Pencarian

Satria Penggali Kubur 1

Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
SATRIA PENGGALI
KUBUR Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D.Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Satria Penggali Kubur
1 Hujan deras yang turun sejak pagi membuat
tanah di sepanjang jalan yang mereka lalui menjadi
lembab dan becek di sana sini. Namun sejauh itu tan-
pa menghiraukan derasnya curahan air hujan yang te-
rus menggila, mereka tetap memacu kereta kuda yang
berwarna hitam kecoklat-coklatan itu. Rombongan ke-
reta kuda itu tak lama kemudian telah membelok di
sebuah tikungan jalan yang sangat sempit. Kuda-kuda
itu terus dipacu, sementara gerobak di belakang me-
reka yang memuat dua peti jenazah nampak ter-
goyang-goyang. Ketika lewat sepemakan sirih, sampai-
lah mereka di sebuah makam yang sangat luas namun
mengisyaratkan kesan angker.
Rombongan yang paling depan segera meng-
hentikan laju kuda mereka, kemudian diikuti pula oleh kawan-kawan mereka yang
berada di belakangnya. Sesaat setelahnya, beberapa orang di antara mereka
nampak melompat dari punggung kudanya masing-
masing. Setelah saling berpandangan sesamanya, tak
lama kemudian salah seorang di antara mereka nam-
pak mengitarkan pandangan matanya ke segenap pen-
juru di sekitar makam tersebut. Tak seorang pun yang terlihat di sana, sejauh-
jauh mata memandang. Hanya
kerimbunan pohon kamboja yang sedang berbunga le-
bat saja adanya. Harum semerbak terasa menusuk
penciuman rombongan itu.
Kini si Tinggi Tegap Muka Kunyit dan berpa-
kaian seragam bergambar Kala Hitam di dada kiri,
kembali menoleh pada orang-orang yang berada tidak
begitu jauh dari padanya. Kemudian sambil mengelus-
elus jambangnya yang hitam lebat, maka dia pun ber-
kata: "Hemm! Agaknya si Tapak Dewa, manusia
penggali kubur itu tidak ada di tempat saat ini...!"
ucapnya seperti pada dirinya sendiri.
"Kalau begitu kita harus menunggu sampai dia
kembali, Kakang Inggil...!" kata salah seorang di antara mereka yang berwajah
buruk dan berambut sebatas
pinggang. Mendapat jawaban seperti itu, mendadak si
Tinggi Tegap Muka Kunyit yang bernama Inggil itu
nampak kernyitkan alisnya. Wajahnya yang kuning
dan pucat itu segera berubah bagai kulit bunglon. Dan tiba-tiba saja dia berkata
tegas. "Apa katamu, Adik Karsa" Menunggu..." Bagiku
tidak ada waktu untuk menunggu. Jenazah eyang
guru sudah empat hari dalam perjalanan, waktu yang
empat hari itu sudah sangat menyiksa jasadnya. Be-
lum lagi jenazah Kakang Bonta yang sudah lima hari
termasuk dalam perjalanan. Dua hari di depan jasad
orang-orang yang paling kita hormati tentu sudah
menjadi busuk...!"
"Aku tahu, tapi apa yang harus kita lakukan?"
tanya Karsa dengan perasaan segan.
Si Tinggi Tegap Muka Kunyit nampak tercenung
sesaat lamanya. Tetapi kemudian dia pun sudah ber-
kata lagi. "Kalau Tapak Dewa tidak ada di tempat, apa sa-
lahnya kalau kita yang menggali kubur untuk orang-
orang yang kita hormati...?"
"Tapi kakang, mana mungkin kita boleh mela-
kukannya tanpa seizin Tapak Dewa?" Menyela Karsa dengan hati diliputi keraguan,
"Sungguhpun makam ini di bawah pengawasan
Tapak Dewa, namun bukankah eyang guru dan Ka-
kang Bonta juga merupakan orang-orang yang terhor-
mat. Sudah selayaknya kita menguburkannya di tem-
pat terhormat pula...!" tukas si Tinggi Tegap Muka Kunyi tegas.
"Kakang! Penjaga kubur ini seperti apa yang
kudengar merupakan orang yang sangat sakti, dan
makam ini juga berada dalam kekuasaannya. Bagai-
mana mungkin kita bisa berbuat sesuka hati kita...?"
tanya Karsa, merasa tidak setuju dengan apa yang
akan dilakukan oleh si Tinggi Tegap Muka Kunyit.
Diingatkan seperti itu, tiba-tiba laki-laki ber-
jambang lebat itu kertakkan rahang. Dia nampak tidak senang mendengar apa yang
dikatakan oleh salah seorang bawahannya yang juga masih merupakan adik
seperguruannya.
"Perduli apa" Setan belang dari neraka sekali-
pun aku tak mau tahu. Sekarang suruh orang-orang
kita mulai menggali dua kubur sekaligus...!" perintah Inggil tegas sekali.
"Tapi, Kakang...!" ucap Karsa ingin mengatakan sesuatu. Namun urung, karena
dilihatnya orang yang
menjadi wakil dari Perguruan Kala Hitam itu sudah
menghitam parasnya. Dan secara tiba-tiba dia mem-
bentak; "Kurang ajar...! Kau sudah mulai berani membantah perintah...?"
"Maa... maafkan aku yang bodoh ini, Kakang...!"
kata Karsa terbata-bata.
"Kerjakan apa yang aku perintahkan!"
"Baik, Kakang...!" jawab Karsa. Lalu tanpa buang waktu lagi dia pun segera
memberi isyarat pada beberapa orang anak buahnya. Orang-orang itu nampak
berloncatan dari punggung kudanya masing-
masing. Dua orang mengambil cangkul dan dua orang
lainnya mengambil dua sekop yang berukuran besar.
Lalu dengan diikuti oleh Inggil dan Karsa, kini mereka sudah memasuki pemakaman
yang sangat luas itu.
Kemudian tanpa menunggu perintah, empat orang mu-
rid Perguruan Kala Hitam itu pun mulai melakukan
pekerjaannya. Begitu cangkul-cangkul yang mereka
ayunkan itu menghempas tanah yang lembab, betapa
terkejutnya murid maupun wakil ketua Perguruan Ka-
la Hitam. Sebab cangkul-cangkul itu bagai menggem-
pur lantai batu marmer saja layaknya. Terdengar bunyi berdenting begitu keras,
orang-orang itu menjadi sangat penasaran sekali. Mereka mengulanginya! Tetapi
tetap tanah yang mereka cangkul tetap tiada bergem-
ing. Bahkan seolah-olah tanah tersebut semakin mem-
batu. Inggil dan Karsa saling berpandangan sesa-
manya, hati mereka diliputi rasa kejut dan tanda
tanya. Tak lama setelahnya Inggil atau yang lebih dikenal dengan sebutan- si
Muka Kunyit Tangan Baja
terdengar bergumam.
"Seumur hidup, baru kali ini aku menyaksikan
kejadian seaneh ini...!"
"Agaknya apa yang didesas desuskan oleh ka-
langan persilatan bahwa Tapak Dewa selalu melindun-
gi makam ini dengan Ajian Watu Pamiluto, inilah salah satu buktinya, Kakang...?"
kata Karsa setengah ragu.
Inggil nampak tercenung untuk seketika la-
manya begitu mendengar kata-kata adik seperguruan-
nya. Wajahnya yang kuning kepucat-pucatan itu men-
dadak berubah memerah tetapi kemudian telah beru-
bah kembali. "Tapak Dewa benar-benar manusia sirik, tak
pernah kusangka kalau manusia yang mengaku seten-
gah dewa itu kiranya merupakan orang yang berpiki-
ran picik...!" maki Inggil nampak gusar sekali.
"Sssst...! Kakang jangan keras-keras, kabarnya
Tapak Dewa memiliki indera pendengar yang bisa me-
nembus sampai ke alam gaib...!"
"Kucing kurap... kau kira aku mau percaya be-
gitu saja dengan kabar yang tidak berketentuan itu.
Puihh... sungguhpun Tapak Dewa memiliki indera se-
tajam mata pedang sekalipun, jangan kira aku mau
percaya...!" tukas Inggil semakin bertambah marah.
Usai dengan ucapannya itu, mendadak Inggil
nampak berdiri bagai sebuah arca, sepasang matanya
menatap tajam pada tanah tempat di mana dia berpi-
jak. Sementara, bibirnya yang menyungging senyum
sinis itu pun tampak berkemak kemik.
Tahulah Karsa maupun yang lain-lainnya bah-
wa saat itu Wakil Ketua Perguruan Kala Hitam itu se-
dang merapal Ajian Tangan Baja. Seperti mereka keta-
hui, kemampuan Ajian Tangan Baja selama ini jangan-
kan hanya manusia biasa, sedangkan dinding karang
sekalipun akan hancur berantakan dilanda ajian ter-
sebut. Jangankan hanya tanah biasa yang secara aneh
telah berubah mengeras seperti lantai beton. Tentu tidak ada apa-apanya.
Saat itu, setelah selesai merapal Ajian Tangan
Baja, kedua tangan Inggil yang terkepal erat itu nampak terayun deras mengarah
ke tanah tempat di mana
dia berpijak. Satu sambaran angin yang sangat keras
menyertai melesatnya kedua tangan yang telah teraliri tenaga dalam tersebut.
"Hiaaa...!"
"Buk! Buk!"
Tanah tempat di mana mereka berpijak terasa
bergetar hebat manakala kedua tangan Inggil memben-
tur tanah kuburan itu. Namun betapa terkejutnya hati mereka karena ternyata
tanah tersebut tidak bergeming sedikitpun juga. Inggil sendiri merasakan dadanya
sesak dan tergetar hebat. Tangan kesemutan bagai di-tusuki ribuan jarum. Wakil
Ketua Perguruan Kala Hi-
tam itu mencaci maki panjang pendek.
Lalu cepat-cepat dia berdiri dan kembali pada
posisi semula. Kini dikerahkannya hampir segenap
kemampuan yang dimiliki, dengan suara bergetar dia
merapal Ajian Tangan Baja keras-keras. Tentu saja hal ini di luar kebiasaan, dan
orang-orang Kala Hitam menyadari kalau wakil ketua mereka yang memiliki sifat
angkuh ini sedang dalam keadaan marah besar.
Laki-laki bermuka kunyit itu terus melantun-
kan mantra-mantra Ajian Tangan Baja. Tak lama sete-
lahnya, dari kedua tangan yang terkepal itu mengepullah uap putih yang
menebarkan bau bunga tahi ayam.
Sementara kedua tangannya telah memancar pula si-
nar merah menyala.
Sesaat tubuh Inggil tergetar, keringat menetes
membasahi bajunya yang berwarna putih kecoklatan.
Lalu setelah kedua tangan itu benar-benar telah berubah warna bagai bara api,
maka tanpa buang waktu
lagi dengan diiringi satu jeritan tinggi melengking. Inggil langsung saja
menghantamkan tinju kanan kirinya pada tanah dekat telapak kakinya.
