Pencarian

Sepasang Iblis Bermata Dewa 3

Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa Bagian 3


sendiri. Namun betapa pun hebatnya serangan gencar yang dia lakukan sejauh itu
Wanti Sarati nampak tenang-tenang saja.
Maju bareng bertiga, si muka tikus tidak dapat
berbuat banyak. Apalagi kini hanya sendirian. Tanpa
membuang-buang waktu lagi si gadis kembali lecutkan se-
lendangnya. Begitu selendang maut meliuk-liuk ke arah si muka tikus, dia cepat-
cepat pukulkan toyanya. Tak pelak lagi, selendang dan toya itu pun bertemu.
Tetapi sungguh pun lecutan selendang itu dapat dipatahkan oleh toya lawannya. Di
luar dugaan Selendang Merah itu melibat toya tersebut. Tarik menarik pun segera
menjadi. Dengan sepe-nuh tenaga, si muka tikus berusaha mempertahankan
senjatanya. Tetapi kiranya tenaga dalam di muka tikus ter-taut jauh di bawah
tenaga dalam milik Wanti Sarati.
"Breeet!"
Toya di tangan laki-laki muka tikus terenggut. Ka-
lau saja laki-laki itu tidak cepat-cepat melepaskan ceka-lannya. Sudah barang
pasti tubuhnya pun akan terbetot.
Wanti Sarati tergelak-gelak, tangan kirinya menimang-
nimang toya lawan yang kini telah berada dalam gengga-
mannya. "Hemmm! Toya butut begini apa bagusnya" ku-
kembalikan saja pada pemiliknya!" Berkata begitu, Wanti Sarati langsung
menyambitkan toya tersebut kearah laki-laki muka tikus. Sisa tiga begal itu
terkejut sekali, karena toya yang disambitkan oleh lawannya meluncur sedemikian
cepat kepadanya. Buru-buru dia mengelak, begitupun sambaran angin dari luncuran
senjata itu membuat pakaiannya berkibar-kibar.
"Wuuusss!"
Serangan selendang lawan menyusul luncuran toya
yang dapat dielakkan oleh lawannya. Si muka tikus men-
jadi gugup mendapat serangan yang beruntun itu. Dia
langsung membuang tubuhnya, lalu berguling-guling me-
nabrak apa saja yang ada di ruangan itu.
Namun selendang di tangan Wanti Sarati terus
mengejarnya. Agaknya laki-laki itu mulai putus asa. Secepatnya dia bangkit,
tetapi malang tak bisa ditolak. Selendang maut itu menghantam keras pada bagian
lehernya. "Argggkh...!" Hanya suara itu yang terdengar, leher laki-laki muka tikus terobek
sampai ke bagian pangkalnya.
Bagai mata air darah memancar mengikuti irama dengan
denyut jantung. Nanar pandangan mata laki-laki itu. Pandangan matanya semakin
lama semakin meredup. Tubuh
laki-laki itu kemudian berputar-putar, lalu limbung karena kehilangan
keseimbangan. Tak lama setelahnya, dia pun
terbanting roboh. Pakaiannya berubah memerah karena
dibasahi darah. Hanya sesaat saja setelah itu, tubuhnya pun tiada bergerak-gerak
lagi. Dengan tewasnya si tiga begal, maka Wanti Sarati
kembali melilitkan selendang miliknya. Nampak Mambang
Sadewa memuji-muji dirinya dengan penuh kekaguman.
Kemudian tanpa sadar dia pun bergumam seolah pada di-
rinya sendiri. "Hebat. Jurus-jurus silat aneh bahkan belum per-
nah kukenal, selendang bagus, Selendang Merah, yang ki-
ranya merupakan senjata ampuh. Aha... gadis... cah ayu!
Siapakah gurumu...?" tanya Mambang Sadewa.
Yang ditanya nampak tersipu malu, wajahnya me-
rona merah. Kemudian setelah kembali duduk di sisi
Mambang Sadewa, setelah dia memandangi seisi warung
yang sudah berantakan. Maka dengan suara merendah dia
berucap; "Kakek terlalu berlebihan, aku tidak ada apa-
apanya bila dibandingkan dengan kakek, apalagi dengan
Paman Kelana....!" ucapnya pelan.
"Ah.... ah...! Cah bagus. Selain kepandaianmu ting-gi, kiranya sifatmu sangat
jujur dan mulia. Sungguh be-
runtung sekali orang yang dapat memperistrimu. Di jaman ini sangat jarang sekali
gadis yang memiliki keluhuran bu-di sepertimu...!" kata Mambang Sadewa polos.
Maka semakin bertambah memerah saja wajah
Wanti Sarati dibuatnya. Sungguh pun dia seorang gadis
yang selalu bicara apa adanya. Namun sebagaimana gadis-
gadis pada umumnya berbicara mengenai masalah yang
sangat pribadi sifatnya sudah barang tentu membuatnya
jadi salah tingkah.
"Kakek, janganlah kakek memujiku setinggi langit.
Nanti cucumu ini bisa besar kepala...!"
Mambang Sadewa tergelak-gelak. Apalagi Wanti Sa-
rati berkata dengan penuh keakraban. Keakraban seorang
cucu dengan kakeknya. Sungguh pun jelas bahwa Wanti
Sarati memang bukan cucunya. Tetapi disebut-sebut se-
perti itu, dia merasa sangat terharu di samping bahagia sekali. Tanpa sadar dia
menitikkan air mata, lalu dengan lembut dielusnya kepala Wanti Sarati,
sebagaimana layaknya membelai seorang cucu sendiri.
"Wanti! Puji syukur karena sang Dewata, hampir di
akhir hayatku telah berkenan mempertemukanku den-
ganmu seorang gadis yang lembut. Semua itu telah meng-
hapuskan kebencianku pada kaum perempuan di atas du-
nia ini. Engkau gadis yang sangat baik, hatimu lembut.
Andai nanti aku masih sempat bertemu dengan Pendekar
Hina Kelana. Akan kukatakan padanya bahwa sesungguh-
nya dia pantas menyayangimu, sebagaimana rasa sayang-
mu kepadanya...!" aku Mambang Sadewa dengan kata ber-kaca-kaca.
"Kakek...." Wanti Sarati tersentak.
"Jangan bantah ucapanku Wanti, aku berkata se-
sungguhnya. Aku yang sudah tua bangka ini sayang dan
kasihan padamu. Seandainya pun aku mati, aku. tak ingin melihatmu hidup penuh
bergelimang kesedihan. Mungkin
gadis semacamulah yang telah ditakdirkan oleh Sang
Hyang Widi untuk mendampingi pendekar yang dalam hi-
dupnya selalu dalam penderitaan itu." desah Mambang Sadewa.
"Apakah dia pernah mengatakannya padamu...?"
Mambang Sadewa gelengkan kepalanya berulang-
ulang. "Tidak! Tetapi aku dapat melihat dari sorot ma-
tanya...!"
"Ah, sudahlah. Kakek jangan bicarakan dia te-
rus...!" kata Wanti Sarati menjadi jengah. Laki-laki bertangan buntung itu
tersenyum tipis.
"Wanti. Engkau tak bisa memungkiri hatimu. Aku
melihat, matamu selalu memendam rindu padanya."
Wajah Wanti Sarati kian tertunduk, kelopak ma-
tanya merembang merah. Mambang Sadewa jadi iba kare-
nanya. Kemudian sekali , lagi dibelainya kepala gadis berkulit kuning langsat
itu. Seraya berucap;
"Sudahlah, jangan pula engkau turut larut dalam
kesedihan. Mari kita tinggalkan tempat ini!" kata Mambang Sadewa.
