Pencarian

Satria Terkutuk Kaki Tunggal 2

Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Bagian 2


Pendekar Hina Kelana. Baru kali ini
semenjak meninggalkan Tanjung Api tempat
tinggal gurunya si Bangkotan Koreng
Seribu, agaknya bagi pemuda keturunan
Raja Ular Piton Utara itu sudah tak ada pilihan lain lagi terkecuali menempur si
Kaki Tunggal yang tangguh luar biasa
dengan pukulan-pukulan maut tingkat
paling tinggi. Suatu saat, tubuh Buang Sengketa
nampak melentik ke atas, kemudian dengan diiringi dengan satu jeritan
menggeledek, pemuda ini pun tak
sungkan-sungkan lagi langsung
melepaskan satu pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang tak pernah diragukan lagi akan kemampuannya. Tampak selarik sinar
yang hampir tak terlihat oleh kasat mata menderu dan timbulkan suara bagai badai
topan prahara. Pukulan maut itu melabrak tubuhnya. Sambil tertawa mengekeh, si
Kaki Tunggal, cepat-cepat lambaikan
tangannya. Aneh sekali, meskipun gerakan tangannya nampak begitu pelan dan
lembut, namun akibatnya Pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang dilepas oleh
pendekar dari Negeri Bunian yang
terkenal ganas itu segera membalik.
Dengan kecepatan dua kali tenaga
serangan itu sendiri, pukulan maut itu
berbalik menyerang pemiliknya. Pendekar Hina Kelana yang sebelumnya tiada
menyangka kalau si Kaki Tunggal mampu
mengembalikan pukulan miliknya bahkan
berkecepatan dua kali kelipatan tenaga
saktinya. Nampak cepat-cepat
menghindar. Tubuhnya berjumpalitan
beberapa kali, meskipun dia dapat
terlepas dari pukulan mautnya sendiri.
Tak urung bagai seekor monyet kesetanan, dia terpaksa berguling-guling di atas
permukaan tanah berdebu.
Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang
dapat dikembalikan oleh si Kaki Tunggal itu terus meluncur kemudian melabrak
sebatang pohon besar yang telah kering.
Pohon itu pun berkerotakan ambruk ke
bumi. Debu semakin banyak mengepul dan
membumbung tinggi ke angkasa. Sumpah
serapah berhamburan dari mulut si
pemuda. si kaki Tunggal nampak mengekeh, kemudian berseru;
. "Hieeeh...he.... he... he...!
Gembel Hina, pukulan mautmu memang
pantas untuk kupuji. Menjadi jagoan
dalam rimba persilatan, agaknya bukan
menjadi jalan hidupmu. Bagaimana kalau
engkau menjadi penebang pohon-pohon liar di sekitar tempat ini" Tentu hidupmu
menjadi makmur...!" ejeknya.
"Bangsat..! Engkau belum melihat
seluruh kemampuanku.... jangan sombong
dulu, Manusia Cacat...!" Marah sekali Pendekar Hina Kelana begitu mendengar
ucapan si Kaki Tunggal
"Bagus! Keluarkanlah seluruh
kemampuanmu. Kalau perlu panggil bapak
moyangmu sekalian, biar aku tak usah
kepalang tanggung dalam bertindak...!"
Memerah wajah si pemuda, mendidih
darahnya. Maka tak lama setelahnya,
tanpa banyak kata lagi, Pendekar Hina
Kelana sudah nampak bersiap-siap dengan pukulan si Hina Kelana Merana. Puncak
dari seluruh pukulan maut yang dia
miliki. "Hiiiaaaattt...!"
Pemuda itu sudah menggelar
pukulan-pukulan dahsyat. Tak
tertahankan lagi, kali ini pun si Kaki
Tunggal nampaknya juga tengah
bersiap-siap dengan pukulan-pukulan
andalan, Ksatria Sakti Membelah Gunung.
Pukulan inilah yang sengaja dipergunakan oleh si Kaki Tunggal untuk menggempur
serangan si pemuda.
Dalam kilatan sinar merah membara
dari pukulan si Hina Kelana Merana,
nampak berke-lebat-kelebat menyambar ke segala arah. Sementara itu serangkaian
sinar ungu dari Pukulan Ksatria Sakti
Membelah Gunung yang dilancarkan oleh
Kaki Tunggal selalu nampak berhasil
mematahkan pukulan-pukulan yarig
dilepaskan oleh Buang Sengketa. Sudah
barang tentu kegagalan demi kegagalan
yang dia telan pada akhirnya membuat si pemuda kita ini menjadi uring-uringan.
Lalu dia pun mulai berfikir-fikir untuk mempergunakan Pusaka Golok Buntung,
maupun Cambuk Gelap Sayuto yang selalu
dia bawa ke mana-mana. Akan tetapi di
luar perhitungan, kiranya si Kaki
Tunggal di luar pengetahuan si pemuda,
detik itu juga melepaskan pukulan
beruntun yang sangat sulit untuk
dijajaki kemampuannya.
"Wuuusss...!"
Sinar ungu berhawa dingin luar biasa
itu datang membadai, menebarkan bau
busuk yang memualkan perut. Tak ayal
udara di sekitarnya mendadak berubah
dingin. Tubuh pendekar ini nampak
menggigil. Hanya sekejap, detik
berikutnya dia berusaha sedapatnya untuk memapaki serangan yang datangnya
bertubi-tubi itu. Tetapi entah mengapa
sekalipun dia berusaha untuk mengerahkan tenaganya, namun hasilnya tetap sia-sia
belaka. Sesaat kemudian sadarlah dia
bahwa kiranya hawa pukulan yang
dilepaskan oleh si Kaki Tungal itulah
yang menyebabkannya tak
mampu mengerahkan tenaga saktinya. Celakalah
aku kali ini, batin si pemuda. Perkiraan Buang Pemuda kiranya memang tepat
sekali. Karena detik berikutnya,
pukulan Ksatria Sakti Membelah Gunung
telah menghantam tubuhnya.
"Bluaaaar..!?"
Tanpa ampun lagi tubuh pemuda dari
Negeri Bunian ini pun terpelanting
roboh. Darah kental menyembur dari mulut dan hidungnya, pemandangan di sekitar
mendadak gelap gulita. Tubuh Pendekar
Hina Kelana nampak diam tiada berkutik.
si Kaki Tunggal tertawa-tawa demi
melihat keadaan lawannya. Tetapi sedikit pun dia tiada mempunyai maksud untuk
meneliti keadaan lawannya yang tangguh
itu. Sembari melangkah pergi, Ksatria
Terkutuk Berkaki Tunggal itu pun berkata seorang diri.
"Baru kali ini aku mendapati lawan yang cukup berarti dalam hidupku. Kalau
nasibmu masih beruntung,
setidak-tidaknya engkau masih dapat
hidup dalam keadaan sekarat. Tetapi
seandainya engkau dapat selamat dari
pukulan yang tiada duanya itu, sebaiknya pulanglah engkau ke pangkuan ibumu.
Kemudian meneteklah sebanyak-banyaknya,
agar engkau nantinya bisa melihat Riung Gunung menjadi orang nomor satu dalam
dunia persilatan. Hak... hak... hak...!"
Tawa si Kaki Tunggal, lalu sekali saja
dia menggenjot tubuhnya, maka orang itu pun telah jauh meninggalkan Buang
Sengketa yang dalam keadaan pingsan
berat. * * * Salahna, Hono dan Hini, adalah
termasuk orang-orang yang termakan desas desus adanya pemilihan tokoh nomor satu
di dunia persilatan. Pagi itu mereka
telah sampai di daerah hutan panjang.