"Bruaaak!"
Terdengar bunyi berdebum, manakala tangan
itu mencapai sasaran. Bumi bagai dilanda selaksa
gempa, beberapa orang anak buahnya sendiri terpental beberapa depa jauhnya.
Sementara itu kuda-kuda pe-narik kereta jenazah meringkik keras dengan kaki
terlonjak-lonjak ke atas.
Sungguhpun begitu, tetapi nampaknya kali ini
usahanya benar-benar mendatangkan hasil. Sebab be-
gitu kedua tangannya dia sentakan kembali, nampak
tanah tersebut melubang besar, bahkan muat untuk
ukuran seorang jenazah. Inggil bangkit berdiri dengan sesungging senyum puas di
bibirnya. Dari sorot matanya yang memancar tajam, nampak sekali kalau la-
ki-laki setengah baya dan berjambang sangat lebat itu semakin bertambah sombong
saja. Sesaat dia melirik
pada kawan-kawannya. Lalu dengan sikap yang pon-
gah dia pun segera berkata pada semua bawahannya.
"Kalian turunkan jenazah eyang guru dan Ka-
kang Bonta. Tak usah bersusah pa-yah membuang te-
naga. Sekejap aku mau membuat sebuah kubur lagi
untuk Kakang Bonta...!" perintahnya dengan sikap yang dibuat-buat. Lalu tanpa
berani membantah lagi,
Karsa dan beberapa orang lainnya segera berjalan me-
nuju kereta jenazah.
Sesaat setelahnya, murid-murid dari Perguruan
Kala Hitam itu pun telah kembali ke tanah pemaka-
man tempat di mana Inggil sedang bersiap-siap untuk
melepaskan pukulan Tangan Baja yang terkenal dah-
syat itu. Bau bangkai mulai menyebar ke mana-mana,
manakala dua peti jenazah itu mereka gotong mema-
suki halaman kuburan yang sepi dan angker.
Saat itu, tubuh Inggil nampak kembali tergetar,
wajah semakin menegang. Seluruh pakaiannya basah
kuyup oleh siraman air hujan dan keringatnya sendiri.
Lagi-lagi dengan disertai jeritan menggeledek, laki-laki berewokan Muka Kunyit
ini pun pukulkan tangan kanannya.
"Hiaaat...!"
"Dieerr...!"
Tanah di sekitarnya kembali tergetar, bahkan
hampir saja dua peti jenazah yang sedang dipikul oleh
para bawahan Inggil sendiri terlepas dari tangan para pengusungnya. Di lain
pihak kembali terjadi keanehan yang membuat Inggil menjadi terperanjat bukan
alang kepalang. Tanah yang dipukulnya tiada bergeming se-
dikitpun juga. Hal ini benar-benar di luar dugaan laki-laki yang memiliki
kesombongan selangit itu. Inggil
nampak memerah parasnya, dia sangat gusar dalam
kegagalannya sendiri. Tanpa sadar, sebagaimana ke-
biasaannya, maka sumpah serapah pun berhamburan
dari mulut Wakil Perguruan Kala Hitam.
"Kakang, mungkin si empunya tempat tidak
merestui kita berbuat sembarangan di dalam pemaka-
man ini...?" ujar Karsa mencoba menyadarkan laki-laki bermuka pucat itu.
Mendengar ucapan Karsa yang seolah-olah
mengguruinya, semakin bertambah gusarlah Wakil
Perguruan Kala Hitam dibuatnya. Serta merta, sepa-


Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang matanya menatap tajam pada adik seperguruan-
nya, dengan suara ketus dia pun segera menyela;
"Adi Karsa...! Sejak kapan eyang guru mendidik
murid-muridnya menjadi sepengecut engkau" Sudah
kukatakan bahwa eyang guru dan Kakang Bonta me-
rupakan orang terhormat dan sudah selayaknya pula
dikubur di tempat terhormat pula. Kita ini selalu berada di pihak yang benar.
Jadi menurut hematku, sung-
guhpun Tapak Dewa yang menjadi pemilik kubur ini
tidak ada, apa salahnya kalau kita mengubur orang
yang kita muliakan di tempat ini. Sungguhpun kita belum mendapat izinnya. Pula
soal itu bisa kita selesaikan kemudian...!" ucapnya marah.
Ucapan laki-laki Muka Kunyit itu, kiranya
sungguh besar pengaruhnya bagi Karsa dan beberapa
orang murid lainnya. Mereka menyadari andai saja
Karsa berani membantah apa yang dikatakan oleh In-
ggil yang sedang dalam keadaan marah besar, semua
itu bisa berakibat tak baik bagi mereka semua. Inggil adalah seorang wakil ketua
perguruan yang sangat
angkuh dan keras kepala. Itu sebabnya setelah diben-
tak sedemikian rupa, baik Karsa maupun yang lainnya
menjadi terdiam seribu bahasa.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba terdengar sua-
ra derai tawa yang membuat bulu kuduk mereka me-
remang berdiri.
Seiring dengan derai tawa itu, nampak pula me-
lesat sosok tubuh dari halaman luar tanah pekuburan
itu. Lalu dengan tanpa menimbulkan suara orang itu
menjejakkan kakinya tidak begitu jauh dari tempat
rombongan itu berdiri.
Laki-laki itu berusia berkisar enam puluh ta-
hun, mengenakan jubah warna kuning yang sudah
sangat lusuh. Tubuh laki-laki itu secara hampir keseluruhan dipenuhi dengan
bulu-bulu halus. Badannya
sangat kekar berotot liat, sepasang matanya nampak
mencorong tajam, tak ubahnya bagai mata burung
hantu di kegelapan malam.
Sungguhpun orang-orang dari Perguruan Kala
Hitam ini belum pernah bertemu dengan Tapak Dewa
atau yang lebih dikenal dengan julukan Satria Penggali Kubur, namun dari
penampilan yang mereka lihat, mereka sudah dapat menduga bahwa laki-laki itulah
orangnya. Ketika mereka sedang tenggelam dalam piki-
rannya masing-masing, saat itulah laki-laki berjubah kuning itu berkata, pelan,
tetapi penuh teguran.
"Lancang sekali kalian begitu berani memasuki
peristirahatan terakhir milikku. Sudahkah kalian
mendapat ijin dariku...?"
Ucapan yang bernada tidak senang ini sudah
barang tentu membuat murid-murid Kala Hitam men-
jadi ciut nyalinya.
Seperti mereka ketahui, Tapak Dewa adalah
seorang penggali kubur orang-orang terhormat. Tem-
pat itu masih merupakan wakaf dari leluhurnya. Lebih dari itu dia juga merupakan
seorang tokoh sakti yang dikenal sebagai satria yang dapat mendengar pembicaraan
dari alam gaib. Dari kemampuan yang dimilikinya itu saja sudah merupakan satu
bukti betapa kesaktian yang dimiliki oleh Tapak Dewa, sangat sulit untuk dija-
jaki. Namun nampaknya Inggil yang memiliki watak
sombong yang berlebihan ini tidak mau perduli dengan apa yang didengarnya selama
ini. Dengan pongahnya
dia lalu menyela
"Saudara Tapak Dewa... sesungguhnya kami ti-
dak bermaksud demikian. Tetapi karena tadi anda ti-
dak berada di tempat, maka kami mengambil keputu-
san untuk membuat kubur buat eyang guru dan Ka-
kang Bonta di tempat yang anda tunggui selama ini...!"
Mendapat jawaban dari Wakil Kala Hitam, Ta-
pak Dewa nampak mendengus dengan wajah memerah
karena tersinggung.
"Enak betul! Kubur ini bukan untuk nenek
moyangnya siapa-siapa. Pekerjaanmu yang telah me-
langgar peraturan di sini saja sudah merupakan satu
bukti bahwa kalian benar-benar tak pernah menghar-
gai milik orang lain...!"
"Tapi saudara Tapak Dewa, semua itu kami la-
kukan karena sangat terpaksa sekali. Mayat eyang
guru dan Kakang Bonta sudah hampir lima hari dalam
perjalanan. Kami tak mau orang-orang yang kami
hormati merasa sangat tersiksa karena terlalu berla-
ma-lama dikuburkan. Karena kami sangat menghor-
matinya, apa salahnya kalau kami menguburkannya di
tempat yang terhormat pula...?" kata Wakil Kala Hitam nampak membantah. Sudah
barang tentu hal ini
membuat Tapak Dewa semakin bertambah gusar di-
buatnya. "Siapa suruh bawa nenek moyangmu ke mari!
Tokh yang namanya kuburan di mana-mana sama sa-
ja. Terhormat menurut ukuran manusia belum tentu
terhormat di hadapan Sang Pencipta. Begitu juga sebaliknya...!"
"Jadi menurutmu apakah eyang guru dan Ka-
kang Bonta bukanlah orang yang layak untuk dikubur
di tempat ini...?" tanya Inggil dengan pandangan bera-pi-api. Tapak Dewa
menyungging seulas senyum, ke-
dua matanya menatap tajam pada Inggil. Sungguhpun
selama ini dia sering dikenal sebagai orang misterius yang sangat jarang
berkata-kata. Tetapi melihat ting-kah Wakil Perguruan Kala Hitam, semakin lama
dia merasa semakin tak sabar saja. Sesaat setelahnya
dengan polos dia pun menyela;
"Manusia Muka Kunyit! Siapa pun boleh diku-
bur di makam ini, tetapi mereka harus minta ijin terlebih dulu denganku. Dalam
penglihatanku eyang gu-
rumu meninggal secara wajar. Tetapi kakang mu yang
bernama Bonta itu mampus karena keserakahannya
dalam mempelajari pukulan-pukulan sakti...!"
Ucapan Tapak Dewa benar-benar sungguh di
luar dugaan mereka, Ingil memang tidak menyangkal
bahwa eyang gurunya meninggal karena faktor usianya
yang sudah sangat tua sekali. Dan sebaliknya dia pun tidak membantah bahwa Bonta
tewas karena salah dalam menghimpun hawa murni. Tetapi sedikit pun dia
tiada menyangka kalau Tapak Dewa dapat mengetahui
secara persis semua kejadian itu. Sesaat laki-laki berjambang lebat itu nampak
diam membisu. Wajahnya
sebentar tertunduk dan di lain saat memandang pada
Tapak Dewa dengan perasaan sangat penasaran sekali.
Tak lama kemudian dia pun berkata:
"Lalu bagaimana...?"
"Aku hanya mengizinkan eyang gurumu saja
yang pantas dikubur di peristirahatan milikku!" jawab Tapak Dewa tanpa ragu.
Mendengar keputusan Tapak Dewa, betapa ter-
peranjatnya semua murid-murid Perguruan Kala Hi-
tam dibuatnya. Sementara itu Inggil sudah tak dapat
lagi membendung kesabarannya. Laki-laki Muka Ku-
nyit itu memerah parasnya. Tubuhnya nampak meng-
gigil karena menahan perasaan amarah yang sejak tadi dia pendam-pendam. Serta
merta dia membentak.
