Pencarian

Sepasang Maling Budiman 2

Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman Bagian 2


Sampai sejauh itu kedua pendekar muda itu belum
mengerti penyelesaian macam apa yang diinginkan Ki
Jalna Wangga. Setelah sampai di Bukit Yuyu yang masih sepi,
Pendekar Gila segera mengajak Mei Lie bersembunyi di
balik semak-semak yang cukup rimbun. Hal itu di-
maksudkan agar kehadiran mereka tak diketahui Ki
Jalna Wangga maupun kedua lelaki bercadar.
"Ingat, Kakang. Kau jangan cekikikan!" ujar Mei Lie mengingatkan Pendekar Gila.
Sebab kebiasaan konyol kekasihnya akan menyebabkan persembunyian
mereka diketahui.
"Aha, tenanglah, Mei! aku akan berusaha," sahut Sena sambil cengengesan dengan
tangan mengga- ruk-garuk kepala.
"Lihat, dua lelaki bercadar itu datang," bisik Mei Lie. "Aha, kau benar. Kurasa,
malam ini akan terjadi pertarungan yang seru, Mei," kata Sena masih dengan mulut
cengengesan sambil menggaruk-garuk ke-
pala. Dari arah barat, melesat dua sosok tubuh me-
nuju tanah lapang yang ada di Bukit Yuyu. Tidak lama
kemudian, dari arah selatan melesat pula sesosok tu-
buh tinggi besar. Ketiganya pun bertemu, saling pan-
dang satu sama lain.
Pendekar Gila dan Mei Lie ingin tahu apa sebe-
narnya yang akan terjadi. Keduanya berusaha tenang
di persembunyian. Mata mereka memandang tajam ke
tanah lapang tempat tiga orang lelaki saling berhada-
pan. "Kau telah siap, Cadar Biru?" tanya Ki Jalna Wangga.
"Aku siap. Apapun yang hendak kau lakukan,
aku telah siap menghadapinya," jawab Pangeran Prapanca tegas.
"Bagus! Tapi terlebih dahulu kukatakan, bahwa
aku hanya menjalankan tugas yang diperintahkan
Durka Pela," tutur Ki Jalna Wangga.
"Aku tahu," jawab Pangeran Prapanca yang
mengenakan cadar biru.
"Baik, bersiaplah! Heaaa...!"
Ki Jalna Wangga melesat dengan serangan per-
tamanya yang bernama 'Pukulan Gempa'. Kedua tan-
gannya direntangkan dengan jari-jari mengepal. Tan-
gan kiri ditaruh di bawah siku tangan kanan. Sedang-
kan tangan kanan digerakkan ke samping, yang dite-
ruskan ke depan lurus.
"Mundurlah, Cadar Ungu!" perintah Cadar Biru tak menyebut nama rekannya. Setelah
Pranala mundur, Pangeran Prapanca pun segera membuka jurus-
nya. Kaki kanannya digeser agak ke depan setengah
ditekuk. Kedua tangannya menyatu di depan dada. La-
lu tangan kanan membuka dan ditarik ke atas, diikuti
dengan tangan kiri diangkat ke atas kepala. Itulah jurus pembuka 'Bangau
Merentang Sayap' diteruskan
dengan jurus 'Kepakan Sayap Bangau'.
"Hea!"
"Yea!"
Tubuh keduanya melesat ke depan. Tidak
hanya tangan yang bergerak menyerang, kedua kaki
mereka pun turut menendang dan menyapu. Dalam
sekejap saja, keduanya telah terlibat pertarungan yang seru. "Jaga igamu, Cadar
Biru!" seru Ki Jalna Wangga. Kemudian dihantamkan pukulan tangan kanannya
ke dada sebelah kiri lawan. Namun dengan cepat Pan-
geran Prapanca berkelit, sehingga pukulan lawan
hanya mendesir beberapa jari di samping tubuhnya.
Setelah lepas dari serangan lawan, dengan ce-
pat Pangeran Prapanca memutar tubuhnya setengah
lingkaran. Kemudian dengan gerakan ringan, lelaki
bercadar biru itu mengibaskan telapak tangan kirinya
ke tulang rusuk sebelah kanan lawan.
"Rusukmu, Ki! Hea...!"
Wrt! "Hait!"
Dengan berguling, Ki Jalna Wangga menge-
litkan serangan lawan. Sambil berguling pula, lelaki
tua itu melancarkan tendangan dengan jurus 'Kaki
Jengkrik Menjentik'.
"Hea...!"
Pangeran Prapanca mencelat ke belakang,
mengelakkan tendangan kaki lawan. Melihat lawan
melompat, dengan cepat Ki Jalna Wangga melakukan
salto. Kemudian dilentingkan tubuhnya ke atas, sam-
bil bergerak melakukan serangan. Kaki kanan menen-
dang tubuh lawan dalam keadaan masih melayang.
"Heaaa!"
Melihat lawan menyerang dengan tendangan,
Pangeran Prapanca segera memiringkan tubuh ke
samping kanan lalu merunduk. Kemudian dengan jari-
jari terbuka tangan kanannya dikibaskan ke tubuh Ki
Jalna Wangga. "Yea!"
Wrt! "Heh"!" Ki Jalna Wangga kaget bukan kepalang
karena tak menyangka lawan akan menyerang begitu
cepat. Dengan cepat lelaki berambut panjang itu me-
narik serangan. Tubuhnya dilontarkan ke atas. Setelah berjumpalitan di udara
dengan ringan kakinya mendarat sambil tertawa-tawa.
"Hua ha ha...! Hebat! Kau benar-benar hebat
Cadar Biru. Tapi itu baru pemula, bukan" Kini kau
yang menyerang!" seru Ki Jalna Wangga.
"Baik! Bersiaplah!"
"Aku telah siap," jawab Ki Jalna Wangga.
Pangeran Prapanca segera menarik kaki kanan
ke belakang. Kaki kiri agak ditekuk. Tangannya menyi-
lang ke bawah, kemudian digerakkan ke atas. Itulah
jurus 'Bangau Menyibak Air'. Sebuah jurus pembuka
yang cukup berbahaya. Sasarannya dada dan jantung
lawan. "Yea!"
"Hea!"
Kedua tubuh melesat ke udara. Pangeran Pra-
panca mengembangkan kedua tangan ke samping.
Kemudian dengan cepat tangan kanannya memburu
ke depan. Disusul dengan tangan kiri untuk menang-
kis. "Hea!"
Ki Jalna Wangga pun nampaknya tak mau ka-
lah. Tangannya dijotoskan ke muka, disusul dengan
tangkisan tangan kirinya. Mereka terus bertarung di
udara laksana burung terbang.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang menyaksikan
pertarungan itu terkesiap kaget Mata keduanya mem-
belakak, takut kalau-kalau salah seorang di antara keduanya akan menjadi korban.
Namun untuk ikut cam-
pur dalam urusan itu, Sena tak mau. Dirinya belum
tahu apa sebenarnya yang terjadi.
"Kakang, apa kita akan tinggal diam?" tanya
Mei Lie berbisik lirih, sepertinya khawatir menyaksikan pertarungan itu.
"Aha, rupanya kau yang cerewet, Mei. Bukan-
kah kau tadi melarangku berbicara?" sahut Pendekar Gila dengan mulut cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tapi, aku khawatir salah satu mati percuma,
Kakang." "Aha, kau semakin cerewet saja seperti seorang
nenek, Mei."
"Tapi, Kakang...."
"Aha, sudahlah. Rimba persilatan memang begi-
tu, Mei. Kita lihat saja. Bukankah kita tak tahu apa-
apa?" ujar Sena berusaha mengingatkan kekasihnya yang kelihatan tak sabar.
"Tapi kelihatannya mereka orang baik-baik. Ra-
sanya tak pantas sealiran harus bertarung," tukas Mei Lie masih berusaha
mengajak Pendekar Gila agar melerai pertarungan itu.
Tampak kini keduanya bertarung sambil bergu-
lingan ke bawah. Mereka masih saling pukul dan ten-
dang. "Kau harus ingat, Mei. Ini pelajaran untukmu.
Dalam urusan pribadi, kita tak bisa ikut campur," ujar Sena berusaha menjelaskan
pada kekasihnya. "Aha, bukankah lebih baik kita melihat?"
Mei Lie pun menurut diam. Dengan cemas ga-
dis itu menyaksikan pertarungan yang semakin seru.
Kini tubuh keduanya masih bergulingan di tanah. Na-
mun begitu, keduanya bagaikan dua ekor kucing.
Meski dengan tubuh menggelinding dari atas bukit itu, keduanya tetap berusaha
saling menyerang.
"Hea!"
"Yea!"
Tangan mereka terus bergerak, memukul dan
menangkis. Begitu pula dengan kedua kaki mereka,
saling kait dan tendang. Sebuah perkelahian yang san-
gat seru. Tampaknya kedua orang itu memiliki ilmu se-
taraf. Trak! "Heaaa...!"
