Pencarian

Sepasang Maling Budiman 1

Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman Bagian 1


SEPASANG MALING BUDIMAN Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Sepasang Maling Budiman
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pagi dengan sinar mentarinya yang hangat me-
nerangi alam persada. Mentari baru saja naik dari pe-
raduannya. Namun para kuli yang bekerja pada pem-
buatan jalan tampak telah mulai bekerja. Di antara
puluhan kuli berdiri belasan lelaki bertampang berin-
gas tengah mengawasi. Dari tampang mereka tampak
ke tidak relaan jika para kuli itu bekerja lamban, apalagi beristirahat sebelum
waktunya. Tidak jauh dari tempat itu, tampak seorang le-
laki tua tengah tertatih-tatih membawa bongkahan ba-
tu yang tak seimbang dengan keadaan tubuhnya.
Meskipun suasana masih pagi, tubuh kurus lelaki tua
itu bercucuran keringat. Sesekali langkahnya terhenti.
Napas tuanya tersengal-sengal. Lalu setelah meletak-
kan batu yang dibawa ke tanah, tangannya menyeka
keringat yang hampir mengalir ke mata. Ditelan air lu-dahnya guna membasahi
kerongkongan yang basah
kehausan. Kepalanya menggeleng-geleng, seolah hen-
dak mengatakan bahwa dirinya tak mampu.
Namun orang-orang berpakaian rompi hitam
yang bertugas sebagai pengawas itu tampaknya tak
peduli. Mereka bagaikan iblis-iblis kejam. Tak ada belas kasihan sama sekali
terhadap para pekerja yang
sudah dibayar oleh juragan yang menangani pembua-
tan jalan. Siapa yang berani membangkang, akan
mendapat siksa yang berat
"Uhhh...!" lelaki tua bertubuh kurus itu melen-guh lirih dengan mulut meringis.
Tubuhnya tampak
gemetaran, seakan menggambarkan betapa berat be-
ban yang tengah dijalani. Begitupun guratan-guratan
di wajah lelaki tua itu menyiratkan derita hidup yang telah menghimpit jiwanya.
"Hyang Widhi! Oh..., sampai kapan penderitaan
ini berakhir" Sampai kapan derita yang harus ditang-
gung warga Desa Kaliamba ini...?" keluh lelaki tua hampir tak berdaya. Wajahnya
yang berpeluh menengadah, memandang ke langit. Seakan-akan tengah
mengadukan nasibnya kepada Yang Maha Kuasa.
Baru beberapa kali tarikan napas lelaki itu ter-
menung, tiba-tiba dari belakang seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun
bermuka beringas menghampiri. Tanpa banyak bicara, lelaki beringas yang ternya-
ta penjaga para pekerja menendang tubuh lelaki tua
itu. Dugkh! "Tua bangka tak tahu diri! Sudah dibayar ma-
sih malas-malasan kau"!" hardiknya dengan mata melotot. Lelaki tua renta yang
ditendang, terjungkal. Beruntung batu yang dibawa terlontar agak jauh, tak
mengenai tubuhnya. Dengan tertatih-tatih, lelaki tua
renta itu berusaha bangun. Wajahnya memandang
mengiba, berusaha meminta belas kasihan.
"Saya..., saya sakit, Den," ujar lelaki tua itu dengan suara gemetar.
"Ah..., alasan lagi! Cepat bangun dan kerja!
Jangan sampai hilang kesabaranku!" hardik si penjaga dengan muka semakin
menampakkan kegarangan.
Kakinya dengan enteng, kembali menendang pantat le-
laki tua itu. Dugkh! "Aduh! Ampun, Den!"
Lelaki tua renta itu terjungkal dengan muka
mencium tanah. Namun, sepertinya si penjaga tak me-
rasa kasihan sedikit pun. Bahkan dengan angkuhnya,
lelaki muda bermuka garang itu tersenyum sinis.
Orang-orang yang sedang bekerja, hendak
membantu lelaki tua malang itu. Namun tiba-tiba....
"Jangan turut campur! Atau kalian akan men-
dapatkan hal serupa dengan orang tua yang hampir
mampus itu"!" terdengar suara keras membentak. Sehingga pekerja paksa itu
mengurungkan niat mereka.
Namun mata para pekerja paksa itu memandang pe-
nuh kebencian pada lelaki berpakaian hijau sepanjang
lutut yang dirangkapi pakaian dalam warna kuning.
Lelaki berperut buncit dan bermuka bengis itu,
tak lain juragan yang menangani pekerjaan pembuatan
jalan. Dia bernama Durka Pela, warga desa yang ter-
kenal pelit dan kikir. Namun karena pintar mengambil
hati para pembesar, dirinya dipercaya untuk menan-
gani masalah pembebasan tanah dan pengerjaan pem-
buatan jalan. Pertentangan antara Juragan Durka Pela den-
gan warga Desa Kaliamba mengenai pembebasan ta-
nah dan upah yang sangat kecil, sudah sering terjadi.
Namun selama ini, warga selalu kalah. Hal itu karena
Juragan Durka Pela beserta para centengnya melaku-
kan penekanan dan penyiksaan, yang membuat warga
semakin menderita.
"Kalian telah tahu, apa yang akan kalian da-
patkan, jika berani menentangku!" bentak Juragan Durka Pela dengan tingkah
sombong. Kedua tangannya bertolak pinggang. Matanya memandang penuh
kebengisan pada para pekerja yang seketika mengu-
rungkan niat mereka untuk melakukan pemberonta-
kan. Juragan Durka Pela tersenyum sinis. Keangku-
hannya semakin menjadi-jadi. Matanya disapukan ke
sekeliling tempat pembuatan jalan dengan tajam, yang
membuat semua pekerja semakin ketakutan.
"Ayo, kalian kerja lagi!" seru Juragan Durka Pe-la pada para pekerja paksa yang
masih diam, meman-
dang penuh kebencian kepadanya. Namun Juragan
Durka Pela tak peduli. Dengan angkuh, juragan kikir
ini bertolak pinggang. Kepalanya digerakkan, memberi
perintah pada anak buah agar menangani para peker-
ja. Kemudian dengan tanpa mempedulikan para peker-
ja. Juragan Durka Pela beranjak meninggalkan tempat
itu diikuti dua orang pengawalnya.
Para penjaga yang bertugas mengawasi para
pekerja, kembali berlaku kasar. Siapa saja yang malas-malas mereka siksa dengan
tendangan dan pukulan.
Sehingga para pekerja tak ada yang berani membang-
kang. Meski merasa tertekan dan tersiksa, mereka ter-
paksa bekerja. Meski keringat bercucuran membasahi
tubuh, mereka tetap bekerja.
Mentari terus merangkak naik dengan sinarnya
yang semakin panas. Para pekerja tetap bekerja, tanpa ada waktu beristirahat.
Apalagi para penjaga tampak
semakin beringas dan kejam setiap menghadapi peker-
ja yang mencoba melawan. Para penjaga tak meman-
dang bulu pada siapa saja. Tak peduli pada orang tua, ataupun anak muda. Sekali
saja kedapatan beristirahat atau malas, siksa hukuman akan menimpa di-
rinya. *** Kereta yang ditarik dua ekor kuda nampak me-
laju meninggalkan tempat pembuatan jalan. Di dalam
kereta itu, duduk seorang lelaki gemuk berperut bun-
cit. Di kanan kirinya, dua orang centeng dengan mata
tajam mengawasi sekelilingnya. Lagak mereka seperti
seorang pendekar sakti, yang setiap saat siap menye-
lamatkan sang Juragan dari ancaman orang-orang
yang merasa tidak suka.
"He he he...! Semakin lama pekerjaan itu, akan
semakin banyak uang yang masuk ke kantongku,"
gumam Juragan Durka Pela sambil tertawa terkekeh.
Kedua orang centeng turut tertawa senang, ka-
rena mereka juga akan mendapatkan cipratan uang
dari juragannya. Ketika mereka melintasi jalanan ber-
bukit, tiba-tiba dari arah yang berlawanan berkelebat sesosok bayangan biru di
depan kuda-kuda itu.
"Hiiieeeh...! Hiiieeehhh...!"
Kedua kuda penarik kereta langsung mering-
kik, dengan kaki-kaki terangkat ke atas. Hal itu mem-
buat orang-orang yang berada di dalam kereta terkejut
"Ada apa, Kusir"!" sentak Juragan Durka Pela bertanya.
"Ampun Juragan! Ada orang menghadang kita!"
sahut sang Kusir.
"Huh! Cecunguk macam apa lagi yang berani
menghadang perjalanan kita"!" dengus Juragan Durka Pela. "Barda dan kau Gopal,
bereskan dia! Mengganggu saja!" "Beres, Gan," jawab kedua centeng yang langsung
melompat keluar untuk melihat orang yang bera-
ni menghadang perjalanan juragannya.
