Pencarian

Serikat Serigala Merah 1

Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah Bagian 1


SERIKAT SERIGALA MERAH Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Serikat Serigala Merah
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Sore itu di sebuah pondok yang letaknya
terpencil di luar Desa Kadipura di dekat sebuah
danau. Sepasang muda-mudi sedang bercinta. Da-
ri luar samar-samar terdengar suara tawa manja
seorang wanita. Seperti kegelian.
Benar, di dalam pondok yang mungil ter-
buat dari bilik dan beratapkan daun kelapa yang
dikeringkan, sepasang muda-mudi tengah asyik
bercumbu. "Aku merasa gemetar, Kakang Sumbaga...,"
terdengar suara lembut dari mulut wanita. Ternya-ta seorang gadis berparas
cantik. Dia duduk di
pinggir balai-balai dalam rangkulan lelaki bernama Sumbaga itu. Lelaki muda
berwajah cukup tampan. Sumbaga tersenyum, melihat kekasihnya
yang gemetaran dengan wajah merah padam. Per-
lahan didekap tubuh kekasihnya lebih erat, mem-
buat wanita muda itu seakan tersengal untuk ber-
napas. Namun di hatinya merasa senang.
"Rasanya Kakang tak ingin lebih lama me-
nunggu, Nila Sari...," desah Sumbaga lirih di telinga kekasihnya, sambil terus
merangsang gadis
bernama Nila Sari. Sampai pada akhirnya, kini
berbalik Nila Sari yang lebih bersemangat. Dengan sedikit manja diciumnya pipi
Sumbaga, lalu terus ke bibir lelaki muda itu. Darah Sumbaga seketika berdesir
hebat. Hatinya bergejolak bagai air men-didih.
Sumbaga mencoba bertahan dari amukan
badai yang menerjang-nerjang di lubuk hatinya.
Namun ternyata badai itu lebih besar dan kuat
menghantam. Tak ayal lagi, gelombang nafsu yang
dilancarkan Nila Sari seketika menjebol benteng
hati Sumbaga. Sebenarnya Sumbaga tak ingin
berbuat lebih jauh. Karena lima hari lagi mereka akan menikah. Namun apa boleh
buat. Sekejap saja keduanya dilanda badai birahi
yang luar biasa. Dan akhirnya terlelap dalam hening dan lenguhan-lenguhan
panjang yang men-
dayu. Tanpa diketahui oleh kedua insan yang su-
dah bermandi keringat itu, ada sepasang mata
tengah mengintip dari celah-celah bilik gubuk.
"Kurang ajar! Aku kalah selangkah lagi den-
gan si Monyet itu...!" sungut orang yang mengintip jengkel. Namun geram, mukanya
terbersit dendam
pada Sumbaga. Lelaki itu berpakaian serba kun-
ing, dengan ikat kepala layaknya orang-orang Su-
matera warna hitam. Namun kemudian berkelebat
pergi. Sementara itu, dua insan yang ada di dalam pondok telah terkulai lemas di
atas balai-balai. Ni-la Sari yang tubuhnya hanya ditutupi kain sebatas dada,
memeluk dada Sumbaga yang telentang. Ma-ta pemuda itu menatap langit-langit
pondok. Sea- kan ada sesuatu yang tengah dipikirkan.
"Kenapa Kakang melamun..." Apa yang kau
pikirkan, Kakang Sumbaga"!" tanya Nila Sari dengan kening berkerut. Suaranya
begitu lembut, mi-
rip desahan. "Ooo.... Tidak apa-apa, Nila...," jawab Sumbaga agak gugup. Lalu mencium kening
Nila Sari lembut. "Kakang jangan membohongiku! Katakan,
biar aku merasa lega...," desak Nila Sari. Jari-jarinya yang halus mempermainkan
bulu-bulu da- da Sumbaga. Setelah berpikir beberapa saat, barulah
Sumbaga mulai menjelaskan.
"Kau benar, Nila!.... Aku harus mengatakan
hal ini padamu," kemudian Sumbaga menghela
napas sejenak. "Aku tengah memikirkan Sugrikala.
Dia pasti murka jika mengetahui hal ini...."
"Kenapa Kakang cemas...?"
"Hhh..., bagaimana tidak cemas, Nila. Su-
grikala kini telah menjadi hamba tokoh sesat yang bernama Reski Jalatula.
Seorang yang menganut
ilmu hitam dan sihir...! Dia Manusia Siluman Serigala. Dan kini Sugrikala telah
memiliki ilmu 'Rubah Wujud' itu...," jawab Sumbaga dengan suara agak serak.
"Jadi, Sugrikala juga menjadi serigala..."!"
tanya Nila Sari kaget dengan mata membelalak.
Jantungnya seketika berdetak lebih cepat. Ada perasaan tegang dan cemas di
hatinya, mendengar
keterangan Sumbaga.
Nila Sari perlahan menggeliat dalam kea-
daan telentang. Matanya menatap langit-langit dari daun kelapa. Mulai teringat
di benaknya wajah
Sugrikala ketika pada suatu ketika menyatakan isi hatinya pada Nila Sari.
"Aku sudah lama ingin mengutarakan isi
hatiku, Nila... Dan baru hari ini aku berani me-
nyampaikan padamu. Aku mencintaimu...," kata Sugrikala pada waktu itu penuh
perasaan. Nila Sari tak menjawab, membuatnya se-
makin panasaran. Sugrikala berjanji akan menda-
patkan Nila Sari dengan cara apa pun. Dia tidak
mau kalah dengan Sumbaga saudara sepergu-
ruannya dulu. "Kenapa kau melamun, Nila?" tanya Sum-
baga tiba-tiba, membuat Nila Sari tersentak kaget.
Sadar dari lamunannya. Meskipun gugup Nila Sari
mencoba untuk tersenyum. Lalu dimiringkan tu-
buhnya kembali, dan memeluk dada Sumbaga.
Sumbaga tahu kalau kekasihnya tengah
memikirkan sesuatu. Dia merasakan ada kecema-
san di hati Nila Sari. Namun lelaki muda itu tak mau mendesak kekasihnya. Dia
malah memeluk erat-erat tubuh Nila Sari yang putih mulus itu,
sambil menciumi keningnya penuh kasih sayang.
*** "Bangsat! Aku harus bunuh si Sumbaga.
Akan kuminum darahnya demi menghapus keke-
cewaanku...! Dia telah mengkhianatiku. Dia sudah berjanji akan melepaskan Nila
Sari, dan akan memberikannya padaku.... Tapi nyatanya dia
memperdayaiku. Kurang ajar!" gerutu lelaki muda berpakaian serba kuning itu
sambil terus melesat ke arah hutan. Menerjang apa saja yang ada di depannya. Tak
mempedulikan semak-semak belukar
maupun pepohonan terus diterjangnya. Seakan-
akan hatinya tak sabar untuk segera sampai ke
tempat yang dituju.
Akhirnya lelaki muda itu sampai di suatu
tempat yang amat sunyi. Suatu tempat yang tidak
berapa luas, dikelilingi pohon beringin, dengan
akar-akarnya yang panjang terjuntai ke bawah.
Cukup sunyi dan seram tempat itu. Lelaki yang
dikenal dengan nama Sugrikala itu cepat melom-
pat ke atas sebongkah batu berbentuk lonjong, la-lu duduk bersila.
Dilipat kedua tangannya mendekap dada.
Beberapa saat kemudian, setelah menghela napas
dalam, mulutnya bergumam lirih.
"Guru, tolonglah muridmu ini! Hatiku san-
gat terluka. Aku telah dikhianati oleh saudara sepupu ku.... Datanglah Guru,
datang...!" suara Sugrikala kemudian hilang. Dengan mata terpejam
mulutnya tampak berkomat-kamit, entah apa yang
diucapkan. Cuaca sore yang semula cerah, tiba-tiba be-
rubah mendung. Angin berhembus kencang
menghantam tubuh Sugrikala. Namun sedikit pun
lelaki gagah berpakaian kuning itu tak bergerak.
Bersamaan dengan datangnya hembusan angin,
tubuh Sugrikala berasap. Sesaat kemudian mun-
cul sesosok bayangan dari bawah tanah. Gerakan-
nya yang halus dan begitu lembut tak menimbul-
kan suara. Bagai roh keluar dari jasad manusia
yang baru mati.
Dari mulai samar-samar bentuknya, perla-
han-lahan menjadi wujud yang nyata. Seorang le-
laki tua dengan muka garang, berambut hitam dan
panjang. Matanya bagai serigala menyorot merah
dan bengis. Tubuhnya terbungkus kain putih pan-
jang. Sugrikala perlahan membuka mata. Setelah
menjura dan menyembah dia turun dari atas batu
tempat duduknya.
"Ampuni hamba. Guru...!" kata Sugrikala sambil mencium kaki gurunya.