Trep! Tangan Pangeran Prapanca menyerang. Namun
dengan cepat tangan kiri Ki Jalna Wangga menangkis
dan menangkapnya. Lelaki bercadar biru itu berusaha
menarik tangannya. Disodokkan sikunya menyerang,
tetapi kembali Ki Jalna Wangga menangkis dengan si-
ku tangan kiri.
"Hea!"
Trak! Keduanya saling dorong dan tarik. Sampai ak-
hirnya, mereka berada di bawah. Keduanya masih saja
saling dorong dan tarik, kemudian tiba-tiba telapak
tangan dan jotosan mereka beradu.
Plakkk! "Hea!"
"Yea!"
Pangeran Prapanca melenting ke atas, dengan
tubuh jumpalitan. Kemudian dengan ringan menda-
ratkan kaki di atas bukit. Begitu juga dengan Ki Jalna Wangga. Lelaki tua itu
pun melakukan hal yang serupa. Setelah berjumpalitan mencelat ke atas, dengan
ringan kedua kakinya mendarat di atas bukit. Seketika pertarungan mereka
berlanjut. Mata mereka saling
pandang seakan berusaha mengukur ilmu masing-
masing. "Bagaimana, Cadar Biru" Apakah akan diteruskan?" tanya Ki Jalna Wangga,
"Sengaja aku tidak mengeluarkan jurus andalanku yang bernama jurus
'Pukulan Petir'. Karena jika aku keluarkan jurus itu,
maka kau akan mengalami kematian."
Diam-diam di hati Cadar Biru tersirat rasa ka-
gum pada lelaki setengah baya itu. Dia pun menyadari, kalau lelaki bermuka
garang itu mau, maka dalam beberapa gebrakan saja dia akan kalah. Tetapi rupanya
lelaki berjubah coklat itu hanya menjajal sampai seberapa ilmunya.
"Hm, kita teruskan," sahut Cadar Biru yang ju-ga ingin melihat sampai sejauh
mana kepandaian lela-
ki bermuka garang namun matanya mencerminkan ke-
tenangan dan persahabatan ini.
"Cadar Biru, biar aku yang meneruskan, karena
aku pun terlibat di dalamnya," tiba-tiba Cadar Ungu yang tak lain Pranala
berseru. "Hm, dua-duanya pun boleh!" sela Ki Jalna
Wangga, yang membuat kedua lelaki bercadar saling
pandang sesaat. Napas keduanya memburu, terlebih-
lebih Pangeran Prapanca yang merasa diremehkan.
Mata di balik cadar biru itu menyorot tajam ke wajah
Ki Jalna Wangga. Seakan tak mampu lagi ditahan ke-
marahannya yang bergayut dalam hati. Hal itu karena
dirinya merasa lelaki tua itu telah ikut campur urusannya terhadap Juragan Durka
Pela. "Kita teruskan! Biar aku yang menghadapimu!"
tantang Pangeran Prapanca, "Mari kita gunakan senjata kita!" "Hm, begitu"
Baiklah." Ki Jalna Wangga tersenyum sinis seraya memicingkan mata memandang wa-
jah Cadar Biru.
Sret! Pangeran Prapanca menarik pedang dari wa-
rangkanya. Begitupula yang dilakukan Ki Jalna Wang-
ga. Lelaki tua itu mencabut golok panjangnya dari wa-
rangka. Keduanya mundur dua tindak dengan mata
saling menatap tajam.
"Hai... Mereka benar-benar hendak saling
membunuh, Kakang," kata Mei Lie berbisik.
"Aha, biarkan saja! Inilah rimba persilatan, Mei.
Kadang kala, manusia tak lebihnya seperti hewan. Tak
mengenal belas kasihan terhadap sesamanya," gumam Sena sambil menggaruk-garuk
kepala. "Kita lihat saja, Mei!" Mei Lie kembali diam sambil memperhatikan kedua
orang yang siap melakukan pertarungan maut.
Keduanya sama-sama telah mengeluarkan senjata. Sa-
tu bersenjata pedang, sedangkan yang satunya bersen-
jatakan golok panjang bergerigi.
*** Pangeran Prapanca dengan mata tajam mena-
tap wajah Ki Jalna Wangga. Diletakkan pedangnya ke
depan wajah. Sementara tangan kirinya, kini diletak-
kan di pinggang dengan jari-jari terbuka. Kakinya bergerak teratur, melangkah
membentuk siku.
"Yea!"
Dengan jurus 'Bangau Terbang', Pangeran Pra-
panca membuka serangan. Pedang di tangan kanannya
digerakkan dengan cepat. Mulanya ke bawah, kemu-
dian dengan cepat diangkat dan dibabatkan sambil
melesat ke depan. Sedang tangan kirinya tak mau ke-
tinggalan, bergerak memukul dengan telapak terbuka.
"Hea!"
Menyaksikan lawan telah membuka serangan,
Ki Jalna Wangga pun dengan cepat membuka jurus
'Simpul Golok Maut'. Golok di tangannya digerakkan
naik turun, lalu dilanjutkan dengan babatan menda-
tar. Disertai pekikan menggelegar, membuat suasana
sepi di Bukit Yuyu berubah riuh, Ki Jalna Wangga me-
lesat menyerang.
"Yeaaa...!"
Wrt! Dua tubuh berkelebat cepat dengan senjata
siap membantai satu sama lain. Pedang dan golok
tampak berkelebat begitu cepat. Sehingga kedua senja-
ta itu bagaikan menghilang. Yang kelihatan hanya si-
nar yang berkeredep, keluar dari gerakan kedua senja-


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ta. Wrt! Trang! Golok dan pedang tajam itu beradu, mengelua-
rkan pijaran api. Ki Jalna Wangga dan Pangeran Pra-
panca tampak saling melompat ke belakang. Namun
sebentar kemudian, dengan pekikan menggelegar, ke-
duanya kembali melesat maju.
"Hea!"
Wut! Wut! "Yeaaa...!"
Keduanya kembali menyerang, menggerakkan
senjata masing-masing untuk membabat dan menusuk
ke tubuh lawan. Namun kedua-duanya sama-sama
lincah dan gesit Tubuh mereka berkelebat-kelebat da-
lam mengelitkan dan menangkis serangan lawan.
Wrt! Trang! Dengan memutar cepat pedangnya, Pangeran
Prapanca berusaha mendesak lawan. Pedangnya mem-
babat dan menusuk ke bagian atas tubuh Ki Jalna
Wangga. Namun orang tua berambut panjang itu nam-
pak tak mengalami kesulitan menghadapi serangan-
serangan lawan. Dengan melompat ke sana kemari Ki
Jalna Wangga menangkis dan mengelak.
"Hea!"
Trang! "Hih!"
Pangeran Prapanca menarik pedangnya, lalu
melancarkan pukulan ke dada. Namun dengan cepat
Ki Jalna Wangga merundukkan tubuh. Digeser kaki ki-
ri ke samping, diikuti dengan tubuhnya yang doyong.
Sehingga serangan Pangeran Prapanca hanya menge-
nai tempat kosong. Ki Jalna Wangga segera membalas
serangan dengan tubuh masih agak membungkuk. Di
tusukkan goloknya ke perut lawan.
"Jaga perutmu, Cadar Biru! Heaaa...!"
Wrt! "Aits! Hebat...!" teriak Pangeran Prapanca tak sadar, karena kaget mendapatkan
serangan yang tiba-tiba itu. Dengan cepat lelaki bercadar biru itu melompat ke
belakang. Kemudian bersamaan dengan itu di-
putarnya pedang ke bawah menangkis serangan la-
wan. "Hea!"
Trang! Mei Lie yang ahli bermain pedang menggeleng-
gelengkan kepala, menyaksikan pertarungan lelaki
bercadar biru melawan Ki Jalna Wangga. Sebenarnya
menurut pandangan Mei Lie, Ki Jalna Wangga dapat
dengan mudah mengalahkan lawannya. Mei Lie meli-
hat titik lemah lelaki bercadar biru itu. Namun nam-
paknya Ki Jalna Wangga masih berusaha menjajaki
sampai seberapa ilmu pedang lelaki bercadar biru itu, sehingga orang tua bermuka
garang itu nampaknya
tak bermaksud menyudahi pertarungan dengan cepat.
"Kakang, kulihat orang tua itu bertarung tak
sungguh-sungguh," bisik Mei Lie pada Pendekar Gila.
"Aha, kau benar, Mei. Nampaknya Ki Jalna
Wangga memang sedang mendalami sampai seberapa
ilmu lelaki bercadar biru," sahut Sena dengan wajah meringis sambil menggaruk-
garuk kepala. "Tak kusangka, orang tua bermuka garang itu,
ternyata memiliki hati yang baik juga," gumam Mei Lie sambil terus memperhatikan
jalannya pertarungan
yang masih berlangsung seru.