Seorang lelaki berpakaian biru tua nampak
berdiri tegap. Matanya menatap tajam dua orang cen-
teng Juragan Durka Pela. Lelaki bercadar biru itu seakan mengejek kedua centeng
yang telah banyak mem-
buat penderitaan warga Desa Kaliamba.
"Siapa kau"! Untuk apa kau menghadang perja-
lanan kami"!" bentak centeng yang berkepala botak.
Matanya yang juling menatap wajah lelaki yang terha-
lang kain biru itu. Dari sikapnya seperti dibuat-buat, centeng yang bernama
Barda itu jelas memperlihatkan
sifat penjilat. Lagaknya seperti seorang jagoan yang tak tertandingi siapa pun.
"Siapa diriku, kalian tak perlu tahu! Aku ingin
bertemu dengan juragan kalian," sahut lelaki bercadar biru tegas. Matanya
menentang tatapan kedua centeng
yang garang. Sepertinya lelaki berpakaian biru panjang sampai selutut itu tak
merasa takut sedikit pun.
"Untuk apa kau ingin bertemu juragan kami"!"
bentak Gopal. Hidungnya yang besar tampak berkem-
bang kempis. "Aku tak butuh kalian! Mana juragan kalian"!"
bentak lelaki bercadar biru tak kalah kerasnya. Hal itu membuat kedua centeng
Juragan Durka Pela tersentak
kaget. Barda dan Gopal tak menyangka kalau lelaki
bercadar biru akan berani membalas bentakan mere-
ka. "Cepat suruh juragan kalian keluar!"
"Kurang ajar! Lancang sekali kau! Nih..., hadapi dulu kedua centengnya!" bentak
Barda. Kepalanya
yang botak manggut-manggut
"Hua ha ha...! Untuk menghadapi kalian, kura-
sa tak ada artinya!" tiba-tiba lelaki bercadar biru tertawa keras terbahak-
bahak, mengejek kedua centeng
yang semakin bertambah geram.
"Kurang ajar! Sombong kau! Heaaa...!"
"Kuremukan kepalamu!"
Barda dan Gopal segera mencabut golok mere-
ka. Kemudian dengan pekikan menggelepar, kedua
centeng itu langsung merangsek lawan yang tampak
masih berdiri tegap di depan kereta kuda Juragan
Durka Pela. "Hea!"
"Yea!"
Golok di tangan kedua centeng itu membabat
cepat. Namun dengan ringan lelaki bercadar biru sege-
ra bergerak mengelak. Kaki kanannya ditarik ke bela-
kang, sedang kaki kiri ditekuk membentuk kuda-kuda.
Lalu dengan gerak cepat, kedua tangannya menghan-
tam pundak kanan dan kiri kedua lawannya setelah
serangan mereka lepas.
Degkh! Degkh! "Ukh!"
"Akh!"
Kedua centeng itu seketika terhuyung-huyung
ke belakang, terkena hantaman tangan lelaki bercadar.
Mata keduanya membelalak sedangkan dari mulut me-
reka melelehkan darah. Barda dan Gopal merasakan
sesak dan nyeri di dada mereka.
"Hua ha ha...!" lelaki bercadar biru tertawa terbahak-bahak, sehingga tubuhnya
tampak terguncang.
Kemudian setelah mendengus, lelaki yang belum di-
kenal itu berkata, "Kalau aku mau tak sulit mengirim nyawa kalian ke neraka!"
Ucapan lelaki bercadar biru tidak menyadarkan
kedua centeng Juragan Durka Pela. Mereka justru ber-
tambah marah karena merasa diremehkan.
"Cuih...!" Barda membuang ludah ke tanah.
Kemudian disekanya dengan telapak tangan, darah
yang meleleh di bibirnya. Matanya menatap penuh ke-
bengisan, "Kau kira mudah menakuti kami" Huh, jangan kira kami akan takluk di
tanganmu!"
"Hm, begitu" Rupanya kalian memang hams
kusingkirkan dari dunia ini! Bersiaplah...! Heaaa...!"
dengan lompatan cepat, seperti terbang, lelaki bercadar biru membuka serangan.
Kedua tangannya telah siap
menghajar kedua centeng Juragan Durka Pela.
Kedua centeng Juragan Durka Pela tersentak,
menyaksikan jurus silat yang sangat cepat dan seperti mengandung tenaga dalam
yang kuat. Sesaat lagi, serangan lelaki bercadar biru itu akan menghantam tu-
buh kedua centeng itu. Namun tiba-tiba....
"Hentikan!" dari dalam kereta muncul Juragan Durka Pela. Sehingga lelaki
bercadar biru seketika
menghentikan gerakannya.
"Bagus! Rupanya kau tahu diri, Durka Pela! Ka-
lau saja kau tak segera keluar, kedua kunyuk jelekmu
ini sudah kukirim ke neraka!" dengus lelaki bercadar sengit "Apa maumu" Kau
telah kenal namaku, tetapi aku tak mengenalmu," ujar Juragan Durka Kepala
dengan mata terus menyelidik, siapa adanya lelaki ga-


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gah yang sebagian wajahnya ditutup cadar. Sekilas Ju-
ragan Durka Pela mengenal sosok tubuh lelaki itu.
Namun hatinya ragu, karena tak melihat jelas wajah
lelaki itu "Hm, tak banyak," sahut lelaki bercadar biru.
"Katakan, apa?"
Lelaki bercadar biru tak langsung menjawab.
Matanya menatap tajam wajah Juragan Durka Pela.
Seolah-olah hendak menyelidik, apakah Juragan Dur-
ka Pela benar-benar akan memenuhi permintaannya.
Atau sebaliknya, dengan kelicikan akan menipu di-
rinya. "Baik, aku minta kau bersedia menyerahkan potongan gaji kuli-kuli itu!"
Membelalak mata Juragan Durka Pela, men-
dengar permintaan lelaki bercadar. Kedua centengnya
pun tersentak kaget, sekaligus marah karena lelaki
bercadar biru dianggap telah berani turut campur da-
lam urusan mereka.
"Huh"! Lancang sekali mulutmu!" dengus Barda geram. Centeng botak itu hendak
maju, tetapi Juragan
Durka Pela melarangnya.
"Tenang!"
"Dia terlalu kurang ajar, Juragan," ujar Barda sengit "Tenang..., tenang saja!
Jangan kira aku akan menuruti permintaan itu!" bisik Juragan Durka Pela
pada kedua centengnya dengan bibir tersenyum sinis.
"Bagaimana, Durka Pela"!" tanya lelaki bercadar biru.
"Mereka telah kubayar sesuai dengan perjan-
jian," jawab Juragan Durka Pela.
"Hm, jangan kira aku tak tahu, kalau kau telah
memaksa mereka agar mau menerima tiga kali! Bukan
itu saja, kau juga telah menekan pemilik tanah yang
terkena jalur pembuatan jalan dengan harga semurah
mungkin!" ujar lelaki bercadar biru. Hal itu membuat muka Durka Pela seketika
merah membara. "Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, hai...
Lelaki Bercadar!" dengus Barda geram. Tubuhnya seketika melesat seraya
mengayunkan golok menyerang.
"Mampus kau! Hih...!"
Wrt! "Uts! Kurasa kaulah yang harus mampus!
Hea...!" usai berkelit lelaki bercadar biru segera menghantamkan telapak tangan
kanannya ke dada Barda.
Barda yang tubuhnya doyong ke depan setelah
gagal menyerang, tersentak kaget. Dirinya berusaha
berkelit sambil membabatkan golok ke tubuh lelaki
bercadar. "Heaaa!"
Wrt! Lelaki bercadar menarik mundur serangannya,
kemudian sambil memutar tubuh, kaki kanannya me-
nendang punggung Barda dengan keras.
Degkh! "Akh...!"
Tubuh Barda terhuyung-huyung ke depan. Dari
mulutnya memuncratkan darah segar. Matanya melo-
tot lebar. Sesaat tubuhnya meregang, berbalik me-
mandang lelaki bercadar.
"Kau...."
Belum habis ucapan Barda, seketika tubuhnya
ambruk dengan mata masih membelalak. Nyawanya
melayang. Hal itu semakin membuat Gopal dan Jura-
gan Durka Pela membelalakkan mata marah.
"Kurang ajar! Kau telah berani membunuh te-
manku! Kau harus mampus! Heaaa...!" Gopal seketika melesat dengan goloknya,
membabat dan memburu
lawan. Namun dengan cepat lelaki bercadar biru me-
ngelitkan serangan-serangan gencar dan keras yang di-
lancarkan Gopal.