"Kita hendak ke mana kek...?" tanya Wanti bagai orang linglung. Sambil bergerak
melangkah, Mambang Sadewa nyeletuk.
"Ke mana lagi! Kayu Agung tujuan kita. Semoga
pendekar yang selalu kau rindukan itu sudah pula berada di sana."
Wanti Sarati hanya diam saja, entah apa yang dipi-
kirkannya. Namun kedua kakinya terus melangkah mengi-
ringi langkah Mambang Sadewa. Semakin lama kedua
orang itu pun telah jauh meninggalkan Tanjung Lubuk.
* * * 10 Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
dengan mempergunakan Ajian Sepi Angin. Tubuh Pende-
kar Hina Kelana berkelebat cepat, di antara hutan bakau yang tumbuh subur di
daerah Kayu Agung.
Dalam waktu yang singkat dia sudah sampai di
tengah-tengah hutan tersebut. Sesaat kemudian pemuda
itu menghentikan langkahnya ketika penciumannya mem-
baui hawa tak sedap, di sekitar tempat itu. Kemudian ketika dia melangkahkan
kakinya beberapa tindak ke depan-
nya. Maka terlihatlah beberapa sosok mayat laki-laki yang sudah membusuk. Buang
Sengketa kernyitkan alisnya.
Menurut perhitungannya, tentu mayat-mayat itu sudah
menggeletak di situ lebih kurang tujuh hari yang lalu. Pemuda ini mengitarkan
pandangannya. Tak ada sesuatu
pun yang mencurigakan di sana. Hanya ribuan lalat-lalat hijau saja yang
beterbangan silih berganti. Nampak dari badan yang telah membusuk itu ribuan
belatung sebesar
jari kelingking. Ulat-ulat itu melentik menggeliat tumpang tindih di antara
sesama kawannya. Buang Sengketa cepat-cepat palingkan muka. Perutnya terasa mual
dan ingin muntah. Kemudian pemuda dari Negeri Bunian itu pun
segera meninggalkan tempat itu.
Mungkin orang-orang itu merupakan korban Pri
Kumala Hijau! Batinnya merasa sangat geram sekali.
Kini dia kembali mengerahkan Ajian Sepi Angin,
sekejap saja tubuhnya berkelebat laksana terbang. Lewat sepeminum teh sampailah
pemuda itu dekat sebuah rumah bertonggak yang sangat besar sekali. Buang
Sengketa mulai meneliti keadaan sekitar. Beberapa orang perempuan yang masih
sangat muda, nampak hilir mudik menu-
runi anak tangga dari rumah panggung tersebut. Perem-
puan-perempuan berwajah cantik-cantik itu nampak ber-
pakaian sangat menyolok sekali. Dada mereka yang padat
berisi nampak' terbuka begitu saja tanpa selembar kain
penutup pun. Sedangkan di bagian pusar hanya mengena-
kan sebuah cawat ala kadarnya. Wajah Pendekar Hina Ke-
lana berubah memerah. Cepat-cepat. dia palingkan muka
sambil menunggu perkembangan selanjutnya.
Dalam pada itu sempat terlintas dalam pikiran pe-
muda ini. Mungkin sesuatu telah terjadi pada perempuan-
perempuan itu. Cara mereka berpandangan, sorot mata
mereka nampak kosong, bahkan mereka seperti tak ber-
malu berjalan begitu saja dengan keadaannya yang seten-
gah telanjang. Mungkin kali ini dia sudah sampai di tempat yang dituju. Batin
pemuda itu. Ketika Buang Sengketa sedang berpikir-pikir ten-
tang perempuan-perempuan itu, tiba-tiba dari dalam ru-
mah tersebut muncul seorang laki-laki gemuk yang juga
hanya bercawat di depan pintu. Sesaat laki-laki itu nampak memandang ke arah
jurusan lain. Tetapi anehnya se-
saat setelah itu dia pun membentak;
"Manusia gembel yang bersembunyi di balik po-
hon... Cepat-cepat tunjukkan diri!" tukasnya dengan nada tidak senang. Pendekar
Hina Kelana garuk-garuk kepalanya. Sialan! Agaknya si muka sadis inilah yang
dimaksud oleh Mambang Sadewa. Makinya pula.
Bagaikan orang tolol dia menyeruak diantara tim-
bunan daun bakau. Diatas tanah becek dan berbau tak
sedap itu dia mengayunkan langkahnya. Laki-laki berca-
wat yang tak lain Guru Iblis adanya, nampaknya tak be-
ranjak dari depan pintu tersebut.
Dengan suara serak serasa bagai menghentikan
denyut darah. Laki-laki bercawat itu kemudian menyam-
bung kembali! "Gembel berperiuk. Sungguh berani mati kau me-
masuki Kayu Agung, agaknya kau tak mengerti. Bahwa
siapa pun yang telah begitu berani memasuki wilayah ke-
kuasaanku ini. Tidak pernah keluar dalam keadaan hi-
dup?" Buang Sengketa terkesiap, dia bukan merasa gen-
tar dengan bentakan yang bernada mengancam itu. Tetapi
adalah karena dalam suara pelan yang mengandung tena-
ga dalam tersebut, Buang Sengketa merasakan sekujur
tubuhnya bergetar hebat. Jantungnya serasa berhenti berdenyut. Pendekar ini
menyadari bahwa laki-laki itu se-
sungguhnya sedang menyerang dirinya melalui suara ter-
sebut, cepat-cepat pemuda itu mengerahkan kekuatan ba-
tinnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan susulan.
Tetapi kiranya serangan melalui suara itu hanya terhenti sampai di situ saja.
Maka sesaat kemudian Buang Sengketa segera menyela;
"Laki-laki bercawat. Hutan bukan milik nenek
moyangmu, siapa pun punya hak untuk memasuki hutan
ini...!" Tanpa merasa tersinggung, Guru Iblis itu meman-
dang pada si pemuda untuk sesaat lamanya. Buang Seng-
keta lebih terkejut lagi, manakala selintasan dia melihat bahwa sepasang mata
laki-laki-bercawat itu memancarkan
sinar aneh. Mata itu memang merah sebagaimana mata
Mambang Sadewa. Tetapi mata laki-laki bercawat itu nam-
pak menyebarkan kekejian dan hawa pembunuhan yang
terpendam. "Bocah besar sekali nyalimu. Padahal sekali saja
engkau menampak di depan hidungku, Setan Joma takkan
pernah membiarkanmu hidup walau hanya sesaat Saja."
kata Guru Iblis dengan suara serak namun berwibawa.
Sungguh pun kemampuan laki-laki bercawat itu
sangat sulit untuk diduga. Namun, begitu mendengar pen-
gakuannya Pendekar Hina Kelana nampak senang sekali.
Tetapi dalam kegembiraan itu, hatinya masih diliputi tan-da tanya. Sebab dia
tidak melihat adanya Pri Kumala Hijau bersama dengan laki-laki itu.
"Hemmm, kiranya engkaulah kunyuk yang telah
bikin onar di mana-mana, muridmu yang durhaka itu kau
suruh menculik anak gadis orang. Kau perkosa mereka,
kau buat pula mereka menjadi dungu. Kau tak lebih dari
seekor binatang yang paling menjijikkan...!" maki Buang Sengketa tanpa merasa
sungkan-sungkan lagi.