"Aku mendengar keluhanmu, Sugrikala.
Ada apa...?" tanya lelaki tua yang ternyata Reski Jalatula. Manusia Siluman
Serigala. Wajahnya
memang mirip serigala.
"Hamba ingin Guru dapat membantu untuk
membalas sakit hati hamba. Telah lama hamba
mendambakan Nila Sari, Guru...," tutur Sugrikala memohon.
"Hm...! Aku mengerti. Kau adalah muridku
yang setia. Maka aku akan membantumu, Sugri-
kala. Bersiaplah...!"
Selesai berkata begitu, lelaki tua itu segera
menjamah kedua bahu Sugrikala. "Ilmu ini kutu-runkan padamu mulai hari ini,"
ucap lelaki tua itu dengan suara serak.
"Terima kasih. Guru...."
"Namun kau harus ingat, jika kau sudah
mendapatkan mereka. Bunuh lelaki itu dan da-
rahnya harus segera kau persembahkan untukku.
Mengerti..."!" ujar Reski Jalatula.
"Baik, Guru.... Akan hamba laksanakan,"
jawab Sugrikala mantap.
Kedua telapak tangan Reski Jalatula bera-
sap. Dan tubuh lelaki tua itu perlahan-lahan me-
masuki raga Sugrikala. Seketika badan Sugrikala
bergoyang kencang. Asap semakin tebal menyeli-
muti tubuh Sugrikala. Lalu....
"Hiiiaaa...! Auuung...!" terdengar teriakan keras memecah keheningan hutan,
disusul dengan suara lolongan serigala.
Seketika tubuh Sugrikala menjelma menjadi
seekor serigala hitam yang besar. Sepasang ma-
tanya menyorot merah bagai api. Ketika menyerin-
gai nampak taringnya yang runcing tajam menge-
rikan. Lalu serigala siluman Sugrikala berkelebat menerobos semak-semak hutan.
*** Namun ketika sampai di pondok tempat tadi
Sumbaga dan Nila Sari bercumbu rayu, telah ko-
song. Serigala siluman itu mengendus-endus men-
cari jejak kedua muda-mudi tadi.
"Grrr...!" serigala siluman itu menggereng dan menyeringai. Seakan marah dan
kesal, karena orang yang dicari tak ada. Segera siluman serigala itu berlari menuju jalan ke
desa. Ternyata benar, Sumbaga dan Nila Sari se-
dang berjalan menuju arah Desa Kadipura.
"Aku tak tenang jika belum membunuh dan
menghisap darah Sumbaga!" batin Sugrikala yang telah menjelma serigala besar
itu. Matanya yang tajam memancarkan sinar
kemarahan yang buas dan mengerikan. Hari men-
jelang malam. Langit gelap terselimut mendung
tebal, membuat suasana terasa mencekam. Tak
lama serigala jadian itu berlari, seketika matanya memandang ke depan dengan
beringas. Tampak di
depannya agak jauh dua muda-mudi berlari-lari.
"Grrr...!" serigala siluman itu semakin mempercepat larinya. Desiran angin dari
larinya, terasa bagaikan topan puting beliung, yang mampu menggoyangkan
pepohonan. Hal itu terasa oleh
Sumbaga yang seketika memalingkan muka ke be-
lakang. Sesaat Sumbaga tersentak kaget, darahnya seketika mendesir. Sumbaga
telah menduga kalau
serigala itu merupakan jelmaan Sugrikala.
"Hm, celaka! Rupanya dia telah mengejar ki-
ta. Aku harus menghadapinya. Mati atau pun hi-
dup aku terpaksa menghadapi serigala itu," gumam hati Sumbaga.
"Nila Sari, kau menyingkirlah dulu!"
"Kenapa, Kakang?" tanya Nila Sari heran dan mengerutkan kening. Kemudian menoleh
ke sana kemari, karena tak mengerti.
"Kau pergilah dulu! Bila aku tak menyusul-
mu, itu berarti aku telah mati di tangan Sugrika-la...!" Nila Sari terkesiap,
tatkala melihat seekor serigala hitam dan besar berlari kencang menuju
arah mereka. Mata serigala itu menyorotkan sinar merah membara bagaikan bola
api, menghunjam
mata Nila Sari.
"Menyingkirlah, Nila...!" seru Sumbaga lagi, sambil menghentak Nila Sari dengan
tangan kirinya. "Tapi, Kakang," Nila Sari bermaksud menolak. Hatinya bimbang dan
ragu untuk meninggal-
kan Sumbaga. Ia takut kalau-kalau serigala itu
akan mengoyak-ngoyak tubuh Sumbaga, calon su-
aminya itu. "Aku katakan, menyingkirlah! Demi dirimu,


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biarlah aku menghadapi iblis itu sendirian. Cepat kau pergi dari sini, Nila....
Selamatkan dirimu dan calon anak kita, Nila...!" perintah Sumbaga.
Mereka rupanya sudah sering melakukan
hubungan badan. Sehingga Sumbaga yakin ada
calon bayi anaknya, di perut Nila Sari yang lima hari lagi bakal jadi istrinya.
Sesaat Nila Sari terdiam memandang lekat
pada Sumbaga. Ada kebimbangan dan kecemasan
membayang di wajahnya. Memahami perasaan
sang Kekasih, Sumbaga segera mengecup lembut
kening Nila Sari seraya berbisik, "Pergilah, jangan sampai kita berdua mati
konyol! Ingat, didik anak kita! Ajarkan ilmu olah kanuragan, dari orang yang
berilmu tinggi. Aku yakin anak kita di rahimmu
laki-laki...."
"Ohhh...!"
Nila Sari hanya bisa bergumam pendek. Air
matanya tak bisa dibendung lagi. Menetes di pi-
pinya. "Nah! Berangkatlah, cepat pergi! Aku hanya berdoa, semoga Sugrikala tak
akan mencelakai-mu," ucap Sumbaga dengan suara berat.
Setelah menatap tajam wajah Sumbaga se-
saat, dengan hati berat dan bimbang Nila Sari beranjak meninggalkan kekasihnya.
Kini Sumbaga berdiri tegak menanti kedatangan serigala siluman jelmaan Sugrikala. Matanya
dengan tajam menan-
tang sorot mata serigala jejadian itu. Mulutnya
terkunci rapat, sepertinya tak ingin mengucap kata sepatah pun. Ketika serigala
jejadian itu makin
mendekat, Sumbaga segera melangkah mengham-
pirinya. "Sumbaga, hari ini tamatlah riwayatmu!"
suara Sugrikala terdengar dari mulut serigala itu.
"Kau telah mengkhianati janjimu, membohongiku!
Pengkhianat busuk, Sumbaga...!"
"Sugrikala, kau memang tak selayaknya
menjadi seorang ayah. Kau telah bersekutu den-
gan orang-orang jahat yang berilmu sesat. Aku tak ingin Nila Sari menjadi
korbanmu kelak. Ketahui-lah, bahwa Nila Sari sudah digariskan untuk men-
jadi istriku...," bantah Sumbaga dengan suara lantang dan tegas. Tak ada rasa
takut sedikit pun.
Wajar saja, karena Sumbaga anak Tumenggung
Kartapati yang kini telah tiada. Mati dalam per-
tempuran melawan tokoh-tokoh sesat. Termasuk
Serikat Serigala Merah. Di situ termasuk guru Sugrikala. Dan kini Sugrikala
telah menjadi anggota Serikat Serigala Merah itu!
"Hem...! Jangan banyak omong! Aku tak
akan tenang sebelum menghisap darahmu. Dan
bila perlu kekasihmu itu juga akan kuhisap da-
rahnya...! Hiaaa... grrr...!"
Rupanya kemarahan Sugrikala tak terben-
dung lagi. Sehingga tanpa banyak kata lagi, serigala besar itu langsung melompat
menyerang Sum- baga. Sebagai seorang putra Tumenggung Karta-
pati dari Kelompok Panca Leluhur Sakti, Sumbaga
tak memperlihatkan kegentaran. Jiwa dan darah
kependekaran memaksanya tersenyum. Bukan se-
nyum bahagia, melainkan senyuman yang seakan
membangkitkan dia dari ketidurannya.
Semenjak ayahnya meninggal, Sumbaga le-
bih banyak berdiam diri di rumah, seakan melu-
pakan dunia persilatan. Walaupun demikian, bu-
kan berarti pemuda itu kehilangan kependekaran-
nya. Ilmunya sebagai anak Ketua Panca Leluhur
Sakti tidak bisa dianggap ringan. Namun seperti
kata pepatah, rejeki, maut, jodoh, dan nasib bukan manusia yang menentukannya.
Seperti juga pertarungan Sumbaga melawan Sugrikala.