Bagai sedang memburu sesuatu yang
teramat penting, ketiga orang gadis ini nampak saling berlomba memacu kemampuan
mereka dalam ilmu lari cepat. Ketiga
gadis inilah yang sengaja diperalat oleh si Kaki Tunggal untuk menimbulkan
kekisruhan di mana-mana. Mengapa
orang-orang ini sampai terseret-seret
pengaruh si Kaki Tunggal" singkat
ceritanya, setelah kepergian guru mereka ke kaki Gunung Gili Manuk dan tak
pernah kembali, ketiga gadis ini bermaksud
menyusul si guru. Tetapi di dalam
perjalanan menuju Gunung Gili Manuk
mereka ini bertemu dengan Ksatria
Terkutuk Berkaki Tunggal. Dari orang
itulah mereka bertiga mengetahui bahwa
gurunya telah tewas dalam pertarungan
memperebutkan tokoh nomor satu di tangan Setan Kroya. Dengan kata-kata manis
yang sesungguhnya penuh bisa, si Kaki Tunggal menceritakan bagaimana liciknya si
Setan Kroya yang sesungguhnya hampir kalah di tangan guru ketiga gadis ini.
Mulanya, Salahna Hono dan Hini tidak begitu
mempercayai apa yang dikata-kan oleh si Kaki Tunggal. Namun berkat kata-kata si
Kaki Tunggal yang begitu mengesankan,
akhirnya ketiga orang ini pun berhasil
dihasut oleh pemuda kaki tunggal yang
bernama Riung Gunung tersebut. Sebagai
murid yang sangat berbakti terhadap
gurunya, sudah barang tentu, satu hal
yang ingin mereka lakukan adalah
menuntut balas. Sungguhpun ketiga orang ini menyadari bahwa Setan Kroya adalah
seorang tokoh tua yang ilmunya saja
sangat sulit untuk diukur, tetapi mereka ini telah mengambil keputusan, lebih
baik mati membela guru sendiri daripada hidup harus menanggung malu. Itulah
makanya dari niat semula ingin menuju ke Gunung Gili Manuk secepatnya, kini
langkah mereka malah berbalik menuju
Ngadiluwih yang merupakan tempat tinggal Setan Kroya. Demikianlah tanpa
menghiraukan rasa letih ketiga orang ini terus mengerahkan ilmu mengentengi
tubuh. Sehingga langkah-Iangkah
ilmu lari mereka sedemikian cepat luar biasa.
Satu ketika sampailah ketiga orang
ini di sebuah tanah berbatuan terjal dan gersang. Namun mendadak Salahna yang
bermata jeli itu nampak menghentikan
langkahnya. Sepasang matanya yang bening dan indah memandang tiada berkedip ke
arah suatu tempat. Di atas sebuah tebing, tak lama kemudian dia pun berseru:
"Hei.... Lihatlah di sebelah sana itu...!" teriaknya sambil menungjuk ke satu
tempat. Sudah barang tentu teriakannya itu membuat dua orang
saudara seperguruan lainnya langsung
menghentikan larinya. Lalu buru-buru
menoleh ke arah yang ditunjuk oleh kakak seperguruannya.
"Eee... siapakah dia?" tanya Hono pada Salahna.
"Dari sini memang tidak begitu
jelas. Ada baiknya kalau kita dekati dia, siapa tahu dia orang yang sedang kita
cari!" ujar Salahna, lalu tanpa membuang waktu lagi ketiga orang ini pun segera
bergegas mendekati orang yang sedang
duduk di punggung bukit. Begitu ketiga
orang ini hampir berada di depan orang
tersebut, mereka nampak terkejut.
Sebab orang yang mereka sangka sebagai
Setan Kroya, ternyata tak lain Buang
Sengketa adanya. Seperti
diketahui setelah mendapat pukulan si
Kaki Tunggal, selama dua hari dua malam pendekar ini tak sadarkan diri. Setelah
dua hari, saat dia sadarkan diri, tahulah dia bahwa si Kaki Tunggal memang
sengaja membiarkan dirinya terkapar di tempat
itu. Tetapi yang membuat dia begitu heran ialah mengapa dia tidak merasakan rasa
sakit di dadanya yangt,terkena pukulan
Ksatria Sakti Membelah Gunung milik si
Kaki Tunggal. Padahal pukulan tersebut
telah menyebabkan luka dalam yang sangat parah. Kiranya di luar kesadaran si
pemuda, kharisma Golok Buntung yang
terselip di pinggangnya itulah yang
sangat banyak mengurangi rasa sakit
sekaligus menyembuhkan luka dalam yang
dia derita. Hawa hangat yang keluar dari senjata pusaka itu telah membuat
gumpalan-gumpalan darah yang menyumbat
pembuluh darahnya mencair kembali.
Kalau saat itu dia telah berada
begitu jauh dari tempat pertarungan
dengan si Kaki Tunggal, tak lain hanyalah demi mencari laki-laki yang sangat
berbahaya itu. Dia ingin menghentikan
segala sepak terjang si Kaki Tunggal.
Demikianlah dalam keterlanjurannya itu
ketiga gadis murid Nini Klarah itu pun
pura-pura bertanya.
"Saudara.... apakah saudara pernah berjumpa dengan orang yang bernama Setan
Kroya...?" tanya Salahna sambil masih tetap memandangi pemuda yang sangat
tampan itu. Yang ditanya hanya gelengkan kepala, sebaliknya dia malah berganti
memperhatikan ketiga gadis itu,
seolah-olah dia ingin meneliti siapakah sesungguhnya ketiga gadis yang tengah
berdiri di hadapannya itu.
"Saudara ini siapakah...?" tanya Hono merasa tertarik dengan penampilan
si pemuda dari Negeri Bunian ini.
Pendekar Hina Kelana nampak
tersenyum tawar begitu mendapat
pertanyaan seperti itu. Tetapi, hal itu hanya berlangsung selama sesaat saja.
Sebab dia pun menyadari bahwa ketiga
gadis itu nampaknya merupakan gadis
baik-baik. "Namaku tiada arti apa-apa. Untuk
apa ditanya...?" desah si pemuda pelan.
"Ah, betapapun buruk nama itu
sendiri, sesungguhnya sangat berarti
bagi seseorang...!"
"Kalau kalian ingin tahu, namaku si Hina Kelana, pengembara di kolong jagad yang
tiada guna!" katanya hampir-hampir tak terdengar.
"Dari manakah asalmu, Saudara
Kelana...?"


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ditanya seperti itu sudah barang
tentu Buang Sengketa menjadi geli
sendiri. Tetapi begitu dia masih
menjawab juga. * * * 6 "Ah, kalian ini seperti petugas
pencacah jiwa dari kadipaten saja.
Mengapa harus tanya asal usul segala" Toh aku bukan seorang garong yang patut
dicurigai. Aku hanya seorang pengelana
hina...!" "Ah maafkan kami, Saudara Kelana!
Sesungguhnya kami sedang mencari
seseorang untuk menerima hukuman dari
kami...!" menyela gadis yang bernama Salahna, berusaha mengalihkan
pembicaraan yang tidak enak.
"Menerima hukuman" Kesalahan apa
yang telah diperbuat oleh orang itu?"
tanya Buang Sengketa penuh dengan
keinginan. "Orang yang bernama Setan Kroya itu telah membunuh guru kami, di lereng
Gunung Gili Manuk...!" tukas si Salahna.
Si pemuda nampak tercenung begitu
mendengar ucapan gadis itu, lalu
teringatlah dia akan kata-kata si Kaki
Pincang Mata Picak ketika berhadapan
dengan Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal.
Teringat sampai ke situ, tiba-tiba saja dia menyela;
"Apakah gurumu itu tewas, ketika
mengikuti pemilihan tokoh nomor satu,
dua atau satu purnama yang telah lalu?"
tanya si pemuda mereka-reka.
"Betul...! Eeh, darimana engkau
tahu?" Pendekar Hina Kelana hanya
tersenyum getir.
"Seperti yang aku dengar dari
seseorang yang hampir saja membuatku
mati!" "Apakah yang engkau maksudkan si
Setan Kroya, yang telah membunuh Nini
Klaiah guru kami itu...?" tanya ketiga gadis itu secarahampir bersamaan.
Buang Sengketa gelengkan kepalanya
berulang-ulang.