Guru Iblis nampak tenang-tenang saja, walaupun
sesungguhnya hati dan pikirannya dipenuhi dengan rasa
geram luar biasa. Lalu dengan sepasang matanya yang
mencorong, kembali dipandanginya Buang Sengketa. Se-
saat setelahnya dia pun telah melompat dari atas rumah
bertonggak itu.
Sekejap kemudian dia sudah berdiri tiga tombak di
hadapan Pendekar Hina Kelana. Dari gerakannya, dan ca-
ra dia menginjakkan kakinya diatas tanah becek itu.
Buang Sengketa menyadari bahwa laki-laki itu memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.
"Kreeek... kreeek.... kreeeek...!"
Laki-laki Guru Iblis tergelak-gelak..
"Semuanya tidak ku pungkiri bocah. Kalau pun
memang benar kau bisa apa" Tak seorang pun di kolong
langit ini yang mampu bertahan hidup menghadapi puku-
lan-pukulan maut si Guru Iblis...!"
"Kejahatan, bagaimana pun hebatnya tak akan
pernah dapat bertahan lama. Sungguh pun hari ini aku
tak menang menghadapimu. Tetapi kebenaran selalu da-


Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pat mengalahkannya!" kata pemuda itu pasti.
"Kentut busuk! Aku muak melihat bualanmu...!"
berkata begitu Guru Iblis mulai mengawali serangannya.
Pendekar Hina Kelana menyadari betapa berba-
hayanya serangan-serangan yang dilancarkan oleh laki-
laki bercawat, Dia pun sudah memutuskan untuk tidak
mengambil resiko yang ada akhirnya dapat membahaya-
kan keselamatan jiwanya. Maka tak ayal lagi begitu tu-
buhnya bergerak untuk menghindari terjangan tangan
Guru Iblis yang sudah berubah membiru. Untuk selanjut-
nya dia segera pergunakan jurus si Gila Mengamuk yaitu
jurus di atas tingkatan Membendung Gelombang Menimba
Samudra yang dia miliki. Maka bertempurlah tokoh golon-
gan hitam tingkat tinggi ini dengan Pendekar Hina Kelana.
Sekejap saja halaman berlumpur itu sudah berubah men-
jadi arena pertarungan yang sangat mendebarkan.
Sedapat mungkin Buang Sengketa menghindari
bentrokan dengan tangan lawannya. Dia menyadari bahwa
sungguh pun tubuhnya kebal terhadap serangan berbagai
jenis pukulan beracun. Namun pukulan beracun yang di-
miliki oleh Guru Iblis itu nampaknya lain dari yang lain.
Pukulan-beracun milik Guru Iblis nyata-nyata bersumber
dari inti tenaga murni yang bukan tak mustahil di dalamnya mengandung unsur-
unsur mistik pula.
Serangan gencar yang dilancarkan si Guru Iblis
menderu bahkan manakala jemari tangan itu berkelebat di bagian samping tubuh si
pemuda. Dia merasakan ada ha-wa aneh yang turut, menyertainya. Bau tak sedap
mulai menebar disekitar tempat itu. Dada Buang Sengketa berdenyut-denyut sakit. Tetapi
jurus si Gila Mengamuk bu-
kanlah jurus silat sembarangan. Sungguh pun saat itu
Guru Iblis telah kerahkan jurus Tangan Kematian, namun
dengan jurus silat si Gila Mengamuk, Buang Sengketa ma-
sih dapat menghindar sergapan-sergapan tangan beracun
tersebut. Setelah pertarungan mencapai lima belas jurus. Se-
saat ketika jurus si Gila Mengamuk sudah mencapai ting-
katan kesepuluh, maka tubuh Buang Sengketa nampak
meliuk-liuk bagai orang yang kurang waras. Sepasang ka-
kinya bergerak cepat mencecar ke arah pertahanan bagian bawah lawannya.
Sementara itu kedua tangannya dengan
gerakan-gerakan yang tiada beraturan. Menderu dan beru-
saha mematahkan serangan-serangan gencar lawannya.
Menghadapi kenyataan seperti itu sadarlah Guru
Iblis bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang lawan
yang sangat tangguh.
Secara cepat tubuhnya meletik ke udara, bersa-
maan dengan itu terdengar pula satu lengkingan yang
sangat tinggi. Semua itu membuat tubuh Buang Sengketa
tergetar hebat. Anehnya lagi gerakan-gerakan silatnya secara total menjadi kacau
tak menentu. Dia tahu bahwa
saat itu Guru Iblis sedang mengerahkan kekuatan mistik-
nya untuk menghancurkan pertahanan lawan. Maka sam-
bil menekan dadanya yang berdenyut sakit. Tak lama setelahnya dia pun
mengeluarkan jeritan serupa. Tak ayal pa-da saat itu dia telah mengerahkan ilmu
lengkingan Pe- menggal Roh yang sangat ampuh itu.
"Haiiikkkk!"
Jeritan yang serasa merobek gendang-gendang te-
linga itu, membuat Guru Iblis nampak terkesima untuk
beberapa saat lamanya. Sementara dari dalam rumah be-
sar itu terdengar lolongan menjelang ajal dari mulut gadis-gadis yang tiada
berdosa itu. Nampaknya mereka tak kuat
menahan getaran yang sangat hebat dari lengkingan ilmu
Pemenggal Roh yang telah dilancarkan Buang Sengketa
untuk menyerang musuhnya.
Perempuan-perempuan malang itu pun menggele-
par meregang ajal, darah kental meleleh dari hidung dan kuping mereka. Sungguh
pun Guru Iblis tidak melihat
keadaan didalam rumahnya tetapi agaknya dia tahu bah-
wa semua orang-orang yang berada di dalam rumah itu te-
lah binasa semuanya. Sambil melompat mundur dia pun
berseru dengan kemarahan yang tiada terperikan.
"Bangsat! Engkau telah membunuh gadis-gadis
yang tiada berdosa. Engkau harus membayar dengan nya-
wamu...!" Buang Sengketa meludah ke tanah.
"Puiiih! Mereka hanyalah perempuan-perempuan
sisa, hidup pun malah lebih menyakitkan bagi mereka.
Seharusnya engkaulah yang harus bertanggung jawab atas
semua yang terjadi di sini...!"
"Bangsat! Kau harus cepat-cepat mampus!"
"Heeaaaa...!"
Dengan merubah jurus-jurus silatnya, Guru Iblis
kembali menerjang. Kali ini gerakannya semakin bertam-
bah sebat, setiap serangan yang dilancarkan selalu tim-
bulkan angin kencang hingga membuat hutan bakau di
sekitarnya seperti dilanda badai topan. Menyadari lawannya mempergunakan jurus
Iblis Perenggut Sukma, maka
Buang Sengketa bermaksud merubah jurus silatnya. Na-
mun sebelum niat itu kesampaian dia merasakan ada an-
gin pukulan menyambar bagian bahunya. Cepat-cepat dia
berkelit. Tetapi begitu pun pukulan Iblis Perenggut Sukma
masih juga menyerempet bagian itu. Tubuh Pendekar Hina
Kelana terpental dan tergulung-gulung di atas tanah berlumpur. Bahkan tanpa
henti tubuhnya terus menabrak
pohon-pohon kecil yang berada di dekatnya. Tubuh si pe-
muda baru terhenti manakala menabrak sebatang pohon
yang lumayan besarnya. Dia mengeluh, tubuhnya serasa
remuk, dari sela-sela bibirnya mulai meneteskan darah.
