Pencarian

Serikat Serigala Merah 2

Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah Bagian 2


dulu," kata Sena.
Sesaat keduanya diam. Dogol sepertinya in-
gin menanyakan sesuatu, namun ragu, belum be-
rani. Kemudian Pendekar Gila yang lebih dulu
memulai membuka pembicaraan.
"Kau tahu siapa sebenarnya pimpinan
orang-orang terkutuk itu?" tanya Pendekar Gila.
"Sampai sekarang tak satu pun penduduk
yang mengetahui dengan jelas, siapa pemimpin
dan pemilik rumah maksiat itu...," jawab Dogol polos, sambil terus mengusap-usap
perutnya yang buncit. "Nampaknya mereka memiliki kelompok dan persekutuan yang kuat dan
tentunya dari tokoh-tokoh silat aliran hitam,..!" ujar Pendekar Gila.
"Ya. Tadi juga ada saudagar dari Pulau An-
dalas, yang katanya tokoh aliran hitam. Kabarnya
dia datang untuk bergabung dengan kelompok Se-
rikat Serigala Merah.... Dan saudagar itu, sebe-
narnya telah membeli keperawanan wanita tadi.
Maka tadi mereka sangat murka ketika Aden
menghalanginya. Untung Aden sanggup melawan-
nya. Saya jadi tertarik, ingin belajar dan menjadi murid Aden...."
"Hi hi hi... kamu ini lucu! Aku bukan orang terkenal atau pendekar. Aku hanya
orang biasa, seperti kamu," kata Sena lalu berpaling ke arah belakang.
"Tapi saya yakin kalau Aden tentu seorang
pendekar. Karena Aden tadi dapat mengatasi Tiga
Kembar Bermuka Serigala. Padahal mereka sangat
kejam dan ditakuti di sini.... Terimalah saya menjadi murid, Aden! Atau paling
tidak pengikut Aden...," ujar Dogol penuh harap.
Melihat kepolosan dan kejujuran lelaki gen-
dut itu, Pendekar Gila nampak mulai menyu-
kainya. Namun dia tak memberikan jawaban apa
pun. Malah sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Sudahlah jangan pikirkan dulu itu! Kau li-
hat dulu wanita tadi! Siapa tahu dia sudah si-
uman..." Tanpa sengaja Dogol melihat benda yang
terselip di pinggang pemuda itu. Sebuah suling
berkepala naga.
"Hah"!" gumam Dogol dalam hati, "Aku pernah dengar tentang suling berkepala
naga, dari cerita ayahku sebelum dibunuh pengikut Serikat Se-
rigala Merah. Ya, ya aku ingat. Ayah bilang hanya Pendekar Gila yang memiliki
pusaka berupa Suling
Naga Sakti yang dapat melawan mereka...," lanjut Dogol dalam hati. Seketika
wajahnya jadi tersenyum gembira.
"Heh"! Ada apa kau ini, kenapa kau tiba-
tiba nampak segembira itu?" tanya Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
"Oh... tidak, tidak ada apa-apa, Aden.... Biar saya lihat wanita itu, dulu....,"
jawab Dogol yang terus nampak gembira, lalu membungkuk dan melangkah pergi. Sena
merasa heran, dan kembali
menggaruk-garuk kepala.
"Orang lucu si Gendut itu. Tertawa-tawa
sendiri. Ada apa dia" Nampaknya dia orang jujur.
Tapi akan ku coba kejujuran dan kesetiaannya
nanti," gumamnya dalam hati.
Dogol, sudah berada di tempat wanita muda
yang cantik itu berada. Ternyata wanita itu mulai sadar, menggeliat lemah.
Pakaiannya yang sebagian terkoyak, menyebabkan tubuhnya terlihat.
Dadanya yang montok sedikit tersembul. Juga
kainnya yang terkoyak, membuat sebagian pa-
hanya tersingkap. Namun Dogol yang melihat itu
cepat memalingkan kepala, lalu segera menutupi
bagian terbuka itu dengan pakaiannya.
Dari balik pohon sepasang mata mengama-
tinya, tanpa sepengetahuan Dogol.
"Kasihan kau wanita malang...," gumam
Dogol lirih, sambil menggaruk perutnya. Lalu
membalikkan badannya. Sementara wanita itu
mulai membuka matanya perlahan-lahan.
"Uhk...!" desah wanita itu sambil mengge-liatkan tubuhnya. "Hah..."! Ohhh... di
mana aku ini... ahhh...!" pekik wanita itu ketika melihat Dogol berdiri membelakanginya.
Wanita itu menutupi bagian dadanya dengan pakaian Dogol, serta
menghimpit kedua kakinya. Ketakutan.
"Jangan takut, Dik... aku orang baik-baik...
tadi, tadi Adik pingsan... emmm...," kata Dogol ga-gap. Mencoba menjelaskan.
"Siapa kau! Bagaimana aku bisa ada di si-
ni.... Kau tentu orang jahat...!" bentak wanita itu.
Bibirnya bergetar, menahan takut.
"Dia bukan orang jahat...!" terdengar suara dari arah lain.
Wanita itu menoleh ke arah datangnya sua-
ra. Begitu juga Dogol. Dan ternyata pemuda ber-
pakaian kulit ular. Muncul dengan menggaruk-
garuk kepala. Dogol nampak gembira, lalu mende-
kati Sena seraya berkata.
"Di... dialah yang menolongmu. Kalau tidak, kau akan menjadi santapan saudagar
dari Pulau Andalas itu...!" kata Dogol menjelaskan dengan ke-polosannya.
"Saudagar dari Pulau Andalas...?" ulang wanita itu lirih, sambil mengerutkan
keningnya. Lalu menoleh ke arah Pendekar Gila.
Pendekar Gila hanya tersenyum hambar,
sambil menggaruk-garuk kepalanya. Wajahnya
yang tampan dan gagah, membuat wanita yang
baru saja sadar dari pingsannya itu tersenyum
manis. Lalu bergerak sambil tetap menutupi da-
danya dengan rompi kumal milik Dogol, yang tadi.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan
aku dari malapetaka itu," ucap wanita muda itu
agak lemah, "Kalau boleh tahu, siapakah nama-mu" Biar aku lebih akrab
memanggilmu...," katanya lagi.
"Apakah artinya sebuah nama bagimu...?"
sahut Pendekar Gila dengan cengar-cengir sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Untukku sangat berarti. Apalagi, kau orang yang telah menyelamatkan diriku dari
manusia-manusia keparat, penjual wanita-wanita muda se-
pertiku ini. Agar nama itu kukenang selamanya...,"
kata wanita itu dengan suara renyah dan penuh
harap. "Kalian ini aneh, memang. Tapi tak apalah, aku tahu kalian bukan orang
jahat. Namaku Sena
Manggala...," kata pemuda itu kemudian.
"Apakah Aden yang dijuluki Pendekar Gi-
la...?" celetuk Dogol memberanikan diri melontar-kan dugaannya. Matanya melirik
ke Suling Naga Sakti yang terselip di pinggang Sena.
Sena tersentak kaget, matanya menatap ta-
jam wajah Dogol, lalu berpaling ke arah wanita itu.
Nampak kedua orang di depannya itu saling pan-
dang. Dogol menganggukkan kepala pada wanita
itu. Pendekar Gila tak langsung menjawab. Ma-
lah cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Kalau begitu benar apa yang disebut lelaki ini. Tuan adalah pendekar kondang
itu...," kata wanita itu tiba-tiba.
Pendekar Gila bertambah kaget mendengar
ucapan wanita itu.
"Ah, sudahlah, apakah kalian merasa yakin
aku ini orangnya. Tak usah dibesar-besarkan. Se-
baiknya, kalian cepat jelaskan apa sebenarnya
yang terjadi di Desa Progo saat ini," kata Sena pa-da kedua orang itu.
"Panjang ceritanya Tuan Pendekar. Lebih
baik kita bicarakan nanti di...."
"Sebaiknya di rumah kakekku yang tinggal
di kaki Gunung Merapi. Bagaimana...?" kata wanita yang cepat memotong ucapan
Dogol. Sena mengerutkan kening, menatap tajam
wanita itu lalu bertanya, "Aku belum mengenalmu, siapa namamu...?"
"Panggil saja aku Sekar Melati!" jawab wanita cantik itu.
Sena manggut-manggut, lalu memandang
ke arah Dogol yang nampak sangat gembira.
"Baiklah. Ayo, kita cepat pergi dari tempat ini! Sebelum orang-orang durjana itu
menemukan kita," ajak Sena, lalu melangkah pergi. Diikuti Sekar Melati dan Dogol.
*** Sudah tiga hari perjalanan Pasopati, Tara-
galu, dan Barja. Kini mereka telah memasuki ka-
wasan Jawa Dwipa bagian tengah. Ketiganya terus
melangkah dan terkadang berlari untuk memper-
cepat perjalanan. Agar tepat waktu sampai di tempat tujuan.
