Pencarian

Satria Terkutuk Kaki Tunggal 3

Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Bagian 3


sadaran yang panjang. Dia tampak sangat terkejut sekali begitu mendapati
tubuhnya dalam keadaan telanjang.
Hatinya menjerit pedih, lebih pedih lagi dari rasa sakit yang terdapat di bagian
tubuhnya. Sadarlah dia, bahwa ada
seseorang yang telah menodai
kesuciannya. Gadis itu menangis,
meskipun tangis itu hanya terurai air
mata. Namun semua itu telah cukup
menggambarkan kedukaan yang
teramatdalam. siapa pun adanya pelaku
dari semua itu, dia tak ingin hidup
menanggung malu. Hanya beberapa saat
kemudian tanpa berpikir panjang lagi.
Dengan mempergunakan badik kecil
miliknya, maka dia pun dengan nekad
menghunjamkan senjata itu tepat di
tengah-tengah dadanya. Gadis itu nanya
keluarkan satu jeritan tertahan maka
gadis malang itu pun langsung tersungkur
,di atas lantai dangau. Darah membasahi seluruh lantai dangau, beberapa saat
setelah gadis itupun menghembuskan nafasnya yang terakhir. si Kaki Tunggal yang tidak mengetahui kejadian yang
begitu singkat itu. Begitu selesai
membasuh muka di sebuah parit kecil yang tidak begitu jauh dari dangau nampak
melangkah kembali ke arah dangau.
Manusia terkutuk itu memang ingin
melampiaskan nafsu bejadnya untuk yang
terakhir kalinya. Dan agaknya pula
kejadian yang berlangsung semalaman itu tidak membuatnya menjadi puas. Begitulah
dengan bersiul-siul tak beraturan dia
kembali melongokkan kepalanya dari depan pintu tersebut.
Namun betapa terkejutnya si
terkutuk berkaki tunggal ini demi
melihat pemandangan yang menghampar di
hadapannya. Gadis itu kiranya di luar
sepengetahuannya telah sadar dari
pingsannya, dan secara nekad telah
membunuh diri pula. Hanya sesaat
kemudian dia sudah berada di depan mayat si gadis. Sedikitpun tiada terlihat
penyesalan di wajahnya. Dasar manusia
terkutuk, kematian si gadis bukan
membuatnya berpikir untuk sadar atau
menyesal. Sebaliknya dia malah sumpah
serapah yang tersembur dari bibirnya
vang hitam legam.
"Dasar orang tolol! Diberi
kesenangan yang paling membahagikan,
eee... malah bunuh diri! Dasar perempuan goblok...!" maki si 'Kaki Tunggal
dengan sesungging senyum sinis.
"Akh, memang sepantasnya
perempuan-perempuan pada mati semua.
Sebentar lagi... ya sebentar lagi kalau aku sudah berkuasa di dunia persilatan.
Hek... hek... hok... hok...!" si Kaki Tunggal tertawa-tawa bagai orang gila.
Namun belum sempat si Kaki Tunggal
memuntahkan semua uneg-unegnya. Pada
saat itu dari luar dangau terdengar suara bentakan-bentakan melengking.
"si Kaki Tunggal manusia terkutuk!
Keluarlah engkau dari dalam dangau itu.
Di sini ada kubawakan oleh-oleh
kepalanya si pelayan sialan itu,
terimalah...!" Bersamaan dengan
ucapannya itu, dengan sangat cepat
segera melemparkan kepala si pelayan
warung. "Weees!"
"Bruaak!"
Dinding dangau yang terbuat dari
tepas itu langsung bobol, dan andai saja si Kaki Tunggal tidak cepat-cepat
mengelak, sudah barang tentu kepala si
pelayan warung dengan kepalanya sendiri pasti akan saling bertabrakan. Si Kaki
Tunggal segera bangkit. Lalu secepatnya tubuhnya sudah melesat ke luar dari
dalam dangau tersebut. Dia keluarkn tawa
bergelak-gelak begitu melihat siapa
adanya mereka yang datang ke tempat itu.
"Wuah! Kalian rupanya. Kukira
kalian iblis yang sedang kesurupan, tak dinyana hanyalah dua ekor tikus betina
yang sajngat menyenangkan." Ksatria terkutuk berkaki tunggal untuk beberapa saat
lamanya nampak termangu-mangu.
Dipandanginya kedua gadis itu tanpa
pernah berkedip sedikit pun. Sudah
barang tentu dipandangi sedemikian rupa kedua gadis ini menjadi merah parasnya.
"Setan kepura-puraan, kau
sembunyikan di mana kakak seperguruan
kami...?" bentak Hini.
"Engkau galak sekali, Gadis. He...
he... he...! Tapi aku suka pada gadis
galak semacammu. Engkau pasti seorang
gadis yang sangat menyenangkan." tukas Kaki Tunggal dengan tawa mengekeh.
"Monyet cacat tak tahu diri, cepat jawablah pertanyaanku...?"
"Engkau menanyakan kakak
seperguruanmu" Coba lihatlah di dalam
dangau itu!" Dengan sangat penasaran kedua gadis itu pun cepat-cepat menyerbu ke
dalam dangau. Sementara si Kaki
Tunggal memang dengan sengaja membiarkan kedua gadis ini melongok ke dalam
dangau yang telah reot itu. Begitu sampai di
dalam dangau tersebut, betapa sangat
terkejut Hono dan Hini. Mereka mendapati tubuh kakak seperguruannya telah
terhadap bermandikan darah. Sementara
pakaian yang dikenakannya telah
acak-acakkan. Tak dapat terbendung lagi kedua gadis itu menangis bermandikan air
mata. Sungguhpun mereka sadar bahwa
kematian kakaknya karena membunuh diri, tetapi mereka juga tahu apa yang menjadi
penyebab dari semua itu.
Dengan kemarahan yang meluap-luap
mendadak kedua gadis ini secara hampir
bersamaan kembali keluar dari dalam
dangau tersebut. Pandangan matanya
menyinarkan kebencian yang teramat
sangat. "Iblis berhati binatang. Engkau
telah membuat kakak seperguruan kami
membunuh diri. Puih, jiwa anjingmu tidak cukup untuk membayar hutang darah dan
jiwa kakak seperguruan kami...!" kata Hono memaki habis-habisan. Namun sejauh
itu, bagai orang yang tiada merasa
bersalah, Ksatria Terkutuk Berkaki
Tunggal masih nampak tenang-tenang saja.
"Mengapa harus marah-marah,
Tikus-tikus perawan. Kakakmu mati karena kesalahannya sendiri. Toh aku tak
pernah menyuruhnya untuk membunuh diri..."
"Tetapi engkaulah yang menjadi
penyebab kematiannya...!" sergah Hini yang saat itu telah bersiap-siap dengan
senjatanya yang berupa setagen biru.
Begitu pula halnya dengan Hono.
"Sudah kubilang "semua itu
kesalahan kakakmu sendiri. Aku hanya
mengajaknya untuk bersenang-senang,
kalau kemudian dia memilih jalan ke
akhirat, siapa mau perduli...!"
"Monyet sumber malapetaka ini
memang tak bisa diajak bicara, Adik Hini.
Mari kita gebuk saja!"
"Hei jangan, kalian akan mati
sia-sia...!"
Karena memang sudah sangat kalap.