"Hea!"
Dengan melompat ke sana kemari lelaki berca-
dar biru terus mengelitkan serangan gencar yang di-
lancarkan Gopal. Sesekali lelaki bercadar biru itu balik menyerang dengan
pukulan dan tendangan. Namun
ternyata serangan balasan itu tak bisa dianggap re-
meh. Buktinya Gopal tampak kelabakan dibuatnya.
Gopal harus berjuang mati-matian agar bisa lepas dari serangan lawan.
"Yea!"
Lelaki bercadar berkelit dengan tubuh memutar
ke belakang. Kemudian dengan cepat dan beruntun
tangan dan kakinya menghantam punggung dan kepa-
la Gopal. "Hea!"
Degkh! Degkh! "Ukh! Akh...!"
Tubuh Gopal terhuyung-huyung cepat ke de-
pan. Dari mulutnya muncrat darah segar. Kemudian,
diiringi serangan keras tubuhnya ambruk ke tanah.
Dan tewas seketika.
Melihat kedua centengnya mati, Juragan Durka
Pela hendak lari ke kereta. Namun dengan cepat, lelaki bercadar biru telah
melesat menghadangnya.
"Mau lari ke mana, Durka Pela"!" bentak lelaki bercadar biru dengan suara geram.
Mendengar ancaman yang tampak dari sikap lelaki itu Juragan Durka
Pela gemetar ketakutan. Keringat dingin mengucur de-
ras mulai membasahi sekujur tubuhnya.
"Ampun, jangan bunuh aku!" pinta Juragan
Durka Pela sambil menyembah-nyembah.
"Aku akan mengampunimu, asalkan kau men-
gembalikan uang potongan gaji pekerja. Kembalikan
pula uang pembebasan tanah yang juga telah kau po-
tong!" perintah lelaki bercadar biru mengancam.
"Tapi... tapi...."
"Tapi apa"!" bentak lelaki bercadar keras, "Kau akan mengatakan uangmu habis
untuk mengumpul-kan gundik dan membeli rumah-rumah mewah. Begi-
tu, kan"!"
Juragan Durka Pela menundukkan kepala
sambil mengangguk, membenarkan apa yang dituduh-
kan lelaki bercadar biru. Lelaki berperut gendut itu tak mampu menahan rasa
takutnya, sehingga sampai ter-kencing-kencing.
"Baiklah kalau memang hari ini tak ada. Ku-
tunggu sampai tiga hari. Kuminta kau menyerahkan-
nya di Bukit Kucing!" perintah lelaki bercadar. Kemudian tanpa menghiraukan
Juragan Durka Pela, lelaki
bercadar biru melesat meninggalkan tempat ini.
Dengan sempoyongan dan gemetaran Juragan
Durka Pela melangkah menghampiri keretanya. Wa-
jahnya menggambarkan kepanikan dan bingung. Lela-
ki bercadar biru, bukanlah orang sembarangan. Ter-
bukti dua orang centengnya dalam sekali gebrak saja
dapat dibinasakan.
"Bagaimana aku akan memberi permintaan-
nya," keluh Juragan Durka Pela sambil melangkah ke keretanya. Kemudian tanpa
bicara, lelaki gemuk berpe-
rut buncit itu naik ke keretanya, "Jalan!"
Sang Kusir menurut, menjalankan keretanya.
*** 2 Waktu yang dijanjikan lelaki bercadar biru
hampir tiba. Besok, Juragan Durka Pela harus menye-
rahkan uang sisa pemotongan gaji dan pembebasan
tanah warga. Namun uang yang diminta, benar-benar
tak ada. Keadaan ini membuat Juragan Durka Pela
nampak kebingungan. Melaporkan kepada para peja-
bat kerajaan, rasanya tak mungkin. Kalau hal itu dilakukan, hanya akan
mempermalukan dirinya karena
para pembesar istana telah menyerahkan pembuatan
jalan itu kepadanya. Apapun yang terjadi, semua tang-
gung jawabnya. Di samping itu, pembesar istana sebenarnya te-
lah membayar semua pembiayaan. Ada pun pembaya-
ran terhadap para kuli dan pembebasan tanah, semua
di tangan Juragan Durka Pela. Dirinya pula yang me-
motong bayaran setengah lebih dari jumlah yang harus
dibayarkan. Malam ini, Juragan Durka Pela merasa bin-
gung. Matanya tak dapat diajak tidur. Benaknya terus
gelisah, memikirkan lelaki bercadar biru yang telah
membunuh dua orang centengnya hanya dengan sekali
gebrak. Juga mengingat tuntutan lelaki bercadar biru, yang menyuruhnya
membawakan uang pemotongan
pembayaran pembebasan tanah serta uang kuli.
"Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak
itu?" gumam Juragan Durka Pela masih kebingungan.
Kakinya melangkah hilir mudik. Otaknya terus beker-
ja, diperas untuk mendapatkan jawaban dari perta-
nyaan-pertanyaan dalam hatinya.
Kebingungan masih melanda pikiran Juragan
Durka Pela, ketika delapan orang wanita cantik yang
menjadi gundik-gundiknya masuk. Kedelapan gadis
cantik berpakaian seronok mendekati Juragan Durka
Pela. Ada yang melenggak-lenggokkan tubuhnya. Ada
yang langsung membuka pakaiannya sehingga telan-
jang bulat. Juga ada yang langsung memberi ciuman
dan rangsangan pada juragan berperut gendut itu.
"Kenapa Kakang nampak kebingungan?" seo-
rang gadis berpakaian merah jambu yang masih muda
sekali, berusia sekitar delapan belas tahun, mencoba
bertanya. "Ah, tidak apa-apa," jawab Juragan Durka Pela sambil membalas semua yang
dilakukan kedelapan
wanita cantik yang dijadikan gundiknya.
Meski pikirannya sedang kusut oleh masalah
yang sedang dihadapinya, Juragan Durka Pela berusa-
ha menghilangkannya. Direngkuhnya kedelapan wani-
ta cantik itu. Kemudian dengan tertawa-tawa, mereka
meladeni Juragan Durka Pela.
Ada yang ditindih, ada yang memijit dan segala
macam tingkah laku yang menjijikkan. Semua mereka
lakukan dengan keadaan tubuh tak tertutup sehelai
benang pun. Juragan Durka Pela tidak ubahnya buaya
darat yang sangat rakus. Meski usianya sudah seten-
gah abad, lelaki gendut itu nampak masih sanggup
meladeni kedelapan gundiknya. Dengan penuh nafsu,
Juragan Durka Pela terus menggumuli kedelapan gun-
diknya secara bergantian.
Hilang sudah pikirannya yang pusing, memi-
kirkan lelaki bercadar biru yang menuntut uang pemo-
tongan gaji dan pembebasan tanah. Seakan Juragan
Durka Pela melupakan apa yang akan terjadi, jika be-
sok dia tidak dapat memenuhi permintaan lelaki ber-
cadar biru itu.
"Persetan dengan lelaki bercadar itu!" maki Juragan Durka Pela dalam hati sambil
terus menggeluti
kedelapan gundiknya bergantian, yang tertawa-tawa
senang. Kedelapan gundik Juragan Durka Pela, mera-
sa senang dengan perbuatannya.
Tengah Juragan Durka Pela melampiaskan naf-
sunya pada kedelapan gundik, tiba-tiba....
Brak! Dinding papan rumahnya dijebol dua sosok le-
laki yang mengenakan cadar biru dan ungu. Mata ke-
dua lelaki berpakaian seperti cadar, memandang tajam
wajah Juragan Durka Pela dan kedelapan gundiknya
yang terkejut. Sehingga mereka langsung berlarian
sambil mengenakan kain masing-masing.
"Siapa kalian"! Lancang sekali masuk tanpa
izinku!" bentak juragan Durka Pela sengit seraya membetulkan pakaiannya.
"Hhh..., tak jadi soal siapa kami berdua! Seka-
rang juga, kuminta serahkan hartamu! Cepat..!" bentak lelaki bercadar ungu.
Matanya menatap tajam pada
Juragan Durka Pela. Sebilah pedang telah ditudingkan
ke muka Juragan Durka Pela yang masih tampak ter-
kejut tak mampu berbicara.
"Kami harap jangan melawan!" sambung lelaki bercadar biru.
"Kau"!" kaget Juragan Durka Pela, mengenali suara lelaki bercadar biru yang
dikenalnya. Ya. Orang itu tak lain lelaki yang telah menghadangnya kemarin.
"Ya! Sengaja aku datang ke rumahmu, karena
kurasa kau tak akan memberikan apa yang kuminta.
