Pencarian

Satria Penggali Kubur 2

Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur Bagian 2


"Maksudmu negeri alam gaib...?"
"Ya... negeri itu memang benar-benar ada. Dia
terletak di sebuah pesisir Pulau Andalas. Namun nege-ri itu tak mungkin pernah
dilihat oleh kasat mata...!"
jelas Tapak Dewa lebih lanjut.
Mendengar penjelasan Satria Penggali Kubur,
Wanti Sarati tercenung beberapa saat lamanya. Ba-
ginya terlalu sulit untuk mengerti akan arti dari semua apa yang dikatakan oleh
Tapak Dewa. Walaupun hatinya masih diliputi dengan berbagai tanda tanya, namun
dia merasa bersyukur bahwa Pendekar Hina Ke-
lana, pada akhirnya masih dapat diselamatkan ji-
wanya. Lalu sepintas dia memandang pada pemuda
yang sangat dikasihinya itu. Kemudian dirabanya nadi di bagian pergelangan
tangan. Denyut darah itu masih sangat lemah, namun sudah teratur. Hanya
kesadaran yang masih belum ada.
"Kau tak perlu cemas, Nduk...! Tidak sampai
satu purnama di depan, dia sudah pulih kembali. Oh,
ya bagaimana dengan lukamu...?"
"Lukaku tidak seberapa, bukankah kakek tadi
juga sudah memeriksanya?"
"Hemm! Betul... tetapi ada baiknya kalian tetap tinggal di ruangan ini untuk
beberapa waktu lamanya...!"
"Kakek hendak ke mana?" tanya Wanti Sarati, begitu melihat Tapak Dewa sudah
menaiki anak tangga
menuju pintu keluar.
"Aku akan mencari bekal makanan untuk ka-
lian!" jawab Tapak Dewa, terus pergi.
7 Perguruan Jagad Kelanggengan adalah meru-
pakan sebuah perguruan yang sangat besar dan memi-
liki pengaruh yang sangat besar pula di kalangan rim-ba persilatan. Perguruan
itu terletak di puncak bukit yang bernama Puncak Perdamaian. Perguruan Jagad
Kelanggengan yang sangat besar itu dipimpin oleh seorang nenek tua renta,
berusia berkisar tujuh puluh li-ma tahun. Asmarini Sudra, demikianlah nama ketua
perguruan yang memiliki pamor di segenap penjuru
persilatan tersebut.
Sungguhpun dia seorang wanita, namun kesak-
tian dan ilmu silat yang dimilikinya tiada tanding.
Bahkan dengan sepasang pedang kembarnya, Juluk
Duka dia masih mampu mempersatukan beberapa
perguruan kecil yang tersebar di berbagai daerah. Di antara perguruan silat yang
dipersatukannya itu antara lain adalah Perguruan Kala Hitam, yang menempati
daerah bernama Puncak Berkabut.
Itu sebabnya, kejadian apa pun yang berlang-
sung di perguruan-perguruan kecil yang dipersatu-
kannya. Biasanya secepatnya, pula dapat dia ketahui.
Sebagaimana berita duka tentang meninggalnya Eyang
Guru Buris Genta, juga sudah dia ketahui. Bahkan dia pulalah yang memberi saran
agar Eyang Guru Buris
Genta dikuburkan di peristirahatan orang-orang ter-
hormat milik Tapak Dewa.
Tetapi betapa terperanjatnya Asmarini Sudra
begitu mendapat laporan bahwa salah seorang murid
Kala Hitam yang bernama Bonta tidak diijinkan diku-
bur di tempat itu. Bahkan si Muka Kunyit atau Inggil yang menjadi Wakil
Perguruan Kala Hitam, tewas pula
di tangan Tapak Dewa.
Bagi Asmarini Sudra, hal ini merupakan se-
buah penghinaan yang sangat memalukan sekali. Ta-
pak Dewa telah begitu berani membuat urusan dengan
Perguruan Kala Hitam. Yang berarti juga telah me-
mancing kericuhan buat perguruan induk, Jagad Ke-
langgengan. Hutang nyawa harus dibayar nyawa. Ter-
kecuali Tapak Dewa mau memohon maaf pada Jagad
Kelanggengan. Hari itu juga Ketua Perguruan Jagad Ke-
langgengan mengirim dua puluh utusan untuk mene-
mui Tapak Dewa.
Maka berangkatlah utusan dari Jagad Kelang-
gengan itu dengan disertai Karsa dari Perguruan Kala Hitam sebagai saksi.
Menjelang sore hari rombongan berkuda itu te-
lah sampai di sebuah tempat yang bernama Lembah
Begundal Iblis. Karena perjalanan masih memakan
waktu kurang lebih satu hari perjalanan berkuda. Ma-
ka dua puluh orang utusan itu berniat melewatkan
malam di pinggiran Lembah Begundal Iblis.
Tenda-tenda darurat pun segera mereka ban-
gun, saat itu senja sudah berganti malam. Keadaan di
sekitarnya menjadi sepi mencekam. Di luar tenda be-
berapa orang murid Perguruan Jagad Kelanggengan
dan murid dari Kala Hitam nampak sedang berjaga-
jaga. Sejauh itu, mereka masih belum menyadari kalau di sekitar tempat itu ada
beberapa pasang mata yang
terus mengawasi tenda mereka.
Kuda-kuda yang ditambat tak jauh dari tempat
itu pun sudah mulai nampak resah. Agaknya naluri
kehewanannya menyadari bahwa ada bahaya yang se-
dang mengintai keselamatan majikannya. Sesekali ter-
dengar ringkiknya yang memecah keheningan malam.
Kegelisahan kuda-kuda itu sudah barang tentu mem-
buat curiga beberapa orang murid yang sedang berja-
ga-jaga di luar tenda. Lalu mereka pun saling pandang sesamanya.
"Njul... tidak biasanya kuda-kuda itu gelisah
seperti itu. Ada apa ya...?" tanya seorang murid yang bernama Sukron pada
kawannya. Yang ditanya nampak menarik napas panjang-
panjang. "Kita sekarang ini kan sedang berada di Lem-
bah Begundal Iblis. Mungkin saja, kuda-kuda itu melihat setan-setan
gentayangan...!" jawab Sukron seke-nanya. "Tapi aku merasakan seperti ada
sesuatu yang sangat menakutkan. Lihatlah bulu kudukku pada merinding
semuanya....!"
"Bulu kudukku juga merinding...!" menyahuti salah seorang murid yang lain
bernama Panut. "Kalian benar-benar pengecut, selama ini baru
kalian saja murid dari Jagad Kelanggengan yang se-
pengecut ini. Kalau sampai kedengaran kakang guru,
kalian bisa-bisa dipecat sebagai murid."
"Kron... bicaramu jangan keras-keras. Lihatlah
kuda-kuda itu semakin bertambah gelisah...!" kata Panjul, menunjuk pada kuda-
kuda itu. Sekilas Sukron memperhatikan kuda-kuda
yang tertambat pada beberapa batang pohon kecil. Su-
kron manggut-manggut.
"Benar juga! Jangan-jangan selain kita, masih
ada orang lain di sekitar tempat ini!"
"Krosak!" Terdengar bunyi bergemerosak di semak-semak. Serentak ketiga murid
penjaga itu meno-
leh ke arah datangnya suara.
"Cepat bangunkan orang-orang yang berada di
dalam tenda!" perintah Sukron pada Panjul dan Panut.
Namun baru saja mereka akan bergerak, bebe-
rapa buah senjata rahasia yang berbentuk bulan sabit telah menghunjam di dada
Sukron. Salah seorang murid dari Perguruan Jagad Kelanggengan ini pun am-
bruk seketika itu juga.
Melihat keadaan kawannya, Panjul dan Panut
cepat-cepat menyelinap ke dalam tenda. Kedua orang
itu langsung berteriak-teriak membangunkan orang-
orang yang berada di dalamnya.
Dari dalam tenda darurat itu, murid-murid Per-
guruan Jagad Kelanggengan berserabutan ke luar.
Begitu sampai di luar, mereka melihat seorang
kakek dan seorang nenek berkepala botak. Sungguh-
pun murid-murid dari Perguruan Jagad Kelanggengan
belum mengenal siapa gerangan orang yang berdiri di
hadapan mereka itu. Namun melihat tasbih raksasa
dan sebuah clurit yang menggelantung di pinggang
orang tersebut. Tak dapat disangkal lagi, merekalah
Sepasang Clurit dari Bangkalan.
Saat itu salah seorang dari Jagad Kelanggengan
yang sering dipanggil kakang guru. Kelihatan menatap tajam pada kakek dan nenek
botak. Mendadak laki-
laki berbadan pendek namun berotot kekar itu pun
sudah membentak.
"Orang tua, kesalahan apakah gerangan. Hing-
ga kalian telah begitu berani membunuh salah seorang dari rombongan kami...?"
Yang ditanya menyeringai dan menampakkan
mulutnya yang sudah tiada bergigi lagi.
"Tikus ompong, cepat katakan apa kesalahan
kawanku...!" teriak Panjul setengah takut-takut.
"Ha... ha... ha...! Membunuh apa susahnya,
mengapa harus dicari-cari kesalahannya...!" menyahuti si kakek botak.
"Bangsat! Membunuh sewenang-wenang itu
merupakan pekerjaan iblis. Kami sendiri merasa tidak pernah berurusan
denganmu...!" maki kakang guru marah sekali.
Bibir si kakek botak kembali menyungging se-
nyum! "Kalau kau merasa tidak pernah berurusan denganku, apa salahnya kalau kami
mencari urusan dengan kalian...?"
"Sial betul kau, tikus ompong. Katakanlah apa
yang kau inginkan dari kami...!"
"Hi... hi... hi...! Kami cuma ingin tahu apakah kalian melihat seorang bocah
yang bernama Hina Kelana atau tidak...!" kata si nenek botak ikut menyela.
"Cacing kurap! Kami tak tahu tentang orang
yang kalian tanyakan itu." maki kakang guru semakin panas saja hatinya.
"Bohong! Kami melihat seseorang telah melari-
kan bocah laki-laki dan seorang perempuan yang me-
lintasi daerah ini. Mengaku sajalah...!"
"Jangan-jangan murid-murid kutu kupret in-
ilah yang telah menyembunyikan buruan kita, suami-
ku...!" kata si nenek botak curiga.
Semakin mendidihlah darah kakang guru demi
mendengar tuduhan yang sangat keji itu. Bahkan Kar-
sa yang menjadi murid Perguruan Kala Hitam telah pu-
la mencabut sebilah pedang, begitu pula dengan mu-
rid-murid dari Jagad Kelanggengan, mereka sudah se-
makin tak sabar saja.