Maka kedua gadis itu pun segera menyerang si Kaki Tunggal dengan totokan-totokan
ujung Setagen mereka. Serangan-serangan setagen itu begitu cepat dan ganas,
sekali waktu melecut ke udara, di lain
kesempatan meliuk dan menyambar-nyambar bagaikan seekor ular berbisa yang ingin
menyergap mangsanya. Namun sampai sejauh itu, tak satu pun serangan-serangan
yang mereka lancarkan dapat dengan tepat
mengenai sasarannya.
Menyadari pihak lawannya sedemikian
tangguh, maka sekejab kemudian tubuh
kedua gadis itu segera berkelebat.
Gerakan-gerakan mereka nampak sangat
ringan. sekali. Hal ini menandakan bahwa ilmu mengentengi tubuh yang mereka
miliki sudah hampir sampai pada tahap
paling sempurna. Senjata kedua gadis itu terus melecut ke segala arah, namun si
manusia terkutuk itu masih saja dapat
mengelakkan setiap serangan dengan
sangat begitu mudahnya.
"Hauut!'' Tubuh Hono melentik ke udara, begitu
tubuhnya menukik, satu lecutan dan satu pukulan maut yang diberi nama Bunga
Jelita Menyergap Kumbang dia lepaskan.
Begitu pula halnya yang dilakukan oleh si Hini. Dua pukulan dan dua lecutan
datang secara hampir bersamaan. Menderulah
selarik sinar berwarna biru
kemerah-merahan dengan hebatnya.
Pukulan itu mengarah pada bagian kepala dan dada, sementara lecutan setagen
mengarah pada bagian selang-kangan dan
kaki. Sudah barang tentu meskipun si Kaki Tunggal merupakan tokoh sesat yang
sangat sakti, tetapi menghadapi empat
serangan yang datangnya secara hampir
bersamaan, telah membuatnya jadi kalang kabut. Tetapi sebagai orang yang sudah
sangat berpengalaman, sudah barang tentu dia sudah tahu pukulan mana yang paling
sangat berbahaya. Karena dia menyadari
bahwa pukulan itulah yang paling
mengancam. Maka tanpa ragu lagi dia
memapaki datangnya sinar biru kemerahan yang sudah begitu dekat dengan tubuhnya.
"Wut! Wut!"
Pukulan Bunga Jelita Menyergap
Kumbang menjadi kandas di tengah jalan.
Namun serangan setagen yang dilecutkan
oleh si Hono terlanjur melibat tongkat
penyangga tubuhnya. Sementara lecutan
setagen si hini berhasil pula memukul
pusaka keramat yang tersimpan di kantung celana si Kaki Tunggal. Tongkat di
tangan terlepas dari pemiliknya. Tubuh si Kaki Tunggal nampak berguling-gujing
di atas tanah berlumpur. Dia merasakan perutnya sakit luar biasa, rasa-rasanya
dua buah jambu miliknya sudah hancur
berkeping-keping. Belum lagi laki-laki
terkutuk itu sempat bangkit dari
tempatnya, lecutan dan pukulan datang
beruntun. Namun si Kaki Tunggal yang
sudah sangat marah itu, mana mau dirinya menjadi sasaran pukulan-pukulan yang
mematikan untuk yang kedua kalinya.
Cepat-cepat, tubuhnya melentik dari atas tanah berlumpur. Tanpa tongkat
penyangga bersamanya. Terlihatlah keseimbangannya menjadi goyah. Begitu pun dia
tak kehilangan akal. Sesaat kemudian
dicabutnya pedang kematian yang sangat
panjang itu. Sementara sarungnya dia
pergunakan sebagai tongkat penyangga
tubuhnya. Kini dengan pedang kematian di
tangannya, wajahnya serta merta berubah menjadi sangat menggidikkan. Beberapa
saat setelahnya, dia pun menggeram.
"Tikus betina sialan. Jangan
sombong dengan kebolehanmu yang tiada
seberapa itu. Malang sekali nasib kalian hari ini. Kalian telah bertarung dengan
iblis pencabut nyawa yang mematikan...!"
mengerang si Kaki Tunggal bagai harimau ganas yang terluka.
* * * 10 Mendapat ancaman sedemikian rupa
nampaknya kedua gadis itu tidak menjadi gentar. Dibentak malah balas membentak!
"Bangsat, sekalipun kami mampus di tanganmu. Jangan kira kami mau bertekuk lutut
di kaki manusia sinting gila
kekuasaan."
"Bagus.... Sesungguhnya aku paling benci pada betina-betina semacam kalian!
Itu sebabnya kalian lebih baik mampus
saja...!" teriak si Kaki Tunggal.
Laki-laki hitam legam itu segera
mengayunkan pedang panjangnya. Sekejap
kemudian dia telah berbalik menyerang
kedua gadis itu. Pedang di tangan
berkelebat kesegala arah. Hawa dingin
yang keluar dari pedang kematian mulai
menyebar ke mana-mana. Sedikit demi
sedikit. Baik si Hono dan si Hini mulai merasakan adanya kelainan dalam diri
mereka. Kiranya mereka ini tidak
menyadari betapa bau yang tak sedap itu sesungguhnya merupakan hawa beracun yang
secara perlahan dapat mematikan syaraf
mereka. Kini pedang di tangan si Kaki
Tunggal menderu, mencecar pertahanan
lawan. Menghadapi datangnya serangan
yang begitu ganas, maka dengan segenap
kemampuan kedua orang ini cepat-cepat
menggerakkan setagen di tangan
menyongsong datangnya sambara-sambaran
ganas senjata di tangan si Kaki Tunggal.
Satu kesempatan si Hono melecutkan
setagennya ke arah bagian dada lawannya yang terbuka. Pada saat itu si Kaki
Tunggal sedang berusaha membuka
pertahanan si Hini yang menyerang
dirinya dalam jarak yang begitu dekat.
Namun belum lagi babatan pedang maut itu mencapai sasarannya, mendadak dia
merasakan adanya angin sambaran senjata dari arah belakangnya. Maka demi
menghindari lecutan yang juga tidak bisa dianggap ringan, maka si Kaki Tunggal
menarik balik serangannya. Sebagai
gantinya dia sedikit memutar arah,
kemudian cepat-cepat kiblatkan
senjatanya begitu setagen lawan hampir
menghajar tubuhnya.


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pras!"
Papasan pedang yang sangat tajam itu
membuat setagen si Hono menjadi hampir
tercabik-cabik. si Hono bersurut dua
langkah, pucat parasnya. Begitupun dia
tak pernah mengenal putus asa. Maka
sementara si Kaki Tunggal berbalik
menghadapi lecutan setagen di tangan si Hini. si Hono sudah bersiap-siap kembali
dengan pukulan maut Bunga Jelita Menyergap Kumbang. Selarik sinar biru
kemerahan berkekuatan lebih besar lagi
dari yang terdahu lu. Nampak menderu
sedemikian cepatnya. Mau tak mau si Kaki Tunggal kembali membatalkan niatnya
untuk menghancurkan setagen di tangan si Hini. Dengan mencaci maki maka dia pun
kembali berbalik. Tetapi pukulan yang
dilepas oleh si Hini datangnya begitu
cepat. Lalu pedangnyalah yang dia
tadahkan. "Wus! Blang!"