"Bukan...!" jawab si pemuda pasti.
"Lalu siapa?" S
"Si jahanam itu adalah manusia yang
menamakan dirinya Ksatria Terkutuk
Berkaki Tunggal!"
Terkejutlah ketiga gadis itu demi
mendengar apa yang dikatakan oleh si
pemuda. Kini hati mereka diliputi
keragu-raguan, benarkah ucapan si pemuda dapat dipercayai" Sedangkan menurut si
Kaki Tunggal, dirinya hanyalah manusia
biasa yang tiada memiliki kemampuan
bermain silat seperti layaknya
orang-orang kebanyakan. Tetapi mengapa
pula si pemuda di depan mereka itu
mengatakan bahwa dirinya hampir tewas di tangan si Kaki Tunggal" Jadi mana yang
benar" "Apakah kata-katamu dapat
dipercaya"!" ujar si gadis meragu.
Buang Sengketa kerutkan keningnya
begitu mendengar penuturan Salahna. Dia merasa begitu yakin, pastilah si Kaki
Tunggal telah menghasut ketiga gadis
itu. "Hem, kiranya kalian sudah kena
diperdaya oleh si keparat itu. Agaknya
kalian tidak tahu kalau si kaki Tunggal
memiliki kepandaian yang sangat tinggi, bahkan pukulan dan ilmu pedangnya hampir
saja membuatku celaka...!" tukas si pemuda. Seketika lamanya ketiga gadis
itu nampak saling berpandangan, mereka
nampak menjadi bingung dengar keterangan yang simpang siur itu. "
"Apakah kami bisa mempercayaimu,
Saudara Kelana...?" tanya Hono dan Hini dalam kebimbangan.
"Aku tidak pernah memaksa kalian
untuk mempercayai ucapanku. Tetapi aku
sedang berkata yang sebenarnya...!"
jawab si pemuda pasti.
"Kalau begitu orang itu telah
mengecoh kita, Kakak tertua...!" ujar si Hono.
"Tetapi menurut si Kaki Tunggal,
guru kita tewas di tangan si Setan
Kroya." ucap Salahna. masih dalam
keragu-raguan. Meskipun ketiga gadis ini setengah
berbisik, tetapi Pendekar Hina Kelana
dapat mendengar dengan baik apa yang
sedang mereka bicarakan itu. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi dia pun menyela!
"Kalau berita tewasnya guru kalian, hanya kalian ketahui dari si Kaki
Tunggal, maka aku sangat yakin bahwa
berita itu sengaja dibuat-buat...!"
"Tetapi ternyata guru kami memang
tidak pernah kembali sejak dua purnama
yang lalu!" bantah ketiga gadis itu secara serentak.
Lagi-lagi Pendekar Hina Kelana
tersenyum dibuatnya. Gadis itu meskipun sudah dewasa dan sudah pantas kawin,
tetapi masih tolol juga Batin si pemuda.
"Kalaupun guru kalian, memang
tewas! Tetapi aku sangat yakin, bukan
Setan Kroya yang melakukannya. Sebab
seperti yang aku dengar, kakek tua itu
pun kini sedang kelabakan mencari orang yang mencoba-coba mempergunakan namanya
untuk maksud-maksud yang tak baik. Pula selama ini kudengar kabar bahwa Setan
Kroya dan sahabatnya si Pengail Aneh
sudah lebih dari lima tahun mengasingkah diri di Ngadiluwih dan Susukan...!"
Bagai burung puntul, ketiga
gadis itu nampak
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi salah seorang di antaranya
kemudian sudah menyela!
"Kalau begitu siapa yang telah
membunuh guru kami di kaki Gunung Gili
Manuk tersebut...?"
"Aku tak bisa mengatakannya secara pasti, sebab pada saat itu, seperti apa yang
dikatakan oleh Mata Picak Kaki
Pincang sebelum tewas di tangan si Kaki Tunggal, bahwa setiap purnama, di kaki
Gunung Gili Manuk terjadi pertarungan
maut dari berbagai golongan. Jumlah
mereka juga banyak, dalam keadaan
begitu, tentu ada pihak-pihak tertentu
yang dapat menghalalkan segala cara demi dapat maju pada satu purnama
berikutnya. Kiranya mereka tak menyadari bahwa semua itu sesungguhnya merupakan siasat licik
si Kaki Tungvgal...!" " *
"Apa maksudmu, Saudara Kelana...?"
potong Salahna tiada mengerti akan
kata-kata yang diucapkan oleh si pemuda.
"Maksudku, orang-orang tolol yang
bertarung di kaki Gunung Gili Manuk itu siapa pun yang keluar sebagai pemenang,
pada akhimya akan berhadapan dengan si
Kaki Tunggal yang tangguh dan memiliki
ambisi yang besar untuk merajai seluruh dunia persilatan...!"
"Sial betul...! Kalau begitu kita
benar-benar telah dikerjai oleh si
Kunyuk cacat itu, Adik Hono, Hini...!"
gerutu Salahna jengkel sekali.
"Baiklah, kukira dengan
keteranganku ini kalian tak perlu
bersusah payah pergi ke Ngadiluwih untuk menemui si Setan Kroya. Kalau kalian
ingin mengetahui keadaan yang
sesungguhnya, maka datanglah satu
purnama mendatang di Kaki Gunung Gili
Manuk. Aku merasa sangat yakin bahwa si Kaki Tunggal pasti hadir di sana, karena
pada saat itu merupakan malam terakhir
yang menjadi penentu siapa sesungguhnya yang berhak menyandang gelar tokoh nomor
satu...!" kata Buang Sengketa memberi saran. Gadis-gadis itu pun
mengangguk-anggukkan setuju.
"Lalu engkau mau ke manakah, Saudara Kelana?"
"Demi menghindari jatuhnya banyak
korban, meskipun aku hampir saja mampus di tangan si Kaki Tunggal tetapi aku
akan menyusulnya...!" jawab Pendekar Hina Kelana seadanya.
"Bagaimana kalau kami turut serta
denganmu...?" tanya ketiga gadis itu menawarkan diri. Si pemuda nampak
tersenyum-senyum.
Tetapi kemudian
dengan halus dia menolak.
"Ah, alangkah lebih baik lagi kalau kalian langsung menuju kaki Gunung Gili
Manuk. Kita bisa bertemu di sana."
Ketiga orang itu nampak saling
pandang sesamanya, lalu setelah itu
mereka pun kembali menoleh pada Buang
Sengketa. "Baiklah, teritna kasih atas segala saranmu! Kami mohon diri...!" Kemudian
setelah berpamitan pada Pendekar Hina
Kelana, maka ketiga orarig itu pun
bergegas meninggalkan si pemuda. Hanya
sesaat pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara itu memandangi kepergian mereka,
karena tak_ begitu lama kemudian pemuda itu juga telah berkelebat pergi.
* * * Lembah Tong Tong Bengong adalah
merupakan sebuah lembah yang memiliki
air terjun berketinggian tidak kurang
Air lima tombak. Tak sesosok makhluk pun yang mendiami tempat itu. Karena daerah
itu memang dikenal sebagai daerah yang
sangat angker. Tiada tanda-tanda
kehidupan di sana, terkecuali keturunan golongan orang utan dan sejenisnya. Itu
makanya Lembah Tong Tong Bengong juga
memiliki satu nama yaitu Lembah Seribu
Monyet. Saat itu matahari sesungguhnya
sudah meninggi, namun sebagaimana
kebiasaan yang terjadi, di sekitar
Lembah itu udara di sekitarnya nampak
remang-remang berselimut kabut tebal,
hanya suara gemuruh air terjun saja yang terdengar. Semua itu mengingatkan pada
curahan hujan lebat yang turun dari
langit. Demikianlah di antara
bergemerosaknya suara air terjun yang
terhempas pada batu-batu yang berada di bawahnya, ada pun suara lain yang
menonjol adalah suara teriakan ratusan
orang utan yang bergelantungan pada
oyot-oyot kayu yang terdapat di sekitar lembah itu.