"Kiranya kalian sepasang tikus yang lamur. Tak
tahu membedakan mana yang salah dan mana pula
yang benar! Kini setelah membunuh kawanku, coba-
coba berdalih pula...!" bentak Karsa sambil menimang-nimang pedangnya.
"Karena kalian tidak mau mengaku, maka ka-
lian akan kubunuh semuanya!" teriak kakek dan nenek botak tanpa menghiraukan
kata-kata si Panjul.
Nampaknya murid-murid dari Perguruan Jagad
Kelanggengan memang sudah tak punya pilihan lain
lagi, apalagi saat itu kedua orang tua bangka sinting itu telah bergerak
menyerang mereka dengan tasbih
raksasanya. Lalu tanpa menunggu perintah dari ka-
kang guru, murid-murid itu pun langsung melakukan
serangan-serangan gencar.
Denting beradunya senjata segera memecah
keheningan malam, pekik riuh suara ketakutan dari
monyet-monyet hutan berbaur menjadi satu. Sementa-
ra di langit sana bulan nampak bersembunyi di balik
awan. Pertempuran terus berlanjut, masing-masing
pihak sama-sama memiliki ambisi untuk menjatuhkan
lawan dengan waktu secepatnya.
Sungguhpun orang-orang dari Jagad Ke-
langgengan itu hanyalah merupakan murid. Namun
mereka terdiri dari murid-murid pilihan yang sengaja diutus oleh Asmarini Sudra
untuk mendengar kata
maaf dari Tapak Dewa. Bahkan seandainya Satria
Penggali Kubur menolak apa yang dikehendaki oleh
guru mereka. Mereka itu berkewajiban untuk menyeret
orang itu ke Perguruan Jagad Kelanggengan. Maka tak
salah bila beberapa jurus di muka, kakek dan nenek
botak dari Bangkalan itu nampak mulai terdesak da-
lam menghadapi serangan-serangan gencar yang dila-
kukan oleh murid-murid Jagad Kelanggengan. Dua ju-
rus berikutnya bahkan pedang di tangan kakang guru
berhasil menyambar bahu kiri si nenek botak.
"Brebet!"
"Uarrghh!" jerit si nenek botak sambil memegangi bahu kirinya yang mengucurkan
darah. Menge- tahui pasangannya berhasil dilukai oleh pihak lawan, kakek botak marah sekali.
"Orang gendut kayak badut, kurang ajar kau.
Berani sekali engkau melukai istriku yang tercinta...!"
"Ha... ha... ha... ha...! Istrimu sudah tua, peot dan tiada guna. Kubunuh dia
dan kau boleh cari yang
lebih muda!" tukas kakang guru, seraya kembali kirimkan satu tusukan satu
babatan. Kakek botak yang sedang menghadapi keroyo-
kan sepuluh orang murid-murid pilihan, kelihatan
sangat gusar sekali, maka dengan sekali melompat dia sudah menjauhi kepungan
lawan-lawannya.
"Criiiing!"
Sekali dia sentakan clurit yang menggelantung
di pinggangnya, maka senjata maut itu telah keluar
dari sarungnya.
Lewat penerangan bulan yang samar-samar,
senjata yang sangat berbahaya itu berkilat-kilat tanda tajam sekali.
Kakek botak keluarkan tawa mendesis, mulut-
nya yang sudah tiada bergigi lagi mendecap-decap ke-
luarkan isyarat maut.
"He... he... he...! Dengan senjata maut ini, akan ku cabuti nyawa kalian
semua...!" teriak kakek botak.
"Hiaaatt...!"
Sekali lagi dia menjejakkan kakinya, maka ter-
dengar dua jeritan lolong maut. Dua orang murid Ja-
gad Kelanggengan menggelinding kepalanya. Darah
memancar dari luka pada bagian leher yang terkutung.
Pakaian murid-murid itu basah bermandi darah. Se-
saat saja tubuh mereka terhuyung-huyung, lalu am-
bruk dengan jiwa melayang. Kakek botak tidak berhen-
ti sampai di situ saja, senjata di tangannya kembali berkelebat ganas.
Sementara itu si nenek botak yang akhirnya ju-
ga menyadari bahwa lawan yang dihadapinya benar-


Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar tangguh. Akhir-nya sudah tak dapat lagi mena-
han gempur-an-gempuran dahsyat dari pihak lawan.
Tak ayal dia pun mencabut clurit mautnya.
"Ngunggg!"
Senjata itu menderu, kakang guru nampak
sangat terkejut sekali. Senjata di tangan si nenek benar-benar sangat berbahaya.
Maka tanpa sungkan-
sungkan lagi, dia segera pergunakan jurus Pedang
Asmara. Saat itu juga gerakan-gerakan silat kakang
guru segera berubah sama sekali. Terkadang senja-
tanya berputar sebat membentuk perisai, di lain saat senjata itu membabat pada
bagian pertahanan yang
agak rawan. Sungguhpun begitu, dia merasakan bah-
wa nenek botak dengan tasbih dan clurit di tangannya.
Kini benar-benar telah berubah menjadi seorang lawan yang sangat tangguh dan
sangat membahayakan. Sekali tasbih di tangan lawan menghantam ke bagian
muka, pada saat yang hampir bersamaan menyusul
pula serangan clurit yang tak kalah hebatnya.
8 "Ihh!" Kakang guru nampak terkejut, lalu cepat-cepat hantamkan pedangnya
memapasi datangnya se-
rangan beruntun itu.
"Crak! Criiing!"
Tasbih di tangan si nenek hancur berantakan
dilanda terjangan Pedang Jagad Kelanggengan milik
kakang guru. Tapi begitu senjata itu membentur clurit di tangan si nenek.
Terlihat percikan bunga api memancar dari kedua senjata itu.
Pedang kakang guru rompal di beberapa ba-
gian, hal itu membuat kejut di hati wakil dari Perguruan Jagad Kelanggengan.
Tetapi sungguhpun begitu,
dia pantang mundur walau setapakpun juga, dia terus
berusaha mendesak pihak lawannya.
Saat itu kakek botak dengan clurit di tangan-
nya terus mengganas. Lebih dari sepuluh orang murid
dari Jagad Kelanggengan menemui ajal secara menge-
rikan. Saat itu murid Jagad Kelanggengan hanya ber-
sisa kira-kira enam orang lagi. Sepasang Clurit dari Bangkalan itu terus
mengamuk bagai orang edan kera-sukan iblis. Dan tentu saja tindakan si kakek
yang sangat brutal dan beringas itu, lama kelamaan mem-
buat ciut nyali lawan-lawannya.
Mengetahui situasi yang sangat tidak mengun-
tungkan itu, kakang guru yang juga dalam keadaan
terdesak itu nampak memberi aba-aba pada kawan-
kawannya. "Panjul dan Panut! Cepat tinggalkan tempat ini.
Kabarkan pada Ketua Asmarani Sudra, tentang tuyul-
tuyul gila itu...!" teriak kakang guru sambil terus bertahan mati-matian.
"Tapi bagaimana dengan kau, Kakang...!"
"Jangan hiraukan aku, Guoblook...! Cepat per-
giii...!" Tanpa menunggu perintah, empat orang murid lainnya berusaha mendesak
kakek botak, dengan
maksud memberi kesempatan pada Panjul dan Panut
untuk melarikan diri. Tapi pada saat yang sangat kritis itu, kakek botak sambil
keluarkan tawa mengekeh.
Langsung merogoh saku bajunya.
"Tak seekor monyet pun kubiarkan kabur...!"
"Weer!"
Senjata rahasia berbentuk bulan sabit itu pun
melesat sedemikian cepatnya. Namun kiranya semua
itu sudah berada dalam perhitungan kakang guru. Pa-
da saat yang sama, melesat pula serangkuman cahaya
putih memapaki sambitan senjata rahasia si kakek.
"Breees!"
Senjata yang disambitkan oleh si kakek berpen-
talan ke berbagai arah, sementara Panjul dan Panut
sudah menggebrak kuda tunggangan. Kuda-kuda itu
melesat bagai anak panah, hingga dalam waktu seke-
jap saja mereka telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Gusar sekali kakek botak demi melihat seran-
gan senjata rahasianya dapat digagalkan oleh lawan.
"Sialan, kubunuhi kalian semua...!"
Kakek botak memaki, kemudian langsung
membabat lawan yang berada paling dekat dengan po-
sisinya. "Croook! Croook!"
Tanpa sempat melolong, dua orang lawan ter-
babat roboh. Clurit di tangannya kembali berkelebat.
"Crook! Crook!"
Dua orang murid itu melolong setinggi langit.
Kepala mereka pecah berantakan dihantam clurit di
tangan si kakek. Otak dan cairan yang berwarna putih kecoklat-coklatan
berhamburan ke mana-mana. Kakek
botak menyeringai puas dengan hasil perbuatannya.
Kini hanya tinggal Kakang guru berjuang mati-
matian seorang diri. Tetapi begitu kakek botak datang membantu si nenek. Maka
keadaannya kemudian benar-benar telah berubah. Kakang guru segera jatuh di bawah
angin. Kakek dan nenek botak menyerang kakang
guru dari berbagai penjuru. Clurit di tangan mereka
menderu bahkan menimbulkan sambaran angin
menggiriskan. "Ciaaat!"
"Hiaaat!"
Kakek dan nenek botak kirimkan satu sabetan
secara berbareng. Keadaan ini benar-benar sangat me-
nyulitkan posisi kakang guru.
"Wuuut!"
"Craaang! Cresss!"
Satu babatan clurit si nenek dapat dia hindari,
namun dia tak dapat mengelakkan sambaran clurit si
kakek yang mengarah pada bagian perutnya.
Sambil menyeringai menahan sakit, kakang
guru nampak mendekap perutnya yang terobek besar.
Dengan langkah terhuyung-huyung dia masih berusa-
ha untuk mempertahankan diri. Darah yang merembes
dari celah-celah tangannya sudah tidak dia perdulikan lagi. "He... he... he...!
Akhirnya kau mampus juga di tangan Sepasang Clurit Dari Bangkalan...!"
"Aku tak... ak... akan menyerah!" Kakang guru bermaksud menyambitkan Pedang
Jagad Kelanggengan di tangannya. Namun sudah tidak keburu lagi. Tak dapat
dicegah, orang kedua dari Perguruan Besar Ja-
gad Kelanggengan itu pun ambruk di atas tanah berba-
tu dengan jiwa melayang.
Dua orang tua dari Bangkalan menyeringai
puas, lalu mereka saling berpandangan sesamanya.
"Bagaimana lukamu, Istriku...?" tanya si kakek.