Kini nampak dengan gerakan cepat mereka sal-
ing menyerang. Tubuh keduanya berkelebat saling
menghindar dan menangkis. Golok dan pedang pun
terdengar terus berbenturan. Suaranya memecah ke-
heningan malam.
Trang! "Heaaa...!"
Pangeran Prapanca dan Ki Jalna Wangga terus
bergerak melangkah ke samping sambil saling me-
nangkis serangan. Sungguh sebuah gerakan silat yang
sangat indah ditonton.
Pranala yang ilmunya memang berada di bawah
ilmu Pangeran Prapanca, hanya terbengong kagum.
Hatinya hampir tak percaya, kalau Pangeran Prapanca
akan dapat mengeluarkan jurus silat yang indah dan
cepat Selama ini, keduanya memang bersama-sama.
Namun Pranala belum pernah melihat Pangeran Pra-
panca mengeluarkan jurus 'Angin Meniup Daun'.
Tubuh keduanya terus bergerak ke samping
dengan masih diiringi benturan senjata saling serang.
Kaki-kaki mereka bergerak dengan teratur, kadang
menyilang dan kadang merentang. Sedangkan tangan
kiri keduanya, bergerak mengepak-ngepak atau terka-
dang menekan ke belakang dan samping. Sepertinya
tangan kiri itu sengaja digunakan untuk menjaga ke-
seimbangan tubuh mereka dalam menyerang.
Trang! Trang! Senjata mereka terus beradu. Namun pada sua-
tu kesempatan, Pangeran Prapanca berhasil menarik
golok di tangan Ki Jalna Wangga.
"Hea!"
Wrt! Trakkk! "Akh...!" Ki Jalna Wangga tersentak kaget dengan mata terbelalak. Dirinya tak
menyangka kalau la-
wan akan dapat membuang senjatanya. Kini Ki Jalna
Wangga nampak pasrah, ketika Pangeran Prapanca
menempelkan ujung pedangnya ke leher. "Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah!"
"Hm, membunuhmu mudah saja. Tapi aku tak
pernah sembarang membunuh orang. Dan untuk itu
sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini, sebelum
pikiranku berubah!" perintah Pangeran Prapanca.
Ki Jalna Wangga hanya diam saja tak berkata
apa-apa. Dirinya hanya bergumam dalam hati. "Kalau saja aku tak tahu siapa kau
sebenarnya, hhh..., tak
segan aku membunuhmu. Tapi aku tahu siapa kau se-
benarnya. Aku bersalah jika membunuh atau menang-
kapmu...."
Kemudian Ki Jalna Wangga cepat pergi mening-
galkan tempat itu, Pangeran Prapanca mengikutinya
dengan pandangan tajam. Pranala yang melihat Pange-
ran Prapanca cemas segera menghampiri.
"Kenapa orang itu dilepas begitu saja, Pange-
ran?" tanya Pranala agak gusar.
"Biarlah. Kita tak perlu membunuh orang se-
perti dia. Tujuan kita bukan itu," jawab Pangeran Prapanca. "Ah, sudahlah! Mari
kita pergi!"
Keduanya pun melesat pergi meninggalkan Bu-
kit Yuyu yang kembali sepi.
Sementara itu Pendekar Gila dan Mei Lie pun
keluar dari tempat sembunyi.
"Orang tua aneh," gumam Mei Lie.
"Hi hi hi.... Kau benar, Mei. Tapi yang ku he-
rankan, siapa sebenarnya lelaki bercadar biru" Rekan-
nya tadi memanggil dengan sebutan 'pangeran'. Ah ah
ah... aneh sekali!" gumam Sena dengan cekikikan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hm, memang aneh, Kakang. Kalau dia seorang
pangeran, dari kerajaan mana" Lalu untuk apa dia
memakai cadar dan merampok?" tanya Mei Lie turut heran. "Aha, kurasa kita akan
tertunda di sini, Mei. Ini benar-benar keanehan. Hi hi hi...!" kata Sena sambil
cekikikan, membuat mata Mei Lie melotot gemas. Namun gadis itu tak mencubit
pinggang, kekasihnya
bahkan kini merapatkan diri ke tubuh Pendekar Gila.
Pendekar Gila dan Mei Lie pun segera mening-
galkan Bukit Yuyu yang kembali sepi. Bulan kelabu
mengiringi perjalanan kedua pendekar muda itu.
*** 5 Malam yang disinari bulan kelabu terus menye-
limuti bumi. Membawa para penghuni bumi terlelap
dalam tidur. Begitu pula dengan keadaan lingkungan
Kadipaten Wungkalan yang masih termasuk dalam wi-
layah Kerajaan Surya Langit, nampak sepi. Hanya ada
empat orang prajurit yang belum tertidur. Mereka se-
dang melakukan tugas, menjaga keamanan lingkungan
kadipaten Malam semakin larut, ketika dari luar benteng
kadipaten melesat dua sosok bayangan melompati
tembok tinggi yang mengelilingi lingkungan kadipaten.
"Hop!"
Kedua sosok itu kini berdiri di atas tembok.
Mata mereka yang sebagian wajahnya tertutup cadar
biru dan ungu mengawasi sekeliling bangunan kadipa-
ten itu. "Hati-hati, kita harus bergerak cepat!" ujar Pan-
geran Prapanca mengingatkan pada Pranala.
"Apa tak sebaiknya kita lumpuhkan keempat
penjaga ini, Pangeran?" ucap Pranala.
"Kurasa tak perlu. Kalau kepergok apa boleh
buat," jawab Pangeran Prapanca. "Ayo, kita beraksi!"
Kedua lelaki bercadar itu melesat turun. Den-
gan ringan tanpa menimbulkan suara, keduanya men-
darat di pekarangan sebelah barat kadipaten.
"Hop!"
"Ya! Hm, kita harus cepat beraksi," ujar Pangeran Prapanca dengan mata memanjang
tajam ke seke- lilingnya. "Pangeran, lihat!" bisik Pranala sambil menunjuk ke salah sebuah kamar yang
nampak masih te-
rang. Dari bayangan di dalam kamar itu, menunjukkan
masih banyak orang yang belum tidur. "Nampaknya
mereka belum tidur, Pangeran."
"Hm, benar. Tapi...," Pangeran Prapanca mena-jamkan pandangannya. Nampak bukan
bayangan lela- ki melainkan ada lima orang wanita di dalam kamar
itu. "Kurasa mereka perempuan, Pranala. Hanya satu lelaki. "Mungkinkah wanita
simpanan adipati cabul itu, Pangeran?" tanya Pranala.
"Bisa jadi. Dasar adipati keparat! Tak memper-
hatikan rakyatnya yang menderita, malah enak-
enakan bersama wanita-wanita simpanannya," dengus Pangeran Prapanca geram.
Matanya membelalak semakin lebar, "Ayo...!"
Kedua sosok itu melesat cepat menuju kamar
tempat bercengkerama itu. Keduanya mendekat, ke-
mudian perlahan-lahan mengintip apa yang terjadi di
dalam kamar itu lewat celah jendela.
Membelalak mata Pangeran Prapanca dan Pra-
nala melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Ke-
duanya terkejut. Di dalam kamar itu, Adipati Jata Sura sedang asyik bercumbu
bersama kelima gundiknya
yang masih muda-muda.
"Adipati keparat!" dengus Pangeran Prapanca dalam hati. Kemudian segera
menggerakkan kepala
memberi isyarat kepada Pranala agar masuk.
Brak! Suara berderak keras terdengar. Adipati Jata
Sura dan kelima gundiknya yang masih dalam kea-
daan telanjang tersentak kaget. Serentak mereka men-
jerit melihat jendela kamar telah jebol. Mereka hendak lari, namun Pranala telah
menghadang di pintu kamar.
Srang! "Jangan lari! Serahkan hartamu, Adipati! Atau
nyawamu yang akan melayang!" ancam Pangeran Pra-
panca sambil mengacungkan pedang ke arah leher
Kanjeng Adipati Jata Sura yang ketakutan. Sehingga
wajahnya kelihatan sangat pucat. Tubuh gemetaran.
Begitu pula dengan kelima wanita cantik yang masih
dalam keadaan telanjang bulat mereka menggigil keta-
kutan. "Cepat katakan, di mana hartamu"!"
"Ampun..., jangan bunuh kami!" ratap Adipati Jata Sura mengiba dengan keringat
dingin bercucuran,
"Ambillah semua hartaku! Asal jangan kalian apa-apa-kan aku!"
"Baik! Cepat katakan!" bentak Pangeran Pra-
panca semakin menempelkan pedangnya ke leher sang
Adipati. "Ayo, tunjukkan di mana kau menyimpannya."