"Tapak Dewa, lancang sekali mulutmu! Engkau
benar-benar telah menghina kami! Jauh-jauh kami da-
ri Puncak Berkabut datang ke pemakaman mu ini, ki-
ranya sedikit pun engkau tak memandang muka pada
Eyang Guru Anjasmoro...!"
"Weeeiii... sial betul engkau ini! Muka setan tak tahu adat... siapa suruh
membawa-bawa bangkai
sampai sejauh itu" Kolong langit masih sangat luas,
aku sendiri tak pernah menyuruh kalian datang ke
mari...!" tukas Tapak Dewa tak kalah gusarnya.
"Bangsat... engkau benar-benar telah membuat
aku marah Tapak Dewa! Kalau kau tetap bersikeras ti-
dak mengijinkan jenazah Kakang Bonta dikubur di si-
ni. Kau benar-benar akan menyesal...!" ancam Wakil Ketua Perguruan Kala Hitam.
Tapak Dewa tersenyum pahit begitu mendengar
ucapan Inggil, sebagai orang yang memiliki indra pendengar yang mampu menembus
alam gaib. Betapa dia
teringat sangat banyak sekali manusia-manusia seperti Inggil itu, yang hingga
pada akhirnya sampai hari ma-
tinya tetap mengalami siksaan-siksaan yang tiada kunjung berakhir.
Begitu pun dia masih dapat bersikap lunak pa-
da laki-laki Muka Kunyit dari Perguruan Kala Hitam
itu. "Hemmm! Sungguh tak kusangka kalau Pergu-
ruan Kala Hitam yang begitu kondang ke seantero pen-
juru negeri, kiranya memiliki murid yang tidak pernah memandang muka pada orang
lain...!" kata Tapak De-wa, seraya geleng-gelengkan kepalanya.
"Tapak Dewa! Aku tak butuh khotbah mu, ka-
takan saja engkau memberi izin pada Kakang Bonta
untuk dikubur di sini atau tidak...?" kata Inggil setengah berteriak.
"Sebagaimana ucapanku tadi, semuanya tidak
akan pernah ku rubah." jawab Tapak Dewa nampak
tenang sekali. "Sreeek...!"
Mendadak Inggil sudah menarik setengah ba-
dan senjata dari sarungnya. Dalam pada itu, Tapak
Dewa cepat-cepat mencegah.
"Manusia Muka Kunyit! Kuperingatkan pada-
mu, sarungkan kembali Pedang Kala Hitam pada tem-
patnya. Andai tidak...!"
"Andai tidak kau bisa apa Tapak Dewa...?" tukas Inggil menyela.
Laki-laki penggali kubur itu terdiam, sebaliknya
tangan kanannya malah memilin-milin jenggotnya
yang tidak seberapa lebat. Sementara itu, beberapa
orang murid Kala Hitam lainnya nampak sangat cemas
sekali. Sebab andai Inggil terlibat dalam pertarungan, sudah barang tentu mereka
juga akan terbawa-bawa
juga. Di lain pihak mereka sendiri belum mengetahui
secara pasti betapa hebatnya Satria Penggali Kubur
yang bernama Tapak Dewa. Saat itu, dengan ketenan-
gan luar biasa dia menyambungi ucapannya yang
sempat terhenti.
"Ah... di mana-mana manusia selalu sengsara
karena tidak tahu siapa dirinya sendiri. Mereka sering bertanya-tanya, tentang
siapa dirinya, tentang kebera-daannya. Untuk apa dilahirkan. Menyesal datangnya
selalu terlambat dan betapa pula mereka jarang yang
tahu, kalau dosa itu selalu menyeret mereka dalam
penderitaan yang teramat panjang...!"
"Tutup khotbah mu, Gembel Penggali Kubur...!"
maki Inggil sambil mencabut Pedang Kala Hitam yang
berwarna hitam pula.
"Kau telah melanggar apa yang seharusnya ti-
dak kau lakukan, Muka Kunyit. Tidak kau dengarkan
rintihan dan jerit di alam kubur sana" Mereka-mereka itu semasa di dunia mengaku
dan diakui sebagai orang terhormat. Tetapi di alam kubur mereka tak menutupi
segala perbuatan baik buruk. Kini mereka merasakan-
nya, aku mendengar apa yang tidak kalian dengar...!"
"Jahanam! Manusia sinting mampus-lah...!"
"Hiaaa...!"
Bersamaan dengan makian dan teriakan-
teriakannya, serentak Inggil langsung menyerang Ta-
pak Dewa. Sungguhpun mereka ini berasal dari golon-
gan lurus, namun dari sambaran angin yang ditimbul-
kan akibat babatan maupun tusukan pedang di ta-
ngannya, Tapak Dewa dapat merasakan adanya hawa
keji yang menyertai serangan-serangan ganas tersebut.
Sejauh itu Tapak Dewa masih nampak tenang-
tenang saja. Begitu serangan yang bertubi-tubi itu
menderu ke arahnya, dia geser kaki kanannya ke bela-
kang. Sementara badan nampak membungkuk seten-
gahnya. Wakil Ketua dari Perguruan Kala Hitam itu
nampak sangat penasaran sekali begitu serangannya
yang pertama dapat dikelit oleh pihak lawan dengan
begitu mudah. Lalu dengan mempergunakan jurus Pe-
dang Kala Hitam Menyengat Babi Hutan, dia kirimkan
satu serangan susulan.
Pedang Kala Hitam kembali menderu dan ber-
kelebat mencecar pertahanan lawan dari berbagai pen-
juru. Tapak Dewa keluarkan suara tawa tertahan, dan
seiring dengan suara tawanya itu tiba-tiba tubuhnya
berkelebat lenyap. Hanya desiran-desiran angin yang
begitu keras saja yang memberi tanda bahwa Satria
Penggali Kubur yang sudah cukup berumur ini ada di
sekitar laki-laki Muka Kunyit.
"Hiaaat...!"
Kembali terdengar pekikan Inggil, Pedang Kala
Hitam membabat ke arah bayang-bayang tubuh Tapak
Dewa. Pedang di tangan laki-laki sombong dari Pergu-
ruan Kala Hitam semakin bertambah sebat, hawa keji
semakin terasa ganas memenuhi udara di sekitarnya.
Tapi sejauh itu, pedang di tangan Inggil masih belum juga mampu menyentuh kulit
tubuh lawannya. Bahkan Inggil sendiri merasakan, semakin cepat dia me-
nyerang Tapak Dewa, semakin bertambah gila pula ge-
rakan si Penggali Kubur dalam menghindar. Setelah
pertarungan berlangsung belasan jurus, lama kela-
maan Inggil menjadi sangat jengkel sekali. Apalagi dia melihat orang yang
menjadi lawannya bertarung tak
pernah membalas serangannya. Sebaliknya malah cu-
ma mengelak dan menghindar. Maka dia pun sudah
tak dapat menahan kesabarannya, sesaat kemudian
dia membentak; "Manusia siluman...! Nama besarmu melam-
bung setinggi langit, namun tak kusangka kalau hati-
mu sepengecut tikus cecurut..."!"
"Jleeeeegk!" Lima langkah Tapak Dewa tepat berdiri dari hadapan Wakil Ketua
Perguruan Kala Hitam. Sesaat dia memandang pada semua orang yang
berada di sekelilingnya. Dan kiranya pada saat itu,
baik Karsa maupun delapan orang murid lainnya telah
diperintahkan oleh Inggil untuk mengepung Tapak
Dewa. "Sialan Muka Kunyit, kalau engkau ingin cari-cari perkara denganku.
Janganlah kau bawa-bawa
orang lain...!"
"Hua ha ha.,.! Engkau takut! Itu makanya ada


Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baiknya kalau kamu memberi izin kubur untuk Ka-
kang Bonta....!" rutuk Inggil dengan tawa mengejek.
"Tidak pernah. Tetapi aku malah takut pada di-
ri sendiri...!"
Dengan sesungging seringai menjijikan, laki-
laki angkuh itu pun memberi aba-aba pada orang-
orangnya. "Anak-anak mari kita cincang tikus kuburan ini
beramai-ramai...!"
Usai dengan ucapannya itu, tanpa berani mem-
bantah murid-murid Perguruan Kala Hitam langsung
menyerbu Tapak Dewa.
Tak dapat dihindari lagi, dalam waktu sekejap
pertarungan sengit pun terjadi. Areal kuburan yang
tadinya sunyi sepi, kini telah berubah menjadi hiruk pikuk suara teriakan dan
denting beradunya senjata
yang terus berkelebat tanpa ampun.
*** 3 Tapak Dewa bergerak lebih cepat lagi, sung-
guhpun begitu orang-orang dari Perguruan Kala Hitam
terus memburunya ke mana pun dia menghindar. Pe-
dang sejenis yang dipergunakan oleh murid-murid Ka-
la Hitam memang agak merepotkan Tapak Dewa. Se-
bab sungguhpun mereka hanya merupakan murid,
namun mereka adalah murid-murid pilihan yang me-
miliki ilmu silat dan kepandaian yang sudah mencapai taraf sempurna.
Di lain pihak, Tapak Dewa sungguhpun seorang
pendekar yang memiliki watak angin-anginan, namun
selamanya dia belum pernah turun tangan secara keji.
Apalagi dia menyadari bahwa murid-murid Kala Hitam
itu hanyalah demi menjalankan perintah seorang ata-
san. Maka dia sudah memutuskan untuk melumpuh-
kan Manusia Muka Kunyit yang jadi biang keonaran di
pekuburan yang dia jaga selama ini.
Beberapa jurus di depan, Tapak Dewa kelihatan
mulai terdesak. Senjata di tangan laki-laki Muka Ku-
nyit, nyaris merobek bagian punggungnya. Sementara
itu Karsa yang menyerang Tapak Dewa dari bagian de-
pan terus mendesaknya dengan babatan-babatan pe-
dang di tangannya.
"Hiaat...!"
Tubuh Tapak Dewa nampak melentik ke udara,
bersamaan dengan itu Inggil telah pula melepas bebe-
rapa ekor kala berbisa menyusul melesatnya tubuh
Tapak Dewa. "Jiiit!"
Empat ekor kala hitam meluruk tubuh Tapak
Dewa yang masih berjumpalitan di udara. Lesatan sen-
jata rahasia yang berupa Kala Hitam itu sedemikian
cepatnya. Masih untung saat itu yang mendapat se-
rangan mendadak itu Tapak Dewa adanya, andai tidak
sudah dapat dipastikan orang yang mendapat seran-
gan Kala Hitam akan menemui ajalnya pada saat itu
juga. "Heeeeess!"
Tapak Dewa pergunakan ujung jubahnya untuk
menangkis datangnya serangan kala-kala berbisa ter-
sebut. Karena samplokan ujung jubahnya itu sengaja
dialiri tenaga dalam yang cukup kuat. Akibatnya senja-ta rahasia yang berupa
kala hitam tersebut kandas di tengah jalan. Bahkan kala yang mengandung racun
yang sangat mematikan itu berpentalan ke segala arah dengan keadaan mati.