"Hemmm. Hanya luka kecil, sebentar juga akan
sembuh dengan sendirinya...!" jawab si nenek botak.
"Kita telah banyak buang-buang waktu! Orang-
orang sudah pada mampus, tapi kita masih belum da-
pat keterangan di mana bocah yang bergelar si Hina
Kelana itu berada...!"
"Jangan putus asa suamiku! Masih banyak
waktu untuk menemukan barang-barang yang sangat
berharga itu...!" Nenek botak mencoba menyabarkan.
"Kalau begitu mari kita pergi!"
Cepat sekali tubuh mereka berkelebat, tahu-
tahu kedua orang itu telah lenyap dari pinggiran Lembah Begundal Iblis. Maka
tinggallah mayat-mayat ber-
gelimpangan yang diam membeku dalam dinginnya
udara malam. * * * Dalam ruangan bawah tanah, saat itu Wanti
Sarati sedang sibuk menyuapi Buang Sengketa. Sejak
dua hari yang lalu pemuda itu sudah sadarkan diri.
Sungguhpun begitu dia masih belum dapat bergerak
banyak, hanya Wanti Saratilah yang mengurusi Buang
Sengketa dengan sangat telaten sekali. Sementara Ta-
pak Dewa, nampaknya sungkan dalam berhadapan
dengan pendekar itu. Sungguh pun si pemuda sudah
mengetahui segala-galanya dari Wanti Sarati, tetapi
sebenarnya dia merasa tidak enak melihat sikap Tapak Dewa yang terlalu
menghormat padanya. Apalagi men-
gingat Tapak Dewa pernah menyelamatkan jiwanya da-
ri ancaman Sepasang Clurit Maut dari Bangkalan.
"Apa yang paman pikirkan..."!" tanya Wanti Sarati sambil menyuapi pemuda itu.
Pendekar Hina Ke-
lana menarik napas panjang-panjang. Dipandanginya
Wanti Sarati sejenak lamanya.
"Tentang Kakek Tapak Dewa. Aku kurang suka
dengan sikapnya yang terlalu berlebihan itu!" jawab si pemuda polos.
"Tetapi rasanya apa yang dilakukannya itu, wa-
jar-wajar saja. Bukankah paman memang anak Raja
Piton Utara. Layak saja kalau Kakek Tapak Dewa yang
masih keturunan para siluman itu menaruh hormat
pada putra rajanya!" Buang Sengketa tersenyum getir.
"Negeri Bunian bukanlah alam nyata. Negeri itu
merupakan negaranya orang gaib. Sedangkan aku ha-
nyalah titisan, begitu pula halnya dengan Satria Penggali Kubur itu. Di mataku,
semua manusia sama, tiada yang lebih mulia, terkecuali kadar imannya pada Sang
Hyang Widi. Untuk apa harus sungkan, sedangkan
aku dan Kakek Tapak Dewa sama-sama berada di
alam nyata...!"
"Tapi, Paman...!"
"Tiada yang ditetapikan. Dulu aku pernah ber-
cerita padamu, bahwa aku sendiri sudah merasa ham-
pir bosan mencari tempat tapa ayahku. Terkadang aku
sudah merasa bosan untuk mencarinya. Di hatiku, ka-
sih sayang itu hanya untuk orang tua yang mulia. Yai-tu Kakek Bangkotan Koreng
Seribu, tiada yang lain la-gi. Ahk, entah bagaimana keadaan beliau saat ini,
masih hidupkah, atau bahkan sudah mati!" kata Buang Sengketa mengeluh sedih.
Wanti Sarati menjadi iba karenanya.
"Paman jangan memikirkan yang bukan-bukan.
Kesehatan paman belum pulih benar, dan untuk se-
mentara lupakanlah segala sesuatunya...!"
"Kau bocah baik nduk. Aku tak tahu bagai-
mana harus membalas segala kebaikanmu...!" kata Buang Sengketa sambil membelai
rambut Wanti Sarati.
"Sesungguhnya sayalah yang harus berterima
kasih padamu paman...!" ucap Wanti Sarati pilu. Dan dalam hatinya berkata;
"Paman, tak tahukah kau
bahwa sesungguhnya aku sangat mencintaimu" Tapi
mengapa kau masih tetap memperlakukan aku seperti
anak kecil!" batin si gadis.
"Eh, mengapa kau menangis! Apakah kata-kata
paman ini terlalu kasar" Ah, maafkanlah...!"
Menyadari keadaannya, Wanti Sarati cepat-
cepat seka air matanya. Lalu dengan senyum yang
sangat dipaksakan dia berucap lirih sekali.
"Apakah paman tidak merasakan seperti apa
yang sedang aku rasakan...!" tanya si gadis malu-malu.
Sesungging senyum menghias di bibir pemuda
yang sangat tampan itu. Dia sudah mulai dapat mera-
ba ke mana arah pembicaraan gadis yang masih baru
menginjak ke masa remaja ini. Dulu pun dia pernah
mengalami apa yang sedang terjadi pada diri Wanti Sarati. Kepada Sri Pamuja dia
pernah jatuh cinta, tetapi sejak gadis yang sangat dicintainya itu tewas di
tangan si Jubah Hitam (Dalam episode Neraka Gunung Dieng).
Rasa-rasanya rasa cinta itu telah pergi bersama Sri
Pamuja yang sangat dia cinta.
Pada Wanti Sarati dia juga ada menaruh cinta,
tetapi rasa cinta itu tak lebih dari perasaan cinta seorang kakak terhadap adik
kandungnya. Atau seorang
paman dengan kemenakannya. Dia tak ingin menge-
cewakan gadis yang sangat baik itu, dan dia berniat untuk mengatakan sesuatu
yang dianggapnya paling
tepat. "Wanti... seandainya paman mengatakan sesuatu yang baik untukmu, maukah
kau menurutinya...?"
Si gadis menganggukkan kepala.
"Menurut ayahku, bukankah Kakek Tapak De-
wa sudah berkenan mengangkatmu sebagai murid-
nya?" "Yaa...!"
"Cintakah kau pada pamanmu ini..."
Dengan wajah memerah, Wanti Sarati kembali
menganggukkan kepalanya.
"Kalau kau sayang pada pamanmu ini! Paman
berharap agar kau mau belajar sebaik mungkin pada
Satria Penggali Kubur...!"
"Kalau itu semua sudah merupakan kehendak
paman, maka aku tak dapat menolaknya..." jawab si gadis dalam keresahan.
"Apakah kau merasa terpaksa dan dipaksa?"
"Tidak paman... bahkan saya merasa sangat be-
runtung sekali mendapat seorang guru yang sangat
sakti...!" Sebelum Buang Sengketa sempat berkata lebih lanjut, tiba-tiba pintu
ruangan yang menghubung-
kan dunia luar dengan ruangan bawah tanah nampak
terbuka. Begitu mereka menoleh, kiranya Tapak Dewa
telah kembali dengan membawa berbagai perbekalan
yang berupa buah-buahan hutan. Kakek berusia enam
puluhan ini membungkuk dalam-dalam pada Buang
Sengketa, seraya lalu berkata;
"Gusti pangeran, hanya inilah sekedar maka-
nan yang ku peroleh dari dalam hutan sana. Maafkan-
lah hamba...!" ucap Satria Penggali Kubur sambil meletakkan buah-buahan tersebut
di sisi pembaringan
Buang Sengketa. Diperlakukan seperti itu, Buang
Sengketa merasa sangat jengah sekali. Lalu dengan
suara berat dia pun menegur.
"Kakek Tapak Dewa! Masihkah engkau meman-
dangku sebagai anak raja" Kalau kakek selalu menye-
butku dengan sebutan pangeran. Lebih baik lempar-
kan saja tubuhku ke dalam jurang yang paling dalam!"
"Tap... tapi, Pangeran...!"
"Sekali lagi kakek memanggilku dengan sebu-
tan pangeran. Lebih baik kau bunuh saja dengan pu-
kulan maut mu...!" kata si pemuda.
9 Mendengar ucapan Pendekar Hina Kelana yang
sangat berwibawa, namun penuh teguran itu. Tapak
Dewa menjadi maklum!


Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Namaku Buang Sengketa. Kakek cukup me-
manggilku Buang atau Kelana saja. Kakek Tapak De-
wa, aku ini cuma seorang gembel, aku merasa risih
dengan panggilan seperti itu...!",
"Ba... baiklah Kelana! Maafkan atas ketololanku tadi...!" "Sudahlah, tak ada
yang harus dimaafkan. Oh ya. Apakah kakek sudah berjumpa dengan orang yang
gila barang-barang langka itu...?" tanya si pemuda masih dengan keadaan
terbaring. "Keluar masuk hutan aku tiada jumpa! Tetapi
pendengaranku merasakan seperti ada beberapa orang
menuju ke tempat ini!"
"Hemmm, luka dalamku belum sembuh betul,
tapi kukira kakek mampu mengatasi orang-orang itu!"
"Akan saya coba. Tetap sajalah kalian berada di dalam ruangan bawah tanah ini.
Aku akan melihat ke
luar...!" Selesai dengan ucapannya, Tapak Dewa segera menaiki anak tangga menuju
pintu keluar. Sekejap
pintu rahasia itu membuka. Setelah Satria Penggali
Kubur berada di ruangan bawah tanah. Pintu itu pun
menutup kembali. Tubuh Tapak Dewa segera melesat
menjauhi pintu rahasia. Tidak begitu jauh dari kubu-
ran peristirahatan terakhir nampak seorang kakek dan nenek botak yang sangat
dikenal oleh Tapak Dewa.
Dua orang pemburu barang langka itu nampak mengi-
tarkan pandangannya ke segenap penjuru kuburan
yang sangat sepi dan berkesan angker tersebut.
"Menurut keterangan tukang jagal babi hutan,
di sinilah tempat kediaman Satria Penggali Kubur
itu...!" ujar kakek berkepala botak.
"Tadi sudah ku acak-acak ke seluruh penjuru
kuburan, tapi tak ku dapati laki-laki yang telah melarikan buruan kita...!"
"Mungkin kau kurang teliti istriku...!"
Si nenek botak pelototkan matanya, nampak-
nya dia kurang senang dengan ucapan laki-laki di se-
belahnya. "Kurang teliti dengkulmu amoh. Tadi sampai
kukorek-korek batu nisan, bahkan sampai ke lubang
semut pun sudah ku obrak abrik. Setan kuburan itu
tidak nampak...!"
"Kalau begitu kita babat saja pohon kamboja
itu, siapa tahu dia ada di atas pucuknya...!"
"Mari...!"