Bukan main kharisma pedang kematian
di tangan si Kaki Tunggal itu, karena
begitu dia pergunakan untuk memapaki
pukulan lawan. Membuat pukulan Bunga
Jelita Menyergap Kumbang itu membalik
dan menghantam pemiliknya. Tubuh si Hono terlempar sepuluh tombak, dengan dada
remuk karena termakan pukulannya
sendiri. Begitu tubuh si Hono tersungkur di atas tanah berlumpur Begitu pula
darah kental menggelogok bagai tumpahan sayur talas yang sudah basi. Sesaat
tubuh si Hono berkelojotan di atas tanah
berlumpur. Karena lumpur itu dalamnya
sebatas pinggang, maka gerakan-gerakan
sekarat dari gadis yang malang itu
lama-kelamaan menjadi terbenam, sampai
pada akhirnya tak terlihat sama sekali.
Terkesima si Hini demi menyaksikan
kematian kakak seperguruannya. Tetapi
hanya sesaat saja dia dapat bersikap
seperti itu. Karena sesaat kemudian si
Kaki Tunggal dengan beringas telah
menyerangnya. Kini dengan leluasa dia
bisa menggasak lawannya yang hanya
tinggal seorang itu. Bertahan seorang
diri, nampak sekali dalam waktu sekejab si Hini terdesak hebat. Satu ketika si
Kaki Tunggal melompat mundur tiga
tindak, tangan kanannya nampak
menggenggam pedang begitu eratnya.
Sesungging seringai maut membias di
bibirnya. Kemudian dia pun membentak
dengan penuh kemenangan.
"Tikus betina. Engkau lihatlah
kawan-kawanmu sudah pada kojor semua.
Meminta ampun padaku rasa-rasanya saat
ini sudah tidak guna, aku tak bakal
mengampunimu!"
"Aku pun tak akan pernah merengek
minta ampun padamu...!" tukas si Hini dengan sangat beraninya.
"Bagus, Bagus sekali... yang paling pantas bagimu adalah mampus...!" Laksana
kilat, si Kaki Tunggal langsung
membabatkan pedangnya. Sedapat mungkin
si Hini berusaha mengelakkan serangan
pedang yang dilancarkan oleh lawannya.
Maka tak ayal lagi gadis itu segera
melecutkan setagennya. si Kaki Tunggal
yang sudah merasa kesal dengan hadirnya senjata yang hampir saja menghancurkan
jambu kra-matnya, segera menyambutnya
dengan tebasan pedang kematian.
"Breet!"
Tak ayal lagi, setagen yang terbuat
dari kain sutera itu pun hancur
berkeping-keping. si Hini nampak
bersurut mundur, si Kaki Tunggal tertawa mengekeh.
"Bukan saja Stagenmu itu yang kubuat hancur. Sebentar lagi tubuhmu pun akan
kubuat berantakan."
"Banyak mulut...!" Satu pukulan di lepaskan oleh si gadis bersamaan dengan
ucapannya itu. Lagi-lagi si Kaki Tunggal tertawa mengekeh begitu mengetahui
datangnya selarik sinar maut yang di
kirimkan oleh si gadis. Lalu dengan
kepongahannya, laki-laki hitam legam
inipun tadahkan pedang kematian.
"Wees! Blaaam!"
Si gadis terpelanting, secepatnya
dia berusaha bangkit berdiri. Namun
begitu usaha ini dicobanya, mendadak
keseimbangannya menjadi goyah, darah
meleleh dari kedua kuping dan hidungnya.
Melihat keadaan ini si Kaki Tunggal tak ingin bertindak tanggung-tanggung lagi.
Maka dia pun kirimkan satu pukulan
pamungkas diberi nama Kunyuk Gila
Menendang Gunung. Tak pelak, satu
gulungan pukulan maut berwarna jingga
melesat dan tanpa ampun lagi langsung
melabrak tubuh si Hini yang sudah
sekarat. Tiada lolongan maut yang
terdengar, begitu pukulan Kunyuk Gila
Menendang Gunung melabrak tubuhnya.
Hanya asap hitam dan debu saja yang
beterbangan. si Hini tewas secara
mengerikan seketika itu juga. Kaki
Tunggal nampak menarik nafas pendek.
Secara perlahan dia pun menyarungkan
pedang mautnya. Lalu dengan keluarkan
suara nyanyian yang tak beraturan, dia
pun segera melangkah meninggalkan dangau tersebut. Dalam waktu sekejap, laki-
laki itu pun sudah tak nampak dari pandangan mata. Kini suasana di sekitarnya
kembali berubah menjadi sunyi sepi. Bagai tak
pernah terjadi sesuatu kejadian apapun
di sana. * * * Ketika Nini Kroya yang memang sudah
mendapat firasat buruk tentang suaminya itu sampai di kaki Gunung Gili Manuk.
Malam baru saja menunjukkan pukul
delapan. Bulan purnama lima belas nampak menyeruak di pucuk-pucuk cemara.
sinarnya yang kuning keemasan itu
tersaruk-saruk di balik mega-mega
kelabu. Saat itu Nini Kroya yang nampak berdiri seorang diri di tempat yang sepi
itu nampak menanti dengan harap-harap
cemas. Betapapun dia menyadari bahwa
sesungguhnya Setan Kroya suaminya sudah tiada. Sesuai dengan mimpinya ketika
berada di pondok milik si Pengail Aneh.
Bahwa waktu itu di suatu tempat yang luas dia melihat Setan Kroya datang padanya
dengan mengenakan pakaian warna putih,
nampak datang bagai ditiup angin menemui dirinya, tetapi tak berapa lama
kemudian sang suami dalam mimpi itu segera pergi kembali. Tiba-tiba saja, dia
semakin menjauh dengan wajah menyeringai menahan sakit.
Mimpi buruk itu bagi Nini Kroya
sudah merupakan suatu bukti bahwa
meskipun dia tak melihat keadaan yang
sesungguhnya akan tetapi dia merasa
begitu sangat yakin bahwa Setan Kroya
benar-benar telah tiada. Bagi dirinya
siapapun adanya pelaku pembunuhan atas
diri suaminya, sebagai istri yang setia dia harus mencari si bangsat pembunuh
tersebut. Kalau perlu akan mengadu jiwa dengan orang tersebut. Seperti
diketahui, Nini Kroya sesungguhnya me-
miliki kepandaian silat dua tingkat di
atas suaminya. Demikianlah setelah lebih kurang dua jam berdiri menanti di situ
seorang diri, namun tak siapapun yang ada di sana selain dirinya sendiri. Lama
kelamaan dia menjadi jengkel sendiri.
"Menurut kabar yang aku dengar.
Tepat malam inilah di tempat ini akan
terjadi pertarungan itu. Tetapi aku tak melihat adanya orang lain yang berada di
tempat ini! Ataukah berita tentang
pendekar kelas satu itu sesungguhnya
hanya merupakan isapan jempol belaka"
Tetapi tak mungkin, aku mencium adanya
bau kematian yang telah berlangsung
lebih kurang tiga puluh hari, satu
purnama yang sudah lewat berarti di
tempat ini benar-benar telah terjadi
pertarungan maut, mungkin ada baiknya
kalau aku menunggu!" batin Nini Kroya.
Suasana hening terus berlangsung, hingga suatu ketika Nini Kroya merasakan
adanya orang lain hadir di tempat itu.
Sungguhpun dia sudah teramat tua bila
dibandingkan dengan suaminya. Namun
pendengarannya yang sudah terlatih
dengan baik dapat mengetahui bahwa
kehadiran orang lain di tempat itu sudah semakin bertambah dekat sekali. Nini
Kroya putar badannya selangkah demi
selangkah, tatapan matanya nampak
menyapu pandang pada keremangan hutan
cemara yang berada di sekitar tempat itu.