Cepat-cepat dia himpun tenaga dalamnya. Begitu rasa se-
sak berkurang. Pemuda itu pun segera berdiri, tetapi dilihatnya Guru Iblis masih
tetap berdiri tegak di tempatnya.
Di luar dugaan si pemuda, laki-laki bercawat itu menyela:
"Sungguh pun aku manusia sesat. Aku paling pan-
tang membunuh lawan yang belum siapa pada posisinya
Sekarang bersiap-siaplah engkau untuk kubunuh...!"
"Haiiiiit!"
Lagi-lagi Guru Iblis telah meluruknya, satu samba-
ran angin yang terasa sejuk namun menyimpan hawa
maut kembali menyambar ke arah si pemuda. Dia cepat-
cepat mengelak. Sesaat setelahnya dia pun telah memper-
gunakan jurus Si Jadah Terbuang.
Pendekar Hina Kelana yang tadinya terdesak hebat,
setelah merubah jurus silatnya nampak mulai dapat men-
gimbangi permainan silat lawannya. Pertarungan kembali menjadi seru. Masing-
masing lawan nampak berusaha saling gempur dengan kemampuan yang dimilikinya.
Semen- tara itu tangan Guru Iblis dari warna biru kini telah berubah menjadi merah
bagaikan bara. Isyarat maut menyebar
dari kedua tangan yang mengandung racun yang sangat
ganas. Buang Sengketa menyadari bahwa serangan-
serangan gencar yang dilakukan oleh lawannya semakin
lama semakin berbahaya. Bahunya yang tadi hanya ter-
sambar cakaran tangan Guru Iblis saja masih berdenyut
sakit. Tepat seperti dugaannya, bahwa pukulan itu ber-
sumber dari inti tenaga murni. Mustahil Buang Sengketa
dapat menawarkan racun itu.
*** 11 Baginya kalau ingin selamat, hanya ada satu jalan.
Yaitu dengan jalan menempur Guru Iblis dengan pukulan-
pukulan jarak jauh.
Itu sebabnya sesaat kemudian ketika laki-laki ber-
cawat itu mencoba memancingnya dalam pertarungan ja-
rak dekat, dia sedapat-dapatnya menghindar. Tubuhnya
berjumpalitan menjauh. Setelah kini mereka benar-benar
memiliki jarak yang dirasa telah cukup. Maka sesaat setelah itu, Pendekar Hina
Kelana segera mengerahkan tenaga saktinya ke arah kedua tangannya. Setelah
tenaga sakti itu terpusat di sana, sekejap kemudian dengan disertai sa-tu teriakan
menggelegar tubuh Pendekar Hina Kelana ber-
kelebat cepat. Dalam kesempatan itu, tak ayal lagi pukulan si Hina Kelana Merana
pun dia lepaskan. Dalam uru-
tan pukulan sakti, pukulan si Hina Kelana Merana ini merupakan pukulan tertinggi
dan bahkan kekuatannya di
atas pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dia miliki. Ki-
ni pukulan yang dilepas oleh pemuda itu menderu bagai
kilatan cahaya petir dan berwarna merah menyala. Sinar
itu melesat sedemikian cepatnya, hingga dalam waktu se-
kedipan mata cahaya yang menimbulkan suara laksana
badai topan prahara itu satu tombak berada di depan hi-
dung Guru Iblis. Laki-laki bercawat itu mengeluarkan seruan kaget manakala
merasakan adanya sambaran panas
yang hampir melanda tubuhnya. Pada saat-saat yang kritis itu, dengan
mempergunakan pukulan Iblis Menempur
Maut, serangkum sinar melesat pula dari jemarinya yang
kini telah berubah menjadi menghitam.
"Wuuuus!"
Serangkum sinar maut yang berhawa dingin luar
biasa dan menebarkan bau busuk beracun juga tak kalah
cepatnya menderu memapaki datangnya pukulan si Hina
Kelana Merana. Satu keadaan yang benar-benar sangat
sulit untuk dihindari, dua pukulan sakti yang berprabawa saling bertolak
belakang itu akhirnya bertubrukan di udara.
"Buuum!"
Pertemuan dua tenaga sakti itu membuat bumi
seakan runtuh, lumpur di atas tanah becek itu memuncrat ke udara. Sementara
rumah panggung yang berukuran
sangat besar itu pun ambruk begitu menerima getaran dan goncangan yang sangat
dahsyat, Masing-masing lawan terlempar tubuhnya hingga puluhan tombak. Keadaan
di se- kitarnya menjadi berkabut, dengan kepulan-kepulan asap
tebal menyelimutinya. Sesaat baik Buang Sengketa mau-
pun Guru Iblis nampak roboh, diam, tak berkutik di tem-
patnya masing-masing.
Mereka tak pernah menyadari bagaimana rasanya
ketika pukulan sakti yang mereka lepaskan saling berben-turan. Dalam ketidak
sadarannya, dari mulut masing-
masing lawan telah memuntahkan darah kental berwarna
hitam pekat. Darah yang membeku itu bergumpal-gumpal.
Nyatalah kalau kedua orang itu sudah terluka dalam den-
gan keadaan cukup parah.
Secara perlahan namun pasti, beberapa saat beri-
kutnya tubuh Pendekar Hina Kelana nampak bergerak,
menggeliat, kemudian merintih-rintih. Begitu dia, tersadar dilihatnya sekitar
pertarungan nampak porak poranda,
Buang merasakan dadanya bagai remuk, badannya,, san-
gat dingin luar biasa, Maka dengan sangat dipaksakan dia berusaha bangkit dari
tanah berlumpur itu, secara perlahan dia mulai menghimpun hawa murninya. Tetapi
begitu rasa hangat yang berpusat dari pusarnya itu mulai menjalar ke bagian-bagian yang
terluka mendadak hawa dingin
sebagai akibat pukulan Iblis Menempur Maut menyerang
hawa panas yang berpusat dari perutnya. Hal ini benar-
benar sangat menyiksa bagi si pemuda, kegagalan untuk
memulihkan keadaan tubuhnya yang terluka, ini menan-
dakan bahwa dirinya benar-benar terserang pukulan be-
racun. Celakalah aku kali ini kalau racun itu tak mampu kusembuhkan sendiri!
Batin pemuda itu.
Pada saat yang sama keanehan pun segera terjadi
pada diri Guru Iblis. Secara perlahan tubuhnya yang tadi nampak terdiam tiada
bergerak-gerak, sampai pada akhirnya seperti tak pernah terjadi sesuatu
dengannya, dia pun terduduk.
Sungguh pun wajahnya pucat pasi, tetapi seperti
tidak pernah terjadi sesuatu dengannya dia segera bangkit.
Begitu dia memandang pada Pendekar Hina Kelana, ma-
tanya yang merah saga, itu, memancarkan sinar yang san-
gat aneh dan menyilaukan mata pendekar ini. Dia tahu sesungguhnya itulah
kekuatan terakhir yang dimiliki oleh
Guru Iblis. Maka tak ayal lagi pendekar ini membuang
pandangannya jauh-jauh.
Guru Iblis atau yang lebih dikenal dengan sebagai
Iblis Joma nampak tergelak-gelak. Setelah menghentikan
tawanya, maka tanpa malu-malu lagi dia berkata;
"Bocah, di antara sekian banyak musuh-musuhku,
kuakui engkaulah lawan satu-satunya yang paling tang-
guh. Tetapi jangan kira aku tak tahu, bahwa sesungguh-
nya kita sama-sama terluka. Di tubuhmu kini mengendap
racun yang secara perlahan dapat membunuhmu, sung-
guh pun itu kematian bagimu tinggal hanya menunggu sa-
tu purnama di depan!"