Dengan ucapannya itu, Sepasang Clurit Maut
dari Bangkalan segera cabut cluritnya. Lalu bagai
orang yang sedang kesurupan, mereka langsung me-
nebangi pohon kamboja yang sebesar kaki kerbau. Ka-
rena babatan-babatan clurit itu disertai dengan tenaga
dalam. Maka dalam waktu sekejap saja, pohon-pohon
kamboja itu sudah pada berobohan.
Ketika pekerjaan itu hampir selesai, mendadak
menderu satu gelombang angin kencang melanda tu-
buh mereka. "Weeees! Weeer!"
"Setan alas kutu kampret! Iblis dari mana yang
coba-coba berani lancang pada Sepasang Clurit
Maut"!" maki kakek dan nenek berkepala botak sambil kibaskan cluritnya.
Gelombang angin kencang itu
buyar seketika, manakala bertemu dengan libasan clu-
rit di tangan mereka.
Belum lagi hilang keterkejutan di hati Sepasang
Clurit Maut, pada saat itu nampak melesat sosok tu-
buh berpakaian kuning.
"Jiiing!"
Tak salah lagi, dialah si Tapak Dewa alias Sa-
tria Penggali Kubur. Sepasang Clurit Maut menatap tajam pada Tapak Dewa.
"Engkaukah kunyuknya yang berjuluk Satria
Penggali Kubur?" tanya nenek botak merasa yakin.
"Sialan, seharusnya akulah yang bertanya.
Mengapa pohon-pohon yang tiada berdosa itu kalian
tebangi...!" maki Tapak Dewa dengan rahang bergeme-letukkan menahan marah.
"Pohon tiada guna, tumbuh di atas kuburan
orang gila hormat. Apa salahnya kalau kami tebang!"
"Bagus. Kalian benar-benar cari mampus telah
merusak pekarangan orang lain!" Menggeram Tapak Dewa. "Suamiku, dialah Satria
Penggali Kubur yang telah melarikan bocah itu!" Begitu mendengar ucapan si nenek
botak, si kakek nampak kerutkan alisnya.
"Kau ke manakan bocah-bocah itu setan kubu-
ran...?" Tapak Dewa mendengus.
"Orang-orang sinting, milik orang lain kalian
buru. Kalau orang-orang itu berada bersamaku, kalian bisa apa...?"
"Cepat serahkan!"
"Tidak bisa, mereka masih, keluargaku...!"
"Jadi kau benar-benar tak mau memenuhi
keinginan kami...?" bentak si kakek botak gusar.
"Sampai mampus pun tak akan kuserahkan...!"
"Mampuslah...!"
"Sriiiing! Sringgg!"
Clurit yang sangat tajam itu telah berada di da-
lam genggaman si kakek dan nenek botak. Sekejap
kemudian mereka sudah menyerang Tapak Dewa den-
gan jurus-jurus clurit yang sangat ampuh. Menghadapi serangan-serangan yang
sangat ganas itu, Tapak Dewa
tak ingin bertarung dalam jarak yang sangat dekat.
Setiap saat dia senantiasa menjaga jarak, satu
kesempatan dia pun kirimkan pukulan-pukulan jarak
jauh yang diberi nama Berbangkit Dari Alam Kubur.
Pukulan itu terkenal sangat ganas dan berba-
haya, apa pun yang sempat dilanda pukulan tersebut
akan terbakar dan meleleh.
Walaupun begitu, Sepasang Clurit Maut adalah
tokoh sesat yang telah banyak makan asam garam du-
nia persilatan. Mereka mengetahui betapa sangat ber-
bahaya pukulan yang dilancarkan oleh Tapak Dewa.
Jalan satu-satunya adalah dengan tidak memberi ke-
sempatan pada lawan. Mendesak dalam jarak sedekat
mungkin. "Haiiii...!"
Clurit di tangan si kakek dan nenek botak
menderu! Tapak Dewa yang sudah kirimkan satu so-
dokan mengarah pada bagian dada si nenek, cepat-
cepat tarik pulang tangannya. Sebagai gantinya dia kirimkan satu sapuan mengarah
pada bagian kaki.
"Gasruuuk!"
Sabetan clurit si nenek bukan saja melenceng
dari sasarannya, tetapi tubuhnya juga malah terbant-
ing mencium tanah.
"Wut!"
Sambaran clurit kakek botak menderu di ba-
gian punggung Tapak Dewa, lebih cepat lagi Satria
Penggali Kubur, buang tubuhnya ke samping kiri. La-
ki-laki berbulu itu terus berguling-guling menghindari terjangan clurit si kakek
yang terus memburunya.
"Ciaaat!"
Tubuh Tapak Dewa melentik bagai seekor
udang, kemudian berkelebat lenyap. Sehingga mem-
buat bingung pihak lawannya.
Saat itu si nenek botak telah bangkit kembali,
dengan cepat pula dia kirimkan satu pukulan yang di-
beri nama Setan Bangkalan Menerkam Bidadari. Sela-
rik gelombang cahaya berwarna putih keperak-perakan
menderu dahsyat mengarah pada bayang-bayang ber-
kelebatnya tubuh Tapak Dewa. Hal inilah yang dinantinanti oleh Tapak Dewa.
Laksana kilat laki-laki itu kirimkan pula puku-
lan Berbangkit Dari Alam Kubur tingkat kedua.
"Wuuuus! Blaaaam!"
Dengan clurit di tangannya, tubuh nenek botak
terbanting sejauh tiga tombak. Sementara tubuh Ta-
pak Dewa cuma terhuyung-huyung saja.
Dari pertemuan dua tenaga sakti tadi, nyatalah
bahwa sesungguhnya tenaga dalam Tapak Dewa tiga
tingkat di atas lawannya. Saat itu nenek botak setelah seka darah kental yang
mengalir dari celah-celah bi-
birnya, segera bangkit kembali. Sementara Tapak De-
wa sendiri sedang sibuk menghadapi serangan yang di-
lakukan oleh kakek botak.
Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, se-
jauh itu Sepasang Clurit Maut masih belum juga
mampu mengatasi lawannya. Bahkan pasangannya
sendiri nyaris menjadi korban kelihaian lawannya.
"Caaat!" Tapak Dewa memekik keras, sekali ini dia kirimkan satu pukulan
Berbangkit Dari Kubur
tingkat pamungkas. Satu gelombang pukulan yang
berhawa sangat panas menderu bersamaan mengepul-
nya uap putih dari kedua tangannya yang terangkap
menjadi satu. Si kakek botak sangat terkejut sekali, dari
sambaran angin itu saja dia merasakan tubuhnya pa-
nas laksana terbakar. Hal itu sudah cukup bagi si kakek botak untuk memutar
cluritnya membentuk peri-
sai diri. "Brees!"
"Arrrggghk...!"
Pukulan Berbangkit Dari Kubur tanpa ampun
melanda pertahanan si kakek botak, clurit di tangan-
nya meleleh bagaikan air. Tak sampai di situ saja, pukulan tersebut terus
melanda tubuh si kakek. Salah
seorang dari Sepasang Clurit maut itu benar-benar
mengalami nasib yang sangat mengenaskan.
Tubuhnya terbanting roboh dalam keadaan
hangus dan sulit untuk dikenali. Bau daging terbakar dengan segera menyebar
menusuk hidung.
Melihat nasib yang dialami oleh suaminya, si
nenek botak meraung keras. Serta merta dia menu-
bruk suaminya yang sudah tiada bernyawa lagi, dia terus menangis dan menangis,
tetapi manakala dia te-
ringat akan sesuatu. Maka dengan penuh kebencian
dipandanginya Tapak Dewa yang masih tetap tegak di
tempatnya. "Kau... telah membunuh suamiku...!" tukasnya dengan tubuh gemetaran menahan
amarah. "Dia sudah selayaknya mati, begitu pun kau...
dosa kalian sudah melebihi takaran. Perlu kau ingat, selama hidup belum pernah
kulihat kalian berbuat kebaikan pada sesama manusia. Nafsu serakah dan ang-
kara murka itulah yang selalu memenuhi hati ka-
lian....!" "Setan kuburan... kau harus membayar nyawa suamiku dengan nyawamu
yang tiada berharga...!"
maki nenek botak kalap. Tapak Dewa tersenyum ra-
wan "Di dunia ini, tak seorang pun berkuasa atas orang lain. Sungguhpun manusia
itu hanyalah seorang
budak sekalipun...!"
"Setan cacingan. Aku tak butuh khotbah mu,
hiaaa...!"
Bersamaan dengan berkelebatnya tubuh si ne-
nek botak, maka senjata di tangannya pun menderu
laksana terbang. Tetapi nampaknya kali ini Tapak De-
wa tiada mempunyai maksud untuk mengelak. Dia se-
gera merapal Ajian Arca Mayat.
Baru saja dia selesai merapal ajian tersebut,
clurit di tangan si nenek botak telah menghajarnya.
"Craaak! Craak!"
Tubuh Tapak Dewa diam tiada bergeming. Clu-
rit di tangan si nenek rompal di beberapa bagian. Merasa penasaran dia mengulang
lagi. "Crak! Croook!"
Keadaan tidak berubah, nenek botak kembali
ayunkan cluritnya. Namun sebelum senjata itu men-
capai sasarannya. Tangan Tapak Dewa telah bergerak
lebih cepat lagi.
"Proook!"
Kepala si nenek botak rengkah dihantam puku-
lan tangan Tapak Dewa yang sudah teraliri tenaga da-
lam penuh. Darah dan otak memuncrat dari batok ke-
pala nenek tersebut. Tubuh si nenek terhuyung-
huyung. Kedua matanya melotot seolah memandang
tak percaya pada apa yang dialaminya. Tak lama ke-
mudian tubuh itu pun limbung, lalu berkelojotan me-
regang ajal. Tanpa menghiraukan keadaan, Tapak Dewa se-
gera melangkah menuju ruangan bawah tanah.
10 Pagi itu Pendekar Hina Kelana, Wanti Sarati
dan Tapak Dewa nampak sedang membersihkan Peris-
tirahatan Terakhir. Pohon kamboja yang roboh dan
tumpang tindih tiada berketentuan segera mereka
singkirkan dari tanah pekuburan itu. Tiada sepatah
kata pun yang terucap dari bibir mereka. Masing-
masing tenggelam dalam kesibukannya.
Matahari mulai bersinar terik manakala mereka
hampir selesai dengan pekerjaannya. Tetapi saat itu ti-ba-tiba saja Tapak Dewa
nampak mendongakkan ke-
palanya. Lalu sepasang matanya melirik pada satu
arah. Dia geleng-gelengkan kepalanya sendiri, manaka-la pendengarannya yang
sangat tajam itu merasakan
adanya derap langkah kuda menuju ke arah mereka.