Namun tak seorang pun terlihat dalam
keremangan itu. Nini Kroya semakin
bersikap waspada. Sesaat dua saat waktu pun berlalu, sepi, tiada gerakan-gerakan
yang mencurigakan. Namun sejauh itu Nini Kroya tetap merasa yakin bahwa ada
seseorang yang hadir di tempat itu.
Mungkinkah orang itu tak lain merupakan si Pengail Aneh adanya" Kalau memang
benar mengapa tak menemuinya" Tiba-tiba Nini Kroya pun berkata:
"Orang yang bersembunyi di balik
pohon, keluarlah...?" bentak perempuan tua. Tiada sahutan, suara Nini Kroya
menggema ke dasar kaki gunung.
"Orang yang berdiri di balik pohon, mengapa ngumpet seperti tikus parit"
Keluarlah...?" kata Nini Kroya tak sabaran. Barulah kemudian nampak
berkelebatnya sosok bayangan hitam
menyongsong ke arah si Nini Kroya.
"Jliigh!" Begitu berhadapan dengan Nini Kroya, tahulah perempuan tua ini
bahwa sesosok bayangan berpakaian hitam dan bertongkat itu tak lain merupakan
seorang laki-laki.
"Siapakah engkau ini Kisanak...?"
tanya Nini Kroya kemudian. Yang ditanya hanva mendengus.
"Apa kerjamu di tempat ini perempuan tua...?" Si orang bertongkat yang tak lain
merupakan si Kaki Tunggal adanya
balik bertanya.
"Ahh, aku hanya mencari
suamiku...!" jawab Nini Kroya.
"Suamimu" siapakah suamimu...?"
tanya si Kaki Tunggal penuh selidik.
"Suamiku bernama Setan Kroya." ucap Nini Kroya tanpa merasa curiga sedikit
pun pada si Kaki Tunggal. Tiba-tiba si
Kaki Tunggal keluarkan suara tawa
mengekeh! "Setan Kroya" Ha... ha... ha...!
Suamimu itu sudah mampus di tanganku."
Kata si Kaki Tunggal tanpa tedeng
aling-aling. "Apa...?" kejut di hati perempuan itu bukan alang kepalang, namun belum
lagi dia sempat menanyakan sesuatu, si
Kaki Tunggal langsung menukas.
"Itu adalah kesalahannya. Karena
malam ini engkau hadir pula di Kaki
Gunung Gili Manuk, yang sudah kutentukan sebagai tempat kematian siapapun. Maka
engkau pun harus mampus di tempat ini."
teriak si Kaki Tunggal. Dan sesaat itu
juga dia sudah mencabut pedangnya. Maka si Nini Kroya yang saat itu sedang
dilanda kemarahan tak kalah cepat dia pun sudah mencabut senjatanya yang berupa
sebuah gada yang berukuran sangat kecil namun berat luar biasa.
Tanpa kompromi lagi kedua orang ini
mulai saling serang dengan mengirimkan
pukulan maupun sabetan-sabetan mautnya.
Suasana nampak semakin menegangkan
manakala sesaat kemudian Nini Kroya dan Kaki Tunggal mulai melancarkan
pukulan-pukulan jarak jauhnya. Debu dan
pasir nampak beterbangan ketika dua
pukulan sakti itu saling bertemu antara yang satu dengan yang lainnya. Begitupun
pukulan-pukulan maut itu tidak berarti
banyak bagi masing-masing lawan, sebab
sejauh itu, nampaknya kekuatan tenaga
dalam mereka seimbang. Jalan
satu-satunya untuk dapat merobohkan
pihak lawan dalam waktu yang secepatnya.
Tak ada pilihan lain terkecuali mengadu kehebatan permainan pedang
ataupun kecepatan lainnya. Tak pelak lagi si Kaki Tunggal nampak memutar pedangnya
dengan sangat cepat. Kemudian dengan diawali
dengan satu bentakan-bentakan tinggi
melengking, dia pun babatkan senjatanya mengarah pada bagian leher pihak
lawannya. Sudah barang tentu Nini Kroya tak mau terima begitu saja. Maka sekejap
tubuh wanita tua itupun berkelebat
dengan gerakan-gerakan yang sangat
ringan sekali. Seketika Gada mustika di tangan memukul dan mengancam bagian
kepala lawannya, senjata itu terus
meluncur sedemikian cepatnya. si Kaki Tungigal yang sudah berniat membabat
bagian pinggang pihak lawannya, sontak
terpaksa batalkan niatnya. Lalu dia pun memapaki datangnya Gada Mustika di
tangan Nini Kroya.
11 Bunga api nampak berpijaran begitu
kedua senjata itu saling berbenturan.
Nini Kroya tersurut dua langkah.
Sementara tubuhnya tergetar dan tangan
seperti kesemutan. Di lain pihak si Kaki Tunggal sendiri merasakan dadanya sesak
luar biasa. Jantungnya berdetak lebih
keras! Cepat-cepat si Kaki Tunggal telan tiga butir pil yang berwarna
kekuning-kuningan. Sesaat dia menunggu.
Lalu manakala dia sudah merasa seperti
biasa lagi, maka tak ampun lagi dia pun kembali menyerang Nini Kroya dengan
kekuatan yang lebih hebat lagi. Nini
Kroya yang sudah merasakan kehebatan


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya, nampak tak ingin bertindak
tanggung-tanggung. Kini dikerahkan
segenap kemampuannya. Gada Mustika di
tangannya yang berwana putih itu
berkelebat laksana kilat, menderu
timbulkan suara berciutan, sekilas hanya tinggal merupakan bayang-bayang putih
belaka. "Haiit!"
Tak mau kalah si Kaki Tunggal pun
kiblatkan senjatanya, lagi-lagi
benturan dua senjata yang sudah dialiri
oleh tenaga dalam itu pun tak dapat
dihindari lagi. Kejadiannya malah
sebaliknya. Nini Kroya malah mengalami
akibat yang sangat tiada menguntungkan.
Gada Mustika di tangannya nampak
terbabat putus oleh mata pedang di tangan si Kaki Tunggal. Tidak cukup sampai
disitu saja, pedang kematian terus
menderu. Bagai bermata terus meluncur
dan mengarah pada pangkal leher Nini
Kroya. tak ayal lagi sekejap kemudian
pedang itupun sudah sampai pada
sasarannya. Tak seorang pun yang mampu
mencegah kejadian itu.
"Jrooookh!"
Nini Kroya melolong setinggi
gunung, matanya nampak melotot,
sedangkan kedua tangannya menekan erat
pada bagian leher yang terkoyak lebar.
Darah menyembur ke mana-mana. Setelah
tubuh Nini Kroya nampak terhuyung-huyung untuk beberapa saat lamanya. Maka tubuh
yang lama-kelamaan kehabisan darah itu
pun nampak limbung pula. Hingga akhirnya tanpa ampun lagi diapun ambruk untuk
selama-lamanya. Pada saat yang hampir
bersamaan, tiba-tiba terdengar jerit
tertahan dengan disertai hadirnya sosok seorang laki-laki botak.
"Nini...!"