"Tak terasa, sudah tiga hari perjalanan kita.
Dan kita telah memasuki Jawa Dwipa bagian ten-
gah. Aku merasa lega. Tak ada hambatan dalam
perjalanan kita, Sobat," ucap Pasopati sambil me-nyeka keringatnya. Kini mereka
bertiga beristirahat di suatu tempat yang teduh.
"Besok pagi kita sudah sampai di tempat tu-
juan. Sebaiknya kita istirahat di sini sebentar.
Agar hilang rasa letih kita," kata Taragalu. Lalu dia duduk, bersandar pada
sebatang pohon. Demikian
juga dengan Barja.
Pasopati masih berdiri mengamati keadaan
sekeliling tempat itu, sambil terus mengipas-
ngipas dengan tangannya.
Tiba-tiba pandangan Pasopati terhenti keti-
ka melihat tiga orang penunggang kuda menuju ke
arah mereka. Pasopati dengan cepat menaruh
tombak pusakanya ke depan dada. Seraya membe-
ri tahu kedua temannya, "Hei bangun, ada orang datang...!"
Segera Taragalu dan Barja berdiri, meman-
dang ke arah datangnya lelaki penunggang kuda
yang menuju ke arah mereka.
"Siapa mereka?" tanya Pasopati pada Barja yang berdiri di sisi kirinya.
"Entahlah. Aku belum jelas...," jawab Barja.
Ketiga penunggang kuda hitam itu semakin
dekat. Dan.... "Celaka! Mereka Tiga Kembar Bermuka Se-
rigala!" celetuk Taragalu. Seketika dadanya bergetar keras, merasa tegang dan takut.
"Tenang, biar aku yang hadapi, jika mereka
kasar pada kita!" kata Pasopati tegas.
"Hei! Kalian sedang apa diam di sini"!" bentak salah seorang dari mereka.
"Kami hanya sedang beristirahat seben-
tar...," jawab Pasopati ramah.
"Apa kalian melihat dua orang lelaki, satu
berbadan gendut, dan seorang wanita muda lewat
di sini...?" tanya salah seorang lagi.
"Tidak. Kami baru saja sampai di tempat
ini," jawab Pasopati lagi.
"Hm! Mau ke mana tujuan kalian?" tanya yang lain.
Pasopati tak langsung menjawab, menoleh
ke arah Taragalu sejenak. Lalu kembali berpaling ke penunggang kuda itu.
"Kami dari daerah timur, sana. Ingin me-
nyaksikan pemilihan ketua baru di Candi Borobu-
dur," jawab Pasopati tegas.
"He he he...! Jauh-jauh dari sana kau hanya ingin menyaksikan pemilihan itu.
Hebat. Mungkin kau ada maksud lain"!" tanya orang yang berada di tengah.
Tersentak kaget Pasopati mendengar perta-
nyaan itu. Seakan orang itu dapat menebak mak-
sudnya. "Maksud apa..." Aku tak mengerti ucapan
Tuan?" sahut Pasopati mencoba menutupi kekage-tannya.
"Bagus! Tapi ingat, jangan berulah macam-
macam di sana! Kalian akan mampus. Dan pesan-
ku. Pilihlah Sugrikala! Jika kau mau hidup sela-
mat dan bebas. Ha ha ha...!" kata orang yang ada di sebelah kanan.
Lalu ketiganya segera memacu kuda mere-
ka, meninggalkan tempat itu.
"Bangsat...! Rupanya mereka sekutu Sugri-
kala pembunuh ayahku itu! Akan kuhabisi mere-
ka...!" kata Pasopati geram dalam hati. Matanya menatap tajam kepergian Tiga
Kembar Bermuka Serigala itu. "Kenapa kau, Pasopati...!" tanya Taragalu tiba-tiba.
"Ohhh... tak apa-apa. Masih jauhkah Candi
Borobudur dari sini...?" sahut Pasopati balik bertanya. "Cukup lumayan. Besok
pagi kita sudah sampai," jawab Barja.
"Sebaiknya kita lebih mempercepat. Agar
tak terlambat. Lebih cepat akan lebih baik bagi-
ku...." Selesai berkata begitu, Pasopati segera melangkah pergi. Taragalu dan
Barja hanya mengge-
leng-gelengkan kepala, lalu melangkah mengiku-
tinya. *** Kembali pada Sena dan Dagol, serta Sekar
Melati. Mereka nampak masih dalam perjalanan
menuju kaki Gunung Merapi. Sena berjalan di de-
pan bersama Sekar Melati, sedangkan Dogol di be-
lakang mereka. Dogol sebentar-sebentar nampak
menoleh ke belakang, takut kalau-kalau ada yang
mengikutinya. Tangannya terus memegangi perut
yang buncit itu. Sepertinya takut jebol, karena ter-guncang kuat, kalau dia
berlari. "Perut ini semestinya ditinggal di rumah.
Huh!" sungut Dogol sambil memegangi perutnya
yang seakan hendak jatuh merosot. Lucu keliha-
tannya. Terguncang-guncang ke kanan dan kiri ke-
tika Dogol mempercepat langkahnya.
"Aduh...!" tiba-tiba terdengar suara pekik Dogol yang tersandung bebatuan,
hingga kesakitan. Dia meringis sambil memegangi kakinya.
Sena dan Sekar Melati menoleh, lalu meng-
hentikan langkahnya. Keduanya tertawa melihat
Dogol kesakitan terduduk di tanah, memegangi
dan memijit-mijit kakinya yang kena batu tadi.
"Katanya kau mau jadi pendekar.... Baru
kena batu saja sudah meringis seperti kuda," goda Sena sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk
kepala. Sekar Melati hanya tertawa-tawa kecil. Lalu mendekati Dogol dan
mengulurkan tangan kanannya. Dogol tersenyum senang, menyambut uluran
tangan gadis cantik itu. Dogol segera bangkit, kemudian berjalan mendahului Sena
dan Sekar Me-

Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lati sambil membusungkan dadanya. Agar perut-
nya yang buncit tak begitu kentara, dia mengem-
peskannya. Namun dia tak tahan lama. Kembali
perut itu melembung seperti semula. Sena terse-
nyum-senyum, sedangkan Sekar Melati geli meli-
hat perut Dogol, sambil menutupi mulutnya den-
gan tangan kiri.
Mereka terus berjalan menelusuri pinggiran
sungai. Sena dan Sekar Melati tak terasa letih karena selalu gembira, tertawa
mendapat teman se-
perti Dogol yang lucu, polos, dan bicara apa
adanya. Sinar matahari kini tak seterang tadi, sudah
condong ke arah barat. Mereka terus melangkah
menelusuri sungai yang berkelok-kelok, seakan
tanpa batas. "Airnya jernih, pasti nyaman jika mandi di sungai itu," batin Sekar
Melati, yang berjalan di sebelah Sena. Matanya menatap terus ke
air yang jernih itu.
Namun Sekar Melati tak berani mengutara-
kan maksudnya, karena dia sangat segan dan
menghormati Pendekar Gila, pemuda yang tam-
pan, gagah, dan memiliki nama besar di rimba
persilatan ini. Sekar Melati hanya bisa membatin dan menahan keinginannya.
Sena sebenarnya tahu, karena diam-diam
memperhatikan gerak-gerik Sekar Melati, yang se-
bentar-sebentar melihat ke air sungai itu. Namun hatinya khawatir sesuatu akan
terjadi pada wanita itu. "Rasanya aku ingin mandi di sungai itu. Untuk
menyegarkan badan. Tapi waktu dan keadaan
tak mengizinkan...," sindir Sena tiba-tiba. Mulutnya cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
Lalu melirik ke arah Sekar Melati. Sekar Melati
tersentak kaget, lalu tersenyum manis pada Sena.
"Benar-benar aneh. Bagaimana dia bisa
mengetahui keinginanku..." Aku sangat menga-
guminya. Alangkah bahagia dan damainya wanita
yang dicintai dan disayangi oleh pendekar ini...,"
kata Sekar Melati dalam hati.
Dogol tersenyum-senyum. Dia pun tahu ka-
lau Sena menyindir Sekar Melati. Dogol mencolek
Sena lalu mengedipkan sebelah matanya, sambil
menunjuk ke arah Sekar Melati. Sena hanya cen-
gengesan dan mengangguk-anggukkan kepala.
5 Di suatu tempat yang angker, tepatnya di
dalam hutan di sebuah rumah tua, yang terbuat
dari kayu. Sepertinya rumah yang senantiasa gelap itu tak berpenghuni. Namun
terdengar suara-suara macam binatang buas dari dalam rumah itu.
Suara aneh itu ternyata berasal dari seorang lelaki tua berwajah menyeramkan
bagai iblis. Mulutnya
yang moncong mirip serigala. Jika menyeringai terlihat taringnya yang runcing.