Buang Sengketa hanya terdiam begitu mendengar
ucapan si Guru Iblis. Dia memang tidak bisa menyangkal
apa yang dikatakan oleh laki-laki bercawat ini. Tetapi
sungguh pun dia terluka dalam cukup parah namun dia
sudah bertekad untuk membinasakan gurunya Pri Kumala
Hijau itu. "Guru segala dari raja manusia sesat. Kalaupun
nantinya aku mati, aku sudah merasa puas bila aku telah memenggal kepalamu...!"
kata Buang Sengketa dengan suara parau.
"Krek.... krek.... kreeek...!" Guru Iblis tergelak-gelak lagi. "Bocah, suaramu
yang parau itu menandakan bahwa
pukulan Iblis Menempur Maut yang telah mengendap di-
tubuhmu sudah bekerja dengan baik. Bocah gembel,
sungguh pun engkau mampu mengalahkan aku, tetapi apa
bedanya" Sebab engkau pun segera menyusulku sebulan
di depan. Kau tahanlah sinar mataku ini. Seandainya na-
sibmu baik". engkau masih dapat melihat dunia ini sam-
pai satu purnama di depan...!" teriak si Guru Iblis.
Begitu laki-laki bercawat itu telah bersiap-siap den-
gan pukulan pamungkas melalui sinar matanya. Maka
Buang Sengketa segera meraba Cambuk Gelap Sayuto dan
Pusaka Golok Buntung yang berada di pinggangnya. Tera-
sa ada hawa hangat yang mengaliri tangannya, manakala
tangannya meraba gagang Golok Buntung, hawa hangat
tersebut terus mengalir ke bagian dadanya. Sedikit demi sedikit rongga dadanya
yang serasa remuk itu pun mulai
berkurang. Walau memang tidak bisa dikatakan hilang


Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama sekali. Pada saat itu Guru Iblis sudah mulai menyerang-
nya kembali. Dari sepasang matanya yang merah membara
melesat selarik sinar merah menyilaukan. Sinar maut yang telah memakan banyak
korban itu meluruk ke arah lawannya. Dan pada waktu yang sama pula, nampak sinar
merah memancar dari golok yang berada dalam gengga-
man si pemuda. Wajah pemuda itu nampak menegang, sepasang
matanya mengisyaratkan hawa membunuh yang meledak-
ledak. Sementara dari kedua bibirnya keluarkan bunyi
mendesis bagai kan suara ular piton yang sedang marah.
Tetapi agaknya masing-masing lawan sudah sama-sama
tidak perduli dengan perubahan-perubahan yang terjadi,
sementara sinar maut yang keluar dari mata Guru Iblis telah sampai pada
lawannya. Buang Sengketa kiblatkan go-
loknya untuk memapaki datangnya sinar maut tersebut.
"Wuuut! Praaang!"
Kembali terdengar suara bergemuruh manakala si-
nar merah itu melabrak pusaka Golok Buntung yang bera-
da dalam genggaman pendekar itu. Tubuh Guru Iblis ter-
guling-guling, namun cepat bangkit kembali. Wajahnya
semakin memucat bagai kain kafan. Tersiraplah darah la-
ki-laki bercawat ini, dia merasakan hawa yang sangat dingin mulai menyelimuti
alam sekitarnya. Merasa penasaran, lagi-lagi dia kirimkan sinar maut dengan
kekuatan berlipat ganda. Tetapi kali ini Cambuk Gelap Sayutolah yang datang
menyambut dan memecut.
"Ctarrr ctarrr...! Blaaammm...!"
Sinar maut yang sudah melesat itu berantakan di
udara diterpa lecutan cambuk Gelap Sayuto.
Suasana pun kemudian berubah, langit yang terang
resik tiada berawan, mendadak menjadi gelap gulita. Se-
mentara bunyi petir saling sambung menyambung. Kea-
daan tak ubahnya bagai malam hari. Kejadian ini sudah
barang tentu membuat Guru Iblis jadi kaget luar biasa.
Dalam kegelapan itu hanya kilatan sinar merah
yang terpancar dari Pusaka Golok Buntung saja yang terlihat. Guru Iblis kerjab-
kerjabkan matanya.
Tetapi belum lagi hilang keterkejutan di hati laki-
laki ini, tubuh Pendekar Hina Kelana sudah berkelebat.
Golok di tangannya menderu dan keluarkan suara bagai
sejuta geledek. Golok itu terus menyambar-nyambar ke segala penjuru. Kemarahan
yang melanda diri pendekar ke-
turunan seekor raja ular itu menyebabkan segalanya men-
jadi berlalu begitu cepat. Cambuk Gelap Sayuto terus dia lecutkan. Suasana
semakin bertambah gelap saja.
Sedapatnya Guru Iblis. berusaha menghindari ser-
gapan-sergapan golok si pemuda Namun dengan golok dan
cambuk berada di tangan pemuda itu, keadaannya kini
benar-benar telah berubah sama sekali.
"Haiiit...!"
Buang Sengketa keluarkan teriakan keras, saat itu
tubuhnya benar-benar telah begitu dekat dengan lawan-
nya. Maka tak ayal lagi golok di tangannya pun menyam-
bar dua kali ke bagian leher laki-laki itu.
"Creees! Creees!"
Guru Iblis keluarkan lolongan bagai seekor kerbau
disembelih, tubuhnya limbung namun anehnya tiada da-
rah yang menyembur ke luar. Laki-laki itu terjerembab jatuh. Dia melolong-lolong
untuk sesaat lamanya, kemudian diam tidak berkutik-kutik lagi.
Buang Sengketa merasa lega hatinya, namun da-
danya masih berdenyut-denyut sakit. Lalu sambil meme-
gangi dadanya, pemuda berwajah tampan itu pun segera
pergi dengan membawa sebuah luka.
* * * Kayu Agung pagi itu nampak sunyi sepi menyimpan
misteri, dari kejauhan nampak Mambang Sadewa dan
Wanti Sarati menuju ke tempat itu. Wajah mereka mem-
bayangkan rasa lelah yang teramat sangat. Hampir siang
dan malam !mereka terus melakukan perjalanan, maka
tak heran kalau dua kemudian dia telah sampai di tempat itu. Setelah memasuki
Kayu Agung, mendadak Wanti Sarati menghentikan langkahnya, hal ini sudah barang
tentu membuat heran Mambang Sadewa yang bertangan buntung. Dia pun terpaksa
menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Nduk..." Sejak semalam kulihat wajah
murung begitu...?" tanya Mambang Sadewa sambil me-
mandang pada gadis itu. Wanti Sarati menarik napas da-
lam-dalam. "Sejak semalam pikiranku tidak enak, Kek...!" jawabnya polos.
"Apakah engkau memikirkan Pendekar Hina Kela-
na?" tanya kakek bertangan buntung itu asal-asalan.
"Ya, entah mengapa aku menjadi teringat pa-
danya...!" Mambang Sadewa nampak tersenyum tipis, begitu mendengar jawaban Wanti
Sarati yang polos.
"Bukankah selama ini kau juga sering memikirkan-
nya?" "Benar, tetapi aku tak pernah segelisah ini. Aku takut kalau-kalau terjadi
sesuatu dengannya. Aku-aku takut kehilangan dia, Kakek...!" ucap gadis itu
tertunduk sedih.
