Senggerono. "Kurang ajar. Kau telah begitu berani mencampu-
ri urusan Katemenggungan" Tahukah kau apa akibat-
nya....! geram si Tapak Api.
"Kalau perintah atasan kalian itu mengandung
sebuah kebenaran, sudah barang tentu, siapapun tak
ada yang berani turut campur. Tapi karena perintah
Tumenggung-mu hanya berisikan sebuah kelicikan,
maka aku akan menghalanginya....!" jawab pendekar ini begitu ketus.
"Kurang ajar. Perbuatanmu itu benar-benar tak
dapat kami maafkan....!"
"Serbuuu....!" perintah Jelatu, lalu menerjang ke
depan dan langsung menyerang Buang Sengketa den-
gan jurus-jurus yang sangat berbahaya sekali. Pertem-
puran besar pun tanpa dapat dicegah meletus, denting
beradunya senjata tajam dengan disertai jeritan-jeritan histeris bergema. Bahkan
Legawa sendiri saat itupun
sudah nampak mulai terlibat dalam pertempuran. La-
wan yang dihadapinya adalah Jelatu, laki-laki tinggi
kurus dengan blangkon berwarna hitam. Begitu berge-
rak, saudagar kaya itu langsung mencabut senjatanya
yang berupa sebilah pedang berwarna kuning. Semen-
tara Jelatu menghadapinya dengan sebuah keris tipis
yang memiliki gagang panjang hampir dua meter.
Di sisi lain, prajurit-prajurit Katemenggungan
nampak sedang berhadapan dengan pembantu setia
saudagar Legawa. Jumlah pembantu yang memiliki
kepandaian lumayan itu tak lebih dari sepuluh orang.
Sedangkan di pihak prajurit Katemenggungan jumlah-
nya mencapai dua puluh orang. Masing-masing mere-
ka bersenjata lengkap. Andai saja saat itu Indah Dewi
tidak turun membantu, sudah dapat dipastikan dalam
beberapa jurus di muka. Para pembantunya Legawa
sudah kena didesak. Namun dengan turunnya Indah
Dewi ke gelanggang pertarungan, gadis yang hanya da-
lam waktu singkat mendapat gemblengan dari pende-
kar Hina Kelana itu, mampu membendung sepak ter-
jang prajurit-prajurit Katemenggungan yang rata-rata sudah berpengalaman dalam
peperangan. Yang merasa gelisah dalam pertarungan itu ada-
lah pendekar Hina Kelana. Sebab, walau bagaimana-
pun dia menyadari, tiga orang lawannya merupakan
musuh yang sangat tangguh. Bahkan mereka pun
membawa prajurit dua kali lipat bila dibandingkan
dengan kekuatan yang dimiliki oleh saudagar Legawa.
Kenyataannya, dia melihat Legawa pun nampak mulai
keteter menghadapi serangan keris lawan yang memili-
ki gagang sangat panjang lagi. Sedangkan pabila dia
menoleh ke arah pembantu-pembantu setia saudagar
Legawa. Maka dengan jelas pula, satu demi satu para
pembantu itu mulai berguguran. Dalam menghadapi
serangan Senggerono dan Tapak Api yang sedemikian
gencar dan cukup membuatnya repot. Pemuda dari
negeri Bunian itu mulai berpikir-pikir untuk memper-
gunakan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh yang sangat
dahsyat itu. Keputusan itu telah disepakati bersama antara si
pemuda dengan Legawa dan para pembantunya. Tak
heran kalau di bagian telinga orang-orangnya Legawa
terlihat satu benda berwarna hijau menyumpal bagian
itu. Dengan mempergunakan jurus silat tangan kosong
"Si Gila Mengamuk". Tubuh pendekar ini nampak ter-huyung-huyung bagai seorang
pemabukan. Gerakan
silatnya kacau tak beraturan. Sungguh pun begitu,
senjata Senggerono yang berupa keris itu, tak sekali
pun berhasil menyentuhnya. Bahkan si Tapak Api
yang sudah mulai mengeluarkan pukulan-pukulan
mautnya masih belum juga berhasil menghantamkan
pukulannya pada sasaran yang nampak meliuk-liuk
bagai gerakan seekor ular kepanasan.
"Haiiit....!"
Baik Senggerono maupun si Tapak Api yang su-
dah dibakar kemarahan, nampak mulai mengerahkan
segenap kemampuan yang dimilikinya. Pada detik itu
dengan mempergunakan jurus Si Jadah Terbuang, tu-
buh pendekar Hina Kelana telah pula berkelebat le-
nyap. Hanya angin sambaran tubuhnya saja yang me-
nandakan betapa pemuda dari negeri Bunian ini se-
dang berusaha mencari peluang untuk memukul la-
wannya. "Hiiikgh...!"
