Pencarian

Peri Bunga Iblis 2

Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis Bagian 2


meninggal pernah mengatakan
bahwa emak kami itu berwajah cantik melebihi bida-
dari, alis matanya melengkung bagai semut hitam be-
riring. Wajah bulat lonjong kayak telur ayam, matanya
redup seperti orang yang mengantuk. Terus... terus...
apa kakang!" tanya Gindrung lalu berpaling pada saudara tuanya.
"Terus... di bagian dagunya ada tahi lalat....!" ka-ta Ginuk menambahi. Bukan
tertawa-tawa lagi si Ma-
can Liar, sebaliknya ke dua matanya membelalak tak
percaya. Begitu pun dengan orang-orang yang menyer-
tai si Macan Liar. Ciri-ciri orang yang baru disebut-
sebut oleh Dwi Tolol itu rasanya tak begitu asing bagi mereka. Ketua 'Peri Bunga
Iblis', mengapa sama betul.
Merasa penasaran, akhirnya tanpa dapat dibendung
lagi si Macan Liar pun melanjutkan pertanyaannya.
"Apakah emak mu itu memiliki kulit seputih te-
lur bebek...?"
"Ya... ya... kulitnya memang mirip dengan kulit
telur bebek...!" jawab kedua pemuda itu secara serentak. "Anak-anak, ringkus
mereka....!" perintah Macan Liar kepada orang-orangnya. Secara serentak mereka
pun bergerak, tangan-tangan mereka yang kokoh ter-
julur dengan maksud sekali raih dapat menangkap
dua pemuda bertampang tolol. Namun di luar dugaan
Dwi Tolol berkelit menghindar. Kemudian berdiri ber-
jingkrakan dan balas membetot tubuh lawannya den-
gan maksud yang sama. Kali ini si Macan Liar yang
berdiri menonton bukan semakin gusar melihat ade-
gan itu, sebaliknya malah tertawa bekakakan.
"Bagus! Ada perlawanan, mau di ringkus malah
balas meringkus! He.... ha... ha...! Ayo anak-anak, kalian tak mampu meringkus
dua tikus tolol, maka ka-
lian mendapat hukuman yang setimpal dariku...!" kata si Macan Liar. Meskipun dia
masih terus tertawa-tawa.
Tapi orang-orangnya menyadari, bahwa ancaman itu
bukanlah ancaman kosong.
Maka dengan kemarahan dan kegusaran yang
meluap-luap, lima orang anggota si Macan Liar lang-
sung kerahkan jurus-jurus silat yang mereka miliki.
"Jangan sampai kalian melukainya...!" teriak si Macan Liar mengingatkan. Dengan
adanya peringatan
itu, sudah tentu kelima orang itu merasa sangat terba-
tas kesempatan untuk menguasai lawannya. Sebalik-
nya Dwi Tolol yang memang tanpa senjata itu begitu
bergebrak langsung mempergunakan jurus silat tan-
gan kosong "Sosor Bangau Mencatok Cacing', mereka beberapa kali nyaris membuat
lawannya celaka. Melihat gelagat yang kurang menguntungkan itu, tiba-tiba
melalui ilmu mengirimkan suara, si Macan Liar mem-
beri petunjuk. "Anak buah pada tolol, coba kalian pergunakan
jurus 'Menggusur Karang Membuat Lubang' pasti se-
jak tadi kedua tikus tolol itu sudah kena kalian ring-
kus...!" Begitu mendapat makian dari orang yang mereka hormati! Cepat-cepat
mereka merubah jurus silat
yang mereka mainkan. Lima orang lawan maju sekali-
gus, tiga meringkus bagian kaki, sedangkan yang dua
orang lagi meringkus bagian tangan. Namun Dwi Tolol
telah bergerak mendahului.
"Wuut....!"
"Dess...! Deees...!" Dengan tangan menyilang di depan dada, dua tendangan
beruntun mereka lakukan
sekaligus. Dua lawan yang bermaksud menangkap
kaki Ginuk dan Gindrung kena ditendang bagian hi-
dungnya sehingga mengeluarkan darah.
"Ala emak, hidungku bosor....!" Keluh laki-laki kurus berpakaian kulit macan.
"Lakukan sekali lagi, goblook...!" maki Macan Liar bersungut-sungut. Dengan
mengerahkan ilmu
meringankan tubuh dan segenap kemampuan yang
mereka miliki. Sekali lagi mereka melakukan sergapan
serentak sambil lancarkan totokan.
"Hiaaat...." Masih dengan memandang remeh,
Dwi Tolol berkelit. Sekali lagi melakukan satu tendan-
gan. Namun luput, sebaliknya totokan-totokan yang
dilakukan oleh penyerangnya menyambar bagian tu-
buh Ginuk dan Gindrung.
"Tuuuk.... tuuuuk....!"
"Ahgk....!" Dwi Tolol keluarkan keluhan pendek, kemudian roboh dengan keadaan
tubuh kaku tak dapat digerakkan.
"He... he... he....! Bagus sekali pekerjaan kalian.
Sekarang gotong tubuh mereka...!" kata Macan Liar sambil tertawa-tawa kayak
orang sinting. "Kakang, kita mau dibawa ke mana...?" tanya
Gindrung nampak cemas.
"Terserah mereka, dibawa ke mana kek, yang
penting kita tidak dipaksa jalan kaki....!" Dengan sikap pasrah, Ginuk dan
Gindrung diikat kedua tangan dan
kakinya, kemudian bagai membawa hasil buruan Dwi
Tolol diboyong memasuki kawasan hutan lebat.
*** 7 Melangkah ke Tenggara hutan Jajaran, belok kiri
jalan berlapis batu gamping yang sangat licin, kemu-
dian membelok ke arah jalan sempit yang diapit dua
jurang menganga. Mendaki lagi anak tangga yang jum-
lahnya mencapai seratus anak tangga. Di situlah ber-
diri dengan megah singgasana berlapis perak milik Pe-
ri Bunga Iblis berikut begundal-begundalnya. Pabila
panas terik, dari kejauhan nampak sinar putih bagai
mutiara terpantul dari singgasana yang sangat mirip
dengan istana mini itu. Mendekati singgasana milik
Peri Bunga Iblis, terlihatlah berlapis-lapis penjaga bersenjata lengkap mondar
mandir di seputar lingkungan
singgasana itu. Keadaan seperti itu memang tidak se-
bagaimana biasanya. Hal ini dilakukan sejak adanya
laporan dari Wisesa tentang seorang tokoh muda ber-
penampilan aneh dan memiliki kepandaian yang sulit
diukur. Demikianlah siang itu terjadi pembicaraan serius
di ruangan pertemuan yang sangat rahasia, antara be-
gundal-begundal dengan ketuanya. Di ruangan yang
sangat rahasia itu berkumpullah, Wisesa, Macan Liar,
Kebo Bogel, yaitu tangan kanan pertama Peri Bunga
Iblis. "Sampai saat ini aku masih meragukan tentang keberadaan seorang pemuda
aneh berilmu tinggi seperti apa yang dikatakan oleh saudara Wisesa itu! Se-
bab sepengetahuanku, selama ini di seluruh bagian
Tenggara tak seorang pun kaum persilatan yang ba-
gaimana pun hebatnya dapat lolos atau pun mampu
menghadapi kita...!" Kata perempuan berumur empat puluhan itu namun masih tetap
memiliki wajah yang
cantik. "Maaf ketua! Tidak nantinya saya mengarang ce-
rita palsu, hanya untuk menyelamatkan diri dan men-
gelabuhi sesama kawan sendiri....!" jawab laki-laki berwajah pucat yang bernama
Wisesa itu, dengan wajah semakin bertambah kelam. Peri Bunga Iblis yang
sedang tampak duduk angker di atas singgasana ber-
lapiskan perak, kembali mengangguk pelan. Tak lama
kemudian pandangan matanya memperhatikan wajah
para pembantunya satu demi satu. Sekejap berhenti
pada Macan Liar dan Kebo Bogel.
"Bagaimana paman Macan Liar dan Uwa Kebo
Bogel" Pernahkah anda berdua mendengar tentang
adanya seorang pemuda berkuncir berkeliaran di seki-
tar wilayah kekuasaan kita?" tanya Peri Bunga Iblis dengan pandangan matanya
berkilat-kilat.
"Dunia persilatan itu tidak hanya mencakup wi-
layah Jajaran dan sekitarnya. Bahkan hampir di selu-
ruh kolong jagat itu, orang-orang sakti dan berkepan-
daian tinggi berkeliaran. Siapa tahu apa yang dikata-
kan oleh Adi Wisesa mengandung satu kebenaran
yang patut kita waspadai. Bukan mustahil orang ber-
periuk yang di sebut-sebut oleh adi Wisesa merupakan
orang luar yang patut kita curigai keberadaannya!"
sahut Kebo Bogel tanpa ragu. Mendengar jawaban
tangan kanan yang sangat di percayainya, Peri Bunga
Iblis berpaling pada Macan Liar yang berada di se-
belah laki-laki yang berbadan gemuk.
"Bagaimana pendapat paman Macan Liar....?"
Yang ditanya kali ini adalah laki-laki berpakaian lo-
reng-loreng kulit macan. Berwajah sangar menyeram-
kan. Seperti yang telah kita ketahui, seumur hidup ba-
ru sekali saja orang ini tersenyum dan tertawa-tawa.
Sekarang ini demi mendapat giliran pertanyaan, mata
si Macan Liar yang sipit bagai kurang tidur itu berke-
riapan. Dengan suaranya yang selalu serak bergetar
orang ini menjawab:
"Menurutku siapa pun adanya tokoh itu patut
dicurigai! Terkadang orang yang memiliki kepandaian
tinggi selalu berlagak bego, sebaliknya juga begitu. Dalam pertemuan ini juga
aku ingin melaporkan tentang
dua orang bertampang tolol yang mengaku-ngaku se-
bagai anak ketua di sini...!" Memerah paras Peri Bunga Iblis seketika, sama
sekali dalam pertemuan itu dia
tiada menduga kalau Macan Liar akan mengatakan
sesuatu yang sama sekali di luar perhitungannya. Tadi
malam Peri Bunga Iblis memang sempat mendengar
tentang adanya hasil tangkapan yang kemudian dis-
ekap di ruangan bawah tanah. Tapi dia tidak begitu
perduli. Sebab sudah menjadi kebiasaan di wilayah-
nya, siapapun yang patut dicurigai akan selalu di-
tangkap hidup ataupun mati.