Kelicikan Sugrikala si Serigala Siluman itu
mengakibatkan Sumbaga jatuh ke jurang. Tubuh
Sumbaga melayang ke dasar jurang yang sangat
curam. Hal itu terjadi ketika dirinya menghindari serangan Sugrikala yang secara
tiba-tiba berubah wujud. Jelas, tubuhnya akan hancur di dasar jurang. Sugrikala
sejenak terkesima melihat mu-
suhnya yang hendak dihisap darahnya, tiba-tiba
tanpa dia duga melayang ke jurang. Sugrikala gag-al untuk menghisap darah
Sumbaga. Maka seba-
gai pelampiasan kemarahan, ditendangnya batu
besar yang seketika menggelinding jatuh ke ju-
rang. Setelah sesaat terpaku di tempatnya, Sugrikala teringat dengan Nila Sari
yang berlari meninggalkan Sumbaga. Sugrikala segera memburu,
mencari wanita itu. Namun Sugrikala terheran-
heran, tak menemukan Nila Sari yang seakan
menghilang. Merasa tak percaya dengan kekece-
waannya, Sugrikala menghancurkan batu-batuan
yang menutupi tempat yang dianggap dapat dija-
dikan persembunyian itu.
Setelah tak mendapatkan hasil, Sugrikala
menggeram penuh kemarahan dan kekecewaan.
Suaranya melengking bagaikan lolongan seekor se-
rigala.... Bersamaan dengan itu mendadak angin ber-
tiup kencang di bawah langit yang gelap tertutup mendung tebal. Bagai topan,
angin mengamuk, ingin merobohkan apa saja. Namun Sugrikala tetap
berdiri dengan tegap memandang jauh ke depan.
Seakan ada yang dipandang, atau mungkin di be-
naknya masih mengharap Nila Sari. Yah Sugrikala
memang masih ingin mencari dan menguasai wa-
nita itu sampai kapan pun.
Hujan turun mengguyur tempat itu dengan
derasnya. Namun Sugrikala yang masih dalam ke-
kecewaan dan dendam, tak beranjak sedikit pun
dari tempatnya. Terus berdiri di tepi Jurang Jagal Parang.
2 Waktu terus bergulir. Musim demi musim
telah terlewati. Dua puluh tahun kemudian di Le-
reng Gunung Semeru tampak seorang pemuda
bertubuh tegap dan dada berisi tampak tengah
berteriak-teriak. Tubuhnya melayang laksana bu-
rung elang. Dengan gerakan yang gesit sekali, pe-
muda itu mencelat ke udara, lalu menukik ke ba-
wah dengan lengkingan panjang.
Lengkingannya saja seakan mampu merun-
tuhkan bebatuan, apalagi pukulan dan tenaga da-
lam anak muda itu. Mungkin melebihi kekuatan
ratusan ekor kuda jantan.
"Hiaaa...!"
Srat! Srat! Srat...!
Jglar! Jglar! Jglarrr!
Tiga kali berturut-turut tangan pemuda itu
mengeluarkan larikan sinar pelangi, menghantam
bebatuan Gunung Semeru. Seketika bebatuan itu
runtuh menjadi puing-puing. Melihat hasil yang telah dicapainya, pemuda berkulit
kuning dan ram-
but panjang melewati bahu itu sesaat terpaku terdiam. Dari kejauhan tampak dua
orang datang menghampiri pemuda itu dengan pandangan mata
kagum. Salah seorang dari mereka, seorang kakek
tua renta berpakaian serba putih. Jenggot panjang dan rambut di kepalanya telah
putih semua. Di si-sinya berjalan melenggang seorang wanita seten-
gah baya. Namun bekas kecantikannya masih ter-
gambar jelas di wajahnya yang mulai kelihatan
menua itu. "Hm...," lelaki tua itu manggut-manggut seraya bergumam pendek, "Anakmu itu akan
menja-di pendekar yang disegani, Nila Sari...," Tangannya mengelus-elus jenggot
yang panjang seraya memperhatikan kesungguhan berlatih muridnya.
Nila Sari pun bangga melihat putranya. Ma-
tanya yang indah memandang penuh rasa kagum
pada sang Anak.
Melihat kedua orangtua itu datang, pemuda
yang tadinya berlatih, segera menghampiri mereka.
Setelah menjura penuh hormat dia segera bersu-
jud di kaki orang tua itu. "Ibu, Ki Wibisana, teri-malah sembah Ananda!"
"Dengan doa, Kakek ucapkan semoga sejah-
tera untukmu!" jawab lelaki tua berjenggot yang ternyata bernama Ki Wibisana,
penuh kasih sayang. "Pasopati, kau kini telah dewasa. Ilmumu Kakek rasa telah cukup. Apa
yang hendak kau lakukan setelah semuanya kau miliki, Cucuku?"
"Ah, Kakek. Aku belum memikirkan rencana
apa yang akan kulakukan. Ananda masih ingin
berbakti pada Kakek dan Ibu.... Bolehkah, Kek?"
"He he he...! Boleh, kenapa tidak. Kau ada-
lah cucuku," jawab Ki Wibisana setelah memandang sesaat pada Nila Sari yang
tersenyum men- gangguk. "Tapi, Kakek rasa apa tidak sebaiknya kau menambah ilmu dan
pengalamanmu?"
Pasopati terdiam, memandang lekat-lekat
pada wajah ibunya yang masih tersenyum. Dalam
hatinya terbersit beberapa macam pertanyaan ma-
nakala memandangi wajah sang Ibu. Wajah ibunya
memang mirip dengan wajahnya. Tapi yang belum
Pasopati mengerti, siapakah ayahnya"
Yah, pertanyaan-pertanyaan itulah yang
sering muncul dalam lubuk hatinya. Sejak kecil ia tidak mengetahui siapa
ayahnya. Sejak kecil Pasopati dididik dan dibesarkan oleh ibunya dan ka-
keknya, Ki Wibisana.
Perlahan-lahan Pasopati bangkit dari jong-
koknya. Dihampiri sang Ibu yang masih tersenyum
bangga. Niatnya untuk bertanya tentang siapakah
ayahnya dan di mana sekarang, telah bulat.
"Maaf, Bu! Bolehkah saya bertanya?" suara Pasopati begitu penuh perasaan.
Nila Sari tak langsung menjawab. Dipan-
danginya sesaat wajah Pasopati dengan seksama,
sambil mengerutkan kening. Seakan wanita seten-
gah baya itu merasakan sesuatu, di dalam perta-
nyaan putranya itu.
"Oh..., apa yang hendak kau tanyakan, Pa-
sopati?" tanya Nila Sari begitu lembut, sambil membelai pipi putranya perlahan.
Penuh kasih sayang. Pasopati kembali terdiam menundukkan
kepala, tak bisa menjawab dengan cepat Lalu
mengangkat kepala dan menatap wajah ibunya.
Sesaat kemudian, "Ibu, bolehkan aku tahu, siapa ayahku sebenarnya" Di mana dia
sekarang..."
Maaf, Bu. Aku selalu bertanya pada diri sendiri, tentang siapa sebenarnya
ayahku. Dapatkah Ibu
menjawabnya?"
Mendengar pertanyaan Pasopati, air mata
Nila Sari berlinang. Ia teringat kembali pada kekasihnya, Sumbaga yang entah
hidup atau mati.
Bayangan wajah Sumbaga, sebenarnya tertempel
lekat pada wajah anaknya. Sehingga, jika Nila Sari melihat wajah Pasopati,
selalu saja teringat akan Sumbaga, kekasihnya. Lelaki yang membuahkan
seorang anak lelaki. Kini anak itu telah dewasa dan gagah seperti Sumbaga.
"Kenapa Ibu menangis...?"
Nila Sari tersentak dari lamunannya ketika
Pasopati mengusiknya. Sambil mengusap air mata
yang menetes di pipinya, Nila Sari akhirnya men-
jawab. "Anakku, Pasopati.... Kalau kau ingin tahu siapa ayahmu, Ibu akan
memberitahukannya. Tapi
bila kau tanyakan di mana ayahmu, sungguh Ibu
tak tahu di mana dia sekarang. Entah hidup atau
mati...." "Kenapa begitu, Bu...?" Pasopati tersentak mendengar ucapan ibunya yang dirasa
kurang dapat diterima. Ibunya selalu berusaha menutup-
nutupi apa yang sekiranya ingin Pasopati ketahui.
Sementara itu Ki Wibisana masih nampak
berdiam diri. Namun lelaki tua renta itu tampak-
nya juga sedang berpikir. Untuk kebaikan semua,
dia sengaja memberikan kesempatan pada Nila Sa-
ri untuk berbicara.
"Pasopati, ayahmu adalah seorang lelaki
yang gagah dan jujur. Kami saling mencintai dan
mengasihi. Namun ada seorang pemuda lain yang
juga masih saudara seperguruan ayahmu. Bahkan
masih sepupunya sendiri. Sugrikala namanya. Di-
alah yang menghancurkan kebahagiaan Ibu dan
ayahmu...," sesaat Nila Sari menghentikan ceritanya. Kembali menghapus air mata
yang kian membasahi kedua pipinya.