Dengan ketakutan, Adipati Jata Sura pun me-
nurut Kakinya melangkah di bawah ancaman pedang
Pangeran Prapanca. Sedangkan Pranala menahan ke-
lima wanita gundik yang semakin ketakutan. Mereka
berdiri mengumpul di sudut kamar itu, sambil menu-
tupi tubuh mereka.
Adipati Jata Sura terus melangkah menuju
kamar lain Sedangkan Pangeran Prapanca terus me-
nodongkan pedangnya di leher sang Adipati. Namun
tak terduga, tiba-tiba Adipati Jata Sura memberontak
sampai lepas. Kemudian lari keluar.
"Prajurit! Maliiing...!" teriak Adipati Jata Sura membuat para prajuritnya yang
tidur seketika terban-gun. Mereka serentak lari menghampiri.
"Ada apa, Kanjeng Adipati?"
"Tolol! Mengapa kalian tak tahu kalau ada dua
orang maling masuk"!" bentak Adipati Jata Sura,
"Tangkap mereka!"
Prajurit-prajurit kadipaten yang berjumlah se-
puluh orang langsung menyerbu ke dalam.
"Tangkap maling!"
"Celaka, Pangeran, kita tak bisa apa-apa lagi,"
bisik Pranala. "Apa boleh buat. Kita layani!"
Dua lelaki bercadar itu segera melesat mema-
paki serangan kesepuluh prajurit kadipaten yang
memburu ke tempat mereka. Pedang di tangan Pange-
ran Prapanca dan Pranala bergerak cepat memapaki
serangan pedang dan tombak lawan.
"Hea!"
Wrt! Wrt! Trang! Trang! Pangeran Prapanca dan Pranala nampaknya
tak ingin berlama-lama menghadapi kesepuluh prajurit


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kadipaten. Keduanya langsung mengeluarkan jurus si-
lat andalan. Pedang mereka bergerak semakin cepat,
berputar laksana baling-baling. Dari putaran pedang
itu keluar deru angin yang menyentak.
"Kita tak ada waktu, Cadar Ungu! Tumpas sa-
ja!" perintah Pangeran Prapanca.
"Baik, Cadar Biru! Heaaa...!"
"Yea!"
Suara riuh rendah, teriakan dan dentang senja-
ta seketika memecah kesunyian malam di lingkungan
kadipaten itu. "Tangkap mereka...!" seru Adipati Jata Sura merasa berani karena para
prajuritnya kini menghadang kedua maling itu.
Para prajurit berusaha merangsek kedua la-
wannya. Namun dengan cepat keduanya memutar pe-
dang. Lalu tubuh keduanya turut berputar, mengikuti
gerakan pedang. Kejadian itu sangat cepat, dan....
Wrt! Wrt! Cras! Cras! "Akh...!"
Tiga orang prajurit menjerit. Perut mereka ter-
babat pedang Pranala. Begitu juga dengan yang dila-
kukan Pangeran Prapanca. Tiga orang yang menge-
royoknya, harus rela melepaskan nyawa mereka. Dada
dan muka mereka terbabat pedang. Darah pun seketi-
ka berceceran di tempat pertarungan itu.
Melihat teman-temannya mati, keempat prajurit
yang masih hidup seketika merasa kecut. Mereka me-
nyurut mundur dengan tubuh gemetaran. Namun ter-
dengar Adipati Jata Sura berteriak, memerintah mere-
ka agar menyerang....
"Seraaang! Bunuh saja kedua maling itu...!"
Mau tak mau, keempat prajurit kadipaten itu
kembali bergerak menyerang. Namun dengan keadaan
tekanan jiwa, menjadikan keempat prajurit itu kaku
dan kewalahan menghadapi serangan lawan. Tanpa
kesulitan Pangeran Prapanca dan Pranala memba-
batkan pedang mereka menghalau para prajurit itu.
Wrt! Cras! Cras! "Akh..,!"
Keempat prajurit kadipaten langsung mendon-
gak sekarat, dengan tangan memegangi perut yang
terbabat pedang. Kemudian dengan mendelik, mereka
ambruk ke tanah dan tewas. Kejadian itu tentu saja
membuat Adipati Jata Sura kembali membelalakkan
mata. Tubuhnya gemetaran. Terlebih lagi ketika Pange-
ran Prapanca mendekati dirinya dengan pedang ber-
lumuran darah. "Kau mau seperti mereka, Adipati"!" ancam
Pangeran Prapanca sambil mengajukan pedangnya.
"Ampun..., tidak. Ambillah semua hartaku, asal
jangan kalian bunuh aku!" ratap Adipati Jata Sura dengan tubuh semakin
gemetaran. "Cadar Ungu," Pangeran Prapanca memberi
isyarat pada Pranala agar mengikat tangan dan kaki
Kanjeng Adipati Jata Sura.
Setelah menyumbat mulut Adipati Jata Sura,
Pranala segera membantu Pangeran Prapanca mengu-
ras habis harta milik Adipati Jata Sura.
Dua karung harta berharga mereka bawa, ke-
mudian dengan cepat meninggalkan kadipaten.
"Ayo, kita harus cepat! Waktu tak ada lagi,"
ajak Pangeran Prapanca sambil melompati pagar tem-
bok kadipaten, diikuti Pranala.
"Hop!"
Dengan ringan kedua lelaki bercadar itu me-
lompat dan hinggap di pagar tembok. Kemudian lang-
sung melompat keluar dari lingkungan kadipaten. Ke-
duanya berlari meninggalkan lingkungan Kadipaten
Wungkalan, menembus gelapnya malam.
Tidak lama kemudian, kelima gundik Adipati
Jata Sura ribut. Hal itu mengundang perhatian warga
yang dekat dengan kadipaten, juga orang-orang yang
bekerja pada kadipaten. Malam itu juga, gempar. Kadi-
paten telah didatangi maling.
Sementara Pangeran Prapanca dan Pranala se-
perti biasanya, langsung membagikan hasil curian ke-
pada orang-orang miskin yang membutuhkan.
Kini mereka berada di Desa Kuniran yang ma-
sih termasuk wilayah Kadipaten Wungkalan. Keduanya
langsung meletakkan barang-barang berharga di depan
pintu rumah mereka. Setelah selesai membagi-bagikan
hasil curian, mereka kembali melesat pergi menuju ke
barat, tempat Hutan Aseman berada. Mereka pun
menghilang di dalam hutan itu.
*** Kejadian yang menimpa Adipati Jata Sura bu-
kan hanya mengejutkan para pembesar kerajaan. Ju-
ragan Durka Pela yang menyangka kedua lelaki berca-
dar itu sudah mati di tangan Ki Jalna Wangga pun ka-
get. Bagaimana mungkin orang-orang yang sudah mati
bisa melakukan kejahatan lagi" Juragan Durka Pela
tak habis pikir, mendengar berita tentang dua lelaki
bercadar menjarah Kadipaten Wungkalan.
Satu pihak, mengutuk perbuatan kedua maling
budiman. Pihak ini tentunya berasal dari kalangan
orang-orang besar, para pejabat kerajaan. Namun di
pihak lain, terutama rakyat yang menderita merasa
bersyukur dengan kehadiran kedua maling budiman
yang banyak menolong mereka.
Pagi itu, di ruang pertemuan Istana Kerajaan
Surya Langit nampak hadir seluruh pembesar istana.
Perdana Menteri Giri Gantra, Panglima Utama Rawa
Sekti, sesepuh kerajaan yang terdiri dari lima orang
dan Baginda Raja sendiri, Prabu Awangga telah hadir
di balai pertemuan.
Sementara dari luar istana, telah datang para
adipati. Di situ juga hadir Juragan Durka Pela, serta beberapa tokoh rimba
persilatan yang sengaja diun-
dang baginda raja. Di antara tokoh rimba persilatan,
nampak Tirta Kayonan atau yang lebih terkenal den-
gan sebutan Pisau Maut. Buto Gege, seorang tokoh
persilatan aliran sesat yang tubuhnya tinggi bagaikan raksasa. Bermuka
menyeramkan dan telanjang dada.
Senjata yang digunakan sebuah martil besar bernama
Martil Dewa. Selain kedua tokoh itu, hadir pula lima orang
tokoh rimba persilatan lainnya. Di antara mereka ter-
dapat Ki Naga Wilis, Nyi Rara Cenil serta sepasang
pendekar muda bergelar Sepasang Jalak Sakti dari De-
sa Kumbar. Sedangkan seorang lagi, tak lain seorang
resi gemuk berkepala botak dengan senjata tasbih be-
sar dari Perguruan Kuil Perak.
"Saudara-saudara sekalian, tentunya kalian
saya undang kemari telah mengerti apa yang akan kita
bicarakan," ujar Baginda Prabu Awangga, membuka
pertemuan itu. Semua menganggukkan kepala.