Sementara itu tidak begitu jauh dari
curahan air terjun tersebut, pada aliran anak sungai yang bening, nampaklah
seorang laki-laki tua berbadan gemuk dan bermata besar. Laki-laki gemuk itu
terus berjalan menelusuri pinggiran sungai
itu. Sesekali tubuhnya yang gemuk itu
melompat-lompat bagaikan seekor kodok
buntal yang berlari-lari takut terinjak gajah. siapakah adanya laki-laki tua
yang telah begitu nekad datang ke lembah Tong Tong yang terkenal sangat angker
itu" Tak lain dialah orangnya si Setan
Kroya. Seperti diketahui di dalam rimba
persilatan ada seseorang yang mencoba
mencatut namanya untuk tujuan-tujuan
yang tak baik. Dia merasa tak rela nama baiknya dicemarkan oleh orang lain.
Meskipun orang tersebut dari golongan
mana pun. Itu sebabnya setelah keluar
dari tempat pengasingannya di Ngadiluwih dan bertemu dengan sahabatnya yaitu si
Pengail Aneh, dia langsung melanjutkan
perjalanannya menuju ke arah Utara. Akan tetapi di tengah perjalanan siapa
sangka, ada seseorang melalui ilmu
menyusupkan suara mengaku-aku sebagai
orang yang paling bertanggung jawab
tentang pencatutan nama tersebut. Bahkan orang yang belum dikenalnya itu telah
memberi satu tantangan untuk bertarung
di sebuah Lembah yang bernama lembah
Seribu Monyet. Setan Kroya yang memiliki watak angin-anginan itu sudah barang
tentu tak menampik tantangan tersebut.
Apalagi hal itu ada hubungannya dengan
nama baik diri sendiri. Itulah mengapa
sebabnya hari itu dia telah sampai di
Lembah Tong Tong Begong yang menyeramkan tersebut.
Kini kakek gendut bermata lebar itu
terus melangkahkan kakinya tnenuju ke
bagian hulu sungai tersebut. Sampas
disuatu tempat dia menghentikan
langkahnya. Sepasang matanya yang bulat dan lebar tersebut nampak memandang
pada daerah sekelilingnya. Tiada apapun yang terlihat di sana terkecuali deru
suara air terjun dan jerit suara
orang-orang utan yang berlompatan kian
ke mari. Melihat pemandangan seperti
itu, lama-kelamaan Setan Kroya menjadi
sangat kesal hatinya. Akhirnya dia pun
berteriak-teriak seorang diri.
"Manusia yang mengaku dirinya
sebagai calon nomor satu di rimba
persilatan keluarlah! Tunjukkan
tampangmu...!" perintah si Setan Kroya.
"Groong.... grpoog.... ngok...
nggok!" Suara riuh bunyi orang-orang utan menyebabkan suasana di sekitarnya
semakin bertambah ramai. sialan, bukan
monyet yang aku panggil, orangutan pula yang jadi ribut. Makinya dalam hati.
Saking kesalnya, maka dia pun berteriak kembali!
"Calon nomor satu sialan! Di sinikah tempat tinggalmu, engkau bapak moyangnya
orang-orang utan ini...?" Suara si Setan Kroya menggema di mana-mana, tetapi
begitu getar-getar suaranya lenyap, maka hanva derai air terjun saja yang
terdengar. Setan Kroya semakin bertambah jengkel saja. Maka beberapa saat
kemudian dia sudah bermaksud


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan tempat itu. Ketika secara
tiba-tiba terdengar suara tawa yang
menggemuruh dari balik kegelapan kabut
tebal. "Hak.... ha.... ho....! Setan
Kroya, hendak ke manakah engkau ini,
sudah sejak tadi aku menunggumu di sini.
Bahkan aku sudah mulai mengantuk
sekali...!" tukasnya di antara suara gaduh air terjun.
"Ah, engkaukah yang telah memakai
namaku...".'" tanya si Setan Kroya dengan kedua mata semakin melotot.
"Betul...!"
"Apakah engkau juga yang telah
menantangku...?"
"Juga betul...!"
"Betul, betul melulu, Bangsat...!"
Bersamaan dengan ucapannya itu, Setan
Kroya pukulkan tongkatnya ke udara.
Bersamaan dengan lambaian tongkatnya
tersebut, maka serangkum sinar kuning
nampak menderu cepat ke arah sumber
datangnya suara di kegelapan sana. Tak
ayal lagi orang yang berada di kegelapan itu melesat menyongsong ke arah Setan
Kroya yang nampak berdiri menanti.
Begitu orang itu sampai di depan
Setan Kroya, laki-laki tua berbadan
gemuk itu pun terkejut luar biasa.
"Eng.... engkaukah?" ucap Setan Kroya terbata-bata.
Kiranya orang yang membuat si Setan
Kroya terkejut tak lain adalah si Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal adanya.
Sementara itu si Kaki Tunggal
nampak tertawa mengekeh, begitu melihat keterkejutan si Setan Kroya.
* * * 7 Kemudian dengan sorot mata penuh
kebencian pemuda berkaki tunggal itu pun membentak marah.
"Agaknya engkau merasa sangat heran sekali, Setan Kroya. Bangsat! Engkau dan
kawanmu si Pengail Aneh memang pernah
membuat kakiku cacat seumur hidup,
Bahkan kalian berdua pernah melemparkan aku kedalam jurang. Kalian berdua tentu
mengira bahwa aku telah mampus di dasar jurang itu. Huh. Tidak sama sekali,
Setan Kroya. Monyet-monyet itulah yang telah
mengajarku, menolongku bahkan membuatku menjadi manusia yang segera akan
menguasai rimba persilatan. Dan engkau, Setan Kroya.... hak... hak... hak.,..!
Engkau benar-benar harus mampus di
tanganku, Setan Kroya..."!" bentak si
Kaki Tunggal sambil tergelak-gelak bagai orang gila.
"Monyet hitam, bagaimana pun
hebatnya ilmu kepandaian yang engkau
miliki. Tidak nantinya kekal
selamanya...!"
"Omong kosong, ternyata kalau
memang segala apa yang kau ucapkan dahulu itu benar adanya. Tetapi kini engkau
telah melihat sendiri betapa kau akan
mampus di tanganku...!" menggeram di Kaki Tunggal.
"Bagus! Engkau ini sudah
keturunannya manusia sesat, pencuri nama orang, pengadu domba. Lebih dari itu,
kiranya engkau si keparat yang pantas
untuk menebus segala dosa-dosa nenek
moyangmu...!"
"Ha.... ha.... ha...! Aku jadi ingin lihat sampai di mana kemampuan yang
engkau miliki hingga kini, Setan
Kroya...!"
Akhirnya tanpa mengulur-ulur waktu
lagi, Setan Kroya langsung mencabut
tongkatnya. Lalu bagai kesetanan, orang ini pun segera menyerang si Kaki Tunggal
dengan jurus-jurus yang sangat ampuh.
Sebentar saja suara beradunya dua
senjata yang berupa tongkat itu pun
terdengarlah. Jerit dan lengking suara
teriakan masing-masing lawan meningkahi bergemuruhnya suara air terjun.
Serangan-serangan ganas pun saling
mereka lancarkan, Setan Kroya segera
berkelebat dan menyerang si Kaki Tunggal dengan ilmu totokan tongkatnya ke
bagian-bagian yang mematikan. Namun si
Kaki Tunggal tidak menjadi gugup, tanpa tedeng aling-aling dia putar tongkat
penyanggah tubuh pada seputar badannya.
Karena dua tongkat masing-masing
sama-sama dialiri tenaga dalam, maka
ketika senjata itu saling beradu, baik
tubuh Setan Kroya maupun si Kaki Tunggal sama-sama tergetar hebat.