Inggil memaki panjang pendek begitu mengeta-
hui serangan-serangan mautnya dapat dipatahkan
oleh Tapak Dewa dengan cara yang sangat begitu mu-
dahnya. Dalam kemarahannya yang meledak-ledak itu,
tiba-tiba dia sambitkan Pedang Kala Hitam yang bera-
da dalam genggamannya.
"Ziiing...!"
Tapak Dewa yang baru saja menjejakkan ka-
kinya di atas permukaan tanah, nampak terkejut seka-
li. Namun itu hanya sekejaban saja, karena saat berikutnya dengan tangkas sekali
dia sudah berkelit.
"Creeep...!"
Alangkah terkejutnya Inggil dan murid-murid
Kala Hitam lainnya begitu melihat kenyataan bahwa
Tapak Dewa menangkap lesatan Pedang Kala Hitam
dengan giginya.
Satu kelihaian yang sangat langka. Dan seumur
hidup mereka belum pernah melihat kepandaian se-
perti apa yang dimiliki oleh Tapak Dewa. Dalam keter-tegunan mereka, tiba-tiba
Satria Penggali Kubur sudah membentaknya:
"Bangsat Muka Kunyit! Kukira aku cukup ber-
sabar atas kesombonganmu, tetapi karena engkau se-
perti menghendaki nyawaku. Maka aku tak akan
memberi hidup lebih lama lagi. Kini bersiap-siaplah
engkau untuk mati. Hiiaaaa...!"
Seiring dengan teriakan yang serasa bagai me-
runtuhkan gendang-gendang telinga itu. Maka dengan
mempergunakan Pedang Kala Hitam milik lawannya,
Tapak Dewa langsung menerjang si Muka Kunyit yang
sangat sombong itu. Selain Inggil seorang. Murid-
murid Kala Hitam tak ada yang berani turun tangan
untuk membantu wakil ketua mereka.
Di lain pihak, saat itu juga Tapak Dewa dengan
pedang terhunus milik lawannya, segera kirimkan se-
rangan-serangan yang sangat dahsyat. Karena laki-laki penggali kubur itu
mempergunakan Jurus Bayangan
Malaikat, maka sepuluh jurus kemudian, Inggil sudah
nampak jatuh di bawah angin. Laki-laki berjambang
lebat yang merupakan wakil dari Perguruan Kala Hi-
tam itu, berusaha mati-matian keluarkan segenap ke-
mampuannya. Jurus demi jurus silih berganti, namun
semua itu tetap tidak merubah kedudukan. Hingga
sampai pada akhirnya, sampailah dia pada puncak ke-
saktian yang dimilikinya.
"Haiiitt...!"
Laki-laki Muka Kunyit bersalto beberapa kali,
sengaja dia menjauhi gempuran-gempuran pedang Ta-
pak Dewa. Lalu, tanpa membuang-buang waktu lagi,
Inggil segera rangkapkan kedua tangannya. Sesaat
kemudian terdengar bunyi mencicit bagai suara ribuan ekor tikus dari bibirnya.
Tubuh bergemetaran, peluh
sekejap saja telah membasahi jubah hitam yang dike-
nakannya. Seiring dengan itu dari kedua tangannya
yang menyatu di depan dada. Keluarlah uap hitam
yang semakin lama semakin menebal, sehingga lama-
kelamaan menyelimuti dirinya sendiri.
Di lain pihak nampaknya murid-murid Pergu-
ruan Kala Hitam dan juga Karsa, menjadi terkesima.
Mereka menyadari saat itu wakil ketua perguruan me-
reka sudah mengerahkan satu pukulan sakti yang di-
beri nama Raja Kala Merah yang di kolong langit ini
tiada duanya. Pukulan itu terkenal sangat keji dan
berbahaya sekali. Siapa pun yang terkena pukulan
maut itu, sedetik pun nyawanya tidak bisa tertolong
lagi. Dan seperti mereka ketahui pula, bahwa eyang
gurunya dulu sempat berpesan. Siapa pun dari mereka
sangat dilarang mempergunakan Pukulan Raja Kala
Merah itu terkecuali bila dirinya merasa benar-benar berada di pihak yang benar.
Tetapi kenyataannya kini wakil ketua mereka sengaja mempergunakannya,
hanya demi sebuah kesombongan. Sungguhpun hati
mereka merasa sangat tidak setuju dengan cara-cara
yang ditempuh oleh Inggil. Tetapi untuk melarang me-
reka tiada memiliki keberanian.
Saat itu Tapak Dewa yang sudah menghentikan
serangan, begitu mengetahui gelagat yang kurang baik, dia langsung membentak:
"Anak manusia yang bernama Inggil! Engkau
tarik baliklah Pukulan Raja Kala Merah yang sangat
keji itu. Andai tidak, engkau akan menjadi manusia
yang paling merugi di liang kubur sana...!"
Saat itu, sungguhpun laki-laki Muka Kunyit itu
terkejut hatinya karena dia tiada menyangka kalau lawannya dapat pula mengetahui
pukulan yang akan di-
lepaskannya. Namun bibirnya tetap menyungging se-
nyum licik. Kemudian tanpa menghiraukan peringatan
pihak lawannya. Dengan diawali satu jeritan keras dan sambung menyambung maka
tubuhnya melesat laksana kilat meluruk ke arah di mana posisi lawan ber-
ada. Satu sapuan gelombang hitam yang berhawa din-
gin luar biasa menderu tanpa dapat terbendung lagi.
Tapak Dewa tidak tinggal diam. Dengan memperguna-
kan Ajian Mayat Arca dia nampak berdiri mematung.
Seluruh pikirannya menyatu dengan hati, sedangkan
sepasang matanya langsung terpejam.
Laki-laki Muka Kunyit mengira bahwa apa yang
dilakukan oleh Tapak Dewa adalah sesuatu yang san-
gat sembrono. Bahkan dia sendiri sudah memastikan,
sekali saja pukulan yang dilepaskannya menghantam
pihak lawan. Maka akan tamatlah riwayat manusia
yang berjuluk Ksatria Penggali Kubur itu.
Sedetik kemudian pukulan Raja Kala Merah
yang dilepas oleh Wakil Ketua Perguruan Kala Hitam
itu melabrak tanpa ampun.
"Praaangg...!"
Bukannya tubuh lawan yang hancur maupun
tewas akibat pukulan yang sangat keji itu, sebaliknya malah tubuh Inggil
terbanting di atas tanah. Sementara itu Tapak Dewa tetap tegak bagaikan arca.
Sungguhpun Wakil Ketua Perguruan Kala Hi-
tam, bagai remuk dadanya bahkan sempat muntah da-
rah kental akibat pukulannya membalik. Akan tetapi
begitu melihat lawannya tiada bergeming sedikitpun
juga, maka dengan cepat dia bangkit kembali. Kedua
tangannya langsung merangkap ke depan dada. Kini
dia sudah bersiap-siap kembali melepas pukulan maut
tersebut. Tubuh Inggil semakin tergetar hebat, wajahnya yang kuning kunyit itu
kini berubah memerah, se-
pasang matanya tak kalah merahnya. Saat itu Tapak
Dewa masih tetap dengan posisinya. Detik selanjutnya, laki-laki Muka Kunyit itu
dengan diawali satu benta-kan bagai ribuan suara tikus kembali kirimkan satu
pukulan yang lebih ganas lagi.
"Wuuut!"
"Krontaaang...!"
Tak ubahnya bagai membentur arca dewa saja
layaknya, pukulan yang dilakukan oleh Inggil menca-
pai sasarannya. Tapak Dewa tiada berkedip sedikitpun juga, sebaliknya Inggil
menerima akibat yang lebih parah lagi. Ajian Mayat Area benar-benar merupakan
sa- tu perisai yang benar-benar sangat luar biasa. Sebab ajian itu memiliki sifat
mengembalikan serangan yang dilakukan oleh pihak lawannya.
Kala itu Inggil yang terlempar sepuluh tombak
jauhnya. Pada bagian kepalanya nampak remuk kare-
na membentur batu nisan kuburan. Tubuhnya membi-
ru akibat pukulan yang dilepaskan membalik dan me-
makan dirinya sendiri. Laki-laki angkuh yang memiliki jambang lebat itu
kelihatan mengerang lirih, dengus
napas terdengar bagai seekor kerbau yang disembelih.
Sementara darah kental yang bergumpal-gumpal terus
meleleh dari kuping hidung serta mulutnya.
Ketika itu Tapak Dewa seperti biasa saja, seolah
merasa tak pernah terjadi sesuatu di tempat itu. Beberapa tindak dia melangkah,
kemudian secara silih berganti dipandanginya tubuh Inggil yang sudah putus
nyawanya. Setelah itu dia berpaling pada murid-murid
Perguruan Kala Hitam lainnya. Setelah itu, dengan suara pelan namun berwibawa
dia memberi perintah.
"Kuberi kesempatan pada kalian untuk mengu-
burkan jenazah eyang guru kalian di pemakaman ini.
Tetapi aku tetap tidak memberi izin pada saudara ka-
lian yang bernama Bonta itu, apalagi manusia som-
bong yang bernama Inggil...!"
"Lalu bagaimana dengan mayat kakang-kakang
kami itu, Ki Sanak...?" tanya Karsa mencoba membe-ranikan diri.
"Jenazah dua orang lainnya aku tak perduli!
Aku muak mendengar lolongan orang-orang yang ber-
lumur dosa di dalam liang kubur sana...!" tukas Tapak Dewa tegas-tegas.
"Baiklah, Ki Sanak, kami berterima kasih atas
kemurahanmu...!"
"Kerjakan...!"
Jawaban Tapak Dewa sudah terdengar men-
jauh, bahkan begitu mereka menoleh, Satria Penggali
Kubur itu telah lenyap dari pandangan mereka.
"Hemmm. Dia datang dan pergi bagai setan ku-
buran saja layaknya...!" gumam salah seorang di antara mereka.
"Ssst! Jaga mulutmu, dia mendengar apa saja
yang kita bicarakan. Bisa-bisa kita mampus semua!"
menyela Karsa dengan perasaan was-was.
Sesaat kemudian keadaan di sekitarnya menja-
di sepi kembali. Hanya sesekali saja terdengar bunyi cangkul mereka menghunjam
ke dalam tanah.
Nampaknya mereka bekerja sangat cepat sekali,
sebentar saja pekerjaan penggalian itu sudah selesai.
Cepat-cepat mereka membuka peti mayat eyang gu-
runya. Bau bangkai menebar ke mana-mana saat peti
jenazah itu terbuka, keadaan jenazah sudah mem-
bengkak di sana sini, bahkan pada bagian perut mayat tersebut sudah membusung
sebesar tempayan. Dengan sangat berhati-hati mereka menggotong jenazah
eyang guru mereka untuk dimasukkan ke liang lahat.