"Akhir-akhir ini, wilayah kita dihebohkan
adanya dua orang maling yang oleh rakyat dianggap
maling budiman. Padahal, sebulan lagi putriku akan
me-langsungkan pernikahan dengan pangeran dari Ke-
rajaan Bayu Bumi. Kalau sampai masanya suasana be-
lum juga tenang, bagaimana tanggapan Kerajaan Bayu
Bumi terhadap kita" Untuk itulah, kuharap secepatnya
bereskan kedua maling itu," perintah Baginda Awangga menekankan.
"Daulat, Baginda...!" jawab semua para undangan. "Saya tak tahu, apa kedua
maling itu dari kerajaan kita, atau dari kerajaan lain yang sengaja dis-
usupkan kemari," kembali baginda berkata, setelah menarik napas dalam-dalam.
"Selama ini, kerajaan ki-ta aman. Namun entah mengapa, tiba-tiba kini ketika
putriku hendak melangsungkan perkawinan, muncul
kekacauan. Bagaimana menurutmu, Paman Perdana
Menteri?" Perdana Menteri Giri Gantra menjura dengan
menganggukkan kepala. Wajah lelaki berusia sekitar
lima puluh lima tahun ini, nampak menggambarkan
kelicikan dan keserakahan.
"Ampun, Baginda! Apa yang Baginda titahkan
memang sudah sepantasnya. Karena kalau dibiarkan
kerajaan kita bisa buruk di mata kerajaan lain," ujar Perdana Menteri Giri
Gantra, nadanya menjilat.
"Lalu, bagaimana rencanamu, Paman?" tanya
Baginda Raja ingin tahu, apa rencana yang ada dalam
pemikiran Perdana Menteri Giri Gantra.
"Menurut hamba, kita sebar sayembara. Barang
siapa bisa mendapatkan kedua maling itu, maka pa-
danya akan kita berikan kedudukan di istana sekali-
gus harta," tutur lelaki penjilat ini sambil menganggukkan kepala. Matanya yang
mengandung kelicikan,
melirik pada Buto Gege yang menyeringai.
"Aku setuju. Bahkan bila perlu, aku rela mem-
beri putriku yang kedua untuk istrinya, jika dia me-
mang lelaki. Tapi jika wanita, maka akan kujadikan
permaisuriku."
Baginda Awangga bagaikan tanpa sadar men-
gucapkan perintah itu.
"Ampun, Baginda! Apakah Baginda sadar ber-
sabda begitu?" tanya Ki Samaika, salah seorang sesepuh istana yang dianggap
paling tua serta sangat di-
hormati. "Memangnya kenapa, Ki Resi" Apakah salah ji-
ka aku bersabda begitu?" tanya Baginda Awangga belum menyadari.
"Ampun, Baginda! Memang sabda seorang raja
tak salah. Tetapi, mungkin ada kekeliruan yang harus
dibenahi atau dipertimbangkan kembali," ujar Ki Samaika berusaha mengingatkan.
"Tidak bisa, Ki! Kau jangan menentang Bagin-
da!" hardik Perdana Menteri Giri Gantra, "Sabda Baginda berarti hukum! Dan sabda
seorang raja, disaksi-
kan serta diperintahkan para dewata. Adalah hal yang
tidak benar, jika seorang raja menarik sabda yang telah diucapkan."
Ki Samaika terdiam. Nampaknya orang tua be-
rusia sekitar tujuh puluh lima tahun ini, tak mau ber-debat dengan perdana
menteri kerajaan. Itu pula yang
membuat Ki Samaika hanya mengalah diam.
"Ampun Baginda Yang Mulia! Bukan maksud
hamba melancangi titah Baginda," kata Perdana Menteri Giri Gantra sambil
menyembah. "Tidak apa, Paman. Memang apa yang kau ka-
takan benar adanya. Sabda seorang raja, tidak boleh
ditarik kembali. Maka itu, besok perintahkan sebar
sayembara itu. Siapa pun orangnya, berhak mengikuti
sayembara ini!" titah Baginda Prabu Awangga. Semua terdiam, tak ada yang dapat
lagi berkata-kata, termasuk Ki Samaika. Walau dalam hati orang tua itu me-
nyesalkan sabda Baginda Raja, tetapi sebagai seorang
penasihat dirinya tak mungkin menentang keputusan
saja. Keputusan seorang raja, merupakan hukum kuat
yang harus dijalankan semua orang yang menjadi ra-
kyat kerajaan. "Daulat, Baginda! Segala titah Baginda, akan
segera hamba laksanakan," jawab Perdana Menteri Giri Gantra sambil menyembah.
Senyum tipis mengembang
di bibirnya. "Kurasa tak ada masalah lagi. Maka itu, perte-
muan saya tutup!" kata Baginda Raja, kemudian berlalu meninggalkan ruang
pertemuan. Satu persatu semuanya pergi, kini di dalam
ruang pertemuan tinggal lima orang sesepuh kerajaan
yang masih termenung. Mereka nampaknya masih
memikirkan tentang keputusan baginda. Mulut mereka
bungkam. Hanya mata mereka yang dihias alis putih
tampak saling berpandangan satu sama lain.
*** 6 Empat orang prajurit Kerajaan Surya Langit
nampak memacu kuda mereka yang berlari ke arah
barat, menuju Desa Kaliamba. Di tangan salah seorang
prajurit yang paling depan, tergenggam selembar gu-
lungan kain. Keempatnya berhenti tepat di depan se-
buah kedai. Setelah menambatkan kuda, mereka lang-
sung memasang gulungan kain yang bertuliskan pen-
gumuman pada pohon mangga di depan kedai itu
Setelah memasang pengumuman itu, keempat
prajurit kerajaan segera meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang ada di kedai, termasuk Pendekar Gi-
la dan Mei Lie, keluar ingin tahu apa isi pengumuman
itu. "Kakang, nampaknya pihak kerajaan tak suka
dengan kedua lelaki bercadar itu," kata Mei Lie setelah membaca isi pengumuman
sayembara itu. "Aha, kau benar. Nampaknya kedua orang itu
kini menjadi perhatian pihak kerajaan," gumam Sena sambil cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk
kepala. "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
tanya Mei Lie. "Kita?" gumam Sena sambil mengerutkan ken-
ing. Kemudian terdengar tawanya yang lepas sambil
menggaruk-garuk kepala. Hal itu menjadikan Mei Lie
cemberut "Lucu sekali...! Hi hi hi...! Untuk apa kita mesti pusing-pusing" Kita
belum jelas masalahnya,
Mei Lie." "Tapi, pihak kerajaan nampaknya sangat mem-
butuhkan pertolongan kita," tukas Mei Lie.
Pendekar Gila tak langsung menjawab. Sesaat
wajahnya nampak tercenung. Namun, kemudian kem-
bali terdengar suara tawanya yang nyaring. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat semua
orang yang melihat tingkah lakunya, memandang he-
ran pada Pendekar Gila. Namun Sena tak menghirau-
kannya. Mulutnya masih cengengesan sambil mengga-


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruk-garuk kepala.
"Ah, dunia ini memang sulit...," gumamnya setengah mengeluh. "Kadang kala, orang
benar disalahkan. Tetapi, orang salah dibenarkan. Seperti hukum
rimba. Kalau yang kuat akan semakin di atas. Sedang-
kan yang lemah, akan semakin di bawah bahkan terin-
jak." "Apa maksudmu, Kakang?" tanya Mei Lie belum memahami ungkapan yang baru
saja dikatakan Sena.
Mata gadis Cina yang cantik itu, memandang lekat wa-
jah kekasihnya yang masih cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala
"Ah ah ah..., kadang aku bingung, atau me-
mang aku yang sudah gila" Hi hi hi...! Lucu sekali!"
gumam Sena lagi sambil tertawa cekikikan, "Gila..."
Ah, memang aku ini gila! Namun kurasa masih banyak
orang yang melebihi aku gilanya."
"Aku tak mengerti, Kakang," keluh Mei Lie dengan kening masih mengerut,
menyaksikan tingkah la-
ku Pendekar Gila. Tingkah laku dan ucapannya. Se-
makin aneh bagi Mei Lie. Kadang kala, mimik muka
Pendekar Gila tercenung. Tetapi sebentar kemudian
tersenyum cengengesan sambil menggaruk-garuk ke-
pala. "Inikah kehidupan yang beradab...?" tanya Se-na, seperti bertanya pada
diri sendiri. "Ah ah ah, sangat lucu sekali! Kadang orang menutupi kejahatan
dengan kebaikan. Lucu...! Hi hi hi...!"