Lebih dari dua puluh jurus telah
berlangsung, nampaknya pertarungan itu
benar-benar seimbang, Akan tetapi
manakala si Kaki Tunggal mundur dua
tombak, lalu dengan disertai satu
jeritan laksana merobek gendang-gendang telinga, laki-laki berbadan hitam legam
menyerbu kembali. Lambat laun suara
pekik yang datangnya bagai dari beribu
penjuru itu membuat si Setan Kroya
menjadi blingsatan. Serangan maupun
pertahanan yang dimiliki menjadi kacau
tak beraturan. Sadarlah dia bahwa pihak lawan telah mempergunakan ilmu pemecah
konsentrasi. Sebagai sesepuh persilatan
yang sudah sangat berpengalaman sudah
barang tentu dia tidak membiarkan
keadaan ini terus berlarut-larut.
Tiba-tiba dia hentikan gerakan
silatnya, setelah sebelumnya melesat
beberapa tombak. Dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya dia kini telah
merubah jurus-jurus silatnya. Tongkat di tangannya berkelebat laksana kilat,
begitu tongkat itu berputar maka
tubuhnya lebih cepat lagi berkelebat
mengitari si Kaki Tunggal.
Pukulan-pukulan dahsyat menyertai
serangan-serangan tongkat di tangannya.
Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal
keluarkan suara tawa mengekeh, manakala serangan beruntun itu mencecar ke bagian
tubuhnya. Namun tatkala si Setan Kroya
gerakkan tongkatnya ke arah muka dan
perut si Kaki Tunggal, laki-laki ini
nampak menjadi gugup. Kelengahannya yang hanya beberapa detik itu membuat si
Setan Kroya memiliki satu kesempatan untuk
memukulkan tongkatnya. Maka tak ayal
lagi. "Buuuk!"
Bagai memukul seekor anjing
kesurupan si tua gemuk bermata lebar itu memukul si Kaki Tunggal. Tubuh laki-
laki berbadan legam itu terpelanting,
meskipun tidak sampai roboh namun
pukulan yang dilakukan oleh Setan Kroya membuat dadanya terasa sesak luar biasa.
si Kaki Tunggal memaki dalam hati.
Secepatnya dia bersiap-siap dengan
posisinya, sekejap kemudian dia sudah
mencabut sebilah pedang panjang yang
tergenggam di tangan, pihak lawan yang
sudah barang tentu hal ini tak luput dari perhatian si Kaki Tunggal, maka dengan
nada berapi-api dia pun membentak gusar!
"Setan Kroya manusia malang. Tentu engkau merasa heran mengapa pedang
kematian milik si Tangan Buntung ini
berada di tanganku. Ha... ha... ha....!
Kudengar engkau dan si Pengail Aneh
pernah hampir mampus di tangan pemilik
pusaka ini. Hmm! Karena aku ini murid
tunggal si Tangan Buntung, maka aku punya kewajiban untuk menyelesaikan tugas
guruku yang belum sempat tuntas itu. Kali ini engkau tak mungkin luput dari
belenggu maut, Setan Kroya...!" ancam si Kaki Tunggal.
"Hak.... hak.... hak...!" Setan Kroya mengekeh.
"Kiranya engkau ini telah berguru
pada manusia sesat itu. Tak disangka,
bapak moyangmu sudah tersesat sangat
jauh sebagai anaknya kiranya kesesatanmu lebih gila lagi. Meskipun seribu pedang
kematian berada dalam genggamanmu,
jangan kira aku menjadi segan untuk
menghadapimu!"
"Bagus kalau engkau memiliki
keberanian seperti itu, sekarang
bersiap-siaplah untuk menerima
kematian...!" Dengan sekali lompat, pedang kematian di tangan si Kaki Tunggal
menderu laksana badai topan prahara.
Ngilu rasa tulang-tulang Setan Kroya
demi merasakan angin sambaran pedang
kematian itu. Akhirnya tanpa canggung-canggung
lagi, Setan Kroya begitu menyadari akan keganasan pedang di tangan lawannya,
cepat-cepat mengerahkan segenap
kemampuannya. Sementara itu dengan senjata di
tangannya, si Kaki Tunggal nampak
beringas. Raut wajahnya yang nampak
kelam membesi itu nampak mengisyaratkan hawa pembunuhan yang menyala-nyala.
Sekejap kemudian pertarungan yang
menentukan hidup dan mati dari kedua
musuh bebuyutan itu pun berlangsung
sangat seru dan mendebarkan.
Si Kaki Tunggal segera kirimkan
serangan-serangan ganas ke arah
bagian-bagian tubuh si Setan Kroya.
Melihat datangnya serangan yang sangat
dahsyat dari pihak lawan Setan Kroya
melompat mundur tiga tombak. Dia segera pukulkan tongkatnya ke udara.
Segelombang sinar kuning keemasan
laksana topan memapaki datangnya tusukan senjata dari pihak lawannya. Menyadari
akan adanya bahaya yang mengancam, si
Kaki Tunggal tarik balik serangannya.
Akan tetapi dari arah lain si Kaki
Tunggal segera membangun serangan
kembali. Setan Kroya membalikkan badan
dengan cepat sewaktu di belakangnya
terasa sambaran angin yang begitu
dingin. Namun agaknya semua itu sudah
terlanjur nasib. Sambaran senjata di
tangan lawannya sempat menggores
bagian punggungnya. Setan Kroya
menggerung, meskipun sudah terluka, dia mengambil keputusan untuk mengadu jiwa.
Maka sewaktu senjata di tangan si Kaki
Tunggal kembali menderu mengarah pada
bagian lehernya, dia pun dengan
kenekatan yang luar biasa, langsung saja kiblatkan tongkat di tangannya. Tak
pelak lagi, pedang di tangan si Kaki
Tunggal berbenturan dengan tongkat di
tangan Setan Kroya.
"Traakk...!"
Tongkat di tangan Setan Kroya
berantakan menjadi berkeping-keping
begitu terhantam mata pedang si Kaki
Tunggal. Tidak sampai di situ saja!
Sedetik kemudian terdengar jerit
tercekik dari Setan Kroya. Dua tusukan
pada bagian leher dan dadanya. Darah
kental berwarna kehitam-hitaman tidak
lagi sempat menyembur dari luka yang
terkoyak panjang. Tak ampun lagi si Setan Kroya tersungkur ke tanah. Begitu
jatuh maka nyawa laki-laki gemuk dari
Ngadiluwih itu pun terlepas dari
jasadnya. si Kaki Tunggal keluarkan
suara tawa mengekeh, bagai jeritan
monyet hutan yang sedang berpesta pora.
Serentak dengan suaranya itu, maka
kawanan orang utan yang berada di sekitar tempat itu langsung menyerbu dan
mengerumuni si Kaki Tunggal. Nampak
sekali keakraban di antara mereka.
Laki-laki berkulit hitam legam itu,
untuk beberapa saat lamanya nampak
mengelus-elus beberapa ekor kepala orang utan yang sudah begitu jinak padanya.
Setelah itu dengan bahasa isyarat,
dia memberi perintah pada
binatang-binatang tersebut. Kemudian
seperti mengerti saja,
binatang-binatang itu pun segera
menggotong tubuh si Setan Kroya yang
sudah membeku. Lalu tubuh laki-laki tua itu pun mereka campakkan ke dalam air
terjun yang menggila. Lega hati si Kaki Tunggal begitu melihat hasil kerja
kawan-kawannya yang berupa orang utan
tersebut. Mendadak ia pun terkekeh.
"Ha... ha... ha...! Beberapa
pembalasan yang sangat menyakitkan telah kulakukan. Dunia persilatan sebentar
lagi akan menjadi gempar, mereka saling bunuh karena rencana-rencanaku. Kini
hanya tinggal si Pengail Aneh saja yang mungkin merupakan lawan tangguh bagiku.
Tetapi semuanya akan mati, ya.... mati
seperti yang lain-lainnya...!" ucap si Kaki Tunggal tersenyum puas. Lalu
beberapa saat kemudian tubuhnya pun
segera berkelebat pergi.