Satu lengkingan Ilmu Pemenggal Roh terlepas
sudah, daerah sekitar pertempuran itu seakan dilanda
badai halilintar. Bumi bergetar, daun-daun yang masih
hijau pun runtuh dan bertebaran di atas tanah hala-
man rumah saudagar Legawa. Yang lebih mengerikan
adalah terdengarnya jeritan-jeritan maut, disertai
menggelaparnya beberapa sosok tubuh prajurit-
prajurit Katemenggungan yang meregang ajal. Darah
pun mengalir dari lubang telinga dan hidung mereka
yang tewas. Sisa-sisa prajurit Katemenggungan yang
hanya tinggal tiga orang itupun rasa-rasanya sudah
mulai terganggu syarafnya. Tubuh mereka berputar-
putar. Kemudian berteriak-teriak ketakutan bagai me-
lihat hantu di siang bolong. Lebih celaka lagi, mereka lari tunggang langgang
meninggalkan gelanggang pertempuran.
Baik Jelatu, Senggerono dan Tapak Api setelah
berhasil menghimpun hawa murni untuk mengembali-
kan semangat mereka yang hampir terbang. Nampak
terperanjat sekali begitu melihat orang-orangnya pada
terkapar mati. Mereka merasa, seumur hidup baru kali
inilah berhadapan dengan seorang lawan yang memili-
ki ilmu aneh yang dapat membunuh sekian banyak
orang hanya dalam sekali bergebrak. Sungguh pun se-
telah melihat kenyataan yang terjadi mereka merasa
menjadi sungkan dan keder. Namun untuk menyerah
begitu saja, bagi mereka tak ada kamusnya. Setelah
prajurit-prajurit Katemanggungan terbantai secara
menyedihkan. Maka Indah Dewi dan pembantu-
pembantu ayahnya segera pula menggabungkan diri
dengan Legawa untuk mengeroyok Jelatu. Tanpa basa-
basi lagi, pertempuran pun kembali berlanjut.
Di pihak Buang Sengketa saat itu sedang meng-
hadapi tekanan-tekanan berat yang dilakukan oleh ke-
dua lawannya. Pertarungan antara hidup dan mati
itupun berlangsung menegangkan. Keris di tangan
Senggerono begitu dahsyat menyambar mengarah ba-
gian-bagian tubuh si pemuda, sementara dari arah lain
si Tapak Api yang sudah dilanda kemarahan besar itu-
pun menyerang si pemuda dengan pukulan-pukulan
mautnya yang berwarna putih namun menimbulkan
panas yang hebat.
"Heiih....!"
Si pemuda berusaha mengkelit sambaran keris
yang hampir saja menghunjam bagian lambungnya.
Namun pada saat itu dari arah yang berlawanan, da-
tang sambaran angin pukulan yang berhawa panas
mengancam bagian punggungnya. Buang coba mem-
bantingkan diri ke arah samping. Tapi senjata lawan
masih juga menyambar:
"Crees...!"
"Ahkkh....!"
Tidak sampai di situ saja, pukulan pertama yang
berhasil dielakkan oleh pendekar Hina Kelana mem-
buat si Tapak Api merasa semakin bertambah kalap.
Kemudian dia mengumbar pukulan berikutnya. Sung-
guh pun Buang Sengketa telah bergulung-gulung di
atas tanah demi menyelamatkan nyawanya. Namun te-
tap saja pukulan itu melabraknya. Detik itu, Buang
masih sempat pergunakan jurus Koreng Seribu.
"Deep....!"
Keris di tangan Senggerono juga menyambar,
dengan mempergunakan tangan kirinya dia menyam-
but. "Kreep....!"
Sama sekali pendekar ini hanya mempergunakan
sebagian kecil tenaga dalamnya, sesuai dengan sipat-
sipat jurus Koreng Seribu, yang membetot tenaga da-
lam lawannya. Demikianlah halnya yang sedang terjadi
pada saat itu. Sinar putih yang dilepas oleh si Tapak
Api, layaknya bagai sebuah gala panjang yang dipere-
butkan oleh dua orang anak. Begitu juga halnya keris


Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

milik Senggerono yang melekat begitu erat di tangan
kiri si pemuda. Kejut bercampur kecut hati kedua la-
wannya demi melihat kenyataan ini. Serta merta me-
reka melipat gandakan tenaganya untuk me-
nyentakkan senjata maupun pukulan yang telah me-
reka lepaskan. Namun semakin banyak mereka men-
guras tenaga mereka merasakan senjata maupun pu-
kulan yang telah terlepas terasa semakin sulit untuk
dilepaskan. Sedikit demi sedikit mereka mulai merasa-
kan hilangnya tenaga sakti mereka. Pendekar Hina Ke-
lana nampak menyeringai puas, kemudian dengan
lembut dia menyentakkan kedua tangannya.
"Hiaaat.....!"
Sungguh pun gerakan tangan Buang Sengketa
hanya pelan saja, namun akibatnya membuat tubuh si
Tapak Api maupun Senggerono terpelanting tiga tom-
bak. Lumer nyali Senggerono, sebaliknya tidak begitu
halnya yang terjadi pada diri si Tapak Api. Laki-laki be-rumur itu segera
bangkit kemudian kembali menye-
rang si pemuda. Merasa malu dianggap sebagai seo-
rang pengecut, maka Senggerono pun ikut pula me-
nempur. "Chaaaiit....!"