Sudah barang tentu, segala ulah Tapak Dewa
tak luput dari perhatian Pendekar Hina Kelana. Lalu
tanpa sungkan-sungkan lagi pemuda itu pun bertanya.
"Ada apa, Kek...?"
"Mereka menuju ke mari...!" jawab si Tapak Dewa tanpa menjelaskan lebih lanjut.
"Mereka siapa...?" tanya si pemuda merasa heran sekali.
Tapak Dewa urungkan pekerjaannya, lalu dia
segera duduk di sebuah batang kamboja yang roboh.
Wanti Sarati dan Buang Sengketa mengikuti apa yang
dilakukan oleh Tapak Dewa.
"Orang-orang itu mungkin berasal dari Pergu-
ruan Kala Hitam atau mungkin pula dari perguruan
pusat, Jagad Kelanggengan...!"
"Apa mereka datang dengan membawa maksud
yang kurang baik...?" tanya Wanti Sarati pula.
"Mungkin juga...!"
"Apa salah kakek pada mereka...?"


Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapak Dewa nampak terdiam, wajahnya ditun-
dukkan, lalu dia geleng-geleng kepala pelan.
"Aku pernah tidak memberi izin pada salah seo-
rang dari kerabat mereka untuk dikubur di sini...!" jawab Tapak Dewa parau.
"Lho, itukan hak kakek... kuburan ini milik le-
luhur kakek...!" kata Wanti Sarati lugu.
"Ya, tapi mereka tak terima. Mereka berangga-
pan bahwa aku telah melakukan penghinaan terhadap
perguruan mereka...!"
"Lalu apa yang kakek lakukan...?" tanya si pemuda. "Salah seorang wakil mereka
tewas di tanganku. Tetapi itu pun karena kesombongannya sendiri!"
"Hemm. Orang-orang itu aneh sekali, di kolong
langit ini kuburan bukan cuma di sini saja. Apakah
karena mungkin mereka beranggapan bahwa tempat
ini merupakan tempat yang terhormat...?" ucap Buang
Sengketa seperti pada dirinya sendiri.
"Mungkin juga begitu. Banyak manusia di du-
nia ini selalu gila pangkat dan gila hormat, padahal semua itu hanyalah sebuah
nilai yang tersamar yang
akhirnya hanya melahirkan sebuah kesombongan be-
laka...!" "Menurutmu, apakah orang-orang yang dikubur di sini merupakan orang-
orang yang terhormat...?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Tapak Dewa
tersenyum dikulum.
"Tidak juga...! Bagiku orang yang sering men-
gaku dirinya terhormat biasanya selalu melupakan ke-
salahannya. Padahal orang yang merasa dirinya bersa-
lah, justru itulah yang paling baik. Sebab dengan begitu dia akan berpikir-pikir
bila ingin melakukan kesalahan kembali...!" ujar Tapak Dewa.
Saat itu derap langkah kuda terdengar semakin
jelas, debu mengepul ke udara mengiringi laju kuda
tersebut. "Itu mereka datang.,.!" seru Wanti Sarati sambil menunjuk ke suatu tempat.
"Mari kita songsong mereka!"
"Untuk apa kek... bukankah mereka musuh
kakek...!" bantah si gadis.
Kembali bibir Tapak Dewa menyunggingkan se-
nyum berwibawa.
"Sungguhpun mereka musuh, tetapi setiap ta-
mu yang datang, kita layak menghormatinya...!"
Tanpa berani membantah, maka berangkatlah
ketiga orang itu menyambut kedatangan orang-orang
penunggang kuda yang jumlahnya lebih dari tiga pu-
luh orang. Orang-orang penunggang kuda itu langsung
menghentikan laju kudanya begitu
sampai di depan Tapak Dewa. Melihat pakaian yang
dikenakan mereka, agaknya Tapak Dewa mengenali
siapa-siapa penunggang kuda tersebut. Dengan diikuti oleh Wanti Sarati dan Buang
Sengketa. Tapak Dewa
segera menjura hormat pada pendatang berkuda.
"Tak disangka hari ini Ketua Perguruan Besar
Jagad Kelanggengan dan Ketua Perguruan Kala Hitam
berkenan datang di tempat kediamanku. Ada keper-
luan apakah?" tanya Tapak Dewa berbasa basi.
"Manusia yang berjuluk Satria Penggali Kubur.
Berani Sekali engkau menghina Perguruan Kala Hitam.
Engkau benar-benar tak memandang muka pada Per-
guruan Jagad Kelanggengan...!"
"Ah, maafkan ketololanku, bisakah anda je-
laskan apa kesalahanku...?" tanya Tapak Dewa kembali membungkuk hormat.
"Kura-kura dalam botol, semakin tua semakin
tolol. Setelah kau tolak jenazah Bonta, kau bunuh pula Wakil Ketua Kala Hitam.
Apakah hal itu bukan merupakan penghinaan yang sangat sulit untuk dimaaf-
kan...?" Tapak Dewa manggut-manggut begitu mendengar penjelasan Asmarani Sudra,
yaitu Ketua Pergu-
ruan Jagad Kelanggengan.
"Bonta memang aku rasa tidak layak dikubur-
kan di tempat ini. Sedangkan Inggil tewas, karena terlalu memaksaku...!" jawab
Tapak Dewa tegas.
"Kalau begitu, merangkaklah seperti seekor
kucing kurap. Kemudian minta ampun pada kami ka-
lau ingin kami mengampunimu...!" perintah Ketua Perguruan Kala Hitam marah
sekali. Sebaliknya Tapak
Dewa pun menjadi berang. Sama sekali dia tak akan
menuruti apa yang dikatakan oleh Subali, Ketua Per-
guruan Kala Hitam itu.
"Tunggu apa lagi, cepat lakukan...!"
"Aku tak akan pernah melakukannya...!" bantah Tapak Dewa.
"Kalau begitu, kau benar-benar telah menyulut
api kemarahan kami!" teriak Asmarani Sudra, lalu perempuan tua itu pun segera
melompat dari punggung
kudanya. Tak lama setelah itu menyusul pula yang
lainnya. "Kalian ini mengaku sebagai orang gagah, tetapi tak memiliki timbang rasa
sedikitpun juga. Perguruan saja yang besar, tapi jalan pikiran kalian tak ada
setahi kuku...!" kata Wanti Sarati begitu tiba-tiba.
Baik Ketua Perguruan Kala Hitam Subali mau-
pun Ketua Jagad Kelanggengan serentak menoleh pada
si gadis. "Eeh, Bocah pentil. Kau tak tahu urusan kami,
jangan coba-coba campuri urusan orang tua. Menying-
kirlah...!" bentak Subali sambil memandang sinis pada Wanti Sarati.
"Kurasa apa yang dikatakan oleh adikku benar
adanya paman. Seandainya orang-orang Kala Hitam
benar-benar mengaku sebagai manusia yang paling
benar. Tidak nantinya orang yang bernama Inggil itu
memaksakan kehendaknya!" tukas Pendekar Hina Kelana ikut bicara.
"Kutu kupret, Gembel berperiuk. Melihat tam-
pangmu, kiranya kau juga merupakan seekor kunyuk
yang paling suka mencampuri urusan orang lain...!"
maki Asmarani Sudra dengan suara tergetar.
Buang Sengketa pencongkan mulut, sesungging
senyum getir menghias di bibirnya yang agak pucat.
"Bukannya aku usil dengan segala urusan
orang lain, tetapi melakukan fitnah terhadap orang
yang tiada memiliki salah, dosa besar hukumnya....!"
"Gembel cacingan. Tutup mulutmu, kami
tak butuh khotbah mu...!"
"Mengapa harus banyak bicara" Mereka sudah
jelas-jelas menantang kita. Ser-Buuu...!" teriak Asmarani Sudra memberi aba-aba.
Dalam waktu sekejap saja, meledaklah perta-
rungan besar-besaran. Tiga orang anak manusia dike-
royok oleh lebih dari empat puluh orang murid dan
guru dari Perguruan Kala Hitam dan Jagad Kelanggen-
gan. Suara teriakan dan denting beradunya senjata
tajam bercampur baur menjadi satu. Tapak Dewa sege-
ra menyambar sebuah cangkul yang tak begitu jauh
dari tempat dia berada. Sementara Buang Sengketa
berhadapan dengan Subali. Wanti Sarati menghadapi
murid-murid Jagad Kelanggengan dan Kala Hitam. Se-
dangkan Tapak Dewa berhadapan dengan Asmarani
Sudra. Tanah kuburan itu kini menjadi ajang perta-
rungan, tak dapat dihindari lagi. Korban pun mulai
berjatuhan. Peristirahatan Terakhir mandi darah.
Saat itu dengan sebuah selendang baru yang
terbuat dari sutera, Wanti Sarati berusaha memben-
dung terjangan-terjangan senjata-senjata murid Jagad Kelanggengan maupun Kala
Hitam. Dua belas jurus
aneh yang diwarisi dari Padri Agung Sindang Darah
benar-benar sangat berperan banyak dalam mengha-
dapi serangan-serangan ganas lawannya.
Sekali waktu secara bertubi-tubi dia mele-
cutkan selendangnya, memapaki serangan-serangan
pedang yang datangnya bertubi-tubi.
Selendang itu terus melecut, meliuk-liuk bagai
seekor ular berbisa memburu mangsanya. Sementara
tangan kirinya bergerak sebat melakukan pukulan bagi
semua lawan yang berani mendekat. Semakin menca-
pai tingkat lebih tinggi, maka gerakan silat si gadis terasa semakin sulit untuk
diduga-duga. Terkadang tu-
buh si gadis berkelebat lenyap dan di lain saat dari arah belakang dia melakukan
tendangan-tendangan
kilat. Terkadang masing-masing lawan saling bertu-
brukan sesamanya. Bahkan tak jarang senjata mereka
menusuk kawannya sendiri. Tentu saja kejadian ini
membuat suasana menjadi semakin kacau balau.
"Ciaaat... hi... hi... hi...!" Wanti Sarati keluarkan tawa panjang-panjang.
Kemudian ucapnya; "Orang-orang sinting, mengapa malah kalian bunuhi kawan
sendiri. Apakah kalian sudah pada gila...?" teriak Wanti Sarati. Kata-katanya
itu sengaja diucapkan keras-
keras dengan maksud untuk membuyarkan konsen-
trasi Subali dan Asmarani Sudra yang mudah naik da-
rah. Ternyata memang pancingan itu berpengaruh bagi
Subali, namun tidak buat Asmarani Sudra.
Ketua Perguruan Kala Hitam itu sangat marah
sekali. Lalu sambil terus melakukan serangan-
serangan gencar, dia pun berteriak-teriak bagai orang yang sedang kesurupan.