Di depannya duduk seorang lelaki setengah
baya, berpakaian serba merah, Hanya ikat ping-
gangnya yang hitam. Duduk bersila dengan kepala
tegap menatap lelaki tua yang berwajah nampak
bringas. Napas lelaki tua itu sesekali mendesah, lalu kepalanya menggeleng lemah
bagai ada sesuatu yang dirasakan. Wajahnya nampak merengut,
seperti ada sesuatu yang terpendam dalam pikiran lelaki berwajah mirip serigala
itu. "Hem...! Kenapa tiba-tiba hatiku tak tenang untuk berangkat ke Lembah Tidar"!"
keluh lelaki setengah baya berpakaian serba merah yang duduk bersila. Jenggot
dan kumisnya yang tebal bergetar. "Apakah ini pertanda buruk?"
Lelaki setengah baya bermuka tebal dan di-
tumbuhi cambang bawuk serta kumis tebal itu,
kembali untuk sekian kalinya mendesah panjang.
Napasnya bagaikan memburu, liar seperti men-
cium sesuatu. Ketika matanya nampak merah ba-
gaikan memendam bara, tiba-tiba badannya berge-
tar kuat, bagai merasa kepanasan. Mendadak pula
keluar asap dari sekujur tubuhnya.
Lelaki tua berwajah serigala itu diam. Sedi-
kit pun tak menghiraukan muridnya yang tengah
dilanda kegalauan.
"Grrr...! Auuung...!"
Mendadak lelaki setengah baya berbaju ser-
ba merah menggereng lalu melolong keras. Dan
bersamaan suara lolongan lelaki setengah baya
berpakaian merah itu berubah wujud menjadi see-
kor serigala merah, besar, buas, dan menyeram-
kan. Lelaki tua berwajah mirip serigala yang duduk di depannya tampak
menyeringai. Terdengar
suaranya yang berat dan besar.
"Ada apa kau begitu gelisah, Sugrikala...?"
tanya lelaki tua yang tak lain Reski Jalatula. Dengan sinar matanya yang menyala
dia menatap se-
rigala jelmaan Sugrikala, muridnya.
"Grrr...!" kembali serigala jejadian Sugrikala menggeram.
"Apa kau mengalami kesusahan?" tanya
Reski Jalatula lagi.
"Ampun, Guru! Mengapa tiba-tiba hati
hamba gelisah"! Apakah Guru mengetahui sebab-
nya...?" Manusia yang mukanya mirip serigala itu sejenak kembali diam. Matanya
tak berkedip memandang Sugrikala. Yang telah menjelma jadi serigala. Setelah
menghela napas panjang, Reski Jala-
tula berkata menerangkan pada muridnya.
"Hem.... Grrrr.... Kau harus berhati-hati
menghadapi musuhmu kali ini. Dia memiliki senja-
ta pusaka yang ampuh...," tutur Reski Jalatula.
"Grrr... auuung...!" terdengar gerengan Sugrikala yang sudah menjadi serigala.
"Siapa mu-suhku itu. Guru?" tanyanya kemudian.
Reski Jalatula menghela napas panjang. La-
lu mendengus-dengus dengan kepalanya ber-
goyang-goyang ke sana kemari, serta mengaung.
"Musuhmu kali ini, tak lain anak Sumbaga!"
kata Reski Jalatula menegaskan.
Tersentak kaget bukan main Sugrikala. Ke-
mudian mengaung dan menggereng keras seakan-
akan memperlihatkan kemarahannya. Dikibas-
kibas tangannya sambil menggetar-getarkan kepa-
la. "Kau harus menghadapinya dengan wujud
manusia, Sugrikala. Dia memiliki tombak yang di-
beri nama Baruklinting. Yang dapat menghancur-
kan apa saja. Bahkan tombak yang berkepala naga
itu dapat menjadi naga hidup," tutur Reski Jalatula.
"Aku tak takut. Guru. Tentunya Guru telah
memberikan penangkal untuk semua itu," kata Sugrikala yang berupa seekor
serigala merah dan
besar. "Benar. Kau tak akan mati dengan pusaka anak Sumbaga itu. Bila belum
menemukan Sendi
Ilmu-mu. Manusia macam apa pun tak akan sang-
gup menghadapimu," tambah Reski Jalatula memberi semangat muridnya.
Sugrikala mendengus-dengus dan ekornya
kembali bergerak-gerak ke sana kemari. Lalu me-
nyeringai. Taringnya yang runcing dan tajam men-
gerikan. Seakan serigala itu tertawa senang.
"Tapi...," gumam Reski Jalatula kemudian.
Dengan muka murung.
"Tapi apa, Guru?" tanya Sugrikala cemas, karena melihat gurunya tiba-tiba
murung. "Tapi, ada satu pendekar yang sangat kon-
dang saat ini. Pendekar Gila, murid Singo Edan.
Dia berada di wilayah tengah ini sekarang...!"
Bagai disambar petir Sugrikala mendengar
nama Pendekar Gila. Seketika wujudnya kembali
berubah menjadi manusia lagi. Setelah terlebih
dahulu menggereng keras, seluruh badannya be-
rasap. "Aaakh...! Kenapa masih ada orang yang ke-saktiannya mengungguliku. Guru"
Aku tidak mau terima. Aku yang paling sakti di rimba persilatan ini...!" suara Sugrikala yang
murka itu keras dan bergema. Seakan rumah itu hendak roboh oleh ge-tarannya.
Reski Jalatula yang melihat muridnya tak
terkendalikan, segera menyemburkan air berwarna
kuning dari mulutnya, ke arah Sugrikala.
Sruats! Muka Sugrikala tersiram semburan air. Dan
seketika lelaki yang memakai pakaian silat serba merah itu diam bagai patung.
"Kau akan mudah dikalahkan, jika adatmu
tak dapat dihilangkan! Kalau kau tak mau menu-
rut, terserah...!"
Sugrikala tak berani menjawab. Kepalanya
tertunduk kaku dengan napas tersengal-sengal,
menahan kekesalan dan amarah.
"Perlu kau ketahui. Kalau Tombak Baruk-
linting mengenal tubuhmu saat berwujud serigala, kau tak akan lagi bisa menjelma
menjadi manusia
untuk selama-lamanya! Sekarang, cepat kau cari
anak Sumbaga itu, sebelum terlambat!" perintah Reski Jalatula, mulai kesal pada
muridnya. Lalu tiba-tiba dia menghilang. Hanya asap tebal mengepul di tempatnya tadi.
Sugrikala mendengus, kecewa dengan sikap
gurunya. Ditendangnya apa saja yang ada di situ.
Brak! Brakkk! "Apa pun yang terjadi aku tak takut. Akan
kucabik-cabik anak Sumbaga itu. Tapi bagaimana
aku bisa mengenalnya..."!" gumam Sugrikala sambil mondar-mandir. Dengan muka
merah, dia ber-
pikir keras. Lalu tertawa-tawa seraya melesat keluar, melompati jendela. Persis
seekor serigala. Sekejap dia telah menghilang.
*** Saat itu di pondok Sekar Melati, Pendekar
Gila dan Dogol sudah lama bicara dengan Ki Ra-
sakgumilar, kakek Sekar Melati. Mereka membica-
rakan Serikat Serigala Merah, yang akhir-akhir ini membuat bingung dan cemas
para tokoh persilatan aliran lurus.
"Firasatku mengatakan akan terjadi pem-
bunuhan dan pertempuran yang tak dapat dihin-
darkan, jika Serikat Serigala Merah tak cepat di-musnahkan," tutur Ki
Rasakgumilar. Sebentar dia menghela napas. "Sayang, aku sudah tua dan
lumpuh. Tapi aku berharap padamu, Sena. Karena
aku yakin hanya kaulah yang dapat memusnah-
kan mereka. Tapi, ingat. Mereka penuh tipu mus-
lihat. Terutama Sugrikala yang dapat menjelma ja-di serigala. Dan pandai
menyamar..."
"Terima kasih atas nasihatmu, Ki," jawab Sena sambil menganggukkan kepala.
Sementara itu Sekar Melati nampak wajah-
nya kurang ceria. Karena dia tahu Sena akan me-
ninggalkannya. Gadis cantik itu rupanya telah jatuh hati pada Pendekar Gila.
Sena sempat melirik ke arah Sekar Melati
yang duduk di sebelah kiri kakeknya. Sekar Melati pun saat itu juga sedang
menatap Sena. Akibatnya wanita itu tersenyum dan menunduk, dengan wajah memerah.