"Mudah-mudahan saja dugaanmu itu tidak berala-
san!" kata si kakek coba menghibur, walau sesungguhnya hatinya sendiri diliputi
rasa was-was. Wanti Sarati nampak terdiam, tetapi setelah membuang pandangan
matanya jauh-jauh. Kemudian dia bertanya:
"Sekarang sampai di manakah kita?"
"Inilah tempat yang kita tuju itu. Mudah-mudahan
Pendekar Hina Kelana telah sampai pula di tempat ini!"
ujar Mambang Sadewa berharap.
"Kalau begitu sebentar lagi kita segera sampai ke
sarang iblis itu, ya, Kek?" "Mudah-mudahan saja begitu...!"
"Tapi, Kek...!"
Wanti Sarati tidak sempat melanjutkan ucapannya
ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya tubuh seorang wanita.
"Kakek, orang itu...!" serunya cepat-cepat. Mambang Sadewa memandang pada Wanti Sarati. Laki-laki itu
nampak terkejut sekali, sebab prang yang dilihat oleh
Wanti Sarati tak lain adalah Pri Kumala Hijau adanya.
"Berhenti,.!" bentak Mambang Sadewa, tiba-tiba yang dibentak menghentikan
langkahnya, tubuh Wanti Sarati dan Mambang Sadewa berkelebat menyongsong Pri
Kumala Hijau. Nampaknya perempuan itu pun sangat terkejut-
begitu melihat kehadiran bekas suaminya dengan seorang
gadis yang belum dikenalnya.
"Oh, kiranya engkau bekas suamiku. Ada keper-
luan apakah hingga kau datang jauh-jauh ke Kayu Agung
ini...?" tanya Pri Kumala Hijau dengan sikap acuh.
"Kudengar engkau semakin tersesat saja...! Bah-
kan, akhir-akhir ini kau mulai menculik anak gadis orang untuk kau persembahkan
pada gurumu. Apakah itu benar
adanya...?"
Pri Kumala Hijau hanya tersenyum saja begitu
mendengar apa yang dikatakan oleh Mambang Sadewa.
"Kalau benar engkau mau apa"! Bukankah diantara
kita sudah tidak ada ikatan apa-apa...?" tukas Pri Kumala Hijau mencibir.
"Sungguh pun sudah tidak ada ikatan apa-apa.
Sampai akhir hidupku, aku akan selalu berusaha untuk
membuatmu sadar...!"
"Hemmmm, agaknya kau perlu kubuntungi dulu
kakimu itu, baru kau tidak lagi mengurusi kepentingan-
ku....!" Mambang Sadewa tersenyum getir begitu menden-
gar ucapan bekas istrinya itu.
"Kumala! Sungguh pun kau penggal kepalaku, aku
tetap berusaha menghalangi segala sepak terjangmu yang
memalukan itu...!" Gusarlah Pri Kumala Hijau dibuatnya.
"Bangsat buntung! Cepat minggat dari hadapanku,
kalau tidak aku benar-benar akan membuntungi kedua
kakimu...!" bentak bekas pasangan Iblis Bermata Dewa itu sangat marahnya.
"Lakukanlah kalau engkau mampu, Tapi jangan
harap selama aku masih bernapas aku akan selalu mem-
bayangi sepak terjangmu...!" kata Mambang Sadewa dengan suara tertekan. Dalam
pada itu Wanti Sarati yang sejak dari tadi hanya diam saja, kini ikut pula
menyela. "Kakek! Inikah bangsatnya yang telah membuntun-
gi tanganmu" Sikat saja, Kek!"
Sudah barang tentu ucapan Wanti Sarati membuat
Pri Kumala Hijau semakin bertambah gusar. Maka dengan
pandangan penuh kebencian perempuan iblis itu pun
membentak: "Bocah pentil. Berani lancang engkau mencampuri
urusanku! Cepat-cepatlah engkau menyingkir dari hada-
panku. Kalau tidak aku benar-benar akan membunuh-
mu...!" teriak Pri Kumala Hijau marah sekali.
"Nduk, minggirlah biar kakek bereskan iblis yang
satu ini...!"
"Bagus. Majulah kau peot bertangan buntung, hari
ini aku benar-benar akan membunuhmu...!" teriak Pri Kumala Hijau.
Kemudian seiring dengan ucapannya itu, dengan
gerakan sangat cepat tiada terduga, maka saat itu juga dia segera lancarkan
serangan-serangan ganas kepada Mambang Sadewa.
Tak ayal lagi Mambang Sadewa yang sudah menge-
tahui kehebatan bekas istrinya itu secara cepat pula membalas serangan-serangan
tersebut. Hanya sesaat saja setelahnya, terjadilah pertarun-
gan maut di semak-semak hutan bakau itu. Jurus-jurus
yang sangat mereka andalkan pun menyertai serangan-
serangan gencar. Sungguh pun Mambang Sadewa tidak
memiliki kedua belah tangan, tetapi dengan jurus-jurus
baru hasil ciptaannya sendiri. Dia selalu dapat mematahkan serangan yang
dilancarkan oleh Pri Kumala Hijau.
Tubuh kedua orang itu kini berkelebat sedemikian
cepat. Sehingga sangat sulit untuk diikuti oleh pandangan mata biasa. Dengan
rambutnya yang panjang yang sewaktu-waktu dapat berubah melemas dan di lain saat
berubah kaku laksana kawat baja.
Kakek itu terus berusaha meningkatkan gempuran-
gempurannya. Nampaknya masing-masing lawan berusaha
keras untuk cepat-cepat merobohkan lawannya.
* * * 12 Sesaat kemudian rambut Mambang Sadewa mele-
cut keras ke arah Pri Kumala Hijau. Rambut yang berubah mengejang itu menderu
mengarah bagian muka lawannya,
perempuan itu keluarkan suara mengekeh. Lalu tanpa ra-
gu-ragu lagi langsung memapaki datangnya serangan itu.
"Beees!"
Terdengar seruan tertahan dari masing-masing la-
wan. Tangan Pri Kumala Hijau serasa dicucuki ribuan ba-
tang jarum. Sumpah serapah berhamburan dari mulut pe-
rempuan iblis ini. Manakala dia melihat darah mulai me-
netes dari luka-luka kecil yang disebabkan. tercucuknya rambut Mambang Sadewa.
Pri Kumala Hijau bersurut tiga
langkah. Mulutnya menyeringai mengisyaratkan maut
yang tak bisa diduga-duga. Dalam kesempatan itu, dia pun sudah membentak.
"Hebat! Kiranya engkau ada kemajuan juga. Pantas
saja kau berani jual lagak di depanku...!"
Mambang Sadewa tersenyum tipis!
"Selamanya aku tak pernah jual lagak pada siapa
pun. Hanya karena hatimu saja , yang sudah tersesat jauh sehingga kau punyai
anggapan seperti itu...!"
"Beh! Engkau jangan berbesar hati dulu. Sobat
buntung! Banyak ilmu simpananku yang belum kukelua-
rkan semuanya!"
"Bagus...! Lebih baik keluarkan Semuanya agar kau
bisa mati dalam keadaan puas...!" "
"Bangsat....! Lihat serangan...!"