"Murid-murid pada guoblok! Awas kalian se-
mua, ku hukum berat nanti...!"
"Subali. Biarkan muridmu yang tolol itu, nih terimalah...!" geram Buang Sengketa
pukulkan tangan kanannya ke depan. Tak ayal lagi selarik gelombang
cahaya Ultra Violet melesat begitu cepatnya mengarah pada pertahanan Ketua
Perguruan Kala Hitam. Tak salah lagi itulah satu di antara pukulan andalan yang
dimiliki oleh Pendekar Hina Kelana. Pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang menyebarkan hawa yang san-
gat panas itu pun menderu laksana badai. Murid-
murid Jagad Kelanggengan yang bertarung dekat den-
gan Subali dan Buang Sengketa keluarkan seruan ter-
tahan. Hawa pukulan yang terasa panas membakar itu
pun menyebar ke mana-mana.
Ketua Perguruan Kala Hitam ini pun tak kalah
terkejutnya, sedikit pun dia tiada menyangka kalau
pemuda itu memiliki pukulan yang dahsyat.
"Haiiit!"
Tubuh Subali melesat ke udara, pada saat itu
juga dia sudah bersiap-siap melancarkan pukulan Raja Kala Merah yang sama
dahsyatnya. "Jeb! Jeb!"
Serangkum gelombang sinar biru yang berhawa
dingin luar biasa memapaki datangnya sinar Ultra Violet yang berhawa sangat
panas. Tak dapat dicegah lagi, dua pukulan bertenaga sakti itu pun bertemu di
udara. "Bumm! Bummm!"
Terdengar bunyi ledakan berturut-turut. Bumi
laksana runtuh, tanah tempat mereka berpijak terasa
bergetar hebat.
Tubuh Pendekar Hina Kelana terpelanting se-
puluh tombak. Dari celah bibir, hidung dan kupingnya meleleh darah segar. Pemuda
itu merasakan dadanya
sesak sekali. Begitu dia terbatuk, lalu menggelogoklah darah kental dari
mulutnya. Sementara tubuh lawannya nampak melesak ke dalam tanah. Wajah Ketua
Perguruan Kala Hitam nampak putih pucat. Namun
secepatnya dia bangkit. Lalu memburu Buang Sengke-
ta yang masih dalam posisi terlentang.
Kejadian yang menimpa Buang Sengketa ki-
ranya tak luput dari perhatian Tapak Dewa dan Wanti
Sarati. Tetapi Tapak Dewa yang sedang menghadapi
lawan yang sangat tangguh tak mungkin mampu ber-
buat banyak. "Paman awaaaas!" teriak Wanti Sarati.
11 Peringatan yang hanya sedetik itu bagi Buang
Sengketa telah cukup menyadarkannya dari ancaman
maut. "Wus! Blaaam...!"
Masih untung Pendekar Hina Kelana masih
sempat berguling-guling ke samping. Sehingga puku-
lan susulan yang dilancarkan oleh Subali menemui
tempat yang kosong. Sambil terus berguling-guling
pendekar ini mengerahkan pukulan pamungkas yang
diberi nama si Hina Kelana Merana.
Sementara itu celaka bagi Wanti Sarati, kelen-
gahannya yang hanya sekejap membuat lawan-
lawannya yang tidak sedikit itu memiliki kesempatan
untuk membabatkan senjatanya.
"Bet! Cres! Cres!"
Wanti Sarati mengeluh, bagian punggung dan
pinggangnya terobek hampir sejengkal. Tetapi dia terus berusaha bertahan. Hal
ini kiranya tak luput dari perhatian Buang, pemuda itu gusar sekali, cepat-cepat
dia putar haluan. Dibatalkannya niat untuk memukul
Subali. Lalu dengan kekuatan berlipat ganda diarah-
kannya pukulan si Hina Kelana Merana, mengarah pa-
da pengeroyok Wanti Sarati.
"Wanti... menghindar dari pukulanku...!" Buang Sengketa memperingatkan.
"Wuut! Wuut!"
Serangkum gelombang yang memancar-kan si-
nar merah menyala, menderu hingga timbulkan suara
bergemuruh. Tubuh Wanti Sarati sudah melesat ke
atas. Sementara badai sinar merah tersebut melesat
laksana meteor menghajar telak pada pengeroyok Wan-
ti Sarati. "Blaar...!"
Teriakan-teriakan maut terdengar memekakkan
telinga. Sepuluh pengeroyok Wanti Sarati berpelantingan ke segala arah. Tubuh
mereka hangus terbakar,
berkelejat-kelejat kemudian terkapar mati. Dari sekian banyak murid-murid Jagad
Kelanggengan dan Kala Hitam, hanya murid-murid yang berkepandaian tinggi
sajalah yang mempunyai nasib baik.
Saat itu tubuh Wanti Sarati nampak ter-
huyung-huyung. Luka babatan pedang yang mengan-
dung racun ganas itu terus mengalirkan darah. Ketika itu Buang Sengketa sambil
terus melakukan pukulan-pukulan gencar pada lawannya segera memperin-
gatkan. "Wanti, cepat berlindunglah di ruangan bawah tanah. Biarkan kami berdua
yang akan menghadapi
orang-orang ini....!"
"Baik paman...!" jawab Wanti Sarati sambil menyeringai menahan sakit.
"Wei... mau lari ke mana kau bocah..." Tinggal-
kan kepalamu...!" teriak murid-murid Perguruan Kelanggengan sambil berusaha
memburu. Buang Sengke-
ta kembali pukulkan kedua tangannya dengan maksud


Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi kesempatan pada Wanti untuk melarikan diri.
Kembali serangkum sinar merah meluruk ke
arah para pengejar Wanti Sarati.
"Iiih...!" seru murid-murid Jagad Kelanggengan, mereka bermaksud bersurut
langkah. Tetapi sudah tidak keburu lagi
"Bummm...!"
Lima orang murid Jagad Kelanggengan menjerit
roboh, Wanti Sarati sudah menghilang dari pandangan
mereka. Kini murid-murid Asmarani Sudra hanya ting-
gal belasan orang saja. Melihat murid-muridnya tewas secara mengerikan di tangan
si pemuda, Asmarani Sudra dan Subali menjadi semakin panas hatinya. Kini
dengan dibantu oleh para muridnya, masing-masing
ketua perguruan telah keluarkan jurus-jurus silat yang paling sangat mereka
andalkan. Sementara itu pertarungan antara Tapak Dewa
dengan Asmarani Sudra, yaitu dedengkot ketua pergu-
ruan besar, sudah mencapai puncaknya. Kedua orang
itu adalah merupakan dua lawan yang sangat tangguh
yang memiliki kepandaian tiada ter-ukur. Dengan
mempergunakan pedang pusaka Jagad Kelanggengan,
Asmarani Sudra terus mencecar lawannya tanpa am-
pun. Sebaliknya dengan mempergunakan cangkul
penggali kubur. Tapak Dewa terus bertahan sambil
melakukan serangan-serangan balasan.
"Chaaa... mampus...!" teriak Asmarani Sudra, tubuhnya melentik lalu lenyap
sekelebatan. Saat itu
dedengkot Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan itu
sudah, bersiap-siap dengan jurus Pedang Pembasmi
Setan. Bersamaan dengan melesatnya tubuh Asmarani
Sudra, pedang di tangannya menderu mengarah pada
bagian leher Tapak Dewa.
Satria Penggali Kubur, keluarkan seruan terta-
han. Laksana kilat dia pun ayunkan cangkulnya me-
mapasi datangnya serangan pedang yang menebarkan
hawa beracun. "Traang...!"
Terlihat percikan bunga api manakala dua sen-
jata yang telah teraliri tenaga dalam itu saling bertemu. Tubuh Tapak Dewa
tergetar hebat, begitu pun
halnya dengan Asmarani Sudra. Namun di luar dugaan
Tapak Dewa, Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan itu
kirimkan satu pukulan ke bagian dada Tapak Dewa.
"Buuuk!"
"Auuughk...!"
Tubuh Satria Penggali Kubur terbanting keras,
darah berwarna kehitam-hitaman menyembur dari
mulutnya. Wajahnya nampak pucat sekali, namun dia
cepat-cepat menghimpun hawa murni. Sehingga rasa
sakit di dadanya menjadi berkurang.
Saat itu Asmarani Sudra sambil keluarkan tawa
mengekeh kembali kirimkan satu pukulan susulan.
Tapak Dewa cepat bangkit lalu ayunkan cang-
kulnya, menebas ke arah tangan Ketua Perguruan Ja-
gad Kelanggengan.
"Uuh! Sialan...!" maki Asmarani Sudra sambil menarik balik tangannya. Tanpa
menghiraukan makian Asmarani Sudra, Tapak Dewa terus menyerang
perempuan itu. Kini dia sedang mencari sela untuk
melan-carkan pukulan dahsyat yang diberi nama Pu-
kulan Mayat Sakti.
Begitu tangan Tapak Dewa terpentang ke uda-
ra, maka tak lama setelahnya, bagai sebuah gasing
yang keluarkan bunyi berdengung-dengung. Tubuh
Tapak Dewa berputar-putar. Semakin lama gerakan-
nya semakin cepat. Satu gelombang angin ribut me-
nyertai berputarnya tubuh Tapak Dewa itu. Tubuh Ta-
pak Dewa kaku laksana arca, tetapi tetap saja terus
berputar bagai sebuah gasing. Dia bergerak ke mana
pun Asmarani Sudra coba menghindar. Benda mau-
pun tumbuhan apa pun yang dilanggarnya menjadi
hancur berantakan.
Asmarani Sudra sungguhpun seorang tokoh
persilatan yang sudah banyak makan pengalaman
nampak bingung dan gugup. Dia memaki panjang
pendek. Berulangkali dia membabat tubuh yang ber-
putar-putar itu, namun tubuh Tapak Dewa menjadi
keras melebihi baja. Dia kembali babatkan pedangnya
sambil kirimkan satu pukulan dahsyat yang diberi
nama Dewa Gunung Membalik Bukit.
"Wuuus! Traaang!"
Babatan pedang pusakanya membalik bahkan
pedang itu sendiri patah menjadi dua bagian. Hanya
pukulan Dewa Gunung Membalik Bukitlah, yang sedi-
kit dapat menggoyahkan tubuh Tapak Dewa yang se-
dang berputar. "Sialan, ilmu iblis...!"
"Wuuut!"
Dengan tenaga berlipat ganda, Asmarani Sudra
kembali pukulkan Dewa Gunung Membalik Bukit. Be-
gitu pukulan yang berisi tiga perempat bagian tenaga dalam itu melanda tubuh
Tapak Dewa yang sedang
berputar cepat. Maka tak ayal lagi Tapak Dewa terpe-
lanting. Tetapi laki-laki berumur enam puluhan itu cepat-cepat bangkit kembali.