* * * Panas yang terik, kemarau yang
panjang. Hal inilah yang sesungguhnya
membuat laki-laki berkepala botak itu
mengeluh panjang pendek hampir sepanjang perjalanan yang dia lalui. Betapa
tidak, sudah hampir sepuluh hari sejak
kepergiaannya, Setan Kroya yang berjanji
akan tiba kembali di tempat kediaman si Pengail Aneh paling lambat tujuh hari,
akan tetapi sampai hari kesepuluh,
sahabatnya yang setengah sinting itu
belum juga nongol menemuinya. Hal itu
sudah barang tentu membuat hati si
Pengail Aneh menjadi was-was. Apalagi


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyi Kroya sampai sempat menyusul
suaminya di Susukan. Kehadiran nenek
keriput yang juga memiliki kepandaian
tinggi itu juga membuatnya semakin
bertambah repot, bayangkan saja Nyi
Kroya bertanya ini dan itu tentang
keselamatan suaminya, sedang dia sendiri pun tidak tahu, sedang berada di mana
Setan Kroya saat itu. Tak ada pilihan
lain, demi menghindari cekcok lebih
lanjut maka dia pun telah memutuskan
untuk menyusul Setan Kroya, sementara
Nyi Kroya dia sarankan untuk sementara
waktu supaya tinggal di pondok miliknya.
Demikianlah, sambil terus mengomel
panjang pendek si Pengail Aneh terus saja melangkahkan kakinya. Udara panas yang
terasa begitu menyengat tubuhnya tambah membuat keringat terus bercucuran di
sekujur badannya. Sesekali si Pengail
Aneh mengitarkan pandangannya ke segenap keadaan di sekeliling. Tatkala sepasang
matanya yang sipit berkeriapan itu
menangkap berkelebatnya bayangan
seseorang, maka dengan cepat dia pun
memburu orang yang sedang berlari-lari
tersebut. Akan tetapi orang tersebut
nampaknya memiliki ilmu lari cepat luar biasa, sehingga laki- laki berkepala
botak ini kesal bukan main, demi melihat kemampuan orang yang dikejarnya.
Barulah setelah dia mengerahkan segenap
kemampuannya tak berapa lama kemudian
orang itu pun tersusul. Tiba-tiba si
Pengail Aneh membentak.
"Berhenti...!" teriaknya pada orang tersebut.
Tetapi bagaikan tak mendengar saja
layaknya, orang itu tetap saja terus
berlari-lari cepat sekali. si Pengail
Aneh nampak memaki dalam hati begitu
melihat orang yang sedang dikejarnya
tidak memperdulikan perintah.
"Orang budek! Berhenti kataku...!"
perintahnya lebih keras lagi.
Barulah orang itu serentak menoleh
dan langsung menghentikan langkahnya.
Sesaat lamanya orang penyandang periuk
ini nampak cengar-cengir begitu melihat penampilan si Pengail Aneh. siang yang
terik dimana di sana sini terjadi
kekeringan, sementara saat itu sedang
berada di daerah perbukitan tandus.
Tetapi orang tua berkepala botak itu
malah membawa-bawa sebuah kail. Untuk
apakah" Kalau bukan orang yang kurang
waras, sudah barang tentu hal itu tak
akan dilakukannya. Pemuda berperiuk yang sudah tak asing lagi bagi kita ini,
nampaknya ingin mengatakan sesuatu namun pada saat itu si Pengail Aneh sudah
membentak. "Hei, engkau monyet budek tak tahu adat, apa yang engkau tertawakan?" kata si
Pengail Aneh nampak berang sekali.
Maka semakin lebarlah tawa Buang
Sengketa demi mendengar cercaan si kakek berkepala botak.
"Sinting! Agaknya kau ini bocah
gendeng, mana adatmu...?" maki si
Pengail Aneh sangat marah sekali.
"Kakek botak! Aku berlari-lari
engkau mengejarku. siapa suruh" Kini
engkau malah marah-marah pula di
depanku, apa hakmu...?" tukas si pemuda nampak sangat tersinggung sekali dengan
ucapan si kakek.
"Bocah tolol, berani sekali engkau menyebutku si botak, pula aku mau marah apa
perdulimu...?" maki si Pengail Aneh, sepasang matanya itu pun nampak me man
dang tajam pada sipemuda. Agaknya kini
sadarlah pemuda ini, bahwa sesungguhnya
sangat mungkin sekali orang yang
dihadapinya itu orang yang kurang waras.
"Aku tak tahu namamu orang tua, itu makanya aku memanggilmu dengan botak
saja. Sebabnya kepalamu juga botak!"
jawab Pendekar Hina Kelana dengan suara hampir tak terdengar.
"Sial betul engkau ini. Meskipun
kepalaku botak, tetapi aku masih punya
nama yang patut untuk engkau hargai!"
"Baik! Aku akan menghargaimu,
tetapi coba sebutkan dulu siapa ,
namamu...!"
Mendengar kata-kata si
pemuda si Pengail Aneh nampak
tergelak-gelak. Kemudian dia pun
berucap. * * * 8 "Ahk, kiranya engkau punya
peradatan juga rupanya. he.... he...
he....! Begitu pun atas kekurang
ajaranmu aku pantas menghukummu!"
"Apa salahku orang tua...?" tanya Buang Sengketa gusar.
"Apa salahmu" Bukankah engkau tadi mengejekku dengan memanggil-manggilku,
si Botak...?"
"Hemmm. Engkau ini lucu sekali,
perkara kecil juga engkau besarkan.
Sejak tadi juga aku sudah bilang,
kupanggil engkau botak, justru karena
aku tak tahu namamu, Kalau aku tahu nama kebesaranmu sudah baring tentu aku tak
panggil engkau begitu...!"
"Botak lagi botak lagi. sial kau...!
Sekali saja engkau sebut kembali, maka
kupecahkan batok kepalamu...!" ancam si Pengail Aneh. Dan sudah barang tentu
tingkah laki-laki tua itu, lama-kelamaan membuat Buang Sengketa menjadi sangat
jengkel. Lalu beberapa saat kemudian dia pun berkata tegas!
"Kakek tua, aku tak tahu apa
tujuanmu menghentikan aku. Tetapi kalau engkau masih saja tak mau serius, maka
aku akan segera meneruskan
perjalananku!"
"Aku si Pengail Aneh. Aku tak
perduli orang mau pergi ke Barat atau ke Timur. Tetapi asal tahu saja, sekali
aku inginkan sesuatu dari seseorang, maka
orang itu baru akan kubiarkan pergi
setelah menuruti perintahku terlebih
dahulu." menyela kakek berkepala botak ini sambil kedip-kedipkan matanya.
Sungguhpun Pendekar Hina Kelana
nampak sangat terkejut dengan ucapan si Pengail Aneh, namun dia berusaha untuk
menutupinya. Kemudian setelah menjura
tiga kali, maka dia pun berkata!
"Tak disangka kiranya hari ini aku yang bodoh ini bisa,bertemu denganmu hai
orang tua. Maafkan atas kekurang
ajaranku...!"
Dalam pada itu kiranya di luar
perhitungan si pemuda, tiba-tiba saja si Pengail Aneh nampak berubah sikapnya.
"Tak dinyana, kiranya aku yang
sinting ini sedang berhadapan dengan
seorang yang tahu tata krama. Atas
sikapmu itu aku mencabut segala ucapanku tadi!" kata Pengail Aneh. Dan untuk
beberapa saat lamanya dia nampak
terdiam, lalu setelah memandang pada si pemuda, sejurus kemudian dia menyambung
kembali." Orang muda siapakah engkau ini dan hendak ke mana?" tanya si Pengail
Aneh pelan sekali.
Pendekar Hina Kelana pun orang yang
tahu diri, begitu si botak aneh tersebut nampak berubah dalam tutur katanya,
maka dia pun berubah lunak pula.
"Kakek Pengail Aneh, sesungguhnya
aku yang bodoh ini bernama Buang Sengketa dan orang-orang selalu memanggilku
dengan si Hina Kelana, saat ini aku
sedang berencana untuk pergi ke kaki
Gunung Gili Manuk...!"