Manusia licik sepertimu, tak dapat dipercaya," sahut lelaki bercadar biru sambil
menghunus pedangnya.
"Bu..., bukankah kau minta besok?" tanya Ju-
ragan Durka Pela dengan tubuh gemetaran. "Besok
aku akan menyerahkan padamu."
"Hm, begitu?"
"Ya."
"Kau kira aku percaya pada bualanmu, Durka
Pela"!" bentak lelaki bercadar biru, "Aku tak sebodoh itu! Sekarang serahkan
sisa uang yang kau potong dari gaji para kuli dan pembebasan tanah!"
"Tapi.., tapi..."
"Jangan membantah, Durka Pela!" bentak lelaki bercadar ungu seraya mendekatkan
ujung pedangnya
ke leher Juragan Durka Pela, yang menjadikan lelaki
berperut gendut itu semakin ketakutan. Namun pada
saat itu pula, dari luar masuk anak buah Juragan
Durka Pela berjumlah sepuluh orang.
"Ada apa, Juragan"!"
"Bunuh mereka!" teriak Juragan Durka Pela.
Seketika terbangkit keberaniannya, setelah melihat kedatangan sepuluh anak
buahnya. Mendengar perintah juragannya, sepuluh lelaki
berpakaian rompi hitam dan berwajah bengis itu lang-
sung menjalankan perintah. Mereka langsung mengu-
rung kedua lelaki gagah yang mengenakan cadar.
"Heaaa...!"
"Kalian mencari mampus!" dengus lelaki bercadar biru. Kemudian dengan cepat
tangan kanannya
bergerak, membabat dan menusukkan pedang mema-
pak serangan lawan-lawannya.
"Huh! Jangan banyak bicara! Pergi saja kalian
dengan tenang, atau terpaksa kami tak segan-segan
membinasakan kalian berdua!" bentak lelaki berbadan tinggi besar dengan kumis


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tebal. Tampaknya orang ini
pimpinan dari kesepuluh orang berompi hitam, yang
merupakan centeng bayaran Juragan Durka Pela.
"Hm, kalian juga penghisap darah rakyat kecil!
Kalian bersuka ria di atas penderitaan orang miskin!
Jangan harap kami membiarkan kalian hidup!
Heaaa...!" lelaki bercadar ungu mendengus marah
sambil memutar pedang dengan cepat memapaki se-
rangan lima orang lawannya.
Trang! Trang...!
"Heaaa!"
Dentangan nyaring pun terdengar ketika bebe-
rapa pedang saling bentur. Lelaki bercadar ungu terus membabatkan pedang, tak
ingin serangan lawan mendahului. Hingga....
Bret! Crab! "Aaakh...!" dua orang lawan menjerit, ketika dadanya terbabat pedang lelaki
bercadar ungu. Tubuh
kedua centeng Juragan Durka Pela itu meregang men-
dongak dengan dada mengucurkan darah. Kemudian
keduanya ambruk dan tewas.
Melihat kedua temannya mati, tiga orang lain-
nya bukan takut. Mereka justru bertambah beringas
dan marah. Dengan ganas ketiganya langsung mela-
kukan serangan secara serentak. Berkelebatan pedang
mereka menusuk dan membabat tubuh lelaki bercadar
ungu. "Heaaa...! Mampuslah kau, Pengacau!" dengus salah seorang dari ketiganya
sambil membabatkan pedang. Namun babatan pedang lelaki bercambang lebat
itu dengan mudah dapat dielakkan lelaki bercadar un-
gu, yang kemudian melakukan serangan balasan ke
tubuh lelaki brewok itu.
"Yeaaa...!"
Wrt! Cras! "Akh...!" lelaki bercambang bauk itu menjerit.
Tubuhnya terlempar ke belakang dengan perut robek
akibat babatan pedang lelaki bercadar ungu. Sesaat
tubuhnya masih mampu bertahan. Namun kemudian
ambruk dan tewas dengan darah membanjir memba-
sahi sekujur tubuh.
Di sisi lain, lelaki bercadar biru pun tak kalah
hebat dalam menghadapi lawan-lawannya. Pedang di
tangannya bergerak sangat cepat. Sehingga yang tam-
pak hanya kelebatan-kelebatan cahaya putih, disertai
suara berdecit terus memapak dan menyerang lima
orang lawannya.
"Heaaa...!"
Wrt! Wrt! Pedang di tangan lelaki bercadar biru itu laksa-
na sebuah baling-baling yang kuat dan cepat. Kelima
lawannya membelalakkan mata kaget tak menyangka
kalau ilmu pedang lawan begitu tinggi. Namun mereka
tetap berusaha menghalau serangan lelaki bercadar bi-
ru dengan sambutan pedang mereka.
"Heaaa...!"
Serentak kelima lelaki berpakaian rompi hitam
membabatkan pedang ke tubuh lelaki bercadar biru,
sehingga pedang mereka saling bertemu dan beradu.
Trang! Trang! Trang...!
Prak! Prak! Prak...!
Suara berdentang dan gemeretak keras terden-
gar. Seperti ada benda-benda keras patah oleh teba-
san pedang. "Heh"!"
"Hah"!"
Kelima centeng Juragan Durka Pela langsung
melompat ke belakang dengan mulut ternganga lebar.
Lima lelaki berompi hitam itu terkejut ketika melihat pedang mereka patah
terbabat pedang lawan. Mata
mereka saling berpandangan, penuh keheranan. Na-
mun tiba-tiba salah seorang dari mereka menjerit
"Awaaas...!"
"Heaaa...!"
Lelaki bercadar biru rupanya telah kembali me-
nyerang dengan babatan pedangnya yang cepat dan
mematikan. Hal itu membuat kelima lawannya yang
masih diliputi rasa kaget tersentak kaget. Cepat-cepat mereka berusaha mengelak.
Akan tetapi....
Crab! Crab...! "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Bagaikan baling-baling yang tajam, pedang di
tangan lelaki bercadar biru membabatkan perut lawan-
lawannya dengan cepat. Sehingga kelima lelaki berom-
pi hitam itu tak berhasil mengelakkan tubuh mereka
dari sambaran pedang lawan. Seketika tubuh mereka
sempoyongan sambil memegangi perut yang terkoyak
lebar. Darah mengucur dari sobekan perut kelima
centeng Juragan Durka Pela. Tubuh mereka gemetar,
dengan mulut meringis menahan sakit. Karena darah
terlalu banyak keluar, mereka tak mampu bertahan
lama. Kelima lelaki berompi hitam ambruk mencium
tanah. Sementara itu, lelaki bercadar ungu masih be-
rusaha keras menghadapi lawan-lawannya. Di lain
tempat dua orang lawannya terpental dengan keadaan
tak kalah mengerikannya. Leher dan dada mereka ter-
koyak mengucurkan darah.
"Kau..., kkk..., Aaakh...!" kedua orang lawannya seketika ambruk dan tak mampu
bangun lagi. "Hm, mana bajingan itu"!" tanya lelaki bercadar biru pada temannya.
"Nampaknya dia lari, Kanjeng Pangeran," sahut lelaki bercadar ungu.
"Ssst! Jangan kau panggil itu," bisik lelaki bercadar biru
"Baik, Cadar Biru."
"Kita harus mencari hartanya," ujar lelaki bercadar biru yang ternyata Pangeran
Prapanca. "Ayo, kita harus segera membagikan harta Juragan Durka Pela
pada rakyat yang menderita."
"Mari!"
Pangeran Prapanca dan rekannya Pranala sege-
ra melesat meninggalkan kamar itu. Keduanya lang-
sung mengobrak-abrik rumah Juragan Durka Pela
mencari harta milik juragan kejam itu. Tidak lama ke-
mudian keduanya telah melesat keluar dari rumah Ju-
ragan Durka Pela membawa dua karung barang ber-
harga. Malam terus merangkak perlahan, membawa
hawa dingin yang menusuk tulang sumsum. Kedua
pendekar bercadar itu terus melesat menembus kege-
lapan malam. *** Malam semakin terasa mencekam, merambat
perlahan menutupi bumi dengan kegelapannya. Angin
bertiup menghembuskan hawa dingin yang menusuk
tulang sumsum. Langit kelabu. Tak ada bintang mau-
pun rembulan. Padahal mestinya bulan hampir pur-
nama. Keadaan Desa Kaliamba pun nampak sunyi dan
sepi, bagaikan tak ada tanda-tanda kehidupan. Semua
warga telah terlelap dalam tidurnya.
"Ayo, kita harus cepat, Pranala!" ajak Pangeran Prapanca.