"Lantas, bagaimana, Bu?" tanya Pasopati sangat ingin tahu kelanjutan cerita itu.
Sambil memegang kedua tangan ibunya lembut.
"Sugrikala yang bersifat buruk, iri pada
ayahmu. Karena dia juga mendambakan Ibu. Se-
lanjutnya terjadi perkelahian antara mereka. Ibu disuruh ayahmu untuk lari,
menyelamatkan diri....
Selanjutnya Ibu tak tahu lagi. Apakah ayahmu
masih hidup atau sudah mati. Karena hingga saat
ini belum ada berita tentang ayahmu...," Nila Sari menutup wajah dengan kedua
telapak tangannya,
sambil terus menangis.
Pasopati menghela napas panjang, lalu me-
meluk ibunya penuh kasih sayang yang dalam.
Wajahnya sesaat tegang, penuh amarah dan den-
dam setelah mendengar cerita tentang sang Ayah.
Rasanya Pasopati ingin cepat dapat bertemu Su-
grikala untuk membalas dendamnya.
"Siapakah Sugrikala itu sebenarnya,
Kek...?" tanya Pasopati kemudian.
Ki Wibisana yang ditanya tampak hanya
menghela napas dalam-dalam. Lalu tersenyum. Di-
tariknya kembali napas sesaat, lalu dihembuskan-
nya perlahan, sepertinya ingin membuang segala
kepedihan cerita Nila Sari tadi. Dengan perlahan tangannya memegang bahu
Pasopati. Sementara
yang kiri memegang sebatang tombak berkepala
naga berwarna kebiruan.
"Sugrikala yang dikenal dengan Manusia
Serigala seorang berilmu tinggi. Dia bersekutu
dengan tokoh-tokoh sesat yang jahat. Serta memi-
liki guru yang berilmu sihir bernama Reski Jalatu-la. Mereka manusia siluman
yang sangat keji...,"


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tutur Ki Wibisana.
"Maksud Kakek...?" tanya Pasopati ingin ta-hu.
"Ayahmu yang disebut Pendekar Tapak Geni
dapat dikalahkan, Kakek pun mungkin tak mam-
pu mengalahkannya. Apalagi kau Pasopati...," kata Ki Wibisana dengan suara
berat. Mendengar tutur Ki Wibisana, nampak wa-
jah Pasopati murung. Seakan kecewa dengan apa
yang selama ini dipelajari. Tiga belas tahun lebih dia menekuni ilmu silat di
lereng Gunung Semeru, seakan masih merasa kecil setelah mendengar cerita tentang
manusia siluman yang membunuh
ayahnya. "Jadi apa gunanya aku berlatih selama ini,
Kek..."! Percuma saja. Tapi aku bersumpah akan
membalasnya...! Akan kubunuh Sugrikala...!" kata Pasopati kemudian dengan geram
penuh dendam yang membara. "Tenang, Cucuku! Jangan dulu kau kecewa.
Aku belum tuntas mengatakannya," sahut Ki Wibisana sambil menepuk-nepuk bahu
Pasopati. "Bukan aku mengecilkan hatimu. Itu kukatakan kare-
na aku sudah tua renta begini. Tapi bagimu,
mungkin dapat mengalahkannya. Apalagi Sugrika-
la saat ini tentunya juga sudah sebaya dengan
ibumu." Ki Wibisana memberikan semangat pada
Pasopati. Dan benar, wajah pemuda itu sedikit
kembali cerah. Sesaat keadaan hening, tak ada yang beru-
cap kata-kata. Seakan ketiga orang yang ada di si-tu sedang larut dalam pikiran
masing-masing. "Pasopati...," tiba-tiba terdengar suara Ki Wibisana penuh wibawa. "Kau akan
mampu membalas dan membunuh manusia seperti Sugrikala,
dengan Tombak Baruklinting ini. Tapi ingat, jan-
gan sembarangan kau menaruh tombak ini! Dan
jangan kau bawa ke tempat-tempat maksiat. Apa-
lagi berbuat mesum dengan wanita.... Itulah syarat utama," tutur Ki Wibisana.
Diserahkannya tombak berkepala naga berwarna kebiruan itu kepada Pasopati.
Pasopati menerimanya dengan hati gembira.
Setelah mencium tombak itu, kemudian menjura
pada Ki Wibisana.
"Terima kasih, Kek...," ucap Pasopati dengan nada senang.
Lalu Pasopati memeluk ibunya erat sekali,
seakan tak ingin melepasnya. Dengan penuh kasih
sayang. "Pasopati...," kembali terdengar suara Ki Wibisana.
"Ya, Kek...," sahut Pasopati singkat, lalu berbalik sambil melepas pelukannya.
"Agar lebih aman, dan tak terjadi apa-apa.
Juga agar kau berhasil menuntut balas atas kema-
tian ayahmu, lebih baik kau cari seorang pendekar yang telah kondang namanya di
rimba persilatan...," ujar Ki Wibisana menyarankan.
"Apakah dengan Tombak Baruklinting, aku
tak bisa mengalahkan dan membunuh Sugrikala,
Kek...?" tanya Pasopati sambil mengerutkan kening dan sedikit heran dengan
ucapan kakeknya.
"Bukan begitu. Kau sendiri pun bisa. Tapi
kau harus ingat, Cucuku. Sugrikala tidak sendiri.
Dia memiliki kelompok yang bernama Serikat Seri-
gala Merah. Mereka memiliki ilmu sihir dan silu-
man. Juga ibumu tentunya tak ingin kau menda-
pat celaka...," tutur Ki Wibisana lagi.
"Siapa pendekar itu, Kek..." Dan di mana
aku bisa menemuinya?" tanya Pasopati.
Ki Wibisana mengangguk-anggukkan kepala
sambil mengajak Pasopati berjalan, diiringi oleh Ni-la Sari yang melangkah di
belakang mereka. Sam-
bil berjalan menuju sebuah pondok tempat mereka
berteduh, Ki Wibisana berkata pada Pasopati,
"Pendekar muda itu tak tentu rimbanya, sebab dia seorang pendekar pembela
kebenaran dan keadi-lan. Dia selalu berkelana sekehendak hatinya. Kadang dia ada
di Tanah Jawa Dwipa ini, kadang pu-
la dia ada di Pulau Andalas atau pulau lain. Mudah-mudahan saat ini dia ada di
Jawa Dwipa."
"Aku jadi tertarik dengan ceritamu, Kek.
Dan ingin segera bertemu dengan pendekar itu.
Aku juga ingin menimba ilmu darinya, Kek," kata Pasopati penuh semangat.
"Itu bagus. Di samping kelak akan bertam-
bah pengalaman, kau juga dapat mengenal tokoh
persilatan aliran putih atau jahat lainnya, serta mengetahui bagaimana suasana
rimba persilatan,"
tutur Ki Wibisana lagi. Lelaki tua itu merasa cucunya mempunyai watak pendekar.
Hatinya san- gat bangga. Mereka terus berjalan menuju pon-
doknya. "Lantas, bagaimana aku bisa mengenal
pendekar kondang itu, Kek?" tanya Pasopati, tak sabar ingin mendengar kelanjutan
saran kakeknya. "Mudah untuk mengenalnya. Pendekar mu-
da itu tingkahnya seperti orang kurang waras. Ya, sesuai dengan tingkahnya, dia
dijuluki Pendekar
Gila dari Goa Setan," jawab Ki Wibisana mantap.
"Pendekar Gila dari Goa Setan,..," ulang Pasopati lirih sambil mengerutkan
kening. "Nama yang aneh dan langka...," gumamnya kemudian.
"Singo Edan gurunya, adalah saudara se-
perguruan Kakek. Jelasnya Singo Edem menjadi
adik seperguruanku. Jadi jangan kaget jika jurus-jurus silat yang Kakek ajarkan
padamu, sebagian
sama dengan jurus Pendekar Gila...," tutur Ki Wibisana. "Apa lagi ciri-cirinya
Pendekar Gila itu, Kek?" tanya Pasopati ingin tahu lebih jelas.
"Hm.... Dia memiliki sebuah suling pusaka.
Dan selalu diselipkan di pinggangnya. Itu saja.
Dan perlu kau ketahui juga nama asli pendekar
itu, Sena Manggala...," kata Ki Wibisana, lalu menepuk-nepuk punggung cucunya.
Mereka kini su-
dah sampai di depan pondok.
"Bagaimana, Bu..." Apakah Ibu mengizin-
kan aku berkelana?"