Mei Lie semakin tak mengerti dengan kata-kata
yang diucapkan Pendekar Gila. Dirinya memang belum
begitu dalam menghayati kehidupan. Tidak seperti Se-
na, yang telah lama menghayati kehidupan dengan
berkelana. Perasaan mereka pun berbeda. Mei Lie se-
nantiasa cepat emosi dan tersinggung. Sebaliknya Se-
na nampak tenang dan selalu berusaha memahami ke-
jadian di sekitarnya dengan pikiran tenang. Bahkan
sekilas seperti bercanda. Cekikikan, cengengesan, tertawa terbahak-bahak atau
tersenyum-senyum sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Mei Lie, kau baca sekali lagi isi pengumuman
itu! Lalu resapilah maksudnya," ujar Sena seraya menunjuk pengumuman sayembara
itu. Mei Lie menurut, dengan lafal terputus-putus
bahasanya dia membaca isi pengumuman itu.
Barang siapa yang dapat menangkap hidup
atau mati, penjahat-penjahat kerajaan yang telah membuat keonaran dengan mencuri
dan merampok bebera-
pa orang pembesar kerajaan, maka akan mendapat
ganjaran dari Baginda Raja. Jika yang berhasil menangkap kedua maling lelaki,
akan dinikahkan dengan putri baginda yang kedua, Putri Dyah Ayu Pitasari, adik
Putri Dyah Sari Sekar Arum.
Kedua penjahat itu sangat berbahaya jika di-
biarkan. Terbukti sejak kemunculannya, telah meng-hambat pembangunan jalan. Hal
itu karena adanya kejadian yang menimpa Ki Durka Pela dan Adipati Jata
Sura yang bertanggung jawab dalam pembuatan jalan tersebut.
Baginda Raja Sutya Langit.
Prabu Awangga. "Aha, bagaimana menurutmu, Mei?" tanya Sena setelah melihat Mei Lie selesai
membaca. Mei Lie menggeleng-gelengkan kepala. Pendekar
Gila tersenyum cengengesan dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala.
"Aku tak mengerti, Kakang. Kurasa, pihak kera-
jaan benar," sahut Mei Lie, yang membuat Pendekar Gila tertawa. Sepertinya
ucapan Mei Lie lucu sekali.
"Hua ha ha...!"
Mei Lie yang merasa ditertawakan merengut,
Pendekar Gila menghentikan tawanya. Kemudian den-
gan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk ke-
pala, Sena berujar.
"Ah ah ah..., kurasa kau tak bisa menyalahkan
dan membenarkan salah satu pihak, tanpa lebih dahu-
lu mengetahui masalah yang sebenarnya, Mei."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
tanya Mei Lie meminta saran, "Kalau kita hanya diam kurasa pihak kerajaan akan
menuduh kita bersekong-kol dengan mereka."
Pendekar Gila tidak langsung menjawab. Tan-
gannya mencabut bulu burung yang terselip di ikat
pinggangnya. Kemudian dikoreknya telinga dengan bu-
lu burung itu. Mulutnya cengengesan, sedang matanya
memandang ke atas.
"Ah ah ah, sulit..., sulit memang! Tapi kita ha-
rus bisa bertemu dengan kedua maling itu," ujar Sena.
"Untuk apa, Kakang?"
"Aha, kurasa mereka melakukan pencurian dan
membagi-bagikan harta hasil curian pada penduduk,
karena ada alasan tertentu, Mei," ujar Sena berusaha menjelaskan. "Ah, lebih
baik kita masuk ke kedai, daripada di sini terkena terik matahari."
Mei Lie pun menurut, melangkah seiring ber-
sama kekasihnya kembali ke dalam kedai. Keduanya
baru saja hendak masuk, ketika dari arah timur nam-
pak dua orang lelaki satu menunggang kuda dan sa-
tunya lagi berjalan menuju kedai.
Pendekar Gila dan Mei Lie tak peduli dengan
kedatangan kedua orang berwajah garang itu. Orang
yang berjalan, bertubuh tinggi besar seperti raksasa.
Dadanya berbulu lebat. Matanya garang. Orang ini tak
lain Buto Gege. Sedangkan orang yang naik kuda,
meski badannya besar, tetap tak sebesar dan setinggi
manusia raksasa itu.
Penunggang kuda itu kalau dilihat dari pa-
kaiannya terbentuk jubah tentu seorang resi. Kepa-
lanya botak plontos. Di lehernya tergantung sebuah
kalung tasbih besar. Dialah Resi Wisangkara, dari Kuil Perak. Kuda yang
ditungganginya terus melangkah
ringan, seakan tak membawa beban sama sekali.
Kedua tokoh hitam itu terus menuju kedai di
ujung Desa Kaliamba. Pendekar Gila dan Mei Lie nam-
pak telah berada di dalam kedai, seakan tak mempe-
dulikan kedatangan dua lelaki bertubuh besar itu.
Namun baru saja Pendekar Gila dan Mei Lie hendak
duduk, tiba-tiba keduanya disentakkan oleh suara ke-
ras dan menggelegar laksana guruh.
"Di mana maling pengecut itu"! Hai..., katakan!
Di mana maling-maling tolol itu"! Atau Buto Gege akan memangsa kalian"!" bentak
Buto Gege sambil menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang coklat menye-
ramkan. Matanya yang lebar, melotot menatap ke ke-
dai. Pendekar Gila karena terkejut, mengurungkan
niatnya untuk duduk. Matanya memandang keluar.
Terdengar suara tawa nyaring dari mulutnya ketika
melihat dua manusia besar itu membentak-bentak
orang-orang di kedai.
"Hua ha ha...! Kau lihat sendiri, Mei" Lucu se-
kali mereka itu. Mereka tak ubahnya cecurut besar
yang suka menjilat kotoran. Hua ha ha...!" seru Sena sambil tertawa terbahak-
bahak. Hal itu tentu saja
membuat kedua manusia besar di luar tersentak kaget.
Seketika mata keduanya memperhatikan ke dalam ke-
dai, seakan ingin membuktikan orang yang berani
mentertawai mereka.
"Bocah gila! Sinting...! Lancang sekali mulut-
mu!! Rupanya kau teman kedua maling tolol itu"!" bentak Resi Wisangkara dengan
suara keras dan parau.
Hatinya marah mendengar ejekan Pendekar Gila.
Sementara itu orang-orang yang berada di da-
lam kedai tampak bingung dan serba salah. Mereka
ketakutan dan cemas menyaksikan kedua manusia
bertubuh besar yang masih berada di luar kedai. Na-
mun untuk turut campur jelas tak ada yang berani.
Mata mereka silih berganti memperhatikan pemuda gi-
la yang berada di dalam kedai, lalu menoleh pada ke-
dua lelaki yang sedang marah-marah itu.
Para pengunjung kedai itu merasa heran pula
melihat keberanian pemuda gila mengejek Buto Gege
dan Resi Wisangkara. Namun semua hanya diam
membisu, ketakutan. Tak ada yang menyahuti kata-
kata kedua orang besar itu.
"Hua ha ha...! Lihat Mei Lie, kurasa merekalah
yang tolol! Karena mereka menjilati kotoran. Hi hi
hi...!" teriak Sena sambil tertawa-tawa dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Sikapnya yang konyol membuat Buto Gege dan Resi Wisangkara terbelalak karena
begitu marah. Hati mereka benar-benar tersinggung
mendengar ucapan seenaknya dari mulut pemuda ber-
tingkah laku mirip orang gila itu.
"Grrr! Keluarlah kau, Bocah Sinting"!" geram Buto Gege sambil mengayunkan
martilnya yang besar
hingga menimbulkan angin. Lalu dengan kuat dihan-
tamkan martil raksasa itu ke kedai.
Wuttt! Brakkk! Kedai itu porak-poranda terhantam Martil Dewa
di tangan Buto Gege. Orang-orang di dalam kedai ber-
teriak-teriak ketakutan. Ada di antara mereka yang ter-luka, tertimpa kayu
bangunan. Bagi mereka yang telah
lebih dulu lari menghindar tentu saja selamat dari ke-jatuhan dinding kayu kedai
itu. Sementara Pendekar
Gila dan Mei Lie yang telah melompat keluar tak terke-na hantaman Martil Dewa
itu. "Hua ha ha...! Dasar raksasa tolol!" seru Sena sambil cengengesan. Kini tubuhnya
telah berada sepuluh tombak dari kedai yang hancur. "Ah ah ah, kurasa binatang
hutan ini harus dijinakkan, Mei?"
"Kakang, apakah Kakang akan diam dan me-
nimbang-nimbang lagi jika sudah begini?" tanya Mei Lie nampak sudah tak sabar.
Matanya menatap tajam
ke arah dua manusia besar yang kini melangkah me-
nuju ke arah mereka.