Pranala segera mempercepat larinya, agar dapat
mengimbangi kecepatan lari Pangeran Prapanca. Ke-
mudian keduanya saling berpencar. Pangeran Prapan-
ca menuju arah timur, sedangkan Pranala ke arah ba-
rat. Keduanya membagi-bagikan barang berharga
yang mereka bawa, dengan cara melemparkan dari
atas. Sehingga orang di dalam rumah mengira kalau
barang berharga itu diturunkan Hyang Widhi dari lan-
git. Tidak begitu lama, keduanya telah menyelesai-
kan pekerjaannya itu. Mereka tersenyum puas sambil
melangkah dengan tenang meninggalkan Desa Kaliam-
ba yang seketika heboh karena para penduduk kejatu-
han rejeki dari langit
Warga Desa Kaliamba berbondong-bondong ke-
luar dari rumah mereka. Kemudian semua warga ber-
kumpul di tengah lapangan. Dipimpin oleh seorang te-
tua kampung, warga desa memanjatkan doa syukuran
atas pemberian rejeki pada mereka.
"Hyang Jagad Dewa Batara, terimalah sembah
kami...! Kau telah mengutus malaikat-malaikat-Mu,
untuk memberi rejeki pada kami," seru tetua kampung sambil menengadahkan wajah
ke langit. Sedang kedua
tangannya kini terbuka. Begitu pun yang dilakukan
para warga desa lain, yang rupanya juga menerima
anugerah yang sama malam itu.
Warga Desa Kaliamba benar-benar mengira ka-
lau yang memberi rejeki itu malaikat-malaikat utusan
Hyang Widhi. Itu sebabnya mereka melakukan upaca-
ra pemanjatan doa syukuran, karena merasa telah ter-
bebas dari penderitaan dan kemiskinan yang selama
ini mereka terima. Semenjak Juragan Durka Pela ber-
kuasa dan mendapat kepercayaan dalam pembuatan
jalan dari para pembesar istana, kehidupan warga De-
sa Kaliamba semakin buruk.
Warga desa dipaksa pindah dari tanah peka-
rangan yang mereka tempati. Mereka juga dipaksa be-
kerja dengan upah kecil, serta tindakan penindasan
lainnya yang membuat warga desa semakin sengsara.
Sementara para kepala desa di sekitar Desa Kaliamba
pun tak berdaya menghadapi tindakan itu. Karena pa-
da umumnya mereka dihukum dan terus ditakuti-
takuti oleh para anak buah Juragan Durka Pela.
Malam semakin dingin, ketika warga Desa Ka-
liamba satu persatu meninggalkan tanah lapang di
tengah-tengah desa. Sampai akhirnya lapangan di ten-
gah desa itu sepi. Hanya asap bekas perapian untuk
memanjatkan doa yang masih mengepul. Asap itu
membubung tinggi ke angkasa.
Cahaya rembulan yang redup, semakin mere-
dup. Rembulan perlahan-lahan bergerak ke barat, per-
tanda kalau hari menjelang pagi.
*** Pagi baru saja datang, ketika seorang lelaki
berperut buncit nampak berlari-lari di jalan terjal per-bukitan di sebelah
selatan Desa Kaliamba. Lelaki ber-
pakaian hijau dan panjang sampai ke lutut itu tak lain Juragan Durka Pela.
Nampaknya lelaki setengah baya
ini berlari terburu-buru, setelah semalam mengalami
kejadian menakutkan yang hampir saja merenggut
nyawanya. "Hhh...! Biadab! Mereka benar-benar biadab!"
gerutu Juragan Durka Pela dengan napas terengah-
engah. Masih terbayang dalam ingatan, bagaimana
semalam rumahnya disatroni, dua lelaki bercadar yang
merampok dan membunuh para centeng, "Tunggulah
pembalasanku, Manusia-manusia Keparat!"
Juragan Durka Pela berlari bagaikan tidak
mengenal lelah, meski keringat bercucuran dan nafas-
nya tersengal-sengal. Dendamnya pada kedua lelaki
bercadar yang telah memporak-porandakan rumahnya,
serta mengambil harta benda miliknya membuat lelaki
gemuk berperut gendut ini marah. Semangatnya terpa-
cu untuk segera sampai di tempat kediaman orang bi-
asa dimintai pertolongan. Orang tua itu tak lain Ki
Jalna Wangga atau si Pukulan Petir.
Antara Juragan Durka Pela dan Ki Jalna Wang-
ga memang tak ada hubungan apapun. Namun telah
terikat dalam kesepakatan yang dibuat oleh guru dari
Ki Jalna Wangga dan orangtua Juragan Durka Pela.
Sebelum meninggal, guru Ki Jalna Wangga pernah
berpesan pada ayah Juragan Durka Pela bahwa antara
Juragan Durka Pela dengan si Pukulan Petir akan sela-
lu memiliki kaitan erat. Ki Jalna Wangga harus mau
menolong Juragan Durka Pela, jika Juragan Durka Pe-
la membutuhkan pertolongan. Itu sebabnya guru Ki
Jalna Wangga memberi batu mustika biru pada ayah
Juragan Durka Pela, agar setiap waktu jika anaknya
membutuhkan, bisa diminta tolong pada Ki Jalna
Wangga. Matahari belum tinggi ketika Juragan Durka
Pela sampai di sebuah bangunan tua yang terletak di
puncak Bukit Pawean. Bangunan itulah tempat tinggal
Ki Jalna Wangga setelah beberapa tahun lalu mening-
galkan dunia persilatan. Lelaki berjuluk si Pukulan Petir itu sengaja
mengasingkan diri dari keramaian rimba persilatan yang telah lama digelutinya.
"Siapa di luar"!" terdengar suara serak dan berat bertanya dari dalam bangunan
menyerupai pura.
Ditilik dari suaranya, tentu pemiliknya lelaki berusia enam puluh tahunan.
"Aku, Durka Pela!" sahut Juragan Durka Pela dengan napas tersengal-sengal.
"Masuk!" terdengar perintah Ki Jalna Wangga.
Juragan Durka Pela menurut. Kakinya perla-
han melangkah menaiki tangga kayu yang menuju se-
rambi rumah panggung itu. Berulang kali Juragan
Durka Pela menarik napas dalam-dalam, berusaha
mengatur agar tidak tersengal-sengal. Kakinya terus
melangkah ke pintu yang telah terbuka.
"Masuklah!"
Juragan Durka Pela menapakkan kakinya me-
langkahi pintu. Tampaklah seorang lelaki bertubuh
tinggi tegar berdiri membelakanginya. Dialah Ki Jalna Wangga atau si Pukulan
Petir. Rambutnya yang panjang terurai diikat kain hijau.
"Ada apa kau datang ke tempatku?" tanya lelaki berpakaian mirip jubah warna
coklat itu masih dengan
tubuh membelakangi. Seakan lelaki ini enggan untuk
membalikkan tubuh. Belum juga Juragan Durka Pela
menjawab, Ki Jalna Wangga kembali memerintah,
"Duduklah!"
Juragan Durka Pela cukup tergetar juga meng-
hadapi lelaki aneh ini. Jantungnya dirasakan berdebar keras. Dengan perlahan-
lahan, Juragan Durka Pela


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menurut duduk. Juragan Durka Pela terdiam dengan
muka menunduk. Lidahnya terasa sangat kelu untuk
memulai berkata.
"Mengapa kau diam?" tanya Ki Jalna Wangga.
Kemudian perlahan-lahan lelaki tinggi besar berambut
terurai panjang itu membalikkan tubuhnya. Dan kini
nampak sesosok lelaki bermuka garang namun tenang.
"Aku mendapatkan kesulitan, Saudaraku," kata Juragan Durka Pela setelah lama
terdiam. "Hm, kesulitan apa...?"
"Rumahku diobrak-abrik lelaki bercadar biru."
"Lalu apa maumu?"
"Aku ingin kau membunuhnya, Jalna."
"Apakah kau kira mudah membunuh?" tanya Ki
Jalna Wangga sinis.
"Aku yakin, kau mampu."
"Hm," Ki Jalna Wangga menggumam tak jelas.
Matanya menatap tajam Juragan Durka Pela. Yang di-
pandang hanya menundukkan kepala. Ki Jalna Wang-
ga menarik napas dalam. "Kalau saja antara guruku dan orangtuamu tak ada
hubungan baik, sudah dari
tadi kusingkirkan kau, Durka! Bukankah sudah kupe-
ringatkan padamu, jangan serakah. Tetapi kau tak
pernah menghiraukan peringatanku. Dan kini, kau da-
tang memintaku untuk membunuh orang yang mela-
kukan tindak kebajikan itu. Hm, permainan macam
apa ini?" "Dari mana kau tahu mereka baik, Jalna?"
tanya Juragan Durka Pela agak terkejut.