"Ini benar-benar sangat keterlaluan sekali. Dua
pemuda bertampang bego, mengaku dirinya sebagai
anak hantunya rimba persilatan." batin Peri Bunga Iblis. Dalam keadaan diliputi
kebimbangan seperti itu,
tiba-tiba perempuan setengah baya ini berkata tegas:
"Paman Macan Liar! Dari manakah asal-nya dua
pemuda tolol yang mengaku sebagai anakku itu?" Semua orang yang berada di dalam
ruangan pertemuan
itu nampak saling pandang dengan sorot mata mera-
gu. "Aku tidak mengatakan mereka itu anakmu, Ke-
tua....! Cuma ciri-ciri yang mereka katakan padaku,
rasa-rasanya mirip dengan ketua. Bahkan mereka pun
tak tahu apakah benar ketua merupakan orang tua-
nya. Sebab aku pun belum mengatakannya pada me-
reka!" jawab Macan Liar tenang.
Peri Bunga Iblis nampak menarik napas pendek,
rasa sesak yang tadinya menghimpit rongga dadanya,
kini berangsur-angsur lenyap.
"Banyak orang di dunia ini yang memiliki persa-
maan wajah! Aku pun ingin tahu apakah dua pemuda
gendeng itu benar-benar anakku! Enam belas tahun
aku dirundung kesedihan hanya karena aku kehilan-
gan anak. Mereka semua tewas karena musibah banjir
yang melanda desa kami. Herannya suamiku Loga Wi-
sa yang kini meringkuk dalam tahanan itu malah ber-
suka ria atas kematian anak-anakku. Aku hampir gila
karena kuketahui kemudian si keparat Loga Wisa ter-
nyata memiliki banyak istri serta menjadi kaki tangan
si Tapak Bayangan yang telah membunuh kedua
orang tuaku! Sukur manusia sesat itu telah mampus
di tangan guruku. Kalau pun ku bangun istana Selak-
sa Perak ini. Kemudian kita bergabung di dalamnya.
Semua itu semata-mata atas nama dendam! Aku baru
merasa puas setelah semua tokoh-tokoh persilatan
menjadi pecundang dan berlutut di bawah kekua-
saanku...!" kata Peri Bunga Iblis melampiaskan segala unek-uneknya. Semua
bawahan yang berada dalam
ruangan itu nampak diam membisu. Suasana menjadi
hening. Sepi. Masing-masing orang tenggelam dalam
pikirannya. Sama sekali mereka tiada menduga, kalau
akhirnya ketua mereka begitu terbuka membeberkan
masa lalunya. Merekapun tak dapat menyalahkan Peri
Kumala Hijau, jika Loga Wisa dijebloskan oleh istrinya sendiri ke dalam sel
penjara bawah tanah. Tak sampai
sepeminum teh, keheningan itu kembali terpecah oleh
suara dingin perempuan telenggas itu.
"Selesai pertemuan ini, aku ingin melihat hasil
tangkapanmu itu paman Macan Liar" Sebelum aku
memberi keputusan, kuminta jangan di apa-apakan
pemuda itu!" Kata Peri Bunga Iblis.
"Kami akan mematuhinya, Ketua...!" Jawab para begundal-begundalnya serentak.
"Satu lagi yang harus kalian kerjakan, yaitu cari pemuda berperiuk dan gadis
yang menyertainya. Aku
yakin gadis itu muridnya Darah Swanda dari pergu-
ruan Cakar Buana..,.!"
"Perintah ketua akan kami jalankan....!" Jawab Kebo Bogel. Tak lama setelah
pembicaraan penting itu
dianggap usai, maka Peri Bunga Iblis dengan ditemani
oleh Macan Liar dan Kebo Bogel berangkat menuju
penjara yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat
kediamannya. Sementara itu, Wisesa dengan disertai
Kembar Kirik Cokelat dan dua puluh orang anak buah
segera meninggalkan istana Selaksa Perak untuk
mencari pemuda yang hampir membuat dirinya cela-
ka. * * * Kecepatan ilmu lari yang dimiliki oleh laki-laki
tua berjenggot putih berpakaian kembang-kembang
itu memang sangat luar biasa. Anehnya sungguh pun
laki-laki tua berkulit merah itu membawa seekor kuda
tunggangan berwarna putih bersih. Namun sepanjang
perjalanan yang di tempuhnya. Tidak sekali pun kuda
itu dia pergunakan sebagaimana lajimnya. Layaknya
laki-laki itu seperti sedang adu lomba kecepatan den-
gan kuda yang sangat terlatih itu.
"Criiing.... Criiing....!"
"Hieee.....!" Bersamaan dengan terdengarnya bunyi bergemerincingan, kuda putih
yang menyertai laki-laki berusia tujuh puluh tahun itu meringkik ke-
ras. Mendadak menghentikan larinya dan memandang


Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada laki-laki tua yang berada di sampingnya. Sekali
dua, laki-laki berpakaian kembang-kembang mengu-
sap-usap bagian hidung kuda yang sudah sangat ter-
latih itu. Tiba-tiba kuda kesayangannya membuka
mulutnya lebar-lebar.
"Criingg....!" Suara bergemerincingan kembali terdengar, di iringi kata-kata
bersahabat dari pemiliknya. "Aku tahu engkau letih! Kita memang sudah sa-ma-sama
semakin tua. Dalam umur yang sudah setua
kita inipun, urusan dunia tidak kunjung selesai!" kata laki-laki itu. Kemudian
memasukkan sesuatu ke dalam mulut kuda yang ternganga. Terdengar bunyi
mendecap-decap saat kuda tadi mengunyah sesuatu
yang dimasukkan oleh tuannya. Sesaat laki-laki ini
memandang jauh kedepannya.
"Putih....! Bagaimana firasatmu tentang murid-
muridku yang tiada pernah kembali itu...!"
"Hieeee...! Bletak.... bletok.....!" Kuda putih me-
ringkik keras, lalu hentak-hentakkan kakinya dua
kali. Alis putih di atas rongga mata si laki-laki yang cekung mengernyit.
"Kau bilang murid-muridku mengalami nasib
yang jelek....!" gumam laki-laki itu dengan wajah ter-tunduk lesu.
"Murid-murid perguruan Sangga Buana yang
malang! Aku yakin bukan Kembar Kirik
Cokelat yang telah melakukannya. Mungkin begundal-
begundalnya Peri Bunga Iblis!" Membatin laki-laki aneh yang tak lain adalah
Darah Swanda ketua perguruan Sangga Buana.
"Mengapa waktu itu bukan aku saja yang mela-
kukan pengejaran atas murid berkepala Anjing itu. Ki-
tab Cakar Buana mungkin saat ini telah berada di
tangan Iblis sesat itu! Sia-sia saja aku telah menciptakannya selama hampir dua
puluh tahun terakhir. Pa-
dahal kitab itu kuciptakan untuk membasmi manusia
iblis yang telah membuat ludes kaum persilatan go-
longan putih. Kutu kupret, aku benar-benar telah ke-
colongan dengan hadirnya Kembar Kirik Cokelat....!"
geram Darah Swanda. Dalam kemarahannya itu, men-
dadak Darah Swanda hantamkan tangannya ke satu
arah rimbunan pepohonan. Selarik cahaya berwarna
putih tak ubahnya laksana kilat menderu menghan-
tam sasarannya.
"Wuuuus.... Buuum....!" Pukulan yang dilepas oleh Darah Swanda menghantam telak
kerimbunan pohon hingga hancur berantakan. Lima orang yang
bersembunyi dalam kerimbunan pohon itu terpelant-
ing roboh dalam keadaan hangus.
"Kurang ajar...! Sungguh orang tua tak tahu
adat, berada di daerah orang malah cari perkara....!"
Terdengar satu bentakan geram ditujukan pada Kakek
Darah Swanda. Kuda putih di sampingnya meringkik
keras, alis mata Darah Swanda mengernyit. Agaknya
dia menyadari orang yang baru membentak dirinya itu
memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Namun
sebagai seorang tokoh tua yang sudah banyak menge-
cap asam garam dunia persilatan. Sama sekali dia ti-
dak merasa terpengaruh dengan adanya bentakan
yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tadi.
Tanpa berkata apa-apa, ketua perguruan Sangga Bua-
na ini kembali hantamkan pukulan 'Kilat Buana'
"Deeer....!" Pohon yang menjadi sasaran pukulan kakek Darah Swanda roboh dengan
menimbulkan suara berdebum. Sementara dari atas pohon nampak
melesat beberapa sosok tubuh dengan suara tawanya,
bergelak-gelak.
"Jligk!. Jligk.....!" Dengan tanpa menimbulkan suara, orang-orang yang
bersembunyi di atas pohon
itu menjejakkan kakinya persis di depan Darah Swan-
da. Tersirap darah kakek ini begitu mengenali dua
orang di antara belasan laki-laki yang telah mengu-
rungnya. "Kau.... Kembar Kirik Cokelat....!" Geramnya dengan mulut menganga lebar. "Murid
murtad.... ! Cepat serahkan kitab yang telah kau larikan itu....!" bentak Darah
Swanda. "He... he... he...! Kitab apa, Guru pikun...!" sentak salah seorang dari Kembar
Kirik Cokelat dengan
sesungging senyum mengejek. Wajah kakek Darah
Swanda mendadak berubah kelam membesi. Tubuh-
nya nampak gemetaran karena menahan amarah yang
meluap-luap. "Tak pernah kuduga kiranya kalian sekutunya
manusia iblis....! Kini aku menyadari kiranya murid-
muridku yang tiada pernah kembali itu, telah kalian
bunuh. Hhh... hutang nyawa, di tambah dengan kesa-
lahan telah melarikan Kitab Cakar Buana! Rasa-
rasanya kalau pun kupenggal kepala kalian masih ju-
ga belum lunas....!" Menggeram si kakek sambil meli-rik pada laki-laki berbadan
semampai yang berada di
sebelah Kembar Kirik Cokelat.