Pekerjaan itu pun usai setelah lebih kurang setengah
jam kemudian. Setelah memberi penghormatan yang terakhir,
mereka pun segera memberesi mayat Wakil Ketua per-
guruan mereka yang masih tetap tersender di bibir ba-tu nisan. Mayat laki-laki
berjambang lebat itu kemu-
dian mereka masukkan ke dalam peti bekas dipakai
eyang guru mereka.
Semuanya nampak berlalu begitu cepat, kereta
kuda kembali berjalan menelusuri jalan yang sempit
lagi becek. Sementara dua peti jenazah yang berada di belakang kereta kuda
nampak terguncang-guncang di-hempas batu-batu jalanan.
4 Dengan langkah tertatih-tatih, gadis itu dengan


Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sabar dan ketabahan luar biasa, terus memapah pe-
muda tampan yang berada di sebelahnya. Sesekali si
gadis terpaksa mengurungkan langkahnya, manakala
pemuda yang bergelayut di bahu kanannya itu merin-
tih-rintih sambil memegangi dadanya yang terus ber-
denyut sakit luar biasa.
Pukulan Iblis Menembus Maut, yang bersumber
dari tenaga inti murni itu memang berakibat sangat
luar biasa bagi pemuda yang berjuluk Pendekar Hina
Kelana ini. Bagaimana kan tidak, Buang Sengketa yang masih keturunan Raja Piton
Utara yang berasal dari
Negeri Bunian itu, sesungguhnya adalah seorang pen-
dekar tangguh yang memiliki kekebalan terhadap sega-
la jenis racun berbisa sekalipun.
Tetapi pukulan Iblis Menembus Maut yang per-
nah dilancarkan oleh si guru iblis (Dalam episode Se-
pasang Iblis Bermata Dewa) kiranya merupakan puku-
lan raja dari segala macam pukulan beracun pula.
Hal inilah yang tak pernah disadari oleh pemu-
da dari Negeri Bunian itu. Sehingga kini dia harus menerima akibat yang sangat
fatal sekali. Sungguhpun
dia masih mempunyai harapan hidup sekitar dua pu-
luh hari lagi, namun untuk hidup selanjutnya dia ha-
rus berusaha keras untuk mencari seorang tabib yang
benar-benar tahu bagaimana caranya menyembuhkan
pukulan beracun yang kini sudah mulai menjalar ke
segenap pembuluh darahnya.
Masih untung dalam keadaan begitu, Wanti Sa-
rati, yaitu gadis yang selama ini merindukan kehadiran si pemuda dapat bertemu
dengan Pendekar Hina Kelana. Andai tidak, tentu memperjuangkan hidup seorang
diri akan lebih sulit lagi.
Siang malam gadis bermata sendu ini selalu
dengan setia merawat orang yang paling dia kagumi di dalam hidupnya. Gadis itu
tidak pernah mengeluh,
bahkan setiap saat dia selalu mengkhawatirkan kea-
daan si pemuda yang kian hari kian memburuk. Ber-
puluh-puluh tabib telah mereka temui, namun tak seo-
rang pun dari mereka yang mampu menyembuhkan
pukulan beracun yang diderita oleh Pendekar Hina Ke-
lana. Tubuh pemuda itu nampak semakin pucat, pa-
nas badannya selalu berubah-ubah. Terkadang tubuh-
nya panas luar biasa, namun di lain saat menjadi dingin bagai sudah tak
bernyawa. Keadaan seperti itu sudah barang tentu mem-
buat cemas hati si gadis. Dia nampak bingung. Bahkan sering tidak memperdulikan
dirinya sendiri. Sungguhpun begitu Wanti Sarati kiranya bukanlah seorang ga-
dis yang kenal putus asa. Dia terus berusaha mencari
tabib yang mampu menyembuhkan racun yang dideri-
ta oleh pendekar yang sangat dikaguminya itu.
Langkah selalu membawanya untuk berusaha,
tanpa sadar kini dia telah sampai di daerah Tanah Putih. Yaitu sebuah daerah
yang hampir keseluruhan ta-
nahnya terdiri dari tanah batuan kapur. Setiap siang hari, daerah itu panasnya
bukan main. Pendekar dari Negeri Bunian itu kembali merin-
tih, lalu memberi isyarat pada Wanti Sarati untuk beristirahat.
Setelah sampai di sebuah pohon yang sangat
rindang, maka si gadis segera menyandarkan tubuh
Buang Sengketa di bawah sebatang pohon besar itu.
Pendekar Hina Kelana menarik nafasnya yang agak
tersengal-sengal. Sejenak setelahnya dia memandang
pada si gadis dengan tatapan iba. Dia merasa sangat
kasihan sekali pada gadis itu, sudah berhari-hari si gadis kurang tidur. Semua
itu telah dilakukannya dengan sangat ikhlas, penuh kasih sayang bahkan, ah...
pendekar itu mengeluh dalam hati. Sejenak dia mem-
buang gundah di hatinya jauh-jauh. Dia tak ingin me-
lihat Wanti Sarati menangisinya, apabila dia menutup mata nantinya. Sampai
akhirnya dia pun berkata pelan.
"Wanti...! Kecil sekali harapanku untuk dapat
terbebas dari racun terkutuk ini. Aku merasa tak kuat untuk bertahan hidup lebih
lama, bernapas pun rasanya sangat sulit bagiku...!" rintih Pendekar Hina Kelana.
Sudah barang tentu ucapan si pemuda membuat
pedih hati Wanti Sarati.
"Paman...! Paman tak boleh berkata begitu, kita akan terus berusaha, pula. Waktu
yang ditentukan
masih dua puluh hari lagi. Kita masih punya waktu
dan kesempatan...!" Pendekar Hina Kelana nampak
tersenyum pias, begitu mendengar ucapan si gadis.
"Kau tak tahu, Nduk. Betapa pukulan beracun
yang ku derita benar-benar sangat berbahaya sekali...!"
"Aku tahu paman, tapi sebagai manusia dalam
keadaan bagaimana pun kita harus selalu berusaha
untuk mencapai sesuatu...!" kata Wanti Sarati lirih sekali. "Aurrgghk...!"
Mendadak Buang Sengketa menjerit keras
sambil memegangi dadanya. Begitu dia terbatuk, maka
menggelogoklah darah kental kehitam-hitaman dari
mulutnya. Bersamaan dengan itu, maka tubuh pemu-
da berwajah tampan itu terkulai, Wanti Sarati menjerit histeris begitu melihat
keadaan Buang Sengketa yang
sangat mengenaskan ini. Si gadis segera meraba de-
nyut nadi si pemuda, sungguhpun denyut darah itu
masih ada tetapi sangat lemah sekali. Bahkan kini seluruh tubuh si pemuda
menjadi dingin luar biasa. Wa-
laupun Wanti Sarati merupakan seorang gadis yang
sangat tabah, namun nalurinya sebagai wanita mem-
buat dia menangis demi melihat keadaan yang terjadi
pada Buang Sengketa.
"Paman... Paman Kelana, jangan kau tinggalkan
Wanti, Paman.... Paman...!" isak Wanti Sarati sambil memeluki tubuh Pendekar
Hina Kelana. Sementara pada saat itu di luar sepengetahuan
Wanti Sarati kiranya ada dua pasang mata yang sejak
tadi memandangi keadaan mereka berdua. Pemilik dua
pasang mata itu terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan berusia
sudah sangat lanjut sekali.
Baik laki-laki maupun perempuan berumur itu mas-
ing-masing berkepala botak. Berpakaian kembang-
kembang, sementara dari mulutnya terdengar bunyi
mendesis bagai suara sempritan. Di tangan kedua
orang ini nampak pula tergenggam sebuah tasbih be-
rukuran besar. Sementara di bagian pinggang mereka
nampak sebuah senjata berbentuk bulan sabit. Dunia
persilatan mengenalnya sebagai si Pengumpul Barang
Kuno dari Bangkalan. Selama malang melintang dalam
dunia persilatan mereka dikenal dengan julukan Sepa-
sang Clurit Maut dari Bangkalan. Dua botak dari
Bangkalan ini terkenal sebagai orang yang telengas
dan sangat berangasan sekali.
Dan kalau hari itu dia sampai di Tanah Putih
hal itu hanyalah demi ingin mengetahui lebih jelas tentang sepak terjang seorang
pendekar muda dengan Pu-
saka Maut Golok Buntungnya. Lebih dari itu mereka
juga berhasrat ingin memiliki Pusaka Golok Buntung
dan periuk bertuah yang saat ini juga berada di bagian bahu kiri si pemuda.
Dalam pada itu laki-laki botak sudah menoleh
pada perempuan botak yang berdiri di sebelahnya. La-
lu dua orang bangkotan yang sudah bau tanah itu pun
saling berbisik sesamanya.
"Istriku... agaknya pemuda yang dalam kea-
daan kelenger itulah yang akhir-akhir ini menggem-
parkan dunia persilatan di seantero negeri...!" ujar si laki-laki botak yang
bernama Nanang.
"Hemm, dugaanku pun begitu suamiku... tetapi
mengapa dia sampai bisa terkena pukulan beracun se-
perti itu. Bukankah menurut cerita yang kita dengar, bahwa pendekar muda yang
berjuluk si Hina Kelana
dengan senjata andalan Golok Buntung dan Cambuk
Gelap Sayuto yang maha dahsyat itu merupakan pen-
dekar yang sangat kebal dengan segala macam puku-
lan beracun...?" jawab si nenek berkepala botak.
Dari nada pembicaraan mereka yang terdengar
mesra dan akrab, nyata sekali kalau keduanya meru-
pakan pasangan sejoli tua yang sangat serasi.
"Istriku, ada baiknya kalau kita turun tangan
sekarang juga! Pemuda berpakaian gembel itu lagi se-
maput...!"
"Tetapi bagaimana dengan gadis yang menyer-
tainya itu...?" tanya si nenek berkepala botak, hampir-hampir tak terdengar.
Si kakek botak tersenyum simpul, lalu tanpa
menoleh dia pun menjawab.
"Itu persoalan yang gampang. Kita rebut dulu
Pusaka Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto
yang bikin gempar itu. Jika saja perempuan manis itu menghalangi maksud kita.
Biar ku kepruk kepalanya...!"
"Hemm! Ide yang cukup jitu. Engkau memang
suami yang selalu berpikiran cerdas. Itu makanya dulu aku begitu tergila-gila
padamu...!" ucap nenek berkepala botak sambil lirik-lirik mesra.
"Lha wong aku kok... he... he... he...!" Si kakek botak bangga, bahkan hidungnya
yang mancung ke
dalam itu sampai kembang kempis saking bungahnya.
Bersamaan dengan ucapannya itu, maka kakek dan
nenek berkepala botak nampak melesat ke luar dari
tempat persembunyiannya.
Dari gerakan mereka yang lincah dan gesit itu
saja sudah dapat diduga bahwa kedua orang ini memi-
liki ilmu mengentengi tubuh yang benar-benar sudah
mencapai taraf kesempurnaan.