Berkata begitu kali ini Pri Kumala Hijau keluarkan
jurus Pri Hitam Memukul Setan. Serentak dengan beru-
bahnya jurus-jurus silat perempuan iblis itu, maka sebentar kemudian tubuhnya
sudah melesat, tangan kanannya
kirimkan satu pukulan mengarah pada . bagian kepala,
sedangkan kaki kirinya menendang pada bagian perut
Mambang Sadewa.
Detik itu juga begitu mengetahui serangan yang
mengisyaratkan maut itu, Mambang Sadewa pun segera
merubah jurus silatnya.
Dengan mempergunakan jurus silat hasil ciptaan-
nya sendiri yang diberi nama jurus Si Buntung Merana,
rambutnya yang panjang itu kembali mengejang, kemu-
dian sepasang kakinya bergerak-gerak begitu indahnya.
Sekali dia menjerit maka tubuhnya yang tiada ber-
tangan itu melentik bagaikan belalang congcongkrang.
Begitu tubuh Mambang Sadewa kembali meluncur
ke bawah. Bagai gerakan kepala ular yang menari-nari
rambut dan kaki kirinya mengirimkan satu sapuan ke
arah tubuh lawannya yang saat itu juga nampak pula ki-
rimkan dua pukulan bertubi-tubi.
"Wuuus!"
"Plaaaak!"
"Duuukkk!"
Dua orang Bekas pasangan, Iblis Bermata Dewa itu
jatuh terguling-guling. Karena masing-masing pukulan
disertai dengan tenaga dalam yang besar. Tak ayal lagi kedua orang ini pun
muntahkan darah segar.
Saat itu Wanti Sarati yang sedikit banyaknya men-
getahui kehebatan masing-masing mereka yang sedang
bertarung. Diam- diam dia mulai mencemaskan keadaan
Mambang Sadewa. Dia tahu bahwa sesungguhnya dalam
adu tenaga dalam tadi Pri Kumala Hijau nampak lebih un-
ggul. Apalagi mengingat bahwa Mambang Sadewa pernah
dikalahkan oleh bekas isterinya itu.
Dia mulai berpikir-pikir untuk membantu Mam-
bang Sadewa, tetapi untuk turun tangan secara terang-
terangan, dia takut kalau kakek bertangan buntung itu
menjadi marah. Tak dapat yang dilakukannya, dia tak be-
rani mengambil keputusan sendiri. Baru saja dia memikirkan segala kemungkinan
yang terjadi, pada saat itu ter-
dengar pula bentak-bentakan keras dari masing-masing
mereka yang sedang bertarung. Begitu Wanti Sarati me-
mandang ke arah pertempuran. Dilihatnya Mambang Sa-
dewa dan Pri Kumala Hijau kini telah melancarkan puku-
lan-pukulan jarak jauh melalui pandangan mata mereka
masing-masing. Dari kedua mata orang itu nampak mele-


Pendekar Hina Kelana 11 Sepasang Iblis Bermata Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sat sinar merah, sinar itu kemudian saling bertemu di
udara. Masing-masing lawan saling mengerahkan segenap
kemampuannya. Dalam keadaan seperti itu mereka benar-
benar tak berani gegabah. Lengah sedikit saja sudah tentu jiwa akan melayang.
Adu tenaga dalam itu terus berlanjut, tubuh mere-
ka sudah bermandi peluh. Bahkan kini sudah mulai terge-
tar hebat. Wanti Sarati merasa tak tega melihat keadaan Mambang Sadewa yang
nampak sudah bermandi keringat
itu kelihatan mulai jatuh di bawah angin.
Selanjutnya apa yang dirisaukan oleh Wanti Sarati
pun terjadi. Sepasang mata Mambang Sadewa nampak
semakin bertambah merah, tak lama kemudian mata ter-
sebut mulai keluarkan cairan merah pula. Darah!
Semakin lama darah yang berada di kelopak mata
Mambang Sadewa pun mulai menetes menuruni pipinya
yang cekung. Wanti Sarati dalam saat-saat yang kritis itu nampak berpikir cepat.
Kalau keadaan itu dibiarkan berla-rut-larut, bukan tidak mungkin sebentar lagi
kakek ber- tangan buntung itu bakal mengalami nasib celaka.
Tak ada pilihan lain, demi menyelamatkan Mam-
bang Sadewa, Wanti Sarati segera melepaskan Selendang
Merah yang melilit pinggangnya.
Kemudian tanpa basa basi lagi, tubuhnya melesat.
Dengan cepat dia lecutkan selendangnya persis di tengah-tengah beradunya sinar
itu. "Blaaaar!"
Kedua orang itu tiada bergeming, tubuh Wanti Sa-
rati malah terpental jatuh. Dia segera bangkit kembali, lalu tanpa memperdulikan
rasa nyeri di dadanya, Wanti Sarati melecutkan selendangnya kembali. Kali ini.
dengan disertai tenaga dalam yang penuh.
"Breeesss!"
"Blaaaam!"
Terpentalah tubuh ketiga orang itu tunggang lang-
gang. Dari mulut Wanti Sarati meleleh darah segar. Se-
mentara baik Mambang Sadewa maupun Pri Kumala Hijau
mengalami keadaan yang tidak jauh berbeda dengan Wanti
Sarati. Tetapi dari ketiganya, Mambang Sadewalah yang
mengalami luka dalam yang teramat parah. Dalam kea-
daan masing-masing yang serba tidak menguntungkan itu,
tiba-tiba Pri Kumala Hijau cepat bangkit kembali. Dia ke-
luarkan suara tawa menyeramkan. Kedua matanya yang
tetap memerah itu mengisyaratkan maut yang tiada terpe-
rikan. Lalu kedua tangannya pun terpentang tinggi-tinggi, bibirnya berkomat
kamit. Tak salah lagi perempuan itu ki-ni telah merapal Mantra Iblis Menempur
Maut. Asap tipis menyelimuti kedua tangan tersebut. Sekejap mata kedua tangannya
telah berubah menjadi kehitam-hitaman.
Kejut di hati Mambang Sadewa dan Wanti Sarati
bukan alang kepalang. Ingin cepat-cepat menghindar me-
reka serasa tiada memiliki kemampuan. Sebab mereka me-
rasakan tubuhnya terasa sangat sakit untuk digerak kan.
Pada saat itu Pri Kumala Hijau sebelum melakukan
serangan-serangan terakhir sempat berkata:
"Kalian berdua benar-benar telah membuatku gelap
mata. Mati bagi kalian justru lebih baik daripada harus menjadi perintang dalam.
segala sepak terjangku. Mam-puslah kalian. Hiaaat...!"
Sinar berwarna hitam kelam melesat sedemikian
cepatnya, terbagi menjadi dua bagian. Yang satu mengarah kepada Wanti Sarati
sedangkan bagian lainnya mengarah
pada Mambang Sadewa.
Kedua orang itu hanya terbelalak saja begitu meli-
hat datangnya sinar pengantar maut tersebut. Bahkan me-
reka sudah pasrah untuk menerima kematian.
Namun dalam saat-saat yang sangat kritis itu, se-
berkas sinar merah yang datang dari lain arah. Menderu
lebih cepat lagi memapaki pukulan yang dilepaskan oleh Pri Kumala Hijau.
Karena sinar hitam pekat itu terbagi menjadi dua,
maka sinar merah itu hanya mampu menjangkau pukulan
yang lebih dekat dari padanya. Secara kebetulan Wanti Sarati lah yang lebih
dekat dalam jangkauan tersebut. Tak ayal lagi.
"Buumm!"