Dogol yang duduk di sebelah Sena cen-
gengesan dan menahan tawa, melihat Sena yang
juga cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Ki Rasakgumilar kemudian kembali berucap
pada Sena, setelah memejamkan mata beberapa
saat. "Sena. Kau harus cepat menyelamatkan keadaan. Ada seorang pemuda. Murid
saudara seperguruanku, juga saudara seperguruan gurumu,
Singo Edan yang membutuhkan bantuanmu. Dia
mempunyai urusan pribadi dengan Sugrikala, si
Manusia Siluman Serigala itu," tutur Ki Rasakgumilar.
"Kalau boleh tahu, siapa nama pemuda itu,
Ki?" tanya Sena ingin tahu, "Agar aku tak sulit menemukannya."
"Hem...," Ki Rasakgumilar memejamkan ma-ta lagi, setelah menghela napas dalam-
dalam. Ke- dua tangannya dilipat di depan dada.
Ki Rasakgumilar memang saudara sepergu-
ruan Singo Edan dan Ki Wibisana kakek Pasopati.
Ki Rasakgumilar yang paling tua di antara kedua
orang berilmu tinggi itu. Dirinya mempunyai ilmu yang sama dengan Singo Edan dan
Ki Wibisana. Hanya saja sedikit kelebihan Ki Rasakgumilar. Dapat mengetahui kejadian yang
akan datang dengan
tepat. "Aku tak tahu nama pemuda itu. Tapi dia memiliki senjata tombak berkepala
naga. Tombak Baruklinting," ucap Ki Rasakgumilar.
Sena menganggukkan kepala perlahan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Kalau begitu izinkan saya meninggalkan
tempat ini, Ki...," pinta Sena sambil menjura.
"Ya. Tapi kau harus berjanji, Sena. Selesai menunaikan tugasmu, cepat kembali
kemari! Jika cucu Wibisana itu hidup, bawa kemari!" pesan Ki Rasakgumilar.
"Baik, Ki. Kami mohon restu," jawab Sena.
Sena bangkit berdiri. Sekar Melati cepat
berlari ke depan mendahului Sena yang akan ke-
luar. Sedangkan Ki Rasakgumilar hanya terse-
nyum-senyum melihat cucunya.
Sesampai di luar pondok, Sekar Melati yang
hatinya sedih, mencoba menahan Sena.
"Kakang Sena. Kalau saja aku seorang pen-
dekar wanita, rasanya ingin membantu Kakang.
Dan aku akan ikut Kakang ke mana saja pergi.
Tapi, aku hanya seorang wanita gunung yang tak
bisa berbuat apa-apa...," kata Sekar Melati dengan nada memelas.
Sena menggaruk-garuk kepala, lalu dengan
lembut dipegangnya pundak Sekar Melati.
"Jangan kau putus asa! Kalau kau mau, be-
lajarlah pada kakekmu. Aku yakin, kau akan men-
jadi pendekar wanita yang disegani," hibur Sena.
"Benarkah itu, Kakang?" tanya Sekar Melati penuh semangat.
"Ya," jawab Sena pendek.
"Aku akan senang kalau Kakang Sena nanti
juga mau mengajari ilmu silat padaku...."
Mendengar ucapan yang polos dan penuh
harap itu, Sena merasa iba melihat Sekar Melati
yang ternyata cucu teman seperguruan Singo
Edan. "Aku tidak berjanji, tapi aku ingin kau mau berdoa untuk keselamatanku dan
Dogol...," kata Sena. Lalu memeluk Sekar Melati sejenak, kemudian melepaskannya
lagi. "Aku akan selalu berdoa untuk Kakang Se-


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

na. Aku tak ingin Kakang mendapat kesulitan,"
jawab Sekar Melati dengan suara lembut.
"Terima kasih. Sekarang izinkan aku pergi."
Selesai berkata begitu, Sena melangkah
meninggalkan halaman pondok itu. Dogol pun
mengikutinya, setelah memberi hormat pada Sekar
Melati. Sekar Melati memandang kepergian Sena
dengan berbagai perasaan yang ada di benak dan
hatinya. *** Tiga orang tengah berjalan menuju tempat
diadakannya pertemuan antar pendekar, seketika
menghentikan langkah. Mata mereka melihat
bayangan berkelebat cepat melintas agak jauh di
depan mereka. Seorang pemuda dengan pakaian putih, ce-
lana biru tua dan ikat kepala kain batik kecoklatan memberi isyarat pada kedua
temannya agar diam.
Di tangan kanan pemuda itu tergenggam sebatang
tombak yang ujungnya tertutup kain hitam. Pan-
jangnya sedepa.
Kemudian bayangan itu berkelebat lagi
kembali melintas di depan mereka.
"Seperti seekor binatang..."!" gumam Pasopati ketika penglihatannya dipertajam.
"Ya, seekor binatang...," timpal Barja nampak mulai ketakutan.
Sesaat tak terdengar lagi suara. Dan bina-
tang yang tadi dua kali melintas tak terlihat lagi.
Pasopati memberi isyarat agar tetap waspada. Ke-
mudian mereka kembali melangkah perlahan ke
arah tadi. Tombak di tangan kanan Pasopati dile-
takkan ke depan dada. Dia siap untuk menghadapi
lawan. Apa pun wujudnya.
"Kalau tadi memang seekor binatang. Apa-
kah binatang itu jelmaan Sugrikala"! Aku harus
waspada...," gumam Pasopati dalam hati.
Srek! Srek! Pasopati dengan cepat menghentikan lang-
kah kakinya, diikuti kedua temannya. Pasopati
yang sudah merasakan sesuatu, cepat pula mem-
buka tutup tombaknya.
Kemudian diciumnya kepala Tombak Ba-
ruklinting yang berkepala naga, kebiruan dan me-
mancarkan sinar. Kedua temannya membelalak-
kan mata ketika melihat pancaran sinar dari kepa-la tombak itu. Merasa aneh dan
kagum. "Apakah binatang itu seekor serigala
atau..."!" gumam Taragalu, sambil melebarkan matanya untuk mempertegas
penglihatannya. Namun
binatang itu sudah tak kelihatan.
Tiba-tiba muncul seekor serigala warna me-
rah besar yang hampir seperti seekor sapi. Ma-
tanya memancarkan sinar merah. Menyeringai ga-
rang. Hingga gigi-giginya yang runcing terlihat
mengerikan. "Hah"! Dialah serigala merah jelmaan Su-
grikala...!" seru Barja yang terkejut dan membelalakkan mata lebar.
Mendengar apa yang dikatakan Barja, Paso-
pati tersentak. Dia menghela napas dalam-dalam
dengan mata tetap memandang tajam ke arah se-
rigala yang menggereng, seperti menantang Paso-
pati. "Grrr...!"
"Hei! Setan siluman terkutuk! Apa pun wu-
judmu saat ini, aku tak akan terkelabui olehmu!
Hari ini aku akan menuntut balas...!" seru Pasopa-
ti tak pakai basa-basi lagi. Lalu digerakkan tangan kanannya yang memegang
tombak. Gerakannya
begitu cepat sambil menarik kaki kanan ke bela-
kang. "Grrr...! Ini rupanya anak Sumbaga itu. Dan itukah senjata saktinya yang
bernama Tombak Baruklinting..."!" gumam serigala siluman Sugrikala.
"Grrr...!"
Tanpa diduga oleh Pasopati dan kedua te-
mannya, serigala merah itu tiba-tiba menyerang
Pasopati. Ketiganya tersentak kaget dan cepat melompat mundur. Pasopati melompat
sambil me- nangkis serangan serigala itu dengan tombaknya.
Wret! Sret! Rupanya Pasopati dengan gerakan cepat,
melakukan serangan balik yang tidak diduga oleh
serigala siluman itu. Hampir saja perut binatang jejadian itu tertusuk ujung
tombak berkepala na-ga. Namun hanya bulunya yang terbawa oleh
ujung tombak Pasopati.
"Grrr...!"
Binatang siluman itu tampak kian marah.
Dengan cepat dan ganas kembali menyerang Paso-
pati. "Manusia keparat! Kau harus mati di tan-ganku, atas perbuatanmu pada
ayahku...!" dengan memaki marah, Pasopati memapaki serangan serigala yang
melompat akan menerkam kepalanya.
"Heaaa...!"
"Grrr...!"
Melihat Pasopati memapaki serangannya,
serigala siluman itu tampak terkejut. Kemudian
dengan cepat melompat ke belakang mengelakkan
tusukan tombak Pasopati yang sudah mengarah
ke dadanya. Srak! Serigala merah kemudian menghilang ke
arah semak-semak. Pasopati memburu sambil
menusuk-nusukan tombaknya.
"Iblis jahanam! Ke mana perginya serigala
siluman itu!" sungut Pasopati kesal. "Heiii, keluar-lah kau iblis...! Tunjukkan
wujud aslimu! Biar aku lebih puas membunuhmu...!" teriak Pasopati keras, sambil
mengangkat tombaknya ke atas kepala.