Si tua botak tak lain merupakan si
Pengail Aneh nampak berjongkok sambil
memeluki mayat istri sahabatnya, si
Setan Kroya. "Engkau begitu cepat pergi, Nini,
mengapa engkau tak pernah mau mendengar semua apa yang kukatakan. Oh...
sahabatku sudah pada pergi semuanya...!"
keluh si Pengail Aneh sambil menutupi
wajahnya. "Jangan bersedih orang tua!
Engkaupun akan segera menyusul
mereka...!" menyela si Kaki Tunggal dengan suaranya yang dingin
menggidikkan. Menyadari ada orang di
sekitarnya, maka si Pengail Aneh
palingkan wajahnya. Lalu terlihatlah si Kaki Tunggal berdiri bertolak pinggang
tak jauh dari hadapannya.
"Kau... Siapakah engkau..."!" tanya si Pengail Aneh sambil mengingat-ingat
sesuatu. Yang ditanya tertawa ganda.
"Masakan engkau sudah lupa padaku
tua pikun...!' "Jangan bertele-tele cepat
katakan...!?" perintah si Pengail Aneh marah sekali. Si Kaki Tunggal kini malah
tersenyum sinis. -
"Masakan engkau telah lupa pada
orang yang pernah kau dan Setan Kroya,
buntungi kakinya...?"
"Buntungi kakimu. Kapan aku
melakukannya" Bicaralah yang jelas,
mengapa harus berbelit-belit!"
"Kata-kataku sudah sangat jelas
untuk kau mengerti Pengail sinting!"
tukas si Kaki Tunggal nampak kesal.
"Eeh, engkau masih tahu namaku...?"
tanya si Pengail Aneh tanpa dibuat-buat.
"Pengail Aneh, kiranya kini semakin tua engkau semakin bertambah pikun saja!
Ingatkah engkau ketika terjadi peristiwa di air terjun Lembah Tong Tong Bengong
beberapa tahun yang lalu...?"
Andaikan saat itu adalah siang hari,
sudah barang tentu si Kaki Tunggal dapat melihat betapa si Pengail Aneh nampak
sangat terkejut sekali. Mendadak
parasnya nampak pucat. Hal ini bukan
berarti dia takut pada si Kaki Tunggal, akan tetapi dalam sepanjang
petualangannya, peristiwa di air terjun itu adalah merupakan peristiwa yang
paling bersejarah dan tak pernah
terlupakan sepanjang hidupnya.
Bagaimana tidak! Saat dia hampir saja
tewas di tangan sepasang iblis yang
merupakan orang tua si Kaki Tunggal.
Andai saja waktu itu Setan Kroya tidak
mengalihkan perhatian manusia iblis itu dengan memotong kaki anaknya. Sudah
barang tentu dia sudah lama berangkat ke liang kubur. Tetapi mengapa anak yang
mereka cemplungkan ke dalam jurang itu
sampai kini masih tetap hidup" Batin si Pengail Aneh nampak sangat heran sekali.
Dia merasa yakin pasti ada seseorang yang telah menolongnya.
"Botak tua, ingatkah apa yang telah engkau lakukan di air terjun itu...?" Si
Pengail Aneh, angguk-anggukkan
kepalanya. "Aku masih ingat, engkaulah si anak malang yang telah di potong kakinya oleh
Setan Kroya!" kata Setan Kroya tanpa sungkan-sungkan.
"Bagus! Tahukah engkau waktu itu
sangat menyakitkan sekali Pengail
sinting?" "Sayangnya aku tak ikut
merasakannya...!"
"Bangsat...!" maki si Kaki Tunggal.
"Engkau tak perlu memaki, dosa nenek moyangmu waktu itu benar-benar sudah
sangat bertumpuk. Mereka bakar
rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa.
Mereka rampoki harta bendanya, kemudian mereka bunuh orang yang tiada berdosa
hampir sepanjang tahun. Haruskah kami
berpangku tangan melihat sepak terjang
orang tuamu yang melebihi iblis itu...?"
bentak si Pengail Aneh. ?
"Ha... ha... ha...! Engkau merasa
sebagai yrang yang paling bersih di dunia ini, Pengail Sinting?" *
"Aku tak pernah mengatakannya
begitu". ucap si Pengail Aneh tegas.
"Sebagai keturunannya haruskah aku membiarkan semua itu berlalu begitu
saja...?" tanya si Kaki Tunggal
berpura-pura tolol.
"Engkau tak pernah membiarkan
peristiwa itu berlalu, sebab engkau
telah melampiaskannya pada banyak
korban. Dan jangan kira aku tak tahu
bahwa apa yang terjadi di kaki Gunung
Manuk ini bahwa sesungguhnya karena
ambisi dan keserakahanmu. Dan jangan
kira juga aku tak tahu, bahwa si Setan
Kroya telah engkau bunuh di Lembah
Tong-Tong Bengong beberapa hari yang
lalu." kata si Pengail Aneh. Nada ucapannya masih saja nampak sabar dan
pelan. si Kaki Tunggal keluarkan tawa
mengekeh! "Bagus kalau engkau sudah tahu semua tentang perbuatanku. Dan barangkali
hanya engkau sendiri yang belum terima
upah atas pekerjaanmu beberapa tahun
yang lalu itu!" ejek Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal.
"Bagiku yang sudah berlalu biarlah berlalu, aku sudah sangat tua. Aku tak
ingin mengingat-ingatnya lagi...!"
"Enak saja engkau ini, engkau harus bayar nyawa orang tuaku...!" bentak si Kaki
Tunggal. "Baik, kalau engkau berkata begitu, aku terima. Tapi kapan akan kau bayar
nyawa dari setiap banyak orang yang telah engkau bunuh semena-mena?" Ditanya
seperti itu, si Kaki Tunggal nampak
merah parasnya.
"Itu urusanku, Pengail Sinting! Tak perlu engkau menanyakannya padaku...!"
Sesabar-sabarnya Pengail Sinting, tentu pada akhirnya marah juga mendapat ucapan
yang sangat menyakitkan itu.
"Keturunan manusia sesat, semakin
aku mengalah engkau semakin kurang ajar saja. Sungguh pun senjata pedangmu
berasal dari neraka sekali pun aku tak pernah merasa takut...!" Dalam
kemarahannya itu si Pengail Aneh nampak langsung menyerang si Kaki Tunggal
dengan senjatanya yang berupa kail.
Begitu senjata itu terayun, maka
terdengar bunyi gaung dari kenur-kenur
yang terpasang dari padanya. Senjata itu nampak sedemikian ringannya
berkelebat-kelebat mencecar
sasaran-sasaran yang mematikan.
Mengetahui betapa berbahayanya senjata
di tangan Pengail Aneh. Maka dengan gesit si Kaki Tunggal mengelak secepatnya.
Semakin lama gerakan gagang kail di
tangan lawan nampak berputar mengurung
dirinya dengan sangat cepat, maka tak ada cara
lain lagi. Demi menghindari
sambaran di tangan lawan, maka tubuhnya pun melompat-lompat dengan gerakan yang
sangat sulit diikuti oleh mata. Sepintas lalu, kalau diperhatikan dengan cermat,
nampaklah kedua orang itu seperti dua
orang bocah yang sedang bermain tali.
Begitupun sesungguhnya kedua orang ini
sedang mengadu dua kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi. Andai saja si Kaki
Tunggal sampai lengah, atau sebaliknya pula dengan si Pengail Aneh. Sudah barang
tentu nyawa taruhannya. Sebab walau
bagaimana pun sebetulnya pada saat itu si Kaki Tunggal sedang berusaha untuk
mencari kesempatan untuk dapat
meloloskan pedangnya. Sama seperti apa
yang ada dalam pikiran si Pengail Aneh.