"Oh, dengan senang hati anakku. Ibu doa-
kan agar kau selamat, Nak. Ibu tak dapat mena-
hanmu lebih lama lagi di sini, karena kau sudah
dewasa. Dan sudah tahu semuanya. Apalagi ka-
kekmu telah merestuinya...," ucap Nila Sari sambil mengusap pipi anaknya.
Pasopati segera memeluk
ibunya dengan erat penuh kasih sayang.
"Percayalah, Bu! Aku akan dapat membalas
dendam atas perbuatan manusia keparat Sugrika-
la itu. Apa pun yang terjadi, akan kuhadapi...."
Sesaat mereka diam, hanya isak tangis yang
terdengar dari Nila Sari. Sementara Ki Wibisana
hanya mengusap-usap jenggotnya. Kemudian lela-
ki tua renta itu kembali berkata, "Cucuku... perlu Kakek jelaskan sekali lagi.
Tombak itu boleh kau buka sarung kepala naganya, jika ingin kau pergunakan..."
"Maksud Kakek...?" tanya Pasopati dengan kening berkerut.
"Jika kau sudah buka sarung atau tutup
kepala naga itu, berarti harus dipergunakan untuk membunuh lawanmu. Kalau tidak,
kau sendiri akan celaka!" tutur Ki Wibisana menjelaskan.
Pasopati menghela napas panjang. Lalu me-
lirik ke ibunya. Nila Sari memandangi dengan se-
nyum hambar. "Memang berat, Cucuku. Namun itu semua
syarat mutlak. Tergantung kau sendiri. Tapi aku
yakin kau bisa menerima syarat itu. Jangan cero-
boh dan cepat naik darah! Hadapi semuanya den-
gan tenang dan sabar. Kakek yakin kau akan jadi
pendekar yang tangguh...," kata Ki Wibisana lagi, memberikan dorongan pada
cucunya. Mendengar itu Pasopati sangat terkejut ha-
tinya. Semangatnya meledak-ledak. Lalu kembali
memeluk ibunya. Wanita itu membalasnya dengan
penuh kasih sayang. Merasa bangga dan bercam-
pur cemas, karena tak lama lagi sang Putra akan
meninggalkannya. Mengembara untuk menuntut
balas atas kematian suaminya. Air matanya kem-
bali menetes ke pipi yang sudah keriput. Dipeluknya erat-erat Pasopati.
"Oh, Hyang Widhi, lindungi anakku! Berilah
dia kekuatan, kesabaran untuk menghadapi segala
macam rintangan dan tantangan dalam pengem-
baraannya...! Aku tak ingin dia hilang atau mati seperti ayahnya...," gumam Nila
Sari dalam hati.
"Ibu, Ibu jangan menangis!" ucap Pasopati, ketika melepas pelukannya dan
menghapus air mata ibunya. "Aku sudah dewasa Bu, aku bisa menjaga diri. Percayalah, aku akan
kembali dengan kemenangan. Dan aku akan dapat membunuh
Sugrikala si Manusia Siluman Serigala itu!" ucap Pasopati dengan geram.
"Oh, anakku...," kembali Nila Sari memeluk anaknya.
"Sudahlah, Nila Sari! Jangan kau lepas
anakmu dengan tangis! Ayo, hari sudah mulai ge-
lap, sebaiknya kita masuk ke pondok...!" ujar Ki Wibisana sambil mengajak
keduanya memasuki
pondok. Mereka lalu melangkah menuju pintu pon-
dok dan masuk. Udara semakin dingin, angin berhembus
sepoi-sepoi. Suasana di situ kembali sunyi dan se-pi. Mentari telah menyusup di
balik pepohonan
dan sebentar lagi malam pun tiba.
3 Pagi itu cukup cerah, secerah wajah Paso-
pati yang berjalan menuruni lereng Gunung Seme-
ru menuju ke arah utara, diiringi oleh pandangan
mata Ki Wibisana dan Nila Sari. Mata kedua
orangtua itu nampak berkaca-kaca hendak me-
nangis. Bagaimana tidak, dua puluh tahun mereka
saling menjalin keluarga, kini anak yang selama ini dididik dan dirawat harus
berpisah. Langkah Pasopati nampak ringan, melom-
pati bebatuan dengan menggunakan ilmu merin-
gankan tubuh yang diajarkan kakeknya. Maka
pemuda itu berlari bagaikan seekor rusa, melesat begitu cepat. Dari kejauhan
yang tampak hanya
bayangan tubuhnya, berkelebatan di sela-sela pe-
pohonan. Tubuh itu melompat, melayang dengan rin-
gan dan hinggap di atas sebongkah batu yang agak tinggi. Sesaat Pasopati
terhenti, memandangi tempat tinggalnya. Tak terasa matanya berkaca-kaca
seperti hendak menangis. Ya, Pasopati seakan tak mampu menahan rasa haru, bila
ingat kembali bagaimana Ibu dan kakeknya telah merawatnya se-
jak masih bayi, hingga sekarang. Betapa besar
pengorbanan dua orang tua itu, sangat tinggi dan tak ternilai harganya.
Tengah Pasopati terdiam memaku sambil
memandang ke arah Gunung Semeru, tiba-tiba se-
sosok bayangan berkelebat dengan cepat berlari.
Sehabis bayangan seorang berlari melintas di ha-
dapannya, nampak bayangan lain pun melintas
pula ke arah yang sama.
Terkejut Pasopati tak habis pikir. Matanya
tajam memandang sekeliling tempat itu, dengan
kening berkerut.
"Hah..."! Sedang apa kedua orang itu?" gu-
mam Pasopati masih terpaku di tempatnya. Sete-
lah sejenak terdiam, tiba-tiba rasa ingin tahu men-gajaknya untuk mengikuti
kedua orang yang ten-
gah berlari saling kejar itu.
Pasopati pun melesat cepat mengikuti arah
kedua bayangan itu lari.
Bayangan yang berkelebat itu ternyata dua
orang manusia yang saling kejar. Mereka tak
menghiraukan Pasopati yang kini mengikuti di be-
lakangnya. Keduanya terus kejar-kejaran bagaikan tak kenal lelah. Baru setelah
berada di sebuah tanah yang agak luas, kedua orang itu berhenti.
"Kau tak akan bisa lari sekarang, Taragalu!
Ayo, kita teruskan di sini!" suara bentakan itu terdengar dari mulut lelaki
berwajah beringas yang
tadi mengejar di belakang.
"He he he... aku bukan pengecut! Aku tak
akan lari, Barja. Ayo, teruskan pertarungan kita!
Buktikan... siapa di antara kita yang patut menjadi wakil dari perguruan!" sahut
Taragalu mengger-takkan gigi-giginya.
"Ha ha ha! Bicaramu seperti orang paling
jago saja, Taragalu," tukas Barja sambil melinting kumisnya yang tebal. Matanya
menatap tajam ke
arah Taragalu. "Jelas, Sobat! Seharusnya kau sadari, bah-
wa ilmumu masih rendah. Tak pantas untuk me-
wakili perguruan...!" sahut Taragalu dengan nada mengejek.
"Kau memang sombong! Ilmumu pun aku
rasa belum ada apa-apanya. Yang penting seka-
rang jangan banyak mulut. Ayo, segera mulai per-
tarungan kita! Yang menang, itulah yang pantas
menjadi wakil perguruan...!" ucap Barja dengan geram. "Heaaa...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Taragalu.
Barja dengan secepat kilat berkelebat menyerang.
Melihat hal itu, Taragalu yang tak mau begitu saja dijatuhkan oleh adik
seperguruannya, dengan segera memapaki serangan Barja.
Tanpa ampun lagi, kedua kakak beradik se-
perguruan itu pun mental ke belakang. Namun
dengan cepat keduanya kembali bangkit, lalu den-
gan didahului pekikan keras, mereka kembali sal-
ing menyerang. Jurus-jurus mereka sama, sehing-
ga gerakan-gerakan yang dilakukan tak berbeda.
Pasopati yang mengintai pertarungan itu
hanya terbengong. Walau belum mengerti siapa
adanya, kedua orang yang bertarung, dia telah dapat mengetahui bahwa mereka satu
perguruan. "Orang-orang bodoh!" maki Pasopati dalam hati, "Mengapa seperguruan harus saling
bertarung"!" Lama Pasopati mengintai pertarungan kedua orang seperguruan itu.
Ketika salah seorang
melompat ke belakang, Pasopati yang tak ingin
melihat dua orang seperguruan itu saling serang, serta-merta melompat dari
persembunyiannya.
"Hei...! Berhenti! Kalian orang-orang bodoh!


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk apa berkelahi dengan saudara sendiri..."!"
sambil mengeluarkan bentakan keras menggelegar
Pasopati menghentakkan tangan ke depan.
Kedua orang yang sedang bertarung itu ter-
sentak kaget, dan mental beberapa tombak ke be-
lakang, terdorong angin pukulan Pasopati yang
dahsyat. Mata kedua orang itu membelalak tak
percaya dan saling pandang. Lalu kembali mata
kedua orang itu memandang lekat pada Pasopati
yang telah berdiri menengahi mereka.