"Aha, kurasa tidak, Mei. Jelas mereka mengajak
kita main-main," jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Aku juga muak melihat kedua manusia som-
bong itu," rungut Mei Lie dengan pandangan penuh kebencian terhadap dua manusia
besar yang kelihatan
angkuh. Seakan, keduanya hendak menyombongkan
diri, sehingga melangkah pun dengan cara membu-
sungkan dada. "Aha, kurasa mereka memang tikus-tikus som-
bong. Badan mereka saja yang besar, tetapi berotak
kerbau!" ujar Pendekar Gila sambil tertawa-tawa. Hal itu sengaja untuk memancing
kemarahan kedua manusia besar itu.
"Kurang ajar! Bocah gila, jika kau ingin sela-
mat, cepat katakan, di mana kedua maling itu bera-
da"!" bentak Resi Wisangkara dengan menggeram marah. Tasbih besar yang tadi
dikalungkan di leher, kini telah berada di tangan kanannya. Setelah melompat
dari kuda, kakinya perlahan-lahan melangkah mende-
kati Pendekar Gila dan Mei Lie yang berada di sebelah barat sepuluh tombak dari
kedua lelaki besar itu.
"Hm...! Grrr! Rupanya tulang tubuhmu minta
kuremukkan, Bocah Edan!" bentak Buto Gege marah
merasa dihina sebagai kerbau dungu. Martil Dewa di
tangannya diputar dengan cepat hingga mengeluarkan
suara menderu-deru disertai angin.
Werrr! Werrr! *** Buto Gege terus memutar Martil Dewa semakin
kencang. Angin yang keluar laksana topan. Orang-
orang yang terkena sambaran angin dari Martil Dewa
di tangan Buto Gege, seketika terpental seperti dihem-paskan suatu kekuatan
dahsyat. Kedai yang ambruk,
turut tersapu angin besar itu.
Werrr! Werrr! Srakkk! Srakkk!
"Hua ha ha....!"
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak seperti
merasa ada sesuatu yang lucu. Tangannya terus
menggaruk-garuk kepala. Buto Gege yang merasa di-
tertawakan seperti itu meledaklah kemarahannya. Ser-
ta merta dipercepat gerakan tangannya memutar Mar-
til Dewa. Werrr! Werrr! Angin pun menderu bertambah kencang. Para
pengunjung kedai sudah tak berani berada di dekat
kedai. Namun Pendekar Gila masih berdiri dengan su-
ara tawanya yang semakin keras. Seakan-akan angin
besar itu tak berarti sama sekali baginya. Sementara
itu, Mei Lie tampak telah menggenggam erat-erat Pe-
dang Bidadarinya, berusaha menahan serangan keku-
atan dahsyat dari Martil Dewa.
"Hua ha ha! Lucu sekali kau, Buto Tolol"!" ejek Sena sambil terus tertawa
terbahak-bahak dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Bahkan sesekali mu-
lutnya terdengar bernyanyi-nyanyi. Matanya meme-
jam-mejam seperti hendak tidur. "Ah, segar sekali!
Mengapa tak dari kemarin kau mengipas tubuhku ini"
Hua ha ha...! Hua ha ha...! Terus, putar terus kipas-
mu...!" Buto Gege dan Resi Wisangkara tersentak kaget menyaksikan Pendekar Gila
tak terpengaruh sama sekali. Mata mereka membelalak seakan tak percaya
dengan apa yang mereka saksikan. Bagi kedua manu-
sia besar itu sungguh tak masuk akal. Tubuh pemuda
berompi kulit ular itu ternyata mampu bertahan terha-
dap serangan angin besar yang keluar dari putaran
Martil Dewa di tangan Buto Gege. Bahkan pemuda gila
itu tertawa semakin keras sambil memejam-mejamkan
mata. "Bocah sombong! Rupanya kau mencari mam-
pus, berani menghina Buto Gege!" dengus Buto Gege sambil menghantamkan martil
raksasanya ke tubuh
Pendekar Gila. "Remuk tubuhmu! Heaaa...!"
"Mei Lie, awaaas!" teriak Sena mengingatkan kekasihnya yang langsung melompat ke
samping. Sementara dia sendiri langsung melenting ke atas.
Wuttt! Glarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika
Martil Dewa menghantam tanah. Tanah yang terkena
hantaman martil itu, hancur berhamburan menganga


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan cukup dalam.
"Hua ha ha...! Kau benar-benar tolol, Buto"!
Kenapa tanah kosong kau hantam?" ejek Sena yang telah bertengger di atas
sebatang cabang pohon sambil
masih terdengar pula suara tawanya. Tingkah lakunya
mirip seekor kera. Tangannya menggaruk-garuk kepa-
la. Sedangkan tubuhnya berjingkrak-jingkrakan. Se-
hingga dedaunan pohon itu tampak bergetar.
"Kurang ajar!"
"Kau hadapi dia, Buto! Biar aku meringkus ga-
dis cantik itu," seru Resi Wisangkara sambil menatap Mei Lie. "Baik! Tapi kalau
berhasil, akulah yang lebih dahulu!" sahut Buto Gege sambil menolehkan kepala
kepada Mei Lie yang masih menggenggam erat pedangnya.
"Baik," sahut Resi Wisangkara sambil terse-
nyum, kemudian dia segera melangkah ke arah Mei Lie
yang nampaknya sudah siap dengan sambutannya.
Mei Lie segera menggerakkan Pedang Bidada-
rinya dengan jurus 'Tarian Bidadari'. Tubuhnya me-
liuk-liuk laksana menari.
"Hea!"
"He he he...! Nisanak lebih baik menyerah! Kau
akan kujadikan istriku yang ketiga kalau kau mau
menyerah," ujar Resi Wisangkara sambil terkekeh, merendahkan siapa gadis yang
hendak dihadapinya.
Bahkan resi dari Kuil Perak itu nampak tenang, men-
ganggap Mei Lie bukan lawan yang perlu ditakuti
"Huh, kalau memang aku kalah, aku rela mati
di tanganmu!" dengus Mei Lie dengan sengit. Kemudian dengan masih bergerak
menari, gadis itu mulai
melakukan serangan pada Resi Wisangkara.
"Heaaa...!"
Wut! Wuttt! Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar kun-
ing kemerah-merahan semakin mendekat ke tubuh la-
wan. Lelaki tua berkepala botak itu tiba-tiba tersentak kaget. "Heh"!"
Dengan mata terbelalak kaget, Resi Wisangkara
melompat ke belakang. Matanya memandang tajam,
hampir tak percaya pada apa yang dialaminya baru-
san. Dirinya tak menyangka, kalau gadis Cina di ha-
dapannya ternyata bukan gadis sembarangan. Ter-
bukti dengan serangan yang hampir saja merenggut
nyawanya. Kalau saja kakinya tak segera melompat ke
belakang, pedang Mei Lei yang mampu menghancur-
kan tubuh lawan itu pasti membabatnya.
"Hm, rupanya kau bukan gadis sembarangan,
Nisanak"! Baik, aku pun tak segan-segan meladeni-
mu," kata Resi Wisangkara sambil memutar tasbih be-sarnya yang berwarna hijau.
Wrt! Srakkk...!
"Hm, memang itulah yang kuinginkan, Resi Ca-
bul! Heaaa...!"
"Yea!"
Mei Lie segera melesat dengan jurus 'Bidadari
Menyentak Selendang'. Tangannya bergerak merentang
dan kaki kanannya diajukan. Kemudian dengan cepat,
kedua tangannya yang merentang bergerak menye-
rang. Pedang Bidadari di tangan kanannya terus ber-
kelebat memburu sasaran. Dari gerakan pedang itu ke-
luar hawa panas.
Wuttt! Wuttt! "Aits!"
Dengan cepat Resi Wisangkara merundukkan
tubuh sambil menggeser kedudukan kakinya tiga
langkah ke kanan. Lalu dengan jurus 'Musang Menye-
limut Tubuh', lelaki tua berkepala botak itu membalas serangan. Dikibaskan dan
diputar-putar tasbihnya
menyerang Mei Lie.
Wert! Crakkk...!
Cletarrr...! "Haits...! Hea...!"
Dengan memiringkan tubuh, Mei Lie mengelak-
kan sambaran tasbih hijau itu. Lalu setelah berhasil
lolos dari serangan lawan, dengan cepat Mei Lie melancarkan tendangan kaki kiri
ke dada lawan. Melihat lawan menendang, Resi Wisangkara se-
gera memapakinya dengan pukulan tangan kiri. Na-
mun, ternyata tendangan yang dilakukan Mei Lie
hanya se-bagai gerak tipu. Ketika lawan menangkis,
dengan cepat Mei Lie menarik serangan. Lalu tanpa di-
duga gadis cantik berpakaian hijau itu melancarkan
sebuah pukulan dahsyat.
"Hea!"
Wuttt! "Heh"!"