Jika sampai si Kaki Tunggal dapat
meloloskan pedangnya sudah barang tentu
dia akan berusaha membabat gagang kail
yang sangat panjang itu. Praktis dirinya dapat terbebas dari kail yang mengurung
dirinya. Keringat sudah nampak
bercucuran dari tubuh kedua orang itu,
sementara pertarungan itu semakin lama
berlangsung semakin seru. Tak ada
tanda-tanda siapa yang bakal keluar
sebagai pemenangnya. Karena keduanya
nampak sedemikian tangguh.
Sampai pada suatu saat, si Kaki
Tunggal yang masih belum dapat
membebaskan dirinya dari kepungan kail
yang nampak berputar-putar dari berbagai penjuru itu dengan sangat cepat segera
mengaiibil tindakan. Disalurkannya
sebagian tenaga dalamnya ke bagian
tangan. Saat itu dia sudah bermaksud
untuk memukul si Pengail Aneh dengan pukulan jarak jauhnya, agaknya diluar
kesadaran si Pengail Aneh yang terus
sibuk dengan senjata di tangannya.
"Wuuut!"
Satu pukulan Kunyuk Gila Menendang
Gunung telah dilepaskan oleh si Kaki
Tunggal. Sekejap satu serbuan gelombang dingin yang amat keji menderu laksana
badai puting beliung. Kail di tangan si Pengail Aneh nampak terpental dilanda
pukulan tersebut. Sungguhpun senjata itu
tak sampai terlepas dari tangan si
Pengail Aneh, namun akibatnya si Kaki
Tunggal sudah punya kesempatan untuk
keluar dari kurungan kail yang
mengitarinya. Begitu si Kaki Tunggal dapat
terbebas dari kungkungan senjata
lawannya maka dia pun langsung mencambut pedang panjang yang menggelantung di
pinggangnya. Mengamuklah laki-laki
berbadan hitam legani
itu sejadi-jadinya. Gerakan silat maupun
permainan pedangnya nampak sangat cepat, bahkan serangan demi serangan lama
kelamaan nampak semakin menggila. Dengan senjata di tangannya itu, si Kaki
Tunggal nampak berubah menjadi beringas. Lama
kelamaan permainan kail si kakek botak
itu nampak sudah tiada berarti banyak,
bahkan dalam beberapa gebrakan
berikutnya si Kaki Tunggal sudah nampak berada di atas angin. Sementara si
Pengail Aneh sudah semakin terdesak
hebat. Tetapi sebagai orang yang telah
banyak makan asam garam dunia
persilatan, keadaan seperti itu tidak
membuat si Pengail Aneh menjadi gugup.
Dia tahu senjata di tangan lawannya cukup berbahaya. Untuk sebagai tokoh tua
yang tidak memiliki ilmu kebal. Sudah barang
tentu dia tidak ingin kontak tangan
secara langsung. Jalan satu-satunya
adalah melepas pukulan jarak jauh atau
juga mempergunakan kailnya untuk
melindungi diri. Tak pelak lagi, dia pun segera memutar gagang kail bagai tak
ubahnya sebuah baling-baling. Maka
sebentar saja tubuh si Pengail Aneh sudah nampak terbungkus putaran kail di
tangannya yang begitu cepat.
Berulangkali, si Kaki Tunggal berusaha
menghancurkan pertahanan lawannya.
Namun selalu saja kail yang membentuk
perisai itu yang mengkandaskan
sergapan-sergapan pedangnya. Pada saat
itu, si Pengail Aneh sambil terus memutar senjatanya membentuk perisai. Kini dia
sudah lepaskan pukulan maut yang diberi nama Bulan Sembunyi Di Balik Awan. Bukan
main hebatnya pukulan yang dilepaskan
oleh si Pengail Aneh ini, karena begitu pukulan itu melesat, segera udara di
sekitarnya menjadi panas luar biasa.
Akibatnya sudah tentu sangat berpengaruh banyak bagi si Kaki Tunggal. Maka tak
ayal lagi dia pun melepaskan pukulan,
Kunyuk Gila Menendang Gunung dengan
kekuatan yang berlipat ganda. Hawa


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan yang dilepas oleh si Kaki Tunggal sebaliknya sangat dingin luar biasa.
Tak kalah hebatnya pukulan itu pun menderu
laksana badai yang menggila. Pukulan
berhawa panas bertemu dengan pukulan
yang berhawa dingin
"Bummm!"
Tubuh si Kaki Tunggal tersurut
beberapa tindak, bahkan pukulan yang
dilepas oleh si Kaki Tunggal membalik
terdorong hawa panas yang berasal dari
pukulan si Pengail Aneh. Bahkan hawa
dingin dengan dorongan hawa panas itu
terus meluncur mengarah ke tubuh si Kaki Tunggal. Andai saja laki-laki hitam
legam itu tidak cepat-cepat kiblatkan
pedangnya sudah barang tentu tubuhnya
akan termakan pukulan sendiri ditambah
lagi dengan pukulan lawannya.
"Breeees! Kembali tubuh si Kaki Tunggal
tergetar, namun tak berakibat apa-apa.
Nyatalah sudah bahwa dalam hal adu tenaga sakti ternyata si Kaki Tunggal berada
satu tingkat di bawah si Pengail Aneh.
Menyadari akan kekurangannya, maka si
Kaki Tunggal kini mengandalkan permainan pedangnya. Dalam perhitungannya kalau
si Pengail Aneh tidak pernah diberi
kesempatan untuk melepaskan
pukulan-pukulan mautnya, sudah barang
pasti kemenangan sudah tentu berada di
pihaknya. Jalan satu-satunya adalah
dengan menggempur si Pengail Aneh dalam jarak yang sangat dekat. Maka tak begitu
lama kemudian, si Kaki Tunggal nampak
berteriak keras-keras. Bersamaan dengan teriakannya itu maka tubuhnya
berkelebat, pedang kematian di tangannya menderu sedemikian hebat. Hawa
memuakkan segera menebar ke mana-mana. Sadar bahwa lawan tak memberi kesempatan
untuk melepaskan pukulan Bulang Sembunyi Di
Balik Awan. Maka si Pengail Aneh kembali memutar kailnya sebagai perisai diri.
Akan tetapi semakin cepat si Pengail Aneh memutar kailnya. Maka serangan pedang
si Kaki Tunggal datangnya semakin membadai.
Tak heran karena si Kaki Tunggal kini
telah mempergunakan jurus Pedang
Langlang Buana yang tidak perlu
diragukan lagi akan kemampuannya.
Hingga pada suatu kesempatan, si
laki-laki berbadan hitam ini pun kembali sedikit demi sedikit mendesak lawannya.
Lima jurus di depannya si Pengail Aneh
benar-benar nampak sangat kepepet
sekali. Sering pedang di tangan lawan
hampir saja berhasil melukai tubuhnya.
Sialan, sialan! Ke mana pula si Hina
Kelana sampai saat sekarang belum juga
muncul! Gerutu si Pengail Aneh sudah
merasa kewalahan. Satu saat si Kaki
Tunggal kirimkan satu tusukan satu
babatan. Pedang di tangan lawan menderu cepat. Dalam keadaan sedekat itu, sudah
barang tentu tak ada pilihan lain bagi si Pengail Aneh, kecuali mengadu gagang
kailnya dengan pedang lawannya.