"Hhh..., aku telah mendengar tentang sepak
terjang mereka. Mereka memang pencuri. Tetapi, bu-
kan untuk mereka sendiri. Mereka mencuri untuk ra-
kyat yang kau tindas!" tukas Ki Jalna Wangga, yang membuat Juragan Durka Pela
terdiam. "Bagaimana,
Durka?" "Itu terserahmu, Jalna. Kau boleh menolak,
namun batu mustika biru akan tetap kupegang," ancam Juragan Durka Pela.
Mendengar ucapan Juragan Durka Pela mata Ki
Jalna Wangga membeliak. Selama mustika biru ada di
tangan Juragan Durka Pela, maka dirinya tak akan bi-
sa lepas dari ikatan timbal balik yang telah dirintis kedua orangtua mereka. Itu
sama saja dengan menjeru-
muskan dirinya ke lembah sesat
"Bagaimana, Jalna?" tanya Juragan Durka Pela mulai berani menatap wajah, Ki
Jalna Wangga. "Hm, licik sekali kau, Durka. Tapi baiklah, ka-
lau benar setelah kupenuhi permintaanmu kau kem-
balikan mustika itu, aku akan melakukan tugas ini!
Ingat, jika kau berbohong, tak segan-segan aku mem-
bunuhmu!" ancam Ki Jalna Wangga. Wajahnya meme-
rah merasa terpaksa terhadap permintaan Juragan
Durka Pela. "Jangan khawatir! Selama ini, aku tak pernah
menyusahkanmu, bukan?" jawab Juragan Durka Pela
dengan senyum mengembang di bibir. Sepertinya jura-
gan berperut gendut itu merasa yakin, kalau Ki Jalna
Wangga akan dapat menyingkirkan lelaki bercadar bi-
ru "Pulanglah! Jika aku telah menjalankan tugas,
maka aku akan ke rumahmu," ujar Ki Jalna Wangga.
"Baik! Kutunggu."
Juragan Durka Pela tersenyum puas, kemudian
bangkit dari duduknya. Setelah menjura, lelaki berpe-
rut gendut itu melangkah keluar meninggalkan tempat
peristirahatan si Pukulan Petir.
Ki Jalna Wangga terpaku berdiri dengan mata
memandang kosong. Nafasnya mendesah, seakan ada
sesuatu yang menjadi beban pikirannya. Kemudian
dengan menarik napas lagi, lelaki berambut panjang
itu melangkah masuk. Ditutupnya pintu pesanggra-
hannya. "Aku tak tahu, sampai kapan manusia licik itu
akan mengadu domba diriku dengan para pendekar,"
gumamnya sambil melangkah masuk.
*** 3 Pagi cerah dengan langit biru membentang, me-
lingkupi Desa Kaliamba. Burung-burung berlompatan
dan berkicau riang di pepohonan. Suasana Desa Ka-
liamba yang biasanya sepi, kini ramai. Penduduk ber-
suka ria dan ramai membicarakan rejeki yang datang
dari langit Pembicaraan masalah harta benda yang datang
sekonyong-konyong dari langit menyebar, tak hanya di
wilayah Desa Kaliamba. Hampir semua penduduk
membicarakan masalah rejeki itu. Sampai-sampai,
penduduk Desa Kaliamba tak ada yang mau bekerja.
Mereka masih diliputi kebahagiaan.
Di pagi yang cerah itu, dari arah timur nampak
seorang remaja melangkah memasuki mulut Desa Ka-
liamba. Yang satu pemuda berpakaian rompi kulit
ular. Tingkah lakunya lucu. Mulutnya tampak cen-
gengesan sambil menggaruk-garuk kepala dengan tan-
gan kanan. Pemuda tampan berambut gondrong itu
tak lain Sena Manggala atau lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Tingkah
lakunya yang konyol
membuat setiap orang yang melihat tersenyum sambil
geleng-geleng kepala.
Berjalan di sampingnya dengan senyum mena-
wan, seorang gadis berparas elok laksana Dewi Kwan
Im. Pakaiannya yang hijau berlengan panjang tampak
mencolok dengan warna kulitnya yang putih. Dipun-
daknya tersandang sebilah pedang. Gadis cantik ber-
paras Cina itu, tiada lain Bidadari Pencabut Nyawa,
atau Mei Lei. Keduanya tengah melanjutkan perjalanan me-
nuju tempat kediaman guru Sena, di Goa Setan.
"Kakang, sepertinya ada pembuatan jalan baru
di desa ini," ujar Mei Lie sambil memandangi tempat yang kelihatan banyak
bebatuan menumpuk. Sebagian
lagi, sudah menjadi hamparan yang rata.
"Eh, benar juga. Tapi, mengapa sepi?" tanya Sena dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Ah ah ah, padahal belum selesai. Ah, kurasa ada sesuatu
yang menjadikan pembuatan jalan jadi terhenti."
"Sesuatu apa, Kakang?" tanya Mei Lie dengan kening berkerut, ingin tahu apa yang
dimaksudkan Pendekar Gila. Matanya memandang lekat wajah Pen-
dekar Gila yang menggaruk-garuk kepala sambil cen-
gengesan. Pendekar Gila tak langsung menjawab. Sambil
cengengesan, tangannya kembali menggaruk-garuk
kepala. Dipandanginya bebatuan menumpuk di kanan
kiri tanah yang akan dibuat jalan. Sebagian jalanan
sudah tertutup bebatuan sebesar kepalan. Pepohonan
pun banyak yang ditebangi, potongan-potongan kayu
tertumpuk di pinggir tanah yang telah terbuka untuk
jalan. "Entahlah, Mei. Tapi.... Ah, apakah kau tak ingat, Mei" Bukankah di
perjalanan kita mendengar ka-
lau Baginda Awangga sedang membuat jalan yang
akan menghubungkan antara Kerajaan Surya Langit
dengan Kerajaan Bayu Bumi?" tutur Sena menje-
laskan. "Untuk apa, Kakang" Bukankah menurut ka-
bar, dua kerajaan itu selama ini saling bermusuhan"
Keduanya saling memperebutkan Desa Kaliamba
ini...?" tanya Mei Lie semakin ingin tahu. "Tapi, mengapa kini kedua kerajaan
itu bisa rukun. Bahkan tam-
paknya berusaha saling mempererat hubungan. Buk-
tinya mereka membuat jalan di sekitar perbatasan ke-
dua kerajaan. Ah..., mungkin ada sebab-sebab terten-
tu, Kakang," lanjut Mei Lie sambil memandangi jalan yang tampak masih berserakan
itu. "Entahlah, Mei. Kau kira aku ini dewa, yang ta-
hu semua kehidupan di Mayapada ini" Hi hi hi...!"
Sena tertawa cekikikan dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala. Hal itu membuat Mei Lie melototkan
mata. Gadis itu gemas sekali melihat tingkah laku ke-
kasihnya. Kemudian dengan pelan dicubitnya pinggang
Sena. "Nakal!"
"Aduh...! Bisa sobek kulit pinggangku," rungut Sena sambil cengengesan.
"Kakang sih, nakal," gerutu Mei Lie manja. Matanya nampak meredup, membuat
Pendekar Gila se-
makin merasa senang. Semakin cemberut, kecantikan
gadis itu semakin tampak jelas.
"Hua ha ha...!"
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, Mei Lie
pun kembali melotot. Namun kemudian turut terse-
nyum. Tangannya dengan manja menggelayut di pun-
dak kekasihnya. Kedua pendekar itu kembali melang-
kah beriringan meneruskan perjalanan. Keduanya sal-
ing bercanda ria.
*** Dari arah barat, nampak seorang lelaki bertu-
buh tinggi tegap melangkah menuju ke arah Bukit
Yuyu. Wajah lelaki ini kelihatan keras. Namun dilihat dari sorot matanya lelaki
berusia sekitar enam puluh
tahun berpakaian jubah coklat itu tampaknya orang
berbudi baik. Lelaki ini yang tiada lain Jalna Wangga, nampaknya sedang mencari
lelaki bercadar biru, yang
diceritakan Juragan Durka Pela.
Jalna Wangga sebenarnya tak ingin menjalan-
kan perintah itu, karena sudah tak mau turut campur
dalam urusan rimba persilatan. Namun karena ikatan
persaudaraan yang dibina gurunya dengan ayah Jalna
Wangga, menyebabkan dirinya terpaksa harus melak-
sanakannya. Hal yang kedua, karena Juragan Durka
Pela telah berjanji akan menyerahkan batu mustika bi-
ru, jika Jalna Wangga menjalankan permintaan terse-
but "Hm, ke mana aku harus mencari lelaki berca-
dar biru?" tanya Jalna Wangga bergumam sendiri. Di rimba persilatan banyak
manusia memakai cadar untuk menyembunyikan wajahnya. Sulit bagi si Pukulan
Petir itu mencari orang yang dimaksudkan Juragan
Durka Pela. Jalna Wangga terus melangkah, menelusuri
Bukit Yuyu yang membentang panjang dari barat sam-
pai ke timur. Tiba-tiba dari kejauhan matanya melihat sepasang muda-mudi tengah
melangkah berlawanan
arah dengannya. Tak lama kemudian kedua muda-
mudi itu telah sampai di depannya.