Sementara itu Barja dan Taragalu, hanya
bisa bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
Kedua orang itu tak berani membantu Pasopati,
karena menyadari tak mungkin mampu. Dan juga
merasa yakin Pasopati akan bisa mengatasi seriga-la siluman jelmaan Sugrikala
itu. Tiba-tiba....
"Auuung...!"
Dari arah belakang, serigala siluman me-
nyerang Pasopati. Pasopati yang terpecah pikirannya karena dilanda kemarahan,
tersentak kaget.
Namun cepat dia bisa mengendalikannya. Pasopati
cepat menundukkan kepala, sambil menangkis se-
rangan serigala siluman itu dengan tangan kanan-
nya yang memegang tombak.
Crasss...! "Aaauuung...!"
Serigala siluman melolong keras, karena
tangkisan Pasopati, ternyata juga merupakan se-
rangan yang cepat. Hingga bagian dada serigala si-
luman tergores.
Binatang jejadian itu tersungkur ke semak-
semak. Tubuhnya sesaat menggelepar-gelepar
sambil mengerang. Namun kemudian cepat berba-
lik. Matanya memancarkan sinar aneh, merah
membara. Tampaknya Sugrikala telah bertambah
marah. "Kau tak akan mampu membunuhku, Anak Muda! Akan kukurim nyawamu ke
akherat..!" tiba-tiba terdengar suara dari mulut serigala merah.
Dan bersamaan dengan itu wujudnya berubah.
Berbadan manusia, namun wajahnya tetap seriga-
la. Pasopati terkejut. Karena tombak yang tadi
mengenai dan melukai tubuh serigala merah, ter-
nyata tak mempan untuk membunuh Sugrikala.
Karena Sugrikala memiliki ilmu kebal yang dina-
makan ilmu 'Sukma Sejati'.
"Edan! Tombak pusakaku tak mampu
membunuhnya!" gumam Pasopati dalam hati. Matanya membelalak heran, memandang
Sugrikala yang tertawa-tawa mengejeknya.
"Ha ha ha...! Kau akan kukirim ke akherat
seperti ayahmu, Anak Muda! Ha ha ha...! Kau kira aku takut dengan tombak
pusakamu itu"! Ha ha
ha.... Sekarang giliranmu untuk merasakan ini.
Heaaa....!"
Selesai bicara begitu, Sugrikala melancar-
kan serangan kilat dengan ganas ke arah Pasopati.
Terjadilah saling tangkis dan pukul. Kedua-
nya kemudian melesat cepat ke atas dan terjadi
pertarungan sejenak di udara.
Plak! Plak! Blak! Blak! Terjadi pukul-pukulan dan saling tendang.
Keduanya sama-sama terdorong ke belakang dan
jatuh ke tanah. Nampak Pasopati sedikit kaget, karena pukulan Sugrikala sempat
mengenai da- danya. Meskipun tidak begitu telak, tapi cukup
menimbulkan nyeri dan sakit di dadanya.
Belum juga hilang kekagetan Pasopati, Su-
grikala yang memiliki ilmu iblis dan ilmu silat yang cukup tinggi, melancarkan
sebuah pukulan mengandung racun. Pasopati tersentak kaget bukan
main. "Celaka!" gumam Pasopati, sambil mengelakkan benda-benda tajam sebesar
jarum dan memancarkan sinar menyilaukan mata yang mele-
sat ke arahnya.
"Eit...!"
Wut! Tras! Tras! Jarum-jarum maut yang membentuk lari-
kan sinar itu runtuh, tersambar Tombak Baruk-
linting milik Pasopati. Sugrikala si Manusia Siluman Serigala menjadi murka dan
kesal, melihat serangannya dapat dimentahkan oleh lawannya.
Dengan beringas dan marah dia terus mencecar
Pasopati, yang masih belum sempurna kuda-
kudanya. "Grrr...! Mampus kau sekarang, Bocah In-
gusan...!"
Dengan menggerang Sugrikala melancarkan
serangan dahsyat kembali. Namun karena dia ter-
lalu bernafsu ingin cepat menghabisi Pasopati, serangannya yang semestinya
berhasil, kembali gag-
al. Pasopati yang tenang justru sebaliknya dapat menyarangkan pukulan tangan
kirinya. Dengan
gerakan tipu, seakan hendak menusukkan tombak
yang digenggam di tangan kanan, dengan cepat
menghantam keras. Hingga Sugrikala si Manusia
Siluman Serigala memekik keras. Tubuhnya ter-
pental beberapa tombak ke belakang. Melihat hal
itu Pasopati, mengambil kesempatan untuk meng-
habisi riwayat Sugrikala.
"Sekarang saatnya aku dapat membunuh-
mu dan membalas dendam. Heaaat!" Pasopati
menggerakkan tombaknya ke atas, lalu ke samp-
ing. Kemudian melompat sambil mengangkat tom-
bak pusakanya untuk menghabisi Sugrikala....
Namun Sugrikala ternyata hanya terluka
sedikit. Dengan cepat dihentakkan kedua tangan-
nya. Seketika Pasopati yang telah di udara dan
menghujamkan tombaknya ke arah Sugrikala,
mendadak terhenti. Mengapung di udara. Lalu
dengan cepat pula Sugrikala menghantarkan pu-
kulan dahsyatnya ke arah Pasopati.
"Heaaa...!"
Dub! Plak! "Aaa...!"
Itulah pukulan 'Samber Nyawa' yang dapat
membunuh lawan. Tubuh Pasopati terlempar jauh,
lalu terbanting ke tanah. Mulutnya mengeluarkan
darah segar. Mukanya seketika pucat.
"Ooo... benar kata Kakek... aku tak akan bi-sa mengalahkannya. Hyang Widhi...
selamatkan aku! Aku belum mau mati... sebelum dapat mem-
bunuh manusia iblis keparat itu...," gumam Pasopati dengan napas sesak.
Pada saat itu Sugrikala si Manusia Siluman
Serigala sedang menghampirinya. Pasopati beru-
saha sekuat tenaga, untuk dapat menyelamatkan
diri. Karena dia sadar, tak akan mampu melawan
dengan tenaga seperti saat ini.
Pasopati segera melesat pergi. Sugrikala jadi
geram dan murka, karena tak menemukan Paso-
pati. Amarahnya dilampiaskan pada Barja dan Ta-
ragalu yang sejak tadi hanya menonton saja.
Melihat Sugrikala menghampiri mereka,
Barja dan Taragalu segera lari. Namun Sugrikala
yang sudah marah, tak memberikan kesempatan
kedua mangsanya kabur. Dengan cepat tubuhnya
melompat dan menghadang mereka. Lalu melan-
carkan pukulan mematikan ke dada Taragalu dan
Barja. Buk! Buk!
"Aaakh...!"
Seketika Barja dan Taragalu terpekik keras.
Tubuh mereka terkapar tewas di tanah dengan da-
da robek, bagai tercabik-cabik. Sugrikala yang
bermuka serigala menyeringai puas.
"Gara-gara tombak pusaka pemuda bangsat
itu, mukaku tak dapat berubah menjadi wajah as-
liku. Inikah yang dikatakan oleh Guru padaku..."!
Kurang ajar! Aku harus mencari pemuda itu!" sungut Sugrikala geram. Seakan
menyesali dirinya
yang tidak sempat membunuh Pasopati. Kemudian
terdengar lolongannya yang panjang dan keras.
Seakan hendak memecah bumi.
6 Dari kejauhan terlihat dua orang lelaki,
yang satu tampan memakai rompi kulit ular dan
berambut ikal dengan gagah mengayunkan lang-


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kah kakinya di Lembah Galilinga. Di sampingnya
seorang lelaki bertubuh tambun berjalan sambil
memegangi perutnya yang gendut. Sepertinya ta-
kut perut itu jebol karena guncangan. Kakinya
berjalan cepat mengikuti pemuda berpakaian rom-
pi kulit ular yang tak lain Pendekar Gila.
"Dogol! Cepat...! Kau ini macam perempuan
saja. Kapan sampainya, kalau jalanmu kaya' bebek begitu...?" kata Pendekar Gila
sambil menggaruk-garuk kepala. Dipandanginya Dogol yang badan-
nya sudah bermandikan keringat.
"Aduuuh, Den... istirahatlah sebentar. Kaki saya ini seperti mau copot. Dan...
dan perut saya mau jatuh... uhhh...!" keluh Dogol sambil meringis.
Lucu tampangnya, seperti babi yang mau kentut.
Pendekar Gila cengengesan dan menghenti-
kan langkah kakinya. Lalu kembali berkata, meng-
goda Dogol. "Katanya kau mau jadi pendekar..., mau be-
lajar dan menurut padaku. Nah, sekarang turuti
perintahku! Kalau tidak aku bisa meninggalkan
kau di sini. Biar kau dimakan serigala atau binatang buas lainnya."