"Inikah manusianya yang telah menjadi guru ka-
lian, Saudara Kembar...!" gumam laki-laki yang bernama Wisesa itu memandang
remeh. *** 8 "Tak salah lagi! Kunyuk tua muka merah inilah
yang dulu pernah kuangkat sebagai guru keblinger....!"
"Beranikah kalian menghadapinya....?" pancing Wisesa memanas-manasi.
"He... he... he....! Di wilayah kekuasaan ketua Pe-ri Bunga Iblis, dia bukanlah
apa-apa...!" jawab Kembar Kirik Cokelat berapi-api. Wisesa tertawa lebar, dia
merasa puas dengan jawaban yang diberikan oleh orang
yang masih termasuk bawahannya itu.
"Ilmu silat kalian sudah tentu sangat dikenal
oleh si tua muka merah ini. Alangkah baiknya kalau
aku yang menghadapi dan menjajal sampai di mana
pamor ketua perguruan Sangga Buana ini...!" kata Wisesa. Kemudian di awali satu
bentakan keras, tubuh
laki-laki berbadan semampai itu melompat ke depan
sambil lancarkan satu jotosan ke arah kepala Darah
Swanda. Ketua Perguruan Sangga Buana, geser ka-
kinya satu langkah ke samping kiri. Dengan sedikit
miringkan badan, kakek Darah Swanda menyambut
serangan itu dengan satu cakaran dan tendangan me-
nyilang. Wisesa nampak terperanjat melihat sambaran
yang datang dari bagian kaki pihak lawannya. Secara
praktis dia tarik balik tangannya yang hampir tersam-
bar kaki lawan. Selanjutnya dengan mempergunakan
jurus 'Tiga Singa Gurun', tubuhnya berkelebat sangat
cepat. Dalam pandangan lawan, tubuh Wisesa men-
gembar menjadi tiga orang. Namun Darah Swanda ju-
ga selain memiliki kepandaian tinggi, juga mempunyai
pandangan batin yang jernih. Dengan mata meram
dan konsentrasi yang terkontrol dengan baik dia terus
mengincar tubuh lawannya.
"Husyaaa...!" Satu bentakan menyertai berde-
singnya senjata rahasia yang disambitkan oleh Wisesa
dan kawan-kawannya. Sementara itu Kembar Kirik
Cokelat masih terus menonton jalannya pertarungan
yang semakin bertambah sengit. Saat itu Darah
Swanda bukan tak menyadari adanya serangan senja-
ta rahasia yang datang dari berbagai penjuru itu. Na-
mun dia pun tak ingin kehilangan kesempatan untuk
menghajar tubuh asli pihak lawan yang telah menjadi
kembar tiga. Untuk menghindari serangan senjata ra-
hasia yang berupa Paku Bunga Iblis, ketua Perguruan
Sangga Buana kebutkan jubahnya yang berwarna
kembang-kembang. Secara aneh serangkum gelom-
bang angin yang sangat kencang menderu dari jubah
yang dikebutkan oleh Darah Swanda. Senjata rahasia
yang disambitkan oleh Wisesa dan anak buahnya den-
gan tenaga penuh jadi tertahan di udara. Bahkan se-
detik kemudian mental kembali menyerang pemilik-
nya. Yang tak sempat menghindari serangan balik sen-
jatanya sendiri nampak terpelanting roboh dengan tu-
buh menghitam dan jiwa melayang. Tercengang mere-
ka yang masih selamat dari maut yang mengancam-
nya. Sama sekali mereka tiada menduga kalau ketua
Perguruan Sangga Buana memiliki kepandaian yang
sehebat itu. Sementara pertarungan terus berlanjut, dengan
mata masih terpejam, kakek berusia senja ini terus
menggebrak dengan serangan-serangan ganas. Kali ini
dia memang sengaja mempergunakan jurus-jurus an-
dalan untuk menggempur anggota Peri Bunga Iblis
yang selama ini dia dengar telah membantai begitu
banyak kaum persilatan golongan lurus. Saat itu tu-
buh Wisesa yang beberapa kali sempat kena gebuk
kembali dalam ujud tunggalnya. Dalam keadaan kem-
bar tiga orang nomor tiga dalam urutan anggota Peri
Bunga Iblis, tak mampu berbuat banyak. Padahal saat
itu dia telah menguras banyak tenaga. Setengah kesal
dia memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk me-
lakukan pengeroyokan. Tanpa menunggu lebih lama,
baik Kembar Kirik Cokelat dan belasan orang lainnya,
langsung memasuki gelanggang pertarungan.
"Cring.... Criiiing.... criiiing....!"
Terdengar bunyi bergemerincing saat Darah
Swanda menghentakkan kakinya yang bergelang itu
memberi isyarat pada si putih. Kuda yang sangat terla-
tih itu meringkik keras. Kemudian dengan gerakan-
gerakan aneh, kuda milik ketua Perguruan Sangga
Buana menerjang ke arah anggota Wisesa yang nam-
pak mulai melabrak dengan senjata terhunus. Terden-
gar teriakan-teriakan maut saat tubuh-tubuh yang ti-
dak sempat menghindar, terinjak-injak kaki kuda yang
sudah kalap melihat majikannya dikeroyok sedemikian
rupa. "Hantam tubuh kuda itu...!" teriak Wisesa pada si Kembar Kirik Cokelat
yang masih terus berusaha
menghindari dan menyerang kuda milik Darah Swan-
da. "Craaak.... Craaak....!"
"Hieeeeeh....!" Pedang pendek yang dipergunakan oleh Kembar Kirik Cokelat mental
entah ke mana, tubuh kuda putih milik ketua Perguruan Sangga Buana
kiranya kebal terhadap berbagai senjata tajam. Bukan
saja Kembar Kirik Cokelat yang selama ini pernah
menjadi murid Darah Swanda yang terperangah, na-
mun juga Wisesa yang sempat melihat kejadian itu
menjadi sangat terkejut. Dia sendiri merasa selama ini belum pernah melihat
seekor kuda mampu melakukan
gerakan silat dan bahkan kebal terhadap serangan
senjata tajam. Tapi kali ini dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan kejadian
yang ganjil seperti itu.
Sungguh satu hal yang sangat langka.
"Manusia sekutu iblis! Jangan bengong, makan
seranganku...!" teriak Darah Swanda sambil hantamkan pukulan Kilat Buana. Wisesa
terkesiap dengan
adanya sambaran udara panas yang menerpa bagian
bahunya. Secepatnya dia mencabut sebilah arit ber-
warna putih mengkilat karena ketajamannya. Senjata
itu dia putar sedemikian rupa sehingga membentuk
gulungan sinar putih yang membungkus tubuhnya.
"Breees....!" Tanpa ampun tubuh Wisesa terhantam pukulan Kilat Buana yang
menimbulkan hawa
panas itu. Namun hal itu hanya berakibat terdorong-
nya tubuh lawan beberapa tindak ke belakang. Setelah
terhuyung-huyung kemudian kembali siap dengan
kuda-kudanya. Laki-laki berpakaian hitam ini mero-
goh sesuatu dari balik bajunya. Lalu melontarkannya
ke arah Darah Swanda. Apa yang dilakukan oleh Wi-
sesa kiranya sudah berada dalam perhitungan ketua
Perguruan Sangga Buana. Lalu kesempatan yang
hanya sesaat itu dia pergunakan untuk menutup jalan
pernapasannya. Tiga buah benda berwarna hitam
yang besarnya tak lebih dari sebutir telur itik itu dengan sengaja dia sampok
dengan tangan kanannya.
"Dweer....!" Terdengar tiga kali ledakan kecil ber-turut-turut ketika benda itu
pecah dan menimbulkan
asap putih menyerupai kabut. Namun siapa sangka
kalau dalam keadaan masih terbungkus kabut yang
berupa racun pembius itu, Kakek Darah Swanda ma-
sih dapat tergelak-gelak, dan bahkan masih dapat
mengetahui di mana posisi lawan berada. Tanpa di
duga oleh Wisesa, Kakek Darah Swanda hantamkan
pukulan andalannya yang berupa pukulan 'Sejuta Ge-
ledek' yang sangat dahsyat itu.
"Duuuk! Kraaak.....!" Dengan telak Wisesa kena dihajar oleh Kakek Darah Swanda.
Tubuh laki-laki
berbadan gempal itu terbanting keras di atas tanah
berbatu. Tiga buah tulang rusuknya patah. Begundal
Peri Bunga Iblis terbatuk beberapa kali.
"Hoeek....!" Darah menyembur dari mulut dan
hidungnya, wajahnya yang hitam berubah pucat bagai
sudah tiada berdarah lagi. Dengan tubuh gemetaran,
laki-laki itu berusaha bangkit berdiri, namun limbung
dan langsung jatuh tersungkur. Satu pukulan dengan
mengerahkan segenap kesaktian yang ada kembali di
lepas oleh Darah Swanda yang sudah gelap mata.
"Paman Sesa, awaaas....!" Teriakan salah seorang dari Kembar Kirik Cokelat
nampaknya sudah tidak
banyak artinya. Karena ternyata pukulan yang dilepas
oleh Darah Swanda telah melabrak tubuh sekarat tia-
da daya tersebut. Laksana terbang tubuh yang sudah
tiada berdaya itu dilanda pukulan Sejuta Geledek mi-
lik Darah Swanda. Begitu tubuh laki-laki berbadan
gempal itu terbanting di atas tanah, berkelojotan se-
bentar lalu terdiam untuk selama-lamanya.
Secara perlahan Darah Swanda mengerling ke
arah Kembar Kirik Cokelat dengan sudut matanya. Se-
lanjutnya menoleh pula pada kuda putih miliknya
yang masih terus mengamuk melawan beberapa gelin-
tir orang-orang Wisesa.
"Criiing... Criiing..."