"Crak! Tes! Tes!"
Sambil melompat mundur, si Pengail
Aneh berseru kaget, bagaimana tidak.
Begitu dia melihat ke atas kailnya.
Senjata yang telah dia pergunakan selama puluhan tahun itu kini terputus-putus
menjadi puing-puing yang sangat pendek.
Belum lagi hilang rasa kejut di hatinya.
Sambil tertawa ngakak, si Kaki Tunggal
kembali menyerangnya dengan
tusukan-tusukan kilat. Tanpa senjata di tangannya terasa begitu sulitlah bagi si
Pengail Aneh berkepala botak itu untuk
mengimbangi atau pun menangkis
kiblatan-kiblatan senjata lawannya.
Hingga pada satu ketika, si Pengail Aneh benar-benar sangat kepepet. Jiwa si
Pengail Aneh benar-benar dalam keadaan
terancam saat itu. Sebab si Kaki Tunggal sudah kirimkan satu tusukan cepat
mengarah ke bagian dada. si Pengail Aneh sejauh itu masih saja berupaya untuk
mengelak dan berkelit, namun ke mana saja dia menghindar, pedang kematian di
tangan si Kaki Tunggal bagai bermata saja layaknya mengejar ke mana saja si
kakek botak itu pergi. Dalam keadaan yang
sangat keritis itu mendadak menderu
selarik sinar berwarna Ultra Violet
memapasi serangan pedang yang
dilancarkan oleh si Kaki Tunggal.
"Brees!"
Dengan senjata masih tergenggam di
tangannya. Tubuh si Kaki Tunggal
terguling-guling dilanda pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang dilepas oleh Buang Sengketa. Bersamaan dengan
terguling-gulingnya tubuh si laki-laki
hitam, maka sesosok bayangan nampak
berkelebat begitu ringannya. Dan
tahu-tahu telah berdiri di hadapan si
Pengail Aneh. Kakek berkepala botak itu langsung marah-marah begitu melihat
kehadirannya. * * * 12 "Sial betul engkau ini, Kelana.
Kunyuk itu hampir saja membunuhku.
Engkau baru muncul!" dampratnya sambil menunjuk ke arah si Kaki Tunggal yang
nampak sedang berusaha berdiri sambil
mengurut-urut dadanya yang terasa bagai mau pecah.
"Ah, masa engkau bisa kalah oleh
orang semacam dia itu! Bukankah seperti apa yang aku dengar, kakinya yang
sebelah itu engkau yang membuntunginya" Mengapa dulu tidak engkau bunuh saja
sekalian, lihatlah betapa kini dia telah menjadi
bibit penyakit yang sangat
menjijikkan...!" kata Buang Sengketa sengaja menyindir si Kaki Tunggal.
"Ah, dulu kukira dia sudah mampus di dasar jurang sana. siapa sangka kalau
sampai hari ini dia masih dapat
nafas...!" si Pengail Aneh menimpali.
Lalu secara bersama-sama mereka tertawa tergelak-gelak. Mendidih darah si Kaki
Tunggal, apalagi dilihatnya orang yang
telah menyelamatkan si Pengail Aneh dari kematian adalah pemuda berpakaian kumuh
yang dulu pernah dia ampuni jiwanya.
Sesaat kemudian dia pun sudah membentak.
"Manusia gembel berperiuk. Berani
sekali engkau mencampuri segala
urusanku?" Yang dibentak malah tertawa rawan.
"Terhadap kunyuk berkaki buntung
siapa takut" Jangan kira aku akan lari
melihat pedangmu itu...!"
"Sompreet! Kalau dulu tidak
kuampuni jiwamu yang tiada berharga itu, tidak nantinya engkau dapat bernafas
hingga detik itu!" maki si Kaki Tunggal seolah menyesalkan.
"Ho... ho... ho...! Menyesal pun
sekarang sudah tiada guna, sobat...!"
tukas si pemuda sambil geleng-gelengkan kepalanya.
"Puih! Jangan kira" malam ini aku mengampunimu..." dengus si Kaki Tunggal.
"Sudah tiada guna, sobat. Karena
malam ini engkaulah yang terbuntang ke
liang kubur...!"
"Bangsat sombong. Sekalipun kalian maju berdua, tak akan nantinya kalian
menang menghadapiku!" bentak si Kaki Tunggal, tangan kananya nampak
mengamang-amangkan pedang panjang di
tangannya. Sementara itu Pendekar Hina Kelana
nampak berpaling pada si Pengail Aneh
yang saat itu nampak berdiri
termangu-mangu memandangi Buang
Sengketa dan si Kaki Tunggal silih
berganti. "Orang tua, kuharap engkau mau
menjadi saksi bisu dalam pertarungan
ini. Ingat, apa pun yang bakal terjadi
pada diriku, jangan coba-coba engkau
memberi bantuan apa pun...!"
"Menghadapiku seorang diri, engkau benar-benar akan menyesal Bocah gembel!"
tukas si Kaki Tunggal meremehkan.
"Jangan banyak mulut. Seranglah aku dengan pedangmu yang terkenal sangat
hebat itu...!"
"Lima gebrakan di depan tubuhmu
benar-benar akan kubelah dengan pedang
ini, pemuda sombong...!"
"Lakukanlah kalau engkau mampu...!"
ejek si pemuda.
"Ho... he... hi...! Aku pasti
mampu... ya pasti mampu...!"
Sekali menyerang, si Kaki Tunggal
langsung kirimkan tusukan tusukan ganas, Buang Sengketa yang sudah tahu bahwa
pukulan-pukulan mautnya tak akan berarti banyak. Untuk menandingi permainan
lawannya maka kini dia mengambil
keputusan untuk mengimbangi jurus-jurus pedang lawannya dengan sebuah jurus yang
sudah tak asing lagi, yaitu Membendung
Gelombang Menimba Samudra.
Tangan diputar sedemikian rupa,
sehingga merupakan sebuah kitiran yang
berputar liat membentuk sebuah
pertahanan yang kokoh. si Kaki Tunggal
terus merangseknya dengan jurus-jurus
pedang tingkat tinggi yang diberi nama
Setan Gila Membelah Bumi. Sekejap saja
pedang di tangan lawannya menderu-deru
menyebarkan bau yang tak sedap.
"Bet! Bet!" '
Dua kali sambaran mata pedang nyaris
membeset kulit punggungnya.
"Ih...!"
keluh Buang Sengketa
sambil menjatuhkan dirinya ke samping
kiri. si Kaki Tunggal memburunya lalu
menusukkan pedangnya lagi.
"Wut! Put!"
"Bret!"
Sungguhpun Pendekar Hina Kelana
bergerak sedemikian cepat, namun tetap
saja senjata di tangan lawan berhasil
menggores dan merobek bagian samping. Si pemuda nampak menyeringai begitu
merasakan sakit yang teramat sangat.
Masih untung dia kebal terhadap segala
macam racun. Kalau tidak goresan pedang
lawan yang mengandung racun jahat sudah membuatnya tewas. Atau paling tidak
pingsan seketika itu juga. Darah mulai
merembes membasahi baju si pemuda, dari jarak yang tidak begitu jauh nampak si
Pengail Aneh memperhatikan keadaan si pemuda dengan pandangan tak tega.