"Hah"!" gumam Dogol sambil melongo.
"Jangan...! Jangan tinggalkan aku. Den! Baiklah, aku mau jalan... uh!" sambil
mengeluh Dogol terpaksa meneruskan langkah kakinya dengan muka
yang sudah dibasahi keringat. Karena menahan le-
tih yang tak terkira, mukanya jadi makin lucu. Pipinya yang seperti bakpao
sepertinya akan jatuh.
Pemuda berompi kulit ular itu tertawa-tawa
geli melihat Dogol. Akhirnya dia tak sampai hati melihat Dogol.
"Baiklah... kali ini kau aku kasih istirahat.
Tapi setelah ini tak ada lagi berhenti untuk istirahat. Waktu kita sudah tak
ada. Mengerti...?" kata Pendekar Gila dengan cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. "Ya, ya, ya. Den. Terima kasih...!" kata Dogol dengan sangat gembira. Lalu dia
berlari-lari mencari tempat teduh, di bawah pohon yang agak rin-
dang. Langsung sesampai di situ Dogol duduk ber-
sandar di batang pohon. Persis gajah bengkak,
mendengus, menghela napas panjang. Tangannya
mengipas-ngipas mengusir panas dengan kain ikat
kepala, lalu mengelap keringat di wajahnya.
Pendekar Gila masih menertawainya, lalu
melangkah mendekati Dogol. Ternyata, Dogol su-
dah tertidur. Mungkin karena angin sepoi-sepoi
dan rasa letihnya yang berat, membuat lelaki berbadan gendut besar itu, cepat
tidur. Dan ngorok!
Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepa-
la. Geli melihat ulah Dogol.
"Dasar kebo! Nempel di mana saja, molor...!
Hi hi hi...!" gumam Sena dengan diiringi tawa kecil.
Lalu menggaruk-garuk kepala, melihat ke sana
kemari, seperti mencari sesuatu.
Sementara itu Dogol sudah pulas dengan ti-
durnya. Ngoroknya bertambah keras. Air liur mele-leh dari sudut bibirnya. Sena
merasa tambah geli.
Sambil menggaruk-garuk kepala, Sena berpikir.
"He he he... biar aku kerjai si Gendut ini...,"
gumamnya lirih. Lalu mengeluarkan sesuatu dari
ikat pinggangnya. Sambil tertawa-tawa Sena, men-
dekati Dogol yang asyik molor sambil ngiler itu.
Dikilik telinga Dogol dengan bulu ayam mi-
liknya. Dogol kegelian, kepalanya bergoyang-
goyang, menghindar sambil tangannya menepis.
Sena diam sejenak, lalu mengilik lubang hidung
Dogol. Dogol kegelian dan....
"Huaaajing...!"
Dogol bersin, keras. Sena tertawa senang.
Dan itu Sena lakukan berulang-ulang. Membuat
Dogol terus bersin dan menggosok-gosok hidung-
nya dengan jari telunjuknya. Namun matanya te-
tap memejam. Malah kini Dogol merebahkan ba-
dan di tanah yang ditumbuhi rerumputan. Makin
nyenyak tidurnya.
"Dasar kebo...! Tetap molor, ngorok kaya
babi...!" gerutu Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Perut Dogol yang persis
orang hamil sembilan bulan naik turun. Pusarnya yang bodong
membuat Sena kembali tertawa geli melihatnya.
Kemudian Sena kembali mengilik telinga Dogol le-
bih gencar. Mendadak Dogol terbangun dan sambil
mengomel. "Aden... mengganggu saja... uaaa...!" lalu Dogol tidur lagi.
Sena akhirnya membiarkan Dogol tidur, lalu
ngeloyor pergi seraya berseru, "Baiklah kalau kau lebih enak di sini. Selamat
tidur...! Aku mau pergi...," lalu Sena cepat melesat dan sekejap sudah tak
nampak. Dogol yang baru sadar, celingukan mencari
Sena yang sudah tidak ada.
"Hah..."! Den...! Aden.... Sena..."!" Dogol mulai cemas dan ketakutan, "Celaka!
Kenapa aku ini tertidur tadi...! Huh...!" gumam Dogol kesal sendiri. Perutnya
bertambah bergoyang cepat, karena menahan takut. Tempat itu sunyi dan jauh
dari desa. "Mati aku...! Ke mana Aden Sena..., mati aku...!" Dogol berteriak-
teriak sambil mencari-cari Sena ke sana kemari. Kemudian dia memberanikan diri
untuk meninggalkan tempat itu.
*** Dogol terus melangkah, mencari Sena. Mu-
kanya sudah tidak karuan, karena menahan ta-
kut. Kini segala macam pikiran ada di benaknya.
"Gusti... lindungi saya yang bodoh ini dari segala mara bahaya...! Mati aku...!"
gumamnya terus sepanjang jalan. Sena pun tak ditemuinya.
Tanpa terasa Dogol ternyata sudah cukup
jauh meninggalkan tempat tadi. Dan kini sampai
di suatu tempat yang semakin sepi dan menye-
ramkan. Asap mengepul menyelimuti tempat Dogol
berada. Tubuhnya terasa merinding. Bulu kuduk-
nya meremang. Dipegang sendiri tengkuknya den-
gan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya me-
nyeka keringat dingin di kening, dengan ikat kepa-la yang dilepas sejak tadi.
"Uh! Tempat ini sepi kaya kuburan...!" gumam Dogol dalam hati. Matanya melirik
ke kiri dan kanan. Seketika wajahnya pucat dengan tu-
buh gemetaran, begitu melihat sesosok tubuh ma-
nusia berjalan gontai ke arahnya. Tidak begitu jelas, karena asap masih
menyelimuti tempat itu.
Dogol yang penakut, semakin tidak karuan ha-
tinya. Ingin lari, tak bisa.
"Celaka...! Kali ini aku benar-benar mati...!
Itu pasti hantu! Aduh biyung...! Celaka waduuuh!"
kata Dogol dalam hati, ketakutan.
Kakinya tak bisa digerakkan, karena saking
takutnya. Dogol hanya bisa pasrah, ketika sosok
manusia yang berjalan gontai itu semakin dekat
dengannya. Dan....
Bruk..! Tubuh sosok manusia itu tiba-tiba roboh,
begitu berada satu tombak di hadapan Dogol yang
tengah ketakutan.
"Ukh...!"
Dogol menutup muka dengan kedua telapak
tangannya. Tubuhnya semakin gemetaran. Lalu
mencoba sekuat tenaga untuk berlari sambil ber-
seru. "Setaaan...!"
Namun begitu Dogol berbalik dan berlari, ti-
ba-tiba muncul seseorang menghadangnya.
"Huaaa...!" Dogol memekik lagi kaget. Menabrak
sosok lelaki yang menghadangnya. Perutnya yang
besar membentur tubuh lelaki muda yang meng-
hadangnya. Pemuda yang menghadang Dogol tertawa-
tawa, "Ha ha ha... hi hi hi...! Mau kabur ke mana kau..."!" terdengar suara dari
orang di depannya.
Dogol mengenali suara itu. Seketika dia
mengerutkan kening dan menegaskan pandangan
matanya, seraya mendekati orang yang menerta-
wai. Begitu semakin jelas, siapa pemuda itu, Dogol nyengir. Lalu menghela napas
panjang. "Aduuuh, Gusti! Aden telah membuat saya
kaya mau mampus!" ucap Dogol, setelah tahu kalau itu Sena.
"Ada apa memangnya?" tanya Sena seakan tak berbuat sesuatu pada Dogol.
Dogol mengusap-usap kepala, lalu perut-
nya. "Den, ada mayat di sana..., ngeri! Hi hi hi...!"
Dogol menunjuk ke tempat sosok manusia
tertelungkup di tanah dengan keadaan terluka.
Sena segera melangkah mendekati orang
yang dikatakan Dogol tadi. Sena memeriksanya
sambil berjongkok. Dogol mengikuti dengan mimik
muka masih ketakutan. Jalannya mengendap-
endap. "Masih hidup...," gumam Sena lirih, lalu membalikkan tubuh lelaki muda
yang di tangan kanannya masih menggenggam sebatang tombak,
berkepala naga. Sena agak terkejut melihat tom-
bak dalam genggaman pemuda itu. Ditatapnya
pemuda yang hampir mati itu. "Mungkinkah pe-
muda ini yang disebutkan Ki Rasakgumilar...?"
tanya Sena dalam hati. Lalu Sena segera menggo-
tong tubuh pemuda itu ke tempat yang lebih aman
dan sepi. Dogol mengikuti di belakang.