"Heiiiieeeh....!" Begitu Darah Swanda memberi
isyarat pada kuda putih miliknya. Binatang terdidik
itu langsung menghentikan sepak terjangnya. Kemu-
dian berlari-lari kecil mendekati pemiliknya.


Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cukup putih! Sekarang tenang-tenang-lah kau
di sini, kau lihatlah bagaimana cara seorang bekas
guru memberi hukuman pada murid murtad berkepa-
la binatang ini!" kata Darah Swanda dengan nada
mengancam. "He... he.., he...! Sungguh pun kau bekas seorang guru kami, jangan kira kami
takut menghadapimu.
Majulah....!" tukas salah seorang dari Kembar Kirik Cokelat dengan suara
lantang. "Keberanian kalian memang patut di puji! Namun
sebelum kalian mati, jawab dulu beberapa pertanyaan
dariku...!"
"Heh... kau pasti mau menanyakan Kitab Cakar
Buana yang telah kami curi itu...!" katanya mengejek.
"Bukan itu saja....!"
"Yang satunya pasti tentang murid-murid mu
yang tiada kembali ke perguruan...!" tebak kembar Kirik Cokelat sekenanya.
"Tak salah....!" kata ketua Perguruan Sangga Buana dengan tatapan dingin. Kembar
Kirik Cokelat ber-
pandangan sesamanya, selanjutnya kembali menoleh
pada bekas gurunya.
"Apakah dengan kami beritahukan hal yang se-
benarnya lalu engkau mengampuni kami...?"
"Tergantung memuaskan tidaknya jawab-an yang
kalian berikan...!"
"Kalau begitu, di antara kita tak perlu ada kom-
promi. Asal kau tau saja, bahwa tiga orang muridmu
telah tewas di tangan kawan-kawan kami. Sedangkan
kitab Cakar Buana telah kami berikan pada ketua Peri
Bunga Iblis....!" kata Kembar Kirik Cokelat tenang.
"Keparaaaat....! Aku benar-benar akan mencin-
cang tubuh busuk kalian!" maki Darah Swanda den-
gan kemarahan yang meluap-luap.
"Cabutlah senjata agar kalian tak mati percu-
ma.......!"..
"Baik, menghadapi guru pikun sepertimu, kami
memang memerlukan senjata...!" tukas kembar Kirik Cokelat sambil meraba gagang
pedangnya. "Sriiing! Sriiiing!" Di tangan Kembar Kurik Cokelat kini telah tergenggam
sebilah pedang pendek tipis.
Sebaliknya Darah Swanda yang sudah terbakar kema-
rahan nampak tak ingin mengulur-ulur waktu lagi.
Segera pula mencabut senjatanya yang berupa senjata
sebilah pedang mustika berukuran panjang berkilat-
kilat karena ketajamannya.
"Hiaaat..... Ciaaaa.....!" Secara nekad murid murtad itu menyerang gurunya
dengan senjata terhunus.
Dengan ganas murid berkepala anjing itu menyerang
Darah Swanda dari dua arah sekaligus. Pedang di tan-
gan berkelebat menyambar mencari sasaran. Ketua
Perguruan Sangga Buana nampak tenang sambil ter-
senyum penuh amarah. Bagaimanapun yang dilawan
oleh mereka kali ini adalah bekas gurunya sendiri. Il-
mu silat mereka berasal dari satu sumber. Dan yang
pasti Darah Swanda mengetahui kelemahan-
kelemahan jurus yang dimainkan oleh bekas murid-
nya. Demikianlah setelah pertarungan mencapai bela-
san jurus, nampaknya Darah Swanda sudah merasa
habis kesabarannya. Detik selanjutnya tubuh laki-laki
berusia tujuh puluhan itu berkelebat lenyap. Dua kali
pedang di tangannya menderu dahsyat.
"Jrees! Jrees....!" Dua Kembar Kirik Cokelat melo-long setinggi langit. Sebelah
tangannya masing-masing
yang memegang senjata terbabat buntung.
"Itu hukuman untuk kesalahan kalian telah
mengkhianati perguruan... dan yang ini....!" Kembali
pedang di tangan Darah Swanda berkelebat.
"Jrees... Jrooos....!"
"Argghk....!" Suara teriakan menyayat kembali terdengar.
"Itu hukuman buat kesalahan kalian yang telah
membuat murid-murid tewas!" kata Darah Swanda
sambil memandang tajam tanpa ekspresi.
"Dan yang ini....!" Pedang di tangan laki-laki itu kembali menyambar.
"Jraaak.... Jroook....!" Dua kepala manusia yang berupa kepala anjing itu
menggelinding ke tanah. Darah menyembur dari luka yang mengerikan itu. Se-
mentara kepala yang terpenggal terus menggelinding
dengan mata melotot dan lidah terjulur. Bagian badan
yang sudah tiada berkepala itu nampak sempoyongan
dan melangkah tanpa tujuan. Namun setelah darah
yang mengalir dalam tubuhnya asat, tak dapat dicegah
lagi, secara hampir bersamaan tubuh Kembar Kirik
Cokelat ambruk ke bumi. Hanya sesaat saja tubuh
yang sudah dalam keadaan menggenaskan itu berkele-
jat-kelejat, kemudian diam membeku. Begitu dingin
dan tanpa perasaan, ketua Perguruan Sangga Buana
itu memperhatikan mayat bekas murid-murid yang
sangat menjengkelkan itu.
"Kalian memang pantas mati. Keberadaan kalian
di kolong langit ini hanya membikin onar saja. Heh...
tiga orang muridku telah tewas, tentu salah seorang di antara mereka selamat.
Tapi siapakah di antara mereka itu" Ada baiknya kalau aku menyerbu markas Peri
Bunga Iblis, sekalian mencari tahu tentang kabar mu-
ridku yang selamat itu!" batin Darah Swanda. Selanjutnya setelah memberi tanda
pada kuda putih milik-
nya. Maka mereka pun kembali berlari cepat menuju
tempat kediaman Peri Bunga Iblis.
9 Dalam kerangkeng penjara yang luasnya tak le-
bih dari dua kali tiga meter itu. Di sanalah Ginuk dan Gindrung dipenjarakan.
Sepanjang kerangkeng yang
jumlahnya lebih dari lima puluh kamar itu berbagai
kaum persilatan yang membangkang menjalani hu-
kuman yang cukup berat. Hampir setiap hari terden-
gar rintihan dari mulut orang-orang yang sedang men-
dapat siksa. Di antara sekian banyak orang, hanya
Ginuk dan Gindrung saja yang mendapat perlakukan
istimewa. Kenyataan ini membuat para tahanan yang
berada di sisi kanan kirinya menjadi iri. "Apa sih isti-mewanya dua kunyuk
bertampang tolol itu sehingga
mereka mendapat perlakuan istimewa seperti itu."
tanya mereka dalam hati. Padahal menurut mereka
Dwi Tolol hanyalah manusia biasa-biasa saja. Tak ada
yang istimewa terkecuali ketololannya. Hal ini patut
dipertanyakan! Batin salah seorang yang berada di se-
belah kerangkeng Dwi Tolol. Hingga sampai seminggu
kemudian rasa penasaran itu akhirnya tercetus juga.
"Hei... siapa nama kalian! Berasal dari mana
hingga sampai nyasar kemari...?" tanya si laki-laki yang di sekujur badannya
penuh dihiasi tatto dan
hampir setiap hari mendapat siksaan itu, penasaran.
"Kakang... orang itu menanyai kita, matanya me-
lotot seperti tidak senang!" lapor Gindrung sambil mengguncang-guncangkan tubuh
Ginuk yang sejak
pagi terus saja mendengkur.
"Apa kau bilang, adi... siapa tanya siapa...?" kata Gipuk lalu mengucek-kucek
matanya yang terasa pedas. Laki-laki bertatto menggebrak kerangkeng yang di
huninya. "Aku yang tanya, gobloook....! Cepat jawab....!"
bentak laki-laki itu dengan nada geram.
"Eee.... namaku Ginuk, sedangkan adikku ini
Gindrung...!" jawab yang paling tua sambil cengengesan. "Dari mana asal
kalian...?" sentaknya lagi.
"Dower... eee... maksudku, kami berasal dari du-
sun dower....!" Si laki-laki bertatto manggut-manggut, lalu "Nama yang cukup tak
memberi kesan dusun kalian agaknya tak tertulis dalam peta persilatan....!"
"Peta persilatan... aku pun tak tahu....!" jawab Gindrung mendahului saudara
tuanya. Si laki-laki
bertatto mendengus menampakkan rasa ketidak se-
nangannya. "Ada hubungan apa kalian dengan ketua Peri Ce-
laka itu...?" tanyanya lagi. Kedua orang itu serentak geleng-gelengkan
kepalanya. "Jadi kalian tak tahu..." Pantesan. Dasar kalian
orang-orang tolol...! Lalu mengapa kalian sampai di-
tangkap oleh orang-orang Peri Bunga Iblis, heh...?"
"Lha wong kami cari emak.....!"
"Cari emak...?" batin laki-laki bertatto merasa ge-li sendiri, "Kalau hanya
sekedar mencari orang tua mengapa sampai orang-orang itu menangkap kalian...?"
"Mana aku tahu, mungkin emak kami ada di si-
ni... sehingga orang-orang itu membawa kami kema-
ri....!" "Apakah emak kalian itu rupanya mirip dengan Peri Bunga Iblis?"
"Wow... mirip sekali! Bahkan kami menyangka
orang itulah emakku..!" jawab Dwi Tolol hampir bersamaan. Merah padam wajah si
laki-laki bertatto
mendengar pengakuan Dwi Tolol. Serta merta di ke-
rahkannya tenaga dalam yang di milikinya. Kemudian
dengan sekali lompat diterjangnya dinding kerangkeng
yang terbuat dari kayu jati itu.
"Bruaaaak.....!" Kerangkeng yang berjeruji kayu sebesar betis seorang anak kecil
itu pun hancur berkeping-keping. Laki-laki bertatto menyeruak keluar,
selanjutnya menyerbu ke arah kerangkeng yang di
huni oleh Dwi Tolol.