"Siapakah kau, Anak Muda?" tanya Taraga-lu terheran-heran. Ia merasa bahwa yang
ada di hadapannya bukan anak muda sembarangan. Ter-
bukti angin hentakannya saja mampu membuat
orang terpental bagaikan dihantam angin puting
beliung. Tak kalah kagetnya Barja, ia juga merasakan hawa lain saat pemuda yang
berdiri di hada-
pannya membentak.
"Hem.... Siapa kau sebenarnya, Anak Mu-
da"!" tanya Barja dengan menyipitkan kedua matanya. "Kenapa kau menghalangi
pertarungan ka-mi?" tanya Taragalu kemudian dengan pongah.
Pasopati menggeleng kepala perlahan, dan
tersenyum sinis.
"Aneh. Kalian orang-orang persilatan yang
telah berumur, mengapa masih seperti anak kecil
berebut makanan"! Memalukan sekali...," sahut Pasopati tegas.
Kedua orang itu seketika terdiam menden-
gar ucapan Pasopati yang dirasa mengena di hati.
Keduanya perlahan bangkit, menghampiri Pasopati
yang masih berdiri tegak di tempatnya, dengan
memperhatikan Tombak Baruklinting yang ter-
genggam di tangan kanan.
"Kau sangat peka dan mempunyai pandan-
gan yang luas. Kalau boleh kami tahu, siapakah
kau?" tanya Taragalu untuk kesekian kalinya.
Pasopati mengerutkan kening. Matanya me-
natap kedua orang itu, sepertinya sedang menyelidik. Sejenak anak muda itu
berpikir seperti ragu mengucapkan namanya.
"Namaku Taragalu...."
"Dan aku, Barja. Kami berasal dari Pergu-
ruan Batulawang Sakti. Kami bertarung untuk
menjadi wakil dari kerajaan dalam pertempuran
para tokoh persilatan di Candi Borobudur."
Mendengar ucapan Barja, seketika Pasopati
mengernyitkan keningnya. Ingatannya kini kemba-
li pada Sugrikala yang hendak dicarinya.
"Kalau aku mengikuti mereka, pasti aku
dapat menemui Sugrikala," gumam Pasopati dalam hati lalu berkata pada kedua
orang itu. "Ternyata hanya itu masalahnya. Sebenar-
nya ada apakah sehingga tokoh persilatan menga-
dakan pertemuan?" tanya Pasopati menyelidik.
"Apakah kau belum tahu, Anak Muda?" Taragalu malah balik bertanya pada Pasopati.
"Belum. Aku baru saja turun dari gunung,"
jawab Pasopati jujur.
"Oh, apakah kau tidak membaca pengu-
muman yang disebar oleh pimpinan sekarang?"
tanya Braja menambahkan ucapan Taragalu.
Pasopati menggeleng kepala perlahan, sam-
bil mengerutkan kening.
"Siapa pimpinan yang kau sebutkan tadi...?"
tanya Pasopati balik bertanya.
"He he he... rupanya kau benar-benar tak
tahu, Anak Muda. Pimpinan itu bernama Prabu
Santika," jawab Taragalu.
Pasopati hanya mengangguk-anggukkan
kepala perlahan, sambil memegangi dagunya yang
ditumbuhi sedikit bulu halus.
Dirinya memang belum tahu apa-apa di du-
nia persilatan. Nama-nama tokoh persilatan pun
belum ada yang dikenal. Yang diketahuinya baru
beberapa nama, seperti Pendekar Gila, Sugrikala, dan Sumbaga ayahnya.
"Kenapa kau diam dan melamun, Anak Mu-
da?" tanya Braja tiba-tiba. Membuat Pasopati tersentak kaget. Lalu tersenyum dan
bertanya. "Untuk apa sebenarnya pertemuan itu,
hingga memanggil semua tokoh-tokoh persilatan?"
"Para tokoh persilatan di Jawa Dwipa ba-
gian tengah akan mengadakan pemilihan ketua
yang baru. Sudah menjadi kebiasaan, dua tahun
sekali adat pilihan pimpinan diadakan. Memilih
orang yang pantas menjadi ketua, untuk mengatur
para tokoh persilatan," tutur Taragalu, memberikan keterangan pada Pasopati.
"Ya. Karena ketua lama sudah tak sanggup
lagi memegang tampuk pimpinan. Selain sudah
semakin tua, Prabu Santika ingin mengundurkan
diri dari rimba persilatan. Yang akhir-akhir ini mulai kisruh," tambah Barja
menjelaskan. "Ooo..." Jadi kira-kira siapa yang akan menjadi ketua baru nanti, Sobat?" tanya
Pasopati hanya sekadar ingin tahu.
"Sulit kami untuk menerka. Tapi dengar-
dengar nama Sugrikala disebut-sebut sebagai
orang kuat untuk memangku jabatan ketua...," jawab Taragalu dengan penuh
semangat. Tersentak kaget Pasopati, mendengar nama
Sugrikala disebut oleh Taragalu. Wajahnya yang
tadi nampak polos, kini berubah tegang dan me-
mancarkan amarah
Taragalu dan Barja yang sempat melihat pe-
rubahan wajah Pasopati, merasa heran. Keduanya
saling pandang, lalu menggeleng kepala perlahan
sambil mengangkat kedua bahu. Kemudian mena-
tap ke arah Pasopati yang masih tercenung, me-
mandang ke depan.
"Ada apa kiranya dengan dirimu, Anak Mu-
da..." Hm kalau boleh kami tahu, siapa nama
Anak Muda...?" tanya Taragalu dengan kalem.
Pasopati tersentak dari tercenungnya, lalu
tersenyum dan menghela napas panjang. Agak ga-
gap dia menjawab pertanyaan Taragalu.
"Oh, hem.... Kakekku memberi nama pada-
ku Pasopati. Dan kakekku semasa mudanya juga
orang persilatan yang menurut ibuku cukup dis-
egani. Aku bangga mempunyai Kakek seperti
dia...," tutur Pasopati kemudian.
"Siapa nama kakekmu itu...?" tanya Barja tak begitu serius.
"Ki Wibisana. Kalian mengenalnya...?" jawab Pasopati mantap.
"Ki Wibisana..."!" gumam Barja dan Taragalu berbarengan mendengar nama yang
disebut Pa- sopati. "Aaah, rupanya aku kini tengah berhadapan dengan cucu Ki Wibisana.
Maafkan atas ke-
lancangan kami."
Setelah berkata begitu, Taragalu dan Barja
membungkukkan badan menjura hormat. Dalam
hati mereka berucap, "Pantas kalau anak muda ini memiliki ilmu tinggi."
"Eee... apa-apaan ini..."! Aku bukan raja
atau orang terkenal. Jangan kalian berlaku seperti itu" Aku tak mau," kata
Pasopati. "Kami merasa senang, dapat berkenalan
dengan cucu Ki Wibisana. Beliau dahulu pernah
menjadi ketua persilatan tokoh-tokoh aliran lurus.
Dia seorang yang bijaksana dan berilmu tinggi...,"
ucap Taragalu tak mampu menyembunyikan rasa
kagumnya. "Ya. Aku pun mendengar dari ibuku. Tapi
sekarang tak perlu dibicarakan lagi. Kalau kalian tak keberatan, aku ingin ikut
bersama kalian ke
pertemuan itu. Boleh..."!" kata Pasopati penuh harap. "Oh, tentu. Tentu, Den.
Tapi perjalanan kita bisa sampai tiga atau empat hari," jawab Barja dengan
gembira. "Ah, tidak apa. Aku memang ingin berkela-
na. Apalagi ditemani oleh kalian berdua," sahut Pasopati. Lalu berpikir sejenak.
"Tapi, aku minta pada kalian berdua, jangan bawa-bawa nama kakekku...," katanya
kemudian sambil tersenyum penuh persahabatan.
Taragalu dan Barja saling pandang, lalu
mengangguk sambil berkata, "Tentu kami setuju.
Biar kami sendiri yang tahu, siapa dirimu Pasopa-ti...." Lalu ketiganya
melangkah pergi menuju ke
arah barat. Sebenarnya Pasopati bukan bermak-
sud mengikuti pertemuan tersebut. Niat di hatinya hanya satu, mencari Sugrikala
dan sebisanya menuntut balas.
Ketiga orang itu terus melangkah menelusu-
ri jalan setapak dan bukit-bukit terjal dan terkadang persawahan serta hutan.
Pasopati nampak
senang berjalan dengan kedua kenalan barunya
itu. *** Sementara itu di suatu tempat, nampak
seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular, ber-
jalan seorang diri sambil menggaruk-garuk kepala.