Setelah membaringkan tubuh pemuda itu
Sena mulai memeriksa lebih seksama. Kemudian
mengobatinya. Di dada pemuda berpakaian putih
itu ada tanda hitam kebiruan, bekas pukulan dah-
syat. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya
Pendekar Gila terus berusaha menyembuhkan dan
menyelamatkan pemuda itu dari kematian. Karena
Sena tahu luka dalam yang dideritanya sangat
berbahaya. Setelah beberapa lama, pemuda itu mulai
dapat menghela napas dengan sempurna. Bahkan
dapat menggerakkan tubuhnya perlahan. Sena
dan Dogol yang duduk bersila di dekat pemuda
yang masih telentang di hadapannya, menanti
dengan sabar. "Ooo... ukh...!" sambil menggeliat pemuda itu membuka mata. Mulutnya tersengal,
seperti hendak batuk. Sena nampak tenang, lalu bangkit dari du-
duknya dan beranjak pergi sambil menggaruk-
garuk kepala. Dogol heran, tak berani bersuara
atau menegur Sena. Hanya melongo melihat ke-
pergian Sena. "Jangan tinggalkan dia, tunggu sampai dia
siuman betul...!" ucap Sena pada Dogol.
Sementara pemuda berpakaian serba putih
itu mulai sadar. Matanya kini sudah mulai terbu-
ka, memandang sekeliling, lalu menoleh ke arah
Dogol yang duduk bersila menungguinya. Dogol
tertawa renyah, sambil mengusap-usap perutnya
yang gendut. Pemuda itu segera bangun, perlahan.
Merasa heran....
"He he he... tenang, Anak Muda! Kau telah
kuselamatkan he he he...!" kata Dogol mengaku-aku kalau dia yang menyembuhkan
pemuda itu. Dengan menepuk dadanya.
"Ooo... kau...?" tanya pemuda itu masih kelihatan lemas.
"Ya, aku... tenang, Anak Muda. Jangan gu-
sar atau takut! Tak ada orang yang akan menyaki-
timu lagi. Kalau saja ada akan kupelintir batang lehernya. He he he...!" ucap
Dogol meyakinkan.
Sambil menepuk-nepuk kembali dadanya lebih ke-
ras, hingga akhirnya dia terbatuk-batuk.
Pemuda yang baru sadar itu mengerutkan
kening, seperti kurang percaya dengan ucapan Do-
gol. "Tapi... di mana aku saat ini. Tempat apa ini, Sobat?" tanya si pemuda
berpakaian putih ingin tahu, sambil menyapu sekeliling tempat yang
sunyi itu. "Hah"!" terkejut Dogol ditanya begitu karena dia tak tahu dan bodoh, membuat dia
gelagapan. "Oh, ini tempat orang-orang sakti seperti aku. Tak ada orang lain yang berani
memasuki tempat se-seram ini...," jawab Dogol terus berbohong. Me-nyombongkan
diri. Dan sebentar-sebentar dia
memperagakan tangannya dengan jurus-jurus si-
lat. Hingga membuat pemuda itu mengerutkan
kening, sedikit mempercayai ucapan Dogol. Sebab
gerakan tangan Dogol seperti memang gerakan ju-
rus-jurus aneh dan menarik.
"Wah, Sobat tentunya memiliki ilmu olah
kanuragan yang hebat. Terima kasih atas perto-
longanmu terhadap diriku...," ucap pemuda itu ramah. Mendengar pujian dari
pemuda yang masih
menggenggam tombak berkepala naga itu, Dogol
kini berdiri memperagakan jurus-jurus yang per-
nah dilihatnya dari Sena.
Pada saat itu muncul Sena membawa rem-
pah-rempah dan dedaunan untuk obat. Dogol se-
ketika menghentikan gerakan silatnya yang asal-
asalan itu. Lalu cepat membalikkan badan, malu.
Pemuda itu pun terkejut begitu melihat Sena yang tiba-tiba muncul.
"Rupanya kau sudah mulai bertenaga, So-
bat...," kata Sena sambil berjongkok menaruh rempah-rempah.
"Oh, siapakah kau...?" tanya pemuda itu dengan wajah keheranan. Dan sesekali
melihat ke arah Dogol yang tak berani melihat mukanya.
Bahkan si Gendut membalikkan badan membela-
kangi mereka. Pemuda itu mulai mengerti kalau
penolongnya orang yang tengah membuat api, gu-
na menggodok dedaunan sebagai obat. Pemuda itu
tersenyum-senyum.
"Sobat, kau belum menjawab pertanyaanku,
siapakah kau. Kenapa menolongku..." Kukira aku
tadi sudah di neraka," kata pemuda itu dengan suara serak, dan masih belum kuat
betul tubuh- nya. Lalu batuk-batuk.
Sena hanya menoleh sebentar, lalu kembali


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sibuk mengaduk-aduk dedaunan yang dimasak di
dalam batok kelapa tua.
"Dogol... Tolong aduk terus dedaunan dalam
batok ini, sampai benar-benar warnanya beru-
bah...!" seru Sena kemudian pada Dogol.
Sena melangkah mendekati pemuda yang
nampak masih lemas. Menatap sejenak, seakan
menyelidiki. Lalu Sena kembali berkata sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengar-cengir.
"Untung kau masih bisa bertahan. Orang
lain mungkin sudah mati. Aku yakin kau bukan
orang sembarangan. Lawanmu itu pasti orang
yang sangat tinggi ilmunya...."
Sena sebenarnya sudah mengetahui siapa
pemuda yang ditolongnya. Hanya saja dia tak se-
mudah itu menerima orang yang belum pernah di-
kenal. "Apakah aku akan pulih seperti sediakala?"
tanya pemuda itu dengan mengerutkan kening,
tampak sedih. "Ya. Asalkan kau nanti minum obat yang
kubuat itu sampai habis," sahut Sena sambil terus menggaruk-garuk kepala. "Dan
kalau boleh tahu siapa lawanmu itu. Apa masalahnya hingga kau
bertarung dengannya?" tanyanya kemudian sambil cengengesan. Dan seperti biasanya
Sena bertingkah seperti orang gila.
Pemuda itu mengerutkan kening, tengah
berusaha mengingat sesuatu. Dengan memegangi
kening dia terus memandangi tingkah Sena yang
baginya aneh. "Oh, ya... Kakek Wibisana pernah berpesan,
aku harus menemui seorang pendekar.... Ya, pen-
dekar yang bertingkah aneh seperti orang gila.
Dengan julukan Pendekar Gila.... Apakah dia ini
orangnya...?" tanya pemuda itu dalam hati, sambil masih menahan perih di dalam
dadanya. Lalu ketika dia akan menanyakan pada Sena yang sudah
mengangkat batok berisi obat dari dedaunan, tiba-tiba tubuhnya roboh.
"Hah"!" Dogol kaget dan segera menghampiri pemuda itu. "Aden... orang ini
pingsan!" "Ya, hanya sebentar. Angkat kepalanya! Aku
akan meminumkan ramuan ini segera. Agar cepat
pulih...."
Lalu Sena berjongkok meminumkan obat
ramuan itu sampai habis. Kemudian Dogol kemba-
li merebahkan kepala pemuda itu ke pangkuan-
nya. "Apakah dia akan pulih kembali, Aden...?"
tanya Dogol yang ikut iba melihat keadaan pemu-
da itu. Sena hanya menganggukkan kepala. Lalu
mengambil tombak yang terlepas dari genggaman
tangan kanan pemiliknya. Ujung tombak masih
terbungkus kain hitam. Setelah meniliti tombak
itu, sejenak Sena menoleh ke arah pemuda yang
masih belum sadar di pangkuan Dogol. Lalu kem-
bali melihat tombak dan tersenyum-senyum sam-
bil menggaruk-garuk kepala.
"Apakah orang ini musuh kita, Aden...?"
tanya Dogol yang selalu ingin tahu.
"Dia ternyata orang yang kita cari. Seperti pesan Ki Rasakgumilar, kakeknya
Sekar Melati. Kasihan... aku sudah duga sebelumnya," tutur Se-na pada Dogol.
Sementara pemuda itu mulai dapat mem-
buka matanya. Wajahnya nampak lebih sehat, tak
sepucat tadi. Matanya langsung membelalak, keti-
ka melihat Sena sedang menimang-nimang tombak
pusakanya. Dia segera bangun dari tidurnya dan
mendekati Sena.
"Jaga tombak ini baik-baik! Kau akan cela-
ka jika jatuh di tangan orang lain," kata Sena sebelum pemuda itu coba
menegurnya. "Oh... terima kasih. Tapi bolehkah aku se-
kali lagi bertanya?"
"Apa yang ingin kau tanyakan...?" Sena balik bertanya dengan ramah.
"Apakah kau yang bernama Sena... hm...,"
berpikir sejenak pemuda itu. "Sena Manggala atau Pendekar Gila itu?" lanjutnya
penuh semangat Dogol ingin membenarkan sambil berdiri,
namun cepat Sena memelototinya. Hingga Dogol
kembali bungkam. Dia hanya bisa cengar-cengir
serta mengusap-usap perutnya yang buncit.