"Keparaaat! Tampang kalian berlagak mirip orang
bego, nggak tahunya kalian ini anaknya si keparat Peri Bunga Iblis! Hhh... aku
harus mampusin kalian berdua... Ciaaat....!" teriak si laki-laki bertatto sambil
melakukan satu terjangan.
"Bruaak...!" Di saksikan para tawanan yang begitu banyak jumlahnya. Pintu
kerangkeng itu pun han-
cur berantakan.
"Keluar kalian anaknya ratu sesat...!" perintah laki-laki itu sambil menudingkan
telunjuknya. Tapi
perintahnya yang menggeledek tidak segera dituruti
oleh Dwi Tolol. Hal ini hanya membuat darah laki-laki
itu semakin menggelegak sampai ke ubun-ubun. "Ku-
rang ajar! Kalian semakin berpura-pura bego... mam-
puslah...!" Si laki-laki bertatto menyerbu ke dalam kerangkeng. Kemudian
menyentakkan tubuh Ginuk dan
Gindrung, hingga membuat dua pemuda bertampang
tolol itu terjajar ke dinding kerangkeng.
"Kakang! Apa salah kita, orang ini kok menga-
muk kayak orang gila...?" tanya Gindrung dengan tubuh menggigil dan wajah pucat
pasti. "Manusia kampret... hiih...!" Dengan geram laki-laki bertatto berbadan gemuk itu
menyentakkan krah
baju yang dipakai oleh Ginuk dan Gindrung. Sehingga
tubuh pemuda itu terangkat tinggi. "Ketahuan kalian berdua anaknya Peri Bunga
Iblis, masih juga kalian
berpura-pura tolol...!"
"Buk... bukan...! Kalau memang benar perem-
puan cantik itu emak kami. Siapa sudi punya emak
jahat.... Kata nenek Kreot yang sudah meninggal,
emak kami baik sekali bukan seperti iblis...!" Sementara para tahanan lainnya
nampak tergelak-gelak me-
nyaksikan adegan itu. Namun sejauh itu mereka tak
ada niat untuk membela si laki-laki bertatto, jangan-
kan lagi memberontak. Sebab mereka menganggap hal
itu hanyalah akan sia-sia belaka. Apalagi mengingat di sekitar lingkungan tembok
benteng berkeliaran berlapis-lapis penjaga yang rata-rata memiliki kepandaian
yang cukup tinggi.
Saat itu, Ginuk sedang berusaha melepaskan
cengkraman laki-laki berwajah kasar itu. Namun
nampaklah usaha yang dilakukannya tidak membua-
hkan hasil. Cengkraman si laki-laki bertatto semakin
bertambah kuat bagai jepitan baja
"Adi... masih hidupkah kau...!" teriak Ginuk, megap-megap dan terasa sulit
bernafas. "Mmm... masih! Tapi sudah hampir kelenger...!"
"Gunakan jurus cocor bebek mencatok cacing,
adi Gindrung....!"
"Bagus! Gunakan saja jurus konyol pengantar
mampus yang kalian miliki! Aku jadi ingin lihat sebe-
rapa hebat anak-anaknya Peri Bunga Iblis....!" geram si laki-laki bertatto.
"Husraaa....!" Kedua pemuda itu mengerahkan
segenap kemampuan yang ada. Laki-laki bertatto kali
ini malah tertawa terbahak-bahak. Tiada di sangka-
sangka, secara berbarengan Dwi Tolol hantamkan tin-
junya ke wajah orang itu, kemudian bagian kaki me-
nyodok ke arah bagian perut yang paling bawah.
"Buuk...! Buuuk....!"
"Jrooot...!"
"Auuuuh....!" Cengkeraman tangan si laki-laki bertatto terlepas, sambil
memegangi bagian terlarang
miliknya. Laki-laki itu menjerit dan berjingkrak
jingkrak. "Kena... kena kakang...!" kata Gindrung polos.
"Kau apakan dia...?" tanya Ginuk berusaha keluar dari dalam kerangkeng.
"Kutendang anunya, Kakang...!"
"Ha... anunya kau tendang?" kata Ginuk dengan mata membelalak tak percaya.
"Biar kapok, Kang...! Biar cuti, kalau perlu untuk selamanya....!" sahut
Gindrung, berjingkrak jingkrak.
Sementara itu dengan langkah masih terpincang-
pincang, si laki-laki bertatto nampak mengejar keluar
kerangkeng. "Keparaat kalian...! Tidak boleh tidak, aku harus membunuhmu...!" teriak laki-
laki itu terus menerjang.
"Pergunakan jurus Cocor Bebek Mencatok Cac-
ing, Adi...!" teriak Ginuk sambil berusaha berkelit menghindar, begitu juga
halnya yang dilakukan oleh
Gindrung. Karena saat melakukan serangan si laki-
laki bertatto yang dalam kalangan persilatan lebih di-
kenal dengan si Tenaga Gajah mengandalkan tenaga.
Maka begitu serangannya luput dari sasarannya. Tu-
buh si Tenaga Gajah langsung tersungkur mencium
tanah. Dengan wajah dipenuhi debu, laki-laki bertatto
ini segera bangkit, selanjutnya melakukan serangan
kembali. "Akur! Teruskan... kalian memang badut-badut
yang menggelikan." Teriak orang-orang yang berada di dalam kerangkeng memberi
semangat. "Kampreet...!" maki si laki-laki bertatto menyambut ejekan kawan-kawannya.


Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan satu gerakan
yang sulit untuk di duga-duga, laki-laki gemuk itu
menggelindingkan tubuhnya dengan maksud lancar-
kan sapuan ke arah bagian kaki lawan-lawannya. Dwi
Tolol bengong melihat keganjilan yang dilakukan oleh
lawannya. Namun kelengahan yang hanya beberapa
detik itu dipergunakan oleh pihak lawan untuk meng-
hantamkan kaki kanannya.
"Duuuuk! Buuuuuk....!" Dua kali tendangan ber-turut-turut berhasil mencapai
sasarannya dengan te-
lak. Dwi Tolol terjungkal, sambil memegangi perutnya
yang terasa mual, salah seorang dari mereka nyeletuk:
"Waduuh, aku kena adi Gindrung...!"
"Sama! Aku juga kena ditendang...!"
"Kalian memang pantas untuk menjadi raja cac-
ing tanah....!" jerit si Tenaga Gajah, terus memburu dengan maksud untuk
mengakhiri nyawa lawan-lawannya. Tiada terduga, Dwi Tolol meraup segenggam
pasir. Begitu si Tenaga Gajah mendekat.
"Weeeeerr....!"
"Aaaahh... kurang ajar...!" maki laki-laki bertatto sambil mengucek-ucek matanya
yang kelilipan. Mempergunakan kesempatan seperti itulah, Dwi Tolol lang-
sung mencecar lawannya dengan pukulan-pukulan
yang cukup keras. Si Tenaga Gajah, kini menjadi bu-
lan-bulanan Ginuk dan Gindrung. Si Laki-laki bertatto
hanya mampu mengeluh dan keluarkan kata-kata
yang kotor. Dasar orang-orang tolol yang sedang di-
landa kemarahan, mana mau perduli dengan segala
apa yang dikatakan oleh si Tenaga Gajah. Sampai ak-
hirnya terdengar suara bentakan disertai berdatan-
gannya beberapa orang penjaga meluruk ke arah me-
reka. "Hentikan....!" hardik laki-laki berpakaian loreng-loreng kulit macan.
Seperti diketahui, laki-laki ber-
tampang angker itu berjuluk si Macan Liar. Bagai di-
hipnotis, Dwi Tolol tarik balik serangannya. Hampir
bersamaan mereka memutar langkah, lalu meman-
dang barisan pengawal yang menyertai Macan Liar.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya laki-laki itu sambil memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Ma-
tanya membelalak ketika melihat kerangkeng tempat
mengurung si Tenaga Gajah jebol berantakan.
"Kalian telah merusak penjara?" hardik si Macan Liar menuduh.
"Eh... bukan kami yang merusak! Tapi orang itu
yang telah melakukannya...!" bantah Ginuk, lalu menuding ke arah laki-laki
bertatto. "Benarkah seperti yang di katakan oleh pemuda
ini?" tanya Macan Liar, lalu memandang tajam pada lawan Dwi tolol.
"Tidak kubantah....!"
"Mengapa kau lakukan...?" kata Macan Liar, me-nyelidik. Sebelum menjawab,
sesungging seringai
menghias di bibir si Tenaga Gajah.
"Aku harus menghajar mereka, bahkan kalau
perlu membunuhnya. Karena aku tahu dua kunyuk
bertampang tolol itu puteranya ketua kalian...!"
"Keparat!" maki si Macan Liar. Kemudian dengan sekali lompat, sampailah begundal
kedua Peri Bunga
Iblis. Tanpa basa-basi langsung hantamkan tinjunya
ke arah bagian perut si Tenaga Gajah. Laki-laki bertat-to itu terjungkal, tidak
cukup sampai di situ saja. Macan Liar terus memburu kemudian hantamkan puku-
lan ke bagian wajah si laki-laki bertatto.
"Buuuuk...!" Bagian yang terhantam pukulan itu langsung membiru dan mengeluarkan
darah. Si Macan
Liar menoleh pada bawahannya.
"Seret dia ke dalam kerangkeng bawah tanah....!"
perintahnya. "Dan kalian berdua mendekat kemari....!"
Dwi Tolol mendekat.
"Apakah tuan akan menghukum kami juga...!"
tanya Ginuk dengan wajah pucat.
"Hooo... tidak! Malah ketua kami me-manggil ka-
lian berdua untuk menghadap...!" kata si Macan Liar ramah.
"Apakah benar kami anak-anaknya Peri Bunga
Iblis...?" tanya Gindrung dengan suara gemetar.
"Aku tak layak menjawabnya. Sebaiknya kalian
tanyakanlah hal itu pada ketua kami. Sekarang patuhi
perintah...!" Tak begitu lama kemudian, dengan diikuti oleh para pengawal Peri
Bunga Iblis, berangkatlah Dwi
Tolol untuk menghadap Peri Bunga Iblis.