Rambutnya yang agak ikal panjang pun diikat
dengan kulit ular. Tingkah lakunya lucu. Terka-
dang persis orang kurang waras. Tertawa-tawa
sendiri, atau cengar-cengir sambil menepuk pan-
tatnya. Pemuda tampan dan gagah itu tampak sela-
lu ceria. Lalu tiba-tiba langkahnya terhenti. Kemudian mencabut sebuah benda
yang terselip di
pinggangnya. Ternyata sebuah suling berkepala
naga. Pemuda itu lalu meniupnya, memainkan se-
buah tembang yang terdengar mengalun indah
sambil kembali berjalan menelusuri jalanan seta-
pak berpasir. Suara suling itu terus terdengar. Hingga tak
sadar kalau langkah kakinya sudah memasuki se-
buah desa. Dan ketika sadar pemuda itu segera
menghentikan tiupan sulingnya.
"Aha, rupanya aku sudah berjalan cukup
jauh. Desa apakah namanya ini" Baru kali ini aku memasuki desa ini...," gumam
pemuda itu dalam hati. Lalu diselipkan kembali sulingnya di pinggang. "Hm....
Desa Progo!" gumamnya seraya menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap tugu
gapura di mulut desa itu yang tercantum nama
desa tersebut. Sebuah desa yang cukup ramai.
Banyak pedagang yang datang dari berbagai wi-
layah meramaikan desa itu. Tampaknya desa ini
menjadi pusat penghasil rempah-rempah dan ber-
bagai kebutuhan pangan. Jadi banyak tengkulak
dan pedagang mampir di Desa Progo itu untuk
berbelanja dan bersantai-santai bagi yang banyak duit. Mereka bisa menikmati
surga dunia. Karena
di desa yang cukup luas itu, ada tempat maksiat
dan perjudian. Yang disengaja didirikan oleh
orang-orang tokoh sesat, dari suatu kelompok
yang ditakuti, Serikat Serigala Merah! Tampaknya dari situlah gerombolan
tersebut mendapatkan hasil. Dari upeti dan keuntungan usahanya.
Namun penduduk dan lurah desa sampai
saat ini belum tahu siapa pimpinan rumah mak-
siat dan perjudian itu. Lagi pula Lurah Desa Progo itu tak ada lagi
kekuasaannya. Hanya nama saja.
Karena lurah yang berkuasa sekarang merupakan
hasil pilihan tokoh-tokoh sesat itu sendiri.
"He he he... nampaknya Desa Progo ini desa
yang paling ramai dan kaya akan hasil bumi.
Dan... cukup luas wilayahnya. Tak seperti desa
lainnya di Jawa Dwipa Tengah ini," gumam pemuda itu sambil menggaruk-garuk
kepala. Lalu ber-
jingkrak-jingkrak dan melangkah menuju pusat
keramaian. Di sana banyak orang bergerombol. Di
dekat sebuah bangunan besar seperti bekas ru-
mah Belanda tampak beberapa wanita duduk-
duduk di depan pintu masuk para tamu. Mereka
berpakaian dengan dandanan menyolok.
Pemuda itu terus melangkah mendekati
orang-orang yang bergerombol. Ternyata mereka
melihat orang yang sedang adu panco. Pemuda
yang bertingkah seperti orang sinting itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar
Gila. Sena kemudian menyusup di antara orang-orang yang sedang
menonton. "Ayo, pertahankan Dogol! Jangan mau ka-
lah!" terdengar seman teman lelaki bernama Dogol, yang sedang beradu panco. Adu
kekuatan tangan!
"Sedikit lagi. Sumo...! Ayo jatuhkan, ce-
pat...!" seru yang lain memberi semangat kawannya bernama Sumo, yang berbadan
lebih kecil dari lawannya. Namun otot-ototnya kuat.
Sedangkan yang bernama Dogol berbadan
besar, namun tak berotot. Pipinya mirip bapao. Dia bertelanjang dada, hanya
memakai rompi warna
hitam kumal. Tampangnya selalu ceria.
Pendekar Gila nampak senang melihat per-
tandingan panco itu. Dia tertawa-tawa sendiri
sambil menggaruk-garuk kepala.
Namun pada saat mereka sedang asyik ber-
gembira menonton panco, tiba-tiba....
"Tolooong...! Jangan, jangan paksa aku... tolooong...!" terdengar teriakan
seorang wanita melewati tempat kerumunan penonton panco.
Wanita itu masih muda dan cukup cantik.
Sebagian pakaiannya sudah koyak-koyak. Di bela-
kangnya dua orang lelaki bertelanjang dada berpakaian rompi merah dan berikat
kepala merah pula
mengejarnya. Tak seorang pun di tempat itu yang
berani menolong si Wanita Malang.
Wanita muda itu jatuh, tersungkur ke ta-
nah. Dengan cepat kedua orang lelaki yang menge-
jar menangkapnya. Dan dengan kasar membawa
wanita itu menuju rumah maksiat.
Pendekar Gila segera melompat ke depan.
"Kenapa wanita itu, Pak" Apakah dia men-
curi atau...," tanya Sena pada seorang lelaki setengah baya di depannya.
"Wanita itu menolak untuk dijual kepada
saudagar kaya dari Pulau Andalas. Sekutu pimpi-
nan pemilik rumah maksiat itu...," jawab lelaki setengah baya pelan seperti


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbisik, sambil menunjuk rumah di belakang mereka.
"Hi hi hi... Lucu! Ini sudah kebangetan...,"
gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan
cengar-cengir. Lelaki setengah baya itu merasa heran me-
lihat tingkah laku pemuda di sebelahnya. Kening-
nya berkerut tak mengerti maksud gumaman Se-
na. Sementara itu kedua lelaki yang berwajah
kasar, yang salah satunya bermata juling, terus
menyeret wanita malang itu menuju rumah mak-
siat. Dan begitu hendak melewati Sena, tiba-tiba kedua lelaki yang menyeret
wanita muda itu berhenti. Sebab tiba-tiba Sena menghadangnya. Den-
gan tingkah laku seperti orang gila.
"Hei! Kau pemuda gila, minggir! Atau ku-
penggal kepalamu...!" bentak lelaki yang bermata juling seraya mendorong tubuh
Sena. Namun herannya, tak sedikit pun tubuh
pemuda itu bergoyang. Bagaikan patung raksasa.
Lelaki bermata juling kaget. Matanya yang juling terbelalak lebar, hingga
berputar-putar. Lucu!
"Kurang ajar, rupanya kau ingin mam-
pus...!" kembali lelaki juling itu membentak seraya mencabut golok dan
menyabetkan ke arah kepala
Pendekar Gila. Namun dengan gerakan yang terke-
san lamban, Sena meliuk-liuk laksana menari. La-
lu menepukkan tangan kanannya ke pinggang le-
laki juling dengan gerakan lamban.
Plak! Plak! "Ukh...!" lelaki juling itu memekik. Lalu tubuhnya terhuyung ke samping.
Melihat kawannya dipermalukan di depan
orang banyak, segera lelaki brewok yang masih
memegangi tangan wanita tadi langsung menye-
rang Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Kini kau harus mampus,
Anak Edan! Heaaat..!" teriak lelaki brewok yang mata sebelah kirinya tertutup
kain hitam. Kembali Sena mengelak dengan mudah ke
samping kiri, lalu melancarkan serangan balik
yang cepat dan tepat. Mengenai kepala lelaki brewok itu.
Puk! "Aaakh...!"
Sama dengan lelaki juling tadi, lelaki bre-
wok itu jatuh tersungkur. Mencium tanah.
"Hi hi hi..., tikus-tikus ini lucu sekali! Ayo, bangun...!" ejek Sena sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Orang-orang yang tadi bergerombol segera
bubar. Hanya si Dogol yang berbadan besar itu
masih di situ. "Heh! Pemuda ini hebat benar. Aku suka
dengan anak muda ini. Aku akan berguru pa-
danya.... Tapi kenapa tingkahnya macam orang
gendeng..." Ah... tak apa. Yang penting nanti aku akan bantu dia, kalau dia
kalah...," gumam si Dogol sok jago. Dia sebenarnya orang yang baik dan lugu.
Sudah tak memiliki sanak saudara. Dirinya
hanya cari makan dengan menjual tenaga sebagai
kuli atau apa saja.
Sementara kedua antek-antek Serikat Seri-
gala Merah itu menyerang Pendekar Gila berbaren-
gan. "Heaaat...!"
"Mampus kau, Bocah Edan!" bentak keduanya sambil menebaskan golok ke arah
kepala, ka- ki, dan menusuk ke bagian dada Pendekar Gila.
Namun tanpa kesulitan Pendekar Gila pun
dapat mengelak. Dan malah dengan sebuah ten-
dangan keras tepat mengenal tengkuk si Brewok,
hingga memekik keras kesakitan. Lalu tubuhnya
yang besar roboh tak berkutik lagi.