Bibirnya yang mengalirkan darah itu, menyunggingkan seulas senyum. Bersamaan
dengan itu dia pun kirimkan satu pukulan yang
lebih ganas lagi. Asmarani Sudra tertawa panjang pendek. Sementara itu Buang
Sengketa yang sedang
bertempur menghadapi Subali dan keroyokan murid-
murid Jagad Kelanggengan. Kini nampak mulai terde-
sak, beberapa jurus di depan dia semakin jatuh di bawah angin. Jurus silat
Membendung Gelombang Me-
nimba Samudra telah dia kerahkan, berlanjut dengan
jurus si Gila Mengamuk. Namun sejauh itu jurus-jurus yang sangat ampuh itu masih
belum juga mampu
mengatasi serangan gencar yang dilakukan oleh- la-
wan-lawannya. Nyatalah sudah bahwa sesungguhnya
murid-murid Perguruan Jagad Kelanggengan merupa-
kan murid-murid yang cukup tangguh. Buang Sengke-
ta cepat-cepat merobah jurus silatnya. Sekejap saja
tubuhnya telah lenyap bagai ditelan bumi. Baik Subali, Karsa maupun Panjul dan
Panut nampak menjadi bingung. Begitu melihat lawannya tiba-tiba saja lenyap
bagaikan setan. Saat-saat begitu, tiba-tiba terdengar sebuah seruan.
"Aku di sini, Bangsat...!"
Begitu mereka menoleh, tahu-tahu Buang
Sengketa sudah kirimkan satu jotos-an beruntun.
Dua orang murid Jagad Kelanggengan menjerit-
jerit sambil mendekap ke bagian matanya yang han-
cur. "Kampret...! Mengapa harus main kucing-
kucingan...!" maki Subali.
"Bukan main kucing-kucingan, Tikus lamur! In-
ilah jurus si Jadah Terbuang!" tukas Buang Sengketa sambil menghindari serangan
senjata lawan-lawannya.
Saat itu, Pendekar Hina Kelana semakin kesal
saja hatinya, mendadak dia teringat sesuatu. Lalu secara cepat dia menyurut
sepuluh langkah, dari bibir-
nya keluarkan gumaman yang tidak jelas.
Mendadak dia keluarkan jeritan tinggi melengk-
ing. Tak salah lagi itulah jeritan dari Ilmu Pemenggal Roh yang terkenal
dahsyat. "Heiiighk!" teriaknya. Saat itu juga bumi seakan runtuh dan ranting-ranting
kering berjatuhan ke bumi.
Beberapa orang murid dari Perguruan Jagad Kelang-
gengan nampak berteriak-teriak panik sekali. Dari telinga mereka mengalirkan
darah kental. Tak ayal
orang-orang itu pun roboh ke atas tanah berpasir. Tubuh mereka nampak
berkelejat-kelejat sesaat, lalu ter-
diam untuk selama-lamanya. Lagi-lagi Ketua Perguru-
an Jagad Kelanggengan itu dibuat terbelalak tak per-
caya. "Ilmu demit!" maki Subali menjadi panik, nyalinya nampak mulai menciut.
Sungguhpun begitu su-
dah tiada kesempatan lagi bagi Ketua Perguruan Kala
Hitam itu. Sebab sekejap kemudian Pendekar Hina Ke-
lana sudah kirimkan satu pukulan andalan yang diberi nama si Hina Kelana Merana.
"Weer! Weer!"
Pukulan yang memancarkan sinar merah
itu pun menderu mengarah, pada sisa-sisa murid dari
Perguruan Jagad Kelanggengan dan murid Kala Hitam.
Sejenak mereka jadi terperangah, begitu mereka ber-
usaha menghindar. Pukulan si Hina Kelana Merana
sudah melanda tubuh mereka.
"Bummm!"
"Arrrghk... tolong...!" jerit murid-murid Jagad Kelanggengan menyayat hati. Tak
dapat dicegah lagi,
tubuh mereka berpelantingan ke berbagai penjuru.
Mengetahui kejadian yang sangat mengerikan itu, baik Subali maupun Asmarani
Sudra berteriak marah.
"Bangsat gembel berperiuk! Kau telah membu-
nuhi semua murid-murid kami...! Kau harus melunasi
hutang nyawa murid-muridku...!" teriak Asmarani Sudra.
"Tutuplah mulutmu nenek peot. Main-mainlah
dulu dengan kakekku...!" kata Buang Sengketa dengan sesungging senyum sinis.
"Aku masih hidup guru...!" kata Panjul, tiba-tiba bangkit dari pingsannya.
"Aku juga, Guru...!" Menyusul Panut, seraya beringsut menjauhi pertarungan.
"Eeh, kalian mau merat ke mana...!" teriak As-
marani Sudra. "Aku takut, Guru...! Orang itu ilmunya sangat
tinggi sekali! Lebih baik kami pulang kampung mengu-
rusi anak bini!" kata Panjul dan Panut hampir bersamaan. "Pulanglah...!" bentak
Buang Sengketa.
"Kalian membikin malu perguruan, lebih baik
mampus saja...!" teriak Asmarani Sudra, lalu kirimkan satu pukulan gencar. Buang
Sengketa tidak tinggal di-am, dia pun kirimkan satu pukulan pula. Baik Panut
maupun Panjul ketakutan setengah mati, masih un-
tung Buang Sengketa masih berkenan menyelamatkan
mereka. "Bruaaak!"
Asmarani Sudra dan Buang Sengketa sama-
sama terpental jauh. Namun cepat-cepat perempuan
berusia lanjut itu bangkit kembali. Dia merasa sangat penasaran sekali, lalu
bermaksud kirimkan satu pukulan yang lebih hebat.
"Eeiit! Permainan kita belum selesai, Ketua
edan...!" kata Tapak Dewa menghadang Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan.
"Sialan, kau pun harus ku mampusi...!" maki Asmarani Sudra sambil lancarkan satu
tendangan. Sementara itu Buang Sengketa setelah melihat
Panjul dan Panut berlalu dari tempat itu, segera berhadapan kembali dengan
Subali. "Subali, semua kawanmu sudah pada mampus!
Masihkah kau tak mau menyudahi persoalan ini...?"
tanya Buang Sengketa dengan nada sedikit lunak.
"Puih, persoalan ini terlalu besar untuk diang-
gap selesai begitu saja! Murid-muridku tewas semua di tanganmu...!"
"Ha... ha... ha...! Tiada gunanya kau mengha-
dapi aku, Sobat...!" kata Pendekar Dari Negeri Bunian itu sambil tergelak-gelak.
Subali kertakkan rahang.
"Jangan sombong dulu kunyuk! Aku belum ka-
lah, masih ada sesuatu yang belum pernah kau li-
hat...!" "Keluarkanlah semuanya, kalau perlu nenek moyangmu suruh juga
berhadapan denganku... "
"Sombong sekali mulutmu. Hiaaat...!" teriak Subali. Lalu tubuhnya melesat
menjauhi Buang Sengketa. Dia nampak berdiri tegak bagai terpacak di bumi.
Dari mulutnya keluar bunyi mencicit, lalu berkomat
kamit membacakan mantra-mantra. Sekejap kemudian
tubuhnya mengepulkan uap putih. Uap tersebut lalu
berobah menjadi kabut yang sangat tebal. Kabut itu
pun bergulung-gulung menyelimuti tubuh Subali. Tak
lama setelahnya tubuh Subali tak terlihat sama sekali.
Pendekar Hina Kelana tercenung, sampai ak-
hirnya kedua matanya terbelalak. Dia melihat tubuh
Subali yang terbungkus kabut itu berhamburan ratu-
san kala hitam dan kala merah. Kala-kala berbisa itu pun segera cepat menyerang
Buang Sengketa. Buang
Sengketa terlonjak-lonjak menghindari sengatan kala-
kala berbisa itu. Dia menghindar kian ke mari. Tetapi begitu dia menghindar,
kala hitam dan kala merah itu terus mengejarnya. Nampaknya Buang Sengketa
semakin kerepotan menghindari sengatan-sengatan kala-
kala itu. Tiada pilihan lain, pemuda dari Negeri Bunian itu pun segera mencabut
Cambuk Gelap Sayuto yang
melilit di pinggangnya. Bersamaan dengan itu, dia pun mencabut Pusaka Golok
Buntung yang sangat meng-gemparkan.
Bibir Buang Sengketa keluarkan bunyi mende-
sis, bagai seekor Ular Piton yang sedang marah. Sepa-
sang matanya berubah merah saga, hawa membunuh
mulai mendesak-desak memenuhi rongga dadanya.
Tak lama setelah itu, dengan diawali satu teria-
kan membahana, Buang Sengketa segera lecutkan
cambuknya. Kala hitam dan kala merah yang jumlah-
nya mencapai ratusan itu, hancur berkeping-keping dilanda cambuk tersebut.
Cambuk itu terus melecut
memperdengarkan bunyi yang sangat menyakitkan
gendang-gendang telinga. Lalu bersamaan dengan be-
runtunnya lecutan cambuk di tangan si pemuda. Tiba-
tiba menderu angin kencang, gelegar petir di angkasa sambung menyambung. Langit
menjadi hitam pekat,
mendadak suasana di sekelilingnya menjadi gelap guli-ta. Perubahan pun terjadi,
tubuh Subali yang tadinya terbungkus kabut. Kini sudah terlihat kembali, bahkan
kala hitam dan kala merah hilang raib entah ke mana.
Dalam kegelapan itu, mendadak Buang Sengke-
ta berkata lantang.
"Anak manusia yang bernama Subali! Telah
kuperingatkan padamu untuk menyudahi urusan,
namun kiranya kau jenis manusia yang keras hati, kini tiada pilihan lain bagimu,
terkecuali mati...!"
Teriakan Buang Sengketa benar-benar sangat
mengejutkan Asmarani Sudra, tak terkecuali Tapak
Dewa. Gelegar petir dan suara gelap itu saja sudah
membuat Asmarani Sudra mulai ciut nyalinya.
12 Semua kejadian itu jelas tergambar dari lecutan
cambuk yang berada dalam genggaman Pendekar Hina


Pendekar Hina Kelana 12 Satria Penggali Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kelana. Sementara itu Buang Sengketa sudah menye-
rang Subali dengan lecutan cambuk dan golok di tan-
gan kanannya. Golok di tangan memancarkan sinar
merah, sehingga menampakkan sebagian wajah Buang
Sengketa yang nampak dingin.
"Ctar! Ctar! Ctar!"