*** 10 Sepanjang jalan menuju sarang Peri Bunga Iblis
yang bermarkas di tengah-tengah hutan Jajaran bu-
kanlah merupakan jalan setapak yang sangat mulus
yang tiada memiliki rintangan apa-apa. Banyak sekali
jebakan-jebakan yang sangat berbahaya terpasang di
sepanjang jalan dan tempat-tempat yang dianggap
strategis untuk dilalui oleh pihak lawan-lawannya.
Syukur hal itu telah diperhitungkan oleh Pendekar Hi-
na Kelana dan gadis yang menyertainya. Sehingga se-
dikit banyaknya mereka terhindar dari bahaya yang
datangnya tiada dapat di duga-duga. Hanya terka-
dang-kadang saja sekali dua mereka bentrok dengan
beberapa orang penjaga di sepanjang hutan yang me-
reka lalui. Di lain saat mereka juga merasa agak terkejut
dengan mereka temukan adanya korban-korban dari
pihak Peri Bunga Iblis yang tewas dengan keadaan
sangat menyedihkan. Jika melihat kondisi tubuh me-
reka, nampaknya kematian mereka belumlah begitu
lama. Bahkan di antara korban-korban itu masih ada
yang sekarat. Situasi seperti itu membuat Buang
Sengketa berpikir, mungkin di depan mereka telah be-
berapa gelintir pendekar persilatan yang telah menda-
hului rencananya. Begitu pun dia tak dapat menduga
apa yang akan terjadi di depan sana, bahkan siapa
pun yang telah melakukan pembunuhan atas diri pen-
jaga di sepanjang jalan yang mereka lalui, yang jelas
pasti memiliki persoalan dengan Peri Bunga Iblis dan
para begundal-begundalnya. Demikianlah sambil terus
mengerahkan kecepatan ilmu larinya, pemuda ber-
kuncir ini melalui ilmu mengirimkan suara berkata
pada Andini! "Andini! Mungkin kita telah kedahuluan oleh orang lain. Aku yakin
orang itu pasti memiliki kepandaian yang sangat tinggi...!" kata pemuda mendu-
ga-duga. "Mayat-mayat itu masih baru, Kakang...! Melihat
bekas-bekas luka yang dialami oleh mayat-mayat itu.
Nampaknya tidak ada perlawanan yang terjadi, tokoh
yang telah menyantroni daerah ini sepertinya tak lebih dari pada seorang
pembunuh berdarah dingin...!" ucap Andini melalui ilmu yang sama.
"Moga-moga tidak terjadi sesuatu dengan orang
itu!" desis si pemuda harap-harap cemas. "Aku yakin walaupun orang yang setujuan
dengan kita itu memiliki kepandaian setinggi apa pun, andai datang seo-
rang diri ke sarang iblis, firasatku mengatakan keme-
nangan baginya sangat sulit untuk didapatkan...!"
"Eee... kakang... mayat-mayat di sekitar tempat
ini semakin bertambah banyak! Mungkinkah kita su-
dah berada tidak jauh dari singgasana Peri Bunga Ib-
lis...?" tanya gadis berwajah ayu itu membelalakkan matanya yang indah.
"Agaknya begitu! Mulai saat sekarang berhati-
hatilah... jangan-jangan semua ini hanya merupakan
satu jebakan buat kita...!" ujar si pemuda mulai me-ningkatkan kewaspadaannya.
Setelah melewati hutan rotan yang sangat luas
lagi lebat. Tak sampai sepeminum teh, sampailah pe-
muda dan gadis itu di sebuah lapangan yang sangat
luas. Dengan cara mengendap-endap mereka melewati
lapangan itu tanpa kejadian apa pun. Akhir dari la-
pangan itu adalah jurang yang tak terhitung dalam-
nya. Sebentar pemuda titisan Raja Ular Piton dari ne-
geri alam gaib itu menoleh pada Andini.
"Sebuah tempat yang sangat berbahaya sekali.
Terlanjur kita memasuki daerah di seberang itu. Tak
ada jalan lain untuk selamat dari kematian terkecuali
kita mampu membasmi mereka hingga tiada bersi-
sa....!" desah si pemuda tanpa ragu-ragu lagi.
"Mungkinkah kita dapat melalui bukit-bukit ta-
jam di atas jurang yang tiada terukur dalamnya itu,
Kakang...!"
"Apakah engkau merasa mampu untuk melaku-
kannya....?" Si pemuda balik bertanya.
"Terus terang, aku tak bisa....!" Buang Sengketa terdiam sesaat, sepasang
matanya yang tajam berkilat-kilat, nampak menyapu pandang pada keadaan di se-
kelilingnya. "Pasti ada jalan rahasia untuk dapat sampai di
singgasananya Peri Bunga Iblis....!" gumamnya seperti untuk dirinya sendiri.
"Sangat berbahaya kalau kita lalui jalan itu, Ka-
kang...! Jangan mengambil resiko terlalu besar....!" ka-ta Andini mengingatkan.
"Bukit di atas jurang-jurang itu mungkin dapat
ku lalui, tapi bagaimana dengan kau... apakah kau
mau kutinggal seorang diri di tempat ini...?" Andini gelengkan kepalanya
berulang-ulang.
"Aku takut, Kakang Kelana! Aku merasa lebih
baik turut denganmu...!" ujar si gadis. Dari nada uca-pannya terasa jelas bahwa
gadis itu tak ingin berpisah dengan Pendekar Hina Kelana. Kenyataan inilah yang
membuat si pemuda jadi pusing. Tak ada jalan lain
terkecuali dia harus menggendong Andini untuk dapat
melewati jurang-jurang itu secara bersama-sama.
"Dini...!" gumam si pemuda dengan wajah sedikit memerah.
"Ada apa kakang...?"
"Kalau kau terus mau ikut denganku, apakah
kau mau untuk sementara ini kugendong...?"
"Digendong....!" sentak gadis itu dengan mata membelalak. Buang Sengketa tanpa
berani menoleh hanya mampu mengangguk kecil.
"Tak ada jalan lain! Terkecuali kau merasa mam-
pu untuk melewati bukit-bukit yang jaraknya cukup
lumayan itu...!" Mendengar kata-kata si pemuda yang cukup beralasan itu, rasanya
Andini tidak punya pilihan lain lagi. Selanjutnya dengan wajah memerah, ga-
dis itu mengangguk.
"Kalau tak ada cara lain! Aku merasa tak kebera-
tan, tokh aku tau engkau tak mempunyai niat-niat tak
baik terhadap diriku...!" selak Andini tanpa merasa sungkan-sungkan lagi.
Pendekar Hina Kelana hanya
diam saja begitu mendengar jawaban si gadis. Tapi
kemudian dia maju selangkah ke hadapan si gadis, la-
lu membalikkan tubuhnya dengan sikap menunggu.
"Kita tak punya banyak waktu, cepatlah kau naik
ke punggungku. Pejamkan matamu, dan jangan seka-
li-kali buat kesalahan yang dapat berakibat bagi kita
berdua...!" kata si pemuda tanpa maksud-maksud tertentu. Sedetik kemudian tanpa
merasa ragu lagi, An-
dini telah berpegangan erat pada bahu si pemuda.
"Maafkan aku, Kakang...! Aku sudah terlalu ba-
nyak merepotkanmu....!" Buang Sengketa hanya diam saja, saat itu dia mulai
memusatkan segenap konsen-trasinya untuk mulai melakukan perjalanan yang san-
gat berbahaya itu. Berulangkali usahanya hampir saja
mengalami kegagalan saat mana dia merasakan dua
bukit kembar si gadis yang kenyal dan liat itu berges-
er-geser di punggungnya.
"Kurang ajar! Dalam keadaan seperti ini gadis
bengal ini masih juga menguji ketabahanku....!" maki si pemuda diam hati. Tapi
akhirnya terdengar pula suaranya, memberi peringatan keras pada Andini.
"Kau jangan bertingkah macam-macam, Andini!
Perbuatanmu yang konyol itu bisa membuat kita cela-
ka...!" dengusnya sinis.
"Maa... maaf! Aku tak sengaja kakang...!" ucapnya merasa malu sendiri. Buang
Sengketa sudah tidak
menghiraukan jawaban Andini lagi. Selanjutnya den-
gan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang su-
dah sangat sempurna dan juga dengan memperguna-
kan Ajian Sepi Angin. Tubuh Pendekar Hina Kelana
bersama Andini tampak melesat laksana terbang.
Seringan kapas tubuh si pemuda nampak me-
lompat dari bukit yang satu ke bukit yang berada di
sebelahnya. Andini yang berada dalam keadaan mata
di pejamkan hanya merasakan suara angin bersuitan,
menderu-deru menyapu dingin bagian telinga dan
tengkuknya. "Hiaa... hiaaat....!" Tubuh pendekar itu terus berkelebat-kelebat semakin
melesat jauh ke depan.
Tak sampai sepeminum teh. Sampailah mereka di atas
dataran yang sangat tinggi, Buang menarik nafas pen-
dek. Sepasang matanya kemudian membelalak saat
dia melihat ke arah lain. Ternyata saat itu mereka te-
lah berada di bagian belakang Singgasana putih milik
Peri Bunga Iblis. Tapi ketika mengamati suasana di
lingkungan singgasana yang di kelilingi benteng tinggi itu, alis matanya
mengernyit. Dia melihat sedang terjadi pertarungan sengit di sana. Cepat-cepat
pemuda berwajah sangat tampan itu menurunkan tubuh Andi-
ni. "Kita telah sampai! Coba kau lihat ke arah bawah sana...!" kata si pemuda
sambil menunjuk kesatu
tempat di bawahnya.
"Pertempuran...! Tapi aku kurang begitu jelas,
Kakang...!"
"Mari kita dekati tempat itu...!" kata si pemuda.
Lalu berlari-lari kecil menuruni bukit diikuti oleh Andini. Setelah jarak antara
mereka dengan istana perak
itu sudah begitu dekat. Tampaklah oleh mereka pulu-
han pengawal Peri Bunga Iblis sedang mengurung seo-
rang kakek berwajah merah dengan seekor kuda pu-
tih. Di sisi kanan dan sisi kiri kakek dan kuda itu,
tampak puluhan pengawal istana perak terkapar ber-
kubang darah. Sementara di tangan si kakek sebilah
pedang panjang nampak tergenggam erat. Darah ma-
sih menetes dari ujung pedang yang berwarna merah.