Si Pengail Aneh terbelalak matanya,
dari berita yang tersiar dari mulut ke
mulut selama ini dia memang pernah
mendengar bahwa ada seorang pendekar
muda yang tampan rupanya. Namun memiliki kepandaian yang sangat tinggi, sepak
terjangnya membuat kaum, persilatan
beraliran sesat menjadi jeri. Namun
sedikit pun tiada menyangka, kalail
pendekar muda yang menghebohkan itu
berpenampilan seperti seorang gembel.
Berpakaian kumuh dan dekil, sementara
sebuah periuk menggelantung di
pinggangnya lagi. Setengah percaya dan
tidak maka dia pun berkata!
"Jadi engkaukah orangnya pendekar
yang belakangan ini membuat heboh di
mana-mana itu?"
"Engkau terlalu berlebihan orang
tua. Aku hanya pengelana biasa yang tiada memiliki arti apa-apa bila
dibandingkan dengan dirimu...!" ucap Buang Sengketa merendah.
"Pandai sekali engkau membawa diri, Kelana. Meskipun berkepandaian tinggi,
namun memiliki sikap rendah hati. Aku
menyukai orang semacammu. Oh ya engkau
bilang tadi hendak pergi ke Gunung Gili Manuk, ada keperluan apakah?" tanya si
Pengail Aneh kemudian.
Mendapat pertanyaan seperti itu,
tiba-tiba si pemuda kerutkan wajah. Dia bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah si
Pengail Aneh tidak mengetahui apa yang
bakal terjadi di lereng Gunung Gili
Manuk" Atau sengaja berpura-purakah dia"
Batinnya. "Orang tua, masa engkau tidak tahu apa yang telah dan bakal terjadi di kaki
Gunung Gili Manuk?" Akhirnya pendekar ini bertanya juga.
"He... he... he...! Tentang
pemilihan orang nomor satu di rimba
persilatan. Itu sih cuma baru kudengar
dari oratng-orang yang lewat saja.
Tetapi apa tujuanmu ke sana" Apakah
engkau berniat menjadi orang nomor satu pula...?" tanya si Pengail Aneh dengan
pandangan menyelidik. Pendekar Hina
Kelana tersenyum getir.
"Sama sekali tidak, Orang tua! Aku hanya bermaksud mencegah terjadinya
pertumpahan darah lebih lanjut. Pula aku
ingin menghukum orang yang menjadi
penyebab semua mala petaka itu...!"
jelas Buang Sengketa.
"Teruskan hai orang muda!" perintah si Pengail Aneh semakin tertarik.
"Pemilihan tokoh nomor satu itu,
sesungguhnya hanyalah merupakah gagasan dari seorang pemuda berkaki tunggal.
Dialah yang telah merencanakan itu
semua, karena dia sendiri memang punya
niat untuk menjagoi seluruh dunia
persilatan...!"
"Berkaki Tunggal" Hm, agaknya aku
baru mendengarnya kali ini, tetapi...!"
Tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Ada apakah orang tua...?" "Ee....
tidak.... tak mungkin orang itu...!"
ucap si Pengail Aneh agak tergagap. Hal ini sudah barang tentu membuat si pemuda
jadi terheran-heran.
"Siapa yang kau maksudkan...?""
"Ah, sudahlah! Oh ya, apakah engkau pernah bertemu dengan orang itu?" si Pengail
Aneh mengalihkan pembicaraan.
Meskipun hati Pendekar Hina Kelana
diliputi oleh ketidak mengertian, tetapi akhirnya dia menjawab juga.
"Pernah, bahkan aku hampir mampus di tangannya! Orang itu memiliki kepandaian
yang sangat sakti sekali...!"
"Kalau begitu demi menghindari
korban berjatuhan lebih banyak lagi, aku pun tak akan tinggal diam. Meskipun aku
sudah kropok, agaknya sisa-sisa tenagaku masih dapat membantu usahamu itu." si
Pengail Aneh menyanggupi.
"Terima kasih, orang tua. Tetapi
sesungguhnya engkau ini hendak ke
manakah?" si Pengail Aneh
kerjap-kerjapkan matanya, lalu
garuk-garuk kepalanya.
"Sesungguhnya aku mencari kawanku, namanya si Setan Kroya...!"
"Setan Kroya...?"
"Betul! Kenalkah engkau
padanya...?" tanya si Pengail Aneh.
"Tidak, tetapi si Kaki Tunggal
pernah menyebut-nyebut nama kawanmu itu.
Bahkan dia bermaksud untuk membunuh si
Setan Kroya...!"
"Apa...." Sang Hyang Widi, itu
berarti kini Setan Kroya sudah tewas di tangan manusia setan itu!" tukas si
Pengail Aneh sambil pukul-pukul jidatnya yang pelontos.
"Bagaimana engkau bisa mengatakan kalau sahabatmu itu telah tewas di tangan si
Kaki Tunggal...?" Si pemuda nampak keheranan.
"Woale.... Toubaaat.... mengapa aku setolol ini! Kelana, apakah si Kaki
Tunggal itu kulit dan wajahnya
menyerupai seekor monyet hutan...?"
Tanya si Pengail Aneh harap-harap cemas.
"Betul...!" Jawab si pemuda mantap.
Sekali ini mata si Pengail Aneh
nampak terperangah.
"Apakah si bangsat itu mengalami
cacat pada bagian kaki kirinya...?"
"Juga betul!"
"Celaka! Kiranya si Kaki Tunggal tak lain adalah Riung Gunung yang telah kami
lemparkan ke dalam air terjun di lembah Tong Tong Bengong. Akh rupanya dia masih
hidup hingga sampai saat ini...!" desah laki-laki berkepala botak itu seperti
menyesalkan. "Apakah dulunya dia musuhmu?"
"Ya, orang tuanya merupakan seorang tokoh sesat yang memiliki pukulan
beracun dan banyak menebar onar di
mana-mana, aku bersama Setan Kroya
pernah terlibat pertarungan di Lembah
Tong Tong Bengong. Ayahnya tewas, begitu juga dengan ibunya. Pada saat itu tanpa
sengaja Setan Kroya sempat menebas kaki orang itu dan sebagai akibatnya...!"
kata laki-laki itu tanpa melanjutkan
ucapannya.

Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu ada baiknya sekarang juga kita berangkat menuju ke kaki Gunung
Gili Manuk...!"
"Baiklah, aku setuju dengan
rencanamu itu...!" jawab si Pengail Aneh. Lalu tanpa kata lagi, kedua orang itu
pun segera melangkah pergi.
* * * Ketika ketiga gadis itu sampai di
sebuah desa yang cukup ramai, saat itu
hari sudah menjelang malam. Mereka
berfikir bahwa meneruskan perjalanan itu sendiri masih memakan waktu kurang
lebih satu malam lagi. Sedangkan mereka
nampaknya sudah terlalu kecapaian
setelah melakukan perjalanan
berhari-hari tanpa henti. Jalan
satu-satunya adalah mencari penginapan
dan mendapatkan warung untuk mengganjal perut yang sudah sangat keroncongan.
Akhirnya setelah berputar-putar di
sekitar Desa Nungging Blentung hampir
dari setengah jam, barulah mereka
menemukan sebuah warung penjual makanan.
Suasana yang lengang di dalam warung itu membuat ketiganya agak menaruh perasaan
curiga. Namun begitu pun mereka tetap
saja melangkahkan kakinya memasuki
warung tersebut. Ketika gadis-gadis ini sudah du-uk di sebuah bangku panjang
yang terletak di tengah-tengah ruangan
tersebut, seorang pelayan laki-laki
nampak menghampiri mereka. Lalu dengan
sikap ramah yang dibuat-buat, pelayan
ini pun segera menanyakan pesanan
mereka. "Sediakan kami nasi beserta lauk
pauknya yang lezat-lezat. Oh ya jangan
lupa bawakan kami tiga bumbung nira...!"
kata gadis yang bernama Salahna itu.