Sinar merah yang meluruk ke arah Wanti Sarati,
kandas sampai di tengah jalan. Sementara sinar lainnya
terus meluncur dan baru terhenti ketika sudah menghan-
tam tubuh Mambang Sadewa.
Laki-laki itu nampak menggeliat sekejap, terdengar
suara rintihan kecil dari mulutnya yang tertutup kumis
berwarna kelabu. Wanti Sarati dengan susah payah me-
rangkak mendekati tubuh Mambang Sadewa yang sudah
sekarat. Pada saat yang sama dari kerimbunan daun pohon
bakau muncullah Pendekar Hina Kelana. Pemuda itu
nampak masih memegangi dadanya, wajahnya semakin
pucat. Sementara; dalam tangannya tergenggam Pusaka
Golok Buntung yang sangat menghebohkan itu.
Dengan terhuyung-huyung dia sudah mendekati Pri
Kumala Hijau yang masih nampak terkejut.
Dengan pandangan penuh kebencian pula dilirik-
nya perempuan iblis itu mulai dari ujung rambut sampai keujung kaki.
"Hemmm. Kiranya engkaulah bangsatnya yang te-
lah bikin sengsara orang banyak. Engkau memang pantas
mampus seperti gurumu si raja sesat itu....!" geramnya.
Pri Kumala Hijau nampak sangat terkejut sekali be-
gitu pemuda tampan berkuncir itu menyebut-nyebut gu-
runya. Apalagi pemuda itu sampai bilang bahwa gurunya
telah pula tewas.
Di lain pihak begitu mendengar suara orang yang
sangat dikenalnya, Wanti Sarati langsung menoleh. Bukan main girangnya dia
begitu melihat kehadiran orang yang sangat dirindukannya itu. Tetapi dia agak
merasa heran melihat wajah pemuda itu yang nampak pucat. Apakah
yang telah terjadi dengannya" Batin gadis itu penuh tanda tanya.
Tetapi dia sudah tak dapat berpikir panjang karena,
tak lama kemudian terdengar pula suara erangan Mam-
bang Sadewa. Maka perhatiannya pun beralih pada kakek
bertangan buntung.
Sementara itu perdebatan pun terjadi, antara Pen-
dekar Hina Kelana dengan Pri Kumala Hijau.
"Setan! Berani benar engkau mencampuri urusan-
ku" Maki perempuan iblis ini.
"Aku si Hina Kelana selamanya akan menumpas
segala bentuk kejahatan. Maka bersiap-siaplah engkau untuk mampus." teriak Buang
Sengketa. Kemudian seketika itu juga golok di tangan pendekar itu menderu.
Mendengar nama Pendekar yang membuat gempar
dunia persilatan saja Pri Kumala Hijau sudah tercengang luar biasa. Apalagi kini
dengan golok itu ditangannya. Pri Kumala Hijau segera berkelit berusaha mencari
kesempatan untuk melepaskan sinar maut melalui matanya.
Tetapi nampaknya Buang Sengketa sudah tiada
memberinya kesempatan lagi. Golok di tangannya terus
memburu lawan ke f mana pun perempuan itu menyingkir.
Dalam keadaan terdesak seperti itu dia masih berusaha kirimkan serangan-serangan
balasan. Namun semua itu su-
dah tak berarti banyak buat pendekar yang sudah sampai
pada puncak kemarahannya itu.
Pertarungan jarak dekat seperti yang dikehendaki
oleh Buang Sengketa akhirnya terjadi. Tubuh Pendekar
Hina Kelana berkelebat. Lalu bersamaan berkelebatnya tubuh pendekar itu maka
golok buntung di tangannya pun
menyambar. "Breeess! Creeees!"
Pri Kumala Hijau melolong setinggi langit, darah
mengucur dari luka di perutnya yang terkoyak besar. Tak lama kemudian tubuh
wanita iblis itu pun limbung. Berputar-putar kemudian terjerembab ke bumi.
Maka tewaslah Pri Kumala Hijau dengan luka yang
sangat mengerikan. Pada saat itu dengan langkah ter-
huyung-huyung, Buang Sengketa menghampiri gadis yang
bersimpuh di depan tubuh Mambang Sadewa yang sudah
meregang ajal. f
Begitu mengetahui keadaan Mambang Sadewa,
sambil memegangi dadanya yang terus berdenyut pemuda
itu pun ikut duduk bersimpuh.
"Orang tua. Oh... maafkan aku! Aku telah terlambat datang...!" kata pemuda itu
menyesali diri. Mambang Sadewa memandang pada pendekar itu dengan sorot mata
yang sudah meredup.
"Akhirnya engkau.... dat... datang juga...!"
ucapnya lirih, kemudian sambungnya.
"Bagaimana dengan Guru Iblis itu...?"
"Semuanya telah tewas, Orang tua.!" sahut si pemuda.
"Oh, syukurlah.... akhirnya aku dapat pergi dengan tenang.... tap.... tapi....
kau jagalah gadis yang berada di sampingmu itu. Begitu lama dia mencarimu.
Namanya Wanti Sarati. Sayangilah dia...!"
"Wanti Sarati...?" gumamnya seolah tak percaya.
"Paman, apakah kau tidak mengingat orang yang
pernah kau tolong di Sindang Da-rah dulu...?" tanya Wanti Sarati sambil
memandangi pemuda itu dengan rasa haru
bercampur kagum.
Tentu... tentu aku mengingatmu, tetapi aku tiada
pernah menyangka kalau engkau sudah sebesar ini...!" ka-ta pemuda itu seraya
merangkul gadis itu sambil mencium rambutnya dengan lembut. Sesaat lamanya
mereka saling berpelukan melepas rindu. Dalam hati Wanti Sarati mera-
sa sangat bersyukur karena pemuda yang selalu dirindu-
kannya itu masih tetap mengingatnya.
Tetapi begitu teringat kepada Mambang Sadewa,
kedua orang itu sama-sama saling melepas rangkulannya.
Begitu mereka menoleh, Mambang Sadewa sudah nampak
diam tiada berkutik.
"Dia telah pergi, Paman...!" kata Wanti Sarati sedih.
"Kita relakan kepergiannya, mungkin satu purnama
mendatang aku pun akan pergi meninggalkan dunia ini...!"
kata Buang Sengketa sambil menyeringai menahan sakit.
Bukan main terkejutnya di hati Wanti Sarati.
"Mengapa paman berkata begitu...?"
"Manusia iblis. itu telah memukulku dengan puku-
lan beracun yang sangat ganas dan sangat sulit pula dicari obatnya....!"
"Paman jangan pergi aku selalu merindukanmu!"
kata Wanti Sarati kembali memeluk pendekar itu.
"Jangan bersedih, Nduk, satu purnama masih san-
gat panjang. Ada baiknya kalau kita urus mayat Mambang
Sadewa. "Baiklah, Paman" kata Wanti Sarati sambil memandang sendu pada Pendekar Hina
Kelana. Tanpa buang-buang waktu lagi dengan dibantu
oleh Wanti Sarati maka pekerjaan menguburkan mayat
Mambang Sadewa cepat selesai.
Setelah segala sesuatunya dirasa beres, kedua
orang itu nampak saling pandang. Lalu dengan memapah
tubuh pendekar yang selalu dirindukannya itu. Mereka
bergerak meninggalkan Kayu Agung, Saat itu pun hari su-
dah menjelang senja.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Mybenomybeyes
Pedang Kunang Kunang 3 Alap Alap Laut Kidul Seri Ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis 15
^