"Kisanak dan Nisanak, dilihat dari pakaian dan
senjata yang disandang Nisanak, tentunya kalian dari
rimba persilatan, bukan?" sapa Jalna Wangga atau si Pukulan Petir.
Mei Lie mengerutkan kening, lalu menoleh ke
wajah kekasihnya. Kemudian Pendekar Gila terse-
nyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala. Mata
Jalna Wangga terbelalak, merasa heran menyaksikan
tingkah laku pemuda di hadapannya.
Tingkah laku pemuda di hadapannya yang se-
perti orang gila, mengingatkan Jalna Wangga pada se-
seorang yang sangat dikaguminya. Orang gila yang ke-
saktiannya belum tertandingi hingga saat ini. Namun
Jalna Wangga sepertinya belum yakin, karena pernah
didengarnya kalau Pendekar Gila dari Goa Setan san-
gat aneh. Dia tak pernah mengambil murid.
"Siapa pemuda gila ini?" gumam Jalna Wangga dalam hati, "Dilihat dari gerak-
geriknya, sama persis dengan Pendekar Gila dari Goa Setan. Tapi, apa benar
dia muridnya?"
"Kisanak, kau memang benar. Kami memang
dari persilatan. Ada apa gerangan...?" tanya Mei Lie mendahului Pendekar Gila
yang masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, rupanya penglihatanku masih waras," gumam Jalna Wangga. Kemudian dengan
mata masih memandang Pendekar Gila, lelaki berjubah coklat itu
bertanya, "Kalau memang mataku yang tua ini benar-benar belum rabun, apakah
benar Kisanak ada hu-
bungan dengan Pendekar Gila dari Goa Setan?"
Mei Lie menoleh ke wajah Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, dari mana kau tahu, Ki?" tanya Sena memandang dengan mata terpicing.
"Dari tingkah lakumu, Anak Muda."
"Aha...! Bagaimana mungkin kau yakin aku
seorang pendekar" Ah, aku hanya pemuda gila," jawab Sena, "Bagaimana mungkin aku
dapat dihubungkan
dengan Pendekar Gila dari Goa Setan?"
Jalna Wangga tersenyum. Hatinya merasa tak
ragu, kalau pemuda ini bukan pemuda gila sembaran-
gan. Atau memang ada hubungannya dengan Pendekar
Gila dari Goa Setan yang pernah menggemparkan rim-
ba persilatan puluhan tahun yang silam. Apalagi keti-
ka Jalna Wangga melihat suling yang terselip di ikat
pinggang pemuda gila itu. Matanya seketika membela-
lak, hampir tak percaya pada penglihatannya.
"Suling Naga Sakti! Kau..." Kau Pendekar Gila
dari Goa Setan"!" tanya Jalna Wangga dengan mata masih membelalak. Hatinya
hampir tak percaya, kalau
kini sedang berhadapan dengan pendekar yang sangat
kesohor itu. Namun Jalna Wangga tiba-tiba kembali
ragu, karena menurutnya, tentu Pendekar Gila sudah
berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Sedangkan pen-
dekar yang memegang Suling Naga Sakti ini, baru dua
puluh empat tahunan.
"Ah ah ah...! Kau mungkin salah, Ki. Sudah
kukatakan, aku hanya pemuda gila biasa yang tiada
arti. Bagaimana mungkin kau mengatakan aku Pende-
kar Gila dari Goa Setan" Lucu sekali...!" gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Mulutnya cengengesan, sementara tangannya menggaruk-garuk ke-
pala. "Tapi aku tak dapat kau bohongi, Pendekar.
Suling Naga Sakti ada di tanganmu. Namun, benarkah
kau Singo Edan" Seharusnya pendekar sakti itu sudah


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusia tujuh puluh tahun lebih," ujar Jalna Wangga masih belum yakin dengan
penglihatannya.
"Hi hi hi...! Kau kira ada orang seperti Dewa, yang bisa mengubah usia" Lucu
sekali kau, Ki," gumam Sena masih cengengesan dengan kepala mengge-
leng-geleng. "Kisanak, sebenarnya temanku bukanlah Pen-
dekar Gila dari Goa Setan. Namun dia adalah murid
tunggalnya," tutur Mei Lie menjelaskan.
Semakin membelalak kaget mata Jalna Wangga
mendengar penuturan Mei Lie. Hatinya tak menyang-
ka, kalau Singo Edan ternyata memiliki seorang murid.
Kalau gurunya saja selama ini belum ada yang me-
nandingi, muridnya tentu memiliki ilmu-ilmu gila yang lebih dahsyat. Pikir Jalna
Wangga. "Oh, terimalah salah hormatku, Tuan Pende-
kar!" ujar Jalna Wangga sambil menjura hormat.
"Aha, kurasa tak semestinya kau berlaku begi-
tu, Ki. Seharusnya kami yang muda, melakukan hal
itu. Ah, sudahlah, kami tak punya waktu banyak.
Maaf, kami harus segera meneruskan perjalanan un-
tuk menemui guru," kata Sena mohon diri.
"Jadi Tuan Pendekar hendak menemui guru
Tuan?" tanya Jalna Wangga.
"Begitulah. Ada apa?" tanya Sena.
"Sampaikan salam hormatku pada guru Tuan,"
pinta Jalna Wangga. "Sampaikan pada guru Tuan, Jal-
na Wangga menghaturkan hormat!"
"Baik, Ki. Akan kusampaikan. Kami mohon di-
ri," ujar Sena sambil menjura. Begitu pula yang dilakukan Mei Lie. Namun ketika
mereka hendak melang-
kah, tiba-tiba Jalna Wangga berseru. "Tuan Pendekar, tunggu!"
"Aha, ada apa lagi, Ki?" tanya Sena dengan kening mengerut
Mei Lie menghela napas. Sepertinya gadis itu
tak suka dengan Jalna Wangga, yang menghentikan
langkah mereka kembali. Seakan-akan Mei Lie melihat
kalau orang tua ini tak mempercayai mereka. Bahkan
tampaknya hendak menyelidiki Pendekar Gila dan di-
rinya. "Maaf, saya kembali mengganggu!"
"Cepat katakan! Kami tak ada waktu lagi," desak Mei Lie tak sabar.
"Kalau boleh ku tahu, apakah Tuan berdua me-
lihat lelaki bercadar biru?" tanya Jalna Wangga.
"Tidak!" sahut Mei Lie cepat, "Sudah tak ada la-gi?"
"Terima kasih," jawab Jalna Wangga. Kemudian setelah menjura hormat Si Pukulan
Petir meninggalkan
kedua pendekar yang kembali melanjutkan perjalanan
ke barat "Orang tua aneh. Untuk apa dia mencari lelaki
bercadar biru?" tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Sudahlah, Kakang! Mengapa kita memikirkan
orang tua itu" Ayo kita teruskan!" ajak Mei Lie sambil menggandeng tangan
Pendekar Gila untuk meneruskan perjalanan.
"Tapi, Mei. Kurasa ada sesuatu yang menarik di
desa itu," kata Sena dengan mata menyapu ke sekeliling Bukit Yuyu. Kemudian
ditolehkan kembali wajah-
nya ke Desa Kaliamba. Ada sesuatu yang menarik per-
hatiannya. Apalagi setelah bertemu Jalna Wangga yang
bertanya tentang lelaki bercadar biru.
"Ah, kau ini ada-ada saja, Kakang. Sudahlah,
kita pergi!" ajak Mei Lie.
"Tunggu, Mei! Aku yakin, orang tua itu ada hu-
bungannya dengan kemacetan pembuatan jalan. Ah,
kurasa ada yang kurang beres di Desa Kaliamba itu.
Apakah tak sebaiknya kita singgah dulu di desa ini?"
ajak Sena sambil nyengir dengan mata memandang
penuh harap pada Mei Lie. Sedangkan tangannya
menggaruk-garuk kepala, yang menjadikan tingkahnya
nampak semakin bertambah lucu.
"Hhh...!" Mei Lie menghela napas pelan. "Baiklah, aku setuju."
"Hua ha ha...!"