Hanya dalam waktu sekedipan mata, Sepasang
Clurit Maut itu sudah menjejakkan kakinya tiga tindak di belakang Wanti Sarati.
Nampaknya gadis itu sangat terkejut sekali de-
mi melihat kehadiran kakek nenek berkepala botak ini.
Dan kiranya dia menyadari bahwa kehadiran dua
orang manusia yang belum dikenalnya itu membawa
maksud-maksud tak baik.
Tetapi belum lagi keraguan dalam hatinya ter-
jawabkan. Tiba-tiba si nenek berkepala botak sudah
menghardiknya: "Bocah! Pacaran di tempat yang sepi memang
sungguh asyik sekali, berpeluk-pelukan mesra seperti itu. Hemmm... bukan main,
tetapi ada baiknya kalau
sekalian kau telanjangi saja pemuda itu, dia pemuda
yang gagah dan tampan. Yang pasti engkau tak baka-
lan kecewa karenanya....!"
Bukan main gusar nya Wanti Sarati demi men-
dengar ucapan si nenek botak yang mesum dan sangat
kurang ajar itu. Dia benar-benar merasa terhina, bahkan sebentar kemudian
parasnya yang kuning langsat
itu pun nampak menjadi merah padam. Lalu cepat-
cepat digesernya kepala Buang Sengketa yang tak sa-
darkan diri itu dari pangkuannya. Sekejap kemudian
dia sudah bangkit berdiri. Sepasang matanya menco-
rong tajam dan memandang pada kedua orang yang
berdiri di hadapannya. Dari ujung rambut hingga ke
ujung kaki. Kakek botak dan nenek botak itu sedikit
pun tiada dia kenal.
Karena nenek kepala botak itu telah bersikap
kurang ajar padanya, maka kini Wanti Sarati tanpa
menaruh sikap hormat sedikit pun pada orang itu
langsung membentak si. nenek botak.
"Weii... kutu kupret. Manusia tuyul berotak
ngeres, berani sekali engkau menghinaku...!" tukas Wanti Sarati sambil bertolak
pinggang. "Hi... hi... hi...! Bocah kencur bau ingus, aku tak mau basa basi. Sekarang
serahkan saja pemuda
itu pada kami. Tokh engkau tak becus mencarikan ob-
at buatnya...!" kata si nenek botak menyahuti.
"Hemm. Tanpa tujuan yang pasti, tidak nan-
tinya paman ku kuserahkan pada siapa pun. Aku tahu
kalian pasti punya maksud-maksud tertentu pada Pa-
man Kelana!"
"Bocah tolol! Pamanmu itu sudah terserang pu-
kulan beracun yang teramat parah. Dan satu-satunya
orang yang bisa menyembuhkan luka dalam pamanmu
itu hanyalah kami berdua. Mengapa kau harus curi-
ga...!" bujuk si kakek botak dengan sesungging senyum penuh kelicikan.
"Kakek botak, siapa mau percaya dengan segala
bualan mu. Kalian pasti menginginkan sesuatu dari
Paman Kelana...!"
"Ho... ho... ho...! Tajam juga penglihatanmu bocah. Aku tak mengingkari apa yang
kau katakan itu."
jawab si kakek botak terang-terangan.
"Untuk tidak membuat persoalan menjadi pan-
jang, sekarang serahkanlah Pusaka Golok Buntung,
Cambuk Gelap Sayuto serta Priuk Mustika yang ada
pada pamanmu itu...!" Nenek botak pun ikut-ikutan menimpali.
Mendengar ucapan mereka, maka sadarlah
Wanti Sarati, bahwa keselamatan pamannya, kini be-
nar-benar dalam keadaan terancam. Maka tanpa ba-
nyak kata lagi, gadis cerdik dan pemberani itu segera melepaskan selendang merah
yang melilit di pinggangnya. Sementara itu demi melihat gelagat, Sepasang
Clurit Maut itu secara hampir bersamaan segera mem-
bentak: "Bocah, kau mau apa dengan selendang itu...?"
Saat itu Wanti Sarati sudah bersiap-siap melin-
dungi Pendekar Hina Kelana dari segala kemungkinan.
"Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati
berkalang tanah. Paman Kelana adalah orang yang pal-
ing berarti dalam hidupku, maka aku tak akan mem-
biarkan walau seekor lalat sekalipun menyentuh-
nya....!" dengus Wanti Sarati tegas-tegas.
Demi mendengar ucapan si gadis, maka berde-
railah tawa Sepasang Clurit Maut ini.
"Mati muda adalah sia-sia, Bocah. Bahkan eng-
kau tak akan dapat merasakan bagaimana nikmatnya
sorga dunia ini. Namun karena hal ini merupakan pilihan mu, maka andai kepalamu
menggelinding di ta-
nah. Jangan kau salahkan aku...!" ancam nenek botak sambil mendesis keluarkan
bunyi bagai terompet
maut. 5 Namun kiranya Wanti Sarati sudah tak menghi-


Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

raukan apapun yang dikatakan oleh si nenek botak.
Sebaliknya dengan diawali satu lecutan selendang
yang sekaligus merupakan senjata ampuhnya. Maka
sekejap kemudian tubuhnya sudah berkelebat lenyap.
Tak pelak lagi, kini dia mulai mempergunakan
jurus-jurus aneh yang sangat dahsyat yang pernah di-
ciptakan oleh Padri Agung Sindang Darah (Dalam epi-
sode Air Mata di Sindang Darah).
Tubuh Wanti Sarati bergerak lincah, berulang-
kali selendang merah di tangannya melecut ke segala
arah. Dan sudah barang tentu hal ini membuat repot
Sepasang Clurit Maut yang sebelumnya tiada menduga
kalau gadis itu ternyata memiliki jurus-jurus silat yang sangat aneh dan cukup
dahsyat. Bahkan terjangan
kaki si gadis tak kalah dahsyatnya dengan lecutan selendang yang bergerak cepat,
meliuk-liuk bagaikan
seekor kepala seekor ular cobra.
Mendapat tekanan-tekanan dan serangan gen-
car seperti itu, nenek botak memberi isyarat pada si kakek botak. Kemudian pada
gebrakan berikutnya
dengan mempergunakan tasbih yang berukuran san-
gat besar, maka keduanya pun menyerang Wanti Sa-
rati tanpa malu-malu lagi.
"Bagus kalian memang sepasang tuyul yang
sangat serasi. Majulah sekalian kalau perlu keluarkan sekalian clurit yang
menggelantung di pinggang kalian itu...!" "He... he... he...! Tak perlu kau
perintah sebentar nanti juga Clurit Maut akan memenggal kepalamu!"
"Ciaaat!"
Tasbih di tangan si kakek botak mencecar ba-
gian dada lawannya. Sementara pada saat yang sama,
tasbih di tangan si nenek menyambar ke bagian kaki
Wanti Sarati. Si gadis melentik ke udara, begitu serangan gencar itu terus
memburunya. Maka Wanti Sarati
terus melecutkan selendangnya.
Pertemuan dua senjata sakti sudah tidak dapat
dihindari lagi. Maka tak pelak lagi benturan keras
membahana menggelegar memekakkan gendang-
gendang telinga.
"Craas! Ctar...!"
Tubuh Wanti Sarati terjengkang tiga tombak,
sementara si kakek dan nenek botak sungguhpun ti-
dak sampai terpelanting namun tubuh mereka nampak
tergetar hebat. Sadarlah Sepasang Clurit Maut dari
Bangkalan ini bahwa tenaga dalam si gadis tidak begi-tu jauh di bawah mereka
berdua. Bahkan andai tadi
tidak menghadapi Wanti Sarati secara bersamaan, be-
lum tentu mereka masih tetap tegak pada posisinya.
Gadis yang mereka hadapi itu masih begitu muda, te-
tapi tenaga dalam dan ilmu silat yang dimilikinya sudah sedemikian tangguh. Hal
ini saja sudah membuat
Pengumpul Barang Langka dari Bangkalan itu menjadi
penasaran sekali.
Kemudian dengan gusar, kakek botak meng-
hardik; "Bocah, sungguh mengagumkan. Selama ini belum pernah ada orang yang
mampu menahan gempu-
ran Tasbih Kudungga milik kami. Tetapi kau mampu
menahannya. Hemmm, siapakah gurumu...?"
"Tak usah tanya-tanya! Terimalah... hiaaa...!"
Tanpa perduli lagi, Wanti Sarati kembali mela-
kukan serangan-serangan gencar.
"Haiiit! Ctar.... ctaar...!" Selendang di tangan Wanti Sarati melecut. Tetapi
kali ini Sepasang Clurit Maut itu sudah tak sabar lagi untuk cepat-cepat
memberesi, maka.
"Sriiingg! Sriiingg...!"
Kakek dan nenek berkepala botak secara seren-
tak sudah mencabut senjata mautnya yang berbentuk
bulan sabit itu.
Begitu keduanya bergerak menyerang, maka
tak dapat disangkal lagi senjata-senjata yang terkenal sangat berbahaya itu
menderu dan bahkan timbulkan
suara laksana raung seekor macan gembong yang ke-
laparan. Silih berganti, baik Tasbih Kudungga maupun Clurit yang sangat
berbahaya itu mencecar Wanti Sarati dari segala penjuru.
Tak pelak lagi pada jurus-jurus selanjutnya ga-
dis itu nampak mulai terdesak. Tiada kesempatan ba-
ginya untuk melaksanakan serangan-serangan bala-
san. Terpaksalah dia bertahan mati-matian.
"Bocah pentil. Lebih baik kau menyerah saja,
kalau tidak dua jurus di muka kepalamu akan kami
buat menggelinding...!" teriak si kakek botak marah sekali. "Tak semudah
itu...!" bentak Wanti Sarati. Kali ini selendang di tangannya kembali melecut.
Namun pada saat itu clurit di tangan si kakek lebih cepat lagi menyambar.
"Praaas...!"
Wanti Sarati terhuyung tiga langkah, selendang
di tangannya berantakan dilanda clurit milik si kakek!
Sungguhpun dia nampak sangat terkejut sekali, na-
mun dia sudah tak dapat berpikir panjang. Karena pa-
da saat itu kedua lawannya sudah memburunya den-
gan sabetan-sabetan senjata mautnya.
Gadis itu menjadi kalang kabut, secepatnya dia
berusaha membebaskan diri dari gulungan senjata la-
wan yang mengurungnya. Pada saat itu sungguhpun
dia dapat membebaskan diri dari terjangan senjata si kakek. Tetapi bokongan
clurit si nenek botak di bagian belakangnya sudah tak dapat terhindarkan lagi.
"Brebet!"
Wanti Sarati mengeluh pendek. Bagian pung-
gungnya terobek sejengkal. Darah mengucur deras dari luka akibat sambaran
clurit. Sungguhpun tidak begitu parah tetapi cukup membuat si gadis kehilangan
banyak tenaga. Kakek dan nenek botak menyeringai dalam ke-
licikan, namun tiada sepatah kata pun yang terucap
dari mulut mereka yang sudah tiada bergigi lagi.