Cambuk Gelap Sayuto terus menyambar-
nyambar, sehingga membuat suasana semakin ber-
tambah gelap gulita.
Sementara Subali saat itu terus berusaha
menghindari terjangan-terjangan golok yang menye-
barkan hawa maut tersebut. Namun Buang Sengketa
nampaknya sudah tidak memberi kesempatan lagi bagi
Subali. Dia terus mendesaknya. Golok Buntung di tan-
gannya berkelebat. Menyadari bahaya yang sedang
mengancamnya. Ketua Perguruan Kala Hitam, segera
kiblatkan Pedang Kala Hitam.
"Trang!"
Pedang milik Subali hancur berkeping-keping
dilanda pusaka Golok Buntung di tangan si pemuda.
Ketua Perguruan Kala Hitam jadi terkesima, tetapi itu hanya sekejaban mata.
Sebab tak lama setelahnya tubuh Pendekar Hina Kelana sudah berkelebat mende-
kat. Lalu secepatnya kirimkan satu tebasan mengarah
pada bagian leher Subali.
"Creees!"
Tubuh Ketua Perguruan Kala Hitam, nampak
terhuyung-huyung. Kedua tangan menekap pada ba-
gian leher. Tiada jeritan yang terdengar, selain Seperti suara kerbau
disembelih. Tubuh yang sudah mulai
kehabisan darah itu meliuk-liuk. Lalu tersungkur ba-
gaikan sebatang pohon yang roboh.
Pendekar Hina Kelana menarik napas pendek,
Pusaka Golok Buntung segera masuk ke dalam sa-
rungnya. Secara perlahan kegelapan yang mendadak
itu pun sirna seketika, mendung hitam di langit hilang tiada berbekas.
Sementara itu, Asmarani Sudra sungguhpun
masih tetap melanjutkan pertarungan dengan Tapak
Dewa. Namun dia sudah tidak mampu lagi berbuat
banyak. Agaknya kejadian yang baru saja dia lihat
berpengaruh banyak dalam jiwanya. Bagaimana tidak!
Hampir empat puluh orang mereka datang ke pema-
kaman itu, bahkan masing-masing dari mereka beril-
mu sangat tinggi, begitu pun dengan murid-muridnya.
Tetapi semuanya tewas di tangan pemuda berpakaian
kumuh itu. Satu kejadian yang belum pernah dia alami selama hidup.
"Nenek Peot! Masih jugakah kau berkeinginan
melanjutkan pertarungan...?"
Terdengar teguran Pendekar Hina Kelana.
"Kau pikir dengan tewasnya orang-orang itu,
aku terus menjadi takut?" maki Asmarani Sudra lalu meludah di tanah.
"Jadi kau benar-benar tak mau menyudahi per-
tarungan ini?"
"Puih. Aku malah jadi ingin menjajal keheba-
tanmu...!"
Buang Sengketa lalu melirik pada Tapak Dewa.
"Kakek Tapak Dewa, lihatlah keadaan Wanti
Sarati. Biar nenek bau ini menjadi bagianku...!" kata Buang Sengketa geram
sekali. Tapak Dewa lalu bersurut mundur, lalu berkelebat pergi meninggalkan tem-
pat itu. Seperginya Tapak Dewa, tanpa menunggu lebih lama lagi, Asmarani Sudra
langsung menyerang Pendekar Hina Kelana dengan pukulan-pukulan mautnya,
terkadang pedang Jagad Kelanggengan yang putih
mengkilat itu membabat dan menusuk pada bagian
tubuh lawannya. Di lain saat dengan mempergunakan
pukulan Dewa Gunung Membalik Bukit. Dia kirimkan
pukulan menggeledek;
Buang Sengketa sedikit banyaknya sudah men-
getahui kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh
Asmarani Sudra. Baginya daripada harus mengumbar
pukulan, selain hanya akan membuang-buang tenaga,
juga hanya membuat Asmarani Sudra memiliki pe-
luang banyak dalam bertindak; Pendekar Hina Kelana
segera raba bagian pinggangnya.
"Cring!"
Golok Buntung kembali tunjukkan keangke-
rannya. Sinar merah menyala memancar dari golok
tersebut. Saat itu sungguhpun Asmarani Sudra nam-
pak terkejut. Tetapi dia sudah sangat kalap dan nekad.
Ditendangnya Pendekar Hina Kelana dengan pedang
terhunus. Buang Sengketa berkelit. Serangan yang di-
lancarkan oleh Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan
itu pun luput. Tetapi tanpa putus asa dia segera lakukan serangan susulan yang
berupa pukulan jarak
jauh. "Bet! Bet!"
"Weeer!"
Satu gelombang sinar berwarna biru, nampak
menderu meluruk ke arah Buang Sengketa. Pemuda
itu, segera kiblatkan golok di tangannya.
"Prang! Blaam!"
Buang Sengketa merasakan dadanya sesak dan
sulit untuk bernapas, sebaliknya Asmarani Sudra ter-
pental tujuh tombak. Darah berlelehan dari hidung
dan bibirnya. Keadaan Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan
itu sudah nampak sangat payah sekali. Buang Sengke-
ta merasa kasihan karenanya. Lalu pemuda itu pun
berseru memberi peringatan.
"Tua renta! Lebih baik sudahi saja pertarungan
ini. Keadaanmu sudah sangat payah...!"
"Piuh. Aku tak butuh nasehatmu...!"
"Kuperingatkan masih ada kesempatan bagimu
untuk menyingkir...!"
"Jahanam kau bocah gembel. Bagiku daripada
hidup menanggung malu. Lebih baik aku mati menjadi
bangkai...!" maki Asmarani Sudra marah sekali.
"Nenek tak tahu diuntung. Jangan kau salah-
kan aku...!"
"Caaat!"
Dengan nekad, Asmarani Sudra sambitkan pe-
dang pusakanya. Mungkin pada saat itu Ketua Pergu-
ruan Jagad Kelanggengan mungkin sudah merasa pu-
tus asa, sedangkan untuk menyingkir dari tempat itu
dia merasa sangat malu.
"Ngungg!"
Pendekar ini kiblatkan golok pusakanya.
"Trang!"
Pedang Jagad Kelangggengan jadi berantakan,
manakala bertubrukan dengan Golok Buntung yang
berada di tangan si pemuda.
Mengetahui kenekadan Ketua Perguruan Jagad
Kelanggengan, pendekar dari Negeri Bunian itu nam-
pak sangat gusar sekali.
Tiba-tiba kedua bibirnya mengatup rapat, sepa-
sang matanya memandang tajam pada Asmarani Su-
dra. "Kenekadan mu benar-benar membuat kesaba-
ranku habis. Mampuslah kau...!"
"Ngung...!"
Debu dan pasir beterbangan manakala Golok
Buntung di tangan Pendekar Hina Kelana menyambar
ke arah pertahanan lawannya. Tubuh si pemuda terus
berkelebat, bergerak mengejar ke mana saja Asmarani
Sudra mencoba menghindar.
Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan itu se-
makin terdesak hebat. Dalam keadaan seperti itu, dia mencoba melepaskan satu
pukulan. Pada saat yang
sama pula Pendekar Hina Kelana membabatkan Golok
Buntung di tangannya.
"Cres! Crees!"
Asmarani Sudra melolong bagai serigala kelapa-
ran, kedua lengannya yang terkutung langsung saja
memancarkan darah.
"Apakah engkau masih tidak mau menyudahi
persoalan ini, Nenek sinting...?"
"Dendam ku akan kubawa sampai mati...!"
"Kalau begitu kau memang pantas mampus...!"
teriak Buang Sengketa. Lalu kembali golok di tangan-
nya berkelebat kembali:
Saat itu pandangan Asmarani Sudra yang su-
dah mulai nanar karena kehabisan darah. Sudah tak
melihat berkelebatnya golok di tangan si pemuda. Tan-pa ampun.
"Craaas!"
Tubuh Asmarani Sudra yang sudah banyak ke-
habisan darah itu pun limbung sesaat. Lalu terbanting di atas sebuah batu nisan
yang sangat runcing. Batu
nisan itu pun amblas ke dalam tubuh Asmarani Sudra
dengan keadaan yang sangat mengerikan.
Buang Sengketa menarik napas dalam-dalam,
tubuhnya bermandikan keringat. Tak lama setelahnya
dipandanginya mayat-mayat yang bergelimpangan tak
karuan itu. Tetapi dia hanya diam, dan pada saat itu pula terdengar teguran
halus di belakangnya.
"Paman Kelana! Engkau benar-benar seorang
pendekar yang tangguh!" kata Wanti Sarati. Lalu tanpa
menghiraukan Tapak Dewa, gadis itu langsung meng-
hambur ke dalam pelukan si pemuda.
"Bagaimana lukamu?" tanya Buang Sengketa
sambil membelai rambut si gadis. Lembut sekali.
"Kakek Tapak Dewa telah mengobati-nya. Tak
lama lagi juga sembuh...!"
"Anak baik! Bukankah kini kau sudah menjadi
muridnya kakek Tapak Dewa?" tanyanya lagi.
"Ya...!" jawab si gadis resah.
"Jadilah seorang murid yang baik. Kalau eng-
kau benar-benar sayang pada pamanmu ini. Kau ha-
rus patuh pada apa yang paman katakan...!"
Wanti Sarati hanya mengangguk.
"Bagus. Empat atau lima tahun lagi. Paman
pasti akan menemuimu...!"
"Jadi paman mau pergi lagi...?" tanya si gadis, pilu hatinya.
"Paman adalah milik orang banyak!"
"Tapi aku masih rindu padamu, Paman...!" de-sah Wanti Sarati tanpa dapat
membendung air ma-
tanya lagi...! "Cah baik. Suatu saat paman juga akan datang
ke mari...!" kata Buang Sengketa. Lalu dibelainya pipi si gadis, kemudian
diciumnya bagian kening Wanti Sarati dengan lembut. Setelah melepaskan pelukan
si gadis, dia berpaling pada Tapak Dewa.
"Kutitipkan Wanti Sarati padamu, Kakek Tapak
Dewa...!" "Kepercayaan Pangeran, sungguh merupakan
suatu kehormatan bagiku...!" kata Tapak Dewa lalu membungkuk hormat. Tetapi
manakala dia memandang kembali, Pendekar Hina Kelana sudah tak nam-
pak lagi. "Dia pergi lagi, Kakek...!"
"Sudahlah, Nduk. Jangan bersedih, kakek akan
tunjukkan sesuatu padamu...!" ujar Tapak Dewa sambil menggandeng tangan Wanti
Sarati. Sekejap kemu-
dian kedua orang itu pun telah melangkah pergi.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Panji Sakti 23 Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Pedang Pelangi 26
^