Resi Wisangkara yang tak menduga akan dis-
erang begitu cepat, berusaha mengelak. Namun gera-
kan tangan Mei Lie yang disertai pengerahan tenaga
dalam, datang lebih cepat. Tak ada kesempatan bagi
lelaki berkepala botak itu untuk mengelak. Yang dapat dilakukan hanya balas
menyerang dengan tasbih be-sarnya. Tanpa sungkan lagi, Resi Wisangkara segera
mengibaskan tasbihnya ke tangan Mei Lie.
"Hea!"
Melihat lawan hendak menyerang dengan tas-
bihnya, Mei Lie segera menarik pukulan tangannya.
Kemudian sambil mengelit ke samping dengan cepat
dibabatkan Pedang Bidadari, memapak tasbih yang
menderu di atas kepalanya.
Jletarrr! Prakkk! Ledakan keras memekakkan telinga terdengar
ketika pedang Mei Lie berhasil menyambar tasbih la-
wan. Prelll! "Hah...!"
Mata Resi Wisangkara terbelalak kaget. Lelaki
besar berkepala botak dan bermuka bengis itu, me-
lompat ke belakang. Matanya memandangi tasbihnya
yang hancur berantakan, terbabat pedang Mei Lie.
"Celaka! Dia bukan gadis biasa!" gumam Resi Wisangkara dengan wajah menampakkan
ketegangan. Dia benar-benar tak menyangka kalau tasbihnya yang
merupakan senjata sakti dan terbuat dari batu-batu
pualam rontok terbabat pedang lawan.
Merasa tak unggulan menghadapi gadis Cina
itu, tanpa membuang waktu lagi Resi Wisangkara me-
lesat kabur. Wajahnya begitu pucat, setelah menyadari kalau lawan menghendaki
biasa saja menghabisi nyawanya. "Mungkinkah dia yang bernama Bidadari Pencabut
Nyawa?" gumam Resi Wisangkara sambil terus berlari, meninggalkan Mei Lie yang
tampak tersenyum.
"Celakalah aku kalau dia benar-benar Bidadari Pencabut Nyawa!"
Sementara, Pendekar Gila yang menghadapi
Buto Gege masih bergerak ke sana kemari, mengelak-
kan hantaman-hantaman Martil Dewa. Buto Gege
tampaknya tak ingin lawan dapat melakukan serangan
balasan. Diserangnya terus Pendekar Gila tanpa henti.
Wrt! Wrt! Glarrr...! Brakkk! Martil Dewa kembali menghantam pohon, hing-
ga hancur berantakan. Sedangkan Pendekar Gila ter-
tawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Aku di sini, Buto Tolol!" seru Sena sambil tertawa-tawa.
"Grrr! Kurang ajar! Remuk tubuhmu!" Buto
Gege kembali menghantamkan Martil Dewa ke pohon
tempat Pendekar Gila bertengger. Namun dengan cepat
pemuda itu melompat berpindah ke pohon lain.
Wrt! Brakkk! "Hua ha ha...! Matamu buta, Raksasa Tolol.
Mengapa pohon kau hantam?" ejek Sena sambil terta-wa. Tanpa diketahui tiba-tiba
tubuhnya telah berteng-
ger di cabang pohon yang lain. "Ah ah ah...! Tempatmu di hutan. Tetapi, mengapa
kau merusak pepohonan?"
"Kurang ajar! Kali ini tak akan luput dari Martil Dewaku, Bocah Gila! Hm...!
Hiaaa...!"
Buto Gege yang marah karena sejak tadi dile-
dek oleh Pendekar Gila, segera memutar Martil Dewa-
nya. Angin menderu-deru keras dan menggetarkan
disertai hawa panas yang menyengat. Semakin cepat
Martil Dewa diputar, nampak martil itu mengalami pe-
rubahan. Dari Martil itu, keluar lidah api.
"Heaaa!"
Wusss...! Melihat Buto Gege mengarahkan lidah api yang
keluar dari kepala martil dengan cepat Pendekar Gila
mengeluarkan ajian 'Inti Bayu'nya.
"Heaaa!"
Wusss! Wusss...!
Besss...! Dua kekuatan sakti saling bertemu. Api yang
semula hendak menyerang ke tubuh Pendekar Gila,
seketika padam terhempas hawa dingin dari angin
yang keluar dari ajian 'Inti Bayu'.
Disertai amarah meledak-ledak Buto Gege me-
mutar Martil Dewa dengan kekuatan tenaga dalam
yang luar biasa. Dari putaran senjata itu muncul angin dahsyat yang
menghembuskan hawa dingin. Orang-orang yang berada di sekitar tempat pertarungan
me- rasa menggigil kedinginan.
"Hi hi hi...! Enak sekali kipasmu," kata Sena sambil tertawa cekikikan "Ah,
membuatku mengantuk sekali." Dengan mata memejam-mejam seperti orang mengantuk,
Pendekar Gila mengerahkan tenaga in-tinya ke seluruh tubuh. Sehingga tubuhnya
tidak me- rasa dingin. Yang dirasakan hanya hawa sejuk.
"Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu, Bocah
Gila!" Buto Gege kini mengangkat martilnya tinggi-tinggi. Kemudian dengan kuat
dihantamkan martil be-
sar itu ke tubuh lawan. Namun sebelum senjata lawan
sempat menerjang, dengan cepat Pendekar Gila men-
cabut Suling Naga Saktinya. Dan secepat kilat pula
disabetkan suling itu untuk menangkis Martil Dewa.
Wrt! Srt! Trakkk! "Heh"!"
Membelalak mata Buto Gege, melihat suling di
tangan Pendekar Gila. Mulutnya menganga dan tu-
buhnya seketika menggigil bagai kedinginan, "Kau"!
Kau Pendekar Gila...?"
"Aha, kenapa tubuhmu Buto Gege?" tanya Sena dengan mulut cengengesan Sedangkan
tangannya masih menangkiskan Suling Naga Sakti ke senjata lawan
yang semakin lama semakin melemah.
"Tidak! Ampuuun...!" teriak Buto Gege sambil menarik senjatanya. Kemudian
manusia raksasa itu
berlutut, sambil melakukan sembah. Keadaan itu
membuat Pendekar Gila dan Mei Lie mengerutkan ke-
ning, tak mengerti mengapa manusia raksasa itu ber-
buat begitu. "Aha, kenapa kau seperti dikejar setan, Raksa-
sa?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap keheranan pada
Buto Gege yang masih
bersujud sambil meraung-raung bagaikan ketakutan.
"Ampun, Tuan...! Ampun...! Hukumlah ham-
bamu yang bodoh dan dungu ini!" Buto Gege terus meraung-raung minta ampun sambil
bersujud di depan
Pendekar Gila. Seolah akan diterimanya apapun hu-
kuman dari Pendekar Gila.
Namun Pendekar Gila dan Mei Lie masih tak
mengerti, mengapa Buto Gege berlaku begitu.
"Ah ah ah, kau aneh sekali, Raksasa" Aku...,
aku tak mengerti dengan tingkahmu. Hi hi hi...!" Sena cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Kenapa dia, Kakang?" tanya Mei Lie yang juga heran melihat keganasan Buto Gege
yang tiba-tiba hilang. "Aha, mana aku tahu?" sahut Sena sambil cengengesan
dengan tangan masih menggaruk-garuk ke-
pala. "Aha, bangunlah, dan ceritakan mengapa kau ini!"
Dengan perlahan Buto Gege bangun. Kepalanya
tertunduk, tak berani memandang Pendekar Gila. Hal
itu membuat Sena semakin tak mengerti. Mulutnya
semakin cengengesan.
"Aha, kenapa kau, Raksasa?" tanya Sena.
Buto Gege sejenak melakukan sembah sambil
berdiri, kemudian dengan suara berat dan besar Buto
Gege pun menceritakan siapa dia sebenarnya. Dikata-
kan, bahwa dirinya saudara dari Kemuning Wangi.
Kemuning Wangi adalah kekasih dari Pendekar Gila.
Puluhan tahun yang silam, keduanya menjalin cinta.
Keduanya saling menyayangi. Namun cinta mereka
kandas, setelah kehadiran Buto Gege.
"Aha, mengapa kau salah, Raksasa. Aku bukan
Pendekar Gila yang kau maksudkan. Aku hanyalah
muridnya," ujar Sena menjelaskan.
"Jadi, kau murid Kakang Singo Edan?" tanya
Buto Gege. "Aha, benar!" jawab Sena.
"Oh, syukurlah kalau begitu! Walau kau mu-
ridnya, aku tetap mau meminta maaf padanya lewat
kau. Aku merasa bersalah. Karena semenjak kehadi-
ranku, mengakibatkan kakakku menderita. Sampai-
sampai kakakku tak mau melihat dunia lagi," tutur Buto Gege.
"Maksudmu?" tanya Mei Lie menyala.
"Siapa dia, Pendekar...?" tanya Buto Gege, seraya menoleh pada Mei Lie.
Memburu Manusia Setan 2 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Kisah Membunuh Naga 36
^