Buang Sengketa merasa kagum dengan keberanian si
kakek berpakaian kembang-kembang ini. Orang tua
itu memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Da-
tang entah dari mana, menyebar maut di sepanjang ja-
lan yang dilaluinya. Padahal dia hanya berdua berikut
kuda putih yang nampaknya sangat terlatih dengan
baik. Lain lagi halnya dengan Andini, sejak matanya


Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat kuda putih yang menyertai si kakek. Dia men-
jadi sangat terkejut. Bahkan wajahnya mendadak be-
rubah pucat pasi. Jelas dia mengenali si kakek berba-
ju kembang-kembang berikut kuda yang menyer-
tainya. Karena orang yang sedang melakukan perta-
rungan itu tak lain merupakan gurunya sendiri.
"Kakang! Itu guruku, Kakek Darah Swanda...!"
seru si gadis mencemaskan keselamatan gurunya.
"Gurumu! Hmm... luar biasa keberanian yang dia
miliki. Pertarungan yang cukup seru...! Namun aku
tak melihat adanya Peri Bunga Iblis dan pembantu-
pembantu utamanya?" kata si pemuda mulai menyapu
pandang ke arah bagian belakang istana perak.
"Heh....!" sentak Buang Sengketa terperanjat. "Di belakang istana putih ini ada
kerangkeng! Pasti itu
penjara buat orang-orang yang dicurigai. Setidak-
tidaknya mereka kaum golongan putih. Orang-orang di
dalam kerangkeng itu pun begitu banyak! Tenaga me-
reka pasti berguna untuk menempur Peri Bunga Iblis
dan orang-orangnya." kata si pemuda pada Andini.
"Apakah mereka mau membantu kita, Ka-
kang...?" tanya si gadis ragu-ragu.
"Mereka pasti butuh kebebasan! Mereka pasti
membantu kita...!"
"Lalu bagaimana, Kakang....!" tanya Andini merasa masih belum dapat menangkap
rencana apa yang
terkandung di hati si pemuda.
"Kau boleh menghubungi mereka dengan mak-
sud ingin membebaskan mereka. Katakan saja bahwa
mereka segolongan dengan kita. Setelah itu ajak mere-
ka bertarung me-lawan begundal-begundalnya Peri
Bunga Iblis...!" kata si pemuda begitu gamblang. Dan Andini nampak mengangguk-
anggukkan kepalanya
tanda mengerti.
"Nah sekarang kau berangkatlah ke sana! Kuli-
hat gurumu dan kuda putih miliknya sudah mulai ke-
walahan... eee... yang itu sepertinya Peri Bunga Iblis!
Aku akan membantu gurumu... cepat kau kerjakan
perintahku....!" kata Buang Sengketa. Lalu tanpa menunggu jawaban Andini, tubuh
Pendekar Hina Kelana
melesat cepat ke halaman depan Istana Perak. Saat itu
sedang terjadi perdebatan sengit antara Kakek Darah
Swanda dengan Peri Bunga Iblis, Kebo Bogel, dan Ma-
can Liar ketika Buang menjejakkan kakinya di samp-
ing kakek berpakaian kembang-kembang dengan dis-
ertai ucapan: "Kakek Darah Swanda, Andini ada ber-
samaku. Dan aku mau membantumu...!" kata si pe-
muda. Sungguh pun Kakek Darah Swanda merasa be-
lum begitu mengerti akan maksud-maksud si pemuda,
namun dengan disebut-sebutnya Andini. Akhirnya
dia merasa berlega hati juga.
"Hmm... selain tikus merah. Kiranya datang seo-
rang lagi pemuda gembel menjijikkan....! Apakah tu-
juan kalian yang sebenarnya...?" geram Peri Bunga Iblis.
"Masih kurang jelaskah bagimu, Peri Keparat!
Bahwa niat kedatanganku kemari adalah untuk men-
gambil Kitab Cakar Buana, yang telah dilarikan oleh
murid-murid terkutuk itu! Dan satu lagi, aku ingin
menagih hutang darah atas kematian murid-murid ke-
sayanganku...!" bentak Darah Swanda tanpa merasa
gentar walaupun puluhan pengawal terus mengu-
rungnya begitu rapat.
"Hebat!" decak Peri Bunga Iblis. "Apakah engkau sendiri merasa mampu untuk
membayar hutang nyawa sekian banyak orang-orangku yang telah kalian
bunuh...?" dengus Peri Bunga Iblis. Kakek Darah
Swanda tertawa bergelak.
"Sebagaimana halnya dengan nyawamu, aku
menganggap nyawa mereka tak lebih berharga dari
nyawa binatang...!"
"Keparaat! Lancang sekali bicaramu, Kakek sint-
ing! Kau benar-benar telah menghina ketua kami....!"
Sentak Kebo Bogel merasa panas hatinya.
"Kalau kau merasa tak senang, bisa berbuat
apakah...?" sergah Buang Sengketa ikut pula menimpali. "Jahanam. Gembel
berperiuk ini agaknya sudah pengin cepat-cepat mampus, Uwa...!" kata Peri Bunga
Iblis pada Kebo Bogel.
"Tunggu apa lagi, tujuan mereka sudah jelas!
Cincang mereka...!" perintah Macan Liar pada puluhan pengawalnya. Tak begitu
lama kemudian terdengar
suara riuh rendah dan ringkik si putih yang juga su-
dah mulai menerjang lawan-lawannya.
*** 11 Pada saat yang sama dari arah penjara terlihat
pula puluhan tahanan dengan senjata terhunus mem-
baur dalam arena pertempuran. Di antara para taha-
nan itu, Andini terus meluruk ke arah pengawal istana
perak. Sambil berteriak-teriak memberi peringatan ga-
dis itu terus memutar pedangnya. Kebo Bogel, Macan
Liar, juga Peri Bunga Iblis nampak sangat terkejut se-
kali melihat para tawanan dapat lepas dari kerang-
kengnya. Namun mereka juga sudah tak dapat berpi-
kir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu mereka sudah harus mengimbangi
serangan-serangan yang di-lancarkan oleh Buang Sengketa dan Kakek muka me-
rah. Buang Sengketa nampak sedang berhadapan
dengan Kebo Bogel dan Macan Liar. Sedangkan Kakek
Darah Swanda berhadapan pula dengan ketua Istana
Perak. Yaitu Peri Bunga Iblis. Pertarungan dua tokoh
dengan aliran berbeda itu memang benar-benar nam-
pak seru dan menegangkan. Dua-duanya begitu ber-
gebrak langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan-
nya: Sementara itu di pihak Peri Bunga Iblis, tiada
henti-hentinya menyambitkan senjata rahasia yang
sangat berbisa yang sudah dikenal oleh si kakek, yaitu Paku Bunga Iblis. Sejauh
itu dengan mengandalkan
ilmu mengentengi tubuh dan kecepatan gerak, Kakek
Darah Swanda selalu mampu menghindari serangan
senjata gelap milik lawannya. Kenyataan ini membuat
wanita berwajah cantik tersebut menjadi berang. Da-
lam gebrakan selanjutnya dia mulai mengeluarkan
pukulan 'Dewi Iblis Pengguncang Jagat' Yang di kenal
sangat ganas dan merenggut banyak korban. Sungguh
pun Kakek Darah Swanda belum mengenal secara
pasti kehebatan pukulan beracun yang sedang dike-
rahkan oleh lawannya. Namun begitu melihat tangan
Peri Bunga Iblis mulai mengeluarkan uap putih yang
menebarkan bau menyengat. Secara naluri dia dapat
merasakan betapa berbahayanya pukulan itu. Dengan
sangat cepat pula, Ketua Perguruan Sangga Buana itu
kerahkan pukulan 'Sejuta Geledek' tingkatan kedua.
Begitu dia mengerahkan tenaga saktinya, maka kedua
telapak tangannya berubah menjadi putih dan berki-
lauan. Peri Bunga Iblis merasa sangat kaget dengan
apa yang dilihatnya. Betapa pun dia merasa belum
pernah berhadapan dengan tokoh kosen yang satu ini.
Namun dari keterangan-keterangan yang di peroleh-
nya, pukulan pihak lawannya mampu merobohkan
dua puluh ekor gajah dalam sekali pukul. Tak ayal lagi perempuan berusia empat
puluhan ini segera mendahului. "Wuuus....!" Terdengar suara menderu disertai
udara sangat dingin menggigit saat mana pukulan
'Dewi Iblis Pengguncang Jagat' melesat dari bagian te-
lapak tangan si wanita. Darah Swanda juga kiranya
tak mau kalah. Sedetik kemudian dia telah hantam-
kan tangannya ke arah depan. Sinar putih mengkilat
yang menebarkan hawa panas memapaki datangnya
pukulan ganas pihak lawannya.
"Dweeeerr.....!" Suasana di sekitar. pertempuran berubah mengabur dilingkupi
kabut dan debu yang terus mengepul ke udara. Baik para pengawal istana pe-
rak mau pun orang-orang dari kerangkeng penjara
yang sedang terlibat pertarungan sengit dengan pihak
lawan. Tampak berpelantingan roboh begitu tersambar
dua kekuatan yang berlawanan itu. Tubuh ketua Per-
guruan Kilat Buana dan tubuh Peri Bunga Iblis sama-
sama tergetar hebat. Dari sudut bibir masing-masing
nampak mengeluarkan darah kental. Hal ini merupa-
kan suatu tanda bahwa masing-masing lawan sama-
sama memiliki tenaga dalam yang seimbang. Begitu
pun mereka sama-sama maklum bahwa di antara me-
reka pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Tanpa
ada terlihat berkurangnya semangat bertempur. Puku-
lan-pukulan yang sama pun kembali terulang. Kea-
daan tetap tidak berubah, Peri Bunga Iblis mulai ber-
pikir dan mencari jalan lain untuk memenangkan per-
tarungan itu lebih cepat. Akal licik pun bermunculan
dalam benaknya. Kali ini bukan pukulan-pukulan
dahsyat yang digelarnya. Sebaliknya dia mulai menca-
but senjata andalannya yang berupa sebuah paku be-
rukuran besar, berwarna kuning dan di bagian hu-
lunya bergagang tengkorak kepala Burung Nazar.