Melihat temannya tak bangun, si Juling
tampak jelalatan ke sana kemari, membuat Sena
tertawa-tawa mengejek.
"Hi hi hi...! Kau mau seperti kawanmu. Nan-
ti matamu akan kubuat lebih juling lagi! Atau ku-copot kedua matamu...!" ujar
Pendekar Gila mena-kut-nakuti.
Si Juling hidungnya kembang-kempis me-
nahan malu dan marah merasa dipermalukan di
depan orang banyak. Padahal sebelum ini kedua-
nya ditakuti penduduk Desa Progo itu.
Sementara wanita itu masih merangkak
hendak bangun. Si Dogol hendak menolongnya,
tapi agak ragu. Lelaki muda gendut itu hanya
menghela napas panjang.
Sena kemudian mendekati wanita muda itu,
lalu menolongnya bangun, "Jangan takut, Dik.
Ayo, kita pergi...!" ajak Sena sambil memapah wanita itu. Si Juling yang melihat
pemuda itu mem-
belakanginya, cepat mengambil kesempatan me-
nyerangnya dari belakang.
"Heaaat...!"
Plak! Plak! "Aaa...!"
Rupanya Sena sudah tahu, dan memang
sengaja berbuat demikian. Maka tak ampun lagi,
pukulannya tepat bersarang di dada si Juling. Seketika lelaki juling itu tak
berkutik lagi. Dari mulutnya keluar darah segar.
Orang-orang di dalam rumah maksiat ke-
luar. Nampak para pengunjungnya berhamburan
dari pintu depan. Dan disusul tiga orang lelaki
berpakaian sama, merah-merah dengan ikat kepa-
la merah dan bersenjatakan tombak bermata tiga.
Tampaknya sama Kembar.
Si Dogol yang melihat ketiga orang itu, sege-
ra mendekati Pendekar Gila.
"Den, sebaiknya pergi dari sini. Gawat...! Bi-ar saya bawa wanita ini... saya
akan sembunyi- kan...," bisik Dogol pada Sena.
"Siapa kau?" tanya Sena.
"Aku hanya seorang yatim piatu. Aku ingin
ikut Aden...," jawab Dogol polos.
Sementara itu ketiga lelaki kembar yang
berwajah mirip serigala menyeringai, hingga mem-
perlihatkan gigi-giginya yang bertaring. Kuping
mereka yang panjang bergerak-gerak.
"Den, sebaiknya lari saja...!" kata Dogol ketakutan.
"Kau bawa wanita ini ke pinggir hutan sana!
Tunggu sampai aku datang!" pinta Pendekar Gila pada lelaki bertubuh tambun itu.
"Cepat lari! Biar kuhadapi manusia buruk ini..., cepat!" perintah Sena. Dogol
segera membopong wanita itu, dan la-ri kencang sebisa-bisanya.
Ketiga orang bermuka mirip serigala itu,
mencoba mengejar Dogol. Mereka berlompatan di
udara. Namun Pendekar Gila mengetahui hal itu.
Tubuhnya segera melompat menghadang ketiga
orang bermuka kembar itu.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Benturan terjadi, antara Pendekar Gila dan
ketiga orang bermuka serigala itu.
Brak! Glarrr...! Akibat benturan tangan mereka yang saling
pukul itu mengakibatkan ledakan dahsyat. Ketiga
orang bermuka serigala itu terpental ke bawah.
Pendekar Gila pun sama, terpental. Namun cepat
mendaratkan kakinya dengan tegap. Ketiga orang
mirip serigala itu tersentak kaget, melihat lawannya tak goyah malah cengengesan
dan menggaruk- garuk kepala. "Siapa pemuda edan ini sebenarnya" Il-
munya begitu tinggi. Tak ada seorang pun selama
ini bisa tahan pukulan kita. Kenapa pemuda edan
itu tahan..."!" tanya salah seorang dari mereka dalam hati.
"Kenapa kalian diam"! Ayo, maju sekaligus
tiga, jika ingin menangkapku! Tapi maaf, untuk
kali ini aku tak ingin meladeni orang macam ka-
lian. Lain waktu aku akan datang lagi...," ucap Se-na, lalu segera melesat
pergi. Ketiga orang lawannya yang merasa diejek
segera melancarkan serangan jarak jauh. Mereka
berbarengan menghentakkan kedua tangan. Dari
telapak tangan mereka keluar beberapa larik sinar merah bagai api. Meluncur ke
arah tubuh Sena.
"Hop...!" Pendekar Gila melenting ke udara mengelakkan serangan jarak jauh itu.
Jlegarrr...! Akibatnya terjadi ledakan dahsyat meng-
hantam kedai dan rumah penduduk, hingga han-
cur dan terbakar.
Penduduk desa kalang kabut, berlarian
sambil berteriak ketakutan. Sementara itu Pende-
kar Gila sudah hilang entah ke mana.
"Kurang ajar! Kali ini kita mendapatkan la-
wan yang bukan saja berilmu tinggi. Tapi juga cerdik!" kata salah seorang dari
ketiga orang kembar itu. Merekalah yang dijuluki Tiga Kembar Bermuka Serigala.
Mereka merupakan sekutu Serikat Serigala Merah.
"Benar, ini tak bisa dibiarkan begitu saja.
Kita harus melaporkan pada Ketua," sambut yang lain. "Benar, kalau tidak kita
dipersalahkan. Apalagi saudagar dari Pulau Andalas itu sudah mem-
bayar penuh, untuk dapat menikmati keperawa-
nan wanita itu," sahut yang satu lagi.
Sementara itu penduduk masih sibuk me-
madamkan api kedai dan rumah yang terbakar,
deh serangan Tiga Kembar Bermuka Serigala.
4 Dari kejauhan nampak berkelebat bayangan
berlari kencang menuju hutan. Larinya begitu ce-
pat bagai anak panah terlepas dari busurnya. Tentunya orang itu memiliki ilmu
lari yang sangat hebat. Sosok bayangan itu ternyata Pendekar Gila.
Larinya dihentikan ketika sampai di mulut hutan.
Matanya mengawasi sekeliling, mencari-cari seseorang sambil menggaruk-garuk
kepala. "Ke mana mereka..."! Kenapa aku memper-
cayai si Lelaki Gendut itu"!" gumam Pendekar Gila lagi cengar-cengir.
Srek! Srek! Tiba-tiba terdengar suara kaki dari balik
pepohonan dekat semak-semak. Sena segera
membalik, dan memandang ke arah suara tadi.
"Hai! Siapa kau, keluar!" bentaknya.
"Oh... ampun. Den...!" terdengar suara dari balik semak.
Sena mengenal suara itu. "Apakah si Gen-
dut tadi" Kenapa dia..."!" gumam Sena. Lalu segera mendekati semak-semak, dan
dilihatnya si Do-
gol nampak masih terengah-engah. Tubuhnya te-
lentang di semak-semak nampak kecapean.
"Kenapa kau! Mana wanita tadi...?" tanya Sena dengan mengerutkan kening.
Dogol tak langsung menjawab, napasnya
masih ngos-ngosan. Lalu dengan berat mengang-
kat tangan kanannya, menunjuk ke satu arah.
Sena segera melesat ke tempat yang ditun-
juk si Dogol. Ternyata wanita itu sedang terkulai pingsan
di tanah yang ditumbuhi rerumputan, dekat sun-
gai yang ada di pinggiran Hutan Rajasari.
Pendekar Gila merasa lega, lalu menghela
napas panjang sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian kembali ke tempat si Dogol berada. Ter-
nyata lelaki bertubuh tambun itu masih telentang keletihan. Perutnya yang gendut
naik turun dengan cepat. Tertidur, dengan mulut menganga.
Pendekar Gila tertawa-tawa geli melihat Do-
gol tertidur, keletihan itu. Segera dia mengambil batang rumput, kemudian
mendekati Dogol. Diki-liknya telinga dan lubang hidung si Dogol. Mem-
buat lelaki gendut itu kegelian dan terus menepis-
nepiskan tangannya ke telinga dan lubang hidung.
Sampai akhirnya Dogol terbangun dan ma-
rah. Namun begitu melihat pemuda yang dikenal-
nya, Dogol jadi tertawa renyah.
"He he he, Aden.... Saya kira orang jahat.
Maaf, Den...!" kata Dogol polos. Sambil mengusap-usap perutnya yang buncit itu.
"Istirahatlah dulu, aku tadi cuma ingin
menggodamu," kata Sena ramah.
"Tidak, Den.... Sudah cukup saya istira-
hat...," sahut Dogol diiringi tawa, "Oh, ya. Apa Aden sudah melihat wanita itu?"
tanyanya kemudian. "Ya. Rupanya dia masih pingsan. Biarlah, kita ngobrol saja
Dayang Tiga Purnama 3 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 11
^