"Baik Nona....!" Pelayan tua ini kemudian pergi kembali meninggalkan
ketiganya untuk menyediakan segala apa
yang mereka pesan. Seperginya pelayan
warung tersebut, ketiga gadis itu nampak saling pandang sesamanya. Lalu salah
seorang di antaranya yang bernama Hini
menyeletuk. "Warung ini sepi, desa ini juga
sunyi. Padahal banyak rumah penduduk
terdapat di sekitar sini...!"
"Kita ini tak ubahnya sedang di
pinggiran gerbang kematian saja
layaknya. Keadaan seperti ini wajib kita curigai." Hono menimpali.
"Hush, kalian ini nampaknya terlalu tegang dalam memikirkan sesuatu. Sehmgga
warung sunyi saja kalian curigai!"
Salahna yang .yang merupakan seorang
pimpinan dari dua orang itu pun menukas.
"Pesan guru, dalam situasi
bagaimanapun kita diwajibkan selalu
waspada!" "Iya, tetapi lihat-lihat! Tempat
yang bagaimana yang harus kita waspadai itu. Masakan di sebuah warung penjual
makanan kitapun harus bersikap seperti
itu!" "Sudahlah. Mengapa harus berdebat, lihat pelayan sudah datang...!" kata Hini
mengetengahi. Tanpa basa basi,
pelayan itu meletakkan makanan pesanan
mereka di atas sebuah meja besar yang
terletak di hadapannya. Setelah
menyelesaikan pekerjaannya, maka
pelayan itu kembali pergi.
Tanpa menaruh kecurigaan apa-apa,
Salahna yaitu salah seorang yang paling cantik di antara ketiga orang itu, tanpa
curiga lagi segera menyantap makanan
yang di hidangkan oleh pelayan warung
tersebut. Barulah setelah melihat
saudara tertuanya menyantap makanan
tersebut dan tak berakibat apa-apa, maka Hono dan Hini mengikutinya. Setelah
selesai menyantap hidangan yang sangat
lezat, maka ketiga orang itu pun segera meneguk air nira yang menyertai makanan.
Dalam sekejap saja air nira yang manis
itu pun tuntas tanpa bekas! Beberapa saat setelahnya, barulah gadis-gadis ini
merasakan kepalanya mulai sakit
berdenyut-denyut. Bumi serasa
berputar-putar. Bukan main terkejutnya
ketiga gadis-gadis ini begitu menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
Lama kelamaan orang-orang ini pun tak
sadarkan diri lagi.
Tak lama setelah ketiga gadis itu
tak sadarkan diri muncullah si Kaki
Tunggal di depan pintu warung. Pelayan
yang tadi menghidangkan makanan pada
gadis-gadis itu, kini dengan sangat
tergesa-gesa sekali datang menghampiri
si Kaki Tunggal yang saat itu masih saja berdiri mematung di depan pintu, dengan
sangat angkernya.
"Bagaimana tugas yang kuberikan
padamu. Apakah sudah kaukerjakan dengan baik?" tanya si Kaki Tunggal penuh
wibawa. "Semuanya sesuai dengan apa yang
tuan perintahkan...!" jawab si1 pelayan dengan agak terbata.
Mendengar jawaban dari si pelayan,
si Kaki Tunggal menyungging senyum
licik. Lalu dia memberi perintah.
"Pilihlah salah seorang di antara
mereka yang paling cantik buatku. Dan aku akan segera membawanya pergi dari
sini...!" "La... lalu dua orang lainnya
bagaimana, Tuan...?" tanya pelayan warung itu nampak kebingungan sekali.
* * * 9 Beberapa saat lamanya si Kaki
Tunggal nampak tercengang. Tetapi tak
lama kemudian dia pun sudah berkata:
"Membunuh orang yang sedang
tertidur adalah sangat bertentangan
dengan naluri kebinatanganku. Sebaiknya biarkan saja orang itu tidur sampai
besok pagi di warungmu ini!"
"Tu... tuan! Bagaimana seandainya
besok mereka menanyakan tentang
kawannya...?"
Melihat ketololan pelayan warung
tersebut, si Kaki Tunggall nampak berang sekali. Kedua matanya nampak melotot,
hal ini hanya menambah ketakutan si
pelayan. "Sejak kecil mengapa tidak mati saja engkau, manusia dungu. Menghadapi dua
ekor tikus perawan saja engkau sudah
ketakutan, Bukankah kalau engkau mau,
kau bisa bersenang-senang dengannya.
Atau kalau engkau seorang banci, tolong kau katakan saja ke mana tujuanku!"
"Ba... baiklah, Tuan...!"
si Kaki Tunggal tak berapa lama
kemudian tanpa menghiraukan pelayan
warung segera memondong tubuh Salanah,
gadis tercantik di antara ketiga gadis
itu. Tak lama setelahnya, si Kaki Tunggal segera berlari-lari meninggalkan
warung tersebut. Sementara di atas bahunya
tubuh Salanah yang tiada sadar akibat
obat pembius yang tercampur di dalam
minuman. Nampak terkulai tiada daya.
Si Kaki Tunggal nampak masih terus
berlari-lari di celah-celah kegelapan
malam. Udara malam semakin terasa dingin menggigit, sementara di langit lepas
tiada terlihat sinar bulan. Mendung
tebal berarak ke arah Utara, suasana itu tidak sedikit pun berpengaruh pada si
Kaki Tunggal yang sedang melarikan gadis Salahna murid dari mendiang Nini
Klarah. Tanpa mengalami banyak kesulitan Kaki
Tunggal berlari dan terus berlari. Namun lebih kurang baru sepemakan sirih
tiba-tiba hujan turun begitu lebatnya.
Bunyi petir sambung menyambung. Sesaat
Kaki Tunggal nampak kebingungan. Namun setelah tengok kanan tengok kiri.
Nampaknya, Ksatria Terkutuk Berkaki
Tunggal nampak lega, sebab tak begitu
jauh dari hadapannya dia melihat ada
sebuah dangau yang tidak seberapa
besarnya. Cepat-cepat dia berlari-lari
ke sana. Setelah membukakan pintu yang
terbuat dari balok-balok kayu hutan
tersebut. si Kaki Tunggal sambil
memanggul tubuh Salahna dia segera masuk ke dalamnya. Di dalam dangau yang
sederhana dan nampaknya telah lama
ditinggalkan oleh pemiliknya itu, hanya terdapat sebuah balai-balai yang terbuat
dari anyaman belahan bambu. si Kaki
Tunggal nampak menyeringai begitu
mengetahui adanya tempat yang sederhana itu. Cepat-cepat laki-laki berbadan
legam itu pun merebahkan tubuh si
gadis. Kemudian setelah menutupkan
pintu itu kembali, si Kaki Tunggal segera menghampiri si gadis yang masih dalam
keadaan tak sadarkan diri. Dia lalu duduk di sampingnya. Dalam pada itu darahnya
sudah mulai naik ke ubun-ubun. Jantung
berdetak lebih kencang lagi, sementara
seluruh tubuh si Kaki Tunggal nampak
gemetaran bagai orang yang sedang
terserang penyakit demam malaria.
Kemudian segalanya berlalu begitu cepat, si Kaki Tunggal yang sudah dirasuki
setan itu pun tanpa ampun segera
mencabik-cabik pakaian yang dikenakan
oleh Salahna. Setelah itu tanpa banyak
membuang waktu lagi si Kaki Tunggal
segera menindih tubuh si gadis yang
sampai saat itu masih belum juga sadarkan diri. Balai-balai yang terbuat dari
bambu nampak bergoyang-gonyang.
Meskipun di luar sana hujan turun bagai tercurah dan udara sedemikian dinginnya.
Namun di dalam dangau itu tubuh si Kaki Tunggal bermandi keringat. Sampai pada
akhirnya dia pun terkulai dan tertidur di sisi si gadis.
Ketika di pagi keesokan harinya,
gadis itu terjaga dari sebuah ketidak
Payung Sengkala 5 Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 11
^