Buang Sengketa bersalto mundur tiga langkah,
begitu kakinya menjejak di atas tanah maka dia pun
memberi peringatan keras:
"Kuperintahkan pada kalian untuk pergi dari ha-
dapanku! Beri laporan pada Tumenggungmu. Bahwa
dia harus mendidik putranya yang berengsek itu. Ka-
lau tidak aku pasti akan datang membunuhnya....!"
"Keparaaat.... siapa sudi....!" teriak si Tapak Api, lalu hantamkan pukulan
saktinya. Tindakan gegabah
seperti itu, membuat Buang Sengketa kehilangan ke-
sabarannya lagi. Tak ayal dari mulutnya keluar bunyi
mendesis bagai Raja Piton yang sedang dilanda kema-
rahan. Begitu tubuhnya berkelebat, maka mengaun-
glah suara bagaikan suara puluhan harimau terluka.
Pusaka golok Buntung itu, kini telah tergenggam di
tangannya. Mendadak udara di sekelilingnya berubah
dingin luar biasa. Karena tubuh maupun senjata di
tangan si pemuda berkelebat sedemikian cepat. Maka
pihak lawan tidak dapat memastikan bagaimana ben-
tuknya senjata yang memancarkan sinar merah me-
nyala itu. Hanya dalam segebrakan saja mereka sudah
dibuat kalang kabut. Dengan kerisnya, Senggerono
hanya mampu mengelak. Namun dalam keadaan ter-
desak, dia berusaha memapaki senjata lawannya;
"Kraaang....!" Senjata di tangan Senggerono hancur berantakan, sebaliknya golok
di tangan Buang Sengketa
kembali menyambar.
"Craaas....!"
"Arggk....!"
Satu lolongan maut menyertai terhempasnya tu-
buh Senggerono yang mengalami luka pada bagian le-
hernya. Darah mengalir membasahi tubuh sekarat
Senggerono, Kejadian ini membuat si Tapak Api men-
jadi nekad, dan langsung kirimkan satu tendangan ki-
lat ke arah bagian selangkangan si pemuda. Dengan
mengandalkan satu gerakan berkelit yang sedemikian
cepatnya, Buang Sengketa mampu menghindari seran-
gan yang dapat berakibat fatal itu. Serangan si Tapak
api mencapai sasaran yang kosong. Sementara itu Go-
lok di tangan Buang Sengketa menyambut ke arah ba-
gian kaki dan perut.
"Jraaas....! Jraaas....!"
Perut terobek, pangkal paha terkutung. Tiada
erangan maut yang terdengar. Hanya kedua matanya
saja yang membelalak keluar. Keadaan seperti itu
hanya berlangsung beberapa detik. Karena begitu tu-
buh si Tapak Api ambruk ke bumi, laki-laki jangkung
itu sudah tak mampu bergerak lagi.
Sementara itu, Jelatu yang sedang bertarung me-
lawan Legawa dan Indah Dewi. Begitu melihat kema-
tian kawan-kawannya, merasa sudah kehilangan nyali
untuk meneruskan pertempuran. Dia berpikir lebih
baik mencari selamat, dan melaporkan kejadian itu
kepada Tumenggung Jayeng Rono. Itulah sebabnya ke-
tika Indah Dewi, Legawa dan lain-lainnya lengah kare-
na terpengaruh dengan jeritan Senggerono tadi. Maka
kesempatan itu dipergunakan oleh Jelatu untuk me-
ninggalkan tempat.
"Kurang ajar! Keparat itu mau meloloskan di-
ri....!" bentak Indah Dewi begitu berpaling kembali pa-da lawannya.
"Biarkan! Suatu hari nanti mereka pasti akan da-
tang kemari....!" cegah Buang Sengketa sambil melangkah mendekati anak-beranak
itu. "Kita telah membunuh begitu banyak prajurit Ka-
temenggungan. Malapetaka besar pasti bakal menimpa
kita....!" kata Legawa harap-harap cemas.
"Aku tetap akan membantumu, tak perlu risau
dengan kedatangan mereka, kita tunggu sampai kapan
pun....!" jawab si pemuda.
"Kami berhutang nyawa padamu, pendekar
aneh....!"
"Nyawa adalah urusan Sang Hyang Widi.... Ada
baiknya kalau kita urus mayat-mayat itu....!" kata si pemuda, lalu melangkah ke
arah belakang rumah saudagar Legawa.
Nah, bagaimanakah nasib saudagar Legawa dan
keluarganya" Bagaimana pula pembalasan yang dila-
kukan oleh Lesmana, dan apa saja kegiatannya di lua-
ran sana" Dalam judul 'Bencana Pedang Asmara' Be-
tapa sepak terjang Andika membuat pendekar wanita
manapun bertekuk lutut di bawah perintahnya.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Medali Wasiat 13 Anak Harimau Karya Siau Siau Pendekar Kucar Kacir 2
^