"Ciaaat...!"
Tubuh kedua orang itu berkelebat lenyap, sen-
jata maut terus menderu dan mengancam pada ba-
gian-bagian tubuh yang sangat rawan.
Saat itu posisi si gadis memang benar-benar
dalam keadaan yang sangat gawat sekali.
Nampaknya apa yang diucapkan oleh si kakek
memang benar-benar segera terbukti. Namun dalam
detik-detik yang sangat berbahaya itu, nampak pula
berkelebat sosok bayangan yang sangat cepat. Bayan-
gan itu nampak menyambar tubuh Pendekar Hina Ke-
lana yang sedang tidak sadarkan diri.
Wanti Sarati sangat terkejut sekali, begitu juga
halnya dengan si kakek dan nenek botak. Masing-
masing lawan jadi terkesima, kesempatan yang hanya
sedetik itu tidak disia-siakan oleh si bayangan yang tidak dikenal. Tangan kiri
nampak merogoh sesuatu dari balik jubahnya. Laksana kilat tangan itu bergerak.
"Bummm! Bummm!"
Bersamaan dengan terdengarnya bunyi
ledakan, asap hitam segera memenuhi tempat sekitar
itu. Wanti Sarati masih belum menyadari apa yang se-
dang terjadi, manakala bayangan tadi menyambar tu-
buhnya dengan cepat. Gadis itu merasakan badannya
laksana terbang ketika bayangan tersebut terus mem-
bawanya berlari menjauhi tempat itu.
Sementara itu, kakek dan nenek botak terus
terbatuk-batuk. Tubuhnya limbung dan lemas luar bi-
asa. Sambil mengebutkan jubahnya masing-masing,
orang itu pun berteriak.
"Asap pembius... bangsat... siapakah orang
itu...?" "Menghindar...!"
Apes sekali nasib mereka hari itu, belum lagi
mereka dapat keluar dari kepulan asap tersebut, Sepasang Clurit dari Bangkalan
itu sudah tak sadarkan di-ri.
* * * Saat itu laki-laki berbaju kuning, terus menge-
rahkan ilmu lari cepatnya. Tubuhnya berkelebat bagai tak pernah mengenal lelah.
Padahal saat itu tubuh
Wanti Sarati dan tubuh pendekar dari Negeri Bunian,
membebani kedua pundaknya. Sungguh kemampuan
yang sangat langka, dan tidak sembarang orang memi-
liki kemampuan seperti itu.
Lewat sepemakan sirih, sampailah orang itu di
sebuah pemakaman yang sangat sunyi. Orang itu
menghentikan ilmu lari cepatnya. Dengan langkah te-
gap, dia terus memasuki tanah pekuburan itu. Sema-
kin lama orang itu semakin menuju ke tengah-tengah
makam tersebut. Sampai akhirnya dia berhenti di ba-
wah sebatang pohon kamboja yang sangat besar dan
berbunga lebat.
Wanti Sarati tak tahu apa yang dilakukan oleh
laki-laki berpakaian kuning ini. Sungguhpun dia be-
lum mengenal laki-laki berbulu itu, tetapi dia dapat mengerti bahwa orang itu
bermaksud untuk menolong
mereka. Sementara itu laki-laki jubah kuning nampak
mengetuk-ngetuk pohon kamboja tiga kali. Sesaat setelah ketukan tersebut, maka
tanah yang berada di de-
pannya nampak merekah dan menguak lebar. Terde-
ngar bunyi bergemuruh, manakala tanah tersebut
membuka. Laki-laki berpakaian kuning segera me-
langkah, kemudian nampaklah anak tangga yang ter-
buat dari batu di bawah tanah tersebut.
Dengan masih memanggul tubuh Wanti Sarati
dan Buang Sengketa, laki-laki itu segera menuruni
anak tangga. Tak lama kemudian rengkahan tanah
kuburan yang tak ubahnya bagai sebuah pintu rahasia
itu pun menutup kembali. Ruangan bawah tanah itu
tak ubahnya bagai sebuah ruangan rahasia untuk
tempat tinggal. Di sana sini terdapat lampu minyak
yang menerangi segenap ruangan tersebut.
Orang tersebut segera membaringkan tubuh
Buang Sengketa pada sebuah dipan yang terbuat dari
batu pualam putih. Tak lama kemudian dia pun segera
meletakkan tubuh Wanti Sarati pada sebuah dipan
lainnya. Terdengar rintihan gadis itu, manakala luka di punggungnya bersentuhan
dengan dipan pualam yang
sangat dingin. "Diamlah di sini. Aku harus melihat luka dalam
yang diderita oleh pamanmu itu...!" kata laki-laki berbaju kuning, yang tak lain
Tapak Dewa adanya.
Sebelum Wanti Sarati sempat menanyakan se-
suatu. Tapak Dewa telah meninggalkannya.
Laki-laki itu kemudian duduk di sisi Pendekar
Hina Kelana. Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi
dia segera membuka pakaian si pemuda pada bagian
pinggang. Tapak Dewa atau yang lebih dikenal sebagai Satria Penggali Kubur
nampak sangat terkejut sekali
begitu melihat bekas telapak tangan menghitam di da-
da Buang. Tapak Dewa kerutkan keningnya, dia berusaha
untuk mengingat-ingat sesuatu. Seingatnya di dalam
dunia persilatan tokoh sesat yang memiliki pukulan
beracun yang bersumber dari tenaga inti murni hanya-
lah guru iblis yang bermukim di Kayu Agung, mung-
kinkah orang ini pernah sampai di daerah itu" Batin
Tapak Dewa. Mengingat sampai ke situ, cepat-cepat
Tapak Dewa meraba denyut nadi Buang Sengketa. De-
nyut nadi itu memang masih ada, namun sudah terla-
lu lemah sekali.
"Uuh... pukulan beracun Iblis Menembus Maut
sudah menyatu dengan darahnya. Seandainya bocah
ini tidak memiliki hawa murni yang sangat sempurna,
paling tidak dia sudah menemui ajal saat ini." gumam-nya seorang diri.
"Aku merasa tak mungkin mampu menyem-
buhkan luka dalam yang teramat parah ini. Sungguh
malang sekali nasibmu bocah." batin Tapak Dewa.
Saat itu Wanti Sarati yang selalu mengkhawa-
tirkan keselamatan Pendekar Hina Kelana, nampak
tertatih-tatih datang menghampiri. Dengan harap-
harap cemas dia pun bertanya.
"Kakek... bagaimanakah keadaan paman ku...?"
Tapak Dewa menoleh, dia melihat mata si gadis
membersitkan kecemasan. Tetapi sebagai orang tua
yang berjiwa polos, dia tak ingin menutup-nutupi tentang keadaan Buang Sengketa.
"Maafkan aku, Nduk.... Kukira aku tak mampu
menyembuhkannya. Pukulan beracun Iblis Menembus
Maut di dunia ini tak ada obat pemunahnya. Hanya
kebesaran Sang Hyang Widilah yang mampu merubah
segala sesuatunya!" ucap Tapak Dewa dengan suara sangat lirih sekali.
Wanti Sarati nampak terpukul batinnya, sedih
dan putus asa berbaur menjadi satu. Tanpa dia sadari air matanya bergulir
menuruni kedua pipinya yang halus lembut.
"Kakek, tolong, lakukanlah sesuatu! Paman ku
harus sembuh, dia sering menderita dalam hidupnya
kek...! Kalau kakek mengenal jenis pukulan beracun
itu, mustahil kakek tak tahu obat pemunahnya...?"
Tapak Dewa geleng-gelengkan kepala, sebentar
wajahnya menunduk. Namun sekejap kemudian me-
mandang pada Buang Sengketa yang terbaring tiada
daya. "Guru iblis sendiri tak memiliki obat pemunah
pukulan beracun miliknya...!"
Kedua bola mata Wanti Sarati terbelalak lebar-
lebar. Seolah dia tak percaya dengan apa yang baru sa-ja didengarnya.
"Dari mana kakek tahu semua itu...?"
"Dulu pun aku sendiri sempat melihat, betapa
orang yang pernah terkena pukulan Iblis Menembus
Maut. Tak seorang pun ada yang dapat diselamatkan.
Bahkan ketika murid-murid si guru iblis terkena pu-
kulan itu. Manusia sesat itu pun tak pernah berhasil menyembuhkan muridnya....!"
kata Tapak Dewa.
6 Sesaat lamanya, Wanti Sarati nampak terdiam.
Semakin sedih saja hatinya. Namun sebagai seorang
gadis yang masih muda usia dan belum berpengala-
man banyak dalam dunia persilatan, dia tak tahu apa
yang akan dilakukan untuk selanjutnya.


Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian gadis itu beringsut mende-
kati Buang Sengketa. Lalu dipandanginya wajah pe-
muda itu lama-lama. Wajah semakin pucat bagaikan
kain kafan, sementara tubuhnya menjadi panas luar
biasa. Tapak Dewa yang mengetahui keadaan itu
nampak sangat terkejut sekali.
"Hemmm. Pemuda ini nampaknya memiliki ke-
kuatan lain di luar kemampuan manusia. Lihatlah,
badannya memberikan reaksi yang kuat terhadap ra-
cun yang nampak hampir menguasai pembuluh otak-
nya...!" kata Tapak Dewa. Dan mereka yang berada di situ menjadi lebih terkejut
lagi ketika mereka melihat
dari tubuh si pemuda timbul bintik-bintik kecil yang menyerupai sisik seekor
Ular Piton. Reaksi itu terus terjadi. Tanpa mereka sadari di luar ruangan bawah
tanah, mendung tebal nampak bergulung-gulung. Petir
dan halilintar saling sambung menyambung. Tak lama
kemudian setelahnya hujan hebat pun turun bagai ter-
curah dari langit. Suasana di luar ruangan bawah ta-
nah dalam pekuburan itu mendadak menjadi gelap gu-
lita. Bersamaan dengan turunnya hujan lebat dan ge-
legar petir yang seakan menggoncang seisi bumi. Pada saat itu pula seberkas
sinar pelangi bergerak cepat
menuju ke tengah-tengah pekuburan tersebut. Sinar
pelangi tersebut terus melesat bagaikan meteor. Semakin lama semakin nyata
ujudnya. Kalau sinar pelangi
itu benar-benar diperhatikan lebih jelas, maka akan
terlihatlah bahwa sebenarnya sinar yang bergerak cepat itu sesungguhnya
merupakan ujud dari seekor ular raksasa. Di atas kepala ular raksasa nampak pula
ber-tengger sebuah mahkota yang memancarkan cahaya
kuning keemasan. Selarik cahaya pelangi yang berujud seekor ular itu terus
melesat. Dalam waktu hanya sekedipan mata sinar pelangi itu telah pula sampai di
tengah-tengah pekuburan itu. Sekejap sinar itu pun
berputar-putar.