Sementara pertarungan itu terus
berlangsung, tetapi kini jurus-jurus
silat yang dipergunakan oleh si pemuda
nampak berubah total. Gerakan-gerakan
tubuhnya nampak meliuk-liuk tak
beraturan, sekali waktu kaki dan tangan menghantam ke arah depan secara
serampangan. Di lain kesempatan bagai
seekor monyet yang terserang penyakit
gatal, dia menggaruk-garuk tak
karuan. Sungguh pun
gerakan-gerakan silatnya ngaco tak
beraturan. Namun sejauh itu selalu saja sergapan-sergapan yang dilakukan oleh si
Kaki Tunggal menemui sasaran yang
kosong. Tak heran, karena saat itu
Pendekar Hina Kelana telah mempergunakan jurus si Gila Mengamuk yang tak perlu
diragu kan lagi kehebatannya. Bukan main kesal si Kaki Tunggal demi menghadapi
situasi pertarungan seperti itu. Maka
ketika lima puluh jurus telah berlalu,
dan keadaan masih tetap tak berubah. Maka
si Kaki Tunggal kemudian telah
bersiap-siap dengan pukulan y,ang diberi nama, Kunyuk Gila Menendang Gunung.
"Weeer!"
Laksana kilat selarik sinar
berwarna hitam keungu-unguan nampak
melesat sedemikian cepat mengarah pada
si pemuda. Buang Sengketa menyadari
bahwa pukulan yang dilepaskan oleh
lawannya adalah sebuah pukulan ganas
yang hampir membuatnya tewas beberapa
minggu yang lalu. Maka tak ayal lagi dia pun mengerahkan pukulan Empat Anasir
Kehidupan tingkat tinggi.
Wuuut! Satu gelombang sinar Ultra Violet
meluruk sedemikian cepat ke arah
datangnya tenaga pukulan yang dilepas
oleh si Kaki Tunggal. Maka tak terelakkan lagi kedua tenaga sakti itu pun saling
bertabrakan di udara.
"Blaaar!"
Suara berdentumnya dua kekuatan itu
laksana merobek langit kelam. Bumi
tempat mereka berpijak nampak bergetar
hebat. Tubuh si pemuda nampak terlempar beberapa tombak, sementara lawannya
hanya tergetar saja. Begitu tubuh
Pendekar Hina Kelana tersungkur di atas tanah berbatu, darah terus menggelogok
dari mulutnya. Cepat-cepat dia himpun
tenaga dalamnya. Sebentar kemudian
wajahnya yang nampak memucat itu secara perlahan berangsur-angsur berubah
kemerahan kembali. Tetapi pada saat itu dengan pedang terangkat tinggi-tinggi si
Kaki Tunggal sudah memburunya kembali.
Sementara itu si Pengail Aneh yang sejak tadi memperhatikan jalannya
pertarungan, nampak semakin cemas,
apalagi sempat mengetahui bahwa si
pemuda sampai muntahkan darah segar.
Ingin rasanya dia turun tangan membantu.
Tetapi dia merasa kurang enak dengan apa yang telah dikatakan oleh pemuda itu


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelumnya. Sungguhpun besar sekali
keinginannya untuk dapat terjun kembali dalam pertarungan itu, tetapi pada
akhirnya dia tak mampu berbuat banyak.
Dia tak ingin melihat Pendekar Hina
Kelana menjadi marah karena ulahnya.
Sementara itu Buang Sengketa sedang
berpikir-pikir untuk mempergunakan
Cambuk Gelap Sayuto atau Pusaka Golok
Guntung. Namun akhirnya dia memutuskan
untuk mempergunakan dua-duanya. Maka
begitu pusaka Golok Buntung tergenggam
di tangan Pendekar Hina Kelana, si Kaki Tunggal nampak sangat terkejut sekali.
Kedua bola matanya nampak tor belalak
bagai mau meloncat ke luar. Apabila golok di tangan si pemuda memancarkan
cahaya merah menyala. Dan apabila
mulutnya mulai mendesis-desis bagai
bunyi seekor ular piton yang sedang
marah. Maka pada detik kemudian dia pun berseru lantang!
"Sobat! Senjata di tanganmu
tterlatlu, hebat buatku, terpaksa aku
mempergunakan golok dan cambuk yang
tiada berarti ini bagimu...!" kata si pemuda merendah.
"Sombong, engkaukah Pendekar Hina
Kelana keparat itu. Namamu sudah sangat tersohor di mana-mana. Tapi jangan kira
aku takut. Sungguhpun engkau memiliki
selusin golok buntung, tidak nantinya
aku lari meninggalkanmu." tukasnya ketus sekali.
"Haiiit!"
Diawali dengan satu jeritan keras
menggelegar, tubuh si pemuda bergerak
cepat, si Kaki Tunggal tertawa mengekeh, kemudian babatkan pedangnya untuk
menjajal kehebatan golok buntung di
tangan lawannya. Dengan sengaja Buang
Sengketa memapaki datangnya serangan
pedang pihak lawannya.
"Crang! Trang!"
Kejut kedua orang ini bukan alang
kepalang. Kaki Tunggal terjengkang dua
tombak sementara dadanya terasa bagai
ditimpa batu gunung. Akan tetapi dia
lebih terkejut lagi manakala dia menoleh ke arah pedangnya yang rompal di
beberapa bagian. Secepatnya dia berusaha bangkit, begitu dia memandang pada
Buang Sengketa yang sudah melecut cambuk gelap Sayuto di angkasa lepas.
"Ctarr! Ctarr! Ctarr!
Mendadak suasana malam yang
dalam keadaan bulan purnama, seketika
itu menjadi gelap gulita. Bunyi petir
saling sambung menyambung. Dalam keadaan seperti itu tak satu pun yang dapat
dilihat. Dalam genggaman pendekar Hina
Kelana, pusaka Golok Buntungnya
memancarkan sinar merah bara, sehingga
tak ubahnya bagai lentera dalam
kegelapan. Hanya si Kaki Tunggal saja
yang melotot memperhatikan ke anehan
itu. Tubuh Pendekar Hina Kelana
tiba-tiba berkelebat. Cambuk di tangan
terus melecut-lecut. Sementara laksana
meteor golok di tangan si pemuda
berkelebat, mengarah pada bagian tubuh
lawannya. "Trang! Crees!"
Pedang di tangan si Kaki Tunggal
terpelanting entah ke mana terbabat
golok di tangan Buang Sengketa. Tidak
cukup sampai di situ saja, pusaka Golok Buntung itu pun langsung menghunjam di
pangkal tenggorokan si Kaki Tunggal.
Tiada lolongan maut, hanya darah segar
saja yang menyembur-nyembur dari luka
luka yang menganga dan beberapa saat
kemudian, tubuh Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal itu pun terhuyung-huyung
kemudian terjungkel di atas tanah
berbatu dengan jiwa melayang. Tamatlah
riwayat Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal ini, bersamaan dengan itu kabut dan
suara petir itu pun secara berangsur-angsur
mulai hilang dan tak terdengar lagi.
Bulan purnama nampak sudah berada di atas ubun-ubun. Berulang kali si Pengail
Aneh berseru dan memuji kehebatan pendekar
itu. Tetapi akhirnya dia harus
menggerutu, karena begitu dia menoleh
pendekar yang diajaknya bicara itu sudah tidak ada di tempat. Tinggallah si
Pengail Aneh yang meracau seorang diri
sambil berlalu dari tempat itu.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan/Convert/E-book : Abu Keisel
Tukang Edit : beno
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Harimau Kemala Putih 7 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Kelana Buana 29
^