Dengan senjata andalannya ini dia mulai mencecar
Darah Swanda yang bersenjatakan pedang mustika
yang berukuran sangat panjang.
Sementara itu pertarungan antara Pendekar Hi-
na Kelana dengan Kebo Bogel dan Macan Liar nampak
sudah mencapai puncaknya. Sejak awal secara bertu-
rut-turut pendekar berperiuk ini sudah mulai mem-
pergunakan jurus silat tangan kosong 'Membendung
Samudra Menimba Gelombang', jurus ini kemudian
kena didesak oleh pihak lawannya setelah kedua la-
wannya mempergunakan dua jurus berbeda, yang sa-
tu bernama jurus 'Macan Siluman Memporak poran-
dakan Hutan' sedangkan yang satu lagi memperguna-
kan jurus 'Kebo Selaksa Iblis'. Buang Sengketa merasa
tidak pernah kehilangan kesempatan. Lalu dia pun
pergunakan jurus 'Si Gila Mengamuk'. Jurus silat
yang tak ubahnya bagai seorang pemabokan itu hanya
dapat bertahan lima belas jurus, setelah pihak lawan-
nya menyerang si pemuda dengan pukulan-pukulan
yang sangat berbahaya. Tidak cukup waktu baginya
untuk mempergunakan jurus 'Si Jadah Terbuang' ba-
ginya. Terkecuali mengimbangi pukulan dua orang la-
wan dengan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan'. Ke-
sempatan itu juga dipergunakannya untuk mele-
paskan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh. Bukan saja
di pihak lawan yang telah menyusut jumlahnya itu
berpelantingan dan tewas seketika dengan telinga
mengalirkan darah. Namun di pihaknya, yaitu para
tawanan yang bergabung dengan mereka juga menga-
lami nasib yang tragis. Hanya mereka yang memiliki
tenaga dalam yang sangat tinggi saja yang mampu ber-
tahan dari serangan Lengkingan Ilmu Pemenggal Roh.
Di kedua belah pihak nampak sama-sama terke-
jut sekali begitu merasakan kehebatan yang di miliki
si pemuda. Bahkan Peri Bunga Iblis merasa dadanya
menjadi sesak. Dan kakek Darah Swanda, andai tidak
cepat-cepat menutup indera pendengarannya mungkin
akan merasakan hal yang sama seperti apa yang di-
alami oleh lawannya. Sungguh pun begitu, ketua ista-
na perak dan dua orang begundal utamanya ini tidak
merasa gentar sedikit pun. Bahkan mereka kini mulai
mengeluarkan senjata-senjata mautnya. Macan Liar
nampak mulai memutar senjatanya yang berbentuk
Cakar Harimau, sedangkan Kebo Bogel juga sudah
mulai hantamkan dua bola baja yang di setiap sudut-
nya terdiri dari gerigi-gerigi yang sangat tajam lagi
mengandung racun yang sangat ganas. Berulang-
ulang senjata maut itu nyaris menghantam tubuh
Buang Sengketa, bahkan saat kesempatan yang san-
gat baik, Macan Liar sempat mencedrai bagian iga si
Pemuda melalui sambaran Cakar Baja yang sangat mi-
rip dengan kuku macan. Darah mulai mengucur dari
luka yang tidak seberapa parah, namun menimbulkan
rasa nyeri luar biasa. Buang Sengketa menggeram,
serta merta terdengar suara mendesis bagaikan seekor
raja ular yang sedang dilanda kemarahan. Sementara
itu sepasang matanya berubah memerah saga. Me-
mandang setiap gerakan lawannya dengan gumaman
yang tiada berketentuan. Selanjutnya pemuda ini me-
mang tak pernah berkata apa-apa, namun secara pe-
lan dan cukup pasti kedua tangannya bergerak turun
dan meraba dua senjata yang sangat tinggi pamornya.
Begitu senjata itu tercabut, golok di tangan kanannya
memancarkan sinar merah menyala. Udara di sekelil-
ing tempat itu mendadak dirasakan oleh lawan-
lawannya menjadi dingin luar biasa. Sementara Buang
Sengketa merasakan adanya hawa hangat menjalari
tubuhnya lewat Pusaka Golok Buntung di tangannya.
Saat itu pertarungan antara Andini, kuda putih dan
orang-orang yang tergabung dengan mereka, telah ter-
henti. Para pengawal istana perak hampir keseluru-
hannya terbunuh. Sedangkan sisanya melarikan diri.
Hanya tinggal tiga orang tokoh istana perak, saat ini.
Yaitu Peri Bunga Iblis, Kebo Bogel dan Macan Liar.
Tapi dua orang yang disebut belakangan kemudian ju-
ga harus mati-matian mempertahankan nyawa, dari
serangan ganas dua senjata yang tiada terukur pa-
mornya. Golok Buntung di tangan menderu, sedangkan
cambuk di tangan kiri melecut. Sebagaimana biasanya
begitu Cambuk Gelap Sayoto meliuk-liuk di udara.
Maka Gelegar petirpun sambung menyambung. Sua-
sana alam sekitarnya menjadi gelap gulita berseli-
mutkan kabut tebal dan mendung hitam. Dalam kege-
lapan itu, hanya kilatan sinar merah menyala meman-
car dari Golok Pusaka yang berada dalam genggaman
si pemuda. Tubuh Pendekar Hina Kelana, berkelebat,
golok dan pecut di tangan menyambar ganas. Baik
kawan mau pun lawan yang berada di sekitar tempat
itu dihantui rasa takut, cemas dan ngeri. Terlebih-
lebih ketika terdengar suara menggeledek yang di


Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucapkan dengan menyertakan pengerahan tenaga da-
lam tinggi: "Sebuah nama menyeramkan akan kuhapus dari
noda bumi! Peri Bunga Iblis, paling ringan kepala dan
kakinya akan kubuntungi.... Hiaaat....!"
"Nguuung...!"
"Ctaaar....! Ctaaar....!" Golok Buntung menderu dan menimbulkan bunyi bising
menyakitkan gendang
telinga, sementara Pecut Gelap Sayuto terus melecut
dan timbulkan suara menggeledek. Tiada memberi ke-
sempatan sedikit pun, Buang Sengketa terus mengejar
kemanapun lawan-lawannya menghindar. Suatu saat
ketika mereka dalam keadaan kepepet. Dua orang la-
wan hantamkan senjatanya masing-masing.
"Traaak....! Praaaak....!" Senjata andalan mereka hancur berkeping-keping
dilanda golok yang tergenggam di tangan si pemuda.
Tiada berhenti sampai di situ saja, golok itu terus
menyambar laksana memiliki mata.
"Jrees! Craaaat....!" Terdengar jeritan panjang, saat mana senjata itu meminta
korban. Dada Kebo
Bogel terbelah. Sungguh pun tidak sampai terpisah
menjadi dua bagian, namun telah cukup untuk me-
renggutkan nyawanya. Sementara itu tubuh si Macan
Liar juga menyusul ambruk ke bumi setelah terobek
bagian pangkal lehernya. Kejadian yang dialami oleh
dua orang begundalnya kiranya tak luput dari perha-
tian Peri Bunga Iblis. Perempuan itu bermaksud untuk
kabur meninggalkan tempat itu, namun sebelum niat-
nya kesampaian. Pendekar Hina Kelana telah men-
gambil alih pertarungan itu. Merasa tugasnya dite-
ruskan oleh pemuda berkepandaian luar biasa, maka
dalam kegelapan akibat pengaruh lecutan Cambuk
Gelap Sayuto. Kakek Darah Swanda, mengajak murid-
nya, Andini untuk menyerbu ke dalam istana perak
milik Peri Bunga Iblis guna mendapatkan kembali Ki-
tab Cakar Buana milik perguruan mereka.
Sementara itu, dalam pertarungan yang sangat
menentukan ini, Peri Bunga Iblis yang sudah mulai
menciut nyalinya. Tampak sudah tak dapat lagi mela-
kukan kontrol dengan baik. Sekali waktu dengan ne-
kad dia juga memapaki serangan senjata yang sangat
berbahaya itu. "Craaaang...!"
"Aiiih....!" Terdengar satu seruan tertahan saat mana senjata mereka saling
berbenturan. Bahkan ra-tunya manusia sesat itu lebih terperanjat lagi ketika
mengetahui senjatanya patah menjadi dua bagian.
"Ctaar! Wuuut....!" Belum lagi hilang rasa kaget-nya ketika sedetik berikutnya
tubuh Peri Bunga Iblis
tersambat cambuk. Yang lebih celaka lagi cambuk itu
melilit pinggangnya sedemikian keras. Dengan segenap
kemampuannya dia berusaha melepaskan lilitan cam-
buk, ketika usahanya itu hampir mendatangkan hasil,
sebuah sentakan keras menerbangkan tubuhnya ke
arah jurang yang menganga.
"Aaaaahhh.....!" Dua jeritan yang sama terdengar, pertama saat tubuh ratu sesat
itu meluncur deras ke
arah jurang. Yang kedua saat tubuh perempuan can-
tik itu membentur batu-batu runcing yang berada di
dasar, jurang itu. Tubuh si pemuda diam mematung,
perlahan-lahan dia menyelipkan Golok dan melilitkan
Cambuk Gelap Sayuto di bagian pinggangnya. Sambil
berkelebat pergi, pemuda itu melalui ilmu mengirim-
kan suara berkata: "Semoga usahamu berhasil, Kakek Darah Swanda! Selamat
tinggal, Andini....!"
"Kakang... aku mencintaimu, jangan tinggalkan
aku....!" jerit gadis berwajah ayu itu terdengar lamat-lamat.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Jejak Di Balik Kabut 18 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Rajawali Lembah Huai 8
^