"Kalau toh benar, aku orangnya, ada masa-
lah apa...?" tanya Sena menyelidik. Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Oh, sungguh beruntung aku dapat berte-
mu dengan Tuan Pendekar," kata pemuda itu lalu menganggukkan kepala memberi
hormat pada Se-na.
"Eee... jangan kau berbuat macam itu. Aku
bukan gurumu atau raja. Aku hanya orang biasa
seperti dirimu...," kata Sena sambil mencegah pemuda itu membungkuk, menjura
padanya, "Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan berbuat
seperti itu! Aku tak mau,"
"Oh, sungguh kau seorang pendekar sejati.
Ini sebuah pelajaran bagiku. Benar kata Kakek
dan guruku, bahwa kau adalah pendekar yang
disegani lawan ataupun kawan dan berilmu tinggi.
Maafkan aku! Namaku Pasopati. Cucu Ki Wibisa-
na..." tutur Pasopati memperkenalkan diri.
Sena malah tertawa-tawa dan menggaruk-
garuk kepala. Lalu manggut-manggut
"Jadi, kau yang bernama Pasopati, murid
dari cucu Ki Wibisana" Apakah tombak itu yang
disebut Tombak Baruklinting...?" tanya Sena pada Pasopati.
"Ya, benar. Kakekku bilang, bahwa aku
akan bisa membunuh Sugrikala si Manusia Silu-
man Serigala itu, jika aku bertemu denganmu. Ka-
rena hanya kaulah yang dapat membunuh Sugri-
kala, yang telah membunuh ayahku...," tutur Pasopati penuh semangat "Dan
tombakku ini akan lebih ampuh jika dipadukan dengan Suling Naga
Saktimu.... Untuk melawan Serikat Serigala Me-
rah. Menurut kakekku, Sugrikala ketua kelompok
sesat itu...."
Sena mengerutkan kening, dan melirik seje-
nak pada Suling Naga Sakti-nya yang terselip di
pinggang. Sesaat keduanya berdiam diri. Sena meng-
garuk-garuk kepala dan cengengesan. Dogol me-
mandangi kedua pemuda di depannya sambil
mengusap-usap perut dan melongo menantikan
apa yang akan dilakukan atau ucapkan keduanya.
"Bagaimana kau bisa begitu cepat bertemu
dengan Sugrikala si Manusia Siluman Serigala
itu...?" tanya Sena membuka percakapan lagi.
"Aku pun tak menduga dan tak mengerti.
Bagaimana dia bisa mengetahui kalau aku sedang
mencarinya, untuk membalas dendam" Apakah
Kakang Sena tahu...?" tanya Pasopati setelah menjawab pertanyaan Sena.
"Aku pun heran, bagaimana dia bisa menge-
tahui. Tapi tak heran, karena dia memiliki Serikat Serigala Merah yang
kebanyakan anggotanya berilmu siluman. Persis setan, roh jahat yang selalu
mengintai kita. Aku yakin dengan ilmu sesatnya
itulah gurunya Sugrikala dapat mengetahui sega-
lanya. Lalu disampaikan kepada Sugrikala...," tutur Sena.
Pasopati mengangguk-anggukkan kepala.
Membenarkan ucapan Sena. "Lantas, bagaimana cara untuk melawan dan meringkus
manusia siluman itu, Kakang Sena..."!" tanya Pasopati.
Sena tak langsung menjawab. Dia hanya
cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepala.
"Apakah tujuanmu juga akan ke pertemuan
para tokoh-tokoh persilatan di Candi Borobu-
dur...?" tanya Sena tiba-tiba.
"Hm... sebenarnya tidak. Tapi karena bebe-
rapa hari lalu aku bertemu dua orang bernama
Barja dan Taragalu. Mereka menceritakan, bahwa
di Candi Borobudur akan diadakan pertemuan
pemilihan ketua persilatan. Maka aku ikut dengan mereka...."
"Lalu ke mana kedua temanmu itu?" tanya Sena menyelidik.
"Tak tahu, karena waktu itu aku terluka
dan lari dalam pertarungan dengan Sugrikala. Ke-
tika dalam perjalanan.... Mungkin mereka telah
mati, dibunuh Sugrikala," jawab Pasopati dengan suara lirih. Kemudian menghela
napas panjang. Sena menganggukkan kepala, mengerti.
"Kita tak perlu banyak bicara lagi. Sekarang semuanya sudah jelas. Sebaiknya
kita cepat tinggalkan tempat ini. Ayo, kita harus cepat menuju
Candi Borobudur...!" ajak Sena, lalu melangkah pergi, diikuti Pasopati yang
berjalan di sisi Sena, dan Dogol mengikuti mereka di belakang.
7 Dalam perjalanan menuju Candi Borobu-
dur, Sena, Pasopati, dan Dogol mendapat hamba-
tan lagi. Sepuluh orang yang semuanya hanya
memakai cawat dari kulit binatang menghadang di
jalan. Tubuh mereka ditumbuhi bulu-bulu merah.
Kesepuluh lelaki berwajah mirip serigala itu me-
nyeringai dengan sikap menantang.
"Aha, ada badut ingin berkenalan dengan
kita rupanya. Hi hi hi!" kata Sena dengan nada mengejek, "Pasopati, kita harus
cepat menghabisi permainan kita dengan badut-badut hutan ini."
"Benar Kang Sena. Mari, kita layani mere-
ka!" jawab Pasopati dengan penuh semangat. Dan segera dia bergerak ke kanan
beberapa langkah,
menjauhi Sena. Pada saat bersamaan, lima orang manusia
aneh bermuka serigala itu mengurung Pasopati.
Dan sisanya mengurung Sena.
"Hi hi hi...! Binatang jejadian ini harus dicincang lalu dipanggang!" seru Sena
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Grrr...!"
"Auuung...!"
Serentak kelima manusia bercawat menye-
rang Sena. Dan Pendekar Gila melenting ke udara
mengelak dari terkaman manusia-manusia aneh
itu. Lalu tanpa berlama-lama, Sena dengan cepat
balik menyerang mereka. Dilancarkannya pukulan
dahsyat, ketika kelima manusia-manusia aneh itu
kembali menyerangnya.
"Heaaat...!"
Srats! Selarik sinar melesat dari kedua pukulan
Pendekar Gila. Dan....
Jglar! "Aaauuung...!"
Kelima manusia berwajah serigala menge-
rang panjang, dan disusul robohnya tubuh mereka
yang hanya mengenakan cawat. Kelimanya meng-
gelepar-gelepar lalu kejang-kejang. Sesaat kemu-
dian semua diam tak berkutik lagi.
Sena menghela napas lega. Lalu melihat ke
arah Pasopati yang masih menghadapi kelima la-
wannya. Gerakan Pasopati lincah dan cepat dalam
memainkan senjata andalannya. Dan pada saat
yang tepat, Pasopati dapat memukul dua orang se-
kaligus, dengan Tombak Baruklinting. Seketika
kedua lawannya mengerang panjang dan terkapar
tewas. Namun tanpa setahu Pasopati, dari bela-
kang dua orang lawan melompat menerkamnya.
"Awas...!" seru Dogol yang bersembunyi di balik pohon. Sementara Sena hanya
memandangi sambil cengengesan.
Mendengar itu dengan gerakan secepat ki-
lat, sambil berbalik Pasopati menghantamkan
tombaknya ke arah lawan yang ingin membokong
dari belakang. Dan seketika kedua manusia ber-
wajah serigala ambruk dan mati.
"Grrr...!"
Seorang lagi yang bertubuh paling besar
menggereng marah. Dengan buas dia menyerang
Pasopati. Pemuda yang memegang Tombak Baruk-
linting itu segera mengelak dengan melenting ke
udara. Ketika mendarat, manusia bercawat itu
kembali menyerangnya dengan lompatan seekor
serigala menerkam mangsa. Namun Pasopati su-
dah menduga sehingga dengan gerakan cepat di-
papaknya terkaman lawan. Ditusukkan tombak-
nya, tepat di leher manusia bermuka serigala.
Jrap! "Aaauuung...!"
"Heaaa...!"
Pasopati mengangkat tombaknya yang ma-
sih menancap di leher lawan, lalu melemparkan-
nya jauh-jauh. Wesss! Tubuh manusia serigala itu melayang dan
terbanting keras di bebatuan. Tubuhnya hancur
berlumuran darah.
Pasopati menghela napas lega. Lalu menu-
tup ujung tombak berkepala naga dengan kain hi-
tam. Dogol yang sejak tadi bersembunyi dan ge-
metaran, melangkah keluar mendekati Pasopati.
Lalu mengacungkan jempolnya.
"Edan! Hebat tombak pusakamu itu.... He
Tiga Dara Pendekar 26 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas 4 Warriors Karya Wen Rui An Pendekar Latah 31
^