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Semen-
tara Mei Lie justru cemberut. Kemudian dengan nakal,
Mei Lie mencubit pinggang Sena. Lalu keduanya berla-
ri-lari menuruni Bukit Yuyu, menuju Desa Kaliamba.
Desa yang juga dituju Jalna Wangga
*** Jalna Wangga kini melangkah memasuki se-
buah kedai yang nampaknya baru dibuka, setelah se-
kian lama tertutup. Semenjak Juragan Durka Pela di-
percaya pihak kerajaan menangani pembuatan jalan
dan pembebasan tanah kedai itu pun tutup. Karena
para warga diwajibkan ikut bekerja dalam pembuatan
jalan baru. Namun semenjak peristiwa yang terjadi di ru-
mah Juragan Durka Pela beberapa hari lalu, warga de-
sa mulai merasa agak bebas. Para centeng bayaran ju-
ragan itu telah dibunuh habis oleh dua lelaki bercadar
yang belum dikenal. Kedai di ujung desa itu pun mulai buka kembali.
Para pengunjung kedai, nampak sedang mem-
bicarakan masalah dua orang bercadar yang telah me-
rampok rumah Juragan Durka Pela dan membagikan
harta rampokannya kepada penduduk.
"Wah, kalau begitu, berarti mereka yang mem-
beri pada kita," kata lelaki bertubuh kurus dengan jenggot panjang.
"Ya! Baik sekali mereka. Baru kali ini, ada mal-
ing yang membagi-bagikan barang colongannya pada
warga desa," sambung yang lainnya.
Jalna Wangga yang mendengar pembicaraan
orang-orang di kedai seketika tergetar hatinya. Kalau benar apa yang diceritakan
orang-orang tentang dua
maling budiman itu, berarti mereka berbuat demi ke-
manusiaan. "Hm, pantaskah aku mengabulkan permintaan
Durka" Kalau sebenarnya kedua lelaki bercadar itu
bertujuan baik?" gumam Jalna Wangga. Hatinya mas-gul, setelah mendengar cerita
warga Desa Kaliamba di
kedai ini. Ketika semua orang membicarakan tentang dua
orang lelaki bercadar yang membagi-bagikan rejeki, da-ri luar masuk dua orang
lelaki yang sedang mereka bi-
carakan. Sepontan semua yang ada di kedai mem-
bungkuk memberi hormat. Hal itu menjadikan kedua
orang bercadar biru dan ungu mengerutkan kening-
nya. "Hai, mengapa kalian memberi hormat pada-
ku?" tanya lelaki bercadar biru, "Aku bukan siapa-siapa. Aku manusia seperti
kalian. Kedatangan kami
kemari, semata-mata ingin meminta makan."
Mendengar permintaan manusia bercadar biru,
dengan tergopoh-gopoh pemilik kedai segera meng-
hampiri. Kemudian segera menjura hormat
"Silakan, Tuan-tuan...!" sambutnya penuh ramah. "Terima kasih, Ki. Kami lapar,
ingin makan,"
pinta lelaki bercadar ungu.
Pemilik kedai segera memerintah pelayannya
agar membawakan makanan yang lezat-lezat. Tidak
lama kemudian, makanan pun datang. Hal itu mem-
buat kedua manusia bercadar terkejut, tak menyangka
akan dihidangkan makanan yang lezat-lezat dan tentu
sangat mahal harganya.
"Ki, tentunya makanan selezat ini sangat mahal
harganya. Bagaimana aku akan membayarnya?" tanya lelaki bercadar biru, tak
mengerti mengapa pemilik kedai memberi mereka makanan yang lezat-lezat. Padah-
al mereka belum memesan makanan apapun.
"Ah, untuk Tuan berdua, kami tak meminta
bayar. Kami telah tahu, siapa Tuan berdua," jawab pemilik kedai sambil
membungkuk hormat. Di bibir lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun dan
bertu- buh kurus itu menyunggingkan senyum ramah. Se-
nyum yang tulus, tanpa dibuat-buat
"Tapi, Ki"
Lelaki bercadar ungu hendak menolak, namun
pemilik kedai telah mendahului.
"Ah, sudahlah! Betapa kami warga Desa Ka-
liamba sangat berterima kasih atas pertolongan Tuan-
tuan," sahut pemilik kedai, yang semakin membuat kedua lelaki bercadar saling
pandang. "Aku tak mengerti, Ki," kata manusia bercadar ungu. "Sudahlah, Tuan! Jika memang
harus bayar, biar kami yang membayarnya," salah seorang warga Desa Kaliamba yang
ada di kedai menyahuti. "Tuan berdua telah menolong kami. Sudah sepantasnya kami
membalas Tuan berdua."
Kedua lelaki bercadar itu tak berkata lagi. Se-
saat keduanya saling pandang. Kemudian lelaki berca-
dar biru memandangi pemilik kedai yang masih terse-
nyum penuh hormat
"Baiklah kalau begitu. Tolong kau bung-
kuskan!" "Dengan senang hati, Tuan. Pelayan tolong
bungkus!" perintah pemilik kedai dengan gembira, karena pemberiannya tidak
ditolak kedua manusia ber-
cadar itu. Setelah mendapat dua bungkusan, kedua ma-
nusia bercadar itu segera melesat keluar meninggalkan kedai. Namun tanpa mereka
ketahui, seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dengan jubah coklat
mengikuti mereka dari belakang.
Pendekar Gila dan Mei Lie sejak tadi mengawasi
gerak-gerik kedua manusia bercadar yang kini dikejar
Jalna Wangga. Kedua pendekar muda-mudi itu kemu-
dian menguntit ketiganya.
"Kita harus tahu, Mei. Ah, jelas ini suatu ke-
ganjilan," ujar Pendekar Gila sambil terus berlari ke selatan membuntuti Jalna
Wangga. "Kalau begitu, kedua manusia bercadar itu
orang baik, Kakang?" tukas Mei Lie.
"Mungkin, Mei," sahut Sena. "Kita tak tahu apa maksud mereka sesungguhnya."
"Ya, kuharap mereka benar-benar bermaksud
baik," gumam Mei Lie sambil terus mengikuti Pendekar Gila mengikuti Jalna Wangga
yang tengah mengejar
kedua manusia bercadar.
Sampai di Hutan Jabara, pada sebuah tanah
lapang yang sepi Jalna Wangga berhasil mengejar ke-
dua manusia bercadar. Sementara itu, Pendekar Gila
dan Mei Lie segera menyelinap bersembunyi di balik
semak belukar yang lebat, mengintai apa yang akan
terjadi. "Kisanak, sedari tadi kami perhatikan kau menguntit kami, ada apa?"
tanya lelaki bercadar biru setelah menghentikan langkahnya.
"Kalian kenal dengan Durka Pela, bukan?"
tanya Jalna Wangga.
"Ya! Ada apa?" tanya lelaki bercadar ungu.
"Kutunggu kalian di Bukit Yuyu nanti malam,
untuk menyelesaikan apa yang berhubungan antara
kalian dan saudaraku!" usai berkata begitu, tanpa menghiraukan kedua manusia
bercadar lelaki tua berjuluk si Pukulan Petir itu melesat pergi.
"Manusia aneh," gumam lelaki bercadar ungu,
"Apakah Kanjeng Pangeran akan melayaninya?"
"Ya! Bagaimanapun, aku harus bertanggung
jawab, Pranala. Meski nyawaku sebagai taruhannya.
Demi rakyat yang menderita aku siap berkorban," jawab Pangeran Prapanca.
"Kalau begitu, aku harus ikut, Kanjeng."
"Baiklah, kita hilangkan pikiran itu. Ayo...!"
ajak Pangeran Prapanca. Keduanya pun seketika mele-
sat meninggalkan Hutan Jabara, tanpa tahu dua orang
yang sejak tadi mengawasi mereka. Ya, Pendekar Gila
dan Mei Lie yang tampak kebingungan karena belum
mengerti. "Aku semakin tertarik, Mei. Kurasa, lebih baik
kita melihat apa yang terjadi nanti malam," ujar Sena sambil cengengesan dengan
kepala menggeleng-geleng.
"Terserah kau saja, Kakang," sahut Mei Lie.
"Ayo kita ke kedai! Perutku sudah lapar. Hi hi
hi...!" Dengan tertawa cekikikan, Pendekar Gila melangkah meninggalkan Hutan
Jabara. 4 Malam perlahan-lahan turun. Di sebelah timur,
bulan kelihatan merambat naik perlahan. Sinarnya
yang redup, memancar menerangi bumi walau remang-
remang. Dua sosok bayangan yang tak lain Pendekar
Gila dan Mei Lie, berkelebat cepat menuju Bukit Yuyu.
Sumpah Palapa 14 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Eng Djiauw Ong 6
^