Sementara itu hujan dan guntur terdengar te-
rus berkepanjangan. Manakala kemudian terdengar
gelegar halilintar, pada saat itu pula cahaya pelangi tersebut menembus ruangan
bawah tanah. Kejadian yang tak pernah terduga-duga itu, be-
nar-benar membuat Wanti Sarati maupun Tapak Dewa
menjadi terkejut luar biasa. Terlebih-lebih Tapak Dewa yang masih merupakan
keturunan para siluman.
Nampaknya dia kenal betul dengan sinar pelangi yang
berujud seekor ular raksasa itu. Raja Ular Piton Utara
dari Negeri Bunian! Siapa yang tak kenal, sebab Piton Utara masih merupakan
junjungan yang sangat dihormati di negeri alam gaib dan juga di negerinya para
siluman. Cepat-cepat, Tapak Dewa menjatuhkan diri di
lantai ruangan, lalu Satria Penggali Kubur itu mengha-turkan sembah beberapa
kali. "Sinuhun yang mulia! Terimalah hormat hamba
yang papa ini...!" ujar Tapak Dewa dengan suara gemetaran. "Hmm. Sembahmu
kuterima wahai keturunan para siluman. Bangkitlah...!" kata Raja Ular Piton
Utara yang saat itu telah berdiri tegak dalam ujudnya sebagai seekor Ular Piton
yang tak terukur besarnya.
"Sinuhun yang mulia! Gerangan apakah yang
membuat Sinuhun berkenan datang di ruangan bawah
tanah tempat tinggal hamba ini...!" tanya Tapak Dewa dengan masih membungkuk
hormat. Raja Ular Piton Utara keluarkan bunyi mende-
sis yang sangat memekakkan gendang-gendang telin-
ga. Lalu terdengar pula suaranya yang serak dan berat.
"Tapak Dewa...! Bocah laki-laki yang kau tolong itu adalah titisan ku. Aku mau
kau merawatnya dengan baik...!" kata Raja Ular Piton Utara begitu berwibawa.
Tapak Dewa sungguhpun sangat terkejut luar
biasa, namun kembali membungkuk hormat.
"Sinuhun yang mulia. Hamba tidak memiliki
kemampuan apa-apa, luka gusti pangeran teramat pa-
rah. Berilah hamba petunjuk apa yang harus hamba
lakukan untuk menyelamatkan jiwa pangeran...!" kata Tapak Dewa dengan nada
serendah-rendahnya.
"Ssssss...!" Raja Piton Utara keluarkan bunyi mendesis, dari dalam mulutnya
keluar lidah api. Namun tak lama kemudian api yang keluar dari mulut ra-
ja dari negeri alam gaib yang bernama Bunian itu pun padam. Dari dalam mulutnya,
secara mengejutkan keluar pula sebuah puntungan golok pusaka. Puntungan
golok itu mengeluarkan sinar merah yang sangat te-
rang benderang.
Baik Wanti Sarati maupun Tapak Dewa, kedu-
anya memandang tiada berkedip.
"Tapak Dewa, kau ambillah puntungan golok
yang berada di dalam mulutku ini. Kemudian satukan-
lah dengan golok buntung yang terletak di bagian
pinggang putra ku. Setelah golok itu menyatu maka le-katkanlah di bagian
dadanya. Lakukanlah sekarang
juga...!" Tanpa membantah, dan dengan sikap hormat, Tapak Dewa segera melakukan
apa yang diperintahkan
oleh Raja Piton Utara. Setelah mengambil puntungan
golok yang berada di bibir mulut Raja Piton Utara. Ma-ka dengan sangat hati-hati
dia menghampiri Pendekar
Hina Kelana, yang kemudian diketahuinya sebagai pu-
tra raja dari negeri alam gaib. Tapak Dewa menyembah tiga kali sebelum mencabut
pusaka golok puntung
yang terselip di bagian pinggang Buang Sengketa.
Tak lama kemudian setelah puntungan golok
tersebut saling didekatkan. Maka terdengar pula bunyi menggeledek bagai memecah
langit-langit ruangan bawah tanah. Hawa dingin segera menyebar memenuhi
ruangan itu, sementara Tapak Dewa yang memegang
golok yang sudah saling menyatu itu merasakan panas
yang luar biasa. Golok yang sudah saling menyatu ini nampak sangat indah sekali.
Pada badan golok terdapat ukiran seekor Ular Piton bermahkota. Sekejap Sa-
tria Penggali Kubur memandang takjub pada pusaka
tersebut. Namun belum lagi hilang rasa kekaguman-
nya, mendadak terdengar perintah dari Raja Piton Uta-
ra. "Satria Penggali Kubur! Cepat-cepat engkau
tempelkan golok itu di dada putra ku...!"
"Perintah hamba laksanakan, Yang mulia...!"
Usai dengan ucapannya, Tapak Dewa segera
menempelkan golok itu tepat di dada Pendekar Hina
Kelana. Begitu senjata pusaka itu menempel di dada si pemuda, nampak jelas
tubuhnya tergetar hebat. Sinar
merah yang terpancar dari pusaka itu meredup. Racun
maut yang mengeram di tubuh Buang Sengketa nam-
pak tersedot mengikuti kekuatan dahsyat golok pusaka yang menghisapnya. Golok
itu sendiri lama kelamaan
berubah warnanya menjadi merah kehitam-hitaman.
Setelah racun yang mengeram di tubuh si pemuda be-
nar-benar telah tersedot habis. Maka bagian ujung golok yang menempel dengan
sendirinya itu segera terlepas dari tubuh si pemuda.
Tetapi betapa terkejutnya hati Tapak Dewa
maupun Wanti Sarati, karena tak lama kemudian go-
lok buntung yang sudah saling menyatu sesamanya
ini. Secara tak terduga nampak memisah kembali.
"Criing!"
Satria Penggali Kubur terpana, pada saat itu
Raja Piton Utara sudah berkata;
"Engkau tak perlu heran, titisan para siluman!
Golok Buntung memang masih belum waktunya untuk
menyatu. Ketahuilah, selama di atas dunia ini masih
dipenuhi dengan berbagai kejahatan. Maka selama itu
pula, golok buntung tidak akan pernah menyatu den-
gan puntungan yang berada bersamaku...!"
"Lalu bagaimanakah dengan luka dalam yang
diderita oleh gusti pangeran?" tanya Tapak Dewa.
"Tak perlu engkau risaukan, racun ganas yang
mengendap di dalam tubuhnya sudah hilang sama se-
kali. Cuma perlu waktu satu purnama untuk menyem-
buhkannya. Dan kuminta selama itu engkau benar-be-
nar harus mengawasinya...!"
"Kepercayaan yang mulia Sinuhun, bagi hamba
merupakan sebuah kehormatan yang benar-benar tia-
da disangka-sangka...!"
Tiada kata-kata yang terucap dari mulut Raja
Piton Utara, hanya terdengar bunyi mendesis disertai jilatan lidah api. Dalam
waktu yang bersamaan pula
dari sepasang mata Raja Piton Utara keluar seberkas
cahaya berwarna merah menyala.
Cahaya tersebut bergulung-gulung, tak lama
kemudian nampak menyerap ke segenap pori-pori
Buang Sengketa. Tanpa diketahui oleh siapa pun, ki-
ranya saat itu Piton Utara sedang menyalurkan tenaga saktinya kepada putra satu-
satunya yang sampai saat
itu masih belum sadarkan diri.
Tak sampai lima menit kemudian, Raja Piton
Utara hentikan gerakannya. Lalu dia kembali meman-
dang pada Tapak Dewa dan Wanti Sarati secara ber-
gantian. "Tapak Dewa! Kau kembalikanlah Pusaka Golok
Buntung pada anakku. Sedang-kan bagian yang lain
kau kembalikan pula padaku...!" perintah Raja Piton Utara. "Baik, Sinuhun...!"
kata Tapak Dewa. Sementara itu raja ular dari negeri alam gaib itu kini
memandang pada Wanti Sarati. Kemudian tanpa disangka-
sangka dia pun menyela:
"Engkau bocah baik, Bocah bagus. Aku tahu isi
hatimu terhadap putra ku! Tapi janganlah kau berha-
rap terlalu banyak padanya. Dia orang yang sangat di-butuhkan dalam membasmi
bibit penyakit dari per-
mukaan bumi ini. Dan engkau sendiri aku berharap
agar mau menjadi murid Tapak Dewa. Bukankah eng-
kau mau melakukannya Tapak Dewa..."!" tanya Raja Piton Utara sambil menerima
kembali sambungan golok yang diangsurkan oleh Satria Penggali Kubur.
"Dengan sangat senang hati, Yang mulia...!" jawab Tapak Dewa lalu bersujud
memberi hormat pada
Raja Piton Utara. Tak ketinggalan Wanti Sarati pun
melakukan hal yang sama.
Sementara itu di luar ruangan dalam tanah,
hujan lebat masih turun tiada henti-hentinya. Sesekali terdengar pula gelegar
bunyi petir. Saat itu sinar pelangi yang menjadi ujud Raja Piton Utara berputar-
putar mengitari ruangan itu. Gelegar halilintar kembali terdengar. Sinar pelangi
yang berujud seekor ular raksasa itu semakin terang benderang.
"Keturunan para siluman...! Ku sudahi perte-
muan ini sampai di sini. Aku akan kembali ke perta-
paanku...!"
Bersamaan dengan ucapannya itu, sinar pelan-
gi yang merupakan ujud dari Piton Utara lenyap dari
pandangan mereka. Angin ribut kembali menggila me-
nyertai kepergian Raja Piton Utara.
Keanehan pun kembali terjadi, hujan lebat yang
turun sejak tadi nampak reda kembali. Tiada terdengar suara petir, tiada kilat.
Langit terang resik tiada bera-wan. Sementara itu di dalam ruangan bawah tanah,
Wanti Sarati dan Tapak Dewa nampak mendekati
Buang Sengketa. Bintik-bintik kecil yang tadinya me-
nyerupai sisik seekor ular sekarang sudah tiada terlihat lagi. Namun sejauh itu
Pendekar Hina Kelana be-
lum juga sadarkan diri.
"Kakek Tapak Dewa! Benarkah yang datang tadi
benar-benar merupakan ayah kandung Paman Kela-
na?" "Benar...! Dan aku pun baru tahu, kalau pemuda ini sesungguhnya merupakan
pangeran dari ne-
geri kami!" Tapak Dewa menyahuti.
"Jadi kakek pun benar keturunan seorang si-
luman?" tanya Wanti Sarati, terheran-heran.
"Ya... sebab ibuku juga berasal dari alam
gaib...!" "Benarkah...?"
"Begitulah menurut keterangan ayahku, sebe-
lum meninggal dulu. Dan secara tidak langsung, pe-
muda ini sesungguhnya merupakan pangeran yang di
Negeri Bunian sangat dihormati oleh rakyatnya...!"
Gajahmada 4 Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Pendekar Guntur 24
^